Ceritasilat Novel Online

Penyair Maut 2

Pendekar Rajawali Sakti 20 Penyair Maut Bagian 2


terlihat Kumbara tengah membalik dua ekor kelinci panggang yang ditangkapnya
pagi tadi "Sudah matang. Mau makan sekarang?" Kumbara menawarkan seraya bangkit dan
melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Makan saja. Aku belum lapar," tolak Rangga halus.
Kumbara mengangkat bahunya, kemudian duduk di depan pemuda berbaju rompi putih
itu. Mulai dimakannya daging kelinci panggang itu, sedangkan satunya lagi
diletakkan di atas daun pisang di depan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu
memperhartikannya. Kumbara menghentikan makannya, karena merasa jengah
dipandangi terus.
"Ada apa" Kenapa kau memandangku seperti itu?" tegur Kumbara jengah.
"Ke mana kau semalam?" tanya Rangga langsung.
"Tidak ke mana-mana," sahut Kumbara terlihat terkejut.
"Aku tidak melihatmu di goa, dan kau pulang menjelang fajar," kata Rangga datar
nada suaranya. Kumbara diam tidak menyahut Selera makannya seperti hilang seketika. Diletakkan
daging kelinci panggang yang baru termakan sedikit di atas daun pisang.
"Aku mencarimu di sekitar goa sampai ke Desa
Komering Ilir," lanjut Rangga.
Kumbara tampak terkejut sekali. Dia sampai menatap dalam-dalam ke mata Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Kumbara! Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Tapi nyawamu sekarang
ini terancam. Semalam ada kejadian lagi yang meminta korban nyawa.
Mereka semua menuduhmu sebagai pelakunya. Si Penyair Maut... Hh! Nama yang
indah...," kata Rangga mengemukakan hasil penyelidikannya di Desa Komering Ilir.
"Biarkan saja mereka menyangka begitu, Rangga. Aku tidak peduli!" dengus Kumbara
sinis. "Kau juga tidak peduli dengan nyawamu?"
"Aku sudah mati puluhan tahun lalu!"
"Kau bisa saja berkata begitu, Kumbara. Tapi kau tidak bisa berpaling dari
kenyataan. Aku tidak menyuruh atau mengajarkan untuk membalas dendam...."
"Jangan ungkit-ungkit lagi masa laluku, Rangga!" selak Kumbara keras.
"Masa lalu bagian dari kehidupanmu, Kumbara. Kau tidak bisa selamanya menutup
mata dan hatimu. Aku tahu, di dalam lubuk hatimu tersimpan bara dendam yang
membara. Kau tidak puas karena keluargamu habis terbantai, dan seluruh kekayaan
keluargamu dikuasai orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu, termakan hasutan
hingga membencimu. Kau salah, Kumbara!
Penduduk Desa Komering Ilir bukannya tidak tahu, tapi menutupi perasaan dirinya
sendiri. Mereka sengaja bersikap demikian karena takut kau akan kembali
menguasai Desa Komering Ilir dan menuntut kembali hak-hakmu. Tapi tidak semua
begitu, Kumbara. Masih banyak penduduk Desa Komering Ilir yang menaruh simpati
padamu, bahkan mereka ingin membantumu. Tapi mereka tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan! Sedangkan kau sendiri kelihatan tidak peduli! Bahkan
kelihatannya diam saja terhadap keangkaramurkaan yang telah menguasai dan
memendammu di lembah kenistaan yang
amat dalam," panjang lebar Rangga membakar semangat Kumbara yang telah padam.
"Dari mana kau tahu semua itu?" tanya Kumbara.
"Seorang tua yang selalu memperhatikanmu," sahut Rangga kalem.
"Siapa?" desak Kumbara.
"Ki Ampar."
"Ki Ampar...," desak Kumbara lirih. Kumbara memang tidak menyangkal, kalau Ki
Ampar selalu memperhatikannya. Tidak pernah Ki Ampar mengusir atau mencaci dirinya. Bahkan
selalu menyuruhnya untuk bekerja dan membangkitkan semangatnya. Meskipun sikap
Ki Ampar padanya terlihat kasar, tapi Kumbara bisa mengerti maksudnya. Hanya
saja tidak pernah ditanggapi, karena dia sudah bertekad untuk mengubur semua
masa lalunya yang pahit. Dia tidak ingin menggali semua yang sudah dikuburnya
dalam-dalam. "Banyak yang diceritakan Ki Ampar tentang dirimu, masa lalumu, dan malapetaka
yang menimpa seluruh keluargamu. Juga tentang keadaan Desa Komering Ilir
sekarang ini. Meskipun seorang kepala desa, tapi Ki Ampar tidak punya hak untuk
mengatur desanya. Ki Ampar sendiri merasa kalau dia hanya dijadikan boneka yang
hanya dapat mengikuti perintah dalang. Dia sangat mengharapkanmu, Kumbara. Juga
orang-orang tua yang merana dan tertekan hidupnya. Hanya kau satu-satunya yang
bisa membangun kembali Desa Komering Ilir,"
Rangga tidak putus asa membangkitkan semangat si Penyair itu.
"Sudahlah, Rangga. Aku hargai rasa simpatimu.
Lihatlah mukaku ini. Mereka telah merusak mukaku!" kata Kumbara.
"Dan kau diam saja, tidak berbuat sesuatu?" nada suara Rangga terdengar sinis.
"Mereka terlalu kuat, Rangga. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang penyair lemah
seperti aku ini?"
Rangga langsung diam. Memang diakui kalau Kumbara
seorang laki-laki lemah yang tidak memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun.
Selama beberapa hari ini, Kumbara memang tidak pernah menunjukkan dirinya
seorang laki-laki kuat dan perkasa. Sehari-hari kerjanya hanya membuat syair dan
membacakannya pada pohon, burung, tupai, atau apa saja yang bersedia
mendengarkannya. Tapi Rangga tidak percaya kalau Kumbara benar-benar seorang
yang lemah. Beberapa malam ini Kumbara selalu menghilang dari dalam goa tempat tinggal
mereka. Bahkan Rangga pernah mencoba untuk mengetahui dengan pura-pura tidur.
Tapi sialnya dia tertidur benar! Akibatnya dia tidak tahu apa yang dilakukan
Kumbara pada malam hari. Seperti semalam, Rangga merasa dirinya begitu
mengantuk, tapi berusaha ditahan. Pendekar Rajawali Sakti itu memang sempat
tertidur beberapa saat. Tapi begitu terjaga, dia tidak lagi mendapatkan Kumbara
di tempatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu berusaha mencari. Tapi tanpa disadari, dia mencari
sampai ke Desa Komering Ilir.
Kebetulan malam itu terjadi peristiwa menggemparkan.
Beberapa orang tewas terbunuh, bahkan Naraka dan Mandaka terluka cukup parah.
Rangga memang tidak tahu persis kejadian yang sebenarnya, kalau saja tidak
singgah ke rumah Ki Ampar. Dari laki-laki tua itulah semua peristiwa yang telah
dan yang kini sedang terjadi dapat diketahuinya.
*** Rangga tetap tidak percaya terhadap pengakuan Kumbara yang mengatakan keluar
malam hanya untuk mencari wangsit dalam mencipta syair-syairnya. Dia sudah
mengetahui kalau pembunuh misterius yang berkeliaran di malam hari itu selalu
meninggalkan secarik daun lontar berisikan bait-bait syair.
Sementara seluruh penduduk Desa Komering Ilir hanya tahu, kalau orang yang
pandai membuat syair hanya Kumbara. Tidak ada orang lain yang bisa membuat
syair. Dan jelas, kalau semua orang pasti menyangka Kumbaralah si Penyair Maut yang
selalu muncul pada malam hari dan meminta banyak korban nyawa.
Dugaan itu semakin kuat, karena mereka yang menjadi sasaran adalah anak buah
Raden Glagah. Tidak seorang penduduk pun menjadi sasaran, meskipun mereka selalu
membenci dan mengusir Kumbara. Keanehan inilah yang menjadi beban pertanyaan
Pendekar Rajawali Sakti. Dan keanehan itu semakin jelas setelah Rangga bertemu
dengan Ki Ampar. Dari Kepala Desa Komering Ilir itulah dia tahu latar belakang
kehidupan Kumbara.
Rangga tidak dapat menyalahkan Kumbara jika ingin membalas dendam. Sebab, rumah
yang ditempati Raden Glagah sebenarnya milik Kumbara. Dialah pewaris tunggal
dari saudagar kaya yang menguasai hampir seluruh desa ini. Sedangkan kedatangan
Raden Glagah yang mengaku putra saudagar itu sebenarnya bohong belaka! Raden
Glagah sebenarnya adalah musuh besarnya. Kumbara sengaja dicampakkan dengan
disebarkannya fitnah keji agar seluruh penduduk Desa Komering Ilir membenci si
Penyair itu. Tapi semua perbuatan Raden Glagah diketahui oleh Ki Ampar. Raden
Glagah sengaja memberi kedudukan kepada laki-laki tua itu agar tidak membocorkan
rahasianya. Malam ini Rangga sengaja datang ke Desa Komering Ilir dan menginap di rumah Ki
Ampar. Ingin dibuktikan, siapa si Penyair Maut itu sesungguhnya. Kumbara, atau
orang lain yang mungkin saja memanfaatkan situasi ini. Entah untuk maksud apa.
Yang jelas, Rangga sudah bertekad untuk membongkar semuanya malam ini juga.
Bagusnya, rencana itu didukung penuh oleh Ki Ampar, yang memang sudah muak
dengan tingkah Raden Glagah yang semakin merajalela saja. Bahkan kini telah
menguasai desa-desa lain yang bertetangga dengan Desa Komering Ilir!
"Kelihatannya malam ini tidak akan terjadi sesuatu, Den Rangga," kata Ki Ampar
yang menemani. "Mungkin. Ini sudah hampir tengah malam," sahut
Rangga tidak lepas mengamati keadaan di luar dari celah jendela.
"Apakah Kumbara tahu kalau kau sengaja datang ke sini?" tanya Ki Ampar.
"Tidak! Tadi aku hanya bilang akan pergi ke desa seberang sungai," sahut Rangga.
"Masalahnya, kalau kubilang akan membeli bekal makanan di sini, dia pasti tidak
mau makan."
"Kasihan anak itu. Seumur hidupnya selalu menderita,"
desah Ki Ampar bergumam.
"Ya..., kalau saja dia mempelajari ilmu olah kanuragan, pasti tidak akan
begitu," Rangga jadi ikut bergumam.
"Heran juga, kenapa dia justru mempelajari syair-syair...?"
"Memang hanya itu yang ditinggalkan orang tuanya."
Rangga memalingkan mukanya menatap Ki Ampar yang duduk di samping kanannya.
"Orang tuanya sebetulnya baik. Dia mengerti dengan bakat Kumbara yang suka akan
syair. Sejak kecil, sampai berusia sepuluh tahun, Kumbara selalu mempelajari
buku-buku sastra. Sedikit pun dia tidak tertarik pada ilmu olah kanuragan."
"Sampai terjadi musibah itu?" Rangga ingin kejelasan.
"Ya! Sampai seluruh keluarganya terbunuh oleh Raden Glagah, Kumbara tetap tidak
berminat mempelajari ilmu olah kanuragan. Malah semakin giat menekuni sastra,
dan mampu menciptakan syair."
"Aneh juga, ya...," gumam Rangga pelan. Kembali diperhatikannya keadaan di luar.
"Manusia memang tidak ada yang sama, Den Rangga."
"Memang."
"Begitu juga dengan kehidupan ini. Desa Komering Ilir yang semula tenang dan
damai, berubah kacau terselimut hawa kematian. Semua itu terjadi sejak Raden
Glagah muncul."
Rangga diam. Matanya tidak berkedip mengintip keluar.
"Orang-orang yang mencoba menentangnya selalu dibunuh! Bahkan seluruh
keluarganya dibinasakan.
Termasuk keluarga kepala desa yang terdahulu. Hhh..., untung saja seorang anak
kepala desa masih hidup. Kini dia diasuh oleh neneknya yang tinggal di desa
seberang sungai. Tapi..., ya begitu. Kehidupannya sungguh memprihatinkan,"
sambung Ki Ampar.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki?" tanya Rangga.
"Apa aku belum menceritakannya padamu, Den?"
"Belum."
"Peristiwanya sudah lama, kira-kira dua puluh satu tahun yang lalu. Anak itu
juga belum lahir, masih berada di dalam kandungan. Istri kepala desa itu
berhasil diselamatkan dan tiba di desa seberang sungai. Kabarnya dia sempat
melahirkan sebelum meninggal. Tapi suaminya mati dibunuh orang-orang Raden
Glagah. Aku tahu siapa anak itu, dan juga neneknya. Tapi aku tidak pernah
menceritakannya pada orang lain."
"Kenapa?"
"Kalau Raden Glagah tahu, pasti anak itu dibunuh.
Juga neneknya! Sedangkan orang-orang di desa ini tidak ada yang dapat
kupercayai. Mereka semua ular berkepala dua, mengikuti saja asal bisa hidup
berkecukupan. Sikap seperti itu memang sudah ada sejak berdirinya desa ini, dan
tidak mudah untuk menghilangkannya," nada suara Ki Ampar sedikit mengeluh.
"Aneh juga. Kenapa tidak ada yang tahu?"
"Anak itu lahir di desa seberang sungai, dan baru kembali setelah usianya
sekitar lima tahun. Tidak ada yang tahu dan mengenal neneknya, apalagi dia
sendiri. Aku tidak tahu, apa maksudnya perempuan tua itu membawa kembali cucunya
sampai sekarang."
"Hmmm...," Rangga bergumam.
Ki Ampar diam. Dihirup sisa kopinya yang tinggal sedikit. Pandangannya tertuju
pada Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatannya sedang berpikir.
"Ada yang dipikirkan, Den?" tanya Ki Ampar.
"Ya. Aku jadi punya pikiran lain, Ki," desah Rangga.
"Maksud Den Rangga?"
"Ada kemungkinan bukan Kumbara yang melakukan, tapi orang lain yang memanfaatkan
posisi Kumbara dalam hal ini. Bisa saja sengaja diletakkan daun lontar berisi
bait syair agar semua orang menyangka Kumbara yang melakukannya," kata Rangga
menduga-duga. "Kau mencurigai anak kepala desa itu?"
"Siapa saja, Ki. Yang merasa sakit hati dan dendam pada Raden Glagah."
"Kalau Baruna, rasanya tidak mungkin. Dia bertubuh kurus kerempeng. Sedangkan
neneknya sudah tua dan sakit-sakitan. Kalau orang lain... Siapa...?"
"Ki, mengapa Raden Glagah tidak membunuh
Kumbara?" tanya Rangga beralih.
"Raden Glagah menganggap Kumbara bukan ancaman karena tidak menyukai ilmu olah
kanuragan. Sengaja hidupnya dibuat miskin dan sengsara agar jadi contoh bagi
seluruh penduduk. Siapa yang membangkang, nasib keturunannya akan sama dengan
Kumbara. Terhina, papa, dan tidak berdaya!"
"Hebat! Cerdik juga dia," gumam Rangga mendesis.
"Itulah sebabnya, mengapa seluruh penduduk Desa Komering Ilir ini tidak ada yang
berani dan menuruti saja perintah Raden Glagah. Bahkan menganggap Kumbara
sebagai pembawa sial dan bencana yang harus disingkirkan."
"Dan yang pasti, semua itu ulah Raden Glagah, bukan?"
"Benar, Den. Memang anak buah Raden Glagahlah yang meniupkan kabar bohong
tentang Kumbara yang dikatakan sebagai si Penyair pembawa bencana."
"Hebat...!" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara teriakan melengking tinggi. Dan
beberapa saat kemudian, terdengar suara pertarungan. Rumah Ki Ampar memang tidak
berapa jauh dari bangunan besar bagai istana itu. Rangga yang memperhatikan
keluar langsung dapat melihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Namun
suara pertarungan berhenti, disusul suara-suara bernada
memerintah. "Aku pergi dulu, Ki," kata Rangga cepat-cepat.
"Hati-hati, Den."
Rangga segera melompat ke pintu. Sebentar diintipnya keadaan di luar, kemudian
melesat cepat. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap. Ki Ampar bergegas
menutup pintu rumahnya kembali.
*** Ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti memang sempuma sekali. Dia
berlompatan bagaikan kilat, sehingga sukar diikuti mata biasa. Hanya bayangannya
saja yang berkelebat seperti hantu. Pandangannya tidak lepas ke arah sosok hitam
yang berkelebatan menyelinap di tempat-tempat gelap.
"Berhenti...!"
Rangga terkejut ketika mendengar bentakan keras menggelegar. Dan orang berbaju
serba hitam itu berhenti seketika. Saat itu juga berkelebat sebuah bayangan
hijau yang langsung menghadang orang berbaju serba hitam itu.
Wajahnya cukup tampan. Bentuk tubuhnya pun sangat bagus, tegap dan berisi.
"Raden Glagah..., rupanya kau tidak sabaran ingin cepat-cepat ke neraka juga,"
kata orang berbaju hitam itu sinis.
Sementara Rangga sudah berlindung di atas dahan pohon dengan jarak yang cukup
terlindung. Dengan mengerahkan ilmu 'Tatar Netra', dan ilmu 'Pembeda Gerak dan
Suara', dapat terlihat serta terdengar jelas semua percakapan dan kejadian di
depannya. Rangga agak berkerut juga melihat orang berbaju hitam itu. Suaranya
terdengar berat dan besar, seperti dibuat-buat. Sedangkan bentuk tubuhnya begitu
kecil, dan bisa dikatakan kurus.
Seperti bukan tubuh seorang laki-laki. Tapi dari suaranya, jelas kalau dia lakilaki. "Petualanganmu sudah cukup, Penyair Maut!" desis Raden Glagah sinis.
"Memang, setelah kau terbang ke neraka!" sahut orang itu tidak kalah sinisnya.
"Kita lihat, siapa yang masih bisa tertawa esok pagi!"
Setelah berkata demikian, Raden Glagah segera membuka jurus. Sedangkan orang
berbaju hitam itu masih kelihatan tenang tidak bergeming sedikit pun.
"Hiya...!"
Sambil berteriak keras, Raden Glagah melompat mengirimkan jurus-jurus mautnya.
Orang berbaju hitam itu mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping menghindari
serangan Raden Glagah. Dan dengan cepat disodokkan tangannya ke arah lambung.
Tapi Raden Glagah bisa menghindarinya dengan mudah. Mereka langsung terlibat


Pendekar Rajawali Sakti 20 Penyair Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam pertempuran sengit. Masing-masing menyerang dengan jurus-jurus mautnya.
Pertarungan berjalan cepat, dan tanpa menggunakan senjata satu pun. Namun
begitu, sedikit kelengahan saja bisa berakibat fatal.
Sementara di tempat yang cukup tersembunyi, Rangga memperhatikan jalannya
pertarungan dengan mata tidak berkedip. Pertarungan berjalan semakin sengit.
Jurus-jurus dilalui cepat. Raden Glagah mencabut senjatanya, tepat pada jurus ke
tiga puluh. Sedangkan orang berbaju hitam itu masih tetap bertangan kosong.
Kelihatannya dia tidak membawa sepucuk senjata pun.
"Hm..., terlalu berbahaya kalau dia tidak menggunakan senjata juga," gumam
Rangga dalam persembunyiannya.
Dan dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang terbukti.
Baru saja dia bergumam demikian, terlihat orang berbaju hitam itu mulai
terdesak. Dan pada satu serangan berikut, ujung pedang Raden Glagah meluruk
cepat ke arah dada, setelah tendangannya berhasil mendarat di tubuh orang
berbaju hitam itu.
"Celaka...!" desis Rangga.
Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan. Orang berbaju hitam itu mengangkat tangan
kanannya cepat. Maka dari balik lengan bajunya keluar sepucuk senjata berbentuk
pedang pendek tipis. Langsung diputarnya pedang itu untuk melindungi dadanya.
Trang! Raden Glagah tersentak kaget, kontan melompat mundur dua tindak ke belakang.
Sedangkan orang berbaju hitam itu pun melompat dua tindak ke belakang. Rupanya
benturan senjata bertenaga dalam cukup tinggi, membuat tangan mereka seperti
kaku. Kini mereka berdiri tegak, seakan-akan hendak mengukur tingginya tingkatan
kepandaian masing-masing.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dipacu cepat Tidak berapa lama
berselang muncul sekitar lima puluh orang berkuda dari empat jurusan. Mereka
serentak mengepung dan menghunus senjata masing-masing.
"Ha ha ha...!" Raden Glagah tertawa terbahak-bahak.
Orang-orang yang baru saja berdatangan itu langsung berlompatan dan mengepung
orang berbaju hitam. Di antara mereka terlihat empat bersaudara kepercayaan
Raden Glagah. Orang berbaju serba hitam itu memutar tubuhnya pelahan-lahan.
Tatapan matanya tajam memperhatikan orang-orang di sekitarnya.
Sementara Rangga memperhatikan, ia merasa iba melihat orang berbaju hitam itu
tidak mempunyai peluang untuk dapat menerobos kepungan rapat itu. Tapi Rangga
tetap diam, tidak ingin ikut campur dulu. Dia ingin mengetahui tindakan orang
berbaju hitam itu.
"Penyair Maut! Sebaiknya kau menyerah! Tidak ada lagi kesempatan lolos buatmu!"
kata Raden Glagah merasa menang.
"Huh!" orang berbaju hitam itu hanya mendengus saja.
Pelahan-lahan tangannya terangkat ke depan, lalu menyatu rapat. Dengan tubuh
sedikit membungkuk, diputar kakinya. Tatapan matanya tajam menusuk,
memperhatikan setiap gerak orang yang mengepungnya.
Cring! Pedang tipis sepanjang lengan itu terbelah menjadi dua.
Kini di tangan orang berbaju hitam itu tergenggam
sepasang pedang dengan bentuk dan ukuran yang sama.
Tanpa banyak berpikir lagi, dengan cepat dia berputar sambil berteriak nyaring.
"Yeaaah...!"
*** 6 Gerakan orang berbaju hitam itu cepat luar biasa.
Dengan tubuh berputar dan kedua tangan merentang, dicobanya membuka kepungan
orang-orang itu. Jerit pekik melengking terdengar saling sambut, disusul
tersuruknya beberapa tubuh bersimbah darah.
Kejadian yang begitu cepat dan tak terduga itu membuat Raden Glagah tersentak
kaget. Dalam sekejap mata saja, sudah enam orang anak buahnya terbujur tak
bernyawa. Raden Glagah langsung memerintahkan untuk menyerang.
"Serang...!"
Pertarungan tidak seimbang sulit dielakkan lagi Orang berbaju serba hitam itu
terkurung rapat, di antara kelebatan senjata tajam yang siap mengoyak tubuhnya.
Beberapa jurus berlalu cepat. Sedangkan orang berbaju hitam itu mulai kelihatan
kerepotan menghadapi serangan yang datang bagai gelombang. Serangan yang tiada
henti-hentinya, terus mengalir dari segala penjuru. Tidak ada kesempatan lagi
untuk meloloskan diri.
Beberapa kali pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya. Tapi sampai sejauh
itu, belum ada senjata yang menyentuh kulitnya. Sementara empat saudara
kepercayaan Raden Glagah sudah ikut terjun dalam kancah pertarungan. Hal ini
membuat orang berbaju hitam itu semakin kewalahan.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" tiba-tiba Naraka berteriak keras.
Bagaikan kilat, senjatanya berkelebat membabat ke arah dada. Orang berbaju hitam
itu mengegoskan tubuhnya ke kiri, maka tebasan Naraka pun luput dari sasaran.
Tapi belum juga sempat menarik kembali tubuhnya, datang lagi serangan dari
Balika. Dan kali ini tidak dapat dihindari lagi, meskipun telah berusaha
berkelit. "Akh!" orang berbaju hitam itu memekik tertahan.
Darah mengucur dari bahu kirinya. Pada saat tubuhnya limbung, satu tendangan
keras Carika membuatnya terjajar ke belakang. Pada saat itu, Mandaka dan Naraka
melompat bersamaan sambil menghunus senjata mereka.
Sudah dapat dipastikan kalau orang berbaju hitam yang dijuluki si Penyair Maut
itu akan tewas terhunjam dua senjata yang meluruk deras ke arahnya.
Tapi pada saat yang kritis itu, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat
bagai kilat. Bayangan itu langsung memapak serangan dua bersaudara tadi, dan
cepat menyambar tubuh si Penyair Maut. Begitu cepat gerakannya, sehingga sukar
diikuti pandangan mata.
Sekejap saja tubuh si Penyair Maut telah lenyap dari kepungan. Raden Glagah dan
empat orang bersaudara pengikut setianya jadi bengong.
"Cepat! Kejar...!" seru Raden Glagah begitu sadar dari keterkejutannya.
Naraka dan ketiga adiknya serentak melompat mengejar, diikuti anak buahnya yang
segera berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Sementara Raden Glagah
menggerutu karena orang yang selama ini telah banyak menewaskan anak buahnya
lolos pada saat maut sudah berada di depannya.
*** Saat itu, orang berbaju hitam yang dijuluki si Penyair Maut berusaha berontak
dari kepitan ketiak seorang laki-laki muda berbaju rompi putih. Namun pemuda itu
tidak mempedulikannya, dan terus berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga yang
terlihat hanya bayangan putih berkelebatan dari pohon ke pohon.
"Lepaskan...!" bentak orang berbaju hitam itu memberontak.
Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berbentuk kepala burung, berhenti
berlari setelah tiba di tengah hutan Bukit Halu. Segera dilepaskan kepitannya,
maka tubuh terbungkus baju hitam itu jatuh terguling di tanah.
Dia bersungut-sungut sambil bangkit berdiri.
"Kadal! Keparat kau!" umpat orang berbaju hitam itu menggerutu.
"Kau hampir saja mati, Kisanak," kata pemuda berbaju rompi putih itu kalem.
"Aku tidak butuh pertolonganmu!"
"Aku tahu, tapi kau hampir mati tadi."
"Huh! Siapa kau?"
"Namaku Rangga, dan dikenal dengan nama Pendekar Rajawali Sakti," pemuda berbaju
rompi putih itu memperkenalkan diri.
"Aku tidak kenal kau! Kenapa menolongku?" suara orang berbaju hitam itu masih
terdengar ketus.
"Akan kujelaskan jika kau mau membuka topengmu,"
sahut Rangga kalem.
Orang berbaju hitam itu tidak menyahut, malah mundur dua langkah ke belakang.
Dari balik kain yang menyelubungi kepala dan wajahnya, terlihat sinar mata yang
tajam penuh kecurigaan.
"Jangan coba-coba menipuku, Kisanak. Kau pasti orang suruhan Raden Glagah!" kata
orang berbaju hitam itu ketus.
"Aku tidak kenal dengan Raden Glagah! Aku
menolongmu dari maut hanya karena kebetulan lewat saja, kulihat kau butuh
pertolongan," kata Rangga masih kalem.
"Apa buktinya kalau kau bukan orang suruhan Raden Glagah?" nada suara orang itu
masih bernada curiga.
"Tidak ada bukti, tapi kau dapat mempercayai aku."
"Maaf, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu."
Setelah berkata demikian, orang berbaju hitam itu menggenjot tubuhnya. Tapi yang
terjadi adalah di luar dugaannya sama sekali. Dia malah terguling! Orang itu
buru-buru bangkit berdiri dan kelihatan terkejut.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja.
"Kau memang masih dapat bergerak dan bicara dalam keadaan sadar penuh, tapi
tidak bisa lagi menggunakan semua ilmumu," kata Rangga tetap tenang suaranya.
"Keparat! Apa yang kau lakukan padaku?" bentak orang itu geram.
"Hanya menotok pusat kekuatan tenaga dalammu saja,"
sahut Rangga tetap tenang.
"Bajingan...!" desis orang itu marah bukan main.
Dia tahu kalau tenaganya tidak ada lagi, dan benar-benar tidak punya daya sama
sekali. Pusat kekuatan tenaga dalamnya sudah tertotok. Totokan itu dapat terbuka
hanya jika dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu tenaga dalam sempurna. Tapi,
tidak banyak orang yang dapat memiliki ilmu totokan, mampu melumpuhkan tenaga
dalam seseorang.
Orang berbaju hitam itu mencoba menyalurkan hawa murni, tapi akhirnya malah
menggerutu. Dia tidak mampu lagi menyalurkan hawa murni. Rupanya bukan saja
pusat tenaga dalamnya yang tertotok, tapi juga pusat penyaluran hawa murni ikut
lumpuh. "Aku mengaku kalah, Kisanak. Tapi ini bukan berarti kemenangan buatmu!" kata
orang itu dengan menahan geram.
"Tidak ada yang menang ataupun kalah. Aku tahu, kau memiliki ilmu olah kanuragan
yang cukup tinggi, jadi terpaksa hanya dengan jalan itu dapat melumpuhkanmu.
Totokan biasa sangat mudah bagimu untuk membukanya kembali. Hawa murni yang
tersimpan di dalam tubuhmu sangat besar. Hanya karena kau kurang melatihnya,
sehingga belum berkembang," jelas Rangga.
"Heh! Kau tahu semua itu..."!" orang itu semakin
terkejut, dan tidak bisa disembunyikan lagi.
"Aku dapat merasakannya ketika kau meronta, mencoba melepaskan diri tadi," sahut
Rangga tetap kalem.
"Kau hebat, Kisanak. Kau pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi," puji orang itu
tulus. "Lumayan. Yang penting cukup untuk menjaga diri dari orang-orang yang suka pamer
kekuatan," sahut Rangga.
Orang berbaju hitam dan bertopeng dari kain hitam itu diam beberapa saat.
Tampaknya dia sedang berpikir keras dan menimbang-nimbang. Pelahan-lahan
tangannya terangkat ke atas kepala, lalu ditariknya tutup kepala yang
menyelubungi seluruh kepala dan wajahnya.
Rangga terkesiap begitu selubung kepala orang itu terbuka seluruhnya. Mulutnya
ternganga lebar, dengan mata tidak berkedip memandang. Sedangkan orang berbaju
hitam itu hanya berdiri tegak. Pandangannya lurus ke bola mata Pendekar Rajawali
Sakti. *** "Kau terkejut, Kisanak?"
"Aku tidak mengenalmu, tapi gambaran wajahmu serta bentuk tubuhmu pernah
kudengar," sahut Ranga datar.
"Aku memang Baruna, cucu tunggal Nek Selong," orang berbaju hitam itu mengakui
siapa dirinya sebenarnya.
"Hm..., ya aku ingat, kau bernama Baruna. Orang yang menceritakan tentang dirimu
pernah juga menyebut nama Baruna."
"Kau sudah tahu siapa diriku. Nah! Sekarang bebaskan aku," kata Baruna tegas.
"Untuk apa?"
"Urusan kita belum selesai, Kisanak. Malam ini juga kita harus bertarung sampai
salah satu di antara kita ada yang tewas. Dan yang pasti aku akan membunuhmu!"
"Kenapa?"
"Karena kau satu-satunya orang yang mengetahui siapa diriku yang sebenarnya!"
tegas jawaban Baruna.
"Baik, aku terima tantanganmu. Tapi kau harus
berjanji!" sahut Rangga juga tegas.
"Apa?"
"Mulai malam ini, jangan lagi menggunakan nama Penyair Maut!"
Orang berbaju hitam yang ternyata adalah Baruna itu langsung diam. Kembali dia
menatap tajam dan mencari sesuatu di dalam sinar mata Pendekar Rajawali Sakti
itu. Syarat yang diajukan Rangga sebenarnya tidak begitu berat. Tapi memang selama
ini Baruna menjadi manusia misterius yang selalu meminta korban nyawa dari
orang-orangnya Raden Glagah. Hanya saja tindakan yang berdasarkan dendam untuk
membalas kematian seluruh keluarganya itu telah menjerat orang yang tak bersalah
menjadi tertuduh.
"Aku tidak pernah menggunakan nama itu!" sahut Baruna.
"Semua orang tahu, kalau yang berkeliaran mencari korban nyawa adalah si Penyair
Maut. Bahkan Raden Glagah sendiri menyebutmu si Penyair Maut. Kau selalu
meninggalkan secarik daun lontar bertuliskan bait-bait syair bernoda darah."
Baruna kembali terdiam.
"Kenapa kau lakukan itu, Baruna?" tanya Rangga bernada mendesak.
"Apa pedulimu?" dengus Baruna.
"Tentu saja aku peduli, karena kau telah merugikan seseorang yang tidak berdosa
sama sekali! Bahkan kini nyawanya terancam!" sahut Rangga tegas.
"O.... Jadi kau muncul atas nama Kumbara si Penyair itu?"
"Benar!"
"Aku memang sengaja meninggalkan secarik daun lontar berisikan bait syair.
Memang ingin kualihkan perhatian mereka pada Kumbara, karena aku tahu dia tidak
ada lagi di desa ini."
"Kau salah, Baruna. Kumbara belum jauh
meninggalkan desa kelahirannya. Bahkan dia hampir mati
karena ulahmu yang menggunakan namanya!"
"Apa..."!" Baruna kelihatan terkejut.
"Orang-orang Raden Glagah hampir membunuhnya."
"Biadab! Benar-benar keparat mereka!" geram Baruna mendesis.
"Semua itu tidak akan pernah terjadi jika kau tidak menggunakan namanya. Aku
tidak berpikiran buruk tentang niatmu, tapi apa yang kau lakukan sangat tidak
terpuji bagiku. Kau ingin leluasa bergerak untuk menumpas orang-orang yang telah
membunuh keluargamu dengan menggunakan nama orang lain. Tapi kau tidak
menghiraukan akibatnya pada orang yang telah kau gunakan namanya untuk
kepentingan dirimu sendiri.
Hhh...! Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Baruna...," kata
Rangga panjang lebar.
Baruna hanya diam saja. Semua kata-kata yang keluar dari bibir Pendekar Rajawali
Sakti membuat Baruna diam membisu. Kata-kata itu sangat mengena di hatinya.
Baruna memang masih hijau dan belum berpengalaman dalam dunia kaum persilatan.
Selama ini dia hanya melakukan semua yang ada di kepalanya saja, tanpa
memikirkan akibatnya. Baruna mengakui kalau hanya mengikuti kata hatinya saja
yang terbalut dendam selama hidupnya.
Rangga melangkah menghampiri. Tangannya bergerak cepat menotok bagian perut,
tepat di bawah tali pusat Baruna. Seketika itu juga Baruna merasakan adanya
aliran hawa panas menyebar dari pusarnya. Pemuda kurus kerempeng itu sadar kalau
sekarang dia sudah kembali normal.
"Sebentar lagi pagi. Kau tidak pulang?" kata Rangga memecah kebisuan yang
terjadi cukup lama itu.
"Kisanak, kau tahu di mana Kumbara?" tanya Baruna tidak mempedulikan teguran
Rangga. "Untuk apa kau tanyakan itu?" Rangga juga balik bertanya.
"Aku harus meminta maaf padanya. Aku sadar, kalau
perbuatanku salah dan membahayakan dirinya. Sekarang aku bertanggung jawab atas
keselamatannya. Kau bersedia membawaku untuk menemuinya, Kisanak?"
"Dengan senang hati. Ayolah! Sebelum matahari benar-benar terbit."
"Terima kasih, Kisanak."
*** 7 Kumbara duduk diam tanpa berkata-kata, begitu mendengar pengakuan Baruna yang
gamblang dan penuh penyesalan. Saat ini dia tidak tahu apa yang ada di dalam
hatinya. Apalagi untuk menentukan sikapnya. Penuturan Baruna yang bernada penuh
penyesalan itu membuat Kumbara tersentuh hatinya.
"Aku menyesal, aku tidak pernah berpikir sampai ke situ, Kumbara," kata Baruna.


Pendekar Rajawali Sakti 20 Penyair Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hhh...!" Kumbara hanya menarik napas panjang saja.
Sementara itu Rangga hanya memperhatikan tanpa bicara sedikit pun, dan tidak
ingin mencampuri persoalan pribadi kedua orang itu. Dia sudah senang melihat
Baruna menyadari semua kesalahannya.
"Aku akan terus merasa berdosa jika kau tidak memaafkanku, Kumbara," kata Baruna
lagi. "Lupakan," desah Kumbara pelan.
"Kau memaafkan aku, Kumbara?"
Kumbara tersenyum, kemudian bangkit menghampiri Baruna. Sesaat dipandangi pemuda
kurus kerempeng itu, lalu dipeluknya dengan erat penuh haru. Baruna tersentak
sejenak, kemudian melingkarkan tangannya memeluk Kumbara. Saat itu Pendekar
Rajawali Sakti menarik napas lega dan tersenyum lebar.
Agak lama juga mereka saling berpelukan, kemudian sama-sama melepaskan diri.
Beberapa saat masih belum ada yang bicara, hanya sinar mata mereka saja yang
banyak mengeluarkan kata-kata. Kumbara kembali
melangkah mundur dan duduk di tempatnya semula, pada sebatang pohon besar yang
tumbang. Sedangkan Baruna juga duduk di atas sebongkah batu.
"Aku tahu, siapa-siapa saja yang selalu mengusir dan mencaci-maki aku. Aku juga
tahu kalau mereka berbuat begitu bukan dari hati nurani sendiri," kata Kumbara
setelah lama terdiam.
"Benar! Mereka berbuat begitu untuk menunjukkan kesetiaan pada Raden Glagah.
Mereka tidak akan membencimu lagi jika Raden Glagah terusir dari Desa Komering
Ilir," sambung Baruna.
"Kau sudah melakukannya, Baruna."
"Tapi aku tidak mampu menghadapinya seorang diri.
Mereka begitu kuat, dan banyak jumlahnya," Baruna mengakui terus terang.
"Kau sudah banyak berbuat, dan jumlah mereka pun sudah berkurang!" selak Rangga
ikut campur. "Hanya orang-orang yang tidak berguna saja. Aku belum mampu menghadapi
biangnya," Baruna mengakui dengan jujur.
Kembali mereka semua terdiam. Agak lama juga mereka tidak ada yang membuka
suara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Rangga bangkit berdiri dan
melayangkan pandangannya ke arah Desa Komering Ilir.
Sebenarnya dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. Tapi melihat keadaan dua orang
pemuda yang tampak tidak berdaya menghadapi mereka yang telah membuatnya
sengsara, hatinya tidak mungkin berdiam diri begitu saja.
"Aku akan membantu kalian," kata Rangga tanpa membalikkan tubuhnya.
"Oh! Benarkah...?" seru Baruna gembira.
Rangga berbalik dan mengangguk. Bibirnya
menyunggingkan senyuman. Wajah Baruna dan Kumbara jadi cerah. Lebih-lebih Baruna
yang mengerti ilmu olah kanuragan. Dia tahu betul kalau Pendekar Rajawali Sakti
memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Sudah dirasakan sebagian ilmu olah
kanuragan pendekar muda itu.
"Aku bersedia setiap saat!" sahut Baruna tegas.
"Bagaimana denganmu, Kumbara?" tanya Rangga tanpa bermaksud mengecilkan
kehadiran Kumbara.
"Yaaah..., paling-paling aku hanya bisa jadi penonton,"
sahut Kumbara tanpa merasa berkecil hati.
"Kau bisa melakukan sesuatu, Kumbara," kata Baruna.
"Apa yang bisa aku lakukan?"
"Kau temui Ki Ampar. Aku tahu kalau Ki Ampar tidak pernah membencimu. Katakan
padanya kalau aku dan Pendekar Rajawali Sakti akan memporak-porandakan kejayaan
Raden Glagah. Katakan pada Ki Ampar agar secepatnya menyusun kekuatan untuk
membantu kami,"
kata Baruna memberi tugas.
"Tugasmu kelihatannya lebih berat, Kumbara," selak Rangga.
"Benar, karena kau pasti sulit meyakinkan penduduk,"
sambung Baruna.
"Aku akan coba!" sahut Kumbara bersemangat.
"Bagus!" sambut Rangga tersenyum senang.
"Kapan kita mulai?" tanya Kumbara.
"Sebaiknya besok saja. Akan kuselidiki dulu kekuatan mereka," sahut Baruna.
"Sampai sekarang mereka belum tahu siapa Penyair Maut yang sebenarnya. Dengan
demikian aku bisa bebas berkeliaran tanpa ada seorang pun yang mencurigai."
"Kutunggu beritamu besok," kata Rangga.
"Kalau begitu, aku kembali dulu. Matahari sudah terbit.
Nenekku pasti sudah gelisah," kata Baruna pamitan.
"Sampai besok, Baruna!" kata Kumbara.
"Kita pasti bisa membebaskan Komering Ilir dari tangan jahat!" sambut Baruna
yakin. "Tentu."
*** Sementara itu, Nek Selong yang tidak tidur semalaman semakin gelisah karena
cucunya belum juga pulang pagi begini. Perempuan tua itu membuka pintu rumahnya,
dan seketika matanya membeliak lebar. Di depan rumahnya sudah berdiri Raden Glagah,
empat saudara pengikut setianya, dan puluhan orang bersenjata golok.
"Nek Selong, apa cucumu ada di rumah?" tanya Naraka dengan suara yang berat dan
kasar. "Oh..., eh...," Nek Selong tergagap, tidak dapat segera menjawab.
"Jawab, Nek Selong! Di mana Baruna!" bentak Carika.
"Dia..., dia...," Nek Selong mulai menyadari keadaan.
Dia jadi cemas karena Raden Glagah dan orang-orangnya langsung menanyakan
Baruna. "Dia tidak ada di rumah, bukan" Di mana"!" bentak Naraka lagi.
"Men..., mencari kayu di hutan," jawab Nek Selong.
"Pagi-pagi begini" Aku lihat kayu bakarmu masih banyak," Naraka tidak percaya.
Nek Selong tidak dapat memberi alasan lagi. Baruna memang tidak ada di rumah
sejak semalam. Perasaan cemas mulai menjalari seluruh tubuhnya. Perempuan tua
itu menyadari keadaannya. Perlahan-lahan ketenangan menjalari dirinya. Dia harus
siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Karman...!" seru Naraka keras.
Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun datang terbungkuk-bungkuk.
"Katakan pada perempuan tua ini, apa yang kau lihat semalam!" tegas Naraka.
"Ampun, Gusti. Hamba.... melihat Baruna keluar dari rumah membawa bungkusan kain
hitam, kemudian pergi ke dalam hutan. Hamba..., hamba mengikuti. Di sana dia
mengganti pakaiannya, lalu kembali lagi ke desa dengan cepat. Selanjutnya hamba
tidak tahu lagi, Gusti," kata Karman takut-takut.
Nek Selong menatap laki-laki tua tetangganya itu.
Hatinya bergolak dan darahnya mendidih mendengar penuturan Karman. Memang sudah
diduga kalau cucunyalah yang selama ini membuat keresahan di dalam
lingkungan kekuasaan Raden Glagah.
"Hhh...! Ternyata cucumu punya kebolehan juga, Nek Selong," kata Raden Glagah
sinis. "Ampun, Raden. Hamba tidak tahu...," kata Nek Selong masih berusaha menutupi.
"Setahu hamba, Baruna tidak pemah belajar ilmu olah kanuragan."
"Oh, ya" Lalu apa tujuanmu membawa Baruna setiap malam ke dalam hutan, lalu
kembali menjelang fajar?"
tetap sinis nada suara Raden Glagah.
Nek Selong tidak dapat menjawab. Terkejut juga dia mendengar kata-kata Raden
Glagah. Sungguh tidak disangka kalau selama ini semua yang dilakukannya selalu
mendapat perhatian dari Raden Glagah. Nek Selong masih bersikap waspada meskipun
kelihatannya ketakutan setengah mati. Namun sinar matanya sudah tajam, lebihlebih memandang Karman.
"Awas kepala, Nek Selong...!" tiba-tiba Naraka membentak keras.
Seketika itu juga dicabut senjatanya dan dikibaskannya cepat ke arah kepala Nek
Selong. Sesaat perempuan tua itu terkesiap. Dengan gerakan sedikit, ditarik
kepalanya ke belakang. Tebasan Naraka lewat di depan wajahnya.
"Bagus...!" dengus Raden Glagah. "Rupanya kau punya isi juga, perempuan tua!"
Nek Selong mengumpat dalam hati. Rupanya serangan Naraka hanya bersifat mencoba
saja. Nek Selong menyadari kalau kedoknya sudah terbuka sekarang. Tiba-tiba saja
perempuan tua itu melesat ke atas, dan menjebol atap rumahnya.
"Hiyaaa...!"
Raden Glagah langsung melentingkan tubuhnya ke atas, dan cepat mengirimkan dua
pukulan beruntun. Nek Selong memutar tubuhnya menghindari pukulan yang
mengandung tenaga dalam sangat tinggi itu, kemudian dengan manis mendarat di
tanah, tepat pada lingkaran orang-orang Raden Glagah. Pada saat yang sama, Raden
Glagah juga mendarat dengan manis.
"Tidak kusangka! Ternyata di daerah kekuasaanku ada tikus yang menggerogoti
lumbungku," kata Raden Glagah sinis.
"Kau yang menggerogoti lumbung kami, perampok busuk!" dengus Nek Selong tidak
lagi berbasa-basi.
"Ha ha ha...!" Raden Glagah tertawa terbahak bahak.
"Biarkan kami yang membereskan perempuan tua laknat itu, Raden," kata Naraka.
"Hm...," Raden Glagah bergumam, kemudian melangkah mundur dua tindak.
Naraka dan ketiga adiknya melompat ke depan. Empat bersaudara itu segera
mengepung dari empat jurusan. Nek Selong memutar tubuhnya perlahan-lahan.
Matanya tajam menatap satu-persatu orang yang mengepungnya.
Gerahamnya bergemeletuk saat matanya menatap Karman.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Nek Selong berteriak keras, dan tangannya bergerak cepat mengebut
ke arah Karman.
Sebuah pisau kecil keperakan melesat cepat bagaikan kilat. Pisau itu tidak
terbendung lagi, kontan menghunjam dada Karman.
"Aaa...!" Karman memekik keras.
Belum sempat semua orang menyadari, tahu-tahu Nek Selong sudah melompat
menerjang Naraka. Tentu saja Naraka terkesiap. Namun dengan cepat dia melompat
mundur ke belakang sambil mengibaskan senjatanya ke depan. Nek Selong
melentingkan tubuhnya sambil mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah Carika.
"Hup!"
Carika membanting tubuhnya ke tanah, dan kakinya terangkat mengirimkan satu
tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Nek Selong kembali melentingkan
tubuhnya. Kali ini yang jadi sasaran adalah Mandaka. Tapi belum sempat menerjang saudara
bungsu itu, Naraka sudah melompat sambil mengibaskan senjatanya.
"Hyaaa...!"
"Uts!"
Nek Selong mengurungkan serangannya. Diputar tubuhnya menghindari tebasan
senjata Naraka. Dan begitu kakinya menjejak tanah, satu serangan cepat
dilancarkan ke arah dada Naraka. Namun pada saat itu, Balika menerjang sambil
mengayunkan senjatanya. Nek Selong segera menarik serangannya pada Naraka, dan
memutar tubuhnya memapak serangan Balika.
Pada saat itu, Carika melompat sambil mengibaskan goloknya ke arah pinggang. Nek
Selong tidak mampu lagi berkelit. Senjata Carika merobek pinggangnya cukup
lebar. Darah pun mengucur tanpa dapat dibendung lagi. Nek Selong terhuyung-huyung
dengan tangan kanan menekap luka pada pinggangnya.
"Huh!" Nek Selong mendengus.
"Ha ha ha...!" Raden Glagah tertawa terbahak-bahak.
Pada saat itu, hampir seluruh penduduk Desa Komering Ilir sudah berkerumun pada
jarak yang cukup jauh.
Mereka ingin menyaksikan Nek Selong mempertahankan nyawanya dari orang-orang
Raden Glagah. Tak dapat dikatakan, bagaimana air muka mereka pada saat itu. Tapi
Ki Ampar yang berada di antara mereka, memandang Nek Selong dengan sinar mata
penuh iba dan hati bergetar.
*** "Bunuh dia!" seru Raden Glagah keras.
Seketika itu juga empat bersaudara berlompatan menyerang Nek Selong dari empat
arah. Perempuan tua itu memutar tubuhnya cepat. Kedua tangannya terentang lebar. Dan
pada tangannya terlihat seberkas cahaya keperakan. Nek Selong memutar tubuhnya
cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya yang berputar bagai
gasing. Trang! Trang! Terdengar senjata beradu. Tampak Naraka dan Carika terpental. Sedangkan Balika
dan Mandaka serempak melompat mundur. Naraka dan Carika terperanjat begitu
melihat senjatanya terpenggal jadi dua bagian. Sementara
Nek Selong sudah berdiri tegak. Tangan kanan dan kirinya menggenggam pedang
pendek berwarna keperakan.
Pedangnya sangat tipis, dan bentuk serta ukurannya serupa seperti yang dimiliki
Baruna. "Setan belang! Kau tangguh juga rupanya, perempuan edan!" geram Raden Glagah.
"Hhh...!" Nek Selong hanya mendengus saja.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Raden Glagah tidak bisa lagi menyimpan
kemarahannya. Bagaikan kilat, diterjangnya perempuan tua itu sambil menghunus
pedangnya. Nek Selong mengangkat senjatanya memapak tusukan pedang Raden Glagah,
sedangkan senjata di tangan kirinya ditusuk ke arah perut.
Raden Glagah menggenjot tubuhnya ke atas, dengan pedangnya dibenturkan pada
senjata di tangan Nek Selong.
Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, kaki Raden Glagah berputar cepat ke
arah dada. Nek Selong terkesiap sesaat. Buru-buru ditarik mundur tubuhnya. Namun
Raden Glagah malah berputar di udara, dan tangan kirinya menghajar punggung Nek
Selong. "Akh!" Nek Selong memekik tertahan.
Tubuhnya terdorong keras ke depan. Tepat pada saat itu, Mandaka melompat sambil
menusukkan senjatanya ke depan. Saat itu Nek Selong tidak mungkin lagi bisa
berkelit. Ujung senjata Mandaka kontan menancap di dadanya hingga tembus ke
punggung. Nek Selong menjerit melengking tinggi. Tapi pada saat yang sama,
ditusukkan pedang tipisnya ke tubuh Mandaka sebelum orang itu sempat melompat
mundur. "Aaa...!" Mandaka menjerit melengking.
Sesaat dua orang itu masih berdiri tegak dengan tangan memegangi tangkai senjata
masing-masing yang terbenam di tubuh lawan masing-masing. Dengan sisa tenaganya,
Nek Selong mengayunkan senjata yang sebuah lagi dan ditancapkan ke leher
Mandaka. Beberapa saat kemudian, tubuh mereka ambruk dan
menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari tubuh yang tertancap senjata
lawan masing-masing.
Naraka dan kedua adiknya terkejut melihat saudara bungsu mereka tewas bersama
dengan Nek Selong. Kalau saja Raden Glagah tidak segera mencegah, mungkin tubuh
Nek Selong hancur kena amukan tiga bersaudara itu.
Mereka hanya bisa memandang dengan sinar mata sukar diartikan dengan kata-kata.
"Tinggalkan tempat ini!" perintah Raden Glagah.
Dua orang bergegas menggotong tubuh Mandaka.
Raden Glagah melompat ke punggung kudanya yang dibawa seorang anak buahnya. Tiga
bersaudara pengikut setianya juga segera naik ke punggung kudanya masing-masing.
Tanpa ada yang berkata-kata, segera ditinggalkan tempat itu. Membiarkan saja
tubuh Nek Selong menggeletak tidak bernyawa lagi.
Pada saat itu, dari kerumunan orang-orang, melesat sesosok tubuh hitam yang
langsung menyambar tubuh Nek Selong. Begitu cepatnya melesat, sehingga tidak ada
yang menyadari kalau tubuh Nek Selong sudah lenyap dari pandangan mata.
Rombongan Raden Glagah yang belum jauh meninggalkan tempat itu, juga sempat
melongo. "Setan belang...!" geram Raden Glagah yang menyaksikan kejadian itu.
"Dia pasti Baruna!" dengus Naraka.
"Kejar! Bunuh keparat itu!" perintah Raden Glagah.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Naraka dan kedua adiknya segera menggebah
kudanya ke arah bayangan hitam itu melesat pergi sambil membawa Nek Selong yang
sudah tidak bernyawa lagi. Dua puluh orang bersenjata golok, mengikutinya dari
belakang. Sedangkan Raden Glagah segera memacu kudanya kembali menuju ke
istananya. Masih ada sekitar tiga puluh orang lagi pengikutnya yang kini
bersamanya kembali ke satu-satunya bangunan besar di Desa Komering Ilir.
Para penduduk Desa Komering Ilir segera masuk kembali ke dalam rumah mereka
masing-masing. Sementara Ki Ampar dan beberapa orang tua serta sebagian anak mudah masih tetap
berkumpul. Ki Ampar berkata sesuatu dengan singkat. Kemudian, mereka yang
berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu, bergegas berjalan mengikuti Ki
Ampar. Entah apa yang mereka rencanakan...
***

Pendekar Rajawali Sakti 20 Penyair Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

8 Rangga dan Kumbara terkejut melihat Baruna datang tiba-tiba. Tangannya membopong
seseorang yang berlumuran darah dengan golok tertanam dalam di dadanya. Baruna
langsung jatuh berlutut begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti dan si
Penyair itu. Tubuh di dalam pondongannya jatuh menggeletak di depannya.
"Nek Selong...!" seru Kumbara tersentak begitu mengenali perempuan tua yang
jatuh dari pondongan Baruna.
"Apa yang terjadi?" tanya Rangga.
"Mereka mengeroyok nenekku...," sahut Baruna tersendat.
"Biadab!" desis Kumbara.
"Aku memang yang salah, tidak mendengar
peringatannya. Nenek sudah memperingatkan aku...,"
rintih Baruna lirih. "Maafkan aku, Nek...."
"Baruna, tidak ada gunanya kau menangis. Nenekmu tidak akan kembali lagi dengan
hanya menangis," kata Rangga mencoba menghibur.
"Semua kesalahanku, Rangga. Aku yang bersalah...!"
"Tidak, Baruna! Kau tidak bersalah. Kau tengah berjuang, dan perjuangan itu
membutuhkan korban.
Nenekmu meninggal karena mendukung perjuanganmu.
Seharusnya kau bangga, bukan malah menangisinya macam anak kecil," kata Rangga
membangkitkan semangat pemuda itu kembali.
"Oh, Nek..."
"Hapus air matamu, Baruna. Kita harus menguburkan dulu nenekmu, kemudian
menghancurkan Raden Glagah,"
kata Rangga lagi.
"Mereka memang harus dihancurkan! Mereka harus menebus kematian nenekku!" kata
Baruna menggeram marah.
"Jangan nodai kesucian perjuanganmu dengan dendam, Baruna. Tekadkan dirimu untuk
membela kebenaran dan keadilan. Singkirkanlah kemarahan dan dendam dari hatimu.
Perjuanganmu suci, dan Yang Maha Kuasa akan merestui perjuanganmu. Tidak
sepantasnya perjuangan ini kau nodai dengan api dendam dan amarah," kata-kata
Rangga meluncur bagai air yang menyejukkan hati yang panas.
"Rangga..., begitu luhur jiwamu," desah Baruna.
"Bangkitlah. Tekadkan kembali hatimu dalam perjuangan yang suci," kata Rangga
lagi membangkitkan semangat pemuda itu.
"Maafkan aku, Rangga."
"Ah, sudahlah. Mari kita kuburkan nenekmu."
Baruna kembali bangkit berdiri sambil mengangkat tubuh neneknya tercinta.
Sementara Kumbara dan Rangga melangkah mendekati sebuah pohon yang cukup besar
dan rindang. Mereka kemudian menggali lubang di bawah pohon itu. Baruna
meletakkan neneknya di tempat yang teduh, kemudian membantu kedua sahabatnya itu
menggali lubang untuk peristirahatan neneknya yang terakhir. Mereka bekerja
tanpa berkata-kata. Lebih-lebih Baruna. Sepertinya dia tidak pernah merasa
lelah, dan terus menggali sampai mendapatkan kedalaman yang cukup.
Mereka mengubur Nek Selong dengan khidmat dan penuh haru. Tak ada yang membuka
suara sedikit pun.
Sementara cahaya matahari terasa redup, seolah-olah turut berduka atas kematian
perempuan tua yang malang, demi membela cucu satu-satunya. Sampai selesai mereka
menguburkan Nek Selong, masih tidak ada yang membuka
suara. Baruna terlihat berdiri kaku di samping pusara yang masih baru itu.
Pandangannya tidak berkedip menatap batu nisan.
"Aku janji, pengorbanan ini tidak akan sia-sia," kata Baruna mendesis pelan.
"Baruna...!" tiba-tiba Rangga menyentuh bahunya.
Baruna menoleh, lalu kepalanya dimiringkan sedikit ke kiri. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti memandang lurus ke arah barat. Sementara Kumbara hanya
memperhartikan saja dengan sinar mata tidak mengerti.
"Itu pasti mereka!" desis Baruna.
"Tunggu saja di sini," kata Rangga.
"Bagaimana dengan aku?" tanya Kumbara.
Mereka seperti baru teringat kalau Kumbara tidak mengerti ilmu olah kanuragan
sama sekali. Sesaat Baruna dan Rangga saling berpandangan. Dan belum lagi mereka
mendapatkan kata sepakat, dari arah barat muncul beberapa orang berkuda yang
langsung menuju ke tempat itu.
*** "Mau apa kalian datang ke sini?" bentak Baruna begitu Naraka, Carika, Balika,
serta beberapa orang pengikutnya sudah dekat di depannya.
"Jangan berlagak bodoh, Baruna. Aku tahu kau adalah si Penyair Maut yang telah
meresahkan seluruh penduduk Desa Komering Ilir!" bentak Naraka.
"Kalian yang telah membuat sengsara seluruh penduduk desa! Kalian perampok!
Seharusnya kalian yang enyah dari Desa Komering Ilir!" balas Baruna sengit.
"Ha ha ha...!" Naraka tertawa terbahak-bahak.
"Gembel busuk sudah berani bertingkah!" dengus Carika.
"Hajar mereka!" perintah Balika.
Puluhan orang yang berada di belakang tiga bersaudara itu langsung melompat dari
punggung kudanya masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera
menyerang dengan senjata terhunus. Baruna tidak lagi berlaku sungkan-sungkan.
Langsung dikeluarkan senjatanya berupa pedang pendek kembar tipis, yang selalu
tersembunyi di balik lengan bajunya.
Baruna mengamuk bagaikan banteng terluka.
Pedangnya berkelebatan cepat menyambar setiap orang yang mendekatinya. Sementara
Rangga tidak luput dari serangan orang-orang itu. Dia bertarung sambil
melindungi Kumbara yang tidak bisa berbuat apa-apa. Pekik pertempuran bergema
ditingkahi dengan jerit kematian saling susul. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan
bersimbah darah.
Tiga saudara yang menyaksikan orang-orangnya tidak akan mampu menghadapi dua
orang yang memiliki kepandaian tinggi itu langsung melompat turun dalam kancah
pertempuran. Naraka dan Carika mengeroyok Baruna, sedangkan Balika menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hmmm..., aku harus selalu mendekati Kumbara.
Kelihatannya dia memang tidak bisa ilmu olah kanuragan,"
gumam Balika yang mulai mendapatkan titik kelemahan lawannya.
Balika segera mengarahkan serangannya ke arah Kumbara yang selalu berada di
belakang Rangga. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti terpecah
perhatiannya. Di satu pihak harus menghadang setiap gempuran penyerangnya,
sedangkan di pihak lain harus melindungi Kumbara dari serangan Balika.
"Hhh! Rupanya dia tahu kalau Kumbara tidak bisa bertarung," dengus Rangga dalam
hati. Sret! Rangga terpaksa mencabut pedang pusakanya. Seketika itu juga seberkas cahaya
biru terpancar terang membuat semua orang yang mengurungnya terpana. Demikian
juga dengan Balika. Sesaat dia tidak berbuat apa-apa, melihat pamor pedang yang
begitu dahsyat dan dapat memancarkan cahaya biru berkilau menyilaukan mata.
"Yaaat...!"
Sambil berteriak keras melengking, Rangga cepat mengibaskan pedangnya ke kanan
dan ke kiri. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana. Hanya sekali kibas
saja, lima orang menggeletak roboh tak bernyawa. Balika tersentak kaget. Buruburu dia melompat mundur tiga tindak. Rangga menyilangkan pedangnya di depan
dada. Dengan pedang Rajawali Sakti di tangan, Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan
malaikat pencabut nyawa yang siap mengantarkan nyawa siapa saja ke neraka.
Cahaya terang yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti rupanya
berpengaruh juga pada pertarungan Baruna. Mereka semua segera menghentikan
pertarungannya, dan memandang Rangga dengan mata tidak berkedip. Hati mereka
mendadak jadi bergetar melihat pamor pedang di tangan Rangga.
"Hup!"
Kesempatan ini dipergunakan Baruna untuk melompat ke samping Rangga. Dia memang
sudah kewalahan menghadapi sekian banyak orang ditambah Naraka dan Carika yang
memiliki ilmu cukup tinggi tingkatannya.
*** "Cepat, tinggalkan tempat ini! Sebelum berubah pikiranku!" bentak Rangga.
Suaranya dingin menggetarkan.
Tiga bersaudara yang sudah berdiri berdampingan, saling berpandangan. Hati
mereka merasa ciut juga melihat pamor pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Betapa tidak" Hanya satu kali gerakan tangan saja, lima orang kontan menggeletak
tak bernyawa lagi. Dan cahaya pedang itu membuat mereka harus berpikir seribu
kali untuk menghadapinya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ketiga saudara itu melompat naik ke punggung kudanya
masing-masing. Namun mereka belum juga menggebah kudanya.
Sementara orang-orang yang masih hidup, mulai bergerak
mundur mendekati kudanya masing-masing. Hampir separuh dari mereka telah tewas
dengan tubuh bersimbah darah.
"Kali ini kalian boleh menang, tapi aku belum kalah!"
kata Naraka lantang.
Cring! Rangga memasukkan kembali pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Seketika
itu juga cahaya biru lenyap dari pandangan mata. Namun sikap Pendekar Rajawali
Sakti itu masih kelihatan angker.
"Dan kau, Kisanak!" Naraka menunjuk Rangga. "Kau berhutang banyak nyawa!"
"Aku Pendekar Rajawali Sakti, akan datang mengusir majikanmu!" kata Rangga
lantang. Naraka memutar kudanya, diikuti kedua saudaranya.
Pada saat ketiga bersaudara itu menggebah kudanya, sisa pengikutnya segera
melompat naik ke punggung kudanya masing-masing, kemudian melarikannya cepat.
Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Di sampingnya Baruna dan Kumbara. Mereka
memandangi kepergian orang-orang itu dengan mata tidak berkedip.
"Kenapa kau biarkan mereka pergi, Rangga?" tanya Baruna, setelah ketiga
bersaudara dan anak buahnya tidak terlihat lagi.
"Mereka hanya kroco. Yang kita inginkan biangnya!"
sahut Rangga tegas.
"Tapi mereka yang kejam. Terutama si Naraka itu!"
balas Kumbara. "Mereka berbuat kejam karena ada yang memerintah.
Orang yang memerintah itulah yang harus dicari."
"Raden Glagah terlalu tangguh, Rangga," nada suara Baruna terdengar mengeluh.
"Aku yang akan menghadapinya. Orang yang tangguh tidak akan bersembunyi di balik
ketiak orang lain!
Percayalah! Raden Glagah tidak setangguh yang kalian duga," balas Rangga
meyakinkan. "Terserah kau, Rangga. Aku masih sanggup menghadapi
tiga bersaudara itu, tapi kalau menghadapi Raden Glagah..., rasanya belum
mampu," Baruna mengakui jujur.
"Kita lihat saja nanti, siapa yang unggul."
"Aku percaya, kau pasti mampu menandingi Raden Glagah. Senjatamu sangat dahsyat!
Kau pasti seorang pendekar yang sangat tangguh dan digdaya. Aku percaya padamu,
Rangga," kata Baruna.
"Terima kasih," ucap Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan langkahnya.
Kumbara dan Baruna mengikuti, dan mensejajarkan langkah di samping Rangga. Tak
ada lagi yang bicara.
Mereka tahu kalau arah yang dituju kini adalah Desa Komering Ilir. Hanya Kumbara
yang kelihatannya gelisah.
Dia sadar kalau akan menghadapi satu bahaya yang tidak pernah terbayangkan
selama hidupnya.
"Kita ke Desa Komering Ilir?" tanya Kumbara agak bergetar suaranya. Dia tahu,
tapi masih juga bertanya.
"Ya," sahut Rangga seraya menoleh.
"Kenapa, Kumbara?" tanya Baruna.
"Tidak apa-apa," sahut Kumbara cepat-cepat.
"Kau tidak perlu ikut bertarung, Kumbara. Kau cukup menunggu saja di rumah Ki
Ampar," kata Rangga tanpa bermaksud mengecilkan arti pemuda penyair itu.
"Aku memang tidak bisa apa-apa," pelan suara Kumbara.
Belum juga Rangga membuka suara kembali, muncul Ki Ampar dan tiga puluh orang
laki-laki. Mereka semuanya menunggang kuda. Rangga, Baruna, dan Kumbara
menghentikan langkahnya. Ki Ampar segera turun dari kudanya begitu tiba di depan
ketiga orang itu. Laki-laki tua itu membungkuk memberi hormat.
"Mereka melipatgandakan penjagaan, Den Rangga," kata Ki Ampar memberitahu tanpa
diminta. "Hm. Kalau begitu aku akan membuka jalan lebih dulu," kata Rangga.
"Aku ikut!" seru Baruna.
"Baiklah," Rangga tidak bisa menolak. "Tolong, Ki.
Jangan sampai mereka mengambil kesempatan mendekati Kumbara."
"Jangan khawatir, Den," sahut Ki Ampar.
Saat itu juga, Rangga melesat cepat bagaikan kilat.
Baruna tidak mau ketinggalan. Langsung dilentingkan tubuhnya mengejar Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Sedangkan Ki Ampar memerintahkan penduduk desanya yang tidak menyukai Raden
Glagah untuk segera mengikuti kedua orang pendekar itu. Dia kemudian membawa
Kumbara ke desa melalui jalan lain.
*** Siang itu udara sangat panas, sepanas suasana di sebuah bangunan besar bagai
istana di Desa Komering Ilir.
Rangga mengamuk dengan pedang Rajawali Sakti di tangan. Cahaya biru berkelebatan
cepat menyambar setiap orang yang coba-coba mendekatinya. Sementara Baruna
menghadapi pengeroyoknya tidak kalah ganas.
Jerit dan pekik kematian berbaur menjadi satu dengan suara denting senjata
beradu. Teriakan-teriakan keras pertempuran membahana. Api yang lama terpendam
di Desa Komering Ilir, hari ini berkobar menyala. Desa yang semula tenang, kini
bersimbah darah dari orang-orang serakah dan haus akan kedudukan serta harta
benda dunia. Rangga melentingkan tubuhnya ketika melihat tiga bersaudara tengah
mengeroyok Baruna. Dan pada saat itu, Ki Ampar bersama penduduk Desa Komering
Ilir yang merasa tidak senang terhadap tingkah perbuatan Raden Glagah dan
pengikutnya, datang menyerbu. Mereka langsung terjun dalam kancah pertempuran
membawa senjata bermacam ragam.
Naraka dan kedua adiknya terkejut, tapi tidak bisa berbuat banyak karena
Pendekar Rajawali Sakti sudah menerjangnya. Mereka jumpalitan menghindari
kibasan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau itu.
Sedangkan Baruna semakin bersemangat, bertempur bagai singa terluka.
"Aaa...!" Balika menjerit keras ketika pedang Rangga membabat buntung tangannya.
Belum lagi Balika sempat melompat mundur, satu tendangan keras bertenaga dalam
penuh menghunjam dadanya. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh, dan langsung
disambut oleh beberapa penduduk yang segera mencincangnya. Kematian Balika yang
begitu tragis, membuat Naraka dan Carika semakin bergetar hatinya.
"Rangga! Biar mereka bagianku!" kata Baruna seraya melompat menerjang Naraka dan
Carika. Rangga tidak dapat lagi mencegah. Dimasukkan kembali pedang pusakanya. Matanya
tajam meneliti setiap orang yang tengah bertempur di halaman depan rumah besar
ini. Tatapan matanya tertumbuk pada seorang laki-laki berbaju putih yang melesat
cepat ke atas atap.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti itu cepat melesat, dan hinggap dengan manis di atas
atap. Laki-laki berwajah tampan mengenakan baju putih bersih itu terkesiap.
"Mau pergi ke mana, Raden Glagah?" tanya Rangga dingin suaranya.
"Phuih! Kau pikir aku takut menghadapimu?" dengus Raden Glagah seraya
menyemburkan ludahnya.
"Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab atas segala perbuatanmu," kata Rangga
lagi. "Aku belum kalah!"
"Lihat! Semua penduduk tidak ada lagi yang mendukungmu. Dan orang-orangmu tidak
ada lagi yang bisa diandalkan. Mereka akan mampus jika tidak kau perintahkan
mereka untuk berhenti melawan."
"Biarkan mereka mampus semua, aku tidak peduli!"
"Kau terlalu tamak, Raden Glagah. Sadarlah, kejayaanmu sudah berakhir. Penduduk
yang kau tekan selama ini, akan menentukan hukuman buatmu."
"Jangan coba-coba mengguruiku, gembel busuk!
Hiyaaa...!"
Raden Glagah segera melompat menerjang Pendekar
Rajawali Sakti. Pada saat itu, Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.
Pukulan bertenaga dalam yang dilepaskan Raden Glagah lewat sedikit di samping
tubuh Rangga. Secepat itu pula, tangan Rangga menyodok ke arah perut.


Pendekar Rajawali Sakti 20 Penyair Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hup!"
Plak! Raden Glagah menangkis sodokan itu dengan tangan kirinya, kemudian langsung
memberikan satu tendangan menyamping yang keras dan cepat. Rangga mengibaskan
tangannya menghalau tendangan itu ke samping, dan cepat mengangkat lututnya.
"Hugh!" Raden Glagah tidak bisa lagi menghindari hantaman lutut Pendekar
Rajawali Sakti. Dia mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk sedikit.
Pada saat itu pula Rangga melayangkan pukulan keras ke wajah Raden Glagah.
Pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam itu tidak bisa lagi dihindari.
Raden Glagah memekik keras, dan kepalanya terdongak ke atas.
Namun dengan cepat dia melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Darah mengucur
dari pelipis yang sobek. Dari mulutnya keluar darah segar. Raden Glagah menyeka
darah yang mengalir dari mulutnya. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke
bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih!"
Sret! Raden Glagah mencabut pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. Digerakgerakkan pedangnya di depan dada, kemudian dia berteriak keras sambil melompat
menerjang. Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari tusukan pedang Raden
Glagah. Tangan kirinya cepat menghentak ke depan.
Plak! Raden Glagah kembali memekik keras begitu tangan kiri Rangga menghantam
pergelangan tangannya. Buru-buru
ditarik kembali pedangnya. Tapi belum juga benar-benar menarik pulang
senjatanya, Rangga mengangkat tangan kanannya, dan menjepit pedang itu dengan
dua jari. "Hih!"
Raden Glagah berusaha mencabut pedangnya dari jepitan jari tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Namun meskipun telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya,
pedangnya tidak bergeming sedikit pun. Seluruh paras wajahnya memerah, karena
seluruh tenaga dalamnya telah dikerahkan sampai batas kemampuan yang dimilikinya.
"Hiya...!"
Rangga menghentakkan tangan kanan sambil membuka jepitannya. Raden Glagah
tersentak kaget, dan tubuhnya terdorong keras ke belakang. Tanpa dapat dicegah
lagi, Raden Glagah meluruk deras ke bawah. Saat itu juga Rangga melesat
mengejar, dan kakinya bergerak cepat menghantam dada laki-laki yang masih
kelihatan muda itu."Akh!" Raden Glagah menjerit keras.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Raden Glagah menghantam tanah dengan keras.
Beberapa kali dia bergulingan, lalu cepat-cepat melompat bangkit berdiri.
Namun berdirinya sudah tidak sempurna lagi. Beberapa kali dia hampir jatuh
terguling, tapi tetap berusaha berdiri.
"Setan! Kubunuh kau, keparat...!" geram Raden Glagah.
Dua kali Raden Glagah menyemburkan ludahnya yang kental. Dengan sisa-sisa
kekuatannya, Raden Glagah berlari cepat sambil menusukkan pedangnya ke depan.
Rangga berdiri tegak menanti serangan laki-laki itu. Dan pada saat ujung pedang
Raden Glagah hampir menyentuh dadanya....
"Hap!"
Tap! Rangga menjepit ujung pedang itu dengan kedua telapak tangannya. Raden Glagah
berusaha menarik pedangnya sekuat tenaga, tapi tubuhnya malah bergetar hebat.
Bahkan kini tulang-tulang tangannya seperti
rontok. Pada saat itu, terlihat Kumbara berlari sambil membawa golok. Dengan satu
teriakan keras, dihantamkan golok itu ke punggung Raden Glagah.
"Kumbara, jangan!" seru Rangga terkejut.
Tapi peringatan Rangga terlambat. Golok itu membelah punggung Raden Glagah
sangat dalam. Dan sekali lagi Kumbara menghantamkan goloknya ke kepala laki-laki
yang telah menyengsarakan hidupnya selama ini. Raden Glagah menjerit melengking
tinggi. Darah muncrat dari luka-luka akibat bacokan Kumbara.
Rangga melepaskan jepitannya pada pedang Raden Glagah. Seketika itu juga, lakilaki yang masih kelihatan muda meskipun usianya sudah mencapai lebih dari lima
puluh tahun itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari luka-luka di
tubuh dan kepalanya.
"Mampus kau, keparat...!" jerit Kumbara keras.
"Aaa...!" Raden Glagah menjerit melengking.
Golok di tangan Kumbara menghunjam dalam di dada Raden Glagah. Kumbara berlutut
di samping tubuh Raden Glagah yang tidak bergerak-gerak lagi. Tangan Kumbara
bergetar melepaskan golok yang berlumuran darah.
Rangga menghampiri dan menepuk pundaknya.
"Aku sudah membunuhnya...," lirih dan bergetar suara Kumbara.
"Kumbara," pelan suara Rangga.
Kumbara bangkit berdiri dan berbalik menghadap pada Pendekar Rajawali Sakti.
Tangannya yang berlumuran darah bergetar hebat. Tubuhnya menggigil bagai
terserang demam. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya bergetar seolah-olah ingin
mengucapkan sesuatu.
"Aku..., aku belum pernah membunuh...," kata Kumbara gemetar.
"Kau tidak membunuh, Kumbara. Kau melenyapkan keangkaramurkaan," kata Rangga.
"Tapi...."
"Aku mengerti perasaanmu, Kumbara. Tapi kau bukan
pembunuh! Semua yang kau lakukan adalah benar. Bukan manusia yang kau bunuh,
tapi keangkaramurkaan," kata Rangga mencoba menenangkan hati penyair muda itu.
Sementara itu pertarungan berhenti seketika dengan tewasnya Raden Glagah. Sisa
anak buah Raden Glagah serentak menyerah. Sedangkan Baruna sudah
menyelesaikan pertarungannya melawan Naraka dan Carika. Tubuh dua bersaudara itu
sudah tidak lagi berbentuk, karena dicincang penduduk yang meluapkan dendam yang
terpendam di hati mereka.
"Yang Maha Agung, ampunilah segala dosa-dosaku...,"
rintih Kumbara lirih.
Kumbara membalikkan tubuhnya dan melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat
yang seharusnya menjadi miliknya. Rangga memandangi sesaat, lalu melangkah
mengejar Kumbara. Disejajarkan langkahnya di samping pemuda yang tengah
dirundung kekalutan di hatinya. Kumbara memang seorang pemuda yang sangat polos,
dan bersih dari gelimang darah. Hatinya begitu terpukul setelah menyadari bahwa
dirinya telah membunuh orang, meskipun orang itu memang pantas menerima
ganjarannya. "Kumbara...," Rangga berusaha bicara.
"Biarkan aku pergi, Rangga," selak Kumbara tegas.
"Kau akan pergi ke mana?" tanya Rangga.
"Ke mana saja aku melangkah bersama bait-bait syairku," sahut Kumbara terus saja
berjalan. Rangga menghentikan langkahnya, sedangkan Kumbara terus berjalan tanpa menoleh
lagi. Terdengar alunan bait-bait syair bernada lirih mengiringi langkahnya.
Semua penduduk Desa Komering Ilir yang selama ini membencinya, hanya bisa
memandang dengan hati diliputi perasaan bersalah.
Rangga menarik napas panjang. Hatinya begitu tersentuh melihat sikap Kumbara.
Belum pernah dilihat sebelumnya orang yang begitu merasa bersalah ketika pertama
kali menewaskan orang. Dan Rangga sendiri tidak
tahu, apakah kehidupan yang dijalani selama ini salah atau benar. Kehidupan yang
keras, dan selalu bergelimang darah.
"Hhh...! Aku seorang pendekar. Hanya di ujung pedanglah keadilan dan
keangkaramurkaan bisa tegak dan tertumpas," desah Rangga dalam hati.
Setelah mengambil keputusan, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat cepat
bagaikan kilat. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan lenyap saja. Dalam sekejap
mata saja bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti
pergi untuk menunaikan tugasnya kembali, memerangi keangkaramurkaan. Tentu
dengan mengembara, menjelajah rimba persilatan yang keras.
SELESAI Kelelawar Hijau 2 Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Pendekar Sakti Im Yang 5

Cari Blog Ini