Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Di Bukit Setan 2

Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan Bagian 2


menolong gadis itu dari incaran tokoh-tokoh rimba persilatan yang gila benda
pusaka. "Kau ingin tahu tentang Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni?"
Klenting Kuning menawarkan.
Tentu saja Rangga gembira mendengar tawaran yang memang
sedang ditunggu-tunggu. Dia pun mengangguk pasti. Klenting Kuning kembali
tersenyum manis.
"Sebaiknya kita tidak bicara di sini," kata Klenting Kuning.
"Kenapa?"
"Ikut aku," Klenting Kuning tidak menyahuti pertanyaan Rangga.
Rangga yang masih penasaran dengan wanita cantik itu, menurut dan bangkit
berdiri. Mata Rangga sempat melirik Klenting Kuning yang
melempar dua keping uang emas ke atas meja. Bibirnya tersenyum melihat dua
keping uang emas itu jatuh tanpa menimbulkan suara di meja. Kini mereka
melangkah ke Iuar kedai.
*** Rangga memandangi kamar yang ditata indah, seperti layaknya
kamar putri bangsawan. Meja, kursi, dan lemari terbuat dari kayu jati berukir
indah. Tempat tidur berlapis kain sutra halus merah muda.
Lantai beralaskan permadani berbulu tebal dan Iembut. Rasanya Rangga memasuki
sebuah kamar peristirahatan bidadari.
Klenting Kuning menghenyakkan tubuhnya yang indah di atas
pembaringan. Sikapnya begitu mempesona, seakan sengaja mengundang pendekar muda itu untuk bercumbu. Rangga duduk di kursi, matanya
mamandangi tubuh ramping yang tergolek menantang.
Hatinya mulai terasa tidak enak berada dalam kamar bersama seorang wanita cantik
dengan tubuh yang menggairahkan.
"Katakan, apa yang kau ketahui tentang Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni?"
Rangga merasa lidak betah berlama-lama di kamar ini. "Kenapa harus buru-buru"
Kau tidak ingin sedikit bersenang-senang, Rangga?" Iembut merayu suara Klenting
Kuning. Rangga merasa jengah. Dia bangkit berdiri dan berjalan ke pintu.
"Mau ke mana" Pintu itu terkunci," kata Klenting Kuning.
Rangga merasakan dirinya sudah masuk ke dalam perangkap. Di cobanya pintu kamar
itu dibuka. Benar, pintu itu telah terkunci. Dengan hati gundah, pendekar muda
itu berbalik. Matanya hampir melompat keluar mendapatkan Klenting Kuning kini
hampir tidak berpakaian lagi.
Beberapa bagian tubuhnya menyembul menantang. Mendadak dada Rangga terasa sesak,
dan napas nya sulit dikendalikan.
Klenting Kuning menggerak-gerakkan bibirnya yang merah
merekah. Dia beringsut sedikit, membetulkan kain surra merah muda yang menutupi
tubuhnya. Dia pun kini turun dari pembaringan, melangkah menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti itu. Bau harum semerbak tercium saat Klenting Kuning mengayunkan
langkahnya. "Apa yang kau...."
"Ssst. .," Klenting Kuning menutup bibir Rangga dengan jari-jari tangannya yang
Ientik. Detak jantung Rangga makin bergemuruh, bagai ombak di pantai menghantam karang.
Bau harum semakin menus uk lubang hidungnya.
Rangga merasakan kepalanya menjadi berat, dan pandangannya mulai kabur. Klenting
Kuning merapatkan tubuhnya. Kedua tangannya
melingkar di Ieher pemuda tampan dan gagah itu. Begitu dekat wajah mereka
sehingga deru napas Klenting Kuning menerpa hangat di kulit wajah Rangga.
Klenting Kuning mulai menciumi wajah dan leher Rangga.
Napasnya mendengus-dengus memburu bagai kuda betina liar. Entah kenapa, Rangga
seperti tidak memiliki daya sama sekali. Pikirannya kacau. Bau harum yang
menyengat hidung seperti ingin membangkitkan gairah kejantanannya. Laki-laki
muda itu kehilangan kesadarannya. Dia menurut saja ketika Klenting Kuning
menariknya ke pembaringan.
Mereka duduk di pembaringan. Klenting Kuning menggerakgerakkan tubuhnya, sehingga kain sutra yang membelit tubuhnya merosot turun.
Tampak dua bukit kembar putih menonjol indah. Mata Rangga semakin berkunangkunang melihat tubuh putih mului
menantang di depannya tanpa penutup sama sekali.
"Kraaagh...!" tiba-tiba terdengar suara keras mengaung di telinga Rangga.
"Rajawali Sakti...," desis Rangga seketika. Begitu terdengar lagi suara berkaok
yang nyaring. Rangga langsung melompat dari
pembaringan. Tangannya menyambar pakaian dan pedangnya yang sudah teriepas.
"Apa..., apa yang telah kau lakukan?" Rangga seperti baru tersadar dari mimpi.
"Ayolah, sayang. Kenapa bengong di situ?" lembut suara Klenting Kuning merayu.
"Kau..." Oh, tidak!"
Rangga kembali membeliak melihat tubuh inda tergolek di
pembaringan tanpa benang sehelai pun menempel di tubuhnya.
Bergegas dikenakan kembali pakaiannya, dan disampirkan pedang pusakanya di
punggung. Kesadaran Pendekar Rajawali Sakti berangsur pulih. Suara burung
Rajawali Sakti yang merawat dan membimbingnya sejak kecil telah membuka kembali
mata dan kesadarannya yang sempat tertutup tadi.
"Rangga...! Kau mau ke mana?" teriak Klentin Kuning melihat Rangga membuka pintu
kamar. "Hih! Rangga mengerahkan tenaga dalam untu membuka pintu yang terkunci.
"Percuma, Sayang. Pintu itu tidak akan terbuka tanpa seijinku,"
kata Klenting Kuning.
Rangga membalikkan tubuhnya. Dia langsung memalingkan muka saat melihat tubuh
Klenting Kuning yang polos duduk di sisi pembaringan. Mata Pendekar Rajawali
Sakti itu berkeliling mencari celah untuk bisa keluar dari kamar yang dipenuhi
oleh hawa nafsu
birahi."Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika tubuhnya mencelat
tinggi ke udara. Pendekar muda itu mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega'. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu membumbung menerjang atap. Sekali
terjang saja atap kamar yang terbuat dari lempengan baja tipis itu jebol,
bersamaan dengan melesatnya tubuh Rangga.
"Rangga...!" teriak Klenting Kuning terkejut. Bergegas wanita cantik itu
mengenakan pakaiannya, lalu tubuhnya melenting menembus atap yang telah jebol.
Klenting Kuning bertengger di atas atap. Matanya nyalang memandang ke
sekelilingnya. Tidak nampak sedikit pun bayangan Pendekar Rajawali Sakti
"Huh, sial!" rungut Klenting Kuning.
Klenting Kuning melentingkan tubuhnya, lalu turun dengan manis mendarat di
tanah. Dia berdiri di depan rumah kecil miliknya. Rumah yang dibangun di atas
tanah dan ditata indah, bagai sebuah taman surgawi milik dewa-dewi kahyangan.
Klenting Kuning mengedarkan pandangannya kembali berkeliling, masih mengharap
dapat melihat bayangan pemuda tampam yang telah menarik hatinya.
"Rangga..., kau gagah dan tampan sekali. Ke mana pun kau pergi, aku pasti akan
mendapatkanmu, gumam Klenting Kuning.
*** 4 Rangga berdiri mematung di tepi sungai Banyu Biru, tempat saat dia meninggalkan
Pandan Wangi. Sementara hari sudah menjelang senja, matahari hampir tenggelam di
ufuk Barat. Sinarnya yang kemerahan membias indah di permukaan sungai, gemerlap
bagai bertaburkan mutiara.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri pohon rindang.
Di bawah pohon inilah Pandan Wangi ditinggalkannya sendirian tadi.
Mata Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling. Hatinya mendadak cemas
karena Pandan Wangi tidak ada. Rasa sesal mulai membelit relung hatinya, karena
telah meninggalkan Pandan Wangi terlalu lama seorang diri di tempat sunyi
seperti ini. "Pandan...!" teriak Rangga keras.
Suara Rangga menggema di antara pohon dan batu-batuan,
terbawa angin senja yang tertiup Iembut. Heberapa kali Pendekar Rajawali Sakti
itu memanggil nama Pandan Wangi, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Hanya desah
angin dan gemericik air sungai yang menyahuti panggilannya.
"Ke mana dia, ya?" Rangga bertanya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tajam, mendengar suara gemerisik
dari balik semak-semak di depannya. Seketika pandangannya tertuju ke arah semaksemak itu. Pelahan kakinya terayun mendekati tempat asal suara tadi.
Rangga menyibakkan semak-semak itu. Hatinya jadi kecewa,
karena yang didapatinya hanya dua ekor kelinci yang langsung kabur ketakutan.
Rangga mendengus, dan mengedarkan pandangannya
kembali ke sekelilingnya.
"Pandan...!" panggil Rangga sekali lagi.
Si ing...! Tiba-tiba terdengar suara mendesing. Rangga melompat berputar di udara. Ketika
berkelebat seberkas sinar keemasan mengarah padanya. Sinar itu meluncur deras
melewati tubuh Pendekar Rajawali Sakti, dan menancap pada sebatang pohon. Ringan
sekali tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu mendarat di tanah. Baru saja kakinya
menjejak tanah, kembali secercah sinar keemasan berkelebat cepat.
"Hup!" Rangga kembali melenting ke udara.
Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, menghindari
desingan sinar-sinar keemasan yang datang secara beruntun bagai hujan. Mata
Rangga yang tajam, dapat melihat arah datangnya sinar-sinar keemasan itu.
Sambil berputaran di udara, tangannya menangkap dua benda
keemasan yang mengancam dirinya. Dengan kecepatan penuh,
langsung dua benda
itu dilontarkan kembali ke arah pemiliknya.
Seketika itu juga berkelebat satu bayangan hijau dari balik sebuah batu
besar."Pandan...!"seru Pendekar Rajawali Sakti terkejut.
"Ha ha ha...!" Pandan Wangi tertawa gelak begitu kinya mendarat di tanah.'Tidak
lucu!" dengus Rangga langsung melompat menghampiri gadis itu.
'Tidak lucu ya sudah!" rungut Pandan Wangi. wajahnya dipasang cemberut seperti
gadis ingusan yang kena marah orang tuanya.
"Cara bercandamu sangat berbahaya, Pandan," Suara Rangga terdengar lunak.
"Tapi, hebat 'kan?"
"Iya, hanya saja kau perlu banyak latihan."
"Wah! Kalau aku mahir, tentu Kakang tadi sudah...," Pandan Wangi tidak
meneruskan ucapannya.
"Ah, sudahlah!" dengus Rangga. "Nih! Aku bawakan pakaian buatmu, dan sedikit
makanan." Pandan Wangi menerima bungkusan yang disodorkan Pendekar Rajawali
Sakti. Kemudian dibukanya.
Matanya agak membeliak melihat satu stel pakaian berwarna putih.
Pakaian seorang pendekar wanita.
"Darimana kau dapatkan ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Beli, di sana!" sahut Rangga menunjuk ke arah desa Banyu Biru.
"Kakang dari sana?" Pandan Wangi seperti tidak percaya.
"Iya," sahut Rangga. "Sana, cepat! Ganti pakaianmu, dan kita makan bersama. Kau
pasti suka makanan yang kubawa."
Pandan Wangi berlari-lari kecil menuju ke balik batu hitam sebesar dangau.
Rangga membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari Desa Banyu Biru. Sesekali
matanya melirik ke arah batu hitam, tempat Pandan Wangi tengah mengganti
pakaiannya. Tidak lama kemudian Pandan Wangi keluar lagi,
dan telah mengenakan pakaian yang dibelikan Rangga tadi. Pendekar Rajawali Sakti memandang
tanpa berkedip. Dia seperti bana saja melihat Iblis turun dari
kahyangan. Pandan Wangi kelihatan cantik sekali
mengenakan pakaian pendekar putih berpita merah.
Ikat kepala berwarna merah menambah cantik raut wajahnya. Pakaian itu ternyata pas di tubuh
Pandan] Wangi, "Ck ck ck. .," Rangga berdecak kagum.
"Mengapa memandangku begitu?" rungut Pandan Wangi jengah.
"Kau cantik sekali," puji Rangga tulus.
"Huh!" Pandan Wangi mencibir. Namun dalam hatinya senang sekali mendapat pujian
dari pemuda tampan yang telah mencabik-cabik sekeping hatinya.
"Ayo, makan dulu. Kamu belum makan dari tadi, 'kan?" ajak Rangga mengalihkan
perhatian. Dia sendiri
tidak ingin lama-lama
terpesona oleh kecantikan Pandan Wangi.
"Apa itu?" tanya Pandan Wangi segera duduk bersila di depan Rangga.
"Ikan bakar, lalap, sambal, tapi nasinya sudah dingin," sahut Rangga seperti
penjaja saja. "Tidak apa-apa, yang penting kenyang."
Rangga tersenyum. Senang juga dia dengan sikap Pandan Wangi yang urakan, dan
sedikit liar, tapi menyenangkan untuk diajak berteman. Mereka mulai makan dengan
nikmatnya. Rangga banyak bercerita tentang keadaan di Desa Banyu Biru. Dia juga
mengatakan tentang rencananya yang sudah dilaksanakan. Kini hanya tinggal
menunggu reaksinya saja dari orang-orang yang gila benda-benda pusaka.
"Besok pagi kita ke sana," kata Rangga.
"Ke Desa Banyu Biru?" Pandan Wangi menegaskan.
"Iya, aku ingin tahu sampai di mana mereka terpengaruh ceritaku tentang Kitab
Naga Sewu dan Pe-dang Naga Geni."
"Kau yakin bisa berhasil?"
"Lihat saja nanti."
*** Suasaan di Desa Banyu Biru tampak seperti biasa. Kehidupan
berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Desa yang menjadi tempat persinggahan
perahu-perahu pedagang, dan para pengelana pencari kehidupan maupun tokoh-tokoh
rimba persilatan. Kehidupan kembali berlangsung menjelang pagi tiba.
Di sebuah kedai minum, tampak Pendekar Rajawali Sakti dan
Kipas Maut duduk menghadapi meja. Seguci arak dan makanan
tersedia hampir memenuhi meja kecil dari kayu jati. Sejak datang pagi-pagi
sekali, Pendekar Rajawali Sakti terus memasang mata dan telinga.
Dia ingin tahu perkembangan rencana yang sudah dilaksanakannya kemarin siang.
"Tampaknya berita yang kusebar belum diketahul banyak orang,"
kata Rangga agak berbisik.
"Mungkin masih terialu pagi," sahut Pandan Wangi.
"Ya, kita tunggu saja," desah Rangga.
"Kau yakin mereka akan tertarik ke Bukit Setan?" tanya Pandan Wangi.
"Mudah-mudahan begitu, asal kau tetap ingat Jangan sekali-sekali mengaku kalau
kau si Kipas Maut. Tetap saja memakai nama Pandan Wangi."
"Lalu, senjataku?"
"Simpan saja dulu. Kau bisa menggunakan senjat Iainnya, 'kan?"
"He-eh."
Percakapan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki bertubuh tinggi kekar
masuk ke dalam kedai. Mereka mengenakan pakaian serba hitam. Tampak di punggung
masing-masing tersampir sebilah pedang.
Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga dan Pandan Wangi.
Dengan suara kasar, salah seorang memesan makanan dan
minuman. Rangga memperhatikan da sudut ekor matanya. Lagak dan tingkah kedua
oran itu sangat memuakkan. Mereka seperti di rumah sendiri saja. Main perintah
dan membentak para pelayan.
"Kau kenal mereka?" tanya Rangga berbisik.
"Ya, aku kenal. Yang pakai kalung rantai namanya Macan Hitam, dan satunya lagi
Gagak Hitam. Mereka dikenal dengan julukan Iblis Kembar Hitam," sahut Pandan
Wangi menerangkan.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya beralih
menatap seorang wanita muda yang cantik duduk sendirian agak ke pojok.
Pakaiannya yang ketat berwarna merah menyala membuat lekuk tubuhnya tampak
jelas. Dari sikapnya, sudah bisa diduga kalau wanita itu jelas. dari kalangan
rimba persilatan. Lebih-lebih kalau melihat dua pisau terselip di pinggangnya.
Rupanya bukan hanya Rangga yang memperhatikan wanita cantik itu. Dua orang yang
dikenal dengan julukan Iblis Kembar Hitam juga tertarik untuk
memandang wanita cantik itu.
Gagak Hitam mengerdipkan matanya pada Macan Hitam.
"He he he..., kau tertarik dengan perempuan itu, adik Gagak Hitam?" Macan Hitam


Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkekeh. "Aku rasa kau juga tertarik, Kakang," sahut Gagak Hitam.
"Dia memang cantik. He he he... Memang sayang kalau dilewatkan begitu saja."
Macan Hitam berdiri sambil terkekeh. Kakinya melangkah berat menghampiri wanita
cantik yang dimaksudkannya itu. Macan Hitam mengangkat kaki ke atas kursi di
depan wanita itu.
Sementara Rangga yang memperhatikan sejak tadi hanya
mencibir. Dia berharap Macan Hitam kena ba-lunya. Sejak tadi dia telah muak
melihat tingkahnya yang sok dan urakan. Rangga menjulurkan kepalanya mendekati Pandan Wangi.
"Siapa perempuan itu?" tanya Rangga.
"Yang baju merah?" Pandan Wangi balik bertanya.
"Iya."
"Dia Pisau Terbang."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hatinya memuji kejelian dan
pengetahuan Pandan Wangi terhadap tokoh-tokoh rimba persilatan di desa Banyu
Biru ini. Pandan Wangi memang lebih dulu malang-melintang di dunia persilatan
ketimbang Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran kalau tahu banyak perkembangan
dan tokoh-tokoh rimba persilatan saat ini.
Sementara itu Macan Hitam mulai beraksi menggoda wanita cantik berbaju merah
menyala yang dijuluki si Pisau Terbang. Kelihatannya Pisau Terbang tidak peduli
dengan sikap memuakkan Macan Hitam.
Tenang sekali dia menikmati arak manisnya.
"Sendirian saja, Cah Ayu?" suara Macan Hitam dibuat lembut.
Namun tetap saja terdengar kasar danj serak.
"Hm...," Pisau Terbang hanya menggumam kecil.
"Boleh aku temani?"
"Silakan, asal, kau mampu mengangkat guci arak ku," sahut si Pisau Terbang
kalem. "He he he...," Macan Hitam terkekeh. Matanya mengerling pada Gagak Hitam. Dia
merasa tantangan itu merupakan satu permainan anak bau kencur.
Macan Hitam yakin kalau hanya mengangkat guci arak saja, itu masalah mudah.
Tangannya terulur dan mencekal leher guci. Tapi..., begitu akan ditarik guci
itu, mendadak wajahnya jadi pucat. Guci itu tetap pada tempatnya. Tidak sedikit
pun bergerak. Macan Hitam mengerahkan tenaga dalam untuk masalah yang
kelihatannya ringan.
"Uhk!" Macan Hitam membetot guci yang menjadi berat sekali.
Pisau Terbang tersenyum sinis mengejek. Tangannya terulur dan menyentil tangan
Macan Hitam yang menggenggam leher guci. Macan Hitam langsung menarik tangannya.
Pisau Terbang dengan enak mengangkat guci arak dan menuang isinya ke dalam gelas
parungan. "Kurasa kau belum pantas duduk denganku, Kisanak," kata Pisau Terbang kalem.
"Huh!" Macan Hitam mendengus kesal.
Melihat kakaknya dipermalukan di depan orang banyak, Gagak Hitam cepat melompat
sambil mencabut pedang yang tersampir di punggungnya.
Sret! Gagak Hitam langsung mengibaskan pedangnya ke leher Pisau
Terbang. Pedang yang seluruhnya berwarna hitam legam, berkelebat
cepat mengincar leher yang putih mulus. Namun hanya dengan menarik kepalanya ke
belakang, kibasan pedang itu hanya lewat di depan wajah Pisau Terbang.
Pisau Terbang mengangkat tangannya dan menyentil pergelangan tangan Gagak Hitam
yang menggenggam pedang. Gagak Hitam
memekik tertahan ketika merasakan pergelangan tangannya nyeri kesemutan. Buruburu dipindahkan pedangnya ke tangan klri.
Kemudian melompat satu langkah ke belakang.
"Uh! Banyak Ialat kotor di sini," dengus Pisau Terbang.
'Perempuan liar! Buka matamu lebar-lebar, siapa yang ada di depanmu?" bentak
Macan Hitam gusar.
"Aku tahu, kalian cuma tikus-rikus busuk yang mengganggu selera minumku," sahut
Pisau Terbang dingin.
"Bedebah! Kau harus mampus di tangan Iblia Kembar Hitam!"
bentak Gagak Hitam.
"Pantas saja muka kalian jelek."
"Keparat!"
Macan Hitam segera mencabut pedangnya, dam mengibaskannya
dengan cepat. Pisau Terbang hanyal menarik sedikit dadanya ke belakang. Kibasan
pedang Macan Hitam lewat di depan dadanya yang membukjl indah. Gagak Hitam
langsung menyusul menerjang sambil menusukkan pedangnya.
Pisau Terbang seketika melompat dari duduknya! lalu begitu kakinya menjejak
meja, dengan cepat berputar seraya melayangkan kaki kanannya. Begitu cepat
gerakan Pisau Terbang, sehingga hal itu tidak diduga! sama sekali oleh Iblis
Kembar Hitam. Buk! Buk! Dua tendangan maut bersarang di dada Macan Hitam dan Gagak Hitam. Mereka
terjajar ke belakangl dengan mulut meringis. Mendadak saja mereka meral sakan
dadanya sakit dan sesak. Belum sempat mereka] menguasai diri, mendadak Pisau
Terbang mencelat sambil merentangkan kedua tangannya.
"Aaakh...!"
Iblis Kembar Hitam berteriak nyaring hampir bersamaan. Kedua tangan Pisau
Terbang menjambret dua tubuh tinggi besar, dan melemparkannya keluar dari kedai.
Dua tubuh besar melayang deras di luar kedai.
Pisau Terbang melenting kembali, dan tahu-tahu telah duduk kembali di tempatnya
semula. Sikapnya sangat tenang seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap
dirinya. Sementara itu Iblis Kembar Hitam sudah bangkit lagi. Sambil menggeram,
mereka serentak menerjang masuk. Tapi....
"Akh!"
"Akh!"
Hampir bersamaan mereka memekik tertahan. Kemudian tubuh
besar itu terjungkal dengan leher tertembus potongan bilah bilik bambu.
Sebentar saja Iblis Kembar Hitam berkelojotan, lalu diam tak bergerak-gerak
lagi. Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Ketika
Iblis Kembar Hitam menerjang masuk, dengan cepat Pisau Terbang memotes bilik
bambu di dekatnya, lalu menjentikkan Jarinya seraya mengerahkan tenaga dalam
yang cukup tinggi. Hasilnya memang mengagumkan. Satu ilmu melempar yang sempurna
sekali. Cepat dan sulit di kuti oleh mata biasa.
*** "Kelihatannya tempat ini sudah tidak aman lagi, Kakang," kata Pandan Wangi
berbisik. "Hm...," Rangga hanya bergumam.
"Sebaiknya kita pergi saja dari sini," ajak Pandan Wangi.
"Tunggu dulu, Pandan," cegah Rangga menahan tangan gadis itu.
Pandan Wangi terpaksa mengurungkan niat ingin bangun. Hatinya semakin tidak
menentu saja. Bukannya takut menghadapi segala macam kemungkinan, tapi dia tidak
ingin menampakkan diri lebih dulu.
Masalahnya di desa Banyu Biru ini rata-rata telah mengenal wajahnya, meskipun
memakai pakaian dan dandanan yang berbeda. Pandan Wangi merasa diri nya masih
cukup bisa dikenali orang.
Dari sudut ekor matanya, Pandan Wangi cepat tahu kalau sejumlah orang di dalam
kedai ini telah memperhatikan dirinya. Lebih-lebih seorang kakek tua yang duduk
agak jauh darinya. Pandangan kakek tua itu tidak pernah berpaling darinya.
Pandan Wangi tahu kalau kakek tua itu yang dijuluki Kakek Tangan Seribu.
Pandan Wangi jadi gelisah sendiri. Dia khawatir samarannya diketahui oleh Kakek
Tangan Seribu. Ataui mungkin oleh yang lainnya.
Kegelisahan Pandan Wangi bisa dirasakan Rangga yang sejak tadi memegangi tangan
gadis itu. Punggung tangan gadis itu berkeringat dan terasa dingin.
"Apa yang kau pikirkan, Pandan Wangi?" tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pandan Wangi cepat-cepat. Dia tidak ingin Pendekar Rajawali Sakti
itu mengetahui kegelisahannya.
"Kau kelihatan gelisah sekali,"
"Tidak, aku tidak apa-apa."
"Hm, kau akan pergi dari sini?" Pandan Wangi tidak menjawab.
"Baiklah. Mungkin kedai ini terlalu panas untukmu.
Pandan Wangi berdiri setelah Rangga bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti itu
meletakkan beberapa keping uang perak di atas meja, kemudian menarik tangan
Pandan Wangi. Mereka melangkah ke luar dari kedai Pandan Wangi masih sempat
melirik Kakek Tangan Seribu yang tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit
kepadanya. Tentu saja gadis itu jadi terkejut. Buru-buru dia melangkah ke luar mendahului
Rangga. Pandan Wangi sudah merasa kalau penyamarannya sudah diketahui oleh Kakek Tangan Seribu. Rangga yang merasakan
kalau Pandan Wangi gelisah, segera mempercepat langkahnya.
Mereka terus berjalan cepat meninggalkan kedai yang dipenuhi orang-orang rimba
persilatan. Sepanjang jalan mereka masih melihat beberapa orang menyandang
senjata dengan bermacam-macam bentuk dan ukuran. Pandan Wangi berjalan tanpa
mengangkat kepala, sampai mereka tiba di perbatasan Desa Banyu Biru. Mereka baru
berhenti setelah sampai di tempat yang sepi dari keramaiaa
"Pandan Wangi..," Rangga menepuk pundak gadis Itu.
"Oh!" Pandan Wangi terkejut, langsung berbalik menghadap Pendekar Rajawali
Sakti. "Di kedai tadi, kau kelihatan gelisah. Ada apa" Ada orang yang mengenalimu?"
"Aku..., eh. Tidak!" Pandan Wangi jadi gugup.
Rangga melepaskan pegangannya pada pundak gadis itu. Dia
mundur dua langkah dan duduk di atas batu. Pandan Wangi masih tetap berdiri
memandang ke arah Desa Banyu Biru. Pikirannya masih tertuju pada Kakek Tangan
Seribu. Sungguh dia tidak menginginkan Kakek Tangan Seribu muncul dalam keadaan
begini. Pada saat dirinya dilanda kesulitan besar, karena adanya kabar kosong
yang melibatkan dirinya secara langsung.
"Di kedai tadi, kuperhatikan kau selalu memandang seorang kakek tua. Kau kenal
dia?" tanya Rangga menebak.
Pandan Wangi terkejut, hingga memalingkan muka dari tatapan Pendekar Rajawali
Sakti itu. Sungguh mati, dan tidak disangka kalau Rangga selalu memperhatikan
setiap gerak-geriknya. Rasanya di depan pemuda
ini dia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan perasaannya. Rangga selalu bisa menebak dengan tepat tanpa harus dijawab.
Lemah sekali kepala Pandan Wangi terangguk. Dalam pandangan Rangga, sikap gadis
itu jadi berubah seratus delapan puluh derajat sejak berada dalam kedai minum
tadi. Tidak lagi nakal, tidak banyak bicara dan kelihatan lebih banyak berpikir.
Sepertinya Rangga tidak lagi
melihat Pandan Wangi yang dikenalnya beberapa hari lalu. Pandan Wangi yang
berjuluk Kipas Maut yang ringkahnya urakan dan sedikit liar.
"Siapa kakek tua itu?" tanya Rangga.
"Dia Kakek Tangan Seribu," sahut Pandan Wangi.
"Kau ada masalah dengannya?"
'Tidak," "Kenapa sikapmu berubah setelah melihat dia?" "Aku..., aku hanya tidak ingin dia
muncul pada saat-saat seperti ini."
"Kenapa?"
Belum sempat Pandan Wangi menjawab, tiba-tiba terdengar siulan yang nyaring dan
panjang. Suara siulan itu tanpa nada yang tidak jelas iramanya. Mendadak wajah
gadis itu jadi berubah pucat.
Rangga langsung berdiri dan melangkah ke samping Pandan
Wangi. Suara siulan itu semakin lama semakin terdengar dekat dan jelas. Rangga
memandang ke satu arah, asal suara siulan itu. Samar-samar matanya mulai melihat
bayang-bayang hitam dan putih bergerak semakin dekat. Bayang-bayang itu kian
jelas terlihat. Siapakah yang datang dengan memperdengar-kan suara siulan"
*** 5 Suara siulan berhenti, bersamaan dengan berhentinya langkah kaki seorang kakek
berpakaian hitam dan putih. Kakek itulah yang terus-menerus memandangi Pandan
Wangi di kedai tadi. Kakek yang berjuluk Kakek Tangan Seribu. Pandan Wangi
tertunduk seperti tidak sanggup memandang wajah keriput di depannya.
Kakek Tangan Seribu menatap Pandan Wangi dengan tajam.
Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang berdiri di samping gadis itu.
Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit.
Bagaimanapun juga dia harus hormat terhadap orang tua, walau pun dia tidak tahu,
berada dalam golongan mana orang tua yang
dihadapinya kini.
"Pandan Wangi...," suara Kakek Tangan Seribu bergetar saat memanggil Pandan
Wangi. Perlahan-lahan kepala Pandan Wangi terangkat naik. Matanya menatap wajah tua
keriput di depannya.
"Anak bengal, selalu saja bikin susah orang tua!" dengus Kakek Tangan Seribu.
"Kek...!" suara Pandan Wangi tercekat di tenggorokan.
Pandan Wangi melirik Rangga di sampingnya. Tampak sekali
dalam raut wajahnya, kalau Pandan Wangi mengalami kegelisahan yang amat sangat.
Rangga yang tidak tahu persoalannya, bergeser agak merenggang dari Pandan Wangi.
"Maaf, apakah kehadiranku mengganggu?" suara Rangga
terdengar sopan.
"Hm, siapa kau, anak muda?" tanya Kakek Tangan Seribu.
"Dia teman, Kek," Pandan Wangi buru-buru menyahuti.
"Diam kau, Pandan Wangi!" bentak Kakek Tangan Seribu. "Aku tidak bertanya
padamu!" Pandan Wangi terdiam.
"Namaku Rangga," kata pendekar muda itu mengenalkan diri.
"Kenapa kau bisa bersama-sama cucuku?"
"Hanya kebetulan," sahut Rangga tetap sopan. "Secara kebetulan Pandan Wangi
membutuhkan pertolongan."
"Anak nakal! Kau selalu saja bikin susah orang," dengus Kakek Tangan Seribu.
"Tapi, Kek...," Pandan Wangi akan menjelaskan, tapi suaranya nyangkut di
tenggovokan. "Kau lihat! Akibat ulahmu, Desa Banyu Biru jadi penuh setan dan ibfis serakah.
Kau tahu, apa akibatnya dari ulahmu, heh"!"
Pandan Wangi hanya tertunduk saja. Tidak sedikit pun membuka
mulut. Mengangkat muka saja rasanya tidak berani lagi. Kakek Tangan Seribu
kelihatan marah sekali padanya. Sampai-sampai wajah tua yang keriput itu
kelihatan tegang dan memerah.
"Kalau sudah begini, apa yang akan kau lakukan?" dengus Kakek Tangan Seribu.
"Maaf, Kek," ucap Pandan Wangi lemah.
"Maaf..., maaf!" dengus Kakek Tangan Seribu kesal.
Rangga yang sama sekali tidak mengetahui duduk persoalannya jadi tambah
kebingungan. Dia tidak mengerti sama sekali dengan hal yang diributkan Pandan
Wangi dengan Kakek Tangan Seribu. Dan kelihatannya Pandan Wangi begitu takut dan
patuh sekali pada kakek tua ini. Ada hubungan apa antara mereka berdua"
"Maaf, Kek. Boleh aku tahu, persoalan apa sebenarnya yang sedang terjadi" Dan
Kakek ini apanya Pandan Wangi?" tanya Rangga sopan, tanpa sedikit pun bermaksud
menyinggung perasaan.
Kakek Tangan Seribu memandang Rangga.
"Mungkin pertanyaanku menyinggung perasaanmu. Tapi, bolehkah Kakek memberitahu
sedikit," pinta Rangga.
"Sudah berapa lama kau kenal dengan Pandan Wangi?" tanya Kakek Tangan Seribu.
"Baru beberapa hari," jawab Rangga.
"Apa saja yang telah dikatakan bocah bengal ini?"
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Rangga menceritakan pertemuannya dengan Pandan
Wangi. Juga mengenai Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni yang kini sedang
dicari-cari dan diperebutkan orang-orang kalangan rimba persilatan yang
menyangka benda itu sudah berada di tangan Pandan Wangi.
Kakek Tangan Seribu menggeretkan rahangnya. Matanya semakin tajam menatap Pandan
Wangi yang hanya tertunduk saja. Rangga makin bingung, karena Kakek Tangan
Seribu jadi semakin marah saja kelihatannya. Sungguh mati, dia tidak tahu ada
apa di balik semua ini.


Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemunc ulan Kakek Tangan Seribu sepertinya membawa persoalan baru sebelum yang
lama selesai. "Pandan..., Pandan. Kapan sikapmu bisa berubah" Kau bukan anak ingusan lagi,
Pandan.... Kau sudah besar dan sudah jadi gadis dewasa," Kakek Tangan Seribu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Maafkan Pandan, Kek," lirih dan pelan sekali juara Pandan Wangi.
"Ah, sudahlah! Selalu itu saja yang kau katakan. Maaf.... Maaf!
Besok, lusa, entah kapan lag kau pasti bikin ulah. Nah, sekarang apa lagi yang
akan kau lakukan" Tokoh-tokoh rimba persilatan sudah tumplek di Banyu Biru. Apa
kau sanggup menghadapi mereka yang rata rata berkemampuan di atasmu?"
Pandan Wangi tidak mampu berkata lagi. Dia hanya menunduk
saja seperti tikus menunggu nasib di langan kucing. Kakek Tangan Seribu
mendekati Rangga.
tangannya menepuk-nepuk
pundak Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawa cucuku," kata Kakek Tangan Seribu.
Suaranya terdengar lunak.
"Sama-sama, Kek. itu juga cuma kebetulan saja, kok," sahut Rangga merendah.
"Ketahuilah, anak muda. Pandan Wangi itu cucuku sendiri. Kedua orang iuanya
sudah meninggal sejak dia masih kecil. Aku menitipkannya pada Kakang Abiyasa
untuk mendidiknya jadi seorang pendekar wanita yang tangguh. Sayang, Kakang
Abiyasa terlalu cepat meninggal sebeium menurunkan seluruh ilmunya pada Pandan
Wangi. Sejak itu, Pandan Wangi tinggal bersamaku di hulu sungai Banyu Biru. Tapi
anak ini memang nakal, selalu saja bikin ulah macam-macam yang mengundang
bahaya." "Lalu, apa hubungannya dengan Kitab Naga Sewu?" tanya Rangga.
"Masalah ini, sebenarnya aku tidak menyalahkan Pandan Wangi sepenuhnya. Memang
benar dia telah menolong seseorang dari tangan Empat Setan Jagal. Tapi
kepergiannya ke puncak Bukit Setan, itu cuma bualannya saja! Apalagi kalau
sampai menyebarkan kabar angin bahwa dia berhasil menemukan Kitab Naga Sewu.
Huh! Orang-orang itu saja yang bodoh. Tidak mungkin Pandan Wangi menemukan Kitab
Naga Sewu tanpa memiliki Pedang Naga Geni sekaligus. Kedua pusaka itu selalu
berdampingan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain."
"Jadi, kitab dan pedang pusaka itu masih tetap berada di puncak Bukit Setan?"
tanya Rangga mulai mengerti permasalahannya.
"Mungkin, aku sendiri tidak tahu," sahut Kakek Tangan Seribu.
"Kitab dan pedang itu memang pernah ada dan dimiliki oleh seorang pertapa.
Mungkin Pandan Wangi sudah menceritakannya padamu."
"Betul"
"Nah, setelah pertapa itu mangkat, kedua benda pusaka itu menghilang entah ke
mana. Sampai seka-rang tidak seorang pun yang tahu. Memang sudah lama para tokoh
rimba persilatan mencari dua benda Itu. Tapi, tidak akan sampai begini jadinya
kalau saja bocah nakal ini tidak menyebarkan kabar bohong!" Kakek Tangan Seribu
menatap Pandan Wangi tajam.
"Rasanya persoalan ini tidak bisa diselesaikan begitu saja, Kek,"
kata Rangga agak bergumam.
"Memang benar, mau tidak mau aku haras menghadapi mereka.
Tidak mungkin mereka mau mendengar kata-kata saja. Mereka semua sudah percaya
kalau Kitab Naga Sewu sekarang berada di tangan
Pandan Wangi," Kakek Tangan Seribu seolah mengeluh.
"Kita akan menghadapi bersama-sama, Kek," kata Rangga.
Kakek Tangang Seribu menatap Rangga tidak mengerti.
"Aku sudah menyebar berita kalau kedua benda itu masih ada di Bukit Setan. Hal
ini kulakukan untuk mengalihkan perhatian mereka terhadap Pandan Wangi. Bahkan
aku juga menyebar kabar kalau di bukit itu sekarang s udah dikuasai oleh seorang
pendekar yang kini tengah mempelajari kitab itu, dan menguasai Pedang Naga
Geni." "Gila! Bukit Setan itu bisa hancur!" Kakek Tangan Seribu terperanjat kaget.
"Terpaksa, untuk membatalkan niat mereka yang hanya memiliki kepandaian paspasan. Yah, mungkin hanya tinggal beberapa orang saja yang masih berniat mencari
kitab itu. Sudah kuperhitungkan, mereka yang tetap pada niatnya adalah orangorang yang ber kemampuan cukup tinggi."
"Lalu, bagaimana kalau mereka tidak menemukan pendekar karanganmu itu?"
"Mereka pasti menemukannya, Kek!"
"Mustahil!"
"Pendekar itu adalah aku sendiri."
"Apa..." Edan!"
"Memang rencana gila, tapi semua kemungkinani sudah
kuperhitungkan dengan masak."
Kakek Tangan Seribu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
saja. Dia tidak bisa lagi berkata apa-apa. Semuanya sudah telanjur dan tidak
mungkin bisa ditarik kembali. Dalam hati dikaguminya keberanian anak muda ini
yang rela menempuh bahaya tanpa menghiraukan keselamatan dirinya sendiri.
"Aku rasa sebaiknya persiapkan dirimu, anak muda. Mari ke rumahku untuk beberapa
hari," Kakek Tangan Seribu mengus ulkan.
"Terima kasih," ucap Rangga.
"Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja ini sebagai tanda ucapan terima kasihku
karena kau telah menyelamatkan nyawa cucuku yang bandel!" lagi-lagi Kakek Tangan
Seribu melirik Pandan Wangi.
"Baiklah," desah Rangga setelah menerima kerlingan mata Pandan Wangi.
"Mari kita berangkat sebelum hari gelap."
Tiga hari Rangga tinggal di rumah Kakek Tangan Seribu. Selama itu, ia
memantapkan jurus-jurusnya, terutama ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' dan ilmu 'Cakra
Buana Sukma'. Juga, dibantunya Pandan Wangi dengan petunjuk-petunjuk, sehingga
gadis itu lebih menguasai lagi jurus-jurusnya. Sementara Kakek Tangan Seribu
selalu mengamati
keadaan di Desa Banyu Biru.
Hari ini, sejak matahari menampakkan diri, Rangga dan Pandan Wangi sudah
berlatih sama-sama. Dan sebenarnya Rangga lebih banyak memberikan pemantapan
jurus-jurus silat untuk Pandan Wangi. Mereka berlatih hampir setengah harian.
Pandan Wangi kelihatan semakin mantap dengan jurus Kipas Mautnya.
"Cukup!" seru Rangga tiba-tiba.
Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mundur dua langkah.
Pandan Wangi menutup kipas saktinya, lalu mereka sama-sama menjura,
membungkukkan badannya sedikit. Rangga melangkah
mendekati sebuah pohon rindang, kemudian duduk bersandar di bawahnya. Pandan
Wangi mengikuti dan duduk di samping pemuda tampan itu.
"Kau tidak berlatih dengan pedangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak," sahut Rangga menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin menarik perhatian orang. Pedang Rajawali Sakti terlalu
berbahaya, dan aku hanya mengeluarkannya jika diperlukan saja," Rangga menjelaskan. Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk saja. Dia memang
sudah melihat kehebatan pedang Rajawali Sakti ketika Rangga bertarung melawan
Iblis Mata Elang. Selama malang-melintang di rimba persilatan bersama Eyang
Abiyasa, baru kali itu Pandan Wangi melihat pamor sebuah pedang yang sangat
dahsyat "Pandan, terus-terang aku masih belum menge Kenapa kau sebarkan kabar bohong
itu?" Ran seolah bergumam. Matanya menatap lurus ke mata gadis itu.
"Cuma iseng," sahut Pandan Wangi seenaknya.
"Iseng.. ?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Iya, soalnya sudah lama aku tidak pernah ber temu dengan tokoh-tokoh rimba
persilatan. Aku hanya ingin mengumpulkan mereka, dan melihat ilmu-ilmu kesaktian
mereka saja."
"Gila! Apa sih untungnya?"
'Tidak ada."
"Lalu, kenapa kau lakukan?"
"Kan sudah kubilang, cuma iseng."
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh dia tidak
mengerti sikap Pandan Wangi yang edan-edanan ini. Melakukan pekerjaan yang hanya
iseng saja, tapi akibatnya sangat fatal. Nyawa dipermainkan seperti tidak ada
harganya sama sekali.
Rangga memalingkan kepalanya ketika mendengar langkahlangkah kaki mendekat Juga Pandan Wangi, segera dia bangkit berdiri.
Tampak Kakek Tangan Seribu berjalan cepat menghampiri mereka.
Rangga segera berdiri begitu Kakek Tangan Seribu hampir sampai.
"Keadaan makin kacau. Desa Banyu Biru seperti gelanggang adu kesaktian," kata
Kakek Tangan Seribu.
"Hebat...," desah Pandan Wangi.
"Hebat, gundulmu!" dengus Kakek Tangan Seribu. "Mereka saling bunuh, tahu!"
"Itu lebih baik, Kek. Berarti yang akan datang ke Bukit Setan harus berpikir dua
kali. Paling-paling yang datang adalah yang merasa dirinya kuat saja," tenang
sekali Pandan Wangi berkata.
"Huh! Seharusnya otakmu dikuras biar bersih!" gerutu Kakek Tangan Seribu.
"Wah! Apakah otakku kotor?"
Rangga tersenyum-senyum saja melihat kakek dan cucu saling adu mulut. Sang kakek
pemarah, cucunya .senang menggoda. Memang seru jadinya jika bertemu. Kangga
seperti melihat dua badut tengah beraksi di atas panggung.
Kakek Tangan Seribu terus menggerutu. Dia menarik tangan
Rangga dan membawanya pergi menjauh. Rangga mengerling pada Pandan Wangi yang
tertawa mengikik kesenangan karena dapat menggoda kakeknya. Kakek Tangan Seribu
mengajak Rangga ke tepian sungai Banyu Biru, jauh dari tempat Pandan Wangi
berdiri di bawah pohon rindang.
"Ada apa, Kek?" tanya Rangga.
"Aku dapat kabar kalau Iblis Wajah Seribu, Pisau Terbang, Iblis Bayangan Merah,
Tongkat Baja Hitam, dan beberapa tokoh sakti lainnya sudah mencapai lereng Bukit
Setan," kata Kakek Tangan Seribu.
"Hm..., jadi mereka sudah melupakan Kipas Maut," gumam Rangga.
"Mungkin," jawab Kakek Tangan Seribu juga bergumam.
"Kalau begitu, sudah saatnya aku pergi ke puncak Bukit Setan."
"Kau harus hati-hati, Rangga. Mereka semua sangat sakti dan kejam. Terutama
sekali, kau harus waspada terhadap Iblis Wajah Seribu. Dia punya ajian yang bisa
membuat lawan menjadi lupa dan tunduk padanya. Hm...," Kakek Tangan Seribu
memandang wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Sepertinya ada yang tengah
dirisaukan. "Ada apa, Kek" Kelihatannya ada yang dipikirkan?" tanya Rangga.
"Oh, tidak! Aku hanya berpesan padamu, hati-hati saja dengan Iblis Wajah
Seribu," sahut Kakek Tangan Seribu.
"Apakah dia lebih tinggi ilmunya daripada yang lain?"
"Tidak, hanya saja dia punya satu keistimewaan yang tidak dimiliki
oleh yang lain. Keistimewaannya itu yang harus kau perhatikan nanti."
Rangga masih belum mengerti, tapi tidak ingin banyak bertanya lagi. Paling tidak
kakek tua ini telah memberikan satu peringatan padanya. Dia akan mengingat-ingat
terus nama Iblis Wajah Seribu.
Nama yang tampaknya sangat dikhawatirkan sekali oleh laki-laki tua ini.
"Sebaiknya kau berangkat nanti setelah Pandan Wangi pergi ke sungai," kata Kakek
Tangan Seribu. "Aku mengerti, Kek," sahut Rangga.
"Terima kasih, mereka bukanlah lawan Pandan Wangi. Anak itu masih mentah, masih
perlu waktu banyak untuk terjun langsung dalam rimba persilatan." |
Rangga tersenyum tipis. Kakek tua ini kelihatan galak dan
pemarah, tapi sangat mencintai cucu satu-satunya itu. Rangga bisa mengerti, dan
tidak ingin mengecewakan harapan Kakek Tangan Seribu. Meskipun tidak diucapkan,
namun dari nada bicaranya Rangga sudah bisa mengetahui jelas maksudnya.
Sementara itu matahari terus merayap makin tinggi. Sinarnya terik, membias
berkilauan di permukaan sungai Banyu Biru, bak intan permata gemerlap bertaburan
indah. Rangga duduk di atas batu dengan kaki berendam dalam air sungai setelah
Kakek Tangan Seribu pergi meninggalkannya. Pikirannya terus terpusat pada tokohtokoh sakti rimba persilatan yang kini sudah mencapai lereng Bukit Setan.
*** Bulan bersinar penuh di malam ini. Kesunyiannya meliputi sekitar tepian hulu
Sungai Banyu Biru. Cahaya pelita kecil meriap dipermainkan angin malam yang
dingin. Cahaya yang tidak bisa menerangi seluruh isi pondok Kakek Tangan Seribu.
Tapi cukup jelas membayangi sosok tubuh ramping di beranda pondok itu.
Pandan Wangi menatap lurus ke depan. Matanya tidak berkedip memandang satu titik
putih yang makin lama makin hilang ditelan kegelapan malam. Tampak titik-titik
air bening bergulir di pipinya yang halus. Pandan Wangi tidak menyadari kalau
sejak tadi Kakek Tangan Seribu sudah berdiri di belakangnya.
"Kakang Rangga...," desah Pandan Wangi pelan dan lirih.
"Pandan...," Kakek Tangan Seribu menyentuh pundak cucunya.
"Oh!" Pandan Wangi terkejut. Buru-buru dihapus air matanya dan berbalik
"Kau menangis, cucuku?" lembut suara Kakek Tangan Seribu Pandan Wangi hanya
mendesah berat, lalu mundur dan bersandar pada Gang beranda pondok kecil itu.
Matanya kembali menatap ke arah titik putih yang telah hilang dari pandangannya.
Lurus tatapan mata
gadis itu menembus kegelapan malam.
"Apa yang kau tangisi, Pandan?" tanya Kakek Tangan Seribu tetap lembut suaranya.
Pandan Wangi tidak menjawab. Kakek Tangan Seribu menghela
napas panjang. Dia sungguh tidak tahu kalau Pandan Wangi belum tidur. T adi
seharusnya kepergian Pendekar Rajawali Sakti ditahannya barang sejenak Laki-laki
tua itu bisa merasakan apa yang ada dalam hati cucu tunggalnya ini. Memang wajar
kalau gadis seusia Pandan Wangi melirik seorang pemuda, apalagi pemuda tampan
dan berkepandaian sangat tinggi seperti Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau mencintainya, Pandan?" Kakek Tangan Seribu langsung menebak.
Pandan Wangi terkejut Matanya menatap lurus ke bola mata laki-laki tua di
depannya. Sungguh mati, dan tidak disangka kalau kakeknya bisa menebak
perasannya dengan tepat. Dia memang tidak bisa menipu dhinya sendiri, kalau rasa
cintanya telah tumbuh subur saat pertemuannya yang pertama kali dengan Rangga.
Hanya keangkuhan dan naluri seorang wanita saja yang membuatnya mampu bertahan
untuk tidak memperlihatkan, apalagi mengungkapkan cinta di depan pemuda itu.
"Kau sudah dewasa, cantik dan punya sedikit bekal dalam hidup.
Aku tidak akan melarang. Hal itu memang wajar dan harus terjadi pada semua
makhluk hidup. Kau harus bersyukur karena dalam dirimu masih ada api cinta yang
bisa tumbuh."
"Aku..., aku tidak mencintainya! Siapa bilang aku jatuh cinta?"
Pandan Wangi menyangkal keras.
"Bisa saja bibirmu berkata begitu, tapi hati dan matamu berkata lain. Aku juga
pernah muda dan pernah merasakan seperti yang kau alami sekarang."
"Aku tidak mencintainya, Kek. Dia cuma...," Pandan Wangi tidak bisa meneruskan
kata-katanya lagi. Bibirnya memang menyangkal keras, tapi hatinya memang berkata
lain. Kakek Tangan Seribu tersenyum penuh arti. Dia melangkah dan meraih pundak gadis
itu. Kemudian membawanya berjalan-jalan di bawah siraman cahaya sang dewi malam.
Pandan Wangi mengikuti saja di samping kakeknya. la tidak menggubris ketika
tangan laki-laki tua itu merangkul pundaknya. Malah dengan manja gadis itu
meletakkan kepalanya di bahu Kakek Tangan Seribu. Mereka berjalan menuju tepian
Sungai Banyu Biru.
"Ayah ibumu adalah sepasang pendekar yang sangat tangguh.
Pada masanya mereka dikenal sebagai Sepasang Pendekar Banyu Biru.
Aku sangat mencintai mereka, terlebih lagi ketika kau lahir, Pandan.
Sayang Yang Maha Kuasa lebih cepat meminta sebelum kau sempat mengenali wajah
kedua orang tuamu," kata Kakek Tangen Seribu pelan.
Pandan Wangi hanya diam mendengarkan. Sudah. sering hal ini diceritakan. Banyu
Biru memang tempat kelahiran seluruh keluarganya, termasuk Pandan Wangi. Hanya
Kakek Tangan Seribu yang selalu berpetualang, merambah rimba persilatan. Lakilaki tua ini baru menetap di Banyu Biru setelah kematian Eyang Abiyasa, ayah
dari ibu Pandan Wangi.
"Sekarang cuma kau satu-satunya keturunanku Pandan. Kurasa wajar jika aku
berharap bila kau mendapatkan seorang suami yang dapat melindungi mu dari segala
macam keganasan dunia," lanjut Kakek Tangan Seribu.
"Kek...," tiba-tiba Pandan Wangi berhenti melangkah.
Kakek Tangan Seribu juga berhenti melangkah! "Biarkan saja, Pandan," bisik Kakek
Tangan Seribu. Pandan Wangi kembali melangkah mengikuti kakeknya. Telinganya tetap terpasang
tajam menangkap langkah-langkah kaki orang lain yang ringan bagai tidak
menyentuh tanah, tengah mengikuti mereka. Dan Kakek Tangan Seribu juga sudah
mengetahui hal itu Mereka memang tengah diintai.


Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan Di Bukit Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Awas, Pandan...!" tiba-tiba Kakek Tangan Seribu berteriak keras.
"Hiya...!"
*** 6 Jarum-jarum beracun meluncur deras bagai hujan ke arah Kakek Tangan Seribu dan
Pandan Wangi. Mereeka berlompatan menghindari serangan gelap itu. Pandan Wangi
langsung mencabut kipas saktinya, lalu menyampok jarum-jarum beracun hingga
berguguran di tanah.
Kakek Tangan Seribu merapatkan kedua telapak 'tangannya di depan dada, kemudian
tubuhnya berputaran di udara. Seketika kedua tangannya mendorong ke depan
setelah kakinya menjejak tanah.
Seleret sinar merah meluncur dari telapak tangan lelaki Itu. Ledakan keras
terdengar bersamaan dengan hancurnya sebatang pohon ara besar.
Hampir bersamaan, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah melenting ke udara,
lalu meluruk turun dan menjejak tanah. Tampak seorang perempuan tua berdiri
sekitar empat depa jauhnya di depan kakek dan cucu itu. Perempuan tua itu
mengenakan jubah longgar berwarna merah menyala. Wajahnya penuh keriput. Seluruh
giginya hitam saat menyeringai. Matanya merah menatap tajam Pandan Wangi.
"Nenek Jubah Merah...," desis Kakek Tangan Seribu.
"Hik hik hik..., orang lain boleh tertipu ke Bukit Setan. Tapi aku tidak! Bocah
manis, serahkan Kitab Naga Sewu, atau kau kukirim ke neraka!" suara Nenek Jubah
Merah kecil, tapi melengking tinggi.
"Kitab itu telah direbut Pendekar Rajawali Sakti. Dia sekarang ada di puncak
Bukit Setan mencari Pedang Naga Geni," sahut Pandan Wangi dingin.
"Bangsat! Kau akan mempermainkan aku, heh"!" geram Nenek Jubah Merah.
"Kalau tak percaya, ya sudah!"
'Tidak ada yang percaya dengan omonganmu bocah edan!"
"Kalau aku edan, mengapa kau percaya kalau aku menyimpan kitab itu" Sama saja
kau juga gila!"
"Kurang ajar! Lancang benar mulutmu! Biar robek mulutmu supaya lebih besar!"
"Silakan kalau kau mampu."
"Modar!"
Nenek Jubah Merah langsung mengebutkan tangannya. Seketika jarum-jarum beracun
meluncur deras ke arah Pandan Wangi. Gadis itu mengibaskan kipas saktinya, maka
jarum-jarum itu rontok sebelum mencapai sasaran.
Melihat jarum-jarum beracunnya dengan mudah dapat dirontokkan, Nenek J ubah Merah langsung menjadi makin geram.
Mendadak tubuhnya melenting ke udara, lalu meluruk ke arah Pandan Wangi, atau
Kipas Maut Memang, dengan kipas baja sakti berada di tangan, Pandan Wangi
bagaikan singa betina siap mencabut nyawa.
Dengan jurus-jurus pendek dan berbahaya, Nenek Jubah Merah merangsek Pandan
Wangi. Pertarungan berlangsung sengit dan cepat.
Pandan Wangi yang telah mendapat gemblengan dari Pendekar Rajawa Sakti selama
tiga hari, kini makin kelihatan gesit gerakannya. Gadis ini kini menampakkan
kemajua yang amat pesat. Jurus-jurusnya tampak lebih mantap dan berbahaya.
Lima jurus berlalu dengan cepat Dan Nenek Jubah Merah semakin geram karena belum
juga dapat menjamah tubuh gadis belia ini.
Sungguh tidak diduga kalau Kipas Maut yang masih muda itu mampu menandinginya
lebih dari lima jurus. Sementara itu Kakek Tangan Seribu nampak tercengang
melihat kemajuan jurus-jurus Kipas Maut yang amat pesat dalam waktu singkat.
Tri ng! Pada jurus ke sepuluh, Nenek J ubah Merah tidak dapat lagi menahan amarahnya.
Dikeluarkannya sebilah tongkat pendek yang masing-masing ujungnya runcing.
Dengan senjatanya ini iblis itu jadi semakin garang dengan jurus-jurusnya yang
berbahaya. Begitu cepat dia bergerak, sehingga yang tampak hanyalah bayangan
merah berkelebatan mengurung Pandan Wangi. Beberapa kali dua senjata beradu
keras menimbulkan pijaran bunga api.
Memasuki jurus ke lima belas, tampak Pandan Wangi mulai
terdesak. Jurus-jurus Nenek Jubah Merah semakin cepat dan beberapa kali hampir
menemui sasaran. Pandan Wangi semakin kewalahan menerima serangan-serangan nenek
iblis ini. Ketika tongkat Nenek Jubah Merah menusuk ke arah dada, Pandan Wangi
mengibaskan kipas mautnya.
Cring! Pandan Wangi merasakan tangannya bergetar hebat, dan jari-jari tangannya menjadi
kaku. Belum sempat melakukan gerakan lain, mendadak kaki Nenek Jubah Merah
melayang cepat. Buk! Pandan Wangi mengeluh pendek. Perutnya telak kena sambaran
kaki Nenek Jubah Merah. Gadis itu terjajar ke belakang.
"Hiya...!"
Nenek Jubah Merah berteriak nyaring. Secepat kilat ditusukkan tongkatnya ke arah
dada Pandan Wangi. Pada saat yang genting itu, mendadak secercah sinar keperakan
berkelebat cepat
Trak! "Setan!" dengus Nenek Jubah Merah geram. Buru-buru ditarik senjatanya kembali.
"Mundur, Pandan!" bentak Kakek Tangan Seribu yang ternyata telah melontarkan
bintang perak untuk menggagalkan serangan Nenek Jubah Merah.
"Kakek...!" Pandan Wangi ingin membantah.
"Mundur, kataku!" bentak Kakek Tangan Seribu.
Pandan Wangi melangkah mundur. Diselipkan kembali kipas
mautnya ke balik ikat pinggang. Dari pergelangan sampai ujung jari tangannya
masih terasa nyeri dan kaku. Tenaga dalam Nenek Jubah Merah memang jauh lebih
tinggi. Tidak heran kalau Pandan Wangi kalah dalam adu tenaga dalam. Masih
untung senjatanya tidak terlepas.
Kini dua tokoh saling berhadap-hadapan. Mereka saling pandang dengan tajam,
seolah saling mengukur kepandaian masing-masing lewat sorot mata. Kakek Tangan
Seribu menggeser kaki kanannya.
Sedangkan nenek iblis itu mengimbangi dengan menggerak-gerakkan tongkat
pendeknya melintang di depan dada. Suasana tegang
menyelimuti tepian hulu Sungai Banyu Biru. Mendadak, hampir bersamaan mereka
berteriak nyaring dan melompat saling menerjang.
"Hiya...!"
"Hiya...!"
Kakek Tangan Seribu dan Nenek Jubah MeraM sama-sama di
udara. Kakek Tangan Seribu menggerakkan kedua tangannya dengan cepat, lalu
mendorong kuat-kuat ke depan. Nenek Jubah Merah"
melintangkan tongkat pendeknya ke depan. Pada satu titik, mereka bertemu di
udara. Ledakan keras terjada memekakkan telinga. Tampak dua tubuh terpental
jatuh ke tanah.
Kakek Tangan Seribu segera bangkit berdiri setelah bergulingan di tanah berbatu.
Sedangkan Nenek J ubah Merah juga sudah berdiri tegak. Tampak di sudut bibir
masing-masing merembes darah segar.
Rupanya kekuatan ilmu tenaga dalam mereka seimbang.
Perempuan iblis, terima jurus 'Tangan Seribu' I ku!" dengus Kakek Tangan Seribu.
Secepat kilat Kakek Tangan Seribu merangsek dengan jurus
'Tangan Seribu'. Satu jurus tangan kosong yang memiliki kekuatan dahsyat.
Pukulan dan kibasan tangannya mengandung hawa dingin membekukan tulang.
Jangankan tubuh manusia, batu cadas sekali pun bisa hancur jika terkena
pukulannya. Sementara itu Nenek Jubah Merah melayani dengan jurus
'Bayangan Merah'. Jurus itu tidak kalah dahsyatnya, apalagi di tangan Nenek
Jubah Merah tergenggam senjata. Gerakan tangan, kaki, dan tubuhnya sangat cepat,
sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan merah saja.
Meskipun Kakek Tangan Seribu tidak menggunakan senjata, tapi
gerakan tangannya sangat cepat, dan mampu menandingi jurus
'Bayangan Merah'. Seolah-olah tangan kakek tua itu jadi seribu jumlahnya.
Berkelebatan mengurung tubuh Nenek Jubah Merah yang bergerak cepat, seakan juga
mengurung Kakek Tangan Seribu.
"Lihat kaki!" tiba-tiba Nenek Jubah Merah berseru keras.
"Uts!" Kakek Tangan Seribu langsung melompat begitu tongkat Nenek Jubah Merah
menyambar ke arah kaki.
Belum lagi Kakek Tangan Seribu menjejakkan kaki di tanah,
secepat kilat tangan kiri Nenek Jubah Merah menyodok ke depan.
Kakek Tangan Seribu mengibas-kan tangannya melindungi dada dari sodokan yang
cepat dan riba-tiba itu.
Trak! Dua tangan beradu keras. Saat Nenek Jubah Merah menarik
tangan kirinya pulang, dengan cepat Kakek Tangan Seribu melayangkan kakinya
menyampok ke arah pinggang. Nenek Jubah Merah berkelit mundur satu langkah. Kaki
kanan Kakek Tangan Seribu melayang menghantam ruang kosong perut perempuan itu.
Pada saat jarak mereka agak merenggang, tiba tiba Nenek Jubah Merah mengibaskan
tangannya dengan cepat.
Wut! Jarum-jarum beracun meluncur deras ke arah Kakek Tangan
Seribu. Tentu saja dalam jarak yang demikian dekat dan disertai dengan gerakan
yang tidak terduga-duga itu, membuat kakek itu jadi kelabakan.
Dia berlompatan di udara, tapi....
"Akh!"
Kakek Tangan Seribu tidak dapat menghindari beberapa jarum beracun. Tiga jarum
menancap di pundak kiri, dua di perut, dan satu lagi tepat menancap di kening.
Kakek Tangan Seribu jadi limbung.
Walet Emas Perak 14 Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat Tangan Geledek 7

Cari Blog Ini