Ceritasilat Novel Online

Rahasia Puri Merah 2

Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah Bagian 2


sekitar pertempuran tadi menjadi sepi. Tidak ada
yang bisa dilihat lagi, kecuali mayat Lawawi Girang
saja yang tergeletak dengan dada koyak bersimbah
darah. --myrna-- Siang itu matahari bersinar terik sekali. Sinarnya
panas menyengat, menerobos jari-jari besi pada
dinding batu yang berlubang, menghangatkan
ruangan kecil. Ruangan itu hanya berisi sebuah
dipan kayu yang terletak di pojok. Di atas dipan,
Kitri Boga tergeletak tak sadarkan diri. Sinar
matahari yang menghangati wajahnya, membuat
pemuda itu menggelinjang.
Perlahan-lahan Kitri Boga mengerjap-ngerjapkan
matanya. Kepalanya digeleng-gelengkan, berusaha
menghilangkan rasa perang yang menyerang.kepalanya.
Kitri Boga langsung tersentak bangun dan terduduk.
"Oh! Di mana aku?" keluh Kitri Boga lirih.
Kitri Boga berusaha mengingat-ingat kejadian
yang dialaminya. Sepasang bola matanya beredar
memandangi ruangan yang kecil berdinding batu
ini. Hanya ada satu pintu tertutup rapat dan jendela
kecil berjeruji besi.
Perlahan-lahan Kitri Boga mulai teringat kembali,
apa yang telah terjadi pada dirinya. Ya.... Dia
sudah sampai di puncak Bukit Arang Lawu bersama
Lawawi Girang. Dan mereka diserang sepuluh
orang berjubah merah. Lawawi Girang tewas, dan
dia diikat lalu dibawa ke markas mereka.
Sampai di situ Kitri Boga tidak ingat apa-apa
lagi. Begitu dibawa masuk, salah seorang yang
membawanya memukul bagian belakang kepalanya. Saat itu juga dia pingsan. Dan tahutahu sudah berada di kamar kecil bagai penjara ini.
Kitri Boga kaget bukan main, karena semua
senjatanya sudah lucut dari badan.
"Ah, apakah ini Puri Merah?" Kitri Boga
bertanya-tanya dalam hati.
Kitri Boga beranjak turuii dari dipan. Kakinya
melangkah mendekati jendela kecil satu-satunya di
ruangan ini. Lubang jendela itu pas dengan
kepalanya. Tampak beberapa orang berpakaian
serba merah memegangi tombak bercabang tiga
pada ujungnya, tengah berjaga-jaga. Kitri Boga
agak menyipit matanya melihat ada semacam
kerangkeng besar berisi wanita-wanita muda.
Di sekitarnya terdapat beberapa orang berjubah
merah. Tidak jauh dari situ, terdapat beberapa
tonggak kayu terpancang. Di sebelahnya ada altar
batu besar. Kitri Boga tersentak ketika matanya
beralih ke arah kiri. Di sana terdapat tumpukan
tulang tengkorak manusia menggunung dari dalam
lubang besar. Kembali matanya beralih pada
kerangkeng berisi wanita-wanita muda, altar, serta
beberapa tonggak kayu.
"Tempat apa sebenarnya ini?" tanya Kitri Boga
berbisik. Kitri Boga berbalik, bersandar pada dinding batu
di bawah jendela kecil. Benaknya berputar
memikirkan semua yang dilihatnya baru saja.
Macam-macam pertanyaan berkecamuk di kepalanya, namun tidak satu pun yang terjawab.
Matanya beralih memandang pintu ketika terdengar
suara rantai dan kunci dibuka. Pintu besi itu
perlahan-lahan terkuak mengeluarkan suara gaduh.
Tiga orang berjubah merah melangkah masuk
ketika pintu itu terbuka penuh. Dua orang lagi
hanya berdiri saja di samping pintu. Tiga orang itu
mendekati Kitri Boga, yang dua serentak
menempelkan ujung tombak ke tubuh pemuda itu.
"Ikut kami, dan jangan banyak tingkah!" kata orang yang berdiri di depan Kitri Boga.
"Ke mana?" tanya Kitri Boga.
"Jangan banyak tanya, ikut!" bentak orang itu
seraya berbalik.
Kitri Boga terpaksa menurut, karena salah
seorang mendorongnya dengan tekanan tombak.
Kitri Boga mencoba melihat wajah-wajah orang
berjubah merah yang menggiringnya, tapi hanya
seraut bentuk hitam saja yang tampak. Seluruh
kepala tertutup kain merah yang menyaru dengan
jubah panjang mengurung seluruh tubuhnya.
Mereka membawa Kitri Boga melalui lorong
yang panjang dan berliku. Lorong ini bagai sebuah
goa, dengan beberapa obor sebagai penerangan
yang menempel di dinding dalam jarak tertentu.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Beberapa
pintu terdapat di samping kiri dan kanan lorong
yang dijaga dua orang berjubah merah di tiap
pintu. Kitri Boga yakin kalau pintu-pintu itu
merupakan pintu kamar tahanan seperti yang tadi
di tempatinya. Tiga orang berjubah merah itu membawa Kitri
Boga sampai di luar. Pemuda itu terus digiring ke
arah beberapa tonggak kayu yang dilihatnya tadi
dari ruang tahanan. Kitri Boga diikat pada salah
satu tonggak. Pemuda itu melihat ke arah
kerangkeng yang berisi beberapa perempuan
muda. Perempuan-perempuan itu memandang lesu
tanpa semangat hidup.
"Tunggu! Apa maksudmu membawaku ke sini?"
cegah Kitri Boga ketika orang yang menggiringnya
akan berlalu. "Sudah kukatakan, diam! Hih!"
Buk! "Hugh!"
Kitri Boga sedikit merunduk ketika kepalan
tangan orang itu masuk ke perutnya. Seketika saja
perutnya terasa mual. Matanya jadi berkunangkunang, dan penglihatannya kabur. Orang-orang
berjubah merah itu terus saja berlalu meninggalkannya sendirian terikat pada tiang.
"Uh! Sial," dengus Kitri Boga. "Pasti Kakang Kandara Jaya sudah gelisah
menantiku. Mudah-mudahan saja dia benar-benar menyusul ke sini."
Wajah Kitri Boga mulai berkeringat, sinar
matahari begitu terik berada tepat di atas kepala.
Tapak kakinya mulai terasa panas bagai berada di
atas bara api. Di sekitarnya memang terdiri dari
hamparan pasir dan batu-batu kerikil, sehingga
udara di sekelilingnya begitu panas menyengat.
Kitri Boga memejamkan matanya. Dia bersemadi
berusaha untuk menyalurkan hawa murni,
menahan sengatan matahari yang begitu terik dan
panas. "Heeeh, sampai kapan aku berada di sini...?"
--myrna-- 4 Hari berjalan terasa lambat. Kandara Jaya sudah
yakin kalau Rangga dan Pandan Wangi bukan dari
gerombolan Puri Merah. Bahkan dia tidak sungkansungkan lagi memberikan keterangan mengenai
kelompok Puri Merah yang kabarnya bersarang di
puncak Bukit Arang Lawu ini. Rangga sendiri
menjelaskan kalau dirinya dan Pandan Wangi
berada di bukit ini karena mengikuti jejak-jejak
tapak kaki kuda.
"Jadi, jejak itu menghilang di tepi jurang?" tanya
Kandara Jaya yang masih merahasiakan siapa
dirinya yang sebenarnya.
"Benar. Aku berusaha untuk mengikuti jejak itu,
tapi entah mengapa jadi kesasar sampai di sini,"
sahut Rangga. "Pasti orang-orang Puri Merah yang menghancurkan desa itu," gumam Kandara Jaya.
"Aku tidak tahu pasti siapa yang melakukannya.
Yang jelas keadaan desa itu sangat menyedihkan.
Semua penduduk tewas, tidak ada seorang pun
yang hidup," sambung Pandan Wangi.
"Mereka orang-orang yang kejam. Sudah lama
aku berusaha untuk menghancurkannya," kata
Kandara Jaya lagi.
Mereka terus berbicara saling tukar pikiran
sambil berjalan. Tanpa terasa mereka sudah
mencapai tepi jurang yang besar dan dalam.
Kandara Jaya memeriksa jurang itu. Dia tertegun
mendapati sulur yano bersambung-sambung, dan
putus pada tengah-tengahnya. Dia jadi teringat
pada Kitri Boga dan Lawawi Girang,
Di sekitar bibir jurang ini terdapat begitu banyak
tapak kaki kuda. Begitu jelas tertera pada
rerumputan yang basah. Jejak itu hilang dan
berhenti di sinil Rasanya mustahil kalau kuda-kuda
itu menuruni jurang! yang sangat terjal dan dalam.
Hal inilah yang dipikirkan! Rangga.
Diam-diam Pandan Wangi memeriksa sekitar
tepi jurang itu, dengan tidak lepas mengikuti jejakjejak kaki kuda yang begitu banyak. Gadis itu
memeriksa sanpai ke sebuah semak-semak yang
tinggi dan rapat. Di sini jejak kaki kuda itu juga
menghilang terputus. Dengan sebatang kayu,
Pandan Wangi menyibakkan semal itu. Matanya
membeliak lebar, karena di balik semak terdapat
sebuah rongga. Agaknya seperti mulut goa.
"Kakang...!" Pandan Wangi berteriak memanggili
"Ada apa?" tanya Rangga, langsung melompat
menghampiri. "Ada goa," sahut Pandan Wangi sambil terus
me4 nyibakkan semak-semak kering yang
sepertinya sengaja untuk menutupi mulut goa ini.
Kandara Jaya juga segera menghampiri dan
meneliti keadaan mulut goa yang kini telah tersibak
lebar. "Aku periksa sebentar," kata Rangga seraya
melangkahkan kakinya memasuki goa itu.
Rangga berjalan perlahan-lahan dengan sikap
waspada. Keadaan dalam goa ini tidak terlalu gelap
karena masih ada sedikit cahaya yang masuk. Di
dasar goa yang memanjang ini terdapat banyak
jejak kaki kuda. Rangga terus berjalan mengikuti
lorong goa yang panjang ini. Dan dia tertegun
ketika melihat banyak kuda yang berkumpul pada
sebuah ruangan luas dan terang.
Ruangan itu atasnya? berlubang besar bagai
kepundan gunung yang sangat besar. Tidak
terdapat seorang pun di sini. Sulit menghitung
berapa banyak kuda yang ada dalam ruangan ini.
Rangga mengedarkan pandangannya. Semua
dinding terbuat dari batu-batu kasar yang dibentuk
oleh alam. Kelihatannya, hanya lorong ini satusatunya yang ada.
Rangga segera kembali menemui Pandan Wangi
dan Kandara Jaya yang menunggu di luar.
Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah cepat,
sehingga tidak lama kemudian sudah berada di
mulut goa ini. "Bagaimana?" tanya Kandara Jaya tidak sabar.
"Tidak ada siapa-siapa di dalam. Goa ini buntu,"
sahut Rangga. "Buntu..."!" Pandan Wangi sepertinya tidak
percaya. "Ya, buntu. Goa ini tempat menyimpan kudakuda." "Apa..."!" Kandara Jaya terkejut
"Ada puluhan ekor kuda di dalam sana, tapi
tidak ada seorang pun yang terlihat," kembali
Rangga menjelaskan.
"Mustahil! Lalu, ke mana orang-orang itu pergi?"
gerutu Kandara Jaya.
Rangga tidak menyahut. Matanya menatap lurus
ke tanah. Memang yang ada hanyalah tapak-tapak
kaki kuda saja. Tapi.... Mendadak dia tersentak,
dan langsung jongkok. Tangannya meraba-raba
rerumputan di sekitarnya. Rangga terus mengikuti
jejak-jejak tipis kaki manusia yang berseling
dengan jejak-jejak kaki kuda. Memang tipis sekali,
sehingga sulit terlihat kalau tidak benar-benar teliti.


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti sesampainya di tepi jurang yang besar dan dalam
itu. Lagi-lagi dia menarik napas panjang dan berat.
Semua jejak sepertinya terputus di bibir jurang ini.
Pelan-pelan Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri.
Pandan Wangi dan Kandara Jaya pun telah berada
di sampingnya. "Kau pernah bentrok dengan mereka?" tanya
Rangga tanpa mengalihkan pandangannya ke
puncak bukit yang berselimut kabut tebal.
"Pernah, beberapa kali," sahut Kandara Jaya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Rangga lagi.
"Tingkat kepandaian mereka memang tinggi sekali.
Tapi tidak semuanya. Ada juga yang lumayan,
bahkan yang rendah pun ada," jelas Kandara Jaya.
"Kira-kira, berapa orang yang memiliki
kepandaian yang cukup tinggi?"
"Aku tidak tahu pasti. Tapi yang mengenakan
jubah merah, rasanya yang memiliki kepandaian
cukup tinggi. Jumlah yang pasti aku tidak tahu."
"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas.
Pendekar Rajawali Sakti pandangannya beralih
pada Pandan Wangi yang berdiri di samping
kirinya. Kemudian pandangannya kembali beralih
ke seberang jurang sana.
"Kau bisa melompati jurang ini, Pandan?" tanya
Rangga. "Mungkin," sahut Pandan Wangi ragu-ragu.
"Coba lakukan!"
"Apa..."! Gila! Kau ingin jadikan aku kelinci
percobaan, ya?" gerutu Pandan Wangi gusar.
"Aku hanya ingin tahu saja. Dengan cara itu,
kita bisa mengukur sampai di mana tingkat
kepandaian yang mereka miliki," suara Rangga
terdengar tenang. "Biar aku saja!" sergah Kandara
Jaya. "Jangan!" cegah Rangga. "Kenapa" Aku atau
adikmu kan sama saja!" "Maaf, bukannya aku tidak
percaya dengan kemampuanmu. Tapi sebaiknya
biar Pandan Wangi saja yang mencoba lebih dulu."
Pandan Wangi diam saja. Dia tidak ingin
berdebat dengan Pendekar Rajawali Sakti ini.
Cukup lama ia bersama Rangga, maka dia sudah
tahu betul segala sifat dan tindakannya. Memang,
kadang-kadang tindakan dan pemikiran Rangga
sangat sulit dimengerti. Tapi Pandan Wangi merasa
yakin kalau segala yang dikatakan Rangga, tentu
sudah pula dipikirkan akibatnya. Pendekar muda itu
tidak mungkin membiarkan Pandan Wangi
mendapat celaka.
Tanpa banyak bicara lagi, Pandan Wangi segera
memekik keras, dan tubuhnya melesat tinggi ke
udara. Beberapa kali jungkir balik di udara untuk
menambah ayunan lompatan, tapi Pandan Wangi
belum juga sampai ke seberang. Tubuh gadis itu
merasa meluruk menghunjam ke bawah.
"Hait..!" tiba-tiba saja Rangga menyentakkan
tangannya ke arah tubuh Pandan Wangi yang siap
dilumat dasar jurang.
Dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu
meluncur deras seberkas sinar putih kebiru-biruan
menyeberangi jurang. Sedangkan tubuh Pandan
Wangi terus meluruk deras bagai tersedot mulut
jurang. "Kakang...!" jerit Pandan Wangi ngeri.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Rangga menambah kekuatan dalam usahanya meluncurkan sinar agar
mencapai tubuh Pandan Wangi.
Tapi ujung sinar putih itu tidak juga mencapai
tubuh Pandan Wangi yang terus meluruk semakin
dalam ke jurang yang berkabut tebal. Terdengar
jeritan menyayat dan menggema dari dalam
jurang. "Pandaaan...!" teriak Rangga keras.
Jeritan Pandan Wangi yang melengking tinggi,
menghilang ketika tubuhnya ditelan kabut yang
menutupi bagian dalam jurang itu. Rangga
berteriak-teriak
memanggil Pandan Wangi. Sedangkan tubuh gadis itu sudah lenyap ditelan
jurang. "Oh! Pandan...," rintih Rangga, lalu jatuh lemas
berlutut --myrna-- "Rangga...," Kandara Jaya memegang pundak
Rangga yang berlutut di bibir jurang.
Pelan-pelan kepala Pendekar Rajawali Sakti itu
menoleh menatap Kandara Jaya. Kemudian
pandangannya kembali berpaling pada jurang di
depannya. Keadaan di dalam jurang tetap gelap
dan berkabut. Tidak terdengar lagi suara apa-apa
di sana. "Maafkan aku, Pandan. Aku tidak bermaksud
mencelakakan dirimu," rintih Rangga lirih.
"Rangga...," pelan suara Kandara Jaya
terdengar. "Tidak! Dia tidak boleh mati! Aku..., aku
mencintainya. Aku mencintai Pandan Wangi.
Tidaaak...!" Rangga jadi histeris.
Kandara Jaya bingung akan sikap Rangga yang
begitu histeris. Dia tidak mengerti maksud ucapan
Rangga. Disangkanya Pandan Wangi benar-benar
adik Rangga. Tapi kata-kata yang terucap dari
mulut Rangga.... Sepertinya Pandan Wangi adalah
seorang kekasih yang sangat dicintai.
"Dengarkan aku, Pandan! Dengarkan.... Aku
mencintaimu, Pandan. Aku mencintaimu...!" keras
sekali suara Rangga, hingga menggema ke seluruh
penjuru. "Rangga..., tenanglah. Rangga...," Kandara Jaya
berusaha menenangkan hari Rangga yang tengah
dicambuk rasa penyesalan, karena telah meminta
Pandan Wangi untuk melompati jurang ini.
Rangga berdiri tegak. Tampak dua bola matanya
berkaca-kaca, menatap lurus ke puncak Bukit
Arang Lawu. Perlahan-lahan dia menunduk
memandang ke dalam jurang yang gelap tertutup
kabut Pendekar Rajawali Sakti itu mendesah
panjang merasakan pundaknya ditepuk.
"Aku ikut merasakan apa yang kau rasakan, saat
ini," kata Kandara Jaya penuh perhatian.
"Yaaah...," Rangga mendesah panjang. Rasanya
tidak ingin mengucapkan apa-apa lagi.
"Kau sudah berusaha menolongnya. Itu bukan
kesalahanmu semata, Rangga," kembali Kandara
Jaya berusaha menentramkan hari Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Lama Rangga meratap dan menyesali peristiwa
itu.... Rangga mengangkat kepalanya ketika tibatiba mendengar suara yang sangat halus. Tampak
di seberang jurang sana, berdiri sekitar sepuluh
orang berjubah merah dengan tombak berujung
tiga. Kandara Jaya juga terkejut saat melihat
gerombolan itu yang telah berdiri di seberang
jurang. Yang membuat Rangga sangat terkejut adalah
adanya seorang wanita mengenakan baju ketat
warna biru tengah dipegangi kedua tangannya oleh
dua orang dari gerombolan itu. Rambutnya yang
hitam panjang bergelombang, terurai lepas
menutupi wajahnya. Potongan tubuh dan baju
yang dikenakannya sangat mirip dengan Pandan
Wangi. "Pandan...," desah Rangga lirih. 'Pandan...!
Kaukah itu?" teriak Rangga disertai pengerahan
tenaga dalam. "Ha ha ha...!" salah seorang yang berjubah
merah tertawa terbahak-bahak.
"Dia akan menjadi persembahan bagi dewa
keabadian bangsa kami!" terdengar suara
bergema. Kandara Jaya celingukan mencari sumber suara.
Sedangkan Rangga tetap memandang lurus ke
seberang jurang. Sepertinya tengah memastikan
kalau wanita yang terkulai lemas itu adalah Pandan
Wangi. "Berikan persembahan itu pada Sang Dewa
Agung Keabadian!" terdengar lagi suara besar
bergema. "Kakang..., tolooong...!" terdengar suara
teriakan seorang wanita.
Bersamaan dengan itu, dua orang yang tengah
memegangi wanita itu, melangkah maju beberapa
langkah. Kemudian wanita itu dilemparkannya ke
dalam jurang yang lebar dan dalam. Suara jeritan
melengking terdengar menyayat semakin melemah,
bersamaan dengan meluncurnya tubuh wanita itu
ditelan perut jurang.
"Pandan...," desah Rangga lirih. Suara wanita itu
sangat mirip sekali dengan Pandan Wangi.
"Ha ha ha...!" terdengar suara tawa
menggelegar. "Biadab! Kejam, kubunuh kau!" geram Rangga.
Setelah menggeram beberapa kali, Pendekar
Rajawali Sakti itu melenting tinggi ke udara
menyeberangi jurang yang sangat lebar dan dalam.
Kandara Jaya tidak dapat mencegah lagi. Rangga
begitu cepat bergerak dan kini berjumpalitan di
udara. Saat posisi Rangga di tengah-tengah jurang,
sepuluh orang berjubah merah itu segera
menyentakkan tangannya dengan cepat. Ratusan
benda kecil berwarna merah, meluncur deras ke
arah Rangga. "Awas, senjata rahasia...!" teriak Kandara Jaya
memperingatkan.
"Hiyaaa...!"
Rangga berteriak nyaring melengking. Tubuhnya berputaran cepat di udara,
menghindari senjata-senjata rahasia berwarna
merah yang menghujani dirinya. Senjata rahasia
menyerupai bola-bola kecil, meluruk jatuh ke dalam
jurang sebelum sampai ke seberang. Tidak ada
satu pun yang berhasil menyentuh tubuh Rangga
yang terus melenting mendekati bibir jurang
seberang sana. Kandara Jaya hampir tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri. Sepuluh orang berjubah
merah itu berlompatan bagai terbang menyongsong Rangga sebelum sampai ke tepi
jurang, langsung menyerang dengan tombak
bermata tiga. Rangga segera mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Dengan jurus ini, dia
dapat leluasa bertarung di udara, bagaikan
bertarung di permukaan tanah saja. Rangga agak
terkejut juga, karena orang-orang berjubah merah
itu dapat terbang seperti burung. Gerakangerakannya pun begitu cepat dan berbahaya.
Pendekar Rajawali Sakti itu agak kewalahan juga
menghadapi lawan-lawannya dalam pertarungan di
udara, pada permukaan jurang yang siap menelan
siapa saja. "Aku tidak akan mungkin menandingi mereka
tanpa senjata," dengus Rangga dalam hati.
Sret! Cahaya biru berkilau langsung membias saat
pedang Rajawali Sakti telah keluar dari
warangkanya. Dengan pedang pusaka di tangan, Rangga
bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa
Sinar biru berkelebat memburu orang-orang
berjubah merah. Beberapa kali pedang Rajawali
Sakti berbenturan dengan tombak-tombak bermata
tiga. Dan ini membuat Rangga jadi tersentak kaget.
Sebab, belum pernah ada senjata yang utuh bila
berbenturan dengan pedangnya! Tapi tombak di
tangan orang-orang berjubah merah itu tidak
berubah sedikit pun.
Jurus demi jurus segera berlalu dengan cepat,
Rangga merasa semakin sulit bertarung di udara
terus menerus. Beberapa kali dia harus meminjam
tenaga saat senjatanya beradu, agar tetap berada
di udara. Tapi cara itu dapat diketahui dengan
cepat Orang-orang berjubah merah itu tidak ada


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membenturkan senjata lagi. Mereka seakanakan sengaja menghindar, bahkan bertarung
dengan menjaga jarak.
"Celaka! Aku bisa masuk jurang kalau begini
terus," pikir Rangga.
Beberapa kali dia berusaha untuk keluar dari
dalam pertarungan. Tapi usahanya selalu gagal.
Orang-orang berjubah merah itu bagaikan telah
membaca setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti
ini. Bahkan dengan mudah bisa mematahkan
serangan Rangga di tengah jalan. "Suiiit...!"
tiba-tiba Rangga
bersiul nyaring.
Orang-orang berjubah merah yang jumlahnya sepuluh orang itu serentak berlompatan ke tepi jurang, begitu mendengar siulan melengking dari mulut Rangga. Tepat ketika kaki
mereka mendarat manis di tepi jurang, di angkasa
terlihat satu benda berwarna coklat kehitaman
melayang-layang, lalu menukik turun.
"Cepat! Aku sudah tidak kuat!" teriak Rangga
ketika melihat burung rajawali raksasa itu. Aneh!
Sepuluh orang berjubah merah langsung melepaskan senjatanya dan berlutut Dengan
tangan terentang ke atas, mereka bergerak
membungkuk dan kembali tegak, bagaikan tengah
menyembah dewa.
"He! Kenapa mereka jadi begitu?" Rangga
keheranan tidak mengerti.
--myrna-- Rangga memerintahkan burung rajawali raksasa
untuk mendarat di seberang. Sepuluh orang
berjubah merah itu terus saja menyembahnyembah. Manis sekali Rangga melompat turun
dari punggung rajawali raksasa itu. Dilangkahkan
kakinya mendekati sepuluh orang yang tetap
berlutut dengan telapak tangan menyentuh tanah.
"Siapa di antara kalian yang jadi pemimpin?"
tanya Rangga. Satu orang yang berada di tengah-tengah
langsung bergerak maju. Sikapnya tetap berlutut
dan membungkuk seraya mencium tanah beberapa
kali. Hormat sekali.
"Siapa namamu?" tanya Rangga. "Ampunkan
hamba. Ampunkan segala dosa-dosa bangsa
hamba, Dewa Agung penguasa jagad raya," kata
orang itu terus menyembah-nyembah.
"Aku tanya, siapa namamu?" Rangga mengulangi lagi pertanyaannya.
"Nama hamba Natrasoma. Dan mereka adalah
para punggawa hamba, Gusti Dewa Agung."
"Hm...."
Rangga memalingkan muka ke arah seberang.
Tampak Kandara Jaya masih berdiri mematung
keheranan akan kejadian yang sama sekali belum
pernah disaksikannya. Sepertinya tengah bermimpi
saja saat ini. Sungguh mari, dia tadi nyaris pingsan
ketika melihat seekor rajawali raksasa menukik
menyambar Rangga.
Kandara Jaya terperangah karena burung itu
sangat jinak, bahkan mengerti perintah Rangga.
Dan yang lebih mengherankan lagi, orang-orang
berjubah merah itu langsung menyembahnyembah. Sepertinya, Rangga dan rajawali raksasa
itu adalah dewa sesembahan mereka.
"Rajawali, bawa Kandara Jaya ke sini!" kata
Rangga. "Khraaaghk!"
Maka sayap lebar burung raksasa itu pun
terkepaklah. Dia melayang, dan cepat menyambar
tubuh Kandara Jaya. Tentu saja pangeran muda itu
menjerit-jerit ketakutan. Dia meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman cakar
burung raksasa itu. Rangga hanya tersenyum
melihat Kandara Jaya ketakutan setengah mati.
Wajah pangeran muda itu kelihatan pucat, meski
telah berada di samping Rangga.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya menepuknepuk kepala burung rajawali raksasa itu, lalu
menciumnya lembut.
"Rangga...," Kandara Jaya beringsut ngeri
melihat burung rajawali raksasa berada di
dekatnya. "Tidak apa-apa. Dia sahabatku yang terbaik,"
kata Rangga kalem.
Perhatian Rangga beralih pada sepuluh orang
berjubah merah yang tetap berlutut di depannya.
Matanya menatap tajam salah seorang yang
berada paling depan. Orang yang mengaku
bernama Natra-soma.
"Natrasoma, kuminta jawablah dengan jujur.
Mengapa kau melakukan pembunuhan dan
pengrusakan desa-desa di sekitar kaki bukit Arang
Lawu ini?" tanya Rangga.
"Tunggu dulu!" potong Kandara Jaya cepat
sebelum Natrasoma menjawab pertanyaan Rangga.
"Ada apa lagi, Kandara Jaya?" tanya Rangga.
"Aku ingin mereka membuka selubung yang
menutupi wajahnya," sahut Kandara Jaya.
Kesepuluh orang itu mendongakkan kepala.
Tanpa diminta dua kali, mereka segera membuka
selubung yang menutupi kepala dan wajah.
Kandara Jaya dan Rangga terperangah begitu
melihat wajah mereka yang rusak bagai mayat
hidup. Daging dan kulit wajah terkelupas, sehingga
menampakkan tulang-tulangnya.
Kandara Jaya bergidik menyaksikan keadaan
yang mengerikan itu. Bahkan mereka juga tidak
memiliki rambut. Kulit kepala pun terkelupas di
beberapa tempat.
"Sudah, sudah! Tutup lagi!" kata Rangga tidak
tahan melihat pemandangan yang mengerikan
seperti itu. Bagaimana tidak" Mereka itu lebih mirip mayat
hidup! Sulit dimengerti. Dalam keadaan seperti itu,
mereka masih mampu bertahan hidup. Pantas,
mereka selalu mengenakan jubah panjang yang
menutupi seluruh tubuh. Hanya tangan saja yang
kelihatan utuh dan tidak cacat.
Dalam benak Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba
muncul rencana setelah melihat keadaan sepuluh
orang berjubah merah itu. Apa lagi melihat sikap
mereka yang begitu ketakutan saat burung rajawali
raksasa datang memenuhi panggilannya. Burung
rajawali raksasa yang telah mengajarkan dan
mendidik Rangga hingga menjadi seorang
pendekar pilih tanding sampai saat ini.
--myrna-- 5 Burung rajawali raksasa mengepakkan sayapnya, melambung tinggi ke angkasa. Rangga
memandanginya hingga tidak terlihat lagi, lenyap di
balik gumpalan mega. Sementara itu Kandara Jaya
tetap berdiri di sampingnya. Pikirannya masih
dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang
berkecamuk. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit
terjawab, dan membuatnya masih terheran-heran.
Rangga melangkahkan kakinya mendekati bibir
jurang. Dia berdiri tepat di tepi jurang yang
menganga lebar. Pandangannya lurus menatap ke
bawah yang gelap berselimut tebal. Rasa
penyesalan kembali melanda hatinya. Entah
bagaimana nasib Pandan Wangi di dalam jurang
sana. Agak lama juga Rangga berdiri memandang
ke dalam jurang. Sambil melepaskan napas
panjang, dibalikkan rubuhnya.
"Natrasoma, ceritakan yang sebenarnya. Kenapa
kau lemparkan wanita tadi ke dalam jurang?" tanya
Rangga. "Ampunkan hamba, Gusti Dewa Agung. Hamba
terpaksa melakukannya. Seluruh bangsa hamba
terancam musnah bila tidak menuruti kehendak
Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana," sahut
Natrasoma seraya membungkukkan badannya.
"Dewi Sri Tungga Buana" Siapa dia?" desak
Kandara Jaya. "Dewi yang memberi kami hidup abadi dan
kedamaian di alam mayapada ini."
"Dengan mengorbankan gadis-gadis?" Rangga
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gadis-gadis itu pilihan Yang Mulia Dewi Sri
Tungga Buana. Mereka akan dijadikan dayangdayang penghias istana kerajaan para dewa di
kahyangan."
"Kenapa harus diceburkan ke dalam jurang ini?"
tanya Kandara Jaya masih belum mengerti betul.
"Itulah jalan satu-satunya menuju istana dewa.
Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana yang
memerintahkan kami untuk menunjukkan jalan
bagi gadis-gadis itu."
Kandara Jaya memandang Rangga dengan sinar
mata tidak mengerti. Rangga mengayunkan
kakinya mendekati Natrasoma yang berdiri paling
depan di antara yang lainnya. Mereka berdiri
dengan kepala tertunduk. Entah kenapa. Begitu
melihat sinar biru terpancar dari pedang Rajawali
Sakti, mereka langsung menyangka kalau Dewa
Agung mereka datang. Lebih-lebih setelah
kemunculan burung rajawali raksasa.
Rangga yang menyadari salah pengertian ini,
memanfaatkannya
dengan baik, meskipun benaknya masih terus bertanya-tanya. Bagaimana
mungkin mereka menganggapnya dewa" Dia
adalah manusia biasa. Sama dengan mereka. Tapi
Rangga tidak ingin mempersoalkannya. Maka
dimanfaatkannya
kesempatan ini untuk menyingkap misteri yang terkandung di Bukit
Arang Lawu ini.
"Natrasoma di antara rakyatmu ada yang
wanita, bukan" Nah! Mengapa harus menculik
gadis-gadis dari desa lain" Bahkan membunuh
semua penduduknya. Apakah semua yang kau
lakukan itu juga kehendak Dewi Sri Tungga
Buana?" tanya Rangga mulai memancing.
"Benar, Gusti Dewa Agung," sahut Natrasoma
seraya membungkuk.
"Lalu, siapa tadi yang kau ceburkan?" ada
sedikit tekanan pada suara Rangga.
"Seorang gadis yang kesasar masuk wilayah
kami. Dan Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana
menginginkan segera dikorbankan."
"Gadis kesasar?" Rangga mengerutkan keningnya. "Benar, Gusti Dewa Agung. Rakyatku menemukannya tengah hanyut di sungai. Di
tubuhnya terdapat sebilah pedang dan kipas dari
ba...." "Setan! Kau bunuh Pandan Wangi, heh!" geram
Rangga memotong kata-kata Natrasoma.
"Ampun, Gusti Dewa Agung. Kami hanya


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjalankan perintah Dewi Sri Tungga Buana,"
suara Natrasoma terdengar bergetar. Tubuhnya
pun menggigil ketakutan.
Rangga menjadi geram, dan memuncak
kemarahannya. Tapi tiba-tiba saja dia tidak sampai
hati ketika orang-orang berjubah merah di
depannya menjatuhkan diri dan berlutut.
"Ah, Pandan... mengapa sampai dua kali kau
jatuh ke jurang?" desah Rangga bergumam, penuh
dengan ketidakmengertian.
"Hamba menerima salah, Gusti Dewa Agung.
Kami semua siap menerima hukuman," kata
Natrasoma bergetar.
"Bangunlah kalian semua," kata Rangga.
Suaranya agung dan berwibawa.
Kandara Jaya sendiri sempat melongo mendengari suara Rangga begitu agung penuh
kewibawaan. Hampir seharian saling berbicara dan
saling mengenal, tapi baru kali ini Kandara Jaya
mendengar suara yangl begitu agung meluncur dari
bibir Rangga. Kesepuluh! orang berjubah merah
beranjak bangkit berdiri. Kepala mereka masih
tetap menunduk tertutup kain merahi berbentuk
kerucut. "Kami semua siap menjalankan perintah dan
menerima hukuman, Gusti Dewa Agung," kata
Natrasoma. Suaranya masih terdengar bergetar
bernada takut. "Tidak ada gunanya menghukum kalian. Aku
tahu kalian tidak bersalah dan ditekan oleh
kekuatan iblis yang mengaku sebagai Dewi Sri
Tungga Buana," kata Rangga penuh wibawa.
Tidak ada yang membuka suara. Suasana
hening untuk beberapa saat. Rangga memandangi
sepuluh orang yang berdiri membungkuk di
depannya. Dari sinar matanya, terlihat kalau dia
tengah berperang dengan batinnya sendiri. Rangga
kini dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit
dipecahkan. Di satu pihak, dia sangat mencintai Pandan
Wangi yang kini entah bagaimana nasibnya di
dalam jurang sana. Rangga tidak bisa membohongi
dirinya lagi. Dia benar-benar mencintai gadis itu.
Tapi di pihak lain jiwa kependekarannya dituntut
untuk menyelesaikan kemelut yang tengah
dihadapinya. Dari jawaban dan keterangan yang
diberikan Natrasoma, ada kesimpulan kalau orangorang berjubah merah ini dalam keadaan tertekan
suatu kekuatan iblis.
Jiwa kependekaran Rangga mengatakan kalau
dia harus menolong orang-orang berjubah merah
ini. Orang-orang yang disebut sebagai Kelompok
Puri Merah. Rangga meminta mereka untuk
membawanya ke puncak Bukit Arang Lawu. Tentu
dengan senang hati mereka akan mengantar
Rangga yang dianggap sebagai Dewa Agung. Dewa
yang menurut kepercayaan mereka adalah raja dari
segala dewa yang ada.
--myrna-- "Inilah tempat tinggal kami. Kami namakan Puri
Merah," kata Natrasoma.
Rangga memandangi bentuk-bentuk bangunan
yang semuanya terbuat dari tumpukan batu. Di
tengah-tengah bangunan itu terdapat sebuah puri
kecil berwarna merah. Seluruh tempat ini dikelilingi
tembok batu yang berbentuk seperti cincin raksasa
melingkari puncak Bukit Arang Lawu.
Kebanyakan orang yang ada di sini mengenakan
jubah merah. Tapi ada juga yang mengenakan
pakaian biasa. Rangga dan Kandara Jaya terus
melangkah mengikuti Natrasoma menuju puri yang
berwarna merah. Natrasoma berhenti di depan puri
itu dan berlutut. Satu per satu orang berjubah
merah yang ada menghampiri, dan mereka segera
berlutut di depan puri merah itu.
Natrasoma kembali berdiri, lalu berbalik
menghadap pada Rangga. Badannya membungkuk
dengan tangan berada di dada.
"Ijinkan hamba berbicara, Gusti Dewa Agung,'
kata Natrasoma sopan.
"Silakan," sahut Rangga.
"Terima kasih."
Natrasoma melangkah dua tindak menghampiri
Puri Merah lalu naik satu tangga puri itu. Sebentar
diedarkan pandangannya ke sekeliling. Di sekitar
Puri Merah itu sudah dipenuhi orang berjubah
merah. Sedangkan yang mengenakan pakaian
biasa berjaga-jaga dengan senjata terhunus.
"Saudara-saudaraku semua. Hari ini Gusti Dewa
Agung berkenan mengunjungi kita semua.
Saudara-saudara bisa lihat, siapa yang berdiri di
tengah-tengah kita!" suara Natrasoma terdengar
lantang dan berwibawa.
Suara-suara gumaman terdengar bagai lebah
digebah sarangnya. Semua orang yang memakai
jubah merah serentak menjatuhkan diri berlutut
Rangga benar-benar tidak mengerti mengapa
dirinya dianggap dewa! Dia adalah manusia biasa
yang masih doyan makan, dan masih senang hidup
di dunia. "Bagaimana ini?" tanya Rangga pada Kandara
Jaya. "Aku sendiri tidak tahu. Mereka benar-benar
menganggapmu dewa," sahut Kandara Jaya
berbisik. "Gila! Aku bukan dewa!" rungut Rangga, tapi
pelan. "Kau lihat Rangga...."
Rangga mengalihkan pandangannya ke arah
yang ditunjuk Kandara Jaya. Pendekar Rajawali
Sakti itu terkejut bukan main. Tepat pada bagian
puncak puri, terdapat patung burung rajawali
raksasa yang ditunggangi seorang laki-laki yang....
"Mustahil!" desah Rangga.
Patung itu hampir mirip dengan dirinya. Bentuk
wajah, pakaian, dan pedang di punggung.
Pendekar Rajawali Sakti semakin tidak mengerti.
Sedangkan orang-orang berjubah merah di
sekelilingnya mulai mengalunkan lagu-lagu persembahan yang tidak dimengerti sama sekali.
"Natrasoma!" panggil Rangga.
"Hamba, Gusti," sahut Natrasoma seraya
menghampiri. "Aku ingin bicara denganmu," kata Rangga
setengah berbisik.
"Silakan Gusti Dewa Agung masuk ke dalam
puri. Itulah tempat suci yang kami sediakan bagi
dewa yang berkunjung ke sini."
"Terima kasih," ucap Rangga seraya melangkah
menuju ke Puri Merah. "Kau ikut Kandara!"
Kandara Jaya segera mengikuti langkah Rangga
yang didampingi Natrasoma. Sementara itu
orangorang berjubah merah terus berlutut seraya
mengalunkan nyanyian persembahan. Sedangkan
orang-orang yang tampaknya dari kalangan rimba
persilatan, hanya berdiri berkeliling dengan senjata
terhunus. Rangga, Kandara Jaya, dan Natrasoma menaiki
anak-anak tangga Puri Merah. Natrasoma berhenti
dan membungkukkan badan ketika tiba pada
sebuah pintu yang tidak memiliki penutup. Rangga
terus melangkah masuk diikuti Kandara Jaya.
Natrasoma mengikuti dari belakang.
"Ck ck ck...," Rangga berdecak kagum melihat
keadaan dalam puri yang begitu megah bagaikan
berada di istana saja.
Kandara Jaya pun menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dia anak seorang raja, tapi belum
pernah meliha tata ruang yang begitu indah.
Semua barang dan perabotan terbuat dari bahan
emas dan perak murni.i Lantainya beralaskan
permadani tebal nan lembut, dan bercorak indah.
Sekeliling dinding hingga atap, penuh dengan
ukiran-ukiran yang memiliki nilai seni yang sangat
tinggi. Terus-terang saja, Rangga belum pernah
memasuki tempat seindah ini. Sepertinya tempat
yang diperuntukkan bagi para dewa. Seorang raja
besar sekalipun, belum tentu memiliki ruangan
seindah dan semewah ini. Rangga duduk di sebuah
pembaringan beralaskan kain sutra berwarna
merah muda yang halus dan lembut. Natrasoma
duduk bersimpuh dekat kakinya. Sedangkan
Kandara Jaya mengambil tempat di samping
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku perhatikan, seperti ada dua kelompok di
sini," kata Rangga memulai pembicaraannya. "Bisa
kau jelaskan, Natrasoma?"
"Benar, Gusti Dewa Agung. Orang-orang yang
tidak mengenakan jubah merah adalah mereka
yang dibawa Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana.
Mereka para prajurit kahyangan yang sedang
menyamar jadi manusia, seperti halnya Gusti,"
jawab Natrasoma dengan sikap hormat.
"Hm..., lalu di mana Dewi Sri Tungga Buana?" i
tanya Rangga lagi.
"Yang Mulia biasanya datang pada saat bulan
purnama, untuk menghadiri upacara persembahan
tumbal seorang gadis perawan."
"O..., jadi kau culik gadis-gadis hanya untuk
dijadikan tumbal?" celetuk Kandara Jaya.
"Benar, Gusti. Semua itu kami lakukan karena
terpaksa. Kami tidak ada pilihan lain. Karena, kalau
tumbal tidak diserahkan tepat pada waktunya,
maka Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana akan
memusnahkan kami semua."
"Dengan para prajurit kahyangannya?"
"Benar, Gusti. Prajurit-prajurit kahyangan itu
selaku menjaga tempat kami. Yah..., memang
nasib kami selalu buruk. Kami adalah orang-orang
yang dibuang dan dikucilkan, karena bangsa kami
telah dikutuk Dewa Keadilan. Kami telah memilih
tempat yang terpencil, jauh dari jangkauan bangsa
lain. Tapi rupanya masih ada juga yang tidak suka,
seperti halnya Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana.
Beliau memang tidak menyukai orang-orang seperti
kami. Katanya, kami ini pembawa malapetaka bagi
seluruh umat manusia."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia
menoleh pada Kandara Jaya yang juga tengah
memandang kepadanya.
"Baiklah. Kau boleh pergi," kata Rangga.
"Hamba mohon diri, Gusti Dewa Agung," pamit
Natrasoma. "Ya, silakan."
--myrna-- "Tidak mungkin!"
"Aku melihat sendiri, Nini Dewi! Orang yang
datang bersama Natrasoma hampir sama dengan
patung Dewa Agung mereka!"
"Dewa Agung mereka menunggang seekor
rajawali raksasa. Bertahun-tahun telah kupelajari
hal itu Aku tidak percaya adanya Dewa Agung!"
"Kalau tidak percaya, silakan Nini Dewi lihat
sendiri. Dia ada di puri saat ini."
Wanita muda yang cantik berpakaian ketat
serba merah itu berjalan mondar-mandir.
Sedangkan laki-laki tua yang berdiri dekat pintu
hanya memandangi saja. Wanita muda itulah yang
menamakan dirinya Dewi Sri Tungga Buana.
Sedangkan laki-laki tua itu bernama Ki Datapola.
"Bawa tawanan kemarin ke sini!" perintah Dewi
Sri Tungga Buana.
"Untuk apa, Nini Dewi" Aku rasa kedatangan
dua orang yang dianggap Dewa Agung itu, tidak
ada hubungannya dengan tawanan kita," bantah Ki
Datapola. "Kurasa, malah sebaliknya, Ki Datapola.
Kejadiannya begitu cepat dan berurutan. Sedangkan menurut laporanmu, para prajurit
Kerajaan Mandaraka telah meninggalkan lereng
bukit. Nah! Bukan tidak mustahil mereka
menggunakan siasat baru, karena tidak mampu
mengalahkan kekuatan kita!"
"Baiklah, akan kubawa tawanan itu ke sini."
"Secepatnya, Ki Datapola!"
"Baik, Nini Dewi."
Ki Datapola segera beranjak pergi dari ruangan
yang seluruhnya berdinding batu. Pada keempat


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudutnya terdapat pelita yang menyala besar
menerangi seluruh ruangan yang ditata indah dan
apik, dengan sentuhan lembut dan halus. Ruangan
ini mirip dengan goa, tapi karena ditata sedemikian
rupa sehingga kelihatannya bagai berada dalam
kamar putri raja.
Sepeninggal Ki Datapola, Dewi Sri Tungga
Buana membantingkan tubuhnya di atas pembaringan beralaskan kain sutra halus berwarna
biru muda. Tampak sekali kekesalan tersirat di
wajahnya yang putih halus nan cantik itu. Bibirnya
yang selalu merah, bergerak-gerak bergetar.
Harinya sangat risau setelah mendengar laporan
tentang kedatangan Rangga dan Kandara Jaya
yang dianggap Dewa Agung oleh orang-orang Puri
Merah. Dewi Sri Tungga Buana memiringkan tubuhnya.
Sebelah tangannya ditekuk untuk menopang
kepala. Pada saat itu terdengar ketukan pintu di luar.
Wanita itu mendongakkan kepalanya sedikit
memandang ke arah pintu.
"Masuk!" serunya sedikit keras.
Pintu yang terbuat dari kayu jari tebal, perlahanlahan terbuka. Tampak Ki Datapola melangkah
masuk diiringi dua orang dengan pedang
tergantung di pinggang mengiringi Kitri Boga.
Kedua tangan anak muda putra Maha Patih
Kerajaan Mandaraka itu terikat rantai besi. Kitri
Boga didorong keras sehingga jatuh tersuruk. Dia
lalu berlutut di depan pembaringan Dewi Sri
Tungga Buana. "Kalian semua keluar," kata Dewi Sri Tungga
Buana tenang. Ki Datapola menjentikkan jarinya, kemudian
melangkah keluar diiringi dua orang bertubuh
tegap yang mengiringi Kitri Boga tadi. Pintu
kembali tertutup rapat. Dewi Sri Tungga Buana
memandangi Kitri Boga dengan bola mata
berputar. Tergetar juga harinya melihat ketampanan pemuda ini.
Dewi Sri Tungga Buana beringsut bangun, dan
duduk menjuntai di tepi pembaringan. Matanya
terus menatap wajah Kitri Boga yang juga
membalas tatapannya. Hati Kitri Boga pun tergetar
melihat kecantikan wanita di depannya. Darah
mudanya segera menggelegak ketika melihat bukit
putih menyembul bagai hendak keluar dari balik
belahan baju yang rendah.
"Siapa namamu?" tanya Dewi Sri Tungga Buana
Suaranya terdengar lembut menghanyutkan.
"Kitri Boga," jawab pemuda anak Maha Patih
Kerajaan Mandaraka itu.
"Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?"
"Aku ditangkap orang-orang Puri Merah."
"Apa yang kau ketahui tentang Puri Merah?"
"Tidak banyak."
"Lalu, mengapa kau berada di Bukit Arang
Lawu?" "Tentunya kau sudah bisa menjawabnya sendiri,
bukan?" Dewi Sri Tungga Buana tersenyum manis. Dia
berdiri dan mendekati pemuda itu. Kakinya terayun
pelan dan halus mengelilingi Kitri Boga yang tetap
saja duduk berlutut dengan kedua tangan dirantai.
Dewi Sri Tungga Buana kembali berdiri di
depannya. Jari tangan yang lentik halus, menunjuk
ke pergelangan tangan yang terbelenggu rantai.
Sinar merah meluncur dari jari tangan yang
menunjuk itu. Kitri Boga terkejut, tapi sinar merah
itu telah menyambar rantai. Mata anak muda itu
membelalak lebar ketika rantai yang membelenggu
tangannya terlepas tanpa melukai kulit tangannya.
"Kau masih muda, tampan, dan gagah. Sayang
sekali kalau kau harus mati di sini," kata Dewi Sri Tungga Buana tetap lembut
suaranya. "Katakan terus terang, apa maumu?" tanya Kitri
Boga. "Berdirilah."
Kitri Boga bangkit berdiri. Kini mereka saling
berhadapan. Dewi Sri Tungga Buana mendekat,
lalu kedua tangannya menjulur ke depan. Kitri
Boga jadi gelagapan saat Dewi Sri Tungga Buana
melingkarkan tangannya di leher pemuda itu.
Belum juga bisa berpikir jauh, Dewi Sri Tungga
Buana telah menyum-pal mulut Kitri Boga dengan
bibirnya. Seketika itu juga detak jantung Kitri Boga
menjadi tidak beraturan kerjanya. Seluruh aliran
darahnya mengalir cepat. Pagutan Dewi Sri Tungga
Buana begitu hangat dan menghanyutkan,
membuat Kitri Boga tidak mampu lagi berpikir
jernih. Kesadaran pemuda itu mendadak hilang.
Dan kini telah berganti dengan sesuatu yang sulit
dipercaya. Kitri Boga membalas pagutan wanita itu dengan
tidak kalah hangatnya. Bahkan kini dipeluknya
dengan erat wanita yang menghanyutkan itu. Kitri
Boga benar benar lupa kalau dirinya adalah
tawanan. Padahal, wanita itu musuhnya yang harus
ditumpas. Pemuda itu tidak sadar kalau ciuman
Dewi Sri Tungga Buana mengandung kekuatan
magis yang dapat membuat lupa akan dirinya
sendiri. "Ah, sabar.... Sabar, Anak Bagus...," desah Dewi
Sri Tungga Buana seraya melepaskan diri dari
pelukan. Dewi Sri Tungga Buana melangkah mundur, dan
menjatuhkan diri di pembaringan. Kitri Boga yang
telah terkena ajian ampuh wanita itu langsung
memburu dan menubruk Dewi Sri Tungga Buana.
Wanita itu memekik lirih, dan mendesah halus saat
merasakan kehangatan ciuman-ciuman Kitri Boga
yang memburu. Satu persatu pakaian yang melekat di tubuh
mereka melorot ke lantai yang beralaskan
permadani indah. Dewi Sri Tungga Buana
menggelinjang sambil merintih lirih di bawah
himpitan tubuh tegap Kitri Boga. Tak terdengar lagi
kata-kata yang terucapkan. Semua berganti
dengan desahan dan rintihan yang membangkitkan
gairah. "Oh, ah...!" Dewi Sri Tungga Buana mengerang.
Keringat mulai membanjiri dua tubuh yang
menyatu rapat. Tubuh Dewi Sri Tungga Buana
menggeliat-geliat mengikuti irama gerakan tubuh
Kitri Boga yang berada di atasnya. Pemuda itu
benar-benar lupa akan dirinya sendiri. Seluruh
syarafnya telah dirasuki nafsu yang begitu cepat
datangnya sehingga tanpa terkendalikan lagi.
"Oookh...!" Dewi Sri Tungga Buana mendesah
panjang. Pada saat itu pula tubuh Kitri Boga mengejang
dengan mata membeliak lebar. Ketika persendiannya mulai lemas, tubuh Kitri Boga jatuh
menggelimpang di samping Dewi Sri Tungga Buana
dengan napas memburu kencang. Perlahan-lahan
Kitri Boga memejamkan matanya. Dewi Sri Tungga
Buana tersenyum penuh kepuasan. Tangannya
menarik kain yang teronggok di bawah kakinya.
Kemudian ditutupi tubuhnya dan tubuh Kitri Boga.
Dengan sikap manja, wanita cantik bertubuh
menggairahkan itu meletakkan kepalanya di dada
Kitri Boga yang bersimbah keringat.
"Kau hebat sekali, anak muda," desah Dewi Sri
Tungga Buana berbisik.
--myrna-- 6 "Sejak tadi, kau melamun terus. Ada yang
dipikirkan?" tegur Rangga seraya duduk di samping
Kandara Jaya. "Yaaah...," desah Kandara Jaya panjang.
"Boleh kutahu?"
"Seharian aku mencari kabar tentang Adi Kitri
Boga dan Lawawi Girang...." Kandara Jaya
menghentikan ceritanya. Dipandangnya Rangga
yang duduk di sampingnya.
"Siapa mereka?" tanya Rangga.
"Mungkin sudah saatnya aku berterus terang
padamu," kata Kandara Jaya seraya mendesah
panjang. "Sudah kuduga kalau kau menyembunyikan
sesuatu. Katakan saja, mungkin aku bisa
membantumu."
"Sebenarnya aku seorang putra mahkota yang
ditugaskan untuk menghancurkan kelompok Puri
Merah...," Kandara Jaya mulai menceritakan
semuanya. Rangga mendengarkan penuh perhatian.
Memang sudah diduga sejak semula kalau Kandara
Jaya ini seorang putra raja, atau paling tidak
seorang putra bangsawan. Rangga tidak terkejut
lagi mendengarnya. Sikapnya biasa-biasa saja.
Baginya semua manusia di dunia ini sama, hanya
kedudukan dan martabat saja yang membedakannya. "Beberapa kali prajuritku kalah dalam pertempuran. Atas kemauannya sendiri, Punggawa
Lawawi Girang dan Adi Kitri Boga menyelidiki ke
puncak Bukit Arang Lawu ini. Aku mengijinkannya
dan hanya memberi waktu tiga hari. Tapi telah
lewat satu pekan, mereka belum juga ada kabar
beritanya," lanjut Kandara Jaya.
"Aku kagum dengan rasa tanggung jawabmu,
Kandara Jaya." puji Rangga tulus. Meskipun telah
tahu siapa sesungguhnya Kandara Jaya, tapi tetap
saja Rangga memperlakukannya seperti teman.
"Terima kasih," ucap Kandara Jaya.
"Pernahkah kau berpikir, kalau dua utusanmu
tidak akan pernah sampai ke sini," Rangga
menduga-duga. "Pernah, yaitu setelah tiba di jurang besar itu,"
jawab Kandara Jaya mendesah.
Rangga diam tertunduk. Dia jadi teringat
dengan Pandan Wangi. Rasa penyesalan kembali
membelenggu htrinya. Kalau saja dia tidak
meminta Pandan Wangi melompati jurang itu,
mungkin sampai sekarang gadis itu masih
bersamanya. "Pandan..., seharusnya kau tahu kalau aku
mencintaimu," bisik Rangga dalam hati.
"Rangga...."
"Oh!" Rangga tersentak dari lamunannya. "Aku
juga sedih dengan hilangnya adikmu," kata
Kandara Jaya. "Ah, sudahlah. Itu sudah menjadi resiko seorang
pendekar," Rangga berusaha tersenyum. Dia tidak
ingin Kandara Jaya mengetahui perasaannya yang
sebenarnya. Bibirnya memang tersenyum, tapi
hatinya menangis kehilangan Pandan Wangi.
"Kita sama-sama kehilangan. Kau kehilangan
seorang adik, dan aku juga kehilangan orang yang
seharusnya kulindungi dan kujaga keselamatannya," kata Kandara Jaya lagi.
"Sebaiknya kita lupakan saja persoalan ptibadi.
Yang penting sekarang, pikirkan cara yang terbaik
untuk menghadapi Dewi Sri Tungga Buana,"
Rangga mencoba menghilangkan segala perasaan
yang menyelimuti.
"Benar, aku sendiri punya tugas yang belum
kuselesaikan," sambut Kandara Jaya.
"Oh, ya ada yang ingin kukatakan padamu. Tadi
aku menemukan mayat laki-laki mengenakan
pakaian keprajuritan. Di sampingnya tergeletak
pedang perak Dia kutemukan di luar benteng Puri
Merah ini," kata Rangga.
"Apakah pedang itu ada batu merah di


Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangkainya?" tebak Kandara Jaya.
"Benar," sahut Rangga.
"Ada tanda khusus lagi?"
"Aku tidak tahu. Tapi di wajahnya ada guratan
seperti bekas luka."
"Paman Lawawi Girang...," desah Kandara Jaya
bergumam. "Dia salah seorang punggawa?"
"Ya, tidak salah lagi. Dia pasti Paman Lawawi
Girang!" "Kau bilang dua orang, bukan?"
"Benar. Berarti mereka telah berhasil mencapai
puncak bukit ini. Hm..., di mana Kitri Boga?"
"Ada dua kemungkinan. Pertama dia berhasil
melarikan diri, dan yang kedua menjadi tawanan."
"Kalau dia menjadi tawanan, tentu Natrasoma
mengatakannya padaku. Tapi katanya, dia tidak
menawan laki-laki seorang pun. Memang diakui,
kalau banyak tawanan wanita muda yang
semuanya masih gadis. Tapi dia sudah berjanji
akan membebaskan semuanya kalau kita berhasil
mengusir Dewi Sri Tungga Buana bersama
pengikutnya."
"Kalau begitu sudah jelas. Kedua orangmu tidak
bertemu dengan orang-orang Puri Merah, tapi
bertemu dengan orang-orang Dewi Sri Tungga
Buana. Aku yakin kalau Kitri Boga menjadi tawanan
mereka sekarang. "
"Aku harus segera membebaskannya, Rangga!"
"Jangan terlalu gegabah! Kita harus cari jalan
yang tepat. Yang akan kita hadapi bukanlah orangorang berilmu rendah. Kita menghadapi manusia
setengah iblis!"
Kandara Jaya terdiam lagi. Memang benar apa
yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Mustahil Dewi Sri Tungga Buana bisa memperdayai
orang-orang Puri Merah kalau tidak memiliki
kekuatan di atas mereka, yang rata-rata memiliki
kepandaian cukup tinggi.
Rangga dan Kandara Jaya sama-sama terdiam.
Kepala mereka dipenuhi berbagai macam
rencana untuk menghadapi gerombolan Dewi Sri
Tungga Buana. Mereka memang harus menghadapinya berdua saja, karena orang-orang
Puri Merah tidak ada yang bersedia membantu
menghadapi salah seorang dewa mereka.
Bagaimanapun juga, sulit bagi Rangga dan Kandara
Jaya meyakinkan mereka. Jelas kalau Dewi Sri
Tungga Buana itu manusia biasa. Bukan dewa!
Tapi orang-orang Puri Merah begitu kuat
kepercayaannya terhadap dewa yang mereka
sembah. "Aku ada rencana, Rangga!" tiba-tiba Kandara
Jaya membuka suara.
"Apa?" tanya Rangga.
"Kau sudah dianggap sebagai Dewa Agung
mereka, raja dari segala dewa-dewa yang mereka
sembah. Aku yakin kau punya kemampuan untuk
mengubah kepercayaan mereka, kalau Dewi Sri
Tungga Buana bukanlah dewa!"
"Aku tidak mengerti maksudmu...?"
"Begini..."
--myrna-- Malam telah sejak tadi merayap menyelimuti
mayapada. Bulan bersinar hampir penuh merambah kegelapan malam. Langit tampak cerah,
tanpa sedikit pun awan menggantung. Hanya kabut
tipis yang berarak terbawa angin. Dalam siraman
cahaya bulan dan gemerlapnya bintang, tampak
Rangga berdiri mematung di tangga puri.
Pandangannya lurus menatap patung yang berada
di puncak Puri Merah ini.
Dalam hati Pendekar Rajawali Sakti itu masih
diliputi tanda tanya dengan adanya patung yang
wajahnya hampir sama dengan dirinya. Seakanakan Rangga tengah memandangi dirinya sendiri
yang tengah menunggang burung rajawali raksasa.
Bibirnya menyunggingkan senyum, dan kepalanya
mengangguk-angguk tanda mengerti. Dia baru
sadar kalau patung yang wajahnya hampir sama
dengan dirinya itu adalah gurunya yang hidup
seratus tahun yang lalu, dan pernah menampakkan
dirinya untuk merestui Rangga melanjutkan
kependekarannya (Baca serial Pendekar Rajawali
Sakti edisi pertama: Iblis Lembah Tengkorak).
Mungkin pada waktu dulu gurunya pernah singgah
di sini dan sangat dihormati, sehingga dibuatkan
patungnya. "Hm..., aku tidak melihat orang-orang yang
tidak berjubah merah di sini," bisik Rangga dalam
hari. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun
yang terlihat, selain orang-orang berjubah merah
yang berjalan hilir-mudik dengan kesibukannya
masing-masing. "Ke mana mereka...?" Rangga bertanya-tanya
dalam hati. Pertanyaan itu membuahkan rasa ingin tahu
dirinya. Kakinya mulai melangkah menuruni tangga
Puri Merah ini. Tatapan matanya tetap beredar ke
sekeliling. Beberapa orang berjubah merah yang
melihat, langsung berlutut. Risih juga diperlakukan
seperti itu. "Di mana aku bisa menemui Natrasoma?" tanya
Rangga pada salah seorang yang berlutut tepat di
depannya. "Tuanku Natrasoma tengah tidak ada di tempat,
Gusti Dewa Agung," jawab orang itu.
"Ke mana?"
"Menunaikan tugas bersama sembilan pengawal
ptibadinya."
"Tugas apa?"
"Mencari gadis perawan untuk korban esok
malam." "Lalu, orang-orang yang...."
"Mereka juga pergi, Rangga!"
Rangga menoleh. Ternyata Kandara Jaya yang
menjawab sambi! menghampiri dengan langkah
lebar. "Dari mana saja kau?" tanya Rangga.
"Aku membuntuti mereka," sahut Kandara Jaya.
Rangga menarik tangan Kandara Jaya, dan
mengajaknya menjauhi orang-orang berjubah
merah yang masih berlutut di sekitar mereka.
Rangga baru berhenti setelah mendapat tempat
yang cukup sepi dan terlindung di balik tembok.
"Aku tahu, kau pasti ingin mendengar hasil
pekerjaanku," kata Kandara Jaya langsung
menebak. "Katakan," desak Rangga.
"Mereka menuju ke luar Bukit Arang Lawu
sebelah Selatan. Tapi aku terpaksa tidak bisa
membuntuti mereka terus. Masalahnya, aku
terhadang jurang pemisah yang tidak mungkin
kulalui," tutur Kandara Jaya
"Lalu, bagaimana mereka melintasi jurang itu?"
desak Rangga tidak sabar.
"Sepuluh orang berjubah merah membagi tugas.
Lima orang menyeberang lebih dulu sambil
membawa tambang. Lalu, lima orang lainnya
menunggu dengan tambang pada ujungnya.
Dengan tambang itu mereka menyeberangi
jurang." Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang, sepuluh orang berjubah merah itu
mampu melayang bagaikan terbang. Tidak sulit
bagi mereka menyeberangi jurang lebar itu. Tapi
dengan satu tambang terentang.... Ini menunjukkan kalau anak buah Dewi Sri Tungga
Buana memiliki ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi. Memang, berjalan di tambang bagi kalangan
pendekar tidak lagi aneh. Tapi untuk orang
sebanyak itu..." Rangga harus berpikir keras untuk
Hantu Wanita Berambut Putih 4 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Bocah Titisan Iblis 2

Cari Blog Ini