Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah Bagian 3
mengukur tingkat kepandaian yang mereka miliki.
Padahal jelas kalau mereka hanyalah manusia biasa
yang juga memiliki keterbatasan.
"Pasti ada yang mereka inginkan dari Puri Merah
ini...," gumam Rangga pelan.
"Aku sudah menduganya begitu, Rangga.
Mustahil Dewi Sri Tungga Buana dan anak buahnya
menguasai puri ini tanpa tujuan yang pasti," sahut
Kandara Jaya membenarkan.
"Kita harus selidiki dan harus menghentikan
semuanya!" tekad Rangga.
"Itu sudah pasti, Rangga. Hanya saja kita harus
kerja berdua tanpa dapat minta bantuan. Orangorang Puri Merah tidak ada yang bersedia
membantu kita. Mereka tampaknya takut setiap kali
kutanya tentang Dewi Sri Tungga Buana," kata
Kandara Jaya. "Ya, aku tahu itu. Mereka seperti mendapat
tekanan dan ancaman. Justru itulah yang harus
kita ketahui secepatnya, dan jangan sampai
berlarut-larut."
"Aku akan selidiki lorong penjara bawah tanah,"
kata Kandara Jaya lagi.
"Kapan kau kerjakan?"
"Sekarang juga. Dan kau...?"
"Mencari tempat persembunyian Dewi Sri
Tungga Buana. Aku yakin tidak jauh dari sini."
"Kalau begitu, kita berpisah di sini. Ingat,
Rangga. Rencana yang kuusulkan harus berjalan
besok!" "Beres!"
Rangga menepuk pundak Kandara Jaya sebelum
pangeran muda itu berlalu. Kemudian dia sendiri
bergerak mengelilingi dinding batu yang menyerupai benteng ini. Setiap langkah, selalu
diperhatikannya dengan seksama. Rangga juga
memeriksa setiap bangunan batu yang ada. Hal itu
dilakukan dengan hati-hati agar tidak seorang pun
yang melihat dan mencurigainya.
--myrna-- "Semua tempat ini sudah kuselidiki. Aku harus
keluar dari benteng ini," gumam Rangga dalam
hati. Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat
tinggi melewati dinding batu yang mengelilingi Puri
Merah itu. Dua kali berputar di udara, kemudian
dengan manis sekali kakinya menjejak tanah
berumput di luar benteng batu. Sebentar Rangga
mengamati sekitarnya yang gelap. Hanya cahaya
bulan saja yang menerangi dengan sinarnya yang
redup. Rangga berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengelilingi tembok batu.
Sebentar saja dia telah kembali ke tempat semula.
Tidak ada penemuan yang berarti di sekitar tembok
batu ini. Juga tidak ada seorang penjaga pun yang
dijumpainya. Mungkin semua orang yang tidak
berjubah merah pergi turun bukit.
Tiba-tiba Rangga tersentak kaget ketika
matanya yang tajam melihat sesuatu berkelebat
cepat ke arah Utara. Segera saja Pendekar Rajawali
Sakti itu mengeropos tubuh untuk mengejarnya.
Karena ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai
tahap kesempurnaan, maka tidak sulit baginya
untuk mengejar bayangan itu. Dalam waktu singkat
saja, dia telah mampu mendekati sosok bayangan
hitam itu. "Hey!"
Rangga mendadak terkejut ketika tiba-tiba saja
bayangan hitam itu berbalik cepat. Tampak
beberapa benda bulat kecil berwarna merah
meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Secepat kilat Rangga melompat tinggi ke udara,
langsung meluruk ke arah bayangan hitam yang
belum sempat melarikan diri setelah melemparkan
senjata rahasia.
Kelihatannya dia juga terkejut, karena senjata
rahasia yang dilontarkan dengan mudah dapat
dihindari. Bahkan kini Rangga meluruk ke arahnya.
Kembali orang-itu melemparkan senjata rahasianya. "Uts, hiyaaa...!"
Rangga segera mengebutkan tangannya dengan
cepat. Kebutan yang disertai pengerahan tenaga
dalam yang sempurna itu, membuat senjata
rahasia yang mengarah ke tubuhnya berbalik arah.
"Setan! Hih!" orang itu jumpalitan menghindari
senjata rahasianya sendiri yang berbalik menyerangnya. Saat itu pula Rangga dengan cepat melontarkan
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dari jarak jauh.
Cahaya merah langsung meluncur dari telapak
tangan Rangga. Begitu cepatnya, sehingga orang
itu tidak mampu lagi mengelak. Belum hilang rasa
terkejutnya dengan senjata rahasia yang berbalik
menyerang dirinya, kini ditambah lagi dengan sinar
merah yang datang begitu cepat dan mendadak.
"Aaakh...!" orang itu menjerit keras ketika sinar
merah yang dilepaskan Rangga menghantam
tubuhnya. "Hiyaaa...!"
Bret! Rangga segera melompat dan menjambret
penutup kepala orang itu.
"Oh!"
Betapa terkejutnya Rangga saat melihat wajah
yang tidak memiliki daging sama sekali. Wajah itu
berbentuk tengkorak, dengan mata dan hidung
bolong. Rangga melompat mundur dua tindak. Dan
pada saat itu mendadak...
Wut! Sebatang tombak panjang bermata tiga
meluncur deras, dan menancap telak di dada orang
berwajah tengkorak itu. Suara jeritan melengking
terdengar, disusul dengan ambruknya tubuh orang
itu ke tanah. Rangga kaget bukan main. Selintas
dia melihat sebuah bayangan hitam yang lain
melesat dengan cepat.
"Gila! Hih!
Rangga segera melompat kencang mengejar
bayangan hitam lain yang diduga dialah yang
melepaskan tombak tadi. Pendekar Rajawali Sakti
itu merasa penasaran, lalu dikemposnya seluruh
kekuatan tenaga dalam untuk mengejar bayangan
hitam tadi. Dengan satu lentingan di udara, dia
berhasil menyusulnya.
"Mau lari ke mana, kau!" bentak Rangga begitu
kakinya menjejak tanah di depan orang berbaju
hitam. Persis dengan orang yang pertama tadi.
"Suiiit...!" tiba-tiba saja orang itu bersiul nyaring.
"Gila! Apa ini..."!" dengus Rangga menggeram.
Tiba-tiba saja dari balik semak dan pepohonan
muncul beberapa orang berpakaian hitam ketat.
Seluruh kepala dan wajahnya juga berselubung
kain hitam. Rangga menghitung dalam hati. Ada
tujuh orang. Semuanya jadi delapan dengan orang
yang tadi di-cegatnya.
"Bunuh dewa gadungan itu!" terdengar suara
memerintah. "Hiyaaa...!" "Hiyaaa...!"
Tujuh orang yang baru saja bermunculan
langsung berlompatan menyerang Rangga tanpa
banyak bicara lagi. Semuanya menggenggam
tombak bermata tiga. Mau tidak mau Rangga
melayaninya, tapi hanya dengan jurus-jurus biasa
saja. Hitung-hitung sambil mengukur sampai di
mana tingkat kepandaian para pengeroyoknya ini.
Rangga pun tersenyum setelah lewat lima jurus.
Langsung saja dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Kedua tangannya terpentang
lebar ke samping. Kakinya bergerak lincah
membuat para pengeroyoknya kebingungan. Pada
saat itulah kedua tangan Rangga bekerja sangat
cepat. Begitu cepatnya sehingga sulit untuk dilihat.
Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul.
Kemudian disusul dengan tersungkurnya satu
persatu para pengeroyoknya. Rangga berdiri tegak
sekitar satu tombak jaraknya di depan orang yang
dicegatnya tadi. Dua bola matanya tajam menatap
wajah yang tertutup kain hitam.
"Sekarang giliranmu, muka setan!" dengus
Rangga menggeram.
"Phuih! Jangan bangga dulu, dewa gadungan!
Mereka memang bukan lawanmu!" tantang orang
itu, juga menggeram.
"Suaramu seperti wanita. Buka topengmu! Aku i
ingin lihat seperti apa tampangmu!" Rangga sedikit
menyipitkan matanya.
"Tidak semudah itu!"
"Baik. Tidak sulit memaksamu membuka kedok."
"Silakan. Tanganku pun telah gatal ingin
merobek mulutmu!"
Setelah berkata demikian, orang yang memilki
suara wanita itu segera bergerak menyerang
dengan jurus-jurus pendek tangan kosong. Rangga
melayaninya dengan memusatkan perhatiannya
pada gerakan-gerakan lawannya. Beberapa kali
tangan Rangga hampir membuka kedok orang itu,
tapi dengan gesit sekali orang itu mampu
mengelakkan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Merasa lawannya sangat licin dan lincah,
Rangga segera membuka jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Sekarang, diarahkanlah tangannya ke wajah lawan. Dengan jurus itu
Rangga bisa mendesak lebih hebat lagi.
"Awas kaki...!" teriak Rangga tiba-tiba.
Seketika itu juga dia merunduk seraya
mengibaskan tangannya menyambar kaki. Orang
itu pun segera melompat cepat disertai tendangan
balasan yang juga cepat. Dan pada saat yang
tepat, Rangga memutar tubuhnya, langsung
melenting ke udara.
"Ih!" orang itu terkejut.
Tapi.... Bret! "Auh!"
Cepat sekali tangan Rangga menyambar kain
penutup kepala lawannya sambil menukik tajam.
Rangga menjejakkan kakinya dengan manis di
tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu begitu kaget ketika
wajah lawannya.
"Kau..."!"
--myrna-- 7 Rangga hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Rasanya seperti mimpi saja.
Beberapa kali digosok-gosok matanya, tapi orang
yang berada di depannya ini.... Tidak! Dia tidak
mimpi! Ini kenyataan yang benar-benar sedang
dihadapinya saat ini.
"Kau.... Kau Pandan?" masih terdengar raguragu suara Rangga kedengarannya.
"Iya, aku Pandan Wangi. Memangnya siapa?"
lembut sekali suara wanita itu.
Rangga mencoba untuk menegaskan kembali
penglihatannya dalam keremangan cahaya bulan.
Wanita yang berdiri di depannya benar-benar
Pandan Wangi. Gadis manis, kenes, dan nakal yang
selama ini selalu bersama-sama dengannya. Gadis
yang tanpa disadari telah dicintainya.
Benarkah dia Pandan Wangi" Bukankah gadis itu
sudah terjerumus ke dalam jurang yang sangat
dalam" Rasanya sulit untuk dipercaya kalau Pandan
Wangi masih hidup sampai saat ini. Bahkan Rangga
sudah menganggapnya mati di dalam jurang sana.
Tapi.... "Kenapa bengong?" tegur Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bibirnya tersenyum merekah.
"Oh! Aku..., aku...," Rangga tergagap.
"Kau masih hidup?"
"Yang Maha Kuasa belum menginginkan aku
mati, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Tapi...."
"Kau heran" Aku memang jatuh ke dalam
jurang. Tapi aku berhasil meraih sebatang akar
yang menonjol, dan merayap naik ke tepi. Aku
tidak menyalahkanmu kalau menganggap aku
sudah mati, Kakang. Jurang itu sangat dalam.
Bahkan sepertinya tidak mempunyai dasar. Aku
sendiri tidak tahu, mengapa masih bisa hidup
sampai sekarang," kata Pandan Wangi.
"Lalu, kenapa kau jadi..."
"Ha ha ha...! Ini hanya penyamaranku saja. Aku
ingin tahu, ada apa di balik misteri Puri Merah.
Maaf, Kakang. Aku terpaksa seolah-olah memusuhimu. Ini kulakukan semata-mata agar
mereka tidak curiga padaku."
Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Dia
masih belum percaya kalau yang berdiri di
depannya benar-benar Pandan Wangi. Benaknya
dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan rasa
keheranan yang mem belenggu. Pandangannya
menyapu mayat-mayat yang bergelimpangan di
sekitarnya. Ada tujuh mayat yang menggeletak
dengan tubuh berlumuran darah.
"Orang-orang macam itulah yang seharusnya
kita basmi, Kakang. Mereka memang berada di
puncak bukit ini, tapi bukan di dalam benteng Puri
Merah. Merekalah yang seharusnya menjadi
lawanmu, bukan orang-orang Puri Merah," kata
Pandan Wangi, seolah-olah bisa membaca jalan
pikiran Rangga.
"Apakah mereka anak buah Dewi Sri Tungga
Buana?" tanya Rangga menegaskan.
"Ah, rupanya kau sudah tahu juga."
"Ya. Aku sudah menyelidiki keadaan di Puri
Merah. Juga permasalahan yang mereka hadapi
saat ini."
"Lalu, apa tindakanmu selanjutnya?"
"Aku harus mencari dan menemukan tempat
persembunyian Dewi Sri Tungga Buana."
"Kenapa harus susah payah?"
"Apa maksudmu, Pandan?"
"Aku bisa menunjukkan tempatnya."
Lagi-lagi Rangga mengernyitkan alisnya.
"Jangan heran. Selama ini aku telah menyelinap
ke sarang mereka, dan menyamar jadi salah
seorang anggota mereka. Karena aku memiliki
kemampuan di atas mereka, lalu aku dijadikan
pemimpin di bawah Dewi Sri Tungga Buana."
"Di mana sarang mereka?" tanya Rangga.
"Ikuti aku!"
Pandan Wangi segera berjalan ke arah Utara.
Rangga mengikuti dengan benak masih diliputi
berbagai macam pertanyaan. Matanya tetap
mengamati setiap gerak langkah Pandan Wangi
yang berjalan di depan. Sedikit pun Rangga tidak
memperoleh perbedaannya. Hanya yang menjadi
pertanyaannya sekarang, Pandan Wangi sekarang
tidak menyandang pedang Naga Geni dan Kipas
Maut, tapi malah membawa tombak panjang
berujung tiga. Setahu Rangga, Pandan Wangi tidak pernah
lepas dari dua senjata mautnya itu. Ke mana pun
Pandan Wangi pergi, kedua senjata itu pasti
bersamanya. Satu keanehan yang nyata. Dan
Rangga belum bisa memperoleh jawabannya
sekarang. Pandan Wangi berjalan cepat bagaikan
berlari saja. Mau tidak mau Rangga juga
mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk
mengimbangi langkah Pandan Wangi yang begitu
ringan dan cepat
"Itu sarang mereka!" Pandan Wangi menunjuk
sebuah bangunan besar dikelilingi pagar kayu yang
tinggi. Rangga berdiri tegak memandang ke arah yang
ditunjuk Pandan Wangi. Ada beberapa orang
berjaga-jaga di sekitar bangunan itu. Pakaiannya
tidak ada yang aneh. Mereka semua mengenakan
pakaian biasa seperti orang kalangan rimba
persilatan. Semuanya menyandang senjata yang
beraneka ragam bentuknya.
"Maaf, aku hanya bisa mengantarmu sampai di
sini," kata Pandan Wangi.
"Tunggu! Kau akan ke mana?" cegah Rangga.
"Aku harus kembali. Aku tidak ingin
penyamaranku terbuka sebelum waktunya," sahut
Pandan Wangi lagi.
"Ini topengmu!" Rangga menyerahkan kain
hitam penutup kepala yang masih dipegangnya
sejak tadi. Pandan Wangi menerimanya dengan bibir
tersenyum manis. Kemudian dikenakannya kembali
topeng itu. Rangga tidak lagi mencegah saat
Pandan Wangi melompat cepat dan berlarian
menuju bangunan itu. Pendekar Rajawali Sakti
terus mengamati dari jarak yang cukup jauh dan
terlindung. Tampak Pandan Wangi berdiri, tegak di
depan pintu gerbang yang dijaga ketat deh empat
orang bersenjata tombak.
Pintu gerbang terbuka, dan Pandan Wangi
melangkah masuk, tubuh gadis itu lenyap saat
pintu ditutup kembali. Tinggal empat orang
bersenjata tombak yang masih tetap berjaga di
depan pintu gerbang.
--myrna-- Rangga baru saja menjejakkan kakinya di dalam
benteng Puri Merah ketika Kandara Jaya berlari-lari
menghampirinya. Pendekar Rajawali Sakti itu
menunggu sampai Kandara Jaya dekat. Napas
putra mahkota itu terengah-engah, seolah-olah
baru saja berlari jauh melintasi bukit tinggi. Rangga
menunggu sampai Kandara Jaya bisa bernapas
tenang. "Ada apa?" tanya Rangga.
"Aku dapat keterangan tentang Kitri Boga,"
sahut Kandara Jaya.
"Hm, lalu?"
"Kitri Boga memang pernah ditawan di sini, tapi
sekarang sudah dipindahkan. Katanya, Dewi Sri
Tungga Buana menginginkannya untuk dijadikan
pelayan." "Kau tahu, ke mana dia dibawa?" tanya Rangga
lagi. "Aku tidak tahu. Mereka semua tidak ada yang
tahu, di mana tempat tinggal Dewi Sri Tungga
Buana. Tapi ada yang mengatakan Kitri Boga
dibawa ke Kahyangan. "
"Kau percaya?"
"Tidak!"
"Bagus! Setiap keterangan yang tidak masuk
akal jangan dipercaya dulu kebenarannya."
"Kau sendiri, bagaimana?"
"Aku baru saja menemukan tempat tinggal Dewi
Sri Tungga Buana," sahut Rangga.
"Kau...?" Kandara Jaya tergagap.
"Ya. Dan aku ke sini memang sengaja
mencarimu. Kita akan ke sana berdua. Kita bisa
menyelamatkan Kitri Boga, dan aku akan
menyelamatkan Pandan Wangi."
"Pandan Wangi..." Apakah dia masih hidup?"
lagi-lagi Kandara Jaya kaget hingga mulutnya
ternganga. "Aku sendiri belum yakin. Entah hanya karena
ilusiku saja, atau ada orang yang mirip dengannya.
Atau juga dia memang benar-benar masih hidup.
Tapi yang jelas, aku sempat bertemu dengannya.
Memang ada yang aneh, dan itu harus kuketahui
sebelum tengah malam nanti."
"Lalu, bagaimana dengan rencana kita
sebelumnya?" Kandara Jaya ingin minta ketegasan.
"Tetap dilaksanakan. Untuk itulah aku perlu
bantuanmu. "
"Aku selalu siap membantumu, karena aku juga
punya kepentingan sendiri dalam masalah ini," kata
Kandara Jaya tegas.
"Malam nanti, kuminta kau buat kekacauan di
sini," ucap Rangga setengah berbisik
"Gila!" sentak Kandara Jaya kaget.
"Dengar dulu, Kandara Jaya. Aku belum selesai!"
"Baik, teruskan."
"Kau buat kekacauan di sini dengan
mengenakan pakaian serba hitam, dan topeng
hitam pula. Kemudian kau lari melalui tembok
bagian Utara, lalu menuju ke arah Utara. Aku
menunggumu di sana nanti. Setelah itu aku akan
melaksanakan rencana kedua. Mungkin waktunya
agak bersamaan. Dan kita bisa bertemu di tengah
jalan," kata Rangga memaparkan rencananya.
"Terus terang, aku belum mengerti maksudmu,"
kata Kandara Jaya kebingungan.
"Begini.... Dengan adanya kekacauan di sini,
berarti akan mengalihkan perhatian orang-orang
Dewi Sri Tungga Buana ke sini. Dengan demikian,
aku bisa leluasa memporak-porandakan markas
mereka! Tentu saja sambil menyelamatkan Kitri
Boga dan Pandan Wangi, kalau memang benar
masih hidup atau ditawan di sana."
"Lalu, rencana kita semula?"
"Tetap berjalan, tapi waktunya dipercepat"
Kandara Jaya masih juga belum mengerti.
"Kerusuhan itu akan membuat Dewi Sri Tungga
Buana marah, sehingga akan mempercepat waktu
persembahan. Pada saat itulah rencana semula
dijalankan, sementara kau dan Kitri Boga telah
aman di seberang jurang. Aku yang akan
membereskan mereka bersama sahabatku, rajawali
raksasa. Memang agak sedikit menyimpang, tapi ini
demi keselamatanmu dan Kitri Boga."
"Dengan membiarkanmu menyabung nyawa
seorang diri" Tidak! Bagaimanapun juga aku harus
ikut!" tolak Kandara Jaya tegas.
"Percayakan semuanya padaku, Kandara Jaya.
Aku tidak bermaksud mengecilkan kemampuanmu.
Tapi ini demi kelancaran rencana kita semua!"
Kandara Jaya terdiam.
"Orang-orang Puri Merah sudah menganggap
kalau aku Dewa Agung mereka. Dan ini akan
kugunakan untuk menumbuhkan kepercayaan
mereka bahwa Dewi Sri Tungga Buana itu tidak
ada! Percayalah. Mereka pasti akan memberontak,
dan membantuku memusnahkan orang-orang Dewi
Sri Tungga Buana."
"Rasanya sulit bagiku untuk menerimanya,
Rangga," gumam Kandara Jaya.
"Tugasmu juga tak kalah penting, Kandara Jaya.
Kau sengaja kutaruh di sana, untuk menjaga
kemungkinan jika ada yang melarikan diri. Mereka
sangat banyak dan tangguh. Kau bisa membawa
prajuritmu untuk berjaga-jaga di sekitar jurang."
"Dan itu bukan berarti aku harus menunggu di
seberang, kan?"
"Kau boleh menyeberang kembali bersama
prajuritmu dan menghadang siapa saja yang
berusaha melarikan diri. Mengerti?"
"Ya, aku mulai mengerti sekarang. Hanya saja,
siapa yang akan menghubungi kerajaan untuk
membawa para prajurit?"
"Kitri Boga, atau kau sendiri!"
"Bagaimana aku bisa menyeberangi jurang?"
tanya Kandara Jaya. Dia sadar kalau kemampuannya tidak mungkin bisa menyeberangi
jurang yang sangat lebar itu.
"Akan kusiapkan tambang untuk kau seberangi.
Aku yakin tambang itu bisa kau lintasi."
"Kalau begitu, baiklah! Aku setuju dengan
rencanamu!" sambut Kandara Jaya.
"Nah! Sekarang kita hanya menunggu hari
gelap. Sebaiknya, mulai saat ini jangan
menampakkan diri di Puri Merah."
"Lalu, kita akan ke mana?"
"Menunggu di luar batas puri."
Setelah berkata demikian, Rangga cepat
melompat melewati tembok batu yang tinggi dan
kokoh. Kandara Jaya langsung mengikuti tanpa
banyak tanya lagi. Dalam sekejap saja, kedua
pemuda itu telah berada kembali di luar tembok
tanpa diketahui seorang pun. Rangga segera
Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajak Kandara Jaya masuk dalam hutan yang
sangat lebat untuk menunggu waktu sambil
mematangkan rencana yang sudah ada.
--myrna-- Hari terus merayap semakin jauh. Dan senja
pun mulai merambat mendekati malam. Kabut tipis
mulai datang menyelimuti sekitar puncak Bukit
Arang Lawu. Matahari perlahan-lahan tenggelam di
balik bukit. Suasana remang-remang mulai
melingkupi sekitarnya. Udara dingin pun sudah
menggerogoti kulit.
Saat itu Kandara Jaya mulai merangkak
mendekati benteng Puri Merah. Orang-orang Dewi
Sri Tungga Buana telah kembali menjalankan tugas
seperti biasa yakni menjaga di sekeliling tembok
batu. Menurut rencana., Kandara Jaya baru
melancarkan aksi mengacaukan keadaan benteng
Puri Merah jika bulan telah berada di atas kepala.
Kandara Jaya mengamati sekitarnya, mencari
celah untuk bisa masuk tanpa diketahui para
penjaga yang bersenjata lengkap. Dia agak risih
juga mengenakan pakaian serba hitam yang
diambil Rangga dari salah seorang anggota Dewi
Sri Tungga Buana.
Sementara itu di dalam benteng Puri Merah,
sepuluh orang berjubah merah tengah berkumpul
di tangga puri yang berada di tengah-tengah
lingkaran benteng. Mereka adalah Natrasoma dan
teman-temannya.
"Dewa Agung telah pergi. Aku tidak tahu lagi,
apakah akan kembali atau tidak," kata Natrasoma.
pelan suaranya.
"Apakah Gusti Dewa Agung akan membebaskan
kita dari pengaruh dan tekanan Dewi Sri Tungga
Buana?" tanya salah seorang.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi kelihatannya Dewa
Agung tidak menyukai tindakan Dewi Sri Tungga
Buana." "Terus terang, aku sudah muak dengan keadaan
ini. Rasanya aku ingin berontak!"
"Kita tidak bisa begitu saja melakukannya.
Ingat! Pemimpin Agung Puri Merah masih menjadi
tawanan mereka. Dan selama beliau masih di
tangan mereka, kita tidak bisa berbuat apa-apa."
"Aku rasa kita mampu mengusir mereka."
"Memang. Tapi keselamatan Pemimpin Agung
harus kita pikirkan juga. Ingat! Sudah lebih dua
puluh orang yang tewas karena kebodohannya.
Aku tidak ingin membuang nyawa percuma tanpa
perhitungan yang matang."
"Ya..., seharusnya kau mengatakan hal ini pada
Dewa Agung. Aku yakin, Gusti Dewa Agung
bersedia membantu kita mengusir mereka."
"Sudah! Dan Dewa Agung berjanji akan
menghukum Dewi Sri Tungga Buana."
"Benar itu, Natrasoma?"
"Itu janji Dewa Agung! Kita tinggal menunggu
waktu yang tepat!"
Perundingan dan percakapan itu terus
berlangsung. Mereka berbicara pelan setengah
berbisik. Tapi kadang-kadang berhenti jika salah
seorang anak buah Dewi Sri Tungga Buana lewat.
Dari nada pembicaraannya, jelas kalau mereka
sudah menantikan saat yang tepat untuk bebas
dari cengkeraman Dewi Sri Tungga Buana.
Malam terus merayap naik semakin larut.
Keadaan dalam benteng Puri Merah mulai
berangsur sepi. Sedangkan sepuluh orang berjubah
merah, mulai meninggalkan bagian puri. Tapi baru
saja mereka melangkah beberapa tindak,
mendadak.... "Tolong.... Kebakaran...!"
Terlihat api berkobar besar dari bagian Selatan
benteng Puri Merah. Beberapa orang berjubah
merah berlarian, berusaha memadamkan api yang
semakin besar. Belum lagi mereka bisa
memadamkan api itu, tiba-tiba terdengar lagi
teriakan-teriakan dari arah Timur. Dan terlihat di
sana api telah membakar bangunan yang ada.
Suasana malam yang semula tenang, mendadak
gaduh oleh teriakan-teriakan dan suara-suara
perintah untuk memadamkan api yang semakin
besar dan merambat ke bangunan-bangunan
lainnya. Suasana kacau itu semakin bertambah denganmunculnya sesosok tubuh hitam berkelebat cepat
menghajar orang-orang Dewi Sri Tungga Buana.'
Dalam waktu singkat saja, beberapa rubuh
bergelimpangan mandi darah. Gerakan sosok tubuh
hitam itu sangat cepat dan tiba-tiba. Setiap kali
sosok tubuh hitam itu muncul, tidak kurang dari
lima nyawa melayang.
"Natrasoma, lihat!" seru salah seorang berjubah
merah yang berdiri dekat Natrasoma.
Natrasoma cepat mengalihkan pandangannya
ke: arah yang ditunjuk. Pada saat itu sosok tubuh
hitam tengah berkelebat cepat menghajar lima
orang yang bersenjata. Begitu cepat gerakannya,
sehingga yang terlihat hanya bayangan saja. Tahutahu lima orang sudah tergeletak bersimbah darah
di tubuhnya. Cepat sekali sosok tubuh itu hilang,
bagai ditelan gelapnya malam.
"Mustahil...,
tidak mungkin!" Natrasoma menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau kenal, Natrasoma?"
"Aku tidak percaya! Orang itu berpakaian serba
hitam. Mustahil kalau pengawal khusus Dewi Sri
Tungga Buana yang melakukan ini semua," gumam
Natrasoma tidak percaya.
Tidak ada lagi yang bersuara. Semuanya diam
membisu. Sementara itu, api terus berkobar
melahap bangunan-bangunan
yang berdiri mengelilingi Puri Merah. Sebagian besar orang
berjubah merah mengamankan puri. Sebagian lagi
berusaha memadamkan api yang terus berkobar
ganas. Kesibukan lain terlihat pada orang-orang yang
berpakaian seperti tokoh rimba persilatan. Mereka
disibukkan dengan sosok hitam yang muncul
secara tiba-tiba dan menghilang pun secara tibatiba pula. Sudah tidak terhitung lagi, berapa orang
yang bergelimpangan tanpa nyawa. Sosok tubuh
hitam itu menghilang setelah membabat mati lima
orang lagi. Sementara pada saat itu kobaran api
mulai dikuasai.
"Apakah ini janji Dewa Agung...?" Natrasoma
bertanya-tanya dalam hari.
Natrasoma mengelilingi bangunan-bangunan
yang tinggal puing-puing saja. Asap masih
mengepul dari bara api yang menyala. Sesekali api
kembali berkobar dari bara api yang tertiup angin.
Tapi dengan cepat berhasil dipadamkan. Natrasoma mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bangunan-bangunan yang terbakar adalah tempat
orang-orang Dewi Sri Tungga Buana beristirahat
Tidak satu pun tempat tinggal orang-orang Puri
Merah yang terkena api.
"Sembah puji bagi Dewa Agung...," desah
Natrasoma pelan.
"Apa yang kau gumamkan, Natrasoma?"
"Oh!" Natrasoma terkejut. Seorang berjubah
merah tiba-tiba telah berdiri di sampingnya.
"Aku bersyukur dengan kejadian ini," sahut
Natrasoma. "Hm..., kau bersyukur dalam keadaan seperti
ini"' "Ya, coba kau lihat! Bukankah Dewa Agung
telah memenuhi janjinya" Dan aku yakin kalau
Gusti Dewsf Agung baru saja memberi peringatan
dengan membakar habis bangunan-bangunan
tempat peristirahatan mereka."
"Mungkin juga. Tapi mengapa Gusti Dewa
Agung tidak membantai habis mereka?"
"Dewa Agung pasti punya kebijaksanaan lain.
AkJ yakin suatu saat nanti, mereka akan angkat
kaki dari tempat yang kita cintai ini."
Tidak ada sahutan sama sekali. Natrasoma
menoleh, dan....
"Hey!"
Natrasoma benar-benar kaget setengah mati
Orang yang diajaknya bicara tadi ternyata telah
menghilang entah ke mana. Dia celingukan
mencari-cari tapi nihil. Di tempat ini begitu banyak
orang berjubah merah dengan potongan dan corak
yang sama persis. Perbedaannya hanya pada
kalung yang dipakai masing-masing orang yang
berjubah merah. Dan itu sama sekali tidak
diperhatikan oleh Natrasoma.
"Ah, aku yakin. Itu tadi pasti Dewa Agung yang
menyamar," gumam Natrasoma. "Untung tadi aku
tidak salah bicara...."
--myrna-- 8 Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh
yang sangat sempurna, Rangga berhasil menyelinap masuk ke balik pagar kayu yang
mengelilingi bangunan besar di bagian Utara
puncak Bukit Arang Lawu. Beberapa orang penjaga
tampak berkumpul mengelilingi api unggun.
Rangga memutar lewat belakang, tapi seorang
penjaga berpakaian serba hitam memergokinya.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu bertindak
Tanpa bersuara sedikit pun, tangannya bergerak
cepat menghantam dada orang itu. Seketika itu
juga orang yang berpakaian serba hitam ambruk
dengan dada remuk
"Hhh, dua orang menjaga pintu," desah Rangga
dalam hati. Tangan Pendekar Rajawali Sakti itu memungut
dua batang ranting kecil. Dengan mengerahkan
tenaga dalam yang sempurna, dilemparkannya dua
batang ranting itu ke arah dua penjaga pintu
belakang. Ranting-ranting itu tepat menancap di
leher. Akioat-nya, dua penjaga itu langsung
ambruk tanpa merintih lagi. Darah segar segera
merembes dari leher yang tertembus ranting.
Bagai kijang yang lincah, Rangga melompat
ringan mendekati pintu. Pelan-pelan dibukanya
pintu itu, lalu melangkah masuk. Sebentar Rangga
mengerjap-ngerjapkan matanya, membiasakan diri
dalam kegelapan yang menyelubunginya begitu
masuk ke dalam.
Pendekar Rajawali Sakti itu mulai melangkah
perlahan-lahan dan hati-hati. Rupanya dia masuk
ke sebuah lorong sempit dan gelap. Tapi lorong itu
tidak panjang. Sebentar saja dia telah berada di
ujung lorong. "Pintu lagi...," gumam Rangga.
Perlahan-lahan sekali Rangga membuka pintu
yang terbuat dari kayu jati tebal ini. Suara berderit
kecil terdengar saat pintu didorong pelan-pelan.
Sinar terang menyilaukan menerobos saat daun
pintu terbuka agak lebar. Rangga segera masuk ke
kamar itu. "Ruangan apa ini?" tanya Rangga dalam hati.
Tampak di depan Rangga terdapat ruangan
indah dan luas. Di tengah-tengahnya terdapat
sebuah ranjang besar beralaskan kain sutra halus
berwarna merah muda. Pada salah satu sudut
ruangan, terdapat beberapa peti. Salah satu peti
tampak terbuka tutupnya. Mata Pendekar Rajawali
Sakti itu sedikit menyipit memperhatikan isi peti itu.
Ternyata peti itu berisi bermacam-macam benda
dari emas dan perak dengan berbagai bentuk dan
ukurannya. Semuanya menumpuk jadi satu.
"Ada orang datang," desah Rangga dalam hati.
Telinga Rangga yang peka dan tajam segera
dapat mendengar suara langkah halus mendekat.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati
sekeliling kamar itu, kemudian melompat ringan ke
atas. Rangga nangkring pada salah satu balok yang
melintang menyangga atap kamar.
Tidak lama berselang, pintu kamar itu terbuka.
Dan muncullah seorang wanita cantik mengenakan
pakaian ketat berwarna merah, serta bersulamkan
Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benang emas. Kulitnya yang putih mulus, sangat
kontras dengan pakaian yang dikenakannya.
Wanita itu menghampiri pembaringan, lalu duduk
di tepinya. "Diakah yang bernama Dewi Sri Tungga Buana?"
tanya Rangga dalam hati di tempat persembunyiannya.
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, muncul
lagi dua orang dengan pedang tersampir di
pinggang. Mereka menggiring seorang pemuda
tampan. Wajah pemuda itu kelihatan pucat.
Keadaannya lemah sekali. Salah seorang yang
menggiringnya, mendorong hingga pemuda itu
jatuh tersuruk di lantai.
"Maaf, Dewi Sri Tungga Buana," kata salah
seorang seraya membungkukkan badan.
"Hm. Ada apa, Sokapitu?"
"Ada berita buruk yang hendak hamba
sampaikan."
"Katakan."
"Benteng Puri Merah terbakar, dan beberapa
orang kita tewas terbunuh."
"Apa..."!" Dewi Sri Tungga Buana terlonjak
kaget. "Menurut keterangan yang hamba peroleh, yang
melakukan semua ini adalah orang berpakaian
serba hitam, mirip dengan para pengawal khusus
kita." "Apakah orang-orang Puri Merah memberontak?"
"Sampai saat ini belum."
"Kurang ajar! Kirim tambahan kekuatan dari
pengawal khusus. Umumkan, malam ini juga harus
diadakan korban persembahan! Aku ingin
Pemimpin Agung Puri Merah menjadi korban
malam ini juga!"
"Baik, Dewi Sri Tungga Buana."
Dua orang berpakaian hitam itu segeia keluar
dari dalam kamar Dewi Sri Tungga Buana
memandang tajam pada Kitri Boga yang tetap
duduk di lantai. Wanita cantik itu mendekat, lalu
menjambak rambut pemuda tampan putra Maha
Patih Kerajaan Mandaraka
'Dengar, Kitri Boga. Aku tidak segan-segan
membunuhmu jika kau tetap bungkam! Katakan,
berapa orang teman-temanmu yang ada di puncak
Bukit Arang Lawu ini?" tanya Dewi Sri Tungga
Buana disertai ancaman.
Kitri Boga tetap bungkam.
"Aku tahu kau dari Kerajaan Mandaraka. Kau
kira mudah menghancurkan Dewi Sri Tungga
Buana"! Jangan mimpi, anak muda! Rajamu saja
belum tentu mampu menandingi kesakrianku! Kau
sendiri telah melasakan, betapa indahnya
mengalami kekalahan!"
Tetap saja Kitri Boga membisu.
"Baiklah kalau kau tetap bungkam. Tapi, dengar
dulu. Malam ini juga, kau akan mati di dasar jurang
seperti wanita tawanan yang menjadi temanmu itu!
Dia memang tolol!"
Sementara Rangga di tempat persembunyiannya
hanya bisa menahan marah. Dia tahu kalau yang
dimaksud Dewi Sri Tungga Buana itu adalah
Pandan Wangi. "Tapi, bukankah Pandan Wangi masih hidup"
Bukankah yang menunjukkan sarang Dewi Sri
Tungga Buana adalah Pandan Wangi?" Rangga
hanya mampu bertanya-tanya dalam hati.
"Seorang temanmu memang beruntung. Dia
dianggap dewa oleh manusia-manusia goblok Puri
Merah. Tapi itu tidak menjamin bahwa kau dapat
bebas dari kematian, juga dewa gadungan itu.' Aku
tidak pernah mundur meskipun dia benar-benar
seorang dewa yang menyamar!" lanjut Dewi Sri
Tungga Buana, dingin dan datar suaranya.
Dewi Sri Tungga Buana mencampakkan tubuh
Kitri Boga begitu saja dengan kesal. Pada saat yang
bersamaan, pintu diketuk dari luar. Wanita cantik
itu menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat.
Kakinya terayun menuju pembaringan, lalu duduk
menjuntai. "Masuk...!" keras suara Dewi Sri Tungga Buana
terdengar. Pintu terbuka perlahan. Seorang laki-laki muda
berbaju serba hitam pun segera muncul. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang tombak berujung
tiga. Laki-laki muda itu membungkukkan tubuhnya
sedikit, lalu melangkah maju satu tindak.
"Ada apa?" tanya Dewi Sri Tungga Buana.
"Kereta telah siap. Apakah Dewi telah siap
berangkat sekarang?"
"Tunggu di luar!"
Laki-laki muda itu membungkuk lagi, kemudian
berbalik. Tangannya menarik daun pintu seraya
melangkah ke luar. Dewi Sri Tungga Buana
bangkit, menghampiri Kitri Boga yang tetap
terduduk di lantai dengan kepala tertunduk lemas.
"Kau masih kuperlukan malam ini. Dan
sebaiknya kau tidur dulu!" kata Dewi Sri Tungga
Buana. Cepat sekali jari-jari tangan yang lentik itu
bergerak, sehingga dalam sekejap saja tubuh Kitri
Boga terguling roboh ke lantai. Dewi Sri Tungga
Buana tersenyum manis, lalu melangkah ke luar.
Sedangkan Rangga yang berada di palang atap,
menunggu sampai beberapa saat.
Pendekar Rajawali Sakti itu melayang turun
setelah tidak lagi terdengar langkah kaki kuda yang
semakin jauh menghilang. Suasana sepi menyelimuti keadaan sekitarnya. Samar-samar tadi
dia mendengar kalau Dewi Sri Tungga Buana
memerintahkan para pengawal khususnya untuk
ikut sebagian. Dan tentunya sebagian lagi menjaga
tempat ini. --myrna-- Rangga memeriksa keadaan tubuh Kitri Boga.
Jari-jari tangannya bergerak menotok di beberapa
tempat. Kitri Boga menggeleng-gelengkan
kepalanya. Suara rintihan terdengar lirih keluar dari
bibir yang pucat. Rangga membantu pemuda itu
berdiri setelah seluruh kekuatan totokan Dewi Sri
Tungga Buana hilang.
Pendekar Rajawali Sakti itu membawa Kitri Boga
duduk di pembaringan, kemudian diletakkan kedua
tangannya di punggung pemuda itu. Rangga
mencoba memulihkan kekuatan dan kesadaran Kitri
Boga dengan menyalurkan hawa mumi ke dalam
tubuh pemuda itu. Pelahan-lahan warna pucat di
wajah Kitri Boga berganti memerah ketika hawa
murni yang disalurkan Rangga mulai menyusup ke
dalam jalan darahnya.
"Ohhh...!" Kitri Boga menggeliat.
Rangga menghentikan penyaluran hawa murni
ke dalam tubuh Kitri Boga setelah keadaan tubuh
pemuda itu kembali normal. Pendekar Rajawali
Sakti itu kemudian berpindah duduk di depan
pemuda itu. Kitri Boga tersenyum seakan-akan
ingin mengucapkan terima kasih, meskipun belum
kenal dengan penolongnya.
"Aku Rangga. Aku datang untuk membebaskanmu. Kandara Jaya telah menunggumu di luar," kata Rangga sambil
memandangi wajah pemuda itu.
"Kau pasti yang disangka dewa oleh orangorang Puri Merah."
"Sebaiknya kita cepat ke luar dari tempat ini.
Tidak ada waktu lagi untuk banyak bicara," sergah
Rangga. Kitri Boga segera beranjak bangun. Diikutinya
langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti itu yang
kembali melewati lorong. Rangga mengamati
keadaan di sekitarnya sebelum keluar dari lorong
tempat waktu masuk tadi. Tanpa menunggu waktu
lagi, dia melesat keluar diikuti Kitri Boga yang
benar-benar telah pulih kembali.
"Cepat pergi ke arah Selatan. Kau akan bertemu
Kandara Jaya di perjalanan, lalu segeralah menuju
ke arah jurang. Kandara Jaya sudah tahu apa yang
akan dikerjakannya," kata Rangga memerintah.
"Kau sendiri?" tanya Kitri Boga.
"Aku punya tugas sendiri, cepat! Tidak ada
waktu lagi untuk menjelaskan kepadamu. Kandara
Jaya yang akan menjelaskannya nanti."
Kitri Boga segera melompat tinggi melewati
pagar kayu. Dia langsung menuju ke arah yang
ditunjuk Rangga. Sementara itu, Pendekar Rajawali
Sakti dengan sigap melenting tinggi ke atas atap
bangunan besar. Dengan indah sekali, dia
melenting lagi turun ke bawah. Lima orang penjaga
terkejut, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan
kecepatan tinggi, Rangga menghajar mereka
hingga roboh tak berkutik lagi.
"Huh! Tempat ini harus dimusnahkan!" dengus
Rangga. Tangan Pendekar Rajawali Sakti itu lalu
menyambar obor dan melemparkannya ke atas
atap. Seketika itu juga api berkobar melahap atap
bangunan besar itu. Rangga segera berlompatan
cepat ketika beberapa orang berpakaian hitam
berdatangan. Tanpa menunggu lama lagi, Pendekar Rajawali
Sakti menghajar orang-orang berpakaian hitam
yang menjaga bangunan ini. Mereka memang
bukan lawan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga
tidak heran kalau dalam waktu singkat dua puluh
orang penjaga tewas dengan tubuh remuk.
Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di
sekitarnya. Sementara itu api terus membesar,
menghanguskan bangunan yang besar itu. Rangga
kembali melompat melewati pagar kayu yang
tinggi. Setelah menjejakkan kaki di tanah,
dihancurkannya pagar kayu itu dengan mengerahkan pukulan jarak jauh. Suara ledakan
menggelegar bersamaan dengan hancurnya
benteng kayu. ,
"Rangga...!"
"Hey!" Rangga terkejut mendengar suara
panggilan dari arah belakang.
Kandara Jaya dan Kitri Boga berdiri berdampingan memandang ke arahnya. Rangga
melangkah menghampiri dua orang itu. Dia berdiri
tegak memandang wajah mereka satu per satu.
"Kenapa kalian tidak pergi?" tanya Rangga.
"Ada yang ingin kusampaikan padamu," sahut
Kitri Boga. "Kata Gusti Kandara Jaya, kau punya
adik yang tercebur di jurang?" sambungnya.
"Benar! Apakah dia masih hidup" Di mana dia
sekarang?"
"Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Tapi aku
yakin kalau dia masih hidup," kata Kitri Boga pasti.
"Kau jangan mengada-ada, Kitri Boga!" rungut
Rangga tidak percaya. Matanya tajam menatap
lurus bola mata pemuda itu.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, Rangga.
Memang aku melihat ada seorang gadis cantik
Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenakan pakaian biru dengan pedang di
punggung dan kipas di pinggang. Gadis itu dalam
keadaan pingsan. Tapi, sayang, Dewi Sri Tungga
Buana memerintahkannya untuk rnenceburkannya
ke dalam jurang. Aku tidak tahu apakah Natrasoma
dan sembilan orang lainnya melakukan perintah
itu." Rangga masih belum percaya penuh.
"Aku berani sumpah! Sejak aku ditawan mereka,
dan dipindahkan ke sini. Aku selalu menguping
pembicaraan mereka. Aku juga menyelidiki siapa
sebenarnya Dewi Sri Tungga Buana. Aku memang
dalam penjagaan ketat, tapi aku masih mendengar
apa yang dibicarakan mereka."
Rangga diam termenung. Pandangannya
langsung tertuju pada Kandara Jaya. Pangeran
muda itu membalas dengan pandangan mata yang
sukar dilukiskan. Rangga tidak tahu lagi harus
bilang apa. Semuanya sudah terjadi. Dia jelas
sekali melihat kalau sepuluh orang berjubah merah
menceburkan Pandan Wangi ke dalam jurang!
Tapi.... "Dewi Sri Tungga Buana sebenarnya putri
tunggal dari pemimpin Puri Merah yang terdahulu.
Keluarga mereka dibuang karena menentang
kebijaksanaan Raja Balaraga," lanjut Kitri Boga.
"Hm, jadi dia mau merebut kembali Puri
Merah?" gumam Rangga.
"Benar. Dia juga dendam pada setiap gadis yang
selalu mengolok-olok dirinya ketika masih bersama
keluarganya yang terbuang dari Puri Merah."
Rangga termenung beberapa saat. Kini sudah
jelas persoalannya, kenapa wanita cantik itu sangat
benci kepada orang-orang Puri Merah dan juga
kepada wanita-wanita yang tak bersalah.
Bagaimanapun juga, dia tidak menyukai cara
wanita itu melampiaskan dendamnya.
"Kitri Boga, bagaimana Pandan Wangi bisa
sampai ke sini?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu persis. Tapi kalau tidak salah
dengar, mereka menemukannya terapung di
sungai," sahut Kitri Boga.
"Sungai...?"
"Ya! Aku lihat memang pakaiannya basah,"
sambung Kitri Boga.
"Kitri Boga, terus terang aku masih belum
mengerti tentang kehadiran Pandan Wangi yang
menunjukkan tempat ini," kata Rangga.
"Jadi..., Dewi Sri Tungga Buana menemuimu?"
Kitri Boga sedikit terkejut.
"Bukan dia, tapi...."
"Aku mengerti sekarang," potong Kitri Boga.
"Maksudmu?" Rangga tidak mengerti.
"Dewi Sri Tungga Buana menyamar jadi Pandan
Wangi dan dia sengaja menemuimu."
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Untuk memancingmu ke sini, sementara dia ke
Puri Merah."
"Kalau begitu...!"
Rangga langsung melompat cepat dan
menghilang di kegelapan malam. Begitu cepatnya
Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang, sehingga
Kandara Jaya dan Kitri Boga jadi terbengongbengong. Meskipun Kandara Jaya sering berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan,
tapi dia masih juga takjub melihat gerakan dan
ketinggian ilmu Rangga. Sulit baginya mengukur
sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Kandara Jaya! Tetap laksanakan rencana
semula!" terdengar suara Rangga bergema.
"Hebat!" puji Kandara Jaya tulus.
Entah di mana Pendekar Rajawali Sakti itu
berada, tapi suaranya bisa terdengar begitu jelas.
Seakan-akan suara itu sangat dekat sekali. Betapa
sempurnanya ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti itu. Kandara Jaya segera mengajak Kitri Boga
untuk melaksanakan semua rencana yang sudah
dimatangkan Rangga. Kitri Boga yang sudah
diberitahu tentang semua rencana itu segera
berlompatan mengikuti pangeran muda itu.
Lompatan mereka cepat karena mengerahkan ilmu
lari cepat. Dalam waktu sekejap mata, tubuh
mereka sudah hilang ditelan kegelapan malam.
--myrna-- Sementara pada waktu yang sama, di dalam
benteng Puri Merah sedang terjadi kesibukan
mendadak. Dewi Sri Tungga Buana berdiri anggun
di tengah-tengah tangga puri yang berwarna
merah menyala dengan patung laki-laki muda
gagah menunggang burung rajawali raksasa di
puncaknya. Tampak pada altar, seorang laki-laki tua dengan
wajah penuh luka dan keriput, terlentang di atas
altar batu dengan kedua tangan dan kakinya
terikat. Empat orang gadis cantik juga terikat di
tiang dekat altar batu. Seluruh orang berjubah
merah berdiri berjajar memandang sayu pada lakilaki tua berjubah merah yang tak berdaya di atas
altar batu persembahan.
"Setiap kata yang kuucapkan tidak akan pernah
ditarik kembali! Kalian semua sudah berani
memberontak! Aku tidak akan menarik lagi janjiku!
Sekali kalian memberontak, maka pemimpin kalian
harus jadi korban persembahanku!" lantang suara
Dewi Sri Tungga Buana.
Tidak ada satu suara pun terdengar. Semua
orang yang ada di sekitar puri itu terdiam dengan
kepala tertunduk. Tidak kurang lima puluh orang
berpakaian serba hitam berjaga-jaga dengan
tombak bermata tiga di tangan. Ditambah lagi
dengan orang-orang berjubah merah.
"Laksanakan...!" perintah Dewi Sri Tungga
Buana keras dan lantang.
Lima orang berpakaian serba hitam melangkah
maju mendekati altar. Semua memegang golok
besar berkilat. Satu orang mendekati altar batu,
dan empat orang lainnya mendekati gadis-gadis
yang terikat di tiang. Tepat ketika mereka telah
mengangkat golok, tiba-tiba....
"Khraaagh...!"
Sebuah bayangan hitam dan besar melayang di
udara bersamaan dengan terdengarnya suara keras
dan nyaring memekakkan telinga. Makin dekat,
bayangan hitam itu makin jelas terlihat bentuknya.
Seekor burung rajawali raksasa dengan penunggang seorang pemuda tampan. Gagang
pedang berbentuk kepala burung menyembul dari
balik punggungnya.
Pada saat yang kritis itu, Rangga muncul
dengan bu rung rajawali raksasa.
"Dewa Agung datang...!"
Orang-orang berjubah merah serentak menjatuhkan diri berlutut Dewi Sri Tungga Buana
dan orang-orangnya terperanjat melihat datangnya
seekor burung rajawali raksasa yang ditunggangi
seorang laki-laki muda dan tampan. Burung
rajawali raksasa itu mendarat tepat di tengahtengah lingkaran manusia berjubah merah yang
berlutut dengan kedua tangan menempel di tanah.
"Hup!"
Rangga melompat bagai kapas ditiup angin.
Gerakannya ringan dan indah, tahu-tahu sudah
berdiri di altar batu. Dan secepat kilat dicabutnya
pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Sinar biru
berkilau memancar, dan berkelebat cepat
memutuskan tambang yang mengikat Pemimpin
Agung Puri Merah. Setelah itu, Rangga
membebaskan empat orang gadis yang terikat di
tiang. Begitu cepatnya tindakan Rangga, tahu-tahu ia
sudah kembali duduk di punggung rajawali raksasa.
Dan pedang pusaka pun juga sudah masuk lagi ke
dalam warangkanya. Semua yang ada di situ bagai
tersihir, berdiri takjub dengan mata tidak berkedip.
Tidak terkecuali Dewi Sri Tungga Buana. Wanita
cantik itu bengong bagai tidak percaya dengan
yang dilihatnya.
"Petualanganmu sudah berakhir, Dewi Sri
Tungga Buana. Dan aku akan menghukum sesuai
dengan perbuatanmu yang tercela!" suara Rangga
terdengar agung dan berwibawa.
"Tidak! Kau bukan dewa. Kau penyihir!" geram
Dewi Sri Tungga Buana.
"Tidak ada waktu untuk berdebat. Aku akan
membawamu kembali ke kahyangan. Biar para
dewa yang akan memutuskan hukuman untukmu!"
"Adya Bala...! Serang! Bunuh orang gila itu!"
perintah Dewi Sri Tungga Buana.
Anak buah Dewi Sri Tungga Buana serentak
bergerak hendak menyerbu. Tapi Rangga dengan
cepat melontarkan beberapa pukulan jarak jauh
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tahap terakhir.
Sepuluh orang langsung terjungkal dengan tubuh
hangus terkena pukulan maut itu.
Mereka yang selamat merasa ngeri, lalu
menghentikan gerakannya setelah melihat sepuluh
orang tergeletak terkena sinar-sinar merah yang
meluncur dari telapak tangan Rangga. Mereka
menjadi bimbang dan ragu. Sedangkan Dewi Sri
Tungga Buana menggeram marah.
"Kalian orang-orang Puri Merah, bangkitlah!
Hadapi segala bentuk kejahatan. Hadapi siapa saja
yang ingin membelenggu. Wanita itu bukan Dewi
Sri Tungga Buana, dan mereka juga bukan para
prajurit kahyangan. Mereka adalah manusia biasa
yang juga bisa mati!" Rangga membangkitkan
semangat orang-orang Puri Merah.
"Kubunuh kalian semua jika berani menentang!"
bentak Dewi Sri Tungga Buana melihat orangorang berjubah merah mulai bangkit berdiri.
"Jangan hiraukan ancamannya! Aku akan
melindungi kalian semua!" lantang suara Rangga.
"Setan! Kubunuh kau, tukang sihir busuk!"
geram Dewi Sri Tungga Buana.
"Kematianmu sudah tiba, perempuan liar!"
"Mampus kau, setaaan...!" teriak Dewi Sri
Tungga Buana seraya menghentakkan tangannya
ke depan. "Hih! Yeaaah...!"
Sambil berdiri di punggung rajawali raksasa,
Rangga langsung mengeluarkan aji 'Cakra Buana
Sukma'. Dari dua telapak tangannya yang terbuka,
meluncur sinar biru berkilau menahan sinar
keperakan yang memancar dari tangan Dewi Sri
Tungga Buana. "Khraaaghk...!"
Pendekar Rajawali Sakti itu melenting dan
menjejakkan kakinya di tanah dengan manis. Tapi
sinar biru yang memancar dari tangannya tetap
membendung cahaya keperakan yang memancar
dari tangan Dewi Sri Tungga Buana.
"Khraaaghk...!"
Burung rajawali raksasa itu mengepakkan
sayapnya, lalu menyambar beberapa orang
berpakaian serba hitam. Melihat Dewa Agung dan
tunggangannya murka, orang-orang berjubah
merah serentak bergerak menyerang orang-orang
Dewi Sri Tungga Buana. Seketika itu juga pecahlah
pertempuran. Denting senjata dan teriakan
teriakan membangkitkan semangat bercampur
menjadi satu dengan pekikan kemati-an. Malam
yang semula hening, berubah hiruk-pikuk oleh
suara-suara pertempuran.
Sementara itu Rangga terus melangkah maju
perlahan-lahan. Sedangkan Dewi Sri Tungga Buana
tampak berkeringat. Wajahnya mulai memerah
karena mengerahkan seluruh kekuatannya untuk
menandingi aji 'Cakra Buana Sukma'. Sedikit demi
sedikit cahaya keperakan terdesak oleh sinar biru.
"Uhk! Akh...!" Dewi Sri Tungga Buana
menggeliat. Wanita itu merasakan tenaganya semakin
terkuras, dan dadanya mulai terasa sesak. Keringat
dingin semakin deras mengucur dari pori-pori
tubuhnya. "Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring dan
melengking. Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara,
Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu secepat kilat menghantamkan pukulan jarak
jauhnya ke arah dada Dewi Sri Tungga Buana.
"Aaakh...!" jerit melengking terdengar dari mulut
Dewi Sri Tungga Buana.
Wanita yang sudah kehabisan tenaga itu tidak
mampu lagi menghindar dari hantaman Pendekar
Rajawali Sakti. Begitu kerasnya, sehingga dadanya
hancur berantakan menyemburkan darah merah
kehitaman. "Lari..., lari..., lari...!"
Melihat pemimpinnya tewas, anak buah Dewi Sri
Tungga Buana langsung berlarian berusaha
menyelamatkan diri. Tapi orang-orang yang
berjubah merah tidak membiarkan begitu saja.
Mereka segera mengejar dan membabat mati yang
tertangkap. Rangga hanya memandangi saja dari jarak jauh.
Dan tiba-tiba saja di benaknya terbersit misteri
tentang keberadaan Pandan Wangi. Benarkah
Pandan Wangi masih hidup" Lalu, siapa yang
diceburkan ke jurang oleh orang-orang Puri Merah"
Benarkah yang dikatakan Kitri Boga kalau dia
melihat Pandan Wangi yang akan diceburkan ke
jurang" Kalau bukan, siapakah gadis itu"
Untuk mendapatkan jawaban itu, ikuti kisah
selanjutnya dalam episode 'ASMARA MAUT.
SELESAI Pembuat Ebook :
Djvu : Abu Keisel
Convert & Pdf : Myrna KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
Siasat Yang Biadab 2 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Lambang Naga Panji Naga Sakti 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama