Ceritasilat Novel Online

Sang Penakluk 3

Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk Bagian 3


Semanding mandi di sungai."
"Tadinya memang begitu, tapi sekarang
tidak. Setiap kali aim ke sungai, selalu saja ada yang menunggu atau membuntuti.
Huh! Mereka semua pengecut! Bisanya hanya mencuri," Dewayani masih memberungut.
"Jangan samakan aku dengan mereka,
Dewayani."
"Kau memang lain. Mereka bodoh,
sedangkan kau punya kepandaian tinggi.
Lagi pula kau memang tampan...," Dewayani memberikan senyum. Rangga hanya
tersenyum tipis.
"Seharusnya kau tidak perlu sembunyi-sembunyi begitu, Kakang. Kalau ingin
mandi bersama-ku, kenapa tidak berterus terang saja?" ujar Dewayani, mendadak
lenyap keketusan di wajah-nya. Rangga
menelan ludahnya. Sebenarnya Pen-dekar.
Rajawali Sakti itu heran juga melihat
perubahan yang begitu cepat.
Tapi mengingat tawaran gadis cantik ini
jantungnya jadi berdetak kencang juga.
Pria mana yang begitu tolol menolak
ajakan menggairahkan itu" Setiap lakilaki normal, mustahil akan menolak ajakan gadis cantik ini. Dan Rangga jadi
serba salah. Dewayani memang cantik dan penuh daya
rang-sang tinggi. Tidak akan ada seorang laki-laki pun yang akan berpaling ke
arah lain bila memandang kecantikan gadis ini.
Bukan hanya kecantikan wajahnya, tapi
bentuk tubuhnya sanggup membuat seorang laki-laki bertahan berjemur diri di
bawah terik panas matahari satu harian. Bahkan kalau perlu dapat meninggalkan
anak dan istri, asalkan bisa mendapat-kan
Dewayani. Walau hanya sebentar saja. Dan kini dalam batin Pendekar Rajawali
Sakti tengah terjadi pertempuran sengit. Satu per-tempuran ganjil antara menolak
dan menerima ajakan menggairahkan itu.
"Sendang ini cukup jauh dari desa.
Tidak ada yang datang ke sini kecuali air sungai sudah kering," pancing
Dewayani. "Kau baru saja selesai mandi. Untuk apa mengajakku mandi lagi?" agak bergetar
juga suara Rangga
"Itu juga kalau kau mau, Kakang. Aku bisa menggosok punggungmu. Aku yakin,
pagi ini kau pasti belum membersihkan
diri. Iya, kan...?"
Rangga tidak menjawab. Memang diakui
kalau dirinya belum mandi. Bahkan sejak pagi kemarin belum tersentuh air. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu masih sukar menerima keinginan Dewayani. Entah
kenapa perasaannya jadi tidak menentu. Terlebih lagi saat Dewayani menarik
tangannya, dan mendekap ke dadanya. Seketika detak
jantung pemuda itu tidak menentu.
"Dewayani...," desah Rangga hendak menolak. Tapi Dewayani malah merapatkan
tubuhnya di tubuh pemuda itu. Dan dengan berani sekali dilingkarkan tangannya ke
leher. Begitu dekat sekali wajah mereka, sehingga Rangga dapat merasakan desahan
napas gadis itu menerpa kulit wajahnya.
Begini segar dan harum, membuat pikirannya jadi tidak menentu.
Dengan gerakan lembut, Dewayani
melepaskan tali pengikat pedang di
punggung Pendekar Rajawali Sakti, dan
menjatuhkannya ke tanah. Sedangkan Rangga hanya diam saja. Seperti hilang kesadarannya pemuda berbaju rompi putih itu
menurut saja. Dewayani merendahkan tubuhnya sambil menarik leher pemuda itu.
Rangga jadi ikut merendahkan tubuhnya
berlutut dengan kaki tertekuk sejajar
tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu merasa seluruh aliran darahnya seketika
terhenti begitu bibir Dewayani melumat bibirnya
disertai gairah menggelora.
Sedikit pun Rangga tidak mencegah
ketika tangan Dewayani melepaskan
bajunya. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi lupa diri. Dan yang ada
kini hanya gairah yang menggebu-gebu
menggelegak dalam dada. Semula hanya diam saja, tapi kini....
"Ah...," Dewayani mendesis saat merasakan jari-jari tangan Rangga
merayapi dadanya.
Gadis itu merebahkan tubuhnya. Rangga
seperti tak kuasa menolak, ikut
merebahkan tubuhnya tanpa melepaskan pelukan. Dilumatnya bibir gadis itu
disertai gairah menggelegak. Tak ada lagi kata-kata, hanya desah dan rintihan
tertahan terdengar. Dewayani menggeliat-geliatkan tubuhnya di bawah himpitan
Pendekar Rajawali Sakti. Tidak dipedulikan lagi jari-jari tangan Rangga yang mulai melepaskan pakaiannya. Bahkan
gadis itu ikut membantu dengan menggerak-gerakkan tubuhnya. Sebentar saja, gadis
itu sudah polos. Tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya. Pakaiannya
berserakan di samping tubuhnya sendiri.
"Oh, Kakang...," rintih Dewayani mendesah.
Tapi mendadak saja....
"Khraghk...!"
"Aaakh...!" tiba-tiba Rangga menjerit keras.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu
menggelimpang dari tubuh Dewayani.
Dipegangi kepalanya sendiri sambil
berteriak-teriak.
Lalu dengan tatapan
mata merah, Pendekar Rajawali Sakti itu mendesis menatap Dewayani. Secepat
kilat, Rangga menyambar pakaian dan pedangnya, lalu melesat pergi. Begitu
cepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Kakang...!" jerit Dewayani.
Buru-buru gadis itu mengenakan
pakaiannya kembali, lalu bangkit berdiri.
Tapi Dewayani tidak jadi mengejar pemuda berbaju rompi putih itu, dan mendadak
jadi tertegun. Gadis itu kemudian terus berlari kencang ke arah yang berlawanan
dengan kepergian Rangga.
"Tidak...!" jerit Dewayani sambil
terus berlari kencang.
*** Rangga menjatuhkan dirinya berlutut.
Dipegangi kepalanya dan dijambak
rambutnya. Kemudian tangannya memukulmukul tanah. Pendekar Rajawali Sakti
menjatuhkan kepalanya hingga membentur
tanah berumput dengan keras.
"Oh, Dewata Yang Agung..., Apa yang telah kuperbuat" Oh, tidak! Aku tidak
melakukan itu...," rintih Rangga.
Memang, suara burung rajawali putih
telah menyadarkannya. Rangga benar-benar tidak ingat apa yang telah dilakukannya
terhadap Dewayani. Kesadarannya saat itu hilang, dan yang ada hanya gairah nafsu
menggelora. Rangga tak mampu melawan, dan tidak tahu apa yang telah terjadi.
"Oh...!" Rangga tersentak ketika mengangkat kepalanya.
Tiba-tiba saja di depannya berdiri
seorang laki-laki berbaju putih. Wajahnya bersinar bagai matahari. Rangga
langsung bersujud menempelkan keningnya di tanah.
Seluruh tubuhnya gemetaran, tak sanggup mengangkat kepalanya kembali. Apalagi
memandang laki-laki yang kini berdiri di depannya, yang sangat dihormati. Dialah
guru sejati yang telah moksa ratusan
tahun lalu. Seorang
pendekar tanpa tanding pada masa hidupnya dulu, dan
dikenal berjuluk Pendekar Rajawali.
Tampak di angkasa seekor burung
rajawali putih melayang-layang mengitari.
Bayang-bayang burung itu membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin bergetar
hebat. Keringat dingin bercucuran deras Rangga semakin tidak sanggup
menggerakkan tubuhnya. Hatinya sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada
dirinya. "Bangunlah, Rangga," lembut dan
berwibawa sekali suara Pendekar Rajawali.
"Guru.... Aku mohon ampun. Aku tidak melakukannya. Sungguh...," rintih Rangga
tetap bersujud dengan kening menyentuh
tanah. "Bangun, Rangga."
"Ampunkan aku, Guru...."
Dengan tubuh masih bergetar dan
keringat mengucur deras, Rangga bangkit dan duduk bersila. Namun kepalanya masih
tetap tertunduk.
"Pandang aku, Rangga."
Pendekar Rajawali Sakti itu merapatkan tangannya di depan hidung,
kemudian mengangkat kepalanya pelahan dan memandang wajah laki-laki berbaju
putih yang wajah dan tubuhnya bersinar bagai
matahari. "Kau tidak perlu bersikap seperti
itu, Rangga. Tegarlah! Angkat kepala, dan busungkan dadamu! Kau bukan laki-laki
lembek yang mudah mengucurkan air mata.
Aku tidak suka melihatmu seperti itu!"
tegas kata-kata Pendekar Raja-wali.
"Maafkan aku, Guru," ucap Rangga mulai tenang.
"Aku tahu kau tidak kuasa menolak.
Bagai-manapun juga kau manusia normal.
Dan apa yang telah terjadi pada dirimu
adalah di luar kendali dan kesadaranmu.
Kau terpengaruh, Rangga. Dan hal itu
tidak kau sadari, karena hati, pikiran, dan perasaanmu sedang terguncang. Kau
harus tegar menghadapi segala sesuatu.
Jangan biarkan hatimu lemah. Jangan
biarkan pikiranmu terguncang. Kau seorang pendekar sejati. Hati dan pikiranmu
harus sejalan."
Rangga diam saja. Disimak dan
dimasukkannya kata-kata gurunya itu ke dalam hati yang paling dalam.
Setiap kata yang terucapkan dicerna
dengan baik di dalam hati. Rangga
mengakui, meskipun kepandaiannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya,
tapi dalam beberapa hal masih memiliki kelemahan.
"Rangga! Orang yang kau hadapi
sekarang bu-kan manusia sembarangan.
Dalam diri orang itu telah merasuk roh
jahat meskipun dia sendiri tidak
menginginkannya. Itu sebabnya dalam waktu sekejap perangainya bisa berubah. Dan
dia sadar dengan apa yang dilakukannya, tapi tidak mampu menolak. Kau harus
dapat membebaskannya dari pengaruh Roh Sang
Penakluk dari dalam dirinya," kata Pendekar Rajawali lagi.
"Guru, apakah yang dimaksudkan itu adalah Dewayani?" Tanya Rangga.
"Benar, Rangga. Gadis itu berasal
dari daerah Selatan. Dan sengaja lari ke wilayah Kulon ini untuk menghindari
kekuasaan Roh Sang Penakluk. Tapi rupanya roh jahat itu tetap mengikutinya, dan
ingin menjadikan Dewayani sebagai
penerus! Menjadi Sang Penakluk.
"Maksud, Guru?" Rangga tidak
mengerti. "Rangga. Dulu ketika aku masih hidup, ada seorang yang memiliki ilmu sangat
tinggi. Suatu ilmu yang sangat langka dan jarang di-miliki orang lain. Dia bisa
menguasai pikiran dan hati manusia. Tidak peduli apakah itu laki-laki,
perempuan, anak-anak, atau orang-orang tua. Dia bisa menguasai hanya dari
pandangan matanya
saja, tidak ada yang bisa menandinginya.
Bahkan aku sendiri nyaris tewas ketika
mencoba menghentikan perbuatannya. Tapi, akhirnya bisa kulenyapkan, meskipun aku
sendiri harus menderita luka parah. Tapi sebelum tewas, dia bersumpah akan terus
mengembara dalam bentuk roh, dan merasuk ke dalam raga orang-orang yang
diinginkan. Rangga, tidak sembarang orang bisa dimasuki dan dipengaruhi dalam
bentuk roh seperti sekarang ini. Hanya mereka yang terlahir kembar, dan
kembarannya meninggal sebelum sempat melihat dunia
saja yang bisa dipengaruhi. Tapi jika
sudah merasuk ke dalam tubuh orang yang dipilihnya, maka kekuatannya akan
kembali sempurna pada orang itu."
"Guru, apa yang harus kulakukan?"
Tanya Rangga. "Hm..., kau memang tidak mungkin bisa membunuh roh tanpa jasad. Tapi kau harus
bisa melepaskan gadis itu dari pengaruhnya. Hanya saja itu tidak mudah, Rangga. Kau bisa melenyapkan roh itu
jika memang sudah menyatu di dalam diri gadis
itu. Tapi...."
"Tapi kenapa, Guru?"
"Harus ada korban."
"Maksud Guru?"
"Dewayani harus merelakan dirinya
menyatu bersama roh itu...," kembali kata-kata Pendekar Rajawali terputus.
"Aku mengerti, Guru," ujar Rangga pelan.
*** 7 Hampir tengah malam Rangga sudah
berada tidak jauh dari rumah Ki Jepun.
Dan sebenarnya pula, sejak menjelang
malam tadi Pendekar Rajawali Sakti sudah mengawasi rumah pasangan tua itu. Kini
diyakininya kalau Dewayani ter-libat
langsung terhadap semua yang terjadi di Desa Semanding ini. Tapi Rangga masih
sangsi, kalau Dewayani yang membunuh tiga pemuda desa.
Tapi menurut gurunya yang muncul
dalam bentuk roh halus, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi ragu-ragu juga. Menurut
gurunya, Dewayani memang membunuh ketiga pemuda desa itu. Tapi itu dilakukannya
di luar kendali dan keinginannya sendiri.
Ada suara kekuatan lain yang tidak bisa dilawan sendiri. Suatu kekuatan yang
telah lama mati ratusan tahun yang lalu.
Kekuatan itu disebut Sang Penakluk.
"Hm.... Dewayani harus kubebaskan.
Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya..."


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkinkah manusia dapat melawan roh tak berujud?" Rangga berbicara sendiri
dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia
teringat kembali kata-kata gurunya. Dan setiap kali teringat, rasa-nya tidak
mungkin memisahkan Dewayani dari kekuatan itu. Bisa saja roh itu dilenyapkannya,
tapi hanya untuk sementara waktu saja.
Dan ini juga menyangkut keselamatan
Dewayani sendiri, karena gadis itu harus jadi korban. Tak mungkin roh halus itu
dilawan kalau tidak menyusup lebih dahulu ke dalam raga gadis itu.
"Sangat disayangkan sekali, gadis itu harus mati dalam usia muda. Hhh...!"
Desah Rangga dalam hati.
Rangga memang menghadapi satu pilihan
sulit. Dan rasanya sulit menghindar dari Kenyataan yang akan terjadi.
Bagaimanapun juga tekad Pendekar Rajawali Sakti adalah mengenyahkan kekuatan
jahat yang kini
bersemayam di dalam diri Dewayani.
Kalaupun mungkin, gadis itu harus
diselamatkan. Tapi Rangga tidak yakin bisa menyelamatkan Dewayani.
Masalahnya sekarang, gurunya sendiri
tidak yakin kalau Dewayani bisa
diselamatkan. Rangga terus berpikir keras mencari jalan yang ter-baik. Namun
perhatiannya tidak lepas ke arah rumah Ki
Jepun. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti itu merasa yakin kalau malam ini
Dewayani akan keluar kembali dan mencari korban baru. Darah dari pemuda-pemuda
yang berhasil ditaklukkan melalui
kecantikannya. Darah yang akan membuat roh dalam tubuhnya semakin bertambah
kuat. Semakin banyak darah yang di-dapat, semakin bertambah kekuatannya.
"Hm...," Rangga bergumam ketika melihat pintu belakang rumah Ki Jepun
terbuka. Pendekar Rajawali Sakti itu semakin
menajam-kan penglihatannya. Tampak dari dalam rumah, keluar seseorang mengenakan
baju berwarna gelap. Rangga terus
memperhatikan orang yang bergerak ringan keluar dari dalam rumah. Masih sulit
baginya untuk mengenalinya, karena orang itu berjalan agak memunggunginya.
Tepat pada saat orang itu melesat,
Rangga langsung melentingkan
tubuhnya mengejar. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin ketinggalan walau hanya sesaat
saja. Dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh dan aji 'Tatar Netra', ke mana orang berbaju gelap itu pergi,
terus dikuntitnya.
*** Sementara itu di sebuah rumah yang
letaknya agak menyendiri dari rumah-rumah lainnya, tam-pak dua orang laki-laki
tengah duduk di beranda depan. Yang
seorang masih muda, berusia sekitar dua puluh tahun. Sedangkan seorang lagi
sudah setengah baya. Mereka duduk saling
berhadapan di atas selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh sambil
berbincang-bincang. Semua penduduk Desa Semanding mengenal mereka. Yang muda
bernama Caraka. Sedangkan laki-laki
setengah baya itu adalah ayahnya, yang
biasa dipanggil Ki Pudit.
"Caraka, apa kau yakin kalau Dewayani akan ke sini malam ini?" Tanya Ki Pudit.
Nada suaranya terdengar tegang.
"Aku yakin. Ayah. Siang tadi aku
sengaja menunggunya di tepi hutan, dan
lama juga bicara dengannya. Dan aku
merasa yakin ada sesuatu di dalam
dirinya, tapi tidak tahu kekuatan apa
yang ada," sahut Caraka.
"Tapi kau harus hati-hati, Caraka.
Sudah tiga anak muda dan kepala desa yang tewas ter-bunuh," ujar ayahnya
khawatir. Caraka hanya tersenyum saja.
Sebenarnya Caraka baru dua hari ini
berada kembali di desa, tanah kelahirannya ini. Kedatangannya juga karena
mendengar di desanya sedang terjadi
sesuatu yang menimbulkan tiga korban
nyawa. Selama ini pemuda itu tinggal di sebuah padepokan, dan berguru disana.
Hanya sesekali saja pulang ke rumah orang tuanya. Dia sudah banyak mendengar,
baik dari cerita ayah dan ibunya maupun dari
para penduduk desa ini.
Sebenarnya Caraka tidak yakin kalau
pelaku semua pembunuhan itu adalah
seorang gadis yang sangat cantik dan
nampak lembut. Tapi setelah berbicara
cukup lama siang tadi, dia merasa ada
sesuatu di dalam diri gadis itu. Sesuatu yang hampir tidak dirasakan. Namun
demikian pemuda itu masih juga merasa
ragu-ragu. Apalagi, Caraka tidak membantah kalau hatinya sempat tergetar pula
saat melihat kecantikan Dewayani.
"Sebaiknya Ayah di dalam saja. Jangan memberi kesan kalau kita sedang
menunggu," kata Caraka.
"Hati-hatilah, Caraka. Aku mungkin tidak bisa membantumu. Aku tidak bisa
apa-apa," ucap Ki Pudit seraya bangkit berdiri, namun agak berat hatinya.
"Percayalah, Ayah. Apa pun namanya kejahatan di muka bumi ini, tidak akan
berumur panjang. Kalaupun tidak bisa
menandinginya, aku berusaha agar masih
bisa selamat," ujar Caraka memberikan ketenangan pada ayahnya.
Ki Pudit menepuk pundak anaknya,
kemudian melangkah masuk ke dalam
rumahnya. Semula orang tua itu tidak
ingin menutup pintu. Tapi, Caraka meminta agar pintunya ditutup saja. Ki Pudit
terpaksa menuruti keinginan anaknya ini.
Di Desa Semanding, memang Ki Puditlah
orang tua yang bisa berbangga. Sebab,
anaknya bisa berguru di sebuah padepokan
yang cukup mempunyai nama dan termasuk
seorang murid pilihan yang berkemampuan cukup tinggi. Memang di desa ini bisa
dihitung dengan jari, orang yang memiliki ilmu olah kanuragan. Bahkan itu
pun hanya sekadar untuk menjaga diri
saja. Tidak ada keistimewaannya sama
sekali. Tapi malam ini kecemasan benar-benar
menghantui hati Ki Pudit. Betapa tidak"
Baru saja dua hari anaknya datang, sudah harus menghadapi bahaya besar yang bisa
membuat nyawa melayang. Sementara itu
Caraka duduk mencangkung di beranda depan rumahnya.
Meskipun kelihatan tenang,
namun hatinya tetap diliputi sesuatu yang sukar dienyahkan. Secara jujur, Caraka
mengakui kalau dirinya juga khawatir
tidak akan mampu menghadapi pembunuh
misterius itu. Caraka bangkit berdiri ketika melihat
seseorang berjalan setengah berlari di
kejauhan. Pemuda itu melangkah keluar
dari. beranda dan berdiri di tengah
jalan, tepat di depan rumah-nya. Ditunggunya orang yang menghampiri setengah
berlari itu. Semakin dekat, semakin jelas terlihat kalau orang itu adalah
wanita. Caraka tersenyum begitu melihat wajahnya.
Ternyata dia adalah Dewayani.
"Ada yang mengejarmu?" Tanya Caraka begitu Dewayani sudah dekat di depannya.
"Tidak."
Sahut Dewayani seraya
memberi senyuman yang begitu manis.
Gadis itu mengenakan baju cukup ketat
berwarna biru gelap, sehingga membentuk lekuk tubuhnya yang ramping dan padat
berisi. Sejenak Caraka memandang gadis
itu. Sebagai laki-laki normal, tentu
pemuda itu agak bergetar juga melihat
seorang gadis yang begitu cantik dengan bentuk tubuh menggairahkan. Tapi Caraka
berusaha menekan perasaannya.
"Bagaimana" Kita jadi ke sendang?"
Tanya Caraka. "Rasanya...."
"Ada apa, Dewayani" Bukankah kau
sendiri yang memintaku untuk mengantarkan ke sendang malam ini?"
Dewayani hanya diam saja. Ditolehkan
kepalanya ke kiri dan ke kanan, seakanakan ada yang dicari. Caraka ikut
memperhatikan sekeliling-nya. Keadaan
sekitarnya sepi senyap, tak tam-pak
seorang pun di sekitar tempat ini. Pemuda itu memandangi wajah cantik di
depannya. Kening pemuda itu agak berkerut saat
melihat raut wajah Dewayani yang berubah jadi menegang.
Caraka menelan ludahnya. Dirasakan
adanya sesuatu yang sukar diketahui apa namanya. Pemuda itu mulai waspada dengan
segala kemungkinan yang akan terjadi.
Pelahan kakinya bergerak mundur beberapa tindak. Sementara Dewayani semakin
kelihatan menegang kaku. Sepasang matanya mendadak saja berubah merah menyala.
Wajah yang cantik itu jadi memucat bagai
tak teralirkan darah.
"Kau ingin menjebakku, Caraka...!"
Desis Dewayani dengan suara yang serak
dan datar. Kembali Caraka menelan ludahnya
mendengar suara yang begitu lain. Jelas sekali kalau itu bukan suara Dewayani,
meskipun keluar dari bi-bir gadis itu.
Dan pemuda itu semakin yakin kalau ada
suatu kekuatan lain di sekitar tempat
ini. Kekuatan itu datang dari gadis di
depannya. "Kau harus mampus, Caraka! Shaaa...!"
Sambil membuka mulutnya lebar-lebar,
Dewayani melompat menerjang pemuda itu.
Bergegas Caraka menggeser kakinya ke
samping, dan se-cepat itu pula dicabut
golok yang tersembunyi di balik bajunya.
Wuk! Bagaikan kilat, Caraka mengibaskan
goloknya begitu dapat menghindari terjangan Dewayani yang kini sudah berubah.
Tebasan golok itu berhasil menghantam
pinggang gadis itu. Tapi sungguh di luar dugaan sama sekali! Golok itu malah
terpental, lepas dari genggaman Caraka.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, Dewayani mengibaskan tangan kanannya dengan
kecepatan bagai kilat.
"Graghk...!"
Bughk! "Akh..." Caraka memekik
keras tertahan. Kibasan tangan Dewayani menghantam
dada pemuda itu. Akibatnya tubuh Caraka terpental ke belakang sejauh tiga batang
tombak. Begitu keras, sehingga membuatnya bergelimpangan di tanah beberapa kali.
Pemuda itu meringis sambil
mendekap dadanya. Tangan Dewayani yang kecil,
lembut, dan halus itu terasa bagai sebuah potongan baja yang amat keras.
"Ughk..."
Caraka berusaha bangkit berdiri
sambil mengatur jalan napasnya. Seluruh tulang-tulang dadanya terasa remuk.
Kalau saja kekuatan tenaga dalam tidak
dikerahkan, mungkin seketika sudah tewas dengan dada remuk. Namun demikian, rasa
nyeri dan sesak napas mengganjal di dalam dada pemuda itu. Dan sebelum Caraka
bisa menguasai jalan nafasnya, Dewayani sudah kembali melompat seraya
memperdengarkan suara raungan keras bagai binatang buas.
"Auuurghk...!"
"Hup!"
Cepat sekali Caraka melentingkan
tubuhnya ke samping, menghindari terjangan gadis itu. Dua kali pemuda itu
berputaran di udara, dan manis sekali
mendarat agak ke belakang dari tubuh
Dewayani. Caraka tidak membuang-buang
kesempatan. Sambil berteriak keras, dia melompat dan menghentakkan satu
tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi
"Hiyaaa...!"
*** Buk! Tendangan Caraka yang demikian keras
tak dapat dihindari Dewayani. Punggung gadis itu telak dihantam tendangan
bertenaga dalam cukup tinggi. Tapi sungguh sukar dipercaya. Bukannya Dewayani
yang terpental, tapi justru Caraka yang terpental cukup jauh. Dan pemuda itu
mengerang keras saat punggungnya
menghantam sebatang pohon hingga hancur berantakan
Caraka menggeliat sambil meringis
kesakitan di antara serpihan pohon yang terlanda tubuh-nya. Sementara Dewayani
sudah memutar tubuhnya berbalik menghadap pemuda yang berusaha bang-kit sambil
merintih menahan rasa sakit di se-kujur tubuhnya. Belum lagi rasa nyeri seperti
remuk pada tulang-tulang kakinya. Pemuda itu tadi seperti menendang seonggok
benda campuran antara batu cadas dengan baja
yang sangat kuat Sungguh tak tergoyahkan meskipun telah di-kerahkan kekuatan
tenaga dalamnya.
"Gila! Makhluk apa ini...?" Dengus Caraka seraya menggeser kakinya ke
samping. Pemuda itu meraba pinggangnya, lalu
mengeluarkan dua senjata pendek berujung tiga dari besi berwarna kuning
keemasan. Senjata itu berbentuk trisula pendek,
yang ujung-ujungnya runcing berkilat
tertimpa cahaya sinar rembulan. Caraka
memutar-mutar kedua senjata di tangannya.
Pandangannya begitu tajam mengawasi
setiap gerak gadis cantik yang kini sudah berubah menjadi sosok makhluk
mengerikan dan sangat liar.
"Maju kau, iblis laknat!" dengus Caraka.
"Ha ha ha...!" Dewayani malah tertawa terbahak-bahak.
Suara tawa itu terdengar kering dan
agak serak, persis tawa seorang nenek

Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nenek. Caraka agak tersentak juga
mendengarnya. Dia jadi menduga,
mungkinkah Dewayani sebenarnya adalah
nenek-nenek yang mampu mempertahankan
bentuk wajah dan tubuhnya sehingga masih kelihatan seperti gadis muda dan
cantik" Namun belum juga pemuda itu bisa
menjawab pertanyaan yang menggeluti
benaknya, mendadak saja Dewayani sudah
kembali melompat cepat luar biasa.
Direntangkan tangannya ke depan, dan
kuku-kuku jari tangannya mengembang
runcing berwarna hitam.
"Hiyaaa...!"
Wut! Wuk...! Caraka langsung mengibaskan
senjatanya sambil melompat berkelit. Dua kali senjatanya berhasil ditancapkan ke
tubuh gadis itu. Tapi Caraka jadi
terbeliak keheranan. Ternyata senjatanya tak mampu melukai tubuh gadis ini.
Bahkan Dewayani semakin liar dan ganas saja.
Serangan-serangannya sungguh cepat,
meskipun sama sekali tidak berusaha untuk menghindari serangan balasan yang
dilepaskan pemuda itu.
Beberapa kali Caraka berhasil
mendaratkan tendangan dan menancapkan
senjatanya ke seluruh bagian tubuh gadis itu. Tapi hasilnya nihil. Bahkan pemuda
itu sendiri jadi kewalahan menghindari
setiap serangan yang datang dan sangat
berbahaya dari Dewayani. Caraka tidak
ingin terkena lagi. Dan dia tahu, sekali saja terkena pukulan gadis ini, maka
tamatlah riwayatnya.
Namun mendapat serangan yang begitu
gencar dan sangat berbahaya, Caraka
semakin sulit meladeni nya. Bahkan
beberapa kali harus jatuh bangun untuk
menghindari. Apalagi setiap serangan
balasan yang dilancarkannya tidak
mempunyai arti sama sekali. Dewayani
terus mendesak dengan serangan-serangan dahsyatnya. Gadis itu benar-benar tidak
mempedulikan serangan balasan yang dilon-tarkan Caraka, sehingga membuatnya
putus asa. Sudah seluruh kepandaian yang
dimiliki dikeluarkan, tapi tidak juga
mampu mendesak lawan. Bahkan kini dia
hanya bisa bertahan dan terus bertahan.
"Uh! Aku tidak bisa begini terusmenerus!" Dengus Caraka dalam hati.
Caraka berniat lari dari pertarungan
yang bakal merenggut nyawanya ini. Tapi sebelum niatnya terlaksana, mendadak
saja Dewayani memberikan satu pukulan keras
dan tiba-tiba. Itu terjadi tepat ketika Caraka baru saja menghindari sebuah
tendangan gadis ini, dan tidak bisa
terhindari lagi.
Des! "Aaakh...!" Caraka menjerit keras meleng-king.
Pemuda itu terpental sejauh tiga
batang tombak, lalu keras sekali ambruk ke tanah. Saat itu juga Dewayani sudah
melompat hendak menerkam. Caraka tak
mampu lagi berbuat se-suatu.
Pukulan keras yang bersarang di dadanya membuatnya serasa lumpuh, tak mampu menggerakkan
tubuhnya lagi. Pemuda itu hanya bisa
menahan napas dan menerima apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Aaarghk...!"
Namun mendadak saja sebuah bayangan
putih berkelebat, langsung menghajar
Dewayani. Gadis itu meraung keras, dan terpental sebelum mencapai tubuh pemuda
yang tergeletak pasrah di tanah. Saat itu Caraka hanya bisa memandang saja.
Matanya terbeliak begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih tahu-tahu
sudah berdiri di sampingnya.
Dan Dewayani tampak menggerung-gerung
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
kemudian menatap pemuda yang baru datang dengan mata merah membara. Bibirnya
mengeluarkan suara mendesis bagai ular.
Tampak dari sela-sela bibirnya menyembul sepasang taring yang sangat tajam dan
berkilat. Wajah Dewayani demikian
memucat, namun sangat kaku sekali bagai sosok mayat.
"Kau tidak apa-apa, Kisanak?" Tanya pemuda berbaju rompi putih itu lembut
seraya melirik pada Caraka sedikit
"Tidak," sahut Caraka seraya berusaha bangkit berdiri.
Sambil memegangi dadanya, Caraka
mampu berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu. Dia masih kesulitan
mengatur jalan napas-nya. Dan setiap kali menarik napas, dadanya terasa nyeri.
Caraka tahu kalau ada tulang dadanya yang kemungkinan patah, atau paling tidak
retak. Dan juga disadari kalau dirinya
tidak akan mampu melakukan pertarungan
lagi. Caraka memandang pemuda di
sampingnya. Dia tidak tahu siapa pemuda ini, tapi diyakini kalau pemuda yang
tidak jauh berbeda usianya ini berada di pihaknya.
"Menyingkiriah. Kau terluka dalam
cukup pa-rah," jelas pemuda berbaju rompi putih itu.
Caraka tidak membantah, dan segera
bergerak menjauh, mendekati beranda
rumahnya. Pemuda ini terus menerka-nerka, siapa sebenarnya laki-laki berbaju
rompi putih itu" Suaranya sangat dalam dan
berwibawa, namun tidak menghilangkan
kelembutannya. Sementara itu Dewayani sudah menggeram sambil menggerak-gerakkan tangannya
yang mengembang dengan kuku-kuku panjang berwarna hitam. Sedangkan pemuda
berbaju rompi putih itu hanya berdiri tegak
memperhatikan, sedikit pun tidak
melakukan gerakan apa-apa.
"Ghraughk...."
"Hap!"
*** 8 Cepat sekali Rangga melompatmenyongsong serangan Dewayani. Dihentakkan tangannya ke depan seraya mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Tak pelak
lagi, dua kekuatan dahsyat bertemu di
udara, sehingga menimbulkan ledakan
sangat dahsyat Glarrr...! Percikan bunga api menebar ke seluruh
pen-juru. Tampak Rangga dan Dewayani
sama-sama terpental ke belakang, dan
jatuh bergulingan di tanah. Namun mereka cepat melompat bangkit berdiri dan
kembali siap melakukan serangan berikutnya. Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum tipis. Sedangkan Dewayani
menggerung kecil sambil memperlihatkan
taringnya. "Pergilah! Bukan di sini tempatmu,
Sang Penakluk!" ujar Rangga dingin.
"Gnr..! Rupanya kau sudah tahu
diriku, Anak Muda. Siapa kau sebenarnya?"
geram Dewayani. Suaranya begitu serak dan kering.
"Kau lihat ini...!"
Sret! Pelahan namun pasti Rangga mencabut
Pedang Rajawali Sakti dari warangka nya di punggung. Malam yang gelap gulita
itu, seketika terang benderang oleh cahaya
biru yang memancar dari mata pedang di
tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aaarghk...!" Dewayani meraung keras sambil mengangkat tangan.
Gadis itu menutupi muka yang
dipalingkan dengan tangannya. Kakinya
melangkah mundur beberapa tindak, tapi
hanya sebentar saja. Pelahan dia kembali tegak sambil menggeram. Sepasang bola
matanya semakin merah membara bagai
sepasang bola api yang siap membakar
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sendiri berdiri tegak sambil
melintangkan pedang di depan dada. Sorot matanya
begitu tajam menusuk langsung bola mata wanita di depannya.
"Kau....! Kau sudah mati!" geram
Dewayani menuding.
"Ya! Dan kau juga sudah lama mati."
Balas Rangga dingin.
"Ha ha ha...!" mendadak saja Dewayani tertawa terbahak-bahak.
"Tertawalah sepuasmu, Iblis Penakluk!
Kau tidak akan bisa berlama-lama dalam
diri gadis itu selama aku masih menghirup
udara di dunia ini!" Dingin sekali nada suara Rangga.
"Ha ha ha...! Kau boleh besar kepala ketika mengalahkan aku, Pendekar
Rajawali. Tapi kini. Tak bakal kau bisa menandingi ku, karena...."
"Kau sekarang adalah Iblis yang
sesungguhnya! Bukan lagi manusia berhati iblis!" potong Rangga cepat
"Bedebah!" geram Dewayani.
"Pedang ini pernah berlumur darahmu.
Dan dengan pedang ini pula, kau akan
kukirim kembali ke neraka! Kau tidak bisa lupa, Iblis Penakluk. Setitik darah
yang mengalir dari tubuhmu, itulah yang akan mengembalikanmu ke neraka. Dan aku
memiliki sedikit darahmu di pedang ini!"
"Keparat..!" semakin pucat wajah Dewayani. Namun sorot matanya memancarkan
luapan amarah-nya.
Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti
barusan memang menggetarkan. Dan Rangga sudah tahu, setiap iblis akan binasa
oleh darahnya sendiri. Memang, tak ada
kekuatan lain yang bisa mengalahkan
kekuatan iblis selain darahnya sendiri.
Bahkan manusia pun akan tewas oleh
darahnya sendiri pula. Setetes darah
sangat berarti bagi kelangsungan hidup.
Kehilangan setetes darah merupakan kehilangan setitik kehidupan. Rangga pernah
mengetahui hal itu dari Kitab
yang dibacanya di kediaman gurunya di Lembah Bangkai. Dan kini ingin dibuktikannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tahu,
kalau gurunya tidak akan menuliskan kata-kata tersebut tanpa mengandung arti
yang dalam. Dan sekarang baru bisa dimengerti maknanya. Hanya saja hatinya masih
diliputi perasaan cemas akan keselamatan Dewayani. Bagaimanapun juga Dewayani
harus diselamatkan, di samping melenyapkan pengaruh Roh Sang Penakluk di dalam diri gadis itu. Tapi Rangga juga
menyadari kalau hal itu tidak mudah
dilaksanakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti sudah siap seandainya Dewayani harus
menjadi korban.
Pada saat itu terdengar ayam jantan
berkokok, pertanda pergantian waktu akan segera terjadi. Tak berapa lama lagi
fajar akan menyingsing. Suara ayam jantan itu membuat Dewayani tampak gelagapan,
dan wajahnya kelihatan gelisah.
"Satu saat, aku akan membunuhmu,
keparat!" geram Dewayani.
Setelah berkata demikian, Dewayani
langsung melesat pergi. Cepat sekali
gerakannya, se-hingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Hey...!" Sentak Rangga terkejut Tapi terlambat Tidak mungkin lagi
Pendekar Rajawali Sakti itu untuk
mengejar. Rangga memang tahu arah
kepergian gadis itu, tapi bukan tidak
mungkin kalau Dewayani membelokkan arahnya sehingga akan sia-sia saja
pengejarannya. Rangga mendesah panjang.
Dimasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti dalam warangkanya di punggung.
Kegelapan kembali menyelimuti sekitarnya. Rangga
mengayunkan kakinya hendak pergi,
tapi.... "Tunggu...!"
Rangga menghentikan langkah, lalu
memutar tubuhnya. Tampak Caraka melangkah cepat menghampiri. Anak muda itu
berdiri sekitar tiga langkah lagi di depan
Pendekar Rajawali Sakti. Darah masih
terlihat di sekitar mulutnya.
"Terima kasih, kau telah
menyelamatkan nyawaku," ucap Caraka.
"Bagaimana lukamu?" Rangga malah bertanya.
"Tidak terlampau parah. Aku sudah
mengobati-nya dengan bersemadi tadi,"
sahut Caraka. Pada saat itu Ki Pudit keluar dari
dalam rumahnya. Laki-laki setengah baya itu tergesa-gesa menghampiri. Tampak di
ambang pintu berdiri dua orang wanita.
Yang seorang sudah berusia empat puluh
tahun, dan seorang lagi masih sekitar
delapan belas tahun. Mereka adalah ibu, dan adik Caraka.
"Oh, Den. Mari, Den. Istirahatlah di dalam," ujar Ki Pudit dengan tubuh agak
terbungkuk. Caraka agak mengerutkan kening
melihat sikap ayahnya terhadap pemuda
yang telah menyelamatkan nyawanya ini.
Tapi sebelum Caraka bertanya, ayahnya
telah menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti dan membawa ke rumahnya. Rangga
tidak bisa lagi menolak, dan tidak ingin mengecewakan orang tua ini,
Caraka memandangi sebentar, kemudian mengangkat bahunya dan ikut melangkah.
*** Rangga memandangi sekitar sendang.
Masih diyakini kalau tempat ini telah
dijadikan persembunyian Roh Sang
Penakluk. Sedangkan Caraka yang memaksa ikut, tampak sibuk menyibak se-tiap
semak belukar. Sudah setengah harian me-reka meneliti tempat ini, tapi tempat
persembunyian yang dimaksud, tidak juga ditemukan.
"Kakang, sini...!" seru Caraka memanggil tiba-tiba. Pemuda ini sudah
membiasakan diri memanggil kakang
terhadap Rangga.
Rangga bergegas menghampiri. Kening
Pendekar Rajawali Sakti berkernyit
melihat ke dalam semak yang disibakkan Caraka. Tampak di dalam semak itu


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergolek sesosok tubuh tua kurus berjubah hitam. Sebatang tongkat tergeletak di
sampingnya. Rangga mengenali kalau sosok itu adalah si Iblis Hitam.
Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti
itu meme-riksa keadaan si Iblis Hitam,
telinganya men-dengar langkah kaki
menginjak ranting kering. Tepat pada saat
Rangga dan Caraka memutar tubuhnya, dari dalam semak muncul seorang gadis
mengenakan baju biru tua. Gadis itu juga nampak terkejut begitu melihat Rangga
dan Caraka, dan langsung menghentikan
langkahnya. "Kebetulan kau datang, Dewayani,"
ujar Rangga seraya melempar senyum.
Pendekar Rajawali Sakti itu sempat
menyikut perut Caraka yang berdiri di
sampingnya. Pemuda itu langsung diam,
padahal sudah membuka mulutnya.
"Kalian menungguku, ya?" Tanya Dewayani
"Benar. Ada sesuatu yang ingin
kutunjukkan padamu," sahut Rangga.
Dewayani mengayunkan kakinya
menghampiri, sedangkan Caraka menggeser ke samping. Saat Dewayani
berada di samping Rangga, pemuda itu langsung
menyibakkan semak. Dewayani terpekik
begitu melihat sosok tubuh tua kurus
berjubah hitam terbaring kaku di dalam
semak itu. Tubuhnya langsung bergerak
mundur beberapa langkah, dan wajahnya
memucat "Aku tahu kau
kenal orang itu,
Dewayani," tegas Rangga.
Dewayani menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan bibir bergetar.
Ditatapnya Rangga dan Caraka bergantian.
Tubuh gadis itu tampak menggeletar bagai kedinginan, padahal siang ini matahari
bersinar terik.
"Waktu itu dia berhasil kurobohkan, tapi aku tidak yakin kalau sampai tewas.
Seseorang telah menyelamatkannya. Yaaah..
ternyata tewas juga. Mungkin karena
pukulanku yang keras," jelas Rangga.
"Aku..., aku...," Dewayani tergagap.
"Kau tahu, siapa yang membawanya ke tempat ini?" Tanya Rangga langsung.
"Aku tidak tahu," jawab Dewayani.
"Ya, kau memang tidak tahu. Tapi, roh yang ada dalam dirimulah yang tahu. Aku
yakin kaulah yang membawanya ke sini,
tapi tanpa disadari olehmu."
"Kau..., kau menuduhku..."!" agak tersedak suara Dewayani.
"Sama sekali tidak Justru aku ingin menolongmu, Dewayani. Kau dalam kesulitan
besar, dan aku yakin kau tidak ingin
berlarut-larut dengan semua ini. Kau
ingin bebas dari semua pengaruh yang
membuatmu tidak berdaya, bukan?"
Dewayani diam dengan kepala tertunduk, dan agak lama juga membisu.
Pelahan-lahan gadis itu mengangkat
kepalanya, langsung menatap Rangga dengan pandangan sayu.
"Percayalah, Dewayani. Aku akan
membebaskan dirimu dari pengaruh iblis itu," tegas Rangga.
"Tidak... Kau tidak akan sanggup,
Kakang. Dia terlalu kuat untuk dilawan.
Seluruh diriku sudah hampir dikuasainya.
Tinggal menunggu waktu saja, Kakang.
Percuma, tidak ada guna-nya...," pelan
dan tersendat suara Dewayani
"Dengan bantuanmu, aku yakin mampu mengusir iblis itu dari dalam dirimu,"
Rangga meyakinkan.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Dewayani
"Tetapkan dirimu. Lawan setiap kali
dia mencoba merasuk dan menguasaimu."
Dewayani menggeleng-gelengkan kepalanya. Air bening mulai terlihat menitik dari sudut mata-nya. Sementara itu Caraka
hanya mendengarkan saja. Sedikit sudah
bisa dimengerti, karena Rangga sebelumnya telah menceritakan perihal gadis ini.
Tapi pemuda itu belum begitu memahami
tentang Roh Sang Penakluk yang dimaksudkan Pendekar Rajawali Sakti itu. Roh yang
katanya tengah berusaha menguasai diri
Dewayani sepenuhnya. Gadis itu akan
dijadikan penerus Sang Penakluk yang akan menggemparkan seluruh rimba
persilatan! "Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak
kuat menolak kehadirannya. Kalau ingin
menghentikan, bunuhlah aku sekarang juga.
Aku rela, Kakang," sergah Dewayani setengah meratap.
"Tidak, Dewayani. Bukan cara itu yang
ku-inginkan. Memang bisa saja kau
korbankan dirimu, tapi iblis itu akan
mencari gadis lain atau pemuda yang cocok dengannya."
"Tapi tidak mungkin aku mampu
melawannya, Kakang. Kau bisa melenyapkannya, tapi juga harus membunuhku. Tidak
ada jalan lain lagi. Bunuhlah aku selagi dia berada di dalam tubuh-ku. Di situ,
aku akan berusaha untuk tidak melawan."
"Aku tahu itu, Dewayani. Tapi hal
seperti itulah yang tidak kuinginkan. Ada cara lain, dan aku sendiri ragu apakah
bisa menyelamatkanmu."
"Lakukanlah, Kakang. Aku sudah lelah, dan tidak suka menjadi budak iblis untuk
selama-nya," Dewayani kelihatan pasrah.
Rangga tersenyum terharu. Keyakinannya terbukti kalau Dewayani sebenarnya tidak menginginkan iblis itu bersarang di
tubuhnya. Maka dengan demikian
akan mempermudah cara yang akan digunakan,
meskipun masih ragu-ragu akan keselamatan gadis itu
sendiri. Terlalu besar
resikonya, dan Pendekar Rajawali Sakti
itu tidak punya pilihan lain.
Cara yang akan ditempuhnya juga
sungguh berbahaya bagi dirinya sendiri.
Jika tidak kuat, tentu dirinya akan
musnah dan Roh Sang Penakluk akan semakin kuat lagi. Rangga sudah
mempertimbangkan semua itu. Dan hatinya sudah bertekad,
apa pun yang akan terjadi pada dirinya
maupun pada Dewayani, harus dihadapi.
Kemungkinan yang terburuk bagi mereka
berdua adalah kematian. Sementara, iblis itu masih tetap tangguh untuk mencari
tubuh baru berupa seorang manusia kembar yang kembarannya
meninggal sebelum
menghirup udara dunia. Ini sudah menjadi ketentuan yang tidak bisa lagi ditolak.
Bisa saja roh itu menyusup ke tubuh
manusia lain dan sembarangan, tapi
kekuatannya tidak akan setangguh bila
menyusup di tubuh manusia kembar. Karena dia bisa menggunakan roh kembarannya
yang biasanya memiliki sifat dan watak yang
sangat berbeda. Jelasnya, dua roh yang
menjadi satu di dalam tubuh seseorang.
Sungguh sukar diterima akal sehat,
tapi memang itulah kenyataannya. Dan
Pendekar Rajawali Sakti harus menghadapinya dengan segala macam resiko terburuk
sekalipun. Rangga sudah memutuskan, di
sendang ini dan pada malam ini harus
bertarung mengadu jiwa melawan Roh Sang Penakluk.
*** Rangga duduk bersila sambil memohon
kekuatan pada Sang Pencipta. Sedangkan
Dewayani juga duduk bersila di depan
Pendekar Rajawali Sakti itu. Tidak jauh dari mereka, Caraka mengawasi di samping
ayahnya. Pemuda itu tidak ingin me-lewatkan saat-saat paling berharga dalam
hidupnya untuk menyaksikan pertarungan
tokoh digdaya melawan roh yang sudah
ratusan tahun meninggal. Bahkan dia
sempat memanggil ayahnya untuk ikut
menyaksikan. Ki Pudit sebenarnya tidak ingin, tapi
karena didesak terus akhirnya ikut juga.
Tidak ada orang lain lagi di sendang ini
selain mereka berempat. Dan malam terus merayap semakin larut. Udara dingin
menyelimuti sekitarnya.
Kabut semakin tebal, namun Rangga sudah berpesan agar tidak menyalakan api. Pendekar Rajawali
Sakti itu tetap duduk bersila menyatukan jiwa dan raganya pada Sang Pencipta,
penguasa tunggal jagad raya ini.
"Graaagh...!" tiba-tiba terdengar raungan keras.
"Oh...!" Ki Pudit tersentak kaget, sehingga sampai terlonjak melompat ke
belakang anaknya.
"Tenang, Ayah. Jangan membuat gerakan yang akan mengundang iblis itu," kata
Caraka. "Iya, iya...," sahut Ki Pudit.
Sementara itu Rangga menggerakgerakkan tangannya di depan dada.
Sebentar ditarik napas panjang, lalu
dibuka matanya yang sejak tadi terpejam.
Ditatapnya Dewayani yang duduk bersila di depannya. Wajah gadis itu mulai tampak
berubah, dan tubuhnya menggigil seperti terserang demam. Kini seluruh raut wajah
gadis itu pucat pasi.
"Hup!"
Rangga menghentakkan tangannya
kedepan, dan tepat menempel di dada gadis itu. Seketika itu juga tubuh Dewayani
bergetar bagai tersengat ribuan lebah
berbisa. Tampak dari jari-jari tangan
Pendekar Rajawali Sakti keluar sinar biru yang semakin lama semakin meluas
menyelimuti dirinya dan Dewayani. Sinar biru
membuat sekitarnya jadi terang
benderang, sehingga memberi keleluasaan pada Caraka dan ayahnya untuk melihat
jelas. "Hssss..!" Rangga mendesis.
"Aaarghk..!"
Dewayani meraung keras sambil
menggeliat-geliatkan tubuhnya. Tapi
sebentar kemudian gadis itu hanya diam
kaku tak bergeming sedikit pun. Dan
Rangga juga tak bergerak-gerak, dan kedua telapak tangannya tetap menempel erat
di dada gadis itu. Cahaya biru masih
bersinar terang menyelimuti kedua orang itu. Tak ada yang tahu kecuali mereka
berdua kalau di dalam jiwa mereka tengah berlangsung suatu pertarungan ganjil.
Rangga melepaskan jiwanya dari raga
dan menyatu ke dalam raga Dewayani. Di
alam sana, Pendekar Rajawali Sakti
bertemu seorang laki-laki bertubuh kekar, dan berwajah tampan mengenakan baju
putih dari bahan halus. Namun di balik
ketampanan wajahnya terbersik cahaya mata kejam, sekejam iblis.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?"
Tanya Sang Penakluk dengan suara dingin menggetarkan.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti, murid tunggal Pendekar Rajawali yang hidup di
jamanmu!" Rangga memperkenalkan diri.
"Hm.... Ternyata kau lebih tangguh dari gurumu sendiri, Anak Muda. Kau mampu
memisahkan jiwa dan ragamu untuk
menemuiku di sini, dalam raga semayamku!"
"Aku datang dengan satu maksud, Sang Penakluk!"
"Tidak perlu kau katakan, Anak Muda.
Sudah kuketahui apa maksudmu!"
"Kalau begitu, enyahlah dari tubuh
Dewayani. Dan jangan ganggu dia lagi.
Bukan di sini tempatmu Sang Penakluk. Kau sudah punya tempat tersendiri, bukan
di alam dunia lagi!" tegas Rangga.
"Hebat sekali pengusiranmu ini, Anak Muda. Tapi, ketahuilah! Aku sudah mati, dan
tidak akan mati untuk kedua kalinya.
Sia-sia saja usahamu, Anak Muda. Malah
aku khawatir, kaulah yang akan tewas di sini seperti si Iblis Hitam tolol itu!"
"Jika kau jantan, aku menantangmu
bertarung sampai salah satu di antara
kita tewas!" Tantang Rangga.
"Ha ha ha...! Bagus! Aku terima
tantanganmu, Anak Muda. Tapi jangan
menyesal, karena kau terlalu bodoh
meninggalkan ragamu!"
"Bersiaplah, Sang Penakluk!" desis Rangga.
Sret! Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
akan tang-gung-tanggung lagi. Langsung
dicabut Pedang Rajawali Sakti dari dalam warangkanya. Semen-tara itu Sang
Penakluk melompat mundur dua tindak. Arena
pertarungan yang akan terjadi ini memang berada di dalam tubuh Dewayani. Tapi
yang dilihat Rangga hanyalah gumpalan asap
bercampur cahaya biru. Suatu yang sangat luas tak bertepi. Dan yang pasti, tak
akan ditemukan lagi. jika selamat kembali ke dunia.
"Hait..!"
"Hiyaaa...!"
Secara bersamaan mereka berlompatan
memberi serangan. Rangga mengebutkan
pedangnya menggunakan jurus 'Pedang
Pemecah Sukma'. Pertarungan yang sangat ganjil tak dapat dihindari lagi.
Sementara itu Caraka dan ayahnya
hanya bisa melihat tubuh Rangga dan
Dewayani terguncang-guncang dalam selimut cahaya biru yang keluar dari sela-sela
jari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menempel erat di dada gadis itu. Tampak
jelas, cahaya itu seperti memberi
petunjuk jalannya pertarungan di dalam.
Sebentar cahaya itu redup, dan sebentar kemudian terang benderang. Beberapa kali
Rangga menggeletar dan mengerang lirih, tapi Dewayani setiap kali juga mengerang
dengan tubuh berkelojotan bagai meregang nyawa.
Sedangkan dalam raga Dewayani,
Pendekar Rajawali
Sakti yang hanya
jiwanya saja masih bertarung sengit
melawan Roh Sang Penakluk. Pertarungan berjalan sengit, karena masing-masing


Pendekar Rajawali Sakti 37 Sang Penakluk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan ilmu-ilmu sulit dan sangat
tinggi tingkatannya. Tampak jelas kalau Roh Sang Penakluk selalu menghindar dari
tebasan dan tusukan pedang di tangan
Rangga. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Jurus demi jurus berlalu cepat. Entah
sudah berapa jurus yang dikerahkan
masing-masing. Bahkan sesekali mereka
menggunakan ajian
kesaktian. Namun tampaknya mereka sama-sama tangguh.
Pertarungan yang cukup adil, masingmasing lawan hanya bisa menolong diri
sendiri untuk kelangsungan hidup.
"Modar! Hiyaaa...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras sambil melontarkan satu
pukulan keras. Pukulan lurus bertenaga dalam
sempurna ini mengarah ke bagian perut.
Pada Kenyataannya Sang Penakluk masih
bisa menghindari dengan manis sekali.
Tapi mendadak saja dia terperangah,
karena tanpa diduga sama sekali Rangga
mengibaskan pedangnya ke arah leher
selagi tubuhnya miring menghindari
pukulan lawan. "Keparat!" umpat Sang Penakluk seraya cepat-cepat menarik lehernya ke belakang.
Tapi pada saat itu, Rangga secepat
kilat menarik pulang pedangnya, dan
secepat itu pula diputar tubuhnya sambil mengibaskan pedangnya ke arah dada.
Sungguh suatu jurus luar biasa. Akibatnya Sang Penakluk mengalami
kesukaran menghindari, sehingga....
Crab! "Aaakh...!" Sang Penakluk menjerit keras melengking tinggi.
Seketika ujung Pedang Rajawali Sakti
berhasil mengoyak dada Roh Sang Penakluk.
Laki-laki muda berwajah tampan itu kontan terhuyung ke belakang sambil mendekap
dadanya. Pada saat itu, Rangga tidak
memberi kesempatan lagi. Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat dan mengibaskan pedangnya ke
arah leher. "Hiyaaa...!"
Cras! "Aaa...!" kembali Sang Penakluk menjerit keras.
Seketika lehernya terbabat buntung,
sehingga kepalanya menggelinding. Sebelum tubuh itu ambruk, kembali Rangga
menghunjamkan pedangnya ke dada.
Dan secepat menarik pedangnya keluar,
se-cepat itu pula disarungkan kembali.
Maka.... "Aji 'Cakra Buana Sukma'! Hiyaaa...!"
Glarrr! Seketika tubuh Sang Penakluk meledak
dan hancur menjadi debu saat dari telapak tangan Rangga memercik kilat berwarna
biru. Rangga berdiri tegak memandangi
debu yang berkepul menyatu bercampur
asap. Kemudian dirapatkan kedua tangannya di depan dada, lalu pelahan-lahan
menghilang. "Hup!"
Rangga melepaskan tangannya dari dada
Dewayani. Seketika itu juga Dewayani
terkulai sambil merintih lirih. Tampak dari atas kepalanya mengepul asap putih
kebiru-biruan. "Dewayani...," panggil Rangga seraya menyentuh bahu gadis itu.
Tak ada lagi cahaya biru yang
menyelimuti mereka. Semuanya lenyap,
tepat saat tangan Pendekar Rajawali Sakti ditarik kembali dari dada gadis itu.
"Ohhh...," Dewayani merintih lirih.
"Kau sudah selamat, Dewayani," ujar Rangga memberitahu.
"Oh, Kakang...."
Dewayani menangis dan memeluk
Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga
menepuk-nepuk punggung gadis itu,
kemudian melirik Caraka dan ayahnya yang masih saja berdiri di tempatnya.
"Tolong nyalakan api, Caraka," Pinta Rangga.
"Oh! Iya..., iya, segera," sahut
Caraka bergegas.
"Kita semua selamat, Dewayani. Tidak ada yang mengganggumu lagi," ucap Rangga
seraya melepaskan pelukan gadis itu.
"Terima kasih, Kakang. Tapi...."
"Kenapa?"
"Apakah mereka suka menerimaku lagi?"
"Pasti, Dewayani. Aku yang akan
mengatakan kepada mereka," celetuk Ki Pudit yang sudah berada di belakang
Rangga. "Terima kasih, aku bahagia sekali,"
desah Dewayani.
"Ya! Kita semua bersyukur bisa
selamat, dan iblis itu tidak akan kembali lagi," ucap Ki Pudit sok tahu.
"Mudah-mudahan," sambung Rangga mendesah.
Malam ini mereka terpaksa bermalam di
sendang, karena tidak mungkin kembali ke desa malam-malam begini. Masih terlalu
jauh menjelang pagi. Mereka berkumpul
mengelilingi api unggun yang dibuat
Caraka. Dan Rangga terpaksa men-ceritakan pertarungannya atas desakan mereka
semua. Dan mereka semua bersyukur karena Sang
Penakluk sudah tiada. Tapi, tidak
demikian halnya Rangga. Dia masih ragu, apakah Sang Penakluk sudah dilenyapkan"
Tapi untuk sementara ini, Dewayani bisa hidup tenang tanpa gangguan lagi.
SELESAI http://duniaabukeisel.blogspot.com
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Dedig
Rahasia Bunga Cubung Biru 1 Gento Guyon 30 Bukit Kematian Raja Naga 7 Bintang 5

Cari Blog Ini