Ceritasilat Novel Online

Seruling Perak 2

Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak Bagian 2


"Monyet beledek! Jawab saja pertanyaanku!" bentak orang itu berang.
Geram! "Mana mungkin bisa menjawab kalau tidak tahu siapa kalian," terdengar tenang
nada suara Rangga.
"Kadal edan! Apa kau sudah punya nyawa rangkap sehingga berani menentangku,
heh"!" bentak orang itu semakin berang.
"Nyawaku hanya satu, tapi tidak akan kuberikan untuk kalian," masih terdengar
tenang suara Rangga.
"Keparat! Rupanya ingin cari mampus!"
Orang yang berada di depan, langsung
mengibaskan tongkat putih itu ke depan.
Rangga agak terkejut juga mendengar deru angin dari kibasan tongkat itu. Juga
sempat dirasakan adanya satu tenaga
dorongan yang amat kuat. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
berpikir jauh, mendadak saja orang yang pertama muncul
tadi sudah melompat cepat
menerjangnya. "Mampus kau! Hiyaaat..!?"
"Uts!"
Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, sehingga serangan tongkat yang
dahsyat itu lewat di sampingnya. Namun
belum lagi Pen-dekar Rajawali Sakti itu bisa menarik pulang posisi tubuhnya,
mendadak datang lagi serangan dari arah kanan.
Mau tidak mau harus di-tarik
kakinya ke samping. Dan kembali dia terkejut, karena datang lagi serangan dari
arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas
melompat ke depan. Dan dengan kecepatan luar biasa, diputar tubuhnya sambil
dikibaskan tangan kanannya. Sungguh cepat luar biasa gerakan Rangga, sehingga
membuat salah seorang terpekik terhantam tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti
itu Tubuh yang tinggi besar itu terjungkal ke belakang, menghantam lantai dengan
kerasnya. "Tahan...!" seru Rangga tiba-tiba sambil melompat keluar dari kepungan itu.
Seketika tiga orang yang tengah mengeroyoknya berhenti. Dan seorang yang
terjungkal kembali bangkit sambil menggeram marah. Rangga berdiri tegak di atas
sebuah pilar yang roboh. Sebentar
ditatapnya empat orang di depannya.
"Aku tidak punya persoalan pada kalian, kenapa ingin membunuhku?" Tanya Rangga.
"Kau sudah melanggar daerah larangan, bocah!" Sahut salah seorang yang berdiri
paling kanan. "Daerah larangan..." Bukankah ini Istana Kadipaten Panjawi" Sejak kapan daerah
ini terlarang?" Tanya Rangga tidak mengerti.
"Sejak sekarang. Dan kau telah
melanggar-nya, itu berarti harus mampus!"
Empat orang berbaju merah itu kembali berlompatan.
"Tunggu...!" cegah Rangga.
Tapi keempat orang itu tidak lagi
peduli. Mereka kembali menyerang lebih ganas. Rangga tidak bisa berbuat lain
lagi, tapi tetap tidak ingin mencelakakan ke empat orang itu. Mereka hanya
dilayani dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Satu jurus yang hanya mengandalkan
kelincahan gerakkan serta kelenturan
tubuh. Gayanya memang seperti orang yang tidak pandai ilmu olah kanuragan, tapi
sangat sukar untuk mendesaknya. Gerakan-gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu
tidak beraturan. Tentu saja hal ini membuat keempat orang berbaju merah itu
semakin berang. Mereka merasa dipermainkan oleh seorang bocah.
Keempat orang itu sudah mengeluarkan
beberapa jurus, tapi belum juga bisa
mendesak pendekar muda itu yang hanya berkelit dan menghindar tanpa membalas
satu serangan pun, Rangga memang masih menggunakan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib', dan terus mencoba menghentikan serangan-serangan itu. Namun nampaknya
empat orang itu malah semakin ganas saja.
Bahkan serangan-serangannya juga semakin dahsyat.
"Ufh! Mereka benar-benar ingin
membunuhku." dengus Rangga dalam hati.
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu berteriak keras menggelegar. Dan
bagai kilat, dihentakkan tangannya beberapa kali. Sukar untuk diikuti mata
biasa, tahu-tahu keempat orang yang mengeroyoknya menjerit dan berpelantingan ke
belakang. Dan mereka jadi terbeliak. Ternyata Rangga sudah memegang golok mereka sambil
berdiri tenang.
"Dengar! Kalian dengan mudah bisa saja kubunuh. Tapi itu tidak akan kulakukan,
karena aku tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ingin membunuhku!" Dingin
nada suara Rangga.
Keempat orang itu saling berpandangan sejenak, kemudian bangkit berdiri.
"Siapa kalian sebenarnya"!" Tanya Rangga tegas. Keempat orang itu tidak segera
menjawab, tapi malah mencabut
sebilah pisau kecil yang terselip di
pinggang masing-masing. Tanpa berkata sedikit pun, tahu-tahu mereka menggorok
leher sendiri dengan pisau itu, lalu
menghunjamkan ke dada, tepat menembus jantung.
"He...!" Rangga terkejut setengah mati.
Pendekar Rajawali Sakti itu terbeliak melihat empat orang itu telah menggelepar.
Darah mengucur deras dari leher dan dada.
Hanya sebentar mereka mampu bergerak, kemudian mengejang kaku dan diam untuk
selamanya. Sementara Rangga masih terpaku.
Dan tanpa disadari, tongkat rampasan di tangannya jatuh ke lantai. Sungguh sulit
dimengerti kelakuan empat orang itu.
Membunuh dirinya sendiri setelah menyadari tidak akan dapat menandingi lawannya.
Untuk beberapa saat Rangga hanya bisa terpaku, benar-benar tidak mengerti.
"Gila! Nekad...!" desis Rangga seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau tidak akan bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti," tiba-tiba saja
terdengar suara kering dari arah belakang.
"Eh!" Rangga terkejut
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya. Mulutnya jadi
ternganga begitu melihat seorang laki-laki tua bertubuh kecil seperti bocah
berusia dua belas tahun, sudah berada di tempat ini kembali.
"Ki Garatala.... Bukankah kau tadi sudah pergi?" desis Rangga setengah bergumam,
seolah-olah bertanya
pada dirinya sendiri.
"He he he.... Tidak sebodoh itu, Pendekar Rajawali Sakti," Ki Garatala yang
lebih dikenal berjulukan si Seruling Perak itu terkekeh.
"Hm..., jadi kau tadi melihat
semuanya?" gumam Rangga bertanya.
"Benar," sahut Ki Garatala.
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
Terdengar suara gumaman yang tidak jelas.
Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian
melangkah pergi.
"Akan ke mana kau, Anak Muda?" Tanya Ki Garatala.
"Ke mana saja," sahut Rangga terus saja melangkah tanpa berhenti.
"He he he.... Kau tidak bisa pergi begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti."
"He! Apa maksudmu"!" Rangga tersentak kaget, dan langsung berhenti melangkah.
Diputar tubuhnya menghadap kembali pada laki-laki tua kecil berperut buncit itu.
"Ingat janjimu, Anak Muda," kata Ki Garatala.
"Kampret!" dengus Rangga.
"He he he...!"
*** 4 Nila Komala menjatuhkan dirinya dan
menangis di pangkuan seorang laki-laki tua berjubah putih yang duduk di atas
sebongkah batu putih pipih. Laki-laki tua yang tengah bersemadi itu terkejut dan
segera membuka mata-nya. Dia semakin
terkejut saat melihat seorang gadis
menangis menelungkup di pangkuannya.
Tangan yang kurus berkulit putih itu
bergerak mengelus rambut hitam tebal
bergelombang di pangkuannya.
"Ada apa, Cucuku" Kenapa datang-datang me-nangis?" Lembut sekali suara laki-laki
tua itu. "Eyang...," Nila Komala mengangkat kepala-nya.
Tampak seluruh wajah gadis itu
bersimbah air mata. Laki-laki tua yang ternyata Eyang Brantapati itu memandangi
wajah Nila Komala yang dibasahi air mata.
Lembut sekali dia menghapus air mata gadis itu, kemudian membawanya duduk di
atas batu, tepat di sampingnya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Eyang Brantapati tetap lembut nada suaranya.
"Ayah, Eyang...," tersendat suara Nila Komala.
"Kenapa ayahmu, Cucuku?"
"Dibunuh."
Eyang Brantapati menatap dalam-dalam
bola mata gadis itu, kemudian menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya
kuat-kuat. Pelahan-lahan kepalanya tertunduk. Dielus-elus jenggotnya yang putih
dan panjang, sampai menutupi leher.
"Sudah kuduga, peristiwa ini pasti terjadi..," gumam Eyang Brantapati.
"Eyang...," masih tersendat suara Nila Komala.
"Aku pernah mengatakan hal ini padamu, bukan" Seharusnya kau bisa menjaga ayahmu
agar lebih hati-hati lagi. Tapi, yaaah....
Semua sudah terjadi, dan ini memang bukan salahmu."
Nila Komala tertunduk. Ancaman itu
memang pernah didengarnya. Dan dia telah dipesankan oleh Eyang Brantapati untuk
berhati-hati dalam menjaga ayahnya. Tapi sampai ayahnya meninggal terbunuh, dia
masih belum bisa mengerti, mengapa gurunya
ini berpesan seperti itu. Pelahan Nila Komala mengangkat kepalanya. Ditatapnya
dalam-dalam bola mata laki-laki tua di sampingnya.
"Eyang, kenapa ada orang yang ingin membunuh ayahku?" Tanya Nila Komala setelah
agak tenang. "Hhh...!" Eyang Brantapati menarik napas dalam-dalam. "Itulah yang selalu
menjadi pertanyaanku sampai sekarang ini, Cucuku. Aku sendiri tidak tahu,
mengapa begitu banyak orang ingin mencelakakan ayahmu. Dan sekarang...," suara
Eyang Brantapati terputus.
"Eyang tidak tahu...?" ada kekecewaan pada nada suara Nila Komala.
"Dulu ayahmu memang pernah mengatakan kalau dirinya terancam, Hal itu dikatakannya sewaktu kau masih kecil. Itu pula sebabnya mengapa kau dikirim ke sini
untuk mempelajari ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Dia ingin agar
kau bisa menjaga diri dan menghadapi semuanya,"
pelan sekali suara Eyang Brantapati.
"Menghadapi siapa, Eyang?" desak Nila Komala, tak dapat lagi membendung rasa
ingin tahunya. "Sayang sekali, ayahmu tidak mengatakan lebih jauh lagi. Aku sendiri tidak
pernah tahu, kenapa dirinya merasa terancam.
Bahkan tampaknya dia tidak peduli sama sekali," sahut Eyang Brantapati.
"Eyang..., apa ini ada hubungannya dengan Seruling Perak?" Tanya Nila Komala.
"Seruling Perak..."!" Eyang Brantapati tampak terkejut. Keningnya sampai
berkerut dalam. Dan kedua bola matanya menyipit menatap tajam Nila Komala.
"Benarkah musuh Ayah si Seruling Perak, Eyang?" Desak Nila Komala sambil menahan
tekanan suaranya.
"Entahlah...," desah Eyang Bagaspati.
Nila Komala menghembuskan napasnya. Ada nada kekecewaan pada sorot mata gadis
itu. Semula diharapkan Eyang Brantapati mengetahui tentang semua peristiwa yang di
alaminya ini. Tapi rupanya laki-laki tua pertapa ini juga tidak mengetahui
banyak. Nila Komala merasa kedatangannya kembali ke pertapaan ini jadi sia-sia belaka.
Gadis itu beranjak bangkit dari hendak melangkah keluar dari gua ini.
"Mau ke mana kau?" tegur Eyang Brantapati sebelum Nila Komala mengayunkan
kakinya. "Mencari pembunuh Ayah," sahut Nila Komala.
"Ke mana?" Tanya Eyang Brantapati.
"Entahlah," sahut Nila Komala.
Gadis itu memang tidak tahu harus ke
mana untuk mencari pembunuh ayahnya. Apa lagi untuk mengetahui pelakunya. Memang
ada satu-satunya petunjuk, yakni harus mencari laki-laki tua kecil yang berjuluk
si Seruling Perak. Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, Paman Mataun
menyebut nama Seruling Perak. Inilah satu-satunya petunjuk untuk mencari
pembunuh ayahnya.
Eyang Brantapati beranjak turun dari
batu yang didudukinya. Langkahnya dibantu oleh sebatang tongkat, bergerak
menghampiri Nila Komala. Laki-laki tua itu
menepuk pundak gadis itu, lalu mengajaknya keluar dari dalam gua batu ini. Gua
yang tidak begitu besar, tapi nampak bersih dan terawat. Mereka berjalan
bersisian tanpa berkata-kata lagi, dan baru berhenti
setelah sampai di depan gua. Tampak sebuah pondok kecil berdiri merapat ke
dinding batu cadas pada bagian belakangnya. Di pondok kecil itu dulu Nila Komala
tinggal sambil menuntut ilmu pada pertapa tua ini.
"Di mana mereka membunuh ayahmu?" Tanya Eyang Brantapati.
"Di Lereng Bukit Paderesan sebelah Barat" Sahut Nila Komala.
"Tepatnya?"
"Dekat sungai kecil"
Eyang Brantapati bergumam.
"Ada apa, Eyang?" Tanya Nila Komala merayapi wajah laki-laki tua itu.
"Aku tidak mengerti, mengapa ayahmu selalu pergi ke lereng bukit itu. Dia pasti
mengajakmu dengan alasan berburu, bukan?"
"Benar."
"Padahal semua orang tahu, bahkan kau juga tahu kalau di sana bukan tempatnya
untuk berburu."
"Ayah selalu
melewati tempat itu,
Eyang. Memang, untuk mencapai hutan
perburuan seharusnya tidak perlu memutar
begitu jauh. Dari kaki bukit sebelah
Selatan saja bisa lebih dekat. Bahkan kalau mau bisa melalui perbatasan sebelah
Utara. Tapi Ayah selalu memilih jalan itu, Eyang," jelas Nila Komala.
"Dan yang pasti ada alasannya," selak Eyang Brantapati.
"Maksud Eyang?" Nila Komala tidak mengerti.
"Seperti yang kau katakan tadi.
Seruling Perak..," sahut Eyang Brantapati.
"Seruling Perak.."!" Nila Komala terkejut mendengarnya.
"Hanya itu satu-satunya petunjuk buntu yang dimiliki sampai sekarang. Aku tidak
tahu, apa hubungannya antara ayahmu dengan si Seruling Perak" Juga dengan Partai
Tengkorak Merah...."
"Sebentar, Eyang!" sentak Nila Komala tiba-tiba.
"Ada apa, Cucuku?"
Nila Komala tidak langsung menjawab.
Ingatannya kini tertuju pada mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar Istana
Kadipaten Panjawi. Di antara mayat-mayat berseragam prajurit, juga terdapat
mayat-mayat berbaju merah dengan gambar
tengkorak pada bagian dadanya.
"Eyang, apakah orang-orang Partai Tengkorak Merah selalu mengenakan baju merah
dan bergambar tengkorak di dada?"
Tanya Nila Komala.
"Ya," sahut Eyang Brantapati.
"Benar, Eyang..."!" Nila Komala tidak
percaya. "Ada apa, Cucuku?"
"Eyang, sekarang ini istana kadipaten sudah hancur. Disana aku
menemukan

Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa mayat mengenakan baju merah
bergambar tengkorak di dadanya bercampur dengan para prajurit yang tewas. Aku
yakin, merekalah yang menghancurkan istana kadipaten dan juga yang membunuh
Ayah," kata Nila Komala mencoba menjelaskan
dengan singkat.
"Hm..., berarti benar mereka yang melakukannya," gumam Eyang Brantapati.
"Eyang, apakah orang-orang Partai Tengkorak Merah memiliki
dendam pada Kadipaten Panjawi?" Tanya Nila Komala.
"Entahlah, aku tidak tahu. Tapi mereka ini memang sudah terkenal berkemampuan
tinggi dan sukar diberantas. Jago-jago dari kerajaan pun tidak mampu
mengatasinya. Hanya, sekarang ini aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Dan
terakhir kudengar, mereka kini berada di daerah Hulu Sungai Bacan. Jadi, sudah
berada di luar batas wilayah kerajaan, Cucuku,"
jelas Eyang Brantapati.
"Apa mereka bukan anak buah si Seruling Perak?" tebak Nila Komala.
"Tidak! Seruling Perak adalah seorang pendekar beraliran putih. Tapi sudah
hampir dua puluh tahun ini aku tidak lagi mendengar namanya."
"Eyang, belum lama ini aku telah bertemu dengannya."
"Oh...!" Eyang Brantapati nampak terkejut. "Bagaimana ciri-cirinya?"
"Orangnya sudah tua, bertubuh kecil seperti anak berumur dua belas tahun, dan
rambutnya putih panjang, terikat kain berwarna hitam pekat. Dia selalu membawa
seruling berwarna perak," Nila Komala menjelaskan.
Eyang Brantapati menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa, Eyang?" Tanya Nila Komala.
"Dia bukan Seruling Perak," sahut Eyang Brantapati.
"Kalau bukan si Seruling Perak, lalu siapa?" Nila Komala jadi kebingungan.
Eyang Brantapati tidak segera menjawab.
Sementara Nila Komala menatap dalam-dalam wajah laki-laki tua itu. Pikirannya
benar-benar bingung dan tidak mengerti akan semua ini. Kalau orang tua bertubuh
kecil itu bukan si Seruling Perak, lalu siapa"
Dan siapa pula orang-orang berbaju merah dengan gambar tengkorak di dada itu"
Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di benak Nila Komala. Ternyata kematian
ayahnya berbuntut panjang, dan tidak
dimengerti sama sekali. Sedangkan orang yang diharapkan bisa membantu banyak
juga tidak mengetahui. Bahkan malah membuatnya semakin bingung.
*** Nila Komala terjaga dari tidurnya.
Betapa terkejutnya gadis itu ketika
mendengar suara pertarungan dari luar pondok. Dan belum juga bisa berbuat
sesuatu, mendadak saja atap pon-dok kecil ini terbakar. Bergegas Nila Komala
melompat keluar, menerobos dinding pondok yang terbuat dari anyaman bambu tipis.
Tiga kali gadis itu berputaran di udara, dan dengan manisnya mendarat di tanah.
Pada saat itu terdengar suara jeritan keras tertahan. Nila Komala membeliak
lebar melihat Eyang Brantapati terhuyung-huyung sambil menekap dada sebelah
kiri. Tampak darah mengucur deras membasahi jubah putihnya yang panjang. Dan di depan
laki-laki tua itu berdiri
seorang berpakaian merah mengenakan topeng berbentuk wajah kera berwarna keperakan.
"Hiyaaat..!" tiba-tiba saja orang itu melompat bagai kilat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Secepat itu pula
Nila Komala melentingkan tubuhnya sambil mencabut pedangnya. Dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalam, gadis itu mengibaskan
pedangnya menghantam senjata lawan yang berbentuk tongkat putih yang ujungnya
berbentuk kepala tengkorak manusia warna merah.
Trang! "Akh!" Nila Komala memekik tertahan.
Buru-buru gadis itu melentingkan
tubuhnya ke belakang. Mulutnya meringis merasakan seluruh tangan kanannya
mengejang kaku kesemutan. Sedangkan orang bertopeng muka kera keperakan itu
mulai bergerak lagi hendak menyerang. Sementara Eyang Brantapati terduduk
bersila sambil merapatkan tangan di depan dada. Hanya sebentar dia melakukan
semadi, mencoba mengurangi sakit dan menghentikan darah yang keluar dari dadanya
itu. "Eyang...," Nila Komala bergegas menghampiri.
Namun belum juga gadis itu sampai,
mendadak orang bertopeng kera keperakan itu sudah melompat menyerangnya. Nila
Komala terpaksa melentingkan tubuhnya ke belakang, dan secepat kilat dibabatkan
pedangnya ke arah orang itu. Namun lagi-lagi dia memekik tertahan saat pedangnya
beradu dengan senjata aneh itu.
Nila Komala jadi terbeliak. Ternyata pada saat yang sama, Eyang Brantapati sudah
harus bertarung melawan dua orang berpakaian merah yang juga mengenakan topeng
kera keperakan. Nila Komala tidak sempat lagi berpikir, karena juga sudah
diserang dua orang bertopeng kera
keperakan yang entah datangnya dari mana.
Tahu-tahu mereka muncul, dan langsung menyerangnya.
"Aaa,..!"
Tiba-tiba saja terdengar
jeritan melengking tinggi.
"Eyang...!" seru Nila Komala.
Tampak Eyang Brantapati terhuyunghuyung. Dan belum lagi laki-laki tua itu mampu menguasai tubuhnya, sebatang
panah hitam melesat bagai kilat, langsung
menghunjam dalam di dada laki-laki tua pertapa itu. Kembali Eyang Brantapati
menjerit melengking. Belum lagi tubuh-nya ambruk, kembali dua batang panah
menancap di dadanya.
"Eyang...!" Jerit Nila Komala langsung me-lompat memburu.
Tapi gadis itu tidak mungkin dapat
menolong laki-laki tua itu, karena dua orang yang menjadi lawannya sudah
memberikan serangan dahsyat. Terpaksa Nila Komala harus menghadapi-nya.
"Bajingan keparat..! Mampus kalian!
Hiyaaat..!"
Nila Komala bertarung disertai
kemarahan yang meluap. Pedangnya berkelebatan cepat bagai kilat. Begitu
cepatnya, sehingga hanya cahaya kuning jingga yang terlihat berkelebatan
menyambar dua orang bertopeng kera itu. Sungguh dahsyat serangan Nila Komala.
Dua orang lawannya itu jadi kewalahan. Dan pada satu ke-tika, pedang berwarna
kuning jingga itu berhasil merobohkan salah seorang lawan.
Jeritan melengking kembali terdengar
memecah keheningan malam. Belum lagi orang itu ambruk ke tanah, Nila Komala
sudah melompat bagai kilat sambil menusukkan pedangnya ke arah lawan yang lain.
Serangan kilat yang cepat dan sukar diduga itu tidak bisa dihindari lagi.
Crab! "Aaa...!" orang bertopeng kera itu
menjerit melengking tinggi.
Nila Komala tidak lagi menunggu
lawannya ambruk ke tanah. Begitu dicabut pedangnya dari dada orang itu, langsung
dihampirinya Eyang Brantapati. Laki-laki tua itu sudah tergeletak di tanah.
Darah berlumuran membasahi jubah berwarna putih.
"Eyang...," desis Nila Komala seraya berlutut.
"Cepatlah pergi, Cucuku Selamatkan dirimu," ucap Eyang Brantapati lirih.
"Siapa mereka
Eyang" Kenapa mereka
hendak mencelakakanmu?" Tanya Nila Komala.
"Dengar, Cucuku.... Dulu ayahmu pernah bercerita bahwa dia hendak mengembalikan
sesuatu. Itu sebabnya dia sering pergi ke Lereng Bukit Paderesan. Di tempat itu
dia..., akh!" '
"Eyang...! Eyang:..!" Nila Komala mengguncang tubuh laki-laki tua itu.
Nila Komala tertunduk lemas. Eyang
Brantapati sudah menghembuskan napas yang terakhir. Cukup banyak luka di tubuh
pertapa itu, ditambah lagi tiga batang panah hitam beracun tertanam dalam di
dada. Melihat luka-lukanya, tentu Eyang Brantapati sudah bertarung sejak
semalam. Dan yang pasti, tidak sedikit lawan yang dihadapi.
"Eyang, siapa pun mereka, akan kubalas kematianmu," desis Nila Komala.
Entah kenapa, gadis ini tidak menangis sedikit pun. Mungkin karena kemarahan
yang meluap, sehingga air matanya tidak bisa
keluar lagi. Nila Komala berdiri sambil mengangkat tubuh pertapa tua gurunya
itu. Pelahan kakinya melangkah ke dalam gua.
Sebentar dia berhenti di depan mulut gua, dan berbalik. Tatapannya tajam menusuk
langsung pada dua sosok tubuh yang
tergeletak tidak bernyawa lagi. Kemudian gadis itu mengedarkan pandangannya
berkeliling. "Hhh...! Ke mana yang dua orang lagi?"
desisnya. Nila Komala melangkah mundur, lalu
langsung berbalik dan berjalan masuk ke dalam gua. Gadis itu meletakkan tubuh
tua itu di atas batu pipih yang biasa
digunakan Eyang Brantapati untuk bersemadi. Sebentar dipandangi mayat gurunya
itu, lalu berlutut didepan batu pualam putih itu.
"Aku janji, Eyang. Mereka tidak akan lepas dari tanganku. Hanya pedangku ini
yang harus membunuh mereka!" Desis Nila Komala dingin.
Nila Komala beranjak bangkit berdiri, kemudian berbalik dan melangkah keluar
gua. Gadis itu terus melangkah pergi, tapi kembali berhenti dan memandangi
pondok kecil yang sudah rata dengan tanah. Api masih menyala meskipun tidak
besar lagi. Kembali gadis itu mengayunkan
langkahnya pelahan-lahan.
Dengan kesal disepaknya dua sosok mayat bertopeng kera itu, kemudian kembali berjalan.
Pedangnya yang berlumuran darah tergenggam erat di
tangan. Nila Komala meluapkan kemarahannya. Dikebutkan pedangnya, membabat
pohon-pohon yang dilaluinya.
"Hiyaaat..!"
Cras! Sekali tebas saja, sebatang pohon besar tumbang. Entah berapa pohon besar dan
kecil tumbang terbabat pedang berwarna kuning jingga itu. Nila Komala baru
berhenti melampiaskan kemarahannya setelah merasa lelah. Tubuhnya jatuh terduduk
dan bersandar pada sebongkah batu
hitam sebesar badan kerbau. Pedangnya tergeletak di samping. Sekarang gadis itu baru
bisa menangis, menyembunyikan wajahnya di-antara kedua lutut yang tertekuk
dipeluk rapat. *** 5 Tidak seperti hari-hari yang lalu, pagi ini tak terdengar lagi alunan seruling
yang menyongsong datangnya sang surya menyinari permukaan bumi. Sejak runtuhnya
Istana Kadipaten Panjawi, suara seruling itu tak pernah terdengar lagi. Dan
seluruh rakyat kadipaten jadi merindukan alunan merdu yang sudah melekat di
telinga. Tapi tak ada seorang pun yang mencoba untuk mencari tahu, mengapa suara
seruling itu tidak mengalun lagi. Kadipaten Panjawi ini
bu-kan lagi kadipaten yang dulu. Kini wilayah kadipaten itu dikuasai orang-orang
biadab yang mengatur dengan tangan besi.
Kadipaten Panjawi yang dulu selalu
ramai, kini terlihat sepi bagai kota mati tak berpenghuni. Tak terdengar lagi
canda tawa. Tak ada lagi terlihat kesibukan para petani dan pekerja. Dan tak
terlihat lagi anak-anak berlarian, bermain di sepanjang jalan. Semuanya sunyi
lengang, bahkan hampir tidak terlihat adanya orang di luar rumah.
Kesunyian itu mendadak saja pecah oleh suara teriakan dan jerit pekik. membahana
diselingi denting senjata beradu. Suara-suara gaduh itu datang dari halaman
reruntuhan Istana Kadipaten Panjawi.
Tampak seorang gadis berparas cantik
mengamuk dengan pedang di tangan. Di
sekitarnya terlihat mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih tak tentu arah.
Gadis itu ternyata adalah Nila Komala yang mengamuk menghajar orang-orang
berbaju merah, dan bergambar tengkorak pada bagian dadanya.
"Maju kalian semua, iblis-iblis
keparat!" Seru Nila Komala lantang.
"Hiyaaat..!"
Tidak terhitung lagi, berapa tubuh
bergelimpangan berlumuran darah terbabat pedang gadis itu. Nila Komala bagai
seekor singa betina kehilangan anaknya. Amukannya membabi buta, menghajar setiap
orang berbaju merah tanpa berkedip sedikit pun.
Gadis itu bertarung dengan kemarahan
meledak di dalam dada. Sedikit pun tidak memberi kesempatan pada lawan-lawannya
untuk balas menyerang.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar benta-kan keras menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang yang
tengah mengeroyok Nila Komala berlompatan mundur. Tampak di undakan bagian depan
reruntuhan istana kadipaten, berdiri
seorang berjubah merah. Wajahnya ditutup topeng berbentuk wajah kera berwarna
keperakan. Di belakang orang berjubah merah itu berjajar sekitar dua puluh orang
bertopeng muka kera! Mereka semua memegang senjata berbentuk sabit yang tipis
melengkung. Sementara Nila Komala berdiri tegak sambil menatap tajam menusuk.
Dadanya bergerak turun naik
demikian cepatnya. "Sudah kuduga, kau pasti datang ke sini..," kata orang berjubah merah dan
bertopeng kera itu.
"Hm... siapa kau?" dengus Nila Komala tajam.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Nila Komala. Serahkan saja potongan
seruling perak padaku!"
Nila Komala terdiam. Sama sekali tidak dimengerti maksud kata-kata orang
bertopeng kera berwarna keperakan itu. Tapi sedikit banyak, sudah bisa diraba,
apa yang sedang terjadi sebenarnya. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Memang tidak mudah baginya mengalahkan mereka yang berjumlah begitu banyak.
Untuk bisa lolos saja, sudah untung.
Ada sedikit penyesalan di hati Nila
Komala yang tidak memperhitungkan untung ruginya datang ke sini. Meskipun sudah
puluhan orang berhasil dirobohkan, tapi bukan berarti bisa lolos dengan mudah.
Apalagi menghancurkan mereka. Tapi mengingat harus membalas kematian ayahnya, gadis itu telah bertekad. Apa pun
yang akan terjadi, orang-orang bertopeng kera ini harus bisa dihancurkan.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" Lantang suara Nila Komala.
"Dengar bocah! Ini bukan saatnya
bermain-main!" bentak orang bertopeng kera itu.
"Kau pikir aku main-main, heh...?"
Tiba-tiba saja Nila Komala berteriak
nyaring. Dan bagai kilat dia melompat sambil mengibaskan pedangnya. Sebelum ada
yang menyadari, telah terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya
tiga orang yang mengepung gadis itu. Nila
Komala kembali berdiri tegak di tengah-tengah sambil menyilangkan pedang di
depan dada. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.
"Tangkap dia hidup-hidup!" perintah orang bertopeng kera itu.
Seketika dua puluh orang yang berdiri di belakangnya berlompatan. Dari batik
baju, mereka mengeluarkan tambang panjang
yang memiliki dua bandulan besi pada


Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujungnya. Mereka mengepung Nila Komala.
Lincah sekali mereka memutar-mutar tambang itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dua puluh orang itu melemparkan
tambangnya secara serentak. Tambangtambang itu bertebaran di sekeliling Nila Komala. Dan belum lagi gadis itu bisa
melakukan sesuatu, tambang-tambang itu sudah membentuk jaring melingkari
tubuhnya. Nila Komala cepat menggerakkan
pedangnya. "Hiyaaat..!"
Tas! Slap! Tiga utas tambang terbabat putus. Tapi beberapa tambang lain melingkari tubuh
ramping gadis itu. Nila Komala berusaha melepaskan diri dari belitan tambang
yang semakin banyak dan kuat menjepit tubuhnya.
Tangannya yang memegang pedang dan masih bebas, berusaha memutuskan tambangtambang itu. Tapi dua puluh orang itu sudah
bergerak cepat memutari tubuh-nya. Bahkan ada beberapa orang yang berlompatan
melewati kepalanya. Nila Komala semakin terjepit. Ruang geraknya pun semakin
menyempit dan terbatas.
"Keparat..!" geram Nila Komala.
Nila Komala berusaha melepaskan diri dari jeratan tambang-tambang di tubuhnya.
Tapi semakin keras memberontak, semakin kuat tambang-tambang itu membelit
tubuhnya. Gadis itu benar-benar tidak berdaya lagi. Pedangnya sudah menggeletak
di tanah, dan tubuhnya sama sekal tidak berdaya ketika orang-orang itu menyeretnya hingga terguling ke tanah.
"Kurung dia!" perintah orang bertopeng kera itu.
"Bajingan! Keparat..! Kubunuh kau!"
maki Nila Komala.
"Ha ha ha...!"
*** Nila Komala merayapi ruangan sempit dan kotor.
Beberapa orang bertopeng kera
menjaga di setiap sudut ruangan. Gadis itu melirik ikatan pada tangan dan
kakinya yang terentang pada sebatang. tiang
bersilang, yang tergeletak di tanah.
Pandangan gadis itu beralih ketika
pintu terkuak lebar. Bunyi derit engsel berkarat seakan-akan hendak menggetarkan
jantung gadis itu. Tampak dari pintu yang terbuka lebar, masuk seorang berjubah
merah mengenakan topeng berwajah kera. Dia diiringi empat orang yang juga
mengenakan topeng kera. Hanya saja mereka mengenakan baju warna merah dan
bergambar ke-pala tengkorak manusia pada bagian dada. Nila Komala mengamati
orang-orang yang baru masuk itu. Dia jadi teringat pada
pembicaraan Eyang Brantapati dengannya di Pertapaan Sokapura.
"Hmmm..., siapa sebenarnya mereka"
Mengapa mereka menghancurkan. Kadipaten Panjawi hanya karena ingin mencari
potongan Seruling Perak..?" Nila Komala bertanya-tanya dalam hati. Dia berusaha
tetap sadar walau dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini.
Pandangan gadis itu tertuju pada orang-orang bertopeng kera. Mata gadis itu
berkerenyit saat melihat mereka membawa tongkat berwarna putih yang satu
ujungnya berbentuk
kepala tengkorak manusia
berwarna merah. Tapi Nila Komala tidak yakin kalau mereka dari Par-tai Tengkorak
Merah. Gadis itu teringat lagi akan kata-kata seorang tua perambah hutan yang
ditemuinya sebelum mendatangi reruntuhan puing-puing istana kadipaten tadi.
"Sebaiknya urungkan saja niatmu, Ni sanak," kata perambah hutan itu setelah Nila
Komala mengemukakan maksudnya untuk mendatangi Istana Kadipaten Panjawi saat
itu. "Kenapa, Ki?" Tanya Nila Komala ingin tahu.
"Istana kadipaten
saat ini sudah berubah jadi neraka. Lagi pula, untuk apa ke sana?"
"Menemui keluarga yang bekerja di istana itu, Ki," sahut Nila Komala
menyembunyikan maksud sebenarnya.
"Ah...," laki-laki tua perambah hutan itu mendesah pelahan.
"Ada apa, Ki?" Tanya Nila Komala.
"Siapa keluargamu?" perambah hutan itu
balik bertanya.
"Kepala pelayan," sahut Nila Komala berdusta.
"Mudah-mudahan dia masih hidup," gumam perambah hutan itu mendesah.
"Memangnya ada apa, Ki?" Tanya Nila Komala menyelidik.
"Sekarang ini Gusti Adipati tidak berada di istana. entah ke mana.. Dan istana
kadipaten kini dikuasai orang-orang yang menamakan dirinya Partai Tengkorak
Merah." Nila Komala terdiam membisu.
Ctar! "Akh...!" tiba-tiba saja Nila Komala terpekik ketika merasakan satu sengatan
panas di tubuhnya.
Seketika itu juga lamunannya menghilang. Tampak seorang laki-laki berkepala gundul dan bertubuh tinggi kekar
berotot memegang cambuk di depannya. Nila Komala mendelik tajam. Rupanya
tubuhnya tadi dicambuk, sehingga lamunan-nya lenyap seketika. Laki-laki gundul
berotot kekar itu kembali mengayunkan cambuknya. Dan untuk kedua kalinya Nila
Komala terpekik keras begitu ujung cambuk merobek bajunya hingga tembus ke kulit
Darah merembes keluar dari kulit yang sobek tercambuk.
Ctar! Ctar...! "Akh...!"
"Cukup...!" tiba-tiba terdengar seruan keras.
Tampak Nila Komala terkulai lemas.
Entah berapa cambukan telah mendarat di tubuhnya. Baju kuning yang dikenakannya
sudah koyak. Kulit putih mulusnya telah terkoyak berlumuran darah, Nila Komala
mendesis geram menatap tajam orang
berjubah merah yang mengenakan topeng kera keperakan.
"Aku bisa berbuat lebih kejam lagi padamu, Nila Komala. Pikirkan itu....'"
dingin nada suara orang bertopeng kera itu Dari suaranya, Nila Komala sudah bisa
menduga kalau orang itu adalah laki-laki.
"Phuih! Kau pikir aku takut?" Geram Nila Komala menyemburkan ludahnya.
"Aku percaya. Mati pun kau tidak takut.
Tapi bukan itu yang kuinginkan darimu, bocah."
"Kau menginginkan potongan Seruling Perak" Kalau pun aku punya, tidak bakalan
kuberikan padamu, pengecut jelek!"
"Di mana kau sembunyikan potongan seruling perak itu, Nila?" tetap dingin nada
suara orang bertopeng kera itu.
"Di perut!" sahut Nila Komala langsung ter-tawa tergelak-gelak Ctar!
"Akh...!" Nila Komala kembali memekik ketika tiba-tiba tubuhnya disengat
cambukan yang keras merobek kulit
Gadis itu mendelik menahan amarah yang meluap, tapi tidak berdaya apa-apa.
Ikatan di pergelangan tangan dan kakinya begitu kuat.
"Dengar, bocah. Aku tidak suka lagi bermain-main. Kutunggu jawabanmu besok
Kalau tidak...," orang bertopeng itu menoleh ke arah beberapa laki-laki
berwajah kasar yang menjaga ruangan pengap ini. "Aku akan menghadiahkan mu pada
mereka...!"
"Iblis...!" geram Nila Komala bergidik.
"Waktumu tinggal besok pagi, Nila Komala! Ha ha ha...!"
Orang berjubah merah yang mengenakan
topeng kera keperakan itu berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan pengap
ini. Sedangkan Nila Komala hanya dapat memaki, dan menyumpah serapah habis-habisan.
Pintu ruangan kembali ter-tutup. Gadis itu tiba-tiba bergidik ketika delapan
orang laki-laki berwajah kasar menghampirinya.
"Mau apa kalian"!" Bentak Nila Komala agak bergetar suaranya.
"He he he.... Kami semua tidak sabar me-nunggu sampai besok pagi, Cah Ayu,"
ujar salah seorang diiringi tawa terkekeh.
"Bajingan! Monyet tengik..! Kubunuh kalian jika berani menyentuhku!" Geram Nila
Komala mengancam.
Tapi delapan orang laki-laki kasar itu ha-nya tertawa saja. Sementara Nila
Komala hanya bisa memaki dengan tubuh bergidik ngeri. Sungguh tidak bisa
dibayangkan. Dan benar-benar tidak sanggup untuk membayang-kannya.
Sementara delapan orang itu semakin dekat saja. Pandangan mereka bar, dan tawa terkekeh terus terdengar.
Nila Komala benar-benar mual menyaksikan wajah-wajah yang memiliki sorot mata
liar penuh napsu iblis itu.
"Akh! Tidak..!" Pekik Nila Komala ketika salah seorang mulai mengulurkan
tangannya ke arah dada gadis itu.
Tapi belum juga jari-jari tangan
menyentuh, mendadak orang itu menjerit keras bersamaan berkelebatnya sebuah
bayangan putih. Tampak orang itu
menggelepar dengan leher koyak bersimbah darah. Sementara tujuh orang lainnya
terbeliak dibarengi mulut yang ternganga lebar. Demikian pula dengan Nila
Komala. "Rangga...," desis Nila Komala saat matanya terpaku pada seorang pemuda
berbaju rompi putih.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping Nila Komala. Dan sebelum
tujuh orang itu menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah melepaskan tambang yang
mengikat Nila Komala pada sebatang bang bersilang di atas tanah itu.
Nila Komala bergegas melompat begitu
ikatan yang membelenggunya terlepas. Dan gadis itu kontan menerjang orang-orang
kasar yang hampir saja menghancurkan
hidupnya. Seketika saja terdengar jerit melengking, disusul bergulingnya tubuhtubuh kekar. Dan belum lagi ada yang
sempat menyadari, Nila Komala sudah
menewaskan tiga orang yang bertelanjang dada itu.
Sementara empat orang lainnya segera
bergerak. Tapi pada saat yang bersamaan,
Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat, dan tangannya bergerak cepat mengibas
beberapa kail. Kembali terdengar jerit melengking mengiringi kematian empat
orang itu. Sungguh dahsyat jurus yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Hanya
sekali gebrak saja, empat orang itu telah
tergeletak tak bernyawa lagi. Sementara Nila Komala berdiri tegak memandangi
pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
"Terima kasih," ucap Nila Komala.
"Simpan saja dulu, mereka bisa datang sewaktu-waktu," ujar Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
me-lesat ke atas. Sebentar Nila Komala mendongak, dan terlihatlah sebuah lubang
yang hanya cukup untuk satu tubuh saja.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu melesat ke atas, menyusul Rangga yang
sudah lebih dahulu berada di luar.
*** Nila Komala baru berhenti berlari
setelah jauh berada di dalam hutan, dan jauh dari bangunan penjara istana
Kadipaten Panjawi. Gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya di atas re-rumputan.
Disandarkan tubuhnya pada sebatang pohon rindang yang cukup melindunginya dari
hembusan angin malam yang dingin
menggigilkan. Saat itu Rangga juga menghentikan
larinya, lalu berbalik menghadap Nila
Komala. Pendekar Rajawali Sakti itu
menghampiri dan menghenyak-kan tubuhnya di depan gadis itu. Tampak sekali kalau
Nila Komala tengah mengatur jalan napas-nya.
Keringat menitik bagai butiran mutiara membasahi wajah dan leher. Terasa pedih
saat keringat-keringat itu membasahi luka-luka be-kas cambukan yang masih
berdarah. "Maaf, aku tidak cepat-cepat membebas-kanmu," ucap Rangga seraya merayapi lukaluka bekas cambukan di tubuh gadis itu.
"Bagaimana lukamu?"
"Hanya luka luar. Aku sempat mengerahkan hawa murni, jadi tidak seberapa parah.
Hanya pedih sedikit," sahut Nila Komala.
"Syukurlah kalau begitu," desah Rangga.
"Bagaimana kau bisa mengetahui kalau aku ditangkap mereka?" Tanya Nila Komala
ingin tahu. "Kau ingat ketika bertemu dengan perambah hutan?" Tanya Rangga berbalik.
'Tentu," sahut Nila Komala mengangguk.
"Tapi, apa hubungannya?"
"Aku berada tidak jauh dari tempat itu, dan mendengar semua yang kau
bicarakan...."
"Dan kau mengikutiku sampai ke istana kadipaten"!" potong Nila Komala menebak
cepat "Benar."
"Sudah tahu begitu, kenapa tidak membantuku dari tadi?" Nila Komala memberengut
kesal. "Penjagaan terlalu ketat Kau sendiri juga tahu, bukan?"
Nila Komala terdiam. Memang penjagaan ter-lalu ketat, dan sukar ditembus.
Meskipun agak sedikit kesal, tapi gadis itu masih bersyukur bisa keluar dari
cengkeraman tangan-tangan kotor berhati iblis. Dan kini gadis itu juga tidak
bisa lagi meredam api dendam yang se-makin membara di dada.
Nila Komala bangkit berdiri dan
melangkah pelahan-lahan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk. Kelopak
matanya tidak berkedip memperhatikan sikap gadis itu. Rangga tetap duduk
meskipun Nila Komala sudah berjalan agak jauh. Dan gadis itu berhenti melangkah,
lalu memutar tubuhnya.
"Kenapa kau tidak mencegahku?" Tanya Nila Komala.
"Untuk apa" Kau tidak ingin urusanmu dicampuri, bukan?" tenang sekali suara
Rangga. Bahkan bibirnya mengulas senyuman tipis.
Rangga tahu kalau sebenarnya tadi Nila Komala ingin agar dia mencegahnya. Dan
gadis itu rupanya juga tidak tahan karena merasa Pendekar Rajawali Sakti tidak
mencegah. Apalagi untuk mengikutinya.
Entah apa yang ada dalam diri gadis itu.
Rangga semakin lebar senyumnya melihat Nila Komala kembali melangkah
menghampiri. Dan gadis itu kembali duduk bersandar di tempat semula.
"Kakang..., apa sebenarnya yang kau inginkan di Kadipaten Panjawi ini?" Tanya
Nila Komala sambil menatap dalam-dalam penuh selidik ke bola mata pemuda tampan
di depannya. "Tidak ada. Aku hanya kebetulan saja lewat sini," sahut Rangga kalem.
"Sungguh?" Nila Komala ingin memastikan.
"Untuk apa berdusta" Aku yakin, Eyang Brantapati sudah memberitahu tentang
diriku padamu," kembali Rangga tersenyum tipis.
"Eh...! Kau tahu guruku?" Nila Komala terkejut.
"Tentu saja. Bahkan sempat bicara
dengan-nya. Itu sebabnya
aku terus mengikutimu. Gurumu sudah berpesan agar aku membantumu menumpas musuh-musuh
ayahmu, yang telah menghancurkan seluruh keluarga dan kehidupanmu," jelas
Rangga. "Kapan kau bertemu dengan Eyang
Brantapati?"
Tanya Nila Komala penuh
selidik. Nada suaranya setengah tidak percaya pada pembicaraan Pendekar Rajawali
Sakti itu tadi.
"Saat kau tidur, .sebelum dia tewas,"
sahut Rangga. "Jadi..."!" Nila Komala semakin tidak mengerti. Hatinya benar-benar terkejut
karena Rangga mengetahui semuanya.
Gadis itu jadi semakin menaruh curiga pada pemuda tampan berbaju rompi putih
ini. Rangga bisa mengetahui semuanya,
tanpa bisa disadari-nya. Nila Komala


Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meraba pedangnya, tapi menjadi terkejut karena di pinggangnya hanya tersampir
sarung pedang tanpa isinya. Gadis itu baru sadar kalau pedangnya tertinggal di
istana kadipaten. Nila Komala merasakan dirinya saat ini sudah telanjang, tanpa
ada sebuah senjata pun yang melekat Meskipun memiliki kepandaian cukup tinggi,
tapi tanpa senjata bisa membuat kepercayaan dirinya hilang. Dan itu memang selalu ditakuti
orang-orang rimba persilatan. Bagi mereka, senjata merupakan tameng nyawa. Tanpa
senjata, jelas akan sulit mempertahankan nyawa.
"Sebenarnya aku ingin membantu ketika gurumu dikeroyok. Hanya sayangnya dia
sudah berpesan agar aku tidak perlu ikut campur, meski apa pun yang terjadi.
Sampai kau muncul, aku tetap memperhatikan dan mengikutimu sampai ke istana
kadipaten,"
jelas Rangga dengan singkat.
Bagaimana kau bisa mengetahui tempat
Per-tapaan Sokapura?" Tanya Nila Komala ingin tahu.
"Dari bau keringat mu," sahut Rangga berolok.
"Sialan!" rutuk Nila Komala tersenyum kecut.
Gadis itu memalingkan mukanya. Dikutuki dirinya sendiri dalam hati. Pertanyaan
yang bodoh! Tentu saja Rangga tidak akan memberitahu bagaimana caranya bisa
mengetahui Pertapaan Sokapura. Itu memang
urusan Rangga sendiri, dan dia tidak perlu mengetahui.
Untuk beberapa saat, mereka membisu.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa kali Nila Komala mencuri
pandang, menatap wajah tampan di depannya.
Batin gadis itu jadi berperang sendiri.
Memang diakui, kalau Eyang Brantapati pernah mengatakan untuk meminta bantuan
Pendekar Rajawali Sakti setelah menceritakan pertemuannya dengan pemuda yang
selalu mengenakan baju rompi putih ini.
Nila Komala sendiri tidak mengerti,
mengapa Eyang Brantapati seperti
mempercayai pemuda ini. Padahal, setahu Nila Komala, laki-laki tua pertapa itu
belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya.
"Kakang, kau pernah mendengar nama Pendekar Seruling Perak?" Tanya Nila Komala
bernada penuh selidik.
"Pernah," sahut Rangga.
"Apa yang kau ketahui tentang dia?"
Tanya Nila Komala lagi.
"Tidak banyak. Aku hanya tahu kalau Pendekar Seruling Perak seorang pendekar
bersih, dan selalu berada di jalan benar,"
sahut Rangga singkat.
"Kau pernah bertemu dengannya?" Nila Komala semakin ingin tahu saja.
"Sekali. Memangnya ada apa?" Rangga balik bertanya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya yakin kalau dia ada hubungannya dengan kejadian yang
kualami ini," sahut Nila Komala agak mendesah.
"Tentang potongan Seruling Perak?"
Nila Komala kembali tersentak kaget.
Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Rajawali Sakti itu mengetahui segalagalanya. Nila Komala menatap dalam-dalam bola mata pemuda tampan di depannya,
seakan-akan ingin mencari sesuatu di dalam sinar mata itu. Sedangkan yang
ditatap malah membalasnya dengan lembut dan tentu saja hal ini membuat Nila
Komala jadi jengah sendiri. Buru-buru dipalingkan mukanya ke arah lain. Kembali
mereka terdiam membisu, tanpa berkata-kata lagi.
Sedangkan Nila Komala semakin jauh
berperang dalam batinnya sendiri. Entah apa yang ada di hati-nya saat ini. Hanya
dia sendiri yang tahu.
*** 6 Nila Komala melangkah keluar dari
pondok kecil yang dibangun. Rangga untuk berteduh dan menetap sambil menyelidiki
suasana di Kadipaten Panjawi. Gadis itu tertarik mendengar alunan seruling yang
telah sekian lama tidak didengarnya lagi.
Pelahan dibukanya pintu pondok, lalu
melangkah keluar.
Rindangan gadis itu langsung tertuju
pada seorang laki-laki tua bertubuh kecil dengan perut buncit yang tengah duduk
di bawah pohon rindang. Jari tangan laki-laki tua kecil itu asyik bermain-main
pada lubang seruling. Alunan irama seruling berwarna keperakan itu demikian
merdu, membuat Nila Komala terus melangkah
menghampiri. Gadis itu baru
berhenti setelah berada sekitar tiga langkah lagi didepan laki-laki tua kecil yang
dikenal bernama Ki Garatala.
"Kau lihat di mana Kakang Rangga, Ki?"
Tanya Nila Komala.
Ki Garatala menghentikan tiupan
seruling-nya. Pelahan-lahan diangkat
kepalanya menatap gadis cantik di
depannya, kemudian menggeleng pelahan.
Matanya tetap menatap Nila Komala.
"Kau sudah tidak marah lagi padaku, Nila Komala?" Ki Garatala balik bertanya.
"Tidak," sahut Nila Komala tersenyum seraya
duduk di depan laki-laki tua
bertubuh seperti bocah berusia dua betas tahun itu. "Maafkan atas kekasaranku
waktu itu," ucap Nila Komala.
"Begitu cepat kau berubah sikap. Apakah Rangga yang merubah sikapmu?"
Nila Komala hanya tersenyum saja.
Dilayangkan pandangannya ke arah Puncak Bukit Paderesan yang terselimut kabut
tebal. Memang diakui kalau sikapnya bisa berubah karena Pendekar Rajawali Sakti
itu. Dia juga menyesal telah menaruh
kecurigaan besar, hingga
marah dan mengusir laki-laki tua ini.
"Apa saja yang telah dikatakan tentang diriku, Nila Komala?" Tanya Ki Garatala.
"Tidak banyak," sahut Nila Komala.
Gadis itu kembali berpaling dan menatap laki-laki tua kecil di depannya.
Perhatian Nila Komala tercurah pada seruling perak di tangan Ki Garatala. Agak
menyipit juga matanya saat menyadari kalau seruling itu hanya sepotong. Nila
Komala kemudian
merayapi wajah tua itu, dan jadi teringat akan kata-kata Eyang Brantapati.
Terlintas pertanyaan di benaknya. "Apakah orang tua ini Pendekar Seruling
Perak?" "Kenapa kau memandangku seperti itu, Nila?" tegur Ki Garatala.
"Ki, boleh aku bertanya padamu?" Nila Komala tidak mempedulikan teguran Ki
Garatala. "Kenapa tidak?"
"Apakah itu serulingmu?" Tanya Nila Komala langsung.
"Ha ha ha...!" Ki Garatala tertawa mendengar pertanyaan langsung dan polos itu.
Nila Komala terdiam namun pandangannya tajam penuh selidik. Eyang Brantapati
pernah mengatakan kalau Pendekar Seruling Perak bertubuh tinggi tegap. Tapi,
laki-laki tua bertubuh kecil ini juga mengaku bernama si Seruling Perak atau Ki
Garatala. Apakah di dunia ini ada dua pendekar yang memiliki senjata sama" Samasama berupa seruling berwarna perak.
Gadis itu juga teringat akan orangorang bertopeng kera yang sekarang
menguasai Istana Kadipaten Panjawi. Mereka menginginkan potongan seruling perak.
Dan anehnya, gadis itu dituduh sebagai pemiliknya. Nila Komala jadi
menghubungkan peristiwa ini dengan pembunuhan ayahnya.
Adipati Panjawi itu juga dibunuh oleh orang-orang bertopeng kera, dan nampaknya
ia memang sudah mengetahui kejadian itu.
Terlalu banyak pertanyaan di benak Nila Komala, dan tidak bisa cepat terjawab
saat ini. Gadis itu hanya bisa menghubung-hubungkan peristiwa yang terjadi.
Dicarinya kaitan antara peristiwa yang satu dengan lainnya.
"Berapa banyak kau mengetahui tentang seru-ling perakku ini?" Tanya Ki Garatala.
"Terus terang, hanya tahu sedikit Tapi aku tidak yakin kalau kau pemiliknya yang
sah," sahut Nila Komala terus terang.
"Kau terlalu polos, Cah Ayu. Tapi aku menyukai kepolosanmu," Ki Garatala
tersenyum dikulum.
"Jadi benar, itu bukan milikmu?" desak Nila Komala seperti yakin pada dirinya.
"He he he...," Ki Garatala tidak menjawab, tapi hanya tertawa terkekeh saja,
kemudian bangkit dari duduknya.
Nila Komala ikut berdiri, dan juga ikut melangkah saat laki-laki tua bertubuh
kecil itu berjalan. Seruling perak yang hanya sepotong itu diselipkan ke batik
sabuk pinggangnya. Nila Komala mensejajarkan langkah di samping orang tua aneh
itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.
Sesekali Nila Komala melirik,
memperhatikan wajah tua berjanggut putih panjang di sampingnya. Bibir tipis yang
tertutup misai putih selalu menyunggingkan senyuman tipis dikulum. Memang aneh
sikap Ki Garatala, dan ini membuat Nila Komala penasaran. Terlebih lagi sekarang
orang-orang dari Partai Tengkorak Merah mencari potongan seruling perak hingga
menewaskan ayahnya dan menghancurkan Istana Kadipaten Panjawi. Bahkan kini
mereka menguasai reruntuhan istana itu.
"Eh...!" Nila Komala terkejut ketika mereka tiba pada suatu tempat yang sangat
dikenalnya. Gadis itu langsung berhenti melangkah.
Pandangannya lurus ke suatu tempat yang membuat jantungnya seketika jadi seperti
berhenti berdetak. Sedangkan Ki Garatala tetap melangkah tenang tanpa
mempedulikan gadis itu.
*** Nila Komala masih berdiri terpaku di
tempatnya. Sepasang bola matanya tidak berkedip memandangi
Ki Garatala yang
tengah berbicara dengan seseorang. Nila Komala tahu, siapa pemuda berbaju rompi
putih itu. Di depan mereka terbaring
sesosok tubuh laki-laki berpakaian putih ketat agak keperakan, di atas sebongkah
batu pipih. Tubuhnya tegap dengan otototot bersembulan. Di atas sosok tubuh yang ter-baring itu berdiri naungan dari
anyaman daun rumbia.
Yang membuat Nila Komala terkejut,
orang itu terbaring tepat di samping makam ayahnya. Pelahan-lahan gadis itu
melangkah mendekati. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti, Ki Garatala, dan orang
yang terbaring di atas batu secara bergantian.
Sedangkan yang dipandangi jadi terdiam, tapi membalas tatapan gadis cantik itu.
Tak ada yang bicara untuk beberapa saat lamanya.
"Siapa dia...?"
Tanya Nila Komala
seraya menatap orang yang terbaring di atas batu. Pertanyaan itu bernada seperti
untuk dirinya sendiri.
"Pendekar Seruling Perak," sahut Ki Garatala.
Nila Komala menatap laki-laki tua
bertubuh kecil dengan perut membuncit itu, kemudian kembali menatap laki-laki
muda yang terbaring di atas batu. Sepertinya jawaban yang diberikan Ki Garatala
tidak membuatnya percaya.
"Kenapa dia?" Tanya Nila Komala lagi, masih seperti untuk dirinya sendiri
pertanyaan itu.
"Perlu waktu satu hari penuh untuk menjelaskannya, Gusti Ayu," sahut Ki Garatala
lagi. Kembali Nila Komala menatap laki-laki tua kecil itu. Baru kali ini didengarnya
Ki Garatala memanggil Gusti Ayu. Panggilan
yang biasa didengar saat masih berada di dalam Istana kadipaten. Tapi Nila
Komala tidak sempat berkata apa-apa, karena
Pendekar Rajawali Sakti sudah menepuk pundaknya dan mengajak menjauhi tempat
itu. Nila Komala tidak menolak, lalu
berjalan mengikuti pemuda berbaju rompi putih itu. Sementara Ki Garatala duduk
bersila di samping orang yang terbaring bagai tengah tertidur lelap. Laki-laki
tua bertubuh seperti bocah berusia dua belas tahun itu duduk bersila.
Dikeluarkannya seruling perak dari balik sabuk yang
membelit pinggangnya. Sebuah seruling perak yang tinggal sepotong. Ki Garatala
kemudian meniup seruling itu lambat-lambat. Begitu merdu suara alunannya, tapi
baru kini Nila Komala bisa menyadari ada nada sumbang pada suara seruling itu.
Dan ini baru disadari kalau suara alunan merdu bernada sedikit sumbang itu sudah
didengarnya sejak beberapa hari terakhir ini. Nila Komala berhenti melangkah,
dan membalikkan tubuhnya memandangi Ki
Garatala yang kini sudah asyik meniup seruling perak terpotong itu.
"Sudah berapa lama dia terbaring di situ?" Tanya Nila Komala tanpa mengalihkan
pandangannya ke arah Ki Garatala.
"Sejak kemarin," sahut Rangga yang berdiri di samping gadis itu.
"Kemarin..."!"
Sentak Nila Komala
seraya menoleh menatap Pendekar Rajawali
Sakti itu. "Ya, kenapa?"
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Nila Komala.
"Hanya aku agak heran
kenapa dia dibaringkan di samping makam ayahku...?"
"Kalau seruling perak benar-benar ada pada ayahmu, Pendekar Seruling Perak akan
langsung sembuh," jelas Rangga.
Gadis itu terus menatap Ki Garatala
yang asyik meniup seruling perak yang tinggal sepotong. Baru beberapa hari
ayahnya tewas di tangan orang-orang
bertopeng kera. Dan Rangga tadi mengatakan sejak kemarin orang itu terbaring di
samping kuburan Adipati Panjawi. Sedangkan Nila Komala baru bisa menyadari kalau
suara alunan merdu seruling perak itu bernada sumbang sejak beberapa waktu lalu.
Nila Komala kembali berpaling, menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti di
sampingnya. Sementara yang ditatap hanya bersiul-siul berirama tidak jelas.
Pandangannya menatap lurus ke awan, puncak bukit dan sekitarnya. Seakan-akan
sengaja menghindari tatapan tajam gadis di sebelahnya.
"Kakang, kau bisa jelaskan semua ini padaku?" Pinta Nila Komala.
"Apa yang bisa kujelaskan, Gusti Ayu?"
Tanya Rangga mengikuti Ki Garatala
memanggil Gusti Ayu pada Nila Komala.
"Sejak kapan kau memanggilku seperti itu?" Nila Komala tidak suka dipanggil
Pendekar Pemanah Rajawali 20 Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam Pusaka Hantu Jagal 2

Cari Blog Ini