Ceritasilat Novel Online

Seruling Perak 3

Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak Bagian 3


seperti itu. "Sudah sepantasnya aku memanggilmu begitu," kalem jawaban Rangga.
"Uh, sudahlah! Sekarang aku minta penjelasan mu, titik!" Dengus Nila Komala.
Rangga tersenyum kecut
"Kok diam..."!"
"Penjelasan yang mana, Gusti Ayu?"
Tanya Rangga pura-pura bodoh.
"Tentang dia!" Nila Komala memonyongkan bibirnya, mengarah pada orang yang
sedang terbaring.
"Pendekar Seruling Perak"!" Rangga sengaja memperlambat atau mungkin sedang
mempermainkan gadis ini.
Nila Komala tidak menjawab, tapi malah mendengus memberengut kesal. Disadari
kalau Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mempermainkan dirinya saja. Dan mendadak
saja wajah gadis itu memerah. Baru
disadari kalau Pendekar Seruling Perak masih muda dan wajahnya.... tampan juga.
Nila Komala merutuk dalam hati. Dia bisa menangkap arti sorot mata Rangga.
Secara jujur, Nila Komala memang mengakui kalau Pendekar Rajawali Sakti juga
tampan. Bahkan tidak kalah tampannya dengan Pendekar Seruling Perak. Nila Komala
melenguh pendek. Dipalingkan wajahnya ke arah lain.
"Aku hanya tahu sedikit tentang
Pendekar Seruling Perak. Dan mungkin sama dengan apa yang kau ketahui, Gusti
Ayu," kata Rangga tidak enak juga melihat wajah gadis itu memerah dadu.
"Kenapa terbaring terus?" Tanya Nila
Komala. "Kehilangan kekuatannya. Selamanya dia akan terbaring antara mati dan tidak,
sebelum kekuatannya pulih kembali," sahut Rangga sedikit menjelaskan.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang,"
Nila Komala berterus terang.
"Memang benar kata Ki Garatala. Tidak cukup seharian memberi penjelasan padamu.
Sebab, ini juga menyangkut Ayah dan ibumu, dan dirimu sendiri, Gusti Ayu," kata
Rangga. Nila Komala memalingkan wajahnya
kembali menatap pemuda berbaju rompi di sampingnya. Sama sekali tidak diduga
kalau semua ini saling berhubungan satu sama lainnya. Dan yang tidak disangka,
dirinya juga ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak. Hanya saja gadis
itu tidak tahu, di mana keterlibatan dirinya.
Sedangkan teka-teki pembunuhan Ayah dan ibunya saja sampai sekarang belum bisa
terungkap. Agak lama juga Nila Komala terdiam,
menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Kemudian dia kembali berpaling, menatap Pendekar Seruling Perak yang masih
terbaring tanpa daya. Sama sekali masih belum bisa dipahami tentang kehilangan
kekuatan seperti yang dikatakan Rangga tadi.
*** Nila Komala duduk diam sambil memeluk lututnya sendiri. Pandangannya nanar
menatap lurus ke depan. Sementara malam semakin beranjak larut. Udara terasa
dingin menggigilkan tubuh, merasuk sampai ke tulang. Gadis itu mendesah panjang,
lalu kepalanya menoleh menatap pemuda berbaju rompi putih yang duduk bersandar
di sampingnya. Agak jauh di belakang
Pendekar Rajawali Sakti terlihat seonggok api unggun menghangati sosok tubuh
terbaring di atas batu pipih. Tampak Ki Garatala masih tetap duduk bersila di
sampingnya. "Sukar dipercaya kalau Ayah mencuri seru-ling perak...," desah Nila Komala
setengah bergumam, Pelan sekali suaranya, seolah-olah berbicara untuk diri
sendiri. "Ayahmu melakukan itu karena ingin menyembuhkan istrinya, Nila, ibumu...!"
Ujar Rangga meyakinkan gadis itu.
"Tapi, kenapa harus mencuri?" Tanya Nila tidak mengerti.
"Itulah yang sulit dimengerti, Nila.
Usaha ayahmu hanya sia-sia saja, karena hanya mendapatkan sepotong seruling
perak." Nila Komala kembali terdiam. Kembali diingat-ingatnya cerita Rangga tentang
Pendekar Seruling Perak yang kini
terbaring tidak berdaya setelah sepotong serulingnya dicuri Adipati Panjawi,
ayah gadis itu sendiri. Padahal Adipati Panjawi tahu kalau seruling perak itu adalah
sumber kekuatan Pendekar Seruling Perak.
Tanpa seruling itu, Pendekar Seruling Perak akan musnah untuk selama-lamanya.
Sebenarnya, antara, Pendekar Seruling Perak dengan Adipati Panjawi telah
terjalin satu hubungan erat. Ketika istri adipati itu terluka parah oleh panah
beracun yang dilepaskan orang-orang
bertopeng kera, Adipati Panjawi jadi mata gelap. Dia tahu kalau seruling perak
bisa menyembuhkan segala jenis penyakit dan menjadi penawar dari segala macam
jenis racun apa pun di dunia ini. Padahal
Adipati Panjawi tahu kalau Pendekar
Seruling Perak tidak akan berdaya tanpa benda pusakanya itu. Bahkan seluruh
jiwanya sudah dipindahkan ke dalam benda berbentuk seruling berwarna perak itu.
Jelas, dia akan mati jika terlepas dari seruling peraknya.
Adipati Panjawi jadi mata gelap, sebab Pen-dekar Seruling Perak yang dimintai
bantuan untuk menyembuhkan istrinya tidak menyanggupi. Adipati Panjawi tidak
percaya kalau seruling perak tidak bisa menyedot racun yang ada di dalam tubuh
istrinya. Padahal Pendekar Seruling Perak sudah mengatakan bahwa racun itu sudah menjalar
sampai ke jantung dan tidak ada harapan lagi untuk hidup.
Sejak saat itu Adipati Panjawi selalu dihantui perasaan bersalah. Dan dia jadi
merasa seperti terancam
setiap kali mendengar suara seruling. Teringat akan perbuatannya mencuri sepotong seruling
perak itu dari Pendekar Seruling Perak.
Nila Komala menatap Ki Garatala yang
duduk bersimpuh disamping Pendekar Sending Perak. Laki-laki tua bertubuh kecil
itu selalu setia menunggu Pendekar Seruling Perak. Bahkan setiap pagi selalu
memainkan sepotong seruling perak agar sebagian jiwa Pendekar Seruling Perak
tetap hidup, sementara potongan lainnya lagi berusaha dicarinya. Baru kemarin Pendekar
Seruling Perak dipindahkan ke sini, dan sebelumnya berada di atas Puncak Bukit
Paderesan. Kini Nila Komala baru tahu, mengapa
ayahnya selalu mengajaknya ke lereng bukit Ternyata ayahnya ingin menemui
Pendekar Seruling Perak, dan hendak meminta maaf pada pendekar itu. Tapi belum
juga niatnya terlaksana, sudah tewas di tangan orang-orang bertopeng kera.
"Kakang, apakah Ayah memang menyimpan potongan seruling perak itu?" Tanya Nila
Komala seraya berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Mungkin," sahut Rangga mendesah. Nada suaranya seakan-akan kurang yakin akan
jawabannya sendiri.
"Kalau memang Ayah memiliki potongan seruling perak itu, mengapa mereka juga
menginginkannya, Kakang?" Tanya Nila Komala.
"Itulah kerasnya kehidupan rimba
persilatan, Nila. Terlalu banyak hal yang sukar untuk dimengerti oleh akal sehat
manusia normal. Mereka yakin kalau sudah memiliki potongan seruling perak, akan
mampu mengenyahkan Pendekar Seruling Perak untuk selama-lamanya. Selama ini
Pendekar Seruling Perak memang selalu jadi
penghalang bagi mereka untuk merajai dunia persilatan. Yaaah.... Ki Garatala
sendiri mengatakan, seandainya sepotong seruling perak itu dimusnahkan, sama
artinya sebagian jiwa Pendekar Seruling Perak musnah," jelas Rangga singkat
"Apakah itu artinya dia tidak akan hidup kembali, Kakang?" Tanya Nila Komala
polos. "Benar," sahut Rangga setengah mendesah.
"Kalau begitu, kita harus mendapatkan potongan seruling perak lainnya, Kakang!"
man-tap nada suara Nila Komala.
"Tentu saja, Nila. Tapi sampai sekarang kita tidak tahu, di mana potongan
seruling perak itu. Sedangkan saat ini hanya ayahmu saja yang mengetahuinya."
"Aku tahu, Kakang!" seru Nila Komala seraya melonjak berdiri.
"Heh! Kau tahu...?" Rangga tersentak kaget
"Benar, kini aku tahu. Ayah pasti menyimpannya di ruangan senjata pusaka.
Beliau sering berlama-lama berada di sana, bahkan hampir seluruh harinya
dihabiskan di ruangan penyimpanan senjata pusaka,"
mantap sekali nada suara Nila Komala.
Rangga tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Nila Komala memperhatikan
dengan kening berkerut dalam.
"Ruangan itu sudah porak poranda, Nila.
Tidak mungkin ayahmu menyimpan benda
berharga seperti itu di sana," kata Rangga.
"Kalau begitu...," ucapan Nila Komala terputus.
Rangga bergegas bangkit berdiri saat
melihat gadis itu melangkah menghampiri reruntuhan puing yang menghitam bekas
terbakar. Reruntuhan puing itu bekas
pondok Eyang Jayanggu, seorang tabib yang ahli segala macam racun dan penyakitpenyakit lainnya. Rangga tidak mengerti akan sikap Nila Komala yang mengobrakabrik reruntuhan pondok itu.
"Nila, apa yang kau lakukan?" Tanya Rangga.
Nila Komala tidak menjawab, dan terus saja mengobrak-abrik puing-puing yang
sebagian besar sudah jadi abu itu. Rangga hanya memperhatikan saja tanpa
melakukan apa-apa. Sama sekali tidak dimengerti, apa yang dilakukan Nila Komala.
Debu bekas pondok yang terbakar bertebaran membuat sesak pernapasan. Namun Nila
Komala tidak peduli, dan terus membongkar reruntuhan puing pondok itu tanpa
berkata-kata lagi.
"Apa sih yang dilakukannya...?" Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
*** 7 Nila Komala terduduk lemas di antara
reruntuhan pondok yang hangus terbakar.
Hampir seluruh tubuh dan wajahnya penuh debu hitam bekas bakaran kayu. Keringat
mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya.
Sementara Rangga masih berdiri agak jauh sambil memperhatikan. Hatinya geli juga
melihat wajah yang cantik, kini seperti penari ledek kebanyakan pupur.
"Nila...," panggil Rangga sambil menahan perasaan gelinya.
Nila Komala mendengus dan menoleh.
Hampir-hampir Rangga tertawa melihat wajah gadis itu, tapi cepat ditahan. Dia
tidak ingin gadis itu tersinggung kemudian
mengamuk karena ditertawakan. Nila Komala bangkit berdiri, lalu berjalan cepat
menuju sungai kecil yang ter-letak tidak jauh dari tempat ini. Rangga ham-pir
saja terlonjak begitu Nila Komala langsung melompat menceburkan tubuhnya ke
dalam sungai. Agak lama juga gadis itu berada di
dalam air. Begitu muncul di permukaan, wajah dan tubuhnya sudah bersih. Dengan
tubuh basah, gadis itu melangkah keluar dari dalam sungai. Sama sekali tidak
dipedulikan pakaiannya yang basah kuyup.
Gadis itu duduk di atas sebatang pohon
tumbang yang menjorok ke dalam sungai.
Gadis itu acuh saja saat pandangan Rangga merayapi tubuhnya yang dalam keadaan
basah kuyup seperti ini.
Baju yang dikenakan gadis itu melekat rapat membentuk tubuhnya yang indah
mempesona. Pelahan Rangga menghampiri, dan berdiri di depan gadis itu. Nila
Komala tetap diam, sambil memandang ke arah lain.
Meskipun menggigil kedinginan, tapi gadis itu tetap saja diam tidak peduli.
"Mendekatlah ke api sana, agar menjadi hangat," kata Rangga melihat tubuh
ramping indah itu menggigil kedinginan.
"Biar saja ah," sahut Nila Komala.
"Kenapa kamu lakukan itu, Nila?" Tanya Rangga ingin tahu.
Nila Komala tidak langsung menjawab.
Kepalanya berpaling, langsung menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali
Sakti di depannya. Sedangkan yang ditatap malah me-balas dengan tajam pula.
"Ayah tidak mungkin meninggalkan benda berharga begitu saja. Beliau pasti
membawanya ke mana pergi," ujar Nila Komala seraya memalingkan wajahnya kembali
ke arah lain. "O.... Jadi kau menyangka Eyang
Jayanggu yang mengambil, dan kau mencarinya di reruntuhan pondoknya...?" Rangga
mulai bisa mengerti tindakan Nila Komala tadi.
"Tidak ada salahnya jika berusaha,
bukan...?"
"Memang tidak. Asal, jangan membuatmu seperti penari ledek kehabisan pupur,
terus jadi basah kuyup begini...!" Rangga tidak bisa lagi menahan tawanya. Dia
terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Huh!" Nila Komala mendengus, tapi akhirnya tertawa juga.
Tawa mereka berhenti ketika tiba-tiba Ki Garatala berdiri di antara mereka.
Laki-laki tua bertubuh kecil seperti bocah berusia sekitar dua belas tahun itu
memandangi Rangga dan Nila Komala secara bergantian. Sedang yang dipandangi
kontan diam. Mereka saling berpandangan dan sama-sama mengangkat pundak.
"Bukan waktunya untuk tertawa!" dengus Ki Garatala dingin.
"Maaf, Ki," ucap Rangga.
"Seharusnya kalian membantuku mencari potongan seruling perak itu, bukannya
malah bersenang-senang di atas penderitaan orang lain!" gerutu Ki Garatala.
Rangga dan Nila Komala terdiam. Gadis itu memandangi laki-laki tua bertubuh
kecil di depannya. Kalau saja Rangga belum menceritakan siapa sebenarnya orang
tua aneh ini, mungkin sudah disemprot sejak tadi, karena berani
membentak dan menggerutu di depannya. Tapi mengingat kalau orang tua aneh ini adalah guru
Pendekar Seruling Perak, Nila Komala hanya diam saja.
Memang, baru sekarang ini Ki Garatala keluar dari pertapaannya, karena murid
tunggalnya dalam keadaan kritis. Tidak heran kalau Ki Garatala bisa memainkan
seruling perak itu, meskipun hanya
sepotong saja. Nila Komala melompat turun, dan langsung menggamit tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu membawa Rangga
pergi. Sejenak Rangga kebingungan, tapi ikut melangkah juga dengan tangan terseret
"Akan ke mana kalian?" Tanya Ki Garatala agak keras suaranya.
"Seperti yang kau katakan tadi, Ki.
Mencari potongan seruling perak!" Sahut Nila Komala tidak kalah keras suaranya.
"Nila, tunggu!" Sentak Rangga langsung berhenti melangkah.
Nila Komala menghentikan ayunan
kakinya. Ditatapnya pemuda berbaju rompi putih itu dalam-dalam. Sedangkan Rangga
memandang ke arah Ki Garatala.
"Ke mana kau akan mencari seruling perak itu?" Tanya Ki Garatala masih tetap
berdiri pada tempatnya.
"Ke mana saja," sahut Nila Komala. "Aku bertanggung jawab, karena semua ini
gara-gara ulah ayahku!" tegas suara gadis itu.
Pandangannya juga tajam menusuk langsung bola mata Ki Garatala.
"Aku tahu kau memang harus bertanggung jawab. Tapi, ke mana akan kau dapatkan
potongan seruling perak itu?" Tanya Ki Garatala.
"Ke mana saja, asal dapat!" sahut Nila Komala seraya berbalik dan kembali
melangkah cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara Rangga jadi kebingungan
sendiri menghadapi kekerasan sikap Nila Komala.
Pendekar Rajawali Sakti itu
bergegas menyusul, setelah mendapat
anggukan kepala dari Ki Garatala. Rangga cepat mensejajarkan langkahnya di
samping Nila Komala yang berjalan cepat.
"Ke mana tujuanmu, Nila?" Tanya Rangga.
"Kadipaten Panjawi," sahut Nila Komala terus saja melangkah cepat.
"Ke istana itu lagi?" Tebak Rangga yakin.
"Ya," sahut Nila Komala terus saja melangkah cepat.
"Untuk apa?"
"Bukan hanya seruling perak yang harus didapat, tapi mereka juga harus musnah


Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari muka bumi ini. Hidupku tidak akan tenang sebelum mereka hancur, seperti
yang mereka lakukan terhadapku!" Tegas Nila Komala.
"Kau tidak akan mampu menandingi mereka sendirian, Nila," Rangga memperingatkan.
"Kenapa tidak" Nyawaku taruhannya!"
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang.
Memang sulit menghadapi seorang gadis yang sudah terbiasa hidup manja dan serba
keturutan. Sepanjang jalan menuju Istana Kadipaten Panjawi, tidak sedikit
rintangan yang harus dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dan Nila Komala. Hampir
setiap tempat, mereka terpaksa memeras keringat untuk menghalau orang-orang berbaju
merah bergambar tengkorak pada dada-nya dan bertopeng gambar kera keperakan.
"Berapa puluh lagi yang harus kita hadapi, Nila?" Tanya Rangga mendengus.
"Bukan puluhan, tapi mungkin ratusan atau bahkan ribuan," sahut Nila Komala
seraya mengedarkan pandangannya ke
sekeliling, menatap mayat-mayat yang
bergelimpangan di sekitar tempat ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi mereka
meninggalkan tempat ini dengan langkah cepat dan ringan. Agar lebih cepat sampai
di Istana Kadipaten Panjawi, maka di
pergunakanlah ilmu meringankan tubuh. Tidak terlalu sulit bagi Rangga untuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh Nila
Komala. Tentu saja, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Bahkan kalau mau, gadis itu bisa tertinggal jauh.
Setelah melewati tiga rintangan, mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbang
benteng istana kadipaten yang sudah dalam keadaan hancur berantakan. Yang
tersisa hanya puing-puing berserakan. Nila
memandangi bangunan yang punya banyak arti dalam kehidupannya selama ini Pelahan
kepalanya berpaling menatap Rangga di sampingnya.
"Ragu-ragu?" Tanya Rangga.
"Firasatku, mereka sudah menunggu,"
kata Nila pelan.
"Memang, kalau kau bisa melihat dengan teliti," sahut Rangga kalem.
Nila Komala menyipitkan matanya saat
memandang ke dalam dari pintu gerbang yang hancur berantakan. Tampak sosok-sosok
tubuh berbaju merah tengah berlindung di balik reruntuhan tembok istana
kadipaten itu. Juga di atap, di balik pohon, dan tempat-tempat tersembunyi
lainnya. Mereka sudah siaga dengan panah ter-pasang pada busur yang meregang
siap dilepas-kan.
"Ingin masuk juga?" Rangga menawarkan.
Nila Komala tidak langsung menjawab.
Se-jenak dirayapi bagian dalam bangunan benteng istana dari pintu gerbang yang
hancur. Memang tidak mudah untuk menerobos masuk ke dalam. Bahkan mungkin baru
kakinya melewati pintu saja, sudah
terpanggang ratusan panah beracun.
"Bagaimana pendapatmu, Kakang?" Tanya Nila Komala yang menjadi lemah juga
hatinya menghadapi kenyataan pahit ini.
Rangga tidak menjawab, tapi malah
melangkah setelah membalikkan tubuhnya.
Nila Komala memandangi sejenak, kemudian menyusul dengan ayunan langkah tergesagesa. Mereka berjalan menjauhi bangunan istana di Kadipaten Panjawi itu.
"Kau ada rencana, Kakang?" Tanya Nila Komala.
"Tidak," sahut Rangga kalem.
"Tidak..."!" Nila Komala mendelik setelah mendengar jawaban ringan itu.
"Aku hanya menghindari mereka saja. Aku belum mau mati konyol terpanggang
panah," kata Rangga tetap kalem.
"Kau punya rasa takut juga, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar sinis nada suara
Nila Komala. "Bukannya takut, tapi berusaha berpikir secara waras," elak Rangga manis.
"Kalau begitu, kau tentu punya rencana, bukan?" ujar Nila Komala terdengar
yakin. "Sial!" rutuk Rangga dalam hati.
Rangga mengakui kalau gadis ini cukup cerdik memancing dalam hal pembicaraan.
Bukan hanya sekali ini saja Rangga
terjebak dan masuk dalam pancingannya.
Sudah beberapa kali, dan sama sekali tidak disadari sebelumnya. Rangga hanya
merutuk dalam hati, sedangkan Nila Komala
tersenyum-senyum merasa pancingannya mulus mengenai sasaran.
"Nanti aku beritahu.'" dengus Rangga terus saja berjalan cepat.
"Ke mana lata sekarang?" Tanya Nila Komala.
"Cari tempat yang aman," sahut Rangga masih dengan hati mendongkol.
Bukannya kesal pada gadis ini, tapi
kesal pada kebodohannya sendiri. Kesal karena selalu saja tidak bisa menangkap
arah ucapan dan sikap Nila Komala yang selalu mempunyai maksud tersembunyi tanpa
diduga sama sekali. Hatinya kesal, tapi juga mengakui kecerdikan gadis ini.
*** Malam terus merayap semakin larut.
Suasana di sekitar bangunan Istana
Kadipaten Panjawi nampak sunyi senyap. Tak terlihat seorang pun di sekitar
reruntuhan bangunan megah itu. Dalam keremangan
cahaya sinar rembulan, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagai
kilat melewati tembok benteng yang tinggi dan teramat kokoh.
Bayangan putih itu melenting cepat ke atas atap, lalu berhenti. Dirapatkan
tubuhnya di atap bangunan yang menghitam bekas terbakar. Dalam keremangan cahaya
bulan, dapat dilihat kalau orang itu masih muda, mengenakan baju rompi putih
dengan pedang tersampir di punggung. Sepasang bola matanya tajam mengamati
sekeliling. Pelahan-lahan, dan ringan sekali pemuda berbaju rompi putih itu merayap
mendekati atap yang berlubang. Begitu ringannya sehingga tak terdengar suara
sedikit pun. Pemuda itu berhenti tepat di tepi lubang atap bangunan istana ini. Dijulurkan
kepalanya, melongok ke dalam. Begitu gelap di dalam sana, sukar untuk dapat
melihat kalau saja pemuda itu tidak mempergunakan ilmu yang bisa menajamkan
penglihatan. "Hmm... Aku harus menggunakan aji
'Tatar Netra'," gumam pemuda berbaju rompi putih dalam hati.
Tanpa berkedip sedikit pun pemuda itu merayapi bagian dalam bangunan istana ini
dari lubang di atas atap. Dengan aji
'Tatar Netra' bisa terlihat jelas meskipun di dalam sana keadaannya gelap
gulita. Tak ada yang bisa ditemukan dalam ruangan
gelap berantakan itu. Tapi baru saja
hendak menarik kepalanya, mendadak
terlihat dua orang keluar dari salah satu ruangan yang pintunya jebol
berantakan. Dua orang berpakaian merah dengan gambar tengkorak pada dadanya dan mengenakan
topeng berbentuk wajah kera berwarna
keperakan. Tidak lama kemudian dari ruangan yang sama keluar lagi beberapa orang berpakaian
sama, diikuti orang-orang berpakaian seba-gaimana layaknya tokoh rimba
persilatan. Dan terakhir, muncul seorang berjubah merah yang juga mengenakan topeng kera
diikuti sekitar dua puluh orang yang bertopeng serupa.
"Hm...," pemuda di atas atap itu menggumam dalam hati.
Dengan pandangannya terus diikuti ke
mana orang-orang itu pergi. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan lain yang masih
memiliki pintu. Dan pintu tebal berukir itu tertutup setelah semuanya berada di
dalam. Tampak dari pintu-pintu lainnya bermunculan orang berbaju merah, orang
bertopeng kera dan orang berpakaian biasa.
Mereka berkumpul di ruangan besar yang kotor berantakan itu. Tak terdengar suara
percakapan sedikit pun. Sedangkan
perhatian pemuda itu langsung tertuju ke arah pintu sebuah kamar yang tertutup
rapat. "Hup!"
Pemuda berbaju rompi putih itu
melentingkan tubuhnya, langsung hinggap di atas atap lain. Ringan sekali
gerakannya, tak terdengar suara sedikit pun. Begitu juga saat mendarat di atap
yang tampak rapuh penuh berlubang itu. Kembali
dirapatkan tubuhnya, dan dipasang matanya tajam-tajam. Juga dikerahkan ilmu
'Pembeda Gerak dan Suara', mencoba mendengarkan suara dari bawah sana.
"Hmmm...," pemuda itu bergumam dalam hati.
Dari sebuah lubang kecil, terlihat
jelas ke dalam ruangan di bawah atap ini.
Tampak orang-orang yang tadi dilihatnya, tengah berkumpul dalam satu ruangan
cukup besar, dan nampak bersih. Pemuda itu tahu kalau ruangan ini biasanya
disebut Balai Sema Agung. Tempat itu biasa digunakan Adipati untuk menerima tamu
atau para pembesar kadipaten. Tampak di atas
singgasana, duduk seorang wanita berwajah can-tik mengenakan baju merah muda.
"Oh...!" pemuda itu terhenyak ketika melihat wajah wanita yang duduk di
singgasana itu.
Lenguhan pemuda itu rupanya terdengar.
Maka orang berjubah merah mengenakan
topeng kera, kontan mengibaskan tangannya ke atap. Tampak sebuah benda bulat
berwarna kemerahan meluncur deras. Secepat itu pula pemuda berbaju rompi di atas
atap melentingkan tubuhnya. Seketika terdengar ledakan dahsyat ketika benda
bulat kemerahan itu menghantam atap hingga jebol
berantakan. Tepat pada saat kaki pemuda berbaju
rompi putih itu mendarat di tanah, dari dalam bangunan istana kadipaten itu
berlompatan orang-orang yang tadi
berkumpul di ruangan pertama. Itu pun masih disusul oleh orang-orang yang
berkumpul di ruangan Balai Sema Agung. Di antara mereka, terlihat seorang wanita
berbaju merah muda yang kini mengenakan topeng wajah kera berwarna hitam pekat
"Rangga." wanita itu mendesis pelahan agak tertahan.
Sementara pemuda berbaju rompi putih
itu merayapi sekitarnya. Begitu cepat dirinya sudah terkepung rapat Tak ada lagi
celah untuk bisa meloloskan diri, kecuali menggempur salah satu sisi. Tapi, itu
pun tampaknya tidak mudah dilakukan. Dan
pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga itu jadi berpikir keras.
Tatapannya tertuju tajam pada wanita
berbaju merah muda dengan pedang tersampir di punggung. Wanita itu
menyembunyikan wajahnya di balik topeng kera berwarna hitam pekat.
*** "Hmmm...," Rangga bergumam pelahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Baru saja Rangga hendak membuka
mulutnya ingin berbicara, mendadak saja wanita bertopeng kera hitam itu
menggerakkan tangannya, memberi isyarat.
Maka seketika itu juga, sekitar sepuluh orang berbaju merah dan bergambar
tengkorak pada dadanya berlompatan menyerang. Tongkat panjang mereka berkelebat
cepat, menimbulkan suara angin menderu bagai badai topan.
Secepat kilat Rangga melompat sambil
melontarkan beberapa pukulan beruntun seraya berkelit menghindari tebasan
tongkat yang datang dari segala penjuru.
Malam yang semula hening sunyi, mendadak pecah oleh suara teriakan dan jerit
melengking sosok-sosok tubuh
bergelimpangan menggelepar tersambar
pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang
mengandung tenaga dalam sempurna.
Hanya dalam tiga gebrakan saja, sepuluh orang itu sudah tergeletak tak bernyawa.
Rangga berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada. Pandangannya tajam
menusuk langsung pada wanita bertopeng kera hitam yang membuatnya sempat
terperanjat tadi, sehingga rencananya untuk mengintai tempat ini jadi
berantakan. Dan kini, harus
menghadapi kepungan yang rapat.
"Tangkap dia hidup-hidup!"
Perintah wanita itu tegas.
Mendengar perintah itu, mereka yang
mengepung Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan tambang dengan bandulan
besi berjumlah tiga pada ujungnya. Hampir semua orang yang mengepung memutarmutar tambang. Sedangkan yang berada di barisan
belakang hanya menunggu sambil menghunus senjata.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah... " ,
Sing! Swing...!
Sekitar dua puluh orang segera
melemparkan tambang yang memiliki tiga bandulan besi bulat Benda itu berputaran
membentuk lingkaran bagai baling-baling.
Tambang-tambang itu meluncur deras melewati
tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Sepertinya tambang-tambang itu bergerak sendiri membentuk simpulan bagai jaring
mengurung pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hmmm. Tidak mungkin aku bisa lolos, tanpa.... Ikh!"
Rangga tidak sempat lagi berpikir,
karena dua puluh orang itu sudah bergerak berputar sambil menarik tambangtambang itu. Rangga tak dapat berpikir banyak lagi, maka secepat itu pula
ditarik senjata pusakanya. Dan begitu terlihat secercah biru memancar, secepat kilat
Rangga berkelebat sambil mengibaskan
pedang pusaka yang memancarkan cahaya biru menyilaukan mata.
"Hiyaaat..!"
Tas! Tas! Cras...!
Semua orang yang ada di sekitar tempat itu terbeliak melihat tambang-tambang
yang hampir menjerat tubuh Pendekar Rajawali Sakti kini terbabat putus. Dan
mereka yang berlarian memutari Pendekar Rajawali Sakti
itu kontan terpental ke belakang.
Ternyata, sambil berlarian berputar,
mereka mengerahkan tenaga untuk menarik tambang agar Pendekar Rajawali Sakti itu
terjerat. "Seraaang...!" Terdengar perintah keras me-lengking tinggi.
Seketika itu juga kedamaian angkasa
dipecahkan oleh teriakan membahana,
disusul berlompatannya orang-orang yang mengepung Pendekar Rajawali Sakti.
Berbagai bentuk senjata berkelebatan cepat mengarah ke tubuh pemuda berbaju
rompi putih itu. Namun yang dihadapi kali ini adalah seorang pendekar digdaya
yang kepandaiannya sukar diukur.
Rangga berkelebatan cepat mempergunakan jurus dari rangkaian lima jurus
'Rajawali Sakti'. Hanya dengan lima jurus yang dikombinasi-kan itu, Pendekar
Rajawali Sakti bagai seekor singa lapar mendapat santapan domba-domba gemuk.
Terlebih lagi dengan Pedang Rajawali Sakti terhunus di tangan. Rangga bagai
sosok malaikat maut yang tengah mencabut nyawa manusia-manusia yang lupa akan
kodrat dan kewajibannya di bumi ini.
Sebentar saja sudah tidak terhitung
tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Udara malam yang semula segar, kini
berubah tidak sedap, Angin yang berhembus kencang menyebarkan bau anyir darah
yang menggenang dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi.
"Phuih! Benar-benar tidak punya otak!"
Dengus Rangga menggeram.
Orang-orang itu memang seperti tidak
mengenal rasa takut, meskipun kematian membayangi. Mereka tidak peduli walau
sudah tidak terhitung lagi yang
bergelimpangan tak bernyawa. Bahkan terus merangsek ganas, mencoba melumpuhkan
Pendekar Rajawali Sakti yang sudah jelas memiliki kemampuan jauh di atas rata

Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rata para pengeroyoknya.
"Gusti Ayu.... Kalau didiamkan terus, bisa habis orang-orang kita," kata orang
berjubah yang mengenakan topeng kera
keperakan. "Hmmm...," wanita berbaju merah muda dengan wajah tertutup topeng kera hitam itu
hanya bergumam saja.
Sementara Rangga terus bertarung
menghadapi keroyokan orang-orang nekad tanpa kenal takut Sedangkan di tempat
lain, ada sekitar tiga puluh orang yang berdiri memperhatikan jalannya
pertarungan itu dengan berbagai macam perasaan.
*** 8 Orang-orang yang mengeroyok Rangga jadi semakin berantakan ketika tiba-tiba saja
muncul dua orang yang langsung terjun dalam kancah pertempuran. Mereka tidak
lain adalah Nila Komala dan Ki Garatala.
Kemunculan dua orang itu membuat mereka yang sejak tadi memperhatikan di lain
tempat menjadi geram. Terlebih lagi wanita berbaju merah muda yang mengenakan
topeng kera berwarna hitam. Gerahamnya
bergemeletuk menahan marah menyaksikan anak buahnya bertumbangan tak mampu
menghadapi gempuran tiga orang
berkepandaian tinggi.
"Kalian semua, maju!" Perintah wanita itu sengit.
"Gusti Ayu...,"
laki-laki berjubah
merah mengenakan topeng kera perak
tersentak kaget menerima perintah itu.
Sedangkan yang lainnya langsung menatap padanya.
"Tunggu apa lagi"! Bunuh monyet-monyet keparat itu!" geram wanita bertopeng kera
itu semakin sengit
Tanpa menunggu perintah untuk ketiga
kalinya, mereka segera berlompatan
membantu yang lain. Tinggal orang berjubah merah yang masih menemani wanita itu.
Tapi rupanya mereka juga tidak dapat berbuat banyak. Terlebih lagi menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Garatala yang
bertarung menggunakan potongan seruling perak.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit. Jerit dan pekik kematian terdengar
membahana di antara teriakan-teriakan pertempuran dan denting senjata beradu.
Suasana malam yang dingin ini berubah
menjadi hangat oleh kobaran pertempuran di halaman depan Istana Kadipaten
Panjawi. Dan suasana pertempuran semakin meningkat hangat ketika tiba-tiba saja dari
pintu gerbang bermunculan orang berseragam
prajurit kadipaten ditambah beberapa orang berpakaian biasa. Mereka langsung
meluruk masuk dalam kancah pertarungan.
Hal ini membuat Rangga sedikit longgar, karena lawan-lawannya jadi terpecah.
Pertempuran massal pun tak dapat dihindari lagi. Jerit melengking ditingkahi
teriakan pertempuran dan denting senjata beradu semakin gencar terdengar memecah
udara malam. Pada saat itu, Rangga melihat dua orang yang sejak tadi tidak ikut
bertempur mencoba melarikan diri.
"Hup! Hiyaaa...!"
Hanya sekali lesatan saja, Pendekar
Rajawali Sakti sudah menghadang dua orang bertopeng kera itu. Dan mereka
terkejut ketika tiba-tiba di depannya berdiri
Pendekar Rajawali Sakti bersikap menghadang angker. Pemuda berbaju rompi putih
itu menyilangkan pedangnya di depan dada.
"Kalian tidak bisa pergi begitu saja!"
dingin nada suara Rangga.
"Phuih!" Wanita bertopeng kera hitam menyemburkan ludahnya.
"Biar aku yang menghadapinya. Sebaiknya, Gusti Ayu segera pergi. Selamatkan
potongan seruling perak itu," kata orang berjubah merah sambil membuka topeng kera yang menutupi wajahnya.
Tampak seraut wajah tua terpampang di balik topeng kera keperakan itu. Dengan
mengerahkan tenaga dalam yang sangat
tinggi, orang tua berjubah merah itu
melemparkan topeng perak ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya se-dikit
mengibaskan pedangnya, Rangga berhasil menghalau topeng perak itu hingga
terbelah menjadi dua bagian.
Pada saat yang bersamaan, orang tua
berjubah merah itu melompat menerjang sambil mengayunkan tongkat putih yang
bagian atasnya berbentuk kepala tengkorak manusia berwarna merah. Dan pada saat
yang sama, wanita bertopeng kera warna hitam itu melesat kabur, melompat ke atas
atap. "Rangga, kejar dia..!" seru Ki Garatala sambil melentingkan tubuhnya menghadang
orang tua berjubah merah.
"Setan keparat..!" geram orang tua berjubah merah itu mengumpat
Kalau saja tidak cepat-cepat melompat mundur, dada orang itu pasti terbelah
tersambar potongan seruling perak Ki Garatala. Dan Rangga yang diberi
kesempatan, tidak menyia-nyiakannya. Secepat kilat tubuhnya melesat mengejar
orang bertopeng kera hitam. Sedangkan Ki Garatala sudah menyerang laki-laki
berjubah merah itu menggunakan jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya.
Sementara pertarungan di tempat lain masih terus berlangsung sengit Korban
semakin banyak berjatuhan, namun pertempuran terus berlangsung bagai tidak
akan berhenti. "Sudah kuduga! Pasti kau biang keladi semua ini, Tengkorak Merah!" Dengus Ki
Garatala tanpa menghentikan serangan-serangannya.
"Phuih! Aku tidak akan berhenti sebelum kau dan murid keparatmu musnah dari muka
bumi!" Geram laki-laki tua berjubah merah yang ternyata pemimpin Partai
Tengkorak Merah, dan juga dikenal
sebagai si Tengkorak Merah. Entah siapa nama aslinya.
Dia sendiri sudah tidak ingat lagi nama sebenarnya.
"Sudah waktunya kau kukirim ke neraka, Tengkorak Merah!"
"Kita buktikan, siapa yang lebih dulu ter-bang ke neraka malam ini! Hiyaaat..!"
Tengkorak Merah memperhebat seranganserangannya. Segera dikerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat mematikan.
Sedangkan Ki Garatala melayaninya dengan mengerahkan jurus-jurus yang tidak
kalah dahsyatnya. Pertarungan dua orang yang selalu bermusuhan itu berlangsung
sengit Jurus-jurus yang digunakan pun sudah
mencapai tingkat yang tinggi, sehingga gerakan-gerakannya sukar diikuti
pandangan mata biasa. Hanya dua bayangan berkelebatan sating sambar demikian
cepatnya. "Pecah kepalamu, hiyaaat..!" Tiba-tiba Ki Garatala berseru keras.
Bagai kilat, tangan kiri Ki Garatala melontarkan satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi ke kepala Tengkorak Merah.
"Uts!"
Buru-buru Tengkorak Merah merundukkan kepalanya, menghindari pukulan itu. Tapi
tanpa diduga sama sekali, Ki Garatala menarik cepat tangan kirinya. Dan dengan
tubuh memutar, dilayangkan satu tendangan keras menggeledek. Si Tengkorak Merah
terperanjat bergegas ditarik tubuhnya ke belakang, namun terlambat Akibatnya,
tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu berhasil mendarat di perutnya.
"Heghk...!"
Tengkorak Merah melenguh panjang.
Pada saat tubuh si Tengkorak Merah
terhuyung ke belakang, secepat kilat Ki Garatala melemparkan seruling perak yang
hanya sepotong itu. Tak dapat dihindari lagi. Seruling perak itu menghunjam
dalam di dada si Tengkorak Merah.
"Aaa...!" Tengkorak Merah menjerit melengking tinggi.
"Hiyaaat..!"
Ki Garatala melompat deras sambil
melontar-kan dua pukulan beruntun. Kembali Tengkorak Merah menjerit keras, dan
tubuhnya langsung terbanting keras ke tanah. Ki Garatala memburu. Segera
ditekannya dada Tengkorak Merah dengan lututnya. Beberapa kali dihunjamkan
pukulan bertenaga dalam tinggi ke wajah dan dada laki-laki berjubah merah itu,
hingga Tengkorak Merah terkulai tak
bergerak lagi. "Hih!" Ki Garatala mencabut seruling
perak yang tertanam di dada Tengkorak Merah, kemudian melompat berdiri
Dipandanginya tubuh Tengkorak Merah
yang tergeletak tak bernyawa lagi. Darah bersimbah dari kepala, dada, dan bagian
tubuh lainnya. Ki Garatala memutar
tubuhnya memandangi pertempuran yang masih berlangsung. Tampak jelas kalau
orang-orang dari Partai Tengkorak dan tokoh-tokoh rimba persilatan yang
bergabung, semakin terdesak kewalahan. Bahkan tidak sedikit yang melarikan diri.
"Nila...! Ikut aku!" Seru Ki Garatala.
Bersamaan dengan melesatnya Nila Komala keluar dari arena pertarungan, Ki
Garatala melompat ke atas atap. Seketika tubuhnya melenting lenyap ditelan
kegelapan malam.
Nila Komala mengikuti kepergian laki-laki tua bertubuh kecil itu. Sejenak gadis
itu sempat melirik ke arah pertarungan. Dan tampaknya para prajurit kadipaten
dan rakyat sudah bisa menguasai keadaan. Nila Komala
terus berlompatan mempergunakan
ilmu meringankan tubuhnya mengikuti Ki Garatala.
*** Sementara itu di daerah Timur Kadipaten Panjawi, tepatnya di Kaki Lereng Bukit
Paderesan, dua bayangan berkelebat cepat berkejaran. Mereka adalah wanita
bertopeng kera berwarna hitam dan Pendekar Rajawali Sakti. Jelas ter-lihat kalau
jarak mereka semakin dekat saja. Dan pada saat yang tepat, Pendekar Rajawali Sakti
melentingkan tubuhnya, berputaran di udara beberapa kali melewati kepala wanita
berbaju merah muda mengenakan topeng kera hitam.
"Eh!" wanita bertopeng kera hitam ini ter-perangah begitu tiba-tiba di depannya
sudah menghadang Pendekar Rajawali Sakti.
"Mau lari ke mana kau, perempuan
iblis!" Dengus Rangga ketus.
"Phuih!" wanita bertopeng kera hitam itu menyemburkan ludahnya.
"Tidak ada gunanya menyembunyikan wajah di balik topeng jelek, Mayang," ujar
Rangga tetap ketus bernada dingin.
Wanita bertopeng itu terhenyak,
melompat mundur dua tindak. Kemudian, dibuka topengnya yang melindungi wajah.
Tampak seraut wajah cantik terpampang di balik topeng kera berwarna hitam pekat
itu. Wajah yang amat dikenal Rangga. Wajah yang dulu sempat dikagumi, tapi kini
sangat dibencinya. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Bangkitnya
Pandan Wangi). "Sayang sekali, kau tidak pernah sadar.
Bahkan semakin mengotori tangan dan
hatimu!" kata Rangga dingin.
"Apa pedulimu" Aku bebas melakukan apa saja. Kau bukan apa-apaku lagi!" Balas
Mayang ketus. "Itu berarti kau akan selalu berhadapan denganku, Mayang."
"Kau pikir aku takut.."! Kau salah
kalau berpikir seperti itu, Kakang. Aku akan melakukan apa saja agar bisa
berhadapan denganmu. Aku ingin mati di tanganmu!" mantap nada suara Mayang.
"Gila...!" desis Rangga.
Rangga memang membenci gadis ini. Tapi bukan membenci orangnya, melainkan
tingkah dan hatinya yang selalu diliputi perasaan dengki. Rangga sengaja
mengusir Mayang dari Karang Setra dengan harapan gadis ini mau menyadari
kekeliruannya. Bagaimanapun juga, Mayang pernah bertunangan dengannya.
Apalagi gadis itu juga murid tunggal
bibinya. Mereka pun sudah kenal sejak masih kecil, tapi suatu malapetaka besar
telah memisahkan mereka. Dan Rangga tahu betul seluk beluk keluarga Mayang, yang
sebenarnya bukan orang asing lagi. Apalagi juga dari keluarga yang cukup
terpandang. "Mayang, serahkan potongan seruling perak itu padaku. Kau tidak berhak
memilikinya. Lagi pula, itu bukan barang milikmu," kata Rangga mencoba lembut
membujuk. "Kau boleh merebutnya dari tanganku, Kakang!" Tantang Mayang.
"Tidak, Mayang. Aku tidak mungkin melakukan kekerasan padamu," kata Rangga
lembut. "Kenapa" Takut.." Atau Pandan Wangi melarangmu?" Mayang tersenyum sinis.
"Kau adikku, Mayang. Serahkan saja potongan seruling perak itu. Tidak ada
gunanya benda itu bagimu," bujuk Rangga.
"Tidak ada gunanya katamu..." Heh"
Dunia persilatan akan tunduk padaku dengan seruling perak di tanganku. Kau
sendiri tidak akan mampu menghadapiku, Kakang."
"Percuma, Mayang. Kau tetap tidak akan bisa menggunakan seruling yang hanya
sepotong itu."
"Kenapa tidak" Aku bisa memperoleh yang sepotong lagi. Dan aku pasti tahu di
mana potongan seruling itu berada!"
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mayang memang sangat keras kepala.
Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau Mayang bertindak demikian hanya karena
pelampiasan kekecewaan dan kekesalan
hatinya saja, karena gagal memperoleh cinta pemuda di depannya itu. Dan hati
Rangga sendiri sudah tertutup bagi seorang gadis bernama Mayang. Namun demikian,
Rangga tidak akan mengambil tindakan keras pada gadis ini.
"Dengar, Mayang...."
Belum lagi selesai ucapan Rangga, tiba-tiba muncul Ki Garatala diikuti Nila
Komala. Mereka langsung menghampiri
Rangga, dan berdiri mengapit Pendekar Rajawali Sakti itu. Tatapan Ki Garatala
langsung tertumbuk pada potongan seruling perak yang terselip di sabuk Mayang.
"Bagus, kalian datang! Ayo keroyok aku!
Rebutlah barang rongsokan ini!" Tantang Mayang sambil mengambil seruling perak
dari sabuk yang membelit pinggangnya.
"Rupanya kaulah pencuri cilik itu!"
dengus Ki Garatala.
"Memfitnah ayahku!" geram Nila Komala.
"Ha ha ha...! Siapa bilang memfitnah ayahmu" Aku mendapatkan barang rongsokan
ini karena kebodohan ayahmu, gadis manja!"
"Keparat..!" geram Nila Komala.
"Benda ini kudapatkan di tempat
penyimpanan senjata, di istana kadipaten yang telah runtuh itu. Karena benda itu
sudah tak bertuan lagi, maka aku berhak memilikinya," sambung Mayang seenaknya.
Gadis itu tidak bisa menahan kemarahannya, mendengar ayahnya dihina dan
direndahkan se-demikian rupa. Bagai seekor burung elang, Nila Komala melompat
sambil mencabut pedangnya.
"Mampus kau, keparat! Hiyaaat..!"
"Nila...!" seru Rangga hendak mencegah.
Tapi Nila Komala sudah tidak bisa lagi dicegah. Lompatnya bagai kijang,
menyerang Mayang. Dan pertarungan dua gadis itu tidak bisa dielakkan lagi. Ki
Garatala yang ingin membantu Nila Komala, menjadi urung, karena Rangga sudah
keburu mencekal tangan laki-laki tua bertubuh kecil itu.
"Kenapa tidak kau hajar saja pencuri cilik edan itu, Rangga?" Dengus Ki
Garatala. Rangga tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Memang sulit
untuk menjelaskannya. Perhatiannya kini tertumpah pada pertarungan antara Mayang
melawan Nila Komala.
"Aku harus merebut potongan seruling
perak itu!" Dengus Ki Garatala.
"Ki...!"
Rangga terkejut ketika tiba-tiba Ki
Garatala menghentakkan tangannya yang dicekal Pendekar Rajawali Sakti. Dan
secepat itu pula tubuhnya melompat
membantu Nila Komala, mengeroyok Mayang.
Sementara Rangga tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Sepasang bola matanya
berputar mengamati pertarungan tidak
seimbang itu. Jelas, kepandaian Mayang berada di bawah Ki Garatala. Kalau


Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaian Nila Komala, Rangga sudah bisa mengukur. Walaupun kepandaian
Mayang berada di atas putri Adipati Panjawi itu, tapi untuk menghadapi dua orang
berkepandaian cukup tinggi, Mayang tidak akan mampu menghadapinya. Kekhawatiran
Rangga terbukti. Dalam beberapa jurus saja,
Mayang sudah kelihatan terdesak.
"Apa yang harus kulakukan...?" Rangga jadi kebingungan sendiri. Perang batin
terjadi dalam hatinya.
Bagi seorang pendekar, lebih baik
bertarung mempergunakan ilmu olah
kanuragan dan kesaktian dari pada bertarung melawan batinnya sendiri. Dan itu
yang kini dialami Rangga. Sukar baginya memenangkan pertarungan batin. Terlebih
lagi saat dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit Sementara itu Mayang
semakin terdesak, dan tidak mampu lagi membendung serangan-serangan Ki Garatala.
Belum lagi dia juga harus waspada pada Nila Komala
yang selalu menyerangnya dari arah yang sulit.
"Uh! Aku akan berdosa seumur hidup kalau Mayang sampai tewas di depan
mataku!" Dengus Rangga.
'Tapi..., aku tidak boleh kelihatan
memihak padanya di depan Ki Garatala dan Nila Komala. Huuuh...!"
Rangga mencari jalan agar bisa
menyelamatkan Mayang, tapi juga tidak menyolok kalau tengah membela gadis itu di
depan Ki Garatala dan Nila Komala. Dia tidak ingin dikatakan sebagai pendekar
plin-plan yang membiarkan seorang pencuri meloloskan diri. Rangga benar-benar
kebingungan. Otaknya terus berputar mencari jalan keluar yang terbaik.
*** "Tidak ada jalan lain. Aku harus
meminta bantuan Rajawali Putih!" gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian
bersiulan nyaring bernada sangat aneh terdengar di telinga. Tiga kali mulutnya
bersiul panjang melengking tinggi, sambil tidak lepas memperhatikan pertarungan
itu. Rangga semakin cemas, karena Mayang sudah demikian terdesak. Entah sudah berapa
kali pukulan bersarang di tubuhnya. Tapi gadis itu masih tetap belum mengalah,
bahkan tidak peduli seandainya mati se-kalipun.
Dan ini memang diketahui Rangga. Mayang
memang mengharapkan mati di depan matanya. Sebab, Rangga memang tidak pernah mau
menjatuhkan tangan pada gadis itu. Maka dengan sengaja Mayang selalu mencari
ulah agar bisa mati di depan Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki yang dicintai,
sekaligus dibencinya.
"Ayo..., Cepatlah, Rajawali Putih,"
desis Rangga tidak sabar.
Sementara itu Mayang semakin kewalahan saja. Bahkan sepertinya tidak mampu lagi
balas menyerang. Gadis itu hanya bisa berkelit dan menghindar sebisanya.
Sedangkan Rangga beberapa kali mendongak ke atas, menunggu kedatangan Rajawali
Putih tunggangannya.
Pendekar Rajawali
Sakti itu tersenyum melihat titik
kehitaman mengambang di angkasa. Semakin lama, titik itu semakin jelas terlihat
"Khraghk...!"
"Rajawali Putih! Bawa Mayang ke tempat yang aman. Cepat..!" Rangga mempergunakan
ilmu pemindah suara.
'Khraghk..!"
"Bagus, ternyata kau bisa mengenalinya.
Hup! Hiyaaa...!"
Secepat Rajawali Putih menukik, secepat kilat pula Rangga melompat. Pada saat
itu Mayang terpekak, terkena pukulan keras di bahu kanannya. Akibatnya, tangan
kanan yang memegang potongan seruling perak terangkat ke atas. Maka kesempatan
ini tidak disia-siakan Rangga. Cepat sekali ditepak pergelangan tangan kanan
gadis itu. "Akh!" Mayang terpekik keras.
Seruling perak terlontar jauh ke udara.
Tepat pada saat Rangga berhasil menangkap seruling perak itu, Rajawali Putih
menukik Lang-sung disambarnya tubuh Mayang dengan cakarnya. Bagai kilat rajawali
raksasa itu membumbung tinggi ke angkasa membawa
Mayang pada cengkeraman cakarnya. Sementara Rangga sudah mendarat manis di
tanah. "Sial, dia lolos...!" rutuk Ki Garatala seraya memandang ke angkasa.
"Apa, Ki?" Rangga pura-pura terkejut.
"Kau lihat itu, Rangga!" Ki Garatala menunjuk
Rajawali Putih yang sudah
membumbung tinggi di angkasa.
"Apa itu?" Tanya Rangga pura-pura.
"Aku tidak tahu Kelihatannya seperti seekor burung raksasa," sahut Ki Garatala.
Rangga tersenyum, tapi buru-buru
menarik kembali senyumnya. Pendekar
Rajawali Sakti itu menghampiri Ki Garatala dan menyerahkan potongan seruling
perak di tangannya. Laki-laki kecil tua itu menerima seruling perak. Langsung
diselipkan benda itu di pinggang, bersebelahan dengan potongan satunya lagi.
Sementara Nila Komala menghampiri dengan napas masih tersengal.
"Apa yang akan kau lakukan dengan seruling perak itu, Ki?" Tanya Nila Komala.
"Mengembalikan pada pemiliknya," sahut Ki Garatala.
"Bukankah kau pemiliknya?" Sergah Rangga.
"Sekarang sudah jadi milik muridku."
Ki Garatala menatap Nila Komala yang
berdiri di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Laki-laki tua bertubuh kecil itu menggamit tangan Nila. Pandangannya
lurus, penuh arti. Sedangkan Nila Komala menatap Rangga.
"Kau ikut bersamaku, Cah Ayu," pinta Ki Garatala.
"Apa..."!" Nila Komala terkejut.
"Kau akan menjadi muridku yang kedua.
Itu kalau kau bersedia," kata Ki Garatala lagi.
Nila Komala menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang ditatap hanya
tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Kemudian gadis itu menoleh pada Ki
Garatala, lalu mengangguk diiringi
senyuman manis.
"Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Ki Garatala gembira menerima kesediaan Nila
Komala menjadi muridnya.
Setelah menjabat
tangan Rangga, Ki
Garatala bergegas melangkah pergi sambil menarik tangan Nila Komala. Gadis itu
tidak sempat lagi mengucapkan sesuatu pada pemuda berbaju rompi putih itu.
Langkahnya setengah terseret, karena tangannya
dicekal laki-laki tua bertubuh kecil yang aneh itu. Sedangkan Rangga
memandanginya dengan bibir mengulas senyum.
"Hmmm..., aku harus secepatnya menemui
Mayang. Mudah-mudahan tidak terluka
parah," gumam Rangga. Yakin pada kemampuan Rajawali Putihnya.
Semoga saja Mayang sadar akan kesalahan yang telah berulang kali dilakukannya
itu," desah Rangga lagi.
Kemudian bagai seekor burung rajawali, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat
bagai terbang. Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan
kelebatan hutan. Sementara fajar sudah menyingsing. Matahari muncul dari balik
bukit, memancarkan sinarnya yang hangat Tak lama kemudian, terdengar alunan
seruling terbawa angin pagi yang berhembus lembut menyapu embun. Alunan merdu
yang menghilang dari udara dalam beberapa hari ini, kini muncul kembali. Alunan
seruling itu, sekarang terdengar lembut dan merdu.
Tidak ada lagi nada sumbang pada alunan suaranya.
TAMAT http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Dedig
Tiga Naga Sakti 19 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Medali Naga 15

Cari Blog Ini