Ceritasilat Novel Online

Warisan Berdarah 2

Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah Bagian 2


"Kau yang membuatku keluar, Rangga! Untuk
apa kau membawaku ke sini" Untuk orang tua tidak
tahu adat ini..."!" bentak Dewi Iblis.
"Hm.... Rupanya kau tidak pernah mau mendengar kata-kataku lagi, Dewi Iblis!" kata-kata Rangga bernada setengah
mengancam. Dewi Iblis terdiam, namun sorot matanya tetap
tajam penuh kemarahan. Kedatangannya ke Lereng
Bukit Mangun ini memang atas permintaan Pendekar
Rajawali Sakti. Memang mereka pernah bertemu sebelumnya dalam suatu pertarungan yang panjang dan
melelahkan. Pemuda berbaju rompi putih itu memang
berhasil mengalahkannya, tapi tidak membunuhnya.
Bahkan memberi kesempatan untuk memperbaiki segala tindakannya. Dewi Iblis berjanji untuk tidak kembali terjun ke dunia
persilatan lalu menyepi di Puncak Bukit Mangun ini. Tidak heran kalau Rangga
bisa cepat menemuinya.
"Aku tahu, orang yang selama ini membuat kekacauan di Desa Kali Wungu bukan dirimu. Kuketahui
itu dari bekas pukulan aji 'Mata Kilat' yang belum
sempurna. Maka itulah sebabnya kuminta kau ke sini
agar lebih jelas persoalannya. Bukan untuk mengumbar nafsu!" agak keras nada suara Rangga.
"Hhh...! Apa keinginanmu sebenarnya?" dengus Dewi Iblis mulai lunak setelah
ingat kalau dirinya tidak akan unggul menghadapi pemuda itu.
"Hanya pernyataan mu!" tegas Rangga.
"Apa yang harus kukatakan?"
"Tentang orang yang memiliki ajian mu."
"Aku tidak tahu!" dengus Dewi Iblis.
"Dia bukan muridmu?" Rangga menatap dalamdalam wanita tua bungkuk berjubah merah itu.
"Aku tidak pernah mempunyai murid seorang
pun!" lantang dan cukup tegas jawaban Dewi Iblis.
Rangga menggeser kakinya ke samping, lalu
menoleh pada Ki Murad yang hanya diam saja. Semua
pertemuan ini memang sudah direncanakan Pendekar
Rajawali Sakti itu, dan Ki Murad hanya menurut saja.
Sungguh tidak disangka kalau Dewi Iblis yang dulu
pernah menggemparkan dunia persilatan, kini tunduk
kepada seorang pemuda yang usianya jauh berbeda.
Dunia persilatan memang aneh, dan sering tidak mudah dimengerti akal sehat manusia.
"Rangga! Aku bersumpah bahwa aku tidak
mempunyai murid seorang pun. Tidak pernah sekalipun aku mengingkari janji untuk kembali terjun dalam rimba persilatan. Meskipun
selama hidupku selalu di lumuri darah dan dosa, tapi pantang melanggar janji!"
tegas kata-kata Dewi Iblis.
"Hm.... Aku percaya padamu, Dewi Iblis," gumam Rangga pelan.
"Akan kubuktikan, Rangga!" janji Dewi Iblis tegas.
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Memenggal kepala bangsat itu, dan menyerahkannya padamu!" tegas jawaban Dewi Iblis.
Rangga melirik Ki Murad. Laki-laki tua berjubah putih itu menganggukkan kepalanya sedikit. Pendekar Rajawali Sakti kembali berpaling memandang
pada perempuan tua bungkuk berjubah merah di depannya. "Baiklah. Kuterima tawaranmu. Jika memang
benar dia bukan salah seorang suruhanmu, kau bisa
bebas malang melintang di dalam rimba persilatan.
Tapi jika kudengar kau membuat keonaran, maka tidak segan-segan kupenggal kepalamu!" mantap nada suara Rangga kali ini.
"Huh! Aku tidak perlu jaminan mu, Rangga!"
dengus Dewi Iblis.
Rangga tersenyum kecut. Memang keras watak
Dewi Iblis, karena sudah terbiasa malang melintang di dalam rimba persilatan.
Terlebih lagi perempuan tua
ini masuk dalam golongan hitam. Sudah menjadi watak tokoh golongan hitam yang tidak pernah lunak.
Tapi Rangga kagum juga kepada perempuan tua itu,
karena masih ingin memperbaiki sisa hidupnya. Dan
ini kesempatan baik bagi Dewi Iblis untuk membuktikan keteguhan pendiriannya yang tidak mengingkari
janji pada Pendekar Rajawali Sakti.
*** Rangga memandangi kepergian Dewi Iblis yang
menuju Desa Kali Wungu. Perempuan tua itu bertekad
untuk membekuk orang yang telah membuatnya terpaksa keluar lagi dari pengasingan nya. Sementara Ki Murad hanya diam saja. Sama
sekali tidak dimengerti
semua rencana Pendekar Rajawali Sakti itu. Baginya
kemunculan Dewi Iblis akan menambah rumit persoalan saja. Perempuan tua itu sudah sangat terkenal segala macam tindakan
kekejamannya. "Masih ku sangsi kan kejujuran nya, Rangga,"
ujar Ki Murad. "Lihat saja nanti," sahut Rangga seraya mengayunkan kakinya melangkah pergi.
Ki Murad mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Memang masih belum bisa dipahami maksud Rangga sebenarnya. Terlebih lagi dengan melibatkan seorang tokoh hitam yang sudah
terkenal kekejamannya. Meskipun Rangga sudah menjamin kalau Dewi Iblis sudah
ditaklukkan nya dan akan melupakan masa lalunya,
tapi Ki Murad masih juga khawatir. Memang besar resikonya. Bahkan keselamatan penduduk menjadi taruhannya. Namun Ki Murad hanya bisa diam saja. Dia
terlalu mempercayai kemampuan Pendekar Rajawali
Sakti. "Kalau ternyata dia sendiri pelakunya, Rangga?"
tanya Ki Murad.
"Tidak ada ampun lagi baginya," tegas Rangga.
"Hhh,..! Aku yakin, orang itu menggunakan aji
'Mata Kilat'. Hanya saja jurus-jurusnya tidak ada yang sama dengan Dewi Iblis,"
ucapan Ki Murad bernada bergumam, seakan-akan sedang berbicara kepada dirinya sendiri. Rangga menghentikan ayunan kakinya. Ditatap
nya Ki Murad dalam-dalam. Baru kali ini Ki Murad
berkata begitu yang sepertinya tidak yakin kepada dirinya sendiri. Sedangkan
yang ditatap hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelahan lahan.
"Maaf, Rangga. Kejadian ini membuatku serasa
gila!" ujar Ki Murad.
"Sudahlah," desah Rangga kembali melanjutkan langkahnya.
Namun baru saja mereka berjalan beberapa
tindak, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat. Tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang wanita berbaju merah dan bertudung lebar menutupi hampir seluruh kepalanya. Rangga dan Ki Murad
langsung menghentikan langkahnya.
"Kau sudah terlalu jauh mencampuri urusanku, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus wanita itu dingin.
"Aku selalu mencampuri setiap kejahatan!" sahut Rangga mantap.
"Kejahatan" Ha ha ha...!" wanita itu tertawa terbahak-bahak.
Rangga menggeser kakinya sedikit ke samping,
seraya memberi isyarat pada Ki Murad untuk menyingkir. Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara wanita berbaju
merah yang kepalanya tertutup tudung bambu, masih
tertawa tergelak-gelak.
"Kau bicara tentang kejahatan, Pendekar Rajawali Sakti. Tanyakan pada tua bangka itu. Aku atau
dia yang melakukan kejahatan"!" ujung tongkat wanita itu mengarah pada Ki Murad.
"Jangan memutarbalikkan kenyataan, perempuan iblis!" geram Ki Murad sengit.
"Ha ha ha...! Wajahmu pucat sekali, Ki Murad.
Apa kau takut jika rahasiamu terbongkar?" ejek wanita itu ketus.
"Phuih! Kau coba-coba memutar lidah!" dengus Ki Murad.
"Kau lihat, Pendekar Rajawali Sakti. Sikapnya
seperti kucing kepergok nyolong ikan," sinis nada suara wanita itu.
"Kubunuh kau, keparat...!" geram Ki Murad.
"Tahan!" bentak Rangga begitu Ki Murad sudah bersiap-siap hendak menyerang.
Laki-laki tua berjubah putih itu mengurungkan
niatnya yang ingin menyerang perempuan berbaju merah itu. Namun tatapan matanya begitu tajam menusuk. Napasnya mendengus-dengus bagai seekor kuda
yang dipacu cepat. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram. "Ni sanak, bisa kau jelaskan persoalan yang sebenarnya?" pinta Rangga, lunak nada suaranya.
Wanita bertudung itu tidak langsung menjawab. Dipalingkan mukanya ke arah Ki Murad. Dari balik tudung lebar ditatapnya laki-laki tua itu, kemudian kembali berpaling pada
Pendekar Rajawali Sakti. Agak lama juga dia berdiam diri. Mungkin sedang mempertimbangkan permintaan pemuda yang selalu memakai
baju rompi putih itu.
"Ikut aku, tapi dia jangan!" wanita itu menunjuk pada Ki Murad.
Tanpa menunggu jawaban lagi, wanita bertudung itu melesat cepat bagai kilat. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
tertelan kelebatan hutan.
Sejenak Rangga menatap Ki Murad, kemudian melompat mengikuti arah kepergian wanita bertudung itu.
"Rangga, tunggu...!" seru Ki Murad cepat-cepat Rangga yang baru saja melompat,
langsung berhenti.
Dia berbalik menghadap laki-laki tua itu. Ki Murad
melangkah menghampiri.
"Dia akan menjebakmu, Rangga," ujar Ki Murad memperingatkan.
"Kembalilah ke penginapan, Ki. Aku menyusul
nanti," kata Rangga seraya berbalik. "Rangga...!"
Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu sudah lebih
dulu melesat mengejar Wanita bertudung bambu yang
sudah tidak terlihat lagi. Sementara Ki Murad hanya
berdiri terpaku memandang arah kepergian Rangga.
Laki-laki tua itu menarik napas panjang, kemudian
melangkah pelan menuju Desa Kali Wungu. Sejak kediamannya terbakar habis, dia memang tinggal di penginapan milik sahabatnya di Desa Kali Wungu.
"Hhh.... Mudah-mudahan Rangga tidak terpengaruh," desah Ki Murad terus berjalan.
*** Rangga berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya bergerak, sehingga yang
terlihat hanya bayangan putih berkelebatan menyelinap di antara pepohonan. Dalam waktu tidak berapa
lama saja, wanita bertudung itu sudah terlihat. Larinya juga demikian cepat
menembus lebatnya hutan di Lereng Bukit Mangun ini.
Kening Rangga agak berkerut juga saat mengetahui arah yang dituju wanita berbaju merah menyala
itu. Dikenali betul arah itu, yang ternyata menuju
Puncak Bukit Mangun sebelah Selatan. Dan itu berarti ke tempat Dewi Iblis
mengasingkan diri selama ini. Tapi Rangga terus mengikuti sambil menjaga jarak. Dan
pandangannya tidak berpaling sedikit pun ke arah wanita yang terus berlari cepat di depannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan larinya begitu melihat wanita itu juga berhenti tepat di tepi sebuah sungai kecil
yang mengalir tenang dan jernih. Rangga mengayunkan kakinya menghampiri. Dikenali betul bahwa ini tempat tinggal Dewi Iblis selama dalam pengasingan
dirinya. Tampak di seberang sungai, sebuah pondok kecil berdiri di antara
bebatuan dan pohon jarak. Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti setelah jaraknya tinggal
beberapa langkah lagi di belakang wanita itu.
"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Rang-ga.
Wanita bertudung itu tidak langsung menjawab, tapi hanya memutar tubuhnya menghadap pada
Pendekar Rajawali Sakti. Pelahan kepalanya terangkat, dan pelahan pula tangannya
terangkat. Segera dibu-kanya tudung yang selama ini menutupi kepalanya.
Rangga melangkah mundur tiga tindak. Hampir tidak
dipercaya dengan apa yang dilihatnya. Di balik tudung besar itu terdapat seraut
wajah cantik, dihiasi sepasang bola mata indah bercahaya bening.
"Kau tentu tidak mengenal diriku, tapi aku
mengenalmu lebih dari yang kau duga, Rangga," lembut sekali suara wanita itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga.
"Apakah itu penting?" wanita itu malah balik bertanya.
"Jika ingin membuktikan bahwa dirimu tidak
bersalah, kurasa perlu kau sebutkan nama dan alasanmu berbuat seperti ini," kata Rangga mantap.
"Aku selalu bertahan untuk tidak memperkenalkan diri pada siapa pun sebelum si bangsat tua
bangka itu mati...!" agak tertekan nada suara wanita itu. "Tapi karena kau sudah
melibatkan orang yang paling ku hormati, maka tidak ada jalan lain bagiku
untuk menyelamatkan orang-orang yang aku kasihi.
Orang-orang yang kuhormati melebihi rasa cinta dan
hormat ku pada diriku sendiri."
"Apa hubungannya kau dengan Dewi Iblis?"
Rangga langsung bisa menebak arah tujuan pembicaraan wanita berbaju merah menyala itu.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Diputar
tubuhnya, lalu berjalan menyusuri sungai kecil ini.
Rangga mengikuti sambil tetap menjaga jarak. Mereka
berjalan pelahan-lahan tanpa mengucapkan sepatah
kata pun, kemudian berhenti setelah sampai pada sebuah jembatan dari seutas tambang yang terikat di
pohon untuk menyeberangi sungai kecil ini. Memang
tidak pantas jika disebut jembatan. Tapi memang
hanya itulah yang dapat menghubungkan dengan seberang sungai sana.
"Hup!"
Wanita berbaju merah dengan tudung tersampir di punggung itu melompat ke atas tambang. Kakinya bergerak lincah menyusuri tambang dari sabut
kelapa itu. Sungguh lincah dan ringan sekali gerakannya, bahkan tambang yang
dilalui tidak bergerak sedikit pun! Rangga memperhatikan sampai wanita itu tiba
di seberang. Kemudian dilentingkan tubuhnya. Dan
begitu kakinya menyentuh tambang dengan ujung jari
kakinya, ditotoknya tambang itu. Lalu diputar tubuh
nya di udara dua kali. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu mendarat di
seberang tanpa menyusuri tambang itu.
"Ilmu meringankan tubuhmu sempurna sekali,


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Rajawali Sakti," ujar wanita itu memuji dengan lulus.
"Tidak lebih tinggi darimu...," sahut Rangga sengaja memutus ucapannya.
Wanita itu tersenyum, lalu menghenyakkan tubuhnya di atas sebongkah batu yang tidak begitu besar. Matanya menerawang jauh ke seberang sungai.
Sedangkan Rangga tetap berdiri dengan jarak sekitar
dua batang tombak jauhnya. Tampak sekali kalau
Pendekar Rajawali Sakti itu masih menjaga jarak.
"Rasanya memang tidak enak kalau berbicara
tanpa mengetahui nama masing-masing. Tidak adil....
Aku sudah tahu namamu, sedangkan kau sendiri belum tahu siapa diriku," kata wanita itu seperti bicara pada dirinya sendiri.
Rangga hanya menggumam kecil. Hampir tidak
terdengar suara gumamannya. Ditatapnya dalamdalam wajah yang cantik dengan bibir indah yang sela-lu nampak merah menantang.
"Kau bisa memanggilku Nurmi, Rangga," kata wanita itu memperkenalkan diri.
"Nurmi..." Bukankah itu nama putri Ki Danupaya?" agak tersentak juga Rangga mendengar nama wanita itu.
Rangga sudah mengenal nama-nama yang ada
sangkut pautnya dengan peristiwa itu dari Ki Murad.
Dan salah satunya adalah Nurmi, putri Ki Danupaya
yang hilang diculik pada saat malam pernikahan. Dia
sudah tahu semuanya dari Ki Murad yang menceritakan awal kejadiannya secara gamblang dan terbuka.
"Benar. Aku memang putri Ki Danupaya. Orang
yang terpandang di Desa Kali Wungu. Bahkan desadesa lain di sekitar Bukit Mangun ini," tenang sekali nada suara Nurmi.
"Aku sudah mendengar semua tentang dirimu,
Nurmi. Hm.... Kenapa kau lakukan itu semua?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Rangga. Tadi kau tanya tentang hubunganku
dengan Dewi Iblis, bukan?" Nurmi mengingatkan.
"Ya."
"Dewi Iblis adalah adik kakekku yang memimpin sebuah padepokan..., atau sering disebut Pertapaan Jati Wangi. Jadi aku adalah cucunya," jelas Nurmi. "Hm..., jadi kau
mendapatkan beberapa ilmu kesaktian darinya?" tebak Rangga.
"Benar. Dan itu kudapatkan sebelum Dewi Iblis
kau taklukkan. Setelah itu, aku tidak pernah lagi bertemu meskipun tahu tempat
tinggalnya. Dewi Iblis selalu menghindar dan tidak suka ditemui siapa pun juga." Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia kini mengerti, mengapa wanita bertudung ini sela-lu menghindarinya. Mungkin
juga Nurmi sudah diberitahu agar tidak bentrok dengan Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi Rangga belum merasa puas. Sampai saat
ini memang masih belum ditemukan alasan kebenaran
semua tindakan Nurmi, hingga tega membunuh dan
mengancam ketentraman orang tuanya sendiri.
"Lalu, dari mana kau dapatkan kepandaian
yang lain?" tanya Rangga.
"Kakekku," sahut Nurmi singkat.
"Hm.... Jadi itu sebabnya mengapa Ki Murad tidak mengenali jurus-jurusmu," gumam Rangga, seolah bicara pada dirinya sendiri.
"Tak ada yang tahu. Apalagi ayahku."
"Ibumu?"
"Jangan sangkut pautkan ibuku!" sentak Nurmi. "Oh..."!" Rangga terkejut. Sungguh tidak disangka kalau wanita ini bisa berang
jika ibunya disang-kutpautkan dalam masalah ini.
"Dia bukan ibuku!" dengus Nurmi dengan wajah berang. "Ibuku sudah lama meninggal. Semua ga-ra-gara manusia-manusia
keparat itu!"
"Oh, maafkan. Aku tidak tahu," ucap Rangga.
"Sudahlah, kubawa kau ke sini agar tahu semua permasalahannya. Dan kuharap jangan mencampuri urusanku. Kau sudah terlalu jauh, Rangga. Dan
sekarang kau libatkan juga nenekku yang tidak tahu
apa-apa. Kau membuat semua rencanaku jadi berantakan!" dengus Nurmi sengit.
"Rencana apa?" tanya Rangga menyelidik.
"Melenyapkan keparat-keparat itu!" sahut Nurmi mantap.
"Maksudmu..., Ki Murad?" tebak Rangga.
"Bukan hanya dia!" "Oh..."!" lagi-lagi Rangga terkejut. Rangga memang sudah tahu
sekarang, siapa
orang bertudung yang telah membuat hampir seluruh
penduduk Desa Kali Wungu resah. Tapi maksud Nurmi
sebenarnya memang belum diketahuinya. Wanita itu
selalu mengelak, dan meminta Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ikut campur dalam
persoalan ini. *** 6 "Mustahil.!" geram Ki Danupaya seraya meng-gebrak meja di sampingnya.
Wajah laki-laki setengah baya itu nampak merah padam bagai udang rebus. Sepasang bola matanya
menatap tajam Ki Murad yang duduk di depannya. Tidak ada orang lain di ruangan tengah yang cukup besar ini, selain mereka berdua. Sesaat suasana di ruangan itu sunyi sepi. Ki
Danupaya bangkit berdiri dan
berjalan pelahan-lahan menuju ke jendela. Sebentar
dia menatap keadaan di luar, lalu memutar tubuhnya
menatap pada Ki Murad yang masih tetap duduk di
kursinya. "Tidak mungkin anakku sendiri yang melakukan ini semua!" dengus Ki Danupaya tidak percaya.
"Kau boleh saja tidak percaya, Adi Danupaya.
Tapi kulihat dan kudengar sendiri percakapan mereka
di Puncak Bukit Mangun sebelah Selatan," kata Ki Murad meyakinkan Ki Danupaya
diam membisu, namun
pandangannya tetap tajam menusuk langsung ke bola
mata laki-laki tua yang tetap duduk di kursinya.
"Semula memang aku akan langsung kembali,
tapi niatku berubah karena merasa khawatir kalaukalau Pendekar Rajawali Sakti terjebak. Tapi yang ku-saksikan malah membuatku
hampir pingsan. Jelas sekali kalau orang itu adalah Nurmi. Putrimu!" ujar Ki Murad mantap.
"Bagaimana mungkin suaminya sendiri dibunuh"! Sedangkan dia di...," ucapan Ki Danupaya terputus.
"Bukan diculik seperti yang kita duga selama
ini, Adi Danupaya. Tapi sengaja menghilang untuk
mengelabui kita semua," selak Ki Murad cepat.
Kembali Ki Danupaya terdiam. Masih belum dipercaya sepenuhnya laporan Ki Murad kalau orang
yang selama ini membuat rusuh adalah putrinya sendiri. Memang sukar untuk dipercaya. Nurmi membunuh suaminya sendiri, tepat pada saat malam pertama
pernikahan mereka. Dan kini membuat rusuh dengan
membunuh istri Ki Murad, membantai anak buah
ayahnya sendiri, dan bahkan membumihanguskan kediaman mertuanya. Ki Danupaya menggelenggelengkan kepalanya beberapa kali. Sukar baginya untuk menerima dan mempercayai semua ini.
"Kakang Murad. Setahuku Nurmi tidak memiliki ilmu olah kanuragan. Apalagi sampai bisa mempecundangimu. Tidak mungkin, Kakang. Mustahil...!"
ujar Ki Danupaya masih tidak bisa mempercayai.
"Beberapa kali aku bentrok dengannya, Adi Danupaya. Dan yang terakhir sempat ku kenali salah satu ajiannya. Aji 'Mata Kilat' milik Dewi Iblis, bibimu sendiri!" kata Ki Murad
masih mencoba meyakinkan Ki Danupaya.
"Kau jangan membawa-bawa bibiku, Kakang.
Sudah lama Bibi Dewi tidak pernah kelihatan lagi setelah ditaklukkan Pendekar
Rajawali Sakti," nada suara Ki Danupaya terdengar tidak senang.
"Itulah masalahnya sekarang, Adi Danupaya."
"Apa maksudmu, Kakang?"
"Dewi Iblis takluk oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Nurmi mempunyai aji 'Mata Kilat' yang
sangat dahsyat. Padahal yang ku tahu, Dewi Iblis tidak memiliki murid seorang
pun. Apalagi wanita itu telah berjanji untuk tidak terjun kembali dalam dunia
persilatan, setelah dikalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Aku merasa mereka
bersekongkol...," Ki Murad menduga-duga. "Bersekongkol..." Apa maksudmu,
Kakang?" Ki Danupaya semakin tidak mengerti.
"Lihatlah kenyataan yang ada, Adi Danupaya.
Kau membunuh istrimu di depan Nurmi. Meskipun
saat itu masih berumur tujuh tahun, tapi ingatannya
tentang kejadian itu tidak pernah lepas. Kemudian kau menikahi seorang wanita
yang tidak pernah akur dengan Nurmi. Anak itu tertekan. Terlebih lagi setelah
kau mengeluarkan wasiat untuk menyerahkan semua ini
sepenuhnya pada istrimu. Aku yakin kalau Nurmi berusaha mencegah, karena semua yang kau milik adalah milik kakeknya yang seharusnya diturunkan padanya," ujar Ki Murad panjang lebar menyingkap latar belakang kehidupan
sahabatnya ini.
"Kakang, apa yang kulakukan ini semua demi
kau juga. Semua itu terjadi dan kau mengetahui, bahkan ikut mendukungnya. Istriku itu sepupu mu. Sengaja kuwariskan seluruh harta ku padanya agar bisa
digunakan untuk membiayai maksudmu, menggulingkan Gusti Adipati. Itu semua sudah rencana kita, Kakang, Aku rela mengorbankan semuanya demi memperoleh kadipaten," Ki Danupaya tidak suka disalahkan begitu saja.
"Dan kau tidak sadar kalau hanya sebagai menantu yang tidak berhak sepenuhnya atas seluruh
harta ini. Hhh...! Kalau saja kau turuti nasihatku, tidak akan jadi begini," ada
nada keluhan pada suara terakhir Ki Murad.
"Kau gila, Kakang. Mana mungkin aku membunuh Nurmi" Anak itu satu-satunya senjata bagiku untuk tetap menguasai Desa Kali Wungu, dan desa-desa
lainnya. Bahkan seluruh desa di kadipaten ini. Tanpa Nurmi, aku tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Kau sudah mengetahui hal itu, bukan..."!" agak keras nada
suara Ki Danupaya.
Ki Murad menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Memang pelik persoalan
yang dihadapi sekarang ini. Mereka berdua bagaikan
berada di ujung tanduk saja. Sedikit saja tergelincir,
tamatlah sudah semua yang telah dibangun dengan
segala daya dan upaya.
Kedua laki-laki itu menoleh hampir bersamaan
ketika mendengar suara langkah kaki halus. Tampak
seorang wanita berwajah cukup cantik dan berbaju ketat indah, muncul dari sebuah kamar. Wanita itu melangkah menghampiri kursi di dekat Ki Murad dan duduk anggun di sana. Ki Murad menundukkan kepalanya sedikit, memberi hormat pada istri Ki Danupaya ini.
"Sudah kudengar semua pembicaraan kalian
berdua," kata wanita itu pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Nyai Canting...," desis Ki Danupaya agak terkejut juga.
Laki-laki setengah baya itu melangkah menghampiri dan duduk di samping istrinya. Sesaat suasana di ruangan itu sunyi senyap. Tak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Ki Murad dan Ki Danupaya
memandangi wanita yang bernama Nyai Canting ini.
Wanita yang usianya jauh lebih muda dari suaminya.
"Kakang! Tidak kusangka kalau kau menikahi
ku hanya karena maksud tertentu. Aku benar-benar
kecewa, Kakang...," lirih suara Nyai Canting.
"Nyai...," tercekat suara Ki Danupaya di tenggorokan. "Jangan memberi alasan apa
pun, Kakang. Aku sudah tahu dan sudah mendengar semuanya. Aku tidak ingin
terlibat, dan tidak suka disalahkan. Aku tidak pernah membujuk mu, dan tidak
pernah melaku- kan kesalahan apa pun. Apalagi untuk membenci
Nurmi dan adiknya. Katakan itu pada semuanya, Kakang," kata Nyai Canting, agak tersendat suaranya.
Setelah berkata demikian, Nyai Canting bangkit
berdiri dan melangkah pelahan-lahan meninggalkan
tempat itu. Ki Danupaya bergegas bangkit dan mengejarnya. Sementara Ki Murad hanya duduk saja dengan
wajah kusut. *** "Nyai...!" panggil Ki Danupaya terus mengejar.
Laki-laki setengah baya itu mencekal pergelangan Nyai Canting kuat-kuat, dan membalikkan tubuh
wanita itu sehingga menghadap padanya. Ditatapnya
dalam-dalam bola mata yang bening agak berkacakaca itu. "Nyai..., kau mau ke mana?" tanya Ki Danupaya dibuat lembut suaranya.
"Pergi," sahut Nyai Canting singkat.
"Ke mana?"
"Pulang."
"Pulang"! Pulang ke mana" Ini rumahmu, Nyai!"
"Kau lupa, Kakang. Ini bukan rumahku, dan
bukan milikmu. Aku akan kembali ke asalku dulu.
Mudah-mudahan pondokku masih berdiri," Nyai Canting tersenyum kecut.
"Dengarkan dulu penjelasanku, Nyai...!"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Kakang.
Maaf, aku harus pergi. Aku tidak ingin terlibat dengan segala macam urusan
kotormu!" tegas Nyai Canting.
Setelah berkata demikian, dengan halus Nyai
Canting melepaskan cekalan Ki Danupaya. Dia melangkah mundur tiga tindak, kemudian berbalik dan
terus berjalan ke luar. Ki Danupaya hendak mengejar, tapi mendadak saja
pundaknya ada yang menahan.
Dia menoleh. Tampak Ki Murad tahu-tahu sudah berada di belakangnya. Ki Danupaya tidak jadi mengejar
istrinya yang terus berjalan semakin jauh meninggalkannya. "Biarkan dia pergi, Adi Danupaya," ujar Ki Murad.
"Tapi...."
"Canting memang tidak perlu terlibat persoalan.
Dia sudah cukup menerima beban," ujar Ki Murad.
Ki Danupaya diam saja memandang kepergian
istrinya yang semakin jauh. Nyai Canting sudah melewati gerbang, dan menghilang di balik pintu gerbang
yang dijaga dua orang anak buah Ki Danupaya. Lakilaki setengah baya itu menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Ingat semua yang telah kita bina dengan susah
payah, Adi Danupaya. Aku tidak ingin hanya karena
seorang wanita kau jadi...," suara Ki Murad terputus.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melengking tinggi. Tampak dua orang penjaga pintu
gerbang menggelepar dengan dada terbelah berlumuran darah. Kedua laki-laki itu terperanjat saat melihat seorang perempuan tua
agak bungkuk mengenakan
jubah merah sudah berdiri di tengah-tengah halaman
rumah ini. Sebatang tongkat berkepala tengkorak manusia tergenggam erat di tangan kanannya.
Sebentar saja, di sekitar halaman yang luas itu
sudah berdiri sepuluh orang bersenjata golok terhunus mengepung wanita tua yang
dikenal berjuluk Dewi Iblis. Sementara di dalam rumah, Ki Murad dan Ki Danupaya hanya saling berpandangan sesaat. Kemudian
Ki Danupaya melangkah hendak ke luar. Tapi baru saja berjalan dua tindak, Ki Murad sudah mencegah
dengan mencekal tangannya. Terpaksa Ki Danupaya
berhenti melangkah, lalu berpaling menatap laki-laki tua berjubah putih itu.
"Dia tamuku, Kakang," ucap Ki Danupaya seraya melepaskan halus cekalan Ki Murad.
"Kedatangannya sudah menunjukkan tidak
bersahabat," desis Ki Murad.
Ki Danupaya hanya tersenyum saja, kemudian
melangkah ke luar. Sedangkan Ki Murad hanya berdiri
saja memandangi dari dalam. Memang cukup jelas
memandang ke halaman depan dari ruangan tengah
ini, tapi tidak begitu jelas bila melihat ke dalam dari luar.
*** Sementara itu Ki Danupaya sudah sampai di
depan rumahnya. Di turuninya anak-anak tangga beranda depan rumah besar bagai istana kecil itu. Dia
kemudian berhenti di depan Dewi Iblis setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi. Sementara tiga puluh orang anak
buahnya sudah mengepung
tempat ini dengan senjata terhunus.
"Kedatanganmu tiba-tiba sekali, Bibi Dewi,"
ucap Ki Danupaya setelah memberi isyarat agar seluruh anak buahnya menyingkir.
"Hm.... Aku senang dengan cara sambutanmu
yang hangat," gumam Dewi Iblis tersenyum tipis.
"Maaf. Mereka belum mengetahui mu, Bibi Dewi," ucap Ki Danupaya.
"Aku datang memang bukan untuk dikenal mereka, karena memang tidak ada perlunya mengenalku!"
ketus nada suara Dewi Iblis.
"Ada keperluan apakah sehingga Bibi jauh-jauh
datang ke sini?" tanya Ki Danupaya masih tetap berusaha ramah, meskipun sikap
Dewi Iblis jelas-jelas tidak bersahabat.
"Mencari anakmu!" tajam jawaban Dewi Iblis.
"Anakku..."!" Ki Danupaya berkerut juga kening.
Ki Danupaya tampak kebingungan. Mata lakilaki setengah baya itu melirik ke kanan dan ke kiri, la-lu menoleh ke belakang.
Tampak di balik tembok, Ki
Murad berlindung mengawasi. Dia tahu kalau sahabatnya itu tengah mendengarkan semua pembicaraannya dengan perempuan tua yang dulu dikenal sebagai
tokoh hitam yang sangat kejam.
"Mana dia, Danupaya" Dia telah lancang menjual namaku! Membuatku lebih terhina di depan Pendekar Rajawali Sakti! Berikan anak setan itu padaku!"
lantang suara Dewi Iblis.
"Bibi..., aku tidak mengerti maksudmu" Mengapa tiba-tiba ingin bertemu Nurmi?" agak bergetar nada suara Ki Danupaya.
Laki-laki setengah baya itu tahu betul siapa
yang sedang dihadapinya ini. Meskipun cukup lama
Dewi Iblis menghilang, tapi bukan berarti kepandaiannya ikut hilang. Bahkan
mungkin semakin dahsyat saja. "Dia sudah lancang menggunakan ajian yang
ku berikan untuk membunuh orang. Anak setan itu telah merusak janji ku pada Pendekar Rajawali Sakti!"
masih lantang nada suara Dewi Iblis.
"Ajian..."! Ajian apa..." Setahuku, Nurmi tidak pernah belajar ilmu olah
kanuragan, apalagi ilmu kesaktian. Bibi, siapa yang mengatakan hal itu pada
mu?" "Temanmu yang ada di dalam!" sahut Dewi Iblis seraya melirik ke dalam
rumah. Ki Danupaya terkejut bukan main. Ternyata
wanita tua ini mengetahui kalau Ki Murad ada di dalam. Dan pada saat Ki Danupaya menoleh ke belakang,
Ki Murad melangkah keluar. Laki-laki berjubah putih
itu berdiri di beranda. Tangan kanannya sudah memegang gagang pedang meskipun belum tercabut dari sarungnya di pinggang.
Ki Danupaya benar-benar tidak bisa berkatakata lagi. Baru saja Ki Murad melaporkan kalau orang yang selama ini membuat
kekacauan adalah Nurmi,
dan sekarang Dewi Iblis mencari anak itu karena merasa namanya dicemarkan. Terlebih lagi, saat ini perempuan tua itu sedang terikat perjanjian pada Pendekar Rajawali Sakti.
Perjanjian setelah ditaklukkan oleh pemuda itu.
"Bibi, mungkin ini hanya salah paham saja. Sebaiknya kita bicarakan baik-baik di dalam," kata Ki Danupaya mencoba meredakan
amarah wanita berjubah merah itu.
"Kau jangan berpura-pura bodoh, Danupaya!
Telah kudengar semua pembicaraanmu tadi. Dan memang sudah kuduga sebelumnya kalau Nurmi yang
melakukan semua itu. Asal tahu saja, aku tidak menyalahkannya. Justru aku ingin memberi pelajaran
padamu, juga teman setanmu itu. Aku mencari Nurmi
agar dia bertanggung jawab setelah mencemarkan namaku di depan Pendekar Rajawali Sakti!" tegas kata-kata Dewi Iblis.
Seketika itu juga wajah Ki Danupaya memerah
pucat. Demikian juga Ki Murad yang berada di beranda. Mereka semua tahu kalau Dewi Iblis tidak mainmain. Dan yang lebih dl khawatirkan, kepandaian perempuan berjubah merah itu tidak akan bisa tertandingi. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka
berdua. Bahkan seluruh anak buah Ki Danupaya jika
dikerahkan, tidak akan bisa membendung nya.
"Aku tidak punya waktu lagi, Danupaya. Mungkin kalian berdua bisa melihat matahari pagi besok kalau Nurmi bisa diserahkan
padaku!" kata Dewi Iblis.
"Nurmi tidak ada di rumah ini, Bibi Dewi. Dia
diculik beberapa hari yang lalu," kata Ki Danupaya.
"Semua orang berkata begitu! Huh....! Kau pikir aku percaya bualan kosong mu"!"
dengus Dewi Iblis.
"Aku berkata yang sebenarnya, Bibi. Nurmi diculik saat malam pernikahannya," Ki Danupaya berusaha menjelaskannya.
"Satu lagi kesalahanmu, Danupaya! Kau menikahkan anakmu tanpa memberitahukan ku!" gerutu Dewi Iblis.
"Maaf, Bibi," hanya itu yang bisa diucapkan Ki Danupaya agar wanita bungkuk
berjubah merah itu tidak meluap amarahnya. Bagaimanapun juga, harus
bisa dihindari bentrokan yang pasti tidak akan menguntungkan baginya.
"Dengan siapa Nurmi kawin?" tanya Dewi Iblis kasar. "Putra sahabatku ini," sahut
Ki Danupaya menunjuk Ki Murad.
"Dasar manusia bejad! Kalian memperalat anak
untuk kepentingan pribadi!" gerutu Dewi Iblis yang sudah mengetahui semua
maksud-maksud Ki Danupaya.
Ki Danupaya hanya diam saja. Di depan wanita
bungkuk itu, rasanya memang tidak mungkin untuk
membusungkan dada. Baginya lebih baik merendah
untuk keselamatan diri, daripada mati sia-sia di tangan Dewi Iblis. Semula
hatinya sudah gembira saat
mendengar kekalahan Dewi Iblis di tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Sungguh tidak dinyana sama sekali kalau pemuda yang selalu
mengenakan baju rompi putih
itu tidak membunuhnya, bahkan membiarkan hidup.
Kini Dewi Iblis muncul kembali, dan membuat Ki Danupaya jadi gelisah.
Laki-laki setengah baya itu tidak pernah khawatir meskipun Dewi Iblis sudah mengetahui semua
maksud-maksud tersembunyinya. Karena memang sebenarnya wanita tua agak bungkuk berjubah merah
itu tidak pernah mau tahu segala urusan Ki Danupaya. Baginya yang terpenting cucunya tidak disakiti.
Itulah sebabnya, mengapa Ki Danupaya mempertahankan Nurmi agar tidak dibunuh, meskipun anak itu
menyaksikan pembunuhan yang dilakukannya terhadap istrinya sendiri. Semua itu dilakukan hanya kare-na ambisinya yang tinggi
untuk menguasai suatu wilayah kadipaten.
"Danupaya, kali ini kau kuberi kesempatan untuk bisa bernapas sampai besok. Ingat...! Sebelum matahari terbenam besok, kau
harus sudah mendapatkan
Nurmi!" Setelah berkata demikian, Dewi Iblis langsung melesat pergi. Sungguh
tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap. Ki Danupaya mendesah panjang, seakan
ingin melonggarkan rongga dadanya yang sejak tadi terasa sesak.
Laki-laki setengah baya itu memutar tubuhnya
dan melangkah pelahan menuju ke beranda rumahnya. Langkahnya terhenti setelah berada di depan Ki Murad. Sejenak kedua lakilaki itu saling berpandangan, kemudian berjalan masuk tanpa berkata apa-apa
lagi. *** 7 Sepertinya tidak ada yang dapat dilakukan
Pendekar Rajawali Sakti untuk menyelesaikan kemelut
yang terjadi di Desa Kali Wungu. Semua persoalan itu hanya bersifat pribadi dan
terbatas pada lingkungan
keluarga saja. Tanpa melibatkan seorang penduduk
pun yang tidak tahu menahu. Kalaupun pun ada penduduk yang terbunuh, itu dilakukan Nurmi karena
terpaksa. Salah seorang penduduk waktu itu tanpa
sengaja melihat wajahnya saat wanita itu membuka
tudung. Nurmi, tidak ingin dirinya diketahui sebelum kehancuran keluarganya.
Hanya satu yang tidak bisa dimengerti Rangga,
yakni jalan pikiran Nurmi yang dianggapnya tidak waras. Membunuh suaminya sendiri dan menteror kehidupan keluarga ayahnya. Padahal wanita itu tidak ingin mencelakakan ayahnya sendiri. Yang ingin dibunuh hanya Ki Murad agar terpisah untuk selamaselamanya dari Ki Danupaya. Tidak ada maksud lain
lagi. "Kau masih belum percaya kalau bukan aku yang membunuh Wiraguna, Rangga?"
ucap Nurmi sambil memain-mainkan kakinya ke dalam sungai.
"Kalau bukan kau, lalu siapa?" tanya Rangga yang berdiri membelakangi wanita
itu. "Adikku," sahut Nurmi. "Adikmu...?" Rangga terkejut tidak percaya. "Benar. Aku
memintanya datang tepat pada tengah malam pesta pernikahanku.
Sengaja tidak kukunci jendela agar adikku mudah masuk ke dalam kamar dan membunuh Wiraguna, lalu
pura-pura menculik ku," jelas Nurmi.
"Kenapa dia lakukan itu?" tanya Rangga seraya
membalikkan tubuhnya menghadap Nurmi.
"Wiraguna telah mengecewakannya. Adikku telah direnggut kehormatannya dan ditinggalkan begitu
saja. Bajingan itu memang mata keranjang. Sudah banyak gadis yang terpedaya dan terenggut kehormatannya." "Lantas kenapa kau rela dinikahkan?" "Hanya itu jalan satu-satunya. Aku
rela berkorban asal musuh
besar keluargaku musnah. Sudah lama Ki Murad hendak menghancurkan keluargaku, dan setelah sahabatnya bisa menikahi ibuku barulah dilancarkan aksinya." "Kenapa dia menginginkan kehancuran keluarga mu?" tanya Rangga terus
menyelidik dan membuat Nurmi mengatakan terus terang apa adanya dan tanpa
ditutup-tutupi.
"Persoalan lama. Dia selalu kalah dalam mendapatkan pengaruh dan kekuasaan. Oleh sebab itu dia
sengaja bekerja sama dengan ayahku sebelum menikahi ibuku. Mereka ingin menggunakan harta kekayaan keluargaku untuk ambisi pribadinya yang gila,"
jelas Nurmi. "Apa tujuannya?" tanya Rangga ingin tahu.
"Merebut kadipaten."
"Edan!" desis Rangga agak kaget juga menden-garnya. Beberapa saat lamanya mereka
terdiam membi- su, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sementara itu matahari terus merayap menggulir ke arah Barat. Sinarnya yang semula terik, kini terasa lembut
menyapu kulit. Angin mulai menghembus kencang
menaburkan hawa dingin menggigilkan tulang. Nurmi
mengangkat kakinya keluar dari dalam sungai, lalu
melompat ringan ke tepi sungai kecil ini.
"Nurmi, di mana adikmu sekarang"' tanya
Rangga "Di Pertapaan Jati Wangi," sahut Nurmi. "Aku memintanya untuk tidak terus
terlibat, biar semuanya ku tanggung sendiri. Harus ada satu orang yang nan-tinya
bisa mewarisi kejayaan keluarga. Aku merasa kalau semua yang kulakukan sangat
berbahaya, bahkan
nyawa taruhannya. Dan mungkin juga tidak bisa mencegah darah ayah melumuri tanganku."
"Kenapa" Toh dia ayahmu juga, bukan?"
"Dia yang membunuh ibuku!"
"Oh...!" lagi-lagi Rangga terkejut.
Sungguh mati Rangga tidak menyangka kalau
semua persoalannya begitu banyak kaitannya. Bahkan
persoalan yang sudah berjalan entah berapa tahun.
Yang pasti, sebelum Nurmi lahir ke dunia ini.
Rasa iba mulai menjalar di hati Pendekar Rajawali
Sakti itu, setelah mengetahui beban penderitaan wani-ta ini. Masih terlalu muda
bagi Nurmi untuk menanggung semua itu. Tidak heran kalau wanita itu tekun
mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian tanpa
setahu ayahnya. Rupanya dendam sudah membara di
hatinya sejak melihat sendiri pembunuhan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya. Terlebih lagi setelah mengetahui maksud-maksud
buruk yang tersirat di
benak Ki Danupaya dan Ki Murad. Dan dendam yang
terpendam tahunan itu rupanya meledak juga.
"Sekarang kau sudah mengetahui semua permasalahannya, Rangga. Kuminta jangan melibatkan
diri dalam persoalan ini," kata Nurmi setelah cukup lama berdiam diri.
"Memang tidak ada perlunya mencampuri uru

Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san mu, Nurmi. Tapi kau akan berhadapan dengan
Dewi Iblis, bibimu sendiri," sahut Rangga bernada sedikit menyesal.
"Seharusnya tidak perlu melibatkan dia, Rangga," Nurmi juga menyesali.
"Maaf aku terlalu gegabah, percaya saja terhadap cerita Ki Murad," ucap Rangga menyesal.
"Yaaah..., aku harap Bibi Dewi tidak sempat
bertemu denganku sebelum Ki Murad tewas. Aku akan
menyerahkan diri padanya nanti," desah Nurmi.
"Kenapa?"
"Aku telah melanggar pesannya untuk tidak
mengeluarkan ilmu yang diajarkan. Aku terpaksa,
Rangga. Akibatnya Ki Murad mengetahui."
"Sudahlah Nurmi. Akan kujelaskan nanti pada
Dewi Iblis," janji Rangga.
"Mudah-mudahan Bibi Dewi mau mengerti."
"Ya," desah Rangga pendek.
*** Rangga terjaga dari tidurnya ketika mendengar
suara ribut-ribut. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas mengerinjang bangkit,
lalu mengintip dari celah -celah jendela. Tampak Nurmi tengah beradu mulut
dengan Dewi Iblis. Jelas sekali pembicaraan yang terdengar.
Dan Rangga jadi terkejut, karena Dewi Iblis memang
diam-diam memberikan pelajaran ilmu olah kanuragan
dan ilmu kesaktian pada Nurmi untuk membalas kematian ibunya yang dilakukan ayahnya sendiri. Juga
untuk membunuh Ki Murad yang telah mengecewakan
wanita tua itu selagi masih muda dulu.
Jelas sekali terdengar, kalau antara Dewi Iblis
dan Ki Murad pernah terjalin hubungan asmara. Baru
bisa dimengerti, kenapa Nurmi menuduh Ki Murad curang, licik! Semua itu dimaksudkan karena Ki Murad
meninggalkan Dewi Iblis dalam keadaan hamil. Ki Murad malah menikah dengan wanita lain dan menghasilkan seorang putra. Persoalan yang saling berkaitan dan sangat pelik.
"Kau benar-benar telah mengecewakan aku,
Nurmi. Tidak ada hukuman lain bagimu kecuali mati!"
terdengar suara Dewi Iblis. "Bi...."
"Bersiaplah untuk mati, Nurmi! Hiyaaat..!"
"Bi...!" Tapi Dewi Iblis sudah melontarkan satu pukulan keras ke dada Nurmi yang
tidak berkelit sedikit
pun. Akibatnya wanita itu terjengkang ke belakang sejauh tiga batang tombak.
"Heh...!" Rangga terkejut melihat kejadian itu.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke luar menerobos jendela kamar
ini. Tepat pada saat itu kepala tongkat Dewi Iblis yang berbentuk tengkorak manusia mengibas mengarah ke kepala Nurmi. Bagaikan
kilat Rangga melentik dan mencabut pedang pusaka
Rajawali Sakti. Dia tahu betul kalau tongkat itu terlalu berbahaya bila hanya
ditandingi tangan kosong,
meskipun dikerahkan tenaga dalam penuh.
Secercah cahaya biru berkelebat cepat bagaikan
kilat, langsung memapak tongkat Dewi Iblis. Satu benturan keras terjadi hingga
menimbulkan ledakan
menggelegar bagai gunung meletus. Dewi Iblis memekik keras tertahan, dan tubuhnya mencelat ke belakang sejauh tiga batang tombak. Dua kali tubuhnya
berputaran di udara sebelum mendarat manis di tanah. Sedangkan Rangga langsung menjejakkan kakinya di samping Nurmi yang menggeletak dengan mulut berlumuran darah.
"Cukup, Dewi Iblis!" seru Rangga keras.
"Eh...!" Dewi Iblis terkejut setengah mati begitu
mengetahui yang menggagalkan serangannya adalah
pemuda berbaju rompi putih yang dulu pernah menaklukkannya. "Kau tidak apa-apa, Nurmi?" tanya Rangga seraya menoleh sedikit pada wanita yang
masih terduduk di sampingnya.
"Uh...! Dadaku seperti remuk," dengus Nurmi merintih tertahan. Ditekap dadanya
yang terkena pukulan telak bertenaga dalam tinggi. Napasnya tersengal, terasa sulit sekali bernapas.
Rangga memalingkan mukanya kembali menatap pada Dewi Iblis. Begitu tajam pandangan mata
Pendekar Rajawali Sakti itu. Sementara Dewi Iblis
menggeser kakinya beberapa langkah ke depan. Sikapnya begitu waspada, karena telah tahu siapa pemuda berbaju rompi putih itu. Meskipun usianya jauh
lebih muda, namun tingkat kepandaiannya berada di
atasnya. Terlebih lagi pedangnya itu. Dewi Iblis tahu kalau tadi Rangga menggunakan pedang pusakanya untuk menggagalkan serangannya. Memang cepat sekali
gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Secepat kilat dicabut pedang, secepat itu
pula dimasukkannya kembali ke dalam warangkanya. Begitu cepatnya, sehingga
sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Sepertinya Rangga tidak mengeluarkan
pedang pusakanya tadi.
"Kau pernah berjanji padaku, Dewi Iblis. Dan
aku juga tidak akan lupa kata-kataku sendiri...!" terasa dingin dan datar nada
suara Rangga. Dewi Iblis hanya mendengus saja. Tentu saja
dia tidak akan melupakan janjinya sendiri, dan katakata yang diucapkan Rangga waktu itu. Dan disadari
betul kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak akan menarik kembali ucapan yang sudah dilontarkan. Dewi Iblis
merasa kalau saat ini, mau tidak mau harus bertarung kembali melawan Pendekar
Rajawali Sakti sampai pada
hembusan napasnya yang terakhir.
"Kau telah menyalahgunakan kepercayaan yang
kuberikan padamu, Dewi Iblis. Rasanya sukar bagiku
untuk memberi kesempatan lagi padamu," kata Rang-ga lagi. "Phuih! Majulah,
bocah...! Kau pikir aku gentar padamu"! He he he...!" Dewi Iblis mendengus
langsung terkekeh.
"Bagus! Itu berarti kau sudah siap ke neraka!"
semakin dingin suara Rangga. "Banyak omong!
Hiyaaat..!" Dewi Iblis melompat menerjang sambil mengebutkan tongkatnya,
disertai pengerahan tenaga
dalam sangat tinggi. Saat itu Rangga hanya menggeser kakinya sedikit dan menarik
tubuhnya ke belakang.
Kibasan tongkat itu lewat di depan dadanya. Rangga
bisa merasakan angin kibasannya yang begitu dahsyat.
Bergegas dilentingkan tubuhnya ke atas, melewati kepala perempuan tua bungkuk berjubah merah itu.
"Hiya...!"
Cepat sekali Rangga menggerakkan kakinya,
dan menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tapi rupanya Dewi Iblis sudah menyadari akan serangan itu, dengan
cepat diputar tongkatnya di atas kepala. Rangga terpaksa memutar tubuhnya, dan
meluruk turun ke belakang tubuh wanita bungkuk itu.
Secepat kilat dilepaskan satu pukulan ke punggung
Dewi Iblis. "Hiyaaa...!"
"Uts!"
Dewi Iblis memutar tongkatnya ke belakang,
melindungi punggungnya dari pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Dan cepat-cepat diputar tubuhnya sambil
mengayunkan tongkatnya ke arah kaki pemuda berbaju rompi putih itu. Manis sekali Rangga melompat, dan melayangkan satu tendangan
menggeledek ke arah kepala Dewi Iblis.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dewi Iblis menghindar dengan melentingkan
tubuhnya ke belakang sambil mengibaskan ujung
tongkatnya yang runcing. Tapi saat itu Rangga sudah
melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna dibarengi pengerahan aji 'Bayu Bajra'. Suatu
ajian yang dahsyat membawa angin pukulan bagai gelombang badai topan menghancurkan gunung!
"Hiyaaa...!"
"Akh...!" Dewi Iblis memekik keras tertahan. Perempuan tua bungkuk berjubah
merah itu tak mampu
lagi menahan gempuran Rangga yang begitu dahsyat.
Apalagi keadaan tubuhnya berada di atas tanah. Tak
ampun lagi, tubuh tua bungkuk itu meluncur deras ke
belakang, menghantam dinding batu cadas hingga
hancur berantakan. Bumi serasa berguncang. Sementara itu batu-batu cadas tiba-tiba berguguran menimpa tubuh Dewi Iblis.
Rangga berdiri tegak memperhatikan batu-batu
yang berjatuhan menimbun Dewi Iblis. Suara bergemuruh masih terdengar memekakkan telinga disertai
guncangan yang cukup keras pada tanah. Rangga masih berdiri tegak sampai tidak ada lagi batu-batu yang berguguran. Tampak
gundukan batu besar dari kecil
membentuk sebuah bukit batu kecil di atas bukit.
Rangga menarik napas panjang, kemudian berpaling
pada Nurmi yang sudah bisa bangkit berdiri. Pemuda
berbaju rompi putih itu menghampiri.
Sedangkan Nurmi hanya diam mematung memandangi tumpukan batu yang menimbun Dewi Iblis.
Entah apa yang ada di dalam hati wanita itu. Bibirnya terkatup rapat dengan
pandangan lurus tak berkedip.
Rangga menepuk lembut pundaknya. Nurmi berpaling,
menatap redup. "Meskipun dia jahat, tapi selalu baik padaku,"
ujar Nurmi lirih.
"Maaf...."
"Tidak perlu disesali, Rangga. Aku tahu, kau
melakukannya demi kebenaran," potong Nurmi cepat.
Wanita itu membalikkan tubuhnya dan melangkah
pergi pelahan-lahan. Sementara Rangga memandangi
sejenak, lalu ikut berjalan menyusul.
*** Suasana di Desa Kali Wungu tampak tenang.
Namun ketenangan itu bukan berarti ketentraman. Seluruh rumah terkunci rapat, dan tak ada seorang pun
yang terlihat berada di luar. Hanya dua orang saja
yang berjalan menyusuri jalan tanah berdebu membelah desa itu. Mereka adalah Rangga dan Nurmi. Wanita itu berjalan sekitar
sepuluh tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti. Sebuah tudung bambu besar
menutupi kepalanya. Sedangkan Rangga memperlambat langkahnya
setelah Nurmi berada tak jauh di depan pintu gerbang sebuah rumah besar yang
tertutup rapat. Tak ada seorang pun yang terlihat menjaga. Wanita berbaju merah
dengan tudung bambu bertengger di kepalanya itu
berhenti sekitar sepuluh langkah lagi jaraknya. Diangkat kepalanya, dan
tampaklah empat orang di atas
tembok benteng dengan anak panah siap terpasang di
busur. "Hm...," Nurmi menggumam pelahan.
Wut! Sing...! Tiba-tiba saja empat orang di atas tembok itu
melepaskan anak panah dengan cepat. Anak-anak panah itu meluruk bagaikan hujan, menghunjam ke arah
Nurmi. Namun gadis itu lincah sekali bisa mengelakkan serbuan anak panah itu. Dia berlompatan cepat
sambil memutar tongkat putihnya, menghalau serbuan
anak panah yang datang bagai hujan.
Sementara dari tempat yang cukup jauh, Rangga menyaksikan tanpa berkedip. Semula dia ingin
membantu. Tapi melihat Nurmi masih mampu mengatasi, Pendekar Rajawali Sakti itu mengurungkan niatnya. Pertarungan itu diperhatikan saja sambil berjaga-jaga kalau ada yang
bermain curang.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja wanita berbaju merah dengan
kepala tertutup tudung besar itu melesat ke atas sambil memutar tongkat
putihnya, membuat perisai bagi
dirinya sendiri. Lesatannya bagus dan cepat luar biasa, sehingga empat orang di
atas tembok benteng itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Bagaikan kilat, Nurmi mengibaskan tongkatnya
menghajar empat orang itu. Jerit pekik melengking
terdengar sating sambut, disusul ambruknya empat
sosok tubuh dari atas tembok benteng itu. Tampak
Nurmi berdiri tegak dengan tongkat putih menyilang di depan dada. Pandangannya
tajam beredar mengamati
bagian dalam halaman yang cukup luas, dan di kelilin-gi pagar tembok yang cukup
tinggi dan kokoh ini.
"Ki Murad...! Keluar kau...!" lantang suara Nurmi. "Jangan hanya bisa
bersembunyi di balik
punggung monyet buduk!"
Suara yang disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam itu bergema terbawa angin. Cukup lantang,
dan pasti seluruh penduduk Desa Kali Wungu ini
mendengar semua. Tampak dari balik jendela dan pintu rumah-rumah yang berdekatan dengan kediaman Ki
Danupaya, menyembul beberapa kepala yang melongok ke luar. Tak ada yang berani ke luar, begitu melihat seseorang berbaju merah
menyala berdiri tegak di atas tembok benteng yang mengelilingi bangunan besar
bagai istana itu.
"Hm...," Nurmi bergumam pelan.
Dari balik tudung yang besar, bibirnya tersenyum melihat sekitar sepuluh orang bersenjata tombak bermunculan keluar dari
dalam bangunan besar itu.
Mereka berlompatan ke halaman dan memamerkan
keahliannya menggunakan tombak panjang bermata
berkilat tertimpa cahaya matahari.
"Hup...!"
Indah sekali Nurmi melesat turun. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, wanita itu mendarat tepat di tengah-tengah lingkaran sepuluh orang bersenjata tombak terhunus. Nurmi mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merayapi sepuluh orang yang terus bergerak memutarinya
sambil memain-mainkan
tombak. Saat itu tampak sebuah bayangan putih berkelebat, dan tahu-tahu sudah berada di atas atap.
Tampak di situ berdiri seorang pemuda berbaju rompi
putih, yang ternyata adalah Pendekar Rajawali Sakti.
Dia duduk dengan enaknya di atap, menonton Nurmi
yang di kepung sepuluh orang bersenjata tombak pan

Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jang. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Teriakan-teriakan keras terdengar, disusul berlompatannya sepuluh orang yang menyerang Nurmi
dari berbagai jurusan.
"Hait...!"
Gesit sekali gerakan wanita berbaju merah itu
menghindari setiap serangan yang datang dari segala
penjuru. Tongkat putihnya berkelebatan cepat diimbangi gerakan kaki dan tubuhnya yang lincah cepat
luar biasa. Dalam beberapa gebrak saja, tampak dua
orang terjungkal menimbulkan suara pekikan melengking tinggi. Darah bersimbah membasahi tanah berumput halus dan terawat rapi itu.
Nurmi bertarung bagai singa betina kehilangan
anaknya. Tongkat putihnya berkelebat cepat menyebarkan hawa maut. Teriakan-teriakan pertempuran,
kini bercampur pekik tertahan kesakitan. Itu pun masih diikuti jeritan melengking dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan dan
menggelepar bersimbah darah.
Sepuluh orang itu memang bukan lawan Nurmi. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja sudah lebih dari separuhnya yang tergeletak tidak bernyawa lagi. Pada saat jumlah
mereka tinggal tiga orang lagi, dari dalam rumah kembali bermunculan sekitar
dua puluh orang bersenjata terhunus berbagai jenis.
Mereka langsung berlompatan menyerang wanita berbaju merah itu.
Mereka yang baru muncul, rupanya memiliki
kepandaian yang lebih tinggi. Sehingga Nurmi kelihatan cukup repot juga menghadapinya, meskipun masih
mampu mengimbangi. Tapi pada jurus-jurus berikutnya, kelihatan kalau Nurmi amat terdesak. Beberapa
kali tubuhnya harus menerima pukulan yang cukup
keras, sehingga membuatnya bergulingan di tanah.
Pada saat keadaan Nurmi semakin tidak menguntungkan, mendadak dari atap bangunan besar dan
megah itu meluncur bayangan putih, yang langsung
menghajar orang-orang itu. Jerit dan pekik kesakitan terdengar membahana saling
sambut, disusul oleh
berpentalannya orang yang mengeroyok wanita bertudung itu. "Rangga...," desis Nurmi mengenali orang yang menolongnya pada saat yang tepat.
*** 8 "Kau temui ayahmu di dalam. Dia ada di ruangan depan," kata Rangga memberitahu.
Hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti itu
memukul roboh salah seorang yang mencoba membokongnya dari belakang. Nurmi yang mendengar ucapan
Rangga, bergegas melentingkan tubuhnya melewati
beberapa kepala. Masih sempat diayunkan tongkatnya,
membuat dua orang menjerit keras sambil memegangi
kepalanya yang terhantam senjata wanita itu.
Sementara Rangga terus mengamuk sambil
bergerak mendekati beranda depan. Sedangkan Nurmi
sudah tiba lebih dahulu. Wanita berbaju merah itu
berdiri tegak di tengah-tengah beranda depan yang
disangga dua buah pilar besar. Tatapan matanya tajam dan lurus ke depan.
Dari dalam rumah itu muncul seorang laki-laki
setengah baya mengenakan baju putih dengan ikat kepala juga putih bersih. Di tangan kirinya tergenggam sebilah pedang yang masih
terbungkus sarungnya. Tidak berapa lama berselang, keluar lagi seorang lakilaki tua berjubah putih menyandang pedang di pinggang. Di belakangnya mendampingi enam orang bertubuh tinggi besar dengan dada telanjang.
"Bagus! Berkumpullah di sini, agar aku tidak
perlu susah payah meminta tanggung jawab kalian
semua!" terdengar dingin nada suara Nurmi.
"Bisa kau buka tudung mu, Nurmi?" agak bergetar suara Ki Danupaya. Laki-laki itu
langsung men- genali suara anaknya.
"Hhh...! Ternyata kau tidak melupakan suaraku, Ki Danupaya!" dengus Nurmi seraya membuka tudungnya.
"Tentu saja, Anakku," sahut Ki Danupaya berusaha lembut.
"Phuih! Tidak pantas kau menyebutku anak,
keparat!" geram Nurmi.
"Nurmi...."
"Aku bukan anakmu! Aku tidak punya ayah sepertimu!" sentak Nurmi memotong cepat.
"Nurmi, sadarlah.... Kau dalam kesulitan besar, Anakku. Kendalikan dirimu,"
bujuk Ki Danupaya.
"Kesulitanku merupakan awal kehancuran kalian!" lantang suara Nurmi.
"Percuma kau membujuknya, Adi Danupaya.
Bocah ini sudah dirasuki iblis!" celetuk Ki Murad.
"Sebaiknya bercerminlah dulu, Ki Murad. Dirimu sendiri tidak lebih busuk dari iblis neraka!" desis Nurmi sengit.
"Bocah lancang! Mulutmu harus diajar tata
krama!" geram Ki Murad.
"Juga otakmu, tua bangka!" balas Nurmi sengit.
Trek! "Tahan, Kakang!" sentak Ki Danupaya begitu dilihatnya Ki Murad mencabut
pedang. Tapi Ki Murad sudah tidak bisa lagi menahan
diri. Terlebih lagi saat mengingat nyawa anak dan istrinya, serta sepuluh orang murid kesayangannya yang tewas. Dengan teriakan
keras, Ki Murad melesat sambil mengibaskan pedangnya ke leher Nurmi. "Uts!
Hait...!" Bergegas Nurmi melompat sambil mengegoskan tubuhnya ke samping. Tapi
belum juga bisa berdiri
sempurna, kembali datang serangan yang tidak kalah
dahsyatnya. Wanita berbaju merah itu terpaksa mengibaskan tongkatnya. Dan....
Trang! "Akh...!" Ki Murad terpekik tertahan begitu pedangnya membentur tongkat putih
milik Nurmi. Tapi wanita berbaju merah itu juga terpental
mundur sejauh lima langkah. Sebentar mereka saling
menatap, lalu berlompatan seraya memberikan serangan menggunakan jurus-jurus maut. Sementara itu di
halaman depan, Rangga sudah membereskan lawanlawannya. Dia berjalan tenang mendekati arena pertarungan antara Nurmi melawan Ki Murad.
Nurmi yang bertarung dengan hati terselimut
dendam dan amarah, jadi tidak bisa mengontrol dirinya. Akibatnya dia lupa memperhitungkan pertahanannya. Wanita itu terus menyerang dan ini diketahui Ki Murad yang sudah kenyang
makan asam garamnya
dunia persilatan. Laki-laki tua berjubah putih itu mengambil kesempatan pada
saat Nurmi menyerang tanpa
mengindahkan pertahanan dirinya sendiri, sehingga....
"Jebol!" seru Ki Murad tiba-tiba.
Seketika itu juga tangan kiri Ki Murad menghentak ke depan setelah pedangnya berhasil menghalau tusukan tongkat putih wanita yang berselimut
dendam dan amarah itu. Hantaman tangan kiri Ki Murad tidak bisa terhindarkan lagi dan....
"Akh...!" Nurmi terpekik keras.
Tubuh ramping terbalut baju merah ketat itu
terjungkal keras ke belakang, dan bergulingan bebera-pa kali di tanah. Bagaikan
kilat, Ki Murad melompat
sambil berteriak keras melengking, menghunus ujung
pedang ke depan. Seat itu posisi Nurmi memang tidak
menguntungkan sekali, dan tidak mungkin bisa berkelit Tapi.... Trang! "Eh...!" Ki Murad terperanjat kaget.
Buru-buru laki-laki tua itu mundur. Dan tibatiba saja di depan Nurmi sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih
yang bagian dadanya dibiarkan terbuka lebar.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Ki Murad.
Agak bergetar suaranya, begitu mengenali orang yang
baru saja menyelamatkan nyawa Nurmi.
Sementara itu Nurmi sudah bisa bangkit berdiri, meskipun masih sedikit limbung. Sebentar diatur
napasnya, mengalirkan hawa mumi untuk mengusir
rasa sesak yang mengganjal dadanya. Dari sudut bibirya mengalir darah kental. Untung saja pukulan Ki Murad tadi tidak bertenaga
dalam penuh, sehingga
Nurmi masih bisa bertahan. Tapi tak urung masih terasa sakit pada rongga dadanya.
"Rangga..., kenapa kau bela bocah keparat itu?"
agak keras nada suara Ki Murad.
"Aku akan berada di pihak yang benar, Ki Murad," sahut Rangga kalem, namun nada suaranya terdengar datar.
"Sudah jelas bocah iblis itu yang bersalah!
Mengapa kau malah membelanya"!"
"Beberapa hari yang lalu, mungkin aku berpendapat begitu. Tapi sekarang justru tidak akan kubiarkan kau menyentuhnya sedikit
pun, Ki Murad. Sayang
sekali, sandiwara mu yang hebat itu tidak bisa mengelabui ku terus-menerus,"
masih terdengar tenang suara Rangga.
"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti...! Bocah setan itu adalah keturunan manusia iblis, dan selamanya akan menjadi iblis berbentuk manusia. Jika
berpihak padanya, sama saja kau melumuri nama besarmu dengan darah iblis!" lantang suara Ki Murad.
"Hmm..." Rangga hanya berguman saja dengan mata agak menyipit.
"Jangan dengarkan omongannya Rangga, dia
itu manusia licik! Mulutnya sangat berbisa...!" sentak Nurmi ketus.
"Ha... ha... ha...! Kau akan cari pengaruh rupanya, bocah setan!" keras sekali suara Ki Murad.
Rangga jadi terdiam, dia kebingungan juga, karena satu sama lain saling membenarkan dirinya sendiri. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti itu diliputi ke-bimbangan, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda. Dan
mendadak saja pintu gerbang benteng rumah ini hancur. Tampaklah dua ekor kuda putih menerobos masuk pintu gerbang diikuti sekitar enam orang berkuda.
Semua orang yang berada di tempat ini langsung menoleh. *** "Kakek...," desis Nurmi mengenali laki-laki tua yang menunggang kuda putih di
samping seorang wanita muda berbaju merah, hampir sama dengan yang
dikenakan Nurmi.
Para penunggang kuda itu berlompatan turun.
Tampak wanita muda berbaju merah itu bergegas
menghampiri Nurmi. Sedangkan laki-laki tua yang
membawa tongkat, melangkah ringan menghampiri Ki
Danupaya yang masih saja berdiri di ujung tangga beranda depan. "Sudah kudengar semua yang terjadi di sini,
Danupaya. Aku harap secepatnya kau tinggalkan desa
ini!" tegas kata-kata laki-laki tua itu.
"Kenapa kau ikut campur urusan ini, Eyang
Baraga"!" sergah Ki Murad menyeletuk.
Laki-laki tua bertongkat itu hanya mendengus
kecil. Langsung diputar tubuhnya, menatap tajam Ki
Murad. Sementara Ki Danupaya hanya diam saja, kemudian melangkah mendekati Ki Murad dan berdiri di
sampingnya. "Sejak semula sudah kuduga kehadiranmu di
desa ini akan membawa malapetaka...!" dingin nada suara laki-laki tua yang
dipanggil Eyang Baraga itu.
"Ha ha .ha...!" Entah kenapa, tiba-tiba saja Ki Murad tertawa terbahak-bahak.
Ki Murad menjentikkan tangannya, maka empat orang yang masih berada di tangga beranda, langsung melontarkan benda-benda kecil berwarna kuning
keemasan ke arah Eyang Baraga.
"Bedebah! Licik...!" dengus Eyang Baraga menggeram. Laki-laki tua itu
mengebutkan tangannya, dan
langsung cepat memutar tongkatnya bagai balingbaling. Benda-benda kecil berbentuk mata panah itu
berguguran sebelum mengenai sasarannya. Pada saat
yang sama, Ki Murad melesat cepat bagaikan kilat
sambil mengebutkan pedangnya ke arah Nurmi.
"Nurmi, awas...!" seru Rangga tersentak kaget.
Tapi peringatan Pendekar Rajawali Sakti itu terlambat, Nurmi yang tengah terpana oleh satu pola serangan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, hanya terkesiap sehingga ujung pedang Ki Murad menggores bahunya, walaupun
wanita itu sempat me-miringkan tubuhnya ke kanan.
"Akh!" Nurmi memekik tertahan.
Darah langsung merembes keluar dari luka di
bahu wanita itu. Rangga yang melihat kelicikan itu, ja-di geram setengah mati.
Dengan satu teriakan keras,
langsung menyerang Ki Murad. Seketika dicabutnya
pedang pusaka dari warangkanya. Saat itu juga cahaya biru membias terang dari
mata Pedang Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!"
Tidak tanggung-tanggung lagi, Rangga langsung
mengeluarkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Jurus
yang sangat dahsyat dan sukar untuk ditandingi. Terlebih lagi Rangga juga mengerahkan tenaga dalamnya
yang sudah mencapai tahap kesempurnaan. Begitu cepatnya pedang itu berkelebat, sehingga Ki Murad tidak sempat lagi berkelit.
Buru-buru diangkat pedangnya,
memapak pedang yang memancarkan cahaya biru menyilaukan itu. Trang! "Akh...!" Ki Murad terpekik keras.
Laki-laki tua itu jadi terperangah, karena pedang andalannya terbabat buntung! Dan belum lagi bisa menguasai dirinya, Pendekar Rajawali Sakti sudah
kembali mengibaskan pedangnya. Ki Murad bergegas
melompat mundur, tapi gerakannya kalah cepat. Akibatnya.... "Aaa...!" Ki Murad menjerit melengking tinggi.
Tak dapat dihindarkan lagi. Pedang Rajawali Sakti kini telah mengoyak dalam dada
laki-laki tua berjubah putih itu. Darah seketika muncrat bersamaan dengan
ambruknya tubuh tua itu ke tanah. Hanya sebentar Ki


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Murad mampu menggelepar, sesaat kemudian diam tidak bernyawa lagi.
Sementara pada waktu yang bersamaan, Eyang
Baraga juga sudah membereskan empat orang yang
menyerangnya secara curang. Empat orang itu menggeletak berlumuran darah. Mereka semua memandang
Ki Danupaya yang bergerak mundur sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Sementara Nurmi
meringis saat adiknya membebat luka di bahunya.
"Rasanya sudah cukup menahan kesabaranku
selama ini, Danupaya. Rupanya kau tidak bisa lagi diberi kesempatan untuk
merubah diri menjadi benar,"
kata Eyang Baraga, terdengar dingin nada suaranya.
"Kau pikir aku takut..."! Ayo maju kalian semua! Keroyok aku...!" sentak Ki Danupaya sambil mencabut pedangnya. Sret!
"Aku hargai ambisi mu untuk menjadi adipati
yang disegani, Danupaya. Tapi cara dan jalan yang kau tempuh dengan bergabung
bersama Murad, jelas tidak
bisa ku benarkan. Bahkan tega-teganya membunuh istrimu sendiri dan menjual anakmu demi ambisi pribadi. Kau fitnah diriku sebagai pemberontak, hingga harus terpaksa meninggalkan
Desa Kali Wungu ini.
Hhh...! Rasanya sudah cukup tingkah polah
mu, Danupaya," kata Eyang Baraga pelan.
Nada suara laki-laki tua itu terdengar menyesali semua kelakuan Danupaya. Sementara Rangga
hanya mendengarkan saja tanpa membuka mulut sedikit pun. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak mundur beberapa
langkah. Pedang pusakanya
sudah kembali bersemayam dalam warangkanya.
"Jika kau melakukan semua ini dengan cara
yang baik dan benar, tentu aku akan membantumu,
Danupaya. Tapi cara yang kau lakukan membuat perutku mual!" sambung Eyang Baraga.
"Ha ha ha...! Kau pikir aku bodoh, setan tua"
Kau paksa diriku untuk menikahi puterimu yang sudah hamil dan punya anak satu tanpa ayah. Kau pikir
aku puas dengan harta yang kau berikan, walaupun
dengan janji harus pergi setelah anak-anak setan itu berusia dewasa" Ha ha
ha...! Bodoh...! Benar-benar
dungu kau, setan tua!" lantang kata-kata Ki Danupaya. Ucapan Ki Danupaya membuat
Nurmi dan adiknya jadi memerah wajahnya. Tentu saja kata-kata
itu langsung ditujukan pada diri mereka berdua. Dan
mereka benar-benar terkejut
"Eyang..., benarkah itu?" tanya Nurmi dengan suara agak bergetar.
Eyang Baraga menatap tajam penuh geram pada Ki Danupaya. Pelahan kemudian kepalanya terangguk membenarkan.
"Jadi...," suara Nurmi terputus. "Kenapa Eyang tidak mengatakannya padaku?"
"Aku terlalu sayang pada kalian semua. Percayalah, apa yang kulakukan demi kalian berdua, Cucu-cucuku," Eyang Baraga mencoba menjelaskan.
"Eyang jahat..!" desis Nurmi.
Tiba-tiba saja wanita itu melompat cepat dan
berlari kencang menerobos pintu gerbang yang hancur
berantakan. "Nurmi...!" sera Eyang Baraga terkejut
"Kak...!"
Tapi Nurmi sudah lenyap tidak terlihat lagi.
Eyang Baraga menggeram keras. Seketika dia melompat menerjang Ki Danupaya. Begitu cepat terjangannya, sehingga Ki Danupaya tidak sempat lagi berkelit.
Keras sekali tongkat laki-laki tua itu menghantam kepala Ki Danupaya.
Trak! " "Aaa...!" Ki Danupaya menjerit melengking tinggi. "Mampus kau, bajingan tengik!"
geram Eyang Baraga.
Belum lagi tubuh Ki Danupaya yang kepalanya
hancur jatuh ke tanah, Eyang Baraga sudah melompat
ke punggung kudanya. Sekali gebah saja, kuda putih
itu melesat lari bagai anak panah lepas dari busur.
Gadis berbaju merah yang ternyata adik Nurmi, bergegas menyusul dengan kudanya. Demikian juga orangorang yang tadi datang bersama mereka. Pada saat itu, tak seorang pun yang
menyadari kalau sejak tadi
Rangga sudah tidak berada di tempat itu. Sementara,
Ki Danupaya telah tergeletak tak bernyawa dengan kepala hancur. *** Nurmi terus berlari tanpa mempedulikan air
mata yang berlinangan membasahi pipinya. Dia memang pernah mendengar kalau dirinya bukan anak Ki
Danupaya, tapi semua itu selalu dianggap sebagai kabar burung. Tapi setelah Eyang Baraga mengakui
meskipun tanpa kata-kata, hatinya begitu hancur.
Sungguh tidak disangka sama sekali kalau kelahirannya ke dunia ini tanpa diketahui siapa ayahnya sesungguhnya. "Nurmi...!" terdengar panggilan keras dari arah belakang.
Nurmi terus berlari semakin kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi
tingkatannya. Dia terus berlari menerobos masuk ke
dalam Hutan Bukit Mangun. Tapi tiba-tiba saja wanita itu berhenti ketika
mendadak di depannya menghadang seorang pemuda berwajah tampan mengenakan
baju rompi putih. Wanita itu menoleh ke belakang. Tak ada seorang pun terlihat
mengejarnya. Kembali kepalanya berpaling sambil buru-buru menghapus air matanya. "Kenapa kau lari, Nurmi?" tanya Rangga. "Pergi-lah, Rangga.... Biarkan
aku sendiri...," tersendat suara Nurmi. Rangga tersenyum menggeleng-gelengkan
kepala nya. Dihampiri dan digamitnya tangan wanita itu.
Rangga kemudian mengajaknya melangkah. Nurmi
menurut saja, bahkan juga tidak menolak ketika
Rangga membawanya duduk di bawah pohon rindang
yang melindungi mereka dari sengatan matahari. Nurmi hanya tertunduk saja. Kini air matanya sudah kering, namun masih kelihatan sembab pada matanya.
"Nurmi..., kau sudah tahu kalau Ki Danupaya
itu bukan ayahmu. Tapi kenapa bersikap seperti anak
kecil begini" Tidak seharusnya melarikan diri dan me-nyalahkan kakekmu begitu
saja...." "Tidak ada gunanya kau berkata seperti itu,
Rangga," potong Nurmi cepat sebelum Rangga menyelesaikan ucapannya.
"Sejak pertama kali mengenalmu, aku sudah
kagum padamu, Nurmi. Aku tidak ingin rasa kagum
ku kau rusak begitu saja karena sikap kekanakkanakan mu. Berpikir lah secara dewasa, jernih, dan tidak mengikuti perasaan
hati. Aku yakin kau bisa
menarik hikmah dari semua yang telah terjadi," lembut sekali nada suara Rangga.
Nurmi hanya diam tertunduk. "Aku yakin, sikap yang diambil kakekmu ada alasan tertentu demi
kebaikanmu dan adikmu. Aku juga yakin kalau kakekmu tahu siapa ayahmu sebenarnya," sambung
Rangga. "Kalau tahu, mengapa tidak mengatakannya
dari dulu" Kenapa malah mengawinkan ibu dengan
bajingan keparat itu?" agak keras suara Nurmi.
"Kenapa tidak kau tanyakan itu pada Eyang
Baraga?" Rangga malah membalikkan pertanyaan.
Nurmi menatap Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam. Pertanyaan Rangga yang sedikit itu langsung menggetarkan hatinya. Ya..., kenapa tidak ditanyakan langsung pada Eyang Baraga" Kenapa harus
melarikan diri dan membenci orang tua itu" Apa yang
dikatakan Rangga barusan memang tidak ada salahnya. Pelahan wanita itu menundukkan kepalanya.
"Ayo, kuantar menemui kakekmu," ajak Rangga. Sebentar Nurmi mengangkat kepalanya dan
menatap dalam-dalam pada bola mata pemuda itu,
kemudian bangkit berdiri. Rangga ikut bangkit, tapi
belum juga mereka mengayunkan kaki, terdengar suara derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Tak
lama kemudian beberapa ekor kuda menuju tempat
itu. Tampak Eyang Baraga diikuti sekitar enam orang
penunggang kuda. Laki-laki tua itu langsung melompat turun sebelum kudanya berhenti. Bergegas dihampirinya Nurmi yang berdiri didampingi Pendekar Rajawali Sakti. "Nurmi...," agak tertahan suara Eyang Baraga di tenggorokan.
Terasa kaku sikap kakek dan cucu ini. Sementara Rangga bergerak menyingkir ke belakang, membiarkan mereka berdua saja. Sedangkan enam orang
yang ikut serta bersama Eyang Baraga hanya berdiri
saja di tempat yang agak jauh, di samping kudanya
masing-masing. "Maafkanlah aku, Nurmi. Kau boleh membenci
ku, tapi dengarlah dulu penjelasanku," kata Eyang Baraga setelah agak lama juga
terdiam. Nurmi hanya diam saja. Masih sulit rasanya
untuk membuka suaranya. Entah apa yang ada dalam
relung hatinya saat ini, hanya dirinya sendiri yang bisa mengetahuinya. Yang
jelas sikap Nurmi masih terlihat kaku. "Sengaja kulakukan ini semua karena tidak
ingin mengecewakan ayahmu. Memang semua ini kesalahanku yang terlalu angkuh dan keras kepala. Padahal aku tahu kalau antara ibumu dengan ayahmu saling
mencintai. Mereka ku pisahkan saat ibumu mengandungmu. Tapi rupanya mereka masih tetap berhubungan tanpa sepengetahuanku. Hingga setahun setelah
kau lahir, ibumu mengandung lagi. Aku tidak bisa menanggung beban malu terus-menerus. Maka ku putuskan menikahkan ibumu dengan pemuda pilihan ku
yang sebenarnya sudah kuketahui wataknya. Tapi
memang hanya dia yang bersedia, tapi dengan satu
syarat, seluruh harta kekayaanku harus jatuh ke tangannya. Syarat itu kuterima, tapi dengan satu perjanjian pula. Seluruh harta
akan jatuh kepadamu kalau
kau sudah dewasa, dan Danupaya menyetujuinya. Tapi, sama sekali tidak kuketahui maksud sebenarnya
yang terkandung dalam dada laki-laki keparat itu,"
Eyang Baraga menjelaskan dengan suara agak terbatabata. "Di mana ayahku sekarang?" tanya Nurmi.
"Tanpa setahuku, rupanya ayahmu mencoba membawa lari ibumu dari tangan Danupaya, tapi ketahuan.
Akhirnya dia tewas di tangan anak buah Danupaya.
Sebulan setelah peristiwa itu, Danupaya membunuh
ibumu. Saat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena Danupaya sudah menyebar fitnah. Aku dituduh
menghimpun kekuatan dan akan memberontak pada
kerajaan. Terpaksa aku lari dengan membawa adikmu,
tapi tidak sempat membawamu, Nurmi."
Nurmi kembali diam.
"Di mana adikku sekarang?" tanya Nurmi setelah cukup lama berdiam diri.
"Kembali ke pertapaan," sahut Eyang Baraga.
"Eyang..., maafkan aku," lirih ucapan Nurmi.
Eyang Baraga tersenyum dan merengkuh cucunya dalam pelukan. Untuk sesaat mereka saling
berpelukan. Tak ada yang menyadari kalau Rangga telah meninggalkan tempat itu diam-diam. Nurmi melepaskan pelukan kakeknya, lalu menoleh ke arah Rangga tadi berdiri. Tapi wanita itu jadi kebingungan.
"Eh...! Mana dia...?" tanya Nurmi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Siapa, Nurmi?" tanya Eyang Baraga.
"Rangga," sahut Nurmi.
"Kekasihmu?"
"Ah, Eyang...," wajah Nurmi menyemburat merah dadu.
"Ayolah kita pulang," ajak Eyang Baraga.
Nurmi mengangguk dan melangkah di samping
kakeknya. Sesekali wanita itu melayangkan pandangannya ke sekeliling. Dia berharap bisa melihat Pendekar Rajawali Sakti, tapi
sampai jauh berjalan, Rangga tidak terlihat lagi. Nurmi hanya bisa mengucapkan
terima kasih dalam hati saja. Kalau bukan karena Pendekar Rajawali Sakti, entah apa jadinya dia sekarang ini. Mungkin selama
hidupnya akan berkelana tanpa
tujuan pasti, membawa kehampaan hati. Tapi sekarang..., paling tidak dimiliki suatu harapan untuk ma-sa depannya.
SELESAI E-Book by Abu Keisel
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 10 Mustika Lidah Naga 6 Pelarian Istana Hantu 1

Cari Blog Ini