Ceritasilat Novel Online

Pelarian Istana Hantu 1

Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Bagian 1


PELARIAN ISTANA HANTU
Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar Sampul : Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode 20 :
Pertarungan di Pulau Api
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Angin malam yang dingin berhembus meng-gigilkan tulang. Malam ini memang lain
dengan malam sebelumnya. Langit tampak gelap. Bulan sepotong yang tadi tampak di
langit, seakan-akan sudah tidak kuasa lagi untuk menampakkan diri. Sang dewi
malam kini bersembunyi di balik awan tebal yang menghitam dan bergumpal-gumpal.
Glarrr...! Suara keras menggelegar terdengar ketika halilintar menyambar, membelah angkasa.
Untuk beberapa saat lamanya, suasana di permukaan mayapada jadi terang
benderang. Dan seiring terdengarnya suara menggelegar itu, titik-titik air mulai
berjatuhan ke bumi. Mula-mula turun satu-satu dan lambat. Tapi lama-kelamaan
semakin cepat dan banyak. Dan sekarang, benar-benar hujan deras.
Dan ketika halilintar kembali menyambar, suasana di mayapada yang menjadi terang
benderang sekelebatan itu menampakkan sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang
tengah mengendap-endap. Dia baru saja keluar dari dalam sebuah bangunan besar
dan megah tapi terlihat tua. Sebuah pagar tembok tua dan tinggi mengelilingi
bangunan yang berhalaman hias itu.
Glarrr...! Halilintar menyambar kembali, sehingga suasana di bumi menjadi terang benderang
sekejap. Maka sosok berpakaian hitam itu terlihat kembali, namun nampak seperti
ketakutan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, baru setelah itu berlari
cepat menembus sergapan hujan lebat.
Cepat bukan main gerakan sosok hitam itu ketika bergerak melintasi halaman yang
becek karena tersiram hujan. Air berwarna keruh memercik ke sana kemari ketika
kakinya menjejak tanah yang tergenang air. Dan masih dalam keadaan berlari,
kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi seperti sebelumnya, tidak ada
sesuatu yang dilihatnya kecuali kegelapan malam.
Kaki sosok hitam itu terus melangkah. Tak dipedulikan lagi curah hujan yang
membasahi tubuh dan pakaiannya. Dia terus saja berlari, dan arahnya jelas menuju
ke luar bangunan menyeramkan itu.
Glarrr...! Untuk yang kesekian kalinya halilintar menyambar bumi, membuat suasana di
persada sesaat terang benderang kembali.
Mendadak langkah sosok hitam ini berhenti.
Kalau saja suasana malam tidak gelap, keterkejutan hebat yang terpancar di
wajahnya dapat terlihat. Meskipun begitu, dapat diketahui kalau sosok hitam itu
dilanda keterkejutan yang amat sangat. Hal ini ditilik dari langkahnya yang
berhenti secara mendadak dan kedua kakinya yang gemetar keras.
Entah kapan dan bagaimana caranya, pada pagar tembok tampak berdiri sambil
bersandar sesosok tubuh berpakaian merah menyala.
Kedua tangannya bersedakap. Sama sekali tak dihiraukannya hujan yang turun
membasahi tubuh dan pakaiannya.
Tapi hanya sesaat sosok tubuh itu terlihat.
Begitu sinar terang halilintar lenyap, kembali hanya kegelapan saja yang
terlihat oleh sosok tubuh itu.
Belum sempat sosok hitam itu berbuat sesuatu, mendadak suasana di tempat itu
jadi agak terang. Dan kali ini ternyata asal sinar terang itu dari sebuah benda
sebesar kepalan tangan berwarna putih berkilauan yang dibawa sosok berbaju
merah. Kemudian dengan sikap tenang, benda itu digantungkan di lehernya.
Rupanya, pada kedua sisi benda berkilauan itu terdapat lubang kecil. Dan dari
situlah tali kalung dimasukkan.
Dengan adanya benda berkilauan di leher sosok tubuh berbaju merah yang bersandar
di tembok, suasana di tempat itu jadi cukup terang.
Dengan demikian kedua sosok tubuh itu jadi terlihat agak jelas.
"Sungguh tidak kusangka kau berani melanggar pantangan ini, Raksagala," kata
sosok tubuh yang berpakaian merah menyala.
Dia adalah seorang kakek bertubuh tinggi kurus, berkaki satu. Sementara kaki
yang sebelah lagi diganti dengan sebatang besi berujung runcing.
"Maafkan aku, Paman Jonggirupaksi," ucap sosok hitam yang ternyata adalah
seorang pemuda berusia sekttar dua puluh tahun, ber-badan lebar.
Wajah pemuda yang dipanggil Raksagala ini sebenarnya cukup tampan. Tapi terlihat
jadi menyeramkan karena kulit wajah itu begitu pucat.
"Aku berjanji tidak akan mengulanginya,"
lanjutnya. Suara Raksagala terdengar bergetar, dan ada nada kegentaran di dalamnya.
"Hmh...!" kakek berkaki satu yang bernama Jonggirupaksi mendengus. "Tidak ada
kata maaf, Raksagala! Dan kau tahu itu!"
"Tidakkah ada pertimbangan lain, Paman?"
Raksagala mencoba menawar. Meskipun bunyi ucapannya seperti tidak peduli, tapi
nada suara nya jelas menyiratkan permohonan yang amat sangat.
"Hm...," hanya gumaman tak jelas yang menyambuti permintaan laki-laki berwajah
pucat itu. "Kusadari kalau tindakanku ini salah, Paman," sambung Raksagala buru-buru.
"Tapi..., tidakkah Paman sudi memaafkan kesalahanku dengan memandang wajah
guru?" "Cuhhh...!" Jonggirupaksi meludah ke tanah.
"Andaikan gurumu sendiri yang bersalah, dia pun tak luput dari tanganku,
Raksagala! Kau kira aku takut pada gurumu" Lucu! Lucu sekali!"
"Jadi, Paman...," ada kecemasan dalam suara laki-laki berwajah pucat itu.
"Ya," potong Jonggirupaksi sambil menganggukkan kepala. "Seharusnya kau menerima
hukuman mati, Raksagala! Tapi, baiklah.
Karena kau tidak ikut dalam perjanjian, maka aku bersedia membatalkannya.
Meskipun begitu, kau tetap tidak lepas dari hukumanku!"
"Hukuman apa yang akan Paman timpakan padaku?" tanya Raksagala ingin tahu.
"Tidak berat," sahut Jonggirupaksi kalem.
"Aku hanya menginginkan sebelah tanganmu."
Wajah Raksagala berubah.
"Sebelah tanganku?" ulang laki-laki berwajah pucat itu dengan bibir bergetar.
"Kenapa?" Jonggirupaksi malah balik bertanya. "Hukuman itu sebenarnya terlalu
ringan, Raksagala! Seharusnya, tidak hanya sebelah tanganmu saja yang
kuinginkan. Tapi juga kakimu! Kau tahu bukan, apa hukumannya orang yang mencoba
melarikan diri dari Istana Hantu" Siksaan mengerikan sampai mati!"
Kini Raksagala sadar. Sepertinya tidak ada gunanya lagi ribut mulut dengan kakek
berkaki satu ini.
Sia-sia saja. Biar bagaimanapun, dia akan tetap menerima hukuman. Sesaat lamanya
laki-laki berwajah pucat ini berpikir keras. Apakah hukuman yang hendak
dijatuhkan akan di-terimanya saja, atau harus menentangnya" Tapi,
akibatnya akan lebih mengerikan baginya.
Melawan penjaga Istana Hantu merupakan pantangan besar! Sudah dapat dipastikan
kalau dirinya akan menerima siksaan yang begitu mengerikan apabila hal itu nekat
dilakukannya! Selagi Raksagala berpikir keras, Jonggirupaksi sudah melangkah menghampiri.
Lambat dan tenang-tenang saja langkahnya. Tapi akibat yang ditimbulkan setiap
langkahnya luar biasa!
Semakin kakek berkaki satu itu mendekat, semakin kuat perasaan tegang yang
melanda hati Raksagala! Dengan demikian perasaan bingung semakin melanda
hatinya. Di saat hati Raksagala tengah dilanda kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara di
telinganya. Suara yang hanya ditujukan padanya dengan menggunakan ilmu mengirim
suara dari jauh.
"Bersiap-siaplah, Raksagala. Begitu aku menyerangnya, cepat-cepatlah membantuku.
Kita harus cepat..!"
Seketika itu juga perasaan Raksagala tenang kembali. Suara yang terdengar
seketika menimbulkan perasaan tenang di hatinya. Dia kenal betul, siapa pemilik
suara itu. Gurunya!
*** Dengan wajah dingin, Jonggirupaksi terus melangkah menghampiri Raksagala yang
kini telah bersikap waspada. Laki-laki berwajah pucat itu kini telah bersiapsiap menyerang kakek berkaki satu itu.
Mendadak Jonggirupaksi menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke samping kanan
dan langsung bersikap waspada. Pada saat yang sama, tiba-tiba berkelebat sesosok
bayangan menyambar ke arahnya, langsung mengirimkan serangan bertubi-tubi ke
arah kepala dan ubun-ubunnya.
Dari sini saja sudah bisa diukur kelihaian kakek berkaki satu ini Meskipun tanpa
melihat, dia bisa mengetahui serangan yang tertuju ke arahnya. Angin yang
mendahului tibanya serangan itulah yang menjadi patokannya.
Padahal, saat itu hujan masih cukup lebat dan angin pun berhembus mengiringi.
Tapi berkat tingkat kepandaiannya yang tinggi, Jonggirupaksi dapat membedakan
angin sewajarnya dan angin serangan!
Meskipun begitu, karena serangan yang tertuju ke arahnya tiba begitu cepat,
tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan. Terpaksa
Jonggirupaksi harus me-nangkisnya.
Plakkk, plakkk...!
Terdengar benturan keras ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya hebat sekali. Tubuh kedua orang itu
sama-sama terpental ke belakang beberapa tombak.
Jonggirupaksi terhuyung-huyung, dan kedua tangannya terasa bergetar hebat. Jelas
kalau orang yang menyerangnya memiliki tenaga
dalam tinggi. Sementara tubuh orang yang menyerangnya terpental balik, karena
tubuhnya memang tengah berada di udara.
Pada saat yang tepat, Raksagala bertindak.
Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang, dan sesaat kemudian telah
menggenggam sebilah golok. Dan secepat golok itu terhunus, secepat itu pula
tubuhnya melompat menerjang Jonggirupaksi. Golok di tangannya cepat ditusukkan
ke arah perut kakek berkaki satu.
Singgg...! Suara berdesing nyaring mengiringi serangan golok itu. Dari sini saja sudah bisa
diketahui kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan Raksagala.
Jonggirupaksi kaget bukan kepalang. Saat itu, tubuhnya tengah terhuyung-huyung.
Tambahan lagi, dia hanya mempunyai sebelah kaki. Sementara kaki yang sebelah
lagi hanya berupa sebatang besi panjang yang berujung runcing. Setidak-tidaknya,
hal ini cukup mengganggu gerakannya.
Namun Jonggirupaksi memang tokoh luar biasa. Dengan sekali kaki besinya menekan
tanah, dia berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Dan sekali enjot saja, tubuhnya sudah melayang ke atas melewati kepala
Raksagala. Luar biasa! Semua itu dilakukan Jonggirupaksi dalam waktu sekejap saja. Tak
pelak lagi, serangan golok Raksagala hanya mengenai tempat kosong, lewat di
bawah kaki buntung
Jonggirupaksi. Tapi sebelum kakek berkaki satu ini sempat mengirimkan serangan balasan pada
Raksagala, sosok bayangan telah membokongnya lebih dulu dengan beberapa kibasan
tangan. Singgg, singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar ketika benda-benda berkilatan menyambar ke
arah Jonggirupaksi.
Kembali kakek berkaki satu ini mempertunjukkan kelihaiannya. Memang, saat itu
untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi. Maka seketika tangannya terulur
untuk menangkap semua serangan gelap yang menuju ke arahnya.
Tap, tap, tappp...!
Sungguh hebat! Benda berkilat yang mengancamnya ternyata berhasil dilumpuhkan.
Tiga bilah pisau terbang yang tadi mengancamnya, dua berhasil ditangkap.
Sedangkan yang sebuah lagi ditangkap dengan mulutnya!
Bersamaan dengan Jonggirupaksi melumpuhkan serangan gelap itu, Raksagala membabatkan goloknya ke arah perut. Laki-laki berkaki satu itu mencoba mengelak
dengan menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya terlambat! Apalagi
tubuhnya saat itu berada di udara, jadi sangat sulit untuk menghindar.
Wuttt..! Crasss...!
Jonggirupaksi menggigit bibirnya sendiri untuk menahan jeritan yang keluar dari
mulutnya. Perutnya kontan terobek lebar. Darah segar seketika memancur deras
dari bagian yang terluka.
Raksagala tidak menyia-nyiakan kesempatan lagi. Begitu tubuh Jonggirupaksi
terlihat meluruk turun, bergegas diburunya dengan golok berlumuran darah yang
tergenggam di tangan.
Patut dipuji kelihaian Jonggirupaksi.
Meskipun telah mengalami luka yang begitu parah, kedua kakinya masih sanggup
mendarat di tanah. Namun demikian, tetap saja tubuhnya agak terhuyung-huyung.
Baru saja kedua kaki Jonggirupaksi hinggap, golok Raksagala kembali meluncur
deras ke arah dadanya. Maka akibatnya sudah bisa diduga!
Blesss...! Darah segar memancur deras begitu golok Raksagala menghunjam dada Jonggirupaksi
hingga tembus ke punggung. Ada keluhan tertahan keluar dari mulut kakek berkaki
satu itu. Sesaat tubuhnya menegang, lalu ambruk di tanah begitu Raksagala
mencabut goloknya.
Jonggirupaksi tewas setelah menggelepar-gelepar beberapa saat lamanya. Hujan
yang kini tinggal rintik-rintik saja, menitik di tubuh kakek berkaki satu itu
sambil membawa darah ke tanah.
Raksagala menyeka goloknya yang berlumuran darah, lalu memasukkan kembali ke
dalam sarungnya.
Sesaat diperhartikannya mayat kakek berkaki satu itu sejenak. Kemudian tangannya
terulur ke arah benda berkilauan yang tergantung di leher Jonggirupaksi. Dan
kini, benda itu telah berpindah ke tangannya.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini, Raksagala...!" ujar sosok yang tadi membokong
Jonggirupaksi. Dalam keremangan sinar yang timbul dari benda itu, terlihat cukup jelas wajah
dan perawakan sosok di samping Raksagala. Dia adalah seorang kakek bertubuh
sedang, berusia sekitar enam puluh tahun. Namun sayang, matanya picak. Walaupun
tidak mempunyai kumis, tapi jenggotnya cukup panjang dan berwarna putih.
Pakaiannya berwarna abu-abu.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Raksagala segera menjejakkan kakinya. Sesaat
kemudian, tubuhnya melayang ke atas melewati pagar tembok tinggi bangunan
menyeramkan itu.
Sebelum tubuh Raksagala melewati pagar tembok itu, kakek bermata picak juga
menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke atas, menyusul lakilaki berwajah pucat yang menjadi muridnya.
*** 2 Air memercik keras ketika Raksagala dan kakek bermata picak mendaratkan kaki di
tanah luar pagar tembok. Tanah di luar pagar tembok itu memang telah tergenang
air hujan. Dan secepat berada di luar, secepat itu pula mereka melesat meninggalkan tempat
itu. Hanya dalam beberapa langkah saja, Raksagala dan kakek bermata picak telah jauh
meninggalkan tempat itu.
"Aku telah melakukan kesalahan yang amat besar, Raksagala," kata kakek bermata
picak itu setelah cukup jauh meninggalkan bangunan menyeramkan tadi.
Suara kakek itu terdengar pelan, mirip desahan. Nada penyesalan yang amat sangat
tersirat dalam ucapannya. Sementara, kakinya terus saja berlari.
"Maksud, Guru?" tanya Raksagala seraya menoleh, menatap wajah gurunya. Tak lupa,
seluruh kemampuan ilmu larinya dikerahkan untuk mengimbangi lari kakek bermata
picak itu. "Hhh...!" kakek bermata picak menghela napas berat "Rupanya kau masih belum
mengerti, Raksagala."


Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raksagala menundukkan kepala mendengar adanya nada keluhan dalam ucapan gurunya.
"Maafkan aku, Guru," ucap pemuda berwajah pucat itu pelan. "Aku telah
mengecewakan hati Guru."
"Lupakanlah, Raksagala," hibur kakek bermata picak seraya mengulapkan tangannya.
Raksagala terdiam. Dan kini keheningan menyelimuti mereka. Yang terdengar kini
hanyalah suara gemercikan genangan air yang terpijak kaki mereka. Sementara
hujan telah reda.
"Aku menyesal, Guru...," pelan suara Raksagala memecahkan kesunyian yang terjadi
di antara mereka.
"Hm...," hanya gumaman pelan yang
menyambuti ucapan pemuda berwajah pucat itu.
"Perbuatanku telah melibatkan Guru dengan kesulitan," sambung Raksagala lagi,
masih pelan suaranya.
"Hhh...!" guru Raksagala itu menghela napas berat. "Kembali kau salah mengerti,
Raksagala. Perlu kau ketahui, aku sama sekali tidak merasa dilibatkan dalam kesulitan. Aku
tidak takut mati, Raksagala! Aku juga tidak takut mengalami siksaan."
Kakek bermata picak itu menghentikan kata-katanya sejenak, seraya menatap wajah
muridnya. Tapi, Raksagala menundukkan kepala, tak berani menentang pandangan
mata gurunya. Pemuda itu tetap menundukkan kepala sambil terus mengayunkan kaki.
"Tapi perlu kau ketahui, Raksagala. Dengan telah keluarnya aku dari pagar tembok
Istana Hantu, berarti telah layak untuk mati! Aku telah melanggar sumpahku sendiri!"
"Guru...!"
Terdengar jerit keterkejutan dari mulut Raksagala. Pemuda berwajah pucat itu
menatap wajah gurunya dengan wajah semakin terlihat pucat.
"Kurasa, sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui semuanya, Raksagala.
Termasuk namaku," ujar kakek berpakaian abu-abu itu pelan. "Selagi aku masih
hidup. Karena bila aku sudah tiada, kau tak akan pernah tahu semua ini sampai
kapan pun. Kumulai dari namaku."
Raksagala diam terpaku. Memang sudah sejak lama, banyak pertanyaan bergayut di
benaknya. Termasuk teka-teki tentang nama gurunya. Tapi, pertanyaan itu selalu
dijawab gurunya dengan gelengan kepala. Kakek bermata picak itu sama sekali
tidak mau memberi tahu sedikit pun!
"Namaku sebenarnya adalah Sawungrana,"
jelas kakek berpakaian abu-abu itu memulai.
Raksagala mencatat nama itu dalam hati.
Gurunya ternyata mempunyai nama yang cukup gagah. "Aku adalah Ketua Perguruan
Belut Putih. Nah, kurasa sudah cukup aku memperkenalkan diri. Sekarang,
pertanyaan yang selama ini bergayut di benakmu akan kujawab."
Kakek bermata picak yang ternyata bernama Sawungrana menghentikan kata-katanya
sejenak. Di samping untuk mengambil napas, juga untuk mencari kata-kata yang
tepat untuk melanjutkan ceritanya.
"Dulu kau sering bertanya, mengapa semua orang yang berada di dalam Istana Hantu
tidak boleh keluar" Dan bila memaksakan diri keluar, lalu tertangkap, mengapa
harus mendapat hukuman mati" Sekarang akan kujawab pertanyaan yang selama ini
bergayut di benakmu. Namun pertanyaan tentang bangunan tua dan jelek yang
dinamai Istana Hantu, aku tidak mengetahuinya."
Sawungrana menghentikan penuturannya sejenak dan mengambil napas untuk
melanjutkan ceritanya. Sementara Raksagala menunggu kelanjutan penjelasan
gurunya dengan perasaan tegang. Pemuda berwajah pucat itu sama sekali tidak
berusaha menyelak cerita yang akan diutarakan gurunya. Satu hal kini telah
diketahuinya, ternyata gurunya sama sekali tidak tahu, mengapa bangunan yang
mereka tinggalkan itu bernama Istana Hantu.
"Perlu kau ketahui, Raksagala. Semua orang yang berada di dalam Istana Hantu itu
adalah orang-orang tersisih. Orang-orang yang telah terkalahkan. Aku seperti
juga yang lainnya, datang ke tempat itu karena mendapat undangan. Undangan
licik." Sawungrana menghentikan ceritanya
sejenak. Sambil masih terus berlari, tangan kakek bermata picak itu menyelinap
ke balik pinggangnya. Sesaat kemudian, tangan itu kembali keluar bersama
segulung kain kumal dalam genggaman.
"Inilah undangan itu, Raksagala," kata Sawungrana seraya menyerahkan gulungan
kain kumal itu pada Raksagala. Bergegas pemuda berwajah pucat itu menerimanya.
"Bukalah dan baca isinya," perintah Sawungrana mempersilakan.
Tapi sesaat kemudian laki-laki tua itu sadar kalau tidak mungkin hal itu bisa
dilakukan muridnya. Suasana memang agak terang karena sinar yang memancar dari
benda berkilauan yang tergantung di leher Raksagala. Juga karena bulan telah
tampak kembali, dan awan tebal dan hitam telah terusir pergi. Tapi, mana mungkin
pemuda berwajah pucat itu mampu membaca gulungan kain tanpa menghentikan
larinya" "Kita berhenti dulu di sana," ucap Sawungrana.
Telunjuk tangan kanan laki-laki tua itu menuding ke arah sebatang pohon yang
berdiri kokoh dalam jarak sekitar lima tombak di hadapan mereka.
Dalam sekejapan saja guru dan murid itu telah berada di dekat pohon yang
ditunjuk Sawungrana. Bergegas mereka duduk di akar pohon yang melintang keluar
dari dalam tanah.
Tak dipedulikan sama sekali kalau akar pohon itu basah. Toh, pakaian kedua orang
itu pun memang telah basah kuyup.
Raksagala lalu membuka gulungan kain putih yang sudah tak jelas lagi warnanya.
Dan dengan bantuan sinar yang terpancar dari benda
putih berkilauan di tangannya, dibacanya huruf-huruf yang tertera di atas kain
kumal itu. Sawungrana.... Kalau kau bukan seorang pengecut, aku akan mengundangmu untuk ikut serta dalam
pertemuan tokoh-tokoh persilatan. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan, siapa
di antara kita yang berhak mendapat julukan jago nomor satu.
Penghuni Istana Hantu
Raksagala menggulung kembali kain kumal itu, lalu menyerahkan pada gurunya.
"Jadi..., Guru bukan penghuni Istana Hantu itu?" tanya Raksagala mulai mengerti.
Memang tadi laki-laki berwajah pucat itu telah mendengar ucapan gurunya.
Dikatakan, kakek itu adalah Ketua Perguruan Belut Putih.
Tapi, tetap saja hal itu kurang dimengerti Raksagala.
Sawungrana hanya menganggukkan kepala.
Meskipun demikian, hal itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan muridnya.
"Lalu..., mengapa Guru bisa menjadi penghuni istana itu?" desak Raksagala hatihati. Perasaan penasaran itulah yang membuatnya berani mendesak gurunya.
"Kami semua terikat janji," pelan dan lemah sekali suara Sawungrana.
Sementara Raksagala mendengar dengan
hati berdebar tegang. Sudah dapat dipastikan kalau rahasia yang selama ini
menyelimuti Istana Hantu akan terungkap.
"Sebelum terjadi pertarungan, kami telah dipaksa secara halus untuk bertarung.
Siapa yang kalah, harus memenuhi satu permintaan sang pemenang," jawab
Sawungrana. Ada nada penyesalan yang amat sangat dalam suaranya.
"Dipaksa secara halus?" tanya Raksagala masih belum mengerti.
"Ya, dengan kata-kata ampuh. Kalau tidak menerima tantangan itu, kami dianggap
pengecut," Sawungrana menganggukkan kepala.
"Bukan hanya itu saja. Kami pun disuruh mengaku kalah. Tentu saja semua yang
hadir merasa penasaran. Maka semuanya pun menerima tantangan itu, dan dengan
sendirinya berarti bersedia mengikuti taruhan itu."
Raksagala mengangguk pertanda mengerti.
"Namun ternyata mereka memiliki
kepandaian tinggi. Satu persatu tokoh persilatan aliran putih yang diundang
dikalahkan...."
"Guru juga dikalahkan"!" selak Raksagala ingin mengetahui.
Sawungrana mengangguk membenarkan.
"Dan sesuai perjanjian, mereka diharuskan memenuhi permintaan Penghuni Istana
Hantu." "Apa itu, Guru?" tanya Raksagala tidak sabar ketika melihat Sawungrana
menghentikan ucapannya.
"Kau tidak bisa menduganya, Raksagala?"
Sawungrana malah balas bertanya.
Raksagala menggelengkan kepala.
"Yahhh...! Seperti yang kau lihat pada diriku," jawab kakek bermata picak itu
akhirnya. "Maksud, Guru?" tanya Raksagala masih belum mengerti.
"Satu anggota tubuh kami dibuat cacat, dan tidak boleh meninggalkan Istana
Hantu." "Dan guru mengingkarinya?" tanya
Raksagala tidak percaya.
Seketika wajah Sawungrana memerah
mendengar pertanyaan pemuda berwajah pucat itu.
"Aku bukanlah seorang pengecut,
Raksagala!" sentak Sawungrana keras. "Tidak akan kuingkari janjiku sendiri!"
"Maafkan aku, Guru," ucap Raksagala pelan.
Diam-diam pemuda berwajah pucat ini memaki dirinya sendiri. Betapa bodoh
dirinya! Mana mungkin gurunya akan mengingkari janji.
"Belasan tahun aku menetap di Istana Hantu, namun tak pernah sekali pun mencoba
melarikan diri. Padahal kesempatan untuk itu beberapa kali terbuka."
"Lalu..., bagaimana caranya aku bisa berada di dalam sana, Guru?" tanya
Raksagala lagi.
"Kau kutemukan dalam perjalananku
menuju Istana Hantu untuk memenuhi undangan. Saat itu, kau mungkin kurang lebih
berusia empat tahun. Tubuhmu kurus kering karena kelaparan. Saat itu memang
banyak desa yang dilanda kelaparan. Maklum saja, raja yang
memerintah terlalu lalim."
Raksagala tercenung. Sungguh tidak disangka demikian menyedihkan nasibnya.
Sampai-sampai tidak mengetahui orang yang telah melahirkannya ke dunia ini!
"Sebenarnya untuk apa Penghuni Istana Hantu itu mengurung para tokoh persilatan
di Istana Hantu, Guru?" tanya Raksagala setelah beberapa saat lamanya tercenung.
"Aku juga tidak tahu, Raksagala," jawab Sawungrana dengan suara berdesah. "Tapi
menurut berita yang kudengar, hal itu dilakukan sebagai pembalasan dendam."
"Pembalasan dendam"! Jadi, guru dan tokoh-tokoh persilatan aliran putih itu
adalah musuhnya"!"
Sawungrana menggeleng.
"Penghuni Istana Hantu dikurung oleh seorang pendekar sakti. Puluhan tahun
mereka tinggal di situ. Dan baru bisa keluar setelah pendekar itu meninggal
dunia." "Mengapa bisa begitu, Guru?" tanya Raksagala. "Mengapa harus menunggu pendekar
itu meninggal?"
"Pendekar itu tinggal di istana itu juga, Raksagala."
Raksagala mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi, karena tidak bisa lagi membalas dendam pada pendekar itu, Penghuni Istana
Hantu melampiaskan dendamnya pada seluruh pendekar. Begitu, Guru"!"
"Kira-kira begitu," jawab Sawungrana
perlahan. Raksagala terdiam. Sawungrana tidak melanjutkan ucapannya. Sehingga suasana di
sekitar tempat itu jadi hening.
"Untunglah ada dirimu, Raksagala!" desah Sawungrana memecahkan keheningan.
"Kalau tidak, mungkin aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selama berada
dalam Istana Hantu.
Dengan adanya dirimu, aku dapat menyibukkan diri membimbingmu. Dan tanpa
sepengetahuan Penghuni Istana Hantu, aku telah menciptakan ilmu-ilmu baru dan
semuanya telah kuwariskan kepadamu."
Sawungrana menghentikan penuturannya.
Wajahnya tampak muram. Jelas ada sesuatu yang memberatkan dalam pikirannya.
"Kini aku telah melanggar janjiku sendiri.
Aku telah keluar dari Istana. Hantu. Aku tidak patut lagi hidup!" kata kakek
berpakaian abu-abu itu.
"Guru...!" sentak Raksagala keras. Keterkejutan yang amat sangat membayang jelas
di wajahnya. "Tapi aku puas, karena seluruh ilmu yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu.
Kepandaianmu sudah lebih unggul bila dibanding diriku dulu. Bahkan tingkat
kepandaianmu hampir menyamai tingkatku sekarang," jelas Sawungrana tanpa
mempedulikan jeritan muridnya.
"Maafkan aku, Guru," ucap Raksagala lirih.
"Sama sekali tidak kusangka kalau perbuatanku akan mengakibatkan hal seperti
ini" "Lupakanlah, Raksagala," hibur Sawungrana. "Aku tidak menyalahkan tindakanmu.
Bahkan diam-diam aku bersyukur, karena kau berani bertindak seperti ini"
"Heh..."!"
Raksagala terperanjat mendengar ucapan terakhir kakek bermata picak itu.
Sepasang matanya menatap wajah gurunya penuh selidik, mencoba mencari
kebenarannya. "Sudah sejak beberapa bulan yang lalu, aku mempunyai firasat buruk. Aku yakin
ada sesuatu yang terjadi dengan perguruan yang kutinggalkan. Oleh karena
sekarang kau telah bebas, dan sama sekali tidak terikat dengan janji, maka
kutugaskan pergi ke perguruanku untuk melihat-lihat keadaan di sana."
"Apa yang harus kulakukan bila telah tiba di sana, Guru?"
"Membuktikan kebenaran firasatku. Apabila benar terjadi sesuatu, kau kutugaskan
untuk membenahinya."
Setelah berkata demikian, kakek bermata picak ini lalu memberi sebatang tongkat
berwarna hitam dan berukir dari balik bajunya.
Pada bagian pangkalnya dihiasi batu-batu permata berbentuk bulat.
"Dengan adanya tongkat ini, maka kau mempunyai wewenang penuh untuk mengatasi
kemelut yang terjadi. Namun, itu jika memang ada."
Raksagala segera menerima tongkat yang diangsurkan gurunya.
"Apakah Guru tidak ikut pergi bersamaku ke sana?" tanya Raksagala, dengan suara
serak. Sebuah pertanyaan yang bodoh sebenarnya.
Karena kalau Sawungrana ikut ke sana, untuk apa kakek bermata picak itu memberi
tongkat itu padanya"
Sawungrana menggelengkan kepala.
"Aku telah melanggar sumpahku sendiri, Raksagala. Dan hukumannya bagiku adalah
mati!" Perlahan saja ucapan kakek bermata picak itu, tapi di dalamnya terkandung
ketegasan yang tidak bisa dibantah lagi.
"Guru...!"
"Cepat pergi, Raksagala! Sebelum terlambat!
Aku yakin mereka telah mengetahui kepergian kita...!"
Namun belum juga Raksagala bergerak, tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras menyeramkan terdengar.
Kakek bermata picak dan muridnya itu terkejut bukan main. Mereka sama-sama
terjingkat kaget tak ubahnya disengat kalajengking. Suara tawa itu amat dikenal.
Siapa lagi kalau bukan suara Penghuni Istana Hantu!
*** 3 Secepat Raksagala dan Sawungrana bangkit berdiri, secepat itu pula di hadapan
mereka berdiri sesosok tubuh tinggi besar berpakaian merah dalam jarak sekitar
empat tombak. Tanpa memperhatikan lebih jauh pun, Sawungrana dan Raksagala sudah bisa
mengetahui sosok tubuh yang berdiri itu. Siapa lagi kalau bukan Penghuni Istana
Hantu" "Cepat kau pergi, Raksagala! Biar aku yang akan menghadapinya...!" ujar
Sawungrana sambil mendorong tubuh muridnya.
"Tapi, Guru...," Raksagala masih mencoba membantah.
"Cepat..!" seru Sawungrana. Suaranya terdengar lebih keras dari sebelumnya.
Raksagala mendengar adanya tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan dalam
nada suara gurunya. Maka meskipun dengan hati berat, laki-laki berwajah pucat
ini lalu melesat meninggalkan tempat itu.
"Jangan harap bisa lolos dari tanganku...!"
Terdengar suara keras menggelegar, disusul berkelebatnya tubuh Penghuni Istana
Hantu menyusul tubuh Raksagala yang telah melesat lebih dulu. Jelas sudah maksud
laki-laki bertubuh tinggi besar ini. Menghadang kepergian Raksagala!
Tapi hal itu sudah diperhitungkan Sawungrana. Maka begitu Penghuni Istana Hantu


Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tampak bergerak, dia segera melesat memotong alur lompatan laki-laki
bertubuh tinggi besar itu. Dan bukan hanya itu saja yang dilakukan kakek bermata
picak. Kedua tangannya bergerak cepat, melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah
pelipis. Penghuni Istana Hantu itu menggeram. Dia murka bukan kepalang melihat
tindakannya dihalangi. Tanpa berpikir dua kali, segera ditangkisnya serangan
yang tertuju ke arahnya.
Plak, plak...! Terdengar suara berderak keras akibat berbentur-annya dua buah tangan yang samasama mengandung tenaga dalam tinggi.
Akibatnya memang cukup hebat Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke
belakang, karena memang sama-sama berada di udara.
Meskipun begitu, baik Sawungrana maupun Penghuni Istana Hantu mematahkan
kekuatan yang membuat tubuh satu sama lain terdorong.
Dengan gerakan indah dan manis, mereka mendaratkan kaki di tanah.
Sawungrana meringis karena sekujur tangannya terasa sakit-sakit. Dadanya pun
sesak bukan main. Jelas kalau dalam benturan tadi, dia kalah tenaga. Sementara
lawannya justru seperti tidak merasakan akibat benturan itu sama sekali.
Penghuni Istana Hantu menggeram murka melihat Raksagala berhasil meloloskan
diri. Tubuh laki-laki berwajah pucat itu telah lenyap ditelan remangnya malam dan
kerimbunan pepohonan, serta semak-semak lebat Kemurkaan laki-laki tinggi besar
itu dilampiaskannya pada Sawungrana. Karena, dialah yang telah membuat Raksagala
berhasil melarikan diri.
Dalam keremangan sinar rembulan, tampak jelas wajah dan perawakan Penghuni
Istana, Hantu. Raut wajahnya terlihat kasar. Ada dua buah luka bersilangan di
wajahnya yang hanya ditumbuhi jenggot tanpa kumis. Pada bagian dahinya,
terpampang tengkorak berbentuk kepala yang terikat di belakang kepala. Menilik
dari bentuknya yang kecil, mungkin tengkorak kepala anak monyet
"Tidak kusangka, ternyata kau adalah seorang pengecut, Sawungrana!" seru
Penghuni Istana Hantu. Nada suaranya menyiratkan kesinisan yang tajam. "Kalau
tidak menyaksikan sendiri, mungkin aku tidak akan percaya.
Sawungrana ternyata melanggar sumpahnya sendiri! Menjilat ludah yang telah
dikeluarkannya! Ha ha ha...! Sudah bisa kubayangkan, betapa gemparnya dunia
persilatan bila mendengar berita ini!"
"Tutup mulutmu, Barong Segara...!" bentak Sawungrana keras.
Kakek bermata picak ini marah bukan main mendengar ucapan yang dikeluarkan lakilaki bertubuh tinggi besar itu.
"Aku bukan orang seperti itu, Barong
Segara!" lanjutnya.
Laki-laki bertubuh tinggi besar yang ternyata bernama Barong Segara tersenyum
mengejek. "Kau tidak bisa mungkir lagi, Sawungrana!
Kini sudah jelas, kau adalah seorang yang memiliki watak hina! Menjilat ludah
yang telah kau keluarkan sendiri!"
"Aku sama sekali tidak bermaksud keluar dari Istana Hantu, Barong Segara,"
sergah Sawungrana keras.
"Ha ha ha...! Betapa gagahnya ucapan yang keluar dari mulutmu, Sawungrana!
Mungkin kalau tidak kubuktikan sendiri, dapat kau tipu mentah-mentah. Tapi,
biarlah. Kau kuberi kesempatan untuk lolos, Sawunyana. Kau boleh lolos dari
sini, apabila berhasil mengalahkan aku. Ha ha ha...!"
"Keparat..!"
Sawungrana tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Cepat laksana kilat, tubuhnya
melesat menyerang. Tangan kanannya menyampok keras ke arah pelipis. Sementara
tangan kiri berada di pinggang.
Wuttt..! Angin keras berhembus mengawali tibanya serangan kakek bermata picak itu. Tapi
Barong Segara hanya mendengus. Sambil tersenyum mengejek, kaki kanannya ditarik
mundur ke belakang seraya mendoyongkan tubuhnya.
Sehingga, serangan itu lewat sekitar satu jengkal di depan wajahnya. Rambut
laki-laki bertubuh tinggi besar itu sampai berkibaran keras ketika sampokan lawan lewat di
depan wajahnya.
Tapi, serangan Sawungrana tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan
tangan kanannya berhasil dielakkan, tangan kirinya kembali menyusul. Tangan kiri
yang juga berbentuk cakar, menyampok dari bawah ke atas dagu.
Kali ini Barong Segara tidak mengelak lagi.
Segera ditangkisnya serangan itu dengan tangan kanan dari atas ke bawah.
Plakkk...! Untuk yang kedua kalinya terjadi benturan antara dua buah tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi. Suara berderak keras terdengar mengiringi
terjadinya benturan itu. Sawungrana menyeringai. Sekujur tangannya terasa sakit
dan nyeri bukan kepalang! Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya agak terhuyung ke
depan. Namun, tindakan Barong Segara tidak hanya sampai di situ saja. Kaki kanannya
langsung mencuat ke arah perut Sawungrana. Cepat bukan main gerakannya.
Sawungrana terperanjat melihat serangan susulan yang begitu tiba-tiba. Meskipun
begitu, kakek bermata picak ini berhasil membuktikan kalau dirinya bukan tokoh
sembarangan. Segera kakinya dijejakkan ke tanah. Dan sesaat kemudian, tubuhnya
sudah melambung ke atas, melewati kepala Penghuni Istana Hantu.
Sawungrana memang tidak percuma menjadi seorang ketua perguruan. Begitu tubuhnya
berada di atas, kedua tangannya melancarkan serangan cepat dan bertubi-tubi ke
arah ubun-ubun lawan.
Namun rupanya gerakan Penghuni Istana Hantu masih lebih cepat lagi. Tatkala
terasa ada bahaya maut yang mengancam dari atas, kedua tangannya cepat
disampokkan ke atas.
Prattt..! Kembali terjadi benturan antara dua pasang tangan. Dengan sendirinya, Barong
Segara berhasil menyelamatkan selembar nyawanya.
Tepat saat Barong Segara berhasil memperbaiki sikap, kedua kaki Sawungrana
mendarat di tanah. Dan secara berbarengen, keduanya saling membalikkan tubuh dan
berhadapan kembali. Hanya sesaat satu sama lain saling tatap dengan sinar maut
memancar dari sepasang mata masing-masing, dan sekejap kemudian sudah saling
serang kembali. Hanya ada dua pilihan hagi mereka. Membunuh atau dibunuh!
Hebat bukan main pertarungan antara kedua orang sakti itu. Suara menderu dan
mendecit mengiringi setiap serangan mereka.
Tanah terbongkar di sana-sini terkena pukulan nyasar. Genangan air memercik tak
tentu arah. Bahkan daun-daun ikut berguguran dari tangkainya. Malah beberapa batang pohon
juga roboh. Suara bergemuruh mengiringi tumbang-nya pepohonan itu.
Di jurus-jurus awal pertarungan memang berlangsung imbang. Kedua belah pihak
saling melancarkan serangan. Tapi menginjak jurus kelima puluh, Barong Segara
mulai tampak unggul. Laki-laki tinggi besar ini mulai dapat mendesak Sawungrana.
Lewat lima puluh jurus, keadaan Sawungrana kian mengkhawatirkan. Seranganserangannya tidak lagi bertubi-tubi seperti sebelumnya, bahkan lebih sering
mengelak. Menangkis pun hanya sesekali. Karena setiap kali menangkis, tangannya terasa
sakit-sakit dan dadanya sesak.
Sebenarnya tidak aneh jika Sawungrana terdesak, sebab memang bukan tandingan
Barong Segara. Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, mutu ilmu silat maupun
dalam hal tenaga dalam. Maka meskipun Sawungrana telah berusaha keras, tetap
saja tidak mampu mengimbangi lawannya.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Sawungrana melempar tubuhnya ke belakang. Barong
Segara sama sekali tidak mengejarnya. Dibiarkannya saja tindakan kakek bermata
picak itu. Sudah bisa diduga kalau Sawungrana akan menggunakan ilmu lainnya.
Karena Barong Segara sama sekali tidak mengejarnya, maka Sawungrana tidak
mengalami kesulitan untuk bersalto beberapa kali di udara sebelum akhirnya
mendaratkan kedua kaki di tanah.
Dan begitu hinggap, di tangan Sawungrana telah tergenggam sebilah pedang
terhunus. Dan secepat pedang itu berada di tangan, secepat itu pula Sawungrana
memutar-mutarkannya di atas kepala.
Nguuung...! Suara nyaring seperti ada sekelompok lebah mengamuk, mengiringi perputaran
pedang itu. Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang
menggerakkan pedang itu.
*** Barong Segara tentu saja tidak tinggal diam.
Begitu Sawungrana menghunus senjatanya, bergegas ilmu andalannya dikeluarkan.
Cepat Penghuni Istana Hantu ini membentuk kuda-kuda sejajar. Kedua tangannya
dengan jari-jari terbuka saling bersilangan di depan dada. Tapi hanya sesaat
saja hal itu dilakukan, karena sebentar kemudian jari-jari kedua tangannya
perlahan-lahan dikepalkan. Terdengar suara berkerotokan nyaring, seperti ada
tulang-tulang berpatahan ketika jari-jari tangan itu mengepal.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Barong Segara. Setelah kedua
tangannya mengepal, perlahan tapi penuh tenaga, kedua tangan itu ditarik ke
pinggang. Kembali suara berkerotokan nyaring terdengar ketika kedua tangan itu ditarik ke
pinggang. Tampak jelas, betapa kedua tangan itu
menggigil keras, pertanda telah dialiri tenaga dalam tinggi.
Diiringi desahan napas dari mulut, Barong Segara mendorongkan kedua tangannya ke
depan, perlahan-lahan tapi penuh tenaga. Suara berkerotokan keras terus
terdengar mengiringi gerakan kedua tangan itu.
Luar biasa! Begitu desahan napas Barong Segara lenyap, dan kedua tangan yang
semula terletak di pinggang itu terjulur ke depan, sekujur tangan Penghuni
Istana Hantu telah berubah warna menjadi hitam kelam!
Sawungrana terperanjat melihat hal ini.
Tanpa dibuktikan lagi pun sudah bisa diperkirakan kedahsyatan ilmu Penghuni
Istana Hantu. Kakek bermata picak ini tahu kalau Barong Segara tidak tinggal
diam begitu saja selama belasan tahun. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini sudah
pasti memperdalam ilmu-ilmu yang dimilikinya, sehingga sudah memperoleh kemajuan
pesat. Maka Sawungrana tidak bertindak setengah-setengah lagi. Tanpa mempedulikan
perasaan malu karena bersenjata, sementara lawan hanya bertangan kosong, kakek
bermata picak ini segera melompat menerjang.
"Hiyaaa...!"
Air-air di atas pohon dan daun-daun berjatuhan karena getaran akibat pekikan
nyaring Sawungrana.
Dan seiring teriakan itu, pedang di tangannya diputar di atas kepala. Suara
dengung keras seperti ada ratusan ekor lebah tengah mengamuk terdengar mengiringi putaran
pedang itu. Cepat bukan main putaran pedang
Sawungrana sehingga batang pedang itu tidak nampak lagi. Yang terlihat kini
hanyalah sinar kekuningan yang membentuk putaran seperti baling-baling. Dan
mendadak saja, dari balik putaran itu mencuat serangan maut ke arah ubun-ubun
Barong Segara. Cepat, mendadak, dan sama sekali tidak terduga serangan itu, karena muncul dari
balik putaran sinar. Suara berdesing nyaring yang mengiringi serangan itu
menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Tapi Barong Segara sama sekali tidak terkejut mendapat serangan mendadak seperti
demikian. Kedua tangannya yang berwarna hitam kelam itu bergerak cepat di atas
kepala. Menilik dari gelagatnya, seakan-akan Penghuni Istana Hantu ini ingin menangkis
serangan pedang dengan tangan kosong.
Sawungrana mengerutkan alisnya melihat hal itu. Sebagai seorang tokoh tingkat
tinggi, sudah bisa diterka apa yang akan dilakukan lawannya. Dan seketika itu
pula berbagai macam perasaan berkecamuk di hatinya. Benarkah Penghuni Istana
Hantu ini akan menangkis pedangnya dengan tangan kosong" Begitu saktikah
sekarang laki-laki bertubuh tinggi besar ini" Atau begitu sombongnya, sehingga
berani menangkis dengan tangan kosong"
Dugaan Sawungrana ternyata tidak salah!
Barong Segara benar-benar menyambut tusukan pedangnya dengan pergelangan tangan
kanan. Takkk...! Suara berderak keras seperti beradunya dua batang logam keras terdengar.
Akibatnya benar-benar hebat! Tubuh Sawungrana yang tengah berada di udara
seketika terpental balik ke atas.
Sementara Barong Segara sama sekali tidak bergeming!
Sawungrana terkejut bukan main. Dan memang, ada berbagai macam perasaan yang
mendera hatinya. Kekagetan pertama ketika melihat lawan yang memapak pedangnya,
ternyata tidak mendapat luka sedikit pun.
Sementara kekagetan lainnya, ketika merasakan adanya daya tolak yang kuat luar
biasa sehingga tubuhnya terpaksa seperti dilontarkan.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, tidak
sulit bagi Sawungrana untuk mematahkan daya dorong lontaran tubuhnya. Ringan dan
enak saja tubuhnya bersalto di udara beberapa kali, kemudian mendarat mantap dan
tanpa suara di tanah.
Tapi mendadak, mulut kakek bermata picak ini meringis begitu sakit yang amat
sangat terasa menekan dadanya. Rasa sakit yang mau tak mau membuat kedua
tangannya menekan perut.
Beberapa saat lamanya Sawungrana
kebingungan. Dia hanya bisa menduga, dari mana timbulnya rasa sakit itu" Apakah
tanpa diketahui tubuhnya telah terkena racun yang dilepaskan Barong Segara
secara licik" Namun dia yakin betul kalau tidak ada satu serangan pun dari
Barong Segara yang mengenainya.
Ada satu hal lagi yang membuat kakek bermata picak ini yakin kalau dirinya tidak
terkena racun. Dan itu diketahui sewaktu menarik napas. Ada rasa sakit yang
mendera dadanya ketika melakukan hal itu. Sawungrana tahu apa artinya. Dia telah
terluka dalam, dan bukan terkena racun. Tapi yang tidak habis dimengerti, kapan
dia terkena serangan lawan"
Ataukah dalam benturan terakhir tadi" Tapi bila karena benturan terakhir, bukan
hanya dadanya saja yang terasa sesak bukan main. Yang jelas tangannya pun akan
terasa bergetar. Setidak-tidaknya, tangan yang menggenggam senjata akan lumpuh
sejenak! "He he he...!" Barong Segara tertawa terkekeh-kekeh.
Laki-laki berpakaian merah ini memang sejak tadi sama sekali tidak bergerak
menyerang. Dia berdiam diri saja memperhatikan semua tingkah Sawungrana.
"Kenapa, Sawungrana" Sakit dadamu" He he he...!"
"Keparat kau, Barong Segara...!" maki Sawungrana, keras. Wajah dan sepasang
matanya merah membara. "Sungguh tidak kusangka, kau akan bertindak sepengecut
ini. Berlaku curang untuk meraih kemenangan!"
"Tutup mulutmu, Anjing Buduk!" maki Barong Segara keras.
Lenyap seketika itu juga seri di wajah laki-laki bertubuh tinggi besar ini. Yang
tinggal hanyalah kemarahan yang menggelegak.
Penghuni Istana Hantu ini memang pantang dihina.
"Aku tidak serendah itu! Jangan kau samakan aku dengan dirimu! Seorang pengecut,
sehingga menjilat ludahnya sendiri yang telah jatuh ke tanah!"
Wajah Sawungrana semakin memerah. Tapi kali ini bukan amarah, melainkan karena
perasaan malu. Malu karena telah melanggar sumpahnya sendiri.
"Kalau tidak karena bermain curang, mengapa kau mengetahui apa yang kurasakan"!" bantah Sawungrana dengan suara mulai melunak, tapi nadanya berupa
tuduhan. "Itulah kehebatan dari gabungan ilmu yang baru saja kuciptakan!" sahut Barong
Segara, penuh kemenangan. "Kau mau tahu nama ilmu itu"!"
Wajah Sawungrana berubah seketika. Jadi luka dalamnya bukan karena lawan bermain
curang, melainkan karena kedahsyatan ilmu gabungan! Luar biasa! Sungguh sebuah
ilmu yang amat berbahaya!
Melihat kakek bermata picak itu sama sekali tidak menyambuti ucapannya, Barong
Segara sama sekali tidak ambil pusing. Pertanyaan itu
diajukan memang bukan untuk mendapatkan jawaban. Maka tanpa mempedulikan
Sawungrana mendengar atau tidak, Barong Segara menyambung ucapannya.
"Kejadian yang menimpamu adalah akibat ilmu gabungan 'Tangan Penahan Gelombang
Laut' dan 'Ilmu Tangan Pasir Besi'."
Ada seruan tertahan yang keluar dari mulut Sawungrana ketika mendengar
penjelasan Penghuni Istana Hantu. Ilmu yang pertama memang belum dikenalnya.
Tapi ilmu kedua yang disebut tadi, cukup diketahuinya. Dengan


Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Ilmu Tangan Pasir Besi', orang jadi memiliki tangan laksana baja! Hanya saja,
latihan-latihannya pun cukup berat Di antaranya, merendam tangan dalam pasir
besi yang panas.
Jadi, ternyata Barong Segara telah berhasil menguasai ilmu itu.
"Serangan pedangmu kutahan dengan 'Ilmu Tangan Pasir Besi', sementara ilmu
'Tangan Penahan Gelombang Laut' langsung menyusup dan menghantam dadamu! Itu
memang keistimewaannya! Dan ajalmu kini hanya tinggal menunggu waktu saja! Ha ha
ha...!" "Keparat..! Sebelum waktu itu tiba, aku akan menyeretmu pergi bersamaku, Barong
Segara...!"
Setelah berkata demikian, Sawungrana melompat menerjang. Sementara Barong Segara
sama sekali tidak mempedulikannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini terus
saja tertawa terbahak-bahak. Sepertinya, dia tidak merasa
cemas melihat serangan maut yang dilancarkan kakek bermata picak itu.
Tapi baru juga setengah jalan, mendadak tubuh Sawungrana mengejang. Pedang di
tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dari mulut, hidung, dan telinganya tibatiba mengalir cairan merah kental. Tubuhnya roboh di tanah.
Sebentar dia menggelepar-gelepar, sejenak kemudian diam tidak bergerak lagi.
"Ha ha ha...!"
Barong Segara tertawa bergelak melihat tubuh lawannya yang sudah menjadi mayat.
Kegembiraan yang amat sangat tampak membayang di wajahnya.
"Hi hi hi..!"
Mendadak suara tawa melengking nyaring terdengar menimpali. Jelas, suara itu
berasal bukan dari mulut seorang lelaki.
Tapi Barong Segara sama sekali tidak tampak terkejut mendengarnya. Bahkan tetap
saja meneruskan tawanya. Tampak jelas kalau laki-laki bertubuh tinggi besar ini
sama sekali tidak merasa terganggu. Maka kini di malam yang sepi itu terdengar
dua jenis suara tawa yang memecahkan keheningan malam.
"Cukup, Durgasari...!" sentak Barong Segara seraya menghentikan tawanya.
Seketika itu juga suara tawa terkikih itu lenyap. "Lebih baik, lekas kau kejar
murid si keparat ini..! Lenyapkan sebelum terlambat..!"
Tidak terdengar sahutan dari pohon-pohon tinggi tempat asal suara itu. Hanya
saja, setelah Barong Segara menyelesaikan ucapannya, terdengar suara gemerisik pelan dari
salah satu cabang pohon. Hanya sebentar saja, sesaat kemudian tidak terdengar
lagi. Barong Segara mendengus, kemudian
melesat pergi ke arah Istananya. Cepat bukan main gerakannya, sehingga yang
terlihat hanyalah sekelebatan bayangan yang melesat cepat untuk kemudian
menghilang di kegelapan malam.
*** 4 Angin kering membawa debu berhembus keras.
Matahari memang sudah berada tepat di atas kepala. Sinarnya yang panas menyorot
garang, seakan-akan ingin melelehkan semua yang ada di permukaan mayapada.
"Keparat..!"
Seorang pemuda berpakaian abu-abu dan berjenggot pendek berteriak memaki ketika
angin yang membawa debu itu menyambar wajahnya. Akibatnya, salah satu matanya
kemasukan debu. Maka, kontan pemuda itu mengerjap-ngerjapkan mata untuk
mengeluarkan debu yang tidak tahu diri sehingga matanya terasa perih.
"He he he...!"
Seorang pemuda sebaya yang berjalan bersamanya, hanya tertawa terkekeh. Seperti
juga laki-laki berjenggot pendek itu, laki-laki yang tertawa itu berpakaian abuabu. Bibirnya yang sumbing membuat wajahnya nampak lucu ketika tertawa.
"Apa yang kau tertawakan, Patila?" tanya laki-laki berjenggot pendek itu geram.
Nada suaranya menyiratkan perasaan tidak senang.
Laki-laki berbibir sumbing yang ternyata bernama Patila tidak langsung menjawab.
Dia masih sibuk menahan rasa geli yang melanda.
Karuan saja hal ini membuat laki-laki berjenggot pendek itu semakin memuncak
amarahnya. Untung sebelum amarahnya sempat meluap, Patila telah bisa menguasai
diri. "Kelakuanmu yang membuatku geli,
Satrana," sahut laki-laki berbibir sumbing itu memberi tahu. "Hanya sebutir
kecil debu saja telah membuatmu kalang kabut! Aku tidak bisa membayangkan kalau
bukan debu yang menyambar ke arahmu, melainkan sebatang pedang!"
"Ingin kutahu, siapa yang berani melakukan hal seperti itu padaku!" tandas lakilaki berjenggot pendek yang ternyata bernama Satrana. Nada kesombongan nampak
jelas pada wajah, suara, dan sikapnya.
Usai berkata demikian, Satrana membusung-kan dadanya. Tidak hanya itu saja.
Kedua tangannya langsung disedakapkan di depan dada. Sementara, wajahnya
ditolehkan ke sana kemari dengan sikap angkuh.
Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat tingkahnya kecuali Patila. Laki-laki
berbibir sumbing itu menatap sambil menyunggingkan senyum mengejek. Maka
wajahnya yang sudah buruk karena bibir cacat itu, jadi semakin terlihat
mengerikan. Suasana di sekitar tempat itu memang sepi.
Padahal, kedua laki-laki itu tengah berjalan di jalan utama Desa Kali Asem.
Sebuah desa yang terhitung cukup besar dan berpenduduk cukup padat. Rumah
penduduk memang banyak
terhampar di sana-sini, tapi sebagian besar terkunci rapat baik pintu maupun
jendelanya! Jelas, ada sesuatu yang terjadi dengan desa itu.
Rupanya Satrana belum puas dengan sikapnya yang seperti itu. Seraya mengangkat
kepala, tangan kanannya ditepuk-tepukkan ke dada.
Tampak kalau di dada kiri laki-laki berjenggot pendek ini tertera gambar seekor
belut yang bersulamkan benang perak. Gambar yang sama pun tertera di dada kiri
Patila. Kedua laki-laki, yang ternyata berasal dari satu perguruan ini terus melangkah.
Dan gerakan kaki mereka baru terhenti ketika telah sampai di depan sebuah rumah
berdinding batu.
Tok, tok, tok...!
Terdengar suara keras ketika Patila menggedorkan tangannya pada daun pintu yang
tertutup rapat itu.
"Wanara! Keluar kau...! Atau..., kubakar gubukmu ini..!"
Tanpa khawatir terdengar oleh penghuni rumah lainnya, Satrana berteriak-teriak
memanggil sambil terus menggedor-gedor daun pintu. Menilik dari sikapnya, jelas
kalau dia sudah terbiasa bersikap begitu.
Terdengar suara langkah tergesa-gesa dari dalam rumah itu. Sesaat kemudian, daun
pintu itu pun terkuak dari dalam. Suara berderit yang cukup tajam mengiringi
terbukanya pintu.
"O, Den Satrana dan Den Patila kiranya...!"
ucap seraut wajah tua bertubuh ringkih dan berpakaian putih.
Seulas senyum tampak tersungging di bibir laki-laki bernama Wanara yang tampak
gemetar ketika mengucapkan nama kedua laki-laki kasar itu. Dia memang mengenal
mereka yang merupakan murid-murid Perguruan Belut Putih.
"Tidak usah banyak basa-basi, Wanara!"
sergah Satrana keras. "Aku tidak ingin beramah tamah denganmu! Kami datang
kemari atas perintah Ki Kalasura, ketua kami. Dan kau tahu bukan, apa maksudnya"
Panggil Galuh kemari!
Cepat..!" Seketika itu juga wajah laki-laki tua berpakaian putih itu memucat, Galuh adalah
putrinya yang telah berusia hampir dua puluh tahun. Wajahnya memang cantik. Dia
tahu, apa maksud Kalasura menyuruh kedua orang ini mengambil putrinya. Kalasura
memiliki kebiasaan jelek, yakni mempermainkan wanita.
"Tapi.... Tapi, Den... Galuh masih terlalu muda... Dan lagi...."
"Kau mau memanggilnya secara baik-baik, atau kami akan mengambilnya secara
paksa?" potong Satrana tidak sabar. Nada ancaman tampak jelas baik dalam suara maupun
raut wajahnya. Ki Wanara tergagap. Perasaan gelisah yang amat sangat membayang jelas di
wajahnya yang penuh keriput itu. Tapi, Patila dan Satrana sama sekali tidak
tersentuh hatinya melihat laki laki tua berpakaian putih itu bingung karena
perasaan takut. Justru sebaliknya, mereka malah menjadi kian meluap amarahnya.
"Tua bangka keparat! Kau rupanya sudah bosan hidup, ya" Berani-beraninya
menentang kemauan kami!"
Setelah berkata demikian, Satrana segera melayangkan tangannya ke arah pipi
kakek berpakaian putih itu. Terlihat mantap dan cukup cepat gerakannya.
Plakkk...! Telak dan keras sekali tangan kekar Satrana mendarat di pipi kanan Ki Wanara.
Wajah kakek berpakaian putih itu bahkan sampai terpaling ke samping. Bukan hanya
itu saja. Tubuhnya pun sampai terhuyung. Seketika ada cairan merah kental yang menitik di
sudut-sudut mulutnya.
Kemudian tanpa mempedulikan kakek
berpakaian putih itu lagi, Satrana segera melangkah masuk ke dalam rumah. Patila
yang sejak tadi hanya tersenyum-senyum memperhatikan semua tingkah laku
temannya, tanpa banyak bicara segera melangkah mengikuti.
Tapi tak lupa, laki-laki berbibir sumbing yang tidak kalah galak dari rekannya
melayangkan kakinya.
Bukkk...! "Hugkh...!"
Keluhan tertahan terdengar dari mulut Ki Wanara. Tendangan Patila memang keras
bukan main! Apalagi tepat mengenai perutnya.
Seketika itu pula tubuh kakek berpakaian putih ini terlipat ke depan. Kedua
tangannya mendekap perut. Sementara, sepasang matanya
juga melotot. Jelas, kakek ini mengalami kesulitan bernapas akibat tendangan
Patila. Seperti juga Satrana, Patila sama sekali tidak mempedulikan keadaan Ki Wanara.
Mereka tahu, kakek berpakaian putih itu tidak akan tewas karena pukulan dan
tendangan yang telah dikirimkan tadi. Memang, kedua serangan itu dilakukan tanpa
pengerahan tenaga dalam sama sekali. Baik Patila maupun Satrana tahu, siapa Ki
Wanara itu. Dia adalah seorang kakek ringkih yang tidak memiliki ilmu silat
sedikit pun. Jadi seandainya dikerahkan tenaga dalam sedikit saja, bukan tidak
mungkin kakek itu sudah pergi ke alam baka.
Sesaat lamanya, Ki Wanara berdiam diri sambil memegangi perutnya yang terasa
mules bukan main. Malahan juga pernapasannya tersumbat. Dan hal ini terjadi
karena perasaan khawatirnya akan keselamatan Galuh, putrinya!
Di saat Ki Wanara berusaha keras untuk memulihkan keadaannya, Satrana dan Patila
sudah mulai melakukan pencarian ke kamar-kamar.
Brakkk...! Suara berderak keras terdengar mengiringi hancurnya daun pintu terdepan, begitu
Satrana menendang. Dan secepat daun pintu itu sudah lenyap dari ambangnya,
Patila segera bergerak masuk.
"Galuh...! Lari...!"
Ki Wanara yang sudah berhasil memulihkan diri, segera berteriak memperingatkan.
Karuan saja hal itu membuat Satrana yang sudah berada di dalam kamar, segera berlari
keluar kembali. Sementara Patila yang sudah berada di depan pintu kamar yang
satunya lagi, berhenti sejenak di depan pintu. Tak pelak lagi, kedua orang ini
sama-sama berdiri di depan pintu seraya melayangkan pandang ke sana kemari,
mencari-cari putri Ki Wanara.
Mendadak keduanya mendengar langkah kaki yang bergemuruh dan cepat menghantam
bumi. Seketika itu juga keduanya saling berpandangan. Dari saling adu pandang
itu keduanya sepakat kalau asal suara itu adalah dari belakang. Tanpa melihat
pun sudah bisa diduga, Galuh, wanita yang mereka cari-cari telah kabur! Maka
tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua orang itu segera bergerak mengejar.
Ki Wanara tidak tinggal diam. Kakek yang sebenarnya sudah ringkih ini mendadak
lebih gesit karena perasaan khawatir akan keselamatan putrinya. Cepat dia
bergerak ke arah dinding rumah tempat senjata andalannya tergantung. Sebuah
busur dengan sekantung anak panahnya. Ki Wanara memang sejak muda ahli memanah.
Nurseta Satria Karang Tirta 4 Payung Sengkala Karya S D Liong Alap Alap Laut Kidul 9

Cari Blog Ini