Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung Bagian 2
"Terlalu mudah untuk membunuhmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi bukan itu yang
kuinginkan. Kau memang harus mati, tapi penderitaan panjang akan membuat matimu
lebih berkesan," kata Singo Wulung dingin menggetarkan.
Rangga hanya diam saja. Agak
bergetar juga hatinya mendengar ancaman itu. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau
Singo Wulung tidak akan berkata kosong kalau sudah diiringi nada ancaman seperti
ini. Ancamannya akan dilaksanakan, cepat atau lambat.
Singo wulung adalah sosok manusia berhati iblis. Hatinya akan senang dan tertawa
gembira melihat suatu
penderitaan di depan matanya. Baginya, rintihan kesakitan dan jerit kematian
merupakan irama merdu yang sangat menghibur hatinya. Tak ada yang bisa membuat
hatinya gembira, selain melihat penderitaan orang lain.
Terlebih lagi jika penderitaan itu dilakukannya sendiri.
"Kau akan merasakan penderitaan
itu, Pendekar Rajawali Sakti. Ha ha ha...!"
Singo Wulung melangkah keluar
diiringi tawanya yang lepas berderai.
Sedangkan Rangga hanya bisa diam tanpa mampu berbuat apa-apa lagi. Seluruh jalan
darahnya sudah tertotok. Terlalu sukar untuk melepaskannya, karena yang
melakukan totokan ini memiliki ilmu tenaga dalam tinggi. Mungkin Rangga bisa
melepaskan totokan ini, tapi membutuhkan waktu dan pengerahan hawa murni yang
tidak sedikit. Dan bisa-bisa akan lumpuh untuk selamanya jika kekuatan hawa
murninya tidak bisa mengalahkan totokan ini. Untuk melawan dengan tenaga dalam,
rasanya terlalu riskan. Sangat besar risikonya.
Rangga berpikir keras mencari
jalan keluar untuk bisa terbebas dari belenggu yang sangat menyiksa ini.
Masalahnya Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, seberapa tinggi tingkatan tenaga
dalam yang dimiliki Singo Wulung. Kalau masih berada satu tingkat saja, itu akan
mengandung akibat yang tidak kecil. Bahkan bisa lebih parah lagi. Paling tidak
bisa mengakibatkan kematian yang menyiksa sekali. Dan Rangga tidak ingin mati
dengan cara seperti ini.
"Huhhh...!" Rangga mengeluh
panjang. Otaknya terasa buntu, sukar
diajak berpikir. Pandangannya kembali beredar ke sekeliling. Tapi tak ada yang
bisa dijadikan alat untuk membebaskan diri dari belenggu yang menyiksa ini.
Ruangan sempit ini tidak ada apa-apanya sama sekali. Bahkan sepotong kayu pun
tidak nampak. Benar-benar ruangan kosong.
"Setan...!" Rangga memaki
sendiri. *** Suara tawa Singo Wulung masih
terdengar. Kemudian perlahan mengecil, lalu menghilang dari pendengaran.
Laki-laki berbaju merah yang menjadi buronan Pendekar Rajawali Sakti itu masuk
ke dalam ruangan lain yang agak besar, namun seluruh dindingnya terbuat dari
belahan papan. Suara tawa terkekeh terdengar
dari bibir yang selalu merapat kaku, mencerminkan kekejaman yang terpancar dari
sorot matanya. Singo Wulung memandangi sesosok tubuh yang
terbaring di atas pembaringan kayu.
Hanya selembar tikar daun pandan yang menjadi alasnya. Tikar itu sudah lusuh,
dan di beberapa bagian sudah mulai sobek dimakan usia.
"He he he.... Kau sekarang punya teman, Raden Antaka," terdengar kering
nada suara Singo Wulung.
Tubuh yang terbaring itu hanya diam saja. Hanya kepalanya saja yang masih bisa
bergerak menoleh. Laki-laki yang terbaring lemas itu memang Raden Antaka. Jalan
darahnya juga tertotok seperti yang dialami Pendekar Rajawali Sakti. Wajah
pemuda itu nampak memerah, menyimpan segudang kemarahan.
Matanya menatap tajam dan dingin sekali.
"Temanmu itu akan mati secara
perlahan-lahan dan menyakitkan sekali.
Tapi sebelumnya harus menyaksikan kematian menyedihkan dari orang yang harus
dilindunginya. Ha ha ha...!"
sambung Singo Wulung diiringi tawanya yang lepas berderai.
"Keparat..!" geram Raden Antaka.
Pemuda itu sudah bisa menebak
siapa yang dimaksudkan Singo Wulung barusan. Hanya saja hatinya belum yakin
kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa tertangkap oleh buronan dari kerajaannya ini.
Namun mengingat tingkat kepandaian Singo Wulung memang tinggi sekali, Raden
Antaka jadi cemas juga. Tidak mungkin Singo Wulung akan berkata demikian jika
kata-katanya belum terbukti.
"Rangga akan menangkapmu, Singo Wulung. Dan kau akan dihukum mati di depan
rakyat Talang Mega!" ancam Raden Antaka lagi.
"Ha ha ha...! Tak ada yang mampu menangkapku, Raden. Dan ayahmu pasti akan
gembira menerima hadiah kepala putranya sendiri. Raja goblok itu akan gembira
dan menangis sampai
mengeluarkan darah. Kau dan kepalamu akan kembali ke istana seperti pendekarpendekar lain yang dikirim ayahmu ke sini. Ha ha ha...!"
"Iblis...!"
Raden Antaka memang tahu kalau ayahnya mengirimkan beberapa pendekar tangguh
dengan bayaran tinggi untuk menangkap Singo Wulung. Hidup atau mati. Rupanya
jago-jago yang dikirim Prabu Ranakali tidak mampu menandingi kesaktian buronan
ini. Mereka tewas dengan kepala terpenggal. Singo Wulung kemudian mengirimkan
kepala jago-jago itu kembali pada Prabu Ranakali.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, Singo Wulung melangkah keluar dari dalam ruangan
itu. Dia terus berjalan meninggalkan kamar itu, lalu menutup pintunya rapatrapat. Sementara Raden Antaka hanya bisa memaki sendiri dalam hati.
Singo Wulung terus berjalan
sambil tertawa-tawa. Hatinya begitu gembira, karena satu-satunya rintangan yang
terberat sudah jatuh ke tangannya sekarang. Tak ada lagi pendekar tangguh yang
bisa menandinginya, jika
Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak berdaya lagi.
Singo Wulung terus berjalan
keluar dari pondok yang cukup besar ini. Sebuah pondok yang terletak di tengah
hutan, tidak jauh dari Lembah Intan. Letaknya memang cukup tersembunyi, karena
berada di antara lebatnya pepohonan dan semak belukar.
Laki-laki berbaju merah menyala itu menghenyakkan tubuhnya di kursi bambu.
Suara tawanya tidak lagi terdengar.
Dan pandangan matanya terarah lurus ke depan. Bibir yang tipis menyunggingkan
senyuman tipis saat mendengar langkah kaki kuda yang semakin terdengar jelas dan
menuju ke arahnya.
"Hm, dia datang tepat pada
waktunya. Bagus...!" gumam Singo Wulung pelan.
Tak berapa lama kemudian, terlihat seekor kuda putih yang keempat kakinya berwarna hitam, datang menghampiri.
Di punggung kuda itu duduk seorang laki-laki setengah baya mengenakan pakaian
perlente terbuat dari sutra halus berwarna biru terang.
Sebilah pedang panjang tergantung di pinggangnya.
Singo Wulung tetap saja duduk di kursinya, seperti tidak mempedulikan kehadiran
penunggang kuda itu. Laki-laki setengah baya perlente itu melompat turun. Ringan
sekali gerakannya, pertanda tingkat kepan-daiannya cukup tinggi. Dengan langkah lebar,
dihampirinya Singo Wulung.
Langsung saja tubuhnya dihenyakkan di depan laki-laki berbaju merah itu.
"Kau kelihatan kesal sekali,
Kakang. Ada apa?" tanya Singo Wulung langsung, begitu melihat kemurungan wajah
laki-laki setengah baya yang ternyata adalah Ki Rejo.
"Singo, kalau boleh kuberi saran, sebaiknya kau tinggalkan saja tempat ini
secepatnya," ujar Ki Rejo dengan nada berharap.
"Kau mulai tidak menyukai
kehadiranku, Kakang," desis Singo Wulung langsung, dingin sikapnya.
"Bukannya tidak menyukai
kehadiranmu di desa ini, Adikku. Tapi kau sekarang sudah lain. Sekarang kau jadi
buronan pihak kerajaan. Aku tidak ingin tersangkut lagi, Singo. Masalahnya aku
sudah mendengar adanya desas-desus kalau pihak kerajaan mulai mencurigaiku. Kau
tentu tidak ingin menyengsarakan keluarga kakakmu sendiri, bukan" Pikirkan itu,
Singo," kata Ki Rejo berharap sekali.
Singo Wulung tidak menyahuti. Ditatapnya dalam-dalam laki-laki setengah baya
yang tidak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Jalan hidup mereka memang
berbeda, dan sangat jauh bertolak belakang. Singo Wulung lebih
memilih menjadi seorang pengelana yang menjelajah luasnya rimba persilatan yang
penuh kekerasan. Namun persoalan besar terjadi saat dengan sengaja dia membantu
pemberontak untuk menggu-lingkan kekuasaan Prabu Ranakali. Tapi usaha
pemberontakan itu gagal, dan Singo Wulung tertangkap.
Saat itu Singo Wulung memang
sukar ditundukkan. Untunglah dia tertangkap oleh seorang pendekar muda yang
membantu Prabu Ranakali membe-rantas pemberontakan. Pendekar muda itulah yang
sekarang memburunya, setelah Singo Wulung berhasil meloloskan diri dari dalam
penjara. Padahal hukumannya sudah ditentukan, tinggal pelaksanaannya saja. Tapi pendekar
itu sekarang berada di dalam genggamannya, dan kini terkurung dalam sebuah kamar
di pondok ini dalam keadaan tertotok.
"Singo, orang-orang sudah mulai percaya dengan omongan Rupadi," jelas Ki Rejo.
"Biarkan saja. Toh aku tidak
pernah meninggalkan mayat selama satu malam di Lembah Intan," kilah Singo
Wulung. "Tapi sekarang, hampir setiap
malam ada saja yang datang ke lembah itu, Singo. Bahkan kulihat beberapa orang
utusan kerajaan juga tertarik dengan cerita anakku itu. Mereka
sepanjang malam selalu berada di sekitar lembah," kembali Ki Rejo memberi
laporan. "Lalu, apa yang kau khawatirkan?"
Ki Rejo tidak langsung menjawab.
Memang Rupadi tidak pernah tahu kalau mempunyai paman yang sekarang menjadi
buronan kerajaan. Hal itu bisa saja terjadi karena Singo Wulung sendiri tidak
pernah mengunjungi kakaknya di Desa Pucung. Setiap kali dia ingin bertemu
kakaknya, selalu di pondok ini.
"Singo, apakah sebaiknya aku
memberi tahu Rupadi kalau kau adalah pamannya...?" saran Ki Rejo.
"Jangan!" sentak Singo Wulung.
"Aku tidak mau siapa pun mengetahui tentang diriku sebenarnya. Hanya kau yang
tahu, Kakang."
"Tapi keadaan semakin bertambah gawat, Singo."
"Aku akan menghadapinya sendiri.
Kujamin, tidak ada yang menghubungkan aku dengan dirimu."
"Jika pihak kerajaan mencurigaiku dan mendesakku?"
"Katakan kalau kau tidak tahu aku ada di sini. Aku yakin mereka tidak berhak
mengusik kehidupanmu, Kakang.
Jika hal itu dilakukan juga, aku bersumpah akan menumpas habis seluruh anggota
keluarga Prabu Ranakali,"
tegas Singo Wulung.
"Kau selalu saja mencari
kesulitan sendiri, Singo. Tidakkah kau berniat sedikit untuk merubah hidupmu
secara wajar" Punya istri dan
keluarga, Singo?"
"Takdirku sudah berkata, kalau aku harus menjalani hidup seperti ini."
"Tidak, Singo. Kau bisa
merubahnya. Kau bisa pergi jauh dari sini. Ke tempat yang tenang, tanpa ada
seorang pun yang mengetahui latar belakang kehidupanmu."
Singo Wulung menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menyunggingkan senyuman
tipis. Sedangkan Ki Rejo hanya bisa menarik napas panjang.
Memang sukar untuk membujuk adiknya ini. Karena Singo Wulung begitu keras, dan
hati telengasnya sudah menyatu dalam kehidupan yang selalu diwarnai kekerasan
dan darah. "Sebaiknya kau kembali saja,
Kakang. Aku tidak ingin ada orang yang melihatmu menemuiku di sini," kata Singo
Wulung. "Baiklah. Aku pergi sekarang.
Hati-hatilah, kau harus bisa menjaga dirimu sendiri. Aku sudah tidak bisa lagi
berbuat apa-apa, Singo," ujar Ki Rejo.
"Kau sudah banyak memberi bantuan padaku, Kakang. Maaf, aku selalu
menyulitkanmu."
Ki Rejo tersenyum getir. Lalu
bangkit berdiri dan menepuk pundak adiknya ini. Kemudian Ki Rejo
membalikkan tubuhnya. Dengan gerakan ringan sekali, kepala desa itu melompat
naik ke punggung kudanya.
Sebentar Ki Rejo memandangi Singo Wulung yang masih duduk di kursinya, kemudian
menggebah kudanya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Kuda putih itu langsung melesat kencang. Dalam waktu tidak berapa lama saja,
sudah lenyap ditelan lebatnya hutan ini. Sementara Singo Wulung masih tetap
duduk di kursinya, memandang ke arah kepergian Ki Rejo.
"Hhh...!" Singo Wulung menarik napas panjang.
Sebentar kemudian dia bangkit
berdiri dan melangkah masuk ke dalam pondok. Tubuh berbaju merah itu langsung
lenyap begitu pintu pondok tertutup rapat. Tak ada lagi suara terdengar, kecuali
desir angin saja yang terdengar menggosok dedaunan.
*** Saat itu malam sudah merayap
turun. Sekitar Lembah Intan telah terselimut kegelapan. Hanya lembah itu saja
yang masih terlihat terang-benderang. Memang, batu-batu yang
berserakan di dalam lembah itu memancarkan cahaya terang, membuat lembah itu tak
pernah mengenal kata kegelapan.
Di dalam sebuah kamar pondok yang gelap tanpa penerangan dan yang terpencil di
tengah hutan, Rangga masih terbaring tak berdaya di atas lantai batu yang dingin
membekukan tulang. Sudah beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti mencoba membuka
sumbatan jalan darahnya. Tapi setiap kali mencoba, selalu kegagalan yang
didapatkan. "Hsss...!"
"Heh..."!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara
mendesis yang tidak seberapa jauh darinya.
Dinding papan yang tidak terlalu rapat memberi sedikit cahaya untuk menerobos.
Maka ruangan ini sedikit menyingkap selimut kegelapan. Rangga mengedarkan
pandangannya berkeliling.
Tampak seekor ular berwarna hitam yang sebesar lengan merayap masuk dari lubang
di bawah dinding papan ruangan ini.
"Hsss...!"
Rangga langsung teringat kalau dia bisa berhubungan dengan segala jenis ular di
mana pun juga di muka bumi ini. Ilmu itu diperoleh dari Satria Naga Emas, raja
dari segala jenis ular. Ilmu itu memang jarang sekali digunakan, karena Rangga sendiri lebih
menyukai jurus-jurus dan ilmu-ilmu murni dari Rajawali Sakti.
Tapi dalam keadaan seperti ini, Rangga memang membutuhkan sesuatu untuk bisa
terlepas dari belenggu yang menyiksa. Pendekar Rajawali Sakti kemudian
merapalkan ajian yang bisa digunakan untuk berhubungan dengan ular.
"Sahabat! Kau dengar suaraku...?"
Rangga mencoba berhubungan dengan ular yang melingkar di sudut ruangan tidak
jauh darinya. "Hsss...!"
Ular itu menjulurkan kepalanya sedikit ke atas. Rupanya binatang melata itu
mendengar suara Rangga yang disalurkan lewat pengerahan ilmu khusus. Rangga jadi
tersenyum gembira melihat ular hitam sebesar lengan itu rupanya mendengar
suaranya. Ada secercah harapan di hatinya untuk bisa terbebas dari belenggu ini.
"Kemarilah, Sahabatku. Aku perlu pertolonganmu," pinta Rangga dengan suara yang
agak mendesis, bagai suara seekor ular.
"Hsss...!"
"Benar. Aku ada di sini. Tidak jauh darimu. Kau melihatku, bukan...?"
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga sepertinya benar-benar bisa mengerti akan bahasa aneh ular itu.
"Hsss...!"
"Namaku Rangga. Aku putra angkat Satria Naga Emas. Aku bisa berhubungan dengan
bangsamu, karena sudah didaulat oleh Satria Naga Emas menjadi putra angkatnya,"
jelas Rangga. Rupanya ular hitam itu ingin
mengetahui lebih dahulu tentang diri Rangga. Maka dengan senang hati Pendekar
Rajawali Sakti menjelaskan tentang diri dan hubungannya dengan Satria Naga Emas,
yang menguasai seluruh bangsa ular di seluruh mayapada ini.
Mendengar penjelasan Rangga, ular itu bergerak menyusur lantai batu yang dingin
ini. Dia melata perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tersenyum melihat ular itu sudah dekat dengannya.
"Hsss...."
"Berikan saja pagutan pada dada kiri dan kanan serta pusat perutku.
Limpahkan seluruh bisa yang kau miliki," jelas Rangga memberi tahu caranya untuk
bisa terbebas dari totokan Singo Wulung.
"Hsss...."
"Jangan khawatir, Sahabat. Aku tidak akan terpengaruh bisamu. Bahkan bisamu
membantu mempercepat terbukanya sumbatan pada jalan darahku," jelas Rangga lagi.
Ular hitam sebesar lengan itu
merayap naik ke tubuh Rangga. Dia berhenti setelah berada di dada Pendekar
Rajawali Sakti. Lidahnya menjulur-julur. Dan matanya yang bulat merah menatap
lurus bola mata pemuda berbaju rompi putih itu.
"Lakukan saja," kata Rangga
mengetahui kalau ular itu ragu-ragu.
Crab! Crab! "Akh...!" Rangga terpekik
tertahan ketika cepat sekali ular hitam itu memagut dada kanan dan kirinya.
Kemudian ular itu berbalik, lalu kembali mematuk bagian pusat perut Rangga.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti memekik agak tertahan. Mendadak saja seluruh
tubuhnya mengejang, dan keringat sebesar-besar butiran jagung menitik dari
seluruh pori-pori tubuhnya. Ular hitam itu bergegas merayap turun dari tubuh
Rangga, lalu melingkar tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti itu.
Sementara Rangga terus mengerang dan seluruh tubuhnya menggeletar.
Namun sebentar kemudian dia mengejang kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Hanya sebentar Rangga tak bergeming, kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak
berpaling menatap ular hitam yang melingkar di
sampingnya. Bibirnya menyunggingkan
senyum. "Hsss...."
"Terima kasih, Sahabat," ucap
Rangga. Setelah berkata demikian, Rangga bergerak bangkit dan duduk bersila.
Tangannya digerak-gerakkan beberapa kali di depan dada. Kemudian kedua telapak
tangannya menyatu rapat di depan dada. Perlahan-lahan matanya terpejam. Pendekar
Rajawali Sakti bersemadi untuk memulihkan kondisi tubuhnya seperti sediakala.
Tidak lama Rangga melakukan
semadi, kemudian membuka matanya seraya merentangkan kedua tangannya ke samping.
Lalu cepat sekali tangannya dihentakkan ke depan. Terdengar suara hembusan napas
panjang bagai desisan seekor ular. Kembali Pendekar Rajawali Sakti tersenyum.
Tangan kanannya direntangkan pada ular hitam itu.
"Terima kasih. Kuharap bisamu
tidak habis terserap oleh tubuhku,"
ucap Rangga seraya membelai kepala ular itu.
"Hsss...!"
"Ya, aku tahu. Kau memang
memiliki banyak bisa. Hm.... Kau ingin mengatakan sesuatu...?" Rangga memandangi
bola mata ular itu dalam-dalam.
"Hsss...."
"Di mana" Tunjukkan jalannya
padaku." Rangga bergegas bangkit berdiri.
Pendekar Rajawali Sakti agak terkejut juga karena ular hitam itu mengatakan
kalau melihat ada orang lain lagi yang juga terbaring tak berdaya di kamar lain
di dalam pondok ini. Dan sudah bisa ditebak kalau yang dilihat ular ini pasti
Raden Antaka. Pendekar Rajawali Sakti tidak punya waktu lagi.
Dia harus membebaskan orang itu. Siapa pun orangnya, yang jelas harus dibawa
keluar pondok ini. Rangga kemudian membungkuk menjulurkan tangannya.
Kemudian ular itu bergerak, melingkar di tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
*** 6 "Sudah kuduga, kau pasti akan
datang membebaskanku, Rangga," kata Raden Antaka begitu melihat Rangga masuk ke
dalam ruangan yang mengu-rungnya dalam keadaan tubuh tertotok jalan darahnya.
Rangga hanya tersenyum saja,
kemudian cepat menggerakkan jari-jari tangannya, membuka totokan di tubuh Raden
Antaka. Sebentar kemudian pemuda itu sudah menggerinjang, melompat bangkit dari
pembaringan kayu itu.
Tubuhnya digeliat-geliatkan, mencoba mengusir rasa pegal yang membuat tulangtulangnya terasa kaku.
"Cepat tinggalkan tempat ini,"
kata Rangga. Tanpa banyak bicara lagi keduanya bergegas keluar dari kamar itu. Mereka lewat
ruangan tengah dan terus ke ruangan depan. Sebentar saja kedua anak muda itu
sudah berada di luar pondok. Mereka langsung saja berlari cepat menjauhi pondok,
dan baru berhenti setelah berlari cukup jauh.
Rangga melepaskan ular hitam yang melilit tangan kirinya. Ular itu menoleh
sebentar pada Pendekar Rajawali Sakti, kemudian merayap masuk ke dalam semak
belukar. "Ayo...," ajak Rangga seraya
mencolek tangan Raden Antaka.
Raden Antaka tersentak. Pemuda itu agak terpaku melihat Rangga bersahabat dengan
seekor ular hitam yang tentu saja sangat berbisa dan berbahaya sekali. Tapi ular
itu kelihatan jinak sekali. Namun Raden Antaka tidak sempat bertanya, karena
Pendekar Rajawali Sakti sudah berjalan cepat. Bergegas Raden Antaka menyusul
sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tentu saja untuk mengimbangi ayunan
kaki Pendekar Rajawali Sakti yang bergerak cepat.
"Kita pergi ke mana, Rangga?"
tanya Raden Antaka.
"Ke Desa Pucung," sahut Rangga tanpa memperlambat ayunan langkahnya.
"Desa Pucung jauh dari sini,
Rangga. Baru tengah hari nanti bisa sampai ke sana."
"Memang, kenapa...?"
"Sebaiknya kau cari kuda dulu, Rangga."
Rangga langsung menghentikan
ayunan kakinya. Ditatapnya dalam-dalam pemuda itu. Hatinya benar-benar gemas
dengan kemanjaan Raden Antaka. Baru berjalan begini saja sudah mengeluh.
Malah pakai menyuruh mencari kuda segala.
"Dengar, Raden. Aku bukan pemban-tumu. Dan aku bisa meninggalkanmu sendirian di
sini," ancam Rangga tidak bisa lagi memendam kekesalannya.
"Tapi...."
"Kau yang memaksa ikut denganku, dan aku tidak keberatan selama kata-kataku kau
turuti. Ingat, aku bukan pelayanmu, dan kau tidak punya hak memerintahku begitu
saja. Jika tidak ingin berjalan, sebaiknya tinggal saja di sini. Atau kembali
saja ke istana sendirian," tegas kata-kata Rangga.
Raden Antaka langsung terdiam.
Pandangannya beredar ke sekeliling.
Bodoh sekali kalau berkeras kepala tinggal di dalam hutan yang gelap dan
mengerikan seperti ini. Sementara
Rangga sudah kembali mengayunkan kakinya. Bergegas Raden Antaka melangkah
menyusul Pendekar Rajawali Sakti.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Raden Antaka.
Rangga hanya tersenyum saja.
Ditepuknya pundak pemuda manja itu.
Baru kali ini Rangga mendengar Raden Antaka memanggilnya dengan sebutan kakang.
Rupanya nyali pemuda ini masih sebesar kuku jari. Hanya kesombongan saja yang
ada di hatinya. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi.
Sementara malam semakin larut. Udara pun semakin terasa dingin menggigilkan
tubuh. Namun kedua pemuda itu tetap saja berjalan menembus kegelapan dan
lebatnya hutan ini.
*** Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Rangga dan Raden Antaka sudah
sampai di perbatasan sebelah selatan Desa Pucung. Mereka menghentikan ayunan
kakinya ketika melihat seekor kuda dipacu cepat melintasi jalan desa yang
berdebu. Dari jauh Rangga sudah bisa memastikan kalau penunggang kuda itu adalah
Rupadi. Itu bisa dipastikan dari caranya
menunggang kuda yang ugal-ugalan, dan tak ada lagi duanya di desa ini. Hanya
Rupadi yang biasa menunggang kuda seperti itu.
Dugaan Rangga tidak meleset
sedikit pun. Penunggang kuda itu memang Rupadi. Pemuda itu langsung menghentikan
kudanya begitu tiba di depan Rangga dan Raden Antaka. Rupadi bergegas melompat
dari punggung kudanya. Cepat dihampirinya dua pemuda yang berdiri menghadang di
tengah jalan itu.
"Kebetulan sekali kau datang,
Rangga," kata Rupadi dengan napas agak terengah.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Semua orang di desa ini sudah percaya denganku. Bahkan beberapa hari yang lalu,
ada beberapa jago dari istana datang ke sini. Mereka tahu kalau pelaku
pembunuhan di Lembah Intan itu buronan Kerajaan Talang Mega," jelas Rupadi.
Rangga melirik Raden Antaka yang saat itu juga tengah memandangnya.
Raden Antaka yang sudah akan membuka mulut, langsung mengurungkan niatnya kala
melihat lirikan Rangga yang begitu tajam menusuk. Dia tahu kalau Rangga
menginginkan dirinya diam saja.
"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Rangga mulai menduga-duga.
"Sepuluh orang jago dari istana dan tiga puluh orang prajurit, semalam bertarung
melawan orang itu. Tapi
mereka semua tewas. Bahkan beberapa penduduk yang membantu juga tewas,"
sahut Rupadi. "Bicara yang benar, Kisanak. Kau jangan main-main...!" sentak Raden Antaka tidak
bisa lagi menahan diri.
Raden Antaka benar-benar terkejut bukan kepalang mendengar sepuluh jago istana
dan tiga puluh prajurit tewas.
Karena tidak dapat lagi menahan diri, langsung disentaknya Rupadi. Tentu saja
sentakan ini menjadikan Rupadi mendelik. Dia memang tidak tahu siapa sebenarnya
pemuda yang bersama Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga menghembuskan
napasnya saja melihat kelakuan Raden Antaka yang tidak juga berubah.
"Siapa dia, Rangga?" tanya
Rupadi. "Tanyakan saja sendiri," sahut Rangga enggan.
Rupadi menatap tajam Raden Antaka yang belum dikenalnya ini. Meskipun Desa
Pucung berada di dalam wilayah Kerajaan Talang Mega, namun memang tidak semua
rakyat di wilayah kerajaan itu kenal Raden Antaka. Bahkan tidak semua orang
pernah melihat wajah Prabu Ranakali. Dan itu memang sudah biasa.
Rakyat biasa tidak mengenal dan tidak mengetahui anggota keluarga istana.
Biasanya mereka hanya mengetahui nama saja, tanpa mengenal rupa.
"Maaf, Kisanak. Aku hanya bicara pada Rangga. Jadi kalau tidak ada kepentingan
dengan urusan ini, sebaiknya diam saja," kata Rupadi, agak dingin nada suaranya.
"Lancang sekali bicaramu...!"
dengus Raden Antaka geram.
Sementara Rangga yang mengetahui suasana jadi menghangat, hanya bisa menarik
napas saja. Pendekar Rajawali Sakti sendiri sebenarnya sebal dengan tingkah
Raden Antaka yang terlalu pongah, dan selalu merendahkan orang-orang biasa. Tapi
rasanya kasihan juga melihat Rupadi. Masalahnya, Raden Antaka tidak bisa
tersinggung sedikit saja. Dan Rangga tidak bisa
membayangkan seandainya Rupadi tahu siapa pemuda yang berada di depannya ini
sebenarnya. "Tampaknya kau bukan dari Desa Pucung ini. Apakah kau juga seorang pengembara
seperti Rangga?" agak sinis nada suara Rupadi.
"Sepatutnya kau diberi pelajaran tata krama...!" desis Raden Antaka tak bisa
menahan geramnya.
"Ha ha ha...! Kau bicara tata
krama, tapi kau sendiri tidak
mengetahui apa itu tata krama."
Mendadak saja tangan Raden Antaka melayang. Langsung ditamparnya pipi Rupadi.
Kejadian yang tiba-tiba dan tidak terduga itu membuat Rangga
terkejut. Bahkan Rupadi juga tersentak kaget. Tubuhnya sampai terpelintir
mendapatkan tamparan keras pada pipinya. Seketika itu juga darah mudanya
menggelegak mendidih. Wajahnya memerah, dan bibirnya terkatup rapat
memperdengarkan suara mendesis bagai seekor ular.
"Setan...!" geram Rupadi.
Sret! Cring! Rupadi langsung saja mencabut
pedangnya yang tergantung di pinggang.
Pedangnya diputar sedikit dan langsung disilangkan di depan dada. Kemudian,
tiba-tiba saja tubuhnya melompat menerjang sambil membabatkan pedang yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
Wut! "Uts...!"
Buru-buru Raden Antaka
memiringkan tubuhnya ke samping sambil sedikit ditarik ke belakang. Maka tebasan
pedang Rupadi berhasil dielakkannya. Raden Antaka langsung melompat mundur
begitu Rupadi menarik pulang pedangnya dengan kecepatan tinggi.
Sret! Raden Antaka tidak mau kalah.
Segera pedangnya juga dicabut cepat.
Pada saat yang bersamaan, Rupadi sudah
kembali melancarkan serangan dengan menusukkan pedang ke arah dada. Namun
tangkas sekali Raden Antaka
mengibaskan pedangnya, menangkis serangan anak kepala desa itu.
Trang! Dua senjata beradu di depan dada, menimbulkan suara yang cukup keras juga.
Mereka sama-sama melompat mundur satu tindak. Namun cepat sekali Rupadi sudah
kembali memberi serangan. Jurus-jurus pedangnya ternyata cukup membuat Raden
Antaka kerepotan juga. Namun Raden Antaka rupanya memiliki ilmu kepandaian yang
cukup tinggi juga, sehingga masih mampu menandingi putra kepala desa itu.
Mereka masing-masing bertarung mempergunakan senjata pedang. Sementara Rangga
hanya menyaksikan saja dari jarak yang tidak seberapa jauh.
Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa melihat kalau tingkat kepandaian mereka
ternyata seimbang. Hanya kecerdikan dan kelincahan gerak saja yang akan
memenangkan pertarungan ini.
Sementara pertarungan itu terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus
berlalu cepat. Masing-masing rupanya ingin segera menjatuhkan lawan. Namun
tingkat kepandaian yang setaraf, akan mempersulit usaha mereka. Dan kalau tidak
dihentikan, pertarungan ini akan terus berlangsung
lama. Bahkan bukannya mustahil kalau bakal ada yang tewas. Dan ini sama sekali
tidak diinginkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Cukup...!" tiba-tiba Rangga
berteriak keras disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Seketika itu juga pertarungan
terhenti. Kedua pemuda itu sama-sama berlompatan mundur beberapa tindak ke
belakang, dan sama-sama memandang Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak
tidak seberapa jauh.
"Kalian benar-benar picik! Untuk apa kalian bertarung, heh"! Apa dengan
bertarung akan menyelesaikan persoalan sepele ini"!" agak kasar suara Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tidak
peduli kalau bentakannya juga untuk Raden Antaka. Hatinya benar-benar sudah
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebal melihat tingkah Raden Antaka yang cepat naik darah dan selalu memanfaatkan
kedudukannya sebagai putra mahkota.
"Manusia keparat ini telah
menghinaku, Kakang," kata Raden Antaka seraya menunjuk Rupadi dengan ujung
pedangnya. "Kau yang memulai mencari gara-gara!" sentak Rupadi tidak mau kalah.
"Kalian bisa diam, tidak
heh..."!" sentak Rangga keras.
Kembali kedua anak muda itu
terdiam. "Raden, masukkan kembali pedang itu," kata Rangga meminta. "Dan kau juga,
Rupadi." Saat itu Rupadi memandangi Rangga dan Raden Antaka bergantian. Pemuda itu
seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pendekar Rajawali
Sakti memanggil pemuda itu dengan sebutan raden. Siapakah sebenarnya dia..."
Rupadi jadi bertanya-tanya dalam hati. Dipandanginya pemuda yang dipanggil raden
itu dalam-dalam. Masih belum bisa dipercaya, apa yang baru saja
didengarnya. "Raden...," desis Rupadi dengan nada suara setengah bergumam. "Siapa kau
sebenarnya?"
"Aku Raden Antaka, putra Prabu Ranakali," sahut Raden Antaka dengan suara yang
dalam dan terdengar tegas.
"Oh...," Rupadi mengeluh lesu.
Seketika itu juga, pedang yang tergenggam di tangannya jatuh
melumpruk di tanah di samping kakinya.
Dan sesaat kemudian, putra kepala desa itu pun jatuh berlutut. Kedua telapak
tangan menekan tanah, dan kepalanya tertunduk dalam.
"Ampunkan hamba, Raden...," ucap Rupadi lirih, dengan nada suara penuh
penyesalan. "Mm...," Raden Antaka hanya
menggumam saja setengah mendengus.
Rupanya Raden Antaka masih kesal dengan sikap Rupadi yang tadi tidak
memandangnya sama sekali. Sementara itu Rangga sudah berada di samping Raden
Antaka. Dipegangnya tangan Raden Antaka yang menggenggam pedang. Putra Mahkota
Kerajaan Talang Mega itu lalu memasukkan pedangnya ke dalam sarung di pinggang.
"Bangunlah, Rupadi," kata Rangga seraya menepuk pundak Rupadi.
Perlahan Rupadi mengangkat
kepalanya, kemudian bangkit berdiri.
Namun kepalanya kembali tertunduk.
Rangga memungut pedang pemuda itu, lalu memasukkan ke dalam sarungnya yang
tergantung di pinggang Rupadi.
Sedangkan putra kepala desa itu hanya melirik sedikit saja. Sungguh hatinya
menyesal, karena tidak tahu kalau pemuda yang baru saja bertarung dengannya
adalah Raden Antaka, Putra Mahkota Kerajaan Talang Mega.
*** Memang tidak mudah menghadapi
anak-anak muda yang masih berusia remaja. Mereka biasanya selalu mendewakan
keinginan hati tanpa memikirkan akibatnya. Darah muda memang masih melekat dalam
di hati mereka. Segala yang dilakukannya hanya
karena terdorong luapan nafsu yang belum bisa dikendalikan. Dan ini sangat
dirasakan Rangga yang baru pertama kali ini menghadapi darah-darah muda seperti
Raden Antaka dan Rupadi.
Meskipun Rangga telah meluruskan semua kesalahpahaman yang terjadi, namun
tampaknya satu sama lain belum bisa menerima begitu saja. Terutama Raden Antaka
yang masih menyimpan kekesalan. Padahal Rupadi telah meminta maaf, dengan
merendahkan diri.
Raden Antaka kelihatannya belum puas, dan masih ingin melanjutkan
pertarungannya dengan Rupadi. Tapi karena ada Pendekar Rajawali Sakti di sini,
terpaksa semuanya harus disimpan di dalam hati.
"Nah, Rupadi, sekarang katakan padaku, apa saja yang telah kau ketahui, dan
apakah orang itu telah menjarah sampai ke desa ini?" tanya Rangga.
"Tampaknya pembunuh itu tidak
ingin masuk ke desa, Rangga. Dia tetap berada di sekitar Lembah Intan ini,"
sahut Rupadi mencoba menjelaskan apa saja yang diketahuinya.
Bagi Rupadi, kejadian ini
merupakan kesempatan baginya untuk membuktikan kalau dirinya ingin mengabdi pada
Prabu Ranakali. Dan di hati pemuda itu memang terbetik satu
keinginan, dia ingin menjadi seorang prajurit yang handal dan dapat dipercaya.
Dalam hati, Rupadi
berharap, dengan peristiwa ini dia bisa lancar memenuhi segala impiannya selama
ini. Tapi kesalahpahaman yang terjadi dengan Raden Antaka barusan, sedikitnya
telah membuyarkan keinginan untuk bisa menjadi seorang prajurit.
"Lalu, ada berapa banyak prajurit dan jago istana yang sudah ada di Desa Pucung
ini?" tanya Rangga lagi.
"Pastinya aku tidak tahu. Tapi kulihat ada seorang panglima," sahut Rupadi.
"Panglima siapa?" selak Raden
Antaka bertanya.
"Hamba tidak tahu namanya,
Raden," sahut Rupadi dengan sikap hormat.
"Kau tidak tahu nama panglima
itu" Lalu apa saja kerjamu di sini sebagai putra kepala desa, heh"!" agak kasar
nada suara Raden Antaka.
Rupanya putra mahkota itu masih ingin melampiaskan kekesalannya. Dan Rangga
mengetahui, tapi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ampun, Raden. Apa yang hamba
ketahui sangat terbatas. Panglima itu kini tinggal di rumah ayah hamba. Dan yang
hamba ketahui, ada sekitar seratus prajurit menyertainya," jelas Rupadi masih
dengan sikap hormat.
"Seratus prajurit... seperti mau perang saja," dengus Raden Antaka setengah
bergumam. Raden Antaka memandang Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri
di sampingnya. Sedangkan yang dipandang tidak menunjukkan tanggapan apa pun juga.
"Ayahanda Prabu seperti tidak
percaya padamu, Kakang," kata Raden Antaka. Nada suaranya seperti
menyesali tindakan ayahnya yang mengutus jago-jago istana dan prajurit dalam
jumlah besar. "Mungkin ada pertimbangan lain, Raden," sahut Rangga. Sama sekali Pendekar
Rajawali Sakti tidak
tersinggung dengan tindakan Prabu Ranakali.
"Pertimbangan apa..." Ayahanda Prabu sudah mempercayakan masalah ini padamu.
Seharusnya tidak perlu bertindak apa pun sebelum mendapat kepastian. Dengan
begini, akan semakin banyak korban jatuh. Singo Wulung bukan lawan yang enteng,
Kakang. Dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi," kata Raden Antaka dengan
nada suara tinggi.
Rangga hanya tersenyum saja.
Kadang-kadang jalan pikiran Raden Antaka patut mendapat pujian juga.
Tapi lebih banyak membuat kekesalan daripada berbuat sesuatu yang menurut
akal pikiran bisa dimengerti dan patut mendapat pujian. Raden Antaka kembali
memandang pada Rupadi.
"Rupadi, jika kau bisa berbuat sesuatu untuk mencegah pertumpahan darah, aku
akan melupakan persoalan di antara kita tadi. Bahkan aku akan mengangkatmu
menjadi pengawal pri-badiku. Kau akan langsung memiliki pangkat punggawa," tegas
Raden Antaka mantap.
"Raden..., apa yang bisa hamba lakukan" Hamba hanyalah rakyat biasa yang mungkin
belum apa-apa untuk mengabdi pada Gusti Prabu," ujar Rupadi merendah. Padahal di
hati Rupadi begitu gembira. Ini berarti dia punya kesempatan yang lebih besar
lagi untuk bisa menjadi prajurit. Terlebih lagi menjadi seorang pengawal pribadi
seorang putra mahkota. Semua prajurit pasti akan merindukan jabatan seperti itu.
Dan memang, para pengawal anggota keluarga istana rata-rata semuanya berpangkat
punggawa. "Kau memiliki kemampuan yang
cukup, Rupadi. Aku yakin kau bisa melakukan sesuatu," desak Raden Antaka.
"Raden...," Rangga menarik tangan Raden Antaka.
Pendekar Rajawali Sakti membawa Raden Antaka agak menjauh dari Rupadi.
Putra mahkota itu ingin menolak, tapi
tidak berani menolak keinginan Rangga.
Bukan karena Rangga memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, tapi
karena mengingat Rangga adalah sahabat ayahnya.
"Apa maksudmu berkata seperti itu pada Rupadi, Raden?" tanya Rangga yang
menangkap adanya maksud tersembunyi dari kata-kata Raden Antaka tadi.
"Raden Antaka, persoalan pribadi bisa diselesaikan nanti secara pribadi. Dan aku
paling tidak suka persoalan pribadi disangkut-pautkan dengan persoalan yang
menyangkut keamanan dan ketertiban wilayah kerajaan."
"Kau jangan mencurigaiku terus, Kakang," kilah Raden Antaka mencoba mengelak.
"Sorot matamu tidak bisa
berdusta, Raden," desak Rangga.
"Sungguh, aku tidak punya maksud tertentu," Raden Antaka mencoba meyakinkan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah. Kalau begitu, aku jadi saksi dari janjimu tadi. Dan jika kau
mengingkarinya, maka aku pribadi yang akan menghukummu atas persetujuan Prabu
Ranakali," tegas kata-kata Rangga.
Raden Antaka tidak bisa berkata-kata lagi dan hanya menggerutu dalam hati. Putra
mahkota itu tahu kalau apa yang
diucapkan Rangga tidak akan
ditarik kembali.
*** 7 Kaki Rangga terayun perlahanlahan menyusuri halaman belakang rumah Ki Rejo yang luas ini. Udara senja hari
ini terasa begitu segar. Angin berhembus perlahan membawa kesejukan.
Sudah dua hari Rangga tinggal di rumah kepala desa ini, namun tidak melakukan
sesuatu. Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja tidak melakukan sesuatu karena
ingin memberi kesempatan pada Rupadi. Pemuda itu memohon pada Pendekar Rajawali
Sakti untuk mencari tahu, di mana Singo Wulung
bersembunyi, karena pondok di dalam hutan sekitar Lembah Intan sudah tidak
dihuni lagi. Bukan hanya Rupadi, tapi para
prajurit dan jago-jago dari Kerajaan Talang Mega juga terus berusaha mencari
Singo Wulung yang kini menghilang entah ke mana. Mungkin juga Singo Wulung
mengetahui kalau Prabu Ranakali mengirimkan begitu banyak prajurit untuk
menangkapnya kembali.
Maka dia kini bersembunyi di suatu tempat yang sukar diketahui.
Rangga menghentikan ayunan kakinya ketika mendengar langkah kaki halus dari arah
belakang. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya.
Terlihat Lintang berjalan perlahan menuju arahnya. Gadis itu mengenakan baju
hijau muda yang agak ketat membungkus tubuhnya, sehingga membentuk tubuhnya yang
ramping dan indah.
"Mengganggu, Kakang...?" Lintang membuka suara lebih dahulu.
"Tidak," sahut Rangga.
Lintang menghenyakkan tubuhnya di kursi bambu yang ada di bawah sebatang pohon
kemuning. Sayang sekali, pohon ini sedang tidak berbunga, jadi kurang sedap
dinikmati. Sedangkan Rangga hanya berdiri saja di depan gadis itu.
"Kakang masih ingat dengan anak muda yang ingin...," ucapan Lintang terputus.
"Masih," sahut Rangga.
"Mereka tidak akan lagi
menggangguku, Kakang," kata Lintang.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja.
Tentu saja empat anak muda
tanggung itu tidak akan bisa lagi mengganggu gadis ini, karena sudah terkubur
dan menjadi santapan cacing tanah. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
mengetahui siapa yang membunuh mereka.
"Paman sudah membuat mereka tidak bisa lagi menggangguku, Kakang," jelas
Lintang. Ada seulas senyum di bibir gadis itu.
"Apa yang dilakukan pamanmu?"
tanya Rangga berpura-pura tidak tahu.
"Melenyapkan mereka untuk
selamanya," sahut Lintang langsung.
"Siapa pamanmu?" tanya Rangga
lagi. "Aku tidak tahu," sahut Lintang.
"Lalu, dari mana kau tahu tentang mereka?"
"Ayah yang mengatakannya."
Rangga terdiam, namun keningnya agak berkerut dalam. Dirasakan adanya satu
keanehan dalam kata-kata Lintang barusan. Terutama sekali, gadis itu mengatakan
kalau tidak mengetahui siapa nama pamannya yang begitu berbaik hati telah
membebaskan dirinya dari gangguan anak-anak muda tanggung.
Rasanya mustahil seorang
keponakan tidak mengetahui tentang pamannya sendiri. Terlebih lagi pamannya itu
telah membunuh empat orang yang telah mengganggu
keponakannya. "Lintang, apa kau tidak menanyakan tentang pamanmu itu?" tanya Rangga semakin ingin tahu dan
penasaran. "Aku sendiri baru tahu kalau
masih punya paman, Kakang. Tapi ayah mengatakan, paman sudah pergi dan memang
tidak ingin diketahui siapa pun juga."
"Kakakmu tahu tentang ini?" tanya Rangga yang langsung teringat Rupadi.
"Huuu..., Kakang Rupadi tidak mau tahu di rumah ini," sahut Lintang.
"Kenapa?"
"Yaaah.... Setelah...," Lintang tidak meneruskan.
"Setelah apa, Lintang?" desak
Rangga semakin ingin tahu.
"Sejak kekasihnya jadi ibu kami,"
sahut Lintang. "Maksudmu.... Kekasihnya Rupadi sekarang jadi istri...," Rangga juga jadi
terputus suaranya.
Rangga kini baru mengerti, kenapa sikap Rupadi selalu ugal-ugalan. Dan
sepertinya anak muda itu sedang mencari-cari sesuatu yang bisa untuk
membahayakan dirinya sendiri. Rupanya Rupadi sedang melampiaskan kekecewaan
hatinya karena ayahnya yang justru merebut kekasihnya.
"Sebenarnya aku kasihan pada
Kakang Rupadi. Tapi aku juga tidak ingin mendurhakai ayah," nada suara Lintang
terdengar mengeluh.
"Lantas, kau berpihak pada
siapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku tidak berpihak pada siapa-siapa. Tapi memang hubunganku dengan ibu tidak
dekat. Meskipun, aku tidak pernah bersikap memusuhinya," sahut Lintang.
Rangga tersenyum dalam hati.
Dibenarkannya juga sikap Lintang yang tidak berpihak pada siapa pun juga.
Tapi Rangga juga tidak menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Dan dia tidak ingin
terlibat terlalu jauh. Baginya itu merupakan masalah dalam keluarga, dan tidak
ada hak untuk ikut campur.
Sedangkan persoalannya sendiri saja belum tuntas benar. Pendekar Rajawali Sakti
masih harus meringkus buronan yang bernama Singo Wulung.
"Kalau dipikir-pikir, ayah salah juga, ya...," ujar Lintang setengah bergumam,
seperti meminta pendapat.
"Jangan cepat menyalahkan sebelum mengetahui jelas persoalannya, Lintang,"
Rangga menasihati.
"Aku memang tidak tahu persis apa persoalannya. Terserahlah. Itu urusan ayah
dengan Kakang Rupadi," sahut Lintang.
Lagi-lagi Rangga tersenyum saja.
Entah apa arti senyumnya kali ini.
Sedangkan Lintang memandangi pemuda tampan itu, seakan-akan ingin
menikmati ketampanan wajah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memalingkan mukanya,
begitu tahu Lintang
memandanginya terus.
"Lintang, boleh aku tahu siapa nama ibumu?" pinta Rangga.
"Rusila," sahut Lintang.
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ohhh...," Rangga mendesah
panjang. Dia teringat wanita cantik di
kedai yang menemui empat laki-laki
yang dua kali mencoba memperkosa Lintang. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi
tertegun. Untuk apa Rusila mencelakakan anak tirinya sendiri"
"Ada apa, Kakang?" tanya Lintang.
"Tidak...," sahut Rangga tidak ingin mengungkapkan yang belum pasti.
"Kakang sering melamun, ya...?"
"Lintang, kau pernah punya
masalah dengan ibu tirimu?" Rangga malah bertanya.
"Dulu, sebelum dia jadi istri ayah," sahut Lintang.
"Boleh aku tahu?"
"Dia punya adik laki-laki yang menyukaiku. Tapi aku tidak suka, Kakang. Dia
lebih muda, dan lagi aku juga belum ingin berumah tangga...."
"Lalu?"
"Waktu dia mengatakan ingin
melamar, aku tegas-tegas menolaknya.
Eeeh..., dia malah bunuh diri. Rusila pernah menyalahkan aku, tapi entah kenapa,
malah dia menerima lamaran ayah," tutur Lintang.
Rangga mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia kini sudah mengerti kalau Rusila menyimpan dendam. Dan untuk
memudahkan, dia menghancurkan hati Rupadi. Dan sekarang berusaha merusak masa
depan Lintang. Yang pasti Rusila punya maksud untuk menghancurkan keluarga ini
dengan cara yang halus. Rangga memalingkan muka ke arah
lain. Dan pada saat itu, tampak sebuah bayangan merah berkelebat keluar dari
salah satu jendela yang terbuka.
"Kau di sini, Lintang," ujar
Rangga. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat, sehingga membuat
Lintang terperangah bengong.
Dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi.
Lintang masih terpaku memandangi ke arah Rangga tadi lenyap. Sulit dimengerti,
kenapa tiba-tiba saja pemuda itu pergi dengan kecepatan tinggi. Sehingga dia
tidak sempat lagi mengucapkan sesuatu.
*** Ringan sekali Rangga hinggap di atas atap, dan kembali melentingkan tubuhnya ke
udara begitu matanya menangkap lagi bayangan merah yang berkelebat cepat
menyelinap dari rumah yang satu ke rumah lain. Rangga terus melesat cepat
mengejarnya. Gerakannya sungguh cepat, dan ilmu meringankan tubuhnya memang
sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti mampu
bergerak cepat tanpa dapat diikuti pandangan mata biasa.
Pendekar Rajawali Sakti terus
bergerak cepat tanpa berkedip
mengamati bayangan merah yang terus bergerak menuju ke arah selatan. Dan Rangga
tahu kalau arah yang dituju adalah Lembah Intan. Pendekar Rajawali Sakti semakin
mempercepat larinya.
Diyakini kalau bayangan merah itu adalah Singo Wulung, orang yang selama ini
menjadi buronan. Bukan saja olehnya sendiri, tapi sekarang tidak sedikit para
prajurit dan jago-jago dari Kerajaan Talang Mega ikut mencarinya. Dan yang
pasti, tujuan mereka sama.
Slap...! "Heh...!" Rangga terkejut ketika tiba-tiba sebuah bayangan biru berkelebat
memotong arah larinya, ketika sudah keluar dari Desa Pucung.
Cepat Rangga melentingkan
tubuhnya ke belakang, sehingga terjangan bayangan biru itu tak sempat melanda
tubuhnya. Namun begitu Rangga baru menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja
bayangan biru itu berbalik. Kembali diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan
kecepatan tinggi.
"Hap...!"
Bergegas Rangga meletakkan kedua tangannya di samping pinggang. Lalu pada saat
bayangan biru itu dekat, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan
tangannya ke depan.
Deghk! Satu benturan keras terjadi.
Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke belakang dan berputaran dua kali sebelum
mendarat ringan di tanah. Pada saat yang bersamaan, sosok tubuh berbaju biru
juga mendarat manis sekali di tanah.
Rangga menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas lagi. Namun karena
suasana senja mulai gelap, ditambah lagi posisinya tengah membelakangi matahari
yang semakin tenggelam di balik cakrawala, rasanya tidak mudah bagi Pendekar
Rajawali Sakti untuk bisa melihat lebih jelas lagi.
Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Dan
keyakinannya semakin menebal saat bisa memandang orang itu agak jelas. Orang itu
mengenakan baju biru tua agak ketat. Seluruh kepalanya terselubung kain biru tua
juga. Dan itulah yang membuatnya tidak bisa mengenalinya, karena hanya matanya
saja yang terlihat
"Siapa kau?" tanya Rangga, agak dalam suaranya.
Orang berbaju biru tua itu tidak memberi jawaban sama sekali, tapi malah
meloloskan pedang yang
tergantung di pinggang. Rangga semakin menggeser ke samping. Disadari kalau
dalam posisi membelakangi matahari begitu, sangat tidak menguntungkan.
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti memperoleh tempat yang lebih baik lagi,
mendadak saja orang berbaju biru itu sudah melompat cepat
menerjangnya. Pedang keperakan di tangannya berkilatan membuat mata Pendekar
Rajawali Sakti itu jadi tidak bisa melihat dengan jelas.
"Uts...!"
Buru-buru Rangga menarik tubuhnya ke belakang hingga doyong dan hampir roboh
ketika ujung pedang itu
berkelebat cepat mengarah ke lehernya.
Pada saat yang sama, orang itu melontarkan satu tendangan keras mengandung
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Beghk! Satu benturan keras terjadi
ketika Rangga menyampok tendangan itu dengan tangkisan tangan kanannya.
Pendekar Rajawali Sakti terdorong ke belakang beberapa tindak. Namun begitu
datang serangan dari pedang yang berkelebatan cepat, bergegas Pendekar Rajawali
Sakti melompat mundur. Tubuhnya diputar beberapa kali ke belakang, sehingga
lolos dari serangan itu. Namun orang itu terus mencecarnya dengan sabetansabetan pedang yang berkelebatan cepat mengincar bagian-bagian tubuh Rangga
yang mematikan.
"Hup! Yaaah...!"
Sambil berteriak nyaring
melengking tinggi, Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara.
Beberapa kali dia berputaran di udara, membuat salto yang manis dan indah
sekali. Maka serangan-serangan orang itu jadi tak terarah lagi. Pada saat yang
sedikit ini, Rangga cepat mengibaskan tangannya dalam keadaan masih berada di
udara. Bet! Bet! Dua kali tangan Pendekar Rajawali Sakti mengibas sambil mempergunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Namun rupanya orang berselubung biru itu bisa mengelak dengan merundukkan kepala
sedikit. Namun begitu Rangga merubah posisi tubuhnya dan langsung menukik deras
dengan kaki bergerak cepat mengarah ke kepala,
orang berselubung biru itu jadi gelagapan juga. Buru-buru tubuhnya dibanting ke tanah
dan bergulingan beberapa kali.
Tepat di saat Rangga menjejakkan kakinya di tanah, orang berselubung biru itu
melompat bangkit berdiri dengan indahnya.
"Hup...!"
Orang itu langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Dan setelah pedangnya
membuat beberapa gerakan,
kembali orang itu melompat memberikan serangan lagi. Pada saat itu Rangga sudah
siap menerima serangan
berikutnya. Dan ketika ujung pedang orang berbaju biru itu berada tepat di depan
dadanya, secepat kilat Rangga mengatupkan telapak tangannya hingga menyatu
rapat. Tap! Ujung pedang orang berselubung biru itu terjepit pada kedua telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti, kuat sekali. Orang itu berusaha untuk melepaskan
jepitan, namun tenaga dalam yang dimilikinya kalah kuat
dibandingkan tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
"Yaaah...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak nyaring.
Dan seketika itu juga kakinya
dihentakkan ke depan, cepat dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang tidak terduga itu tak dapat dihindarkan
lagi. Des! "Heghk...!" orang itu mengeluh pendek saat tendangan Rangga tepat menghantam
perutnya. Pada saat orang itu terbungkuk, Rangga melepaskan jepitan pada pedang.
Dan dengan kecepatan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu memberi satu pukulan
keras ke arah wajah.
Plak! "Akh...!" orang itu memekik
keras. Kepalanya terdongak ke atas. Dan sebelum bisa melakukan sesuatu, kembali Rangga
melayangkan tangannya.
Gerakan Pendekar Rajawali Sakti sungguh cepat luar biasa. Akibatnya, tidak
sempat lagi orang berselubung biru itu menyadarinya.
Bret! Rangga menjambret selubung kepala orang itu, dan kembali mengirimkan satu
pukulan telak yang mendarat tepat di dada. Orang itu memekik keras.
Tubuhnya terlontar ke belakang sejauh dua batang tombak, lalu keras sekali
ambruk ke tanah.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras Rangga
melompat. Kakinya menyepak pergelangan tangan orang itu, sehingga pedangnya
terlempar jauh entah ke mana. Dan begitu mendarat, Rangga langsung menjejakkan
kakinya di leher. Namun seketika itu juga, pijakannya ditarik kembali. Cepatcepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur dua tindak begitu melihat wajah
yang tidak lagi berselubung kain biru.
"Kau...," terputus suara Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti
memandangi wajah yang sudah
dikenalnya. Dia hampir tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri.
Sedangkan orang itu menggeliat sedikit, kemudian perlahan bangkit berdiri sambil
meringis menahan rasa sakit pada dadanya. Perutnya juga masih terasa mual,
kepalanya jadi pening, dan mata berkunang-kunang.
*** "Kenapa kau lakukan ini, Ki?"
tanya Rangga tidak mengerti dengan sikap Ki Rejo yang menghalanginya mengejar
bayangan merah tadi, bayangan merah yang diyakininya adalah Singo Wulung,
buronan Kerajaan Talang Mega.
Sedangkan orang berbaju biru tua yang memang adalah Ki Rejo, Kepala Desa Pucung
ini hanya meringis saja.
Dada dan perutnya masih terasa sakit, meskipun sudah agak berkurang.
"Perbuatanmu ini bisa sangat
membahayakan sekali, Ki," kata Rangga menyesali. "Kenapa kau menghalangiku
mengejar buronan itu?"
"Karena dia adikku," sahut Ki
Rejo, agak tertahan suaranya.
"Apa..."!" Rangga tersentak
kaget. Pendekar Rajawali Sakti memandangi Ki Rejo dalam-dalam, seakan hendak mencari kepastian dari jawaban kepala
desa yang sangat mengejutkan
itu. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Singo Wulung adalah adik kandung Ki
Rejo yang mempunyai kedudukan paling terhormat di desa ini.
"Seharusnya Prabu Ranakali
memberi tahu padamu terlebih dahulu sebelum kau diberi tugas untuk
menangkapnya," tutur Ki Rejo lagi
"Jadi selama ini kau
menyembunyikan Singo Wulung?" tanya Rangga ingin tahu.
"Tidak," sahut Ki Rejo tegas.
"Ini tanah kelahirannya, dan dia bisa kapan saja berada di sini. Tanpa aku harus
menyembunyikan pun, dia pasti akan ada di sini untuk menghindari pengejaran para
prajurit dan jago-jago istana."
"Di mana sekarang dia berada?"
tanya Rangga lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Ki Rejo.
"Ki..., sikapmu itu bisa
menjatuhkan tuduhan kalau kau
berkomplot dengan pemberontak. Kau tahu apa hukumannya, bukan...?" Rangga
mencoba membujuk.
"Aku benar-benar tidak tahu. Tadi dia memang menemuiku, dan hanya mengatakan
akan menghadapi siapa saja yang mencoba menangkapnya. Aku melihat kau mengejar
dan mencoba menghalangimu," Ki Rejo memberi keterangan.
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Bagaimanapun juga, dia itu
adikku. Tidak ada seorang kakak yang tega membiarkan adiknya tertangkap,
meskipun sudah nyata-nyata melakukan kesalahan besar. Seorang kakak akan selalu
membela adiknya, meskipun harus mengorbankan segala apa yang
dimilikinya," sahut Ki Rejo.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ki. Saat ini tugasku hanya menangkap
Singo Wulung. Masalah dia itu adikmu atau bukan, dan kau ingin menghalangi atau
tidak, itu bukan urusanku. Kau bisa menghadapinya sendiri di depan Prabu
Ranakali nanti," tegas Rangga.
"Kau memang seorang pendekar
sejati, Rangga. Lakukanlah. Dan aku tidak akan menghalangimu. Tapi aku minta
padamu, usahakan agar dia masih bisa hidup dan tidak mati di tanganmu.
Aku lebih senang kalau dia mati di tiang gantungan untuk membalas segala apa
yang telah dilakukannya selama ini," kata Ki Rejo.
"Akan kuusahakan, Ki," janji
Rangga. "Terima kasih," hanya itu yang terucapkan dari bibir Ki Rejo yang sudah keriput.
Setelah beberapa saat terdiam, Rangga kemudian cepat memutar
tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti segera melesat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata Ki Rejo.
Saat itu kegelapan memang sudah menyelimuti seluruh angkasa Desa Pucung. Ki Rejo
menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya kuat-kuat.
Perlahan kaki laki-laki tua itu terayun meninggalkan tempat ini. Namun belum
juga jauh berjalan, terlihat serombongan orang berkuda bergerak cepat menuju ke
arahnya dari Desa Pucung.
Ki Rejo tahu kalau mereka adalah Raden Antaka yang didampingi seorang yang
berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan pakaian seorang panglima. Ki
Rejo menghentikan langkahnya ketika rombongan berkuda itu dekat di depannya.
"Ki Rejo, apakah kau melihat
Rangga lewat sini?" tanya Raden Antaka langsung, tanpa turun dari kudanya.
"Ya. Dia menuju ke selatan,"
sahut Ki Rejo. "Terima kasih, Ki," ucap Raden Antaka.
Raden Antaka langsung menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi sekali. Para
prajurit dan seorang panglima perang yang menyertai segera menggebah kudanya
menuju ke arah selatan. Ki Rejo hanya berdiri saja
setelah melompat ke samping, sehingga terhindar dari terjangan kuda-kuda yang
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilarikan cepat bagai kesetanan itu.
*** 8 Rangga memandangi pondok yang
cukup besar dan tersembunyi di dalam hutan yang lebat ini. Depan pondok yang
cukup lapang hanya ditumbuhi rerumputan yang tidak seberapa tinggi.
Di pondok itu Pendekar Rajawali Sakti pernah dikurung Singo Wulung. Keadaan di
sekitarnya begitu sunyi. Bahkan suara binatang pun tidak terdengar.
Sementara malam telah menyelimuti sebagian belahan bumi ini. Udara terasa begitu
dingin menggigilkan.
Meskipun tak terasa angin berhembus.
Alam di sekitar dekat Lembah Intan ini seakan-akan ikut merasakan ketegangan
yang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya mendekati pondok itu dan berhenti
setelah jaraknya dengan pintu depan pondok sekitar dua batang tombak lagi. Dari
pintu yang terbuka, hanya kegelapan yang tampak di dalam. Pintu yang terbuka itu
seakan-akan memberi suatu pesan atau mungkin juga
penyambutan bagi Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga menggumam dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Suatu ilmu yang dapat membuat
pendengaran menjadi lebih tajam dan peka. Sekecil suara apa pun yang terdengar,
dapat jelas terdengar.
"Hm...," kembali Rangga menggumam dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mendengar tarikan napas yang halus dari dalam pondok.
Begitu halusnya, sampai-sampai sukar untuk bisa didengar, meskipun sudah
menggunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Dan sebelum Pendekar Rajawali
Sakti itu bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja dari dalam pondok itu
melesat sebuah benda bulat berwarna merah. Benda bulat sebesar mata kucing itu
meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup...!"
Manis dan cepat sekali Rangga
melentingkan tubuhnya ke atas, sehingga benda bulat berwarna merah itu melesat
lewat di bawah kakinya.
Benda itu terus meluncur menghantam sebatang pohon hingga hancur dan menimbulkan
ledakan keras. Baru saja Rangga menjejakkan
kakinya di tanah, kembali meluncur benda bulat berwarna merah yang besarnya
tidak lebih dari mata kucing itu. Kali ini Rangga tidak mungkin lagi
melentingkan tubuhnya untuk menghindar. Tapi dengan manis sekali, Pendekar
Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke kanan, maka benda itu lewat sedikit di
samping tubuhnya.
Kembali terdengar ledakan saat benda bulat berwarna merah itu menghantam pohon
di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu. Seketika pohon itu hancur berkeping-keping.
Rangga kembali berdiri tegak. Dua kali serangan itu berhasil dielakkannya.
Sebenarnya tidak sukar bagi Rangga untuk memaksa orang di dalam pondok itu agar
keluar. Pendekar Rajawali Sakti bisa saja menghancurkan pondok itu dengan
menggunakan pukulan jarak jauhnya, tapi hal itu enggan dilakukannya. Karena
orang yang di dalam pondok itu bisa hancur jika tidak memiliki kepekaan dalam
menerima angin pukulan jarak jauh.
"Singo Wulung, sebaiknya kau
keluar...!" seru Rangga keras
menggelegar. Tapi tak ada sahutan sedikit pun.
Rangga yakin kalau yang di dalam pondok itu adalah Singo Wulung. Dua serangan
yang datang tadi merupakan serangan-serangan senjata rahasia yang
dimiliki Singo Wulung. Sangat dahsyat dan berbahaya sekali.
Slap! Mendadak saja dari dalam pondok itu melesat satu bayangan merah yang langsung
meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Bergegas Rangga melompat ke samping,
sehingga bayangan merah itu tidak sampai menabraknya.
Dan bayangan merah itu lewat sedikit di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dari hempasan anginnya, membuat Rangga agak terhuyung juga.
Dan sebelum Rangga bisa menguasai keseimbangan tubuhnya kembali, bayangan merah
itu sudah kembali meluruk deras ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga Rangga tak
sempat lagi menghindar.
Plak! "Akh...!" Rangga memekik agak
tertahan. Pendekar Rajawali Sakti merasakan adanya suatu gedoran sangat kuat pada dadanya.
Akibatnya, tubuh pemuda berbaju rompi putih itu terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak, namun manis sekali berputaran di udara beberapa kali. Lalu
kakinya kini mendarat ringan di tanah.
Cepat Rangga membuat beberapa
gerakan tangan di depan dadanya, begitu merasakan napasnya agak terganggu.
Kembali Pendekar Rajawali
Sakti berdiri tegak, dan bersiap menerima serangan berikut. Namun serangan yang
ditunggu-tunggu tidak juga kunjung datang. Rangga memandangi laki-laki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun yang berdiri tegak sekitar tiga batang tombak di
depannya. Bajunya merah menyala dengan sebilah pedang tergantung di pinggangnya.
*** "Singo Wulung, sebaiknya kau
menyerah saja. Tidak ada gunanya melakukan perlawanan," bujuk Rangga.
"Bicaramu enak sekali, Pendekar Rajawali Sakti. Kau pikir apa
untungnya membiarkan leherku
tergantung, heh..."!" terdengar sinis nada suara Singo Wulung.
"Aku yakin, kau adalah laki-laki ksatria. Seorang ksatria tidak akan memikirkan
untung dan rugi dalam menerima segala akibat perbuatannya,"
kata Rangga tetap dengan nada
membujuk. "Jangan coba-coba mempengaruhiku, Pendekar Rajawali Sakti. Aku masih memberimu
pilihan. Tinggalkan tempat ini, atau akan kembali ke Talang Mega dengan
meninggalkan tubuhmu di sini"
Dengan senang hati aku akan
mengirimkan kepalamu pada Prabu
Ranakali, seperti yang lainnya,"
dingin sekali nada suara Singo Wulung.
Rangga menyipitkan matanya. Kata-kata Singo Wulung barusan seakan-akan
menyentakkan kesadarannya. Selama beberapa hari ini, Pendekar Rajawali Sakti
mendengar kalau Rupadi selalu melihat mayat-mayat tanpa kepala di Lembah Intan.
Sedangkan Ki Rejo sendiri mengatakan, kalau setiap kali anaknya melaporkan ada
mayat tanpa kepala di Lembah Intan, namun mayat itu tak pernah ada lagi di sana,
saat dia dan para penduduk desa
membuktikannya. Itulah sebabnya kenapa Rupadi dikatakan gila dan pemimpi.
Rupanya apa yang dilihat Rupadi itu memang benar. Dan mayat-mayat itu adalah
para jago Talang Mega yang dikirim Prabu Ranakali untuk menangkap Singo Wulung
dalam keadaan hidup atau mati. Pantas saja kalau Ki Rejo tidak pernah
mendapatkan laporan kehilangan dari penduduknya. Karena mereka yang tewas di
Lembah Intan memang bukan penduduk Desa Pucung.
Hanya saja Rangga tidak tahu
kalau setiap kali mayat itu diketahui Rupadi, dengan cepat Ki Rejo
menyingkirkan mayat itu sebelum diketahui penduduk. Ini dilakukan kepala desa
itu untuk menghindari penduduknya dari ketakutan. Tapi akibatnya, Rupadi
disangka gila dan
pemimpi oleh semua orang. Dan bagi Ki Rejo, hal ini lebih baik daripada
penduduknya dibuat resah dan
ketakutan. Sedangkan Singo Wulung selalu mengirimkan kepala-kepala itu kepada
Prabu Ranakali di Istana Talang Mega.
"Bagaimana, Pendekar Rajawali
Sakti..." Jika kau masih sayang kepalamu, sebaiknya cepat angkat kaki dari sini.
Dan jangan lagi mencampuri semua urusanku," tegas Singo Wulung membangunkan
lamunan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sayang sekali, aku harus
membawamu ke tiang gantungan di Talang Mega, Singo Wulung," sahut Rangga mantap.
"Phuih...! Rupanya kau lebih
memilih mampus, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Singo Wulung geram.
Singo Wulung langsung menggeser kakinya ke samping menyusuri tanah sejauh
beberapa tindak. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak tanpa berkedip menatap
tajam buronan berbaju merah itu.
"Kau sudah memilih jalan
kematianmu sendiri, Pendekar Rajawali Sakti. Bersiaplah...!" desis Singo Wulung
dingin. Setelah berkata demikian, Singo Wulung berteriak keras melengking tinggi. Dan
bersamaan dengan itu,
tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Laki-laki berbaju merah menyala itu langsung mengirimkan beberapa pukulan
beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
"Yeaaah...!"
Saat itu juga Rangga menggerakkan lincah kakinya disertai gerakan tubuh yang
indah dan meliuk-liuk bagai seekor belut. Pukulan-pukulan yang dilancarkan Singo
Wulung tidak mengenai sasaran sama sekali. Semuanya dapat dimentahkan dengan
mudah oleh Pendekar Rajawali Sakti yang
menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang selalu digunakan
Rangga dalam menghadapi serangan-serangan mendadak seperti ini.
"Setan...!" rutuk Singo Wulung geram.
Laki-laki berbaju merah menyala itu langsung merubah jurusnya. Terus dicecarnya
Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus ampuh, cepat, dan berbahaya sekali.
Dan setelah mengeluarkan lima jurus dan belum juga mendapatkan hasil, Singo Wulung sudah
mengetahui kelemahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Phuih...!"
Sambil menyemburkan ludahnya
dengan sengit, Singo Wulung langsung menghentakkan kakinya. Diberikannya
tendangan menggeledek ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tendangan yang cepat
dan setengah memutar itu membuat Rangga tersentak kaget.
"Hup...!"
Buru-buru Rangga melentingkan
tubuhnya ke udara dan berputaran beberapa kali. Namun selagi masih berada di
udara, Singo Wulung memberi serangan kembali yang cepat dan sukar untuk diduga
sebelumnya. "Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
*** Dua pukulan beruntun dilontarkan Singo Wulung seraya melompat ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Namun meskipun berada di udara, Rangga masih bisa mengelakkan
pukulan itu manis sekali. Bahkan segera membuka jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti itu
langsung terbuka mengembang, dan....
Bet! Bet! Dua kali Rangga mengibaskan
tangannya cepat ke arah kepala dan dada Singo Wulung. Namun laki-laki berbaju
merah menyala itu tangkas
sekali berhasil mengelakkan serangan Rangga yang cepat dan dahsyat itu.
Kemudian mereka sama-sama meluruk turun ke bawah. Dan hampir bersamaan, mereka
menjejakkan kakinya di tanah.
Saat itu juga, Singo Wulung
kembali menyerang lewat jurus-jurus tangan kosong yang cepat dan bertenaga dalam
tinggi. Sedangkan Rangga manis sekali melayaninya. Beberapa kali diberikannya
serangan balasan. Dan setiap kali Rangga melakukan serangan balik, Singo Wulung
jadi gelagapan dan kalang kabut menghadapinya.
"Phuih...!"
Beberapa kali Singo Wulung
menyemburkan ludahnya dengan geram.
Laki-laki ini benar-benar terkejut sekali. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti
mampu bertahan setelah sepuluh jurus dikeluarkan. Padahal waktu itu terasa mudah
sekali melumpuhkan Rangga. Singo Wulung tidak tahu kalau kekalahan Pendekar
Rajawali Sakti waktu itu karena pikirannya bercabang dua. Di sisi lain Pendekar
Rajawali Sakti harus mencari Raden Antaka yang menjadi tanggung jawabnya,
sedangkan di sisi lain lagi, juga harus
menghadapi Singo Wulung.
Singo Wulung memang tidak
menyadari kalau terlalu menganggap enteng pemuda berbaju rompi putih itu.
Bahkan serangan-serangan balik yang
dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti sungguh berbahaya.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja
Rangga berteriak keras menggelegar.
Dan bagaikan seekor burung
rajawali, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke udara bagai kilat. Lalu tiba-tiba
sekali tubuhnya menukik turun dengan kaki berada di bawah.
Kedua kakinya bergerak cepat mengarah ke kepala Singo Wulung.
"Ikh..."!" Singo Wulung terkejut bukan main. Buru-buru dirinya
dijatuhkan ke tanah dan bergulingan beberapa kali di tanah berumput tebal itu.
Sedangkan serangan yang
dilancarkan Rangga, menemui tempat kosong. Namun cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti merubah jurusnya, tepat pada saat Singo Wulung bangkit berdiri. Saat itu
Rangga sudah cepat mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah...!" teriak Rangga
menggelegar. Des! "Akh...!" Singo Wulung memekik keras agak tertahan.
Pukulan Rangga menggunakan
'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tak bisa terbendung lagi. Kepalan tangan Pendekar
Rajawali Sakti tepat menghantam dada Singo Wulung. Akibatnya buronan berbaju
merah menyala itu
terpental menghantam tanah keras sekali.
"Hup...!"
Namun cepat sekali Singo Wulung bisa bangkit berdiri. Meskipun limbung, namun
hanya sebentar saja.
Terlihat dari sudut bibirnya
mengeluarkan darah segar. Singo Wulung menyeka darah dengan punggung
tangannya. Mulutnya mendesis
menggeram, dan matanya memancarkan kemarahan yang menggelegak dalam dada.
Sret! Cring! Singo Wulung mencabut pedangnya yang sejak tadi tergantung di
pinggang. Pedangnya dikibaskan beberapa kali di depan dada, membuat beberapa
gerakan pembuka jurus.
"Hiyaaa...!"
Bet! Wuk! Singo Wulung berteriak keras
sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali ke arah bagian-bagian tubuh Rangga
yang mematikan. Namun manis sekali Rangga meliuk-liukkan tubuhnya menghindari
serangan pedang yang dilancarkan Singo Wulung.
Singo Wulung semakin bertambah geram, karena serangan-serangannya tak ada satu
pun yang mengenai sasaran.
Saat itu juga disadari kalau tengah berhadapan dengan tokoh rimba
persilatan yang masih berusia muda dan memiliki tingkat kepandaian yang sukar
diukur. Bet! Tap! Tepat ketika pedang Singo Wulung menusuk ke arah dada, cepat sekali Rangga
mengebutkan tangannya. Dan tiba-tiba saja, ujung pedang buronan berbaju merah
itu terjepit di antara dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hih...!"
Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Singo Wulung mencoba melepaskan pedang dari jepitan jari tangan Rangga yang
bagaikan penjepit baja itu.
Meskipun sudah mengerahkan kekuatan tenaga dalam, namun jepitan itu sungguh
kuat. Bahkan sedikit pun pedang itu tidak bergerak. Dan sebelum Singo Wulung
sempat berpikir keras, mendadak saja Rangga sudah melayangkan satu tangannya
lagi ke pedang itu.
"Hiyaaa...!"
Trak! Bukan main terkejutnya Singo
Wulung ketika tiba-tiba saja pedangnya patah jadi dua bagian tertebas tangan
Rangga. Akibatnya laki-laki itu terpental sejauh beberapa tindak ke belakang.
Dan belum lagi sempat melakukan sesuatu, Rangga sudah lebih cepat melompat
sambil melepaskan satu
tendangan keras menggeledek ke arah dada.
Des! "Akh...!" Singo Wulung memekik keras.
Tendangan Rangga tepat menghantam dada laki-laki berbaju merah itu.
Kembali Singo Wulung terpental jauh ke belakang, dan keras sekali kembali
terhempas ke tanah. Singo Wulung menggeliat sambil menyeringai menahan sakit
pada seluruh tubuhnya yang terasa bagai remuk.
Namun sebelum Singo Wulung
melakukan sesuatu lagi, Rangga sudah cepat melompat menghampiri. Dan begitu
kakinya mendarat di samping Singo Wulung, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
itu memberi totokan pada jalan darah di tubuh laki-laki berbaju merah menyala
itu. "Oh...," Singo Wulung merintih lesu.
Tubuh laki-laki itu tak bisa lagi digerakkan setelah tertotok pada jalan
darahnya. Sedangkan Rangga sudah melangkah mundur dua tindak dari Singo Wulung
yang tergeletak tak berdaya lagi di tanah berumput tebal.
Baru saja Rangga memutar
tubuhnya, tampak Raden Antaka bersama para prajurit serta seorang panglima
datang sambil menunggang kuda. Mereka langsung berlompatan turun. Raden
Antaka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dengan ayunan kaki lebar dan bergegas
sekali. "Kau sudah melumpuhkannya,
Kakang...?" ujar Raden Antaka dengan nada bertanya.
"Dia sudah tertotok jalan
darahnya. Kau bisa membawanya ke Talang Mega, Raden," jelas Rangga seraya
mengayunkan kakinya melangkah.
"Kakang...!" panggil Raden Antaka bergegas mengejar dan berdiri
menghadang di depan.
Rangga terpaksa menghentikan
langkahnya. "Kau mau ke mana?" tanya Raden Antaka.
"Masih banyak tugas lain yang
harus kuselesaikan, Raden," sahut Rangga.
"Tidakkah kau ingin kembali ke Istana Talang Mega, Kakang?" nada suara Raden
Antaka seperti berharap.
"Sampaikan saja salam hormatku pada Prabu Ranakali," ucap Rangga seraya
tersenyum. Rangga kembali mengayunkan
kakinya. Namun baru beberapa langkah berjalan, Pendekar Rajawali Sakti
menghentikan ayunan kakinya.
"Raden, siapa yang memberitahumu aku ada di sini?" tanya Rangga seperti teringat
sesuatu. "Rupadi. Kemudian aku bertemu Ki
Rejo di jalan," sahut Raden Antaka.
"Itu berarti Raden harus menepati janji," Rangga mengingatkan.
Raden Antaka tidak menjawab.
Pemuda itu jadi teringat dengan janjinya pada Rupadi, untuk dijadikan pengawal
pribadi dengan pangkat punggawa. Janji seorang putra mahkota tak bisa dicabut
kembali. Dan Raden Antaka memang mengakui kalau Rupadi telah banyak berjasa
memberi keterangan tentang keberadaan Singo Wulung di sekitar Desa Pucung ini.
Selagi Raden Antaka terdiam,
Rangga sudah melesat cepat
meninggalkan hutan itu. Dan Raden Antaka baru tersadar kalau Pendekar Rajawali
Sakti sudah tidak ada lagi, dan hanya bisa menarik napas panjang.
Meskipun sudah mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi bayangan Pendekar
Rajawali Sakti tidak juga bisa terlihat lagi.
Sementara itu para prajurit sudah mengikat Singo Wulung dan menaikkannya ke atas
kuda yang memang sudah dipersiapkan. Raden Antaka kemudian melompat naik ke
punggung kudanya sendiri. Langsung diperintahkannya para prajurit untuk bergerak
meninggalkan hutan ini, kembali ke Kerajaan Talang Mega.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Nya.Ber
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Disponsori oleh:
WARUNG MBOK TUKIJEM
Document Outline
BURONAN SINGO WULUNG
1 *** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** SELESAI Pendekar Pedang Pelangi 9 Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Pendekar Bloon 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama