Ceritasilat Novel Online

Dewi Goa Ular 1

Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular Bagian 1


DEWI GOA ULAR oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Dewi Goa Ular 128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Serang...!"
"Bunuh...!"
"Cincang...!"
Macam-macam teriakan keras terdengar memecah kesunyian dan ketenangan sebuah lembah.
Teriakan-teriakan itu disusul suara gemuruh dari puluhan pasang kaki yang
berlarian cepat menuruni tebing lembah. Lembah yang terdiri dari bebatuan itu
seakan-akan hendak runtuh oleh gemuruh langkah-langkah kaki yang berlari cepat
sambil melontarkan caci maki dan sumpah serapah yang keras.
Entah berapa puluh, atau mungkin ratusan orang yang berhamburan, berlarian
memasuki lembah.
Mereka semua menghunus senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran sambil
bertari sekencang-kencangnya. Tujuan mereka adalah sebuah
bangunan berpagar balok kayu yang cukup tinggi dan kokoh, yang bagian atasnya
meruncing tajam.
Tampak kepala kepala menyembul di atas pagar balok kayu yang cukup tinggi,
kemudian disusul pucuk-pucuk anak panah yang sudah terpasang di busurnya. Tepat
di atas pintu gerbang yang tertutup rapat, berdiri tegak seorang laki-laki tua
mengenakan jubah putih panjang dan longgar. Matanya memandangi orang-orang yang
berlarian menuju ke arah bangunan menyerupai benteng ini. Di samping orang tua
berjubah putih itu, berdiri seorang gadis berparas cukup cantik. Bajunya
berwarna merah muda.
Tampak di pinggangnya tergantung sebilah pedang
berukuran panjang.
"Jumlah mereka semakin banyak saja, Ayah," jelas gadis berbaju cukup ketat
berwarna merah muda.
"Hm...," orang tua berjubah putih itu hanya menggumam saja.
Sementara orang-orang yang berlarian menuju bangunan menyerupai benteng ini
sudah semakin dekat saja. Tampak seorang yang menunggang kuda dan berada paling
depan, mengangkat tangan kanannya yang memegang tombak pendek bermata dua pada
ujung-ujungnya. Dan orang-orang yang berlarian di belakangnya segera berhenti
bertari. Mereka sudah cukup dekat, tapi masih berada di luar jangkauan anak
panah. Ada sekitar lima orang lagi yang menunggang kuda. Dan mereka berada di belakang
laki-laki tua berjubah biru yang menunggang kuda paling depan dan memegang
tombak pendek bermata dua pada ujung-ujungnya. Di belakang mereka, juga ada
sekitar dua puluh orang yang juga menunggang kuda, selain seratus lebih orang
yang berjalan kaki. Mereka semua menatap ke arah orang tua berjubah putih yang
berdiri tegak di atas pagar balok kayu yang tinggi dan runcing.
"Tampaknya mereka siap, Eyang," kata salah seorang yang menunggang kuda.
Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap
dan wajahnya cukup tampan. Baju biru tua yang dikenakannya begitu ketat,
sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot Sebuah pedang tampak
tersampir di punggungnya.
"Tapi jumlah kita lebih banyak. Sebaiknya, langsung diserang saja, Eyang,"
sambung seorang lagi
yang mengenakan baju warna kuning agak
kemerahan. Dia membawa seutas cambuk hitam berduri
Sementara orang tua berjubah biru tetap diam tanpa berkedip menatap lurus ke
depan. Perlahan tangannya yang memegang tombak pendek bermata dua diangkat
"Siapkan panah api!" teriak orang tua berjubah biru itu memberi perintah.
Seketika itu juga, dua puluh orang anak-anak muda melangkah maju. Mereka membawa
busur panah panjang, dan beberapa anak panah di punggung. Segera disiapkannya
panah-panah yang pada bagian ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan.
Ujung panah itu segera dibakar, sehingga api berkobar dan siap dilepaskan.
"Lepaskan...!" perintah orang tua berjubah biru, lantang.
Wusss! Singgg...! Dua puluh batang anak panah berapi seketika meluncur deras ke arah bangunan
bagai benteng itu.
Pada saat yang bersamaan, dari arah bangunan meluncur juga puluhan anak panah
menyambut serangan panah-panah api itu. Panah-panah itu saling beradu di udara.
Dan semua panah api seketika rontok berjatuhan sebelum mencapai sasaran.
"Keparat..!" geram orang tua berjubah biru melihat panah-panah api berguguran
tanpa membawa hasil.
Sementara dua puluh orang yang membawa busur sudah kembali siap dengan panah
apinya. Dan panah-panah api itu kembali dilepaskan tanpa menunggu perintah lagi.
Namun, kembali panah-panah itu disambut oleh panah-panah, sehingga
rontok sebelum mencapai sasaran Beberapa kali mereka mencoba, tapi tetap tak
membawa hasil yang diinginkan.
*** "Prabawa! Siapkan orang-orangmu. Serang mereka!" perintah orang tua berjubah
biru, seraya berpaling menatap pemuda tampan berbaju kuning yang membawa cambuk
hitam berduri. "Baik, Eyang," sahut pemuda yang dipanggil Prabawa.
Segera Prabawa menyiapkan orang-orangnya yang berjumlah sekitar tiga puluh.
Kemudian mereka diperintahkan untuk menyerang. Prabawa sendiri segera menggebah
kudanya sambil berteriak-teriak memberi semangat bertempur pada orang-orangnya
yang berlarian cepat sambil berteriak-teriak dan mengangkat senjata ke atas
kepala. Dan begitu mereka berada dalam jangkauan
panah, seketika itu juga meluncur puluhan panah dari atas bangunan menyerupai
benteng itu. Puluhan panah yang meluncur bagai hujan itu, tentu saja sukar
dibendung lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar,
disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh terpanggang panah.
"Panah api, seraaang...!" seru orang berjubah biru memberi perintah.
Wusss...! Panah-panah api seketika itu juga berhamburan ke arah bangunan benteng. Tentu
saja serangan yang dilancarkan secara cepat dan hampir bersamaan, sama sekali
tidak diduga orang-orang yang berada di dalam benteng. Mereka berusaha
menghancurkan panah-panah api. Tapi beberapa di antaranya lolos dari sergapan, dan langsung
masuk ke dalam lingkungan benteng.
Api langsung berkobar di dalam benteng, membuat orang-orang yang berada di
dalamnya jadi kalut.
Sementara Prabawa dan sisa-sisa anak buahnya, terus merangsek semakin dekat.
Sedangkan laki-laki tua berjubah biru sudah mempersiapkan orang-orangnya untuk
menyerang. Dan begitu Prabawa sampai di depan pintu benteng yang tertutup rapat
itu, tiba-tiba....
"Seraaang...!"
Pekik dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur seketika itu juga
terdengar menggemuruh, memecah kesunyian lembah ini. Entah berapa puluh orang
bersenjata terhunus berhamburan bagai air bah yang jebol tanggulnya, menerjang
bangunan bagai benteng itu. Sementara, panah-panah dari atas benteng tidak lagi
segencar tadi. Beberapa dari mereka juga melepaskan panah-panah, baik yang
berapi maupun tidak.
Tampak beberapa tubuh terjatuh dari atas dengan tubuh terpanggang anak panah.
Sementara Prabawa dan sisa-sisa anak buahnya, berusaha menjebol pintu benteng
dengan sebuah gelondongan kayu berukuran cukup besar.
Dan di atas benteng, laki-laki berjubah putih yang didampingi anak gadisnya,
terus sibuk mengatur murid-muridnya mempertahankan benteng itu.
Sedangkan penghuni benteng yang rata-rata masih berusia muda, sebagian berusaha
memadamkan api, dan sebagian lagi mencoba membalas serangan-serangan dari luar
dengan hujan panah.
Pekik dan teriakan pertempuran berbaur menjadi
satu, membuat lembah yang semula sunyi tenang itu bagai hendak runtuh. Tubuhtubuh bersimbah darah tampak bergelimpangan, di antara kaki-kaki yang terus
bergerak cepat mendekati bangunan benteng itu. Mereka seakan-akan tidak
mempedulikan tubuh yang semakin banyak bergelimpangan di sekitarnya.
Dan hujan anak panah masih saja berlangsung, meskipun tidak lagi banyak seperti
tadi. Beberapa pemanah di atas benteng sudah tak bernyawa lagi, tertembus panah
balasan dari luar benteng.
"Mereka sudah kehabisan panah, Ayah," jelas gadis berbaju merah muda memberi
tahu. "Hm..."
"Api juga semakin besar," sambungnya lagi.
Orang tua berjubah putih panjang itu hanya diam saja. Sikapnya juga kelihatan
gelisah, terlebih lagi pintu benteng ini sudah hampir jebol. Hingga akhirnya....
Brak! Pintu yang terbuat dari kayu tebal itu akhirnya hancur juga. Maka, orang-orang
yang dipimpin Prabawa segera berhamburan masuk ke dalam benteng. Tapi, mereka
langsung disambut pemuda-pemuda di dalam benteng yang memang sudah siap.
Sehingga, pertempuran pun tak dapat dihindari lagi.
Bahkan semakin banyak saja yang masuk ke dalam benteng itu. Sehingga, mereka
yang berada di atas benteng jadi berlompatan turun.
Jerit dan pekik melengking tinggi semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh tampak
sudah mulai bergelimpangan berlumuran darah. Sementara api semakin besar
berkobar di dalam benteng. Jumlah orang yang menyerang memang lebih banyak,
sehingga penghuni benteng yang rata-rata masih
berusia muda tak sanggup lagi membendung
serangan. "Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja orang tua berjubah biru melompat naik ke atas benteng. Dengan
gerakan ringan dan indah sekali, dia hinggap sekitar tiga langkah di depan orang
tua berjubah putih. Langsung tombak pendeknya yang bermata dua dikebutkan.
Bet! "Uts!"
Laki-laki tua berjubah putih itu cepai menarik tubuhnya ke belakang, sehingga
serangan itu dapat dihindari. Dua orang tua itu langsung terlibat dalam
pertarungan sengit di atas benteng. Sementara, gadis berbaju merah muda sudah
terjun dalam kancah pertempuran. Gerakan-gerakannya begitu cepat dan gesit.
Amukannya bagai banteng betina. Setiap kebutan pedangnya selalu menimbulkan
korban nyawa. Tapi, karena jumlah lawan banyak, memang sukar ditandingi.
Sehingga, penghuni benteng itu semakin terdesak saja. Dan sudah tidak terhitung
lagi yang ambruk tak bernyawa.
"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari atas
benteng. "Ayah...!" gadis cantik berbaju merah muda menjerit keras ketika melihat ayahnya
yang berjubah putih terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran
darah. Dan saat itu, orang tua berjubah biru sudah melepaskan satu tendangan keras yang
mendarat telak di dada berlumuran darah itu. Tak pelak lagi, laki-laki tua
berjubah putih itu terpental jatuh dengan keras sekali ke bawah. Tubuhnya
menghantam beberapa gelondong kayu yang bertumpuk hingga
hancur berentakan
"Ayah...! " jerit gadis berbaju merah muda itu.
Cepat gadis itu melompat menghampiri ayahnya yang tergeletak di antara kepingan
kayu. Kepala ayahnya diangkat dan diletakkan ke pahanya. "Ayah...." agak
tercekat suara gadis itu.
"Cepat, selamatkan dirimu. Kau harus selamat, Swani... Kau harus bisa
membalas...," ujar orang tua berjubah putih itu terbata-bata
"Ayah..."
"Kau tidak boleh mati di sini, Swani. Cepatlah pergi. Akh!"
"Ayah...!"
Gadis yang dipanggil Swani itu memeluk ayahnya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Sementara pertarungan masih terus berlangsung, walau kelihatan-nya para
penyerang sudah dapat menguasai benteng secara penuh. Jeritan-jeritan kemahan
masih saja terdengar saling sambut.
Swani perlahan bangkit berdiri. Sebentar diperhati-kannya pertarungan itu,
kemudian melompat cepat ke pintu. Tapi seorang yang menunggang kuda rupanya
melihat gadis itu hendak kabur. Maka kudanya cepat digebah hendak mengejar
"Heyaaa...!"
Sayang gerakan kudanya kalah cepat daripada lompatan Swani. Sehingga, gadis itu
berhasil mencapai luar benteng, dan terus berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya berlari,
sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan benteng yang semakin
habis terbakar.
Sedangkan penunggang kuda yang mengejarnya, hanya bisa mengumpat melihat
buruannya sudah
demikian jauh dan tak mungkin lagi dikejar.
"Setan...!"
"Jangan diam saja! Kejar dia, Braga...!" sebuah suara keras menggelegar,
terdengar dari atas benteng.
Penunggang kuda yang dipanggil Braga itu
menoleh ke atas sebentar. Setelah tahu siapa yang mengeluarkan suara itu, cepat
kudanya digebah untuk mengejar Swani yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
Kudanya dipacu cepat seperti kesetanan, sehingga tubuhnya tampak terguncangguncang. *** Sementara itu, Swani sudah cukup jauh
meninggalkan benteng di tengah-tengah lembah.
Gadis itu berhenti setelah merasakan tidak ada seorang pun yang mengejar.
Napasnya tersengal, dan kedua matanya dipenuhi linangan air bening.
Beberapa kali air matanya disusut dengan punggung tangan. Dari tempat yang cukup
tinggi ini, dia bisa melihat jelas benteng di tengah-tengah lembah itu yang
semakin hancur. Asap hitam membumbung tinggi, dan api semakin besar berkobar
melahap bangunan itu
"Ayah...," desis Swani Hrih, agak tersendat suaranya. "Maafkan aku, Ayah. Aku
tidak bisa membawamu keluar dari sana. "
Swani terus memandangi benteng yang semakin hancur terbakar. Tampak puluhan
orang mengelilingi benteng. Kalau dia dapat mendengar, pasti mereka tengah
bersorak-sorai bergembira atas kemenangan itu. Swani menarik napas dalam-dalam,
dan mengeringkan air mata dengan selembar saputangan dari kain sutra halus berwarna
merah muda. "Aku harus membalas kematianmu. Ayah. Akan kubunuh mereka satu persatu," tekad
Swani. Tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah di depan gadis itu. Dan tahutahu, selatar dua tombak di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia
setengah baya. Sebatang tombak panjang berwarna merah darah, tergenggam di
tangannya. Swani tahu, orang itulah yang tadi berusaha mencegahnya keluar dari
benteng. "Rupanya tidak sulit mengejarmu, Bocah Ayu," ujar laki-laki yang bernama Braga
"Hm..."
Swani menggumam. Sorot matanya tajam, penuh kebencian dan dendam yang membakar
di dada. Perlahan gadis itu menarik keluar pedangnya, dan digenggam erat-erat melintang
di depan dada. "Kau juga harus mampus seperti yang lain, Bocah!
Hiyaaat..! "
Cepat sekali Braga melompat menyerang. Tombaknya yang berwarna merah bagai
berlumur darah ditusukkan ke arah dada Swani. Tapi dengan gerakan manis sekali,
gadis itu berkelit menghindar. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, pedangnya di
kebutkan untuk membalas serangan itu.


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bet! "Ups!"
Braga cepat-cepat menarik dirinya ke belakang, sehingga tebasan pedang Swani
tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan kembali tombaknya
dihentakkan cepat sambil melompat ke atas. Swani membanting tubuhnya ke tanah,
dan bergulingan beberapa kali. Maka ujung tombak Braga hanya
menancap di tanah kosong. Pada saat itu, Swani cepat melompat bangkit. Langsung
diberikannya satu tendangan menyamping yang keras dan menggeledek, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Akh...!" Braga memekik keras begitu punggungnya terkena tendangan keras gadis
itu. Laki-laki itu terhuyung-huyung ke depan, lalu cepat-cepat mencabut tombaknya
yang menancap di tanah. Tubuhnya kemudian cepat berputar sambil mengebutkan
tombaknya. Tapi Swani lebih cepat lagi melentingkan tubuh ke udara. Bahkan
pedangnya kembali bergerak cepat berkelebat ke arah kepala laki-laki separuh
baya itu. "Hih!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Braga untuk berkelit menghindar. Maka cepat
tongkatnya diangkat untuk menangkis tebasan pedang gadis itu. Dua senjata
seketika beradu keras di atas kepala Braga.
Trak! "Heh..."!"
Lagi-lagi Braga terkejut, begitu mendapati kenyataan yang tidak diduga sama
sekali. Ternyata tombak kebanggaannya terpenggal jadi dua bagian.
Sungguh tidak disangka kalau gadis ini memiliki kepandaian dan kekuatan luar
biasa. Dan sebelum keterkejutannya menghilang, mendadak saja Swani sudah memberi
satu serangan lagi dengan pedangnya.
"Hiyaaat...!"
Wuk! Cras! "Akh...!"
Untuk kedua kalinya Braga memekik keras agak tertahan. Darah seketika muncrat
keluar dari bahunya yang terbabat ujung pedang Swani. Kembali rubuh Braga
terhuyung-huyung ke belakang. Tapi sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya,
Swani sudah kembali bergerak cepat
"Hiyaaat..!"
Gadis itu melompat cepat bagaikan kilat.
Pedangnya tertuju lurus, dan langsung ditusukkan ke dada lawan. Sedangkan Braga
sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan begitu gencar dan dahsyat
Laki-laki separuh baya itu hanya dapat mendelik, dan....
Crab! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi mengakhiri perlawanan Braga. Pedang Swani
menembus dadanya begitu dalam, rangga tembus ke punggung. Swani mencabut
pedangnya dari tubuh laki-laki setengah baya itu. Sebentar Braga bisa berdiri
dengan sorot mata seakan tidak percaya, kemudian ambruk menggelepar di tanah.
Darah mengucur deras dari dada yang berlubang akibat tusukan pedang Swani.
"Huh! Kau pikir mudah menaklukkan aku, Keparat.."!" dengus Swani sengit
Cring! Sambil menghembuskan napas kencang, Swani memasukkan kembali pedangnya ke dalam
warangka di punggung. Sebentar dipandanginya Braga yang masih berkelojotan
meregang nyawa. Kemudian laki-laki setengah baya itu mengejang kaku, lalu diam
tak berkutik lagi.
"Teman-temanmu akan segera menyusul.
Keparat..!" desis Swani terselimut dendam di hatinya.
Gadis itu masih memandangi Braga yang sudah tidak bernyawa lagi, kemudian
mengalihkannya ke arah lembah. Tampak asap hitam dan tebal masih membumbung
tinggi ke angkasa dari bangunan benteng yang terbakar habis. Sementara, orangorang yang menghancurkan benteng di lembah itu sudah tidak terlihat lagi di
sana. Swani tidak tahu, ke mana mereka pergi. Tapi dia tidak mau gegabah pergi
ke sana. Kembali ditatapnya Braga yang tergeletak tak bernyawa lagi di dekatnya.
"Mereka pasti akan datang ke sini. Hm.... Aku harus mencari tempat yang aman
dulu," gumam Swani perlahan.
Bagaikan kilat, gadis itu cepat melesat pergi masuk ke dalam hutan yang cukup
lebat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga dalam
sekejapan saja, Swani sudah lenyap tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
*** 2 Entah sudah berapa lama Swani berlari menembus lebatnya hutan. Sampai hari
gelap, gadis itu baru berhenti berlari. Dan kini punggungnya disandarkan di
sebatang pohon yang cukup besar. Napasnya ter-engah-engah, dan keringat
bercucuran deras mem-basahi sekujur tubuhnya. Kemudian Swani mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Hanya kegelapan saja yang ada di sekitarnya. Begitu
pekat, sehingga tidak bisa melihat jarak jauh. Terlebih lagi, di sekitarnya
kabut begitu tebal. Sehingga, menimbulkan udara dingin yang menggigilkan tubuh.
"Hhh...!"
Swani sedikit menggigil begitu angin dingin menerpa. Tubuhnya semakin dirapatkan
ke pohon yang cukup besar itu, untuk melindungi diri dari terpaan angin yang
begitu dingin menggigilkan. Tiba-tiba saja tatapan matanya tertumbuk lurus
ketika kepalanya berpaling ke kanan. Kelopak matanya agak menyipit, agar bisa
lebih Jelas lagi melihat di dalam kegelapan malam yang begitu pekat
"Goa..."!" desis Swani begitu bisa memastikan.
Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya, melangkah mendekati mulut goa yang
dilihatnya agak samar-samar tadi. Mata gadis itu semakin menyipit begitu mulut
goa yang cukup besar ukurannya sudah terlihat jelas di depannya. Benar-benar
sebuah mulut goa yang berukuran besar. Malam yang begitu gelap, membuat goa itu
kelihatan hitam, bagai menyimpan
sejuta teka-teki dan bahaya yang siap mengancam.
"Jangan ragu-ragu, masuklah. Cukup hangat di dalam sini."
"Heh..."!"
Swani tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggema berat dari
dalam goa di depannya. Gadis itu jadi tertegun, mencoba memastikan kalau suara
yang barusan didengarnya bukan khayalan belaka. Tapi suara yang datang memang
dari dalam goa ini
"Kau tidak perlu ragu, Nisanak. Di luar begitu dingin, dan sebentar lagi akan
turun hujan. Kau bisa mati kedinginan kalau terus berada di luar sana,"
kembali terdengar suara yang bernada berat dan menggema.
"Oh..."! Siapa itu yang bicara" Apakah kau manusia...?" agak bergetar suara
Swani. "Hanya manusia yang bicara, Nisanak. Masuklah.
Kau perlu tempat berlindung, bukan...?"
"Eh..."!" lagi-lagi Swani terkejut Dan belum lagi lenyap rasa keterkejutannya,
tiba-tiba saja dari dalam goa itu melesat sebuah bayangan putih yang begitu
cepat bagaikan kilat. Tahu-tahu, di depan Swani sudah berdiri seorang laki-laki
tua berjubah putih. Rambutnya juga sudah memutih semua. Janggutnya yang panjang,
menyatu dengan kumis. Juga sudah berwarna putih bagai kapas. Bibir yang hampir
tertutup kumis, menyunggingkan senyum manis dan ramah. Sinar matanya begitu
bening dan sejuk, bagaikan bola mata seorang bayi yang baru dilahirkan
Swani memandangi tanpa berkedip. Dia seperti tidak percaya dengan pandangan
matanya sendiri.
Seekor ular belang yang melilit di tangannya membuat Swani saat itu juga bisa mengenali, siapa laki-laki tua berjubah putih yang
bani keluar dari dalam goa itu. Dan semua orang dari kalangan persilatan, pasti
mengenalnya. Karena, orang tua itu memang sudah dikenal di kalangan persilatan
sebagai Pertapa Goa Ular. Swani hampir tidak percaya kalau sekarang ini berada
di depan Goa Ular.
"Terimalah salam hormatku, Eyang," ucap Swani seraya membungkukkan tubuh memberi
hormat. "Bocah bagus. Aku terima salam hormatmu,"
sambut Pertapa Goa Ular lembut "Kenapa kau tadi ragu-ragu. Anak Manis?"
"Maafkan aku. Eyang. Aku harus berhati-hati pada setiap undangan yang tidak
kukenal," sahut Swani memberi alasan.
"Sikap yang bagus," puji Pertapa Goa Ular. "Nah!
Sekarang, maukah kau menerima undanganku"
Sudah cukup lama aku tidak kedatangan tamu."
"Terima kasih. Eyang. Kalau tidak merepotkan, dengan senang hati undanganmu
kuterima," sahut Swani.
Tentu saja Swani senang mendapat undangan dari seorang tokoh tua yang sakti dan
sangat disegani di kalangan rimba persilatan ini. Meskipun baru kali ini
bertemu, tapi cerita tentang Pertapa Goa Ular sudah sering didengarnya. Bahkan
ayahnya sering menceritakannya hampir setiap saat
"Mari, masuklah. Sebentar lagi hujan akan turun,"
ajak Pertapa Goa Ular ramah.
"Terima kasih," ucap Swani.
Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam goa ini. Swani sempat mendongakkan
kepala ke atas.
Langit malam ini memang begitu pekat, terselimut awan hitam tebal. Dan begitu
mereka berada di
dalam goa, hujan langsung jatuh turun bagai ditumpahkan dari langit. Begitu
derasnya, membuat suara menggemuruh bagai hendak meruntuhkan seluruh jagat raya.
Swani jadi bergidik saat sudah berada di dalam goa yang cukup terang dan hangat
ini. Tak ada api di dalam goa ini, tapi keadaannya cukup terang. Hal ini
disebabkan batu-batu di sekitar goa ini mengeluarkan cahaya bagaikan intan. Yang
membuat Swani bergidik, bukan batu-batu yang mengeluarkan cahaya itu.
Melainkan, sekitar goa ini dipenuhi ular dari berbagai jenis. Dan kebanyakan
dari jenis ular berbisa!
Binatang-binatang melata itu mendesis saat melihat Swani, tapi tak ada seekor
pun yang bergerak.
Mereka semua diam hanya memandangi gadis itu saja. Bau amis yang memualkan
langsung menyeruak, menyengat hidung. Swani mencoba bertahan, meskipun perutnya mendadak
jadi begitu mual.
"Silakan duduk, Nisanak," Pertapa Goa Ular mempersilakan dengan ramah.
"Terima kasih," ucap Swani perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Mereka kemudian duduk bersila saling berhadapan. Sebongkah batu pipih berwarna putih dan mengeluarkan cahaya kemilau,
menjadi pembatas di antara mereka. Ular belang yang melingkar di tangan kanan
Pertapa Goa Ular itu berpindah, dan melingkar di atas batu pipih bercahaya
kemilau itu. *** Sementara hujan di luar semakin deras saja.
Meskipun angin yang berhembus menerobos masuk
ke dalam goa ini begitu kencang, tapi Swani sama sekali tidak merasakan dingin.
Padahal, angin itu menerpa tubuhnya demikian kuat. Di hatinya, memang masih
terselip keanehan. Di dalam goa ini keadaannya begitu terang, tapi sama sekali
tidak terlihat cahayanya dari luar. Goa ini kelihatan gelap gulita dari luar
sana. Dan Swani juga merasa heran pada dirinya sendiri, karena tidak lagi merasa mual.
Bahkan jadi tidak peduli meskipun di sekitarnya begitu banyak ular dari berbagai
jenis. Padahal, tadinya dia paling jijik melihat ular.
"Aku melihat ada guratan kedukaan di matamu...,"
tebak Pertapa Goa Ular memecah kesunyian yang terjadi di antara mereka. "Bahkan
detak jantungmu, dengus napasmu, aliran darahmu juga memancarkan suatu gejolak
dendam. Kalau boleh kutahu, kenapa kau bisa berada di depan goa ini tadi?"
"Maaf, Eyang. Mungkin aku mengganggu istirahat-mu. Tapi, aku sama sekali tidak
sengaja. Bahkan aku tidak tahu kalau tadi berada di depan tempat tinggalmu ini,"
sahut Swani. "Kau lari dari seseorang, Nisanak?" tanya Pertapa Goa Ular lagi.
"Benar, Eyang. Bukan hanya satu orang. Tapi banyak," jawab Swani berterus
terang. "Hm...," gumam Pertapa Goa Ular perlahan.
Sinar mata orang tua itu jadi tajam memperhatikan raut wajah gadis cantik di
depannya. Sedangkan yang dipandangi hanya diam saja, agak tertunduk.
Sungguh Swani tak sanggup menentang sinar mata orang tua itu. Begitu tajam, dan
memancarkan sinar yang sangat kuat. Rasanya memang sulit ditentang.
"Ceritakan, apa yang terjadi pada dirimu sehingga
sampai ke sini," pinta Pertapa Goa Ular.
Tanpa diminta dua kali, Swani menceritakan semua peristiwa yang terjadi Juga,
disebutkannya beberapa nama yang menyerang tempat tinggalnya.
Sampai ayahnya tewas, dan dia terpaksa lari dari lembah itu. Dia juga tidak
tahu, kenapa laki-laki tua berjubah biru menyerang dan menghancurkan padepokan
ayahnya. Sementara itu Pertapa Goa Ular mendengarkan semua cerita Swani penuh perhatian.
Sedikit pun cerita itu tidak diselak, sampai Swani selesai. Bahkan orang tua itu
masih tetap diam, meskipun Swani sudah selesai dengan ceritanya.
Sampai beberapa saat lamanya mereka jadi
terdiam. Dan Swani memang tidak punya bahan lagi untuk diceritakan. Semua yang
diketahuinya sudah diceritakannya. Tak ada yang dikurangi, bahkan sedikit pun
tidak ada yang ditambah. Semua yang dikatakan sama persis dengan kejadian
sebenarnya. "Hm.... Jadi kau putri tunggal Ki Sanggala, Ketua Padepokan Pedang Perak...?"
pelan sekali suara Pertapa Goa Ular.
"Benar, Eyang," sahut Swani.
"Sudah lama pertentangan antara ayahmu dengan Eyang Gorak si Iblis Tombak Baja
kudengar. Hhh...!
Tidak kusangka kalau dia bisa mengumpulkan tokoh-tokoh persilatan untuk
menghancurkan padepokan ayahmu," desah Pertapa Goa Ular.
"Aku sendiri tidak tahu, Eyang. Apa yang diinginkan Eyang Gorak, sampai-sampai
begitu tega membumi-hanguskan padepokan ayahku. Bahkan tak seorang murid pun
yang dibiarkan hidup. Mereka semua dibantai habis, dan Padepokan Pedang Perak
juga dibakar hangus." jelas Swani lagi.
"Pertentangan itu sudah ada sejak mereka sama-sama masih muda. Dan sebenarnya
pula, mereka berasal dari satu perguruan. Tapi, memang tidak semua orang dalam
satu perguruan bisa punya jalan sama. Jadi tidak heran hal seperti itu sering
terjadi. Perselisihan yang panjang, bahkan tidak jarang diakhiri oleh pertumpahan darah,"
kembali Pertapa Goa Ular menggumam perlahan.
"Pertentangan apa, Eyang?" tanya SwanJ yang memang tidak tahu.
"Perempuan," sahut Pertapa Goa Ular.
"Perempuan. .. "!"
"Ya! Guru mereka punya anak gadis yang cantik.
Mereka memperebutkannya. Tapi, ayahmulah yang beruntung hingga mereka menikah
dan kau lahir. Hm..., rupanya Iblis Tombak Baja masih juga menyimpan dendam pada ayahmu," kata
Pertapa Goa Uar menjelaskan dengan singkat
"Aku harus membalas, Eyang," tegas Swani penuh semangat
"Kau tidak akan mampu menandingi iblis Tombak Baja, Anakku. Kepandaian yang kau
miliki sekarang ini, belum ada seujung kukunya. Terlebih lagi, sekarang dia
memiliki senjata yang sangat ampuh dan sulit dicari tandingannya. Hm.... Dia
sudah berhasil menumpas penghalang utamanya. Pasti dia akan semakin merajalela
dengan para begundalnya."
Swani jadi terdiam. Memang kepandaian yang dimilikinya sekarang ini tidak
seberapa bila dibanding Eyang Gorak yang dikenal di kalangan persilatan berjuluk
Iblis Tombak Baja. Bahkan ayahnya sendiri tidak mampu menandinginya. Si Iblis
Tombak Baja jadi begitu tangguh dan digdaya setelah mendapatkan senjata tombak
pendek bercabang dua pada
kedua ujungnya. Senjata itu memang sangat dahsyat, dan sukar dicari tandingannya
saat ini. Terlebih lagi Iblis Tombak Baja sudah menyempurnakan ilmu olah
kanuragan dan kesaktiannya.
Bahkan untuk menandingi kaki tangan si Iblis Tombak Baja yang berjumlah lima
orang saja, mungkin Swani tidak akan mampu. Gadis itu jadi termenung menyadari
keterbatasan yang ada pada dirinya. Kalaupun harus bertindak nekat, pasti hanya
akan mengantarkan nyawa sia-sia saja. Dan ini pasti tidak diinginkan mendiang
ayahnya yang tewas di tangan si Iblis Tombak Baja.
"Seberapa besar keinginanmu untuk menumpas mereka, Anakku?" tanya Pertapa Goa
Ular memecah kesunyian lagi.
"Nyawa pun akan kupertaruhkan, Eyang." sahut Swani mantap.
"Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, rasanya akan sia-sia saja. Bahkan


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tidak yakin kau bisa bertemu Iblis Tombak Baja. Dan kau pasti sudah tewas
dibantai kaki tangannya yang pasti berkepandaian lebih tinggi darimu." jelas
Pertapa Goa Ular lagi.
"Mereka memang pesilat-pesilat tangguh. Eyang,"
pelan sekali suara Swani. "Ada lima orang yang sulit kutandingi. Sedangkan yang
lainnya, mungkin bisa kuatasi."
"Aku percaya, ayahmu pasti sudah membekalimu lebih dari cukup. Tapi, itu saja
tidak cukup untuk memenuhi keinginanmu, Anakku. Kau harus membekali dirimu lebih
mantap lagi," tegas Pertapa Goa Ular.
"Maksud, Eyang...?" tanya Swani tidak mengerti.
"Sebenarnya, aku juga ingin meninggalkan goa ini.
Aku sendiri sudah muak melihat sepak terjang Ibtis Tombak Baja. Tapi, aku sudah
terlalu tua untuk kembali terjun dalam kehidupan yang keras. Aku bermaksud
mengundurkan diri dari kancah persilatan. Hanya saja, aku tidak ingin pergi
begitu saja tanpa berbuat sesuatu yang bisa melanjutkan harapan dan
keinginanku," jelas Pertapa Goa Ular lagi.
Swani terdiam. Dalam hatinya, dia menduga-duga maksud ucapan pertapa tua ini.
Memang sudah lebih dari dua tahun ini Pertapa Goa Ular tidak lagi terdengar
kabar beritanya lagi. Bahkan banyak orang di kalangan persilatan yang merasa
kehilangan dengan ketidakmunculan pertapa tua ini.
"Selama ini, tak ada seorang pun yang tahu tempat tinggalku. Bertahun-tahun aku
di sini, dan baru seorang saja yang mengunjungiku. Itu pun sudah lebih tiga
purnama yang lalu. Dan orang kedua yang datang adalah kau, Swani," lanjut
Pertapa Goa Ular.
Swani masih tetap diam.
"Sebenarnya, aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku padanya. Tapi ternyata dia lebih
tangguh dariku, meskipun usianya jauh lebih muda dariku." jelas Pertapa Goa Ular
lagi. Sedangkan Swani masih tetap diam.
"Semula aku sudah putus asa. Tapi, rupanya Dewata mengabulkan juga permohonanku.
Kau datang ke sini mungkin atas petunjuk Dewata, Swani."
"Oh..."! "
Swani jadi teriongong tidak menyangka. Sama sekali tidak diduga kalau pada
akhirnya Pertapa Goa Ular akan berkata demikian. Tidak pernah dibayangkan,
apalagi memimpikan bisa menjadi murid Pertapa
Goa Ular ini. Malah memimpikan untuk bertemu saja, rasanya belum pernah. Tapi
saat didengarnya kalau orang tua yang sudah ternama di kalangan persilatan ini
hendak mengangkatnya jadi murid. Swani seakan-akan tengah bermimpi.
"Aku harap kau bersedia menerima warisan ilmu-ilmuku, Swani," ujar Pertapa Goa
Ular. "Oh...! Apakah aku pantas menjadi muridmu.
Eyang...?" Swani masih tidak percaya.
"Kau sudah memiliki ilmu olah kanuragan dari ayahmu. Aku rasa, tidak ada
kesulitan bagiku untuk menurunkan ilmu-ilmuku padamu, Swani. Aku yakin, tidak
lebih dari tiga tahun kau sudah bisa menguasai sebagian ilmu-ilmuku. Paling
tidak, kau bisa menguasai beberapa jurus dan ilmu kesaktian pamungkasku," tegas
Pertapa Goa Ular begitu yakin.
"Oh... Terimalah sembah hormatku. Eyang "
Swani langsung membungkuk, menempelkan
keningnya di lantai goa dari batu yang dingin dan keras ini. Pertapa Goa Ular
tersenyum senang melihat kesediaan Swani menjadi muridnya. Tangannya kemudian
terulur, dan mengusap kepala gadis itu.
Tiba-tiba saja dari telapak tangannya mengepulkan asap putih agak kebiruan. Saat
itu juga, Swani merasakan tubuhnya bagai tersiram air yang begitu sejuk, merasuk
dari ubun-ubun kepalanya.
"Bangunlah, Anakku." ujar Pertapa Goa Ular.
Perlahan Swani mengangkat tubuhnya, dan
kembali duduk bersila. Namun kepalanya masih tetap tertunduk. Hati gadis itu
begitu bahagia, karena tidak menyangka akan diangkat menjadi murid seorang tokoh
sakti dan digdaya seperti Pertapa Goa Ular ini.
Ternyata, pelariannya ini membawa suatu ke-beruntungan yang tidak pernah
dibayangkan selama
hidupnya. "Istirahatlah sekarang. Besok, kau harus sudah mulai berlatih," ujar Pertapa Goa
Ular lagi. "Baik, Eyang," sahut Swani hormat
*** Setiap hari, Swani digembleng dengan latihan-latihan berat dan menguras tenaga.
Tapi, gadis itu menjalaninya penuh semangat, sehingga membuat Pertapa Goa Ular
jadi senang melihat kesungguhan-nya dalam menerima setiap ilmu yang diturunkan.
Bahkan bila malam hari. Swani tekun mempelajari kitab-kitab yang ada di Goa
Ular. Hampir semua kitab yang ada, sudah dibacanya.
Bahkan Swani bukan hanya menerima ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian saja.
Tapi juga mengurus segala kebutuhan Pertapa Goa Ular itu.
Sehingga, orang tua itu semakin bertambah senang dan sayang. Dia tidak lagi
harus bersusah payah mencari makanan dan segala kebutuhannya, karena semua sudah
disediakan Swani. Pagi hari, sebelum orang tua itu bangkit, Swani sudah
menyiapkan makanan untuknya. Gadis itu bukan saja menganggap Pertapa Goa Ular
sebagai gurunya, tapi juga menganggap sebagai pengganti ayahnya.
Entah sudah berapa lama Swani tinggal bersama Pertapa Goa Ular. Dia sama sekali
tidak menghitung hari. Dan duka yang diderita atas kematian ayahnya pun sudah
terhapus dari hatinya. Bahkan dendamnya juga seperti terlupakan terhadap Iblis
Tombak Baja yang membunuh ayahnya, membakar hangus
padepokan, dan membantai semua murid-murid Padepokan Pedang Perak.
Swani begitu tekun mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkan Pertapa Goa Ular. Tapi,
apa benar Swani melupakan semuanya..." Tidak! Gadis itu tidak rupa.
Ternyata di hatinya tetap tersimpan api dendam. Dan dia tetap bertekad membalas
kematian ayahnya pada saatnya nanti. Hanya saja dia tidak tahu, kapan saat
pembalasan itu datang. Seperti hari ini, tanpa bimbingan Pertapa Goa Ular pun,
Swani tetap berlatih keras. Tapi tiba-tiba saja latihannya dihentikan ketika
mendengar ledakan dahsyat.
"Ledakan apa itu...?" desah Swani bertanya sendiri.
Tampak asap hitam mengepul di udara dari pucuk-pucuk pepohonan. Sesaat Swani
tertegun. Tampaknya asap hitam itu datang dari arah goa tempat tinggal Pertapa
Goa Ular. Maka, seketika kecemasan menyelinap ke hatinya.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Swani
langsung melesat cepat bagaikan kilat begitu teringat kalau Pertapa Goa Ular
saat ini sedang bersemadi di dalam goa. Selama berada dalam bimbingan Pertapa
Goa Ular. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Swani memang semakin meningkat
pesat. Sehingga, gadis itu bisa berlari secepat kijang. Bahkan kedua kakinya
bergerak cepat bagai tidak menyentuh tanah sama sekali.
Sebentar saja Swani sudah sampai di depan mulut Goa Ular. Gadis itu jadi
tertegun melihat goa itu runtuh, bahkan bongkahan-bongkahan batu
menyumbat mulut goa berukuran besar itu. Api tampak berkobar melahap pepohonan
di sekitar goa.
"Eyang...," desis Swani.
Bergegas gadis itu berlari menghampiri goa yang runtuh. Swani berhenti setelah
dekat dengan mulut
goa yang hampir tertutup bongkahan batu.
Sementara api di sekitarnya semakin besar saja berkobar menimbulkan asap tebal
menghitam pekat, membuat napas gadis itu jadi sesak.
"Eyang...!" panggil Swani sekuat kuatnya. Tak ada sahutan sama sekali. Swani
bergegas mengangkat bongkahan batu yang menutupi mulut goa itu. Satu persatu
batu-batu sebesar domba itu dilemparkannya. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalam yang dimiliki, batu-batu yang berat itu dapat diangkatnya dengan
mudah. Cepat sekali gadis itu bekerja, sehingga sebentar saja sudah terbentuk
celah yang cukup besar untuk masuk.
"Hup!"
Swani langsung melompat masuk ke dalam goa itu. Tapi hatinya jadi tertegun,
karena tidak mendapatkan apa-apa di dalamnya. Gadis itu hanya mendapatkan
bangkai-bangkai ular saja yang sudah hangus seperti terbakar, tersebar hampir
memenuhi lorong goa ini. Swani mengedarkan pandangan dengan tajam. Asap yang
memenuhi goa ini agak menghambat pandangannya.
"Eyang...!" panggil Swani
Suara Swani menggema terpantul dinding goa.
Tapi hanya suaranya saja yang terdengar, dan tak ada sahutan sama sekali.
Perlahan Swani mengayunkan kakinya. Dia sudah hafal betul seluk beluk goa ini.
Bahkan tidak sedikit pun merasa gentar kalau di dalam goa ini dipenuhi ular.
Tapi ular-ular itu sudah jadi bangkai, hangus bagai terbakar. Swani memeriksa
setiap lorong goa, namun tetap saja tidak menemukan Perupa Goa Ular.
Swani bergegas kembali keluar begitu mendengar suara berderak. Dan ketika berada
di luar, seluruh
atap dan dinding goa itu runtuh, hingga tanah yang dipijaknya jadi bergetar.
Suaranya begitu bergemuruh, bagai letusan gunung berapi yang mengamuk kelebihan
lahar. Swani melentingkan tubuhnya berputaran beberapa kali ke belakang. Asap
semakin banyak menggumpal di sekitarnya. Dan api juga semakin besar berkobar
membakar hutan di sekitar Goa Ular ini.
"Heh..."!"
Swani tersentak kaget ketika kakinya menjejak tanah kembali. Hampir saja seekor
ular belang terinjak kakinya. Cepat dia melompat sehingga ular belang itu tidak
sampai terinjak kakinya. Swani bergegas membungkuk mengambil ular yang
dikenalinya sebagai peliharaan Pcrtapa Goa Uar.
"Belang..., kenapa kau?" tanya Swani. Tentu saja ular itu tidak basa menjawab.
Swani memperhatikan beberapa saat. Sementara ular belang hitam kuning itu
menggeliatkan tubuhnya. Swani kembali menaruh ular belang itu ke tanah. Sebentar
ular belang itu menoleh menatap Swani, kemudian merayap cepat
"Mau ke mana kau. Belang...?" tanya Swani.
Bergagas Swani mengikuti ular belang itu yang merayap cukup cepat, tidak seperti
ular-ular lainnya.
Gadis itu terpaksa agak berlari-lari kecil mengikutinya.
Ular terus merayap cepat menerobos semak belukar, hingga sampai di tempat yang
cukup lapang dan berumput tebal.
"Oh..."!"
*** 3 Mata Swani jadi terbeliak begitu melihat banyak mayat bergelimpangan di
sekitarnya. Darah ber-ceceran di mana-mana, membuat udara yang sudah sesak ini
semakin bertambah sesak. Swani meneliti beberapa mayat yang masih tampak hangat.
Dia tahu, orang-orang ini belum lama mati.
"Hm.... Mereka orang-orangnya Iblis Tombak Baja,"
gumam Swani bisa mengenali
Gadis itu mengedarkan pandang ke sekeliling.
Sementara ular belang peliharaan Pertapa Goa Ular sudah melingkar di tangan
kanan gadis itu. Tapi, tiba-tiba saja ular itu jatuh ke tanah dan tidak
bergerak-gerak lagi Swani jadi terkejut, dan cepat-cepat mengambil ular itu.
"Mati..."!"
Lagi-lagi Swani terbeliak mendapati ular belang itu sudah mati. Baru disadarinya
kalau ada luka di tubuh ular ini. Perlahan ular itu diletakkan di tanah
berumput, kemudian pandangannya kembali beredar berkeliling. Perlahan kakinya
terayun melangkah, meneliti setiap mayat yang dijumpai.
"Di mana Eyang Pertapa...?" Swani jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Begitu banyak mayat bergelimpangan, tapi tak ada Pertapa Goa Ular di antara
mayat-mayat ini. Swani terus mencari, tapi sampai matahari berada di atas kepala
tetap saja tidak bisa menemukan Pertapa Goa Ular. Gadis itu berlompatan seperti
tupai, naik ke atas
bukit batu yang cukup tinggi. Dia baru berhenti setelah sampai di puncak bukit
baru itu. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Pandangan gadis itu terpaku
pada Goa Ular yang sudah runtuh. Tampak api masih berkobar semakin meluas
melahap hutan ini.
"Kenapa dia sampai menjarah ke sini.." Apa sebenarnya yang diinginkan...?" lagilagi Swani bertanya pada diri sendiri.
Swani benar-benar tidak menyangka kalau Iblis Tombak Baja bisa mengejarnya
sampai ke tempat ini.
Bahkan sekarang Pertapa Goa Ular menghilang entah ke mana. Gadis itu kembali
seorang diri tanpa ada yang bisa dijadikan sandaran dan pelindung lagi.
Sedangkan Pertapa Goa Ular belum tuntas menurunkan ilmunya pada gadis ini.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?"
Perlahan Swani mengayunkan kakinya menuruni bukit batu itu. Dia terus berjalan
perlahan-lahan merambah hutan yang lebat bagai tak bertepi ini Otaknya terus
bekerja, berpikir keras.
"Aku tahu, di mana Iblis Tombak Baja berada.
Hm.... Dia akan kubuat pusing tujuh keiiling. Iblis Tombak Baja..., tunggulah
pembalasanku!" desis Swani agak menggeram. "Aku harus ke Bukit Menjangan. Di
sanalah Iblis Tombak Baja tinggal"
*** Sementara itu jauh dari Hutan Goa Ular, tampak sebuah bukit menjulang tinggi
yang tenang dan damai. Sebuah desa yang berdiri di kaki Bukit Menjangan itu juga
bernama Desa Menjangan. Tidak terlalu besar, tapi penduduknya cukup padat. Dan
suasananya selalu ramai, baik siang maupun malam.
Seakan-akan desa itu tidak pernah tidur.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Desa Menjangan juga tampak ramai dan
terang benderang. Tampak lampu-lampu dan cahaya obor terpasang di setiap sudut
dan sepanjang jalan yang membelah desa itu. Kegembiraan begitu semarak, terlihat
di wajah-wajah mereka. Laki-laki perempuan, tua muda, berbaur menjadi satu.
Suara gelak tawa dan canda kelakar terdengar di mana-mana. Di jalan, di rumahrumah, kedai, dan tempat-tempat hiburan atau rumah-rumah penginapan selalu
terdengar gelak tawa dan canda kelakar.
"Belum pernah aku melihat suasana desa seperti ini, Kakang," ungkap seorang
gadis muda berparas cantik mengenakan baju biru muda yang ketat Pemuda tampan
berbaju putih tanpa lengan yang berkuda di sampingnya hanya tersenyum saja.
Mereka berkuda perlahan-lahan sambil menikmati keramaian di desa ini. Tak
seorang pun yang memperhatikan kedua pasangan muda itu. Semuanya tampak sibuk
dengan kegiatan masing-masing.
Mereka menghentikan langkah kaki kudanya di depan sebuah kedai yang cukup besar
dan ramai oleh pengunjung.
Orang-orang keluar masuk kedai itu sambil berbincang dan tertawa-tawa. Kedua
pasangan muda itu kemudian turun dari kudanya masing-masing.
Seorang anak berumur sepuluh tahun menghampiri, dan langsung mengambil tali
kekang kedua kuda dan menuntunnya ke tempat penambatan kuda. Sedangkan kedua
pasangan muda itu terus melangkah masuk ke dalam kedai. Seorang laki-laki tua
menghampiri mereka sambil terbungkuk-bungkuk hormat
dan senyuman ramah tersungging di bibir.
"Silakan masuk," ucap orang tua itu ramah.
"Terima kasih," ucap pemuda berbaju putih tanpa lengan. Juga ramah.
Mereka mengikuti orang tua itu yang menunjukkan jalan menuju meja kosong agak ke
sudut. Orang tua itu mempersilakan kedua pasangan muda itu duduk, lalu
menanyakan keinginan mereka datang ke sini.
"Tolong siapkan makanan dan minuman yang terbaik di sini," pinta pemuda berbaju
putih tanpa lengan itu.
"Baik. Silakan menunggu sebentar," sahut laki-laki tua itu ramah.
Dia bergegas meninggalkan tamunya. Sedangkan gadis berbaju biru muda mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Cukup padat juga pengunjung kedai ini.
Dan suasananya begitu bising, penuh gelak tawa dan canda kelakar. Pandangannya
kemudian berhenti, terpaku pada dua orang laki-laki yang duduk tidak jauh
darinya. Kedua laki-laki yang di punggung masing-masing menyandang pedang, tidak
seperti pengunjung kedai lainnya. Mereka tampak begitu asyik berbicara dan
hampir tak terdengar suaranya.
Gadis itu jadi ingin tahu, apa yang dibicarakan. Maka pendengarannya ditajamkan,
dan dipusatkan pada kedua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa tiba-tiba tua bangka itu lenyap.
Padahal, semua anak buahku sudah rapat mengepungnya," jelas laki-laki yang
mengenakan baju warna hijau daun dengan garis merah pada bagian dadanya.
"Kita terlalu meremehkannya, Kakang Banapati.
Orang tua itu memang bukan orang sembarangan, meskipun sudah lama tidak lagi
kedengaran namanya
di dunia persilatan," laki-laki berbaju hitam me-nanggapi dengan sungguh-sungguh
pula. "Eyang Gorak pasti marah jika tahu si tua bangka itu belum mati, Jaran Kadung,"
kata laki-laki berbaju hijau yang dipanggil Banapati


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah! Yang penting, dia tahunya si tua bangka itu sudah mati. Lihat saja tempat
tinggalnya sudah rata dengan tanah. Persis sama dengan Padepokan Pedang Perak.
Hm... Aku yakin, sebentar lagi Partai Tombak Baja akan menjadi partai terkuat di
dunia. Kau lihat saja sendiri, semakin banyak partai-partai kecil yang bergabung," kata
Jaran Kadung lagi.
"Benar! Dan persaingan di dalam pun semakin ketat saja. Bisa-bisa kita yang
sudah lama, tergeser dari samping Eyang Gorak."
"Itu tidak mungkin" Kakang Banapati. Eyang Gorak sudah mengatakan kalau dia
tidak akan mengadakan perubahan di dalam partai. Meskipun kedudukan kita di
bawah lima orang pembantunya, tapi sudah cukup kuat dan memiliki anak buah
sedikitnya lima puluh orang. Tak ada lagi tambahan, meskipun ada yang datang
dengan kepandaian lebih tinggi. Dan orang yang baru datang, tetap saja menjadi
bawahan. Aku yakin, Eyang Gorak selalu menepati ucapannya."
Mereka terdiam beberapa saat, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Sepertinya, mereka khawatir ada yang mendengarkan percakapan ini. Mereka samasama memandang pada pasangan muda yang duduk tidak jauh darinya. Tapi, gadis
baju biru yang tadi mendengarkan percakapan itu sudah berpura-pura sibuk
menikmati makanannya, sehingga tidak membuat kedua orang ini curiga.
"Kau lihat mereka, Kakang Banapati...?" pelan sekali suara Jaran Kadung.
"Ya! Tampaknya mereka bukan orang sini," sahut Banapati.
"Akan kutanyakan, apa mereka akan lama di sini atau hanya sekadar singgah saja,"
kata Jaran Kadung lagi seraya bangkit berdiri.
"Jangan gegabah, Jaran Kadung. Tampaknya mereka bukan orang-orang sembarangan.
Lihat saja senjata yang disandang," Banapati memperingatkan.
"Kalau mereka macam-macam, mungkin pedangku bisa minum darah lagi," sahut Jaran
Kadung. Banapati hanya tersenyum saja. Sementara Jaran Kadung sudah melangkah
menghampiri pasangan muda Hu. Dia berdiri di samping meja, sedangkan pasangan
muda itu sendiri tidak mempedulikan kehadirannya. Mereka tetap saja menikmati
hidangan yang hampir memenuhi mejanya.
"Maaf, aku mengganggu sebentar," ucap Jaran Kadung mencoba bersikap ramah.
Pasangan muda itu menghentikan makannya.
Perlahan mereka mengangkat kepala, menatap Jaran Kadung yang sudah berdiri dekat
meja ini. Pemuda berbaju putih tanpa lengan itu menganggukkan kepala sedikit dan
memberikan senyum ramah.
"Kalian baru datang ke Desa Menjangan ini?"
tanya Jaran Kadung.
"Benar," sahut pemuda berbaju putih tanpa lengan.
"Berapa lama kalian berada di sini?" tanya Jaran Kadung lagi.
"Tidak tahu. Mungkin dua hari, tiga hari, atau mungkin juga satu bulan," sahut
gadis berbaju biru, agak tidak peduli sikapnya.
"Kuharap kalian tidak terlalu lama di sini. Dan sebaiknya, besok pagi sudah
tidak ada lagi di desa
ini," tegas sekali suara Jaran Kadung.
"He..."! Kenapa..." Apakah kau kepala desa ini, dan tidak menginginkan ada
pendatang di sini?" gadis berbaju biru itu jadi mendelik.
"Aku tidak ingin membuat masalah, Nisanak. Dan sebaiknya, kalian berdua tidak
perlu banyak tanya.
Desa ini sebenarnya tertutup bagi para pendatang.
Dan jika kalian tidak mengindahkan peringatanku, maaf.... Kalian akan mendapat
kesulitan di sini," nada suara Jaran Kadung terdengar mengancam.
"Kau tidak bisa mengancam kami, Kisanak," desis gadis itu.
"Kau terlalu cantik untuk disakiti, Nisanak. Hati-hatilah. Desa ini tidak akan
ramah padamu," dengus Jaran Kadung dingin.
Setelah berkata demikian, Jaran Kadung berbalik dan melangkah kembali ke
mejanya. Sedangkan gadis berbaju biru muda yang ketat hanya
memandangi saja dengan sinar mata memancarkan ketidaksenangan. Gadis itu masih
tetap memandangi sampai Jaran Kadung dan Banapati yang beranjak pergi
meninggalkan kedai ini. Jaran Kadung sempat memberi senyuman sinis pada gadis
itu. "Huh! Belum apa-apa sudah ada yang ingin cari gara-gara," dengus gadis baju biru
itu. "Selesaikan saja makanmu, Pandan. Kita segera pergi dari sini," kata pemuda
berbaju rompi putih.
"Hhh...! Selera makanku sudah hilang!"
*** Sementara itu, Jaran Kadung dan Banapati sudah jauh berkuda meninggalkan kedai.
Mereka berkuda agak cepat melalui jalan kecil yang tampak sunyi. Tak
ada seorang pun terlihat di sepanjang jalan ini. Dan ketika mereka hendak
berbelok ke kanan, tiba-tiba saja melesat sebuah bayangan merah muda hampir
menyambar Banapati yang berkuda agak di depan.
"Hup!"
Untung saja Banapati cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, sehingga sergapan
bayangan merah muda itu tidak sampai menyambar tubuhnya. Jaran Kadung juga
bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Mereka jadi terkejut begitu tibatiba di depan sudah berdiri seseorang bertubuh ramping mengenakan baju merah
muda. Wajahnya tertutup selembar cadar agak tipis berwarna merah muda juga.
Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya yang ramping. Dari bentuk tubuh,
sudah dapat dipastikan kalau dia adalah perempuan. Rambutnya yang panjang agak
sedikit tergelung ke atas, dan sebagian dibiarkan meriap ke belakang.
"Siapa kau..."!" bentak Banapati lantang.
"Hutang harus dibayar. Dan aku akan menagih hutang kalian yang belum dibayar,"
dingin sekali suara wanita bercadar merah muda itu.
"Aku tanya siapa kau..."!" bentak Banapati lagi jadi gusar.
"Aku Dewi Goa Ular yang akan membasmi kalian orang-orang Partai Tombak Baja!"
tegas jawaban gadis bercadar merah muda itu.
"Heh..."!"
Banapati dan Jaran Kadung jadi terkejut mendengar nama Goa Ular disebut. Mereka
memandangi wanita bercadar merah muda itu tajam-tajam, tapi tidak mudah untuk
bisa mengenali wajahnya. Terlebih lagi, sekitarnya begitu gelap. Karena, malam
ini bulan agak tertutup awan, sehingga cahayanya hampir tidak
sampai ke mayapada ini.
"Bersiaplah untuk mati, Keparat..! Hiyaaat..!"
Gadis bercadar merah muda yang tadi mengaku bernama Dewi Goa Uar itu langsung
saja melompat cepat menerjang kedua laki-laki pembantu Iblis Tembak Baja itu.
Begitu cepatnya serangan yang diakukan Dewi Goa Uar, sehingga kedua orang itu
terpaksa harus berjumpalitan, menyebar menghindari serangan itu. Tapi, Jaran
Kadung tampaknya sedikit terlambat. Sehingga satu pukulan yang cukup keras
sempat mampir di bahu kanannya.
"Akh...!" Jaran Kadung terpekik kecil. Dia tidak sempat lagi menguasai
keseimbangan tubuhnya, dan jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Dan sebelum
gadis bercadar merah muda itu bisa menyerang kembali, Jaran Kadung sudah
melenting bangkit berdiri. Pada saat yang sama, Banapati sudah melompat
menyerang seraya mencabut pedangnya.
"Hyaaat...!"
"Hup?"
Sret! Tring! Dewi Goa Ular cepat sekali mencabut pedangnya.
Dan sambil memutar tubuh dengan bertumpu pada satu kaki, tebasan pedang Banapati
ditangkisnya. Begitu kerasnya dua senjata itu beradu, sehingga menimbulkan percikan bunga api
yang menyebar ke segala penjuru. Banapati agak terkejut juga, ketika merasakan
tangannya jadi bergetar dan panas saat pedangnya beradu dengan pedang gadis
bercadar merah muda itu.
Cepat-cepat dia melompat mundur beberapa
tindak. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, gadis bercadar merah muda yang
mengaku bernama Dewi
Goa Uar itu sudah memberi satu serangan kilat.
Pedangnya langsung berkelebat cepat luar biasa mengancam tubuh Banapati.
"Hiyaaat...!"
"Uts! "
Banapati terpaksa berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan
kilat itu. Sementara, Jaran Kadung yang sudah bisa menguasai diri lagi, segera
mencabut pedangnya. Secepat kilat pula dia melompat sambil membabatkan pedang ke
punggung Dewi Goa Ular.
"Yeaaah..!"
"Curang! Hih...!" dengus Dewi Goa Ular.
Cepat dia memutar pedangnya ke belakang,
melindungi punggung dari bokongan Jaran Kadung.
Pedang Sinar Emas 3 Gento Guyon 30 Bukit Kematian Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 27

Cari Blog Ini