Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi Bagian 2
Memang, bangunan tempatnya berlatih selama ini tinggal puing-puing saja. Dan di
antara puing-puing itu terlihat
mayat-mayat temannya berserakan!
Rintihan lirih itu tepat di sebelah
kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh, benarkah..."!" Rangga
tersentak begitu berpaling.
Di sebelah kanannya terdapat
reruntuhan batu dan balok-balok kayu
yang saling tumpang tindih. Tapi dia
begitu yakin kalau rintihan itu datang
dari tumpukan batu dan balok-balok kayu itu. Bergegas dihampirinya reruntuhan
itu, dan diamatinya sesaat. Saat itu
kembali terdengar rintihan lirih
tertahan yang begitu pelan.
"Widura, ke sini....'" teriak Rangga memanggil.
Widura yang tengah memeriksa di
tempat lain, bergegas beriompatan
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menunjuk ke arah tumpukan batu dan balok-balok kayu di depannya. Sebentar
Widura memandangi tumpukan puing yang
masih mengepulkan asap, kemudian
bergegas menyingkirkan batu-batu dan
balok yang bertumpuk saling tumpang
tindih. Kedua pemuda itu terus membongkar
tumpukan reruntuhan puing,
hingga akhirnya menemukan sesosok tubuh tua
yang berlumuran darah. Baju jubah putih panjang yang dikenakan, sudah tidak
beraturan lagi bentuknya. Hanya
gerak-gerik halus di dadanya saja yang
menandakan kalau orang tua itu masih
hidup. "Eyang...," desis Widura, langsung mengenali orang tua itu.
Buru-buru Widura mengeluarkan
laki-laki tua yang ternyata Eyang
Wasista dari reruntuhan ini, kemudian
dibawanya ke bawah pohon yang luput dari kehancuran. Hati-hati sekali pemuda itu
membaringkan tubuh Eyang Wasista di atas rerumputan yang hampir kering.
"Eyang...," panggil Widura
perlahan, dekat di telinga laki-laki tua itu.
Mendengar suara Widura, Eyang
Wasista membuka
kelopak matanya
perlahan-lahan. Sebentar ditatapnya
wajah muridnya itu, kemudian berpindah
menatap Pendekar Rajawali Sakti yang
berada di sisi lain dari dirinya. Eyang Wasista kembali menatap Widura dengan
sinar mata redup, seakan-akan sudah tak ada lagi napas kehidupan pada dirinya.
"Apa yang terjadi, Eyang" Kenapa
bisa sampai begini...?" tanya Widura, agak tertahan nada suaranya.
"Widura.... Pergilah ke Padepokan
Selendang Maut dan..., Padepokan Bulan
Sabit..," lemah dan agak
tersendat-sendat suara Eyang Wasista.
Widura hanya menganggukkan kepala
saja. Hampir-hampir pemuda itu tidak
kuasa lagi menahan air matanya yang
hampir menitik. Sekuat tenaga dicobanya untuk tetap bertahan, dan memperlihatkan
ketabahan di depan gurunya ini.
"Katakan pada mereka, Iblis Seribu Nyawa masih hidup...."
Selesai berkata demikian, tubuh
Eyang Wasista mengejang kaku, lalu
menghembuskan napasnya yang terakhir.
"Eyang...!" jerit Widura langsung memeluk tubuh laki-laki tua yang sudah
seperti ayahnya sendiri itu.
Tapi Eyang Wasista sudah tidak
bergerak lagi. Tubuhnya terkulai,
meskipun Widura memeluk dan
mengguncang-guncangnya. Pemuda itu tak
kuasa lagi menahan air matanya, yang
langsung menitik membasahi wajah Eyang
Wasista. Rangga yang menyaksikan semua
itu, juga tak sanggup lagi bertahan.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan mengarahkan pandangannya ke tempat
lain. Memang sulit menerima kenyataan,
jika ditinggal pergi seseorang yang
paling dicintai.
Sementara Widura masih larut dalam
kesedihan Dan Rangga sudah melangkah
menjauh. Dirayapinya puing-puing
reruntuhan Padepokan Awan Perak. Sungguh mengenaskan menyaksikan reruntuhan
sebuah padepokan yang cukup punya nama.
Tak ada seorang pun yang tersisa hidup.
Mayat-mayat bergelimpangan saling
tumpang tindih, bersama reruntuhan
bangunan padepokan ini.
"Rangga...," panggil Widura, agak tersedak suaranya.
Rangga berpaling, dan memutar
tubuhnya. Widura sudah bangkit berdiri
di samping tubuh Eyang Wasista. Pemuda
itu saling melemparkan pandang tanpa
berkata-kata. Perlahan Pendekar
Rajawali Sakti menghampiri murid
Padepokan Awan Perak itu. Tinggal Widura yang tersisa.
"Kita bereskan dulu di sini, baru
melaksanakan amanat eyang gurumu," ujar Rangga.
Widura tidak dapat mengeluarkan
kata-kata lagi, dan hanya dapat
mengangguk perlahan. Diturutinya saja
apa kata Pendekar Rajawali Sakti.
*** Setelah menguburkan mayat Eyang
Wasista dan semua murid Padepokan Awan
Perak, Rangga segera mengajak Widura
pergi ke Padepokan Selendang Maut dan
Padepokan Bulan Sabit.
"Widura, kau tahu letak kedua
padepokan itu?"
tanya Rangga. "Cukup jauh juga. Padepokan
Selendang Maut yang terdekat dari sini, hanya dua hari perjalanan berkuda.
Sedangkan Padepokan Bulan Sabit, tiga
hari," jelas Widura.
"Kalau begitu, kita harus
menggunakan Rajawali Putih. Dan kau bisa menjadi penunjuk jalan."
Widura tercekat juga mendengar
Pendekar Rajawali Sakti menyebut-nyebut Rajawali Putih. Dia berpikir, seberapa
besarnya rajawali yang katanya berukuran raksasa itu.
Rangga memang terpaksa memanggil
Rajawali Putih untuk mengantarkan mereka ke kedua padepokan itu. Kedatangan
burung rajawali raksasa berbulu putih
keperakan itu membuat Widura hampir saja pingsan berdiri.
"Gunakan kecepatanmu yang terbaik, Rajawali!" perintah Rangga setelah berada di
angkasa. "Khraaagkh...!"
Widura yang berada di belakang
Rangga, memeluk pinggang Pendekar
Rajawali Sakti erat-erat Jantungnya
seolah-olah terasa berhenti berdetak.
Baru pertama kali ini dia menunggang
seekor burung rajawali raksasa. Dan
pengalaman ini tidak pernah diimpikan
sebelumnya. "Jangan terlalu tegang begitu,
Widura. Rajawali Putih tidak akan
menjatuhkanmu dari atas!" seru Rangga kencang.
Widura hanya diam saja. Kalau Rangga
melihat betapa pucatnya wajah pemuda
itu, pasti tertawa ter-bahak-bahak.
Untung saja Widura berada di belakang,
dan menyembunyikan wajahnya di balik
punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Khraaagkh...!"
Dengan menunggang Rajawali Putih,
waktu yang seharusnya dibutuhkan dua
hari, hanya dilalui sebentar saja.
Bahkan tidak sampai setengah hari,
mereka sudah berada di atas Padepokan
Selendang Maut Apalagi Widura telah
mengetahui letak padepokan itu. Jadi,
mereka tidak sulit untuk mencarinya.
Dari angkasa, Rangga terkejut
setengah mati karena padepokan itu sudah rata dengan tanah.
"Widura, kau lihat itu...?" Rangga menunjuk ke arah Padepokan Selendang
Maut yang sudah hancur rata dengan tanah.
"lya, aku lihat!" sahut Widura sekeras-kerasnya, agar suaranya tidak
mengalahkan deru angin yang begitu
kencang di angkasa ini.
"Kau ingin lihat ke sana, Widura?"
Rangga menawarkan.
"Kita lihat saja dulu. Barangkali
masih ada yang hidup," sahut Widura.
Rangga memerintahkan pada Rajawali
Putih untuk turun. Tanpa diminta dua
kali, burung rajawali raksasa berbulu
putih keperakan itu menukik turun dengan kecepatan luar biasa. Sebentar saja
burung itu sudah mendarat di antara
puing-puing reruntuhan Padepokan
Selendang Maut Rangga dan Widura berlompatan turun
dari punggung Rajawali Putih. Sebentar
pandangan mereka beredar mengamati
suasana yang tidak sedap dinikmati.
Mayat-mayat bergelimpangan, bahkan
sudah mulai menyebarkan bau busuk yang
menusuk hidung. Tampaknya mereka sudah
hancur lebih dulu daripada Padepokan
Awan Perak, meskipun di beberapa tempat masih terlihat asap mengepul tipis.
"Tidak ada seorang pun yang hidup, Kakang Rangga," kata Widura agak
mendesah. Dia sudah membiasakan diri
memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan sebutan Kakang Rangga.
"Benar. Dan kelihatannya, sudah
beberapa hari mereka tewas," sahut Rangga juga pelan.
"Dari caranya yang brutal, pasti
perusuhnya adalah orang yang sama," duga Widura, tetap pelan suaranya.
"Rasanya, kita masih punya
kesempatan untuk ke Padepokan Bulan
Sabit," sambung Rangga.
"Apa tidak sebaiknya ke Padepokan
Tongkat Baja dulu, Kakang Rangga?"
Widura memberi usul.
"Eyang gurumu tidak menyebutkan
padepokan itu."
"Memang tidak. Tapi Ketua Padepokan Tongkat Baja adalah adik kandung Eyang
Wasista. Aku rasa, dia harus tahu
kejadian ini," Widura beralasan.
"Apa Padepokan Tongkat Baja juga
punya urusan dengan si Iblis Seribu
Nyawa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Tidak. Tapi, aku tetap saja
khawatir melihat cara-caranya yang
brutal seperti ini. Dia bukan lagi
manusia, Kakang. Tapi iblis yang haus
darah," agak mendesis nada suara Widura.
"Kita akan ke Padepokan Tongkat Baja setelah melaksanakan amanat eyang
gurumu," Rangga menetapkan.
Widura tidak segera memberi
tanggapan. Pemuda itu melirik ke arah
Rajawali Putih yang mendekam di dekat
pohon kemuning. Kemudian ditatapnya
Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di sampingnya.
"Dengan tunggangan ajaibmu, rasanya kita bisa pergi ke kedua tempat dalam
satu hari ini," ujar Widura.
Rangga hanya tersenyum saja,
kemudian melangkah menghampiri Rajawali Putih. Widura bergegas mengikuti, dan
mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa bicara
lagi, mereka berlompatan naik ke
punggung Rajawali Putih.
Sebentar kemudian, burung rajawali
raksasa berbulu putih keperakan itu
sudah melambung tinggi ke angkasa.
Widura memberi arah yang harus dituju
pada Pendekar Rajawali Sakti. Bagaikan
kilat, burung rajawali raksasa itu
melesat cepat begitu diberi tahu arah
yang ditunjukkan.
*** Widura dapat menarik napas lega
ketika melihat Padepokan Bulan Sabit
masih tetap utuh, tidak seperti dua
padepokan sebelumnya. Rangga
memerintahkan Rajawali Putih turun agak jauh dari padepokan. Kemudian kedua
pemuda itu berlari cepat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh, menuju Padepokan Bulan Sabit.
Sesampainya di padepokan itu,
mereka disambut seorang laki-laki
bertubuh gemuk dan berperut buncit
seperti gentong air. Kepalanya kelihatan kecil, tanpa sehelai rambut pun yang
tumbuh. Tangannya menggenggam sebatang
tongkat pendek dengan kedua ujungnya
berbentuk bulan sabit berwarna kunlng
keemasan. Di kalangan persilatan,
julukannya adalah Pendekar Sabit Emas.
"Ada kabar apa dari Kakang Wasista?"
tanya Pendekar Sabit Emas ketika kedua
pemuda tamunya ini berada di dalam
Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruangan yang cukup besar dan indah.
"Hanya ada satu pesan yang harus
kusampaikan," sahut Widura.
"Katakan," pinta Pendekar Sabit Emas.
"Tapi sebelumnya, aku ingin memberi tahu dulu kalau Padepokan Awan Perak dan
Padepokan Selendang Maut sudah musnah,"
jelas Widura, sangat hati-hati
bicaranya. "Apa..."!" Pendekar Sabit Emas tersentak kaget setengah mati.
Dia sampai terlonjak bangkit dari
duduknya. Kedua bola matanya berkilatan, merayapi wajah Widura dan Rangga
bergantian. Seakan-akan dia ingin
memastikan kebenaran kabar yang
disampaikan Widura barusan.
"Widura, aku kenal dirimu sejak
masih kecil. Kau murid utama Padepokan
Awan Perak. Aku tidak ada waktu untuk
bermain-main...!" agak keras suara Pendekar Sabit Emas.
"Maafkan aku, Paman. Mungkin cara penyampaianku kurang tepat. Tapi, memang
begitulah keadaan yang sebenarnya," ujar Widura seraya menjura memberi hormat.
"Bagaimana itu bisa terjadi...?"
Pendekar Sabit Emas masih belum bisa
mempercayai. Widura segera menceritakan semua
peristiwa yang terjadi, yang bermula
dari kedatangan seorang utusan dari Desa Jati Wengker. Widura juga menceritakan
musibah yang dialami desa itu, sehingga dia dan dua orang adik seperguruannya
ditugaskan Eyang Wasista untuk
mengamankannya. Tapi kedua adik
seperguruannya tewas. Dan begitu dia
kembali ke padepokan untuk melaporkan
semua yang terjadi di Desa Jati Wengker, keadaan di Padepokan Awan Perak sudah
rata dengan tanah. Tak ada seorang pun
yang hidup lagi. Bahkan Eyang Wasista
sendiri tewas. Tapi sebelum
menghembuskan napas yang terakhir, Ketua Padepokan Awan Perak itu sempat memberi
beberapa pesan.
Widura juga menyampaikan kabar
buruk kalau nasib Padepokan Selendang
Maut tidak jauh berbeda dengan yang
dialami Padepokan Awan Perak. Semua
diceritakan secara gamblang, tanpa ada
yang dikurangi maupun ditambah.
Sementara Pendekar Sabit Emas
mendengarkan penuh perhatian. Sedikit
pun dia tidak mengeluarkan suara sampai Widura menyelesaikan semua kisahnya.
"Rasanya sulit dipercaya kalau
Iblis Seribu Nyawa masih hidup, dan
sekarang membalas kekalahannya dengan
cara brutal dan keji...," desis Pendekar Sabit Emas, setengah bergumam nada
suaranya, seakan-akan bicara pada
dirinya sendiri.
"Hanya tinggal padepokan ini saja
yang belum terjamah, Paman," kata
Widura. Pendekar Sabit Emas terdiam sambil
merayapi Rangga yang duduk di samping
Widura. Sejak tadi, Pendekar Rajawali
Sakti hanya diam saja mendengarkan semua percakapan ini. Bahkan Widura sendiri
sampai lupa memperkenalkan Rangga pada
Ketua Padepokan Bulan Sabit itu.
"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Sabit Emas
langsung menebak.
"Oh, ya. Paman, dia temanku. Sudah banyak pertolongan yang diberikannya
padaku. Namanya Rangga," selak Widura memperkenalkan.
"Aku sering mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti, meskipun belum
pernah berjumpa langsung dengannya. Tapi ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti, ada
semua padamu. Benarkah penglihatanku
ini..,?" Pendekar Sabit Emas tidak menghiraukan kata-kata Widura.
Rangga hanya menganggukkan kepala
saja. "Ah...! Kenapa aku tidak menyadari sejak tadi..." Rupanya yang ada di
depanku ini seorang pendekar digdaya
yang termasyhur, dan selalu menjadi
pembicaraan di kalangan kaum
kependekaran," puji Pendekar Sabit Emas.
"Mereka hanya melebihkan saja,
Paman. Aku tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan pendahulu," Rangga merendah.
"Kau tidak perlu rendah diri begitu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang bisa
berkenalan denganmu, meskipun dalam
suasana yang tidak menyenangkan ini."
Lagi-lagi Rangga tersenyum dan
memberi salam penghormatan. Sedangkan
Pendekar Sabit Emas membalas dengan
menjura pula. Sementara itu Widura hanya memperhatikan saja. Sejak semula dia
memang sudah menduga kalau Rangga
sebenarnya adalah Pendekar Rajawali
Sakti yang selalu menggemparkan rimba
persilatan di setiap kemuneulannya. Dan sekarang baru jelas setelah Rangga
mengakui, meskipun dengan merendahkan
diri. "Kalian tentu lelah setelah
menempuh perjalanan jauh. Sebaiknya
istirahat sajalah dulu. Kamar untuk
kalian sudah disiapkan," ujar Pendekar Sabit Emas.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya bangkit berdiri.
Sedangkan Widura yang memang sudah
teramat letih, sudah lebih dahulu
berdiri. Pendekar Sabit Emas memanggil
dua orang muridnya, dan menyuruh untuk
mengantarkan Rangga dan Widura ke kamar peristirahatannya. Sedangkan dia
sendiri kembali duduk di kursinya
setelah Rangga dan Widura meninggalkan
ruangan ini. "Iblis Seribu Nyawa.... Hm, aku
harus mempersiapkan penyambutan
untuknya. Dia pasti datang setiap saat.
Hhh...! Sukar dipercaya kalau padepokan Kakang Wasista dan padepokan Nyai
Selendang Maut bisa hancur dalam waktu
yang begitu singkat," Pendekar Sabit Emas berbicara sendiri.
Setelah memeras otak beberapa saat
lamanya, laki-laki bertubuh gemuk dan
berkepala gundul itu bangkit berdiri.
Kakinya melangkah sambil mengayun
ayunkan tongkatnya, meninggalkan
ruangan besar dan indah ini.
*** Sementara itu, jauh dari Padepokan
Bulan Sabit, tepatnya di Hutan Alas Waru, Karmapati dan Legawa tengah duduk
bersila menghadap sebuah altar batu yang dikelilingi puluhan tulang-tulang
tengkorak anak-anak bayi. Di dekat altar batu itu terdapat sebuah tempayan dari
tanah liat yang penuh berisi darah.
Tempayan itu memang berukuran sangat
besar, dan cukup dimasuki satu orang
dewasa. Kedua anak muda itu menatap lurus tak berkedip ke arah tempayan.
Tiba-tiba saja, darah di dalam
tempayan itu bergolak mendidih. Asap
kemerahan mengepul, menyebarkan aroma
yang tidak sedap menusuk hidung.
Perlahan-lahan, dari dalam tempayan itu muncul sesosok tubuh yang berlumuran
darah. Sosok tubuh itu bangkit, lalu
keluar dari dalam tempayan. Kemudian,
dia naik ke atas altar, dan duduk bersila di permukaan altar batu itu.
Darah yang menempel di tubuhnya,
perlahan-lahan mencair. Dan sekarang,
tampaklah sosok seorang laki-laki tua
berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Bajunya warna merah menyala, dan cukup
ketat Seluruh rambutnya berwarna merah
bagai tersiram darah. Tatapan matanya
begitu tajam, mencerminkan kekejaman dan kebengisan yang tiada tara.
"Ha ha ha...!" laki-laki tua itu tertawa terbahak-bahak.
Karmapati dan Legawa tampak
tersenyum penuh kepuasan. Kedua pemuda
itu bangkit berdiri, begitu laki-laki
tua berbaju merah ini turun dari altar.
Dipandanginya dua anak muda yang berdiri di depannya. Dia tersenyum, dan kembali
tertawa terbahak-bahak.
"Mulai sekarang, setiap bulan
purnama muncul, kalian harus bisa
menyediakan seorang anak bayi padaku,"
tegas laki-laki tua itu.
"Masalah itu tidak perlu
dirisaukan," sahut Karmapati.
"Benar! Selama Iblis Seribu Nyawa
masih ada, tidak ada kesulitan untuk
mendapatkan bayi," sambut Legawa.
"Ha ha ha...! Kalian benar-benar
pengikutku yang setia. Mulai sekarang,
kalian menjadi pengawal pribadiku."
Karmapati dan Legawa tersenyum
lebar. Mereka senang dijadikan pengawal pribadi laki-laki tua ini. Tak ada yang
lebih membanggakan bagi kedua pemuda
itu, selain menjadi pengawal pribadi si Iblis Seribu Nyawa. Apalagi, laki-laki
tua itu adalah tokoh kosen yang ditakuti dan selalu menggemparkan rimba
persilatan. Dan kini, Karmapati dan
Legawa berhasil membangkitkannya
kembali dari kematian dengan merendam
tubuh laki-laki tua ini di dalam tempayan besar berisi darah seratus bayi.
Dan untuk kelangsungan hidupnya,
Iblis Seribu Nyawa membutuhkan
darah-darah bayi setiap bulan purnama
jatuh. Bagi kedua pemuda itu tidak
menjadi persoalan, karena bayi-bayi bisa didapat dengan mudah di mana saja.
Setiap hari saja mereka bisa men-dapatkannya,
apalagi ini hanya setiap kali bulan.
"Sekarang aku yang akan menguasai
dunia ini. Tak ada lagi yang bisa
mengalahkanku. Kalian tidak perlu gentar menghadapi segala macam tantangan,"
tegas si Iblis Seribu Nyawa, jumawa.
"Tapi masih ada dua padepokan lagi
yang belum dihancurkan, Iblis Seribu
Nyawa," selak Karmapati.
"Padepokan Tongkat Baja dan
Padepokan Bulan Sabit."
"Aku tahu. Dua padepokan itu memang yang terkuat. Tapi kalian tidak perlu
khawatir. Kematianku dulu hanyalah
kematian semu. Mereka lupa kalau aku
memiliki ilmu 'Seribu Nyawa'. Aku
sewaktu-waktu dapat bangkit, bila ada
orang yang membangkitkan seperti kalian.
Karena, rohku memang tidak ke mana-mana, untuk menunggu orang yang membutuhkan
kehadiranku. Dengan merendam jasadku di dalam darah seratus bayi, maka inilah
saat kebangkitanku! Kehidupanku kini
sudah kusempumakan, dan tidak perlu lagi berendam di dalam darah seratus bayi.
Sekarang mereka bukan tandinganku lagi.
Tak ada yang bisa mengalahkanku di jagat raya ini. Ha ha ha...?" jelas Iblis
Seribu Nyawa, panjang lebar.
Karmapati dan Legawa ikut tertawa.
Sudah dua padepokan mereka hancurkan.
Padepokan Selendang Maut dan Padepokan
Awan Perak. Padahal saat itu si Iblis
Seribu Nyawa belum sempurna betul
kehidupannya. Iblis Seribu Nyawa masih
direndam darah bayi agar kebangkitannya sempurna. Kematiannya dulu, adalah
akibat bertarung dengan Eyang Wasista,
Nyai Selendang Maut, dan Pendekar Sabit Emas. Dan kini Iblis Seribu Nyawa memang
ingin melaksanakan dendamnya!
"Ayo, kita ke Padepokan Bulan Sabit.
Aku harus membuat perhitungan dengan si Pendekar Sabit Emas," ajak Iblis Seribu
Nyawa. Mereka bergegas keluar dari dalam
gua yang letaknya cukup tersembunyi.
Sesampai di luar, mereka cepat melesat
berlari kencang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Begitu tinggjnya ilmu yang dimiliki, sehingga dalam sekejap
saja sudah jauh meninggalkan mulut gua di tengah Hutan Alas Waru.
*** 6 "Setan...!"
Iblis Seribu Nyawa menggeram marah
bukan main begitu mendapati keadaan di
Padepokan Bulan Sabit dalam keadaan
kosong. Tak dijumpai seorang pun di dalam lingkungan padepokan itu. Benar-benar
sunyi. Mereka memeriksa setiap bangunan yang ada, dan memasuki seluruh ruangan
di dalam bangunan padepokan itu. Tapi tetap saja tidak menjumpai siapa-siapa.
Iblis Seribu Nyawa dan dua orang
pemuda pengawal pribadinya kembali ke
tengah-tengah halaman depan yang cukup
luas yang biasa digunakan untuk berlatih murid-murid Padepokan Bulan Sabit Pada
saat mereka mengedarkan pandangan
berkeliling, tiba-tiba saja dari atas
atap bangunan dan pagar yang
mengelilingi padepokan, bersembulan
kepala-kepala. Lalu terlihat
panah-panah yang siap dilepaskan.
"Keparat...!" desis Iblis Seribu Nyawa merasa telah masuk ke dalam
perangkap. Di atas atap bangunan utama berdiri
Pendekar Sabit Emas yang didampingi
Pendekar Rajawali Sakti dan Widura.
Sedangkan seluruh murid Padepokan Bulan Sabit, sudah siap melepaskan panah ke
arah Iblis Seribu Nyawa dan kedua
pengawalnya. Mereka tinggal menunggu
perintah saja untuk melepaskan anak
panah yang sudah siap terentang di
busurnya.
Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seraaang...!" seru Pendekar Sabit Emas member! perintah.
Seketika itu juga, dari segala
penjuru berdesingan anak-anak panah ke
arah Iblis Seribu Nyawa dan kedua
pengawalnya. Serbuan anak panah yang
datang bagaikan hujan, membuat ketiga
orang itu terpaksa berjumpalitan
menghindarinya.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Karmapati dan Legawa terpaksa
menggunakan pedangnya untuk menghalau
anak-anak panah yang menghujani
tubuhnya. Sedangkan Iblis Seribu Nyawa
tampak diam saja. Sesekali tangannya
dikebutkan untuk menghalau anak panah
yang menghujani tubuhnya. Beberapa
batang anak panah berhasil menancap di
tubuhnya. Tapi laki-laki tua berbaju
merah dan seluruh rambutnya berwarna
merah itu mencabut anak panah yang
menancap di tubuhnya tanpa sedikit pun
merasa sakit. Bahkan tak ada setetes
darah pun yang keluar.
"Ha ha ha...!" Iblis Seribu Nyawa tertawa terbahak-bahak.
Bahkan sekarang, sama sekali Iblis
Seribu Nyawa tidak melakukan gerakan.
Dibiarkan saja panah-panah itu
menghantam tubuhnya. Sungguh
menakjubkan! Panah-panah itu langsung
rontok begitu menyentuh kulit tubuhnya.
Tentu saja hal ini membuat Pendekar Sabit Emas jadi terbeliak. Sedangkan Rangga
hanya memperhatikan saja dengan mata
tidak berkedip. Pendekar Rajawali Sakti juga merasa heran melihat laki-laki tua
itu tidak terpengaruh oleh serbuan anak panah. Bahkan kulit tubuhnya begitu
kebal, sehingga tak satu pun anak panah yang bisa melukainya.
"Dia benar-benar sudah
menyempurnakan ilmu-ilmunya. Tak ada
satu senjata pun yang mampu
membunuhnya," gumam Pendekar Sabit Emas.
"Aku akan menghadapinya. Paman dan kau, Widura, hadapi yang dua orang itu,"
ujar Rangga. "Tidak! Kedatangannya ke sini untuk mencariku. Jadi, sudah selayaknya kalau aku
yang menyambutnya," sergah Pendekar Sabit Emas menolak keinginan Rangga
untuk menghadapi si Iblis Seribu Nyawa
itu. Rangga tidak dapat lagi membantah,
karena Pendekar Sabit Emas sudah
melompat turun dari atap sambil
berteriak memerintahkan murid-muridnya
agar menghentikan serangan. Hujan anak
panah langsung berhenti begitu kaki
Pendekar Sabit Emas menjejak tanah,
sekitar dua batang tombak di depan Iblis Seribu Nyawa. Sedangkan Karmapati dan
Legawa sudah berada di belakang
laki-laki tua berambut merah itu.
"He he he...! Memang seharusnya kau sendiri yang muncul, Pendekar Sabit
Emas," ujar Iblis Seribu Nyawa diiringi tawanya yang terkekeh.
"Seharusnya kau dibakar sampai jadi abu...!" dengus Pendekar Sabit Emas.
"Tapi mengapa tidak kau lakukan" Dan
sekarang sudah terlambat. Bersiaplah
menerima kehancuranmu, Pendekar Sabit
Emas," terdengar dingin nada suara Iblis Seribu Nyawa.
Pendekar Sabit Emas menggeser
kakinya beberapa langkah ke samping
ketika Iblis Seribu Nyawa mengebutkan
kedua tangannya di depan dada. Karmapati dan Legawa melangkah mundur beberapa
tindak, membiarkan Iblis Seribu Nyawa
menghadapi musuh utamanya. Semua orang
yang menyaksikan kedua tokoh itu saling berhadapan, diliputi perasaan tegang
yang amat sangat
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar,
Iblis Seribu Nyawa melompat menyerang
Pendekar Sabit Emas. Satu pukulan
dilepaskan lurus ke arah dada laki-laki bertubuh gemuk itu. Namun hanya mengegos
ke kanan, Pendekar Sabit Emas berhasil
menghindari pukulan lawan. Bahkan dengan cepat sekali tongkatnya dikebutkan.
Wuk! "Hap!"
Iblis Seribu Nyawa melentingkan
tubuh ke udara, membuat serangan
Pendekar Sabit Emas hanya mengenai angin kosong di bawah kakinya. Dua kali
laki-laki tua berambut merah itu
melakukan putaran di udara, lalu manis
sekali mendarat di belakang Pendekar
Sabit Emas. Begitu cepat tubuhnya
berputar, dan langsung melontarkan satu tendangan berputar mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaat...!"
"Halt!"
Bet! Pendekar Sabit Emas mengebutkan
tongkatnya ke belakang, dengan tubuh
sedikit berputar. Tak pelak lagi,
tongkat berujung bulan sabit emas itu
menghantam kaki Iblis Seribu Nyawa. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Pendekar
Sabit Emas malah terpental tiga langkah ke depan. Cepat keseimbangan tubuhnya
di-kuasai, sebelum si Iblis Seribu Nyawa melancarkan serangan lagi.
"Gila! Tenaganya jauh berlipat
ganda...!" dengus Pendekar Sabit Emas dalam hati.
Pendekar Sabit Emas cepat
mempersiapkan jurus untuk serangan
berikutnya. Sedangkan si Iblis Seribu
Nyawa tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun. Dia hanya memperhatikan
saja setiap gerak kembangan jurus yang
dilakukan Pendekar Sabit Emas. Laki-laki tua berambut merah itu masih tetap
diam, meskipun lawannya sudah melompat
menyerang. "Hiyaaat...!"
Cepat sekali serangan Pendekar
Sabit Emas. Ujung senjatanya siap
dihunjamkan ke tengah dada si Iblis
Seribu Nyawa yang tidak bergeming
sedikit pun. Bahkan malah dadanya
sengaja dibuka lebar-lebar.
Tak pelak lagi, senjata andalan
Pendekar Sabit Emas itu amblas ke dalam dada Iblis Seribu Nyawa. Begitu kerasnya
tusukan Pendekar Sabit Emas, sehingga
ujung senjatanya tembus keluar dari
punggung. Hasilnya, aneh! Iblis Seribu Nyawa
malah hanya tersenyum saja. Sedikit pun dia tidak terpengaruh, meski dadanya
tertembus senjata maut Pendekar Sabit
Emas. "Heh..."!" Pendekar Sabit Emas jadi terlongong tidak percaya.
Senjatanya yang terbenam di dada
Iblis Seribu Nyawa dicoba dicabut. Tapi sebelum tercabut keluar, Iblis Seribu
Nyawa sudah cepat menghentakkan tangan
kanannya tepat menghantam dada Pendekar Sabit Emas.
Plak! "Akh...!" Pendekar Sabit Emas memekik keras. Tubuh gemuk itu terpental sejauh
dua batang tombak. Senjatanya
yang terbenam di dada si Iblis Seribu
Nyawa terlepas dari genggaman. Keras
sekali tubuhnya jatuh ke tanah, dan
bergulingan beberapa kali. Namun dia
cepat bangkit berdiri, meskipun
terhuyung-huyung. Dari mulutnya tampak
terlontar darah kental agak kehitaman.
Sementara itu Iblis Seribu Nyawa
mencabut tongkat bulan sabit yang
menancap di dadanya. Senyuman masih
tersungging di bibirnya. Dipandanginya
senjata Pendekar Sabit Emas itu, setelah keluar dari dadanya. Tak sedikit pun
terlihat adanya bekas luka. Sedangkan
Pendekar Sabit Emas hanya bisa
terlongong, seakan-akan tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri.
"Bersiaplah menyusul teman-temanmu di neraka, Pendekar Sabit Emas !" desis Iblis
Seribu Nyawa dingin.
Setelah berkata demikian, secepat
kilat tubuhnya melunik deras ke arah
Pendekar Sabit Emas. Tangan kanannya
yang memegang tongkat lawannya, tertuju lurus ke arah dada Pendekar Sabit Emas.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, membuat Pendekar Sabit Emas tak punya
kesempatan menghindar lagi Tapi belum
juga ujung tongkat berbentuk bulan sabit itu menghunjam dada, mendadak saja
berkelebat sebuah bayangan putih
menyambar laki-laki gemuk berkepala
botak itu. Slap! "Heh..."!"
Iblis Seribu Nyawa terkejut
setengah mati. Ternyata calon korban
yang sudah berada di depan mata,
tiba-tiba saja lenyap. Maka tusukan
tongkat berbentuk bulan sabit emas itu
hanya mengenai angin saja.
"Setan...!" geram Iblis Seribu Nyawa gusar.
Pandangannya beredar berkeliling.
Tapi sekitamya sudah sunyi kembali. Tak terlihat seorang pun di tempat ini.
Laki-laki tua berambut merah itu menatap Karmapati dan Legawa yang juga jadi
kebingungan. Mereka hanya melihat
sekelebatan bayangan putih yang
tiba-tiba membawa pergi Pendekar Sabit
Emas. Dan memang, seluruh perhatian
mereka tertumpah pada pertarungan Iblis Seribu Nyawa dengan Pendekar Sabit Emas.
Sehingga, sekelilingnya tidak
diperhatikan, dan tidak tahu kalau semua orang sudah meninggalkan padepokan ini.
"Setan belang...! Ke mana mereka
semua, heh"!" bentak Iblis Seribu Nyawa berang melihat murid-murid Padepokan
Bulan Sabit beserta ketuanya lenyap
begitu saja. Karmapati dan Legawa tidak
menjawab, karena tidak tahu ke mana
perginya semua orang yang tadi mengepung tempat ini. Pertarungan antara Iblis
Seribu Nyawa melawan Pendekar Sabit Emas tadi memang sangat menarik. Akibatnya
kedua pemuda itu jadi tak memperhatikan sekelilingnya.
"Keparat! Hiyaaa...!"
Iblis Seribu Nyawa mengumbar
kemarahannya. Dilepaskannya
pukulan-pukulan jarak jauh yang
mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Suara-suara ledakan terdengar
dahsyat menggelegar, menghancurkan
bangunan-bangunan Padepokan Bulan Sabit ini.
"Bakar seluruh tempat ini...!"
teriak Iblis Seribu Nyawa lantang
menggelegar. Karmapati dan Legawa bergegas
menghampiri obor-obor yang terpancang di dekatnya. Lalu obor itu dinyalakan, dan
dilemparkan ke atap-atap bangunan yang
ada di sekeliling padepokan. Sebentar
saja api sudah berkobar menyala.
Meskipun sudah termakan api, namun
ketiga orang itu masih tetap melepaskan pukulan-pukulan jarak jauh yang dahsyat
ke arah bangunan di sekitarnya.
Padepokan Bulan Sabit benar-benar
hancur. Setelah puas mengumbar
kemarahan, Iblis Seribu Nyawa mengajak
kedua pemuda itu untuk meninggalkan
tempat ini. Mereka bergerak cepat,
sehingga sebentar saja sudah tak
terlihat lagi, menghilang ditelan
kegelapan malam.
*** Sepeninggal Iblis Seribu Nyawa dan
kedua pemuda pengawalnya, Pendekar Sabit Emas, Rangga, Widura, dan seluruh
murid-murid Padepokan Bulan Sabit baru
keluar dari tempat persembunyiannya.
Mereka memang bersembunyi di sebuah
tempat di dalam ruangan bawah tanah,
tidak jauh dari padepokan itu. Pendekar Sabit Emas termangu memandangi
padepokannya yang hancur dan terbakar.
Padepokan yang didirikan bertahun-tahun itu kini telah rata dengan tanah. Tapi
hatinya tetap bersyukur, karena tak
seorang pun murid-muridnya yang tewas
akibat kebrutalan si Iblis Seribu Nyawa.
Juga dirinya masih beruntung karena
mendapatkan kembali tongkat pusakanya
yang tergeletak di dekat reruntuhan
padepokan. "Aku harus pergi ke Padepokan
Tongkat Baja. Mudah-mudahan
belum terlambat untuk memberi tahu mereka,"
kata Rangga. "Aku tidak tahu, jika kau tidak
menolong tepat pada waktunya, Pendekar
Rajawali Sakti. Mungkin nasib
padepokanku akan lebih buruk lagi,"
desah Pendekar Sabit Emas.
"Yang penting sekarang, dirikanlah
lagi padepokanmu, Paman. Aku akan terus mencegah tindakannya," tegas Rangga
tidak ingin menerima pujian.
Pendekar Rajawali Sakti mengajak
Widura. Setelah berpamitan, mereka
bergegas meninggalkan tempat itu.
Pendekar Sabit Emas memandangi sampai
Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua anak muda itu lenyap di dalam hutan yang lebat. Kemudian murid-muridnya
diperintahkan untuk membersihkan
padepokan mereka yang hancur.
Sementara Rangga dan Widura terus
berlari ke tempat mereka meninggalkan
Rajawali Putih. Kedua pemuda itu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Tak berapa lama kemudian, mereka telah sampai. Rajawali Putih segera
bangkit dan menghampiri begitu melihat
Rangga dan Widura berlari-lari
menghampirinya.
"Hup...!"
"Hap!"
"Khraaagkh...!"
"Ke Timur, Rajawali...!" ujar Rangga memberi petunjuk arah.
Hanya sekali mengepakkan sayap
saja, Rajawali Putih sudah membumbung
tinggi ke angkasa. Widura yang sudah be berapa kali menunggang burung rajawali
raksasa ini, sudah tidak takut lagi.
Namun begitu, masih juga pinggang Rangga dipeluk erat-erat. Bagaimanapun juga,
sedikit rasa takut masih terselip di
hatinya. Apalagi menyadari berada di
ketinggian yang tak pernah dibayangkan
ini. "Kau yakin mereka akan pergi ke
Padepokan Tongkat Baja, Widura?" tanya Rangga.
"Aku rasa begitu," sahut Widura.
Rajawali Putih terus meluncur ke
arah Timur dengan kecepatan bagai kilat.
Saat mereka melewati sebuah padang
rumput yang luas, Rangga melihat tiga
bayangan berkelebat cepat meUntasi
padang rumput itu. Rangga tahu, mereka
adalah Iblis Seribu Nyawa dan kedua anak muda pengawalnya. Widura juga melihat
mereka yang berlari cepat melintasi
padang rumput itu.
"Benar dugaanku. Mereka menuju
Padepokan Tongkat Baja," kata Widura.
"Tidak kusangka mereka bisa
bergerak begitu cepat," suara Rangga terdengar agak menggumam, seakan bicara
pada dirinya sendiri.
"Mereka memang berilmu tinggi. Aku sendiri tidak mungkin sanggup menghadapi dua
orang pengawalnya," Widura mengakui tanpa malu-malu lagi.
Rangga tidak menanggapi Dia tahu,
bagaimana perasaan Widura saat ini.
Walau kemampuannya memang terbatas, tapi pemuda itu memiliki semangat untuk
menghentikan rongrongan si Iblis Seribu Nyawa. Padahal, manusia yang bangkit
dari kuburnya itu, sudah memiliki
ilmu-ilmu yang begitu sempurna, setelah mendapatkan seratus darah anak-anak bayi
berumur kurang dari setahun.
"Lebih cepat lagj, Rajawali. Kita
harus mendahului mereka!" seru Rangga.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih mempercepat
terbangnya, hingga melewati ketiga orang yang berlarian cepat di bawah sana.
Rajawali raksasa itu terus meluncur
cepat bagai kilat. Setelah melewati
padang rumput, terus meluncur di atas
hutan yang luas dan Iebat. Setelah
melewati sebuah lembah, burung rajawali raksasa itu Iaki menukik turun, tepat
berada di atas sebuah bukit yang tidak
begitu tinggi. Di puncak bukit itu
terlihat beberapa bangunan berdiri
dikelilingi pagar kayu gelondongan yang tinggi dan kokoh.
"Khraaagkh...!"
Suara Rajawali Putih yang keras
menggelegar, membuat orang-orang yang
berada di sekitar bangunan itu itu jadi terkejut. Mereka semua mendongakkan
kepala ke atas. Sementara Rajawali Putih terus meluncur turun. Orang-orang di
sekitar bangunan dikelilingi benteng
itu, jadi kalang-kabut Mereka berlarian berserabutan sambil berteriak-teriak
ribut. Saat itu, Rajawali Putih sudah
mendarat tepat di tengah-tengah lapangan yang cukup luas, tepat di depan sebuah
bangunan yang paling besar.
Begitu Rangga dan Widura melompat
turun, dari dalam bangunan itu muncul
seorang laki-laki berusia setengah baya yang wajahnya masih terlihat gagah dan
tampan. Dia juga terkejut begitu melihat di halamannya ada seekor burung
rajawali raksasa. Lebih terkejut lagi, begitu
melihat Widura berdiri di depan burung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.
"Paman...!" seru Widura seraya
berlari menghampiri.
Sementara Rangga berjalan mengikuti
di belakang pemuda itu. Laki-laki
setengah baya yang dipanggil paman oleh Widura, hanya bengong saja. Dia seperti
tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya. Sementara di sekeliling
mereka sudah berkumpul anak-anak muda
dengan senjata terhunus di tangan.
"Widura.... Kaukah itu...?"
laki-laki setengah baya ini seperti
ingin meyakinkan dirinya.
"Benar, Paman. Aku Widura," sahut Widura.
"Kenapa jadi bengong...?"
"Oh...!" laki-laki setengah baya itu jadi tergagap.
Sebentar laki-laki itu memandangi
Widura, sebentar kemudian beratih pada
Rajawali Putih, lalu berpindah pada
Rangga yang berdiri sekitar lima langkah di belakang Widura. Kembali
dipandanginya Widura, seperti
benar-benar ingin meyakinkan kalau murid kakaknya ini datang bersama seekor
burung rajawali raksasa.
"Paman, ini Rangga. Dan itu Rajawali Putih tunggangannya," Widura cepat
memperkenalkan Rangga pada laki-laki
setengah baya ini.
"Rangga, pamanku ini dikenal
berjuluk Pendekar Tongkat Baja. Makanya, padepokan ini juga dinamakan Padepokan
Tongkat Baja."
Rangga menyodorkan tangannya, yang
langsung disambut Pendekar Tongkat Baja.
Laki-laki setengah baya itu meminta
kedua tamunya ini untuk masuk, tapi
Widura dengan halus menolaknya.
"Kedatanganku karena ada sesuatu
yang penting," kata Widura.
"Ada amanat dari gurumu, Widura?"
tanya Pendekar Tongkat Baja.
Widura tidak segera menjawab, tapi
malah menghembuskan napas berat beberapa kali. Terasa sukar baginya untuk
mengatakan semua yang telah terjadi
selama ini. Tapi akhirnya, dengan
perasaan berat dan dipaksakan, Widura
menceritakan juga semuanya. Sejak dari
awal hingga terakhir, semua peristiwa
itu diceritakannya. Pendekar Tongkat
Baja jadi tercenung mendengar cerita
Widura. Dia seperti tidak percaya
setelah mendengar kalau kakaknya yang
bernama Wasista sudah tewas. Dan
padepokannya sudah hancur rata dengan
tanah. Bahkan Padepokan Selendang Maut
juga musnah. Yang membuatnya hampir
tidak percaya, mereka semua hancur hanya oleh anak buah si Iblis Seribu Nyawa!
Padahal, tokoh kosen itu diketahuinya
sudah tewas oleh Eyang Wasista, Dewi
Selendang Maut, dan Pendekar Sabit Emas.
Meskipun tidak ikut dalam pertarungan
itu, tapi dengan mata kepala sendiri,
sempat dilihatnya bagaimana Iblis Seribu Nyawa dibuat tidak berdaya oleh
lawan-lawannya. Dan akhirnya tewas!
Demikian pula para pengikutinya yang
berhasil dihancurkan. Tapi tidak sedikit yang berhasil melarikan diri. Dan
mungkin di antaranya adalah anak buahnya yang sekarang, yang telah menghancurkan
Padepokan Awan Perak dan Padepokan
Selendang Maut.
"Sekarang mereka sedang menuju ke
sini, Paman. Itu sebabnya, aku dan Kakang Rangga langsung ke sini untuk memberi
tahu agar Paman bersiap-siap menghadapi mereka," jelas Widura.
"Apa yang harus kulakukan...?"
tanya Pendekar Tongkat Baja seperti
bertanya untuk dirinya sendiri.
"Kosongkan padepokan ini," selak Rangga.
"Kosongkan..."!"
"Mereka memang akan menghancurkan
padepokan ini, tapi jangan sampai jatuh korban. Biarkan mereka melampiaskan
kekecewaannya," jelas Rangga.
"Apakah itu bukan tindakan
pengecut...?"
"Tidak! Demi menyelamatkan seluruh murid padepokan, maka bangunan ini harus
dikosongkan. Mereka bukan lawan tanding yang ringan, karena berkepandaian
tinggi. Harus dicari cara yang tepat
untuk menghadapinya, tanpa harus
menimbulkan korban banyak," kata Rangga lagi.
"Ikuti saja, Paman. Kakang Rangga sudah mempunyai rencana matang untuk
menghadapi si Iblis Seribu Nyawa," bujuk Widura.
Pendekar Tongkat Baja memandangi
Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Keningnya berkerut, dan kelopak
matanya agak menyipit. Rangga sendiri
agak jengah juga dipandangi begitu.
Tapi, dibiarkannya saja Pendekar Tongkat Baja ini menilai dirinya. Pendekar
Tongkat Baja mengalihkan pandangan pada burung rajawali raksasa yang mendekam di
tengah-tengah halaman luas.
"Oh! Kenapa mataku jadi buta
begini.." Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti...?" desah Pendekar Tongkat Baja.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Benar, Paman. Kakang Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti," Widura
membenarkan. "Sungguh beruntung, aku bisa
bertemu denganmu, Pendekar Rajawali
Sakti. Maaf, kalau aku tadi sempat
meremehkanmu," ucap Pendekar Tongkat Baja.
"Sudahlah, lupakan saja. Yang
penting sekarang, padepokan ini harus
segera dikosongkan. Sebentar lagi mereka datang," tegas Rangga tidak ingin
memperpanjang. "Baiklah. Akan kuturuti saranmu,
Pendekar Rajawali Sakti," sambut
Pendekar Tongkat Baja.
Bergegas laki-laki setengah baya
itu melangkah keluar dari beranda rumah yang berukuran cukup besar ini. Kemudian
dengan suara lantang, diperintahkannya
seluruh murid keluar dan berkumpul di
halaman. Dengan singkat, laki-laki
setengah baya bertubuh tegap Itu
menjelaskan keadaan yang bakal dihadapi.
Lalu, semua muridnya diminta untuk
meninggalkan padepokan ini ke tempat
perlindungan yang berada tidak jauh di
luar pagar yang mengelilingi Padepokan
Tongkat Baja. Tak ada seorang pun yang
membantah. Mereka semua bergegas keluar dari padepokan, menuju tempat
perlindungan. "Widura, ikutlah bersama mereka.
Aku akan mengawasi dari udara," kata Rangga.
"Baiklah. Tapi berhati-hatilah,
Kakang," ujar Widura.
Setelah tidak ada seorang pun yang
tinggal di sekitar padepokan ini, Rangga segera naik ke punggung Rajawali Putih.
Lalu, burung raksasa itu melesat tinggi ke angkasa, dan berputar-putar di atas
bangunan padepokan ini. Rangga terus
mengamati keadaan sekitarnya dari
angkasa. Pandangannya kemudian tertumpu pada tiga bayangan yang bergerak cepat
menembus lebatnya hutan, menuju ke
puncak bukit ini.
"Hm.... Mereka sudah datang," gumam Rangga dalam hati.
*** 7 Kekecewaan kembali dialami Iblis
Seribu Nyawa, begitu mendapati Padepokan Tongkat Baja dalam keadaan kosong. Rasa
kecewanya menimbulkan kemarahan yang
langsung dilampiaskan dengan
penghancuran seluruh bangunan di
Padepokan Tongkat Baja ini. Hingga tak
ada satu bangunan pun yang tersisa
berdiri tegak. Bahkan pagar yang
mengelilingi padepokan ini pun ikut
dihancurkan. Sementara dari angkasa, Rangga
memperhatikan semua itu dengan hati
geram. Tapi semua itu masih berusaha
ditahan agar kemarahannya tidak
terpancing. Baru kali ini Pendekar
Rajawali Sakti melihat kebrutalan
terjadi di depan matanya. Dan bukannya
hal itu tidak ingin dicegahnya. Tapi, dia menunggu saat yang tepat untuk
menghentikan semua kebrutalan ini.
Setelah melampiaskan
kekecewaannya, Iblis Seribu Nyawa dan
kedua anak buahnya meninggalkan
Padepokan Tongkat Baja yang sudah hancur tak berbentuk lagi. Sementara Rangga
masih mengawasi dari angkasa, sampai
ketiga orang edan itu tidak terlihat
lagi. Pendekar Rajawali Sakti kemudian
turun dan mendarat di luar pagar
Padepokan Tongkat Baja yang sudah hangus jadi arang.
Pada saat itu Pendekar Tongkat Baja,
Widura, dan seluruh murid padepokan itu berdatangan. Mereka seperti tidak
percaya melihat padepokannya hancur
dalam waktu singkat. Semua yang ada di
Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
situ hanya dapat memandangi dengan
berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dada. Terutama Pendekar Tongkat Baja.
Kemarahannya begitu meluap-luap di dalam dada. Tapi, memang saat ini dia tidak
bisa berbuat banyak. Terlebih lagi
setelah menyaksikan kebrutalan Iblis
Seribu Nyawa menghancurkan padepokannya yang dibangun bertahun-tahun.
"Paman Tongkat Baja! Aku harap Paman bisa selekasnya datang ke Desa Jati
Wengker bersama Paman Sabit Emas," pinta Rangga.
"Untuk apa aku datang ke sana?"
tanya Pendekar Tongkat Baja.
"Karena di sanalah awal dari semua bencana ini. Tepatnya, di Hutan Alas
Waru. Aku akan mencari kelemahan Iblis
Seribu Nyawa itu di sana, sebelum kita
semua menggempurnya," jelas Rangga mengemukakan rencananya.
"Rasanya tidak mungkin
menghadapinya, meskipun seluruh
pendekar di jagat ini bersatu," keluh Widura bergumam pelan.
"Seperti apa pun tangguhnya, pasti punya kelemahan. Dan kelemahannya itu
yang harus ditemukan. Percayalah. Dia
akan kuhadapi, meskipun kelemahannya
belum kudapatkan," tegas Rangga
meyakinkan. "Aku percaya padamu, Pendekar
Rajawali Sakti. Rasanya memang hanya
kaulah yang bisa menghadapi
kebrutalannya," ujar Pendekar Tongkat Baja, mantap. "Terus terang, dari
caranya menghancurkan padepokanku ini
saja, aku sudah bisa mengukur
kemampuanku sendiri. Jelas, aku tidak
mungkin bisa menandinginya."
"Tidak perlu merasa rendah diri
begitu, Paman. Kita semua akan bahu
membahu menghentikan segala
perbuatannya. Aku yakin, Dewata akan
selalu menyertai usaha yang mulia ini,"
hibur Rangga membesarkan hati Pendekar
Tongkat Baja. "Kau masih muda, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku selalu mengagumimu,
meskipun baru kali ini bisa berjumpa
langsung," kata Pendekar Tongkat Baja.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Aku akan pergi sekarang, Paman.
Mudah-mudahan bisa secepatnya menemukan kelemahan si Iblis Seribu Nyawa itu,"
Rangga berpamitan.
"Aku ikut, Kakang," selak Widura.
"Jangan! Kau nanti bersama-sama
pamanmu. Jemputlah Pendekar Sabit Emas, dan terus ke Desa Jati Wengker. Kita
bertemu di sana," Rangga menolak
permintaan Widura dengan halus namun
tegas. Widura sebenarnya ingin memaksa,
tapi segera mengurungkan keinginannya.
Sedangkan Rangga sudah melangkah
menghampiri Rajawali Putih. Dengan satu lompatan indah, Pendekar Rajawali Sakti
naik ke punggung burung raksasa itu.
Setelah lehemya ditepuk tiga kali,
Rajawali Putih melesat naik dan langsung membumbung tinggi ke angkasa dengan
kecepatan luar biasa.
"Khraaagkh...!"
"Hm.... Tidak percuma kau
ditempatkan pada urutan pertama dalam
dunia persilatan," gumam Pendekar
Tongkat Baja. Pendekar Tongkat Baja dan Widura
memandangi kepergian Pendekar Rajawali
Sakti sampai lenyap ditelan awan. Untuk beberapa saat, mereka masih berdiri
memandang ke awan. Lalu, Pendekar
Tongkat Baja memerintahkan
murid-muridnya membangun kembali
padepokan mereka yang hancur. Dia
sendiri, kemudian mengajak Widura pergi ke Padepokan Bulan Sabit Dari situ,
mereka terus ke Desa Jati Wengker
bersama-sama Pendekar Sabit Emas,
seperti yang diminta Pendekar Rajawali
Sakti tadi. *** Di angkasa, Rangga melihat Iblis
Seribu Nyawa dan kedua orang anak buahnya berlarian menembus lebatnya hutan.
Jelas sekali kalau tujuan mereka adalah Desa
Jati Wengker. Dan yang pasti, mereka akan melewati Hutan Alas Waru. Dari angkasa
seperti ini, terlalu sulit mengamati,
jika mereka sudah memasuki Hutan Alas
Waru. Karena hutan itu sangat lebat, dan sukar ditembus oleh penglihatan dari
ketinggian seperti ini.
"Rajawali, aku akan sedikit
menghambat mereka, turun di depan
sana...!" ujar Rangga sambil menunjuk sebuah dataran cukup luas untuk didarati
burung rajawali raksasa ini.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih menukik deras ke arah
yang ditunjuk Rangga. Sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat
turun dari punggung burung rajawali
raksasa yang kemudian kembali melambung tinggi ke angkasa bersama beberapa pesan
yang diberikan Rangga.
"Akan kutunggu dia di sini," gumam Rangga perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
atas, dan hinggap di cabang sebatang
pohon yang cukup tinggi. Pandangannya
lurus tak berkedip, menunggu munculnya
si Iblis Seribu Nyawa dan dua orang anak buahnya yang telah mengacaukan beberapa
desa di sekitar Hutan Alas Waru.
Tidak berapa lama, Rangga sudah bisa
melihat ketiga orang yang berlari cepat menuju ke arahnya. Begitu dekat, Rangga
cepat melompat turun dengan gerakan
indah dan manis sekali. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti mendarat menghadang di
depan Iblis Seribu Nyawa. Kemunculannya yang begitu tiba-tiba, membuat Iblis
Seribu Nyawa terkejut Larinya kontan
dihentikan. Begitu pula dua pemuda yang menyertainya. Mereka berhenti berlari di
belakang laki-laki tua berambut merah
ini. "Kau...," desis Iblis Seribu Nyawa.
Laki-laki tua itu mengenali Rangga yang pernah dilihatnya di Padepokan Bulan
Sabit Dia adalah pemuda berbaju rompi
putih yang berdiri bersama Pendekar
Sabit Emas di atas atap. Ditatapnya
tajam-tajam pemuda yang berdiri
menghadang di depannya.
"Mau apa kau menghadang jalanku,
Bocah"!" bentak Iblis Seribu Nyawa kasar.
"Menghentikan kebrutalanmu!" sahut Rangga, dingin dan datar.
"Menghentikanku..." Ha ha ha...!"
Iblis Seribu Nyawa tertawa
terbahak-bahak.
Karmapati dan Legawa yang berada di
belakang laki-laki tua berambut merah
itu juga tertawa sinis. Sedangkan Rangga hanya diam saja. Tatapannya tetap tajam
menusuk langsung ke bola mata Iblis
Seribu Nyawa ini
"Aku melihatmu di Padepokan Bulan
Sabit. Apakah kau murid si Pendekar Sabit Emas?" tanya Iblis Seribu Nyawa ingin
tahu. "Kalau kau memang muridnya, lebih baik angkat kaki dari sini, sebelum
kuhancurkan batok kepalamu!"
"Aku bukan muridnya, tapi
sahabatnya. Dan aku tidak akan tinggal
diam melihat padepokan sahabatku kau
hancurkan!" tetap dingin nada suara Rangga.
"Ha ha ha.... Bagus! Makin banyak
pendekar yang berdatangan, makin banyak pula darah yang menggenang. Aku senang
bertarung dengan seorang pendekar muda
sepertimu, Bocah. Darahmu pasti harum."
Rangga hanya tersenyum tipis
mendengar kata-kata yang dapat memancing kemarahan itu. Tapi dia tetap tidak
ingin terpancing. Meskipun kata-kata Iblis
Seribu Nyawa barusan begitu menyakitkan dan meremehkan sekali.
"Kau ingin menghentikanku, Bocah.
Sekarang kenapa tidak menyerang?"
lagi-lagi Iblis Seribu Nyawa memancing.
"Aku tidak akan menyerang sebelum didahului,", sahut Rangga dingin.
"Phuah...! Kau meremehkan aku,
Bocah!" geram Iblis Seribu Nyawa.
"Sama seperti yang kau lakukan pada Padepokan
Awan Perak, Padepokan
Selendang Maut dan padepokan-padepokan
lain. Kau juga meremehkan, dan
menghancurkan mereka tanpa sisa. Aku
ingin tahu, sampai di mana kemampuanmu, sehingga bisa menghancurkan dua
padepokan dalam waktu singkat," kejar Rangga lagi.
"Beludak...!" bentak Iblis Seribu Nyawa geram.
Semula Iblis Seribu Nyawa yang
memancing kemarahan Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi sekarang, malah dirinya
sendiri yang terpancing oleh kata-kata
Rangga yang begitu halus, tapi sangat
menusuk hati Sambil mendengus dan
menyemburkan ludahnya beberapa kali,
Iblis Seribu Nyawa cepat menggeser
kakinya ke depan beberapa langkah.
Lalu.... "Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Iblis Seribu Nyawa
melompat memberi serangan cepat kepada
pemuda berbaju rompi putih itu. Sedikit saja Rangga mengegoskan tubuhnya, maka
pukulan yang dilepaskan laki-laki tua
berambut merah itu lewat di samping
tubuhnya. Namun Rangga cepat
melentingkan tubuh ke belakang, saat
merasakan angin pukulan itu mengandung
hawa yang panas menyengat
"Phuih! Dahsyat sekali
serangannya...!" desah Rangga dalam hati.
Belum juga Rangga sempat melakukan
serangan balasan, Iblis Seribu Nyawa
sudah kembali cepat menyerang. Beberapa kali pukulan yang keras dan cepat
dilepaskan, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Namuh semua serangan itu
berhasil dielakkan Pendekar Rajawali
Sakti, dengan mempergunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'.
*** Pertarungan antara Iblis Seribu
Nyawa dengan Pendekar Rajawali Sakti
terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi. jurus berlalu cepat Tak terasa,
mereka sama-sama menghabiskan sepuluh
jurus. Tapi sampai saat ini, belum satu jurus andalan pun yang dikeluarkan
Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu,
kelihatannya tidak mudah bagi Iblis
Seribu Nyawa mendesaknya.
"Akan kucoba dengan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'," desis Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti cepat
merubah jurusnya.
Kali ini kedua tangannya merentang
lebar, seakan-akan membiarkan dadanya
terbuka. Gerakan-gerakan kedua
tangannya begitu cepat, membuat Iblis
Seribu Nyawa tampak agak kewalahan
menghadapi serangan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Beberapa kali
tebasan tangan Pendekar Rajawali Sakti
hampir mengenai sasaran, tapi Iblis
Seribu Nyawa masih mampu menghindar.
Bahkan setelah beberapa gebrakan
berlangsung, laki-laki berambut merah
itu berhasil melancarkan serangan
balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Pendekar Rajawali Sakti cepat cepat
merubah kembali jurusnya, menjadi jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', untuk
mengimbangi serangan-serangan si Iblis
Seribu Nyawa. "Setan keparat...! Bocah ini
mempermainkanku!" dengus Iblis Seribu Nyawa geram.
Laki-laki tua berambut merah itu
memang merasa sedang dipermainkan pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Karena
setiap kali menyerang, Rangga cepat
merubah jurusnya menjadi jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tapi Pendekar Rajawali
Sakti cepat merubah jurusnya kembali
begitu melakukan serangan balasan. Hal
ini tentu saja membuat si Iblis Seribu
Nyawa jadi kelabakan menghadapinya.
Jurus-jurus yang dikeluarkannya terasa
jadi mentah, dan tidak berguna sama
sekali. "Hup...!"
Tiba-tiba saja Iblis Seribu Nyawa
melesat kebelakang, melakukan putaran di udara beberapa kali. Dengan manis
sekali kakinya mendarat di tanah, sejauh dua
batang tombak dari Rangga. Namun
Pendekar Rajawali Sakti membiarkan saja, tidak bermaksud mengejar. Bahkan malah
berdiri tegak dengan tenang. Bibirnya
yang tipis dan agak kemerahan,
menyunggingkan senyuman tipis yang
hampir tidak terlihat
"Kenapa berhenti, Iblis Seribu
Nyawa?" tanya Rangga, agak sinis.
"Siapa kau sebenarnya"! Belum
pernah aku berhadapan dengan anak muda
sampai lebih dari sepuluh jurus!" agak keras suara Iblis Seribu Nyawa.
Rangga tidak segera menjawab, tapi
Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malah memberi senyuman yang cukup lebar dan manis. Dia tahu, kalau laki-laki tua
berambut merah ini sudah mengakui
ketangguhannya, meskipun tidak
diucapkan secara langsung. Tapi dari
kata-katanya tadi, sudah bisa dirasakan adanya nada pujian.
"Aku Rangga, orang-orang biasanya
memanggilku Pendekar Rajawali Sakti,"
Rangga memperkenalkan diri tanpa ada
nada kesombongan dalam suaranya.
"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Iblis Seribu Nyawa.
Laki-laki tua berambut merah itu
memandangi Rangga dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki Ke-ningnya terlihat sedikit berkerut, dan matanya agak
menyipit. Seakan-akan dia tengah
teringat sesuatu, atau bahkan mungkin
juga tengah menilai tingkat kepandaian
yang dimiliki lawannya.
"Namamu pernah kudengar, Bocah.
Hm.... Hampir semua orang di kalangan
rimba persilatan selalu membicarakanmu.
Tapi sayang sekali, jalan antara kita
berdua saling berlawanan. Dan terpaksa
kita berhadapan sebagai musuh," dingin sekali suara Iblis Seribu Nyawa.
"Mungkin saja tidak, jika kau rela kembali ke alammu," balas Rangga.
"Bocah setan...! Apa yang kau
bicarakan, heh"!" bentak Iblis Seribu Nyawa langsung memerah wajahnya.
"Aku bicara yang sebenarnya. Kau
sudah tidak patut lagi berada di dunia
nyata ini, Iblis Seribu Nyawa. Sudah
selayaknya kau tinggalkan dunia ini, dan hidup damai di alam akhirat" tenang
sekali suara Rangga.
"Keparat..! Kau telah menghinaku,
Bocah!" geram Iblis Seribu Nyawa.
"Aku tidak pernah menghina siapa pun juga. Aku tadi hanya mengingatkanmu. Kau
sebenarnya sudah mati, dan tidak ada hak lagi hidup di dunia ini. Tapi, bisa
juga jika perkataanku kau anggap suatu
peringatan," ujar Rangga tetap tenang.
"Kau sudah membuka tantangan,
Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorang pun yang bisa menantangku. Mereka yang
berani coba-coba menantang, harus mati
di tanganku. Tidak peduli kau...!"
Setelah berkata demikian, Iblis
Seribu Nyawa langsung melompat melakukan serangan kembali.
Hatinya benar-benar panas menerima
kata-kata yang diucapkan Rangga barusan.
Begitu cepatnya serangan yang
dilakukannya, sehingga membuat Rangga
terpaksa harus berjumpalitan
menghindari. Beberapa kali dia harus
menjatuhkan diri di tanah, bergulingan
dan cepat bangkit berdiri. Tapi Iblis
Seribu Nyawa rupanya kali ini tidak ingin memberi kesempatan pada lawannya untuk
melakukan serangan balasan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
*** 8 Rangga yang semula berniat hanya
menghambat perjalanan si Iblis Seribu
Nyawa ke Desa Jati Wengker, jadi merasa tidak punya kesempatan lagi untuk
melepaskan diri dari pertarungan.
Terlebih lagi, si Iblis Seribu Nyawa
sudah memerintahkan kedua anak buahnya
untuk ikut menyerang. Akibatnya pemuda
berbaju rompi putih itu benar-benar
tidak bisa keluar dari pertarungan yang dahsyat ini.
Menghadapi IbBs Seribu Nyawa
sendiri saja, sudah cukup sulit Apalagi ditambah dua orang yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi. Akibatnya
Rangga semakin kewalahan dan terus
terdesak. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
beberapa kali masih sempat memberi
serangan balasan yang cukup membuat
mereka sedikit kerepotan, meskipun tidak sampai membuat serangan dan pertahanan
berantakan. Dan itu juga hanya sebentar saja. Selebihnya, Rangga sudah harus
berjumpalitan menghindari
serangan-serangan gencar dan dahsyat
"Huh! Bisa habis tenagaku kalau
begins terus!" dengus Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti menyadari
kalau keadaan yang dialaminya tidak
menguntungkan sama sekali Dan juga
disadari kalau tidak mudah keluar dari
kancah pertempuran ini begitu saja.
Mereka benar-benar ingin membunuhnya,
dan tidak memberi kesempatan menarik
napas sedikit pun.
"Aku harus meminta bantuan Rajawali Putih," desis Rangga bergumam dalam hati.
Tapi tidak mudah bagi Rangga untuk
memanggil Rajawali Putih. Apalagi
serangan-serangan yang datang begitu
beruntun, dan tidak ada kesempatan
baginya untuk mengeluarkan siulan
ajaibnya. Namun begitu memiliki
kesempatan yang sedikit, langsung tidak disia-siakannya.
"Suiiit..!"
"Khraaagkh...!"
Begitu mendengar siulan, saat itu
juga terdengar suara serak yang begitu
menggelegar dari angkasa. Sebelum ada
yang menyadari, tampak dari angkasa
meluruk turun seekor burung rajawali
raksasa berbulu putih keperakan. Kibasan kedua sayapnya begitu keras, membuat
tiga orang yang mengeroyok Rangga jadi
berpelantingan.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Rangga melentingkan
tubuhnya, dan cepat naik ke punggung
Rajawali Putih. Secepat kilat pula,
Rajawali Putih melesat ke angkasa.
Sedangkan Iblis Seribu Nyawa dan dua
orang anak muda pengawalnya, jadi
terbengong-bengong. Mereka seperti
tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikan.
Sedangkan di angkasa, Rangga
meminta agar Rajawali Putih tidak
terbang terlalu tinggi. Bahkan burung
rajawali raksasa itu berputar-putar
saja. Rangga memperhatikan Iblis Seribu Nyawa dan dua orang anak buahnya yang
tengah mendongak ke atas.
"Heh...! Bukankah itu..."
Pendekar Rajawali Sakti tersentak
ketika melihat sekitar tiga puluhan
orang bergerak cepat menuju padang
rumput itu. Tampak jelas kalau yang
berada paling depan adalah Pendekar
Tongkat Baja, Pendekar Sabit Emas, dan
Widura. Sedangkan yang mengekor di
belakang mereka adalah puluhan murid
pilihan dari kedua pendekar itu.
"Mereka tidak akan sanggup
menandingi si Iblis Seribu Nyawa, dan
tidak boleh mati sia-sia. Aku harus cepat bertindak sebelum korban berjatuhan,"
gumam Rangga langsung mengambil
keputusan. "Turunkan aku di depan mereka,
Rajawali...!"
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung meluruk
deras secepat kilat, dan sebentar saja
sudah dekat ke tanah yang berumput tebal bagai permadani terhampar. Rangga cepat
melesat turun dengan gerakan indah dan
ringan sekali. Manis sekali Pendekar
Rajawali Sakti menjejak-kan kakinya,
tepat sekitar dua batang tombak di depan Iblis Seribu Nyawa.
"Phuih! Rupanya kau masih punya
nyali bertemu dengan denganku, Pendekar Rajawali Sakti," dengus Iblis Seribu
Nyawa sengit "Majulah. Kita selesaikan semuanya hari ini," tantang Rangga.
"He he he.... Bagus! Bersiaplah,
Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaa...!"
Iblis Seribu Nyawa langsung saja
melompat menyerang Pendekar Rajawali
Sakti. Menyadari akan ketangguhan
pendekar muda itu, jurus-jurus yang
dahsyat dan berbahaya langsung
dikeluarkan. Sedangkan Rangga sengaja
mengulur-ulur waktu dengan berlompatan
dan meliukkan tubuhnya, mempergunakan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Sementara Karmapati dan Legawa
saling berpandangan. Dan sebelum mereka ikut menyerang Pendekar Rajawali Sakti,
tiba-tiba saja muncul Pendekar Tongkat
Baja, Pendekar Sabit Emas, Widura, serta murid-murid pilihan Padepokan Tongkat
Baja dan Padepokan Bulan Sabit. Mereka
berlari cepat ke arah dua orang anak buah si Iblis Seribu Nyawa itu.
Kemunculan mereka membuat Karmapati
dan Legawa jadi kelabakan. Terlebih
lagi, kedua pendekar kosen itu bersama
Widura dan murid-murid dari dua
padepokan, langsung menyerang.
Karmapati dan Legawa adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi
menghadapi dua orang pendekar dan
keroyokan murid-murid dari Padepokan
Tongkat Baja dan Padepokan Bulan Sabit, mereka jadi kewalahan.
*** "Kakang Tongkat Baja, pisahkan
mereka...!" seru Pendekar Sabit Emas.
"Baik! Hiyaaat...!"
Pendekar Tongkat Baja langsung
merangsek Karmapati, dan memaksa agar
terpisah dari Legawa. Sedangkan Pendekar Sabit Emas terus mendesak Legawa. Kedua
pendekar itu memerintahkan murid-murid
mereka untuk menyingkir. Bahkan Widura
sendiri jadi tidak kebagian lawan. Maka terpaksa dia hanya menjadi penonton saja
bersama yang lain.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Pendekar Tongkat baja.
Bagaikan kilat, laki-laki setengah
baya bertubuh tegap itu melentingkan
tubuh ke udara. Lalu cepat sekali tongkat baja hitamnya dikebutkan ke arah
kepala Karmapati. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Tongkat Baja,
sehingga membuat Karmapati jadi
terperangah. "Hait...!"
Cepat-cepat Karmapati mengegoskan
kepalanya, menghindari sabetan tongkat
baja hitam. Namun sebelum dia sempat
melakukan sesuatu, mendadak saja
Pendekar Tongkat Baja melakukan putaran cepat ke belakang. Bagaikan kilat,
langsung dilepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Yeaaah...!"
Des! "Akh...!"
Karmapati terjungkal begitu
punggungnya terhantam tendangan
menggeledek yang dilepaskan Pendekar
Tongkat Baja. Selagi pemuda itu terkapar di tanah, Widura cepat melompat
Langsung pedangnya dibabatkan ke arah dada
Karmapati. "Hiyaaat..!"
Bet! Karmapati hanya dapat terbeliak.
Dan.... Cras! "Aaakh...!" untuk kedua kalinya Karmapati menjerit keras melengking
tinggi. Widura yang sudah teramat benci pada
pemuda itu, apalagi hatinya juga
terselimut dendam, tak dapat lagi
mengendalikan diri. Cepat sekali
pedangnya diangkat dan ditusukkan ke
dada Karmapati. Sekali lagi anak buah
Iblis Seribu Nyawa itu menjerit keras
melengking tinggi. Sebentar dia masih
mampu menggeliat, kemudian diam tak
bemyawa lagi. "Phuih!" Widura menyemburkan ludah sambil menarik keluar pedangnya dari
dada Karmapati.
Sementara itu di lain tempat, Legawa
jadi kehilangan kendali begitu melihat
Karmapati tewas. Dan ini dimanfaatkan
Pendekar Sabit Emas. Sehingga ketika
pendekar berkepala gundul itu melepaskan satu pukulan keras ke arah dada, Legawa
tidak dapat lagi menghindar. Pukulan itu cepat dan telak menghantam dadanya.
Des! "Akh...!" Legawa memekik agak tertahan. Pemuda berbaju merah itu
terpental sejauh satu batang tombak ke
belakang. Tubuhnya terhuyung-huyung,
mencoba menguasai keseimbangan. Tapi
sebelum bisa dikuasai secara sempurna,
Pendekar Sabit Emas sudah melancarkan
satu serangan kilat.
"Hiyaaat..!"
Wuk! Cepat sekali pendekar gendut itu
mengebutkan senjata tongkat yang
ujungnya berbentuk bulan sabit ke arah
dada Legawa. Begitu cepatnya serangan
Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, sehingga Legawa tak sempat lagi
menghindar. Cras! "Akh...!" lagi-lagi Legawa memekik keras.
Darah langsung menyembur keluar
dari dadanya yang sobek tersabet ujung
tongkat Pendekar Sabit Emas. Kembali
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang
sambil mendekap dadanya yang mengucurkan darah segar.
"Kau tidak pantas hidup, Iblis
Busuk! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Pendekar Sabit Emas
melompat menerjang Legawa. Ujung
tongkatnya yang berbentuk bulan sabit
berwarna keemasan, mengancam lurus ke
dada pemuda berbaju merah itu.
Bres! "Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking
tinggi terdengar membelah angkasa!
Legawa langsung jatuh terguling begitu
Pendekar Sabit Emas mencabut senjatanya.
Seketika darah muncrat membasahi bumi.
Pendekar Sabit Emas melompat mundur
sejauh beberapa tindak Sebentar Legawa
masih bisa menggelepar, kemudian diam
tak bergerak-gerak lagi.
Pendekar Tongkat Baja dan Widura
bergegas menghampiri Pendekar Sabit
Emas. Mereka berdiri berjajar, dan
langsung mengarahkan pandangan pada
pertarungan antara Rangga melawan Iblis Seribu Nyawa.
"Bagaimana...?" tanya Pendekar Sabit Emas.
"Sebaiknya kita tidak perlu turun
tangan. Tunggu saja perkembangannya,"
ujar Pendekar Tongkat Baja.
"Aku yakin, Kakang Rangga bisa
mengalahkan Iblis Seribu Nyawa," desis Widura.
"Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti
memang sudah bisa menguasai
pertarungan," sambung Pendekar Tongkat baja.
"Tap tubuh si Iblis Seribu Nyawa
sangat kebal. Dia tidak mempan senjata,"
sergah Pendekar Sabit Emas.
Laki-laki setengah baya itu
teringat dengan penga-lamannya sendiri.
Meskipun senjatanya sudah menembus dada laki-laki tua berambut merah itu, namun
tidak mengakibatkan kematian. Bahkan
hampir saja dia yang tewas. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat bertindak
menyelamatkannya.
"Kita lihat saja, Pendekar Rajawali Sakti memiliki senjata dahsyat yang
tidak ada tandingannya di dunia ini,"
jelas Pendekar Tongkat Baja lagi.
Memang pada saat itu, Rangga sudah
mencabut pedang pusakanya yang
memancarkan cahaya biru berkilauan
menyilaukan mata. Dengan pedang pusaka
berada di tangan, serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti
semakin dahsyat dan berbahaya. Akibatnya Iblis Seribu Nyawa terus terdesak dan
kewalahan. "Hup!"
Tiba-tiba saja Rangga melompat
mundur sejauh lima langkah. Pedangnya
cepat disilangkan di depan dada. Lalu
dengan tangan kiri, mata pedang itu
digosok-gosok. Cahaya biru langsung
menggumpal membentuk bulatan sebesar
kepala di ujung pedang. Dan mendadak....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!
Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga mengebutkan
pedangnya ke depan. Seketika cahaya biru yang menggumpal di ujung pedangnya
melesat ke arah Iblis Seribu Nyawa.
Begitu cepatnya melesat, sehingga Iblis Seribu Nyawa tak sempat lagi menghindar.
"Ikh...!"
Iblis Seribu Nyawa
bergetar tubuhnya terselimut sinar biru yang
memancar dari ujung pedang Pendekar
Rajawali Sakti. Dia menggeliat-geliat,
mencoba melepaskan diri dari lingkaran
sinar biru itu. Saat itu juga, Iblis
Seribu Nyawa merasakan
kekuatannya mengalir keluar deras sekali. Semakin
mencoba bertahan, kekuatannya semakin
mengalir ke luar. Bahkan tak terkendali lagi.
"Ufs...!"
Sedikit demi sedikit, Iblis Seribu
Nyawa tersedot mendekati Rangga.
Tubuhnya terus menggeliat-geliat,
mencoba melepaskan diri. Tapi tenaganya semakin tersedot keluar. Dan begitu
dekat, Pendekar Rajawali Sakti segera
menghentakkan tangan kirinya, dan
langsung menempal di dada laki-laki tua berambut merah itu.
Trek! Cring! Rangga memasukkan kembali pedangnya
ke dalam warangka di punggung, lalu cepat menghentakkan tangan kanannya. Maka
tangan kanannya kini menempel di dada si Iblis Seribu Nyawa. Seluruh tubuh
Pendekar Rajawali Sakti itu menggeletar, pertanda seluruh kemampuannya
dikerahkan, dalam pengerahan aji 'Cakra Buana Sukma'. Sementara Iblis Seribu
Nyawa semakin mengendor perlawanannya.
Darah sudah mengucur dari lubang
hidung, mata, telinga, dan mulutnya.
Hingga akhirnya tubuh laki-laki berambut merah itu hanya bisa mengelepar, dengan
tubuh terbungkus sinar biru yang terus
memancar dari kedua telapak tangan
Rangga. "Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak
keras menggelegar. Lalu, kedua tangannya dihentakkan kuat-kuat Seketika itu juga
tubuh Iblis Seribu Nyawa terpental ke
belakang, lalu meledak. Dan kini tubuh
laki-laki tua berambut merah itu hancur berkeping-keping. Memang sungguh
dahsyat aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir.
"Ufh...!"
Rangga langsung jatuh terduduk
lemas. Seluruh tubuhnya bersimbah
keringat. Pandangannya begitu nanar
menatap serpihan tubuh Iblis Seribu
Nyawa. Sinar biru sudah lenyap dari
pandangan mata. Saat itu, Widura,
Pendekar Tongkat Baja, dan Pendekar i
Sabit Emas berlari-lari menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga...," panggil Widura perlahan.
Rangga mengangkat kepalanya
perlahan-lahan. Ditatapnya Widura, lalu bergantian menatap Pendekar Tongkat Baja
dan Pendekar Sabit Emas. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri.
Widura hendak membantu, tapi Rangga
mencegahnya lebih dahulu.
"Aku tidak apa-apa," elak Rangga perlahan.
"Kau terluka, Pendekar Rajawali
Sakti?" tanya Pendekar Tongkat baja.
"Tidak. Hanya perlu waktu sedikit
untuk memulihkan tenaga," sahut Rangga.
Saat itu, dari arah Hutan Alas Waru
berdatangan penduduk Desa Jati Wengker.
Di antara mereka terlihat Ki Jumpana dan putrinya serta Ki Ampal. Mereka
langsung mengerumuni para pendekar itu.
"Maaf, kami datang terlambat," ucap Ki Jumpana tergesa-gesa begitu berada di
depan para pendekar itu.
"Semua sudah berakhir, Ki," jelas Pendekar Tongkat baja.
"Kakang Rangga yang menewaskan si
Iblis Seribu Nyawa," sambung Widura memberi tahu.
"Oh, syukurlah kalau begitu," desah Ki Jumpana lega.
"Rasanya, tidak ada lagi yang harus kulakukan. Maka, sekarang aku mohon diri
dulu," ujar Pendekar Tongkat baja.
"Kenapa tidak singgah dulu di desa kami...?" Ki Jumpana menawarkan.
"Masih banyak yang harus
kukerjakan, Ki. Maaf, aku tidak bisa
meninggalkan murid-muridku yang sedang
membangun padepokan kembali," dengan halus Pendekar Tongkat Baja menolak
permintaan Kepala Desa Jati Wengker itu.
Ki Jumpana tidak bisa memaksa.
Pendekar Tongkat Baja bergegas
meninggalkan tempat itu diikuti
murid-muridnya. Tak berapa lama
kemudian, Pendekar Sabit Emas juga
meninggalkan tempat itu bersama
murid-murid pilihannya.
"Kenapa mereka begitu
tergesa-gesa...?" Ki Jumpana seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mereka harus membangun kembali
padepokannya yang hancur, Ki," jelas Rangga.
"Heh..."! Memangnya kenapa?" tanya Ki Jumpana terkejut.
"Sukar dijelaskan, Ki," sahut Rangga.
"Nanti aku yang akan
menjelaskannya, Ki," selak Widura.
"Terima kasih jika kau sudi
menjelaskan semuanya padaku, Widura,"
ucap Ki Jumpana.
"Nanti akan kujelaskan di desa,
karena aku sekarang butuh tempat
tinggal," kata Widura agak sendu.
"Kenapa kau bicara begitu, Widura?"
Ki Jumpana jadi bertambah kebingungan,
"Sebaiknya aku mohon diri," selak Rangga berpamitan.
Dan sebelum Ki Jumpana membuka
mulutnya untuk mencegah, Rangga sudah
cepat melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga
dalam waktu singkat sudah tidak terBhat lagi bayangan tubuhnya.
"Ceritakan seluruhnya, apa yang
terjadi sebenarnya, Widura," pinta Ki Jumpana.
Widura hanya menarik napas saja,
kemudian mengayunkan langkahnya
perlahan-lahan. Kinanti mensejajarkan
langkahnya di samping pemuda itu.
Sedangkan Ki Jumpana hanya memandangi
saja. Sudah bisa ditebak kalau telah
terjadi sesuatu di Padepokan Awan Perak.
Kepala desa itu kemudian memerintahkan
warga desanya untuk kembali.
Sedangkan secara perlahan-lahan.
Widura menceritakan keadaan dirinya
sekarang. Terutama setelah padepokannya hancur, dan gurunya tewas di tangan anak
buah Iblis Seribu Nyawa. Semua itu
diceritakan pada Kinanti yang setia
mendengarkan. Gadis itu ikut merasakan
penderitaan pemuda ini. Dia tahu kalau
Eyang Wasista, bagi Widura bukan hanya
sekadar guru. Tapi juga sebagai
pengganti orang tuanya.
"Kau tidak perlu memikirkan tempat tinggal, Kakang. Aku yakin, Ayah pasti
akan memberimu tempat tinggal. Tetaplah kau di Desa Jati Wengker. Seluruh warga
desa pasti akan menerimamu sebagai
pahlawan," ajak Kinanti lembut.
Widura hanya tersenyum tipis saja.
Dipandanginya wajah gadis itu
lamat-lamat. Dan tentu saja hal ini
membuat Kinanti tertunduk degan wajah
bersemu merah dadu. Widura menggamit
lengan gadis itu dan digenggamnya
erat-erat "Kau bersedia mendampingiku,
Kinanti?" "Sebaiknya bicarakan saja dengan
ayah," sahut Kinanti tanpa sanggup menatap mata pemuda itu. Suaranya juga
terdengar pelan sekali.
"Tentu, setelah semuanya kembali
tenang," janji Widura.
Mereka terus berjalan Dan tanpa
disadari, mereka kini berjalan paling
belakang. Sedangkan Ki Jumpana tampaknya memang memberi kesempatan pada mereka
berdua untuk bisa berbicara lebih banyak lagi. Dan kesempatan ini memang
dimanfaatkan Widura untuk mengikat janji bersama gadis ini. Terjyata dari
peristiwa berdarah, juga melahirkan
benih-benih cinta di antara dua hati anak muda ini.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Disponsori oleh
WARUNG MBOK TUKIJEM
Pendekar Bayangan Malaikat 8 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Anak Pendekar 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama