Ceritasilat Novel Online

Dewi Goa Ular 3

Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular Bagian 3


meninggalkan Swani.
dalam keadaan tanggung seperti itu," timpal Pandan Wangi, tidak ingin Rangga
menyesali diri "Kau benar, Pandan. Setelah urusan ini selesai, aku akan mengantarkan Swani
mencari Pertapa Goa Ular. Jurus itu harus bisa disempurnakannya, atau
ditinggalkan sama sekali," tegas Rangga.
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Pandan Wangi menundukkan kepala, sebentar
kemudian mengangkat lagi kepalanya. Langsung ditatapnya bola mata Pendekar
Rajawali Sakti.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Pandan Wangi pelan. Begitu pelannya sehingga hampir
tidak terdengar.
"Kenapa kau minta maaf padaku. Pandan?" tanya Rangga tidak mengerti
"Aku tadi sudah berpikir yang bukan-bukan tentang..."
"Ah, sudahlah...," potong Rangga cepat. "Yang penting sekarang, kau bisa
mengerti arti dari persaudaraan."
"Aku paham, Kakang."
"Aku sudah berjanji pada ayah Swani untuk melindunginya jika terjadi sesuatu
padanya. Dan janji itu harus kulaksanakan sekarang, Pandan. Terlebih lagi,
sekarang ini Swani berada dalam kesulitan.
Maka aku tidak bisa berpangku tangan saja menyaksikan semua ini," kata Rangga
lagi meminta pengertian Pandan Wangi.
"Aku mengerti, Kakang. Maafkan...." ucap Pandan Wangi lagi.
Rangga tersenyum dan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Beberapa saat
mereka ber-pelukan, kemudian kembali melanjutkan perjalanan mencari Swani yang
kini entah berada di mana. Tapi,
arah yang mereka tuju jelas ke Hutan Goa Ular yang tidak seberapa jauh lagi dari
tempat ini. *** Matahari sudah berada di atas kepala ketika Rangga dan Pandan Wangi sampai di
Goa Ular yang sudah hancur berantakan. Setiap jengkal daerah itu dijelajahi.
Tapi, tetap saja tidak menemukan seorang pun di sana. Apalagi untuk menemukan
Swani. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda dia berada di sekitar Goa Ular
ini. Setelah yakin kalau Swani tidak berada di tempat ini, Rangga mengajak Pandan
Wangi ke Desa Menjangan. Untuk ke sana, perlu setengah hari perjalanan kalau
tidak menunggang kuda. Tapi dengan ilmu lari cepat yang dipadu ilmu meringankan
tubuh, mereka bisa lebih cepat sampai di Desa Menjangan. Dan sebelum matahari
terbenam, kedua pendekar muda Ku sudah sampai di desa yang selalu ramai seperti
tak ada waktu beristirahat.
"Desa ini terlalu luas dan ramai, Kakang. Rasanya seperti mencari jarum di dalam
tumpukan Jerami,"
desis Pandan Wangi, agak berbisik suaranya.
"Apa pun rintangannya, Swani harus ditemukan lebih dahulu, Pandan," kata Rangga
mantap. "Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Swani meninggalkan kita, Kakang...?"
tanya Pandan Wangi seperti untuk diri sendiri.
"Aku rasa, dia tidak suka bila ada orang yang menghalangi keinginannya dalam
membalas dendam," sahut Rangga.
"Jadi, dia menganggap kita penghalang...?"
"Mungkin," sahut Rangga agak mendesah. "Cukup
lama aku mengenalnya. Dan Swani juga sudah tahu watak-watakku."
"Seharusnya, dia tidak perlu bersikap seperti itu.
Toh, kita bukannya ingin menghalangi, tapi malah ingin membantu menyelesaikan
persoalannya."
"Wataknya sangat keras. Tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Apa yang sudah
menjadi tekadnya, harus dilaksanakan. Tidak dipedulikan lagi rintangan yang akan
dihadapi, walaupun harus nyawa yang jadi taruhannya."
Mereka terus melangkah menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa
Menjangan seperti menjadi dua bagian. Apa yang dikatakan Pandan Wangi memang
benar. Tidak mudah menemukan Swani di desa yang selalu ramai seperti ini. Bahkan
sampai matahari tenggelam, Swani belum juga bisa ditemukan. Sementara keramaian
di Desa Menjangan terus saja berlangsung. Bahkan terlihat semakin semarak saat
matahari tenggelam di belahan bumi bagian Barat.
Sampai lelah mereka berjalan, tapi tidak juga bertemu Swani. Kedua pendekar muda
itu kembali tiba di tepi desa yang dekat dengan kaki Gunung Menjangan. Sambil
menghembuskan napas panjang.
Pandan Wangi menghempaskan tubuhnya di atas rerumputan yang mulai dibasahi
embun. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri memandang ke arah Desa Menjangan
yang terang benderang tersiram cahaya pelita dan obor.
"Ke mana lagi kita harus mencari, Kakang?" tanya Pandan Wangi lesu.
Rangga hanya diam saja, seperti tidak mendengar pertanyaan gadis itu.
Pandangannya tertuju lurus ke arah Desa Menjangan. Dari tempat yang cukup tinggi
ini, dapat terlihat jelas setiap sudut desa itu.
"Pandan.... Kau dengar suara itu...?" agak berbisik suara Rangga.
"Suara apa...?" pertanyaan Pandan Wangi terputus.
Gadis itu bergegas bangkit berdiri begitu mendengar suara yang dimaksudkan
Rangga. Sejenak mereka menajamkan telinga, mencoba mendengarkan suara yang
hampir tidak terdengar itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka cepat melesat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga sebentar saja sudah sampai di tempat
asal suara yang didengar. Kedua pendekar muda itu berhenti berlari ketika
melihat seorang laki-laki tua tengah bertarung, dikeroyok sekitar tiga puluh
orang yang semuanya bersenjatakan golok. Tampak jelas sekali kalau orang tua itu
terdesak hebat.
"Pertapa Goa Ular...," desis Rangga mengenali orang tua itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat terjun ke dalam
pertempuran. Pukulannya langsung melayang beruntun, menghajar pengeroyok lakilaki tua itu. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar,
disusul bertumbangannya tubuh-tubuh yang mengeroyok Pertapa Goa Ular.
"Hiyaaat..!"
Pandan Wangi juga tidak mau ketinggalan. Gadis itu ikut terjun ke dalam
pertempuran ini. Kipas Maut andalannya berkelebat cepat menghajar orang-orang
bersenjata golok itu. Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi, tentu saja membuat
mereka jadi kalang kabut.
Terlebih lagi dalam waktu sebentar saja, sudah hampir sebagian dari mereka
bergelimpangan tak bernyawa. Melihat banyak teman yang tewas, para
pengeroyok segera berlarian kabur meninggalkan pertarungan.
Rangga bergegas menghampiri Pertapa Goa Ular yang tampak kepayahan, berdiri
bertopang pada sebatang pohon. Sinar matanya begitu redup saat menatap Pendekar
Rajawali Sakti. Sementara Pandan Wangi baru menghampiri setelah menyelesaikan
pertarungannya.
"Eyang...," ucap Rangga, terputus suaranya.
"Biarkan aku, Rangga." sergah Pertapa Goa Ular.
Laki-laki tua itu duduk di bawah pohon. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti ikut
duduk di depannya.
Pandan Wangi juga duduk di samping kekasihnya.
Beberapa saat mereka terdiam. Tampak jelas sekali kalau sorot mata Rangga
seperti tidak percaya melihat Pertapa Goa Ular begitu kepayahan menghadapi
begundal-begundalnya Iblis Tombak Baja, yang rata-rata hanya berkepandaian
rendah. Seharusnya, tiga puluh orang pengeroyok tidak ada artinya bagi seorang
tokoh tua seperti Pertapa Goa Ular ini.
Tapi apa yang disaksikan Rangga, membuatnya tidak percaya.
"Eyang terluka...?" tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pertapa Goa Ular. "Terima kasih atas bantuan kalian "
"Tapi..."
"Kau anak angkat Satria Naga Emas. Pasti tahu, kenapa aku bisa sampai begini.
Bahkan hampir mati oleh para begundal itu," potong Pertapa Goa Ular cepat
"Aku mengerti, Eyang. Tapi kenapa kau tetap melakukannya...?" Rangga masih
meminta penjelasan keadaan Pertapa Goa Ular itu.
"Rangga. Kau tentu tahu keburukan-keburukan
jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'...." kata Pertapa Goa Ular.
"Ya, aku tahu," sahut Rangga seraya mengangguk.
"Aku sudah terlalu tua untuk bisa menyempurnakannya dengan baik. Jurus itu
memang sangat dahsyat, dan sulit dicari tandingannya. Kau ingat ketika kita
bertarung, Rangga?"
Rangga hanya mengangguk saja.
"Aku ingin mengangkatmu menjadi murid, karena kau punya harapan besar bisa
menyempurnakan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Terlebih lagi, kau adalah anak
angkat Satria Naga Emas. Jadi pasti kau sudah mengenal betul akan setiap watak
jurus-jurus dan ilmu kesaktiannya. Tapi, rupanya kita memang tidak berjodoh. Dan
aku terpaksa...," Pertapa Goa Ular memutuskan pembicaraannya.
"Maafkan aku, Eyang. Bukannya aku tidak ingin diangkat menjadi muridmu. Tapi,
aku tidak ingin mencelakakanmu. Aku sendiri, sebenarnya sudah tidak mau
bertarung ketika kau mengerahkan Jurus
'Seribu Racun Ular Berbisa'," kata Rangga bisa memahami.
"Kau seorang pendekar arif dan bijaksana, Rangga," puji Pertapa Goa Ular tulus.
"Aku mohon maaf telah mengecewakanmu.
Eyang," ucap Rangga.
"Tidak, Rangga. Tidak perlu kau ucapkan itu. Lagi pula, aku tidak kecewa. Aku
sudah mempunyai pengganti yang cukup berbakat."
"Swani....?"
*** 7 "Rupanya kau sudah tahu tentang gadis itu. Rangga,"
kata Pertapa Goa Ular.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
"Gadis yang malang, tapi memiliki semangat dan bakat yang besar. Aku benar-benar
menyukainya, itu sebabnya, dia kupilih menjadi muridku. Tapi tidak kusangka akan
begini jadinya. Sementara apa yang kuberikan masih begitu tanggung. Ohhh.... Aku
telah mencelakakannya, tanpa dia sadari," terdengar mengeluh nada suara Pertapa
Goa Ular. "Belum terlambat untuk menolongnya. Eyang," ujar Rangga, membesarkan hati orang
tua ini. "Aku khawatir, dia tidak bisa bertahan lama.
Sedangkan aku sendiri sudah begitu lemah. Sampai-sampai, aku tidak mampu lagi
menghadapi begundal-begundal itu. Kau tahu, Rangga. Silat jurus 'Seribu Racun
Ular Berbisa' tidak jauh berbeda dari belalang.
Induknya langsung mati setelah menitiskan keturunan. Sedangkan sebagian jurus
sudah kuturunkan pada Swani. Hanya tinggal sedikit lagi kekuatanku yang tersisa.
Tapi, itu tidak membantu Swani. Bahkan bisa mencelakakannya kalau jurus itu
tidak segera disempurnakan," kata Pertapa Goa Ular lagi
"Aku sudah tahu semuanya, Eyang. Aku juga tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk
padanya," kata Rangga.
"Kau sudah bertemu dengannya?" tanya Pertapa
Goa Ular. "Kemarin. Tapi dia pergi secara diam-diam semalam. Aku tidak tahu, di mana dia
kini berada,"
sahut Rangga. "Oh..., sayang sekali," desah Pertapa Goa Ular sedikit mengeluh.
"Aku berjanji akan terus mencari dan membawa-nya padamu, Eyang," tegas Rangga.
"Aku percaya kau akan melakukan itu, Rangga.
Tapi yang lebih penting, Swani harus bisa dijatuhkan dari si Iblis Tombak Baja."
pesan Pertapa Goa Ular.
"Oh, ya. Di mana tempat tinggalmu sekarang?"
tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja.
"Benar, Eyang. Kami lihat tempat tinggalmu sudah hancur, dan tak mungkin
ditempati lagi," sambung Rangga.
"Aku sekarang memang tidak punya tempat tinggal lagi. Anak buah Iblis Tombak
Baja telah menghancurkan tempat tinggalku. Dia memang sudah lama ingin
menghancurkanku. Tapi, baru sekarang bisa terlaksana setelah sebagian kekuatanku
lenyap. Bahkan sekarang ini aku benar-benar tidak punya daya lagi. Kau bisa lihat
sendiri, bagaimana aku kewalahan hanya dalam menghadapi begundalnya saja," pelan
sekali suara Pertapa Goa Ular.
Sebentar Pertapa Goa Ular terdiam. Dihembus-kannya napas panjang, untuk
melonggarkan rongga dadanya yang terasa jadi begitu sesak. Sedangkan Pandan
Wangi dan Rangga hanya diam saja memperhatikan orang tua pertapa itu.
''Saat berhasil lolos dari kepungan orang-orang Iblis Tombak Baja, aku terus
berusaha mencari Swani. Beberapa kali aku bentrok dengan mereka.
Dan itu semakin menguras tenaga dan kepandaianku. Rasanya, aku tidak sanggup lagi bertarung jika bertemu mereka. Aku
tidak ingin mati sebelum Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang kuturunkan pada
Swani kutuntaskan. Kau harus bisa menemukan gadis itu sebelum segalanya
terlambat, Rangga. Jika Swani sampai mati lebih dulu, maka aku juga akan mati
tanpa mewariskan ilmu-ilmu yang kumiliki. Dan kalau aku yang mati lebih dulu,
akan berbahaya akibatnya bagi Swani. Seumur hidup, dia akan menjadi orang yang
paling lemah, tanpa daya sedikit pun," kata Pertapa Goa Ular menjelaskan lagi.
"Seburuk itukah akibatnya, Eyang...?" tanya Pandan Wangi tidak menyangka.
"Bisa lebih buruk lagi. Dia bisa lumpuh seumur hidup."
"Oh..."!" Pandan Wangi terpekik terkejut si Kipas Maut memandang Rangga yang
jadi terdiam dengan kepala tertunduk Pandan Wangi tidak menyangka kalau akan
seburuk itu akibat Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' yang dipelajari jika tidak
sampai tuntas dan sempurna. Suatu ilmu dahsyat, tapi sangat buruk akibatnya jika
hanya mempelajari setengah-setengah.
Pantas saja Rangga tidak mau mempelajarinya, karena Pendekar Rajawali Sakti
sudah mengetahui segala akibat dan keburukannya. Bukan saja bagi diri sendiri,
tapi juga bagi orang yang menurunkan ilmu itu. Tapi kalau bisa menguasai secara
sempurna, sangat sukar menandingi jurus itu.
"Pandan Wangi! Sebaiknya kau tetap bersama Eyang Pertapa. Sementara, aku mencari
Swani," ujar Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Swani pasti ke sarang si Iblis Tombak Baja, Rangga," duga Pertapa Goa Ular.
"Dia sudah ke sana dan menghancurkannya,"
selak Pandan Wangi memberi tahu.
"Oh! Benarkah..."!" Pertapa Goa Ular terkejut mendengarnya.
"Benar, Eyang," sahut Rangga.
"Ah.... Dia benar-benar dalam bahaya sekarang.
Sayang, aku tidak punya daya lagi untuk menolongnya," keluh Pertapa Goa Ular.
"Jangan pikirkan itu, Eyang. Sekarang, yang penting Eyang dan Pandan Wangi ke
puncak Bukit Menjangan. Aku berjanji akan membawa Swani dengan selamat padamu,"
tegas Rangga. "Terima kasih, Rangga. Aku percaya, kau pasti bisa mengatasi kesulitan ini,"
ujar Pertapa Goa Ular.
"Sebaiknya, Eyang berangkat sekarang. Aku yakin, tidak lama lagi mereka pasti
akan datang ke sini.
Akan buruk akibatnya." ujar Rangga lagi.
"Mari, Eyang...," ajak Pandan Wangi.
Pandan Wangi membantu Pertapa Goa Ular berdiri.
Sebentar mereka saling berpandangan. Pertapa Goa Ular menepuk pundak Pendekar
Rajawali Sakti dan tersenyum dengan bibir bergetar, kemudian melangkah diikuti
Pandan Wangi. Sementara Rangga masih berdiri memandangi kepergian mereka.
Pendekar Rajawali Sakti baru beranjak pergi setelah Pandan Wangi dan Pertapa Goa
Ular sudah tidak terlihat lagi.
*** Sementara di bagian sebelah Timur Bukit
Menjangan, tampak Eyang Gorak yang lebih dikenal berjuluk Iblis Tombak Baja,
tengah berdiri termangu memandangi tempat tinggalnya yang hancur rata dengan
tanah. Asap masih mengepul di beberapa
tempat dari reruntuhan bangunan yang hangus terbakar itu. Sedangkan empat orang
pembantu dan pengikut-pengikutnya hanya memandangi saja, tak ada yang sanggup
mengeluarkan suara.
Eyang Gorak mencabut sebuah bintang hitam yang menancap di pohon di dekatnya.
Diamatinya benda berbentuk bintang hitam itu dalam-dalam, lalu digenggamnya
kuat-kuat. Tampak otot-otot tangannya bersembulan keluar, dan gerahamnya
bergemeletuk menahan kemarahan. Asap tipis terlihat mengepul di tangannya yang
mengepal kuat. Perlahan laki-laki tua berjubah biru itu membuka kepalan tangannya. Tampak benda
hitam yang tadi berbentuk bintang kini sudah hancur lebur menjadi serbuk hitam
yang mengepulkan asap. Serbuk hitam itu menyebar terbawa angin. Eyang Gorak


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memutar tubuhnya perlahan-lahan, lalu memandangi pembantu utamanya yang tinggal
empat orang lagi.
Pandangannya terus beredar kepada para pengikutnya yang duduk bersila di sekitar
tempat itu. "Kalian tahu, berapa tahun aku membangun Partai Tombak Baja...?" agak lantang
dan tertahan suara Eyang Gorak. "Seluruh sisa hidupku tercurah untuk kebesaran
Partai Tombak Baja. Aku tidak ingin partai yang kubangun bertahun-tahun hancur
begitu saja. Maka kalian harus bisa menangkap si keparat itu hidup atau mati! Aku bersumpah,
siapa saja di antara kalian yang bisa membawa kepalanya ke sini, akan kuangkat
menjadi wakilku!"
Kata-kata Eyang Gorak disambut gemuruh dan gegap gempita. Mereka semua langsung
berdiri sambil mengacungkan senjata masing-masing ke atas kepala dan berseru
nyaring mendukung ucapan si Iblis Tombak Baja. Eyang Gorak begitu bangga
melihat kesetiaan para pengikutnya, meskipun partai yang dibanggakan dan
dibangun susah payah selama bertahun-tahun kini telah hancur menjadi puing
berserakan "Pergilah kalian sekarang. Aku tidak peduli dengan semua yang kalian lakukan.
Aku hanya ingin si keparat itu sampai di sini!" kata Eyang Gorak lagi, lebih
lantang suaranya.
"Aku sudah di sini, Iblis Tombak Baja...!"
"Heh..."!"
Semua orang yang ada cli tempat itu terkejut bukan main begitu tiba-tiba
terdengar suara lantang, keras menggema. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan
mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah muda. Dan tahu-tahu, di
depan mereka sudah berdiri seorang gadis berbaju merah muda. Wajahnya tertutup
cadar agak tipis, juga berwarna merah muda. Sebilah pedang tampak tersampir di
punggungnya. Eyang Gorak langsung menggerakkan tangan
kanannya yang menggenggam tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya ke atas
kepala. Dan seketika itu juga, semua orang pengikutnya bergerak cepat mengepung
gadis berbaju merah muda itu.
Kepungan mereka begitu ketat, sehingga tak ada lagi celah bagi orang itu untuk
meloloskan diri.
"Kau terlalu berani muncul di sini, Bocah Keparat!
Tunjukkan, siapa dirimu yang sebenarnya..."!" desis Eyang Gorak menggeram
berang. "Aku Dewi Goa Ular yang akan menghentikan semua perbuatanmu, Iblis Tombak Baja!"
terdengar lantang suara gadis bercadar merah muda itu.
"Biar aku yang membekuknya, Eyang," ujar seorang laki-laki berusia setengah baya
yang membawa senjata berupa rantai baja putih, berbandul tiga buah bola besi berduri.
"Hati-hatilah, Pralaya. Kalau dia memang benar berasal dari Goa Ular, senjatanya
yang beracun harus kau hindari," kata Eyang Gorak.
"Dia akan menyesal muncul di sini, Eyang," kata laki-laki yang dipanggil Pralaya
itu pongah. "Hup...!"
Pralaya langsung melompat menghampiri gadis bercadar merah muda yang mengaku
bernama Dewi Goa Ular itu. Ringan sekali gerakannya, pertanda kepandaiannya
cukup tinggi. Kemudian, dia mendarat sekitar lima langkah di depan Dewi Goa
Ular. "Tunjukkan kepandaianmu, Bocah!" dengus Pralaya dingin.
"Jangan banyak omong! Serang saja kalau mau mampus!" dengus Dewi Goa Ular.
"Setan...! Belum pernah aku ditantang oleh bocah ingusan!" geram Pralaya.
Wut! Cring! Cepat sekati Pralaya mengebutkan senjatanya, maka tiga buah bola besi berduri
yang dihubungkan dengan rantai baja itu meluruk deras ke arah Dewi Goa Ular.
Tapi, tangkas sekali gadis bercadar merah muda itu melompat ke samping.
Sehingga, tiga bola besi berduri itu menghunjam tanah kosong. Begitu kerasnya,
sehingga tanah itu terbongkar, menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi
ke udara. "Hiyaaa...!"
Pralaya kembali mengebutkan cepat senjatanya sehingga Dewi Goa Ular terpaksa
harus berjumpalitan menghindari bola-bola besi berduri yang berkelebatan
di sekitar tubuhnya. Senjata berduri itu bagaikan memiliki mata saja, sehingga
selalu dapat mengejar ke mana saja si Dewi Goa Ular menghindar.
"Hap!"
Tiba-tiba saja Dewi Goa Ular mengatupkan kedua tangannya ke depan dada ketika
senjata Pralaya meluruk deras ke arah dadanya. Sedikit pun dia tidak berusaha
menghindar. Dan bersamaan dengan itu.
cepat sekali Dewi Goa Ular menghentakkan tangannya ke depan sambil berteriak
keras menggelegar.
"Yeaaah ...!"
Wusss...! Tiga buah benda hitam berbentuk bintang tiba-tiba melesat cepat dari kedua
telapak tangan gadis bercadar merah muda itu. Senjata rahasia itu langsung
menghantam tiga buah bola berduri yang tengah mesuruk deras ke arahnya. Pralaya
terkejut setengah mati, dan tak sempat lagi menarik pulang senjatanya.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar dahsyat menggelegar.
Bukan hanya Pralaya yang terbeliak jadinya. Bahkan juga Eyang Gorak dan semuanya
yang ada di tempat itu jadi terlongong melihat senjata bola besi berduri itu
hancur berkeping-keping terkena sambaran senjata bintang hitam yang dilepaskan
Dewi Goa Ular. "Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaat..!"
Sebelum ada yang bisa menghilangkan keterkejutannya, bagaikan kilat Dewi Goa
Ular melompat menerjang sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek
bertenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya sehingga Pralaya tidak sempat
lagi berbuat sesuatu.
Des! Prak! "Aaa....!"
Begitu dahsyatnya pukulan yang dilepaskan Dewi Goa Ular, sehingga kepala Pralaya
yang terkena pukulan, seketika pecah berantakan. Darah kontan muncrat
berhamburan bersama kepingan kepala yang hancur bagai batok kelapa terhantam
batu. Sebentar Pralaya masih mampu berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah
meregang nyawa.
Hanya sebentar saja dia menggelepar, kemudian meregang kaku dan diam tak
bernyawa lagi. "Setan keparat...!" geram Eyang Gorak berang melihat seorang lagi pembantunya
tewas. "Beri aku kesempatan, Eyang," pinta seorang laki-laki setengah baya lagi sambil
mendengus geram.
Eyang Gorak berpaling menatap laki-laki separuh baya yang menyandang sebilah
golok berukuran sangat besar, yang salah satu sisinya bergerigi seperti gigi
ikan. Tubuhnya tinggi besar, dengan otot-otot bersembulan kekar dan berkilat
oleh keringat. Dia tidak mengenakan baju, sehingga bentuk tubuhnya yang kekar
dan berotot terlihat jelas.
"Buat dia sedikitnya mengeluarkan lima jurus.
Anggora." ujar Eyang Gorak.
"Baik, Eyang," sahut Anggora mantap.
"Hup! Yeaaah.....!"
*** Anggora tidak banyak bicara. Langsung diserang-nya Dewi Goa Ular dengan jurusjurus permainan goloknya yang dahsyat luar biasa. Setiap tebasan menimbulkan
suara angin menderu bagai badai topan.
Sama sekali gadis bercadar merah muda itu tidak diberi kesempatan untuk balas
menyerang. "Anggora, beri dia kesempatan!" teriak Eyang Gerak tidak puas melihat cara
bertarung pembantunya.
"Hup!"
Anggora cepat melompat mundur begitu mendengar teriakan Eyang Gorak. Goloknya dilintangkan di depan dada dengan senyuman
sinis tersungging di bibir yang tebal. Sorot matanya begitu tajam, menatap lurus
ke bola mata gadis bercadar merah muda itu.
"Ayo serang aku, Bocah," desis Anggora me-nantang.
"Hhh! Kau memancingku. Baik. Aku tahu, apa yang kalian semua inginkan.
Bersiaplah jika ingin menyusul temanmu ke neraka," desis Dewi Goa Ular dingin.
Sret! Setelah berkata demikian. Dewi Goa Ular langsung bersiap mencabut pedangnya.
Perlahan pedangnya ditarik dan disilangkan di depan dada. Tatapan sinar matanya
begitu tajam menusuk. Perlahan sekali kakinya bergerak menggeser ke kanan
beberapa langkah. Lalu kaki kanannya diletakkan di depan, dan tubuhnya sedikit
direndahkan dengan lutut tertekuk.
Tangan kirinya segera menjulur lurus ke depan.
Sementara, pedangnya sudah diletakkan di atas kepala. Ujung pedang tampak
tertuju ke depan, sejajar dengan pandangan matanya.
"Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'...," desis Eyang Gorak, mengenali gerakan
Dewi Goa Ular. Gadis bercadar merah muda itu memang tengah mempersiapkan Jurus 'Seribu Racun
Ular Berbisa', yang begitu terkenal kedahsyatannya. Tentu saja
Eyang Gorak sudah bisa mengenali jurus itu, karena sudah beberapa kali bentrok
melawan Pertapa Goa Ular yang memang menguasai jurus itu sudah bertahun-tahun
lamanya. Si Iblis Tombak Baja juga mengetahui kelemahan jurus yang sangat
dahsyat itu. Juga, semua keburukan jurus maut itu.
"Anggora, mundur kau...!" seru Eyang Gorak.
"Hiyaaat..!"
Tapi Dewi Goa Ular sudah lebih dahulu melompat menyerang Anggora. Hal ini
membuat Eyang Gorak terkejut. Maka cepat-cepat tubuhnya melenting dan
mengebutkan tombak mautnya ke arah pedang Dewi Goa Ular yang tertuju lurus ke
arah dada Anggora.
Trang! "Hup!"
Dewi Goa Ular cepat melesat ke udara, dan berputaran beberapa kali begitu
pedangnya membentur senjata Iblis Tombak Baja. Sehingga, dia gagal menebas dada
Anggora yang masih terkesiap melihat kedahsyatan Jurus 'Seribu Racun Ular
Berbisa'. "Menyingkir kau...!" sentak Eyang Gorak begitu mendarat di depan Anggora.
Tanpa diperintah dua kali, Anggora bergagas menarik kakinya ke belakang menjauhi
tempat pertarungan. Sementara Dewi Goa Ular sudah menjejakkan kakinya kembali di
tanah. "Curang..!" dengus Dewi Goa Uar sengit
"Dari mana kau mendapatkan Jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa' itu"! Dan siapa kau
sebenarnya, Nisanak"!" tanya Eyang Gorak, lantang suaranya.
Kau tidak perlu tahu, siapa aku dan dari mana aku mendapatkan jurus itu, Iblis
Tombak Baja. Kalau kau ingin mencoba, majulah...!" sahut Dewa Goa Ular
"Aku tahu siapa pemilik jurus itu, Nisanak. Dan aku
tahu kalau kau belum sempurna memilikinya. Hm...
Kau akan menyesal, Nisanak," kata Eyang Gorak, agak menggumam suaranya.
Bet! Eyang Gorak cepat mengebutkan tombak pendek yang bermata dua pada kedua
ujungnya, sehingga melintang di depan dada. Perlahan kakinya bergeser ke depan
beberapa langkah menyusuri tanah.
Sedangkan Dewi Goa Ular sudah kembali bersiap dengan Jurus 'Seribu Racun Ular
Berbisa' Tapi, mendadak saja kepalanya tergeleng-geleng.
Entah kenapa, tiba-tiba saja kepala Dewi Goa Ular terasa begitu pening, dan
pandangannya langsung berkunang-kunang. Keringat sebesar-besar jagung seketika
menitik di keningnya.
"Oh! Kenapa aku jadi begini...?" keluh Dewi Goa Ular dalam hati
"Hiyaaat...!"
Betum juga Dewi Goa Uar menyadari apa yang terjadi pada carinya yang begitu
tiba-tiba. Iblis Tombak Baja sudah melompat melakukan serangan cepat dan
dahsyat. Bagaikan kaat serangan itu dilakukan, dan satu ujung tombaknya yang
bermata dua di kabulkan lurus ke arah dada gadis bercadar merah muda itu.
"Ikh...!"
Dewi Goa Ular cepat cepat mengebutkan
pedangnya ke depan dada untuk menangkis tebasan tombak bermata dua itu. Tak
petak lagi dua senjata berpamor dahsyat beradu keras di depan dada.
Seketika timbullah ledakan dahsyat menggelegar disertai percikan bunga api ke
segala arah. "Hup...!"
Dewi Goa Ular cepat-cepat melentingkan tubuh ke
belakang. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya jadi limbung. Beberapa
kali kepalanya digeleng-gelengkan, mencoba menghilangkan rasa pening yang tibatiba saja menyerang kepala. Dan pandangannya juga jadi semakin berkunang-kunang.
Sementara, Iblis Tombak Baja sudah kembali bersiap hendak melakukan serangan
kembali. "Mampus kau sekarang, Bocah! Hiyaaat...!"
"Oh! Apa yang terjadi padaku...?" keluh Dewi Goa Ular dalam hati
Gadis bercadar merah muda itu benar-benar tidak berdaya lagi menghadapi serangan
Iblis Tombak Baja kali ini. Dia sendiri tidak mengerti, apa yang terjadi padi
dirinya. Bahkan untuk mengangkat pedang saja, sudah tidak sanggup lagi. Sungguh
dia tidak tahu, tiba-tiba saja tenaganya jadi hilang tanpa disadari terlebih
dahulu. Sedangkan ujung tongkat Ibas Tombak Baja sudah meluruk deras, lurus ke arah
dadanya. Dewi Goa Ular mencoba mengangkat tangannya yang memegang pedang, tapi
jadi terkejut setengah mati. Ternyata tangannya sama sekali tidak sanggup
digerakkan lagi.
Dia hanya berdiri terpaku dengan bola mata terbenak lebar, menatap ujung tombak
bermata dua yang semakin dekat saja mengarah ke dadanya.
"Oh, mati aku...." desah Dewi Goa Ular pelan. Tapi begitu ujung tombak bermata
dua itu sedikit lagi menghunjam dada, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
putih menyambar Dewi Goa Ular.
Begitu cepatnya bayangan putih itu berkelebat, sehingga membuat Iblis Tombak
Baja terkejut bukan main. Ujung tombaknya hanya mengenai tempat kosong, karena
tiba-tiba saja Dewi Goa Ular telah lenyap tersambar bayangan putih tadi.
"Setan..!" geram Iblis Tombak Baja berang. Laki-laki tua itu jadi cehngukan,
karena lawan yang sudah berada di ujung maut tiba-tiba saja lenyap, bagai benang
tertiup angin. Bukan hanya Eyang Gorak yang terkejut tidak mengerti. Tapi semua
orang yang ada di tempat itu juga jadi kebingungan atas lenyapnya gadis bercadar
merah muda yang tiba-tiba saja, bersamaan dengan kelebatan sebuah bayangan
putih. Tak ada seorang pun yang bisa memastikan, bayangan putih apa yang
berkelebat begitu cepat menyambar si Dewi Goa Ular
"Kenapa kanan bengong semua..." Ayo cepat kejar! Cari sampai dapat..!" teriak
Eyang Gorak keras.
*** 8 Sementara itu jauh dari sarang Partai Tombak Baja, sebuah bayangan putih
berkelebat cepat menyelusup dari balik pepohonan yang begitu rapat bagai tak ada
jarak untuk dilewati. Dan bayangan itu baru berhenti setelah merasa cukup jauh
dari sarang Partai Tombak Baja. Ternyata, bayangan putih itu adalah seorang
pemuda tampan dan gagah. Tubuhnya tegap berotot mengenakan baju rompi putih.
Lengannya mengepit gadis berbaju merah muda yang sebagian wajahnya tetutup kain
cadar agak tipis berwarna merah muda Di kalangan rimba persilatan, pemuda
berbaju rompi putih itu tentu saja sudah sangat dikenal.
Dialah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis berbaju
merah muda yang mengenakan cadar itu adalah Dewi Goa Ular. Rupanya, Ranggalah
yang menyelamatkan gadis itu dari hunjaman senjata Iblis Tombak Baja yang
terkenal sangat dahsyat
"Kau sudah aman sekarang, Swani.." kata Rangga seraya menurunkan gadis itu.
Gadis bercadar merah muda itu menyandarkan punggungnya ke pohon. Sinar matanya
begitu redup memandang wajah tampan di depannya. Perlahan dibukanya cadar merah
muda yang menutupi wajahnya. Di balik cadar itu, ternyata tersembunyi seraut
wajah cantik yang tak lain adalah Swani, putri tunggal Ketua Padepokan Pedang
Perak yang tewas di tangan Iblis Tombak Baja.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan aku,"
ucap Swani lirih.


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di mana pedangmu?" tanya Rangga melihat sarung pedang di punggung gadis itu
dalam keadaan kosong.
"Aku tidak tahu. Mungkin terjatuh waktu kau menyambarku tadi," sahut Swani,
tetap lesu suaranya.
"Kenapa kau kelihatan begitu pasrah tadi, Swani...?" tanya Rangga lagi.
"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja, tenagaku hilang. Bahkan tidak kuat lagi
untuk mengangkat senjata," sahut Swani tampak kebingungan sendiri atas semua
yang terjadi pada dirinya.
"Kau tadi menggunakan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'?"
"Benar. Sudah beberapa kali jurus itu kugunakan.
Tapi setiap kali menggunakan jurus itu, seluruh tubuhku selalu lemas, seperti
tidak bertenaga lagi.
Tapi semua itu akan hilang dengan sendirinya, dan akan pulih kembali seperti
sediakala. Hanya saja...,"
Swani. memutuskan ucapannya.
"Hanya apa, Swani.?" desak Rangga
"Aku..., aku sendiri tidak tahu, Kakang. Aku merasa seperti ada satu kekuatan
aneh yang menggerak-kanku setiap kali bertarung. Bahkan seringkali tidak bisa
mengendalikan diri. Rasanya, aku begitu ingin membunuh semua lawan-lawanku
dengan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'," sahut Swani, masih bersikap bingung.
"Hhh...!" Rangga menarik napas dalam-dalam.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Swani, sudah dipengaruhi jurus 'Seribu Racun
Ular Berbisa'. Suatu pengaruh yang sangat kuat, dan tidak mudah dilawan dengan
kekuatan dan tenaga dalam serta hawa
murni yang belum mencapai kesempurnaan. Dan itu bisa berakibat parah pada diri
Swani sendiri. Tanpa disadari, jurus itu akan membunuh Swani, secara perlahanlahan. Tidak mudah bagi Rangga untuk menjelaskan yang sebenarnya pada gadis ini.
Hanya Pertapa Goa Ular saja yang bisa menjelaskan keburukan Jurus 'Seribu Racun
Ular Berbisa' yang dipelajari secara tanggung seperti ini.
Dan kini akibat keburukan jurus itu sudah merasuki diri Swani. Sulit untuk
dicegah lagi. Hanya ada satu pilihan bagi Swani. Mempelajari jurus itu sampai
tuntas dan menyempurnakannya, atau merelakan dirinya termakan jurus itu sampai
mati tanpa disadari. Tapi kalau Swani terus mempelajarinya, itu berarti akan
kehilangan gurunya, si Pertapa Goa Ular yang telah memberikan jurus itu padanya.
Dan semua itu juga belum berarti, kalau Swani tidak menyempurnakannya sendiri.
Paling sedikit memerlukan waktu lima tahun untuk menyempurnakan jurus itu agar
Swani bisa menguasainya secara sempurna. Maka dia tidak akan terpengaruh lagi
oleh keburukan-keburukan jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Tapi apakah Swani
sanggup melakukannya" Sedangkan dia masih diliputi dendam pada Iblis Tombak Baja
yang telah membunuh ayahnya, dan menghancurkan padepokan milik ayahnya.
"Ayo kita pergi dari sini, Swani." ajak Rangga.
Swani mencoba melangkah, tapi kedua kakinya terasa begitu berat untuk
digerakkan. Bahkan jadi limbung, dan hampir saja jatuh kalau Rangga tidak cepatcepat menangkapnya.
"Kau tidak apa-apa, Swani...?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu, Kakang. Aku merasa begitu lemas sekali. Sepertinya aku akan
lumpuh," sahut Swani
tidak mengerti.
Tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar Rajawali Sakti selain memondong gadis
itu. Tanpa bicara apa-apa lagi, dia cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, menembus lebatnya hutan di lereng Bukit Menjangan ini. Swani melingkarkan
tangannya ke leher Rangga. Dipandanginya wajah tampan pemuda itu. Dia jadi tidak
peduli kalau Rangga berlari secepat angin dengan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. "Mau kau bawa ke mana aku, Kakang?" tanya Swani.
"Menemui gurumu." sahut Rangga tanpa menghentikan larinya.
"Guruku..?"
"Iya. Pertapa Goa Ular sudah menunggumu di puncak Bukit Menjangan ini."
"Dia masih hidup..."!"
"Keadaannya tidak jauh berbeda denganmu. Kau harus tabah dengan segala
kemungkinan yang bakal terjadi nanti."
"Memangnya kenapa, Kakang ?"
Rangga berhenti berlari. Dipandanginya Swani yang masih berada di dalam
pondongannya. Gadis itu juga memandangi wajah tampan yang begitu dekat, sehingga
dengus napas satu sama lain begitu terasa menerpa kulit wajah. Ada sedikit
getaran di hari gadis ini. Tapi, Swani cepat-cepat membuang getaran itu dari
hatinya. "Aku akan menjelaskannya, tapi kau harus bisa menerima dengan hati lapang." ujar
Rangga sungguh-sungguh.
"Aku sudah mengalami hal yang terburuk, Kakang,"
tegas Swani, tegar.
Rangga kembali mengayunkan kakinya. Dia kini berjalan tanpa mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Pendekar Rajawali Sakti kemudian menjelaskan semua yang
terjadi. Terutama tentang jurus
'Seribu Racun Ular Berbisa'. Sedangkan Swani mendengarkan penuh perhatian. Dia
jadi tertegun begitu mengetahui akibat-akibat buruk dari jurus yang
dipelajarinya. Gadis itu masih tetap membisu, meskipun Rangga sudah
menyelesaikan penjelasan-nya.
"Apa yang harus kulakukan, Kakang?" tanya Swani.
setelah cukup lama berdiam diri.
"Kau harus menerima segala keputusan yang diambil Pertapa Goa Ular nanti," sahut
Rangga. "Kalau keputusan yang diambilnya mengakibat-kannya mati?"
"Itu sudah merupakan akibat yang harus di-tanggungnya, Swani. Dan kelak juga
akan menurun padamu."
Swani kembali terdiam. Rangga juga tidak bicara lagi. Memang sulit bagi Swani
menerima semua ini.
Tapi semuanya sudah terjadi, dan harus menerima-nya dengan hati lapang. Apa yang
sudah terjadi adalah kehendak Dewata, dan Swani tak dapat lagi menolak.
Meskipun, di hati kecilnya hal itu tidak diinginkan.
*** Sudah satu pekan ini Swani dan Pertapa Goa Ular terkurung di dalam kamar pondok
kecil yang dibangun Rangga di puncak Bukit Menjangan
Sementara, Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali
Sakti tetap menunggu, tanpa dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan
tertutup tanpa sedikit pun cahaya di dalamnya.
"Berapa lama lagi mereka di dalam sana, Kakang?"
tanya Pandan Wangi sambil menatap ke gubuk kecil yang sangat sederhana itu.
"Entahlah...," sahut Rangga agak mendesah. "Kita tunggu saja sampai salah satu
di antara mereka ada yang keluar."
"Kakang, apa kau yakin Iblis Tombak Baja tidak tahu tempat ini?" tanya Pandan
Wangi mengalihkan pembicaraan.
"Mudah-mudahan saja tidak ada yang tahu sampai mereka selesai." sahut Rangga.
"Tapi...."
Belum juga Pandan Wangi selesai bicara, tiba-tiba saja melesat sebuah anak panah
dari arah belakang mereka. Rangga cepat menangkap desiran halus anak panah itu,
dan cepat sekali tubuhnya berputar sambil mengebutkan tangan kanannya.
Tap! Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti menangkap anak panah yang datang dari
arah belakangnya tadi. Pada saat itu, dari balik pepohonan tiba-tiba bermunculan
orang-orang bersenjata golok terhunus, diikuti seorang laki-laki tua berjubah
biru yang didampingi tiga orang bertampang bengis.
Hanya seorang dari mereka yang kelihatan masih muda dan cukup tampan wajahnya.
Pemuda itu memegang cambuk hitam berduri, dan mengenakan baju warna kuning agak
kemerahan "Iblis Tombak Baja..." desis Rangga seraya menatap tajam laki-laki tua berjubah
biru yang memegang sebatang tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya.
"He he he.... Tidak ada tempat bersembunyi lagi untuk kalian. Aku pasti bisa
menemukan kalian, Bocah-bocah Edan...!" dengus Iblis Tombak Baja diiringi
tawanya yang terkekeh.
Rangga menggeser kakinya sedikit mendekati Pandan Wangi. Tatapan matanya tetap
tajam tertuju lurus pada orang tua berjubah biru yang sudah dikenalnya berjuluk
Iblis Tombak Baja. Sedangkan orang tua itu sudah mengangkat tangannya yang
menggenggam tombak pendek bermata dua pada kedua ujungnya.
Sekitar seratus orang bersenjata golok, seketika bergerak membuat lingkaran
mengepung kedua pendekar muda itu
"Kalian tidak mungkin bisa lolos lagi dariku kali ini.
Tikus Keparat!" geram Iblis Tombak Baja.
"Apa yang akan kita lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi berbisik.
"Tak ada plihan lain lagi, Pandan. Gunakan seluruh kemampuanmu yang ada," sahut
Rangga, Juga berbisik.
"Baik, Kakang."
"Serang! Bunuh mereka...!" perintah iblis Tombak Baja.
Bagaikan guntur di siang bolong, sekitar seratus orang bersenjata golok
berhamburan sambil berteriak-teriak menyerang kedua pendekar muda itu.
Pandan Wangi yang sudah diperingatkan Rangga, cepat mencabut Kipas Maut
andalannya. Gadis itu segera melesat, menyambut mereka dengan kebutan kipasnya
yang begitu cepat dan dahsyat luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti juga tidak ingin
ketinggalan. Segera dikerahkannya Jurus-jurus dari
'Rangkaian Lima Jurus Rajawali Sakti'. Teriakan-teriakan menggelegar pembangkit
semangat pertempuran seketika itu juga terdengar bercampur pekik dan jeritan
melengking pembawa kematian.
Meskipun jumlah mereka begitu banyak dan
mengepung rapat dari segala arah, tapi tidak mudah mendesak kedua pendekar muda
yang memiliki kepandaian sangat tinggi itu
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara, dan
melakukan putaran di udara beberapa kali. Pendekar Rajawali Sakti cepat
merentangkan kedua tangan ke samping, lalu kepalanya mendongak ke atas,
memandang langit baru yang bening.
"Suiiit...!"
Terdengar siulan nyaring melengking tinggi menyakitkan telinga. Hanya sekali
siulan bernada panjang melengking tinggi itu terdengar. Dan Rangga sudah meluruk
kembali sambil melontarkan pukulan-pukulan maut Jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' yang sangat dahsyat luar biasa. Setiap kali pukulan-nya terlontar, selalu
menimbulkan korban.
Sementara Pandan Wangi yang mendengar siulan itu tadi, jadi lebih bersemangat
bertarung. Bahkan kini pedangnya telah dicabut, setelah memindahkan Kipas Maut
ke tangan kiri. Gadis itu tahu kalau siulan itu tadi adalah panggilan untuk
Rajawali Putih yang dikeluarkan Rangga. Dan memang, mereka tidak mungkin bisa
bertahan melawan begini banyak orang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup
tinggi, serta berpengalaman dalam segala macam pertarungan.
Setelah pertarungan berjalan cukup lama, tiba-tiba
terdengar suara serak yang begitu keras menggelegar di angkasa. Iblis Tombak
Baja yang tengah menyaksikan pertarungan didampingi tiga orang pembantunya, jadi
terkejut mendengar suara keras menggelegar agak serak dari angkasa itu. Dan
belum lagi hilang rasa terkejut mereka, mendadak saja ...
"Khraaagkh...!"
Dari angkasa tiba-tiba saja meluncur turun seekor burung rajawali berbulu putih.
Ukuran burung rajawali itu sungguh luar biasa. Rajawali raksasa berbulu putih
itu langsung menukik turun, dan menyambar orang-orang yang mengeroyok kedua
pendekar muda itu.
Kemunculan Rajawali Putih tentu saja membuat mereka jadi kalang kabut.
Pengeroyok yang masih bisa kabur, cepat-cepat mengambil langkah seribu.
Sedangkan yang tidak sempat lagi, harus rela menerima nasib diserang burung
rajawali raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Rangga yang begitu senang atas kemunculan Rajawali Putih, capai melompat
mendekati Iblis Tombak Baja yang masih didampingi ketiga
pembantu utamanya.
"Bunuh dia...!" perintah Iblis Tombak Baja.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah.....!"
"Aku bantu. Kakang! Hiyaaat...!"
Kemunculan Rajawali Putih juga membuat Pandan Wangi jadi bisa meninggalkan para
pengeroyoknya. Dan gadis itu cepat melompat untuk membantu Rangga yang sudah dikeroyok tiga
orang pembantu Iblis Tombak Baja.
"Kau lawanku. Setan Busuk!" dengus Pandan Wangi langsung mengebutkan pedang ke
arah Prabawa. Bet! "Eh..."! Hup...!"
Prabawa cepat-cepat melompat mundur begitu Pandan Wangi tiba-tiba menyerangnya.
Untung saja dia cepat bertindak, sehingga kebutan pedang gadis itu tidak sampai
merobek tubuhnya. Tapi Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Senjata
andalannya terus dikebutkan cepat dan beruntun, membuat Prabawa terpaksa
berjumpalitan meng-hindarinya. Tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk
menggunakan cambuk kebanggaannya.
*** Sementara Rangga yang sudah menggunakan
Pedang Rajawali Sakti, sama sekali tidak mendapat kesulitan menghadapi dua orang
lawan yang tingkat kepandaiannya memang berada jauh di bawahnya.
Sehingga tidak sampai lima jurus, mereka sudah tidak mampu lagi melawan. Pedang
yang mengeluarkan cahaya biru berkilau itu membuat mereka ambruk tak mampu bangkit
lagi "Hup...!"
Rangga cepat melompat mendekati Iblis Tombak Baja. Kakinya mendarat manis
sekitar lima langkah lagi di depan laki-laki tua berjubah biru itu. Ada sedikit
kegentaran di hati Iblis Tombak Baja melihat ke-tangguhan Pendekar Rajawali
Sakti. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak, sambil menyilang-kan senjata di
depan dada. "Aku benar-benar muak melihat kelakuanmu, Iblis Tombak Baja. Rasanya tidak ada
tempat lagi untukmu di dunia ini," desis Rangga dingin.
"Jangan banyak omong! Tahanlah seranganku.
Hiyaaat...!"
Iblis Tombak Baja langsung saja melompat
menerjang Rangga. Senjatanya dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat ke arah
dada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Rangga tidak menggeser sedikit pun juga. Dan
begitu ujung tombak bermata dua dekat di depan dadanya, pedangnya cepat
dikebutkan membabat tombak bermata dua itu.
"Yeaaah...!"
Trang! Trak! "Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Iblis Tombak Baja melihat senjata andalannya terbabat
buntung oleh pedang yang memancarkan cahaya biru berkilauan itu.
Sambil mendengus kesal, Eyang Gorak melompat mundur dan membuang senjatanya.
Kemudian, dia melakukan beberapa gerakan tangan, dan
merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping.
Trek! Rangga memasukkan pedangnya kembali ke
dalam warangka di punggung. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah
menggunakan senjata jika lawannya tidak bersenjata. Melihat iblis Tombak Baja
sudah bersiap mengeluarkan suatu ajian.
Pendekar Rajawali Sakti cepat merentangkan kakinya ke samping.
Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuh sedikit, dan agak doyong ke kanan.
Lalu, tubuhnya ditarik ke kiri sambil kedua telapak tangan dirapatkan di depan
dada. Kemudian tubuhnya kembali bergerak meliuk ke depan, lalu berdiri tegak.
Dan begitu tangannya direntangkan, terlihat cahaya biru menggumpal pada kedua
telapak tangannya. Rangga cepat
merapatkan kembali kedua telapak tangannya yang sudah berselimut cahaya biru
menyilaukan. "Hiyaaat....!"


Pendekar Rajawali Sakti 59 Dewi Goa Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja Iblis Tombak Baja menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil
berteriak keras menggelegar. Tampak dari kedua telapak tangan laki-laki tua
berjubah biru itu meluncur cahaya merah menyala bagai api. Pada saat yang
sama... "Aji "Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya mendorong ke
depan. Maka, sinar biru yang menggumpal di kedua telapak tangannya seketika meluncur
deras menyambut cahaya merah yang keluar dari telapak tangan Iblis Tombak Baja.
Dua buah sinar seketika beradu di titik tengah, menimbulkan ledakan dahsyat
menggelegar. "Akh...!"
Jeritan melengking agak tertahan kontan terdengar. Tampak Iblis Tombak Baja
terpental jauh ke belakang. Dua batang pohon hancur seketika terlanda tubuh
laki-laki tua berjubah biru itu. Tapi Eyang Gorak cepat bisa bangkit kembali.
Namun sebelum melakukan sesuatu, cahaya biru yang masih keluar dari kedua tangan
Rangga sudah menghantam, dan langsung menyelimuti seluruh tubuh Iblis Tombak
Baja. "Aaakh...!"
Iblis Tombak Baja menggeliat-geliat sambil menjerit-jerit di dalam selubung
sinar biru terang menyilaukan. Perlahan Eyang Gorak bergerak maju, ditarik
kekuatan yang terpancar dari aji 'Cakra Buana Sukma'. Gerakan-gerakan tubuh
Iblis Tombak Baja semakin melemah, dan teriakannya juga sudah lenyap tak
terdengar lagi, tepat saat semakin dekat
tubuhnya dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya,
begitu jaraknya dengan Iblis Tombak Baja tinggal selangkah lagi.
Begitu Rangga melenting berputar ke belakang, terdengar ledakan keras dan
dahsyat. Tampak tubuh Iblis Tombak Baja hancur berkeping-keping bersamaan dengan
lenyapnya sinar biru yang
menyelubungi seluruh tubuhnya.
Pada saat yang hampir bersamaan. Pandan Wangi juga sudah menyelesaikan
pertarungannya melawan Prabawa. Gadis itu berhasil menghentikan perlawanan
Prabawa dengan menusukkan pedang ke dada pemuda itu. Pandan Wangi bergegas
menghampiri Rangga yang berdiri tegak memandangi tubuh Iblis Tombak Baja yang
sudah menjadi onggokan debu. Memang sungguh dahsyat aji 'Cakra Buana Sukma' jika
dikerahkan pada tingkat terakhir.
Tubuh manusia bisa hancur jadi debu karenanya.
"Kakang...!"
Rangga dan Pandan Wangi cepat memutar
tubuhnya ketika mendengar suara dari arah belakang. Tampak Swani berdiri di
depan pondok kecil yang agak tersembunyi di antara pepohonan dan semak. Gadis
itu tampak segar, tapi sinar matanya memancarkan kedukaan. Kedua pendekar muda
itu bergegas menghampiri. Mereka tahu apa yang terjadi, meskipun Swani tidak
menjelaskan. Dan memang, bila salah satu muncul, yang satunya lagi pasti
meninggal. Dan itu memang sudah menjadi
kenyataan yang harus dihadapi antara Swani dengan Pertapa Goa Ular.
"Aku harus mencari tempat untuk menyempurnakan jurus 'Seribu Racun Ular
Berbisa'." kata Swani, agak perlahan suaranya.
"Aku punya tempat yang cocok untukmu," selak Pandan Wangi buru-buru.
"Di mana, Pandan?" tanya Rangga.
"Kau lupa ketika aku juga harus mempelajari isi Kitab Naga Sewu untuk bisa
menguasai Pedang Naga Geni ini, Kakang. Kau memberiku sebuah tempat yang nyaman
dan tak ada gangguan sedikit pun,"
Jelas Pandan Wangi
"Ha ha ha...!" Rangga Jadi tertawa terbahak-bahak.
Sungguh Pendekar Rajawali Sakti memang sudah lupa akan hal itu. Dan memang sudah
terlalu lama itu berlangsung. Tapi, rupanya Pandan Wangi masih juga
mengingatnya. Dan tempat yang dimaksudkan Pandan Wangi adalah sebuah pulau
karang yang tidak berpenghuni. Memang, sangat jauh letaknya dari Bukit Menjangan
ini. Bisa memakan waktu satu purnama penuh untuk menempuhnya.
"Aku akan mengantarkanmu ke sana," kata Pandan Wangi
"Bisa satu bulan penuh jika hanya kalian berdua yang ke sana," selak Rangga.
"Maksudmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi Rangga tidak segera menjawab.
Dipandangnya Rajawali Putih yang mendekam di antara mayat-mayat bergelimpangan.
Pandan Wangi langsung bisa mengerti, tapi juga jadi berkerut keningnya ketika
melihat Swani. Juga tengah memandangi burung raksasa itu.
"Jangan khawatir, Kak Pandan. Aku pernah menunggangnya sekali bersama Kakang
Rangga," jelas Swani, bisa mengerti jalan pikiran Pandan Wangi
"Oh...," desah Pandan Wangi tidak menyangka.
"Tapi, sebaiknya kita urus dulu jasad Pertapa Goa Ular," selak Rangga.
Mereka memang segera menguburkan Pertapa
Goa Ular yang meninggal setelah menurunkan semua ilmunya pada Swani. Terutama,
jurus 'Seribu Racun Ular Berbisa'. Setelah itu, mereka segera berangkat ke Pulau
Karang dengan menunggang Rajawali Putih.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikawa )
Weblog, hitp://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: hitp://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Eng Djiauw Ong 17 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Misteri Patung Kematian 1

Cari Blog Ini