Pendekar Rajawali Sakti 48 Genta Kematian Bagian 1
amy GENTA KEMATIAN oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar Sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 48:
Genta Kematian 128 hal ; 12 x 18 cm
1 Seharian lebih berada di punggung kuda, memang bukan hal yang menyenangkan.
Pinggang terasa akan patah. Wajah dan seluruh tubuh terasa tebal oleh debu yang
melekat bercampur keringat. Terlebih lagi saat berada di daerah yang gersang dan
tandus seperti Ini.
Tak ada pemandangan yang bisa dinikmati. Sejauh mata memandang. hanyalah
kegersangan dengan pepohonan mengering tanpa daun. Rerumputan meranggas kekurangan air. Parit parit tampak kering kerontang dan tanahnya sudah terbelah -pecah.
Namun keadaan alam yang menyiksa dan tidak ramah ini tidak menghalangi
perjalanan dua orang penunggang kuda. Padahal kuda yang ditunggangi tidak kuat
lagi diajak berlari kencang, dan kelelahan sekali.
Binatang itu terseok seok dengan liur menetes dari mulutnya yang terbuka. Dua -penunggang kuda itu ternyata gadis gadis muda. Wajah mereka sudah memerah
-terpanggang matahari yang bersinar terik sekali.
"Sepertinya seluruh alam sudah mati semua, Kak Nila...," keluh salah seorang
gadis yang mengenakan baju kuning gading.
"Lelah...?" gadis satunya lagi yang mengenakan baju warna putih mencoba
tersenyum. "Kalau lelah, jangan salahkan alam segala."
Gadis berbaju putih yang dipanggil Nila itu tampaknya lebih dewasa daripada yang
seorang lagi. Hal ini terlihat jelas dari raut wajah maupun sorot matanya yang
memancarkan kematangan jiwa. Sedang kan gadis yang berbaju kuning masih
-kelihatan remaja sekali. Mungkin usianya baru beranjak tujuh belas atau delapan
belas tahun "Istirahat dului, Kak Nila. Kasihan nih, kuda kudanya," rengek gadis berbaju
-kuning gading itu.
"Mau istirahat di mana, Mutiara...?" lembut sekaii nada suara Nila. Gadis ini
bernama lengkap Nila Komala.
Gadis berbaju kuning gading yang bernama Mutiara, tidak langsung menjawab.
Memang percuma saja mereka beristirahat. karena tidak ada satu tempat pun yang
cocok dijadikan tempat beristirahat. Keadaan di sekitar daerah ini semuanya
sama. Hanya kegersangan saja yang ada.
"Hhh...! Mau apa sih kita ke sini, Kak?" lagi lagi Mutiara mengeluh seraya
-menyeka keringat yang hampir mengering di leher.
"Atas perintah Eyang Jatibaya," sahut Nila Komala, tetap lembut dan kalem
suaranya. "lya... aku tahu. Tapi untuk apa...?" desak Mutiara.
"Aku sendiri tidak tahu, Mutiara. Eyang Jatibaya hanya memerintahkan kita untuk
ke tempat ini"
Mutiara kembali terdiam, langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Kemudian kembali ditatapnya gadis yang berkuda perlahan di sampingnya. Beberapa
saat lamanya mereka tidak lagi membuka suara.
Sementara mereka semakin jauh menembus daerah gersang yang panas ini. Mutiara
mengambil kantung kuilt tempat airnya. kemudian mendekatkan ke bibirnya dengan
kepala agak menengadah.
"Sial..!" gerutu Mutiara sambil mengguncangguncang tempat airnya.
"Kenapa?" tanya Nila Komala seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.
"Airku habis," rungut Mutiara. "Kau masih punya, Kak?"
'"Sama. Habis juga," sahut Nila Komala seraya mengguncang kantung airnya.
"Hhh...! Kita bisa mati kehausan kalau begini terus,"
keluh Mutiara. Lagi lagi Nila Komala hanya menggelengkan kepala saja. Sejak kemarin mereka -berada di tempat gersang ini, Mutiara selalu saja mengeluh tidak henti hentinya.
-Sedangkan Nila Komala hanya tersenyum saja mendengar keluhan gadis itu, dan sama
sekali tidak menanggapi.
Namun demlkian, Mutiara tidak pernah merepotkan dengan minta pulang segala
macam. Meskipun terus mengeluh, Mutiara tetap saja mengikuti Nila Komala. Memang
kasihan Juga melihatnya. Bukan hanya wajahnya yang memerah. tapi juga bibirnya
sudah mengering pecah pecah. Persediaan air sudah habis. Sedangkan mereka tidak
-tahu, sampai kapan perjalanan menyiksa ini akan berakhir. Dan sepertinya
kegersangan memang sudah melanda seluruh permukaan bumi ini
"Berapa hari lagi kita berada di tempat ini, Kak?"
tanya Mutiara lagi
"Aku tidak tahu," sahut Nila Komala. "Yang aku tahu, kita harus terus berjalan
ke arah Timur. Hanya itu saja,"
jelas Nila Komala.
'"Hhh.... Mampus deh, sekarang...!" keluh Mutiara singkat.
Lagi lagi Nila Komala hanya tersenyum kecil.
-Sedangkan Mutiara terus menggerutu, menyesali dirinya yang mau saja ikut ke
tempat seperti ini. Kalau saja dia bisa menolak.... Tapi tidak mungkin perintah
gurunya ditolak. Bisa bisa, akan mendapat hukuman yang lebih berat daripada ini.
-Lagi lagi Mutiara mendengus kesal.
-*** "Kak, lihat..!" seru Mutiara sambil menunjuk ke depan.
Tampak sebuah perkampungan dengan pepohonan yang tumbuh subur terbentang di
depan mereka. Kedua gadis Itu baru saja melewati daerah gersang dan tandus,
tanpa kehidupan sama sekali. Kini, setelah menempuh perjaianan panjang dan
melelahkan, mereka baru bisa menemukan sebuah perkampungan yang tampak
menghijau, menyejukkan mata.
Mutiara bergegas menggebah cepat kudanya.
Sedangkan Nila Komala tetap menjalankan kudanya perlahan lahan. Perkampungan itu
-memang tidak seberapa jauh lagi, sehingga Mutiara cepat sampai ke sana. Dia
langsung melompat turun dari punggung kudanya. Namun, begitu kakinya menjejak
tanah seketika itu juga dia jadi tertegun.
Pada saat Mutiara memutar tubuhnya, Nila Komala sudah berada di dekatnya. Dia
turun dari kuda dengan gerakan manis sekali. Kemudian dihampirinya Mutiara,
dan berdiri di sampingnya. Beberapa saat mereka terdiam dengan bola mata
berputar, memandang ke sekeliling.
"Sepi. Tidak ada seorang pun di sini..." gumam Nila Komala seperti bicara pada
dirinya sendiri.
Belum juga Mutiara sempat menjawab, tiba tlba terdengar suara genta yang -berdentang nyaring sehingga memekakkan telinga. Kedua gadis itu tersentak kaget
Suara genta itu bagai hendak memecahkan seluruh pembuluh darah. Begitu keras,
membuat jantung kedua gadis itu berdegup kencang.
"Mutiara, awas...!" seru Nila Komala tiba tlba.
-Begitu suara genta tadi berhenti berdentang, mendadak saja, secercah sinar merah
kebiru biruan meluncur deras ke arah mereka. Cepat sekali Nila Komala bertindak.
-Dia melompat bagai kilat, menerjang Mutiara yang malah terkesiap kaku. Mutiara
jatuh berguling begitu terterjang dorongan keras Nila Komala.
Namun.... "Aaakh...!" terdengar jeritan keras melengking tinggL
"Kak...!" Jerit Mutiara.
Tampak Nila Komala keras sekali terjerembab ke tanah. Gadis itu menyelamatkan
jiwa Mutiara, tapi terlambat untuk menghindarkan dirinya sendiri dari cahaya
merah kebiruan. Cahaya itu tepat menghantam dadanya.
Nila Komala menggelepar sambil menggerung
-gerung dengan dada hangus terbakar. Sementara Mutiara tidak tahu, apa yang harus
dilakukan. Dia hanya bisa memandangi Nila Komala yang meregang menahan sakit
yang amat sangat pada dadanya.
"Kak...," parau suara Mutiara.
Namun Nila Komala sudah tidak bergerak gerak lagi.
-Seluruh dadanya hangus menghitam. Perlahan Mutiara merayap mendekati Nila
Komala. Namun sebelum mencapai tubuh gadis berbaju putih itu, mendadak sebuah
bayangan keperakan berkelebat cepat menyambar ke arahnya.
"Ikh...! Uts...!"
Cepat cepat Mutiara membanting tubuhnya ke tanah, lalu berguling beberapa kali.
Maka bayangan itu lewat di atas tubuhnya. Dan sebelum Mutiara bisa menyadari apa
yang terjadi, mendadak saja bayangan Itu sudah kembali melesat cepat ke arahnya.
Sret! "Yeaah...!"
Mutiara langsung mencabut pedangnya, dan
seketika itu juga dikibaskan ke arah bayangan keperakan itu. Namun tanpa diduga
sama sekali, bayangan itu melesat cepat ke udara. Dan seketika itu juga, meluruk
deras ke arah kepala, sehingga membuat Mutiara terperangah kaget.
Bet! Cepat sekali pedang Mutiara dikebutkan ke atas. Dan kembali dia terkejut, karena
bayangan keperakan itu lagi lagi melesat cepat sebelum ujung pedangnya mencapai -sasaran. Kali ini bayangan keperakan itu menyambar tubuh Nila Komala yang sudah
tak berdaya, lalu bagai kilat melesat meninggalkan Mutiara. Sekejap mata saja
dia tidak terlihat lagi.
"Kak Nila...!" sentak Mutiara begitu tidak lagi melihat Nila Komala di
tempatnya. Mutiara jadi celingukan, sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi
sekitarnya begitu sunyi.
Tak terdengar suara sedikit pun juga, kecuali desir angin yang mengusik gendang
telinga. "Kak Nila...," desis Mutiara parau.
Tanpa disadari, setitik air bening menggulir dari sudut mata gadis itu.
Pandangannya tertuju lurus ke tempat bekas terbaringnya Nila Komala yang dadanya
hangus menghitam setelah terkena terjangan cahaya merah kebiruan tadi.
Mutiara terduduk lemas di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Matanya tidak
lepas memandangi tanah, tempat Nila Komala tadi tergeletak. Gadis itu menyeka
air mata dengan punggung tangannya.
Terdengar isak tertahan. Seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi melihat Nila
Komala menghilang disambar bayangan keperakan tadi. Dia tidak tahu, apakah Nila
Komala sudah mati atau masih hidup.
"Kak Nila..." semakin lemah suara Mutiara.
Tubuh gadis itu semakin melemah. Pandangannya mulai kabur dan berkunang kunang.
-Bersamaan dengan terdengarnya rintihan lirih, Mutiara jatuh terkulai. Gadis itu
langsung tidak sadarkan diri. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tapi jiwanya juga
teramat lelah. *** Mutiara tidak tahu. sudah berapa lama tidak
sadarkan diri setelah berjalan tanpa sedikit pun beristirahat. Perjalanan yang
panjang dan menyiksa seketika di daerah gersang, tanpa ada air setetes pun.
Itu pun masih ditambah hilangnya Nila Komala. kakak seperguruannya. Gadis itu
mulai siuman saat merasakan sesuatu yang dingin menempel di keningnya.
"Ohhh ..." lirih sekali suara Mutiara.
Perlahan lahan kepala gadis itu bergerak menggeleng ke kanan dan ke kiri.
-Kemudian perlahan lahan kelopak matanya terbuka. Terasa berat sekali. Seakan-akan kelopak matanya tidak mau dibuka. Namun akhirnya mata. Mutiara terbuka
juga. Meskipun pandangannya mengabur, berkunang kunang. Kembali matanya -dipejamkan beberapa saat, kemudian membuka kembali.
Yang pertama kali dilihat Mutiara adalah seraut wajah tua dengan mata bening.
Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Mutiara mengenali ruangan ini.
Sebuah kamar yang ukurannya tidak terlalu besar, dan setiap hari dilihat dan
ditempatinya. Di dalam kamar ini ada juga seorang pemuda dan seorang gadis
cantlk yang mengenakan baju biru muda.
"Kau sudah sadar, Mutiara...?" terdengar suara lembut
Mutiara kembali memandang wajah laki laki tua yang berada dekat pembaringan yang
-ditidurinya ini.
Wajah tua yang sangat dikenalnya.
"Apakah....Apakah aku sudah mati...?" lirih sekali suara Mutiara. Hampir tidak
terdengar di telinga.
"Kau masih hidup, Mutiara. Dan sekarang berada di kamarmu sendiri. Di Padepokan
Gunung Gading,"
Kembali terdengar suara lembut di telinga Mutiara.
"Eyang.., kaukah Eyang Jatibaya...?" Mutiara seperti tidak percaya dengan apa
yang disaksikannya.
Laki laki tua berjubah putih yang rambut, jenggot, dan kumisnya juga sudah
-memutih itu memberi senyuman lebar yang lembut. Sedangkan Mutiara terus merayapi
wajah laki laki tua yang mungkin usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun
-itu. Gadis ini seperti ingin memastikan kalau dirinya belum mati, dan yang
berada di sampingnya. Ini benar benar Eyang Jatibaya.
-"Bagaimana aku bisa sampai ke sini...?" tanya Mutiara seperti pada dirinya
sendiri "Mereka yang membawamu ke sini. Mutiara," Eyang Jatibaya memberi tahu.
Laki laki tua berjubah putih itu menunjuk dua orang yang berdiri dekat jendela.
-Seorang pemuda berwajah tampan dan seorang gadis yang cantik sekali. Mutiara
memandangi kedua orang yang ditunjuk Eyang Jatibaya tadi, yang membawanya
kembali ke Padepokan Gunung Gading ini.
"Terima kasih," ucap Mutiara seraya memberi senyum, meskipun lemah sekali
"Kau istirahat dulu, Mutiara. Aku ada perlu," ujar Eyang Jatibaya seraya menepuk
lembut pipi gadis itu Mutiara hanya mengangguk saja. Eyang Jatibaya kemudian
melangkah keluar, seraya mengerdipkan matanya pada dua orang yang berdiri
membelakangi jendela. Kedua anak muda itu mengikuti. Gadis yang mengenakan baju
biru muda, memberi senyum manis pada Mutiara sebelum keluar dari kamar ini.
Bahkan sempat menepuk punggung tangan Mutiara yang terbaring lemah di
ranjangnya. Eyang Jatibaya terus berjalan menuju sebuah
ruangan yang sangat besar. Tampak senjata berbagai bentuk berjajar rapi di
sekeliling ruangan itu. Kemudian laki laki tua Itu duduk di tengah tengah - -ruangan, beralaskan selembar tikar. Sementara kedua anak muda yang mengikutinya
juga ikut duduk bersama di depannya.
"Aku berterima kasih sekali, karena kalian telah menyelamatkan cucuku," ucap
Eyang Jatibaya.
"Hanya kebetulan lewat saja. Eyang," sahut pemuda tampan yang duduk tepat di
depan Eyang Jatibaya,
"Hm, ya.... Sejak tadi aku belum tahu nama kalian berdua," ujar Eyang Jatibaya
baru teringat kalau belum mengetahui dua orang anak muda yang telah
menyelamatkan Mutiara.
"Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi," pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu
memperkenalkan diri, juga memperkenalkan gadis yang duduk di sebelahnya.
Mereka memang Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti
dan Pandan Wangi.
Gadis berbaju biru muda Itu juga berjuluk si Kipas Maut, karena senjata yang
sering digunakan berbentuk klpas yang terbuat dari logam berwarna keperakan yang
sangat kuat. "Sebenarnya kami tidak tahu akan dibawa ke mana gadis itu, untung ada seseorang
yang lewat dan mengenalinya," jelas Rangga.
"Ya. Anak muda itu salah satu muridku," sahut Eyang Jatibaya. Kebetulan, dia
memang akan kembali ke sini setelah menemui orang tuanya."
"Maaf, Eyang. Kenapa Mutiara sampai bisa begitu?"
selak Pandan Wangi, bertanya.
Eyang Jatibaya tidak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam dalam dan
-dlhembuskannya kuat kuat Sepertinya laki laki tua yang mengenakan jubah putih
- -itu, terasa berat untuk mengatakannya.
"Sebenarnya Mutiara tidak sendirian. Dia berdua dengan kakaknya. Mereka sedang
menjalankan tugas khusus dariku...," jelas Eyang Jatibaya setelah cukup lama
terdiam merenung.
"Boleh kami tahu, Eyang?" pinta Rangga, sopan.
"Sebenarnya..."
"Jika ini rahasia, sebaiknya tidak perlu diceritakan.
Eyang," potong Rangga cepat.
Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan adanya nada keberatan untuk mengatakan
hal yang sebenarnya pada laki laki tua ini. Dan lagi, Rangga memang tidak ingin
-tahu benar. Bahkan
Pendekar Rajawali Sakti 48 Genta Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langsung memendam keingintahuannya. Tapi tidak demikian dengan Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu
malah jadi penasaran melihat slkap Eyang Jatibaya yang kelihatannya menyimpan
sesuatu yang sangat berat untuk dikatakan.
"Katakan, Eyang. Kalau ada kesulitan, mungkin kami bisa membantu
menyelesaikannya," ujar Pandan Wangi agak mendesak.
"Maaf. Bukannya aku tidak percaya dan akan melupakan begitu saja jasa balk
kalian. Tapi.... rasanya aku belum siap menceritakannya pada kalian berdua.
Sekali lagi, aku mohon maaf." ujar Eyang Jatibaya dengan nada suara yang sopan
sekali. "Sama sekali kami tidak mendesak. Mungkin terlalu pribadi sifatnya. Maaf kalau
pertanyaan kami berdua telah membuat beban pikiranmu, Eyang," ucap Rangga,
lembut dan halus sekali suaranya.
"Terima kasih jika kalian bisa memahami." ucap Eyang Jatibaya.
Ada sedikit kelonggaran di dada Eyang Jatibaya setelah mendengar pernyataan
Pendekar Rajawali Sakti.
Dan pemuda berbaju rompi putih itu memang tidak ingin mengetahui lebih banyak
lagi, meskipun tahu kalau Pandan Wangi tidak puas. Rangga yang sudah paham betul
pada sifat sifat Pandan Wangi, segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya-lagi.
Sedangkan Eyang Jatibaya tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi. Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut diantarkan sampai ke depan pintu bangunan utama
Padepokan Gunung Gading ini.
Bagi Pandan Wangi sendiri, hatinya terus bertanya-tanya tentang tugas yang
diberikan Eyang Jatibaya pada dua orang muridnya. Memang sebuah tugas berat, dan
mengandung bahaya tinggi. Menyelidiki sebuah gerombolan yang selalu menculik
gadis gadis pendekar.
-Eyang Jatibaya sendiri sebenarnya malu mengatakannya pada Pendekar Rajawali
Sakti dan Kipas Maut, karena muridnya ikut jadi korban. Biar bagaimana pun,
Eyang Jatibaya harus menjaga nama balk padepokannya.
*** 2 Pandan Wangi menghentikan lari kudanya begitu telah jauh menlnggalkan Padepokan
Gunung Gading. Dan mereka memang masih berada di sekitar Lereng Gunung Gading.
Melihat Pandan Wangi menghentikan kudanya, Rangga pun mengikuti Pendekar
Rajawali Sakti memandangi Pandan Wangi yang memutar kudanya, kembali menghadap
ke Padepokan Gunung Gading
"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga.
"Entahlah.... Rasanya ada yang janggal." sahut Pandan Wangi agak mendesah.
"Apanya yang janggal?" tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi tidak menyahuti, tapi malah melompat turun dari punggung kudanya.
Gadis itu melangkah dua tindak ke depan. Matanya lurus, menatap langsung ke
Puncak Gunung Gading ini. Sementara Rangga masih berada di punggung kudanya,
namun tak lama kemudian, turun juga. Dihampirinya Pandan Wangi yang berdiri
mematung memandang ke Puncak Gunung Gading ini
"Kau melihat kejanggalan pada sikap Eyang Jatibaya.
Pandan...?" tebak Rangga.
Pandan Wangi tetap tidak menyahuti, dan malah berpaling ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Kemudian kembali pandangannya tertuju ke Puncak Gunung Gading
ini. Dugaan Rangga barusan, memang tepat sekali. Pandan Wangi memang merasakan
kalau sikap Eyang Jatibaya sangat janggal. Jelas sekali kalau ada
sesuatu yang ditutupi. Dan ini berhubungan dengan keadaan Mutiara yang mereka
temukan dalam keadaan hampir mati kehausan.
"Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan, Kakang," kata Pandan Wangi pelan.
"Semua yang ada di alam ini punya rahasia tersendiri, Pandan. Tidak ada yang
aneh kalau Eyang Jatibaya mempunyai rahasia yang harus disimpan rapi."
kilah Rangga. "Aku tahu, Kakang. Tapi ..." suara Pandan Wangi ter-putus.
Saat itu terdengar suara genta yang berdentang keras memekakkan telinga. Suara
genta itu demikian jelas, seakan akan berada dekat sekali dengan telinga.-Saat itu Rangga dan Pandan Wangi merasa aliran darahnya seperti tersumbat. dan
debaran jantungnya lebih keras dari biasanya
Mereka langsung menyadari kalau suara genta itu mengandung suatu kekuatan
dahsyat Rangga dan Pandan Wangi segera mengerahkan hawa murni untuk menormalkan
kembali aliran jalan darah. Kemudian pendengaran mereka ditutup sedikit.
sehingga suara genta itu tidak lagi menyakitkan.
Namun kekuatan suara genta Itu terasa semakin dahsyat saja, sehingga kedua
pendekar muda itu harus mengerahkan tenaga dalam untuk menangkalnya.
Tampak tubuh Pandan Wangi bergetar. Keringat sebesar butiran jagung, menitik
deras di seluruh tubuhnya
"Akh..." Pandan Wangi tiba tiba saja memekik keras agak tertahan.
-Tampak dari lubang hidung dan sudut bibirnya keluar
darah segar. Sementara itu Rangga belum bisa berbuat sesuatu untuk menolong
Pandan Wangi. Dirinya sendiri sibuk menahan gempuran suara genta yang semakin
dahsyat kekuatannya. Namun melihat kekasihnya semakin kewalahan, Pendekar
Rajawali Sakti tidak mungkin membiarkan begitu saja.
"Hup...!"
Cepat Rangga melompat ke depan Pandan Wangi.
Dan seketika itu juga tangannya direntangkan ke samping. Kedua tangan Pendekar
Rajawali Sakti bergetar, bergerak ke atas dan ke bawah. Kemudian dengan cepat
sekali kedua tangannya dikatupkan di depan dada. sehingga sepasang teiapaknya
menempel di depan dada yang terbuka bidang.
"Berlindung di belakangku, Pandan...!" seru Rangga keras.
Pandan Wangi berusaha mendekati tubuh Pendekar Rajawali Sakti dengan susah
payah. Dan begitu sampai di dekat punggungnya, seketika itu juga pemuda berbaju
rompi putih Itu berteriak keras sekali.
Bersamaan dengan teriakannya, Rangga menepukkan kedua telapak tangannya.
Plak! Begitu tangan Rangga beradu di atas kepalanya.
Seketika itu juga keluar secercah cahaya kilat disertai teriakan dahsyat yang
memekakkan telinga. Akibatnya suara genta itu berhenti seketika.
Perlahan lahan Rangga menurunkan kedua tangannya. Keadaan seketika berubah -sunyi. Tak terdengar sedikit pun suara, kecuali desir angin saja yang mengganggu
gendang telinga. Rangga mengedarkan
pandangannya berkeliling. Namun sama sekali tidak terlihat sesuatu yang
mencurigakan. Rangga memalingkan kepala menatap Pandan Wangi. Tampak si Kipas
Maut tengah sibuk membersihkan darah yang keluar dari mulut dan hidungnya.
"Kau tidak apa apa, Pandan?" tanya Rangga.
-"Dadaku sedikit sesak," sahut Pandan Wangi.
Memang aneh dan dahsyat sekali suara genta itu.
Bukan telinga yang diincar, tapi justru bagian dalam tubuh yang menjadi
sasarannya. Hal ini sangat dirasakan Pendekar Rajawali Sakti yang saat itu
darahnya jadi tidak beraturan, dan jantungnya berdetak lebih keras lagi.
"Hati hatilah. Pandan. Barangkali masih ada serang..."
-Belum juga habis Rangga berbicara, mendadak saja dari arah samping kanan mereka
meluncur secercah cahaya merah kebiru biruan. Sinar merah itu seperti tertuju
-pada Pandan Wangi.
"Pandan, awasss. .!" teriak Rangga keras.
"Ufts...!"
*** Cepat cepat Pandan Wangi melompat ke samping, maka sinar merah kebiruan itu -lewat sedikit di samping tubuhnya. Suatu ledakan keras terdengar ketika sinar
merah kebiruan itu menghantam sebatang pohon hingga hancur berkeping keping.
-Pandan Wangi agak terkesiap juga ketika melihat pohon itu hancur jadi debu. Bisa
dibayangkan, jika sinar itu tadi mengenai
tubuhnya. Dan sebelum Pandan Wangi bisa menarik nafas lega, kembali seberkas sinar merah
kebiru biruan melesat ke arahnya. Tapi kali ini Rangga sudah cepat bertindak.
-Dilemparkannya batu sebesar kepalan tangan ke arah sinar itu. Kembali sebuah
ledakan keras terdengar begitu batu yang dilemparkan Rangga hantam sinar merah
kebiruan itu. "Hap...!"
Pandan Wangi segera melompat ke dekat Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi tak terlihat seorang pun di sekitar
tempat ini. Dan pada saat Rangga memutar kepalan ke arah kanan, mendadak
saja.... Slap! "Heps!"
Rangga cepat mendorong tubuh Pandan Wangi ke samping. Dan seketika itu juga
tangannya dihentakkan begitu sebuah bayangan keperakan berkelebat cepat
menyambar ke arahnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut, karena
bayangan keperakan itu tiba-tiba saja melenting ke atas. Maka hentakan tangannya
hanya menyambar angin saja.
Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja
bayangan keperakan sudah kembali meluncur cepat. Bergegas Rangga memutar
tubuhnya, talu secepat itu pula melompat ke atas. Langsung dikirimnya dua
pukulan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Des! "Akh...!" mendadak Rangga terpekik begitu merasa satu pukulannya membentur benda
keras. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak
saja dadanya terasa terhantam sesuatu dengan keras sekali. Untuk kedua kalinya
Rangga memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar deras ke bawah. Dua kali
Rangga memutar tubuhnya, dan dengan manis mendarat di tanah berumput
"Ughk...!" Rangga mengeluh, merasakan sesak pada rongga dadanya.
Pada saat itu, bayangan keperakan sudah kembali berkelebat cepat ke arah Pandan
Wangi. Sementara Rangga masih berusaha untuk menghilangkan rasa sesak yang
melanda dadanya.
Wus! Degkh! "Akh...!"
Pandan Wangi yang tidak menyangka akan
mendapat serangan begitu cepat dan mendadak sekali itu, tak mampu lagi
menghindar. Sebuah sambaran tangan telah mendarat di bahunya. Tubuhnya
terhuyung huyung ke depan. Dan sebelum menyadari apa yang terjadi, tahu tahu - -sebongkah batu yang cukup besar, melanda tubuhnya. Tubuh si Kipas Maut itu terlempar deras ke belakang. Hanya sedikit Pandan Wangi masih mampu menggerakkan
tubuhnya, karena pada saat berikutnya bayangan keperakan itu sudah kembali
berkelebat menyambarnya dengan kecepatan kilat.
"Kakang..!"
Pandan Wangi masih mampu berteriak keras. Dan sekejap saja sudah lenyap disambar
bayangan ke -perakan. Rangga yang baru saja bisa menghilangkan rasa sesak di dadanya,
terperanjat bukan main.
"Pandan..." sentak Rangga.
Namun Pendekar Rajawali Sakti jadi terbengong.
Karena begitu teriakan Pandan Wangi terdengar, saat itu juga tubuh gadis itu
sudah lenyap, bersamaan dengan lenyapnya bayangan keperakan. Dan Rangga tidak
sempat lagi melihat, ke mana arahnya.
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi tempat ini sudah sunyi
sekali. Tak terlihat ada seorang pun. Sepertinya tidak pernah terjadi sesuatu di
Lereng Gunung Gading Ini. Begitu cepatnya peristiwa itu berlangsung, membuat
Rangga masih belum bisa menyadari kalau Pandan Wangi lenyap bersama bayangan
keperakan tadi.
"Oh.... Ke mana Pandan Wangi dibawanya...?" keluh Rangga dalam hati.
Meskipun tadi Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi sudah bersiaga penuh,
namun gerakan bayangan keperakan itu tadi sungguh luar biasa cepatnya. Bahkan
Rangga sendiri sampai tidak bisa melihat bentuk bayangannya. Hingga beberapa
kali terpana, meng-akibatkan satu pukulan telak di dada Pendekar Rajawali Sakti.
Untung saja pukulan itu tidak mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga Rangga tidak menderita luka yang
berarti. Dengan sedikit pengerahan hawa murni, rasa nyeri dan sesak yang melanda
rongga dadanya bisa dihilangkan. Namun pada saat yang sebentar itu, bayangan
keperakan itu sudah cepat bertindak, dan membawa Pandan Wangi sebelum ada
yang sempat menyadari.
"Hm.... Orang itu pasti memiliki tingkat kepandaian yang tinggi sekali." gumam
Rangga pelan. Pendekar Rajawali Sakti menarik napas dalam dalam beberapa kali, mencoba -menenangkan diri agar bisa melakukan sesuatu tanpa dipengaruhi hawa amarah.
Dihampirinya kuda hitam yang bernama Dewa Bayu di bawah pohon bersama kuda putih
milik Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti menepuk nepuk leher kuda hitam itu beberapa kali.
-"Dewa Bayu. Kau jaga si Putih. Aku akan memanggil kalian jika sudah bertemu
Pandan Wangi," kata Rangga pada kuda hitam itu.
Seperti bisa mengerti saja, kuda hitam itu meringkik keras dan mengangguk
-anggukkan kepalanya. Rangga kembali menepuk nepuk leher kuda itu.
-"Sebaiknya kau kembali saja ke Karang Setra, Dewa Bayu. Yang penting kau jangan
sampai mendapat kesulitan oleh orang orang yang menginginkanmu,"
-kata Rangga lagi.
Kembali kuda itu menyahuti dengan ringkikan keras dan anggukan kepala beberapa
kali. Kemudian dihampirinya kuda putih tunggangan Pandan Wangi. Tak berapa lama
kemudian, kedua ekor kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya. Seakan-akan, mereka mengucapkan selamat tinggal pada Pendekar Rajawali
Sakti. Kemudian kedua kuda Hu berlari cepat menuruni lereng gunung ini.
Rangga memperhatikan dua ekor kuda yang terus berlari kencang menuruni lereng
gunung ini, kemudian berbelok ke arah Selatan menuju Karang Setra.
Pendekar Rajawali Sakti baru mengalihkan perhatian setelah kedua kuda itu sudah
lenyap dari pandangan.
*** Rangga menghempaskan tubuhnya di atas rerumputan yang dinaungi sebatang pohon rindang.
Sudah seharian mencari Pandan Wangi di sekitar Lereng Gunung Gading ini, tapi
tanda tandanya pun tidak pernah ditemukan. Sementara senja sudah demikian larut,
-Matahari hampir tenggelam dalam peraduannya.
Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Tak berapa lama lagi, seluruh permukaan
Gunung Gading ini akan terselimuti kegelapan.
Sesaat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti tertegun ketika telinganya mendengar
alunan suara lembut dan merdu, mendendangkan irama lagu. Suara merdu itu
demikian jelas terdengar, menyelusup terbawa angin di antara pohon pohon dan
-bebatuan. Begitu lembut dan merdunya, membuat hati Pendekar Rajawali Sakti
tergugah untuk mengetahui pemilik suara itu.
"Hm...."
Rangga bangkit berdiri. Perlahan lahan kakinya terayun setelah dapat memastikan -arah sumber suara itu. Semakin dekat dengan sumber suara itu, semakin terdengar
jelas. Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika melihat seorang gadis
yang keadaan tubuhnya polos, duduk di atas batu di tepi sebuah danau kecil.
"Ohhh..." Rangga mendesah kagum.
Sungguh tidak disangka kalau di sekitar Lereng
Gunung Gading ini terdapat danau kecil yang indah.
Airnya jernih kebiruan dan berkilatan indah bagai bertaburkan batu batu permata.
-Untuk beberapa saat Pendekar
Rajawali Sakti tertegun menyaksikan
keindahan alam di sekitarnya ini. Rasanya, seperti berada di dalam sebuah taman
yang tertata dan terawat rapi oleh tangan tangan ahli.
-"Hei..!" gadis itu membentak begitu melihat ada orang di dekat danau ini.
Langsung diraihnya kain yang tergolek di sebelahnya.
"Oh!" Rangga tersentak kaget ketika tiba terdengar bentakan keras, tepat saat
alunan merdu itu berhenti Pandangan Pendekar Rajawali Sakti langsung beralih
pada gadis yang hanya mengenakan selembar kain penutup tubuhnya. Bukan hanya
Rangga yang terkejut.
Gadis itu pun terkejut begitu menyadari ada seorang laki laki berada di tempat
-ini. Bergegas dia turun dari atas batu dan menyembunyikan tubuhnya balik batu
yang cukup besar. Hanya bagian leher kepalanya saja terlihat menyembul. Walaupun
sudah menyembunyikan diri di balik batu, wanita itu masih juga menutupi tubuhnya
dengan kain, agar tak terlihat.
"Siapa kau"! Mau apa datang ke sini.."!" sentak gadis itu.
"Aku.... aku Rangga. Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu terkejut. Apalagi
mengganggumu," sahut Rangga sedikit tergagap.
Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti. Jadi tergagap. Dan hatinya mendadak saja
jadi tidak menentu.
Wajahnya memerah melihat wajah cantik yang menyembul dari balik batu. Dia
seperti melihat dewi
Pendekar Rajawali Sakti 48 Genta Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang turun mandi di telaga mayapada.
Gadis itu memang cantik sekali. Kulitnya bersih tanpa cacat sedikit pun juga.
Bibir merahnya yang tipis dan mungil, begitu indah dipandang mata. Sepasang bola
matanya bulat bening bagai bertaburan jutaan bintang yang berkedip, menambah
daya pesona kecantikannya.
Rangga benar benar terpana menyaksikan sebentuk tubuh berwajah cantik dan indah
-itu "Hei...! Kenapa menatapku begitu?" bentak gadis itu merasa tidak suka dipandangi
sedemikian rupa.
"Oh! Maaf..., maaf...," ucap Rangga tergagap. Buru-buru mukanya dipalingkan ke
arah lain. "Kenapa kau berada di sini?" terdengar lagi suara gadis itu.
Kali ini suaranya terdengar lebih lembut, dan tidak putus seperti tadi. Bahkan
terdengar dekat sekali.
Rangga kembali berpaling dan langsung terbeliak manakala gadis itu sudah berada
di dekatnya. Kini dia mengenakan baju warna merah muda yang ketat dan agak
tipis, sehingga membentuk lekuk lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Untuk -beberapa saat, kembali Pendekar Rajawali Sakti terpana. namun cepat menguasal
diri. "Ditanya malah bengong..!" sentak gadis itu lagi.
"Oh! Eh.... maaf. Aku tidak sengaja berada di sini.
Aku... aku kesasar, dan akan mencari jalan keluar dari hutan ini. Aku mendengar
suara nyanyianmu, sehingga ke sini," Rangga mencoba menjelaskan. meskipun tidak
seluruhnya benar.
"Hm..., siapa namamu tadi?" tanya gadis itu, setengah bergumam suaranya.
"Rangga," sahut Rangga menyebutkan namanya.
"Rangga...," gumam gadis itu, mengulangi.
Gadis berwajah sangat cantik ini mengamati Rangga dari ujung kepala hingga ke
ujung kaki. Matanya yang bulat dan bening bercahaya itu tidak berkedip merayapi
pemuda berbaju rompi putih di depannya. Hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti
merasa jengah juga.
Rupanya memang tidak enak jika dipandangi dengan sinar mata penuh selidik
seperti itu. Atau bahkan mungkin juga menilai, seperti menilai sebuah arca
porselen yang cantik dan mulus.
"Dari mana asalmu?" tanya gadis itu lagi.
"Desa Pasir Batang." sahut Rangga seenaknya saja.
Jawabannya memang asal saja, dan apa yang ada di kepalanya saat itu. Dan
tampaknya jawaban Rangga yang seenaknya, dipercayai gadis itu. Rangga menyebut
nama desa itu, karena memang pernah ke sana dan letaknya sangat jauh dari sini.
Bisa makan waktu lebih dari tiga purnama untuk sampai ke sana dengan berkuda.
Dan gadis cantik berbaju merah muda itu tidak tahu kalau Rangga asal menjawab
saja. "Di mana Desa Pasir Batang itu?" tanya gadis itu lagi.
"Di wilayah wetan," sahut Rangga.
"Lalu, apa tujuanmu datang ke sini?"
"Hanya mencari pengalaman saja," lagi lagi Rangga menjawab asal saja yang
-terlintas dl benaknya.
"Hm..., Jadi kau pengembara?"
Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja Dan tanpa berkata apa apa lagi, gadis -berbaju merah muda Itu membalikkan tubuhnya. Lalu, kakinya melangkah pergi
dengan ayunan kaki gemulai. Sesaat Rangga jadi
terpana menyaksikan ayunan langkah yang begitu halus dan sedap dipandang mata.
"Hei..! Boleh aku tahu namamu?" seru Rangga begitu tersadar kalau gadis Itu
belum memperkenalkan dirinya.
Namun Rangga tidak memperoleh jawaban sama sekali. Dan gadis itu terus saja
berjalan semakin jauh, lalu lenyap ditelan lebatnya pepohonan di sekitar danau
kecil ini. Beberapa saat Rangga masih berdiri mematung memandangi ke arah
kepergian gadis Itu. Sambil mengangkat bahunya sedikit, Pendekar Rajawali Sakti
kembali mengayunkan kakinya berjalan. Dan tanpa disadari, arah yang dituju
justru sama dengan arah yang dilalui gadis itu tadi.
*** 3 Saat itu senja sudah berganti malam. Matahari yang sepanjang siang hari
memancarkan sinarnya yang terik, kini digantikan cahaya bulan yang lembut. Udara
pun mulai terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Namun dinginnya udara disertai
hembusan angin kencang, tidak membuat seorang gadis bergerak dari duduknya di
sebuah tangga beranda bangunan besar yang dikelilingi pagar dari gelondongan
kayu yang tinggi. Gadis yang mengenakan baju warna kuning gading itu adalah
Mutiara, yang baru saja bisa bangkit dari pembaringan.
Pandangan gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu tidak berkedip ke satu
arah. Pikirannya menerawang jauh ke satu tempat Di situ dia mengalami sesuatu
yang mengerikan, dan hampir membuatnya lenyap dari muka bumi ini.
"Mutiara...."
"Oh...!" Mutiara tersentak kaget ketika tiba tiba terdengar teguran yang
-menyebut namanya dari arah belakang
Gadis itu memutar kepalanya sedikit, kemudian menggeser
duduknya begitu mengetahui yang menegurnya adalah Eyang Jatibaya. Dan laki laki tua berjubah putih yang masih
- kelihatan gagah itu duduk di samping Mutiara. Sedangkan Mutiara sudah kembali
mengarahkan pandangannya ke depan.
"Kau teringat pada Nila Komala...?" tegur Eyang Jatibaya lagi, lembut.
"Hhh...," Mutiara hanya menghembuskan napasnya saja.
"Nila Komala muidku yang terbaik. Aku juga menyesali nasibnya yang malang," ujar
Eyang Jatibaya perlahan.
Lagi lagi Mutiara hanya menghembuskan napas saja.-Sepertinya semua kata kata yang diucapkan laki laki tua itu tidak
- -didengarkannya. Pikirannya sedang meng-awang jauh, menembus cakrawala yang tak
bertepi "Eyang..," ujar Mutiara tiba tiba setelah lama terdiam diri, membisu.
-"Ada apa, Mutiara?" lembut sekali suara Eyang Jatibaya.
"Boleh aku meminta sesuatu...?" pelan dan terdengar ragu ragu nada suara
-Mutiara. "Katakan saja. Mutiara," sahut Eyang Jatibaya seraya tersenyum.
Sebentar Mutiara menarik napas dalam dalam, kemudian menghembuskannya kuat kuat.
- -Sesaat, dipandangnya laki laki tua yang duduk di sampingnya, kemudian
-pandangannya kembali tertuju lurus ke depan. Sementara Eyang Jatibaya masih
menunggu dengan benak terus menduga duga, apa yang akan diminta gadis ini.
-"Kak Nila telah mengorbankan diri untuk
menyelamatkan diriku. Terlalu besar beban yang ku-tanggung jika dia sampai
meninggal. Eyang," ujar Mutiara, suaranya pelan dan terasa berat sekali.
Eyang Jatibaya masih terdiam menunggu kelanjutannya.
"Aku akan merasa menyesal seumur hidup jika terus
berdiam diri di sini, Eyang," sambung Mutiara.
"Apa maksudmu. Mutiara?" tanya Eyang Jatibaya semakin keras menduga.
"Jika Eyang mengizinkan, aku akan mencari Kak Nila."
Eyang Jatibaya tersentak kaget mendengar per-mintaan gadis ini. Laki laki tua
itu memang sudah menduga demikian. Tapi sungguh tidak disangka kalau Mutiara
akan mengajukannya secepat ini. Baru sore tadi dia bisa turun dari
pembaringannya, dan sekarang minta ijin mencari Niia Komala yang sudah
menyelamatkan jiwanya dengan mengorbankan diri sendiri.
Eyang Jatibaya memandangi gadis dl sampingnya dalam dalam, seakan akan ingin
- -mencari kesungguhan di mata gadis itu. Namun keningnya semakin berkerut dalam
saat menemukan kesungguhan di dalam sinar mata Mutiara yang redup.
"Eyang akan menyiksaku seumur hidup jika aku tidak diijinkan mencari Kak Nila,"
desak Mutiara "Ke mana kau akan mencarinya, Mutiara?" tanya Eyang Jatibaya setelah
menghembuskan napas panjang.
"Ke tempat semula," sahut Mutiara "Daerah itu sangat berbahaya. Mutiara. Kau
tidak bisa pergi sendiri ke sana. Aku tidak ingin kehilangan muridku lagi,"
pelan sekali nada suara Eyang Jatibaya.
"Seperti harapanmu, Eyang. Aku Juga berharap Kak Nila masih hidup. Kalaupun
sudah mati, aku ingin melihat jasadnya dan menguburkannya secara layak,"
Mutiara dengan nada memohon.
Untuk kesekian kalinya Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang. Perlahan dia
bangkit berdri dan melangkah. menuruni undakan beranda depan bangunan utama padepokannya ini.
Laki laki tua itu berhenti setelah berada dl ujung undakan. Pandangannya lurus -ke depan. Terlalu berat baginya untuk melepaskan Mutiara kembali ke daerah yang
sudah mati tanpa kehidupan lagi itu.
Eyang Jatibaya sudah mencoba mengutus dua muridnya ke daerah itu. Dan hasilnya,
sungguh menyakitkan sekali. Satu murid kesayangannya kini tak ketahuan bagaimana
nasibnya. Beberapa kali Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang dan berat
sekali. Perlahan kemudan tubuhnya diputar. Langsung ditatapnya Mutiara yang masih duduk
memandang tanpa berkedip ke arah laki laki tua berjubah putih itu.
-"Beri aku kesempatan Eyang. Mudah mudahan
-Hyang Widi selalu melindungiku dan Kak Nila," ujar Mutiara memohon.
Kembali Eyang Jatibaya menghembuskan napas
panjang dan berat. Kemudian kakinya terayun kembali menaiki undakan beranda
depan yang berjumlah tujuh buah. Sebentar dia berhenti di samping Mutiara,
kemudian kembali melangkah masuk ke dalam
bangunan besar itu.
"Eyang...!" panggil Mutiara ingin jawaban laki laki tua itu.
-Mutiara bangkit berdiri dan mengejar Eyang Jatibaya yang terus saja melangkah
masuk ke dalam. Dan gadis itu terus mengikuti sambil mendesak agar diizinkan
mencari Nila Komala yang sampai saat ini tidak ketahuan bagaimana nasibnya.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan
suasana di sekitar Padepokan Gunung Gading itu tampak sunyi senyap, tanpa
terdengar satu suara sedikit pun. Hanya desiran angin saja yang terdengar berhembus mempermainkan dedaunan. Udara malam ini begitu dingin. Maka mereka yang
menghuni padepokan itu lebih senang menghangatkan diri dalam kamar, kecuali yang
malam ini terpaksa harus berjaga.
*** Pagi pagi sekali, di saat matahari belum menampak- -kan diri, terlihat seekor kuda coklat berlari kencang keluar dari Padepokan
Gunung Gading yang berada dl Puncak Gunung Gading. Kuda itu dipacu cepat oleh
penunggangnya yang ternyata seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun.
Gadis itu mengenakan baju warna kuning Gading dengan sebuah pedang tersampir di
pinggangnya. Sementara itu, tak ada seorang penghuni padepokan pun yang
mengetahui. Mereka masih terlelap dalam buaian mimpi. dalam selimut udara yang
dingin. "Hiya! Hiyaaa...!"
Gadis itu terus menggebah cepat kudanya, semakin jauh meninggalkan padepokan.
Tubuhnya terguncang-guncang mengikuti irama langkah kaki kuda yang dipacu cepat.
Namun belum juga jauh meninggalkan
padepokan itu, mendadak saja....
"Hooop...!"
Gadis itu tiba tiba sekali menghentikan kudanya.
-Sepasang bola matanya sedikit terbeliak, lalu bergegas melompat turun dari
punggung kuda. Langsung dijatuh
-kan dirinya, begitu merasa pasti kalau laki laki tua yang berdiri menghadangnya
-itu adalah Eyang Jatibaya. Gads itu berlutut seperti memohon ampun.
"Bangun, Mutiara," agak dingin nada suara Eyang Jatibaya.
"Maafkan aku, Eyang. Bukan maksudku untuk
menentangmu," ucap gadis berbaju kuning Gading yang ternyata memang Mutiara.
Gadis itu bangkit berdiri perlahan. Namun kepalanya tetap tertunduk, seakan akan
-tak sanggup menentang sorot mata laki laki tua berjubah putih itu. Sungguh tidak
-disangka kalau kepergiannya yang diam diam ini masih juga diketahui oleh
-gurunya, bahkan menghadangnya di luar bangunan padepokan di Puncak Gunung Gading
ini. "Maaf, Eyang," ucap Mutiara pelan. Begitu lirih sekali suaranya. Seakan akan
-disesali dirinya yang telah pergi diam diam tanpa berpamitan lebih.
-"Kau pikir aku diam saja karena tidak peduli terhadap nasib Nila Komala"! Tidak,
Mutiara! Aku sedang memikirkan cara yang terbaik, tanpa harus mengorbankan
banyak nyawa. Aku juga menyesal karena telah mengirim kalian ke sana," tegas
Eyang dengan suara yang dalam.
"Aku tidak berpikir begitu, Eyang," sahut Mutiara seraya mengangkat kepalanya.
"Lalu, kenapa pergi diam diam?"
-"Aku.... aku...," Mutiara tidak sanggup meneruskan.
Kembali gadis itu menundukkan kepalanya. Rasanya benar benar tidak sanggup lagi
-membalas tatap mata Eyang Jatibaya yang begitu tajam. Belum pernah
Mutiara melihat sinar mata gurunya begitu tajam berkilatan bagaikan hendak
membakar seluruh tubuhnya hingga hangus. Terbetik rasa penyesalan di hati gadis
itu. "Kau masih terlalu muda, Mutiara. Kau belum menyadari betapa berbahayanya
bertindak tanpa perhitungan matang. Kau harus bisa mengendalikan diri sendiri
lebih dahulu, sebelum terjun ke dalam dunia luar." kata Eyang Jatibaya mulai
pelan dan lembut suaranya.
Mutiara hanya bisa diam saja. Kepalanya tetap tertunduk, tak sanggup membalas
tatapan mata gurunya itu. Memang Eyang Jatibaya jarang sekali meluapkan
amarahnya. Kalaupun marah, paling hanya sebentar saja. Dan itu hanya ditunjukkan
dengan sikap. Laki laki tua ini begitu matang dalam memahami arti kehidupan, sehingga segala -tindakan dan ucapannya tak pernah meluncur begitu saja.
"Aku bukannya tidak mengijikanmu, Mutiara.
Kulihat, kau belum cukup mampu menghadapi
rintangan yang akan dilalui," kata Eyang Jatibaya lagi.
"Tapi, Eyang..," kembali Mutiara mengangkat kepalanya.
"Bisa kurasakan, apa yang kau rasakan sekarang ini, Mutiara. Tapi kau harus bisa
mengalahkan perasaan hati dengan pikiran tenang dan penuh pertimbangan matang.
Kau harus sadar, Mutiara. Kesalahan lama manusia adalah karena sering bertindak
dengan menuruti kata hati. Bukan dengan pemlkiran matang."
jelas Eyang Jatibaya lagi.
"Aku sudah memikirkannya, Eyang," mantap suara
Mutiara. "Tanpa dorongan kata hati?"
"Tidak," sahut Mutiara lebih mantap. "Aku tidak percaya kau bertindak dengan
pertimbangan dan pikiran yang matang, Mutiara."
"Eyang... Izinkan aku mencari Kak Nila. Apa pun yang akan terjadi, harus
kuhadapi. Eyang," Mutiara memohon dengan sangat
"Kembalilah, Mutiara. Belum saatnya kau berada di dunia luar. Kau belum siap
menghadapi segala macam cobaan yang tidak akan pernah terbayang sebelumnya."
lembut sekali suara Eyang Jatibaya membujuk gadis itu agar mengurungkan niatnya.
"Tidak, Eyang Sudah kuputuskan untuk mencari Kak Nila. Kalau pun harus
mendapatkan jasadnya saja aku sudah merasa puas," sahut Mutiara mantap.
Eyang Jatibaya menghembuskan napas panjang. Dia menyadari kalau tekad gadis ini
sudah benar benar bulat dan tidak bisa dirubah lagi. Mutiara memang keras dalam
-sikap dan tindakannya. Sekali memutuskan suatu, tidak akan pernah dicabut
kembali. Gadis akan tetap pada pendiriannya dengan segala yang bakal dihadapi.
Walaupun yang membujuk Eyang Jatibaya tapi tetap saja Mutiara kokoh pada
pendiriannya. Suatu sikap yang sebenarnya harus mendapatkan pujian. Namun hal
ini yang membuat Eyang Jatibaya khawatir Mutiara masih teralu muda. Dan kata
hatinya masih belum bisa dikalahkan oleh pikiran yang jernih dan matang. Hal ini
akan mencelakakan diri sendiri. Itulah sebabnya, mengapa Eyang Jatibaya tidak
pernah melepas Mutiara
sendirian jika berada diluar padepokan.
"Baiklah. Kau kuizinkan pergi, Mutiara," Eyang Jatibaya, akhirya menyerah juga.
"Oh! Terima kasih.... Terima kasih. Eyang." Mutiara gembira bisa mendapatkan
restu dari orang tua itu.
"Tapi kau tidak boieh pergi sendiri." kata Eyang Jatibaya lagi.
"Maksud, Eyang?"
"Aku akan meminta Barada untuk menemanimu."
"Tapi, Eyang," Mutiara ingin menolak.
"Jika menolak, maka aku tidak akan mengizinkan-mu," potong Eyang Jatibaya cepat.
Nada suaranya terdengar tegas sekali.
Mutiara langsung terdiam. dan tidak mungkin bisa menolak lagi. Menolak Barada,
berarti pupus harapan-nya untuk mencari Nila Komala. Padahal dia ingin sekali
melakukan pencarian itu seorang diri saja. Tapi Eyang Jatibaya sudah memutuskan.
tidak bisa ditolak lagi.
Mutiara akhirnya menerima juga, daripada gagal melaksanakan kainginannya. Dan
yang pasti, tidak akan mungkin bisa mendapat kesempatan dua kail meninggalkan
Padepokan Gunung Gading ini.
Pendekar Rajawali Sakti 48 Genta Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang kau kembali dulu, besok pagi baru berangkat. Kau perlu persiapan yang
cukup untuk menempuh perjalananmu," tegas Eyang Jatibaya.
"Baik, Eyang," sahut Mutiara.
Kali ini Mutiara tidak bisa lagi membantah. Restu Eyang Jatibaya sudah
didapatkan, dan tidak ingin ter-cabut kembali. Baginya sudah cukup untuk
mendapatkan restu daripada harus gagal meninggalkan Gunung Gadng ini.
*** Saat matahari baru menampakkan diri di balik cakrawala Timur, Mutiara sudah
berangkat meninggalkan Padepokan Gunung Gading. Kali ini gadis itu didampingi
seorang pemuda yang wajahnya tampan.
Bentuk tubuhnya tegap dan berotot. Bajunya berwarna biru tua dengan sebuah
pedang tersandang di punggungnya. Pemuda itulah yang dijanjikan Eyang Jatibaya
untuk mendampingi Mutiara dalam usahanya mencari Nila Komala.
Mereka berkuda dengan cepat sekali, melintasi jalan berdebu yang di kiri dan
kanannya ditumbuhl pepohonan subur. Sebenarnya Mutiara tidak menyenangi pemuda
ini. Padahal sikap pemuda itu lembut dan penyabar sekali dan merupakan satu-satunya murid Padepokan Gunung Gading yang memiliki tingkat kepandaian paling
tinggi. Tak ada seorang murid murid Padepokan Gunung Gading yang menandingi
-kepandaiannya. Baik dalam ilmu olah kanuragan maupun ilmu kesaktian. Dia sering
dipanggil dengan nama Barada.
"Kenapa kau diam saja. Mutiara?" tanya Barada membuka suara.
"Hhh...!" Mutiara hanya mendesah saja.
"Terus terang, Mutiara. Kau tidak suka aku mendampingimu, bukan...?" kata Barada
lagi. "Sudah tahu, kenapa tetap saja ikut?" dengus Mutiara ketus.
"Aku tidak bisa menolak, Mutiara. Kau kan tahu, bukan keinginanku untuk
mendampingimu. Tapi ini
perintah Eyang Jatibaya," Barada mencoba menjelaskan dengan sikap sabar
menghadapi keketusan gadis ini.
"Huh! Terus terang saja, kau juga senang, kan...?"
terdengar sinis nada suara Mutiara.
"Mungkin," sahut Barada seraya mengangkat bahunya.
"Huh!" dengus Mutiara.
Terus terang, Barada memang sudah lama menyukai gadis ini. Padahal sikap Mutiara
padanya selalu tidak mengenakkan. Dan setiap kali bicara, selalu ketus dan
siniis. Barada sendiri tidak mengerti. mengapa gadis lnl tidak pernah bersikap
manis padanya. Padahal dengan pemuda pemuda lain di Padepokan Gunung Gading,
-sikap Mutiara tidak seperti ini.
Barada memang tidak tahu, kalau sikap Mutiara selalu ketus padanya. Karena,
gadis itu tidak senang dengan sikap Barada yang menyukainya lebih dari saudara
seperguruan. Yang jelas, dia tidak ingin jatuh cinta pada saudara seperguruan,
dan selalu menganggap semuanya adalah saudara. Dan sikap Mutiara ini tidak
pernah disadari Barada, hingga tetap menginginkan Mutiara menjadi kekasihnya.
Ingin rasanya Barada mendengar suara renyah dan lembut saat Mutiara tertawa,
hanya untuknya. Bukan di depan teman teman lainnya. Dan gadis itu tidak akan
-pernah tertawa riang atau bergurau jika Barada ikut berkumpul bersama sama yang
-lainnya. Mutiara akan menjadi pendiam bila ada pemuda ini.
Sikap Mutiara yang tidak pernah menunjukkan per-sahabatan padanya, memang sudah
diketahui semua penghuni Padepokan Gunung Gading. Bahkan Eyang
Jatibaya sendiri mengetahuinya. Tapi laki laki tua itu tidak pernah suka ikut
-campur persoalan pribadi murid-muridnya, kecuali jika tidak diminta secara
khusus. "Sebaiknya kau kembali saja, Barada." kata Mutiara.
"Kau senang kalau aku dihukum, ya...?" dengus Barada sengit juga.
Memang sudah menjadi satu ketentuan yang tidak bisa dibantah lagi. Siapa saja
yang sengaja lari dari tugas, hukumannya adalah penggal kepala. Eyang Jatibaya
menganggap orang macam itu adalah peng-khianat dan pengecut yang tidak boleh
dibiarkan hidup.!
Sehingga tak ada seorang pun dari murid muridnya yang berani mengkhianatinya. -Mereka lebih baik mati dalam pertarungan daripada mati dipenggal. Mati dalam
pertarungan akan sangat dihargai. Penghargaan itu berupa sebuah arca batu yang
bertuliskan nama orang yang berhak, yang dibuat oleh Eyang Jatibaya bagi murid
-muridnya yang binasa dan mati dalam tugas.
"Kalau takut dipenggal, bunuh diri saja," Mutiara ketus.
"Bicaramu sudah melantur. Mutiara," desis Barada.
Meskipun hatinya mulai sedikit panas, namun Barada masih tetap berusaha
menyabarkan diri. Dia selalu ingat pesan gurunya, agar tidak memancing
persoalan. Apalagi sampai bentrok dengan gadis ini. Memang menghadapi Mutiara, Barada harus
lebih banyak bersabar.
"Tidak senang...?" Mutiara semakin sinis.
Barada diam saja. Dia tahu kalau gadis ini mulai memancing kemarahannya. Dan ini
yang harus dihindari sedapat mungkin. Meskipun hatinya kesal dan
darahnya terus bergolak medidih, namun entah kenapa, Barada tidak punya kekuatan
untuk marah. Sikap sabarnya yang sudah terkenal di Padepokan Gunung Gading,
semakin terlihat sabar di depan Mutiara.
Barada memang mengakui kalau menyukai gadis ini, meskipun perasaannya tidak
pernah ditunjukkan.
"Sudahlah, Mutiara.... Kalau kau tidak suka, sebaiknya diam saja. Tidak perlu
bicara padaku. Anggap saja kau berjalan sendiri dan aku janji tidak akan
nelakukan sesuatu. Hanya mendampingimu saja." kata Barada tidak ingin berlarut
-larut. "Bagus! Aku pegang janjimu, Barada." sambut Mutiara.
Pernyataan seperti itu memang sudah dinantikan sejak tadi. Gadis itu tidak ingin
Barada ikut campur dalam setiap persoalannya nanti. Apa pun yang akan terjadi,
harus dihadapinya sendiri. Meskipun disadari kalau tingkat kepandaian yang
dimilikinya masih jauh di bawah pemuda itu.
"Aku akan diam saja, meskipun kau mati, Mutiara,"
tegas Barada sengit.
"Ituu lebih bagus lagi," lagi lagi Mutiara menyambutnya dengan senyum.
-Namun itu hanya sebentar saja. Karena mendadak saja senyum dl bibir gadis itu
lenyap, dan wajahnya agak memucat. Buru buru Mutiara membuang mukanya.
-Untung saja Barada tidak sempat memperhatikan perubahan wajah gadis itu. Mereka
terus berkuda tanpa bicara lagi. Namun kini Mutiara mulai diliputi suatu
perasaan yang sukar dimengerti. Dia sendiri tidak tahu, kenapa tiba tiba saja -terselip perasaan takut saat
Barada memberi pernyataan terakhir tadi.
"Huh!" dengus Mutiara.
*** Mutiara menghentikan langkah kaki kudanya ketika melihat daerah gersang dan
tandus membentang di depannya. Matahari yang bersinar terik, begitu menyengat.
Membuat kulit terasa terbakar. Gadis itu menyeka keringat yang membanjiri
sekujur wajahnya yang memerah terbakar terik sang mentari. Sementara Barada yang
berada di belakangnya, hanya memandang ke sekeliling.
Perlahan Mutiara menggebah kudanya agar kembali berjalan. Kuda coklat ituu
melangkahkan kakinya memasuki daerah gersang, dengan pepohonan meranggas dan
rerumputan mengering layu. Sepanjang mata memandang hanya kegersangan yang
tampak. Tanah yang dilalui, membuat debu semakin menebal ter-hembus angin
"Apa kau tidak salah jalan, Mutiara?" tanya Barada.
"Tidak," sahut Mutiara singkat.
Sedkit pun gadis itu tidak berpaling . Memang selama dalam perjalanan, mereka
hanya sesekali saja bicara.
Dan biasanya Mutiara baru membuka mulut kalau ditanya. Itu pun dijawab singkat,
tanpa memandang orang yang bertanya padanya. Tidak pernah sekali pun Mutiara
mengeluarkan pertanyaan. Gadis itu benar-benar jadi pendiam kali ini. Sedangkan
Barada, tidak mau mengusik. Dibiarkan saja sikap Mutiara yang menunjukkan
permusuhan padanya.
"Tidak ada satu rumah pun di sini," kembali Barada berkata dengan suara setengah
bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Sedangkan Mutiara sama sekali tidak menanggapi, dan tetap diam saja sambil
mengendalikan kudanya agar tidak terlalu cepat berlari. Pengalamannya di tempat
ini tidak ingin terulang lagi. Segala sesuatu harus bisa diperhitungkan dengan
matang. Terutama per-sediaan air. Jangan sampai kehabisan seperti ketika datang
bersama Nila Komala.
"Dl mana Nila Komala hilang?" tanya Barada lagi.
"Masih jauh," sahut Mutiara enggan.
"Seberapa jauh?"
"Setengah hari lagi. Itu juga kalau kau tidak cerewet bertanya terus," kali ini
jawaban Mutiara ketus sekali.
Mendapat jawaban yang tidak mengenakkan itu, Barada langsung terdiam. Dia tidak
membuka suara lagi.
Sementara itu mereka sudah tiba dl daerah berbatu.
Tak ada satu pun tanaman yang hidup di sini. Bahkan seekor semut pun tidak
dijumpai. Daerah ini benar-benar gersang dan mati, tanpa ada tanda tanda -kehidupan sama sekali.
Mereka terus bergerak meskipun jalan yang dilalui semakin terasa sulit. Karena
jalan berbatu ini setiap saat bisa membuat kuda mereka tergelincir. Mereka hatihati sekali mengendalikan kuda.
"Hup!"
Mungkin merasa sukar atau mungkin Juga kasihan dengan kuda tunggangannya, Barada
melompat turun.
Kemudian kudanya hanya dituntun saja. Sedangkan Mutiara tetap berada dl punggung
kudanya sendiri.
Gadis itu tidak pernah berhenti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mutiara
menghentikan langkah kaki kudanya.
"Ada apa, Mutiara?" tanya Barada yang ikut berhenti berjalan.
Mutiara tidak menjawab. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan kening agak
berkerut. Kemudian gadis itu membelokkan kudanya ke kanan, dan terus melanjutkan
perjalanan lagi. Barada yang sengaja berjalan kaki, terus mengikuti tanpa
sedikit pun mengeluarkan keluhan. Beberapa kali kerlngat yang membasahi leher
disekanya dengan punggung tangan.
Barada merasakan wajahnya jadi tebal dan kaku sekali. Entah sudah berapa banyak
debu yang menempel bercampur keringat. Perjalanan ini memang melelahkan sekali.
Kalau bukan karena perintah langsung dari Eyang Jatibaya, pasti sudah sejak tadi
Barada meninggalkan tempat ini. Akan dicarinya jalan yang lebih enak lagi, tanpa
harus menyiksa diri.
*** 4 Mutiara kembali menghentjkan langkah kudanya, kemudian melompat turun.
Pandangannya lurus tak berkedip ke arah tanah berpasir di depannya. Perlahanlahan kakinya melangkah. Tidak jauh di depannya, terlihat sebuah perkampungan
yang tidak berpenghuni lagi. Di perkampungan itu, dia dan Nila Komala di-serang.
Dan di sana pula Nila Komala menghilang setelah terkena serangan.
Kembali Mutiara berhenti melangkah begitu sampai di perkampungan itu. Semua
rumah di sini sudah hancur berantakan. Tak ada lagi yang masih utuh. Kembali
gadis itu mengedarkan pandangannya berkeliling, kemudian menatap bangkai seekor
kuda yang tergeletak dekat batang kayu kering Seekor kuda milik Nila Komala.
"Awas...!" seru Barada tiba tiba.-Mendadak saja pemuda itu melompat cepat mendorong tubuh Mutiara. Tubuhnya
langsung melenting berputaran beberapa kali di udara. Seketika itu juga
terdengar ledakan keras menggelegar. Tampak sebuah rumah hancur berkeping
-keping. Dan begitu Barada menjejakkan kakinya, teriihat lagi seberkas cahaya
merah kebiru biruan kembali meluncur deras ke arah Mutiara.
-"Di kananmu, Mutiara...!" seru Barada mem
-peringatkan. "Hup!"
Mutiara langsung menarik tubuhnya ke belakang.
Maka sinar merah kebiruan itu lewat sedikit di depan dadanya. Sinar itu
menghantam sebatang pohon yang sudah mati, sehingga menlmbulkan ledakan keras
kembali. Suaranya keras menggelegar, memekakkan telinga.
"Houp!"
Barada melompat, dan langsung mendarat di
samping Mutiara. Hanya sedikit saja Mutiara melirik pemuda itu. Sebenarnya gadis
itu ingin berterima kasih, karena telah diperingatkan sehingga lolos dari maut.
Tapi hal itu tidak ingin ditunjukkannya. Entah kenapa, hanya dia sendiri yang
tahu. Dan Barada juga tidak mengharapkan ucapan terima kasih gadis itu. Hatinya
sudah cukup senang bisa menyelamatkan Mutiara dari serangan tadi.
"Kau melanggar janjimu sendiri, Barada...!" dengus Mutiara dengan suara agak
tertahan. "Maaf. Aku tidak bisa menahan diri," sahut Barada.
"Sebaiknya kau menyingkir. Aku tidak ingin kau ikut campur," tegas Mutiara.
Sebentar Barada memandangi gadis itu, kemudian melangkah mundur beberapa tindak.
Mutiara mendelik melihat Barada hanya menyingkir beberapa langkah saja. Kembali
Barada melangkah mundur menjauhi gadis itu, dan baru berhenti setelah jaraknya
sudah mencapai sekitar dua batang tombak
Cukup jauh memang. Tapi tidak terlalu jauh untuk cepat bisa menolong. jika
Mutiara terdesak. Sementara itu Mutiara berdiri tegak, menunggu datangnya
serangan lagi. Dan belum berapa lama menunggu, tiba
-tiba saja sebuah bayangan keperakan melesat cepat dari balik sebuah rumah yang
rusak berantakan.
"Hup! Yeaaah...!"
Mutiara langsung melompat menyongsong begitu terlihat sebuah bayangan keperakan
berkelebat ke arahnya. Gadis itu melontarkan beberapa pukulan beruntun, disertai
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Namun bayangan keperakan itu bergerak
cepat dan indah sekali menghindari terjangan Mutiara.
Bayangan keperakan itu melesat ke atas, melewati kepala Mutiara. Kemudian tiba-tiba sekali, dia meluruk deras ke belakang gadis itu. Satu gerakan cepat dan
tidak terduga sama sekali. Mutiara benar benar tidak sempat lagi menyadari.
-Dan.... Deghk! "Akh...!" Mutiara terpekik.
Gadis itu terdorong ke depan begitu punggungnya terkena satu hantaman keras.
Namun Mutiara cepat basa menguasai diri, dan segera memutar tubuhnya.
Tapi sebelum melakukan sesuatu yang berarti. Mendadak saja bayangan keperakan
itu sudah kembali berkelebat cepat menerjangnya. Kecepatannya luar biasa,
membuat Mutiara terperangah. Gadis Itu tidak sempat lagi berkelit.
Bughk! "Akh...!" untuk kedua kalinya Mutiara terpekik.
Kali Ini dadanya terasa seperti terkena hantaman keras. Dan tak ampun lagi,
Mutiara terjengkang keras sekali ke belakang. Gadis Itu menggeliat, merasakan
saklt di punggung dan dadanya. Begitu nyeri sekali, sampai sampai sukar untuk
-mengatur napas. Sepertinya
ada sesuatu yang mengganjal di dalam rongga dadanya.
Sebelum Mutiara bisa melakukan sesuatu, mendadak saja bayangan keperakan itu
sudah berkelebat lagi ke arahnya. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga tidak ada
lagi kesempatan bagi Mutiara untuk menghlndar.
Namun sebelum bayangan keperakan itu bisa menjamah tubuh Mutiara, mendadak saja
sebuah bayangan putih melesat cepat bagaikan kilat memotong arus gerakannya.
Plak! "Ughk!" terdengar keluhan pendek.
Tampak bayangan keperakan itu terpental balik, dan berputaran di udara. Kemudian
lewat suatu gerakan indah dan ringan sekali, kakinya mendarat di tanah berpasir.
Tampak kini satu ujud manusia yang mengenakan baju ketat berwarna keperakan yang
mengkilat. Tapi anehnya, seluruh tubuhnya terbungkus kain keperakan. Dari ujung kepala
hingga ujung kaki. Bahkan tak ada satu lubang pun di matanya. Bentuknya memang
tidak jauh berbeda dengan manusia. Dan lekuk tubuhnya begitu ramping dan indah,
bagai tubuh seorang wanita.
Dan tidak jauh di samping Mutiara, kini sudah berdiri seorang pemuda mengenakan
baju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung, bertengger dl
punggungnya. Mutiara mengenali pemuda yang pernah menolongnya itu, ketika dia
hampir mati kehausan.
"Rangga," desis Mutiara.
Pemuda berbaju rompi putih yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu mengulurkan
tangannya, yang langsung disambut Mutiara. Gadis itu bangkit berdiri,
namun langsung memegangi dadanya. Napasnya terasa sesak, dan terasa nyeri
sekali. Pukulan orang keperakan itu demikian keras, tapi rasanya tidak
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Hanya saja cukup membuat seluruh
tulang di tubuhnya seperti remuk.
*** Hanya sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti melirik Mutiara. Dan pada saat itu,
manusia bertubuh keperakan itu sudah melesat menerjangnya dengan cepat sekali.
Kedua tangannya bergerak cepat melontarkan beberapa pukulan. Seketika itu juga
Rangga mendorong tubuh Mutiara. Segera tubuhnya melenting ketika dari tangan
yang terkepal itu meluncur cahaya cahaya merah kebiruan.-Cahaya cahaya merah kebiruan itu menghantam tanah tempat Rangga dan Mutiara tadi
-berdiri. Tanah itu langsung terbongkar, menimbulkan suara keras menggelegar.
Pendekar Rajawali Sakti 48 Genta Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampak Rangga beberapa kali berputaran di udara, kemudian cepat meluruk ke arah
manusia keperakan itu. Langsung dilontarkan dua pukulan beruntun yang cepat ke
arah kepala. "Yeaaah...!"
Namun dengan sedikit gerakan saja, orang yang seluruh tubuhnya berwarna
keperakan itu berhasil menghindari pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali
Sakti. Dan pada saat pemuda berbaju rompi putih itu menjejakkan kakinya di
tanah, orang keperakan itu sudah memutar tubuhnya. Langsung diberikannya
serangan cepat dan beruntun.
Rangga manis sekali meliuk liukkan tubuhnya yang diimbangi gerakan kaki lincah
-dan cepat. Saat itu Rangga mengerahkan Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'
Pendekar Rajawali Sakti ingin melihat dulu, sampai dimana kemampuan manusia aneh
yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan itu. Sepertinya manusia aneh itu tidak
mengenakan baju. Karena warna keperakan yang menyelimuti seluruh tubuhnya, tidak
ada kerutan sama sekali.
Beberapa kali manusia aneh berwarna keperakan itu hampir berhasil menyarangkan
pukulannya ke tubuh Rangga. Namun dengan gerakan indah dan manis sekali,
Pendekar Rajawali Sakti bisa menghindari setiap serangan itu. Dan Jurus
'Sembilan Langkah Ajalb'
memang tangguh sekali. Sukar untuk dicari titik kelemahannya, karena jurus itu
bisa dikatakan hampir sempurna.
Menyadari setiap serangan selalu berakhir sia sia, manusia keperakan itu
-melompat mundur. Kedua tangannya tersilang di depan dada. Sedangkan Rangga tetap
berdiri tegak tanpa berkedip memandangi makhluk berbentuk aneh itu. Baru kali
ini Pendekar Rajawali Sakti melihat seseorang yang seluruh tubuhnya berwarna
keperakan dan tidak memiliki mata.
"Kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi cobalah ini...!" terdengar
dingin dan datar sekali suara orang keperakan itu.
"Hm.... siapa kau" Bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanya Rangga agak terkejut
juga. Namun manusia keperakan itu tidak menjawab.
Malah mendadak saja kedua tangannya dinaikkan ke
atas kepala. Lalu dengan cepat sekali diturunkan hingga sejajar dada. Perlahan
tubuhnya digerakkan ke kiri dan ke kanan. Kemudian....
"Yeaaah...!"
Tiba tiba manusia keperakan itu menghentakkan tangannya ke depan. Satu dorongan -kuat terasa sekali.
Dan pada saat itu, Rangga melentingkan tubuhnya ke udara. Seketika terdengar
ledakan keras menggelegar.
Rangga terkejut bukan main. Ternyata serangan orang aneh itu tidak menimbulkan
bentuk, namun hasilnya luar biasa sekali.
Rumah berdinding batu yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti tadi,
seketika hancur berkeping keping. Seketika gumpalan debu mengepul ke angkasa,
-membentuk jamur raksasa. Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan
kakinya ke tanah, kembali manusia keperakan itu menghentakkan kedua tangannya.
"Yeaaah...!"
"Hap! Hiyaaa...!"
Rangga sengaja tidak mengilndar, namun segera menghimpun kekuatan tenaga dalam
pada kedua telapak tangannya. Kemudian dengan cepat tangannya direntangkan ke
samping, lalu seketika itu juga dihentakkan ke depan.
"Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!"
Glarrr! *** Satu ledakan keras menggelegar terdengar ketika satu kilatan cahaya memijar
tepat di depan telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak pemuda berbaju
rompi putih itu terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan manusia
keperakan itu berjumpalitan di udara beberapa kali. Kemudian tubuhnya jatuh
dengan keras di tanah, namun cepat bisa bangkit berdiri.
Terlihat cairan merah merembes keluar dari daerah mulutnya yang tidak berbentuk.
Sedangkan Rangga hanya meneteskan darah sedikit di sudut bibirnya.
Pendekar Rajawali Sakti cepat menggerakkan tangannya di depan dada, menyalurkan
hawa murni untuk memulihkan kekuatan tubuhnya.
Slap! Mendadak saja manusia keperakan itu melesat cepat, dan seketika itu juga lenyap.
Sedangkan Rangga tidak sempat lagi memperhatikan. apalagi mengejar.
Namun Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat arah yang dituju manusia aneh
berwarna keperakan seluruh tubuhnya itu.
"Hm...!" Rangga bergumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya
perlahan lahan.-Beberapa kali hal itu dilakukan, kemudian tubuhnya diputar. Dipandanglnya
Mutiara yang berdiri memperhatikan. Di samping agak ke belakang gadis itu,
berdiri seorang pemuda mengenakan baju biru tua. Rangga mengenalinya, karena dia
salah seorang murid Padepokan Gunung Gading. Meskipun belum pernah berbicara,
tapi Pendekar Rajawali Sakti pernah melihat
-nya ketika berada di padepokan itu.
"Bagaimana, kau teriuka?" tanya Rangga begitu telah dekat dengan kedua orang
itu. "Tidak," sahut Mutiara seraya memberi senyum manis.
Rangga memandang pemuda yang berdiri di samping agak ke belakang dari gadis itu.
Sementara pemuda itu menghampiri. Tangannya disodorkan ke arah Rangga.
"Aku Barada," pemuda itu memperkenalkan diri.
Rangga menyambut uluran tangan itu sambil memperkenalkan diri juga. Pendekar Rajawali Sakti
sempat melihat Mutiara mencibirkan bibirnya pada Barada.
Hanya sekilas saja, namun sempat membuat pemuda berbaju rompi putih itu
bertanya tanya juga. Diduganya kalau antara Barada dan Mutiara ada sesuatu -pertentangan. Namun Rangga tidak mau memper
-soalkannya. Baginya, adalah satu hal yang biasa bila saudara seperguruan ada
pertentangan. "Kenapa kalian berada di sini?" tanya Rangga.
"Ka...."
"Aku yang jawab!" sentak Mutiara memutuskan ucapan Barada.
Pemuda berbaju biru tua itu langsung terdiam.
Barada sempat jengkel juga, namun hanya disimpan di dalam hati saja. Sedangkan
kening Rangga semakin berkerut dalam. Baru saja dia menduga ada pertentangan di
antara mereka berdua. Dan kini dugaan itu sudah ditunjukkan mereka.
"Ada apa di antara kalian ini?" tanya Rangga.
"Tidak ada apa apa," sahut Mutiara.
-Rangga menatap Barada, namun yang ditatap hanya
mengangkat bahu sedikit saja. Kepalanya sempat dilegoskan sedikit pada Mutiara.
Dan Rangga kembali memandang Mutiara yang berdiri tepat di depannya.
"Baiklah ... Aku memang tidak perlu tahu tentang persoalan di antara kalian
berdua. Tapi aku ingin tahu, untuk apa kalian berada di tempat ini?" Rangga
mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab.
"Aku mencari Kak Nila, sedangkan dia hanya mengekor saja," sahut Mutiara seraya
melirik sadikit pemuda berbaju biru di sampingnya, agak ke belakang sedikit.
"Hm ..." Rangga menggumam pelan
Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tahu dari Eyang Jatibaya kalau satu
muridnya hilang di tempat ini.
Tempat Mutiara diselamatkan dari kematian akibat kelelahan dan kehausan. Saat
itu, kedua gadis ini tengah mengemban tugas penting dari Eyang Jatibaya. Suatu
tugas rahasia yang tidak diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga sendiri
tidak mendesak ingin tahu lebih banyak. Sekarang Mutiara kembali lagi bersama
Barada untuk mencari Nila Komala. Dan Rangga merasa yakin kalau keikutsertaan
Barada juga mengemban tugas tersendiri dari gurunya.
"Kalian kenal, siapa orang itu tadi?" tanya Rangga.
"Dialah yang telah menculik Kak Nila." sahut Mutiara.
"Kau tahu di mana tempat orang itu bersembunyi?"
tanya Rangga lagi.
Mutiara hanya menggelengkan kepalanya saja. Gadis itu sendiri tidak tahu. siapa
sebenarnya orang yang seluruh tubuhnya berwarna keperakan tadi. Apalagi
tempat tinggalnya. Sedangkan gadis itu sendiri datang lagi ke sini dengan maksud
mencari Nila Komala yang menghilang, dan kini entah dimana. Juga tidak diketahui
nasibnya lagi. "Eh! Teman wanitamu ke mana?" tanya Mutiara baru menyadari kalau Pendekar
Rajawali Sakti hanya sendiri.
Sedangkan gadis itu tahu kalau pemuda tampan ini berdua dengan seorang gadis
cantik berbaju biru muda.
Tapi sekarang Rangga hanya sendiri saja. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa
menjawab pertanyaan Mutiara, karena juga sedang mencari Pandan Wangi yang
menghilang disambar bayangan keperakan.
"Jika kalian hendak melanjutkan perjalanan, silakan.
Aku juga masih ada keperluan lain," ujar Rangga menghindar.
Pendekar Rajawali Sakti langsung membalikkan tubuhnya, kemudian berjalan
meninggalkan mereka sebelum ada Jawaban. Sedangkan Mutiara yang hendak mencegah
kepergian Rangga, jadi mengurungkan niatnya. Mulut yang sudah terbuka. kini
terkatup kembali.
Gadis itu hanya memandangi pemuda berbaju rompi putih yang semakin jauh,
kemudian lenyap di tikungan jalan berdebu ini.
"Ke mana lagi, Mutiara?" tanya Barada.
Mutiara hanya melirik saja pemuda itu, kemudian menghampiri kudanya. Tanpa
membuka suara sedikit pun, gadis itu melompat naik ke punggung tunggangannya.
Langsung dlhentakkannya tali kekang kuda itu.
Barada bergegas melompat naik ke punggung kudanya, kemudian mengikuti gadis itu.
Langkah kaki kudanya
disejajarkan di samping kuda yang ditunggangi Mutiara.
Tak ada yang berbicara sedikit pun.
*** Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan mayapada ini. Kegelapan begitu
pekat, tanpa cahaya bintang sedikit pun. Terlebih lagi cahaya bulan. Langit
begitu kelam, membuat suasana malam ini begitu mencekam. Ditambah lagi hembusan
angin yang keras, memperdengarkan suara menderu.
Di dalam kegelapan malam itu, terlihat seberkas cahaya api yang menyemburat di
antara rumah rumah yang hancur tak berbentuk lagi. Tampak Pendekar Rajawali -Sakti duduk memeluk lutut. Pandangannya lurus, menatap api di depannya. Beberapa
kali dilemparkannya ranting ranting kering ke dalam api itu.-Suara bergemeretak dari ranting ranting yang terbakar seakan akan ingin
- -mengalahkan deru angln yang ber-hembus malam ini.
"Boleh aku ikut menghangatkan badan...?"
Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh. Entah dari mana datangnya. tahu tahu
-di sampingnya sudah berdiri seorang wanita mengenakan baju merah muda yang ketat
dan agak tipis. Mau tak mau tubuhnya yang indah dan ramping, membentuk di balik
bajunya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti memandangi.
Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja dengan manis sekali. Sama sekali
Rangga tidak terkejut dengan kedatangan perempuan Itu, karena sebelumnya sudah
mendengar suara tarikan napas halus dari
belakang. "Silakan," ucap Rangga mempersilakan wanita cantik itu.
"Terima kasih."
Wanita berbaju merah muda itu duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sudah kembali menatap ke arah api yang masih berkobar, membuat
udara yang dingin ini agak berkurang. Namun, tetap saja tidak mampu mengusir
seluruh dinginnya udara malam ini.
"Kita sudah pernah bertemu, bukan?" tanya Rangga seraya memalingkan wajahnya,
kembali menatap wanita itu.
"Memang. Di tepi danau, di Lereng Gunung Gading,"
sahut wanita itu.
Mereka memang pernah bertemu di tepi danau, di Lereng Gunung Gading. Tapi
rasanya Pendekar Rajawali Sakti belum tahu namanya, meskipun pernah berjumpa
sekali. Dia berusaha mengingat ingat, apakah wanita cantik ini waktu itu sempat
-menyebutkan namanya atau tidak.
"Maaf. Waktu itu aku berkata kasar padamu. Soalnya kau...," wanita itu tidak
melanjutkan. "Aku tidak sengaja," ujar Rangga.
"Ya, aku tahu. Tapi... apa kau sempat melihat ..,"
kembali wanita itu tidak meneruskan.
"Tidak," sahut Rangga cepat
Padahal matanya sempat melihat bentuk tubuh wanita itu dalam keadaan polos di
danau kecil yang berair indah itu. Tentu saja Rangga tidak akan mengakuinya. Dia
tidak ingin ada permusuhan hanya
karena persoalan sepele begini.
Wanita itu tersenyum senang dengan jawaban Rangga barusan. Manis sekali
senyumnya, membuat Rangga sedikit harus menelan ludah. Cepat eepat Pendekar -Rajawali Sakti memalingkan muka ke arah lain, karena tidak ingin tergoda. Dan
memang, wanita ini memiliki daya yang begitu kuat untuk menggoda laki-laki.
Bukan hanya bentuk tubuhnya yang indah dan wajahnya yang cantik, tapi juga
senyuman dan tatapan matanya begitu mempesona. Seakan akan sengaja mengundang
-setiap laki laki untuk menjamahnya.
-"Oh, ya... namaku Taria. Dan kau siapa?" wanita itu memperkenalkan namanya.
"Aku sudah memperkenalkan diri padamu." sahut Rangga.
"Lupa."
"Rangga."
"Nama yang bagus," puji wanita itu yang memperkenalkan dirinya bernama Taria.
"Kau juga," balas Rangga kaku.
Taria hanya tersenyum saja mendengar jawaban dan melihat sikap Rangga yang kaku
sekali. Memang pada saat itu, Rangga seperti sedang berperang melawan sesuatu.
Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tidak mengerti, kenapa mendadak saja punya
perasaan yang belum pernah dialami selama lni. Sesuatu yang sukar dimengerti.
Beberapa kali Rangga menghembuskan napas panjang dan berat sekali. Dan perasaan
itu semakin nyata dan kuat sekali mendesak.
"Ada apa, Kakang?" tanya Taria lembut. Wanita ini langsung saja memanggil Rangga
dengan sebutan kakang, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.
"Tidak..., tidak apa apa," sahut Rangga agak tergagap.
-Pendekar Rajawali Sakti bergegas bangkit berdiri.
Sebentar ditatapnya Taria yang selalu mengembangkan senyum manis sekali.
Beberapa kali Rangga terpaksa menelan ludahnya, membasahi tenggorokan yang
mendadak mengering
"Aku tinggal dulu sebentar," kata Rangga.
Dan sebelum Taria bisa menyahuti, Pendekar Rajawali Sakti sudah bergegas
melangkah pergi. Cepat sekali ayunan kakinya, sehingga dalam waktu sebentar saja
sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Sedangkan Taria masih tetap duduk tenang,
memandang ke arah keperglan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm..., kuat sekali daya tahan kesadarannya," desah Taria agak menggumam.
Wanita itu mengambil sebatang ranting, dan melemparkannya ke arah api. Kemudian
matanya kembali memandang ke arah kepergian Rangga tadi. Dia tidak tahu, apa
yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti di dalam kegelapan sana.
"Hm..." lagi lagi Taria menggumam perlahan tidak jelas.
- *** 5 "Aaa...!"
Harimau Kemala Putih 5 Pedang Langit Dan Golok Naga Yi Tian Tu Long Ji Ie Thian To Liong Kie Karya Chin Yung Runtuhnya Samurai Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama