Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton Bagian 1
GERHANA KEMBANG KEDATON
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 050:
Gerhana Kembang Kedaton
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Khraaaghk...!"
Suara serak, namun cukup menggelegar terdengar memecah angkasa. Tampak di antara
gumpalan mega yang berarak, seekor burung rajawali putih keperakan tengah
melayang-layang cepat bagai kilat.
Burung raksasa itu meluncur deras ke bawah. Begitu cepatnya, sehingga yang
terlihat hanya kilatan cahaya keperakan yang meluncur dari angkasa.
Begitu mendarat di sebuah padang rumput yang cukup luas, tampaklah sosok
tubuhnya yang tinggi besar. Rajawali raksasa berbulu keperakan itu ber-kaokan
keras, membuat seluruh alam bergetar hebat bagai dilanda gempa. Dari
punggungnya, tampak meluncur turun seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan
baju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung, tampak tersampir di
punggungnya. Pemuda itu adalah Rangga, yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia
berdiri di depan burung raksasa tunggangannya. Pandangannya beredar ke
sekitarnya. Mata Pendekar Rajawali Sakti merayapi bukit memanjang yang
mengelilingi lembah padang rumput luas itu.
"Tampaknya kita harus menunggu, Rajawali Putih,"
ujar Rangga seraya berputar menghadap burung rajawali raksasa itu.
"Khrrr...!" Rajawali Putih hanya mengkirik saja.
"Kau yakin mereka akan datang hari ini?" tanya Rangga.
Kembali Rajawali Putih mengkirik kecil sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Rangga mengedarkan pandangan kembali ke sekeliling. Kemudian kepalanya
mendongak, menatap angkasa luas tak bertepi. Saat ini senja sudah mulai merayap
turun. Matahari tampak kemerahan, bergulir ke belahan Barat. Sinarnya tidak lagi
terasa terik menyengat. Dan angin yang berhembus di lembah berumput ini juga
terasa begitu dingin.
"Khraaaghk...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara keras dan serak dari angkasa. Rangga memutar
tubuhnya, namun kepalanya masih mendongak ke atas. Tampak di sebelah Selatan,
terlihat sebuah titik hitam yang bergerak cepat menuju ke lembah ini.
Semakin lama, titik hitam itu semakin jelas bentuknya. Rangga hanya berdiri
tegak menunggu. Titik hitam itu ternyata seekor rajawali raksasa ber-bulu hitam
pekat berkilat. Di punggungnya duduk se-orang gadis berbaju serba hitam. Tampak
pedangnya yang bergagang kepala burung, menyembul dari punggungnya.
Begitu burung rajawali hitam raksasa itu mendarat, gadis berbaju hitam di
punggungnya, segera melompat turun. Dia berjalan beberapa langkah menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah menunggunya.
"Lama menungguku, Kakang?" terdengar lembut suara gadis berbaju hitam itu.
"Aku juga baru saja sampai," sahut Rangga.
"Malah seharusnya kau yang sudah lebih dulu sampai, Intan Kemuning."
"Maaf, ada urusan sedikit," kilah gadis yang dipanggil Intan Kemuning itu.
Gadis berbaju hitam itu memang Intan Kemuning, yang berjuluk Putri Rajawali
Hitam. Seorang gadis yang dulu lemah lembut dan tidak mengenal ilmu olah
kanuragan, kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang patut diperhitungkan
di dalam kancah rimba persilatan (Jika ingin tahu lebih jelas tentang Putri
Rajawali Hitam, ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Sepasang
Rajawali" dan "Sabuk Penawar Racun").
"Kau tetap tinggal di Kerajaan Galung?" tanya Rangga.
"Tidak lagi," sahut Intan Kemuning.
"Kenapa" Kau tidak suka mengembara, bukan?"
"Itulah sebabnya, kenapa Rajawali Hitam kuminta untuk menemui Rajawali Putih.
Aku tidak tahu, di mana harus menemuimu, Kakang," pelan dan agak lirih suara
Intan Kemuning.
"Tampaknya kau memiliki persoalan yang cukup berat, Intan," Rangga menduga-duga.
"Bisa dikatakan begitu. Yang pasti, aku kewalahan menghadapinya."
"Oh, ya...?" Rangga tidak percaya.
"Kau jangan mengolokku, Kakang."
"Aku tidak percaya jika kau kewalahan menyelesaikan suatu persoalan. Aku tahu
siapa dirimu, dan sampai di mana tingkat kepandaianmu."
"Manusia ada batasnya, Kakang."
Rangga meringis kecil. Kata-kata itu memang pernah diucapkannya pada gadis ini.
Dan sekarang kata-katanya sendiri harus ditelannya kembali.
"Teruskan saja, Intan. Apa persoalanmu, sehingga harus memanggilku ke sini?"
pinta Rangga tidak ingin melanjutkan olok-oloknya.
Intan Kemuning tidak langsung bicara. Tubuhnya
berputar lalu berjalan menghampiri sebatang pohon yang cukup besar. Sambil
menghembuskan napas panjang, gadis itu menjatuhkan tubuhnya, duduk ber-sandar
pada pohon itu. Rangga juga duduk bersila di depannya. Sementara dua burung
rajawali raksasa, mendekat berdampingan menunggui.
*** Agak lama juga Intan Kemuning terdiam, tidak memenuhi permintaan Pendekar
Rajawali Sakti untuk mengutarakan persoalannya. Sementara senja semakin merayap
turun. Suasana di lembah berumput ini sudah begitu temaram. Cahaya merah
menyemburat di ufuk Barat. Sedangkan sang surya sudah tidak lagi kelihatan
wajahnya. Rangga mengumpulkan ranting kering yang banyak ber-serakan di
sekitarnya, lalu membuat api unggun.
Pendekar Rajawali Sakti itu merasa kalau malam ini harus berada di tengah-tengah
lembah yang sunyi dan dingin.
"Kenapa kau tidak membawa Pandan Wangi, Kakang?" tanya Intan Kemuning.
"Dia sedang ada urusan," sahut Rangga.
"Kau tidak membantunya?"
"Pandan Wangi ingin menyelesaikannya sendiri.
Kalau masalahnya berat dan tidak bisa ditanggulangi, dia pasti menemuiku," sahut
Rangga lagi. Intan Kemuning mengangguk-anggukkan kepalanya. Gadis itu sudah dikenalkan
Pendekar Rajawali Sakti kepada Pandan Wangi. Sebenarnya dia iri melihat Pandan
Wangi yang begitu beruntung, sehingga mendapat cinta pendekar muda yang tampan
dan berkepandaian tinggi itu. Tapi dia harus
berjiwa besar, dan harus puas bersahabat saja.
"Tampaknya kita harus bermalam di sini, Intan,"
kata Rangga seraya mendesah.
"Tidak mengapa," sahut Intan Kemuning. "Aku sudah terbiasa tidur di alam
terbuka." "Tidak mengeluh banyak nyamuk lagi?" seloroh Rangga.
Intan Kemuning mencibirkan bibirnya. Dan Rangga tertawa saja, sehingga gadis itu
juga jadi ikut tertawa.
Intan Kemuning masih teringat pengalamannya pertama kali bermalam di alam
terbuka, dan tidak mungkin terlupakan seumur hidup. Betapa tidak..."
Untuk pertama kalinya gadis itu harus tidur, namun hanya beralaskan rerumputan
saja. Belum lagi nyamuk-nyamuk yang selalu merubungi, membuatnya tidak bisa
memejamkan mata sepanjang malam. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya
menertawakan saja.
"Aku heran waktu itu, Kakang. Kenapa tidak ada seekor nyamuk pun yang
mendekatimu?" tanya Intan Kemuning, mengenang masa lalunya bersama pemuda
berbaju rompi putih itu.
"Aku tidak pernah mengusik dan menyakiti mereka. Makanya mereka juga tidak
pernah mengusikku," sahut Rangga seenaknya.
"Huh! Badanmu saja yang bau. Tidak pernah mandi!" cibir Intan Kemuning, mengolok
lagi. "Sembarangan...!"
Intan Kemuning tertawa lepas. Namun Rangga bisa merasakan kalau tawa gadis itu
terdengar agak sumbang, meskipun masih terdengar merdu dan lepas berderai.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Intan Kemuning dalam-dalam.
"Jangan memandangku begitu, Kakang," tegur
Intan Kemuning jengah.
"Intan, persoalan apa sebenarnya yang kau bawa?" tanya Rangga, membawa kembali
pada pokok tujuan mereka datang ke lembah sunyi ini.
Saat itu juga wajah Intan Kemuning berubah mendung. Kepalanya tertunduk menekuri
tanah berumput di depannya. Rangga semakin dalam memandangi gadis yang duduk di
depannya ini. Hatinya semakin yakin kalau ada suatu persoalan berat yang dialami si Putri
Rajawali Hitam ini.
Biasanya Intan Kemuning begitu ceria dan manja.
Tapi sekarang, mudah sekali terselimut mendung.
"Kau memintaku ke sini untuk masalahmu itu, bukan...?" desah Rangga.
"Maaf, aku telah menyusahkanmu," ucap Intan Kemuning pelan.
Perlahan-lahan pula wajahnya terangkat. Seketika pandangan mereka bertemu pada
satu titik. Agak lama juga mereka saling berpandangan. Dan perlahan-lahan Intan
Kemuning memalingkan muka, memandang ke arah lain. Gadis itu selalu saja tidak
sanggup membalas pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti. Hatinya selalu bergetar
setiap kali menatap mata yang mengundang sejuta pesona itu.
"Kau bukan lagi orang lain bagiku, Intan. Apa yang menjadi persoalanmu, juga
menjadi persoalanku.
Susah senang kita rasakan bersama, Intan. Apa gunanya sahabat jika tidak peduli
kesulitan sahabatnya...?" lembut sekali suara Rangga.
"Aku selalu saja merepotkanmu."
"Jangan berkata seperti itu, Intan. Satu saat kelak, aku pasti akan meminta
bantuan padamu."
"Kau selalu saja bisa menghiburku, Kakang."
"Roda tidak pernah berhenti berputar, Intan.
Ingatlah itu. Mungkin sekarang ini aku berada di atas.
Tapi entah besok, atau lusa, mungkin juga aku akan berada paling bawah. Tidak
selamanya manusia itu menikmati kesenangan. Suatu saat, pasti akan mengalami
kesulitan juga. Sekarang tinggal tergantung kita sendiri, apakah mampu mengatasi
segala persoalan, atau tidak."
"Kau benar, Kakang. Kita memang saling ber-gantung satu sama lainnya. Tidak
mungkin bisa hidup sendiri."
"Nah! Sekarang, ceritakan. Apa kesulitanmu?"
pinta Rangga. Sebentar Intan Kemuning menarik napas panjang, seakan-akan sedang mengumpulkan
kekuatan untuk mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya saat ini. Sementara
Rangga masih sabar menunggu.
"Persoalan ini menyangkut keutuhan keluarga istana, Kakang," pelan sekali suara
Intan Kemuning.
"Maksudmu..., keluarga Prabu Galung...?" tanya Rangga ingin memastikan.
"Bukan hanya itu saja. Ini juga menyangkut mati hidupnya Kerajaan Galung,"
sambung Intan Kemuning.
"Hei...! Sampai sejauh itukah...?" Rangga terkejut.
"Apa sebenarnya yang terjadi, Intan" Ceritakanlah dengan jelas."
"Mereka sekarang menguasai istana dan
menawan seluruh anggota keluarga Prabu Galung.
Bahkan hampir semua pembesar mengungsi.
Sedangkan yang mencoba bertahan, mati dibunuh atau dimasukkan ke dalam penjara.
Aku sudah coba membebaskan Prabu Galung dan keluarganya. Tapi mereka memang
tangguh. Bahkan aku sempat terluka dalam suatu pertarungan. Untungnya Rajawali
Hitam cepat membawaku pergi, sehingga tidak sampai terlalu parah."
"Mereka" Mereka siapa, Intan?" tanya Rangga.
"Inilah yang membuatku tidak habis mengerti, Kakang. Mereka berjumlah empat
orang, dan menjuluki dirinya Empat Dewa Keadilan dari Selatan.
Dan satu lagi...," suara Intan Kemuning terputus, seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Gadis itu tidak yakin pada dirinya sendiri.
Sedangkan Rangga jadi berkerut keningnya. Dirasakan ada sesuatu yang berat dan
tidak diyakini gadis ini. Sesuatu yang sukar dipercaya.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkikik.
Rangya dan Intan Kemuning, langsung melompat bangkit berdiri. Mereka berdiri
saling bersisian. Tawa mengikik itu demikian jelas dan mengejutkan.
Bahkan menggema, seakan-akan datang dari delapan penjuru mata angin.
*** "Siapa pun kau, keluarlah...!" teriak Rangga lantang.
Suara Pendekar Rajawali Sakti itu menggema ke seluruh lembah berumput ini,
karena disalurkan lewat pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Meskipun Rangga
sudah menutup mulutnya, namun suaranya masih juga menggaung terbawa angin yang
berhembus kencang malam ini.
Namun tidak ada sahutan sama sekali. Suasana di lembah ini begitu sunyi. Bahkan
sedikit pun tak terdengar suara binatang malam, kecuali deru angin yang mengusik
telinga. "Kau mengenali suaranya, Intan...?" tanya Rangga berbisik perlahan.
"Tidak," sahut Intan Kemuning juga berbisik.
"Apa kau sudah memeriksa lembah ini sebelum memilihnya?" tanya Rangga lagi,
tetap pelan suaranya.
"Sudah," sahut Intan Kemuning. "Lembah ini berada di tengah-tengah Hutan
Krambang, dan jarang sekali didatangi siapa pun. Bahkan desa terdekat saja,
jauhnya dua hari perjalanan berkuda."
"Lalu, siapa pemilik suara tawa itu...?" Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam
hati. Dan pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu te-jawab ketika sebuah bayangan biru
berkelebat cepat, menuruni sebuah tebing tidak jauh di depan mereka.
Bayangan biru itu bergerak cepat bagaikan kilat, seakan-akan melayang bagaikan
seekor burung yang menembus kegelapan malam. Saat ini senja memang sudah
berganti malam. Seluruh lembah terbalut oleh kegelapan. Hanya bulan saja yang
menyorot lembut dengan cahayanya yang temaram, ditambah cahaya api unggun yang
berada di belakang Rangga dan Intan Kemuning.
Bayangan biru itu berhenti tepat sekitar tiga batang tombak di depan kedua
pendekar muda itu.
Dalam siraman cahaya bulan, tampak kalau bayangan itu idalah seorang perempuan
tua bertubuh bungkuk. Dia mengenakan baju warna biru panjang dan longgar. Di
tangannya, tergenggam sebatang tongkat lurus berwarna coklat tua. Tampak pada
bagian tengah tongkat itu terdapat sebuah cincin keemasan.
"Nisanak. Siapa kau, sehingga bersedia
mengunjungi kami malam-malam begini?" tanya
Rangga sopan. "Seharusnya aku yang bertanya begitu pada kalian!" bentak perempuan itu, ketus.
Suaranya terdengar kering dan serak menggetarkan. Rangga sempat terkesiap
mendengarnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap bersikap tenang dan sopan. Sedangkan Intan
Kemuning mulai mendesis. Gadis itu tidak senang mendengarnya.
Karena jawaban perempuan tua itu demikian ketus.
Sedangkan Rangga tadi sopan sekali bertanya.
"Maaf. Apakah kedatangan kami ke sini meng-ganggumu, Nisanak?" ucap Rangga tetap
sopan. "Mau apa kalian ke sini?" perempuan tua itu malah balik bertanya.
"Kami hanya mengadakan pertemuan. Sudah lama kami tidak berjumpa. Dan ini
semacam pertemuan untuk...."
"Berbuat cabul di sini!" bentak perempuan tua itu, memutuskan kata-kata Rangga.
"Sama sekali tidak, Nisanak," bantah Rangga, masih tetap sopan dan lembut
suaranya. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti menyunggingkan senyuman. Entah apa artinya.
Mungkin hatinya geli mendengar tuduhan yang begitu gamblang dan langsung, tanpa
berpikir panjang lebih dahulu.
"Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini, atau terpaksa aku harus menggunakan
kekerasan!" usir perempuan tua berjubah biru itu tegas.
"Nisanak. Kuminta kau menahan sedikit mulut-mu!" sentak Intan Kemuning, mulai
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panas telinganya mendengar tuduhan yang tidak berdasar itu.
"Sabar, Intan," bujuk Rangga, meminta gadis itu menahan diri.
"Huh! Dia sudah keterlaluan, Kakang," rungut
Intan Kemuning.
Meskipun Intan Kemuning kini seorang pendekar berkepandaian tinggi, tapi sikap
manjanya belum juga hilang. Terlebih lagi, gadis itu terbiasa hidup di
lingkungan kerajaan yang berlatar belakang tata krama tinggi. Bicara pun harus
teratur baik. Terlebih lagi sikap dan tingkah lakunya yang selalu diatur oleh
berbagai macam peraturan ketat.
Intan Kemuning memang tidak terbiasa hidup di dalam kaum rimba persilatan, yang
pola hidupnya tidak pernah mengenal tata krama. Gadis itu masih bisa dikatakan
seumur jagung di dalam rimba persilatan yang keras dan penuh segala macam
persoalan. Bahkan cara-cara kotor seringkali digunakan. Dan terus terang
kehidupan seperti ini masih asing bagi Intan Kemuning. Tidak heran kalau hatinya
cepat tersinggung mendengar kata-kata perempuan tua berjubah biru itu.
"Sebaiknya kalian cepat pergi. Aku tidak suka daerah kekuasaanku dijadikan
tempat mesum!"
bentak perempuan tua berjubah biru itu ketus.
"Keparat..," geram Intan Kemuning, memerah wajahnya.
Tap! Rangga cepat menangkap tangan gadis itu, yang sudah terangkat hendak melakukan
serangan. Intan Kemuning menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi mendapat tatapan balasan yang begitu tegas dan memancarkan suatu kekuatan
yang sukar dilawan, gadis itu menurunkan tangannya kembali.
Kini ditatapnya perempuan berjubah biru itu tajam-tajam.
"Kami berjanji akan segera pergi setelah selesai, Nisanak," kata Rangga, tetap
bersikap sopan.
"Tidak! Kalian harus pergi segera...!" bentak perempuan tua itu tegas.
"Baiklah...," Rangga mengangkat bahunya, menyerah.
Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik tangan Intan Kemuning. Sebenarnya gadis
itu masih geram atas perlakuan perempuan tua itu, tapi akhirnya menuruti saja.
Mereka mendekati burung rajawali raksasa runggangan mereka berdua. Dengan
gerakan yang indah, kedua pendekar muda itu melompat naik, dan hinggap di
punggung tunggangannya masing-masing.
"Kita pergi dari sini, Rajawali Putih," ujar Rangga seraya menepuk leher burung
raksasa itu. "Ayo, Intan...!"
"Khraghk...!"
Sekali mengepakkan sayapnya saja, dua burung rajawali raksasa itu melambung
tinggi ke angkasa.
Sementara perempuan tua berjubah biru itu memandangi dengan bibir menyunggingkan
senyuman tipis. Perempuan tua itu tidak merasa aneh melihat dua anak muda itu
pergi dengan menunggang burung rajawali raksasa. Karena, dia memang pernah
mendengar tentang dua orang pendekar yang memiliki burung rajawali raksasa.
Namun secara jujur, hatinya tercekat juga melihat begitu besarnya dua ekor
rajawali milik Pendekar Rajawali Sakti dan Putri Rajawali Hitam.
"Intan Kemuning.... Rupanya kau adalah Putri Rajawali Hitam. Bagus...! Kau
mengundang Pendekar Rajawali Sakti. Ha ha ha...!"
Perempuan tua itu tertawa keras terbahak-bahak, seraya duduk bersila di dekat
api unggun yang dibuat Rangga. Sebentar dia melakukan sikap bersemadi,
kemudian matanya dipejamkan.
"Ke sini kalian. Sudah aman...," kata perempuan tua itu, pelan.
Namun suara yang dikeluarkan lewat kekuatan tenaga dalam dan batin yang tinggi,
terdengar sampai ke seluruh lembah ini. Bahkan sampai ke puncak bukit yang
mengelilingi lembah berpadang rumput ini.
Tak berapa lama kemudian, terlihat empat buah bayangan berkelebatan cepat tengah
meluncur menuruni bukit.
Perempuan tua itu tersenyum seraya membuka matanya. Dipandanginya empat bayangan
yang bergerak cepat menuju ke arahnya. "
He he he...."
*** 2 Sementara itu di angkasa, dua burung rajawali raksasa masih melayang-layang di
atas lembah padang rumput itu. Dua pendekar muda yang menungganginya, selalu
memperhatikan ke bawah. Di situ, terlihat lima orang duduk melingkari api unggun
kecil, di bawah pohon yang cukup besar dan rimbun.
Rangga yang duduk di punggung Rajawali Putih, mengalihkan perhatian pada Intan
Kemuning. Pada saat yang sama, gadis itu juga memandang ke arah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Kau bisa mendengar pembicaraan mereka, Kakang?" tanya Intan Kemuning.
"Tidak. Jaraknya terlalu tinggi," sahut Rangga.
"Tapi kau sudah menguasai aji 'Pembeda Gerak dan Suara', kan?"
"Ajian itu bukan untuk mendengar dari atas, Intan.
Tidak akan berarti apa-apa, meskipun telah kusempurnakan."
"Apa itu salah satu kelemahannya, Kakang?"
"Benar. Aji 'Pembeda Gerak dan Suara' hanya bisa digunakan kalau kaki menyentuh
tanah. Karena, dari tanahlah sumber segala yang ada di alam ini, sehingga dapat
mengirimkan getaran-getaran sehalus apa pun juga," jelas Rangga.
"Kau tidak bisa menggunakan udara, Kakang?"
tanya Intan Kemuning.
Rangga menggeleng.
"Kenapa?"
"Setiap orang punya kelemahan, Intan. Dan aku
bukan dewa yang bisa segalanya. Aku tidak tahu, apakah nantinya bisa
mempergunakan udara sebagai penghubung, atau tidak," sahut Rangga merendah.
"Kau sudah pernah mencobanya, Kakang?"
"Sudah, tapi belum bisa memecah suara yang datang."
"Kalau begitu, kau pasti mampu mempergunakan udara sebagai penghubung. Aku
yakin, Kakang."
"Terima kasih."
Mereka memang tetap berada di udara, dan terus memperhatikan lima orang yang
duduk melingkari api unggun kecil di lembah bawah sana. Sayang sekali, Pendekar
Rajawali Sakti belum mampu mempergunakan udara sebagai penghubung lewat aji
'Pembeda Gerak dan Suara'. Jadi, pembicaraan lima orang itu tidak dapat
didengarkannya.
"Tampaknya mereka akan pergi, Kakang," kata Intan Kemuning.
Lima orang itu memang bergerak memencar meninggalkan lembah ini, menuju lima
arah mata angin. Gerakan mereka begitu cepat dan ringan.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah lenyap tak terlihat lagi. Hilang
ditelan kerimbunan pepohonan lebat di sekitar bukit yang mengelilingi lembah
ini. "Ayo kita turun, Intan," ajak Rangga.
"Untuk apa?" tanya Intan Kemuning.
"Dari sana kita bisa langsung ke Kerajaan Galung dengan jalan kaki."
Intan Kemuning tidak membantah. Lembah ini memang masih termasuk wilayah
Kerajaan Galung.
Dan memang tidak mungkin bila masuk ke kotaraja menunggang rajawali. Hal ini
akan menarik perhatian orang banyak. Dan tentu saja bisa menyulitkan ruang
gerak mereka nantinya.
Putri Rajawali Hitam menyuruh rajawali tunggangannya untuk mengikuti Rangga yang
sudah meluncur turun bersama Rajawali Putih tunggangannya. Kedua burung rajawali
raksasa itu meluncur cepat bagaikan kilat seperti ingin saling susul.
Sehingga dalam waktu sekejap saja, kedua pendekar muda itu sudah melompat turun
dari punggung rajawali tunggangan masing-masing.
"Kau boleh pergi, Rajawali Putih," ujar Rangga seraya menepuk leher Rajawali
Putih. "Khrrr...!"
"Tidak perlu khawatir. Kalau kau kuperlukan, pasti aku akan memanggilmu," kata
Rangga, seakan-akan bisa mengerti arti suara burung raksasa itu.
"Khraghk...!"
Rajawali Putih langsung membumbung tinggi ke angkasa. Dan pada saat yang
bersamaan, Rajawali Hitam juga melesat naik menyusul. Rangga dan Intan Kemuning
memandangi kedua burung raksasa itu sampai lenyap di batik awan.
"Sampai di mana kita tadi, Intan?" tanya Rangga ingin menyambung pembicaraan
mereka yang terputus tadi.
Intan Kemuning tidak langsung menjawab.
Mungkin sudah lupa dengan pembicaraan yang terputus tadi, karena kemunculan
perempuan tua berjubah biru yang tidak dikenal sama sekali.
"Kakang.., sepertinya empat orang yang tadi berkumpul di sini kukenali," kata
Intan Kemuning dengan nada suara terdengar ragu-ragu.
"Kau benar-benar mengenali mereka, Intan?"
desak Rangga ingin memastikan.
"Dari pakaiannya, mereka seperti Empat Dewa
Keadilan dari Selatan," pelan sekali suara Intan Kemuning.
Gadis itu masih belum yakin, karena jarak dari tempat ini tadi begitu jauh
sekali. Dan lagi, malam begitu pekat. Sehingga, sulit untuk melihat dengan
jelas. "Kalau memang benar, lalu siapa yang seorang lagi?" tanya Rangga.
"Entahlah.... Aku baru melihatnya tadi," sahut Intan Kemuning, tidak yakin
dengan dirinya sendiri.
"Sebaiknya kita ke kotaraja sekarang saja, Intan,"
usul Rangga. "Tidak menunggu sampai pagi nanti, Kakang?"
"Kalau berangkat sekarang, pagi-pagi nanti sudah sampai di kotaraja."
"Lalu?"
"Ya..., kita langsung saja ke istana."
"Itu sama saja bunuh diri, Kakang."
"Kenapa" Bukankah mereka ada di dalam istana semua?"
"Memang benar, Kakang. Tapi, kau harus ingat.
Mereka rata-rata memiliki kemampuan tinggi.
Sebaiknya cari jalan yang terbaik dulu, lalu kita bebaskan mereka yang menjadi
tawanan. Kalau Gusti Prabu dan keluarganya sudah selamat, baru kita hadapi
iblis-iblis keparat itu, Kakang," saran Intan Kemuning.
"Baiklah," Rangga menyerah.
Dan memang, saran dan rencana yang diajukan Intan Kemuning lebih kecil
risikonya. Dan lagi mereka memang harus memikirkan lebih dahulu ke-selamatan.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua pendekar muda itu melangkah meninggalkan tempat
ini. Mereka mendaki bukit dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Begitu cepat dan indah sekali, sehingga dalam sebentar saja
mereka sudah berada di tepi puncak bukit. Mereka terus bergerak, berlari cepat
menembus lebatnya hutan.
*** Seperti yang diperkirakan Rangga, tepat di saat matahari terbit dari Timur,
mereka sampai di Kota Kerajaan Galung. Begitu menginjakkan kaki di wilayah
kekuasaan sahabatnya ini, Pendekar Rajawali Sakti sudah mulai merasakan adanya
ketidakberesan.
Suasana pagi di pusat pemerintahan Kerajaan Galung ini begitu sunyi. Hanya ada
beberapa orang yang sudah lanjut usia saja, yang sudah bangun. Mereka hanya
duduk saja mencangkung di beranda depan.
Masih setengah hari lagi mereka berjalan kaki untuk mencapai Istana Galung. Kota
Kerajaan Galung ini memang luas. Bahkan luasnya tiga kali Kota Kerajaan Karang
Setra. Kesunyian di pagi ini, mendadak saja pecan oleh teriakan-teriakan orang
berkuda dari arah depan.
Tampak serombongan orang berkuda berpacu cepat membelah jalan. Debu mengepul
membumbung tinggi ke angkasa. Beberapa orang tua yang berada di depan rumah,
bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing. Rangga dan Intan Kemuning saling
berpandangan sejenak. Intan Kemuning menarik tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan
membawanya ke tepi. Mereka masuk ke dalam beranda depan sebuah rumah yang dekat
di pinggir jalan.
Intan Kemuning kemudian mengambil sebuah caping bambu, dan mengenakannya.
"Untuk apa kau menyembunyikan diri, Intan?"
tegur Rangga. "Aku tidak ingin mereka mengenaliku," sahut Intan Kemuning.
Pada saat itu rombongan berkuda sudah dekat.
Ada sekitar lima belas orang. Darah di tubuh Rangga agak berdesir tatkala
melihat orang yang berkuda paling depan. Tampak seorang perempuan tua mengenakan
jubah warna biru, dengan tongkat tergenggam di tangan kanan.
"Intan..., kau lihat perempuan tua itu?" tanya Rangga agak berbisik.
"Lihat," sahut Intan Kemuning.
"Kau mengenalnya, bukan?"
Intan Kemuning tidak menyahut. Saat itu rombongan berkuda itu melewati jalan di
depan rumah, tempat Rangga dan Intan Kemuning duduk di beranda depan rumah itu.
Rangga terus memperhatikan sampai rombongan berkuda itu jauh melewati. Intan
Kemuning baru melepaskan caping yang menutupi wajahnya, ketika suara gemuruh
derap kaki kuda sudah tidak terdengar lagi.
Diletakkannya caping itu pada tempatnya kembali.
"Kenapa kau tidak mengakui kalau mengenalnya semalam, Intan?" tanya Rangga
mendesak. Intan Kemuning tidak menjawab. Gadis yang dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam
itu bergegas melangkah ke luar. Dia terus berjalan cepat menuju ke pusat kota.
Rangga mengikuti, dan mensejajarkan langkah di sampingnya.
"Intan, kau mendengar pertanyaanku, bukan"
Kenapa kau berpura-pura tidak mengenalnya?"
Rangga terus mendesak meminta penjelasan.
"Kalau aku beritahukan kau semalam, akan jadi rumit permasalahannya," sahut
Intan Kemuning.
"Itu bukan alasan yang tepat, Intan," Rangga tidak menerima alasan yang
diberikan gadis ini.
"Dia bernama Nyai Walungkar," Intan Kemuning memberi tahu.
"Dan prajurit berkuda tadi?"
"Bukan prajurit. Mereka hanya mengenakan seragam prajurit saja."
Rangga mengerutkan keningnya. Sungguh tidak disangka kalau Kerajaan Galung yang
begitu besar dan kuat, kini telah jatuh dan dikuasai oleh orang-orang
berkepandaian tinggi. Itu bisa dipastikan Pendekar Rajawali Sakti, karena Intan
Kemuning tidak mungkin meminta bantuannya kalau masih bisa mengatasi sendiri.
Rangga jadi bertanya-tanya di dalam hati, setelah melihat sikap Intan Kemuning
yang tampaknya enggan untuk membicarakan perempuan tua yang bernama Nyai
Walungkar itu. "Kau punya persoalan dengannya, Intan?" tanya Rangga bernada menyelidik.
"Aku pernah bentrok dengannya," pelan sekali suara Intan Kemuning.
Mereka terus saja berjalan cepat melintasi jalan berdebu. Sepanjang jalan ini,
tidak seorang pun yang mereka temui lagi. Dan rumah-rumah di sepanjang jalan ini
begitu sepi, dengan pintu dan jendela tertutup rapat. Tempat ini seperti tidak
berpenghuni. Tapi Rangga bisa merasakan adanya kehidupan di balik pintu yang tertutup rapat
"Dan...?" desak Rangga ingin tahu.
"Aku kalah," sahut Intan Kemuning singkat
"Itu sebabnya, kenapa kau tidak memberitahuku semalam...?"
Intan Kemuning tidak menyahut. Gadis itu hanya diam saja, dan terus mengayunkan
kakinya. Pandangan matanya lurus ke depan. Sementara Rangga yang berjalan di sampingnya,
terus memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti semakin yakin kalau ada sesuatu di
balik semua peristiwa yang menimpa Kerajaan Galung Sesuatu yang pasti menyangkut
diri gadis ini "Intan, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Rangga
"Nanti saja kau tanyakan pada ayah, Kakang,"
sahut Intan Kemuning mengelak.
"Kenapa harus ayahmu?"
Lagi-lagi Intan Kemuning diam saja.
"Baiklah.... Aku tidak akan bertanya lagi sampai bertemu ayahmu. Mudah-mudahan
saja semua ini bukan karena kau yang membuatnya," ujar Rangga menyerah.
Rangga teringat peristiwa ketika Intan Kemuning membuat ulah dengan menantang
jago-jago rimba persilatan, yang akhirnya merembet sampai ke istana.
Dan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan, rupanya juga membuat kenangan
gadis itu kembali pada peristiwa saat dirinya baru pertama kali merasakan
pertarungan. Dan ternyata pertarungan itu menimbulkan suatu kesalahan besar dan
menyulitkan semua orang. Tapi semua itu memang ada hikmah-nya juga. Dengan
begitu, Intan Kemuning bisa bertemu Rajawali Hitam, hingga sekarang dia dikenal
berjuluk Putri Rajawali Hitam.
"Jangan khawatir, Kakang. Aku bukan gadis manja lagi," tegas Intan Kemuning.
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga hanya tersenyum getir.
"Intan, sepertinya ini bukan menuju ke istana,"
Rangga baru menyadari kalau jalan yang dilalui bukan menuju istana.
"Memang bukan," sahut Intan Kemuning.
"Bukankah ini menuju Puri Kencana...?"
Intan Kemuning hanya tersenyum saja. Rangga memang mengenal betul seluk beluk
jalan di wilayah Kerajaan Galung ini. Dan dia yakin kalau jalan yang dilaluinya
bukan menuju istana, melainkan ke sebuah bangunan batu yang dianggap suci oleh
seluruh rakyat Galung. Setiap bulan purnama Prabu Galung selalu memberikan pujipujian pada Dewata di dalam puri itu. Dan kini puri itu dijadikan tempat
persembunyian Patih Giling Wesi.
Kedua pendekar muda itu terus berjalan
menyusuri jalan setapak yang berumput agak tebal.
Dari jejak-jejak yang tertera di sepanjang jalan ini, terlihat jelas banyak
jejak kaki kuda yang tampaknya masih baru. Setelah melewati tikungan di depan
sana, mereka akan sampai di depan halaman puri.
"Cepat ke sini, Kakang...!" bisik Intan Kemuning.
Belum lagi Rangga bisa membuka mulut, Intan Kemuning dengan cepat menarik
tangannya, dan membawanya masuk ke dalam sebuah semak tidak jauh dari tikungan
jalan. Rangga agak terkejut, tapi cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga Intan Kemuning mudah menarik Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam
semak. "Intan, ada ap...."
"Ssst..!"
*** Rangga langsung terdiam. Saat itu terdengar suara langkah kaki dari tikungan
jalan. Tak lama kemudian, muncul dua orang laki-laki berseragam prajurit. Dan
begitu mereka melewati semak tempat Rangga dan
Intan Kemuning bersembunyi, mendadak saja Putri Rajawali Hitam melompat ke luar.
"Hup...!"
Kedua prajurit itu terkejut Tapi sebelum mereka sempat melakukan sesuatu, Intan
Kemuning sudah lebih dahulu menyarangkan pukulan telak ke dada.
Des! Deghk! Tak ada keluhan sedikit pun juga. Kedua prajurit itu langsung jatuh tersungkur
begitu dadanya terkena pukulan telak dari Intan Kemuning. Cepat gadis itu
menyeret kedua prajurit masuk ke dalam semak.
Sementara Rangga sudah keluar dari semak yang lain. Intan Kemuning kemudian
menutupi tubuh dua prajurit itu dengan daun-daun kering, kemudian menghampiri
Rangga. "Kau tidak membunuhnya 'kan, Intan?" tanya Rangga seraya melirik ke dalam semak.
"Tidak. Aku hanya membuatnya pingsan," sahut Intan Kemuning.
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Mengurangi beban," ringan sekali jawaban Intan Kemuning. "Ayo...."
"Apa maksudmu, Intan...?"
Rangga semakin kebingungan saja. Tidak biasanya Intan Kemuning membuat teka-teki
seperti ini. Penuh rahasia dan tidak mau berterus terang. Keheranan Pendekar
Rajawali Sakti semakin menjadi ketika melihat raut wajah Intan Kemuning nampak
menegang. Dan ayunan kakinya bertambah pelan.
Tatapan matanya pun begitu tajam, lurus ke depan.
Srek! Srek! "Berhenti...!"
Intan Kemuning begitu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan keras,
disusul bermunculannya orang-orang berpakaian prajurit. Rangga langsung
menghentikan langkahnya. Di sekeliling mereka sudah mengepung sekitar dua puluh
orang berpakaian prajurit yang bersenjatakan tombak dan pedang terhunus.
Dari balik sebatang pohon yang berada tepat di depan kedua pendekar muda itu,
muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Dia mengenakan baju warna merah
menyala. Di pinggangnya, tampak tergantung sebilah pedang, yang gagangnya
dihiasi batu permata. Wajahnya cukup tampan. Tapi sorot matanya begitu liar,
melahap wajah Intan Kemuning yang cantik bagai bidadari.
"Kau datang lagi, Intan," kata laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
Dia tersenyum menyeringai pada Intan Kemuning.
"Siapa dia, Intan?" tanya Rangga.
"Raden Manggala," sahut Intan Kemuning.
"Raden Manggala...?" gumam Rangga seraya menatap laki-laki berbaju merah di
depannya. "Aku sudah lama menunggumu, Intan. Semua sudah dipersiapkan untuk perkawinanku.
Di mana kau sembunyikan Putri Ratna Kumala?" dingin sekali suara Manggala, tanpa
mempedulikan Rangga.
Mendengar kata-kata itu, Rangga menatap Intan Kemuning dalam-dalam. Pendekar
Rajawali Sakti sungguh terkejut. Tidak disangka kalau pemuda berbaju merah itu
menuduh Intan Kemuning menyembunyikan Putri Ratna Kumala. Bahkan sudah
mempersiapkan perkawinannya segala.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti meminta penjelasan, Manggala sudah melompat
menerkam Intan Kemuning. Tangannya menjulur ke arah dada gadis berbaju hitam itu. Namun
manis sekali, Intan Kemuning meliukkan tubuhnya. Sehingga, terkaman Manggala
dapat dihindari.
"Hei, tunggu...!" sentak Rangga ketika Manggala sudah siap hendak menerjang
lagi. "Hm, siapa kau"!" dengus Manggala seraya menatap Pendekar Rajawali Sakti lekatlekat "Minggir! Ini bukan urusanmu...!"
Manggala tidak mempedulikan bentakan Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung
melompat menerjang Intan Kemuning kembali. Jari tangan telunjuknya menegang
kaku, mengarah ke pusat jalan darah di tubuh Putri Rajawali Hitam. Dari serangan
yang dilakukan, jelas kalau Manggala berusaha melumpuhkan Intan Kemuning, tanpa
melukainya. Sepertinya, dia hendak menotok pusat jalan darah.
Dan memang, itu adalah jurus 'Jari Maut' yang merupakan jurus andalan Manggala.
Jurus itu sangat dahsyat. Selama ini, belum ada lawan yang dapat bertahan lama
jika Manggala sudah mengeluarkan jurus mautnya. Dan memang, tampaknya Intan
Kemuning sangat hati-hati menghadapinya.
Tapi Intan Kemuning bukanlah gadis manja lagi.
Dengan gerakan lincah dan manis sekali, setiap serangan yang dilakukan pemuda
berbaju merah itu dapat dihindarinya. Sedangkan Rangga hanya bisa memperhatikan
saja. Pendekar Rajawali Sakti memang belum tahu persis permasalahannya, sehingga
tidak ingin turut campur sebelum mengetahui persoalan yang terjadi di antara
Intan Kemuning dan Manggala. Namun benaknya terus berpikir keras. Apa yang
tengah terjadi antara mereka berdua"
3 Pertarungan antara Intan Kemuning dan Manggala, terus berlangsung sengit.
Beberapa kali serangan pemuda berbaju merah itu hampir mengenai sasaran.
Namun sampai sejauh ini, gadis yang berjuluk Putri Rajawali Hitam itu masih
dapat mematahkan setiap serangan yang datang. Sedangkan Rangga sudah tidak dapat
lagi berbuat apa-apa. Dia sudah mencoba mencegah, tapi Manggala malah terus
menyerang Putri Rajawali Hitam. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak mungkin terjun
dalam pertarungan, karena bukan sifat satria jika mengeroyok lawan.
"Kalian semua, serang anak muda itu...!" perintah Manggala di dalam
pertarungannya.
Rangga terkejut mendengar perintah itu. Dan belum lagi keterkejutannya lenyap,
dua puluh orang prajurit yang mengepung tempat itu sudah berlompatan menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain
melentingkan tubuhnya ke udara, sebelum para prajurit dekat dengannya.
Namun selagi tubuh pemuda berbaju rompi putih itu berputaran di udara, beberapa
batang tombak berhamburan ke arahnya. Sejenak Rangga terperangah, tapi cepat
mengibaskan tangannya.
Disampoknya tombak-tombak yang meluruk ke arahnya. Beberapa tombak berhasil
dihalau, dan Pendekar Rajawali Sakti menangkap sebatang tombak. Dengan tombak
itu, tombak-tombak lainnya yang masih meluncur dirontokkan olehnya.
Rangga cepat meluruk turun. Dibuangnya tombak yang tadi sempat ditangkapnya.
Pada saat itu, dua orang berpakaian prajurit sudah melompat cepat sambil
mengibaskan pedang. Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari satu
sabetan pedang yang datang lebih dahulu. Dan pada saat yang tepat, ditangkapnya
tangan prajurit itu.
Lalu, diputarnya untuk menangkis tebasan pedang yang datang menyusul dengan
cepat. Trang! Dua pedang beradu di depan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih
itu cepat memutar tubuhnya. Seketika satu tendangan keras dilepaskan, disusul
satu pukulan tanpa disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun juga. Dua
prajurit yang menyerangnya, meraung keras. Dan tubuh mereka seketika terpental
sekitar dua batang tombak ke belakang.
Belum juga Rangga bisa menarik napas lega, prajurit lainnya segera meluruk
menyerangnya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti berpelantingan di udara, menghindari serangan
yang datang dari segala arah. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa memberi
pukulan-pukulan telak yang keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga
dalam. Namun demikian, mereka yang terkena pukulan itu, merasakan seperti
terhantam sebuah palu godam yang terbuat dari baja. Mereka meraung, dan
berpentalan begitu terkena pukulan yang dilepaskan Rangga.
"Huh! Mereka benar-benar kuat. Aku harus me-lumpuhkannya untuk sementara,"
dengus Rangga dalam hati.
Memang para prajurit itu langsung bangkit begitu terjengkang setelah terkena
pukulan, dan langsung
menyerang membantu yang lain. Rangga terpaksa menggunakan sedikit tenaga dalam.
Tapi kali ini pukulannya diarahkan pada pusat jalan darah. Dan mereka yang
terkena, tidak sanggup bangkit lagi.
Langsung jatuh tergeletak di tanah. Tubuh mereka lemas tak bertenaga, dan hanya
dapat merintih, tak mampu lagi bergerak sedikit pun juga.
Gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat. Sehingga, sukar
bagi para prajurit itu untuk cepat menghindar. Dan dalam waktu yang tidak berapa
lama saja, dua puluh prajurit sudah bergelimpangan tak mampu bergerak lagi.
Hanya kepala saja yang masih bisa bergerak, dengan bibir meringis
memperdengarkan rintihan. Lumpuhnya dua puluh prajurit, rupanya membuat Manggala
jadi berang. "Hup! Yeaaah...!"
Manggala melompat mundur sambil memberi satu pukulan keras bertenaga dalam
tinggi pada Intan Kemuning. Tapi Putri Rajawali Hitam itu manis sekali mampu
mengelakkannya. Begitu ringan kedua kaki Manggala mendarat di tanah, tepat
sekitar dua batang tombak di depan Intan Kemuning.
"Kenapa berhenti, Manggala?" sinis sekali suara Intan Kemuning.
"Huh! Kali ini kau boleh merasa menang, Intan.
Tapi lain kali, kau akan memohon ampun di bawah kakiku!" dengus Manggala.
Setelah berkata demikian, Manggala melesat pergi. Gerakannya begitu ringan dan
cepat sekali. Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya
pepohonan. Intan Kemuning menghampiri Rangga. Bibirnya tersenyum melihat dua
puluh prajurit menggeletak, mengerang lirih.
"Kau apakan mereka, Kakang?" tanya Intan
Kemuning. "Jelaskan, Intan. Apa yang sedang terjadi sebenarnya?" Rangga tidak mempedulikan
pertanyaan Intan Kemuning yang bernada pujian itu.
"Persoalan rumit," sahut Intan Kemuning seraya mengayunkan kakinya meninggalkan
tempat itu. "Kau tidak membuat mereka mati perlahan-lahan, kan?"
"Sebentar juga pulih," sahut Rangga yang berjalan di samping gadis itu. "Intan!
Kau bisa jelaskan padaku, bukan?" desak Rangga.
"Kau pasti kenal Putri Ratna Kumala," kata Intan Kemuning.
"Putri bungsu Prabu Galung," sahut Rangga.
Tentu saja Rangga mengenalnya. Pasti gadis itu sudah berusia sekitar tujuh belas
tahun. Putri Ratna Kumala memang cantik. Begitu cantiknya, sehingga membuat iri
gadis-gadis lain yang berada di istana.
Tidak heran kalau Putri Ratna Kumala diberi gelar Kembang Kedaton, karena tidak
ada seorang gadis pun yang menyamai kecantikannya. Bahkan kedua kakak
perempuannya pun, tidak bisa menandingi kecantikan gadis itu.
Kecantikan memang membuat orang yang me-milikinya merasa bangga. Tapi kecantikan
dapat juga menimbulkan masalah besar. Tidak ubahnya seperti bunga yang indah dan
sarat madu. Pasti akan banyak mengundang kumbang untuk menikmati sari madu-nya.
Rangga mulai bisa menebak, apa yang sedang terjadi pada keluarga Prabu Galung.
"Berapa banyak laki-laki yang tertarik padanya, Intan?" tanya Rangga.
"Empat. Salah satunya, Manggala," sahut Intan Kemuning.
"Kau tadi menyebutnya dengan gelar raden.
Apakah dia keturunan bangsawan?" tanya Rangga lagi.
"Mungkin," sahut Intan Kemuning mendesah.
"Mungkin...?" Rangga jadi heran mendengar jawaban gadis ini.
"Aku tidak tahu pasti siapa dirinya yang sebenarnya, Kakang. Dia sendiri yang
menyebutkan namanya sebagai Raden Manggala, ketika datang melamar Putri Ratna
Kumala. Tapi lamaran itu ditolak. Dan rupanya hatinya tidak puas dengan
penolakan Prabu Galung yang halus," jelas Intan Kemuning.
"Lalu, siapa lagi selain Manggala?" tanya Rangga ingin tahu.
"Jaka Keling."
"Siapa dia?"
"Orang dari kalangan persilatan. Ilmunya sangat tinggi. Dia sempat menewaskan
lima puluh prajurit ketika lamarannya ditolak."
"Lalu, siapa lagi?"
"Si Kembar dari Utara."
"Hm...."
"Kau kenal, Kakang?"
"Tidak," sahut Rangga. "Teruskan, Intan."
"Si Kembar dari Utara sudah cukup berumur.
Mungkin sebaya ayahku. Hanya mereka yang sempat mengancam akan menculik Putri
Ratna Kumala jika lamarannya ditolak."
"Edan...! Sudah tua seperti itu masih mau dengan gadis muda...?" Rangga
keheranan. "Bukan untuknya, tapi untuk muridnya," Intan Kemuning meluruskan.
"Siapa muridnya?" tanya Rangga.
"Mandraka. Orangnya cukup tampan, tapi sikapnya
sangat urakan dan tidak tahu tata krama. Dia malah sempat membunuh dua orang
panglima."
"Lantas, siapa sebenarnya yang kini menguasai istana?" tanya Rangga ingin tahu
lebih jelas. "Empat Dewa Keadilan dari Selatan," sahut Intan Kemuning.
"Lain orang lagi?"
"Benar."
"Ada kaitannya dengan Putri Ratna Kumala juga?"
"Kalau itu aku tidak tahu, Kakang. Sebaiknya nanti tanyakan saja pada ayahku."
"Intan, untuk apa kita ke Puri Kencana?" tanya Rangga seraya memandang bangunan
puri dari batu yang sudah terlihat puncaknya, menyembul di atas pucuk dedaunan.
"Menemui ayah," sahut Intan Kemuning.
"Ayahmu berada di puri" Lalu mereka tadi...?" lagi-lagi Rangga dibuat bingung.
"Sudah dua pekan ayah terkurung di sana. Seluruh pelataran puri sudah terkepung
orang-orang liar yang mengenakan seragam prajurit."
"Sepertinya kau menuduh mereka bukan prajurit, Intan."
"Mereka memang bukan prajurit. Hanya seragam-nya saja yang prajurit. Lagi pula,
mereka orang-orangnya Manggala, dan bukan prajurit Galung."
"Prajurit-prajurit berkuda yang bersama Nyai Walungkar tadi?" Rangga seketika
teringat prajurit yang berkuda bersama perempuan tua berjubah biru.
"Sekarang ini, sukar membedakan mana prajurit asli dan yang palsu, Kakang. Aku
sendiri tidak tahu.
Sepertinya mereka memiliki prajurit masing-masing dengan seragam sama. Tapi aku
tidak pernah melihat mereka saling berhubungan satu sama lain. Aku juga
tidak menemukan adanya persekongkolan di antara mereka, Kakang," kembali Intan
Kemuning menjelaskan.
Putri Rajawali Hitam menghentikan langkahnya.
Rangga juga ikut berhenti. Mereka memandangi bangunan puri yang tampak tidak
terawat dan sunyi.
Pandangan mereka beredar berkeliling. Intan Kemuning tampak keheranan dengan
keadaan yang sunyi begitu. Ketika gadis itu hendak menghampiri puri, tapi Rangga
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keburu mencegah.
"Aku mendengar tarikan napas di sekeliling kita, Intan. Hati-hatilah," bisik
Rangga perlahan.
Belum lagi Intan Kemuning menyahuti, mendadak saja dari balik pohon, batu, dan
dari atas puri, berhamburan ratusan anak panah yang menghujani dua pendekar muda
itu. "Menyebar, Intan...!" seru Rangga. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Kedua pendekar itu berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari
segala arah. Ratusan anak panah berhamburan bagai hujan yang tiada hentinya. Namun sampai
sejauh ini, belum ada satu batang anak panah pun yang mampu mengenai kedua
pendekar muda itu. Padahal, Pendekar Rajawali Sakti dan Putri Rajawali Hitam
hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk menjejakkan kakinya di tanah. Sebab
begitu mendarat, mereka harus segera melenting kembali, dan berputaran
menghindari setiap anak panah yang datang.
"Hap!"
Tap! Tap...! Rangga mengibaskan tangannya, menangkap beberapa anak panah yang meluncur ke
arahnya. Lalu lengan mengerahkan tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan, anak panah itu dilemparkan ke arah datangnya tadi.
"Hiyaaa...!"
Dua puluh batang anak panah meluncur balik, cepat bagai kilat. Tak berapa lama
kemudian, terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul.
Kemudian, bermunculan tubuh-tubuh dari dalam semak dan atas pohon. Mereka
bergelimpangan karena tertancap anak panah di tubuhnya. Ada sekitar lima belas
orang. Dan itu berarti lima anak panah, yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti
tidak mengenai sasaran.
Mendadak saja hujan anak panah berhenti begitu terdengar genta berdentang satu
kali. Di atas Puri Kencana ini memang disediakan genta yang cukup besar,
sehingga suaranya menggema sampai ke seluruh pelosok Kota Kerajaan Galung.
Selagi Rangga merenung diam, dari balik pepohonan dan semak, bermunculan orangorang berpakaian prajurit yang seperti siap berperang.
Jumlah mereka begitu banyak, sehingga seluruh pelataran puri ini tertutup rapat.
Pandangan Rangga beredar ke sekeliling. Dia sedikit mengeluh, karena tidak
melihat ada jalan keluar sedikit pun juga.
Sedangkan Intan Kemuning tampak geram. Wajahnya seketika memerah bagai biji
saga. "Kali ini aku tidak akan memberi ampun jika ayahku celaka di dalam puri," desis
Intan Kemuning.
"Tahan sedikit amarahmu, Intan. Kau akan ter-makan sendiri olehnya," Rangga
memperingatkan lewat suaranya yang berbisik pelan.
"Kalau ini perbuatan Manggala, aku harus membunuhnya sekarang juga," begitu
dingin nada suara Intan Kemuning.
"Intan, tampaknya mereka memberi jalan kita
untuk masuk ke dalam puri," bisik Rangga lagi.
Intan Kemuning mengarahkan pandangan ke bangunan baru di depannya. Memang benar.
Tidak ada seorang pun dari prajurit itu yang berada di dekat pintu masuk ke
dalam puri. Perlahan Intan Kemuning melangkah menghampiri. Namun pandangan
matanya begitu tajam. Sementara Rangga tetap menunggu. Pendekar Rajawali Sakti
juga sudah bersiap siaga jika terjadi serangan terhadap Putri Rajawali Hitam.
Atau mungkin dirinya sendiri yang menjadi sasaran.
Gadis itu terus berjalan perlahan, semakin mendekati pintu masuk puri. Kakinya
berhenti melangkah setelah berada di ambang pintu yang tidak berdaun pintu.
Sebentar wajahnya berpaling pada Rangga, yang kemudian hanya dibalas dengan
anggukan kepala saja. Jelas maksudnya, Pendekar Rajawali Sakti menyuruh Intan
Kemuning terus masuk ke dalam puri itu. Gadis itu kemudian melangkah masuk.
Tubuhnya yang ramping terbungkus baju warna hitam, seketika lenyap begitu
berbelok ke kanan setelah melewati pintu masuk.
Glarrr...! Tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat. Rangga tersentak kaget setengah mati,
karena ledakan itu datang dari dalam puri. Namun sebelum Pendekar Kajawali Sakti
bergerak, mendadak saja dari dalam puri melesat bayangan hitam. Tahu-tahu di
depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri Intan Kemuning. Wajah gadis itu
semakin terlihat merah.
Bahkan matanya begitu liar, bagai bukan mata seorang gadis berdarah biru.
"Manggala...! Keluar kau, Iblis...!" seru Intan Kemuning lantang.
"Ha ha ha...!"
*** Suara tawa keras menggelegar, terdengar dari puncak puri itu. Rangga dan Intan
kemuning mendongak, menatap ke arah suara tawa tadi.
Tampak di puncak puri, berdiri seorang pemuda berbaju merah menyala. Begitu
melihat Manggala berdiri di puncak bangunan Puri Kencana, Intan Kemuning
langsung melesat cepat ke puncak puri itu.
Bagai kilat, Intan Kemuning melontarkan beberapa pukulan jarak jauh, disertai
aji kesaktian. Seketika dari kedua telapak tangannya keluar cahaya merah yang
meluruk deras ke arah Manggala. Namun cepat sekali Manggala melentingkan
tubuhnya ke udara, sehingga pukulan jarak jauh Intan Kemuning menghantam puri
yang terbuat dari batu itu.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar menggelegar, bersamaan dengan hancurnya puncak Puri
Kencana. Bangunan terbuat dari batu itu bergetar. Tampak bagian puncak puri
terpenggal akibat pukulan Intan Kemuning yang begitu dahsyat. Manggala tampak
terkejut melihat hasil dari serangan Intan Kemuning. Kaki pemuda itu mendarat
manis di tanah. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, Intan Kemuning sudah
meluruk mengejarnya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Dua kali Putri Rajawali Hitam melontarkan pukulan dahsyat ke arah kepala
Manggala. Tapi pemuda berbaju merah itu mengegoskan kepalanya, sehingga pukulan
Intan Kemuning tidak mengenai sasaran.
Bergegas Manggala melompat mundur beberapa
langkah. "Mampus kau, Iblis Keparat..! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Intan Kemuning kembali menyerang Manggala. Kali ini
pedangnya yang tersampir di punggung telah tercabut. Bukan hanya Manggala yang
terbeliak kaget. Rangga juga tersentak melihat Intan Kemuning mengeluarkan
pedangnya, yang memiliki pamor sangat dahsyat.
"Intan, tunggu...!" seru Rangga cepat, sambil melompat menghadang.
Begitu cepatnya lesatan Pendekar Rajawali Sakti itu, tahu-tahu sudah berdiri di
antara Manggala dan Intan Kemuning.
"Minggir, Kakang. Dia telah membunuh ayah!"
sentak Intan Kemuning geram.
"Heh..."! Apa..."!" Rangga terkejut bukan main mendengar ucapan gadis berbaju
hitam itu. Rangga langsung melompat kembali, masuk ke dalam Puri Kencana. Begitu cepat dan
sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap di dalam Puri
Kencana. "Kau harus menebus nyawa ayahku, Iblis
Keparat..!" geram Intan berang.
"Bukan aku yang membunuhnya, Intan," bantah Manggala.
Pada saat itu, Rangga melesat keluar dari dalam puri sambil memondong sesosok
tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh
seorang laki-laki berusia setengah baya di bawah pohon, tidak jauh dari pintu
masuk Puri Kencana.
"Kau tidak perlu mungkir, Manggala! Lihat..! Itu
buktinya!" bentak Intan Kemuning.
"Kau bisa tanyakan mereka, bahwa aku tidak membunuh ayahmu," Manggala tetap
membantah. "Keparat kau! Hiyaaat...!"
Intan Kemuning tidak dapat lagi menahan amarahnya. Hatinya benar-benar kalap
mendapatkan ayahnya sudah menjadi mayat di dalam puri. Bukan itu saja. Di dalam
puri juga masih ada mayat-mayat lain, yang terdiri dari para pengawal dan
beberapa pembesar kerajaan lain beserta keluarga. Hal ini yang membuat Intan
Kemuning tidak dapat lagi menahan luapan amarah yang seperti telah merobek
dadanya. Plak! Tapi mendadak saja sebuah bayangan putih menghadang Intan Kemuning. Akibatnya,
Putri Rajawali Hitam itu terpekik kaget begitu tangannya tersambar satu tamparan
tanpa pengerahan tenaga dalam.
"Kakang, kenapa kau menghalangiku..."!" sentak Intan Kemuning begitu melihat
Rangga sudah berdiri menghadang di depannya.
"Kendalikan amarahmu, Intan," pinta Rangga tegas.
"Tapi, dia membunuh ayahku!"
"Itu harus dibuktikan dulu," ujar Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti berbalik menghadap pada Manggala. Sebentar pandangannya
beredar ke sekeliling, tatapannya terarah pada pemuda berbaju merah di depannya.
"Benar kau yang membunuh mereka yang ada di dalam puri?" tanya Rangga, agak
tajam suaranya.
"Sudah kukatakan, bukan aku. Begitu aku datang, mereka sudah tewas semua," sahut
Manggala juga tegas.
"Kau punya senjata seperti ini?" Rangga
menunjukkan sebuah senjata berbentuk bintang yang tipis berlumur darah.
Darah itu masih segar. Juga darah yang mengalir dari leher Patih Giling Wesi,
masih tampak segar dan terus mengucur keluar. Jelas kalau ayah Intan Kemuning,
belum begitu lama tewas. Melihat senjata bintang berwarna kuning keemasan di
tangan Rangga, Intan Kemuning langsung merebutnya.
"Jaka Keling...," desis Intan Kemuning mengenali pemilik senjata berbentuk
bintang itu. Intan Kemuning langsung menatap Manggala.
Sebentar kemudian, tubuhnya melesat meninggalkan pelataran Puri Kencana ini.
Lesatannya begitu cepat dan tinggi sekali, sehingga melewati kepala para
prajurit yang mengepungnya.
"Hiyaaa...!"
Rangga juga cepat melompat mengejar Putri Rajawali Hitam itu. Sedangkan Manggala
hanya terpaku saja. Meskipun juga memiliki kepandaian tinggi, tapi tetap saja
pemuda berbaju merah itu merasa kagum bila melihat ada orang lain yang ilmu
meringankan tubuhnya begitu sempurna. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh kedua
pendekar muda itu sudah lenyap dari pandangan.
"Cepat kita ikuti mereka!" seru Manggala.
Setelah berkata demikian, Manggala bergegas berlari ke arah dua pendekar muda
tadi pergi. Orang-orang yang mengenakan seragam prajurit, bergegas mengikuti.
Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja, di
halaman depan puri itu sudah sepi. Tidak lagi terlihat seorang pun di sana.
Namun tak berapa lama kemudian, dari balik sebongkah batu yang cukup besar,
muncul seorang laki-laki tua mengenakan baju yang sangat indah dari bahan sutra halus
bersulamkan benang emas.
Kemunculannya disusul beberapa orang yang mengenakan baju warna putih bersih.
"Patih Giling Wesi...," desis laki-laki tua itu, bergegas menghampiri mayat
Patih Giling Wesi yang tergeletak tidak jauh dari pintu puri.
Laki-laki tua itu mengangkat tubuh Patih Giling Wesi, lalu memangkunya. Tidak
dipedulikan lagi darah yang mengotori pakaiannya. Tampak raut wajahnya begitu
mendung, merayapi wajah yang sudah memucat kaku.
"Kalian periksa ke dalam," perintah laki-laki tua itu pada orang-orang berbaju
putih yang berdiri saja di belakangnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka yang berjumlah sekitar dua puluh orang
bergegas masuk ke dalam puri. Tapi tak berapa lama kemudian, salah seorang
muncul lagi. Dia langsung berlutut, dan merapatkan tangannya di depan hidung.
"Mereka semua sudah tewas, Gusti," lapor laki-laki muda berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu.
"Oh, Dewata Yang Agung.... Kenapa cobaan yang kau timpakan padaku begitu
berat...?" desah laki-laki tua itu mengeluh lirih.
"Kami menunggu titah selanjutnya, Gusti."
"Makamkan mereka semua."
"Hamba laksanakan, Gusti."
Laki-laki tua itu bangkit berdiri, seraya mengarahkan pandangannya ke Timur.
Kedua bola matanya merembang. Sementara dua puluh orang berpakaian serba putih
ketat mengeluarkan mayat-mayat dari dalam puri. Sedangkan enam orang lagi
memisahkan diri, untuk membuat lubang kubur bagi
tubuh-tubuh tak bernyawa itu.
"Sudah saatnya aku bertindak. Ini tidak bisa didiamkan terus...!" desis lakilaki tua itu tajam.
"Mereka harus membayar mahal atas semua ini."
*** 4 Sementara itu, Intan Kemuning terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Tidak jauh di belakangnya, tampak Pendekar Rajawali Sakti.
Jarak satu sama lain semakin dekat saja. Begitu tinggal berjarak beberapa depa
lagi, Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran beberapa kali. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun juga, Pendekar Rajawali Sakti mendarat tepat di
depan Intan Kemuning. Gadis berbaju hitam itu langsung menghentikan larinya.
"Berhenti dulu, Intan...!" agak tertahan suara Rangga.
"Aku harus membalas kematian ayah, Kakang,"
tegas Intan Kemuning dengan napas memburu.
"Aku tahu, tapi tidak dengan amarah yang meluap.
Kau harus kendalikan diri, Intan. Berpikirlah secara jernih. Carilah bukti-bukti
nyata dulu, baru melakukan tindakan," ujar Rangga lembut.
"Ini buktinya, Kakang!" sentak Intan Kemuning seraya menunjukkan bintang emas
berlumuran darah.
"Sebuah senjata bukan jaminan untuk suatu bukti, Intan. Mungkin itu senjata Jaka
Keling. Tapi, bisa juga digunakan orang lain untuk menutupi perbuatannya,"
terdengar lembut suara Rangga.
Intan Kemuning terdiam. Kata-kata Rangga yang begitu lembut, rupanya merasuk
juga ke dalam hatinya. Dan memang, kata-kata itu tidak dapat disangkal
kebenarannya. Di dalam dunia persilatan, cara-cara
seperti ini sudah sering terjadi. Cara licik yang sering dilakukan tokoh
beraliran sesat untuk mengelabui orang lain.
"Percayalah padaku, Intan. Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja. Patih
Giling Wesi sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri," tegas Rangga.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Kakang?" tanya Intan Kemuning, mulai melemah
suaranya. "Banyak. Tapi yang paling utama adalah membebaskan Prabu Galung dan keluarganya
terlebih dahulu," sahut Rangga.
"Berarti kita harus ke istana dulu?"
"Itu kalau Prabu Galung dan keluarganya ditawan di sana," sahut Rangga lagi.
"Kalau begitu, kita harus cepat, Kakang."
Rangga tersenyum melihat gadis ini begitu ber-semangat. Dan kini hawa amarah
yang tadi meluap-luap, mulai kelihatan mereda. Mereka kemudian melanjutkan
perjalanan kembali. Tapi baru beberapa langkah berjalan, Rangga menghentikan
ayunan kakinya.
"Ada yang mengikuti kita, Intan," bisik Rangga pelan.
Selesai berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti langsung melentingkan tubuhnya
ke belakang, tanpa membalikkan tubuhnya lagi. Begitu cepatnya gerakan pemuda
berbaju rompi putih itu, sampai-sampai Intan Kemuning tidak sempat lagi bersuara
sedikit pun. Dan kini Rangga sudah lenyap di balik pepohonan yang menyemak rimbun. Tak berapa
lama kemudian... "Akh...!"
Terdengar pekikan keras yang disusul terpentalnya sesosok tubuh merah ke udara.
Tubuh berbaju merah
itu berputaran beberapa kali, lalu mendarat lunak di tanah. Bersamaan dengan
itu, Rangga melesat cepat bagai kilat, lalu manis sekali menjejakkan kakinya
sekitar lima langkah di depan orang berbaju merah itu.
"Manggala.... Apa maksudmu mengikuti kami"!"
sentak Rangga begitu mengenali orang yang mengikutinya.
"Aku hanya ingin tahu orang yang telah mem-fitnahku," sahut Manggala kalem.
"Ini bukan urusanmu, Manggala. Dan kau jangan ikut campur!" sentak Intan
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemuning yang sudah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa bilang..."! Kau masih punya urusan denganku, Intan. Sebelum Putri Ratna
Kumala diserahkan, kau tetap berurusan denganku," kali ini suara Manggala
terdengar tajam.
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu di mana Putri Ratna Kumala berada!" dengus
Intan Kemuning mulai berang.
"Ha ha ha...! Semua orang sudah tahu, Intan.
Prabu Galung dan keluarganya berhasil membebaskan diri, dan orang yang
membebaskan mereka pasti kau!"
Intan Kemuning menatap Rangga yang saat itu juga sama memandang pada gadis di
sampingnya ini.
Mereka sama-sama terkejut mendengarnya. Ternyata Prabu Galung dan keluarganya
berhasil bebas dari tawanan Empat Dewa Keadilan dari Selatan.
"Banyak yang lihat kalau orang yang membebaskan Prabu Galung adalah wanita. Dan
itu pasti kau, karena tidak ada lagi orang yang mengetahui seluk beluk tempat
tawanan mereka," sambung Manggala.
"Kau jangan coba-coba mengelabuiku, Manggala,"
desis Intan Kemuning tidak percaya.
"Kalau tidak percaya, pergi saja ke istana. Paling juga kau akan mampus dirajang
Empat Dewa Keadilan dari Selatan," dingin sekali suara Manggala.
"Dengar, Manggala. Aku akan ke sana. Dan jika kau mengada-ada, maka urusanmu
padaku menjadi lebih berat!" geram Intan Kemuning.
Selesai berkata demikian, Intan Kemuning langsung cepat melesat pergi. Rangga
bergegas mengikuti. Sementara Manggala malah tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Kau akan mati di sana, Intan...! Ha ha ha...!"
*** Di saat matahari hampir tenggelam ke dalam peraduannya, Intan Kemuning dan
Rangga sampai di depan pintu gerbang benteng Istana Galung. Keadaan sekitar
istana begitu sepi. Bahkan pintu gerbang yang tinggi dan besar terbuat dari kayu
jati tebal, juga terbuka lebar. Tidak ada seorang prajurit pun yang terlihat.
Sebentar kedua pendekar muda itu saling berpandangan. Perlahan kemudian
melangkah masuk melewati pintu gerbang benteng yang terbuka lebar.
Suasana di dalam benteng istana ini juga sunyi senyap. Tidak ada tanda-tanda
kehidupan. Bau anyir darah dan sedikit bau busuk, menyeruak menyengat hidung.
Rangga agak terpaku melihat beberapa sosok tubuh tergeletak di tangga istana.
Tubuh-tubuh yang mulai membusuk, berlumur darah kering.
"Sudah berapa lama keadaan seperti ini berlangsung, Intan?" tanya Rangga seraya
mengayunkan kakinya. "Hampir dua pekan," sahut Intan Kemuning.
"Pantas, mayat-mayat itu sudah mulai berbau busuk," desis Rangga menggumam.
Mereka terus berjalan melewati undakan tangga istana. Bau busuk semakin terasa
menyengat ber-campur bau anyir darah kering. Mereka berjalan melewati mayatmayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Rangga menghentikan langkahnya
di depan pintu masuk utama istana yang megah ini.
Sebentar diamatinya bagian dalam yang luas. Di sana juga terdapat mayat-mayat
bergelimpangan dalam keadaan membusuk.
"Di mana letak penjara, Intan?" tanya Rangga.
"Di belakang," sahut Intan Kemuning.
"Bisa melalui jalan memutar?"
"Tidak. Harus melalui Balai Pendopo Agung dulu.
Di sana ada pintu yang menghubungkan langsung ke penjara."
Rangga tidak ingin membuang waktu. Lagi pula, hidungnya sudah tidak tahan dengan
bau busuk yang semakin menyengat, sehingga membuat seluruh isi perutnya
memberontak. Pendekar Rajawali Sakti berlompatan mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, melintasi Balai Pendopo Agung yang luas. Intan Kemuning mengikuti, sambil
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang hampir mencapai kesempurnaan.
Sebentar saja mereka sudah melewati Balai Pendopo Agung, dan terus menerobos
masuk ke sebuah lorong yang pintunya telah hancur berantakan. Lorong yang agak
gelap ini tidak terlalu panjang, dan langsung tembus ke halaman belakang istana.
Kedua pendekar muda itu, berhenti setelah
keluar dari lorong.
Di sini juga tidak sedikit ditemukan mayat-mayat bergelimpangan. Kebanyakan dari
mayat yang bergelimpangan mengenakan seragam prajurit Tapi tidak sedikit pula
yang sama sekali tidak mengenakan pakaian. Tanpa dijelaskan pun, Rangga sudah
bisa menduga. Jelas pakaian mereka telah dilucuti, dan....
Ya! Para prajurit yang berkeliaran di luar, pasti bukan prajurit asli, seperti
yang dikatakan Intan Kemuning.
"Kau tunggu di sini dulu, Intan. Biar aku yang melihat ke dalam," ujar Rangga
setelah mereka berada di depan pintu penjara yang tertutup rapat.
Dari sekian banyak pintu, hanya pintu penjara saja yang masih utuh dan tertutup
rapat. Sedangkan pintu-pintu lain sudah hancur tidak karuan lagi bentuknya.
Sebelum Intan Kemuning menjawab, Rangga sudah membuka pintu penjara itu, lalu
cepat melompat masuk Intan Kemuning terpaksa menunggu di luar.
Hatinya begitu tergiris melihat mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang
tindih. Sungguh tidak pernah terpikirkan kalau kerajaan yang begini besar, bisa
hancur dalam waktu singkat saja.
Memang bagi sebuah kerajaan, lebih baik ber-tempur dengan kerajaan lain daripada
harus menghadapi sedikit tokoh rimba persilatan yang rata-rata memiliki
kepandaian tinggi. Lima puluh prajurit, bukan tandingan satu orang tokoh
persilatan. Terlebih lagi, jika kemampuan tokoh itu sudah mencapai tingkatan
yang tinggi sekali. Jelas ini sangat sukar bagi para prajurit terlatih sekalipun
untuk menandinginya. Sebuah kerajaan besar seperti Kerajaan Galung ini dapat
hancur dalam waktu singkat, meskipun oleh empat atau lima orang tokoh persilatan
saja. Selagi Intan Kemuning memandangi
mayat-mayat yang bergelimpangan dengan hati tergiris pedih, mendadak saja....
Slap...! "Heh..."! Uts!"
Intan Kemuning terkejut bukan main begitu tiba-tiba secercah cahaya keemasan
meluncur cepat bagaikan kilat ke arahnya. Namun dengan gerakan cepat dan manis
sekali, Putri Rajawali Hitam menarik tubuhnya ke kanan. Maka cahaya kuning
keemasan itu melesat, lewat sedikit di samping tubuh gadis itu.
"Bintang Emas...," desis Intan Kemuning begitu dapat melihat bentuk cahaya
keemasan yang hampir menyambar tubuhnya itu.
Dan sebelum Putri Rajawali Hitam bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja
melesat sebuah bayangan putih agak kehitaman. Begitu cepatnya berkelebat, tahutahu di depan Intan Kemuning sudah berdiri seorang pemuda berwajah hitam,
mengenakan baju putih ketat. Di pinggangnya terselip sebuah seruling berwarna
keemasan. "Jaka Keling...," desis Intan Kemuning mengenali pemuda berkulit hitam itu.
"Hhh! Kau datang sudah terlambat, Intan. Tidak ada lagi yang bisa kau dapatkan
di sini," dingin sekali suara pemuda berkulit hitam yang dikenali Intan Kemuning
bernama Jaka Keling.
"Aku datang justru mencarimu, Jaka Keling!"
dengus Intan Kemuning tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Belum pernah aku dicari seorang gadis cantik berdarah biru," Jaka
Keling seperti kesenangan. "Kau mencariku untuk menggantikan kedudukan Putri
Ratna Kumala, Intan?"
"Ih! Siapa sudi berdampingan denganmu...?" Intan Kemuning bergidik.
"Aku memang buruk, Intan. Tapi aku bisa mendapatkan sepuluh gadis yang
kecantikannya melebihimu."
"Kenapa tidak kau dapatkan saja gadis-gadis buta itu?" terasa sinis nada suara
Intan Kemuning.
"Kata-katamu terlalu menyakitkan, Intan."
"Kau sendiri telah menyakitkan aku! Kau telah membunuh ayahku...!" bentak Intan
Kemuning. "Heh..."! Jangan bicara sembarangan, Perempuan Liar...!" bentak Jaka Keling
gusar. "Aku tidak tahu di mana ayahmu bersembunyi!"
"Ini buktinya!" Intan Kemuning melemparkan senjata berbentuk bintang berwarna
keemasan. Senjata itu menancap di tanah, tepat di ujung jari kaki Jaka Keling. Pemuda berkulit hitam itu terbeliak melihat senjata yang dilemparkan Intan Kemuning.
Memang tidak dapat dipungkiri kalau itu merupakan senjata miliknya.
"Senjata itu kutemukan di tubuh ayahku. Kau tidak bisa mungkir lagi, Jaka
Keling!" desis Intan Kemuning dingin.
"Keparat..! Ini pasti perbuatan Nyai Walungkar!"
desis Jaka Keling menggeram.
"Jangan bawa-bawa orang lain, Jaka Keling! Akui saja perbuatanmu! Bukti sudah
ada, dan kau harus menebus nyawa ayahku!" tegas Intan Kemuning dingin.
Wajah yang berkulit hitam itu, kelihatan memerah.
"Bersiaplah, Jaka Keling. Hiyaaat..!"
Intan Kemuning langsung melompat menyerang sambil memberi dua pukulan beruntun
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sejenak Jaka Keling tersentak. Namun tubuhnya melenting ke belakang, lalu
berputaran beberapa kali.
Maka serangan cepat Intan Kemuning tidak sampai mengenai sasaran.
Namun Intan Kemuning terus mengejar, dan menyerang lewat jurus-jurusnya yang
mantap dan sangat berbahaya. Jaka Keling agak kerepotan juga menghindari setiap
serangan yang datang, tapi cepat dapat menguasai diri. Dan serangan-serangan
yang dilancarkan Putri Rajawali Hitam mulai dibalasnya.
Sementara Rangga yang berada di dalam penjara, mendengar suara perkelahian itu.
Pendekar Rajawali Sakti langsung keluar cepat, dan agak terkejut melihat Intan
Kemuning bertarung melawan seorang pemuda berkulit hitam mengenakan baju warna
putih ketat Dari jalannya pertarungan itu, Rangga sudah dapat melihat kalau Intan Kemuning
begitu bemafsu hendak merobohkan lawannya. Jurus-jurus yang dikerahkannya
demikian dahsyat. Malah setiap pukulannya mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Tapi, Jaka Keling rupanya juga memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Dia mampu meredam semua serangan yang dilakukan Putri Rajawali hitam.
Bahkan masih mampu membalas dengan dahsyat pula.
*** Pertarungan antara Intan Kemuning dengan Jaka Keling terus berlangsung sengit.
Entah, sudah berapa puluh jurus pertarungan itu berlangsung. Tapi sampai saat
ini belum ada tanda-tanda akan berhenti. Dan masing-masing sudah merasakan
pedasnya pukulan lawan. Namun, mereka masih tetap bertarung menggunakan jurusjurus andalan yang dahsyat
"Lepas kepalamu! Hiyaaa...!" tiba-tiba Intan Kemuning berseru nyaring.
Sret! Bet! Mendadak saja pedangnya dicabut dan langsung ditebaskan ke arah leher Jaka
Keling. Tapi pemuda berkulit hitam itu cepat melompat ke belakang sambil
mencabut senjatanya berupa seruling emas. Tebasan pedang Putri Rajawali Hitam
ditangkis dengan seruling emasnya.
Trang! Bunga api memercik begitu dua senjata beradu keras di udara. Masing-masing
berlompatan mundur sambil berputaran di udara beberapa kali. Dan begitu
menjejakkan kaki, kembali mereka melompat menerjang secara bersamaan.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Bet! Swing! Trang...! Untuk kedua kalinya senjata mereka beradu keras, hingga menimbulkan percikan
bunga api yang menyebar ke seluruh penjuru. Dan pada saat dua senjata itu beradu
di udara, bagaikan kilat Jaka Keling meliukkan tubuhnya ke kiri. Lalu, tangan
kirinya cepat dihentak-kan ke arah dada Intan Kemuning. Begitu cepatnya gerakan
yang dilakukan Jaka Keling, membuat Intan Kemuning tidak dapat lagi menghindar.
Plak! "Akh...!" Intan Kemuning menjerit agak tertahan.
Tubuhnya terpental jatuh bergulingan di tanah.
Jaka Keling cepat memburu, langsung meng-hantamkan serulingnya ke arah kepala
Putri Rajawali Hitam. Tapi gadis itu cepat mengegoskan kepalanya,
meskipun masih menelentang di tanah. Pukulan seruling emas itu meleset sedikit
saja, dan hanya menghantam bahu Intan Kemuning.
"Akh...!" lagi-lagi Intan Kemuning memekik keras agak tertahan.
Gadis itu kembali menggulirkan tubuhnya menjauh. Jaka Keling terus memburu
sambil memukul-mukulkan serulingnya, meskipun hanya mengenai tanah. Melihat
keadaan Intan Kemuning begitu gawat dan cukup membahayakan, Rangga tidak bisa
lagi tinggal diam begitu saja. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil
memberikan pukulan menghadang.
"Uts!"
Jaka Keling melompat mundur menghindari pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
Seketika Rangga juga cepat menarik pukulannya, lalu menghampiri Intan Kemuning
yang mencoba bangkit berdiri.
Tangan kiri gadis itu tidak bisa digerakkan, sehingga bibirnya meringis menahan
sakit "Kau terluka, Intan. Maaf," ucap Rangga.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memondong Intan Kemuning. Lalu bagaikan
kilat, dua tubuh itu melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Rangga, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari
pandangan mata.
"Hei...!" sentak Jaka Keling terkejut. Tapi pemuda berkulit hitam itu tidak
dapat lagi berbuat apa-apa.
Kalau mengejar pun, tidak ada gunanya lagi. Sambil mendengus, pemuda berkulit
hitam itu melangkah pergi meninggalkan tempat yang berbau busuk ini.
*** Hati-hati sekali Rangga meletakkan tubuh Intan Kemuning di atas rerumputan yang
tebal bagai permadani. Gadis itu merintih lirih sambil meringis menahan sakit.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memeriksa luka-luka di tubuh Intan Kemuning.
Keningnya berkerut begitu memeriksa bahu kiri gadis itu.
"Tulang bahumu patah, Intan," kata Rangga memberi tahu.
"Oh! Apakah masih bisa sembuh?" tanya Intan Kemuning.
"Bisa. Tapi, memerlukan waktu beberapa hari untuk memulihkan kembali," sahut
Rangga. "Dia tangguh sekali, Kakang," kata Intan Kemuning pelan. "Baru satu orang saja
aku tidak mampu menghadapi. Apalagi sampai dua, tiga orang."
"Sebenarnya kau bisa, Intan. Tapi kau terlalu didorong oleh amarah. Kau tidak
dapat mengendali-kan dirimu dengan baik," Rangga menghibur.
"Aku memang ingin membunuhnya. Habis, dia tidak mau mengaku telah membunuh
ayah," desis Intan Kemuning.
"Aku sudah mendengar semua. Dan tampaknya, memang bukan dia yang membunuh
ayahmu, Intan."
"Lalu, siapa..."! Senjata yang ada di tubuh ayah adalah senjata miliknya,
Kakang." "Kau masih saja terpancing oleh sebuah senjata.
Seharusnya kau jangan terpengaruh bentuk senjata.
Siapa saja bisa menggunakan senjata, Intan. Kau harus menyadari itu. Orang yang
membunuh ayahmu, pasti menginginkan agar kau bentrok dengan Jaka Keling. Dan
bukannya tidak mungkin kalau orang itu juga akan menggunakan senjata lain untuk
memecah belah. Dengar, Intan.... Jika senjata yang menewaskan ayahmu itu milik Prabu Galung, apa kau juga akan menuduh Prabu Galung
sebagai pembunuhnya"
Atau mungkin senjataku, misalnya. Kau juga akan menuduhku begitu?"
Intan Kemuning terdiam. Kata-kata Rangga ter-cerna dalam lubuk hatinya.
Dipandanginya wajah Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Ada rasa kekaguman di
hatinya mendengar kata-kata yang begitu arif dan bijaksana. Kata-kata yang
meluncur bagaikan dari seorang brahmana saja.
"Maaf. Bukannya aku mengguruimu, Intan. Tapi aku ingin agar kau bisa menggunakan
pikiran jernih dalam menyelesaikan kemelut ini. Aku yakin, ada sesuatu yang
tersembunyi di balik semua peristiwa ini," kata Rangga, tetap lembut suaranya.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Intan Kemuning menyesal.
"Sudahlah, lupakan saja. Yang penting sekarang, kau harus sembuh dulu. Lalu,
kita cari di mana Prabu Galung dan keluarganya kini berada. Mungkin dari Prabu
Galung bisa diperoleh banyak keterangan,"
kata Rangga seraya tersenyum.
Intan Kemuning mencoba tersenyum, tapi malah meringis. Bahu kirinya begitu
sakit, dan tak dapat digerakkan lagi. Rangga kembali memeriksa luka di tubuh
gadis itu. Diberikannya beberapa totokan lembut, untuk menghilangkan rasa sakit.
Dan itu juga hanya untuk sementara waktu saja.
"Kau bisa berdiri, Intan?"
"Akan kucoba," sahut Intan Kemuning.
Rangga membantu gadis itu berdiri. Meskipun sudah diberikannya totokan untuk
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghilangkan rasa sakit, tapi Intan Kemuning masih juga meringis.
Bahu kirinya begitu nyeri bila bergerak sedikit saja.
Perlahan Intan Kemuning mampu berdiri. Sementara Rangga memasukkan pedang gadis
itu ke dalam warangkanya.
"Aku kenal seorang tabib tidak jauh dari sini," kata Rangga memberi tahu.
"Berapa jauh?" tanya Intan Kemuning.
"Di balik bukit itu," Rangga menunjuk sebuah bukit yang tidak seberapa jauh dari
tempat ini. "Ohhh...," Intan Kemuning mengeluh lirih.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Mungkin aku tidak kuat sampai ke sana, Kakang"
Rangga tersenyum. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Intan Kemuning masih
sanggup berjalan ke bukit itu, namun kemanjaannya timbul lagi.
Kemanjaan seorang putri berdarah biru. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar
Rajawali Sakti mengangkat tubuh Intan Kemuning, lalu memondongnya.
Gadis itu melingkarkan tangannya di leher Rangga.
"Kau baik sekali, Kakang," ucap Intan Kemuning lembut.
"Simpan saja dulu pujianmu. Kau masih sakit,"
balas Rangga tersenyum.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Intan Kemuning merebahkan kepalanya di dada pemuda berbaju rompi putih
itu. Gadis itu selalu merasa damai bila berada di dekat Rangga. Rasanya dia
ingin terus sakit, dan berada di dalam pondongan seperti ini.
*** 5 Rangga memandangi perempuan tua berbaju lusuh yang tengah membalut luka di bahu
kiri Intan Kemuning. Perempuan ini bernama Nyai Paringgih.
Jarang yang tahu kalau perempuan tua itu adalah seorang tabib yang sangat ahli
dalam pengobatan berbagai macam penyakit. Bahkan Intan Kemuning yang hidup di
Hikmah Pedang Hijau 1 Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian Pendekar Sakti Im Yang 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama