Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton Bagian 2
Kerajaan Galung pun tidak tahu.
"Kau harus beristirahat di sini, paling tidak tujuh hari," kata Nyai Paringgih
setelah selesai membalut luka di bahu kiri Intan Kemuning.
Putri Rajawali Hitam itu melirik Rangga. "Jadi aku tidak boleh pergi sekarang,
Nyai?" tanya Intan Kemuning lebih jelas lagi.
"Kau bukan anak kecil lagi, bukan...?"
Intan Kemuning terdiam. Dia tahu, kalau selama tujuh hari tidak mungkin bisa
meninggalkan pondok kecil tabib ini. Kembali matanya melirik Rangga yang berdiri
di dekat pintu. Sementara Nyai Paringgih membenahi peralatannya, lalu
memasukkannya ke dalam sebuah kotak kayu.
"Bagaimana, Kakang?" Intan Kemuning meminta pendapat pada Rangga.
"Turuti saja, demi kesembuhanmu," sahut Rangga
"Tapi..?"
"Aku akan mencari Prabu Galung. Kalau sudah bertemu, aku pasti cepat ke sini
memberi kabar padamu, Intan," janji Rangga.
"Hhh... Jaka Keling keparat..!" keluh Intan Kemuning kesal.
"Jangan salahkan orang lain, Intan. Kau sendiri yang menyerang lebih dulu,
bukan?" Intan Kemuning terdiam. Entah kenapa, di hadapan Pendekar Rajawali Sakti, dia
tidak pernah bisa menang dalam berbicara. Setiap kata yang diucapkan Rangga,
selalu saja sukar dibantah lagi.
Intan Kemuning merasakan kalau Rangga tidak pernah salah. Sikap dan tutur kata
Pendekar Rajawali Sakti melebihi seorang brahmana. Begitu lembut, dan selalu
berpikiran panjang.
"Aku pergi dulu, dan jangan membuat repot Nyai Paringgih," pamit Rangga seraya
berpesan. "Ke mana kau akan pergi?" tanya Intan Kemuning.
"Yang pasti tidak keluar dari Kerajaan Galung,"
sahut Rangga. "Baiklah. Kalau aku sehat lebih cepat, pasti aku menyusul. Kau tidak perlu ke
sini lagi, Kakang"
"Asal jangan memaksakan diri. Kalau Nyai Paringgih belum mengizinkan, kau tidak
boleh memaksa," kembali Rangga berpesan.
"Baik, Ayah...," seloroh Intan.
"Dasar, setan kecil!" balas Rangga.
"Heh! Apa...?"
Intan Kemuning ingin bangkit, tapi malah meringis kesakitan. Sedangkan Rangga
sudah lebih dahulu kabur. Intan Kemuning jadi tersenyum sendiri. Jarang gadis
itu mempunyai kesempatan indah seperti ini.
Tapi tak berapa lama, senyum di bibir gadis itu menghilang. Wajahnya langsung
berubah mendung.
Dia teringat ayahnya yang telah tewas. Intan Kemuning menyesal, karena tidak
sempat mengubur jasad ayahnya. Amarahnya begitu bergolak, sehingga harus
mengejar si pembunuh secepatnya.
"Maafkan aku, Ayah. Bukannya aku tidak menghormatimu," desah Intan Kemuning lirih.
Tanpa terasa, setitik air bening menggulir jatuh dari sudut matanya. Intan
Kemuning buru-buru menyeka air matanya saat mendengar suara batuk kecil.
Wajahnya berpaling menatap Nyai Paringgih yang duduk di dekat jendela. Sungguh
tidak disadari kalau perempuan tua itu masih ada di ruangan ini.
"Apa yang kau tangisi, Intan?" tanya Nyai Paringgih dengan suara serak dan agak
kering. "Aku ingat ayah," sahut Intan Kemuning pelan.
"Aku kenal, siapa ayahmu. Dia sering datang ke sini, hanya untuk melemaskan
ototnya saja. Tidak banyak seorang patih seperti ayahmu, Intan. Sayang sekali
kalau nasibnya begitu buruk," kata Nyai Paringgih juga pelan suaranya.
"Dari mana Nyai tahu?" tanya Intan Kemuning.
"Rangga yang menceritakan padaku, ketika kau tidak sadar diri tadi."
Intan Kemuning terdiam. Gadis itu memang sempat tidak sadar sebentar. Luka-luka
di dalam tubuhnya memang cukup parah. Lebih parah lagi, luka di bahu kiri.
Tulang bahunya patah, sehingga membuat sebelah tangan kirinya seperti lumpuh,
tidak dapat digerakkan. Kalaupun bisa, sakitnya tidak tertahankan.
"Belum lama ini, juga ada seorang gadis yang datang bersama seorang laki-laki
tua yang terluka.
Tapi hanya luka luar saja. Kelihatannya seperti terkena senjata tajam," jelas
Nyai Paringgih.
"Siapa, Nyai?" tanya Inten Kemuning.
"Sayang, aku tidak menanyakan namanya. Tapi gadis itu seperti seorang pendekar.
Dia membawa pedang dan...," Nyai Paringgih berhenti.
"Dan apa, Nyai?" desak Intan Kemuning.
"Seperti sebuah kipas dari perak," tambah Nyai Paringgih, agak ragu-ragu
suaranya. "Kipas...?" Intan Kemuning tercenung. "Apakah dia memakai baju biru, Nyai?"
"Benar."
"Pandan Wangi...," desis Intan Kemuning, bisa mengenali. Dia yakin kalau gadis
itu adalah Pandan Wangi. "Lalu, siapa laki-laki tua yang dibawanya ke sini...?"
Intan Kemuning menanyakan langsung pada perempuan tua itu.
"Prabu Galung."
"Siapa..."!" Intan Kemuning terkejut setengah mati.
Dipandanginya raut wajah tua itu seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Pandan Wangi membawa Prabu Galung ke sini.."
Bukankah Rangga mengatakan kalau Pandan Wangi punya urusan sendiri" Tapi...
Intan Kemuning jadi tidak mengerti. Dia mencoba bangkit, tapi seluruh tubuhnya
begitu nyeri. Gadis itu kembali terbaring.
Terdengar keluhan panjang yang terdengar begitu berat.
"Nyai, apakah hanya mereka berdua saja yang ke sini?" tanya Intan Kemuning lagi.
"Benar, hanya mereka berdua saja," sahut Nyai Paringgih.
Intan Kemuning tidak bertanya lagi. Gadis itu sungguh menyesal, karena Rangga
tidak tahu tentang ini semua. Kalau saja tahu, tentu tidak begitu sulit bagi
Pendekar Rajawali Sakti untuk mencari di mana kini Prabu Galung berada. Tapi
yang menjadi pemikirannya saat ini, benarkah yang membebaskan Prabu Galung itu
Pandan Wangi"
*** Sementara itu, Rangga sudah jauh meninggalkan pondok Nyai Paringgih. Pendekar
Rajawali Sakti berjalan perlahan-lahan sambil menikmati segarnya udara di lereng
bukit ini. Dari lereng ini, tampak jelas Kotaraja Galung yang besar dan nampak
cantik, teratur rapi. Namun kota itu kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni.
Hanya beberapa orang saja yang terlihat melintas di jalan.
Rangga menghentikan ayunan kakinya ketika tiba-tiba mendengar denting senjata
beradu, ditingkahi teriakan-teriakan pertempuran. Dan nampaknya suara itu datang
dari sebelah kanan. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau tidak jauh di kanannya
ada sebuah jurang yang cukup dalam. Namun suara pertempuran itu demikian jelas
terdengar. Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga segera melesat cepat ke arah suara
pertarungan itu.
"Hiyaaa...!"
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga Pendekar
Rajawali Sakti bisa berlompatan ringan dan cepat bagaikan kilat. Seringan kapas
tertiup angin saja layaknya. Hanya dalam waktu sebentar saja, Pendekar Rajawali
Sakti sudah tiba di tepi jurang yang menganga dalam.
"Pandan...," desis Rangga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tidak jauh dari tepi jurang itu, terlihat seorang gadis berbaju biru tengah
bertarung melawan empat orang tua. Gadis itu menggunakan senjata berbentuk kipas
baja putih yang ujung-ujungnya runcing seperti mata anak panah. Dan tampaknya
gadis berbaju biru yang dikenali Rangga sebagai Pandan Wangi, sudah
terdesak sekali. Beberapa kali tubuhnya harus terjajar terkena pukulan dan
tendangan keras dari empat orang tua yang mengeroyoknya.
"Berhenti...!" tiba-tiba Rangga berteriak lantang menggelegar.
Begitu kerasnya bentakan Pendekar Rajawali Sakti, membuat pertarungan itu
seketika berhenti.
Begitu melihat siapa yang mengeluarkan suara bentakan menggelegar tadi, Pandan
Wangi langsung melompat menghampirinya. Tampak darah menetes keluar dari sudut
bibirnya yang ranum.
"Mereka Empat Dewa Keadilan dari Selatan, Kakang," Pandan Wangi langsung memberi
tahu. Napasnya tersengal, sehingga suaranya juga ikut tersendat
"Anak muda, siapa kau"!" bentak laki-laki tua yang mengenakan baju warna hitam
pekat. Tangannya menggenggam sebatang tongkat yang juga berwarna hitam.
"Sebaiknya kau pergi dari sini, dan jangan ikut campur urusan kami!" sambung
perempuan tua berbaju kuning. Dia memegang senjata tombak pendek bermata tiga.
"Hm.... Kalian orang-orang tua yang mengaku berjuluk Empat Dewa Keadilan dari
Selatan. Tapi kenapa mengeroyok seorang gadis yang jauh lebih muda?" terdengar
tenang suara Rangga.
"Itu bukan urusanmu!" bentak perempuan tua berbaju hijau. Di tangannya
tergenggam senjata berupa pecut buntut kuda yang hitam pekat
"Aku sering mendengar nama kalian. Rasanya memang tidak pantas dengan julukan
kalian, sebagai Dewa Keadilan. Seharusnya kalian membela kebenaran. Tapi, kenapa
justru malah menghancurkan sebuah negeri" Apa maksudmu, menyeng-sarakan banyak orang" Apa itu
yang disebut keadilan...?" tetap tenang suara Rangga.
"Monyet..! Kau menghina Empat Dewa Keadilan dari Selatan! Seharusnya hal ini kau
tanyakan langsung pada si keparat Galung! Anaknyalah yang membuat kami harus
meruntuhkan Kerajaan Galung!
Dia terlalu menghina tokoh-tokoh persilatan golongan hitam! Camkan itu!" geram
laki-laki tua berbaju merah. Pedangnya langsung disilangkan di depan dada.
"Tapi bukankah ada cara lain untuk menyelesaikannya" Dan kini, julukan itu tidak
cocok dengan sikap dan tingkah laku kalian sendiri. Kalian terlalu main hakim
sendiri." "Keparat..! Kau terlalu banyak ikut campur! Hih...!"
Laki-laki tua berbaju hitam, mengebutkan tongkatnya sambil melompat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!"
Namun hanya sedikit saja Rangga menarik tubuhnya ke belakang, maka sabetan
tongkat hitam itu hanya lewat di depan dadanya. Dan sebelum Pendekar Rajawali
Sakti bisa menegakkan tubuhnya kembali, dari arah lain datang serangan yang
cepat dari sebatang pedang keperakan.
Bet! "Hup...!"
Cepat-cepat Rangga melompat ke samping, menghindari sabetan pedang. Dan Pendekar
Rajawali Sakti segera bersiap untuk menerima serangan lagi.
Begitu siap, datang lagi serangan yang kali ini dari dua arah sekaligus. Dan
selagi Rangga sibuk menghindari serangan-serangan itu, dua perempuan tua
yang masih berdiam diri segera berlompatan menyerang Pandan Wangi. Tentu saja si
Kipas Maut itu tidak mau tinggal diam. Pedangnya cepat dicabut begitu
memindahkan kipas mautnya ke tangan kiri.
"Hiyaaat..!"
Trang! Pertarungan kini berlangsung dalam dua
kelompok. Pandan Wangi yang sudah bangkit kembali semangatnya, tidak tanggungtanggung lagi. Jurus-jurus 'Naga Geni' yang dahsyat dan sudah disempurnakan
segera dikerahkannya. Pedangnya yang memancarkan cahaya merah bagai api,
berkelebat cepat membuat dua perempuan tua itu jadi kelabakan menghindarinya.
Terlebih lagi, pedang si Kipas Maut itu juga mengeluarkan hawa panas menyengat,
sehingga membuat sesak pemapasan.
Sementara pertarungan antara Rangga melawan dua orang laki-laki tua, juga tidak
kalah dahsyatnya.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti harus bergulingan di tanah, menghindari
tebasan pedang dan sabetan tongkat lawannya. Namun tampaknya, pemuda berbaju
rompi putih itu tidak memberi perlawanan berarti. Hal itu memang sudah menjadi
wataknya yang tidak ingin melakukan tindak kekerasan, sebelum diyakini benarbenar kesalahan lawannya. Pendekar Rajawali Sakti hanya mempergunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', namun itu saja sudah membuat kedua lawannya tidak
mampu mendesak. Padahal mereka sudah mengganti-ganti jurus dan pola serangan.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Seketika itu juga, mereka yang sedang bertarung menghentikan pertarungannya.
Mereka sama-sama
berlompatan mundur. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari tempat
pertarungan sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya, pakaiannya terbuat
dari sutra halus.
"Gusti Prabu...," desah Pandan Wangi, langsung cerah wajahnya melihat laki-laki
setengah baya itu muncul.
Rangga juga terkejut melihat Prabu Galung dalam keadaan segar bugar. Di belakang
laki-laki setengah baya itu, berdiri berjajar puluhan prajurit bersenjata
lengkap. Mereka terbagi dalam empat kelompok, yang masing-masing kelompok
dipimpin seorang panglima.
"Akhirnya kau muncul juga, Galung," desis Ki Ganda. Laki-laki tua yang
mengenakan baju hitam bersenjatakan tongkat
"Hentikan semua pertikaian tiada guna ini," tegas Prabu Galung.
"Tiada guna..." Phuih! Kau harus bertanggung jawab atas kematian saudara kami!"
bentak Nyai Kunir sengit. Dia adalah perempuan tua yang mengenakan baju kuning.
Senjatanya berupa tombak bermata tiga.
"Saudara kalian bersalah. Dia mencoba melakukan pemberontakan dan menghasut
rakyat. Jadi sudah sepantasnya bila mendapatkan hukuman setimpal."
"Kau jangan coba berdalih, Galung! Saudara kami hanya ingin membebaskan rakyat
dari kesengsaraan!
Kau telah berlaku semena-mena, dan memperkaya diri sendiri!" agak lantang suara
Nyai Caring. Perempuan tua ini mengenakan baju hijau, dan bersenjatakan pecut buntut kuda.
"Tidak ada rakyatku yang sengsara. Dan sekarang
mereka memang mengalami kesusahan akibat perbuatan kalian! Aku tidak ingin jatuh
korban lebih banyak lagi. Maka kuminta kalian menyerah untuk mendapatkan
pengadilan," tetap tegas kata-kata Prabu Galung.
"Ha ha ha...! Bicaramu enaksekali, Galung. Justru kami datang untuk mengadilimu!
Bukan malah kau yang mengadili kami!" selak Ki Dulang yang sejak tadi diam saja.
Laki-laki tua berbaju merah ini langsung mengarahkan pandangannya ke tiga orang
temannya. "Sudah! Jangan banyak bicara!" sentak Ki Ganda.
"Jika kau mampu menangkap kami, tangkaplah. Tapi aku khawatir sisa prajuritmu
akan habis hari ini!"
Empat Dewa Keadilan dari Selatan tertawa terbahak-bahak. Sementara Prabu Galung
hanya melirik Rangga. Tapi yang dilirik hanya diam saja.
Perlahan laki-laki setengah baya itu mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku yakin, kau mampu mengalahkan mereka, Rangga," bisik Prabu Galung.
"Mereka berkepandaian tinggi. Sebaiknya Gusti Prabu tidak mengerahkan prajurit.
Akan sia-sia saja,"
sahut Rangga juga berbisik.
"Aku sudah terlalu banyak merepotkan Pandan Wangi. Tapi aku harus meminta
bantuan kalian sekali lagi," pinta Prabu Galung.
Rangga hanya tersenyum saja. Diliriknya Pandan Wangi. Tampak keadaan gadis itu
sangat mem-prihatinkan. Dan tampaknya, sudah tidak kuat lagi untuk melakukan
pertarungan panjang. Apalagi lawan yang akan dihadapi memiliki kepandaian yang
tidak bisa dianggap enteng.
"Sebaiknya Gusti Prabu menyingkir yang jauh, dan bawa prajurit itu pergi," ujar
Rangga. "Kau akan menghadapi mereka sendiri, Rangga?"
tanya Prabu Galung.
"Berdua dengan Pandan Wangi," sahut Rangga.
"Baiklah. Aku percaya pada kalian berdua. Sayang, sampai saat ini aku belum
bertemu Intan Kemuning.
Kalau dia ada, pasti tidak akan separah ini jadinya."
"Bergegaslah, Gusti Prabu. Jangan sampai mereka melukai para prajurit."
"Baiklah, Rangga. Aku akan segera kembali setelah membawa prajuritku ke tempat
yang aman."
Prabu Galung memerintahkan prajuritnya untuk mundur. Hal ini membuat empat orang
tua itu tertawa terbahak-bahak. Namun Prabu Galung tidak mempedulikan sama
sekali, dan terus pergi meninggalkan tempat ini.
"Hei, Galung...! Kau tidak bisa pergi begitu saja!"
seru Ki Ganda keras menggelegar.
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prabu Galung masih tetap tidak mempedulikan.
Dia sudah begitu percaya pada kemampuan Rangga dan Pandan Wangi. Melihat
seruannya tidak digubris sama sekali, Ki Ganda jadi geram. Seketika tubuhnya
melesat cepat hendak mencegah kepergian Prabu Galung. Tapi pada saat yang tepat,
Rangga sudah melompat mencegah. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi,
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti untuk mencegah Ki Ganda yang akan mengejar
Prabu Galung dan prajuritnya.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Setan...!" umpat Ki Ganda seraya cepat melentingkan tubuhnya, menghindari
serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.
Hampir bersamaan, mereka kembali menjejakkan kakinya di tanah. Ki Ganda
mengumpat kesal.
Kakinya segera digeser sedikit ke kanan. Lalu dengan
gerakan cepat bagaikan kilat, laki-laki tua berbaju hitam itu melompat menerjang
Rangga. "Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
*** Tepat ketika Ki Ganda berada di atas kepala, Rangga menghentakkan satu pukulan
keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Begitu keras dan cepatnya
pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat Ki Ganda agak
kelabakan juga menghindarinya. Untunglah dia bisa mengelak dari hantaman tangan
yang memerah bagai terbakar itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Kembali Ki Ganda melakukan serangan cepat dan dahsyat. Beberapa pukulan keras
bertenaga dalam tinggi dilepaskan secara beruntun, mengurung ruang gerak pemuda
berbaju rompi putih itu. Pada saat Rangga sedang menghindari serangan Ki Ganda,
Ki Dulang melompat menyerang pula. Begitu cepat dan mendadak serangannya
sehingga membuat Rangga sedikit terperangah.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara, mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Begitu berada di udara, kedua tangannya yang terkembang
dikibaskan cepat bagai kilat. Langsung diserangnya Ki Dulang yang juga berada di
udara. Dua kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti dapat dihindari Ki Dulang. Tapi
begitu Rangga melakukan kibasan yang ketiga, laki-laki tua berbaju merah itu tak
dapat lagi menghindari. Telapak tangan pemuda
berbaju rompi putih itu tepat menghantam dada Ki Dulang dengan keras sekali.
Des! "Aaakh...!" Ki Dulang terpekik.
Ki Dulang terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang telah
bergambar telapak tangan berwarna merah kehitaman, bekas telapak tangan Pendekar
Rajawali Sakti.
Belum juga keseimbangan tubuhnya sempat dikuasai, Rangga sudah melompat
menerjang mempergunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Satu pukulan menggeledek bertenaga dalam sempurna, dilepaskan pemuda berbaju
rompi putih itu dan ternyata memang tepat mendarat di dada Ki Dulang.
"Hiyaaa...!"
Diegkh! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat, bersamaan
terjungkalnya tubuh Ki Dulang.
Dari mulut dan hidung laki-laki tua itu tampak mengeluarkan darah kental
kehitaman. Hanya sebentar saja laki-laki tua berbaju merah itu mampu menggeliat
dan merintih, kemudian diam mengejang kaku tak bernyawa lagi.
"Keparat..!" geram Ki Ganda marah melihat Ki Dulang tewas.
Rangga memutar tubuhnya, menghadap laki-laki tua berbaju hitam itu. Matanya
sempat melirik Pandan Wangi yang kini sudah menghadapi dua orang wanita tua yang
berkepandaian tinggi.
Tampaknya si Kipas Maut itu mampu mengatasi kedua lawannya. Dengan dua senjata
maut di tangan, memang tidak mudah untuk menaklukkan gadis itu.
Sementara itu Rangga kini kembali mengalihkan perhatiannya pada Ki Ganda.
"Kau harus mampus, Keparat..! Hiyaaat..!" teriak Ki Ganda.
Cepat sekali laki-laki tua itu melompat sambil mengebutkan tongkatnya beberapa
kali. Namun Rangga hanya meliuk-liukkan tubuhnya saja, yang diimbangi gerak kaki
yang lincah. Tidak salah lagi, Pendekar Rajawali Sakti hanya mempergunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Hal ini membuat Ki Ganda jadi kelabakan, karena
serangan yang dilancarkannya tidak ada yang bisa mengenai sasaran satu pun juga.
"Aku tidak ingin melukaimu, Kisanak. Pergilah, sebelum pikiranku berubah!"
sentak Rangga seraya memiringkan tubuhnya, menghindari tebasan tongkat laki-laki
tua berbaju hitam itu.
"Jangan banyak omong! Hiyaaat..!" geram Ki Ganda gusar.
Laki-laki tua itu semakin memperhebat serangannya. Dan Rangga merasa kalau sudah
tidak mungkin lagi mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Pendekar Rajawali Sakti segera merubah jurusnya, menjadi jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali'.
"Kau yang memaksaku untuk bertindak, Kisanak.
Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, lalu melewati kepala Ki
Ganda. Saat itu juga, Rangga mengubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat sambil
meluruk deras ke arah kepala Ki Ganda.
Bet! Bet..! Ki Ganda mengebutkan tongkatnya untuk
melindungi kepalanya dari serangan kedua kaki
Pendekar Rajawali Sakti. Namun tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju rompi
putih itu memutar tubuhnya. Dan kini kepalanya berada di bawah. Tepat saat
berada di depan dada Ki Ganda, diberikannya satu pukulan keras menggeledek yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Pukulan Rangga yang begitu cepat dan tidak terduga itu membuat Ki Ganda
terperangah. Dan laki-laki tua berbaju hitam itu terlambat untuk menarik
dirinya, menghindari serangan itu. Maka pukulan Rangga tepat menghantam dadanya.
Diegkh! "Akh...!"
*** 6 Ki Ganda terpental deras ke belakang. Punggungnya langsung menghantam sebatang
pohon, hingga bergoyang bagai dilanda angin topan. Laki-laki tua berbaju hitam
itu menggeliat, mencoba bangkit berdiri. Sedangkan Rangga hanya menunggu saja,
berdiri tegak sambil menatap tajam. Perlahan Ki Ganda berdiri sambil memegangi
dadanya yang terasa sesak. Napasnya begitu tersengal, seakan-akan ada sebongkah
batu besar mengganjal rongga dadanya.
"Aku masih memberimu kesempatan pergi dari sini, Kisanak," kata Rangga dingin
menggetarkan. "Phuih! Keparat..!" geram Ki Ganda seraya menyemburkan ludahnya dengan sengit
Mata laki-laki tua itu menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya
begitu menusuk.
Sebentar dia membuat beberapa gerakan sambil mengatur pernapasan. Kemudian
tongkatnya disilangkan di depan dada. Perlahan namun pasti, laki-laki tua
berbaju hitam itu merentangkan tongkatnya ke depan.
Dan kini tongkat itu mengepulkan asap berwarna hitam pekat. Rangga bergegas
menarik kakinya ke belakang dua langkah. Dirasakan asap hitam itu mengandung
racun yang sangat kuat dan mematikan.
Pendekar Rajawali Sakti cepat membuat beberapa gerakan dengan tangannya.
Disumbatnya beberapa aliran darah yang peka terhadap racun. Rangga juga
memindahkan jalan pernapasannya ke perut
"Sekarang kau akan mampus, Bocah Setan...!"
desis Ki Ganda dingin.
Perlahan-lahan, Ki Ganda mengayunkan kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Asap yang keluar dan ujung tongkatnya semakin banyak dan menggumpal tebal.
Sementara Rangga mulai mcnggeser kakinya ke kanan. Nampaknya racun itu semakin
menyebar bersama asap, dan semakin bertambah kuat.
"Aku harus melenyapkan asap beracun ini sebelum menyebar terbawa angin," gumam
Rangga da lam hati.
Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti melakukan tindakan, mendadak saja Ki Ganda
sudah melompat menyerangnya dengan cepat sekali.
"Hiyaaat...!" "Hup! Yeaaah...!"
Bergegas Rangga melompat ke samping sambil memiringkan tubuhnya, menghindari
tebasan tongkat yang terus mengepulkan asap hitam beracun. Dan b-gitu tongkat
itu lewat, cepat sekali tangannya dikibaskan ke perut.
Bet! Tapi Ki Ganda cepat berkelit dengan menarik perutnya ke belakang. Dan kini malah
melompat ke samping sambil mengibaskan tongkatnya. Rangga segera melentingkan
tubuh ke udara. Dan dengan mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa', Pendekar Rajawali Sakti segera melakukan serangan yang diarahkan ke
kepala laki-laki tua berbaju hitam itu.
"Hiya! Yeaaah...!"
"Ih! "
Bet! Ki Ganda cepat mengibaskan tongkat, melindungi
kepala dari sasaran kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa diduga sama
sekali, pemuda berbaju rompi putih itu melenting dan berputar dua kali. Dan
dengan manis sekali, kakinya mendarat cepat di belakang Ki Ganda. Rangga
langsung memutar tubuhnya sambil memberi satu sodokan sikut, dan tepat
menghantam punggung Ki Ganda.
"Akh...!" Ki Ganda terpekik agak tertahan.
Laki-laki tua berbaju hitam itu kembali terhuyung ke depan. Dan sebelum sempat
menguasai keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah memberi satu tendangan keras menggeledek.
"Hiyaaa...!"
Des! Tendangan Pendekar Rajawali Sakti membuat Ki Ganda tersungkur mencium tanah.
Dengan gerakan lemah, laki-laki tua berbaju hitam itu mencoba bangkit berdiri.
Sementara Rangga kembali memberi kesempatan untuk mengumpulkan tenaga dan
kekuatan lawannya.
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan melengking tinggi. Rangga dan Ki Ganda
cepat menoleh ke arah yang sama. Tampak Nyai Caring terhuyung-huyung sambil
memegangi perutnya. Tampak darah mengucur deras dari perutnya. Sebentar kemudian
Nyai Caring ambruk ke tanah, dan langsung tak bergerak lagi Malam ini nasib Nyai
Caring benar-benar sial, karena nyawanya harus terbang ke neraka.
Kematian Nyai Caring membuat hati Ki Ganda dan Nyai Kunir jadi bergetar. Selama
ini mereka berempat adalah tokoh persilatan yang tidak pernah gagal dan sangat
ditakuti lawan maupun kawan. Dengan tewasnya dua orang, itu sudah merupakan satu
pertanda kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian yang tidak bisa diukur.
Padahal, mereka masih tergolong muda.
"Hup...!"
Ki Ganda melompat menghampiri Nyai Kunir.
Sedangkan bukan Rangga yang menghampiri Pandan Wangi, tapi malah gadis itu yang
mendekatinya dengan kaki terseret ringan. Mereka kini saling berdiri berhadapan,
bertatapan tajam penuh arti tersembunyi.
"Bagaimana, Nyai" Diteruskan, apa tidak?" tanya Ki Ganda berbisik.
"Sepertinya kita tidak mungkin menghadapi mereka lagi, Kakang. Sebaiknya kita
cari saat yang tepat dulu. Kejadian ini harus diberitahukan kepada Nyai
Walungkar," sahut Nyai Kunir.
"Ayolah, jangan menunggu waktu lagi."
Kedua orang tua itu langsung saja cepat melesat pergi, tanpa berkata apa-apa
lagi. Pandan Wangi hendak mengejar, tapi Rangga cepat mencekal tangan gadis itu.
Si Kipas Maut tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti hendak membiarkan saja mereka
pergi. "Mereka pasti kembali lagi, Kakang," kata Pandan Wangi
"Itu sudah pasti, Pandan," sahut Rangga. "Hm..., aku ada sedikit pertanyaan
untukmu." "Aku tahu, kau pasti akan menanyakan bagaimana urusanku" Sudah beres apa belum"
Kenapa tiba-tiba ada di sini, dan sampai bentrok dengan orang-orang tua itu. Dan
kapan aku bertemu Prabu Galung, iya kan...?" Pandan Wangi langsung memberondong
dengan tebakannya sendiri.
Rangga jadi terdiam. Pendekar Rajawali Sakti
memang ingin menanyakan itu semua pada Pandan Wangi. Sedangkan, baru saja si
Kipas Maut itu membeberkan semua pertanyaan yang masih berada di dalam benaknya.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja, kemudian melangkah perlahan meninggalkan
tempat ini. Pandan Wangi bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di
samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bisa jelaskan padaku, Pandan?" pinta Rangga
"Tentu saja bisa. Dan aku memang akan menjelaskannya padamu, tanpa diminta,"
sahut Pandan Wangi enteng.
Rangga diam saja, dan terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Sementara Pandan
Wangi mengikuti terus di sampingnya. Gadis itu juga masih tetap diam, seakan
sengaja menguji kesabaran pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kapan kau menjelaskannya, Pandan...?"
"Ha ha ha.... Rupanya kau tidak sabar juga, Kakang,"
"Sial!" rutuk Rangga merasa kena dipecundangi.
Pandan Wangi terus tertawa lepas tergerai. Rangga hanya diam saja, tapi akhirnya
ikut tertawa juga.
Pandan Wangi memang nakal, sering membuat ulah.
Dan biasanya Rangga tidak bisa menduga kalau sedang dipecundangi gadis ini.
Rangga benar-benar mengakui takluk, dalam arti kata lain.
*** "Aku langsung ke sini setelah urusanku selesai, Kakang. Kupikir, kau berada di
Istana Kerajaan Galung. Makanya aku langsung saja ke sana,"
Pandan Wangi memulai mengisahkan perjalanannya hingga sekarang berada di
Kerajaan Galung ini.
"Lalu...?" Rangga minta diteruskan.
"Kalau sudah ke istana, tentu kau akan terkejut, Kakang."
"Aku memang sudah ke sana."
"Enam orang berpakaian prajurit langsung menyerang begitu aku sampai di depan
pintu gerbang istana. Aku sendiri jadi heran. Setelah melumpuhkan mereka, aku
lalu memeriksa ke dalam. Ternyata yang kutemui hanya mayat bergelimpangan,"
lanjut Pandan Wangi.
"Bagaimana kau bertemu Prabu Galung?" tanya Rangga ingin tahu.
"Waktu memeriksa sekitar istana, aku mendengar suara rintihan. Dan suara itu
datang dari kamar pribadi Prabu Galung. Di sana, seorang panglima tergeletak di
lantai dalam keadaan terluka sangat parah. Dia hanya sempat mengatakan kalau
Prabu Galung dan seluruh keluarganya berada di dalam tahanan. Hanya itu saja
yang diucapkan, kemudian meninggal," lanjut Pandan Wangi.
"Dan kau langsung ke kamar tahanan?"
"Memang tidak ada lagi yang bisa kulakukan di sana, Kakang. Aku langsung ke
kamar tahanan, dan kutemukan Prabu Galung bersama keluarganya di sana. Juga
beberapa puluh prajurit, pembesar-pembesar istana beserta keluarganya. Semua
kamar tahanan terisi penuh. Mereka kubebaskan tanpa kesulitan sama sekali."
"Memangnya tidak ada yang menjaga?"
"Ada beberapa, tapi bisa kulumpuhkan."
"Kau menewaskan mereka?"
"Hanya kulumpuhkan saja, Kakang."
Rangga menarik napas panjang. Rupanya Pandan Wangi juga telah mulai tidak
bermain tangan besi lagi.
Dan ini memang menyenangkan hati Pendekar Rajawali Sakti. Berarti Pandan Wangi
benar-benar sudah berubah. Tidak lagi bersikap semaunya, dan tidak lagi
bertangan besi dalam menghadapi lawan-lawannya, jika tidak dalam keadaan
terpaksa. "Di mana mereka sekarang berada?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Di tempat yang cukup aman," sahut Pandan Wangi.
"Kapan kau datang ke sini?" tanya Rangga lagi.
"Kemarin malam," sahut Pandan Wangi lagi
"Kemarin malam...?"
Jawaban Pandan Wangi tadi tentu saja membuat Rangga terperanjat. Sedangkan dia
sendiri baru kemarin malam berada di Kerajaan Galung ini. Dan itu berarti Pandan
Wangi membebaskan Prabu Galung dan keluarganya di saat Empat Dewa Keadilan dari
Selatan sedang tidak berada di istana.
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena Rangga tahu, kalau mereka berada di lembah bersama Nyai Walungkar.
Rangga yakin kalau orang-orang yang berada di lembah waktu itu adalah Empat Dewa
Keadilan dari Selatan dan Nyai Walungkar. Pendekar Rajawali Sakti, mendesis
kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kini baru disadari keadaan yang sedang dihadapinya sekarang ini. Sudah pasti,
antara Empat Dewa Keadilan dari Selatan, Nyai Walungkar, si Kembar dari Utara,
Jaka Keling, dan Raden Manggala pasti memiliki satu hubungan dan tujuan yang
sama. Dan mereka benar-benar membuat sebuah gerhana di Kerajaan Galung. Hanya saja
mereka bersiasat
dengan melibatkan si Kembang Kedaton, Putri Ratna Kumala.
"Aku yakin kalau alasan mereka menghancurkan kerajaan ini tidak sesepele itu.
Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa ini...,"
desah Rangga menduga-duga.
"Kau bicara dengan siapa, Kakang?" tegur Pandan Wangi.
"Oh, tidak.... Aku bicara sendiri," sahut Rangga.
"Sudah gila, barangkali. Bicara sendiri...."
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan
langkahnya, diikuti Pandan Wangi. Tampak dari arah depan, beberapa orang berkuda
menuju ke arah mereka. Ada enam orang penunggang kuda berbaju putih. Dan
nampaknya yang berkuda paling depan adalah Prabu Galung.
*** Prabu Galung bergegas melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan ringan
dan indah sekali. Lima orang yang berkuda di belakangnya, segera mengikuti.
Mereka menghampiri Rangga dan Pandan Wangi yang menunggu saja tanpa menggerakkan
kakinya sedikit pun juga.
"Syukur kalian cepat kembali," ujar Prabu Galung dengan napas agak terengah.
"Ada apa, Gusti Prabu?" tanya Pandan Wangi mehhat raut wajah laki-laki setengah
baya itu memerah penuh keringat dan debu.
"Aku tadi bermaksud menyusul kalian. Dan mereka sudah mengetahui tempat kita,
Pandan," jelas Prabu Galung.
"Maksud, Gusti Prabu...?" tanya Pandan Wangi meminta penjelasan.
"Si Kembar dari Utara. Mereka mengepung mulut gua dengan orang-orangnya yang
berjumlah banyak."
"Ke mana yang lain?" tanya Rangga, karena tadi Prabu Galung membawa cukup banyak
prajurit yang berganti baju, tidak berseragam prajurit
"Mereka kutugaskan mengamati keadaan dari tempat yang tersembunyi," sahut Prabu
Galung. "Mereka sudah melakukan tindakan?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Belum."
"Hm..., ini aneh. Dari mana mereka tahu tempat itu...?" gumam Pandan Wangi
pelan. Gadis berbaju biru itu memandang Rangga. Dan yang dipandang hanya mendongakkan
kepalanya saja seraya menghembuskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti jadi
berpikir keras.
Bisa dibayangkan kalau orang-orang yang dibawa si Kembar dari Utara pasti
berjumlah besar dan memiliki pengalaman di dalam pertarungan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas
Maut saja yang harus menghadapi dan menyelesaikan kemelut ini.
Masalahnya, bukan hanya satu dua orang saja yang harus dihadapi. Tapi banyak.
Dan masing-masing orang memiliki perangkat kekuatan sendiri yang tidak bisa
dianggap enteng. Suasana seperti ini memang sangat sulit.
"Apa yang harus kulakukan sekarang" Jumlah prajuritku tidak cukup untuk
menghadapi mereka.
Apalagi prajuritku sudah benar-benar lelah," keluh Prabu Galung seperti putus
asa. "Aku akan memancing mereka," sahut Rangga.
"Apakah sudah ada yang keluar dari dalam gua?"
"Sampai saat ini, belum."
"Bagus. Itu berarti mereka masih menunggu kebenaran. Aku yakin, begitu ada yang
keluar, mereka pasti menyerang."
"Hanya ada dua puluh orang prajurit dan dua orang panglima di dalam gua," lagilagi Prabu Galung mengeluh.
"Aku tidak bisa menjamin, Gusti Prabu. Ini baru usaha untuk memancing mereka
meninggalkan gua saja. Tapi prajurit yang ada juga harus siap," sergah Rangga.
"Aku percaya pada kalian. Hhh... Seandainya Putri Rajawali Hitam ada, tentu
menambah kekuatan. Dan mereka akan terusir dari negeri ini," keluh Prabu Galung
lagi. "Sudahlah, Gusti Prabu. Mudah-mudahan kami bisa mengusir mereka. Kalaupun
terpaksa, mungkin terjadi bentrokan. Tapi aku akan berusaha melakukan perdamaian
tanpa kekerasan," janji Rangga.
"Terima kasih, Rangga," ucap Prabu Galung.
"Ayo, Pandan," ajak Rangga.
Belum juga Pandan Wangi mengangguk, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat melesat
pergi. Pandan Wangi bergegas melesat mengikutinya. Kalau saja Rangga mengerahkan
seluruh tingkatan ilmu meringankan tubuhnya, pasti Pandan Wangi akan tertinggal
jauh. Malah bukannya tidak mungkin akan kehilangan jejak.
Tapi Rangga seperti menunggu, karena memang tidak tahu jalan yang harus
ditempuh. Pandan Wangi memang belum mengatakan tempat keluarga Prabu Galung dan
yang lainnya bersembunyi dari incaran musuh-musuhnya. Si Kipas Maut itu berlari
di samping Rangga yang tidak juga menghentikan lari cepatnya.
"Pandan, bukankah ini menuju ke Lembah
Neraka...?" Rangga mengenali jalan yang dituju Pandan Wangi.
"Memang," sahut Pandan Wangi singkat
"Kau membawa mereka ke sana?"
"Bukan di Lembah Neraka-nya, tapi tidak jauh dari sana," sahut Pandan Wangi
tanpa mengendorkan larinya.
"Maksudmu, di Gua Ular...?"
Pandan Wangi tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja seraya berpaling sedikit.
Dan Rangga mendadak menghentikan larinya, maka seketika Pandan Wangi juga ikut
berhenti. "Kau terlalu nekat membawa mereka ke sana, Pandan," tegur Rangga yang kenal
betul dengan daerah di sekitar Lembah Neraka.
Sebuah tempat yang sangat berbahaya dan jarang dimasuki orang. Cerita-cerita
mengerikan sering didengungkan, membuat seluruh rakyat Kerajaan Galung tidak ada
yang berani menginjakkan kakinya di sana. Benar dan tidaknya cerita tentang
lembah maut itu, tidak bisa dibuktikan dengan nyata. Tapi justru hal itu sudah
begitu meresap di hati semua orang. Rangga sendiri tidak percaya kalau di
sekitar Lembah Neraka dihuni berbagai macam jin, setan, dan segala bentuk
makhluk halus lainnya yang tidak bisa membiarkan siapa saja yang masuk, bisa
selamat kembali keluar.
"Aku tidak punya pilihan lain lagi, Kakang. Kupikir hanya tempat itu saja yang
terbaik untuk persembunyian mereka," Pandan Wangi mencoba membela diri.
"Bagaimanapun juga, kau telah merusak tempat itu jika sampai terjadi pertumpahan
darah. Kau juga melanggar pantangan yang diberikan Putri Rajawali Hitam. Ah,
Pandan.... Apa kau tidak tahu kalau di sana begitu banyak rahasia yang
tersimpan, dan selalu dijaga rapi oleh Putri Rajawali Hitam...?"
Rangga menyesali tindakan Pandan Wangi yang memilih sekitar Lembah Neraka
sebagai tempat persembunyian.
"Maafkan aku, Kakang...," rengek Pandan Wangi.
"Sudahlah. Urusan itu nanti aku yang bicara dengan Putri Rajawali Hitam," ucap
Rangga. Pandan Wangi tersenyum. Mereka kemudian melanjutkan perjalanannya, dan kali ini
tidak berlari. Mereka hanya berjalan cepat meskipun masih menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Walaupun kelihatannya berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi orang yang
berlari sekalipun.
"Kita harus cepat, Pandan. Jangan sampai terlambat."
"Baik, Kakang."
*** 7 Pendekar Rajawali Sakti memperlambat larinya ketika Pandan Wangi menyentuh
tangannya. "Perlahan sedikit, Kakang," pinta Pandan Wangi.
"Ssst... Jangan bersuara, Pandan," Rangga mem-peringati gadis itu.
Pandan Wangi segera terdiam. Pandangannya langsung tertuju ke arah yang ditunjuk
Rangga. Sebentar kemudian ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti, lalu kembali beralih ke
sebuah mulut gua yang cukup besar menghitam, agak terlindung oleh semak dan
pepohonan. Di sekitar depan mulut gua itu terlihat puluhan orang berpakaian seragam
prajurit. Tampaknya mereka siap berperang. Senjatanya sudah terhunus dari
sarungnya. Rangga menunjuk ke arah lain.
Pandan Wangi segera mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Pendekar
Rajawali Sakti. Dari tempat yang agak tinggi ini, memang bisa melihat jelas. Di
tempat yang cukup tersembunyi, tampak beberapa orang berpakaian putih. Mereka
seperti menunggu perintah saja, dan selalu mengawasi orang-orang yang berpakaian
prajurit itu. "Jumlah mereka banyak sekali, Kakang," ujar Pandan Wangi setengah berbisik.
Rangga hanya menggumam saja perlahan. "Sisa prajurit Prabu Galung, pasti tidak
akan mampu menandinginya, Kakang," kata Pandan Wangi lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya menggumam pelan.
Namun pandangannya tidak lepas ke arah orangorang berpakaian prajurit di depan mulut gua itu.
Sementara tidak jauh dari tempat ini, tampak sebuah lembah yang berwarna merah
menyala bagai terbakar. Itulah yang disebut Lembah Neraka, yang kini menjadi
tempat tinggal Putri Rajawali Hitam.
"Rasanya, kau perlu menggunakan aji 'Bayu Bajra'
untuk mengusir mereka," kata Pandan Wangi lagi.
"Ajian itu akan menimbulkan banyak korban, Pandan," sahut Rangga menolak
menggunakan ajiannya untuk mengusir para prajurit gadungan itu.
"Kenapa harus dipikirkan" Toh mereka orang jahat, Kakang. Kalau pun tertangkap
hidup-hidup, pasti Prabu Galung akan menjatuhkan hukuman mati.
Sama saja, Kakang. Di mana-mana, seorang pemberontak akan dihukum mati."
"Tidak semua, Pandan. Ada juga yang dikenakan hukuman buang, atau penjara seumur
hidup. Bahkan ada juga yang diampuni dan tidak dituntut hukuman.
Tergantung dari sejauh mana keterlibatannya," jelas Rangga.
"Lantas apa yang akan kau lakukan?" tanya Pandan Wangi tidak mendebat.
Gadis itu memang enggan menyanggah Pendekar Rajawali Sakti. Karena sudah yakin
tidak akan mungkin bisa menang kalau bersilat lidah. Apalagi menyangkut
ketatanegaraan. Tidak bakalan bisa menang. Rangga lebih tahu soal tatanegara
daripada dirinya. Dan itu sangat disadari Pandan Wangi.
Makanya gadis itu langsung membelokkan pembicaraan, dan tidak ingin banyak
bicara lagi. "Harus menggunakan cara yang lebih halus, dan tidak sampai jatuh korban.
Kalaupun ada, tidak begitu besar. Paling-paling hanya beberapa orang saja,"
sahut Rangga tanpa mengalihkan perhatiannya
pada prajurit-prajurit gadungan di depan mulut gua itu.
"Apa...?" tanya Pandan Wangi ingin tahu. Rangga tidak langsung menjawab. Memang,
Pendekar Rajawali Sakti sendiri masih memikirkan cara yang tepat untuk
menjauhkan para prajurit gadungan itu dari sana. Dan cara yang diinginkannya
adalah tidak mengandung bahaya tinggi. Apalagi sampai menimbulkan banyak korban.
Pandangan Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada dua orang laki-laki tua yang
mengenakan pakaian yang bentuknya sama persis. Bentuk tubuh, wajah, dan potongan
rambutnya juga sama. Bak pinang dibelah dua saja. Sukar membedakannya.
Hanya dari warna pakaian saja yang membedakan kedua orang tua itu. Yang seorang
mengenakan baju warna merah, dan seorang lagi berwarna kuning gading. Di sebelah
yang berbaju merah, berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan. Dia mengenakan
baju warna putih ketat. Pas sekali dengan kulitnya yang kuning langsat, bagai
kulit wanita. "Hm..., mereka semua memiliki orang-orang yang mengenakan seragam prajurit,"
gumam Rangga seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Hanya beberapa saja yang palsu, Kakang.
Kebanyakan adalah para prajurit yang memberontak," celetuk Pandan Wangi.
"Jangan asal menuduh, Pandan," Rangga mem-peringati.
"Aku tidak menuduh, ini kenyataan. Ada beberapa pembesar yang terlibat dalam
pemberontakan ini.
Tapi, otak utamanya sampai sekarang belum diketahui. Prabu Galung sendiri yang
mengatakannya padaku, Kakang."
"Oh..., benarkah itu...?" Rangga agak terkejut juga.
Sama sekali tidak disangka kalau ini merupakan suatu pemberontakan yang sudah
gawat. Bahkan melibatkan beberapa pembesar kerajaan. Pendekar Rajawali Sakti
memandangi Pandan Wangi dalam-dalam, seakan mencari kepastian dari pernyataan si
Kipas Maut itu.
"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Intan Kemuning tidak mengatakan yang
sesungguhnya...?"
kembali Rangga menggumam, bicara dengan dirinya sendiri.
"Intan Kemuning..." Kau sudah bertemu dengannya, Kakang?" kali ini Pandan Wangi
yang terkejut "Sudah," sahut Rangga.
"Di mana dia sekarang?" tanya Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah tahu kalau keberadaan Rangga di Kerajaan Galung ini
karena mendapat panggilan dari Intan Kemuning melalui Rajawali Putih.
Rangga yang mengatakannya sendiri sebelum berangkat ke sini. Dan waktu itu,
Pandan Wangi memang sedang menghadapi suatu persoalan. Dia hanya mengatakan akan
menyusul setelah persoalan yang dihadapinya selesai. Tapi kenyataannya, selesai
lebih cepat dari yang diduga.
Bahkan si Kipas Maut juga telah berhasil membebaskan Prabu Galung dan seluruh
keluarga serta para pembesar kerajaan yang ditawan Empat Dewa Keadilan dari
Selatan serta konco-konconya.
"Intan Kemuning dalam perawatan," jelas Rangga.
"Maksudmu...?"
"Dia terluka dalam suatu pertarungan. Aku membawanya ke tabib...," Rangga
kemudian menceritakan kejadiannya dengan singkat, namun jelas sekali.
Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian.
Bahkan tidak menyelak sampai Pendekar Rajawali Sakti menyelesaikan ceritanya
mengenai Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam.
"Oh.... Jadi Intan juga sudah bertemu si Empat Dewa Keadilan itu...?" nada suara
Pandan Wangi seperti ingin ketegasan.
"Benar. Waktu aku dan Intan sedang melayang di angkasa bersama Rajawali Putih
dan Rajawali Hitam,"
Rangga membenarkan.
"Sayang sekali, Prabu Galung justru meng-harapkan Putri Rajawali Hitam bisa
menumpas para pemberontak itu, dan mengembalikan keadaan seperti scmula," Pandan
Wangi agak mengeluh.
"Itulah gunanya jago-jago berkepandaian tinggi dimasukkan ke dalam jajaran
prajurit, Pandan.
Sebuah kerajaan tidak akan bisa bertahan hanya mengandalkan prajurit saja. Kalau
menghadapi orang-orang rimba persilatan seperti ini..., dalam sekejap saja sudah
hancur berantakan."
"Aku juga tidak tahu, Kakang. Kenapa Prabu Galung tidak memperkuat prajuritnya
dengan jago-jago persilatan berkepandaian tinggi...?"
"Dia terlalu percaya pada kekuatan prajuritnya yang besar. Tapi, tidak
mempedulikan kelemahan para prajuritnya. Kemampuan para panglimanya saja masih
tergolong rendah. Bisa dihitung dengan jari tangan, yang memiliki kepandaian
tinggi. Salah satunya, Patih Giling Wesi. Tapi orang terakhir yang terkuat di
kerajaan ini juga sudah tiada lagi."
"Mungkin dengan kejadian ini Prabu Galung bisa berubah pikiran, Kakang."
"Mudah-mudahan saja," Rangga berharap.
"Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Pandan Wangi.
"Hm.... Aku akan memancing mereka. Sementara, kau menyelinap ke dalam gua.
Bawalah semua orang yang ada di sana keluar," sahut Rangga menjelaskan
rencananya. "Ke mana lagi aku harus membawa mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi
"Ke istana," sahut Rangga tanpa berpikir lagi.
"Ke istana...?" Pandan Wangi terbefiak.
"Hanya di dalam istana tempat yang aman, dan mudah untuk melindungi mereka."
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah...," Pandan Wangi kembali menyerah.
"Cepatlah kau ke sana, melalui jalan memutar, Pandan."
"Baik."
Pandan Wangi segera pergi, lalu melesat cepat, ke atas pohon. Gerakannya begitu
ringan dan cepat sekali. Gadis itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lain,
mendekati mulut gua dengan jalan memutar.
Sementara Rangga memperhatikan si Kipas Maut beberapa saat, kemudian
perhatiannya kembali tertumpah pada orang-orang yang berada di depan mulut gua.
Tampaknya mereka sudah tidak sabar lagi.
"Hm..., Pandan Wangi sudah dekat. Ini
kesempatanku sekarang," gumam Rangga.
Selesai berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melentingkan
tubuhnya, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Gerakannya begitu cepat dan ringan sekali, sehingga tidak
menimbulkan suara sedikit pun. Rangga terus meluruk cepat ke
arah mulut gua itu.
*** "Hei...! Siapa itu...?"
Tepat begitu Rangga menjejakkan kakinya tidak jauh dari mulut gua, terdengar
bentakan keras menggelegar. Puluhan orang berseragam prajurit itu terkejut atas
kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba. Bagaikan siluman saja layaknya.
Terlebih lagi dua orang laki-laki tua berwajah kembar yang dikenal berjuluk si
Kembar dari Utara. Mereka tampak mengkelap atas kehadiran orang yang tak
dihendaki itu. Mereka langsung berlompatan menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju
putih yang berada di sampingnya, juga bergegas ikut melompat.
Gerakan mereka sungguh ringan, pertanda juga berkepandaian tinggi. Mereka
mendarat lunak sekitar enam langkah lagi di depan Rangga.
"Hm.... Ternyata kau, Pendekar Rajawali Sakti..,"
desis laki-laki tua yang mengenakan baju merah.
Namanya Ki Jalak Sulung.
"Kakang, bukankah orang ini yang membunuh dua orang dari Empat Dewa Keadilan
dari Selatan...?"
bisik laki-laki tua kembarannya yang berbaju kuning gading. Namanya, Jalak
Ragil. "Benar, Adi Jalak Ragil," sahut Ki Jalak Sulung membenarkan.
"Kalau begitu, kita bisa membalaskan kematian mereka, Kakang."
"Kita memang harus membalas."
Rangga yang mendengarkan semua bisikan
perlahan itu, hanya tersenyum saja. Namun tidak
dipungkiri, kalau tadi dia agak terkejut juga. Tapi setelah mengingat cerita
Pandan Wangi tadi, bibirnya langsung tersenyum. Dugaan kalau mereka semua
bersekutu, semakin mendekati kenyataan. Hanya saja, sampai saat ini belum bisa
dipastikan, mereka bekerjasama untuk siapa..."
"Kau berhasil memperdaya Empat Dewa Keadilan dari Selatan. Dan sekarang kami, si
Kembar dari Utara hendak mencoba beberapa jurus denganmu, Anak Muda," tantang Ki
Jalak Sulung. Suaranya terdengar begitu dingin menggetarkan.
"Boleh saja, tapi bukan di sini tempatnya," sahut Rangga kalem.
"Di sini atau di mana saja, sama saja!" sentak Ki Jalak Ragil keras.
"Tempat ini kurang luas. Aku tidak ingin hanya kalian berdua saja, tapi semua
yang ada di sini boleh maju bersamaan," tantang Rangga, tetap kalem nada
suaranya. "Setan cilik...! Kau terlalu besar kepala...!" dengus Ki Jalak Ragil, langsung
meluap amarahnya.
"Jangan terpancing, Adi Jalak Ragil," Ki Jalak Sulung memperingatkan.
"Huh...! Akan kupenggal batang lehernya!" dengus Ki Jalak Ragil.
"Anak muda, di mana tempat yang kau pihh?"
tanya Ki Jalak Sulung. Tampaknya dia lebih sabar dari adik kembarannya.
"Ikuti aku," kata Rangga seraya tersenyum.
Selesai berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat cepat.
Sebentar Jalak Sulung dan adik kembarannya saling melemparkan pandang.
Mereka sama sekali tidak curiga kalau semua ini hanyalah siasat Rangga untuk
menjauhkan dari
tempat ini. "Ayo, Adi Jalak Ragil," ajak Ki Jalak Sulung.
Dua orang tua kembar itu bergegas melompat, dan berlari cepat mengikuti Rangga
yang sudah terlihat cukup jauh di depan. Semua orang berseragam prajurit,
bergegas mengikuti. Ada yang menunggang kuda, ada juga yang berlari sekuatkuatnya agar tidak tertinggal jauh.
Sebentar saja tempat itu sudah sepi. Pada saat itu, Pandan Wangi muncul. Gadis
cantik berbaju biru muda itu berdiri tegak memandangi Rangga yang berlari cepat
semakin jauh, diikuti si Kembar dari Utara dan murid tunggalnya beserta anak
buahnya yang mengenakan pakaian prajurit Kerajaan Galung.
"Pandan! Kalau kau sudah membawa mereka ke istana, cepat susul aku ke tepi
sungai di sebelah Timur Hutan Krambang...."
"Kakang...," desis Pandan Wangi.
Gadis itu bisa mengenali suara Rangga yang terdengar lembut dan jelas di
telinganya. Dia tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu penyampai
suara jarak jauh yang begitu halus dan sempurna. Sehingga, hanya orang yang
dituju saja yang bisa mendengarnya. Ilmu seperti itu pernah digunakan Rangga
pada Pandan Wangi, sehingga gadis ini tidak terkejut lagi dan langsung
mengetahui. "Secepatnya aku datang, Kakang," balas Pandan Wangi berbisik.
Gadis cantik berbaju biru muda itu bergegas berlari kecil, masuk ke dalam gua.
Sebentar saja tubuhnya yang ramping indah itu lenyap tak terlihat lagi begitu
melewati mulut gua. Dan suasana di sekitar gua itu benar-benar sunyi, tidak
terlihat seorang pun. Tapi tak berapa lama kemudian, dari
dalam gua itu keluar orang-orang berpakaian lusuh dan berwajah lesu tanpa
gairah. Pandan Wangi terlihat berada paling depan.
"Ayo, cepat! Jangan sampai mereka mengetahui,"
kata Pandan Wangi.
Tak ada seorang pun yang membantah. Mereka berjalan cepat dan bergegas sekali
mengikuti gadis itu. Meskipun dalam keadaan kumuh, tapi semangat untuk tetap
hidup masih terpancar pada sinar mata mereka. Para keluarga Kerajaan Galung itu
terus bergerak cepat meninggalkan gua, menembus lebarnya Hutan Krambang. Di
antara mereka, juga terdapat Putri Ratna Kumala, yang menjadi penyebab kemelut
di Kerajaan Galung.
Sementara itu, Rangga sudah sampai di sebuah dataran yang luas dan berumput.
Pendekar Rajawali Sakti berdiri di tengah-tengah padang rumput itu.
Dipandanginya si Kembar dari Utara dan orang-orangnya yang berlari-lari cepat
memasuki padang rumput itu. Ki Jalak Sulung memberi isyarat dengan tangannya.
Maka orang-orang berseragam prajurit yang mengikuti, langsung menyebar begitu
melihat isyarat yang diberikan salah seorang kembar tua itu.
Dua orang laki-laki kembar itu berdiri sekitar lima langkah lagi di depan
Pendekar Rajawali Sakti. Di belakang mereka berdiri seorang pemuda yang cukup
tampan berbaju putih. Dialah murid si Kembar dari Utara.
"Kau terlalu berani menantang kami, Anak Muda.
Apa yang kau andalkan untuk menantang si Kembar dari Utara, heh...?" dingin
sekali nada suara Ki Jalak Sulung.
"Hanya keyakinan," sahut Rangga kalem.
"Ha ha ha...! Kau boleh saja berbangga bisa mengalahkan Empat Dewa Keadilan dari
Selatan. Tapi itu tidak berarti sama sekali di depan kami," ejek Ki Jalak Ragil pongah.
Rangga hanya tersenyum saja. Diedarkan
pandangannya berkeliling. Puluhan orang berseragam prajurit telah mengepung
tempat ini. Semua sudah menghunus senjata, dan siap menunggu perintah.
Diam-diam, Pendekar Rajawali Sakti mengirimkan suara batin pada Rajawali Putih
yang entah berada di mana saat ini.
"Rajawali Putih, datanglah, dan tunggu perintahku di udara."
"Khraaagkh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara serak, keras, dan menggelegar dari angkasa. Semua
yang ada di padang rumput ini, terkejut setengah mati. Bahkan Rangga sendiri
sampai mendongak ke atas. Sungguh tidak disangka kalau Rajawali Putih berada di
angkasa. Tampak di balik awan yang tinggi, terlihat satu titik keperakan
berputar-putar di atas padang rumput ini. Tidak begitu jelas bentuknya, tapi
Rangga sudah tahu kalau itu adalah Rajawali Putih.
"Apa itu, Kakang Jalak Sulung?" tanya Ki Jalak Ragil.
"Entahlah," sahut Ki Jalak Sulung.
Kedua laki-laki kembar itu kembali menatap Rangga. Pada saat yang sama, Pendekar
Rajawali Sakti juga memandang laki-laki tua kembar itu.
Sebentar mereka saling bertatapan tajam. Si Kembar dari Utara itu sama sekali
tidak mempedulikan titik keperakan yang berputar-putar di angkasa. Mereka
mengira itu hanya seekor burung yang kebetulan lewat saja.
"Biar aku yang mencoba bocah sombong ini, Kakang," kata Ki Jalak Ragil.
"Aku saja, Paman," selak Mandraka seraya melangkah maju ke depan.
Ki Jalak Sulung menganggukkan kepalanya. Maka, Mandraka langsung melompat
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Lompatannya ringan sekali. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah, satu langkah di depan Rangga. Saat
itu juga tangan kanannya bergerak cepat memberi sebuah pukulan keras mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi
"Yeaaah....!"
"Hap!"
Rangga hanya memiringkan sedikit tubuhnya ke kanan. Maka pukulan Mandraka lewat
di depan dadanya. Pada saat itu, tangan kanan Rangga mengibas cepat ke arah
perut. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga Mandraka tidak
sempat menyadarinya.
Dieghk! "Hugkh!" Mandraka mengeluh pendek.
Tubuh pemuda itu terbungkuk menerima sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali
Sakti. Selagi tubuh pemuda itu terbungkuk, cepat Rangga melepaskan satu pukulan
tangan kiri. Mandraka memekik nyaring begitu mukanya terkena pukulan keras dari
Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya langsung terpental ke belakang beberapa
langkah. Dari mulut dan hidungnya tampak mengucurkan darah. Pukulan Rangga
memang keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam.
"Setan keparat..!" geram Mandraka.
Sret! Mandraka cepat mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Sebentar pedangnya
dikibas-kibaskan di depan dada. Lalu sambil berteriak keras menggelegar, pemuda
berbaju putih ketat itu melompat menerjang Rangga dengan pedang terhunus.
"Hiyaaat...!"
Bet! "Hap!"
Sambil memberi senyuman, Rangga manis sekali mengegoskan tubuhnya, menghindari
serangan yang dilakukan murid si Kembar dari Utara itu. Beberapa kali Mandraka
membabatkan pedangnya, namun tak satu pun yang mengenai sasaran. Liukan tubuh
Rangga begitu halus dan sempurna, bagai belut yang sukar ditangkap.
"Setan...!" geram Mandraka berang "Hiya! Hiya!
Hiyaaa...!"
Mandraka semakin meningkatkan serangannya.
Tubuhnya berlompatan mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti sambil cepat
membabatkan pedangnya tanpa pernah terputus. Begitu cepat serangan yang
dilakukannya sehingga tubuh Rangga seperti ter-gulung sinar keperakan yang
memancar dari pedang yang berkelebatan cepat itu.
Slap! Tiba-tiba Rangga melesat cepat ke udara. Begitu cepatnya, sehingga membuat
Mandraka terperangah kaget. Pada saat itu, Rangga meluruk deras. Kakinya tampak
bergerak cepat mengarah ke kepala pemuda murid si Kembar dari Utara itu.
Mandraka semakin terkesiap. Namun pedangnya cepat digerakkan, melindungi kepala
dari serangan yang dilancarkan pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!"
Tapi mendadak saja Rangga memutar tubuhnya, sehingga kepala berada di bawah
sambil tetap meluncur turun. Tepat begitu tubuhnya berbalik di depan Mandraka,
satu pukulan keras bertenaga dalam sempurna dilepaskan cepat bagaikan kilat.
Dieghk! "Aaakh...!"
Mandraka benar-benar tidak dapat lagi mengelakkan serangan Pendekar Rajawali
Sakti. Dia hanya menjerit keras begitu pukulan Rangga tepat menghantam dadanya.
Pemuda itu terpental keras ke belakang, dan keras sekali jatuh di tanah. Dari
mulutnya, tampak menyembur darah segar. Saat itu Rangga sudah berdiri tegak.
Mandraka menggeliat sambil mengerang, merintih lirih.
"Keparat..!" geram Jalak Ragil berang, melihat murid tunggalnya mudah sekali
dapat dirobohkan.
*** 8 Ki Jalak Ragil tidak dapat lagi menguasai amarahnya, sehingga langsung melompat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat yang sama, Ki Jalak Sulung juga
melesat cepat menyerang dari arah berlawanan.
Gerakan kedua laki-laki tua kembar itu memang cepat sekali. Namun, Rangga masih
dapat mengelakkan terjangan itu dengan menarik tubuhnya ke belakang beberapa
tindak. Bahkan sempat memberi sodokan dengan kedua tangannya pada dua orang tua
kembar itu. "Hiyaaa...!"
Namun tubuh kedua laki-laki tua kembar itu cepat melenting, berputar ke
belakang. Sehingga sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti hanya menghajar angin
saja. Si Kembar dari Utara kembali menyerang begitu kakinya menyentuh tanah.
Mereka melakukan serangan dari dua penjuru.
Mereka benar-benar tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih yang sebaya
dengan muridnya ini, memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Meskipun sudah diserang lewat jurus-jurus maut dari dua penjuru, masih juga
tangguh. Bahkan beberapa kali mereka terpaksa berjumpalitan menghindari setiap
serangan balasan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.
Setelah kedua laki-laki kembar itu menghabiskan lima belas jurus, mereka segera
berlompatan mundur dan menghentikan serangan. Mereka memandangi Rangga seperti
tidak percaya. Seorang anak muda
yang pantas menjadi muridnya, mampu bertahan sampai lima belas jurus. Bahkan
tetap tegar, tidak kurang suatu apa pun juga.
"Hik hik hik.... Kalian tidak akan mampu menghadapinya...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa terkikik. Semua orang yang berada di padang rumput
itu jadi terkejut.
Dan sebelum keterkejutan mereka lenyap, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
biru. Tahu-tahu, di depan si Kembar dari Utara telah berdiri seorang perempuan
tua berjubah biru yang membawa tongkat dengan cincin emas melingkar di
tengahnya. "Syukurlah kau cepat datang, Nyai Walungkar,"
desah Ki Jalak Sulung mengenali perempuan tua itu.
"Mundurlah, dia bukan lawanmu," dingin sekali suara Nyai Walungkar.
Si Kembar dari Utara melangkah mundur beberapa rindak. Sementara Rangga hanya
memandangi saja.
Hatinya agak heran juga atas sikap si Kembar dari Utara yang begitu patuh pada
perempuan tua berjubah biru ini. Mereka menuruti perintahnya tanpa membantah
sedikit pun juga.
"Sejak semula sudah kuduga, kalau kedatangan-mu ke sini bukan karena hendak
bertemu Putri Rajawali Hitam saja, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sengaja
memberimu kebebasan, dan ternyata kau memang tangguh. Tidak percuma kau dijuluki
Pendekar Rajawali Sakti," kata Nyai Walungkar, dingin menggetarkan suaranya.
Rangga hanya diam saja. Pendekar Rajawali Sakti memang pernah bertemu perempuan
tua ini, ketika kemarin baru datang ke Kerajaan Galung ini. Di tempat pertemuan
yang dijanjikan Intan Kemuning.
Rupanya waktu itu Nyai Walungkar sudah mengenali.
Rupanya dia berpura-pura dan ingin tahu sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti di
Kerajaan Galung ini. Sama sekali Rangga tidak menyadari kalau selama berada di
negeri ini, Nyai Walungkar terus memperhatikan dan mengamatinya.
"Bagaimana kabar pasanganmu, Pendekar
Rajawali Sakti?" tanya Nyai Walungkar, agak sinis nada suaranya.
"Pasangan yang mana maksudmu?" Rangga balik bertanya.
"Putri Patih Giling Wesi itu."
"Baik," sahut Rangga.
"Bagus! Mudah-mudahan saja dia masih hidup. He he he..."
"Apa maksudmu, Nyai Walungkar..."!" seketika Rangga merasakan tidak enak di
hatinya.
Pendekar Rajawali Sakti 50 Gerhana Kembang Kedaton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia berhasil lolos, tapi pukulan aji 'Racun Hitam'ku tidak akan mampu ditahan
satu hari."
"Apa..." Kau...?" Rangga benar-benar terperanjat kali ini.
"Hik hik hik...! Seharusnya kau tidak membawa gadis itu ke sana, Pendekar
Rajawali Sakti. Kau telah mengorbankan seorang tabib yang baik. Maka aku
terpaksa melenyapkannya. Sayang, gadismu itu berhasil lolos. Tapi aku yakin, dia
sudah tewas sekarang ini. Kau bisa mencari mayatnya di dalam Hutan Krambang. Hik
hik hik...!"
"Iblis...!" desis Rangga, langsung memuncak amarahnya.
Tapi Nyai Walungkar tertawa terkekeh saja.
Sedangkan seluruh wajah Rangga sudah memerah.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti seperti bergetar, menahan kemarahan yang memuncak
dalam dadanya. Namun amarahnya dicoba untuk tetap
dikendalikan. "Kau benar-benar keparat, Nyai Walungkar! Apa maksudmu dari semua ini, heh...?"
desis Rangga, agak menggeletar suaranya.
"Aku hanya menolong mereka yang sedang
membutuhkan. Seperti juga kau, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Nyai Walungkar
kalem. "Omong kosong...!"
"Mereka semua mempunyai dendam pribadi pada Prabu Galung. Terutama pada
putrinya, Ratna Kumala yang terlalu angkuh. Dia telah merasa paling cantik,
sehingga menolak lamaran pemuda-pemuda berkepandaian cukup tinggi. Mereka sakit
hati, dan ingin membalas penghinaan yang telah dilakukan Putri Ratna Kumala. Apa
aku harus diam saja, kalau mereka meminta bantuanku untuk membalaskan sakit
hatinya...?"
"Kau menolong orang-orang yang salah, Nyai Walungkar."
"Aku tidak peduli! Mereka salah atau tidak, itu urusanku! Dan karena kau mencoba
menghalangi mereka mendapatkan Putri Ratna Kumala, maka aku terpaksa turun
tangan sendiri untuk menghalangimu.
Dan ini sudah menjadi janjiku untuk menghadang mereka yang tangguh sepertimu
ini, Pendekar Rajawali Sakti."
Bet! Rangga langsung melompat mundur begitu Nyai Walungkar mengebutkan tongkatnya ke
depan. Dan begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan tanah, Nyai Walungkar
melompat menerjang seraya mengebutkan tongkat beberapa kali.
"Hiyaaa...!"
"Hap! Yeaaah...!"
*** Serangan-serangan yang dilakukan perempuan tua itu memang sungguh dahsyat dan
luar biasa. Untuk beberapa saat, Rangga agak kewalahan juga menghindarinya. Tapi
setelah perempuan tua berjubah biru itu melewati jurus yang kelima, Rangga baru
dapat melakukan serangan balasan.
Pertarungan itu berjalan cepat, menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang
sangat dahsyat. Begitu cepatnya gerakan-gerakan yang dilakukan, sehingga bentuk
tubuh mereka seperti lenyap. Dan yang terlihat kini hanyalah dua bayangan
berkelebatan saling sambar.
Memasuki jurus yang kelima belas, mendadak saja Rangga melentingkan tubuhnya ke
udara. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras, dengan kedua kaki bergerak
cepat mengarah ke kepala Nyai Walungkar.
Bet! Bet! Nyai Walungkar mengebutkan tongkatnya
beberapa kali di atas kepala. Rangga cepat berputaran di udara, lalu segera
membalikkan tubuhnya. Dan kini, kepalanya berada di bawah. Pada saat itu Rangga
melepaskan satu pukulan keras ke arah dada.
"Uts!"
Nyai Walungkar menarik kakinya ke belakang satu tindak, seraya mengebutkan
tongkat untuk menangkis pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Rangga cepat
menarik kembali pukulannya, sehingga tidak terjadi benturan. Begitu kaki
Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, Nyai Walungkar sudah
memberi serangan lewat sodokan ujung tongkatnya ke arah dada.
Tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk berkelit. Tangannya cepat dirapatkan
di depan dada, tepat di saat ujung tongkat perempuan tua itu hampir bersarang di
dada. Tap! Rangga menjepit ujung tongkat itu kuat-kuat, dan Nyai Walungkar menariknya.
Mendadak saja pada bagian tengah tongkat yang bercincin emas itu terlepas. Dan
dari dalam tongkat itu muncul sebilah pisau tipis yang berkilatan. Nyai
Walungkar langsung menusukkan ke arah perut Sejenak Rangga terkesiap, namun....
"Hup! Yeaaah...!"
Dengan satu gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya ke
belakang dua kali. Namun Nyai Walungkar terus mencecar dengan tusukan ujung
tongkatnya yang kini berupa pisau tipis. Akibatnya Rangga terpaksa harus
berputaran beberapa kali untuk menghindarinya.
"Yeaaah...!"
Sret! Sambil melentingkan tubuh di udara, Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti
dari warangka di punggung. Cahaya biru berkilau langsung menyembur keluar begitu
pedang bergagang kepala burung itu keluar dari warangka.
Bet! Bagaikan kilat, Rangga mengebutkan pedangnya tepat di saat Nyai Walungkar
menusukkan senjata ke arah dada. Satu benturan dua senjata tak dapat dihindari
lagi. Seketika terdengar ledakan dahsyat menggelegar saat dua senjata beradu
keras. Nyai Walungkar melompat mundur. Kedua matanya langsung terbeliak melihat
senjatanya terpotong jadi dua bagian. Sedangkan pedang di tangan Pendekar
Rajawali Sakti masih tetap utuh.
"Keparat..!" geram Nyai Walungkar.
Perempuan tua berjubah biru itu melemparkan potongan senjatanya, lalu cepat
merapatkan kedua tangannya di depan dada. Kedua kakinya bergerak perlahan,
membuat lingkaran-lingkaran kecil di tanah berumput. Rangga juga cepat
menyilangkan pedangnya di depan dada. Dengan telapak tangan kiri, mata pedang
itu digosoknya.
Sinar biru langsung menggumpal begitu telapak tangan kiri Rangga berada di ujung
tangkai pedang.
Pada saat itu, Nyai Walungkar sudah siap melakukan serangan menggunakan aji
pamungkasnya. Cring! Rangga memasukkan pedangnya ke dalam
warangka di punggung. Sinar biru kini sudah ber-pindah di kedua telapak tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan kedua tangan Nyai Walungkar terlihat memerah
bagai terbakar.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja Nyai Walungkar melesat cepat dengan kedua tangan terpentang lurus
ke depan. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!" teriak Rangga, keras menggelegar.
Glarrr...! Ledakan keras terdengar menggelegar ketika dua pasang telapak tangan beradu di
udara. Pada saat itu, Nyai Walungkar terperanjat. Ternyata, telapak tangannya
menempel erat pada telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan mereka
mendarat di tanah berumput kembali. Dan telapak tangan
mereka masih menempel erat bagai tak dapat dipisahkan lagi.
"Hih...!"
Nyai Walungkar mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam untuk melepaskan
telapak tangannya dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hatinya
semakin terkejut, karena tenaga yang dikeluarkan justru tersedot deras sekali.
"Celaka...!" desis Nyai Walungkar.
Sia-sia saja perempuan tua itu mencoba melepaskan diri dari belenggu aji 'Cakra
Buana Sukma'. Karena semakin kuat mengerahkan tenaga, semakin bertambah kuat pula tenaga yang
tersedot. Hingga akhirnya, tidak terkendali lagi. Cahaya biru terus merambat
menyelimuti tubuh Nyai Walungkar.
"Akh...!" Nyai Walungkar memekik keras.
Tubuhnya mulai menggeliat, menggelepar sambil menjerit-jerit. Semua orang yang
berada di tempat itu jadi terkejut setengah mati. Mereka tidak tahu, apa yang
harus dilakukan untuk menolong perempuan tua itu. Dan sebelum ada yang melakukan
tindakan, Rangga melompat mundur sambil mencabut kembali ajiannya. Seketika itu
juga, Nyai Walungkar jatuh terjungkal ke tanah. Sementara sinar biru langsung
lenyap begitu Rangga menarik kembali ajiannya.
"Uh...!" Nyai Walungkar hanya dapat mengeluh.
Dia tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya.
Jangankan untuk bangkit berdiri, menggerakkan jari tangan saja sudah tidak mampu
lagi. Aji 'Cakra Buana Sukma' benar-benar telah membuatnya lumpuh tak bertenaga
lagi. "Keparat kau, Pendekar Rajawali Sakti...!" desis Nyai Walungkar, berang.
"Kau membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk
memulihkan sedikit tenagamu, Nyai Walungkar," jelas Rangga.
"Setan...! Kubunuh kau!" jerit Nyai Walungkar bertambah berang.
Perempuan tua itu melirik si Kembar dari Utara.
Seketika itu juga, Ki Jalak Ragil berteriak memerintahkan orang-orangnya untuk
menyerang. Maka mereka yang mengenakan seragam prajurit, langsung berlompatan
menyerang Pendekar Rajawali Sakti Sedangkan si Kembar dari Utara juga tak
ketinggalan menerjang.
"Suiiit..!"
Rangga langsung bersiul nyaring sambil
memandang titik keperakan di angkasa.
"Khraaaghk...!"
Tepat pada saat si Kembar dari Utara melakukan serangan, dari atas meluncur
deras seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Rajawali raksasa
itu langsung menyerang orang-orang berseragam prajurit. Akibatnya, prajuritprajurit gadungan itu jadi kelabakan. Dan belum sempat melakukan sesuatu, dari
angkasa datang lagi seekor burung rajawali berbulu hitam. Tampak di punggung
rajawali hitam itu duduk seorang gadis berbaju hitam.
"Aku datang, Kakang...!"
"Intan...," desis Rangga ketika mendengar suara wanita.
Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat lagi berpikir, bagaimana Intan Kemuning
tahu-tahu sudah berada di tempat ini. Memang, Pendekar Rajawali Sakti langsung
terpana begitu melihat burung rajawali hitam menyambar si Kembar dari Utara, dan
membawanya melambung tinggi ke angkasa. Begitu mencapai puncak ketinggian, dua
manusia kembar itu dilepaskan.
"Aaa...!"
Terdengar jeritan panjang yang menyayat. Dua tubuh tampak melayang deras dari
angkasa. Rangga cepat memalingkan mukanya begitu manusia kembar itu keras sekali
menghantam tanah. Mereka tak mampu lagi berkutik, dan langsung tewas seketika
begitu tubuhnya menghantam tanah.
Sementara itu, Rajawali Putih masih mengamuk menghajar para prajurit gadungan.
Sedangkan Rajawali Hitam kembali meluncur turun, dan langsung membantu Rajawali
Putih. Amukan dua burung raksasa itu membuat Rangga jadi menganggur. Dari
punggung Rajawali Hitam meluncur Intan Kemuning.
Gadis yang berjuluk Putri Rajawali Hitam itu langsung mendarat di depan Rangga.
"Bagaimana kau bisa cepat sembuh, Intan?" tanya Rangga langsung.
"Aku masih memiliki obat mujarab dari sabuk penawar racun, Kakang," sahut Intan
Kemuning seraya tersenyum. "Tapi maaf, aku tidak menyelamatkan nyawa..." (Bagi
pembaca yang ingin tahu lebih jelas tentang sabuk penawar racun, bacalah serial
Pendekar Rajawali Sakti dalam episode, "Sabuk Penawar Racun").
"Sudahlah," potong Rangga cepat "Kakang sudah tahu?"
"Dari keparat itu," sahut Rangga seraya menunjuk Nyai Walungkar.
"Hei...! Dia masih hidup...!" sentak Intan Kemuning.
"Jangan!"
Cepat Rangga mencekal pergelangan tangan Putri Rajawali Hitam ketika hendak
melontarkan pukulan
kepada Nyai Walungkar. Intan Kemuning menurunkan tangannya. Ditatapnya Rangga
yang mencegahnya untuk melenyapkan perempuan yang telah membuat seluruh rakyat
Galung menderita.
"Biar pengadilan yang memberikan hukuman, Intan," ujar Rangga.
"Kau benar, Kakang. Biar dirasakannya dulu, bagaimana kalau menderita," sahut
Intan Kemuning.
"Ayo, Intan. Biarlah sahabat-sahabat kita mem-bereskan mereka. Kita cari yang
lainnya," ajak Rangga.
"Untuk apa..." Mereka sudah masuk penjara semua," sahut Intan Kemuning kalem.
Rangga memandangi gadis itu dalam-dalam.
"Sebelum ke sini, aku sempat bertemu Pandan Wangi dan rombongan Prabu Galung.
Bersama mereka, aku memburu yang lainnya. Dan berkat bantuan Rajawali Hitam,
Jaka Keling dan dua orang dan Empat Dewa Keadilan yang berhasil diringkus hiduphidup. Sedangkan Raden Manggala dan yang lainnya tewas. Aku juga tahu, kau
berada di sini dari Pandan Wangi, Kakang," Intan Kemuning menjelaskan tanpa
diminta. "Dan sekarang mereka menunggumu di istana."
"Aku kagum padamu, Intan. Kau mampu bergerak cepat," puji Rangga.
"Bukan aku, tapi Pandan Wangi yang mengatur semua ini. Aku hanya mengikuti saja,
Kakang," Intan Kemuning mengelak dipuji. "Dan lagi, kebetulan mereka ada di
istana. Jadi tidak perlu repot-repot mencarinya, Kakang. Memang kebetulan.
Sekali jalan, sudah menumpas semuanya."
Rangga tersenyum, karena tahu kalau gadis ini hanya merendah saja. Pendekar
Rajawali Sakti kemudian menyuruh Rajawali Putih berhenti. Intan Kemuning juga berteriak
menyuruh Rajawali Hitam berhenti membantai para prajurit gadungan. Dua burung
rajawali raksasa itu langsung melambung tinggi ke angkasa, meninggalkan sisa
prajurit yang tinggal sedikit saja. Prajurit-prajurit gadungan itu langsung
membuang senjata dan berlutut menyerah.
"Kita bawa mereka ke istana, Kakang...?" Intan Kemuning meminta pendapat.
"Ayolah...," sahut Rangga ringan.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Document Outline
*** *** *** *** Kaki Tiga Menjangan 24 Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah Eng Djiauw Ong 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama