Ceritasilat Novel Online

Mustika Kuburan Tua 1

Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua Bagian 1


MUSTIKA KUBURAN TUA
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 052:
Mustika Kuburan Tua
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Malam ini udara begitu dingin. Angin bertiup kencang membawa gumpalan kabut
tebal. Langit tampak kelam tertutup awan hitam, membuat suasana terasa begitu
mencekam. Keadaan malam seperti ini, membuat seluruh penduduk Desa Batu Ceper
tak ada yang keluar dari rumahnya. Begitu sunyi, bagai sebuah desa mati tak
berpenghuni. Namun di dalam kegelapan yang dingin ini, tampak sesosok tubuh berjalan
tergopoh-gopoh melintasi pinggiran desa. Sesekali wajahnya menoleh ke belakang,
seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti. Wajahnya sukar dikenali karena
ditutupi kerudung hitam yang kelihatannya sudah lusuh. Dia berjalan di antara
bayang-bayang pepohonan yang tumbuh berjajar di sepanjang tepi jalan tanah
berdebu. Sosok tubuh itu berhenti sebentar setelah sampai di perempatan jalan. Kepalanya
menoleh ke kanan dan kiri, kemudian kakinya kembali melangkah mengikuti jalan
setapak yang membelok ke kanan.
Jalan itu kecil dan berbelok-belok, juga menanjak.
Namun, orang itu terus melangkah perlahan dengan kepala tertunduk.
Dia kembali berhenti begitu tiba di tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan yang
sedang berbunga.
Angin yang berhembus kencang, menyebarkan bau harum bunga kamboja yang putih
bagai kapas. Di antara pohon-pohon kamboja itu terdapat gundukangundukan tanah berbatu nisan. Ternyata, tempat ini sebuah kuburan. Orang
berkerudung kain lusuh itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian tatapan
matanya terpaku pada sebuah makam di bawah sebatang pohon beringin tua yang
besar dan berdaun lebat
"Hm... Sepi. Saat yang tepat untukku malam ini,"
gumam orang itu, pelan.
Perlahan-lahan kakinya terayun mendekati makam di bawah pohon beringin itu. Dari
balik kerudung kainnya, tampak sorot mata yang tajam tak berkedip menatapi
gundukan tanah yang dilingkari bebatuan berlumut. Begitu dekat dengan makam tua
itu, kerudungnya dibuka. Tampaklah seraut wajah yang rusak, penuh benjolan.
Rambutnya yang panjang, meriap kusut tak teratur. Pipi kanannya terkelupas,
sehingga menampakkan barisan gigi yang menghitam tak beraturan letaknya. Maka,
paras wajahnya pun semakin bertambah mengerikan. Beberapa saat dia berdiri
mematung di dekat makam tua di bawah pohon beringin ini.
"Malam ini aku harus berhasil. Harus...!" orang itu mendesis dingin.
Setelah mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, perlahan kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi ke di atas kepala. Lalu, dengan tiba-tiba....
"Yeaah...!"
Cepat sekali tangannya dihentakkan ke arah kuburan tua di depannya. Seketika
secercah cahaya kilat meluncur keluar dari kedua telapak tangannya.
Begitu cahaya kilat menghantam kuburan tua itu, terdengar ledakan dahsyat
menggelegar. Glarrr...! Orang itu melenting ke belakang, melakukan putaran beberapa kali sebelum
mendarat manis di tanah berumput tebal dan basah oleh embun.
Ledakan tadi membuat kuburan tua itu terbongkar.
Tanah dan bebatuan berhamburan ke udara, membuat jamur raksasa yang cepat
menghilang tertiup angin.
"Hik hik hik...!" orang itu tertawa terkikik.
Baru saja kakinya terayun hendak mendekat, mendadak saja dari dalam kuburan itu
berkelebat sebuah bayangan hitam yang langsung meluruk ke arah orang itu.
"Uts!"
Untung saja tubuhnya dimiringkan ke kanan, sehingga terjangan bayangan hitam itu
lewat di samping tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya ditarik kembali agar tegak,
bayangan hitam itu sudah lebih cepat berbalik. Bahkan kini kembali meluruk deras
menyerangnya. "Ups! Yeaaah...!"
Orang berwajah buruk itu cepat melentingkan tubuh ke udara, dan secepat kilat
pula melontarkan satu pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Pukulan yang dilepaskan tepat mengenai bayangan hitam itu. Namun orang berwajah
buruk itu jadi terkejut setengah mati, karena merasa seperti memukul segumpal
kapas. Pukulannya berbalik arah, sehingga dia terpaksa melenting ke udara dan
melakukan putaran beberapa kali.
Ringan sekali kakinya mendarat di tanah. Pada saat itu, bayangan hitam tadi
sudah berbalik dan siap hendak menyerang lagi. Tapi, mendadak saja niatnya
diurungkan. Wajahnya yang hitam, membuatnya sukar dikenali. Pakaiannya juga
compang-camping
dan berlumur lumpur. Beberapa bagian kulit tubuhnya mengelupas. Sosok tubuh ini
seakan-akan tidak berbeda jauh dengan orang berkerudung hitam itu.
*** "Kau rupanya, Nyai Kunti...," desis manusia aneh yang muncul dari dalam kubur
itu. Suaranya terdengar dingin dan datar tanpa tekanan sama sekali. Sorot matanya
yang merah, begitu tajam menusuk. Seakan-akan ingin menembus dinding hati orang
di depannya yang dikenali bernama Nyai Kunti.
"Apa maksudmu merusak tempat peristirahatanku?" tanya manusia aneh itu, masih
dingin dan datar nada suaranya.
"Aku membutuhkan Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga," sahut Nyai Kunti, tegas.
"Untuk apa batu mustika itu bagimu?" tanya orang yang dipanggil Eyang Duraga
lagi. Manusia aneh itu kelihatan agak terkejut mendengar jawaban Nyai Kunti. Namun
rasa keterkejutannya cepat dihilangkan, dengan menatap wanita berwajah buruk itu
semakin tajam. Sedangkan Nyai Kunti tidak menjawab. Bibirnya terkatup rapat,
namun sorot matanya tidak kalah tajam dibanding Eyang Duraga. Sama sekali
hatinya tidak merasa ngeri melihat raut wajah Eyang Duraga yang berlumpur dan
hampir tidak memiliki daging lagi.
Apalagi bau busuk yang tersebar dari tubuh laki-laki itu. Sama sekali tidak
dihiraukan! Seluruh tubuh Eyang Duraga memang sudah membusuk, karena sudah
terkubur puluhan tahun. Ulat-ulat kecil dan cacing-cacing tanah merubung hampir
di seluruh tubuhnya yang membusuk dan mengelupas.
"Sebaiknya lupakan saja benda itu, Nyai Kunti.
Benda itu hanya akan membawa malapetaka saja.
Tidak ada manfaatnya sama sekali," ujar Eyang Duraga.
"Kau pikir aku bisa terpengaruh oleh ucapanmu, Eyang Duraga?" sinis kata-kata
Nyai Kunti. "Aku tidak mempengaruhimu. Kau hanya kujelaskan kalau Mustika Batu Hijau tidak
ada artinya bagimu. Hanya akan membawa bencana saja. Bukan hanya buat dirimu,
tapi bagi seluruh dunia. Terutama dunia persilatan. Aku rasa, kau sudah tahu,
kenapa tubuhku sampai terbaring di sini selama puluhan tahun. Aku tidak ingin
kau bernasib sama denganku, Nyai Kunti," bujuk Eyang Duraga.
"Tidak perlu menasihatiku, Eyang Duraga!" dengus Nyai Kunti dingin. "Berikan
mustika itu, atau kau ingin merasakan mati dua kali...!"
"Rupanya iblis sudah begitu dalam merasuk dalam hatimu," desah Eyang Duraga
perlahan. "Serahkan mustika itu padaku, Eyang...!" bentak Nyai Kunti berang.
"Sayang sekali! Benda itu tidak dapat kuberikan padamu, selama hatimu masih
terbalut nafsu iblis,"
ujar Eyang Duraga kalem.
"Keparat...! Jangan paksa aku menggunakan kekerasan, Eyang Duraga!"
"Kau sudah melakukannya, Nyai Kunti! Dan sudah kutegaskan, mustika itu tidak ada
gunanya bagimu.
Hanya akan menimbulkan bencana saja bagi dunia ini."
"Setan keparat..!"
Sret! Cring...! Cepat sekali Nyai Kunti menggerakkan tangan kanannya. Dan tahu-tahu, sebilah
pedang berkilatan sudah tergenggam di tangannya. Pedang itu tersilang di depan
dada. Pada bagian ujungnya berwarna merah bagai bernoda darah.
Eyang Duraga melangkah mundur dua tindak.
Kedua bola matanya terbeliak lebar melihat senjata di tangan wanita berwajah
buruk itu, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kau gentar melihat pedangku ini, Eyang
Duraga...?" desis Nyai Kunti mengejek.
"Dari mana kau dapatkan pusaka itu?" tanya Eyang Duraga, agak bergetar suaranya.
"Rupanya kau masih mengenali juga senjata ini.
Bagus.... Pedang inilah yang membuat dirimu harus terbaring di dalam kubur. Dan
dengan pedang ini pula dirimu akan terbaring kembali di dalam kuburmu, Eyang
Duraga," ancam Nyai Kunti, semakin sinis nada suaranya.
"Kau pasti merampas pedang itu dari pemiliknya,"
dengus Eyang Duraga.
"Ha ha ha...!" Nyai Kunti hanya tertawa terbahak-bahak.
Bet! Bet! Wanita bermuka buruk itu mengebutkan pedang di tangannya dua kali. Seketika
terlihat kilatan cahaya membias saat pedang itu bergerak cepat di depan dada
Nyai Kunti. Tampak Eyang Duraga terkesiap melihat kilatan cahaya dari pedang
itu. Kakinya langsung bergeser dua langkah ke belakang.
"Kau pasti ingin tahu, bagaimana aku memperoleh pedang ini, bukan...?" ujar Nyai
Kunti. Dingin dan sinis nada suaranya.
Eyang Duraga diam saja. Namun sorot matanya
masih tetap tajam mengamati setiap gerak perempuan bermuka buruk ini. Hatinya
selalu terkesiap jika Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Setiap kali pedang
itu bergerak, selalu menimbulkan kilatan cahaya yang menyilaukan mata.
Walaupun hanya sekejapan saja, namun sudah membuat darah Eyang Duraga mendesir.
"Pendekar Pedang Kilat memang tangguh, dan sulit dicari tandingannya. Tapi dia
terlalu bodoh dan mudah diperdaya. Sehingga, mudah sekali aku membuatnya tidak
berdaya," ujar Nyai Kunti kalem.
"Kau meracuninya...?" tebak Eyang Duraga langsung.
"Ha ha ha...!" lagi-lagi Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.
"Kau benar-benar iblis, Nyai Kunti! Kau wanita berhati iblis...!" desis Eyang
Duraga geram. "Ha ha ha....! Kenapa kau marah, Eyang Duraga"
Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena orang yang mengalahkanmu sekarang
telah mati."
"Kami bertarung secara jujur dan jantan. Aku tidak mendendam, bahkan bangga bisa
kalah oleh seorang pendekar ternama dan berkepandaian lebih tinggi.
Tidak seperti kau...! Licik! Pengecut..!" geram Eyang Duraga.
"Ha ha ha...!"
Wuk...! "Uts!"
*** Belum lagi lenyap suara tawanya, mendadak Nyai Kunti melompat menerjang Eyang
Duraga sambil mengebutkan pedang. Namun cepat sekali gerakan
Eyang Duraga menghindar. Dengan hanya memiringkan tubuh sedikit saja, tusukan
pedang wanita berwajah buruk itu berhasil dielakkan.
Eyang Duraga cepat menggeser kaki ke samping beberapa langkah. Karena angin
tusukan pedang itu terasa panas sekali. Bahkan tubuhnya sempat meng-geletar.
Disadari, sedikit saja terkena pedang itu akan berakibat parah.
"Hiyaaat..!"
Nyai Kunti kembali menyerang. Pedangnya di-sabetkan beberapa kali, mengincar
bagian-bagian tubuh Eyang Duraga yang paling peka dan mematikan. Beberapa kali
ujung pedang itu hampir menyentuh tubuh Eyang Duraga. Namun laki-laki bertubuh
busuk yang sudah terkubur puluhan tahun itu, masih mampu menghindari. Bahkan
beberapa kali sempat melakukan serangan balasan.
Pertarungan terus berjalan semakin sengit.
Mereka bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat. Begitu
cepatnya jurus-jurus yang dimainkan, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan
berkelebatan saling sambar dan ditingkahi kilatan cahaya dari pedang Nyai Kunti.
"Cukup, Nyai Kunti...!" seru Eyang Duraga tiba-tiba, seraya melompat mundur,
keluar dari ajang per-tempuran.
Manis sekali gerakan Eyang Duraga. Kemudian kakinya mendarat tanpa menimbulkan
suara sedikit pun. Mereka kini berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar tiga
batang tombak. Eyang Duraga mengedarkan pandangan ke sekeliling sejenak. Sekitar
tempat ini begitu berantakan bagai terlanda badai.
Pohon-pohon bertumbangan. Bahkan beberapa kuburan terbongkar menganga. Tampak di
sekitar mereka tulang-tulang tengkorak manusia berserakan.
Eyang Duraga mendesis geram melihat kuburan ini jadi berantakan tidak karuan.
Kembali ditatapnya Nyai Kunti dengan tajam.
"Kau hancurkan tempat suci ini, Nyai Kunti," desis Eyang Duraga bergumam pelan.
"Semua ini tidak akan terjadi bila kau bersedia menyerahkan mustika itu," dengus
Nyai Kunti, dingin.
"Kau tidak akan memperolehnya, Nyai Kunti."
"Hhh! Lihat saja...!"
Wuk! Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Dari ujung pedang itu meluncur secercah
cahaya kilat dengan deras sekali. Eyang Duraga tersentak kaget.
Cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara, melakukan putaran dua kali. Maka kini
dia berhasil menghindari kilat yang meluncur dari ujung pedang wanita bermuka
buruk itu. Dan baru saja Eyang Duraga menjejakkan kakinya di tanah, cepat sekali Nyai Kunti
menyerang sambil membabatkan pedang ke arah leher. Hampir saja ujung pedang
wanita berwajah buruk itu membabat leher, kalau saja Eyang Duraga tidak cepat
menarik kepala ke belakang.
"Yeaaah...!"
Begitu serangannya tidak membawa hasil, Nyai Kunti cepat menyerang kembali. Kaki
kanannya bergerak cepat mengarah ke pinggang lawan. Tendangan yang cepat dan
tidak terduga itu tak dapat lagi dihindari.
Beg! "Akh...!" Eyang Duraga menjerit agak tertahan.
Laki-laki yang tubuhnya sudah membusuk itu terhuyung-huyung ke samping. Dan
belum juga ke- seimbangan tubuhnya dapat dikendalikan, mendadak saja Nyai Kunti kembali
menyerang dahsyat. Pedangnya berkelebat cepat mengincar dada Eyang Duraga.
Bet! "Uts!"
Cepat Eyang Duraga menarik tubuhnya ke
belakang. Namun gerakannya masih kalah cepat.
Karena, dia juga harus menahan tubuhnya agar tetap seimbang, berpijak pada kedua
kakinya. Tak pelak lagi, ujung pedang Nyai Kunti merobek kulit dada laki-laki
tua bertubuh busuk itu.
"Akh...!" Eyang Duraga memekik keras agak tertahan.
Kembali Eyang Duraga terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya. Aneh.... Tubuh
yang sudah membusuk itu masih juga mengeluarkan darah! Meskipun, darah itu
berwarna hitam dan berbau tidak sedap.
Nyai Kunti cepat melompat mundur, karena tidak tahan mencium bau yang begitu
tajam menusuk hidungnya. Rasanya, seluruh isi perutnya bagai bergolak hendak
keluar. Sementara Eyang Duraga semakin limbung. Darah terus mengalir keluar dari dadanya
yang tergores ujung pedang Nyai Kunti. Tangannya menunjuk wanita itu. Bibirnya
bergetar, namun sedikit pun tak ada suara yang keluar. Sinar matanya mendadak
saja meredup nanar. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung dan limbung bagai pohon
tua yang hampir roboh tertiup angin.
"Ke..., keparat kau..., Kunti...," desis Eyang Duraga terpatah-patah suaranya.


Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...!" Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.
Bruk! Belum sempat Eyang Duraga mengeluarkan katakata lagi, tubuhnya sudah ambruk ke tanah. Sebentar tubuhnya menggelepar,
kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Suara tawa Nyai Kunti semakin keras
terbahak-bahak. Pedangnya segera dimasukkan kembali ke dalam warangka yang
tersembunyi di balik jubahnya yang panjang. Sebentar tubuh Eyang Duraga yang
tergeletak tak berkutik lagi diamati.
Seakan-akan ingin dipastikan kalau laki-laki tua yang sebenarnya sudah mati
puluhan tahun itu benar-benar tidak akan bangkit lagi.
Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu memeriksa seluruh tubuh Eyang
Duraga. Dia jadi mendengus kesal, karena apa yang dicarinya tidak didapati pada
diri laki-laki tua yang tubuhnya mengelupas membusuk itu.
"Huh!"
Sambil mendengus kesal, Nyai Kunti menendang tubuh Eyang Duraga. Sebentar
dirayapi sekitarnya.
Tampak semburat cahaya jingga mulai membayang di ufuk Timur. Sejak tadi ayam
jantan memang sudah terdengar berkokok. Malah burung-burung pun sudah ramai
berkicau. Saat ini pagi memang sudah datang menjelang, dan sebentar lagi
matahari akan datang menerangi belahan bumi ini.
Pandangan mata Nyai Kunti terpaku pada bekas kuburan tua yang terbongkar di
bawah pohon beringin besar. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri kuburan
tua itu. Dia berdiri tepat di dekat lubang kuburan yang menganga lebar.
"Setan...!" dengus Nyai Kunti geram.
Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian di dalam kuburan itu, kecuali tanah
berlumpur yang berbau tidak sedap. Nyai Kunti kembali mengalihkan perhatian pada
mayat Eyang Duraga. Sementara
keadaan di sekitarnya mulai tersiram cahaya matahari pagi. Nyai Kunti kembali
menghampiri mayat Eyang Duraga. Diperhatikannya sosok tubuh yang sudah membusuk
itu. "Kau tidak akan dapat memperoleh mustika itu, Nyai Kunti...."
"Heh..."!"
Nyai Kunti tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara berat dan agak
serak. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat dua langkah ke belakang.
Suara itu jelas sekali datangnya dari mayat Eyang Duraga. Tatapan mata Nyai
Kunti begitu tajam tertuju pada sosok mayat yang sudah membusuk, tergolek tidak
jauh di depannya.
"Kau bisa membunuhku, Nyai Kunti. Tapi jangan harap dapat membunuh arwahku. Kau
tidak akan memiliki mustika itu, dan jangan harap dapat memperolehnya. Mustika
itu sudah kuberikan pada orang yang pantas memilikinya," suara Eyang Duraga
kembali terdengar.
"Keparat kau, Eyang Duraga...!" dengus Nyai Kunti menggeram marah. "Hih...!"
Dengan kemarahan meluap, Nyai Kunti menendang mayat Eyang Duraga hingga masuk kembali ke dalam lubang kuburnya.
Seketika terjadi satu keajaiban. Kuburan yang terbongkar menganga, mendadak saja
bergerak menutup begitu mayat Eyang Duraga masuk ke dalamnya. Nyai Kunti
melompat tiga tindak ke belakang.
"Ha ha ha...!" terdengar tawa keras yang menggelegar.
"Aku tahu, siapa orang yang kau maksud, Eyang Duraga. Huh! Kau pikir aku bodoh,
bisa ditipu begitu saja!" dengus Nyai Kunti.
Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat pergi dari situ. Dalam
sekejap mata saja, bayangan wanita tua itu sudah lenyap bagai tertelan bumi.
Sementara suara tawa menggelegar masih terus terdengar mengiringi kepergian
wanita berwajah buruk bagai mayat hidup. Dan kini suasana di kuburan tua itu pun
kembali sunyi, bagaikan tak pernah terjadi sesuatu.
Sementara Nyai Kunti sudah jauh meninggalkan kuburan tua itu. Dia terus berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Begitu cepatnya, sehingga seakan-akan kakinya tidak menjejak tanah. Wanita
berpakaian longgar serba hitam itu terus berlari menerobos Rimba Tengkorak.
"Aku tahu, di mana kau berada. Huh! Mustika Batu Hijau itu harus berada di
tanganku!"
*** 2 Siang itu udara di sekitar Kotaraja Karang Setra terasa sejuk. Angin bertiup
sepoi-sepoi membawa kesejukan bagai di pegunungan. Langit tampak cerah dan
jernih, tanpa awan sedikit pun menggantung menghalangi cahaya matahari. Keadaan
alam yang indah ini tidak disia-siakan sepasang anak manusia yang berada di
taman belakang Istana Karang Setra.
Sebuah taman indah yang ditata apik dan sedap dipandang mata. Bunga-bunga tampak
segar, ber-mekaran menyebarkan keharuman yang menggelitik kuping hidung. Burungburung tampak riang bernyanyi di atas dahan. Sepasang burung merpati putih,
tampak isyik memadu kasih di sebatang dahan pohon yang cukup rendah. Sepasang
manusia di dekatnya memandangi, seakan-akan iri melihat kemesraan dua merpati
itu. "Terkadang, aku suka berpikir. Alangkah senang-nya jadi burung. Begitu bebas,
penuh kasih sayang, tanpa memiliki beban tanggung jawab dan tuntutan besar...,"
pemuda berwajah tampan menggumam perlahan, seakan-akan bicara untuk dirinya
sendiri. "Kau menyesal diciptakan jadi manusia, Kakang?"
lembut sekali nada suara gadis cantik di sampingnya.
Pemuda tampan berbaju putih tanpa lengan itu berpaling. Seketika bibirnya
tersenyum memandang gadis cantik berbaju biru di sampingnya. Sedangkan gadis itu
membalas dengan senyum manis sekali.
Mereka jadi melupakan sepasang merpati putih yang
masih asyik bermesraan. Seakan-akan merpati itu juga tidak peduli dengan dua
anak manusia di dekatnya.
"Aku justru bangga karena diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna di
mayapada ini, Pandan," ujar pemuda berbaju rompi putih itu.
"Tapi, kenapa kau berkata seperti tadi" Kau seperti iri melihat kebebasan
merpati itu," tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan.
Gadis itu memang Pandan Wangi sedangkan
pemuda yang berdiri di sampingnya, tak lain adalah Rangga. Dia lebih dikenal
dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Saat ini mereka memang berada di Istana
Karang Setra, tanah kelahiran pemuda berbaju rompi putih itu.
"Sifat manusia yang paling utama adalah iri, Pandan. Walaupun hanya sedikit,
setiap manusia pasti memilikinya. Entah terhadap sesama manusia, atau terhadap
hewan maupun alam lingkungannya.
Aku iri pada sepasang merpati itu. Karena, mereka bisa bebas bermesraan, tanpa
harus takut pada segala macam peraturan dan tetek bengek lainnya,"
ujar Rangga mencoba berfilsafat.
"Kenapa harus iri..." Apa kau merasa dilarang bermesraan, Kakang?" tanya Pandan
Wangi. "Entahlah...," desah Rangga, perlahan. Pandan Wangi tersenyum. Arah pembicaraan
itu sudah bisa ditangkapnya. Gadis itu tahu kalau Rangga sebenarnya ingin
mengungkapkan isi hatinya. Memang disadari, mereka sudah cukup lama berhubungan.
Dan mereka juga sudah saling memahami akan diri dan watak masing-masing. Tapi
ada suatu jarak yang sangat besar, yang membatasi mereka. Dan rasanya, sukar
sekali menyatukan jarak itu. Mereka samasama menyadari, terlalu sulit untuk bisa bersatu dalam satu ikatan suci. Jurang
pemisah yang membentang di antara mereka begitu besar dan dalam. Dan semua itu
sudah sama-sama disadari.
"Kakang, kau percaya terhadap takdir...?" tanya Pandan Wangi, setelah cukup lama
terdiam. "Takdir..." Tentu saja aku percaya, Pandan.
Kenapa kau tanyakan itu?" Rangga balik bertanya.
"Aku percaya penuh pada takdir. Dan semua yang terjadi di dunia ini sudah
menjadi suratan takdir yang tidak bisa dielakkan lagi. Termasuk juga jalan hidup
kita. Kau menyesali perjalanan hidup kita, Kakang...?"
pelan dan tenang sekali suara Pandan Wangi.
"Aku tidak percaya kita akan selamanya begini, Pandan. Satu saat nanti, semua
ini pasti akan berakhir," tegas Rangga, langsung dapat memahami maksud kata-kata
Pandan Wangi. "Seandainya aku bukan keturunan bangsawan atau brahmana?" tanya Pandan Wangi.
"Paling tidak, kau keturunan seorang ksatria, Pandan."
"Jika tidak...?"
"Ah! Sudahlah...," elak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin lagi membicarakan persoalan ini. Sampai saat
ini, pemuda itu masih tetap mencari keterangan asal-usul Pandan Wangi yang
sebenarnya. Memang sulit, karena orang-orang yang mengenal Pandan Wangi sejak
kecil sudah tidak ada. Dan lagi orang tua gadis ini masih samar-samar. Belum ada
satu kepastian mengenai asal-usulnya, meskipun ada beberapa keterangan kalau
Pandan Wangi sebenarnya keturunan seorang pendekar besar. Tapi ada juga yang
bilang, kalau gadis itu keturunan seorang pertapa yang masuk
dalam golongan brahmana.
Dan sebenarnya, Rangga selalu mengelak dan tidak ingin membicarakan masalah ini.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menyetujui segala macam
penggolongan. Dia tidak ingin peduli dengan segala macam penggolongan dan
derajat seseorang. Tapi adat warisan leluhur sudah meng-gariskan demikian,
sehingga tidak bisa ditentangnya.
Rangga menyadari kalau dirinya keturunan bangsawan berdarah biru. Dan sebagai
keturunan bangsawan, dia tidak bisa sembarangan mencari pendamping hidup.
Terlebih lagi di Karang Setra ini, dia seorang raja yang tentu tidak sedikit
peraturan harus ditaati, termasuk dalam hal pendamping hidup.
"Aku akan ke pesanggrahan. Kau mau ikut, Pandan?" Rangga membelokkan arah
pembicaraan. "Cempaka ikut?" tanya Pandan Wangi.
"Kalau Cempaka mau," sahut Rangga.
"Kapan berangkat?"
"Sekarang."
"Akan kupanggil Cempaka dulu, Kakang."
Tanpa meminta persetujuan lagi, Pandan Wangi bergegas melangkah meninggalkan
taman ini. Rangga memandangi sampai gadis itu lenyap dari pandangan. Perlahan kemudian,
kakinya baru diayunkan meninggalkan taman ini. Matanya sempat melirik pada
sepasang merpati yang masih ber-cengkerama di atas dahan. Entah kenapa, dia jadi
tersenyum melihat kemesraan merpati itu.
*** Tiga penunggang kuda keluar dari pintu gerbang benteng Istana Karang Setra.
Ketiga penunggang
kuda itu adalah Rangga, Pandan Wangi, dan Cempaka. Tak seorang prajurit pun yang
menyertai mereka. Dalam keadaan pakaian seperti ini, tak seorang pun rakyat
Karang Setra yang mengenali mereka.
Tak ada seorang pun dari ketiga pendekar muda itu yang menyadari, kalau
kepergian mereka diamati sepasang mata yang tersembunyi di balik kerudung lusuh
berwarna hitam. Sepasang bola mata itu tidak berkedip, mengikuti ketiga
penunggang kuda yang semakin jauh meninggalkan istana megah ini.
"Hm..., kesempatanku sudah taba. Tidak terlalu ketat penjagaan di sini,"
terdengar gumaman yang halus dan hampir tidak terdengar.
Orang berbaju hitam yang longgar itu melilitkan kerudungnya, hingga menutupi
hampir seluruh kepala. Hanya sepasang matanya saja yang masih terlihat menyorot
tajam. Keadaan sekitar yang nampak sepi diamatinya. Hanya dua orang prajurit
saja yang menjaga pintu gerbang benteng istana.
"Hup...!"
Begitu cepat dan ringan sekali orang itu melenting ke udara. Dan tahu-tahu, dia
sudah hinggap di atas tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Sebentar diamatinya
keadaan di dalam benteng istana ini, kemudian meluruk turun dengan gerakan indah
dan ringan. Begitu ringannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat
kakinya menjejak tanah berumput di dalam benteng istana.
"Sepi.... Apakah ini suatu jebakan...?" kembali orang itu bergumam perlahan.
Orang itu menyembunyikan diri di balik gerumbul semak yang banyak tumbuh merapat
pada tembok benteng. Sebentar keadaan sekitar diawasinya. Sorot
matanya begitu tajam tak berkedip. Merasa suasana aman, dia cepat keluar dari
tempat persembunyian-nya. Hanya sekali lesat saja, orang itu sudah mencapai
pinggir tembok bangunan istana. Tubuhnya dirapatkan di dinding yang tebal dari
batu. Kembali diamatinya keadaan sekitar.
Baru saja kakinya bergerak hendak melangkah, mendadak saja terdengar bentakan
keras yang mengejutkan. Cepat tubuhnya diputar ke arah datangnya bentakan keras
tadi. Tampak dua orang berseragam prajurit datang menghampiri setengah berlari.
"Huh! Kadal buduk...!" dengus orang itu.
Bet! Cepat sekali tangan kanannya dikebutkan, sebelum kedua prajurit itu mendekat.
Seketika dari balik lengan bajunya yang longgar, meluncur dua buah benda kecil
berwarna keperakan. Benda itu meluncur deras bagai kilat tanpa disadari kedua
prajurit itu. Sehingga....
Crab! Bres! Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Kedua prajurit itu langsung ambruk tak
berkutik lagi, begitu dua benda keperakan menghantam dadanya. Cepat orang
berbaju hitam lusuh itu melesat ke atas, lalu hinggap di atap. Kemudian tubuhnya
kembali melenting labih tinggi lagi, lalu meluruk turun ke bagian belakang
istana. Kakinya mendarat tepat di belakang seorang prajurit yang sedang berjaga.
"Hih!"
Begkh! Hanya sekali pukulan saja, prajurit itu ambruk tak bersuara. Batok kepalanya
rengat, sehingga darah
mengucur keluar membasahi lantai. Orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri
sebentar, lalu melompat cepat menuju sebuah pintu yang terbuka lebar. Tubuhnya
dirapatkan di dinding dekat pintu.
Perlahan-lahan kepalanya dijulurkan untuk melongok ke dalam.
"Kosong.... Di mana dia...?" desisnya perlahan.
Sebentar pandangannya beredar ke sekitarnya, kemudian kembali melesat cepat.
Gerakannya begitu ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Pertanda tingkat kepandaiannya begitu tinggi.
Kembali kakinya mendarat di belakang dua orang prajurit yang menjaga sebuah
pintu yang tertutup rapat.
Dieghk! Bek! Dua orang prajurit itu langsung ambruk terkena pukulan keras bertenaga dalam
tinggi pada tengkuk-nya. Cepat orang berbaju hitam lusuh itu merapatkan
punggungnya di dinding dekat pintu. Belum juga melakukan sesuatu, pintu terkuak
terbuka. Dari dalam muncul seorang pemuda tampan mengenakan baju putih bersih
dari bahan sutra halus dan ber-hiaskan sulaman benang emas.
Dia tampak terkejut begitu melihat dua orang prajurit yang menjaga di depan
pintu ini sudah ter-kapar dengan darah menggenang di belakang kepalanya. Dan
belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak saja sebuah pukulan melayang deras
ke wajahnya. "Uts!"
Maka cepat-cepat kepalanya ditarik ke belakang, sehingga pukulan itu hanya lewat
sedikit di depan wajahnya. Bergegas pemuda itu melompat mundur,
masuk kembali ke dalam kamar. Namun sebelum bisa disadari apa yang terjadi,
tiba-tiba berkelebat bayangan hitam menerobos masuk, langsung hendak
menerjangnya. "Hup! Yeaaah...!"
Pemuda tampan itu cepat melentingkan tubuhnya, ambil berputaran dua kali ke
belakang. Maka terjangan bayangan hitam itu pun tidak mengenai sasaran.
Manis sekali pemuda itu menjejakkan kaki di lantai.
Keningnya langsung berkerut, dan matanya menyipit saat melihat seseorang berbaju
hitam kumal dan longgar sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depannya.
Seluruh kepalanya terbungkus kain hitam.
Hanya sepasang bola matanya saja yang terlihat menyorot tajam.
"Siapa kau..."!" tanya pemuda itu membentak.
"Kau tidak perlu tahu, siapa diriku. Serahkan saja Mustika Batu Hijau dari
Kuburan Tua!" sahut orang itu dingin.
Dari nada suaranya yang datar, dapat dipastikan kalau orang berbaju hitam itu
adalah wanita. Sedangkan dari bentuk tubuhnya, sulit dikenali.
Karena, dia mengenakan pakaian longgar dan lusuh sekali. Baju yang dikenakannya,
seakan-akan tidak pernah terkena air selama satu tahun. Kotor sekali, dan berbau
tidak sedap. "Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan, Nisanak"!" kata pemuda tampan itu.


Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Phuih! Jangan berpura-pura, Danupaksi! Aku tidak punya banyak waktu. Serahkan
mustika itu, atau mampus!" semakin dingin suara wanita itu.
"Kau sudah main ancam, Nisanak," desis pemuda tampan yang ternyata memang
Danupaksi. "Serahkan mustika itu, cepat...!" bentak wanita berbaju hitam itu kasar.
"Aku tidak tahu, apa yang kau inginkan, Nisanak.
Tidak ada benda yang kau cari di sini...."
"Setan alas...! Rupanya kau lebih memilih mati!
Yeaaah...!"
"Hei, tunggu...!"
Namun wanita berbaju hitam itu lebih cepat lagi melakukan serangan. Satu pukulan
keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh dilontarkan ke arah dada Danupaksi.
"Hap!"
Cepat Danupaksi memiringkan tubuh, sambil menarik sedikit ke kanan. Maka pukulan
yang dilontarkan wanita itu tidak sampai mengenai sasaran. Namun cepat sekali
tangannya ditarik kembali, dan cepat mengibaskan ke arah leher.
Danupaksi sempat terperangah, namun cepat menarik tubuhnya ke belakang dua
tindak. Dan tebasan tangan wanita berbaju hitam itu pun tidak tepat lagi
mengenai sasaran.
"Hhh! Rupanya kau memiliki simpanan yang lumayan juga, Danupaksi. Pantas Eyang
Duraga lebih memilihmu daripada aku!" dengus wanita itu ketus.
"Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan itu, Nisanak," ujar Danupaksi.
"Phuih! Rupanya orang-orang Karang Setra senang berdusta. Baik... Aku punya cara
tersendiri untuk membuka mulutmu, Danupaksi!"
Setelah berkata demikian, wanita berbaju hitam yang longgar dan lusuh itu
kembali melompat menerjang. Namun kali ini Danupaksi sudah siap.
Cepat tubuhnya melesat keluar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Wanita
itu tampak kecolongan dan hanya terbengong-bengong. Namun itu hanya sebentar
saja, karena dia sudah kembali meluncur deras keluar dari kamar ini.
"Mau lari ke mana kau, Bocah Setan"! Yeaaah...!"
*** "Pengawal...!" teriak Danupaksi sekuat-kuatnya.
Cepat-cepat pemuda itu membanting dirinya ke tanah. Dia bergulingan beberapa
kali, menghindari serangan yang dilakukan wanita tak dikenal itu.
Danupaksi cepat melesat bangkit berdiri, dan langsung memiringkan tubuhnya ke
kanan untuk menghindari satu pukulan keras menggeledek, mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi. Saat itu Danupaksi melepaskan satu sodokan ke arah lambung.
Namun serangan balasan pemuda itu mudah
sekali dihindari. Pada saat itu, sekitar sepuluh orang prajurit berlarian
mendatangi. Sementara serangan-serangan yang dilakukan wanita berbaju hitam itu
semakin gencar saja. Hal ini tentu saja membuat Danupaksi jadi kelabakan
menghindarinya. Sedikit pun pemuda itu tidak diberi kesempatan untuk balas
menyerang. Namun, dia sempat melihat kedatangan sekitar sepuluh orang prajurit.
"Seraaang...!" teriak Danupaksi memberi perintah.
Sepuluh orang prajurit itu langsung berlompatan menyerang wanita berbaju hitam
yang seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain hitam lusuh. Kehadiran para
prajurit itu membuat ruang gerak Danupaksi jadi sedikit longgar. Cepat pemuda
itu melompat mundur
beberapa tindak.
"Pengecut...! Hih! Yeaaah...!" dengus wanita itu geram.
Seketika itu juga wanita itu cepat berkelebat dengan tubuh berputaran bagai
gasing. Saat itu juga, terdengar jerit dan pekikan melengking tinggi yang
menyayat. Kemudian disusul ambruknya tiga orang prajurit dengan dada terbelah
menyemburkan darah segar. Belum lagi hilang dari pendengaran jeritan tadi,
kembali terdengar jeritan panjang melengking. Kini dua orang prajurit kembali
terjungkal roboh ber-lumuran darah.
"Keparat..!" desis Danupaksi menggeram.
"Hiyaaat....!"
Sret! Bagaikan kilat Danupaksi melompat menyerang sambil mencabut pedang yang selalu
tergantung di pinggang. Namun baru saja melakukan beberapa gebrakan yang tidak
membawa hasil, kembali dua orang prajurit terjungkal roboh bermandikan darah.
Gerakan wanita berbaju hitam itu sungguh cepat luar biasa, sehingga membuat
Danupaksi dan sisa-sisa prajurit yang ada jadi kebingungan. Begitu cepatnya
gerakan wanita itu, seakan-akan berada di mana-mana. Hal ini sangat menyulitkan
Danupaksi untuk melakukan serangan, karena juga khawatir serangannya akan
memakan para prajuritnya sendiri.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa....!"
Begitu cepatnya wanita itu bergerak, sehingga sukar diikuti pandangan mata
biasa. Tahu-tahu sisa prajurit yang ada berpentalan, dan ambruk tak bernyawa
lagi. Darah mengucur deras membasahi lantai yang licin dan berkilat. Kalau saja
Danupaksi tidak cepat melompat mundur, nasibnya pasti akan
sama dengan sepuluh prajuritnya.
"Percuma saja kau kerahkan semua prajurit yang ada, Danupaksi!" dengus wanita
itu dingin. Serangannya juga dihentikan, seraya menatap tajam pemuda tampan di depannya.
"Siapa kau sebenarnya"!" tanya Danupaksi agak membentak.
"Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa aku, Danupaksi," sahut wanita itu
dingin. "Hm.... Mungkin hari ini belum saatnya. Aku akan kembali lagi nanti
mengambil mustika itu."
Setelah berkata demikian, wanita itu cepat melesat pergi.
"Hai.... Tunggu!" seru Danupaksi.
Namun wanita berbaju hitam yang tidak kelihatan wajahnya itu sudah cepat
menghilang tak berbekas lagi. Tidak mungkin bagi Danupaksi mengejar.
Pemuda itu hanya dapat menarik napas dalam-dalam. Pada saat itu terdengar
langkah-langkah orang berlari cepat menuju ke arah ini. Danupaksi berpaling
sedikit. Tampak Ki Lintuk, Patih Jaladara, dan sekitar tiga puluh orang
berseragam prajurit datang menghampiri.
"Raden..., apa yang terjadi?" tanya Ki Lintuk begitu dekat dengan Danupaksi.
"Panjang ceritanya," sahut Danupaksi. "Oh, ya.... Di mana Kanda Prabu Rangga?"
"Gusti Prabu sedang ke pesanggrahan bersama Gusti Ayu Cempaka dan Gusti Ayu
Pandan Wangi,"
Patih Jaladara yang menyahuti.
"Kapan kembali?"
"Sebelum gelap nanti," sahut Patih Jaladara lagi.
"Baiklah. Paman Patih, tolong bereskan semua ini.
Ki Lintuk, kau ikut aku."
Danupaksi bergegas melangkah meninggalkan tempat itu, diikuti Ki Lintuk.
Sedangkan Patih Jaladara memerintahkan para prajurit untuk menyingkirkan mayat
sepuluh prajurit naas yang bergelimpangan bersimbah darah. Dan sebagian lagi
membereskan tempat yang berantakan akibat pertarungan tadi.
*** 3 Danupaksi memacu cepat kudanya melintasi jalan tanah berdebu. Di belakang Ki
Lintuk mengikuti.
Kudanya juga cepat dipacu. Debunya, mengepul membumbung tinggi ke angkasa,
tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu bagai dikejar setan. Mereka sudah jauh
meninggalkan gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra. Dari arah yang dituju,
jelas mereka hendak ke pesanggrahan.
Mereka terus memacu cepat kudanya, meskipun sudah harus melewati tepi jurang
yang cukup dalam dan lebar. Sedangkan debu tidak lagi mengepul, karena jalan
yang dilalui sekarang ini berbatu dan banyak ditumbuhi rerumputan.
"Awas...!" teriak Ki Lintuk tiba-tiba.
Mendadak saja, dari atas tebing meluncur sebongkah batu yang sangat besar hendak
mengancam mereka. Suaranya menggemuruh, membuat hati jadi bergetar. Danupaksi
dan Ki Lintuk cepat melenting ke udara, maka batu itu lewat di bawah kaki
mereka. Akibatnya, batu itu jadi menghantam kuda yang tak dapat menghindar lagi.
Suara ringkik kuda terdengar menyayat, ditingkahi gemuruh batu-batu yang
berguguran dari atas tebing. Dua ekor kuda meluncur masuk ke dalam jurang
bersama batu-batu dan pepohonan yang tumbang.
Sedangkan Danupaksi dan Ki Lintuk berlompatan menghindari hujan batu, yang
seakan-akan runtuh dari langit. Cukup lama juga mereka dihujani
bebatuan dari atas tebing. Mereka baru bisa menarik napas lega saat tidak ada
lagi batu-batu yang longsor.
Danupaksi memandang ke atas tebing.
Sementara Danupaksi dan Ki Lintuk berusaha menghindari hujan batu yang cukup
berbahaya itu! "Aneh... Bagaimana batu-batu itu bisa longsor?"
gumam Danupaksi seperti bertanya pada diri sendiri.
Belum juga pertanyaan Danupaksi bisa terjawab, mendadak saja terdengar tawa
mengikik yang keras dan menggema. Suara tawa itu jelas datang dari atas tebing
batu. Sejenak Danupaksi dan Ki Lintuk tercenung, dan saling melemparkan pandang.
Sementara suara tawa itu terus terdengar menggelitik bulu kuduk.
"Hati-hati, Gusti," ujar Ki Lintuk memperingatkan.
Suaranya terdengar bergumam, dan pelan sekali Begitu suara tawa mengikik
berhenti, disusul meluncurnya sebuah bayangan hitam itu dari atas tebing. Begitu
cepatnya bayangan hitam itu bergerak.
Sehingga sebelum Danupaksi dan Ki Lintuk sempat menyadari lebih jauh, di depan
mereka tahu-tahu sudah berdiri seseorang berpakaian lusuh serba hitam. Seluruh
kepalanya terbalut kain hitam. Hanya kedua matanya saja yang terlihat.
"Kau lagi...," desis Danupaksi perlahan.
"Mau ke mana kau, Danupaksi...?" tanya orang itu.
Suaranya terdengar dingin dan datar, tanpa tekanan sedikit pun.
"Mau ke mana saja, bukan urusanmu!" dengus Danupaksi.
"Hik hik hik...! Selama mustika itu belum diserahkan, kau selalu berurusan
denganku, Danupaksi."
"Berapa kali harus kukatakan padamu. Aku tidak tahu mustika yang kau cari!"
geram Danupaksi sengit.
"Orang lain bisa kau kelabui, Danupaksi. Tapi aku tahu, kau memegang Mustika
Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga. Sebaiknya serahkan saja benda itu
padaku. Jangan kau paksa aku bertindak kejam, Danupaksi...!" kali ini nada suara
orang berbaju hitam itu bernada mengancam.
"Kau tidak perlu mengancamku, Nisanak!" dengus Danupaksi geram.
"Hik hik hik...! Rupanya kau keras kepala juga.
Baik.... Jangan katakan diriku kejam, Danupaksi."
Bet! Selesai berkata, orang berbaju hitam yang wajahnya terbalut kain hitam lusuh itu
cepat mengebutkan tangannya. Kelihatannya dia bersiap hendak menyerang.
Danupaksi segera menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sedangkan Ki Lintuk
berpindah menjauhi pemuda tampan itu. Laki-laki tua itu tidak tahu, persoalan
apa yang sebenarnya tengah terjadi antara Danupaksi dengan orang berbaju hitam
itu. Meskipun wajahnya sukar dikenali, namun dari nada suara dan bentuk tubuh, sudah
dapat dipastikan kalau dia adalah wanita. Untuk beberapa saat, tak ada seorang
pun yang membuka suara.
Sementara Danupaksi dan wanita berbaju serba hitam itu sudah saling berhadapan,
dan telah sama-sama membuka kembangan jurus. Namun, belum juga ada yang
menyerang lebih dahulu. Seakan-akan keduanya tengah mengukur tingkat kepandaian
masing-masing. "Kau masih kuberi kesempatan terakhir,
Danupaksi," ujar wanita itu.
"Kalaupun mustika itu ada padaku, tidak bakalan kuberikan padamu!" dengus
Danupaksi. "Keras kepala...! Rasakan ini, hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, wanita berbaju serba hitam itu melompat cepat bagaikan
kilat menerjang Danupaksi. Dua pukulan beruntun dilepaskan, disertai pengerahan
tenaga dalam penuh.
"Hup...!"
Danupaksi cepat memiringkan tubuh ke kanan, lalu menarik kembali ke kiri. Maka
dua pukulan yang dilontarkan wanita itu tidak sampai menemui sasaran. Namun
sebelum Danupaksi bisa bertindak lebih jauh lagi, mendadak saja wanita berbaju
serba hitam itu melepaskan satu tendangan keras menggeledek, sangat cepat luar
biasa. "Yeaaah...!"
"Hait...!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Danupaksi untuk menghindar. Maka tangannya cepat
dihentakkan ke bawah, menangkis tendangan wanita berbaju hitam itu. Satu
benturan keras tak dapat dihindari lagi.
Tak! "Hup!"
"Yeaaah...!"
Mereka saling berlompatan mundur sejauh dua batang tombak. Tampak Danupaksi
meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang memerah akibat
benturan tenaga dalam tadi. Sedangkan wanita itu langsung melenting hendak
menyerang kembali. Padahal, Danupaksi masih merasakan nyeri pada pergelangan
tangannya. *** "Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Ki Lintuk melesat cepat memotong arus serangan wanita berbaju
serba hitam itu. Cepat
sekali laki-laki tua itu melontarkan satu pukulan menggeledek, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Uts!"
Wanita berbaju serba hitam itu tersentak. Cepat tubuhnya diputar ke belakang dua
kali, menghindari serangan yang dilakukan Ki Lintuk. Pukulan yang dilepaskan Ki
Lintuk memang tak sampai mengenai sasaran, namun berhasil menggagalkan serangan
wanita itu pada Danupaksi.
"Keparat...!" dengus wanita berbaju hitam itu geram.
"Tunggu...! bentak Ki Lintuk begitu wanita berbaju serba hitam itu hendak
menyerang kembali.
"Huh! Mau apa kau, Orang Tua"!" dengus wanita itu dingin.
"Kau menggunakan jurus 'Kelelawar Hitam'. Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki
Lintuk. "Ha ha ha...!" wanita berbaju serba hitam itu tertawa terbahak-bahak. "Kau
mengenali jurusku, Tua.
Tentu kau tahu siapa diriku."
"Hm.... Hanya ada satu orang yang menguasai jurus 'Kelelawar Hitam'. Apakah kau
Nyai Kunti...?"
nada suara Ki Lintuk terdengar agak bergumam.
Wanita berbaju serba hitam itu tidak menjawab, tapi hanya tertawa terbahak-bahak
saja. Perlahan tangannya diangkat, untuk melepaskan kain hitam hisuh yang
menutupi wajahnya. Bukan hanya Danupaksi yang terlonjak kaget melihat raut wajah
wanita itu. Bahkan Ki Lintuk sampai melompat mundur dua langkah ke belakang.
Wajah wanita berbaju serba hitam itu demikian buruk, hampir seluruh kulit
wajahnya mengelupas.
Bahkan daging pipi kanannya hilang, hingga
menampakkan tulang pipi yang putih kemerahan.
Wajah wanita itu bisa dikatakan lebih mirip mayat hidup daripada manusia.
"Kau masih mengenaliku, Ki Lintuk...?" dingin sekali nada suara wanita itu.
"Siapa kau?" tanya Ki Lintuk dengan kening berkerut agak dalam.
"Aku tidak heran kalau kau tidak dapat lagi mengenaliku, Ki Lintuk. Tapi aku
masih tetap mengenalimu. Di antara kita tidak ada satu persoalan pun. Sebaiknya
jangan mencampuri persoalanku dengan Danupaksi," semakin dingin nada suara
wanita itu. "Suaramu mirip Nyai Kunti. Tapi...., kenapa wajahmu jadi rusak seperti itu...?"
Ki Lintuk seperti bertanya pada diri sendiri.
"Aku tidak akan begini kalau si Tua Bangka Duraga tidak mengambil Mustika Batu
Hijau dari tanganku!"
agak tinggi suara wanita berwajah buruk yang tak lain Nyai Kunti. "Sekarang
mustika itu ada pada Danupaksi. Dan aku akan meminta kembali dengan cara apa pun
juga!" "Nyai Kunti, kalau boleh aku..."
"Cukup!" bentak Nyai Kunti cepat, memutuskan ucapan Ki Lintuk. "Kau tidak
berurusan denganku, Ki Lintuk. Menyingkirlah dari sini...!"
Ki Lintuk tampak jadi serba salah. Sebentar ditatapnya Nyai Kunti, dan sebentar
kemudian beralih pada Danupaksi. Dia mengenai betul, siapa Nyai Kunti yang
mempunyai watak sekeras batu karang.
Tingkat kepandaian wanita berwajah buruk ini sangat tinggi. Rasanya, tidak
sebanding dengan kepandaian Danupaksi. Jadi, Ki Lintuk sudah bisa mengukur,
kalau Danupaksi tidak akan mungkin bisa


Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menandingi wanita ini. Malah, dia sendiri belum tentu mampu bertahan lebih dari
dua puluh jurus.
Ki Lintuk langsung berpikir keras agar bisa menghindari bentrokan antara Nyai
Kunti dengan Danupaksi. Disadari kalau yang diinginkan Nyai Kunti sulit
dibendung lagi. Wanita itu akan menggunakan berbagai macam cara untuk bisa
memenuhi segala keinginannya. Bahkan tidak segan-segan membunuh, asalkan
keinginannya terlaksana.
"Nyai Kunti, mengapa kau mengira kalau
Danupaksi yang memegang Mustika Batu Hijau?"
tanya Ki Lintuk.
"Hanya dia yang sering datang ke kuburan tua Eyang Duraga!" sahut Nyai Kunti.
"Kau salah duga, Nyai Kunti. Aku tahu, siapa yang memegang mustika itu."
"Heh..."! Kau tahu..." Siapa?" Nyai Kunti agak terperanjat.
"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Lintuk.
"Pendekar Rajawali Sakti...?" gumam Nyai Kunti agak terkejut
Nyai Kunti menatap tajam Ki Lintuk, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang
didengarnya barusan.
Danupaksi yang hendak membuka suara, segera cepat dicegah Ki Lintuk. Terpaksa
Danupaksi diam, meskipun tidak mengerti, maksud laki-laki tua ini.
Tapi dia percaya kalau Ki Lintuk tidak akan men-celakakan siapa pun. Danupaksi
menyadari kalau tidak akan mungkin bisa menandingi perempuan bermuka buruk ini.
"Dia seorang pendekar kelana yang tempat tinggalnya tidak tetap," jelas Ki
Lintuk dengan suara dibuat sungguh-sungguh.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Nyai Kunti.
"Aku melihatnya sendiri, saat dia mendapatkan mustika itu. Karena, aku semula
juga bermaksud memiliki mustika itu," sahut Ki Lintuk.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Ki Lintuk?"
"Kau tahu, siapa aku. Seumur hidupku, aku tidak pernah berdusta."
Nyai Kunti terdiam. Ditatapnya Ki Lintuk begitu tajam, sekan-akan menyelidiki
kebenaran kata-kata laki-laki tua ini. Kemudian, ditatapnya Danupaksi.
"Baiklah. Aku percaya padamu, Ki Lintuk. Tapi kalau kau berdusta, kau berurusan
denganku,"
ancam Nyai Kunti. "Dan kau Danupaksi.... Kau tidak bisa terlepas dari
pengamatanku."
Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat meninggalkan tempat ini.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
terlihat lagi. Ki Lintuk menarik napas panjang, melonggarkan rongga dadanya yang
tadi terasa begitu sesak.
*** "Aku tidak mengerti, kenapa Kakang Rangga dilibatkan dalam persoalan ini, Ki,"
ujar Danupaksi perlahan seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Demi keselamatanmu, Den," sahut Ki Lintuk.
"Tapi kenapa harus melibatkan Kakang Rangga?"
"Tidak ada yang dapat menandingi kesaktiannya selain Gusti Prabu Rangga. Aku
tahu betul, siapa Nyai Kunti. Kepandaiannya sangat tinggi, dan sukar dicari
tandingannya. Aku rasa, hanya Gusti Prabu Rangga yang dapat menandinginya."
"Aku tidak tahu, siapa dia. Aku juga tidak tahu,
benda yang dicarinya, Ki," ujar Danupaksi seakan-akan mengeluh.
"Aku percaya, Den tidak tahu apa-apa," Ki Lintuk menyahuti. "Tapi..."
"Tapi kenapa, Ki?" tanya Danupaksi.
"Apa benar kau sering datang ke kuburan tua Eyang Duraga?" tanya Ki Lintuk raguragu. "Kuburan tua...?" Danupaksi tampak keheranan mendengar pertanyaan Ki Lintuk.
"Kuburan tua yang mana, Ki?"
"Kuburan tua di pinggiran Desa Batu Ceper."
Danupaksi terdiam merenung. Dicobanya untuk mencerna semua kata-kata yang
diucapkan Ki Lintuk barusan. Pemuda itu memang tahu, di pinggiran Desa Batu
Ceper terdapat sebuah kuburan tua yang letaknya persis di tepi Rimba Tengkorak.
Belakangan ini, dia memang sering datang ke sana. Tapi tidak ada maksud apa-apa.
Sama sekali Danupaksi tidak tahu kalau di sana terdapat sebuah benda yang kini
tampaknya bakal menjadi masalah besar.
"Ya, aku memang sering datang ke sana,"
terdengar pelan suara Danupaksi, seperti bicara untuk diri sendiri.
"Mau apa ke sana?" tanya Ki Lintuk, agak terkejut juga mendengar pengakuan
pemuda itu. "Aku hanya senang dengan suasananya yang tenang," sahut Danupaksi.
"Apa tidak ada peristiwa yang terjadi selama kau di sana, Den?" tanya Ki Lintuk
lagi. Danupaksi tidak segera menjawab. "Ingat-ingat dulu, Den," desak Ki Lintuk.
"Waktu itu memang ada satu peristiwa, tapi tidak pernah kupedulikan," kata
Danupaksi. "Peristiwa apa, Den?"
"Dari kuburan tua muncul sebuah benda bersinar terang. Benda itu lalu melayanglayang di atas kepala ku, Ki. Hanya sebentar saja, lalu sinar itu hilang,"
Danupaksi menceritakan dengan singkat
"Kau merasakan sesuatu waktu itu?"
"Entahlah, Ki.... Ah, aku tidak ingin membicarakan lagi."
Ki Lintuk menghentikan ayunan langkahnya. Di pandanginya Danupaksi dalam-dalam,
seakan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sedangkan yang dipandangi
hanya tertunduk saja. Ki Lintuk merasa yakin kalau ada sesuatu yang
disembunyikan pemuda ini. Hanya saja, sukar untuk bisa diduga.
Sedangkan dia tahu kalau Danupaksi sulit diajak terbuka jika mempunyai suatu
persoalan seberat apa pun. Danupaksi memang paling tidak ingin melibatkan orang
lain ke dalam permasalahannya sendiri.
"Sebaiknya persoalan ini kau bicarakan dengan kakakmu, Den. Aku merasa
kemunculan Nyai Kunti akan membawa bencana besar. Aku tahu betul wanita itu,"
ujar Ki Lintuk lembut.
"Akan kupikirkan dulu, Ki," sahut Danupaksi.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan tanpa bicara lagi, dan terpaksa berjalan
kaki. Kuda-kuda mereka telah terjerumus ke dalam jurang, ketika Nyai Kunti
menjatuhkan batu-batu dari atas tebing di pinggir jurang. Selama perjalanan
menuju ke pesanggrahan, tak ada lagi yang bicara.
Sementara Ki Lintuk terus berpikir. Kemunculan Nyai Kunti yang menyangka
Danupaksi memegang Mustika Batu Hijau, dan pengakuan Danupaksi yang merasa tidak
memiliki benda itu, membuat Ki Lintuk harus terus berpikir keras. Dia tidak
tahu, siapa di antara mereka yang benar. Mustika Batu Hijau sudah
membuat persoalan baru lagi. Persoalan yang selama puluhan tahun telah
tenggelam, sejak Eyang Duraga tewas di tangan Pendekar Pedang Kilat dan dikuburkan di Desa Batu Ceper. Sejak itu tidak ada lagi orang yang meributkan tentang
Mustika Batu Hijau.
Tapi sekarang ini.... Nyai Kunti kembali membuka masalah lama yang sudah
tenggelam puluhan tahun lamanya.
*** Matahari sudah hampir tenggelam saat Danupaksi dan Ki Lintuk tiba di pelataran
bangunan pesanggrahan yang terbuat dari susunan batu.
Bangunan itu bentuknya lebih mirip candi.
Suasananya begitu sunyi dan tenang. Hanya desir angin dan kicauan burung yang
terdengar. Begitu nyaman dan terasa damai berada di tempat suci ini.
Perlahan-lahan Danupaksi melangkah mendekati bagian pintu yang tidak pernah
tertutup. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar pesanggrahan ini.
Sementara Ki Lintuk terus mengikuti dari belakang.
Mereka berhenti melangkah tepat di depan pintu.
Tampak jelas kalau Danupaksi ragu-ragu untuk melangkah masuk ke dalam. Wajahnya
kemudian berpaling memandang Ki Lintuk yang berada di sebelah kanan, agak ke
belakang. "Aku merasa ada kejanggalan, Ki," ujar Danupaksi setengah berbisik.
"Hm..., ya. Tidak seperti biasanya," sahut Ki Lintuk juga pelan suaranya.
Mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan di sekitar
pesanggrahan ini benar-benar sepi. Memang tidak seperti biasanya.
Setiap Rangga berada di pesanggrahan ini, paling tidak depan pintu ini ada dua
orang prajurit yang menjaga. Dan sekitar pesanggrahan, biasanya terlihat
beberapa prajurit yang siap menjaga keamanan. Tapi kali ini, tak seorang pun
prajurit yang terlihat
"Sebaiknya periksa saja ke dalam, Den," ujar Ki Lintuk memberi saran.
"Baiklah. Aku periksa keadaan di dalam. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di
sini," sahut Danupaksi.
Pemuda itu bergegas melangkah masuk ke
pesanggrahan. Sementara Ki Lintuk menunggu di luar. Laki-laki tua itu berjalan
mengelilingi bangunan batu berbentuk candi ini. Hatinya juga jadi heran, karena
tidak satu pun terlihat prajurit penjaga.
Sampai kembali ke depan pintu masuk, sama sekali tidak ditemukan seorang pun. Ki
Lintuk baru mau masuk ke dalam ketika Danupaksi keluar dengan langkah tergesagesa. "Ada apa, Den?" tanya Ki Lintuk.
"Aku tidak melihat ada seorang pun di dalam, Ki, sahut Danupaksi.
"Di ruang semadi?" tanya Ki Lintuk lagi.
"Kosong. Bahkan pintunya terbuka."
"Aneh...," gumam Ki Lintuk sambil mengerutkan keningnya.
Mereka jadi terdiam.
"Ki, kalau tidak ke sini, lalu ke mana mereka..."
tanya Danupaksi seperti untuk dirinya sendiri.
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Den.
Tidak biasanya Gusti Prabu membelokkan tujuannya.
Lagi pula, belum satu hari. Hm.... Ke mana perginya, ya...?" nada suara Ki
Lintuk juga terdengar bergumam pelan.
"Ki...."
Belum juga Danupaksi meneruskan kalimatnya, tiba-tiba saja terdengar derap
langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Kedua orang di depan pesanggrahan itu
langsung mengarahkan pandangan ke arah suara langkah kaki kuda itu. Tampak debu
mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Dan tak berapa lama kemudian, muncul
seekor kuda coklat yang berlari kencang membawa sesosok tubuh tertelungkup di
punggungnya. "Hup...!"
Danupaksi cepat melompat menghampiri kuda itu.
Sigap sekali dia menyambar tali kekang, dan menghentikan kuda coklat itu. Ki
Lintuk bergegas menghampiri. Mereka menurunkan sosok tubuh yang tertelungkup di
atas punggung kuda, lalu mem-baringkannya di tanah berumput tebal. Tubuh yang
mengenakan seragam prajurit itu tampak sudah tak berdaya. Dari dada dan lehernya
mengucurkan darah segar.
"Ohhh...," prajurit itu membuka matanya sambil merintih lirih.
"Ada apa" Apa yang terjadi...?" tanya Danupaksi langsung.
"Gusti..., di.... Oh!"
Danupaksi dan Ki Lintuk tak dapat berbuat apa-apa lagi. Prajurit itu sudah
menghembuskan nafas yang terakhir. Terlalu banyak darah yang keluar dari
tubuhnya. Dia hanya menunjuk ke satu arah tanpa mengucapkan sesuatu yang
berarti. Sebentar Danupaksi menatap Ki Lintuk, kemudian bangkit berdiri. Pemuda
itu menatap ke arah yang ditunjuk prajurit itu.
"Apa maksudnya menunjuk ke arah sana, Ki?"
tanya Danupaksi.
"Mungkin meminta kita ke sana, Den," sahut Ki Lintuk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Danupaksi langsuing melesat cepat ke arah yang
ditunjuk prajurit itu. Ki Lintuk juga cepat melesat pergj, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Sebentar saja bayangan kedua laki-laki itu sudah lenyap tak
terlihat lagi. Dan suasana di pesanggrahan ini tetap sunyi.
*** 4 Senja terus merayap semakin jauh. Keremangan mulai menjalar menyelimuti seluruh
permukaan bumi Karang Setra. Sementara Danupaksi dan Ki Lintuk terus berlari
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju arah yang ditunjuk seorang
prajurit yang terluka, dan berada di ambang kematian.
Mereka sudah cukup jauh meninggalkan pesanggrahan, tapi tak juga menemukan
sesuatu. Namun begitu melewati sebuah sungai kecil yang berair dangkal, mendadak saja
Danupaksi menghentikan larinya. Kedua mata orang itu terbeliak lebar, seakanakan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Ki Lintuk sendiri sampai
terbengong dengan mata terbeliak dan mulut terbuka lebar.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka terpaku memandangi mayat-mayat berseragam
prajurit yang bergelimpangan di depannya. Ada sekitar tiga puluh orang prajurit
bergelimpangan tak bernyawa lagi.
"Biadab...!" desis Danupaksi menggeram.
"Iblis mana yang melakukan ini...?" desis Ki Lintuk bagai bertanya pada dirinya
sendiri. Tak ada seorang pun dari prajurit itu yang masih hidup. Bau anyir darah
menyeruak, menusuk hidung.
Beberapa di antaranya ada yang terbujur masuk ke dalam sungai, sehingga airnya
jadi berwarna merah.
Danupaksi serasa ingin muntah melihat mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang
tindih. Mereka adalah para prajurit yang bertugas menjaga pesanggrahan.
Srek! Tiba-tiba saja terdengar suara semak tergeser.
Danupaksi cepat berpaling menatap gerumbul semak yang bergerak-gerak. Cepat
tubuhnya melompat menerobos ke dalam semak itu.
"Cempaka...!" sentak Danupaksi terkejut melihat seorang gadis berbaju merah muda
tengah berusaha keluar dari dalam semak.
Bergegas Danupaksi menggotong tubuh gadis itu, dan membawanya keluar. Sedangkan
Ki Lintuk cepat-cepat menghampiri. Danupaksi membaringkan Cempaka di bawah pohon
yang cukup rindang. Darah tampak mengotori baju dan wajah gadis itu. Dengan
tangan agak bergetar, Danupaksi membersihkan darah yang mengotori wajah Cempaka.
"Apa yang terjadi di sini, Cempaka?" tanya Danupaksi. "Di mana Kakang Rangga dan
Pandan Wangi?"
Masih banyak pertanyaan yang meluncur bagai hujan dari bibir Danupaksi, tapi
Cempaka tak mampu menjawab semua pertanyaan itu. Napasnya tersengal satu-satu.
Bibirnya bergetar, namun tak ada suara sedikit pun yang terucapkan. Danupaksi
tampak kebingungan melihat keadaan adik tirinya ini.
Sementara Ki Lintuk juga tak dapat berbuat sesuatu.
"Ki! Cepatlah kembali ke istana. Bawa beberapa prajurit dan amankan daerah ini.
Bawa juga seorang tabib istana," perintah Danupaksi.
"Baik, Den," sahut Ki Lintuk.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Ki Lintuk bergegas melompat naik ke punggung
seekor kuda yang ada di tempat ini. Cepat-cepat kuda itu digebah.
Bagaikan kesetanan, Ki Lintuk menggebah cepat kuda itu menuju Kotaraja Karang
Setra. Sementara
Danupaksi menggotong Cempaka, dan membawanya pergi. Kakinya melangkah cepat
menuju pesanggrahan.
"Kau harus pulih kembali, Cempaka. Kau harus menceritakan apa yang terjadi di
sini," ujar Danupaksi berbisik pelan.
"Kakang..., berhenti dulu...," ujar Cempaka, lirih dan agak tersendat suaranya.
"Oh! Kau bisa bicara...?"
Danupaksi menghentikan langkahnya. Cempaka diturunkan dari gendongannya, dan
diletakkan menyandar pada sebongkah batu yang cukup besar.
Cempaka menarik napas dalam-dalam dan meng-hembuskannya perlahan-lahan. Sebentar
jalan napas-nya diatur agar bisa tenang bicara. Sesekali mulutnya meringis
sambil memegangi dadanya.
"Apa yang terjadi, Cempaka?" tanya Danupaksi setelah melihat Cempaka bisa
bemapas lebih tenang.
"Jangan kembali ke pesanggrahan, Danupaksi,"
ujar Cempaka pelan. Begitu lirih suaranya, hampir tak terdengar.
"Kenapa?" tanya Danupaksi.
"Dia.... Dia... Uhk! Dia tangguh sekali, Danupaksi.
Dia sudah menguasai pesanggrahan. Oh...!"
"Siapa dia, Cempaka?" tanya Danupaksi.
Pikiran Danupaksi langsung tertuju pada wanita bermuka buruk yang dikenali Ki
Lintuk sebagai Nyai Kunti. Wanita yang hampir saja membuatnya mati di pinggir
jurang. Wanita bermuka buruk itu mencari sebuah benda yang sama sekali tidak
diketahuinya. Tapi, Danupaksi belum bisa menduga lebih jauh.
Terlalu singkat jarak waktu antara kejadian di tempat ini dengan semua yang
dialaminya. Memang tidak mungkin satu orang berada pada dua tempat dalam
waktu yang singkat. Bahkan hampir bersamaan.
"Mengerikan sekali, Danupaksi. Dia seperti mayat yang bangkit dari dalam kubur,"
ujar Cempaka agak bergidik.


Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mayat hidup...?" Danupaksi terlongo. "Mungkinkah..." Ah, tidak! Tidak
mungkin...!"
Danupaksi menggeleng-gelengkan kepala, membantah semua yang tiba-tiba saja
timbul di kepalanya.
Dia tidak mau percaya kalau Nyai Kunti bisa membantai begitu banyak prajurit,
bahkan melukai Cempaka. Dan herannya, sampai saat ini tidak diketahui, di mana
Rangga dan Pandan Wangi berada. Sedangkan pada saat itu, Nyai Kunti tengah
bertarung melawan pemuda ini. Tapi, wajah Nyai Kunti.... Memang lebih mirip
wajah mayat yang sudah lama terkubur di dalam tanah. "Kapan semua ini terjadi,
Cempaka?" tanya Danupaksi.
"Baru saja."
"Baru...?"
*** Danupaksi merasakan bumi seakan-akan berputar terbalik. Peristiwa ini baru saja
terjadi. Sedangkan dari tepi jurang ke tempat pesanggrahan, memerlukan waktu
setengah hari berjalan kaki. Tapi bagi seorang tokoh persilatan yang
berkepandaian sangat tinggi, memang bisa dicapai dalam waktu sebentar saja.
Mungkinkah yang melakukan semua ini Nyai Kunti..."
Kembali Danupaksi menggeleng-gelengkan kepalanya berulang-ulang. Danupaksi
merasa kepalanya seperti mau pecah. Sukar dipercaya, namun memang inilah
kenyataannya. Hanya satu orang saja, namun
sudah begitu banyak meminta korban. Seseorang mencari sebuah benda, yang sama
sekali tidak diketahui bentuk dan warnanya. Namun Danupaksi masih belum yakin
kalau semua ini perbuatan Nyai Kunti. Kembali ditatapnya Cempaka yang kini sudah
kelihatan lebih tenang.
"Ceritakan, bagaimana kejadiannya," pinta Danupaksi.
"Aku, Kakang Rangga, dan Pandan Wangi sampai di pesanggrahan tengah hari. Kakang
Rangga langsung masuk ke dalam kamar semadi. Sedangkan aku dan Pandan Wangi
melihat-lihat keadaan sekitar pesanggrahan...," Cempaka memulai menceritakan
awal kejadiannya.
"Hm..., teruskan," pinta Danupaksi melihat Cempaka berhenti bercerita.
"Setelah pergantian regu penjaga, musibah itu datang. Aku tidak tahu, apakah dia
pantas disebut manusia atau tidak. Seluruh tubuhnya membusuk.
Kulit serta dagingnya mengelupas. Kemunculannya begitu saja dan tiba-tiba
sekali. Dia ingin masuk ke dalam pesanggrahan. Aku, Pandan Wangi, dan para
prajurit penjaga mencoba mencegah. Seperti memancing, dia malah lari ke seberang
sungai. Kami terus mengejar. Di situ, aku, Pandan Wangi, dan prajurit-prajurit
penjaga tidak sanggup menghadapinya. Aku tidak tahu, bagaimana kelanjutannya.
Satu pukulan keras tiba-tiba bersarang di dada, sehingga membuat aku pingsan,"
Cempaka meng-akhiri kisahnya.
"Orang itu tidak mengatakan sesuatu, Cempaka?"
tanya Danupaksi.
"Dia mencari benda yang disebut Mustika Batu Hijau," sahut Cempaka.
Danupaksi tercenung mendengar orang yang membantai para prajurit ternyata
mencari sebuah mustika dari kuburan tua. Pemuda itu langsung tanggap, kalau yang
dicari pasti Mustika Batu hijau.
Hanya saja Danupaksi belum dapat memastikan, apakah orang itu Nyai Kunti atau
ada orang lain lagi yang serupa wajah dan tubuhnya dengan perempuan itu. Jarak
waktu yang terjadi di tempat ini dengan yang dialaminya, terlalu singkat. Dan
Danupaksi tidak yakin kalau Nyai Kunti bisa bergerak begitu cepat.
Sedangkan waktu pergi, dia begitu yakin kalau wanita itu tidak menuju ke
pesanggrahan ini.
"Hm.... Apakah dia Eyang Duraga sendiri...?"
gumam Danupaksi, bertanya sendiri dalam hati.
Sementara itu kegelapan mulai merambat
menyelimuti sekitarnya. Tak terlihat lagi cahaya matahari di sebelah Barat.
Bintang mulai bertebaran di langit kelam. Tampak bulan mengintip dari balik
awan, mencoba menerangi mayapada ini dengan sinarnya yang lembut dan redup.
Udara di sekitar daerah pesanggrahan ini pun semakin terasa dingin.
Danupaksi mengumpulkan ranting-ranting kering, dan menumpuknya di dekat Cempaka
duduk. Kemudian dia membuat api untuk mengusir udara yang terasa semakin dingin
menggigilkan. Malam ini mereka terpaksa harus bermalam di alam terbuka seperti
ini. Nyala api yang membakar ranting-ranting kering, membuat udara di sekitar
tempat itu jadi terasa hangat.
Baru saja Danupaksi menghenyakkan tubuhnya di samping Cempaka, telinganya
mendengar suara gemerisik dari arah belakang. Cepat pemuda itu melompat bangkit
berdiri seraya memutar tubuhnya.
Tampak semak di dekatnya bergerak-gerak.
Sementara Cempaka tetap diam, bersikap waspada.
Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang yang masih tersimpan di dalam
warangkanya. "Siapa itu...?" bentak Danupaksi lantang.
Tak ada jawaban. Dan semak itu juga berhenti bergerak. Danupaksi menajamkan
telinganya. Suasana seketika jadi terasa begitu sunyi dan mencekam. Tak terdengar suara
sedikit pun, kecuali desir angin saja yang terdengar mengusik telinga.
Perlahan-lahan Danupaksi melangkah mendekati semak belukar di depannya. Namun
belum juga sampai, mendadak saja...
Srak...! "Hup! Yeaaah...!
Cepat Danupaksi melentingkan tubuhnya ke belakang ketika tiba-tiba saja dari
dalam semak melesat sebuah bayangan hitam yang langsung menerjangnya. Pemuda itu
menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah. Namun dengan gerakan
manis dan cepat, dia kembali bangkit berdiri.
"Danupaksi, awas...!" seru Cempaka tiba-tiba memperingatkan pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
Kembali Danupaksi harus melompat ke udara begitu tiba-tiba bayangan hitam itu
meluruk deras ke arahnya. Bayangan hitam itu lewat sedikit di bawah kaki pemuda
itu. Manis sekali Danupaksi memutar tubuhnya, dan cepat sekali pedangnya
dicabut. Langsung punggung bayangan hitam itu dibabatnya.
Bet! Crab! "He..."!"
Danupaksi tersentak kaget. Tubuhnya cepat diputar, lalu mendarat sekitar dua
batang tombak dari bayangan hitam itu. Pemuda itu merasakan
pedangnya bagai menghantam segumpal kapas yang begitu lunak. Sabetan pedangnya
mental berbalik, hampir mengenai dirinya sendiri. Sementara bayangan hitam itu
berhenti menyerang, lalu memutar tubuhnya perlahan.
"Oh..."!" Danupaksi terpana begitu melihat di depannya kini telah berdiri
sesosok makhluk yang begitu mengerikan!
Seluruh tubuh orang itu membusuk dan
mengelupas. Wajahnya hampir tidak memiliki daging lagi. Ulat-ulat kecil dan
lumpur menjadi satu melekat di tubuhnya. Danupaksi melangkah mundur beberapa
tindak sambil menahan napas. Bau busuk begitu meyengat, membuat perutnya terasa
bergolak, bagai gunung berapi yang hendak memuntahkan laharnya.
"Dia orangnya, Danupaksi," ujar Cempaka memberi tahu.
Makhluk aneh mengerikan bagai mayat hidup itu menatap Cempaka. Mulutnya
menyeringai, mem-perlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan kotor berlumpur.
Cempaka yang sudah berdiri, jadi bergidik ngeri. Kakinya cepat bergeser
mendekati Danupaksi.
Pedang sudah terhunus, tergenggam di tangan kanannya. Sementara sosok makhluk
aneh mengerikan kembali menatap Danupaksi. Sinar matanya memerah tajam, seakanakan hendak melumat habis pemuda depannya.
"Siapa kau...?" tanya Danupaksi begitu mendapat kekuatan.
"He he he...," makhluk aneh itu hanya terkekeh menjawab pertanyaan Danupaksi.
"Kau yang bernama Danupaksi...?" dia malah balik bertanya.
"Heh .."! Dari mana kau tahu namaku...?"
Danupaksi jadi terhenyak kaget
"He he he.... Kebetulan kita bertemu di sini, Danupaksi. Aku sudah bosan
mencarimu ke sana mari. He he he.... Rupanya kemujuran masih meng-ikutiku."
"Apa maksudmu mencariku...?" tanya Danupaksi jadi bergidik ngeri.Ha ha ha...!" orang itu malah tertawa terbahak-bahak."Danupaksi menggeser kaki ke belakang dua tindak. Sementara Cempaka ikut
melangkah mundur, dan tetap berada di belakang kakak tirinya ini. Belum hilang
dari ingatannya, bagaimana makhluk aneh bagai mayat hidup ini membantai para
prajurit. Bahkan beberapa kali pedangnya bersarang di tubuh makhluk itu, tapi sedikit pun
tidak melukainya.
Apalagi sampai merobohkannya. Dan sekarang, Danupaksi harus berhadapan lagi
dengannya. Cempaka tidak tahu, apakah kali ini akan selamat jika harus bertarung kembali.
Sementara mayat hidup itu terus tertawa tergelak-gelak, membuat telinga
Danupaksi dan Cempaka bagai bergidik hendak pecah.
*** "Seharusnya kau bersyukur karena bisa kupercaya, Danupaksi. Tapi ternyata kau bukan orang yang cocok. Sekarang titipanku
akan kuminta kembali," kata makhluk aneh mengerikan itu.
Suaranya, terdengar dingin dan datar, tanpa tekanan sedikit pun.
"Kau..., kau Eyang Duraga...?" tebak Danupaksi langsung.
"Benar! Akulah Eyang Duraga. Aku terpaksa
bangkit lagi dari kubur, karena kau tidak pantas menerima mustika yang
kuberikan. Sekarang, barang titipanku akan kuminta kembali," ujar makhluk aneh
yang ternyata memang Eyang Duraga.
"Barang titipan..." Aku tidak mengerti maksudmu.
Barang apa yang kau titipkan padaku?" Danupaksi jadi kebingungan sendiri.
"Huh! Ternyata kau benar-benar tidak bisa dipercaya, Danupaksi! Aku menyesal
telah memberi kepercayaan yang penuh padamu!" dengus Eyang Duraga menggeram.
"Tunggu dulu...! Aku baru kali ini melihatmu. Dan aku tidak tahu, titipan apa
yang kau maksudkan."
sergah Danupaksi.
"Kau tidak bisa mengelabuiku, Danupaksi. Kau datang padaku, dan mengatakan kalau
kau bisa dipercaya. Maka benda itu kuberikan padamu untuk disimpan dan dirawat.
Tapi kenyataannya, kau telantarkan begitu saja. Bahkan sekarang kau mungkir,
berdalih segala macam. Aku tidak suka sifat itu, Danupaksi. Kau bukan seorang
kesatria yang patut dipercaya!" agak tinggi nada suara Eyang Duraga.
Danupaksi semakin kebingungan. Pemuda ini benar-benar tidak tahu maksud
perkataan Eyang Duraga. Sama sekali dia tidak merasa diberi sesuatu untuk
dititipkan. Melihat wujud manusia yang sudah terkubur puluhan tahun ini saja,
baru kali ini. Jadi mana mungkin kalau sempat bicara, dan sampai meyakinkan
segala. Apalagi, Danupaksi tidak tahu benda yang dimaksudkan Eyang Duraga.
Namun, dia sudah dapat menduga kalau benda itu pastilah benda yang juga
diinginkan Nyai Kunti.
"Aku tidak punya banyak waktu, Danupaksi. Kalau
benda itu sampai musnah, aku akan mati selamanya.
Kau harus kembalikan benda itu sekarang juga. Aku tidak ingin dia terus
berkeliaran dengan Pedang Kilat di tangannya. Bukan hanya membahayakan bagi
diriku, tapi juga bagi seluruh rimba persilatan. Aku harus mencegahnya
Danupaksi. Hanya mustika itu yang dapat menandingi Pedang Kilat," jelas Eyang
Duraga, agak melunak suaranya.
"Sungguh, aku tidak tahu mustika yang kau maksudkan. Seandainya ada padaku,
untuk apa aku memilikinya" Benda itu tidak ada gunanya bagiku,"
tegas Danupaksi, tetap kukuh pada pendiriannya.
"Kuperingatkan sekali lagi padamu, Danupaksi. Ini memang kesalahanku, sehingga
mudah mempercayaimu begitu saja. Baiklah.... Kau kuberi kesempatan dalam satu
atau dua hari ini. Jika mustika itu tidak kau serahkan, aku tidak segan-segan
memenggal kepalamu."
Setelah berkata seperti itu, Eyang Duraga melesat pergi. Begitu cepatnya,
sehingga bagaikan menghilang begitu saja. Danupaksi menarik napas panjang,
seakan-akan hendak melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak.
Perlahan tubuhnya dihenyakkan ke tanah. Dipandanginya Cempaka yang sejak tadi
diam saja. Gadis itu juga memandangi pemuda ini dengan sinar mata yang sukar
diartikan. Untuk beberapa saat, tak ada yang bicara. Sibuk dengan beban pikiran masingmasing. "Apa yang harus kulakukan sekarang...?" keluh Danupaksi perlahan.
Tentu saja Cempaka tidak dapat menjawab. Gadis itu memasukkan pedangnya kembali
ke dalam warangka yang tergantung di pinggang. Dia ikut duduk di depan pemuda
ini. Ada rasa iba terselip di
hatinya melihat wajah Danupaksi begitu kusut. Dia percaya kalau Danupaksi tidak
tahu-menahu semua yang sedang dihadapinya. Tapi untuk membantu pemuda ini,
Cempaka tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sedangkan dia sendiri tidak tahu,
persoalan yang sebenarnya
"Apa tidak sebaiknya kita temui dulu kakang Rangga, Danupaksi," ujar Cempaka
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 9 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Rahasia 180 Patung Mas 9

Cari Blog Ini