Ceritasilat Novel Online

Mustika Kuburan Tua 2

Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua Bagian 2


memberi saran yang tiba-tiba saja terlintas di benaknya.
"Ke mana harus mencarinya, Cempaka?" tanya Danupaksi lesu. "Kakang Rangga tidak
ada di pesanggrahan."
"Tidak ada..."! Lalu ke mana?" tanya Cempaka terkejut.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu Cempaka."
Cempaka jadi terdiam. Seingatnya, ketika Eyang Duraga muncul, Rangga sudah masuk
ke dalam ruang semadi. Dia dan Pandan Wangi serta prajurit mengejar mayat hidup
itu. Juga di mana Pandan Wangi sekarang..." Cempaka jadi kebingungan sendiri.
"Kita kembali saja ke istana sekarang, Danupaksi,"
ajak Cempaka. "Kau kuat berjalan jauh, Cempaka?" tanya Danupaksi.
"Aku tidak apa-apa. Hanya luka dalam sedikit,"
sahut Cempaka. "Tapi hari sudah terlalu malam, Cempaka. Besok saja, pagi-pagi sekali kita
berangkat"
Cempaka tidak bisa memaksa. Memang tidak baik melakukan perjalanan di malam
hari. Apalagi dalam keadaan terluka dalam begini, meskipun tidak begitu parah.
Paling tidak Cempaka butuh waktu untuk
bersemadi memulihkan tubuhnya. Maka, kini mereka terpaksa harus bermalam di
tempat terbuka ini, melawan dinginnya udara malam yang berselimut kabut tebal.
*** 5 Danupaksi dan Cempaka baru saja keluar dari dalam hutan ketika seekor kuda hitam
berlari kencang menuju ke arah mereka. Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti
itu menghentikan ayunan langkah, dan memandang ke arah kuda hitam yang berpacu
cepat bagai angin itu. Semakin dekat, semakin jelas kalau kuda hitam itu mem
bawa seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi putih, dan pedangnya yang
bergagang kepala burung nampak bertengger di punggungnya.
"Kakang Rangga...," desis Cempaka gembira begitu dapat mengenali penunggang kuda
hitam itu. "Hooop...!"
Penunggang kuda hitam yang ternyata memang Rangga, langsung melompat turun
begitu kuda hitam tunggangannya berhenti tepat di depan Danupaksi dan Cempaka.
Kuda hitam itu melenggang mendekati seonggok rumput hijau yang tumbuh subur di
bawah pohon beringin yang sangat besar. Bergegas Rangga menghampiri kedua adik
tirinya. "Cempaka, ke mana saja kau?" Rangga mendahului bertanya.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Kakang,"
ujar Cempaka. Rangga melirik Danupaksi. Kening Pendekar Rajawali Sakti sedikit berkerut
melihat raut wajah Danupaksi tampak lesu tak bergairah. Sementara Cempaka tahu
kalau Rangga sedang memperhatikan Danupaksi. Maka dirinya bergeser ke samping.
"Ada apa, Danupaksi" Kau seperti menghadapi persoalan berat," tegur Rangga.
"Aku tidak tahu, Kakang. Aku sendiri tidak bisa mengerti," sahut Danupaksi lesu.
"Ada apa" Ceritakan padaku, Danupaksi," desak Rangga lembut. Dia bisa menduga
kalau Danupaksi menyembunyikan sesuatu.
Danupaksi tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada Cempaka.
Sedangkan yang dilirik hanya menundukkan kepala saja. Semalam, Danupaksi sudah
menceritakan semuanya pada gadis ini. Dan Cempaka sendiri jadi bingung, tidak
tahu harus berbuat apa. Dia dan Danupaksi begitu yakin kalau ancaman Eyang
Duraga tidak bisa dianggap main-main. Manusia yang bangkit dari kuburnya itu
memang tidak dapat dianggap enteng.
Tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata. Hal itu sudah dirasakan oleh
mereka berdua. Senjata mereka tak ada artinya sama sekali bagi Eyang Duraga.
"Ada apa, Danupaksi..." Cempaka...?" tanya Rangga kembali mendesak.
"Kau saja yang mengatakannya, Cempaka,"
Danupaksi melempar pada adik tirinya.
"Kenapa aku..." Kau yang punya persoalan.
Ceritakan saja apa adanya, Danupaksi," elak Cempaka.
"Ada apa ini" Apa yang kalian sembunyikan?"
Rangga jadi penasaran.
"Aku tidak tahu, harus memulai dari mana, Kakang. Tiba-tiba saja semuanya
terjadi. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka menyangka aku yang menyimpan
benda itu," ujar Danupaksi, bernada mengeluh.
"Benda apa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Itulah, Kakang. Aku sendiri tidak tahu, benda apa yang mereka ributkan," sahut
Danupaksi. "Siapa mereka itu, Danupaksi?" tanya Rangga.
"Nyai Kunti dan Eyang Duraga."
"Kau jangan main-main, Danupaksi," desis Rangga tidak percaya dengan jawaban
adik tirinya barusan.
"Aku sungguh-sungguh, Kakang. Dua kali aku bentrok dengan Nyai Kunti. Dan
semalam, hampir saja bentrok dengan Eyang Duraga. Bahkan Cempaka sendiri terluka
dalam olehnya. Ditambah lagi, semua prajurit penjaga pesanggrahan juga tewas di
tangan Eyang Duraga," jelas Danupaksi bersungguh-sungguh.
"Benar begitu, Cempaka?" Rangga masih tidak percaya.
Cempaka hanya mengangguk saja membenarkan semua jawaban Danupaksi. Melihat kedua
adiknya tirinya begitu sungguh-sungguh, kening Rangga jadi berkerut.
Dipandanginya Danupaksi dan Cempaka bergantian, seolah-olah ingin memastikan
kalau mereka tidak main-main. Rangga tahu, siapa kedua orang yang baru saja
disebutkan namanya oleh Danupaksi.
Nyai Kunti adalah seorang tokoh kosen rimba persilatan. Tingkat kepandaiannya
tinggi sekali, dan sukar dicari tandingannya. Terutama pengetahuannya mengenai
segala racun. Sungguh tak ada bandingan-nya di dunia ini. Semua senjata yang
dipergunakan wanita tua berwajah buruk itu mengandung racun yang sangat
mematikan. Tapi yang membuat Rangga tidak habis mengerti, adalah tentang Eyang Duraga.
Semua orang tahu kalau Eyang Duraga sudah terkubur puluhan tahun.
Dia tewas karena bertarung melawan Pendekar
Pedang Kilat. Makamnya ada di pinggiran Desa Batu Ceper. Rasanya memang sukar
dipercaya kalau Eyang Duraga yang sudah meninggal puluhan tahun bisa bangkit
kembali. Bahkan menemui Danupaksi, serta membunuh puluhan prajurit penjaga
pesanggrahan. "Eyang Duraga datang ke pesanggrahan untuk mencari Kakang Danupaksi. Dia
menginginkan kakang Danupaksi agar mengembalikan barang titipannya, Kakang,"
jelas Cempaka yang sejak tadi diam saja.
"Dia datang ke pesanggrahan...?" Rangga jadi tercenung.
"Ya! Tidak lama setelah Kakang masuk ke dalam bilik semadi. Aku dan Pandan Wangi
serta semua prajurit penjaga pesanggrahan mencoba meng-hadangnya untuk masuk.
Setelah kami bertarung, dia seperti memancing kami. Dia kemudian berlari, lalu
aku, Pandan Wangi, dan semua prajurit mengejarnya.
Kemudian, kami bertarung kembali. Dan, semua prajurit tewas. Bahkan Pandan Wangi
menghilang begitu saja," jelas Cempaka memberi tahu.
"Aku waktu itu langsung bersemadi, dan tak mendengar ada keributan. Tapi...,"
Rangga menghentikan ucapannya. Dia kembali tercenung seperti kebingungan
sendiri. "Tapi kenapa, Kakang?" tanya Cempaka ingin tahu.
"Aneh.... Aku seperti dibangunkan dari semadi.
Dan begitu bangun dari semadi, aku tidak melihat ada seorang pun di
pesanggrahan. Aku sudah mencari ke mana-mana, bahkan sampai kembali ke istana,"
pelan sekali suara Rangga.
Danupaksi dan Cempaka saling berpandangan bingung. Terutama Danupaksi yang sudah
memeriksa semua kamar di pesanggrahan. Pantas saja dia tidak menemukan Pendekar Rajawali
Sakti. Untuk beberapa saat, mereka jadi kebingungan dan terdiam membisu. Semua
peristiwa yang dialami sungguh luar biasa, dan membuat mereka tidak mengerti.
"Lalu, di mana Pandan Wangi sekarang, Kakang?"
tanya Cempaka, teringat Pandan Wangi.
"Ada di istana," sahut Rangga. "Aku menemukan-nya terluka. Dia tergeletak tidak
jauh dari perbatasan."
"Di istana..." Apa Pandan Wangi tidak cerita kalau dia habis bertarung...?"
Cempaka jadi terkejut Rangga menggeleng.
"Keadaannya masih lemah. Belum bisa ditanya"
"Aneh...," gumam Cempaka. "Apa sebenarnya yang sedang terjadi...?"
Pertanyaan Cempaka yang bergumam, tidak ada yang bisa menjawab. Rangga sendiri
jadi kebingungan tidak mengerti. Mereka hanya bisa saling berpandangan, tanpa
dapat menemukan jawaban dari semua peristiwa yang dialami. Peristiwa aneh yang
baru pertama kali ini terjadi.
"Sebaiknya kalian kembali saja ke istana," ujar Rangga setelah cukup lama
terdiam. "Kakang mau ke mana?" tanya Danupaksi.
"Aku akan kembali ke pesanggrahan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di
sana," sahut Rangga.
Rangga cepat melompat naik ke punggung
kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah
cepat kudanya menuju pesanggrahan. Sejenak Cempaka dan Danupaksi berpandangan,
lalu sama-sama mengangkat pundak. Kini mereka kembali meneruskan perjalanan
menuju istana, tanpa berkata-kata lagi.
Sementara Rangga sudah jauh masuk ke dalam hutan.
*** Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Rangga sudah tiba di depan
bangunan pesanggrahan yang menyerupai candi. Suasana di situ tampak sunyi
lengang. Tak terlihat seorang pun di sekitar tempat suci ini. Bahkan binatang
pun tidak terlihat berkeliaran di sekitarnya. Hanya desir angin yang terdengar
mengusik gendang telinga.
Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun dari punggung kuda. Kakinya
melangkah perlahan-lahan mendekti pintu pesanggrahan yang terbuka. Pandangan
matanya tidak berkedip tertuju ke dalam pintu. Dia menduga keras kalau ada
sesuatu di dalam pesanggrahan itu, yang belum diketahuinya. Namun perasaannya
semakin tajam saja. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi,
mendadak saja....
Sing...! "Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat melentingkan tubuhnya ketika sebuah benda bulat pipih berwarna
keperakan meluncur deras dari dalam pesanggrahan di depannya. Benda itu lewat di
bawah telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menghantam sebatang
pohon yang cukup besar.
Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar, begitu benda bulat pipih keperakan
menghantam pohon.
Sementara Rangga sudah kembali berdiri di tanah, setelah melakukan putaran dua
kali. Sedikit matanya
melirik ke arah batang pohon yang hangus menghitam.
"Siapa di dalam..." Keluar...!" teriak Rangga lantang.
Teriakan Pendekar Rajawali Sakti itu menggema keras, karena dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Namun tak ada sahutan sedikit pun dari dalam pesanggrahan. Rangga menanti
sebentar, kemudian menggeser kakinya sedikit ke kanan. Pandangan matanya tetap
tajam tertuju ke arah pintu pesanggrahan.
"Jika tidak juga keluar, akan kuhancurkan pesanggrahan ini!" ancam Rangga.
"Hik hik hik...!"
Bersamaan dengan terdengarnya tawa mengikik, berkelebat sebuah bayangan hitam
keluar dari pesanggrahan. Rangga sempat melangkah mundur dua tindak. Kini di
depannya telah berdiri seorang perempuan tua berbaju hitam lusuh yang longgar.
Rangga sempat terpana begitu menatap wajah rusak orang di depannya. Orang itu
bagaikan mayat hidup yang sudah terkubur puluhan tahun lamanya. Hampir seluruh
kulit dan daging di wajahnya mengelupas, sehingga menampakkan tulang wajah yang
putih kemerahan.
"Sungguh berani sekali kau hendak menghancurkan sebuah pesanggrahan, Anak Muda,"
terasa dingin dan datar sekali suara wanita berwajah buruk itu.
"Siapa kau" Dan apa maksudmu berada di dalam pesanggrahanku?" Rangga malah balik
bertanya. "Pesanggrahanmu..." Hik hik hik...! Kalau begitu kau pasti Pendekar Rajawali
Sakti. Raja Karang Setra.
Benar begitu...?"
"Hm.... Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang diriku," gumam Rangga agak
terperanjat juga.
"Tidak terlalu sukar mengetahui tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Hampir
semua orang di kalangan persilatan mengenalmu."
"Siapa kau, Nisanak" Apa keperluanmu datang ke pesanggrahanku"!" tanya Rangga
lagi, tidak ingin bertele-tele.
"Hik hik hik.... Aku Nyai Kunti. Kedatanganku ke sini ingin meminta kembali
Mustika Batu Hijau yang kau ambil dari Danupaksi," sahut wanita berwajah buruk
yang tak lain adalah Nyai Kunti.
"Hm.... Jadi kau yang bernama Nyai Kunti...?"
gumam Rangga seakan-akan ingin memastikan.
"Benar. Dan sebaiknya jangan membuat kesulitan denganku, seperti adikmu," nada
suara Nyai Kunti terdengar mengancam.
Rangga menatap wanita berwajah buruk itu dalam-dalam. Hatinya agak tersinggung
mendengar kata-kata bernada mengancam itu. Tapi dirinya masih berusaha untuk
dapat bersabar. Setelah mengetahui siapa wanita yang ada di depannya ini, rasa
keingintahuannya mampu mengalahkan ketersing-gungan di hatinya. Meskipun
Danupaksi dan Cempaka sudah bercerita banyak, tapi Pendekar Rajawali Sakti masih
belum jelas duduk perkara yang sebenarnya. Sebuah persoalan yang sampai-sampai
melibatkan Danupaksi dengan seorang tokoh kosen rimba persilatan, seperti Nyai
Kunti ini. Terlebih lagi, menyangkut Eyang Duraga yang sudah puluhan tahun
terkubur. "Apa yang kau inginkan dari adikku, Nyai Kunti?"
tanya Rangga memancing.
"Kau jangan berpura-pura, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Nyai Kunti. "Aku
memang tidak akan memperoleh apa pun dari adikmu, karena mustika itu kau yang
pegang!" "Mudah sekali kau melemparkan tuduhan, Nyai Kunti," terasa dingin nada suara
Rangga. "Sudah kuduga, kau pasti akan mengelak. Baik..., mungkin aku harus menggunakan
cara lain."
Setelah berkata demikian, Nyai Kunti cepat bersikap hendak melakukan serangan.
"Tunggu...!" sentak Rangga cepat-cepat.
"Aku tidak suka banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau ingin menyerahkan
mustika itu, cepat serahkan!" dengus Nyai Kunti.
"Kau tidak akan dapat memperolehnya, Nyai Kunti.
Benda itu tidak ada padaku. Juga pada Danupaksi."
"Keparat...! Kau dan adikmu sama saja...! Kau akan menyesal mempermaikan aku,
Anak Muda! Hiyaaat..!"
Nyai Kunti tidak dapat lagi menahan kemarahan, sehingga dirinya merasa telah
dipermainkan. Bagaikan beruang kelaparan, wanita berwajah buruk itu melompat
menyerang Rangga. Dua pukulan dahsyat dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya. "Uts!"
Rangga cepat melompat ke samping sambil
meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang dilakukan Nyai Kunti. Maka, dua
pukulan yang dilepaskan wanita tua bermuka buruk itu meleset dari sasaran.
Namun Nyai Kunti tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali diserangnya
Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat luar biasa.
Setiap serangan yang dilakukan, mengandung pengerahan tenaga dalam yang luar
biasa dahsyatnya.
"Gila...! Pukulannya sungguh luar biasa," dengus Rangga di dalam hati.
Beberapa kali pukulan Nyai Kunti hampir
bersarang di tubuh Pendekar Rajawali Sakti, namun masih dapat dihindari dengan
manis sekali. Jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga, ternyata ia mampu meredam semua
serangan yang dilancarkan Nyai Kunti.
Namun setelah melewati beberapa jurus, Rangga jadi kewalahan juga. Cepat-cepat
jurusnya dirubah untuk menandingi serangan-serangan perempuan tua bermuka buruk
itu. Rangga segera mengerahkan jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali
Sakti' Dengan jurus-jurus itu, dia kini mampu memberi serangan balasan yang tidak kalah


Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyatnya. "Uts! Setan...!" dengus Nyai Kunti ketika satu pukulan keras dilancarkan Rangga.
Hampir saja pukulan Pendekar Rajawali Sakti meremukkan batok kepala, kalau saja
Nyai Kunti tidak cepat merundukkan kepalanya. Secepat itu pula Nyai Kunti
melompat mundur beberapa tindak.
Namun belum juga melakukan tindakan lebih jauh lagi, Rangga sudah melesat ke
udara. Tubuhnya kemudian menukik deras dengan kaki berada di bawah. Kedua kaki
Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat mengincar kepala Nyai Kunti. Saat itu
Rangga mengeluarkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hiyaaa...!"
"Hait..!"
Bukan main terkejutnya Nyai Kunti begitu
mendapat serangan cepat luar biasa dari Pendekar Rajawali Sakti. Sangat sedikit
sekali waktu untuk bisa menghindar. Maka cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah
sambil memiringkan kepala. Beberapa kali dia bergulingan di tanah, kemudian
cepat melompat bangkit kembali
Namun begitu kakinya menjejak tanah, kembali datang serangan dahsyat menggeledek
dari Pendekar Rajawali Sakti. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
dilepaskan Rangga, sebelum Nyai Kunti bisa berdiri dengan tegak. Serangan ini
membuat perempuan berwajah buruk itu mendengus geram, dan
mengumpat dalam hati.
"Setan belang...! Hup! Yeaaah...!"
Terpaksa Nyai Kunti berjumpalitan di udara menghindari pukulan-pukulan yang
dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Sama sekali dia tidak mempunyai kesempatan
untuk menjejakkan kakinya di tanah.
Bahkan beberapa kali pula pukulan Rangga hampir bersarang di tubuhnya. Namun
Nyai Kunti masih saja mengelakkannya, meskipun agak kewalahan.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tubuh Nyai Kunti melenting tinggi ke udara.
Dua kali dia berputaran di udara. Pada saat yang sama, Rangga juga melesat,
membumbung ke angkasa. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melontarkan satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah dada Nyai Kunti.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Glarrr...! Satu ledakan dahsyat terdengar menggelegar
ketika pukulan Rangga beradu dengan pukulan Nyai Kunti. Percikan bunga api
memendar ke segala arah, disertai kepulan asap hitam dan kilatan cahaya
menyilaukan mata.
Tampak kedua orang yang bertarung itu sama-sama terpental balik ke belakang, dan
jatuh bergulingan di tanah. Namun mereka sama-sama cepat bangkit berdiri. Jelas
terlihat kalau Rangga agak limbung. Tangan kanannya mendekap dada sebelah kiri.
Dan dari sudut bibirnya mengalir darah kental agak kehitaman.
"Phuh...!"
Rangga menyemburkan darah yang menggumpal di dalam mulutnya. Matanya menatap
tajam Nyai Kunti yang tersenyum-senyum menyeringai. Wanita tua berwajah buruk
itu kelihatan tetap segar, tak menderita luka sedikit pun setelah mengadu tenaga
dalam tadi. "Sudah kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada gunanya berkeras
kepala. Serahkan saja mustika itu padaku," ejek Nyai Kunti langsung terkekeh.
"Walaupun benda itu ada padaku, tidak bakal kuserahkan padamu, Nyai Kunti!"
dengus Rangga dingin.
"Keras kepala...! Kau akan menyesal telah mem-permainkan aku, Bocah!" geram Nyai
Kunti. Sret! Cring...! Nyai Kunti tak dapat lagi menahan kemarahannya.
Maka cepat senjatanya dicabut dari balik bajunya yang hitam lusuh dan panjang.
Kini di tangan kanannya telah tergenggam sebilah pedang yang berkilatan
menyilaukan mata. Wanita berwajah buruk
itu menyilangkan pedang di depan dada dengan satu gerakan indah.
Rangga sedikit menggeser kakinya ke belakang.
Hatinya agak terkejut juga melihat pedang di dalam genggaman tangan wanita tua
itu. Sebilah pedang yang hampir mirip dangan Pedang Rajawali Sakti miliknya.
Hanya saja, cahaya pedang itu benar-benar berkilat dan menyilaukan mata. Tapi,
bukan pamor pedang itu yang membuatnya Rangga terkejut.
Melainkan, pedang itu dikenalinya betul.
"Dari mana kau perolah pedang itu, Nyai Kunti?"
tanya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau pedang di tangan Nyai Kunti adalah milik
Pendekar Pedang Kilat. Seorang tokoh kosen rimba persilatan yang sangat
disegani, baik oleh kaum persilatan golongan hitam maupun putih. Memang sudah
lama nama Pendekar Pedang Kilat tidak terdengar lagi. Dia seakan-akan menghilang
begitu saja, dan tak pernah lagi muncul di rimba persilatan. Dan sekarang
senjatanya yang sangat ditakuti kaum rimba persilatan golongan hitam, berada di
tangan Nyai Kunti. Macam-macam pikiran buruk mulai mem-bebani benak pemuda
berompi putih itu, namun cepat-cepat dilenyapkan.
"Rupanya kau mengenali senjata ini, Pendekar Rajawali Sakti. Bagus...! Aku masih
memberimu kesempatan sebelum pedang ini kugunakan," ancam Nyai Kunti bernada
sinis. "Aku menghormati senjata itu, Nyai Kunti. Sayang sekali, sekarang berada di
tangan yang salah,"
sambut Rangga tidak kalah sinisnya.
"Keparat..! Kau kira aku tidak bisa menggunakan pedang ini, heh..."!" geram Nyai
Kunti, kembali memuncak amarahnya.
"Aku tidak peduli bagaimana kau memperoleh senjata itu dari Pendekar Pedang
Kilat. Rasanya pusaka itu harus kukembalikan pada pemiliknya,"
kata Rangga lagi, kali ini lebih tenang nada suaranya.
"Phuih! Kata-katamu semakin menyakitkan saja, Pendekar Rajawali Sakti. Rasakan
ketajaman pedang ini. Hiyaaat..!"
Bet! "Hup!"
Rangga cepat melompat ke samping sambil
memiringkan tubuh begitu Nyai Kunti membabatkan pedangnya dengan cepat. Ujung
pedang itu hanya lewat sedikit saja di samping tubuh Rangga. Bergegas Pendekar
Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang dua langkah, lalu cepat meraih gagang
pedangnya yang tersampir di punggung.
Sret! Bet! Tring! *** 6 Rangga langsung membabatkan pedangnya ke depan dada begitu Nyai Kunti menusukkan
Pedang Kilat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Senjata berpamor dahsyat itu
beradu keras. Tampak bunga api memercik menyebar ke segala arah. Cepat Rangga
melompat mundur sejauh lima langkah ke belakang.
Pada saat itu, Nyai Kunti juga melompat mundur dua langkah. Perempuan tua
berwajah buruk itu tampak terkejut ketika pedangnya beradu dengan pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Tangan kanannya bagai terserang ribuan lebah berbisa.
Menggeletar dan terasa nyeri sampai ke tulang. Tapi belum lagi lenyap rasa
keterkejutannya, mendadak saja dia sudah disibuki oleh serangan Rangga yang
bertubi-tubi dan luar biasa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Uts! Setan alas...!" umpat Nyai Kunti seraya berlompatan menghindari seranganserangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Trang! Beberapa kali pedang mereka berbenturan keras hingga menimbulkan percikan bunga
api. Mereka terus bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat
luar biasa. Sementara tempat terjadinya pertarungan sudah berantakan, bagai
diamuk badai topan yang dahsyat luar biasa.
Jurus demi jurus berlalu cepat, namun pertarungan masih terus berjalan semakin
sengit. Dua kilatan cahaya dari dua senjata pedang berpamor dahsyat,
berkelebatan saling sambar. Beberapa kali terlihat percikan bunga api, setiap
kali dua senjata pedang dahsyat itu beradu. Suara-suara ledakan pun terdengar
saling susul, ditingkahi pekikan-pekikan pertarungan yang tiada hentinya.
Semakin lama, pertarungan semakin berjalan cepat. Dan kini tubuh mereka lenyap,
tergulung dua sinar berkilatan, berkelebat saling sambar. Rasanya terlalu sukar
diikuti pandangan mata biasa. Hingga tiba-tiba....
"Aaakh...!"
Satu jeritan keras terdengar melengking. Tampak satu sosok tubuh terpental
keluar dari arena pertarungan. Sosok tubuh tegap berbaju rompi putih itu
bergulingan di tanah, lalu akhirnya berhenti setelah menghantam batang pohon
yang cukup besar.
Namun tubuh berbaju rompi putih itu cepat bangkit kembali. meskipun terhuyunghuyung. Dua kali mulutnya memuntahkan darah kental.
"Hiyaaat...!"
Saat itu Nyai Kunti sudah kembali melompat sambil membabatkan pedang ke arah
leher Rangga yang masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Namun belum
juga mata pedang
perempuan tua bermuka buruk itu menyentuh kulit leher Rangga, mendadak saja...
"Khraghk...!"
Bet! "Heh..."!"
Nyai Kunti tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sesuatu
yang besar berwarna keperakan. Nyai Kunti terlonjak mundur beberapa tindak. Dan
belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tubuh Rangga sudah lenyap disambar
bayangan keperakan yang bergerak cepat bagai kilat, membumbung tinggi ke angkasa.
"Apa itu...?" desis Nyai Kunti seraya me-nengadahkan kepala ke atas.
Hanya sekilas saja terlihat, namun itu sempat membuatnya tercenung. Nyai Kunti
seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan. Seekor burung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan bergerak cepat menyambar Rangga, di
saat Pendekar Rajawali Sakti itu sudah tidak berdaya lagi.
"Oh! Apakah dia itu titisan Dewa Wisnu...?" gumam Nyai Kunti bertanya-tanya
sendiri. Meskipun burung rajawali putih raksasa yang menyambar Rangga sudah tidak
terlihat lagi, namun Nyai Kunti masih tetap memandang ke atas. Hanya satu titik
keperakan yang terlihat di balik awan, dan kemudian lenyap tak terlihat lagi..
Sementara Nyi Kunti masih berdiri mematung di tempat itu bagai tersihir.
Puluhan tahun dia menggeluti rimba persilatan namun belum pernah melihat ada
seekor burung raksasa begitu besar dan bisa menyambar seorang manusia bertubuh
kekar dan tegap, seperti Pendekar Rajawali Sakti. Kejadian ini membuatnya jadi
ter-menung beberapa saat lamanya.
"Hm.... Pendekar Rajawali Sakti. Dia benar-benar pendekar yang tangguh.
Senjatanya pun sungguh dahsyat luar biasa. Dia masih mampu berdiri meskipun
terkena pukulan 'Tapak Maut'. Tidak ada seorang pun yang bisa menahan pukulan
'Tapak Maut', kecuali memiliki Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga.
Hm..., kini aku semakin yakin. Pasti dia memiliki mustika itu...!" gumam Nyai
Kunti, bicara pada dirinya sendiri.
Mendapat pikiran demikian, wanita berwajah buruk itu cepat berlari mempergunakan
ilmu meringankan tubuh menuju arah rajawali putih raksasa membawa Rangga pergi.
Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu
sekejapan mata saja, bayangan tubuh Nyai Kunti sudah lenyap tak terlihat lagi.
*** Sementara itu di suatu tempat, tepatnya di sebuah lembah yang sunyi dan jauh
dari pemukiman penduduk, Rangga duduk bersila di atas sebongkah batu pipih yang
putih berkilat bagai memancarkan cahaya yang menerangi sekitarnya. Tidak
seberapa jauh di depannya, mendekam seekor burung rajawali raksasa berbulu putih
keperakan. Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila bersikap semadi.
Perlahan kemudian, matanya terbuka, lalu menghembuskan napas kuat-kuat. Burung
rajawali raksasa mengangkat kepalanya, begitu mendengar gumaman Rangga yang
perlahan. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum melihat Rajawali Putih ada di dekatnya.
"Terima kasih, Rajawali Putih. Kau bertindak tepat dan cepat sekali," ujar
Rangga seraya bangun dari tempatnya bersemadi.
"Khrrrk...!" Rajawali Putih hanya mengkirik perlahan.
Rangga menghampiri Rajawali Putih dan kembali duduk bersila di depan burung
raksasa itu. Sebentar tubuhnya dibungkukkan memberi hormat. Kembali Rajawali
Putih mengkirik lirih. Meskipun hanya seekor burung, namun Rangga sangat
menghormatinya.
Karena didikan burung rajawali raksasa inilah, dia sekarang menjadi seorang
pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya.
Rajawali Putih bangkit berdiri, lalu melangkah perlahan keluar dari dalam gua.
Rangga ikut berdiri dan berjalan mengikuti burung raksasa itu. Tanpa bicara
sedikit pun, mereka berjalan keluar menuju suatu tempat yang bersih dan terawat
apik. Rangga tahu, kalau di Lembah Bangkai ini terdapat sebuah makam. Pusara
Pendekar Rajawali yang sudah terkubur lebih dari seratus tahun. Dan mereka
memang menuju ke sana.
Pendekar Rajawali Sakti langsung berlutut di depan pusara yang bercungkup indah
itu. Sedangkan Rajawali Putih kembali mendekam di belakang pemuda berbaju rompi
putih ini. Tak ada yang membuka suara sedikit pun juga. Rangga sendiri jadi
heran dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa Rajawali Putih membawanya ke pusara
ini. Namun belum juga pertanyaan di benak Rangga terjawab, mendadak saja kilat
menyambar, mem-belah angkasa. Suaranya menggelegar menggetarkan jantung.
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terlonjak kaget. Langsung disadari kalau
datangnya kilat itu suatu tanda kalau Pendekar Rajawali datang, bangkit dari
kuburnya. Dugaan Rangga tak meleset sama sekali. Begitu ujung kilat menyambar tepat di
tengah-tengah cungkup pusara Pendekar Rajawali, gundukan tanah merah yang
dikelilingi batu-batuan itu pun merekah terbelah. Tanah di sekitarnya bergetar
bagaikan diguncang gempa. Rangga cepat bersujud menempel-kan keningnya di tanah.
Wus...! Dari dalam kuburan itu keluar asap putih yang tebal dan menggumpal. Tak lama
kemudian, asap putih itu memudar tertiup angin. Getaran bumi pun menghilang
bersamaan munculnya sesosok tubuh berjubah putih yang berdiri tepat di tengahtengah kuburan yang terbelah merekah.
"Bangunlah, Anakku," ujar laki-laki berjubah putih dengan wajah memancarkan
sinar itu. Rangga memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan
hidung. Kemudian, dia duduk bersila. Kepalanya tetap tertunduk, seakan tak
sanggup membalas pandangan Pendekar
Rajawali yang bangkit kembali dari kuburnya.
"Ini bukan yang pertama kali kau menderita kekalahan, Anakku. Dan sebenarnya,
kau tidak perlu mengalami kekalahan jika saja bisa memusatkan seluruh perhatian
di dalam pertarungan. Aku tahu, pikiranmu masih terpusat pada cerita Danupaksi
mengenai benda itu, sehingga kau kurang memusatkan perhatian pada pertarungan,"
kata Pendekar Rajawali. Nada suaranya terdengar lembut dan sangat berwibawa
sekali. "Benda...?" Rangga tersentak terkejut.
"Kau memang tidak tahu keberadaannya, Anakku.
Sama sekali aku tidak menyalahkanmu, karena kau sendiri tidak tahu kalau di
dalam tubuh adik tirimu tersimpan Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang
Duraga," jelas Pendekar Rajawali.
"Oh! Bagaimana mungkin...?" Rangga benar-benar tidak mengerti.
Pendekar Rajawali tidak menjawab pertanyaan muridnya. Dia hanya tersenyum saja,
dan meng-gelengkan kepala berulang-ulang. Sedangkan Rangga kelihatan seperti
orang bodoh, terbengong-bengong
bagai orang kehilangan jalan. Dan Pendekar Rajawali tampaknya tidak ingin
meneruskan pembicaraannya mengenai Mustika Batu Hijau.
"Apa yang kau rasakan ketika bertarung melawan Nyai Kunti, Anakku?" tanya
Pendekar Rajawali.
Rangga tidak langsung menjawab, namun tidak merasa terkejut lagi. Meskipun tanpa
menceritakan, Pendekar Rajawali sudah tahu semua yang terjadi pada dirinya.
Rangga mencoba mengingat-ingat per-tarungannya dengan Nyai Kunti. Memang pada
jurus-jurus terakhir, terasa ada kelainan pada dirinya. Tapi dia tidak tahu,
kelainan apa.

Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu Rangga hanya merasakan daya tahan dan kekuatannya menurun. Bahkan pamor
Pedang Pusaka Rajawali Sakti pun seakan-akan tidak berdaya menghadapi kesaktian
Pedang Kilat. Rangga juga merasakan seperti tidak dapat mengendalikan pedangnya
sendiri, hingga Nyai Kunti berhasil men-daratkan satu pukulan telak di dadanya.
Pukulan keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, serta penyaluran
aji kesaktian itu membuat Rangga hampir pingsan. Tapi anehnya, dia tidak
pingsan. Bahkan masih nampu cepat berdiri meski pun tidak bisa sempurna benar.
"Kau tidak perlu mengatakannya padaku, Rangga.
Aku sudah tahu, apa yang kau rasakan dan kau alami dalam pertarunganmu. Itu
semua karena pengaruh Pedang Kilat yang digunakan lawanmu," jelas Pendekar
Rajawali mendahului, ketika Rangga hendak mengatakan semua yang dirasakan dan
dialaminya. "Apakah pedang itu akan terus mempengaruhi setiap lawannya, Guru?" tanya Rangga.
"Selama masih ada di tangan wanita itu, Pedang
Kilat dapat lebih berbahaya, Anakku. Dan dia akan sukar untuk dilawan, meskipun
terkadang Pedang Rajawali dapat menyelamatkan dirimu dari kematian.
Kau bisa merasakannya sendiri saat Nyai Kunti berhasil memasukkan pukulan
mautnya ke dadamu.
Pengaruh pukulan maut itu berhasil ditolak kekuatan Pedang Rajawali, sehingga
kau luput dari kematian,"
jelas Pendekar Rajawali.
"Itu berarti semua ilmu yang ada padaku tidak ada manfaatnya, Guru?" tebak
Rangga. "Tidak seluruhnya. Tapi sebaiknya kau harus meninggalkan Pedang Rajawali. Karena
antara Pedang Rajawali dengan Pedang Kilat sangat bertentangan sifatnya. Dan
Rajawali Putih pun tidak dapat lagi membantumu selama Nyai Kunti masih memiliki
Pedang Kilat."
"Oh...," Rangga mengeluh lesu.
Berat rasanya jika harus berpisah dengan Rajawali Putih. Bagi Rangga, Rajawali
Putih seperti darah yang mengalir di tubuhnya. Tak dapat dipisahkan lagi.
Hanya kematianlah yang dapat memisahkan mereka berdua.
"Guru, apakah itu harus...?" tanya Rangga.
"Jangan kalah sebelum bertarung, Rangga. Kau pasti bisa menandinginya tanpa
Pedang Rajawali.
Kau harus gunakan jurus-jurus luar yang tidak bisa terpengaruh kekuatan Pedang
Kilat." "Tapi aku tidak mau berpisah dengan Rajawali Putih, Guru. Lebih baik mati
daripada harus berpisah dengannya."
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum mendengar pernyataan tulus yang keluar dari
lubuk hati pemuda ini. Dihampirinya Rangga dan ditepuk-tepuknya pun tidak pemuda
itu dengan lembut sekali. Rangga
mengangkat kepalanya, menatap wajah gurunya ini.
"Aku bisa merasakan perasaanmu, Rangga. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak.
Hanya kau yang dapat mengatasinya sendiri. Tapi kau harus waspada pada pemilik
batu mustika itu," kata Pendekar Rajawali lembut.
"Eyang Duraga maksud Guru?" tebak Rangga.
"Bukan."
"Lalu, siapa...?"
"Danupaksi."
"Danupaksi..."!"
Rangga hampir tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Rasanya sukar dimengerti kalau Mustika Batu Hijau kini
dimiliki oleh Danupaksi.
Sedangkan dia tahu sendiri kalau Danupaksi tidak merasa memiliki benda yang
menjadi rebutan itu.
Danupaksi sendiri sudah bersumpah kalau tidak tahu menahu tentang mustika itu.
Melihatnya saja belum pernah.
Tapi gurunya ini mengatakan kalau mustika itu sebenarnya milik Danupaksi.
Bagaimana hal itu bisa terjadi..." Seseorang memiliki sesuatu, tapi orang yang
bersangkutan tidak tahu apa yang dimilikinya.
Bahkan melihat saja belum pernah. Hal ini yang membuat Rangga jadi tidak
mengerti. "Memang terdengarnya begitu aneh. Dan semua ini sebenarnya kesalahan Eyang
Duraga. Dia begitu ceroboh, karena memberikan mustika tanpa diketahui orang yang
bersangkutan," jelas Pendekar Rajawali seperti mengetahui kebingungan Rangga.
"Jadi benar, Eyang Duraga memberikan mustika itu pada Danupaksi?" Rangga ingin
meyakinkan dirinya.
"Benar. Itu dilakukan Eyang Duraga, karena tidak ingin terus diganggu Nyai
Kunti, yang berusaha
merebut mustika itu."
"Untuk apa Nyai Kunti menginginkan mustika itu, Guru" " tanya Rangga ingin tahu.
"Mustika itu bisa membuat orang jadi kebal terhadap segala jenis senjata dan
ilmu kesaktian yang ada di dunia ini. Tapi mustika itu hanya bisa digunakan oleh
ilmu-ilmu beraliran hitam. Itu sebabnya, kenapa pada adik tirimu tidak cocok,
Rangga. Namun perlu kau ingat. Kian lama mustika itu pasti juga akan mempengaruhi
Danupaksi. Jiwanya akan kosong, walaupun sebenarnya tidak cocok! Dan jika benda
sampai dapat dikuasai Nyai Kunti, tidak ada seorang pendekar pun yang dapat
menandinginya. Terlebih lagi, dia sudah menguasai Pedang Kilat."
"Apakah hanya pedang itu yang dapat mengalahkan Mustika Batu Hijau?" tanya
Rangga lagi. "Sebenarnya tidak," sahut Pendekar Rajawali.
"Tapi, mengapa Eyang Duraga dapat dikalahkan Pendekar Pedang Kilat?"
"Waktu itu Eyang Duraga tidak membawa Mustika Batu Hijau. Dan itu merupakan
kesalahan besar.
Pendekar Pedang Kilat juga melakukan kesalahan.
Dia menguburkan mayat Eyang Duraga bersama mustika itu. Ini permintaan Eyang
Duraga sebelum meninggal. Dengan mustika itu, roh Eyang Duraga tetap hidup
sepanjang zaman. Dia dapat bangkit kembali kapan saja sekehendaknya, kecuali
bila Mustika Batu Hijau dimusnahkan."
"Guru, kalau mustika itu ada pada Danupaksi sebaiknya cepat-cepat dimusnahkan.
Bukankah dengan demikian persoalannya jadi selesai...?" usul Rangga.
"Tidak semudah itu, Rangga. Jika kau ingin memusnahkan mustika itu, maka adikmu
akan mati. Karena, mustika itu sudah menyatu dengan darah dan nyawanya. Untuk
memusnahkannya, harus dikeluarkan lebih dahulu."
"Lalu, bagaimana cara yang terbaik, Guru?" tanya Rangga, bingung.
"Kau harus membunuh dulu Eyang Duraga dengan Pedang Kilat, seperti yang
dilakukan Pendekar Pedang Kilat. Dengan begitu, Mustika Batu Hijau akan keluar
sendiri dari dalam tubuh adikmu. Dan sebelum berpindah kembali ke Eyang Duraga,
kau harus dapat menguasainya. Musnahkanlah mustika itu. Kalau sampai mustika itu
tetap berada di dalam tubuh Danupaksi, maka adik tirimu itu akan menjadi musuh
nomor satu. Pengaruh jahat Mustika Batu Hijau begitu kuat. Jika tidak segera
dikeluarkan dari tubuhnya, maka aku khawatir dia akan berubah liar."
"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Guru.
Meskipun nyawa taruhannya," tekad Rangga.
"Aku percaya padamu, Rangga. Aku juga yakin kau mampu memusnahkan mustika itu.
Tapi, berhati-hatilah pada Nyai Kunti. Dia akan menggunakan kesempatan apa pun
untuk memperoleh mustika itu,"
pesan Pendekar Rajawali.
"Akan kurebut Pedang Kilat dari tangannya, Guru.
Kemungkinan aku tidak bisa mencegah melenyap-kannya."
"Kemungkinan itu selalu ada, Rangga. Hanya saja pesanku, jangan anggap enteng
dia. Nyai Kunti punya seribu cara licik untuk mengalahkan lawan-lawannya.
Kau harus berhati-hati menghadapinya," kembali Pendekar Rajawali berpesan.
"Aku akan ingat pesan Guru," ujar Rangga seraya memberi hormat dengan merapatkan
kedua tangannya di depan hidung.
Hanya sebentar saja Rangga menundukkan
kepala. Dan begitu kepalanya terangkat kembali, Pendekar Rajawali sudah lenyap
dari pandangannya.
Dan pusara itu pun kembali tertutup rapat. Rangga kembali memberi hormat dan
bersujud mencium tanah. Perlahan pemuda berbaju rompi putih itu bangkit berdiri,
dan langsung memandang Rajawali Putih.
"Rajawali akan mengantarkan kau ke pusara Eyang Duraga. Untuk sementara
tinggalkan dulu pedangmu," terdengar suara Pendekar Rajawali.
Tanpa membantah sedikit pun, Rangga melepaskan pedangnya. Diletakkannya Pedang
Pusaka Rajawali Sakti itu di samping pusara gurunya.
Kemudian dengan satu gerakan ringan sekali, dia melompat naik ke punggung
Rajawali Putih.
"Khraaaghk...!"
Sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi
meninggalkan Lembah Bangkai bersama Rangga di punggungnya. Pemuda berbaju rompi
putih itu terus memandang ke arah lembah.
Pandangannya baru dialihkan setelah lembah yang sunyi itu tidak terlihat lagi.
"Khraaaghk...!"
*** 7 Rangga langsung melompat turun, begitu Rajawali Putih mendarat di tepi Rimba
Tengkorak. Seketika burung rajawali raksasa itu langsung melambung tinggi ke
angkasa tanpa diminta lagi. Rangga memandanginya sampai burung itu menghilang di
balik awan. Ada kesedihan di hatinya melihat Rajawali Putih tidak mau terlalu lama
berdekatan dengannya. Tapi Rangga cepat menyadari kalau semua ini demi kebaikan.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar merasa kosong tanpa pedang pusaka bertengger
di punggungnya. Perlahan kakinya terayun menuju kuburan Eyai Duraga.
"Kakang...!"
"Heh..."!"
Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja dengar panggilan dari arah
belakang. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan langkahnya.
Tubuhnya diputar berbalik. Rangga mengerutkan keningnya begitu melihat Pandan
Wangi berlari-lari menghampiri.
"Pandan.... Kenapa kau ada di sini...?" tanya Rangga begitu Pandan Wangi dekat.
"Aku mencarimu, Kakang," sahut Pandan Wangi agak terengah.
"Bagaimana lukamu?"
"Sudah pulih."
"Kau sendirian?"
Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja.
Rangga kembali memutar tubuhnya dan melangkah perlahan. Pandan Wangi mengikuti,
mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku mencarimu di pesanggrahan, tidak ada. Ke mana saja kau, Kakang?" Pandan
Wangi membuka percakapan kembali.
Rangga tidak menjawab, dan hanya menghela napas saja. Terlalu sukar untuk
menjelaskan pada Pandan Wangi. Tapi rupanya Pandan Wangi tidak memerlukan
jawaban. Dia memaklumi, kepergian Rangga tentu punya alasan kuat. Dan yang pasti
ada hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi belakangan ini.
"Kakang, ada yang ingin kubicarakan denganmu,"
kata Pandan Wangi setelah beberapa saat terdiam.
"Tentang apa?" tanya Rangga tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"Danupaksi."
"Ada apa dengan Danupaksi?" tanya Rangga seraya menghentikan ayunan langkahnya.
"Sikap Danupaksi jadi lain belakangan ini, Kakang.
Dia suka menyendiri. Malah terkadang marah-marah tanpa ketahuan sebabnya," jelas
Pandan Wangi. Rangga jadi tercenung. Dia teringat kata-kata gurunya. Sikap dan tingkah laku
seseorang bisa berubah akibat pengaruh Mustika Batu Hijau. Tapi Rangga tidak
ingin menduga lebih jauh dulu, dan hanya berharap mustika itu belum berpengaruh
banyak pada Danupaksi. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu sangat sukar
memusnahkannya.
"Bahkan dua hari lalu, Danupaksi membunuh sepuluh orang prajurit tanpa sebab.
Dan sekarang dia pergi entah ke mana. Sudah dua hari ini dicari, tapi tidak juga
ketemu. Makanya aku mencarimu,
Kakang," sambung Pandan Wangi.
"Dua hari...?" lagi-lagi Rangga tercenung. Sungguh tidak disadari kalau sudah
lebih dari dua hari berada di Lembah Bangkai. Tanpa disadari, Rangga bersemadi
memulihkan keadaan tubuhnya di Lembah Bangkai lebih dari dua hari. Dan selama
itu, Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu perkembangan lebih jauh lagi. Rasa
khawatirnya semakin mendalam, begitu mendengar penuturan Pandan Wangi tadi.
Dikatakan, Danupaksi telah membunuh sepuluh orang prajurit tanpa sebab, dan
sekarang pergi tanpa diketahui jejaknya.
Rangga khawatir kalau sikap Danupaksi diakibat-kan pengaruh dari Mustika Batu
Hijau yang memiliki sifat jahat dan liar. Kalau memang perbuatan Danupaksi
dikarenakan pengaruh mustika itu, sudah barang tentu mustika itu benar-benar
sudah menyatu di dalam tubuh adik tirinya itu. Dan ini tentu sangat berbahaya,
karena Danupaksi akan menjadi musuh-nya yang paling berbahaya. Dan yang pasti,
semua yang dilakukan Danupaksi tidak disadari.
"Hm.... Kalau mustika itu sudah mempengaruhi jiwanya, pasti Danupaksi
bersembunyi di kuburan tua Eyang Duraga," gumam Rangga dalam hari.
Mendapat pikiran demikian, Rangga bergegas melangkah cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Pandan Wangi cepat-cepat mengikuti. Gadis itu juga
mengerahkan ilmu meringankan tubuh sepenuhnya untuk mengimbangi ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki Rangga. Saat berada di belakang begini, Pandan Wangi baru
menyadari kalau di punggung Pendekar Rajawali Sakti tidak terdapat pedang yang
menjadi andalannya.
"Kakang, tunggu...!" seru Pandan Wangi agak
keras. Rangga memperlambat ayunan langkahnya.
Wajahnya berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang terus berusaha memperpendek
jarak. Namun akhirnya gadis itu bisa juga berada di samping Rangga. Napasnya
terdengar memburu, karena me-maksakan kemampuannya agar bisa berjalan sejajar
dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ke mana pedangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Kusimpan. Sementara aku tidak boleh menggunakan pedang itu," sahut Rangga
singkat "Kenapa...?" Pandan Wangi jadi keheranan.
Belum pernah gadis itu melihat Rangga me-nanggalkan pedangnya. Tapi sekarang
pedang itu tidak terlihat lagi di punggung pemuda berbaju rompi putih ini. Dan
kejanggalan ini tentu membuat Pandan Wangi jadi bertanya-tanya.
"Nanti akan kuceritakan, Pandan. Sekarang kita harus cepat ke kuburan tua Eyang
Duraga. Aku tidak ingin keadaan Danupaksi semakin bertambah parah, dan benarbenar sukar dikendalikan lagi," kata Rangga kembali seraya mempercepat ayunan
kakinya. Pandan Wangi ingin bertanya lebih banyak lagi.
Malah dia kini sudah sibuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Dan jaraknya semakin bertambah jauh saja, meskipun sudah mengerahkan
seluruh kemampuannya dalam meringankan tubuh.
*** "Kau di sini saja, Pandan," ujar Rangga begitu sampai di kuburan tua Eyang
Duraga. Suasana kuburan itu begitu sunyi dan mencekam sekali. Tak terdengar sedikit pun
suara. Hanya desir angin saja yang mengusik gendang telinga. Bahkan suara
serangga pun tak terdengar sama sekali.
Kesunyian ini membuat Rangga dan Pandan Wangi memasang telinga lebih tajam.
Sementara Pandan Wangi menunggu, Rangga
mendekati kuburan tua Eyang Duraga. Kuburan itu tampak kotor, ditumbuhi
rerumputan liar yang merambat ke sana kemari. Sama sekali tak terlihat ada
perawatan di sini. Rangga berhenti melangkah saat jaraknya tinggal sekitar dua
batang tombak lagi.
Tatapan matanya begitu tajam tak berkedip, ke arah kuburan tua yang tidak
terawat di depannya.
Kemudian pandangannya beredar ke sekitarnya sebentar, lalu kembali menatap
kuburan tua tak bercungkup itu.
"Hik hik hik...! Kau terlalu berani datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti...!"
"Heh..."!"
Rangga terkejut bukan main, ketika terdengar suara dari arah samping kanannya.
Dan belum juga hilang keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
hitam. Bagaikan kilat, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Begitu
cepatnya sambaran bayangan hitam itu, sehingga membuat Rangga tak sempat lagi
bertindak menghindar.
Bet!

Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akh...!" Rangga terpekik agak tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti jatuh terguling di tanah, namun cepat melompat bangkit
berdiri. Bibirnya
meringis merasakan nyeri pada punggungnya yang terkena sambaran bayangan hitam
tadi. Dan pada saat itu, Rangga melihat bayangan hitam tadi kembali berkelebat
cepat hendak menyerangnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara, dan melakukan putaran dua kali
seraya melontarkan dua pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Namun bayangan hitam itu sungguh cepat gerakannya. Pukulan yang
dilepaskan Rangga sama sekali tak mengenai sasaran. Dengan gerakan ringan dan
manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti mendarat kembali di tanah.
"Yeaaah...!"
Rangga langsung menghentakkan kedua tangannya, ketika bayangan hitam itu kembali
meluruk deras ke arahnya. Tak pelak lagi, satu benturan keras pun terjadi.
Seketika ledakan dahsyat terdengar menggelegar memekakkan telinga.
"Hap...!"
Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, dan melakukan putaran tiga kali
sebelum mendarat manis di tanah. Sementara bayangan hitam itu juga terpental
balik ke belakang, dan berhasil mendarat manis sekali. Kini sekitar tiga batang
tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri wanita tua berjubah hitam
berwajah buruk bagai sosok mayat hidup.
"Nyai Kunti...," desis Rangga langsung mengenali penyerangnya.
"Hik hik hik...! Tidak sia-sia aku menunggumu dua hari di sini, Pendekar
Rajawali Sakti," ujar Nyai Kunti seraya tertawa mengikik. "Sudah kuduga, kau
pasti tidak akan mampu memegang mustika itu.
Kedatanganmu ke sini pasti ingin mengembalikan benda itu."
"Aku justru ingin memusnahkannya, Nyai Kunti,"
kata Rangga dingin.
"Heh..."! Apa...?" Nyai Kunti terkejut setengah mati.
"Ada apa, Nyai Kunti" Kau tidak tuli mendadak, bukan...?" terdengar sinis nada
suara Rangga. "Setan belang...! Sekali lagi kau ucapkan kata-kata itu, kubunuh kau!" geram
Nyai Kunti. "Aku khawatir, justru kau yang akan mendahului."
"Keparat..! Hiyaaat..!"
Nyai Kunti tak dapat lagi menahan kemarahannya, sehingga langsung melompat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali dilepaskannya pukulan disertai
pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Namun kali ini Rangga sudah bersiap menghadapi wanita tua bermuka buruk itu.
"Hait..!"
Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang dilancarkan
Nyai Kunti. Bahkan sebelum perempuan tua bermuka buruk itu bisa menarik pulang
serangannya, mendadak saja Rangga memberi satu sodokan cepat ke arah lambung.
"Uts!"
Cepat-cepat Nyai Kunti melompat ke belakang, menghindari sodokan tangan kanan
Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, dia cepat bersiap kembali hendak melakukan
serangan. Namun mendadak saja niatnya diurungkan. Wanita tua berjubah hitam itu
berdiri tegak berkacak pinggang. Perlahan kemudian, tangan kanannya masuk ke
dalam belahan jubahnya.
Dan.... Sret! Kilatan cahaya memendar menyilaukan begitu Nyai Kunti mencabut sebilah pedang
yang berpamor sangat dahsyat. Melihat kedahsyatan pedang itu, Rangga melangkah
mundur dua tindak. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sebelah mata
Pendekar Rajawali Sakti terlihat agak menyipit.
"Kali ini kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nyai Kunti
menggeram. Bet! "Yeaaah...!"
"Hait..!"
*** Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari tusukan pedang Nyai
Kunti. Lalu, tubuhnya dirundukkan ke depan. Kemudian diegos-kan ke kiri,
mengikuti gerakan pedang wanita tua berjubah hitam yang berkelebat di atas
kepala. Seketika Rangga cepat melentingkan tubuh ke belakang sambil melepaskan satu
tendangan dengan kedua kaki merapat ke arah dada wanita berjubah hitam itu.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Tak ada kesempatan menghindar lagi bagi Nyai Kunti Cepat tangan kirinya
dikibaskan untuk menangkis tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Plak! "Uts...!"
Nyai Kunti terdorong beberapa langkah ke belakang, begitu tangan kirinya beradu
dengan telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti. Wanita tua
bermuka buruk itu sedikit limbung, tapi bisa cepat menguasai diri. Sementara
Rangga sudah mendarat manis sekali.
"Hm.... Tenagamu jauh lebih hebat, Pendekar Rajawali Sakti," gumam Nyai Kunti
memuji. "Ucapkan selamat tinggal pada dunia, Nyai Kunti,"
ujar Rangga kalem.
"Phuih! Kau yang akan mampus di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti!"
Setelah berkata demikian, Nyai Kunti cepat melesat menyerang Rangga. Pedangnya
dikebutkan beberapa kali dengan kecepatan luar biasa. Namun dengan gerakan manis
sekali, Rangga mampu mengelakkan setiap serangan yang datang mengincar. Beberapa
kali ujung pedang Nyai Kunti hampir membabat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Namun ketika pedang itu nyaris menyentuh tubuhnya, Rangga cepat berkelit
menghindar. Hal ini membuat Nyai Kunti semakin geram saja dan hanya bisa mengumpat dalam
hati. Maka serangan-serangan yang dilancarkannya semakin dahsyat. Kilatan cahaya
pedang di tangan kanannya seakai akan hendak mengurung tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Namun sampai melewati sepuluh jurus, Kunti belum juga dapat mendesak
Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi sampai menjatuhkannya.
Bahkan beberapa kali serangan balik yang dilancarkan Rangga membuat Nyai Kunti
jadi kelabakan menghindarinya. Pendekar Rajawali Sakti terus menyerang sambil
mengganti-ganti jurusnya yang makin dahsyat saja.
Sementara Pandan Wangi yang menyaksikan
pertarungan itu hanya dapat menahan napas saja.
Gadis itu khawatir juga, kalau-kalau Rangga terdesak.
Apalagi Pendekar Rajawali Sakti tidak menggunakan senjata satu pun juga.
Sedangkan lawannya memegang senjata pedang yang memiliki pamor dahsyat Tiba-tiba
Pandan Wangi mencabut Pedang Geni yang selalu bertengger di punggung. Kemudian
pedang berwarna merah itu dilemparkan, menggunakan sedikit tenaga dalam.
"Kakang, tangkap...!" teriak Pandan Wangi, begitu melihat Rangga membuka jarak.
Swing! "Hup!"
Rangga cepat melompat menyambut lemparan pedang itu. Namun begitu melompat, Nyai
Kunti juga ikut melesat ke udara. Dan secepat itu pula perempuan tua berwajah
buruk itu membabatkan pedang ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat Rangga memutar tubuhnya dua kali,
menghindari tebasan pedang Nyai Kunti. Dan cepat sekali tangannya terulur meraih
Pedang Naga Geni yang masih melayang di angkasa.
Tap! Bet! Begitu Rangga berhasil menangkap Pedang Naga Geni, langsung dibabatkan ke arah
dada Nyai Kunti.
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat
Nyai Kunti terperangah.
"Heh..."!"
Wut! Trang...! Nyai Kunti cepat menyilangkan pedang di depan dada. Suatu benturan dua senjata
tak dapat dihindarkan lagi. Letupan bunga-bunga api memercik saat kedua senjata itu beradu
keras di depan dada Nyai Kunti.
"Hap!"
Bergegas Nyai Kunti meluruk turun. Pada saat yang sama, Rangga menukik sambil
memutar pedang yang diarahkan ke kepala Nyai Kunti.
"Yeaaah...!"
"Edan! Hih...!"
Kembali Nyai Kunti mengumpat geram. Pedangnya cepat dikebutkan ke atas kepala
begitu kakinya menjejak tanah. Untuk kedua kalinya, dua senjata berpamor dahsyat
beradu keras sampai menimbulkan percikan bunga api.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Rangga lantang Bet!
*** 8 Bagaikan kilat, Rangga menebaskan Pedang Naga Geni ke arah leher Nyai Kunti.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Nyai
Kunti tak dapat lagi menghindar.
Terlebih lagi, saat itu dia masih berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya.
Dan.... Cras! "Aaakh...!" Nyai Kunti menjerit melengking tinggi.
"Yeaaah...!"
Cepat Rangga memindahkan Pedang Naga Geni ke tangan kiri. Lalu dengan tangan
kanannya, Pendekar Rajawali Sakti menggedor dada Nyai Kunti disertai pengerahan
tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Pukulan Pendekar Rajawali
Sakti tepat mengenai bagian tengah dada perempuan tua berjubah hitam itu.
Bruk! Nyai Kunti ambruk menghantam tanah dengan keras sekali. Darah muncrat keluar
dari lehernya yang tertebas hampir buntung. Sebentar tubuhnya menggelepar,
kemudian diam tak bernyawa lagi.
Rangga menarik napas panjang. Saat itu Pandan Wangi berlari-lari menghampiri.
Sebentar Rangga memandangi gadis itu, lalu menyerahkkan Pedang Naga Geni
padanya. Pandan Wangi menerima, langsung dimasukkan ke dalam warangka di
punggung. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan hidupku,"
ucap Rangga perlahan.
"Aku hanya melihat pertarungan tadi tidak seimbang, Kakang," sahut Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, kemudian menghampiri mayat Nyai Kunti dan mengambil Pedang
Kilat dari tangan wanita tua berjubah hitam itu. Sebentar Rangga memandangi
pedang itu. Sekilas memang hampir mirip pedangnya sendiri. Hanya bentuk
gagangnya saja yang berbeda. Juga, cahayanya sangat jauh berbeda.
"Masih ada satu lagi yang harus kukerjakan...,"
gumam Rangga agak mendesis.
"Apa lagi yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Menyempurnakan Eyang Duraga," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri kuburan
Eyang Duraga. Sedangkan Pedang Kilat tergenggam erat di tangan kanannya. Dia berhenti setelah
jaraknya dengan kuburan tua itu tinggal beberapa langkah lagi.
"Maaf. Aku terpaksa harus membunuhmu, Eyang Duraga," ujar Rangga perlahan.
Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti mengangkat Pedang Kilat, mendadak
saja.... Glarrr...! "Heh..."!" Rangga terkejut setengah mati. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat
mundur ke belakang tiga langkah, tepat ketika kuburan tua itu terbongkar.
Terbongkarnya kuburan itu sampai menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar,
menggetarkan jantung.
Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja dari
dalam kuburan tua yang terbongkar melesat sebuah bayangan hitam yang langsung
menyerang. "Hait...!"
Cepat Rangga memiringkan tubuh ke kanan, sehingga terjangan bayangan hitam itu
lewat di sampingnya. Rangga cepat memutar tubuhnya sambil menyilangkan Pedang
Kilat di depan dada. Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri seorang lakilaki tua dengan tubuh sudah rusak dan membusuk.
"Kau benar-benar ingin mampus, berani mengusik ketenanganku!" bentak laki-laki
tua bertubuh rusak membusuk yang tak lain adalah Eyang Duraga.
Bet! Slap..! Cepat sekali Eyang Duraga mengebutkan tangan kanannya ke depan. Pada saat itu,
dari telapak tangan kanannya meluncur secercah cahaya merah bagaikan api yang
meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga cepat sekali melentingkan tubuh ke udara, lalu berputaran beberapa kali.
Sinar merah bagaikan api itu lewat sedikit di bawah tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Beberapa kali Eyang Duraga melepaskan
serangan, namun tak satu pun yang berhasil mengenai Pendekar Rajawali Sakti.
Kilatan-kilatan cahaya merah berkelebat, berbaur dengan ledakan-ledakan dahsyat
menggelegar. Sementara Rangga berjumpalitan di udara menghindari sinar-sinar
merah yang mencecar tiada henti.
*** "Gila! Kalau begini terus, bisa habis napasku...!"
dengus Rangga dalam hati. "Akan kucoba kehebatan
Pedang Kilat ini..."
Tepat ketika secercah cahaya merah meluncur deras ke arahnya, Rangga cepat
meluruk turun. Seketika pedangnya dikibaskan ke arah sinar merah itu, sambil mengerahkan penuh
kekuatan tenaga dalamnya.
"Yeaaah...!"
Glarrr! "Heh..."!"
Bukan hanya Rangga saja yang terkejut. Bahkan Eyang Duraga pun tersentak kaget
begitu sinar merah yang dilepaskan berbenturan dengan Pedang Kilat yang
tergenggam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Ledakan dahsyat langsung membuyarkan cahaya merah itu.
Sedangkan Rangga yang cepat menyadari
kedahsyatan Pedang Kilat di tangannya, jadi tersenyum gembira. Kini dia tidak
perlu lagi susah-susah berjumpalitan menghindari setiap serangan yang
dilancarkan Eyang Duraga. Sebab, ternyata Pedang Kilat ini mampu meredam
serangan-serangan itu dengan baik sekali. Menyadari akan keampuhan pedang ini,
semangat Rangga kembali bangkit.
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat mendahului melakukan
penyerangan. Secepat kilat pula pedang di tangannya dikibaskan beberapa kali ke
arah tubuh Eyang Duraga. Serangan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba itu,
membuat Eyang Duraga jadi terpana sesaat.
"Hait..!"
Cepat Eyang Duraga meliukkan tubuhnya, menghindari setiap tebasan Pedang Kilat
yang mengincar bagian-bagian tubuh yang teramat peka. Beberapa
kali ujung pedang itu hampir mengenai tubuhnya.
Namun, Eyang Duraga masih dapat menghindar dengan manis sekali.
"Pedang Kilat ini benar-benar membuatku gerah!
Huh...!" dengus Eyang Duraga dalam hati.
Eyang Duraga semakin kewalahan menghadapi serangan serangan yang dilancarkan
Rangga. Hingga akhirnya, dia terpaksa melompat mundur sejauh tiga batang tombak.
Sungguh hampir tidak dipercaya kalau Pedang Kilat di tangan Rangga jadi lebih
dahsyat dan berbahaya sekali.
"Pedang Kilat memang bukan lagi tandinganku.
Tapi cobalah kau hadapi pemakai Mustika Batu Hijau," ujar Eyang Duraga.
Selesai berkata demikian, Eyang Duraga bersiul nyaring. Seketika itu juga, dari
atas sebatang pohon yang sangat tinggi, tepatnya dekat kuburan tua yang
terbongkar, meluncur cepat sebuah bayangan putih.
Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang pemuda tampan. Bajunya putih
ketat, hingga membentuk tubuh yang kekar dan tegap berisi.


Pendekar Rajawali Sakti 52 Mustika Kuburan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Danupaksi...," desis Rangga mengenali pemuda itu.
"Maaf, aku terpaksa menghalangimu menyakiti guruku, Kakang Rangga," ujar
Danupaksi dingin.
"Guru..."!"
"Sekarang Eyang Duraga guruku!"
Jiwa Danupaksi memang telah terpengaruh
Mustika Batu Hijau. Karena mustika itu milik Eyang Duraga maka Danupaksi
menganggap guru pada laki-laki bagai mayat hidup itu.
Danupaksi langsung menggeser kakinya dan siap hendak menyerang. Rangga tahu,
seandainya Danupaksi sampai menyerangnya, akan berakibat
parah bagi pemuda itu sendiri. Karena, tingkat kepandaiannya masih berada di
bawah Rangga. Tapi karena pengaruh Mustika Batu Hijau, hal itu tidak dihiraukan
Danupaksi. Bahkan kemungkinan tingkat kepandaian pemuda itu jadi meningkat jauh.
"Pandan, hadapi dia...!" seru Rangga teringat pada Pandan Wangi.
"Baik, Kakang...!" sahut Pandan Wangi segera melompat menghadang Danupaksi.
"Minggir kau, Pandan!" bentak Danupaksi lantang.
"Maaf, aku sudah diperintah untuk menghadangmu," ujar Pandan Wangi kalem.
"Perempuan keparat...! Yeaaah...!"
Danupaksi menggeram dahsyat, lalu cepat melesat sambil melepaskan beberapa
pukulan secara beruntun. Namun Pandan Wangi yang sudah siap sejak tadi, manis
sekali dapat menghindari setiap serangan yang dilancarkan pemuda itu.
Sementara Rangga kembali memusatkan perhatian pada Eyang Duraga. Penghadangan Pandan Wangi pada Danupaksi, membuat
Eyang Duraga jadi geram. Dia juga gelisah, karena Rangga sudah melangkah
mendekatinya. Eyang Duraga menyadari, kalau dalam beberapa gebrakan lagi,
dirinya pasti kalah oleh pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan benteng yang
semula diharapkan, kini tengah sibuk menghadapi gempuran si Kipas Maut
"Apa maksudmu mengambil Danupaksi sebagai sasaran bersemayamnya Mustika Batu
Hijau, Eyang Duraga?" tanya Rangga.
"Huh! Karena ini memang cita-citaku, sebelum aku mampus di tangan Pendekar
Pedang Kilat. Itulah sebabnya, aku minta pada pendekar tolol itu agar
menguburkan Mutiara Batu Hijau bersama jasadku.
Dengan demikian, aku tidak jadi mati walau jasadku tetap terpendam! Ha ha ha....
Lalu, aku menunggu seseorang yang kupikir pantas untuk dititipkan mustika itu,
sebelum Nyai Kunti datang mengusikku.
Dan ternyata, Danupaksi yang datang ke kuburanku.
Dengan demikian, selama Mustika Batu hijau belum musnah, aku masih bisa tetap
hidup. Ha ha ha...,"
jelas Eyang Duraga, seraya tertawa terbahak-bahak.
Rangga kini baru mengerti, mengapa Eyang Duraga selalu bisa hidup kembali.
Ternyata walaupun Pedang Kilat bisa menebas tubuh Eyang Duraga, dan dia tidak
memegang Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga akan tetap hidup. Selama, mustika itu
belum dimusnahkan.
Dan sebenarnya, keabadian hidup di dunialah yang dicari Eyang Duraga. Walaupun
dia mengakui telah kalah oleh Pendekar Pedang Kilat dalam pertarungan secara
jujur, namun jiwa iblisnya menuntut untuk terus hidup di dunia.
"Akan kusempurnakan kematianmu, Eyang
Duraga. Agar kau tenang di alam abadimu," kata Rangga mencoba memberi
pengertian. "Phuih! Tidak ada seorang pun yang bisa memutuskan hubunganku dengan dunia!"
dengus Eyang Duraga.
"Kenapa kau tetap bertahan, Eyang Duraga"
Mayapada ini bukan lagi tempat berpijakmu. Kau sudah memiliki dunia lain yang
lebih tenang dan abadi."
"Jangan mengguruiku, Bocah! Jika kau mampu, hadapi aku...!" tantang Eyang
Duraga. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Eyang Duraga. Dia harus menghadapi
Pendekar Rajawali Sakti, meskipun sudah menyadari tidak akan mampu.
Terlebih lagi sekarang ini Rangga memegang Pedang Kilat yang paling ditakuti
Eyang Duraga. "Hiyaaat...!"
Eyang Duraga benar-benar sudah tidak peduli lagi, dan cepat mendahului menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Dua pukulan dahsyat menggeledek dilepaskan laki-laki
bagai mayat hidup itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil
mengelakkannya.
*** Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Eyang Duraga berlangsung sengit
sekali. Namun kali ini jelas terlihat kalau Eyang Duraga seperti selalu ingin
mendahului. Begitu bernafsunya hendak menjatuhkan Rangga, sehingga melalaikan pertahanan diri
sendiri. Kelalaian ini tentu saja diketahui Rangga. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti
belum mendapat kesempatan yang tepat untuk memanfaatkannya.
Hanya satu yang menjadi tujuan utama Pendekar Rajawali Sakti. Dan tampaknya,
tujuannya tidak semudah yang diperkirakan. Dia harus bisa menusukkan Pedang
Kilat tepat di jantung Eyang Duraga, dan meninggalkan pedang itu di dadanya.
Dengan begitu, Eyang Duraga tidak akan pernah bangkit kembali.
Dan yang terpenting, Rangga harus dapat memusnahkan Mustika Batu Hijau yang kini
tampaknya telah bersemayam pada diri Danupaksi. Dan Rangga menyadari kalau itu
tidak mudah. Pendekar Rajawali Sakti harus bergerak cepat selagi mustika itu
keluar hendak berpindah ke dalam tubuh orang lain lagi.
Sedangkan dia tidak tahu, bagaimana benda itu bisa
berpindah dari orang yang satu, kepada orang lain lagi.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan Eyang Duraga bersarang di dada Rangga.
Untung saja Pendekar Rajawali Sakti segera memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan
saat itu juga, Rangga meliukkan tubuhnya ke depan. Lalu dengan cepat tubuhnya
ditarik ke belakang. Dan....
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras. Pedangnya tertuju lurus
ke arah dada laki-laki tua yang seharusnya terbujur di dalam kuburnya.
Serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat luar
biasa, sehingga Eyang Duraga tidak sempat lagi menyadari.
Crab! Bresss! "Aaa...!" Eyang Duraga menjerit keras melengking tinggi.
Pedang Kilat telah menembus dadanya, sampai ke punggung. Rangga cepat melepaskan
genggamannya pada gagang pedang itu. Bergegas tubuhnya melompat mundur sejauh
lima langkah. Sementara Eyang Duraga terhuyung-huyung limbung sambil memandangi
Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dialaminya
kini. "Kau..., kau..., hebat..."
Bruk! Hanya itu saja yang dapat keluar dari mulut Eyang Duraga. Karena, laki-laki tua
bertubuh busuk itu langsung ambruk, tak berkutik lagi.
Pada saat itu....
"Aaa...!"
"Heh..."!"
Rangga terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat begitu melihat Danupaksi menggelepargelepar di tanah sambil menjerit-jerit dan meraung kesakitan. Rangga mendekati
Pandan Wangi yang tampak kebingungan.
"Kenapa dia...?" tanya Rangga seperti untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia begitu. Padahal, aku tidak memukulnya,"
sahut Pandan Wangi masih bernada bingung.
Tiba-tiba.... Slap! "Oh..."!"
"Pinjam pedangmu, Pandan. Yeaaah...!"
Sret! Cring! Bagaikan kilat, Rangga melompat sambil
menyambar pedang Pandan Wangi dari dalam warangkanya. Saat itu dari ubun-ubun
kepala Danupaksi melesat keluar sebuah benda bulat seperti mata kucing yang
memancarkan cahaya hijau terang.
Benda itu meluncur ke arah mayat Eyang Duraga.
Dengan pikiran untung-untungan, Pendekar Rajawali Sakti berniat menghancurkan
benda yang diperkirakan Mustika Batu Hijau.
"Hiyaaa...!"
Bet! Glarrr...! Ledakan keras menggelegar terjadi begitu Rangga membabatkan Pedang Naga Geni ke
arah benda bersinar hijau itu. Dan tampak Pendekar Rajawali
Sakti terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Pemuda berbaju rompi
putih itu jatuh bergulingan di tanah.
"Kakang...! Kau tidak apa-apa...?" seru Pandan Wangi seraya bergegas
menghampiri. "Hhh...! Tidak...," sahut Rangga mendesah.
Rangga bangkit berdiri seraya memandangi cahaya hijau yang memendar, kemudian
perlahan-lahan menghilang. Usahanya ternyata berhasil. Pada saat itu terdengar
rintihan lirih. Rangga dan Pandan Wangi secara bersamaan berpaling. Tampak
Danupaksi tengah bangkit berdiri seraya memegangi kepalanya.
"Oh, apa yang terjadi...?" Danupaksi bertanya kebingungan.
"Tidak apa-apa, Danupaksi. Semuanya sudah selesai," jelas Pandan Wangi, kasihan
melihat Danupaksi sangat kebingungan.
"Suiiit..!"
Pendekar Rajawali Sakti bersiul panjang
melengking. Nadanya aneh. Dua kali dia bersiul nyaring. Kemudian setelah cukup
lama menunggu, terlihat sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik itu kini
semakin jelas terlihat bentuknya.
"Khraghk...!"
"Rajawali, ke sini!" seru Rangga seraya
melambaikan tangannya.
Burung rajawali raksasa cepat meluruk turun, dan mendarat ringan di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, Pandan. Ikut aku ke Lembah Bangkai," ajak Rangga sambil meloncat ke
punggung Rajawali Putih.
"Aku ingin mengambil Pedang Rajawali Sakti."
Pandan Wangi pun bergegas naik ke punggung burung rajawali raksasa itu.
"Eh, Kakang, tunggu...! Jelaskan padaku, apa yang
telah terjadi terhadap diriku...?" bergegas Danupaksi mengejar.
"Kau pulang saja dulu ke istana," ujar Rangga.
"Nanti kujelaskan di sana."
Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang, lalu mengerdipkan sebelah matanya
pada Pandan Wangi yang berada di belakangnya, dan gadis itu hanya tersenyumsenyum saja. Sedangkan Danupaksi terus mendesak, karena benar-benar bingung dan
tidak tahu semua yang telah terjadi pada dirinya. Namun Rangga dan Pandan Wangi
sudah melambung tinggi di angkasa bersama Rajawali Putih.
SELESAI Created ebook by
Scan & Conyert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Rahasia Barong Makara 2 Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar Tiga Maha Besar 13

Cari Blog Ini