Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Mintarsih 2

Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih Bagian 2


memperhatikan daerah tempat Rangga menghilang dari pandangannya tadi. Tapi
pepohonan yang sangat lebat, membuat pandangannya jadi terhalang.
"Ke mana saja Kakang Rangga" Kok lama sekali, sih...?" Pandan Wangi mulai tidak
sabaran menunggu terus.
"Krrrhhh...!"
"Jangan bercanda, Rajawali Putih!" dengus Pandan Wangi saat merasakan
punggungnya didorong-dorong Rajawali Putih.
Tapi burung rajawali raksasa itu terus mendorong-dorong punggung Pandan Wangi,
sambil memperdengarkan suara mengkirik. Pandan Wangi jadi berbalik. Ditatapnya
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu dalam-dalam. Tapi, keningnya
jadi berkerut juga melihat Rajawali Putih nampak gelisah.
"Ada apa, Rajawali Putih?" tanya Pandan Wangi.
Rajawali Putih menoleh ke belakang lalu mematuki punggungnya. Pandan Wangi
menyipitkan matanya, mencoba untuk mengerti. Dia mengeluh dalam hati, karena
tidak tahu maksud bumng rajawali ini.
"Ada apa dengan punggungmu?" Pandan Wangi
malah bertanya.
"Khrrrk..!"
"Hm.... Kalau tidak salah, Kakang Rangga pernah mengatakan kalau Rajawali Putih
mematuki punggungnya, aku harus naik," Pandan Wangi
bergumam sendiri dalam hati.
Sebentar dipandanginya bumng rajawali raksasa yang terus mematuki punggungnya
sendiri. Pandan Wangi jadi ragu-ragu untuk naik ke punggung Rajawali Putih.
Bukannya dia tidak mau mengerti. Tapi untuk menunggang Rajawali Putih sendirian
rasanya keberaniannya masih belum cukup.
"Kau memintaku naik, Rajawali Putih?" tanya Pandan Wangi.
Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi lagi.
Rajawali Putih kelihatan tidak sabaran. Seketika kepalanya dijulurkan untuk
menjepit ujung baju Pandan Wangi dengan paruhnya yang besar. Lalu, gadis itu
ditarik sehingga Pandan Wangi terpekik kaget. Dan belum juga hilang rasa
terkejutnya, mendadak saja Rajawali Putih melontarkan Pandan Wangi ke udara.
"Hei..."!" Pandan Wangi terpekik kaget. Pada saat tubuh si Kipas Maut itu berada
di udara, dengan cepat Rajawali Putih meluncur ke angkasa. Disambarnya Pandan
Wangi, tepat dengan punggungnya.
Pandan Wangi tersentak, begitu terjatuh di punggung burung rajawali raksasa itu.
Cepat-cepat gadis itu berpegangan pada bulu-bulu burung raksasa ini Tubuhnya
tertelungkup, tak sanggup diperbaiki lagi.
Sedangkan Rajawali Putih terus meluncur tinggi ke angkasa, dan langsung menuju
Lembah Kunir. "Mati aku...," keluh Pandan Wangi dalam hati.
Pandan Wangi buru-buru memejamkan matanya
ketika merasakan Rajawali Putih menukik cepat laksana kilat. Dan begitu matanya
dibuka, gadis itu tersentak kaget. Ternyata di bawah sana tampak Rangga tak
berdaya terkurung jaring yang membelit
tubuhnya. Sedangkan di sekitarnya tampak orang-orang berbaju merah memegangi
ujung tambang yang mengikat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Khraaaghk...!"
Pandan Wangi bergegas memperbaiki letak
tubuhnya, meskipun dengan perasaan masih takut.
Angin yang menerpa tubuhnya demikian kencang, seakan-akan ingin melemparkan
dirinya dari punggung burung rajawali raksasa ini. Sementara binatang raksasa ini, terus
meluncur ke bawah.
"Khraaaghk...!"
Pada saat itu, Jari Maut baru saja hendak memerintahkan murid-muridnya untuk
membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga perintahnya terlontar,
mendadak saja terdengar suara serak yang keras dan parau dari angkasa. Ketika
kepalanya mendongak ke atas, matanya langsung terbeliak melihat seekor burung
rajawali raksasa menukik deras ke arahnya.
Demikian pula orang-orang berbaju merah.
Sebagian dari mereka sudah berhamburan berlari.
Malah enam orang yang memegangi tambang yang mengikat tubuh Rangga, cepat-cepat
berlari, tak mempedulikan tugasnya lagi
"Khraaaghk...!"
Wusss! Bagaikan kilat, Rajawali Putih menyambar Rangga yang tergeletak tak berdaya
lagi, dengan seluruh tubuh terbungkus jaring hitam dan terikat tambang Rajawali
Putih menyambar Rangga dengan cakarnya, lalu cepat membawanya pergi ke angkasa
tanpa ada seorang pun yang menyadari.
"Binatang atau dewakah dia...?" desah Jari Maut tanpa sadar.
Laki-laki setengah baya itu jadi terbengong, menyaksikan seekor burung rajawali
raksasa menyambar Rangga dengan kecepatan seperti kilat.
Sementara Rajawali Putih sudah begitu tinggi, hingga menembus awan. Lalu burung
raksasa itu kembali menukik cepat menuju atas tebing. Begitu cepatnya, sehingga
dalam waktu sebentar saja sudah mendarat kembali di tanah berbatu di atas tebing
yang cukup tinggi ini.
Rangga bergelimpangan begitu terlepas dari
cengkeraman cakar Rajawali Putih. Sedangkan Pandan Wangi bergegas melompat
turun, dan segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dibukanya ikatan tambang
yang membelenggu Rangga. Juga, dibukanya jaring-jaring hitam yang berlapis-lapis
itu. "Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya kuat-kuat begitu terbebas. "Terima
kasih...."
"Bagaimana kau bisa berada di sana, Kakang?"
tanya Pandan Wangi langsung.
"Panjang ceritanya. Aku sendiri hampir tidak percaya," sahut Rangga, lagi-lagi
dibarengi hembusan napas panjang dan kuat.
"Ceritakan, Kakang. Nanti aku akan bertukar cerita denganmu," pinta Pandan Wangi
sedikit mendesak.
"Kau juga menemukan sesuatu tadi?" tanya
Rangga. "Ya! Dan kau juga tidak akan percaya kalau
kukatakan," sahut Pandan Wangi.
"Aku tidak percaya.... Jari Maut merencanakan sesuatu yang besar. Bahkan hendak
membunuhku tadi," agak mendesah suara Rangga.
"Membunuhmu..."! Kurang ajar! Lalu, apa yang direncanakannya, Kakang?" tanya
Pandan Wangi. Pandan Wangi begitu geram mendengar Pendekai
Rajawali Sakti akan dibunuh si Jari Maut. Memang, dia tadi sempat melihat.
Meskipun tidak begitu jelas, namun keadaan Rangga yang sudah tidak berdaya tadi
sudah menyiratkan nasibnya yang sudah di ujung tanduk. Tadi, Pandan Wangi
melihat si Jari Maut berdiri di atas pondoknya, bersama beberapa orang muridnya.
Mereka tertawa-tawa melihat penderitaan Pendekar Rajawali Sakti. Makanya Pandan
Wangi begitu geram.
"Dia merencanakan hendak meruntuhkan Karang Setra," jelas Rangga.
"Apa..."!" Pandan Wangi terkejut setengah mati.
Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti itu, seakan-akan tidak percaya dengan
pendengarannya barusan.
Jari Maut hendak menghancurkan Karang Setra..."
Mana mungkin bisa terjadi" Sedangkan sejak si Jari Maut dikalahkan Rangga, tidak
ada satu perselisihan pun yang terjadi. Bahkan laki-laki berusia setengah baya
itu berjanji hendak mengabdikan dirinya pada Karang Setra. Tapi apa itu
mungkin..." Pandan Wangi masih sukar mempercayai.
"Bagaimana mungkin dia bisa punya pikiran
seperti itu...?" Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Rangga hanya diam saja. Pandan Wangi juga jadi ikut terdiam. Entah apa yang
sedang dipikirkan, sehingga cukup lama juga mereka berdiam diri.
"Perasaanku mengatakan kalau dia bukan si Jari Maut," ujar Rangga perlahan,
seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Maksudmu..., dia si Jari Maut palsu?" tebak Pandan Wangi langsung.
"Aku tidak tahu pasti, Pandan. Itu hanya perasaanku saja yang mengatakannya.
Perlu dibuktikan lebih
dulu," sahut Rangga, masih terdengar pelan
suaranya. "Siapa pun orangnya, jika mempunyai rencana menghancurkan Karang Setra, tidak
bisa didiamkan!
Kita harus mendahului, sebelum dia membuat
kerugian yang besar," tegas Pandan Wangi.
"Aku juga sudah berpikir begitu, Pandan. Tapi...."
"Tapi kenapa, Kakang?"
"Sulit..," desah Rangga seraya menggelenggelengkan kepala. "Sulit untuk menghindari keterlibatan prajurit dalam hal ini,
Pandan. Karena bukan hanya si Jari Maut sendiri. Tapi ada orang dalam yang
teriibat. Dan itu harus didahulukan sebelum si Jari Maut dihancurkan."
"Aku tahu siapa orang dalam itu, Kakang," ungkap Pandan Wangi langsung.
"Kau tahu..."!" Rangga terkejut juga men-dengarnya.
"Itu yang hendak kukatakan, Kakang. Aku melihat Panglima Durangga di hutan
sebelah sana. Tepat, di tempat kau menghilang dan penglihatanku. Dia pergi
bersama empat orang berpakaian merah," tutur Pandan Wangi
"Ya! Memang Panglima Durangga dan Jari Maut yang merencanakan semua ini, Pandan.
Bahkan mereka yang menculik Sangkala. Aku belum tahu pasti, untuk apa Sangkala
diculik," kata Rangga.
"Sebaiknya kita segera kembali ke Karang Setra, Kakang. Kita bersihkan dulu dari
dalam, lalu kembali lagi ke sini untuk menghadapi si Jari Maut," usul Pandan
Wangi. Rangga tersenyum dan menepuk punggung gadis itu. Kemudian, mereka menghampiri
Rajawali Putih yang sejak tadi diam dan mendengarkan saja.
"Antarkan kami ke Karang Setra, Rajawali Putih,"
pinta Rangga. "Khraghk...!" sahut Rajawali Putih seraya
mengangguk-anggukkan kepala.
"Ayo, Pandan."
Tak berapa lama kemudian, Rajawali Putih sudah mengangkasa lagi sambil membawa
Rangga dan Pandan Wangi di punggungnya. Jika bersama Rangga, Pandan Wangi tidak begitu
takut. Lain halnya jika harus menunggang Rajawali Putih sendirian.
"Langsung ke istana, Rajawali Putih...!" seru Rangga agak meminta.
"Khraaagkh...!"
"Kau akan membawa Rajawali Putih ke istana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Benar! Biar cepat sampai. Aku tidak ingin
persoalan ini berlarut-larut," sahut Rangga.
"Tapi...."
"Jangan khawatir, Pandan. Rajawali akan
menurunkan kita di belakang tembok istana. Jadi, tak ada yang bisa mengetahui"
Pandan Wangi terdiam. Dia tahu kalau di bagian belakang tembok istana, tak
pernah ada seorang pun yang lewat. Karena, tempat itu mempakan jurang yang cukup
dalam. Dan hanya sedikit saja tepiannya.
Itu pun sangat licin berbatu. Sehingga, tak ada seorang pun yang sudi
melintasinya. Bahkan prajurit pun enggan untuk ke sana.
"Lebih cepat lagi, Rajawali Putih!"
"Khraaaghk...!"
*** Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi tentu saja mengejutkan semua penghuni Istana
Karang Setra. Terutama Danupaksi dan Cempaka, yang tidak
menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti akan kembali begitu cepat. Terlebih lagi
kedatangan Rangga yang membawa kabar mengejutkan. Mereka tidak menyangka kalau
Panglima Durangga mempunyai rencana makar.
Rangga menyuruh Danupaksi menjemput
Panglima Durangga di rumahnya, yang tidak seberapa jauh dari istana. Tapi ketika
Danupaksi kembali, panglima itu tidak bersamanya. Rumah Panglima Durangga
ditemukan dalam keadaan kosong. Bahkan prajurit-prajurit yang berada di bawah
pimpinannya juga sudah tidak ada lagi di bangsal keprajuritan.
Para prajurit itu memang sudah dihasut oleh Panglima Durangga.
"Mereka pasti sudah berkumpul di Lembah Kunir, Kakang," tebak Pandan Wangi
setelah Danupaksi selesai dengan laporannya.
"Aku tidak mengira mereka akan bergerak secepat ini," desah Rangga agak
bergumam. "Apa tidak sebaiknya dikerahkan prajurit ke sana, Kakang?" usul Danupaksi
"Benar, Kakang. Agar mereka tidak memasuki
kota. Dengan begitu, kita bisa mencegah korban yang lebih banyak," selak Cempaka
membenarkan usul Danupaksi.
Sementara Rangga hanya diam saja, dengan
kening berkerut dalam. Sebenarnya Pendekar
Rajawali Sakti tidak ingin melibatkan prajurit, karena yang pasti akan
menimbulkan korban tidak sedikit.
Tapi keadaan memang memaksa, sehingga harus melibatkan prajurit. Mereka semua
tahu kalau prajurit
Panglima Durangga berjumlah besar. Bahkan
sepertiga dari jumlah prajurit yang ada di Karang Setra adalah di bawah
pimpinannya. Belum lagi ditambah orang-orangnya Jari Maut yang juga berjumlah
cukup besar. Baik Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi
tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti masih memikirkan keterlibatan prajurit
Pertempuran memang tidak mungkin bisa dihindari lagi. Terlebih persoalan ini
menyangkut keutuhan Kerajaan Karang Setra. Jika terlalu lama didiamkan, bisa
lebih menyulitkan lagi.
Memang hanya ada dua pilihan yang harus dilakukan saat ini Menunggu, atau
bergerak lebih dahulu.
"Danupaksi! Kumpulkan beberapa panglima dan sebagian besar prajurit pilihan.
Kerahkan mereka ke Lembah Kunir sekarang juga," perintah Rangga akhirnya,
setelah cukup lama merenung.
"Hamba laksanakan segera, Kakang Prabu," sahut Danupaksi seraya memberi hormat,
dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Danupaksi bergegas meninggalkan Balai Pendopo
Agung. Sepe-ninggal Danupaksi, Rangga menatap Cempaka yang tampak sedang
menunggu perintah.
"Dan kau, Cempaka. Tugasmu adalah menjaga
keamanan di dalam kota. Kerahkan prajuritmu untuk mengatasi setiap gangguan yang
ada," ujar Rangga memberi perintah.
"Hamba laksanakan, Kakang Prabu," sahut
Cempaka, juga memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan
hidung. Cempaka pun bergegas meninggalkan Balai
Pendopo Agung ini. Sementara Rangga masih tetap duduk di singgasana, didampingi
Pandan Wangi. Di
depan mereka masih terlihat beberapa patih dan pembesar kerajaan. Setelah
memberi beberapa perintah dan pesan, Pendekar Rajawali Sakti beranjak pergi.
Pandan Wangi selalu setia mengikuti.
Mereka terus menuju bagian belakang dari bangunan istana yang megah ini.
"Kau kelihatan begitu tegang, Kakang," tebak Pandan Wangi yang selalu
memperhatikan Rangga.
"Entahlah, Pandan. Aku tidak tahu, apakah
tindakanku benar atau tidak kali ini," sahut Rangga, sedikit mendesah.
"Tindakanmu demi kejayaan Karang Setra,
Kakang. Kau tidak bisa mengabaikan keterlibatan mereka dalam masalah ini. Lagi
pula, tidak mungkin persoalan ini kau hadapi seorang diri," hibur Pandan Wangi.
"Bukan itu yang membuat hatiku resah, Pandan Wangi," sergah Rangga, masih
terdengar pelan suaranya.
"Lalu, apa...?"
"Setiap kali aku berada di sini, selalu saja timbul persoalan yang tidak kecil.
Bahkan selalu saja melibatkan prajurit."
"Kau menyalahkan dirimu, Kakang?"
"Tidak. Tapi mungkin memang sebaiknya aku tidak berada di istana, Pandan.
Keberadaanku di sini selalu saja menimbulkan persoalan."


Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Kakang, Persoalan akan timbul di mana saja.
Semua orang tidak bisa terlepas dari persoalan, Kakang. Baik besar maupun kecil.
Tergantung bagaimana kita meng-hadapinya. Dan selalu bisa mengatasi walaupun
terkadang diperlukan juga tindakan kekerasan. Tapi buktinya, kau selalu
menyelesaikannya dengan baik,
Kakang," lagi-lagi Pandan Wangi menghibur.
"Kau memang baik, Pandan. Selalu saja bisa
menenangkan keresahan hatiku," ucap Rangga
memuji. "Itu pujian, atau rayuan?" seloroh Pandan Wangi.
"Terserah apa pandanganmu," timpal Rangga.
Mereka jadi tersenyum. Untuk sesaat, Rangga bisa melupakan kegalauan hatinya.
Pandan Wangi memang pandai menghibur hati Pendekar Rajawali Sakti. Walau dalam keadaan sulit
bagaimanapun juga, selalu saja terlontar gurauan yang membuat ketegangan bisa
sirna. Meskipun hanya sesaat.
Tanpa terasa mereka sudah sampai di batas
tembok belakang istana. Kedua pendekar muda itu melompat ringan melewati tembok
yang tinggi dan kokoh ini. Ringan sekali gerakan mereka. Dan tak berapa lama
kemudian, terlihat Rajawali Putih membumbung tinggi ke angkasa membawa kedua
pendekar itu. "Khraaaghk...!"
"Pandan, apa sebaiknya kita cari dulu tempat Sangkala disembunyikan...?" tanya
Rangga meminta pendapat Pandan Wangi.
"Boleh juga, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Tapi..."
"Tapi kenapa, Pandan?"
"Aku masih belum mengerti, untuk apa mereka menculik Sangkala, Kakang?" tanya
Pandan Wangi. "Mereka ingin menggunakan Sangkala untuk
menghancurkan dan melemahkan kekuatan Karang Setra dari dalam. Dengan menculik
Sangkala, perhatian kita diharapkan akan tertumpah pada Mintarsih. Dan disangka,
kita akan meninggalkan Karang Setra. Itu merupakan taktik mereka untuk
mengurangi kekuatan, Pandan. Mereka tahu, kalau aku dan kau ada di Karang Setra.
Jadi, terlalu sukar untuk menjalankan rencana mereka," Rangga mencoba
menjelaskan. "Lantas, apa Sangkala bersedia bekerjasama
dengan mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tampaknya tidak. Dan mereka sudah mengalami kegagalan dalam rencana pertama.
Mereka tentu tidak tahu kalau kita bisa cepat menemukan
Mintarsih. Bahkan tidak memusatkan perhatian padanya."
"Benar, Kakang. Aku juga tidak menyangka kalau Panglima Durangga dan Jari Maut
berkomplot hendak menghancurkan Karang Setra," suara Pandan Wangi terdengar agak
bergumam. "Aku masih menyelidiki kebenarannya, Pandan."
"Maksudmu?"
"Aku merasa ada kejanggalan pada diri Jari Maut.
Naluriku mengatakan, dia bukan Jari Maut. Tapi orang lain yang menyamar menjadi
Jari Maut"
"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian,
Kakang?" "Sikapnya."
"Tapi menurutku, dia memang si Jari Maut,
Kakang. Ingatkah kau tentang cerita Mintarsih"
Sebelumnya, Jari Maut sering berhubungan dengan Nenek Jamping. Bahkan
mempelajari penggunaan senjata rahasia."
"Itu salah satunya, Pandan."
"Maksudmu...?" Pandan Wangi semakin tidak
mengerti. "Tingkat kepandaian yang dimiliki Jari Maut lebih tinggi daripada Nenek Jamping.
Rasanya, tidak mungkin kalau dia mempelajari sesuatu dari
seseorang yang tingkatannya lebih rendah. Dan lagi, Jari Maut paling tidak
menyukai segala jenis senjata rahasia."
"Jadi maksudmu..., yang menemui Nenek Jamping bukan si Jari Maut?"
"Tepat. Dan aku yakin, kalau Jari Maut asli ada di suatu tempat. Atau..."
"Sudah mati...?" potong Pandan Wangi
Rangga terdiam.
"Maaf, Kakang. Tidak seharusnya dugaan itu
kulontarkan," ucap Pandan Wangi menyesal.
"Kemungkinan itu memang ada, Pandan. Dan kita harus mencari kebenarannya,
sebelum peperangan meletus," ucap Rangga.
"Ke mana kita mencarinya, Kakang?" tanya
Pandan Wangi. "Aku rasa tidak keluar dari Lembah Kunir," sahut Rangga.
"Khraaaghk...!"
"Iya, Rajawali Putih. Langsung saja ke Lembah Kunir!" seru Rangga seperti
menjawab pertanyaan Rajawali Putih.
Rajawali Putih meluncur bagaikan kilat menuju Lembah Kunir. Pandan Wangi yang
berada di depan Rangga jadi bergetar juga, saat burung rajawali raksasa ini
terus meluncur cepat semakin tinggi.
*** 6 Rangga cepat melompat turun dari punggung
Rajawali Putih, begitu binatang raksasa itu mendarat di tepi Lembah Kunir.
Pandan Wangi bergegas mengikuti. Mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke
sekitarnya, mengamati keadaan yang tampak sunyi. Lembah ini memang selalu sepi,
seperti tidak pernah disinggahi orang.
"Hati-hati, Pandan. Kesunyian merupakan bahaya terbesar," Rangga memperingatkan.
"Kita ke pondok itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil menunjuk ke pondok kecil
tidak jauh di depan mereka.
"Aku saja yang ke sana dan kau tunggu di sini,"
ujar Rangga. "Kenapa tidak sama-sama saja?"
"Sendiri lebih baik daripada celaka berdua, Pandan," sahut Rangga.
Pandan Wangi tidak bisa memaksa. Rangga
menepuk pundak gadis itu, kemudian cepat berlari menuju ke pondok kecil tempat
tinggal si Jari Maut.
Gerakannya begitu lincah dan ringan, seperti seekor kijang yang sedang berlari
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga sebentar saja sudah berada di depan pintu pondok.
Suasananya tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun di sekitar pondok kecil ini.
Perlahan-lahan Rangga mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Bunyi
berderit terdengar, begitu daun pintu bergerak
terbuka. Rangga mengayunkan kakinya hendak memasuki
pondok. Namun baru saja sebelah kakinya melewati ambang pintu, mendadak saja
dari balik dinding di samping pintu berkelebat sebilah golok berkilatan.
Wuk! "Uts...!"
Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang.
Pada saat itu, berlompatan dua orang berbaju merah menyala yang langsung
merangsek Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka menggunakan golok yang berkelebatan cepat di sekitar
tubuh Rangga. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan menghindarinya.
"Hiyaaa...!"
Begitu mendapat sedikit kesempatan Rangga
cepat melepaskan dua pukulan beruntun ke arah dua orang penyerangnya. Begitu
cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dua
orang berbaju merah itu tidak dapat lagi menghindar. Dan pukulan yang dilepaskan
Rangga tepat menghantam dada mereka.
Des! Buk! Kedua orang itu menjerit keras, dan langsung terpental jauh ke belakang sampai
menghantam dinding papan pondok hingga jebol. Pada saat itu, beberapa tombak
berhamburan ke arah dua orang berbaju merah itu. Tombak-tombak itu seperti
bermunculan dari dinding. Tak pelak lagi, tubuh mereka terhunjam tombak yang
berjumlah puluhan. Jeritan panjang melengking terdengar saling sambut
"Gila...! Rupanya mereka sudah menyiapkan
jebakan di pondok ini," desis Rangga dalam hati.
Sebentar Rangga memperhatikan dua orang
berbaju merah yang tergeletak di dalam pondok, dengan tubuh tertembus beberapa
tombak. Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan menghampiri pondok itu. Sadar
kalau di dalam pondok dipasangi jebakan, Rangga merasa harus lebih berhati-hati
lagi. Dikerahkannya ilmu meringankan tubuh begitu kakinya terayun masuk ke dalam
pondok. Satu persatu, setiap ruangan yang ada dimasuki.
Tapi, tak juga dijumpai seorang pun di sana. Sampai mencapai bagian belakang,
juga tidak ditemui seorang pun. Rangga terus melangkah mendekati pondok satunya
lagi. Sikapnya semakin berhati-hati.
Dugaannya, di dalam pondok itu pasti juga dipasangi jebakan.
Sebentar Rangga berhenti di depan pintu, lalu perlahan-lahan mendorong pintu
pondok ini. Tak ada seorang pun dijumpai. Pondok yang tidak memiliki kamar ini
pun dalam keadaan kosong. Tak perlu Rangga melangkah masuk. Kakinya mundur
beberapa langkah. Pandangannya beredar ke
sekeliling, dan terhenti begitu melihat Pandan Wangi masih menunggu bersama
Rajawali Putih.
"Pandan, ke sini..!" seru Rangga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi bergegas berlari cepat menghampiri
Sedangkan Rajawali Putih tetap diam menunggu di tempatnya. Sebentar saja gadis
berbaju biru muda itu sudah berada di depan Rangga.
"Kau periksa sebelah sana, Pandan. Aku ke sini,"
ujar Rangga. "Baik," sahut Pandan Wangi
Mereka berpisah lagi Rangga berjalan ke arah kiri, sedangkan Pandan Wangi ke
sebelah kanan. Pendekar Rajawali Sakti mendekati mulut gua yang tertutup semak belukar. Dia
tahu, gua itu menembus langsung ke hutan di kaki tebing batu, tepat di
perbatasan Kota Karang Setra sebelah Selatan.
"Hm..., banyak jejak kaki di sini," gumam Rangga begitu mendapatkan jejak-jejak
kaki yang memasuki gua.
Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun beberapa saat, kemudian tersentak.
Bergegas dia berlari menghampiri Pandan Wangi yang berjalan belum seberapa jauh.
"Ada apa?" tanya Pandan Wangi, begitu Rangga berada di sampingnya.
"Kita ke perbatasan, Pandan," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.
"Hei"! Kenapa ke sana?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka sudah ada di perbatasan," sahut Rangga sambil terus saja berlari cepat
menghampiri Rajawali Putih.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Diikutinya Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah
berada dekat dengan Rajawali Putih. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga melompat
naik ke punggung rajawali raksasa itu. Pandan Wangi mengikuti, lalu duduk di
depan Rangga. "Cepat ke perbatasan Selatan, Putih!" perintah Rangga.
"Khraaagkh...!"
*** "Kakang, lihat..!" seru Pandan Wangi sambil
menunjuk ke depan.
Rangga langsung mengarahkan pandangan ke
arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Tidak jauh dari gerbang perbatasan Karang
Setra, terlihat suatu pertempuran sengit. Sukar dipercaya! Dua kekuatan yang
sama-sama mengenakan seragam prajurit
Karang Setra, saling baku hantam, dan saling bunuh.
Satu sama lain seperti melawan musuh yang
mengancam keutuhan Kerajaan Karang Setra.
"Aku tidak percaya...," desis Rangga.
Tentu saja sukar dipercaya. Dua kelompok prajurit saling bertempur. Bahkan
mengenakan seragam keprajuritan yang sama. Sedangkan di angkasa, Rangga dan
Pandan Wangi tidak dapat memutuskan untuk berbuat sesuatu. Tidak mungkin mereka
terjun ke dalam kancah pertempuran para prajurit yang mengenakan seragam sama.
"Mereka harus segera dihentikan, Kakang," tegas Pandan Wangi.
"Dengan cara apa..." Kau lihat sendiri, Pandan.
Mereka bertarung seperti orang liar."
"Suruh Rajawali Putih mendekat, Kakang. Lalu, perintahkan mereka berhenti. Aku
yakin, kalau mereka berhenti pasti akan memisahkan diri dan menjadi dua kelompok
setelah itu, baru bisa diketahui prajurit yang sesungguhnya," Pandan Wangi
memberi gagasan.
Rangga terdiam sebentar.
"Rajawali, mendekat ke sana...!" perintah Rangga.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih menukik turun, dan melayang dekat di atas para prajurit yang
sedang bertarung. Kepakan sayap bumng rajawali raksasa itu membuat debu
berhamburan, dan sangat mengejutkan para prajurit yang saling bertarung. Mereka
malah berhamburan,
berlarian ketakutan melihat seekor burung raksasa berada dekat di atas kepala.
"Lihat, Kakang. Mereka berlarian secara ber-kelompok," kata Pandan Wangi berseru
keras. Rangga diam saja, memperhatikan prajurit-prajurit yang membelah diri menjadi dua
bagian yang cukup besar. Sementara di sekitarnya, terlihat cukup banyak prajurit
yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Benar-benar suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Mayat-mayat berlumuran
darah bergelimpangan saling tumpang tindih.
"Kakang! Itu Panglima Durangga...!" seru Pandan Wangi seraya menunjuk ke arah
salah satu kelompok yang memisahkan diri.
"Hiyaaat..!"
Begitu melihat Panglima Durangga berada di
antara satu kelompok prajurit, Rangga langsung melompat turun dari punggung
Rajawali Putih. Manis sekali gerakannya, karena Pendekar Rajawali Sakti
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.
"Durangga...!" bentak Rangga begitu kakinya mendarat sekitar satu batang tombak
di depan Panglima Durangga.
"Gusti Prabu..," desis Panglima Durangga terkejut.
Pucat pasi seluruh wajah Panglima Durangga, melihat kemunculan Rangga. Sedangkan
seluruh prajuritnya terus berhamburan berusaha menyelamat-kan diri. Dari
angkasa, Pandan Wangi mengendalikan Rajawali Putih untuk menggiring para
prajurit Panglima Durangga agar menjauhi laki-laki setengah baya itu. Tentu saja
hal ini membuat Panglima Durangga semakin memucat wajahnya.
"Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, Durangga," desis Rangga, dingin menggetarkan.
Panglima Durangga tak mampu lagi mengeluarkan suara. Disadari kalau tidak
mungkin menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat kepandaian yang dimilikinya,
jauh berada di bawah pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara itu Pandan Wangi
sudah benar-benar menguasai para prajurit yang hendak melakukan pemberontakan.
Tentu saja dengan
bantuan Rajawali Putih. Tak ada seorang pun yang berani bertindak, melihat
burung raksasa berputar-putar di atas kepala mereka.
Sedangkan prajurit-prajurit yang dipimpin Ki Lintuk, hanya bisa memandangi.
Bahkan Ki Lintuk sendiri dan dua orang panglima hanya bisa terbengong
menyaksikan burung rajawali raksasa yang muncul bersamaan dengan kedatangan
Rangga. Mereka juga sempat melihat kalau Rangga melompat dari
punggung burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.
"Kenapa kau ingin memberontak, Panglima
Durangga?" tanya Rangga ingin tahu alasan
panglimanya yang merencanakan pemberontakan.
"Aku ingin melepaskan Karang Setra dari tanganmu!" sahut Panglima Durangga
begitu memiliki keberanian kembali.
"Kenapa...?" tanya Rangga lagi, ingin tahu
"Karena kau tidak berhak! Kau bukan putra Gusti Adipati Arya Permadi. Gusti Wira
Permadilah yang seharusnya berhak atas tahta Karang Setra!" agak lantang suara


Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima Durangga.
Rangga tersenyum mendengar alasan panglimanya ini. Pendekar Rajawali Sakti tahu Panglima Durangga sebelumnya memang
mengabdi pada Wira
Permadi, ketika Karang Setra masih dikuasai adik tirinya itu. Dan Rangga memang
mengampuni semua yang mendukung Wira Permadi. Bahkan mereka yang tadinya
mempunyai kedudukan, tetap memiliki kedudukan. Malahan, ada yang dinaikkan
pangkatnya karena telah menunjukkan kesetiaan pada Karang Setra.
Rangga sendiri tidak pernah menganggap kalau Wira Permadi adalah pemberontak.
Hanya saja, jalan yang ditempuh adik tirinya itu tidak pernah dibenar-kan.
Pendekar Rajawali Sakti hanya membebaskan rakyat Karang Setra dari tekanan dan
tindasan orang-orang yang berada di belakang Wira Permadi. Orang-orang serakah
yang menjadikan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti seperti boneka, tanpa disadari
(Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Api di Karang Setra").
"Aku akan mengembalikan Karang Setra pada
orang yang berhak, yang selama ini hidup sengsara karena perbuatanmu, Pendekar
Rajawali Sakti?"
tegas Panglima Durangga lagi.
"Siapa yang lebih berhak daripada aku, Panglima Durangga?" tanya Rangga kalem.
"Gusti Korapati Permadi! Dia adik kandung Wira Permadi yang baru pulang dari
rantau. Beliaulah yang lebih berhak daripadamu! Karena, beliau adalah keturunan
langsung Gusti Arya Permadi," kali ini suara Panglima Durangga terdengar
lantang. "Ooo..."!" Rangga terkejut
Pendekar Rajawali Sakti tidak menyangka kalau masih memiliki adik tiri lagi,
yang merupakan adik kandung Wira Permadi, putra dari selir ayahnya sendiri.
Sekarang, adik tirinya yang namanya disebut oleh Panglima Durangga adalah
Korapati Permadi,
menuntut haknya di Karang Setra. Meskipun begitu, Rangga tetap tidak membenarkan
cara-cara yang dilakukan panglima itu.
"Aku tahu, kau seorang pendekar digdaya yang berkepandaian tinggi, Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi demi junjunganku, kau harus mati di tanganku!" agak
mendesis suara Panglima Durangga.
Sret! Panglima Durangga langsung mencabut pedang
yang sejak tadi tersimpan saja dalam warangkanya di pinggang. Pedang keperakan
itu berkilatan tertimpa cahaya matahari, tertuju lurus ke arah dada Pendekar
Rajawali Sakti.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti...!" desis Panglima Durangga lagi.
"Hiyaaat..!"
"Hap!"
Cepat sekali Panglima Durangga melompat
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya berkelebatan beberapa kali,
mengincar bagian-bagian tubuh Rangga yang memaukan. Namun semua itu dihadapi
Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan-gerakan tubuh indah yang diimbangi
gerakan kaki yang lincah. Meskipun pedang Panglima Durangga berkelebatan di
sekitar tubuhnya, tapi tak seujung rambut pun dapat menyentuh tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
Melihat dari gerakan-gerakannya, jelas sekali kalau Rangga mempergunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Meskipun terkadang gerakannya tidak beraturan, tapi sangat sulit
bagi Panglima Durangga untuk mencari sasarannya. Sementara pertarungan itu
berlangsung, Pandan Wangi sudah melompat turun dari punggung Rajawali Putih yang
terus saja berputar-putar di atas kepala para prajurit Panglima
Durangga. Gadis berbaju biru yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu menghampiri Ki Lintuk
dan dua orang panglima yang berdiri di depan para prajuritnya. Ki Lintuk dan dua
orang Panglima itu membungkuk memberi hormat, kemudian Pandan Wangi
mensejajarkan dirinya di samping laki-laki itu.
*** "Di mana prajurit yang lain?" tanya Pandan Wangi.
"Ditempatkan di setiap gerbang perbatasan,"
sahut Ki Lintuk.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedangkan Ki Lintuk memberi perintah pada dua orang panglima yangg mendampingi,
untuk melucuti senjata prajurit Panglima Durangga.
Sementara pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Panglima Durangga terus
berlangsung. Namun sudah jelas sekali kalau Panglima Durangga sudah tidak mampu bertahan
lagi. Beberapa kali dia terpaksa menerima pukulan maupun tendangan yang
dilepaskan Rangga. Meskipun sudah jatuh bangun, tapi panglima itu masih terus
gigih bertahan.
Sedangkan darah sudah mengucur deras dari tubang hidung dan mututnya.
"Lepas...!" tiba-tiba saja Rangga berseru nyaring.
Plak! Cepat sekali Rangga menampar pergelangan
tangan kanan Panglima Durangga, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak
begitu besar. "Akh...!" Panglima Durangga terpekik.
Panglima itu tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya, yang seketika itu juga
mencelat ke angkasa. Meskipun Rangga hanya mengerahkan
sedikit tenaga dalam, tapi sudah membuat pergelangan tangan Panglima Durangga
jadi kaku kesemutan. Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya,
kembali Rangga memberikan satu pukulan ke dadanya.
"Yeaaah...!"
Des! "Akh...!" lagi-lagi Panglima Durangga terpekik. Laki-laki setengah baya itu
terpental cukup jauh ke belakang. Pada saat itu, Rangga melesat ke udara.
Dan dengan tangkas sekali, disambarnya pedang Panglima Durangga yang melayang di
angkasa. Lalu, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah
Panglima Durangga, sebelum sempat bangkit berdiri.
"Oh..."!" Panglima Durangga mengeluh begitu ujung pedang menempel di lehernya.
"Tidak ada gunanya melawan, Panglima
Durangga," ancam Rangga dingin.
Panglima Durangga benar-benar sudah tidak
berdaya lagi dengan ujung pedang menempel di lehernya. Saat itu, Pandan Wangi
dan Ki Lintuk berlari-lari menghampiri, diikuti sepuluh orang prajurit Rangga
menjauhkan pedang yang ditempelkan ke leher Panglima Durangga, setelah Ki Lintuk
mencekal tangannya. Setelah Ki Lintuk menyerahkan panglima pembangkang itu pada
sepuluh orang prajurit, dia kemudian menerima pedang dari tangan Pendekar
Rajawali Sakti "Bawa mereka semua ke istana, Ki," perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Ki Lintuk seraya membungkuk memberi hormat
Ki Lintuk segera melaksanakan perintah itu.
Digiringnya Panglima Durangga dan para prajuritnya yang sudah dilucuti
senjatanya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi tetap tinggal di tempat. Mereka
memandangi para prajurit yang bergerak kembali ke Kota Karang Setra.
"Ayo kita pergi, Pandan," ajak Rangga.
"Ke mana lagi?" tanya Pandan Wangi.
"Ke istana," sahut Rangga.
"Tidak mengejar si Jari Maut?"
"Kita tidak tahu, ke mana harus mencarinya, Pandan. Aku akan menanyakan dulu
pada Panglima Durangga."
"Kenapa tidak ditanya saja tadi, Kakang?"
"Bukan saat yang tepat. Aku harus memberinya pengertian. Dan kalau perlu,
membuatnya sadar akan kekeliruannya ini"
"Kau terlalu berbaik hati, Kakang. Kalau aku...."
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah menghampiri Rajawali Putih yang sudah mendekam di bawah pohon yang
sangat besar dan tinggi.
Pandan Wangi mengikuti ayunan langkah Pendekar Rajawali Sakti. Tak berapa lama
kemudian kedua pendekar muda itu sudah kembali mengangkasa menunggang bumng
rajawali raksasa.
*** 7 Panglima Durangga mengangkat kepalanya ketika pintu penjara yang mengurungnya
terbuka, memperdengarkan suara berderit yang menggiris hati.
Tubuhnya tidak bergeming, meskipun Rangga tampak melangkah masuk. Di depan
pintu, terlihat dua orang prajurit penjaga berdiri membelakangi pintu penjara
yang terbuka cukup lebar. Rangga melangkah masuk, dan berhenti sekitar empat
langkah lagi di depan Panglima Durangga.
"Bagaimana keadaanmu Panglima Durangga?"
sapa Rangga ramah.
"Baik," sahut Panglima Durangga tak bersemangat Rangga tersenyum. Bagaimanapun,
hidup di dalam penjara tidak sebaik jika berada di alam bebas. Dan memang,
penjara ini bukanlah tempat untuk orang seperti Panglima Durangga yang sudah
berjasa cukup besar bagi Karang Setra. Tapi bagaimanapun juga, Panglima Durangga
sudah melakukan kesalahan besar. Dia mencoba meruntuhkan Kerajaan Karang Setra,
dengan mencoba merebut tahta dari Pendekar Rajawali Sakti yang menjadi raja di
Karang Setra. "Sebenarnya aku tidak suka melihatmu berada di tempat seperti ini, Panglima
Durangga. Tapi terpaksa kau kutempatkan di sini, sampai pengadilan nanti
memutuskan," kata Rangga sambil menghembuskan napas cukup panjang.
Panglima Durangga hanya diam saja, dan tetap duduk memeluk lutut, dengan
punggung bersandar ke dinding. Sedangkan Rangga duduk di kursi yang
disediakan seorang prajurit untuknya. Pintu ruangan ini masih tetap terbuka. Dan
dua orang prajurit terlihat berjaga di depan pintu.
"Aku yakin, kau tetap mencintai Karang Setra.
Seperti juga aku mencintai negeri ini. Bagaimanapun juga, aku tidak akan
melupakan jasa-jasamu demi kejayaan Karang Setra, hingga seperti sekarang ini,"
tutur Rangga lagi.
Panglima Durangga masih tetap diam membisu.
Bahkan sedikit pun tidak melirik Pendekar Rajawali Sakti. Pandangannya tertuju
ke lantai, di ujung jari kakinya.
"Aku ingin berbuat yang terbaik untuk semuanya.
Untukku, untukmu, dan juga untuk Karang Setra yang sama-sama kita cintai ini,
Panglima Durangga. Aku ingin bicara padamu, bukan karena aku raja di sini.
Tapi, sebagai diriku pribadi. Sebagai seorang pendekar yang berjalan di jalur
kebenaran. Aku berjanji akan membelamu, jika tujuanmu memang benar," tegas
Rangga lagi. Kali ini nada suaranya terdengar begitu sungguh-sungguh.
"Kau tidak akan bisa melakukannya, Pendekar Rajawali Sakti," tukas Panglima
Durangga. Rangga tersenyum, lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima itu. Panglima
Durangga hanya melirik sedikit saja saat Rangga duduk di sampingnya. Sama-sama
duduk di lantai bersama seorang tahanan. Terlebih lagi di lantai penjara yang
lembab dan kotor begini
"Kau menyebutku Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang! Itu berarti kita bisa
bicara tanpa kau memandang kedudukanku sebagai raja di sini,"
pancing Rangga disertai senyum tersungging di bibir.
Panglima Durangga menatap dua prajurit yang
berjaga di pintu. Rangga langsung bisa menangkap maksud laki-laki setengah baya
ini. Kemudian, diperintahkannya dua prajurit itu untuk pergi. Tanpa membantah
sedikit pun, kedua prajurit itu meninggalkan tugasnya setelah memberi hormat
"Nah! Sekarang, kita bisa bicara tanpa seorang pun yang mendengar," kata Rangga
lagi "Apa yang ingin kau ketahui dariku, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Panglima
Durangga, masih sukar dipahami nada suaranya.
"Aku hanya ingin meluruskan persoalan ini, tanpa harus merugikan siapa pun juga.
Kurasa, kau bisa mengerti maksudku, Panglima Durangga," sahut Rangga.
"Kau seorang raja di sini. Tentu kau akan
mempertahankan kedudukanmu," agak sinis nada suara Panglima Durangga.
"Sebagai seorang raja, hal itu memang sudah menjadi kepastian, Panglima
Durangga. Tapi keberadaanku di sini bukan sebagai raja. Dan aku akan meluruskan persoalan ini
juga bukan sebagai raja. Jika memang ada yang lebih berhak atas tahta Karang
Setra, tentu akan kuserahkan pada yang berhak. Dan memang aku sebenarnya tidak
pantas menduduki tahta itu. Aku seorang pendekar, yang tidak selamanya bisa
berada di atas tahta," panjang lebar Rangga menjelaskan tentang dirinya dan
kedudukannya di Karang Setra.
"Aku dulu juga pendekar. Aku akan memegang
kata-katamu sebagai seorang pendekar," ujar Panglima Durangga.
"Bagus! Kita bicara sebagai dua orang pendekar yang menghadapi satu persoalan,"
sahut Rangga. "Apa yang ingin kau ketahui dariku?" tanya
Panglima Durangga, setelah yakin akan kata-kata Rangga yang berbicara bukan
sebagai raja. Melainkan sebagai seorang pendekar yang berada di jalan kebenaran.
"Tujuanmu melakukan pemberontakan," sahut
Rangga. "Aku melakukannya demi putra Gusti Arya
Permadi," jelas Panglima Durangga.
"Boleh aku tahu, siapa orangnya?" tanya Rangga, meminta.
"Gusti Korapati. Beliau adik Kandung Gusti Wira Permadi yang merupakan keturunan
langsung Gusti Arya Permadi. Gusti Korapatilah yang lebih berhak atas tahta
Karang Setra ini," tegas Panglima Durangga.
"Danupaksi dan Cempaka juga putra Gusti Arya Permadi. Tapi mengapa kau tidak
menuntut agar salah satu dari mereka yang menduduki tahta" Dan mengapa orang
yang selama ini tidak pernah mem-pertaruhkan jabatanmu, Panglima Durangga?"
tanya Rangga ingin tahu
"Mereka tidak berhak, karena terlahir dari selir yang belum disahkan pendeta
istana," sahut
Panglima Durangga.
"Lalu, bagaimana dengan putra Gusti Arya Permadi sendiri?" tanya Rangga lagi
"Gusti Rangga Pari Permadi telah hilang, lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Namanya sama denganmu. Tapi aku tidak yakin kalau kaulah orangnya."
"Kau tahu persis kejadiannya?"
"Tidak. Tapi semua orang tahu kalau tak ada seorang pun yang bisa hidup jika
sudah berhadapan dengan gerombolan Iblis Lembah Tengkorak. Terlebih
lagi jika sudah tercebur ke dalam Lembah Bangkai.
Dan semua orang berkeyakinan kalau Gusti Rangga Pari Permadi sudah tercebur ke
Lembah Bangkai. Jadi tak ada harapan untuk bisa hidup kembali."
Rangga tersenyum saja mendengar penuturan
polos Panglima Durangga barusan. Memang benar apa yang dikatakan Panglima
Durangga tadi. Dan hal itu diakui Rangga kebenarannya. Tapi Pendekar Rajawali
Sakti menyadari kalau tidak mungkin memaksakan keyakinan panglima ini untuk
mengakui kalau yang ada di sampingnya adalah Rangga Pari Permadi. Putra tunggal
mendiang Arya Permadi.
"Kau tahu, di mana sekarang Korapati berada?"
tanya Rangga. "Untuk apa hal itu kau tanyakan" Kau ingin mem-bunuhnya?" nada suara Panglima
Durangga terdengar mengandung kecurigaan.
"Aku hanya ingin kenal. Dan kalau mungkin,
mengajaknya ke istana," sahut Rangga.
"Kau tidak akan bisa membawanya ke istana,
kecuali dia ingin datang sendiri. Dan itu pun untuk mengambil tahta yang menjadi
haknya." "Baiklah," Rangga menyerah. "Tapi kau bisa
tunjukkan di mana Sangkala, bukan...?"
Panglima Durangga tidak menjawab.
"Dalam persoalan ini, rasanya Sangkala tidak perlu dilibatkan. Dia masih
menjalankan masa hukumannya. Dan aku tidak ingin orang yang tidak tahu apa-apa
terlibat dalam persoalan ini," bujuk Rangga.
"Dia sudah bebas, dan hidup damai bersama
kekasihnya," jelas Panglima Durangga.
"Kekasihnya...?" kening Rangga jadi berkerut
"Maaf, aku tidak bisa bicara lebih banyak lagi. Di antara kami punya perjanjian.
Dan kau tidak bisa


Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendesakku untuk mengatakan lebih banyak," tegas Panglima Durangga buru-buru,
agar Rangga tidak lebih banyak bertanya lagi.
"Baiklah. Kau telah berbuat banyak, Panglima Durangga. Akan kuusahakan agar
hukumanmu tidak terlalu berat," ujar Rangga seraya bangkit berdiri.
"Tidak ada yang dapat menghukumku, kecuali
Gusti Korapati," dengus Panglima Durangga.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah keluar dari ruangan pengap dan kotor ini.
Dua orang prajurit menghampiri dan mengunci pintu setelah Rangga ke luar.
*** Dua hari Rangga mencoba membujuk Panglima
Durangga, tapi tetap saja tidak memperoleh hasil memuaskan. Panglima Durangga
tidak pernah sudi menunjukkan keberadaan Sangkala, dan terutama orang yang
bernama Korapati. Orang yang diakuinya sebagai putra Arya Permadi, pewaris sah
tahta Karang Setra. Dan hal ini membuat Pendekar
Rajawali Sakti jadi merasa tidak tenang.
Meskipun keadaan di seluruh pelosok kerajaan dalam keadaan damai, tapi di hati
Pendekar Rajawali Sakti tidaklah demikian. Rupanya masih terdapat satu ganjalan
di dalam hatinya, sebelum bisa menuntaskan semua persoalan yang dapat mengguncangkan Karang Setra setiap waktu. Rangga merasakan suasana seperti ini bagai
gunung berapi yang setiap saat siap memuntahkan laharnya.
Saat itu matahari sudah hampir tenggelam. Rona merah membias di ufuk Barat.
Rangga tampak berdiri tegak, mematung di tepi sebuah tebing yang cukup
tinggi. Tatapan matanya lurus, tak berkedip ke arah Lembah Kunir. Di tempat
itulah semua awal petaka ini terjadi. Lembah yang indah itu kelihatan sunyi, tak
seorang pun terlihat di sana. Di belakang Rangga, terlihat Rajawali Putih
mendekam dengan kepala menjulur ke depan. Seakan-akan bintang itu ingin turut
serta memperhatikan lembah di depan sana.
"Kau melihat sesuatu di sana, Rajawali Putih?"
tanya Rangga, agak bergumam suaranya seakan bertanya pada diri sendiri.
"Khrrr...," Rajawali Putih hanya mengkirik perlahan.
Rangga memandangi Rajawali Putih yang semakin jauh menjulurkan kepala ke depan,
melewati bahu kanannya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu
seakan-akan tengah memperhatikan sesuatu yang sangat jauh di Lembah Kunir itu.
Sedangkan Rangga jadi ikut memperhatikan ke arah yang tengah menjadi perhatian
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini. Pendekar Rajawali Sakti
mengerahkan aji 'Tatar Netra' agar bisa melihat dalam jarak yang cukup jauh.
"Apa yang kau perhatikan, Rajawali Putih?" tanya Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat sesuatu di lembah sana. Tapi keningnya
jadi berkerut juga melihat sikap rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang
seperti melihat sesuatu di sana.
"Khrrrkh...!"
Rajawali Putih mematuk punggung Rangga.
Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu memperhatikan, lalu cepat melompat naik
ke punggungnya. Tak berapa lama kemudian, Rangga sudah mengangkasa bersama
Rajawali Putih. Bagaikan kilat, burung raksasa itu melambung tinggi ke angkasa,
lalu meluncur deras ke arah Lembah Kunir yang disirami cahaya merah jingga. Saat itu
matahari memang hampir tenggelam.
"Khraaaghk...!"
"Aku tidak melihat apa-apa, Rajawali!" seru Rangga terus memperhatikan ke arah
lembah yang ditunjuk Rajawali Putih, dengan menjulurkan paruhnya.
Burung raksasa itu menukik deras, ke arah hutan yang berada tidak seberapa jauh
dari dua buah pondok kecil di lembah itu Rangga terpaksa
memegangi erat-erat leher Rajawali Putih. Angin yang bertiup kencang di
sekitarnya, membuat telinga Pendekar Rajawali Sakti jadi pekak.
"Hup...!"
Pepohonan lebat, tidak memungkinkan bagi
Rajawali Putih untuk mendarat. Dan begitu berada dekat di atas pohon yang paling
tinggi, Rangga cepat melompat turun dari punggung burung itu. Manis dan ringan
sekali gerakannya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Rangga mendarat di salah
satu cabang pohon yang cukup tinggi. Sementara Rajawali Putih kembali melambung
tinggi, dan berputar-putar di atas hutan kecil ini. Sebentar Rangga menatap ke
atas, lalu melompat turun dari atas cabang pohon ini
"Hap...!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sepasang kaki Rangga menjejak tanah yang
penuh dedaunan kering. Sebentar pandangannya beredar berkeliling.
Meskipun sudah berada di tengah-tengah hutan kecil ini, tapi Pendekar Rajawali
Sakti belum mengerti maksud Rajawali Putih yang menurunkannya di tengah hutan
kecil ini "Rajawali Putih seperti menyuruhku memeriksa
hutan ini. Hm.... Aku yakin ada sesuatu di sekitar tempat ini," gumam Rangga
periahan, bicara pada dirinya sendiri.
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh,
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Kedua matanya
dipentang lebar, mengamati setiap jengkal daerah yang dilaluinya.
Suasana yang begitu sunyi, membuat detak
jantungnya sendiri terdengar begitu keras.
Cukup lama juga Rangga memeriksa sekitar
tengah hutan kecil di Lembah Kunir ini, tapi belum menemukan sesuatu yang
berarti. Hingga sampai pada sebatang pohon yang sangat besar, Pendekar Rajawali
Sakti berhenti melangkah. Sesaat hatinya tertegun memandangi pohon yang begitu
besar, dengan sulur-sulurnya yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Rangga
menaksir, sepuluh orang berpegangan tangan saja, tidak akan mungkin bisa
melingkari pohon ini.
"Belum pernah kulihat pohon sebesar ini," gumam Rangga terkagum-kagum.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti memandangi
dengan perasaan kagum, tiba-tiba saja batang pohon di depannya bergerak-gerak.
Rangga terkejut, lalu terlompat mundur beberapa langkah. Batang pohon yang
kulitnya sudah berganti entah berapa kali itu, terus bergerak-gerak. Kemudian,
bergeser ke samping perlahan-lahan.
"Heh..."!"
Bergegas Rangga melompat masuk ke dalam
semak belukar yang cukup lebat. Sukar dipercaya, ternyata batang pohon itu bisa
terbuka seperti pintu.
Semakin lama, semakin membesar. Dan pada
akhirnya benar-benar terbuka, membentuk sebuah
rongga yang cukup besar. Bahkan mampu dilalui dua orang sekaligus!
Bola mata Pendekar Rajawali Sakti terbeliak ketika dari dalam pohon muncul si
Jari Maut bersama seorang wanita muda dan cantik, berbaju biru yang sangat
ketat. Rangga mengenali wanita itu. Dan inilah yang membuatnya hampir tidak
percaya pada pandangannya sendiri.
"Mintarsih...," desis Rangga dalam hati.
Si Jari Maut dan perempuan cantik yang dikenali Rangga bernama Mintarsih,
berjalan cepat melewati semak tempat persembunyian Pendekar Rajawali Sakti itu.
Mereka berjalan tanpa berbicara apa pun juga. Rangga terus mengamati sampai
kedua orang yang telah dikenalinya ini tidak terlihat lagi.
Kemudian, dia kembali menatap pohon besar yang masih tetap berlubang cukup
besar. Kini di depan lubang pohon itu telah berdiri empat orang gadis-gadis muda
berbaju merah menyala. Pedang mereka tampak tersampir di pinggang.
"Hm.... Mungkin ini yang dimaksud Rajawali Putih,"
gumam Rangga dalam hati.
Rangga menduga kalau pohon besar itu pasti
tempat persembunyian si Jari Maut selama ini. Dan yang pasti, pohon itu
merupakan sebuah pintu rahasia. Rangga berpikir keras agar bisa masuk ke sana.
Memang cukup sulit juga, karena ada empat orang yang menjaga di depang lubang
pohon itu. Jadi, tidak mungkin menghindari bentrokan jika menerobos masuk ke
sana. Jika hal itu terjadi, bisa-bisa malah menimbulkan keributan. Akibatnya
semua orang yang berada di dalam pohon besar itu keluar. Maka, tentu saja hal
itu akan menyulitkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri.
"Aku harus mencari cara untuk masuk ke sana tanpa diketahui," bisik Rangga dalam
hati. Pada saat itu, si Jari Maut sudah kembali, tapi hanya seorang diri saja. Dan ini
juga menimbulkan beberapa pertanyaan di benak Rangga. Jari Maut kemudian masuk
kembali ke dalam pohon, diikuti empat orang gadis yang menjaga lubang pohon itu.
Setelah mereka berada di dalam, pohon itu kembali tertutup sendiri.
"Hm..., ke mana Mintarsih...?" Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke luar.
Sebentar ditatapnya pohon besar itu, kemudian melesat pergi ke arah si Jari Maut
dan Mintarsih tadi pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
*** 8 Rangga terus berlari cepat, menembus lebatnya pepohonan hutan di Lembah Kunir.
Hingga sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah keluar dari hutan, dan kini
memasuki padang rumput yang tidak begitu besar. Terlihat dua pondok kecil di
sana. Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari, ketika melihat dua orang tengah
bertarung tidak jauh dari pondok tempat tinggal si Jari Maut
Dua orang wanita yang sama-sama mengenakan
baju biru. Tapi dari senjata yang digunakan, sudah dapat dipastjkan kalau yang
memegang senjata berbentuk kipas adalah Pandan Wangi. Sedangkan wanita yang
satunya lagi menggunakan pedang. Dia tak lain adalah Mintarsih. Rangga mendekati
pertarungan itu. Dari jurus-jurus yang dikerahkan, sudah dapat dipastikan kalau
mereka menggunakan jurus-jurus andalan yang maut dan berbahaya.
Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Dan sampai saat ini belum
terlihat tanda-tanda akan berhenti. Rangga melihat kalau Mintarsih begitu
bernafsu sekali hendak menjatuhkan Pandan Wangi. Tapi si Kipas Maut itu
tampaknya terlalu alot.
Terukti, beberapa kali dia berhasil mendaratkan pukulan ke tubuh Mintarsih.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Pandan Wangi berteriak keras menggelegar. Dan secepat itu pula,
tubuhnya bergerak cepat laksana kilat. Kipas baja putih yang terkenal itu
berkelebat menghajar bagian pinggang Mintarsih.
Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pandan Wangi, sehingga Mintarsih tak
sempat lagi berkelit menghindar.
Bret! "Akh...!" Mintarsih terpekik agak tertahan.
Wanita itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap pinggangnya yang
tersambar ujung kipas Pandan Wangi yang runcing dan tajam. Darah
merembes keluar dari sela-sela jari tangan Mintarsih.
Pada saat itu Pandan Wangi sudah bersiap hendak mengakhiri pertarungan, dengan
mengeluarkan jurus pamungkasnya.
"Mampus kau sekarang, Setan...! Hiyaaa...!" teriak Pandan Wangi melengking
tinggi "Tahan...!" seru Rangga tiba-tiba.
Pandan Wangi yang hampir saja melompat
menyerang Mintarsih, jadi mengurungkan serangannya. Wajahnya berpaling. Tampak
Rangga melompat cepat, dan tahu-tahu sudah berada di antara kedua wanita itu.
"Kakang Rangga! Mengapa kau hentikan pertarunganku"!" sentak Pandan Wangi tidak senang.
"Justru aku ingin bertanya, mengapa kau
menyerang Mintarsih, Pandan" Apa kau tidak ingat kalau dia berada dalam
lindungan kita?" agak mendesis suara Rangga.
"Bukan aku yang menyerang tapi dia!" dengus Pandan Wangi menuding Mintarsih.
Rangga menatap Mintarsih yang sedang meringis menahan sakit pada pinggangnya
yang berdarah. Keadaan tubuhnya kelihatan lemah, karena memang belum lagi sembuh benar dari
luka-luka akibat bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah, Kakang. Sebaiknya tanyakan saja,
kenapa dia ada di sini!" kata Pandan Wangi lagi Rangga kembali menatap Pandan
Wangi, lalu beralih pada Mintarsih. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tahu, Mintarsih
berada di Lembah Kunir ini karena memiliki hubungan dengan Jari Maut.
Tapi, hubungan itu memang belum diketahuinya secara pasti. Sebenarnya Rangga
juga ingin tahu, mengapa wanita itu ada di lembah ini. Bahkan bersama si Jari
Maut tadi "Kau dengar pertanyaan Pandan Wangi tadi,
Mintarsih..." Untuk apa kau berada di sini" Bukankah aku telah memberimu tempat
yang tenang untuk memulihkan kesehatanmu?" ujar Rangga meminta penjelasan.
"Itu urusanku!" dengus Mintarsih.
"Jelas itu urusannya, Kakang. Dia masih dendam padamu, lalu bergabung dengan si
Jari Maut," selak Pandan Wangi ketus.
Rangga menatap Mintarsih tajam-tajam. Sebetul-nya dia terkejut juga mendengar
kata-kata Pandan Wangi barusan. Hanya saja, keterkejutannya segera ditutupi.
Namun demikian di benaknya timbul pertanyaan, dari mana Pandan Wangi tahu kalau
Mintarsih punya hubungan dengan si Jari Maut.." Dan pertanyaan itu hanya ada
dalam benaknya saja.
"Aku tahu, waktu itu kau hanya berpura-pura saja, Mintarsih. Kau ingin mengadu
domba antara aku dengan Jari Maut, dengan berpura-pura tidak tahu apa-apa
tentang penculikan Sangkala. Tapi, ternyata kau berada di belakang semua ini.
Kau memang sekuntum mawar, Mintarsih. Sekuntum mawar
berbisa...!" desis Rangga dingin.
"Ha ha ha...!" Mintarsih jadi tertawa terbahak-bahak.
Sampai di situ saja, Rangga sudah dapat
memahami arti semua ini. Antara si Jari Maut, Mintarsih, dan Panglima Durangga
rupanya selama ini terjalin suatu hubungan. Dan masing-masing memiliki alasan
yang berbeda. Memang benar apa yang
pernah dikatakan Pandan Wangi. Walaupun si Jari Maut sudah bertobat dan berjanji
hendak meninggalkan semua perbuatan buruknya, tapi tetap saja memiliki dendam
atas kekalahannya oleh Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Mintarsih sendiri
sudah jelas. Dia tidak akan puas sebelum berhasil membunuh Rangga. Wanita itu
telah bersumpah untuk melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti beserta keturunannya.
"Tingkat kepandaianmu memang sukar ditandingi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau
bodoh...!" dengus Mintarsih dingin.
"Keparat..! Kubunuh kau, Setan Jalang...!
Hiyaaat..!"
Rangga tidak sempat lagi mencegah ketika
Pandan Wangi tiba-tiba sekali melompat menyerang Mintarsih. Gadis itu langsung
mengebutkan kipas mautnya ke arah dada wanita cantik yang dijuluki si Mawar
Berbisa oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Bet! "Uts! Yeaaah...!"
*** Mintarsih berhasil mengelakkan serangan Pandan Wangi. Tapi begitu si Kipas maut
melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam kuat, dia tak mampu lagi
berkelit Tendangan Pandan Wangi yang begitu keras dan cepat itu mendarat telak
di dadanya. "Yeaaah...!"
Begkh! "Akh...!"
Mintarsih terhuyung-huyung sambil mendekap
dadanya yang terkena tendangan keras Pandan Wangi. Dan sebelum sempat menguasai
keseimbangan tubuhnya, Pandan Wangi sudah melancarkan serangan lagi. Kali ini
kipas baja putih andalannya dikebutkan ke dada Mintarsih. Dan serangan itu
benar-benar cepat, tak mampu dihindari lagi Bet!
Cras! "Aaa...!" lagj-lagi Mintarsih menjerit keras melengking tinggi
Darah kembali menyembur deras dari dadanya
yang terkena sabetan kipas maut berwarna putih keperakan itu. Mintarsih tak
mampu lagi berbuat banyak, dan kembali terjungkal begitu Pandan Wangi memberi
satu pukulan telak di dadanya. Wanita berbaju biru itu menggelepar di tanah
sambil mengerang lirih.
"Cukup, Pandan...!" sentak Rangga ketika Pandan Wangi hampir saja melancarkan
serangan kembali.
Pandan Wangi menurunkan tangannya yang sudah terangkat naik di atas kepala.
Wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, berpaling lagi
menatap tajam Mintarsih penuh


Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebencian. Pandan Wangi benar-benar melampiaskan kebenciannya pada wanita itu.
Sementara Rangga bergegas menghampiri
Mintarsih yang tampak masih merintih kesakitan.
"Kau pernah bersumpah ingin membunuhku.
Sekarang kau kuberikan kesempatan untuk hidup.
Dan kau bisa melaksanakan sumpahmu itu,
Mintarsih. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya. Di mana Sangkala, dan siapa
sebenarnya Korapati itu."
Mintarsih menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti, penuh kebencian. Dan karena
tawaran Pendekar Rajawali Sakti cukup menarik, mata wanita itu tampak agak
berbinar-binar. Sebab, paling tidak dia akan memiliki kesempatan lagi untuk
melaksanakan sumpahnya.
"Bisa kupegang janjimu, Pendekar Rajawali Sakti?"
Mintarsih ingin kepastian.
"Mengapa tidak?"
"Baik. Sangkala ada di..., akh!"
Rangga tersentak kaget Karena tiba-tiba leher Mintarsih terhunjam senjata
rahasia seperti mata anak panah. Sungguh hal itu tidak diketahui Pendekar
Rajawali Sakti. Wanita itu mengejang sesaat, lalu diam tak bergerak lagi. Mati.
Sekejap, Rangga melihat semak-semak di dekat pohon di depannya bergoyang-goyang.
Dengan rasa kekesalan yang tinggi akibat keterangan dari Mintarsih terputus,
Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut senjata rahasia itu. Dengan pengerahan
tenaga dalam, senjata rahasia itu dilemparkan ke arah datangnya tadi. Maka....
"Aaakh...!"
Sosok tubuh berbaju merah tiba-tiba keluar dari semak-semak, dan langsung ambruk
ke tanah. Sebentar dia menggelepar, kemudian mati.
Pandan Wangi yang saat itu tidak melihat
kejadiannya, karena perhatiannya tertuju ke arah lain, langsung terkejut. Dan
ketika matanya melihat ke arah Mintarsih, gadis itu baru mengerti, apa yang
terjadi. Rupanya orang berbaju merah itu anak buah si Jari Maut yang tidak ingin
rahasia mereka terbongkar. Hanya saja, mereka tidak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti telah mengetahui
sarang mereka. *** Rangga memandangi pohon raksasa di depannya.
Sedangkan Pandan Wangi yang berada di sampingnya juga ikut memandangi pohon itu.
Gadis itu masih belum percaya kalau di dalam pohon itulah tempat persembunyian
si Jari Maut. Padahal, Rangga sudah menceritakan dengan sungguh-sungguh dan
jelas sekali. Tak ada tanda-tanda kalau pohon ini memiliki lubang yang dapat dilewati. Mereka telah menge-lilinginya sampai tiga kali. Namun, tidak juga
ditemukan lubang masuk, seperti yang dikatakan Rangga.
"Apa kau benar-benar yakin di dalam pohon ini mereka bersembunyi?" tanya Pandan
Wangi seraya memandangi pohon raksasa itu
"Belum lama aku di sini, Pandan. Matahari juga belum sepenuhnya tenggelam,"
tegas Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menunjuk semak belukar.
Di situ dia sempat bersembunyi, dan melihat si Jari Maut keluar dari pohon itu
bersama Mintarsih.
"Di sana aku bersembunyi. Dan melihat mereka keluar dari pohon itu," jelas
Rangga. "Maksudmu, si Jari Maut dan...."
"Siapa lagi kalau bukan si Mawar Berbisa itu,"
potong Rangga cepat sebelum Pandan Wangi
menyelesaikan kalimatnya.
Pandan Wangi memandangi pemuda tampan di
sampingnya. Belum pernah gadis itu melihat
Pendekar Rajawali Sakti ini begitu menggebur-gebu.
Mungkin karena Rangga merasa tertipu atas sikap
dan perilaku si Jari Maut. Sikap yang baik dan ramah, ternyata kini menikam dari
belakang. "Kau mundur, Pandan," ujar Rangga, agak dingin nada suaranya.
"Kau mau apa?" tanya Pandan Wangi
"Pohon ini akan kuhancurkan," sahut Rangga.
Pandan Wangi beringsut ke belakang beberapa langkah, begitu melihat Rangga sudah
bersiap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
tingkat terakhir. Periahan-lahan kedua kepalan tangan Rangga menjulur ke depan.
Seketika kedua tangan itu memancarkan warna merah yang mem-bara, bagai sepotong
besi yang terbakar di dalam tungku. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus
ke arah pohon raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat ke arah pohon
raksasa itu. Pada saat yang sama, kedua tangannya ditarik sejajar di samping
dada. Lalu secepat itu pula, kedua tangannya dihentakkan ke depan, tepat
menghantam batang pohon pada bagian tengah yang diyakininya sebagai pintu masuk ke dalam
pohon itu. Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu kedua tangan Rangga menghantam
pohon raksasa itu.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke belakang, dan melakukan putaran
dua kali. Pohon besar itu seketika hancur berkeping-keping. Sedangkan bagian
atasnya ambruk, menimbulkan suara bergemuruh. Bumi laksana diguncang gempa saat
pohon itu menghantam tanah, tepat saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan
kakinya di tanah.
Tampak sebuah lubang yang cukup besar terdapat di bagian tengah pohon yang
hancur itu. Dan sebelum Rangga menghampiri, dari dalam lubang berlompatan tubuhtubuh berbaju merah. Ada sekitar sepuluh orang, yang langsung meluruk menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka semua memegang tongkat kayu berwarna kecoklatan.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara sambil merentangkan kedua
tangan ke samping. Saat itu jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dikerahkan. Gerakannya
sungguh cepat luar biasa. Sehingga sebelum sepuluh orang berbaju merah itu bisa
menyerang lebih jauh, Rangga sudah melakukan serangan cepat bagai kilat
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul
bergelimpangannya tubuh-tubuh berbaju merah. Dalam beberapa kali gebrak saja,
tak ada lagi yang bisa bangkit kembali. Rangga cepat melompat mendekati
reruntuhan pohon besar itu.
Begitu Rangga menjejakkan kakinya di tanah, seketika berkelebat sebuah bayangan
merah dari dalam lubang pohon yang sudah hancur itu. Cepat Pendekar Rajawali
Sakti melentingkan tubuh ke belakang, menghindari terjangan bayangan merah tadi.
"Huh! Yeaaah...!"
Dua kali Rangga berjumpalitan di udara. Dan begitu menjejakkan kaki di tanah, di
depannya sudah berdiri si Jari Maut dengan sikap angkuh.
"Aku akui, kau memang sulit ditaklukkan,
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku tidak akan menyerah, sampai nyawaku hilang
dari badan," tegas
si Jari Maut dingin.
"Aku memang melakukan kesalahan besar dengan membiarkan kau hidup waktu itu,
Jari Maut," sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Sekarang kita sudah berhadapan lagi. Tak ada gunanya banyak bicara."
Setelah berkata demikian, Jari Maut langsung melompat menerjang Pendekar
Rajawali Sakti. Dilepaskannya beberapa pukulan cepat dan beruntun, disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari
serangan-serangan itu.
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti
melawan si Jari Maut memang tidak dapat dihindari lagi. Mereka langsung
menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang cepat dan sangat berbahaya.
Sementara Pandan Wangi sudah bergegas menghampiri lubang pohon yang hancur akibat terkena pukulan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' yang dilontarkan Rangga tadi.
Pandan Wangi melompat masuk ke dalam lubang itu, dan seketika tubuhnya lenyap
tak terlihat lagi.
Sementara pertarungan Rangga melawan si Jari Maut berlangsung semakin sengit.
Sebentar saja lebih dari lima jurus sudah dihabiskan. Tapi tampaknya pertarungan
masih bakal terus berlangsung cukup lama.
Hingga setelah menyelesaikan sepuluh jurus
dalam pertarungan, mereka sama-sama berlompatan mundur. Kini terbentang jarak
sekitar dua batang tombak di antara mereka. Jari Maut mencabut pedangnya
perlahan-lahan, lalu menyilangkannya di depan dada. Pedang berwarna merah itu
seperti api yang berkobar-kobar, dan siap menghanguskan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Sret! Rangga yang sudah mengetahui kedahsyatan
pedang itu, tak mungkin bisa menandingi hanya dengan tangan kosong saja. Maka
pedangnya juga segera dicabut. Seketika itu juga cahaya biru berkilau
menyemburat terang menyilaukan mata.
"Saatnya mengadu jiwa, Pendekar Rajawali Sakti,"
desis Jari Maut dingin menggetarkan.
"Majulah...!" sambut Rangga tak kalah dinginnya.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Rangga cepat melompat, begitu si Jari Maut
melompat menyerang dengan pedangnya. Secara bersamaan mereka mengayunkan pedang
masing-masing ke depan. Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi. Ledakan
dahsyat menggelegar, seketika terdengar begitu dua senjata beradu keras di
udara, hingga menimbulkan percikan bunga api.
Pertarungan kembali berlangsung sengit. Cahaya biru dan merah berkelebat cepat
saling sambar. Beberapa kali terdengar ledakan keras setiap kali kedua pedang itu beradu. Dan
setiap kali itu pula, terbetik pijaran api yang menyebar ke segala arah.
Tempat pertarungan berlangsung sudah tidak
beraturan lagi bentuknya. Entah sudah berapa puluh pohon yang bertumbangan,
akibat terkena serangan-serangan yang luput dari sasaran.
Jurus demi jurus pun berlalu cepat. Tak terasa, mereka masih menghabiskan lebih
dari sepuluh jurus lagi. Tapi sampai saat ini belum juga ada yang terlihat bakal
terdesak. Sementara matahari semakin jatuh ke dalam pelukan alam. Dan kini
keadaan jadi remang-remang. Tapi di sekitar pertarungan tetap terlihat terang,
akibat dua sinar yang berkelebatan
saling sambar. "Hhh! Dia semakin tangguh dan meningkat pesat.
Aku harus menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'," desis Rangga bergumam dalam
hati. Saat itu juga, Rangga merubah jurusnya menjadi jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Suatu jurus simpanan yang sangat dahsyat dan jarang digunakan jika tidak terdesak.
Setelah beberapa gebrakan berlalu, baru bisa terasakan akibat jurus 'Pedang
Pemecah Sukma'.
Perhatian si Jari Maut tampak mulai terpecah.
Gerakan-gerakannya mulai tidak beraturan. Dan per-mainan pedangnya juga sudah
tidak lagi menggigit.
Perubahan ini cepat dilihat Rangga. Dan seketika itu juga serangan-serangannya
diperhebat. Dan hal ini tentu saja membuat si Jari Maut semakin kewalahan saja.
Dia sendiri tidak tahu, kenapa jadi sulit mengendalikan diri
"Lepas...!" seru Rangga tiba-tiba.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibaskan pedangnya ke arah
pergelangan tangan kanan si Jari Maut yang memegang pedang. Begitu cepat
gerakannya, sehingga si Jari Maut tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Cras! "Akh...!" Jari Maut terpekik keras begitu pergelangan tangan kanannya terbabat
pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Pedang si Jari Maut seketika terpental ke udara, bersamaan dengan tangannya yang
buntung dari pergelangan. Darah langsung mengucur deras dari tangan yang buntung
itu. Di saat si Jari Maut tengah terpana tidak percaya, Rangga sudah menusukkan
pedangnya kembali dengan kecepatan tinggi.
"Hiyaaa...!"
Crab! Jari Maut terpaku diam, ketika pedang Rangga berkelebat cepat menusuk dadanya
hingga tembus ke punggung. Tak berapa lama kemudian, tubuh si Jari Maut ambruk
ke tanah. Darah kembali muncrat keluar dari dada yang menganga lebar akibat
terhunjam pedang. Jari Maut tewas seketika, sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang Pada saat itu, Pandan Wangi
melompat keluar dari dalam lubang pohon raksasa itu, disusul seorang pemuda
berwajah cukup tampan. Dia mengenakan baju putih ketat agak kotor dan lusuh.
Mereka langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar Rangga memandangi tubuh si Jari Maut yang berlumuran darah, kemudian
berpaling menatap pemuda yang berdiri di samping Pandan Wangi.
Pemuda itu membungkuk memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan
hidung. "Bagaimana kau bisa menemukan Sangkala,
Pandan?" tanya Rangga.
"Di ruangan bawah tanah. Aku memeriksa setiap kamar yang ada. Dan salah satu
kamar, ternyata berisi Sangkala," sahut Pandan Wangi.
"Ada orang lain di sana?" tanya Rangga lagi.
"Tidak," sahut Pandan Wangi.
"Hm.... Lalu, murid-murid si Jari Maut yang lain ke mana?" Rangga seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Hanya sepuluh orang itu, kakang. Yang kau
hadapi di pondok si Jari Maut, adalah para prajurit Panglima Durangga. Jadi,
bukan murid-murid si Jari Maut. Aku tahu semua ini karena Sangkala yang cerita
tadi," jelas Pandan Wangi.
"Benar, Gusti Prabu," ujar Sangkala membenarkan ucapan Pandan Wangi
"Ya, sudah. Sebaiknya kita segera kembali ke istana," ujar Rangga.
"Bagaimana dengan Sangkala?" tanya Pandan
Wangi Rangga tersenyum dan menghampiri pemuda itu.
Ditepuk-tepuknya Sangkala dan mengajaknya meninggalkan tempat ini. Pandan Wangi
segera mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti
"Kau hanya jadi korban saja, Sangkala. Sekarang juga, kau kubebaskan dari
hukuman. Temui Danupaksi, dan minta pekerjaan padanya," ujar Rangga.
"Terima kasih, Gusti Prabu. Hamba akan selalu setia pada Gusti Prabu dan Karang
Setra," ucap Sangkala penuh hormat
"Aku percaya padamu, Sangkala."
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Sepasang Pedang Iblis 2 Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Kisah Si Naga Langit 1

Cari Blog Ini