Ceritasilat Novel Online

Penyamaran Raden Sanjaya 3

Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya Bagian 3


"Jangan!" sentak Prabu Bantar Kencana. "Terlalu
berbahaya melewati jalan ke sana."
"Lantas, apa yang harus kita lakukan" Berdiam diri di sini, menunggu sampai
mereka yang ada di dalam
benteng mati kelaparan?" Raden Sanjaya tidak sabaran lagi.
Belum lagi Prabu Bantar Kencana memberi jawaban, Rangga berdiri dari duduknya di samping Panglima Gadalarang. Tubuhnya berbalik, menatap langsung ke arah pintu gerbang benteng yang tertutup rapat. Tatapannya beralih ke
atas benteng. Tampak beberapa orang berlindung dengan panah siap ditembakkan.
Mereka menjaga sekeliling benteng, tak ada satu celah pun yang bisa diterobos.
"Rangga...! Mau ke mana?" teriak Raden Sanjaya
begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti melangkah.
"Persiapkan prajuritmu. Aku akan menembus benteng itu!" sahut Rangga terus melangkah.
"Gila! Dia bisa mati konyol!" dengus Paman Nara
Soma. "Dia seorang pendekar, Paman. Dia tahu apa yang
harus dilakukan," Panglima Gadalarang menenangkan.
Raden Sanjaya segera mengumpulkan para kepala
pasukan dan memerintahkan untuk bersiap-siap. Sedangkan Panglima Gadalarang mengikuti langkah
Rangga dari jarak cukup jauh. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah
berdiri tegak tak jauh dari pintu gerbang.
Sret! Cahaya biru berkilau membias begitu Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedangnya yang langsung dis-ilangkan di depan dada. Kedua
kakinya terpentang lebar dengan pandangan mata tajam, ke arah pintu.
Semua orang yang menyaksikan berdebar-debar
menunggu apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. "Aji Pedang Pemecah Sukma...!" mendadak Rangga
berteriak lantang.
Bersamaan itu, Pendekar Rajawali Sakti berlari cepat sambil memutar-mutar pedangnya di atas kepala.
Maka orang-orang di atas benteng, langsung memuntahkan anak-anak panah ke arah pendekar muda. Benar-benar menakjubkan! Tak ada satu batang anak
panah pun yang sanggup mendekati tubuhnya. Semua
rontok begitu saja saat terkena pancaran sinar biru yang bergulung-gulung dari
Pedang Rajawali Sakti.
Dan ketika jaraknya tinggal dua batang tombak di
pintu gerbang, Pendekar Rajawali Sakti melompat seraya mengibaskan pedangnya ke
depan. Pekikan keras terdengar disusul ledakan dahsyat, begitu pedangnya
menghantam pintu gerbang yang tebal dan kokoh.
"Serang...!" Raden Sanjaya memberi perintah begitu pintu gerbang hancur
berantakan. Teriakan-teriakan terdengar bersamaan dengan
menghamburnya para prajurit gabungan. Raden Sanjaya dengan kuda tunggangannya melaju cepat bagai
anak panah lepas dari busurnya. Kemudian menyusul
Panglima Gadalarang, Paman Nara Soma, dan dua
orang patih perang dari Kerajaan Magada. Di belakangnya, tidak kurang dari seribu prajurit dibantu rakyat menyerbu seraya
meneriakkan pekik-pekik peperangan. Tidak terhitung lagi, berapa yang jatuh tersungkur tertembus anak panah sebelum
mencapai pintu. Tapi
hal itu tidak menyurutkan semangat. Sementara itu, di dalam benteng Pendekar
Rajawali Sakti tengah mengamuk dengan pedang di tangan menghadapi puluhan
orang berpakaian hitam yang mengeroyoknya.
"Rangga...! Hiyaaa...!" Raden Sanjaya langsung melompat dari punggung kuda begitu sampai di halaman dalam istana.
"Bagus!" seru Rangga melihat Raden Sanjaya sudah
terjun dalam pertarungan.
Panglima Gadalarang, Paman Nara Soma, dan dua
orang patih dari Magada sudah terlibat dalam pertempuran. Tak sedikit para prajurit gabungan yang berhasil menerobos masuk ke dalam
benteng. Pekik peperangan dan jerit kematian berbaur jadi satu. Tidak terhitung lagi jumlah korban
yang jatuh. Namun peperangan terus berkobar sengit.
Rangga yang sibuk menghadapi para pengeroyoknya, sempat melihat seorang perempuan cantik berba-ju merah muda tipis keluar
dari dalam istana. Maka, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat dan membabatkan pedangnya ke arah para prajurit. Kemudian, dia berteriak keras seraya
melenting tinggi dan meluruk ke arah wanita cantik itu.
"Aku lawanmu, Iblis!" geram Rangga begitu kakinya
menjejak tanah di depan wanita cantik yang tidak lain Nini Bawuk.
"Oh...! Kau tampan sekali, Anak Muda," Nini Bawuk
tersenyum manis. Bola matanya berbinar menatap wajah Rangga yang tampan.
"Di mana Wiratma?" tanya Rangga yang bisa memastikan si pembuat kerusuhan ini.
"Hi hi hi.... Tidak ada yang bernama Wiratma di si-ni," sahut Nini Bawuk
terkikik genit.
Belum lagi Rangga membuka mulut, mendadak sebuah bayangan berkelebat cepat. Tahu-tahu, Raden
Sanjaya sudah berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya tajam menyorot
ke arah Nini Bawuk.
Sedang wanita cantik itu makin berseri melihat kedatangan Raden Sanjaya.
Bibirnya berdecak menahan
gairah yang meluap-luap dalam dada. Nini Bawuk memang selalu bergairah bila melihat pemuda gagah dan tampan.
"Nini Bawuk! Aku akan membayar hutangku sekarang!" dengus Raden Sanjaya.
"Bagus! Mari ke dalam," sambut Nini Bawuk.
"Tidak perlu! Keluarkan senjatamu. Kita lunasi semua hutang di sini!" sentak Raden Sanjaya.
Merah padam muka Nini Bawuk. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah yang bergolak dalam dada.
Kata-kata Raden Sanjaya merupakan tantangan langsung tanpa tedeng aling-aling.
"Phuih! Kau tahu, apa arti kata-katamu, Sanjaya?"
geram Nini Bawuk.
"Mati untukmu!" sahut Raden Sanjaya dingin.
"Edan!"
"Bersiaplah, Nini Bawuk!"
*** Meskipun Raden Sanjaya pernah ditolong Nini Bawuk, tidak sudi percaya pada perempuan jalang itu.
Lebih baik mati daripada harus melayani Nini Bawuk di tempat tidur. Raden
Sanjaya langsung menyerang
dengan jurus-jurus pedang yang cepat dan berbahaya.
Namun, Nini Bawuk bukanlah lawan Raden Sanjaya.
Semua serangan pemuda itu ternyata bisa dikandaskan di tengah jalan.
Sementara, Rangga mengawasi jalannya pertarungan yang sudah berlangsung lebih dari lima jurus.
Bisa dipastikannya kalau Raden Sanjaya tidak akan
unggul menghadapi Nini Bawuk. Memasuki jurus ke
delapan, Raden Sanjaya sudah mulai kewalahan. Serangannya sudah ngawur. Bahkan semakin terdesak.
Suatu saat, ketika Nini Bawuk mengarahkan pukulan ke kepala, Raden Sanjaya langsung merunduk. Ta-pi dengan cepat Nini Bawuk
mengibaskan kaki kanannya ke arah pinggang. Raden Sanjaya yang tidak
menyadari akan mendapat serangan beruntun demikian cepat, tidak dapat mengelak lagi.
"Hugh!" Raden Sanjaya mengeluh pendek. Tubuhnya langsung sempoyongan.
Belum juga pemuda tampan itu menguasai keseimbangan tubuhnya, satu pukulan keras disertai tenaga dalam mendarat di dada.
Raden Sanjaya terjengkang
ke belakang sejauh satu batang tombak. Nini Bawuk
langsung melompat hendak menjejakkan kakinya di
dada pemuda itu, tapi serangannya terhalang oleh
Rangga yang cepat melompat menghadang. Terpaksa
Nini Bawuk melenting kembali ke belakang.
"Pimpin prajuritmu. Biar dia kubereskan!" ujar
Rangga. Raden Sanjaya bangkit. Bibirnya meringis menahan
sakit pada pinggang dan dadanya. Napasnya agak tersengal, tapi segera diaturnya.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat sambil mengibaskan
pedangnya menggunakan jurus 'Rajawali Sakti' yang
keempat, yaitu jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali
Sakti' tingkat pertama. Dengan pedang pusaka di tangan, jurus itu terlihat
sangat dahsyat. Bahkan bisa menyamai tingkatan yang terakhir.
Mendapat serangan beruntun yang tersusun rapi,
Nini Bawuk jadi kelabakan. Beberapa kali tubuhnya jatuh bangun menghindari
serangan ganas Pendekar Rajawali Sakti. Saat mendapat kesempatan sedikit, Nini Bawuk melompat mundur.
Matanya tajam menatap
Pendekar Rajawali Sakti yang sudah bersiap-siap mengerahkan ilmu 'Pedang Pemecah
Sukma'. Sret! Nini Bawuk meloloskan senjatanya berupa sebuah
pedang pendek. Senjata bermata dua bagai garpu raksasa itu memancarkan sinar
kuning keemasan. Dua
tokoh sakti kini berhadapan dengan mengerahkan ilmu andalan masing-masing. Tapi Rangga, belum mengeluarkan ilmu andalannya yang terakhir.
"Hiya...!"
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring, mereka saling terjang.
Rangga mengarahkan pedangnya lurus ke depan. Sedangkan Nini Bawuk cepat mengibaskan pedangnya.
Trang, tring! Dua senjata pusaka beradu di udara. Dan bersamaan dengan itu, kaki Pendekar Rajawali Sakti melayang cepat menghantam perut. Nini Bawuk memekik
tertahan. Tubuhnya kontan jatuh, tapi dengan cepat bisa menguasai diri. Dan
begitu kaki Rangga menapak bumi, wanita itu langsung menyerang dengan ilmu
andalannya. Dua sinar berkelebat cepat mengurung tubuh. Begitu cepatnya pertarungan, sehingga tubuh mereka bagai hilang tertelan dua sinar yang bercampur aduk.
"Aji Cakra Buana Sukma...!" teriak Rangga keras
dan tiba-tiba. Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti menempelkan pedangnya ke pedang bermata dua milik Nini
Bawuk. Tentu saja wanita cantik itu kaget setengah mati, karena mendadak
senjatanya terasa bagai terpatri erat pada pedang lawannya. Maka seluruh tenaga
dalamnya segera dikerahkan untuk menarik pulang
senjatanya. Tapi semakin mengerahkan tenaga dalamnya, semakin banyak tenaganya tersedot habis.
"Ih!" Nini Bawuk melepaskan genggamannya pada
tangkai pedang. Dan dia benar-benar terkejut, karena telapak tangannya tidak
terlepas. Nini Bawuk menggeliat, berusaha melepaskan diri
dari tarikan yang begitu menyedot tenaganya. Sedangkan cahaya biru yang
menggumpal di ujung pedang
Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan merayap menyelimuti pedang Nini Bawuk.
"Setan! Ilmu apa yang dipakai?" dengus Nini Bawuk
cemas. Seluruh tubuh dan wajah wanita cantik ini basah
bersimbah keringat. Wajahnya sebentar memucat dan
sebentar merah padam bagai kepiting rebus. Seluruh tubuh Nini Bawuk bergetar
menahan arus tenaga se-dotan yang bisa menguras tenaganya yang bisa mengakibatkan mati lemas.
Perlahan namun pasti, sinar biru yang memancar
bergulung-gulung dari Pedang Rajawali Sakti menyelimuti tubuh Nini Bawuk. Dan
begitu seluruh tubuh
wanita itu terselubung sinar biru, Rangga berteriak nyaring sambil menyentakkan
pedangnya. Seketika,
terdengar ledakan keras bersamaan dengan terlontarnya tubuh Nini Bawuk yang
menggeliat-geliat meregang nyawa. Yang tak lama kemudian nyawanya terpisah dari raganya. Mati!
Rangga mendesah panjang sambil memasukkan pedang pusaka ke dalam warangkanya. Matanya memandang berkeliling. Tampak pertempuran masih terus berlangsung sengit. Sementara, terlihat orangorang berpakaian hitam mulai terdesak. Bahkan beberapa di antaranya mencoba
melarikan diri. Tapi para prajurit yang dipimpin langsung Raden Sanjaya tidak
membiarkan mereka lolos. Semua dibabat habis tanpa mengenal ampun.
Sekelebat Rangga melihat sebuah bayangan putih di
atas atap. Tanpa membuang waktu lagi, langsung tubuhnya melenting dengan menggunakan jurus 'Sayap
Rajawali Sakti Membelah Mega'. Tubuhnya kini jadi
ringan bagaikan kapas. Dan dalam sekejap mata,
Rangga sudah berada di atap. Matanya yang tajam bagai mata elang, masih sempat
melihat bayangan putih meluruk ke balik tembok benteng bagian belakang.
Rangga langsung mengejar. Diyakini kalau bayangan putih itu adalah Wiratma atau Gagak Item. Tidak ada yang mengetahui, ke
mana Rangga pergi. Hanya
Prabu Bantar Kencana dan Paman Nara Soma saja
yang sempat bisa melihat kepergian Rangga. Sementa-ra pertempuran sudah
berhenti. Sisa-sisa orang yang merebut Kerajaan Bantar segera meletakkan
senjata. Mereka merasa kalau pemimpinnya sudah melarikan
diri, jadi tak ada gunanya melawan lagi.
"Di mana Rangga, Paman?" tanya Raden Sanjaya.
Keringat masih mengucur deras di sekujur tubuhnya.
"Dia sudah pergi," sahut Paman Nara Soma.
"Pergi" Ke mana?" desak Raden Sanjaya.
"Mengejar Gagak Item, ke arah sana!" Paman Nara
Soma menunjuk benteng bagian belakang, ke arah
Rangga mengejar bayangan putih.
Raden Sanjaya langsung melompat ke arah yang ditunjuk Paman Nara Soma. Panglima Gadalarang juga
segera melompat mengejar.
"Sanjaya, tunggu!" teriak Putri Kencana Wungu.
"Kencana Wungu...!" Prabu Bantar Kencana terkejut
melihat putrinya sudah melompat mengejar adiknya
dan Panglima Gadalarang.
Tapi, Putri Kencana Wungu cepat menghilang di balik tembok. Prabu Bantar Kencana memerintahkan


Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman Nara Soma untuk mengejar sambil membawa
beberapa prajurit, tapi dicegah dua orang patih perang dari Magada. Mereka
kemudian mengikuti, disertai tidak kurang dari lima puluh orang prajurit
*** 7 Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bagai seekor burung
yang terbang dari puncak pohon yang satu ke puncak pohon lainnya. Tatapannya
tajam mengamati ke bawah, ke arah bayangan putih yang terlihat berkelebat dari
balik pohon yang lebat. Menyadari kalau begini terus akan kehilangan jejak,
Rangga segera mengempos tenaganya dan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai titik kesempurnaan.
Bagaikan seekor rajawali hendak menyambar mangsa, tubuh Pendekar Rajawali Sakti menukik deras ke arah bayangan putih di bawah.
Saat ini Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tidak dapat dibayangkan, betapa terkejutnya si Gagak Item atau Wiratma
alias Gusti Pragala begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri menghadangnya. "Cukup, Wiratma! Perbuatanmu sudah melampaui
batas!" sentak Rangga menggeram.
"He he he.... Ada ular mencari penggebuk rupanya,"
Wiratma hanya tertawa terkekeh.
"Ya! Ular itu adalah kau!"
Merah padam wajah Wiratma. Maka seketika segera
dibukanya jurus mautnya. Dia sadar, siapa yang bera-da di depannya sekarang.
Seorang pendekar muda
yang pernah bertarung dengannya, dan membuntungi
tangannya. Wiratma tidak mau memandang remeh.
Baginya, kehilangan satu tangan sudah cukup sebagai peringatan keras.
Rangga yang sudah muak oleh tingkah polah Wiratma, tidak mau tanggung-tanggung. Segera dikeluarkannya senjata pusakanya.
Maka, seketika itu juga
keremangan di dalam hutan jadi berubah terang benderang oleh sinar biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti.
Meskipun sudah pernah melihat pedang itu, tapi
Wiratma masih terkejut melihat kedahsyatan pamornya. Kakinya melangkah mundur satu tindak, dan
bergeser ke kiri. Tatapannya tajam memandang ke
ujung pedang yang memancarkan sinar biru berkilauan. "Lihat pedang!" teriak Rangga tiba-tiba.
Bersamaan bentakan itu, tubuh Rangga berkelebat
cepat seraya mengibaskan pedangnya ke arah dada
lawan. Wiratma langsung melompat, menghindari tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Langsung dibalas serangan itu dengan
menusukkan goloknya yang
bergerigi ke arah lambung Rangga. Tapi dengan manis sekali Rangga berhasil
mengelakkannya.
Pertarungan terus berlangsung begitu cepat. Masing-masing saling menyerang dan menghindari. Dalam waktu tidak berapa lama, mereka sudah menghabiskan sekitar delapan jurus. Dan ini sangat disadari Rangga, kalau Wiratma
bukanlah lawan enteng. Dia tidak tahu kalau Wiratma bertarung sangat hati-hati
dan selalu menghindari bentrokan senjata secara langsung.
Setelah pertarungan berjalan lebih dari lima belas jurus, Rangga mulai tampak
senang. Karena Wiratma
harus selalu berkelit dan berusaha untuk tidak ber-benturan senjata. Maka
serangannya makin diperhebat dengan jurus-jurus andalan. Hingga beberapa kali
Wiratma harus jungkir balik menghindari setiap kibasan pedang.
Satu saat, Rangga melenting tinggi ke udara. Kemudian dengan cepat sekali tubuhnya menukik tajam
dengan ujung pedang lurus mengarah ke kepala lawan.
Wiratma melompat ke kanan, sambil merundukkan
kepalanya. Tapi tidak diduga sama sekali, pedang Pendekar Rajawali Sakti
berbalik arah begitu cepat ke arah pinggang.
"Ikh!" Wiratma memekik tertahan, dan buru-buru
membanting tubuh ke tanah.
Belum lagi tubuhnya menyentuh tanah, mendadak
kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun deras. Wiratma tidak sanggup lagi
menghindar. Tendangannya yang
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu langsung menghantam iganya.
Wiratma mengeluh pendek
begitu terasa kalau tulang-tulang iganya seperti patah.
"Setan!" dengus Wiratma menggeram.
"Mampus kau, Wiratma!" bentak Rangga keras.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan
pedangnya ke arah leher. Kali ini, Wiratma yang keseimbangan tubuhnya belum
penuh, tidak punya pilihan lain. Segera senjatanya diangkat untuk memapak pedang
lawan. Tring! Dua senjata pusaka beradu keras, sehingga menimbulkan pijaran bunga api memercik ke segala arah. Wiratma langsung memutar
senjatanya. Tapi Rangga malah cepat membalikkan pedangnya sehingga masuk ke
dalam gerigi tajam golok Wiratma.
"Hih!" Wiratma berusaha menarik senjatanya.
Tapi usaha Wiratma sia-sia. Ternyata Rangga sudah
lebih dulu mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Dengan demikian, kedua pedang pusaka itu menempel
erat bagai terpatri. Wiratma melepaskan genggamannya pada tangkai senjatanya, namun kontan terkejut.
Ternyata telapak tangannya menempel erat pada tangkai senjatanya sendiri. Sekuat
tenaga dia berusaha
menarik tangannya yang terpatri erat pada tangkai
senjatanya sendiri. Tapi semakin kuat mengerahkan
tenaga, semakin terasa kalau tenaganya tersedot.
Sinar biru dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti mulai bergulung-gulung bergumpal
jadi satu dan merayap
mendekati tangan Wiratma yang menempel erat pada
tangkai senjatanya sendiri. Hal ini membuat Wiratma semakin melebarkan kelopak
mata. Seluruh paras wajahnya menegang dan memucat. Apa yang dikhawatirkan jadi kenyataan. Semua yang dimiliki telah dikeluarkan, tapi tak mampu
membendung arus aji 'Cakra Buana Sukma'.
Rangga menoleh ketika mendengar langkah-langkah
kaki mendekati. Dari balik pepohonan, muncul Raden Sanjaya diikuti Panglima
Gadalarang. Lalu, tidak lama kemudian para prajurit kerajaan Magada dipimpin dua
orang patih perangnya juga muncul. Terakhir kali, datang Putri Kencana Wungu.
"Kakang Rangga...!" panggil Putri Kencana Wungu
keras. "Jangan dekat!" sentak Rangga melihat gadis itu
melangkah mendekati.
"Kakang, hentikan. Biar kami yang mengadili orang
ini," kata Putri Kencana Wungu.
Rangga menahan arus aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sinar biru yang sudah menggulung seluruh tangan Wiratma jadi terhenti
gerakannya. Tapi laki-laki bertangan satu itu tetap tak mampu berbuat apa-apa.
Seluruh tenaganya terkuras habis. Hanya dari kekuatan aji
'Cakra Buana Sukma' yang membuatnya masih mampu berdiri. Wiratma memandang orang-orang yang sudah mengepung di sekelilingnya. Perlahan-lahan, Putri Kencana Wungu melangkah
mendekati. Raden Sanjaya juga ikut mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan dekat, Kencana Wungu. Kau bisa celaka
nanti!" Rangga memperingatkan.
"Hentikan, Kakang. Tidak ada gunanya membunuh
orang itu," kata Putri Kencana Wungu. Suaranya begi-tu memelas.
"Dia sangat berbahaya. Tidak pantas hidup lebih
lama lagi!" sahut Rangga dingin.
"Kencana Wungu...," Raden Sanjaya menahan tangan gadis itu.
Melihat sinar mata Putri Kencana Wungu yang begitu mengharap, Rangga jadi ragu-ragu. Dipandangnya
Raden Sanjaya yang menatap Wiratma dengan sinar
penuh kebencian. Memang, kakak beradik ini sangat
berbeda sekali sifatnya. Putri Kencana Wungu mendalami segi hukum dan
pemerintahan, sedangkan Raden
Sanjaya lebih senang menggeluti ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian.
Rangga kemudian melepaskan aji 'Cakra Buana
Sukma'. Maka seketika tubuh Wiratma jatuh ke tanah.
Dan bersamaan dengan itu, Raden Sanjaya melompat
cepat sambil mengibaskan pedangnya ke leher Wiratma. Tanpa dapat dicegah lagi, mata pedang Raden
Sanjaya memenggal leher Wiratma yang sudah tak
berdaya lagi. Kepala Wiratma kontan menggelinding
bersamaan dengan ambruknya tubuh yang hanya memiliki satu lengan itu.
"Sanjaya!" pekik Putri Kencana Wungu keras.
Raden Sanjaya berdiri tegak dengan pedang berlumuran darah di dekat tubuh Wiratma yang sudah tak
bernyawa lagi. Pemuda itu menatap Putri Kencana Wungu tajam. Sementara para
prajurit yang mengepung
memasukkan senjatanya kembali ke dalam sarungnya.
"Terlalu! Kau membunuh orang yang sudah tidak
berdaya!" dengus Putri Kencana Wungu.
"Dia tidak pantas hidup, Kencana Wungu. Untuk
apa harus diadili" Toh, akhirnya juga harus mati di tangan algojo!" Raden
Sanjaya balas menggeram.
"Tapi bukan begitu caranya, Sanjaya! Ingat! Kau
seorang putra mahkota, yang harus bertindak adil dan berpikir lebih dulu sebelum
mengambil tindakan!"
"Dia sudah mati. Tidak ada gunanya diributkan!"
Raden Sanjaya tidak ingin memperpanjang persoalan.
"Sikapmu seperti bukan seorang putra mahkota saja!" gerutu Putri Kencana Wungu.
Raden Sanjaya hanya tersenyum tipis dan melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit pun tidak mempedulikan ocehan
kakaknya. "Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa padamu,"
kata Raden Sanjaya pelan.
Rangga hanya tersenyum.
"Silakan mampir ke istana, Rangga," pinta Raden
Sanjaya ingin menjamu Rangga. "Ayahanda sangat
berterima kasih atas bantuanmu ini."
"Aku ada janji, Sanjaya. Seseorang telah menungguku di Lembah Naga," tolak Rangga halus.
"Di Lembah Naga" Tempat yang sangat sulit dicapai?" tanya Raden Sanjaya heran. "Untuk apa kau ke sana?"
"Memenuhi tantangan seseorang."
Dan tanpa diduga sama sekali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah mencelat ke atas, lalu hilang tanpa diketahui ke mana
perginya. Tentu saja semua orang yang ada di situ jadi terperangah keheranan.
Termasuk, Raden Sanjaya, Putri Kencana Wungu, dan Panglima Gadalarang. Mereka jadi celingukan mencari-cari Rangga.
"Aku tidak yakin kalau dia manusia biasa," gumam
Raden Sanjaya pelan.
"Barangkali titisan dewa yang memberantas kejahatan di muka bumi ini," sambung Panglima Gadalarang.
"Mungkin juga," desah Raden Sanjaya.
*** Ke mana sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti pergi"
Memang sudah jadi kebiasaannya, setiap kali menyelesaikan satu masalah, selalu
menghilang begitu saja.
Jarang sekali mau berlama-lama kalau tidak ada kepentingan mendesak. Ya..., kali ini Rangga si Pendekar Rajawali Sakti harus
memenuhi janjinya pada Bayangan Putih untuk bertarung. Sebuah perjanjian gila
penuh maut mempertaruhkan nyawa.
Sebenarnya Rangga enggan bertarung dengan sesama pendekar dalam satu golongan. Tapi karena
Bayangan Putih memaksa, apa boleh buat. Perjanjian itu harus dipenuhinya. Bukan
untuk mencari orang
yang pantas disebut pendekar nomor satu, tapi hanya ingin memenuhi janji sebagai
pendekar sejati!
Rangga terus mengerahkan ilmu lari cepat menuju
ke Lembah Naga, tempat perjanjian itu akan berlangsung. Puncak Bukit Naga yang
membelakangi Lembah
Naga sudah kelihatan dari tempat Rangga berlari. Begitu cepat dan sempurna ilmu
meringankan tubuh yang
dimilikinya, sehingga yang tampak hanyalah sekelebatan bayangan putih meluncur
dari balik pohon yang
satu ke pohon lainnya.
Mendadak Rangga berhenti berlari ketika tiba-tiba
sebuah bayangan biru berkelebat cepat memotong di
depannya. Tubuhnya melenting ke udara dan berputaran dua kali, sebelum kakinya menjejakkan tanah ringan tanpa suara.
"Pandan...!" seru Rangga terkejut begitu melihat di
depannya berdiri seorang gadis cantik berpakaian ketat serba biru.
Gadis itu tersenyum manis. Wajahnya mencerminkan kecerahan bisa bertemu lagi dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya terayun
gemulai mendekati pemuda itu. Bibirnya yang selalu merah basah, terus
menyunggingkan senyum manis.
"Bagaimana kabarmu, Kakang?" sapa Pandan Wangi lembut. "Baik," sahut Rangga singkat.
Pendekar Rajawali Sakti masih terpana setengah tidak percaya bisa bertemu kekasihnya lagi.
"Kapan kau berangkat dari Karang Setra?" tanya
Rangga. "Belum lama. Baru seminggu," sahut Pandan Wangi, lembut suaranya.
Rangga mengalihkan pandangannya ke Bukit Naga,
kemudian kepalanya menengadahkan ke langit. Bulan
terlihat hampir penuh. Besok malam, bulan purnama
penuh. Dan itu berarti harus sudah berada di Lembah Naga yang berada di Lereng
Bukit Naga untuk memenuhi perjanjiannya dengan si Bayangan Putih.
"Kau tampak terburu-buru sekali. Ada yang dikejar?" tanya Pandan Wangi tanpa mengalihkan perhatian pada wajah tampan di depannya.
"Tidak," sahut Rangga. Pandangan tetap ke arah
Bukit Naga. "Ada apa di bukit itu?" tanya Pandan Wangi, juga
menatap ke arah Bukit Naga.
"Seseorang menungguku di sana," pelan suara
Rangga. "Seseorang" Siapa?"
"Bayangan Putih."
"Bayangan Putih" Untuk apa dia menunggumu di
sana?" Rangga mengalihkan tatapan pada gadis di depannya. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Perlahan-lahan diceritakannya
pertemuannya dengan


Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayangan Putih. Juga, mengenai perjanjian gila yang terpaksa disetujui.
Pandan Wangi menatap Pendekar Rajawali Sakti setengah tidak percaya. Dia tahu, siapa Bayangan Putih yang merupakan seorang
tokoh sakti beraliran putih pilih tanding. Rasanya tidak masuk akal kalau
Bayangan Putih menantang Pendekar Rajawali Sakti, yang
sudah jelas satu aliran.
"Sebenarnya aku tidak ingin bertarung sesama pendekar golongan putih," kata Rangga setelah lama terdiam. Suaranya terdengar
pelan penuh penyesalan.
"Aku tahu, Bayangan Putih memang keras. Kau tidak perlu menyesali perjanjian itu," kata Pandan Wangi mencoba menasihati.
Rangga tersenyum tipis. Kakinya terayun, kembali
melangkah menuju Bukit Naga yang dikelilingi lembah besar dan dalam. Pandan
Wangi bergegas mengikuti di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka terus berjalan tanpa banyak bicara. Masingmasing sibuk dengan pikirannya. Mereka berjalan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga
dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan
tempat pertemuan tadi. Mereka berhenti berjalan setelah dekat dengan Lembah
Naga. Di depan tampak terhampar padang rumput yang luas, berlatar belakang
bukit terselimut kabut tebal.
"Di sana kau akan menghadapi Bayangan Putih,
Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Benar," sahut Rangga singkat. Matanya tetap lurus memandang hamparan padang
rumput yang luas bagai permadani. "Aku tidak melihat seorang pun di sini. Barangkali si Bayangan Putih belum
datang," Pandan Wangi sedikit bergumam.
Rangga hanya tersenyum saja. Tubuhnya dihenyakkan, bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar dan melindungi dari hempasan angin lembah yang dingin dan kencang. Pandan
Wangi ikut duduk di
samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada yang mendengar tentang perjanjian itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," sahut Rangga
ragu-ragu. "Kalau begitu, sebaiknya aku tidak menampakkan
diri," kata Pandan Wangi.
"Tidak perlu. Bayangan Putih pasti akan memilihmu
sebagai saksi."
"Kalau dia tidak ingin ada orang lain yang menyaksikan?" "Apa boleh buat, kau harus pergi."
"Heh...," Pandan Wangi mengeluh panjang.
"Jangan khawatir. Aku yang akan memintamu untuk jadi saksi nanti." Rangga tahu, gadis ini kecewa.
"Sungguh?" senang sekali Pandan Wangi mendengarnya. Dia memang tertarik untuk menyaksikan pertarungan tingkat tinggi,
walaupun sudah malang melintang dalam rimba persilatan bersama Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan ikut pula
melatih ilmu olah kanuragan bagi prajurit-prajurit Karang Setra.
Pertarungan dua pendekar sakti tentu akan menarik sekali, karena masing-masing pasti tidak ada yang mau mengalah. Pertarungan
juga bisa berjalan panjang kalau dimulai dari jurus-jurus dasar.
Sementara malam merayap larut. Udara pun bertambah dingin membekukan tulang. Rangga menggeser tubuhnya agak rebah. Dipergunakannya ilmu pelepas jiwa untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku.
Sebentar kemudian, dia duduk bersila, kedua telapak tangannya diletakkan di
lutut. Kelopak matanya terpejam rapat. Pandan Wangi tahu, kekasihnya tengah
menjalankan semadi untuk menenangkan diri. Suatu
cara yang khas seorang pendekar dalam beristirahat.
Semadi lebih utama daripada tidur. Dalam semadi,
kewaspadaan masih bisa terjaga penuh. Lain halnya
kalau tidur. Seluruh panca indera tertutup, dan sudah pasti kewaspadaan jadi
hilang. "Aku akan melihat-lihat keadaan sebentar," gumam
Pandan Wangi seraya bangkit berdiri.
"Hm...," Rangga hanya bergumam saja.
Pandan Wangi mengayunkan langkah pelan-pelan,
tidak ingin mengganggu semadi Rangga. Sesaat Rangga membuka kelopak matanya sedikit, dan tersenyum
melihat Pandan Wangi berjalan mengelilingi lembah
yang sangat luas itu. Kemudian kelopak matanya ditutup, kembali bersemadi
menyatukan jiwa dengan alam sekitar. Tapi kewaspadaan dirinya tidak berkurang
terhadap segala kemungkinan.
*** 8 Hari masih terlalu pagi. Matahari baru saja mengintip dari balik Bukit Naga. Di
tengah-tengah Lembah Naga tampak berdiri seorang laki-laki berpakaian ketat
serba putih, membentuk tubuhnya yang tegap. Pandangannya lurus ke puncak bukit.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu si Bayangan Putih sudah ada di
Lembah Naga ini.
Rangga bangkit dari duduknya setelah semalam
bersemadi. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam,
menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Kemudian kakinya melangkah pelan-pelan menghampiri si
Bayangan Putih. Mendengar suara langkah mendekati, Bayangan Putih membalikkan
tubuhnya. Rangga terus
melangkah, dan berhenti setelah jaraknya dari Bayangan Putih tinggal tiga
langkah. Mereka kini berdiri berhadapan.
"Kau bawa teman, Pendekar Rajawali Sakti?" pelan
suara Bayangan Putih menyapa.
"Untuk saksi," sahut Rangga.
"Bagus! Aku juga sudah berpikir untuk mengambil
saksi, tapi tidak mendapatkan seorang pun yang pantas," sambut Bayangan Putih.
Rangga melirik Pandan Wangi yang berdiri mengawasi dari jarak cukup jauh. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dan menganggukkan
kepala sedikit. Pandan Wangi membalas anggukkan kepala, dan mengambil
tempat duduk di bawah pohon.
"Jauh-jauh aku datang dari timur, hanya untuk
bertemu denganmu. Bagaimana" Kau punya tambahan
usul?" Bayangan Putih memberi kesempatan.
"Tidak," sahut Rangga cepat-cepat dan tegas.
"Kalau begitu, aku akan mengusulkan."
"Silakan. Apa usulmu?"
"Kita saling uji, dan langsung pada jurus andalan
dan ilmu kesaktian tingkat tinggi. Tidak perlu basa-basi, tidak perlu sungkan
dan tidak ada rasa belas ka-sihan. Kita bertarung seperti layaknya dua orang
ber-musuhan. Bagaimana?"
"Boleh," Rangga setuju.
Dia memang tidak ingin mengemukakan sesuatu
yang bisa disalah-artikan. Pendekar Rajawali Sakti harus menjaga agar tetap
tidak terjadi permusuhan sung-guhan, yang nantinya bisa berakibat buruk.
"Bagus! Kalau begitu, kita bertarung sampai salah
satu di antara kita ada yang tewas!"
Rangga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka
kalau Bayangan Putih menginginkan hal itu. Mana
mungkin Pendekar Rajawali Sakti tega membunuh
Bayangan Putih" Pantang bagi Rangga untuk mencelakakan sesama pendekar golongan putih, apa lagi sampai membunuhnya. Tapi semua
sudah terlambat. Usul
yang dikatakan Bayangan Putih sudah disetujui. Pantang bagi seorang pendekar
menjilat ludah yang telah dimuntahkan.
"Kau kelihatan tidak setuju, Rajawali Sakti...?"
Bayangan Putih menatap tajam pada bola mata Rangga. "Tidak. Apa pun yang kau katakan, aku tetap se tu-ju!" tegas suara Rangga.
"Bagus! Kau memang seorang pendekar sejati. Aku
senang bisa berkenalan denganmu. Mati pun aku tidak akan menyesal. Apalagi, mati
di tangan seorang pendekar sejati!" Bayangan Putih tersenyum lebar.
Rangga memiringkan kepala sedikit, dan seketika
matanya agak menyipit. Tiba-tiba saja terdengar sesuatu yang aneh. Dan apa yang
didengar Rangga rupanya juga didengar si Bayangan Putih pula.
"Hm.... Ada tamu tak diundang," gumam Rangga.
Serentak mereka menoleh ketika gerumbul semak
bergoyang. Belum lagi dua pendekar itu bergerak, tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat cepat di atas kepala.
Tahu-tahu, Pandan Wangi sudah berdiri menghadang
di gerumbul semak itu.
"Tahan...!" terdengar bentakan keras, disusul munculnya seorang pemuda tampan dan gadis cantik dari dalam semak belukar itu.
"Raden Sanjaya..., Putri Kencana Wungu!" desis
Rangga langsung menghampiri.
Memang, yang datang adalah Raden Sanjaya dan
Putri Kencana Wungu.
Sementara itu Bayangan putih juga ikut menghampiri. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Pandan Wangi memasukkan lagi kipas
mautnya ke balik ikat pinggang.
"Untuk apa kalian datang ke sini?" tanya Rangga.
"Aku ingin jadi saksi pertarungan kalian," sahut Putri Kencana Wungu gembira.
"Bagus!" sambut Bayangan Putih gembira. "Makin
banyak saksi, makin bagus!"
"Aku tidak akan mencampuri urusan kalian, hanya
ingin menyaksikan siapa di antara kalian yang memang pantas disebut pendekar nomor satu," lanjut
Raden Sanjaya. Rangga tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka memang mengetahui tentang pertarungan itu. Dan
Bayangan Putih rupanya mengizinkan mereka untuk
menyaksikan. Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat pundaknya, dan kembali ke tengah-tengah
lembah, tempat pertarungan itu akan dilaksanakan.
Rangga duduk bersila. Perlahan-lahan matanya terpejam. Syarat yang diajukan Bayangan Putih membuatnya gelisah. Maka, dia ingin menenangkan diri
dengan bersemadi, memohon petunjuk Sang Dewata
Agung. Meminta keselamatan dirinya dan si Bayangan Putih.
*** Malam telah larut. Kegelapan menyelimuti sekitar
Lembah Naga. Sinar bulan yang keemasan, memancar
penuh di langit. Wajahnya yang bulat bersinar, tampak redup. Seolah-olah
menyayangkan adanya pertarungan dua pendekar di Lembah Naga. Suasananya sungguh
mencekam. Bahkan angin seperti tak berhembus. Semua binatang malam seperti turut gelisah menyaksikan jalannya pertempuran. Sekeliling lembah seperti dirundung nestapa. Sunyi,
bagai tak berpenghuni.
Dua pendekar pilih tanding sudah saling berhadapan di tengah-tengah Lembah Naga ini. Mereka menanti saat-saat yang tepat di tengah malam, saat bulan berada di atas kepala.
Sedangkan agak jauh, nampak berdiri beberapa orang mengawasi. Semua yang ada di
lembah ini ikut merasakan kegelisahan. Sulit bagi mereka untuk menentukan, siapa
di antara dua pendekar itu yang akan unggul. Kedua pendekar itu sama-sama sakti
dan digdaya. "Kau gelisah, Pendekar Rajawali Sakti?" Bayangan
Putih memecah kesunyian.
"Tidak," sahut Rangga tegas.
"Masih ada waktu untuk memilih."
"Pantang bagiku mundur sebelum bertarung."
"Bagus! Kalau begitu bersiaplah, Rajawali Sakti,"
Bayangan Putih tersenyum sinis.
"Silakan, kuberi kau kesempatan lebih dulu," kata
Pendekar Rajawali Sakti.
"Tahan seranganku sampai sepuluh jurus, Rajawali
Sakti." "Silakan!"
Bayangan Putih mendongakkan kepala ke atas, memandang bulan yang berada tepat di atas kepala. Kemudian kakinya merenggang,
memasang kuda-kuda
untuk memulai jurus pertama. Rangga juga sudah
bersiap-siap menerima serangan dari si Bayangan Putih. "Tahan serangan,
yeaaah...!" Bayangan Putih berteriak nyaring membelah keheningan.
Bersamaan dengan itu, tubuh Bayangan Putih mencelat cepat bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya. Langsung diserangnya
Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus tangan kosong yang cepat dan
berbahaya. Begitu cepat jurus-jurus yang dimainkannya, sehingga yang tampak
hanyalah kelebatan bayangan
putih. "Hm...," Rangga bergumam kecil.
Pukulan-pukulan yang dilepaskan Bayangan Putih
sungguh dahsyat. Angin pukulannya saja mampu
menghancurkan pohon besar, dan meluluhkan batu
sebesar kerbau. Begitu cepatnya pertarungan berjalan, sehingga lima jurus sudah
terlewati. Dan Rangga memang tidak mau membalas sebelum Bayangan Putih
mencapai sepuluh jurus. Pendekar Rajawali Sakti
hanya menangkis dan berkelit. Dan memang, belum
ada satu pukulan pun yang berhasil disarangkan
Bayangan Putih ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Cukup!" sentak Rangga tiba-tiba.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat keluar
dari arena pertarungan. Bayangan Putih juga menghentikan serangannya. Jelas sekali kalau paras wajahnya memerah. Sudah sepuluh
jurus Bayangan Putih
menyerang, tapi tidak satu pukulan pun yang mengenai sasaran. Sedangkan sekitar lembah ini sudah porak-poranda akibat pertarungan
yang baru berlangsung sepuluh jurus.
"Kau hebat, Rajawali Sakti. Sepuluh jurus sudah
kumainkan, dan satu pun tidak kau balas seranganku," kata Bayangan Putih memuji tulus.
"Aku memberi kesempatan padamu lima jurus lagi,
Bayangan Putih," kata Rangga kalem.
"Tidak! Kini kau yang menyerang. Kuberi kesempatan dua puluh jurus!" balas Bayangan Putih.
"Baiklah. Dalam lima jurus kau tidak bisa kujatuhkan, aku mengaku kalah!" sahut Rangga.
"Silakan mulai, Rajawali Sakti!"
"Bersiaplah!"
Rangga membuka jurus pertama dari lima rangkai
jurus 'Rajawali Sakti'. Dia juga membuka jurus 'Cakar Rajawali' tahap yang
pertama. "Lihat tangan!" teriak Rangga sambil menerjang.
"Uts!"
Bayangan Putih kaget menerima serangan begitu
dahsyat dari Pendekar Rajawali Sakti. Cepat tubuhnya berkelit dan membuang diri
ke samping. Tapi belum


Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga tubuhnya sempurna, serangan sudah cepat datang lagi. Bayangan Putih terpaksa berlompatan jungkir balik menghindari setiap
serangan jurus 'Cakar Rajawali' yang dahsyat dan bertahap.
"Jurus kedua!" teriak Rangga.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Sakti Membelah Mega'.
Kedua tangannya terkembang lebar. Gerakan-gerakan
tangannya begitu cepat mengibas ke arah bagianbagian tubuh Bayangan Putih yang sangat mematikan.
Serangan yang digabung datang dari segala arah. Hal ini membuat Bayangan Putih
agak kewalahan, karena
serangan Rangga sulit diduga arahnya. Kadang-kadang berada di bawah, dan sekejap
kemudian berpindah
menyerang dari atas.
Dua jurus berlalu, tapi Bayangan Putih masih sanggup menandingi. Sampai pada tahapan terakhir dari
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Bayangan Putih masih mampu bertahan. Rangga tersenyum juga
melihat Bayangan Putih mampu bertahan menghadapi
dua dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'!
"Jurus ketiga!" seru Rangga langsung mengubah jurusnya. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat tinggi ke udara. Langsung
dikeluarkannya jurus 'Rajawali Sakti Menukik Menyambar Mangsa', jurus lanjutan dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua kakinya bergerak cepat
sambil menukik tajam ke arah kepala Bayangan Putih.
Wut, wut! "Ikh!"
Bayangan Putih langsung menjatuhkan diri ke tanah, menghindari kepalanya dari telapak kaki Rangga.
Dan begitu melompat bangkit, Rangga sudah memberi
sodokan tangan kanan ke arah perut. Bayangan Putih kontan melotot. Buru-buru
tangannya dikibaskan untuk menangkis sodokan yang cepat itu.
Trak! Dua tangan beradu keras di depan perut Bayangan
Putih. Seketika Bayangan Putih meringis. Pergelangan tangannya kontan terasa
kesemutan waktu beradu ta-di. Dia langsung melompat mundur sambil meringis.
Rangga berdiri tegak, tidak melanjutkan serangannya. Dia tahu, Bayangan Putih sedang merasakan sakit pada pergelangan tangannya. Ditunggunya sampai Bayangan Putih kembali siap
menerima serangan kembali. Sebenarnya kalau Rangga mau, bisa saja mencecar. Yang
kemungkinan Bayangan Putih akan jatuh
pada jurus ke tiga. Tapi, jiwa kependekaran yang dimiliki Rangga tidak
mengizinkan menyerang lawan yang belum siap.
"Bagaimana?" tanya Rangga.
"Kau hebat, Rajawali Sakti. Dalam tiga jurus, kau
mampu membuatku goyah. Tapi itu bukan berati kau
sudah menang!" sahut Bayangan Putih sedikit mendengus. "Masih dua jurus lagi, Bayangan Putih," Rangga menawarkan. "Hm.... Kau masih merasa sungkan rupanya," gumam Bayangan Putih kurang senang.
Rangga hanya tersenyum, kemudian bersiap-siap
mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali',
jurus keempat dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan jurusnya
dikerahkan pada tahap terakhir.
Begitu jurus itu dikerahkan, mendadak kedua tangannya jadi berubah merah menyala
bagai terbakar.
Bayangan Putih mendelik melihat jurus yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan langsung
melompat mundur sambil mengangkat tangannya ke
depan. "Tunggu!" sentak Bayangan Putih keras.
"Hm..., ada apa?" tanya Rangga.
"Belum saatnya mengeluarkan ilmu kesaktian, Rajawali Sakti!"
"Ini pengaruh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tidak ada unsur kesaktian dalam jurus ini.
Kau akan merasakannya nanti setelah bertarung,
Bayangan Putih," jelas Rangga.
"Hm...," Bayangan Putih menyipitkan matanya.
Rangga menggerak-gerakkan tangan, kaku, dan tubuhnya memamerkan gerakan dari jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'. Melihat gerakan-gerakan itu, Bayangan Putih baru percaya
kalau Rangga memang
belum mengerahkan ilmu kesaktian.
"Bagaimana?" tanya Rangga.
"Teruskan!"
*** "Tahan seranganku, Bayangan Putih!" seru Rangga.
Begitu selesai berkata, Pendekar Rajawali Sakti cepat melontarkan pukulan ke
arah dada. Bayangan Putih memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga sama sekali, tangan kanan
Rangga berputar menyampok ke pinggang. Bayangan Putih memekik tertahan,
dan buru-buru melompat mundur. Dua serangan yang
begitu cepat dan berantai, gagal. Namun, Bayangan
Putih sempat merasakan angin pukulan yang panas
menyengat. Rangga terus melompat memberi serangan-serangan beruntun. Cahaya merah berkelebat mengurung tubuh Bayangan Putih. Udara dingin di sekitar lembah ini berubah panas,
akibat pengaruh jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dikeluarkan Rangga.
Semakin lama, udara di sekitar pertarungan makin
menyengat. Bayangan Putih merasakan dadanya sesak, dan kulitnya seperti terbakar. Begitu perih dan menyakitkan!
"Awas kepala!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring.
Secepat kilat Bayangan Putih merunduk, begitu
tangan kiri Rangga melayang ke arah kepala. Namun rupanya itu hanya tipuan saja,
karena tangan kiri
Rangga cepat berbalik arah menuju dada. Bayangan
Putih terkejut, buru-buru tubuhnya ditarik ke belakang. Dan pada saat itu,
Rangga mengibaskan kakinya cepat, menyampok kaki Bayangan Putih.
"Ikh!" seru Bayangan Putih melompat.
Tiba-tiba tangan kanan Rangga melayang deras ke
arah perut. Dan tanpa dapat dicegah lagi, pukulan
maut itu bersarang di perut Bayangan Putih. Maka,
kontan tubuh laki-laki berpakaian serba putih itu terguling.
Rangga berdiri tegak menanti Bayangan Putih bangkit. Namun, Bayangan Putih terus menggeletak. Setelah agak lama, baru dia
bangkit perlahan-lahan Tampak pada bagian dada dan perutnya tergambar tapak
tangan berwarna merah bagai terbakar.
"Ugh! Hebat! Hebat kau, Rajawali Sakti," suara
Bayangan Putih tersengal.
"Maaf. Apakah kau merasakan sesuatu di perut?"
tanya Rangga. "Hanya panas. Ugh!" sahut Bayangan Putih.
"Bersemadilah dulu barang sebentar," kata Rangga
mendekati. Bayangan Putih duduk bersila. Kedua telapak tangannya segera dirapatkan di depan dada. Kedua kelopak matanya terpejam rapat.
Rangga menempelkan
tangannya ke perut yang tergambar telapak tangan
yang bersarang akibat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'! Asap tipis kemerahan
mengepul dari telapak tangan yang menempel di perut. Bayangan Putih meringis,
lalu membuka matanya perlahan-lahan.
Rangga melepaskan tangannya setelah warna merah di perut itu hilang tak berbekas. Peluh mengucur deras di wajah Bayangan
Putih. Sementara Pendekar
Rajawali Sakti sudah duduk bersila di depannya. Dibiarkannya Bayangan Putih
memulihkan tenaganya
dulu. "Ugh! Aku mengaku kalah, Rajawali Sakti," kata
Bayangan Putih pelan. "Kau mampu menjatuhkanku
dalam empat jurus. Aku berani bertaruh, kalau pertarungan ini dilanjutkan aku
akan mati di tanganmu."
"Kita belum mencapai pada ilmu kesaktian, Bayangan Putih," Rangga seolah-olah mengingatkan kesombongan Bayangan Putih.
"Tidak! Aku tidak akan mampu menandingi aji 'Cakra Buana Sukma' milikmu, Rajawali Sakti. Apalagi, Pedang Rajawalimu itu!" sahut
Bayangan Putih meng-akui kekalahannya.
Rangga bangkit berdiri, dan mengulurkan tangannya membantu Bayangan Putih berdiri. Pengaruh dari
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' belum hilang sepenuhnya di tubuhnya. Untung saja
Rangga mengerahkannya tidak penuh. Kalau saja dengan kekuatan penuh, pasti perut Bayangan Putih sudah jebol berantakan.
"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Kembali ke timur. Aku harus lebih banyak lagi
memperdalam jurus-jurusku. Kelak, aku akan menantangmu kembali, Rajawali Sakti," sahut Bayangan Putih. "Kutunggu tantanganmu,"
sahut Rangga tersenyum.
"Sampai ketemu lagi, Rajawali Sakti!"
Bayangan Putih langsung melompat dan meninggalkan lembah ini. Rangga memandangi disertai senyuman di bibir. Tubuh Bayangan
Putih hilang di balik pepohonan. Sementara itu, matahari mulai menampakkan diri
dari balik Bukit Naga yang terselimut kabut tebal. Rangga masih berdiri
mematung, memandang ke arah Bayangan Putih pergi.
Pandan Wangi menghampiri dan berdiri di samping
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Raden Sanjaya
bersama Putri Kencana Wungu juga berdiri di dekat
Rangga. Beberapa saat mereka semua terdiam, memandang ke arah lenyapnya Bayangan Putih.
"Apakah dia tidak dendam padamu, Kakang?" tanya
Pandan Wangi seraya menoleh menatap wajah tampan
di sampingnya. "Tidak," sahut Rangga tanpa menoleh sedikit pun.
"Kenapa kau tidak membunuhnya, Kakang?" celetuk Putri Kencana Wungu polos. Sejak tadi, matanya menatap Rangga dengan sinar
penuh kekaguman.
Rangga menoleh. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan. "Dia bukan orang jahat, Adikku," kata Rangga tersenyum manis. "Tapi, dia menantangmu."
"Seseorang yang menantang bertarung, belum tentu
jahat. Pertarungan bukan hanya untuk saling membunuh, tapi juga untuk saling menguji. Hanya satu yang harus kau pahami dalamdalam, Kencana Wungu. Il-mu olah kanuragan dan ilmu kesaktian bukanlah untuk membunuh, tapi untuk membela diri dari orangorang jahat," Rangga memberi petuah.
"Kakang sudi memberiku beberapa jurus, kan?"
"Tentu, Adikku," sahut Rangga.
"Sungguh" Kapan?"
"Nanti, kalau tugasku sudah selesai," sahut Rangga.
"Kapan?"
"Kencana...," Raden Sanjaya menarik tangan adiknya. Rangga tersenyum. Dia merasa Putri Kencana Wungu sungguh-sungguh ingin mempelajari beberapa jurus darinya. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat saat masih kecil dulu. Dia
juga gemar mempelajari ilmu
olah kanuragan. Dan selalu menuntut untuk diajarkan, di samping banyak membaca kitab yang menulis
tentang ilmu-ilmu olah kanuragan dan falsafah hidup.
"Maafkan kelancangan adikku, Rangga," kata Raden
Sanjaya. "Tidak apa. Aku memang berniat untuk memberikan beberapa jurus padanya," sahut Rangga.
"Hm. Kalau begitu, aku harus mempersiapkan diri
mulai sekarang," sambut Putri Kencana Wungu gembira. "O ya, bagaimana kalau kita mampir ke Istana Bantar dulu, Pandan" Sekalian
bertemu Gusti Prabu Bantar," usul Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Melihat ini semua, Raden Sanjaya dan Putri Kencana Wungu merasa sangat gembira. Mereka berhasil
mengajak kedua pendekar muda digdaya itu mengunjungi Istana Bantar.
Tepat ketika matahari berada di atas kepala tampak empat sosok bayangan berjalan
perlahan-lahan meninggalkan Lembah Naga. Rangga menggandeng tangan Pandan Wangi, sementara Raden Sanjaya berjalan beriring dengan adiknya, Putri Kencana Wungu.
Empat sosok bayangan itu semakin lama semakin
mengecil. Hingga akhirnya lenyap di kejauhan.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
PENYAMARAN RADEN SANJAYA
1 *** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** *** 4 *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** 8

Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** *** SELESAI Pendekar Pedang Sakti 7 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Puncak Kematian Cinta 1

Cari Blog Ini