Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala Bagian 1
RAHASIA GORDAPALA
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Rahasia Gordapala
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Seekor kuda hitam berpacu cepat melintasi jalan tanah berbatu. Debu mengepul
tinggi ke angkasa, menambah pengapnya udara di siang hari yang panas. Matahari
bersinar begitu terik, membuat kulit serasa bagai terbakar.
Kuda hitam itu meringkik keras dan berhenti seketika saat penunggangnya menarik
tali kekangnya kuat-kuat dan tiba-tiba sekali, tepat di saat beberapa orang
bersenjata golok terhunus bermunculan dari sisi kiri-kanan jalan yang dipenuhi
semak belukar. Ada sekitar dua puluh orang laki-laki berperawakan kasar dan
berwajah bengis menghadang perjalanan penunggang kuda itu. Golok-golok yang
tergenggam terhunus melintang di depan dada, berkilatan tertimpa cahaya matahari
yang bersinar sangat terik.
Pemuda tampan penunggang kuda hitam itu memperhatikan orang-orang yang kini
sudah cepat mengepungnya. Sinar matanya menyorot begitu tajam. Sedangkan
bibirnya yang tipis agak memerah, terkatup rapat. Tatapannya kemudian tertuju
langsung pada laki-laki bertubuh tinggi besar yang berdiri tepat satu batang
tombak di depannya.
"Siapa kalian" Mau apa kalian menghadang
jalanku?" tanya pemuda itu dingin.
"Turun dari kudamu!" laki-laki bertubuh tinggi tegap yang berbaju hitam pekat
itu malah mem-bentak kasar.
"Hm..., kenapa aku harus turun dari kuda...?"
pemuda itu seperti tidak senang mendengar
bentakan kasar tadi.
"Jangan banyak omong! Turun dari kudamu dan serahkan semua barangmu, atau kau
ingin jadi dendeng, hah..."!"
Ucapan laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan kumis tebal mehntang menghiasi
bibirnya, disambut tawa keras terbahak-bahak dari teman-temannya.
Sedangkan pemuda tampan berbaju merah muda dari bahan sutera halus itu jadi
menggumam kecil dengan mata agak menyipit. Perlahan dia turun dari kudanya, lalu
melangkah beberapa tindak ke depan.
Sikapnya begitu tenang. Bahkan bibirnya mengulas senyum manis.
"Kalian ingin merampokku" Silakan. Tidak ada yang bisa kalian rampas dariku,"
kata pemuda itu, tenang sekali suaranya.
Tanpa sedikit pun menghiraukan mereka yang mengepung dengan bersenjatakan golok
terhunus, pemuda itu terus saja melangkah tenang sambil menuntun kudanya. Sikap
tenang dan tidak peduli ini, membuat para penghadangnya jadi geram. Maka lakilaki berkumis tebal itu langsung saja melompat cepat menghadang. Seketika pemuda
tampan berbaju merah muda itu menghentikan ayunan kakinya.
"Jangan berlagak jago di depan Singo Barong, Bocah!" bentak laki-laki kekar
berkumis tebal itu geram.
"Telah kukatakan padamu, Kisanak. Tidak ada yang bisa dirampas dariku. Dan
kalian semua akan menyesal jika tidak mendengarkan kata-kataku,"
dingin sekali nada suara pemuda itu.
"Keparat..! Kau mengancam, heh..."!" gertak Singo Barong.
"Aku tidak mengancam, hanya mengingatkan saja
supaya kalian tidak menyesal nantinya."
"Setan...! Mampus kau. Hiyaaat..!"
Wuttt! Cepat sekali Singo Barong melompat sambil mengecutkan golok besarnya ke dada
pemuda tampan berbaju merah muda itu.
"Uts...!"
Tapi sedikit saja pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang, tebasan golok Singo
Barong hanya lewat sedikit di depan dadanya. Dan sebelum Singo Barong bisa
menarik kembali goloknya, tiba-tiba saja pemuda itu sudah cepat menghentakkan
kakinya ke arah perut, sambil memiringkan tubuh ke kiri.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Akh...!" Singo Barong terpekik keras agak tertahan.
Tubuh laki-laki kekar berkumis tebal itu seketika terpental sejauh dua batang
tombak ke belakang.
Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Gerakan
cepat pemuda tampan ini, tentu saja membuat yang lain jadi terkejut. Sedangkan
Singo Barong sudah bergegas bangkit berdiri. Dia menggeram dahsyat. Wajahnya
memerah menahan kemarahan yang langsung
meluap sampai ke ujung kepala.
"Serang...! Bunuh bocah setan itu...!" teriak Singo Barong lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
*** Hampir dua puluh orang bersenjata golok seketika itu juga berlompatan sambil
berteriak-teriak menyerang pemuda tampan berbaju merah muda ini.
Namun, pemuda itu tetap kelihatan tenang sambil tersenyum tipis. Dan ketika satu
orang mengibaskan goloknya dari arah samping kanan, cepat sekali tangannya
dikebutkan. Tap! "Hih!"
"Akh...!"
Sukar diikuti pandangan mata biasa. Begitu cepatnya tangan pemuda itu menangkap
pergelangan tangan penyerangnya. Bahkan langsung dibarengi satu tendangan keras
menggeledek yang
mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi.
Akibatnya, laki-laki kasar penyerangnya itu menjerit keras melengking tinggi.
Dia jatuh bergulingan di tanah, dan goloknya kini sudah berpindah ke tangan
pemuda itu. "Hiyaaat...!"
Begitu mendapat golok, pemuda tampan itu
langsung mengebutkannya sambil berputar. Tiga orang yang berada dekat dengannya
tidak bisa lagi menghindari kelebatan golok yang begitu cepat bagai kilat.
Mereka menjerit melengking tinggi begitu golok di tangan pemuda tampan itu
membabat tubuhnya.
Belum lagi hilang jeritan panjang melengking dari pendengaran, pemuda tampan itu
sudah kembali bergerak cepat sambil mengebutkan golok beberapa kali. Jeritanjeritan panjang melengking kembali terdengar saling sambut, disusul
bergelimpangannya tubuh-tubuh berlumuran darah. Sungguh menakjub-kan! Hanya
beberapa gebrakan saja, sudah lebih dari separuh yang bergelimpangan tewas
berlumuran darah. Singo Barong yang menyaksikan anak buahnya berjatuhan tanpa mampu melakukan
perlawanan berarti, langsung memucat wajahnya. Sedangkan jeritan-jeritan panjang
melengking masih terus terdengar begitu menyayat
"Gila.... Bisa habis anak buahku kalau begini...,"
desah Singo Barong dalam hati.
Memang tidak mungkin Singo Barong dan anak buahnya bisa menandingi pemuda tampan
yang bergerak begitu cepat bagai kilat. Malah, setiap gerakannya sukar sekali
diikuti pandangan mata mereka.
"Lari...!" seru Singo Barong tiba-tiba.
Cepat sekali Singo Barong melompat masuk ke dalam semak, dan menghilang
seketika. Sisa anak buahnya yang tinggal enam orang lagi langsung berlompatan
kabur begitu mendengar teriakan pemimpinnya. Sedangkan pemuda tampan ini hanya
diam saja, membiarkan pengeroyoknya yang tinggal enam orang itu kabur. Bibirnya
tampak menyungging-kan senyuman tipis. Lalu, dibuangnya golok rampasan yang
sudah berlumuran darah.
"Hhh...! Baru segitu saja sudah mau sok jago!"
dengus pemuda itu, mencibir.
Sambil merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan berlumuran darah, kakinya melangkah menghampiri kudanya di tepi
jalan. Seekor kuda hitam yang begitu gagah, berpelana perak. Tali kekangnya pun
berwarna kuning, bagai terbuat dari emas. Bagian sisi pelana itu dihiasi batubatu berwarna merah yang berkilatan indah tertimpa cahaya matahari. Kuda yang
gagah dengan pelana indah gemerlap, memang membuat siapa saja yang
melihatnya pasti ingin memiliki.
"Kau tidak apa-apa, Jaran Geni?" tanya pemuda itu sambil menepuk-nepuk leher
kudanya. Kuda hitam yang dipanggil Jaran Geni itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Kaki depan bagian kanannya dihentakkan beberapa kali ke tanah. Dari
lubang hidungnya, mengepul asap tipis agak kemerahan saat mendengus untuk
menjawab ucapan pemuda tampan ini.
"Cukup banyak orang seperti mereka, Jaran Geni.
Tapi bukan seperti itu yang kuinginkan. Orang seperti mereka hanya bikin susah
saja," kata pemuda tampan itu lagi.
Kuda hitam bernama Jaran Geni hanya mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepala, disertai kepulan asap tipis kemerahan
dari mulutnya. "Ayo, kita teruskan perjalanan ini. Kita harus segera mengumpulkan orang-orang
pilihan yang berkepandaian tinggi," kata pemuda itu lagi. "Pendekar Rajawali
Sakti.... Hm, tunggulah pembalasanku. Kau akan menyesal nanti.... Juga kalian
semua orang Karang Setra...."
Manis sekali gerakan pemuda itu saat melompat naik ke punggung kuda hitamnya.
Kemudian tali kekangnya dihentakkan perlahan. Maka Jaran Geni melangkah
perlahan-lahan melewati mayat-mayat yang bergelimpangan bersimbah darah.
Meskipun kuda itu kelihatannya berjalan biasa, tapi sebentar saja sudah jauh
meninggalkan jalan berdebu yang kini dipenuhi tubuh-tubuh tak bernyawa
bermandikan darah. Setelah pemuda penunggang kuda hitam itu tidak terlihat lagi,
dari balik semak muncul Singo Barong diikuti sisa anak buahnya yang tinggal enam
orang lagi. Rupanya, mereka belum meninggalkan
tempat itu. "Anak setan...!" desis Singo Barong menggeram sambil merayapi anak buahnya yang
bergelimpangan tak bernyawa lagi.
"Ki Singo! Sebaiknya kita laporkan saja pada Nini Naga Kembar," kata salah
seorang menyarankan.
"Nini Naga Kembar baru saja pulang. Aku tidak ingin mengganggu istirahatnya!"
dengus Singo Barong.
"Tapi bisa berbahaya buat kita semua kalau pemuda setan itu lama-lama berada di
daerah ini, Ki,"
selak laki-laki satunya lagi.
"Benar, Ki. Dia tidak boleh merajalela, dan menguasai daerah kita. Malah, bisabisa kita yang disalahkan Nini Naga Kembar kalau tidak segera melapor," sambung
satunya lagi. "Nini Naga Kembar pasti punya cara sendiri untuk menaklukkannya, Ki."
"Hm..., baiklah," ujar Singo Barong akhirnya menyetujui.
"Kita harus cepat, Ki. Sebelum anak setan itu bisa berbuat banyak."
Mereka kemudian berlompatan cepat, masuk ke dalam semak belukar yang tumbuh di
sepanjang sisi jalan ini. Sebentar saja mereka sudah menghilang, berlari-lari
masuk ke dalam lebatnya hutan yang dibelah jalan tanah agak berbatu ini. Tak ada
seorang pun yang terlihat lagi. Hanya tubuh-tubuh tak bernyawa saja yang
bergelimpangan di jalan.
*** Singo Barong terkejut ketika melihat seekor kuda hitam tertambat di depan sebuah
rumah yang berukuran sangat besar dan megah, bagai sebuah istana kecil di tengah-tengah
hutan lebat ini. Bahkan enam orang yang mengikuti di belakang juga jadi bengong
memandangi kuda hitam yang sudah
mereka kenali. Dan belum juga keterkejutan itu hilang, dari dalam rumah keluar
dua orang gadis cantik yang masing-masing menyandang pedang tersampir di
punggung. Dua gadis itu mengiringi seorang pemuda tampan berbaju merah muda.
Melihat pemuda tampan itu, Singo Barong dan enam orang anak buahnya langsung
memucat wajahnya. Seketika, tubuh mereka menggeletar bagai ter-sengat kala
berbisa. Semua orang yang ada di sekitar rumah besar dan megah itu langsung
berkumpul membentuk lingkaran, saat salah seorang gadis cantik tadi mengangkat
tangannya ke atas. Sekitar lima puluh orang yang semuanya bersenjata golok
segera membentuk lingkaran di halaman depan rumah ini. Sedangkan Singo Barong
dan enam orang anak buahnya, masih berdiri terpaku di tengah-tengah lingkaran
itu. "Kalian sudah membuatku malu di depan
junjungan kalian sendiri! Apa kalian tidak tahu, siapa yang kalian serang,
heh..."!" dingin sekali nada suara salah seorang gadis yang mengenakan baju
warna biru muda. Dialah Untari, salah satu dari gadis yang berjuluk Dewi Naga
Kembar. Singo Barong dan enam orang anak buahnya jadi tidak bisa berkata-kata lagi.
Wajah mereka semakin memucat pasi. Mereka langsung terjatuh lemas, berlutut di
tanah dengan kepala tertunduk. Sungguh mereka tidak tahu. Ternyata pemuda tampan
yang tadi diserang adalah junjungan mereka, dan penguasa dunia hitam dari
seluruh penjuru mata
angin. Sedangkan Dewi Naga Kembar merupakan salah satu pemimpin dari mata angin
kelima. "Mereka sudah berbuat kesalahan yang cukup membuat malu, Raden. Dan kesalahan
ini bisa berakibat parah jika didiamkan begitu saja," tegas gadis berbaju kuning
yang dikenal sebagai Legini, salah satu lagi dari Dewi Naga Kembar.
Memang, kedua gadis itu bukan gadis kembar.
Hanya pedang mereka saja yang kembar, dan bernama Naga Kembar. Sehingga, kedua
gadis ini dijuluki Dewi Naga Kembar. Dan keistimewaannya lagi, mereka tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.
Karena, jurus-jurus yang dimiliki selalu saling ber-kaitan. Mereka begitu kuat
jika bertarung bersama-sama, tapi juga bukan gadis lemah bila seorang diri.
Hanya saja, Pedang Naga Kembar yang tersandang, memang lebih dahsyat bila
digunakan secara bersama-sama. Karena kehebatan inilah, sehingga Dewi Naga
Kembar bisa menjadi pemimpin dari delapan penjuru mata angin kelima.
"Kami serahkan pada Raden untuk menghukumnya," kata Untari lagi.
"Mereka orang-orangmu, Untari. Biar kalian berdua saja yang menghukum. Aku sudah
malas mengotori tangan dengan darah manusia busuk seperti mereka," dingin sekali
suara pemuda tampan yang ternyata Raden Gordapala. Dia adalah seorang tokoh
hitam yang dikenal berjuluk Jago dari Alam Kubur (Baca serial Pendekar Rajawali
Sakti dalam episode
"Kuda Api Gordapala").
Untari melangkah menghampiri Singo Barong dan enam orang anak buahnya. Gadis itu
berdiri tegak di depan mereka. Tidak terlihat lagi kecantikan di wajahnya. Gadis
itu bagaikan iblis neraka yang hendak
mencabut nyawa. Singo Barong dan enam orang anak buahnya semakin menggeletar
hebat melihat keangkeran gadis ini.
"Ampunkan kami, Nini...," rintih Singo Barong.
"Kalian semua, ke sini...!" bentak Untari sambil menunjuk enam orang yang berada
di belakang Singo Barong.
Wajah mereka semakin bertambah pucat Dengan tubuh gemetar, mereka bangkit
berdiri dan melangkah maju mendekati gadis itu. Kemudian, kembali berlutut
sekitar tiga langkah di depan Untari.
"Dengar kalian semua...! Jika kalian tidak patuh dan melakukan perbuatan di luar
perintahku, akan bernasib sama dengan mereka!" lantang sekali suara Untari.
Sret! Keringat sebesar butir-butir jagung mengucur deras di tubuh enam orang itu, saat
Untari mencabut pedangnya. Dan sebelum mereka bisa membuka suara, tiba-tiba saja
Untari sudah cepat mengebutkan pedangnya.
"Hiyaaa...!"
Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Tepat ketika Untari menyarungkan
pedangnya kembali, enam orang itu sudah ambruk ke tanah dengan kepala terpisah
dari leher. Darah langsung menggenangi halaman rumah besar yang dijadikan tempat
Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jagal manusia itu. Memang dahsyat sekali pedang gadis itu. Dengan sekali tebas
saja, enam kepala seketika menggelinding!
Untari melangkah beberapa tindak mendekati Singo Barong yang semakin lemas
tubuhnya setelah melihat enam orang anak buahnya kini tak bernyawa lagi dengan
kepala terpenggal buntung. Sedangkan
semua orang yang mengelilingi tempat itu, tak ada yang berani membuka suara.
Wajah mereka memucat, melihat kekejaman yang berlangsung di depan mata. Memang, Dewi Naga
Kembar tidak segan-segan memenggal kepala anak buahnya sendiri jika berbuat
kesalahan, meskipun hanya kesalahan yang kecil sekali. Tapi tak ada seorang pun
dari mereka yang berani menentang. Karena mereka sadar, tidak mungkin bisa
menang menghadapi kedigdayaan gadis-gadis cantik ini
Sementara itu baru saja Untari akan mencabut pedangnya, tiba-tiba saja....
"Untari, tunggu...!" sentak Legini tiba-tiba.
Untari tidak jadi mencabut pedangnya. Kepalanya berpaling menatap Legini yang
masih berdiri di samping Raden Gordapala. Pemuda tampan itu tersenyum-senyum
melihat sikap Untari yang begitu tegas pada anak buahnya. Memang suatu hiburan
yang menyegarkan bagi Raden Gordapala melihat darah menyembur dari leher yang
buntung. Dan ini membuat bola matanya jadi berbinar.
"Biarkan dia hidup, Untari. Kita tidak punya lagi orang yang setia seperti dia,"
sergah Legini. "Kau dengar permintaan Nini Legini, Singo Barong...?" desis Untari dingin.
Singo Barong hanya mampu mengangguk saja.
"Kau harus berterima kasih padanya, karena masih bisa bernapas lagi. Tapi sekali
saja berbuat salah, tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan nyawamu, Singo
Barong," ancam Untari mendesis dingin.
Singo Barong langsung menjatuhkan diri, me-nempelkan keningnya ke tanah di depan
kaki Untari. Sedangkan gadis itu langsung berbalik dan
melangkah menghampiri Raden Gordapala dan Legini yang masih berdiri di depan
pintu rumah bagai istana kecil di tengah hutan ini.
"Hebat...! Aku mengagumi tindakan kalian berdua," puji Raden Gordapala tersenyum
puas. "Kami memang harus bertindak tegas, Raden,"
jelas Untari. "Ayolah kita masuk lagi. Masih ada yang perlu kubicarakan dengan kalian berdua,"
ajak Raden Gordapala.
"Mari, Raden," ucap Legini mempersilakan
pemuda itu masuk terlebih dahulu.
*** 2 "Seharusnya kami tidak meninggalkan Raden saat itu...," desah Legini perlahan
bernada menyesal.
"Kau tidak perlu merasa bersalah, Legini. Aku sendiri tidak menyangka kedatangan
Pendekar Rajawali Sakti. Hhh...! Dia benar-benar seorang pendekar tangguh,"
sergah Raden Gordapala juga perlahan suaranya. "Semua pisau emas, kini tidak ada
lagi padaku. Kalian tahu, apa jadinya jika pisau emas itu tidak bersemayam dalam
tubuhku...?"
Dewi Naga Kembar hanya mengangguk saja.
Mereka tahu, Raden Gordapala hanya mampu bertahan hidup paling lama satu purnama
tanpa pisau emas bersemayam dalam tubuhnya. Memang, pisau-pisau emas itu
merupakan nyawa bagi kehidupan dan kesaktiannya. Dan sekarang, pisau-pisau itu
berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Jadi, itu sama saja nyawa Jago dari
Alam Kubur ini sekarang berada di tangan Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti. "Pendekar Rajawali Sakti adalah Raja Karang Setra. Dan di sana, biasa dipanggil
Prabu Rangga Pati Permadi. Rasanya, tidak sulit memperoleh kembali pisau-pisau
emas itu, Raden," tegas Untari, mantap.
"Benar, Raden. Kita bisa menelusupkan orang-orang kita ke dalam istana. Itu
perkara yang sangat mudah. Kami tahu, penjagaan di Istana Karang Setra tidak
begitu ketat. Tapi...," ucapan Legini terputus.
"Tapi apa, Legini?" tanya Raden Gordapala.
"Para pembesar Kerajaan Karang Setra begitu patuh dan setia pada rajanya. Sulit
sekali mem-pengaruhi mereka. Bahkan prajurit rendahan saja tidak mudah
dipengaruhi. Juga seluruh rakyatnya begitu setia, dan mencintai rajanya. Karang
Setra memang sebuah kerajaan yang penuh cinta, Raden.
Tidak mudah bagi orang-orang seperti kita bertahan di sana. Sedikit saja sikap
kita mencurigakan, mereka cepat bisa menciumnya. Mereka benar-benar terlatih.
Dan penjagaan yang tidak begitu ketat, tidak bisa dipandang rendah. Mereka bisa
bergerak cepat, dan menjadi kuat seketika tanpa dapat diduga sama sekali,
Raden," jelas Legini tentang keadaan di Kerajaan Karang Setra.
"Hm.... Ini berarti kita akan menghadapi lawan yang begitu besar
kekuatannya...," gumam Raden Gordapala.
"Melawan mereka dengan kekuatan, memang
tidak mungkin, Raden," tambah Legini.
Mereka jadi terdiam membisu, dan sama-sama menyadari keadaan yang sedang
dihadapi sekarang ini. Dan mereka juga menyadari kalau tidak semudah membalikkan
tangan dalam menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Terlebih lagi, sekarang ini
pendekar muda dan digdaya itu berada di tanah kelahirannya.
Maka sudah barang tentu dikelilingi orang-orang berkepandaian tinggi yang patut
diperhitungkan.
Memang, Karang Setra sudah terkenal sebagai gudangnya tokoh tingkat tinggi yang
tidak bisa dianggap sebelah mata begitu saja.
"Sayang sekali, orang-orang di wilayah kesatu dari delapan penjuru mata angin
sudah porak-poranda.
Padahal, mereka lebih tahu seluk-beluk Kerajaan Karang Setra. Terutama, pemimpin
kesatu yang tahu
betul tentang kerajaan itu," desah Untari perlahan, seakan bicara untuk dirinya
sendiri. "Kenapa kita tidak tanyakan saja pada Kakek Siulan Maut" Dia juga tahu selukbeluk Karang Setra," selak Legini.
"Percuma, Legini. Kakek Siulan Maut sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali
Sakti. Juga, Iblis Kembar dari Utara," kata Raden Gordapala memberi tahu.
"Edan...!" desis Legini. terkejut "Bagaimana mungkin itu bisa terjadi,
Raden...?"
"Mereka mencoba menghalangi Pendekar Rajawali Sakti ke istanaku. Tapi,
kepandaian mereka memang masih kalah. Dan mereka tewas demi membelaku."
"Lalu, bagaimana dengan Iblis Tongkat Merah dan Dewi Cambuk Maut?" tanya Untari.
"Sampai saat ini, aku belum mendengar kabar beritanya. Itu sebabnya, kenapa aku
langsung ke sini.
Karena, aku tahu kalian pasti ada di sini," sahut Raden Gordapala.
"Mudah-mudahan ini bukan awal dari kehancuran Delapan Penjuru Mata Angin...,"
desah Untari perlahan sekali. Hampir tidak terdengar suaranya.
"Kita tidak bisa diam saja. Harus ada cara tepat yang terbaik untuk mendapatkan
kembali pisau-pisau emas itu," desis Legini.
"Memang! Dan waktu yang kita miliki tidak cukup banyak," sambung Untari.
"Hm... Kira-kira, berapa lama ke Karang Setra?"
tanya Legini lagi.
"Tiga hari perjalanan berkuda," jawab Raden Gordapala.
"Itu dengan kudamu, Raden."
"Mungkin lima atau enam hari dengan kuda
biasa," kata Raden Gordapala lagi.
"Semakin sedikit saja," desah Legini.
"Apa kau mampu tetap bertahan, Raden?" tanya Untari.
"Mungkin masih mampu bertahan lebih dari satu pekan dari satu purnama. Setelah
itu, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan mungkin juga, ini memang awal dari
kehancuran Delapan Penjuru Mata Angin,"
sahut Raden Gordapala, seakan-akan putus asa.
"Tidak akan, Raden. Delapan Penjuru Mata Angin tidak boleh hancur. Kalaupun
terlambat mendapatkan pisau emas itu kembali, kami akan membangkitkan Raden lagi
dari kubur," tegas Untari bertekad.
"Kalian berdua memang pengikutku yang setia.
Terima kasih. Dan kalian patut mendapatkan penghargaan yang layak," ucap Raden
Gordapala gembira mendengar tekad Dewi Naga Kembar ini.
"Terima kasih, Raden," ucap Untari dan Legini bersamaan.
"Aku berjanji, jika kalian berhasil mendapatkan ke delapan pisau emasku, akan
mendapatkan kedudukan mewakiliku memerintah Delapan Penjuru Mata Angin. Dan kalian bisa
menentukan wakil-wakil dari setiap penjuru mata angin," tegas Raden Gordapala.
Bola mata kedua gadis Dewi Naga Kembar jadi berbinar mendengar janji itu. Dan
tentu saja, kedudukan yang tinggi seperti itu memang sangat didambakan. Bukan
saja oleh Dewi Naga Kembar, tapi juga oleh seluruh tokoh golongan hitam yang
tergabung d? dalam kekuasaan Delapan Penjuru Mata Angin. Karena orang yang
menduduki jabatan bisa menentukan apa saja tanpa harus meminta per-setujuan
Raden Gordapala, yang menguasai seluruh
wilayah Delapan Penjuru Mata Angin.
"Besok, pagi-pagi sekali, kami akan berangkat ke Karang Setra, Raden," kata
Untari jadi lebih bersemangat.
"Bukan hanya kalian saja. Tapi aku juga akan pergi ke sana. Aku tidak akan
kembali ke istana di Gunung Tangkup sebelum mendapatkan pisau amas itu.
Terutama sekali, membunuh Pendekar Rajawali Sakti...!" agak mendesis kata-kata
terakhir Raden Gordapala.
"Dia memang harus dilenyapkan, Raden. Sekarang ini, memang Pendekar Rajawali
Sakti yang selalu menjadi batu sandungan dari semua kegiatan anggota Delapan
Penjuru Mata Angin," nada suara Untari juga ikut mendesis.
"Benar, Raden! Sudah tidak terhitung lagi, berapa anak buah kami yang tewas di
tangannya," sambung Legini.
"Aku tahu itu. Dan kalian tidak perlu khawatir!
Kalau pisau emas sudah ada di tanganku, tak ada seorang pun yang bisa
menandingiku lagi. Bahkan Dewata pun akan tunduk pada perintahku!" desis Raden
Gordapala pongah.
"Kami akan segera berkemas, Raden," pamit Untari seraya bangkit berdiri dari
kursinya. "Silakan. Aku juga ingin istirahat," sahut Raden Gordapala.
"Raden ingin ditemani?" tanya Legini.
"Tidak malam ini, Legini. Sama sekali aku tidak ada selera malam ini. Terima
kasih," ucap Raden Gordapala tersenyum.
Legini mengangkat bahunya, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu mengikuti
Untari. Sementara Raden Gordapala masih tetap duduk diam
di kursinya. Sebentar kemudian, ditinggalkannya juga ruangan berukuran cukup
besar itu. Lalu, tubuhnya tenggelam di dalam kamar istirahat yang disediakan
untuknya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa
di sekitar bangunan besar bagai istana di tengah-tengah hutan itu.
Beberapa orang masih terlihat berjaga-jaga di sekitarnya, seperti tak peduli
terhadap dinginnya angin malam ini.
*** Sementara itu, di Istana Kerajaan Karang Setra, Pendekar Rajawali Sakti selalu
dihantui mimpi-mimpi buruk yang belum pernah dialami sebelumnya, setelah
pertarungannya melawan Jago dari Alam Kubur. Telah tiga hari mimpi-mimpi itu
benar-benar menyiksanya.
Sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti jadi lebih banyak menyendiri. Seringkali
Pandan Wangi, Danupaksi, maupun Cempak memergoki Pendekar Rajawali Sakti duduk
termenung menyendiri di dalam taman kaputren yang berada di bagian belakang
istana ini. Dan sikap Raja Karang Setra yang tidak seperti biasanya itu, tentu
saja membuat mereka jadi bertanya-tanya.
"Aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada Kakang Rangga...," desah Cempaka
sambil tidak lepas memperhatikan Rangga yang tengah duduk merenung sendiri dari
balik jendela. "Memang tidak biasanya Kakang Rangga begitu,"
sambung Danupaksi.
"Apa mungkin Kakang Rangga sudah tidak betah lagi di sini?" tanya Cempaka seraya
berpaling menatap Pandan Wangi yang hanya diam saja duduk di kursi dekat Danupaksi.
"Aku rasa tidak. Kakang Rangga mengatakan kalau ingin tinggal di sini paling
tidak satu purnama,"
jelas Pandan Wangi.
"Tapi kenapa selama tiga hari ini murung terus?"
Cempaka seperti bertanya pada diri sendiri.
"Akan kutanyakan," kata Pandan Wangi seraya bangkit berdiri.
"Jangan, Pandan...," cegah Danupaksi cepat-cepat
"Harus ada yang bisa menegurnya, Danupaksi.
Dan aku rasa hanya salah satu dari kita yang bisa menegurnya," tegas Pandan
Wangi lagi. "Kalau begitu, biar aku saja," selak Cempaka.
"Tidak. Kita bertiga yang akan menemuinya," ujar Danupaksi mengambil jalan
tengah. Mereka saling berpandangan sesaat, kemudian sama-sama mengangguk. Mereka
kemudian bergegas melangkah keluar dari ruangan itu. Dua orang prajurit penjaga
yang berada di pintu, segera membungkukkan tubuh saat ketiga anak muda itu
melewatinya. Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang ditiap pintu selalu
berdiri dua orang prajurit penjaga. Prajurit-prajurit itu selalu membungkukkan
tubuh memberi hormat saat dilewati.
Mereka langsung menuju ke taman kaputren yang terletak di bagian belakang Istana
Karang Setra ini.
Empat orang prajurit bersenjata lembing, segera membungkukkan tubuh begitu
melihat Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi hendak masuk ke taman itu. Mereka
segera melangkah melewati pintu taman kaputren yang dijaga empat orang prajurit.
Tapi begitu berada di dalam taman, mereka kelihatan jadi ragu-ragu untuk
menghampiri Rangga yang hanya
duduk membelakangi.
"Kenapa kalian berhenti di situ..." Kemarilah," ujar Rangga tanpa berpaling
sedikit pun. Rupanya Pendekar Rajawali Sakti tahu kedatangan Pandan Wangi dan kedua adik
tirinya. Maka ketiga anak muda itu saling melemparkan pandangan sejenak,
kemudian melangkah menghampiri pemuda yang saat ini mengenakan baju berbentuk
jubah panjang berwarna putih dari bahan sutra halus. Tidak terlihat pedang
pusakanya yang terkenal dahsyat itu.
Bahkan, baju rompi putihnya juga tidak dikenakan.
Dan memang, Rangga harus bisa menyesuaikan diri dalam dua dunia kehidupan yang
sangat jauh perbedaannya.
Ketiga anak muda itu berdiri di depan Rangga.
Lalu, mereka duduk di bangku taman di depan Pendekar Rajawali Sakti, setelah
memberi penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Ada yang ingin kalian bicarakan denganku?"
Rangga lebih dulu membuka suara.
"Maaf kalau kami mengganggu istirahat Kakang Prabu," ucap Cempaka seraya
merapatkan kedua tangan di depan hidung.
Rangga tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihat cara penghormatan yang
dilakukan adik tirinya ini. Tapi cepat disadari kalau sekarang ini berada di
lingkungan istana. Sudah sewajarnya kalau mereka bersikap begitu. Di istana ini,
Rangga memang bukan lagi seorang pendekar kelana yang bergelar Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi, seorang raja yang memerintah di Kerajaan Karang Setra ini.
"Katakan, apa yang hendak kalian bicarakan...,"
pinta Rangga sambil tersenyum.
Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti itu.
Begitu tipis dan sukar sekali diartikan. Mungkin dia menertawakan dirinya
sendiri. Dan memang, Rangga selalu merasa canggung bila berada di dalam istana
ini, tapi tidak berdaya untuk menolaknya. Karena, segala aturan dan tata krama
yang ada di istana ini sudah terbentuk sebelum dirinya lahir. Bahkan sudah ada
sejak nenek moyangnya terdahulu.
"Kenapa kalian saling pandang" Bicara saja...,"
kata Rangga lagi melihat Pandan Wangi dan adik-adik tirinya hanya diam saja dan
saling berpandangan satu sama lain.
"Maaf, Kakang Prabu. Hamba bertiga ke sini sebenarnya...."
"Tunggu dulu...," selak Rangga, memutuskan ucapan Danupaksi.
Danupaksi cepat memberi hormat dengan
merapatkan kedua tangan di depan hidung.
"Kalian ini kenapa..." Apa karena aku mengenakan pakaian seperti ini, sehingga
kalian selalu bersikap begitu" Aku tidak suka kalian bersikap seperti berhadapan
Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan raja. Kalian bukan siapa-siapa lagi. Ayo..., bersikaplah seperti biasa,"
pinta Rangga tegas seraya melepaskan jubahnya yang putih dan panjang.
Kini Pendekar Rajawali Sakti hanya mengenakan celana putih sebatas lutut, dengan
sabuk kuning keemasan membelit pinggangnya. Sungguh tegap bentuk tubuhnya yang
terbalut kulit putih, seperti kulit wanita.
"Ayo, pandang aku sebagai Rangga. Sebagai kakakmu, Danupaksi, Cempaka. Sebagai
kekasihmu, Pandan Wangi. Sebagai pendekar, dan bukan raja di sini," kata Rangga
lagi lebih tegas.
"Tapi...," Danupaksi jadi ragu-ragu melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Ah..., sudahlah. Tidak ada orang lain di sini," selak Rangga memutuskan cepat.
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka sama-sama
mengangkat bahunya. Mereka tahu betul sikap dan watak Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak peduli apakah di dalam istana atau bukan, selalu saja tidak mau
diperlakukan seperti raja jika tidak ada orang lain, selain mereka berempat.
"Nah...! Siapa yang akan memulai lebih dulu?"
tanya Rangga seraya merayapi wajah-wajah di depannya.
"Aku harap Kakang tidak marah mendengarnya,"
kata Danupaksi sudah biasa lagi sikapnya. Tidak lagi menuruti aturan tata krama
istana. "Kenapa aku harus marah..." Katakan saja, Danupaksi," desak Rangga dengan kening
berkerut "Masalahnya ini menyangkut diri Kakang sendiri,"
kata Danupaksi lagi.
"Aku..." Kenapa dengan diriku?" Rangga jadi tidak mengerti.
"Tiga hari ini, Kakang selalu menyendiri dan termenung saja. Kami khawatir
terjadi sesuatu padamu," Danupaksi langsung mengemukakan
kecemasan hatinya. Juga, kecemasan hati Pandan Wangi dan Cempaka.
Rangga tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepala, kemudian tertawa kecil.
Begitu renyah suara tawanya. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bangkit berdiri
dan melangkah mendekati kolam yang ada di tengah-tengah taman kaputren ini.
Diambilnya batu kerikil, dan dilemparkannya ke tengah kolam.
"Aku tidak mengira kalau kalian selalu memperhatikan. Yaaah.... Memang aku tidak
berdiri sendiri di sini. Masih ada kalian bertiga. Dan aku sekarusnya selalu
membagi rasa suka dan duka. Hanya kalian bertiga milikku yang berharga sekarang
ini," kata Rangga perlahan, sambil memutar tubuhnya berbalik.
Pendekar Rajawali Sakti duduk di batu pinggir kolam. Sedangkan Danupaksi,
Cempaka, dan Pandan Wangi masih tetap duduk di kursi taman memandangi pemuda
tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat,
mereka semua terdiam membisu tanpa bicara sedikit pun.
"Memang ada sesuatu yang mengganjal pikiranku selama tiga hari ini. Dan itu
membuatku merasa tidak tenteram...," desah Rangga lagi seraya berdiri, lalu
berjalan menghampiri mereka. Dia kembali duduk di tempatnya semula.
"Bisakah kami mengetahuinya, Kakang...?" pinta Cempaka.
Rangga tersenyum menatap adik tirinya ini.
"Kalian memang perlu tahu. Dan itu yang sejak tadi kupikirkan untuk memberi tahu
kalian. Karena, aku sendiri sebenarnya belum begitu yakin," kata Rangga, masih
pelan suaranya.
"Katakan, Kakang," selak Pandan Wangi meminta.
"Kalian tentu belum lupa peristiwa beberapa hari yang lalu, bukan...?"
Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Peristiwa beberapa
hari lalu yang terjadi, tidak mungkin bisa terlupakan begitu saja.
Terlebih lagi, masih begitu hangat dibicarakan semua orang di istana ini. Tapi,
memang peristiwa itu tidak sampai menyebar ke luar, karena memang dirahasia-kan.
Dan mereka semua tahu kalau Rangga telah
menyelesaikannya dengan baik, tanpa harus mengorbankan satu nyawa pun dari
rakyat Karang Setra.
"Kalian pasti menyangka kalau aku sudah membunuh Raden Gordapala di Puncak
Gunung Tangkup,"
kata Rangga lagi.
"Memang demikian kenyataannya kan, Kakang"
Kau sudah bisa mengambil ketujuh pisau emas yang merupakan kehidupan Raden
Gordapala dari tubuhnya. Dan itu berarti dia sudah tewas. Jadi, tidak perlu ada
yang dicemaskan lagi," selak Pandan Wangi.
"Itu memang benar, Pandan. Tapi, itu bukan berarti Raden Gordapala sudah tewas,"
kata Rangga. "Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...?" ujar Cempaka sambil mengerutkan
keningnya. "Seharusnya, kau bertanya lebih jelas lagi pada putra-putra Elang Maut tentang
Jago dari Alam Kubur itu, sebelum mereka pulang, Cempaka," selak Danupaksi.
"Apa hubungannya dengan mereka, Kakang
Danupaksi?" Cempaka semakin tidak mengerti.
"Karena, mereka lebih tahu tentang si Jago dari Alam Kubur itu," sahut
Danupaksi. "Kau tanyakan pada mereka?" tanya Cempaka agak mencibir.
"Tentu saja. Liliani yang mengatakannya padaku semalam, sebelum mereka berangkat
pulang," sahut Danupaksi seraya tersenyum, seperti bangga.
Cempaka hanya mencibir saja.
"Sudahlah...," Rangga cepat menengahi. "Kalian memang sebaiknya perlu mengetahui
lebih jelas lagi tentang Raden Gordapala yang penuh teka-teki dan rahasia itu.
Hal ini penting, karena aku merasa akan terjadi sesuatu pada Karang Setra. Dan
aku yakin, Raden Gordapala masih hidup sekarang ini."
"Bagaimana mungkin, Kakang..."!" tanya Cempaka tidak percaya. Dan dia lebih
percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti telah menewaskannya.
"Hal itu bisa saja terjadi, Cempaka. Karena, Raden Gordapala juga dikenal
berjuluk Iblis Seribu Nyawa.
Sukar sekali membinasakannya. Kalaupun mati dan dikuburkan, dia bisa bangkit
lagi tanpa bisa diduga kapan kebangkitannya. Hal ini karena pisau-pisau emas
sebagai nyawa kehidupannya masih tetap ada,"
Rangga mencoba menjelaskan.
"Kalau begitu, kenapa tidak dimusnahkan saja pisau-pisau emas itu, Kakang...?"
selak Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja.
"Tidak mudah melakukannya, Pandan. Sudah
pernah ada yang mencoba. Dulu, seorang pandai pengolah emas mencoba meleburnya.
Tapi, akhirnya dia tewas sebelum melaksanakan pekerjaannya.
Pisau-pisau itu seperti memiliki nyawa, dan selalu menentang jika ada yang
mencoba meleburnya,"
sahut Rangga menjelaskan lagi.
"Edan...! Kalau semua orang jahat seperti dia, bisa hancur dunia ini...," dengus
Pandan Wangi seolah-olah untuk dirinya sendiri.
"Itulah tugas kita kaum pendekar pembela
kebenaran dan keadilan, agar menumpas iblis-iblis berbentuk manusia seperti
Raden Gordapala," tegas Rangga lagi.
"Lalu, bagaimana cara menghentikannya,
Kakang?" tanya Danupaksi.
"Inilah yang sedang kupikirkan, Danupaksi," desah Rangga.
"Jadi selama ini kau menyendiri memikirkan itu, Kakang?" Pandan Wangi mulai
mengerti. "Benar. Tapi, aku belum bisa menemukan jalan
keluarnya yang terbaik. Rasanya sulit sekali menemukan cara menghentikan Jago
dari Alam Kubur itu."
"Pasti ada cara, Kakang."
"Benar, Kakang. Dan kita akan menemukannya,"
sambung Danupaksi.
"Ya, kita semua...," desah Rangga.
"Apakah itu berarti kita akan keluar istana, Kakang?" tanya Cempaka begitu
bersemangat. "Tampaknya begitu," sahut Rangga.
"Ah! Senang sekali bisa berpetualang bersamamu, Kakang," ujar Cempaka gembira.
"Tapi tidak keluar dari Kerajaan Karang Setra ini."
"Itu pun aku sudah senang."
"Kalau begitu, bersiaplah kalian. Malam nanti, kita berangkat," kata Rangga.
"Kenapa tidak besok pagi saja, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja.
*** 3 Empat ekor kuda berpacu cepat meninggalkan benteng Istana Karang Setra, melalui
jalan rahasia di bagian belakang istana itu. Keempat kuda yang ditunggangi
orang-orang utama kerajaan itu terus bergerak cepat, masuk ke dalam hutan yang
berada tepat di bagian belakang benteng istana. Saat itu, malam memang sudah
jatuh. Sehingga, seluruh Kerajaan Karang Setra sudah terselimut kegelapan yang
cukup pekat Keempat penunggang kuda yang tak lain dari Rangga, Pandan Wangi, Danupaksi, dan
Cempaka, terus bergerak cepat semakin jauh masuk ke dalam hutan. Tapi tiba-tiba
sekali, Rangga yang berada paling depan menghentikan lari kudanya. Maka ketiga
anak muda yang ada di belakangnya segera menarik tali kekang, hingga kuda-kuda
yang ditunggangi berhenti berlari. Mereka langsung menatap lurus ke depan. Di
dalam kegelapan malam yang begitu pekat, terlihat seseorang berada di punggung
kuda, tepat di bawah sebatang pohon yang sangat besar dan lebat daunnya.
Sehingga, sukar untuk mengenalinya.
"Siapakah kau di sana, Kisanak...?" tanya Rangga, agak lantang suaranya.
"Hamba, Gusti Prabu...," terdengar sahutan yang cukup keras.
Penunggang kuda itu mendekati Rangga yang masih duduk di punggung kuda Dewa
Bayu. Dan begitu dekat, wajahnya baru bisa terlihat Bukan hanya Rangga yang terkejut, tapi
juga Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi. Mereka mengenali kalau orang itu
adalah Banara, salah satu dari putra Elang Maut, dari Padepokan Elang Maut
"Banara, sedang apa kau di sini?" tanya Rangga.
"Bukankah kau dan adik-adikmu sudah kembali ke Padepokan Elang Maut?"
"Maaf, Gusti Prabu. Hamba dan kedua adik hamba tidak jadi pulang ke padepokan,"
sahut Banara. "Kenapa?" tanya Rangga jadi tidak mengerti.
"Hamba memutuskan untuk tetap berada di
Karang Setra ini, " sahut Banara lagi.
Pada saat itu, dari balik pohon besar itu muncul dua orang penunggang kuda lagi.
Mereka adalah Sarala dan Liliani.
"Kami akan bergabung menumpas Raden
Gordapala dan orang-orangnya, Gusti Prabu," kata Banara lagi.
"Kalian sudah tahu kalau Raden Gordapala masih hidup?" tanya Rangga.
"Bukan hanya tahu. Yang jelas, cerita tentang Raden Gordapala sudah di luar
kepala kami," jelas Banara.
Rangga tidak bisa berkata apa-apa lagi, dan hanya mengangkat bahunya saja sambil
menghembuskan napas panjang. Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi juga tidak
bisa menolak kesediaan putra-putra Elang Maut itu untuk bergabung. Dan mereka
memang berkepentingan dalam hal ini. Memang ayah yang juga sekaligus guru mereka
telah tewas oleh Jaran Geni, tunggangan Raden Gordapala. Kuda aneh yang bisa
menyemburkan api dari mulutnya.
"Baiklah, kalian boleh bergabung. Tapi, aku tidak
ingin kalian memanggilku Gusti Prabu. Panggil saja aku seperti mereka
memanggilku," pinta Rangga sambil menunjuk kedua adik tirinya dan Pandan Wangi.
"Terima kasih, Gusti Prabu," sahut Banara seraya memberi sembah dengan
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Lupakan sebutan itu, Banara," pinta Rangga.
"Baiklah, Ka.... Kakang," sahut Banara kaku.
Rangga tersenyum saja seraya menggelenggelengkan kepala. Mereka kemudian bergerak lagi menembus kegelapan malam di
dalam hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan rombongan ini sekarang berjumlah
tujuh orang, yang masing-masing menunggang kuda. Sementara itu, diam-diam
Danupaksi mendekati Liliani yang berkuda di samping Sarala.
"Kau diam saja sejak tadi. Kenapa...?" Danupaksi memulai pembicaraan dengan
suara begitu perlahan, seakan tidak ingin didengar yang lain.
"Tidak apa-apa," sahut Liliani seraya memberi senyuman yang manis sekali.
"Aku bisa merasakan ada sesuatu di hatimu, Nini,"
tebak Danupaksi.
Liliani berpaling menatap Danupaksi dengan kening berkerut sedikit. Kemudian
pandangannya kembali dialihkan ke depan. Sedangkan Danupaksi terus memandangi
wajah cantik yang berkuda di sampingnya ini. Beberapa kali Liliani melirik, dan
ini membuatnya jadi gelisah. Entah kenapa, setiap kali bertemu pandang,
jantungnya langsung berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Aku tahu, kau adalah orang kedua di Karang Setra. Tapi, bisakah kau hilangkan
sebutan Nini padaku" Kau sendiri tidak suka bila dipanggil dengan sebutan Gusti Danupaksi
atau Raden Danupaksi,"
kata Liliani tanpa berpaling sedikit pun.
Danupaksi tersenyum.
"Cukup pedas juga kata-katamu, Liliani. Tapi, aku senang dengan gadis yang
memiliki gairah dan semangat yang besar," kata Danupaksi lagi.
"Kau sudah mulai merayuku, Kakang."
"Tergantung dari penilaianmu."
Liliani hanya diam saja. Mereka tidak berbicara lagi, karena Rangga yang berkuda
di depan sudah berhenti. Memang, perjalanan jadi tidak terasa bila diisi dengan
obrolan-obrolan ringan. Dan kini mereka sudah sampai di depan kuil yang dibangun
Rangga untuk menghormati berdirinya Kerajaan Karang Setra. Seluruh benda
bersejarah bagi Karang Setra tersimpan di kuil ini.
"Kita bermalam di sini. Ada banyak kamar untuk beristirahat di kuil ini," kata
Rangga setelah turun dari punggung kudanya.
Baru saja Rangga melangkah menjejak anak
tangga pertama kuil itu, mendadak saja....
"Awas, Kakang...!" seru Pandan Wangi.
"Uts!"
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kiri, lalu tangannya bergerak cepat
menangkap sebuah benda yang tiba-tiba meluncur cepat bagai kilat ke arahnya.
Tap! "Hup...!"
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh berputar dua kali ke
belakang. Saat itu juga, mereka yang berada di belakang pemuda berbaju rompi
putih ini langsung berlompatan ke belakang beberapa tindak. Tanpa diperintah
lagi, kuda hitam
Dewa Bayu menggiring kuda-kuda lainnya menjauhi halaman depan kuil itu. Dewa
Bayu yang bukan kuda biasa, sudah bisa merasakan akan terjadi sesuatu.
Dan seperti biasa, binatang itu harus menyingkir menjauh.
"Apa itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi yang sudah mendekat di samping kanan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Panah," sahut Rangga seraya menyerahkan
sebatang panah yang tadi berhasil ditangkapnya.
"Hm.... Siapa yang melakukan ini..?" gumam Pandan Wangi bertanya sendiri sambil
mengamati panah yang sudah berpindah ke tangannya.
Tapi belum juga ada yang menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu, tiba-tiba saja
terdengar suara tawa keras menggelegar yang memekakkan telinga.
"Ha ha ha...!"
*** "Jangan berkumpul. Kalian semua berpencar,"
perintah Rangga, agak berbisik suaranya.
"Tidak ada waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti!
Tempat ini sudah terkepung...!" terdengar suara keras menggelegar.
Belum lagi suara gema itu menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja
berlompatan sosok-sosok tubuh berbaju ketat serba merah dari balik pepohonan
yang menghitam pekat. Mereka semua membawa tongkat pendek yang kedua ujungnya
berbentuk mata tombak. Dan sebentar saja, halaman depan kuil ini sudah dikepung
deh tidak kurang dari lima puluh orang berbaju merah bersenjatakan tongkat
pendek bermata tombak pada kedua
ujungnya. Pada saat itu, dari dalam kuil melesat sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu, di
ujung bawah tangga kuil sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah.
Tampak tongkat berkepala tengkorak tergenggam di tangan kanan.
"Iblis Tongkat Merah...," desis Banara langsung mengenali laki-laki tua berjubah
merah itu. Memang, laki-laki tua berjubah merah yang dikenal sebagai Iblis Tongkat Merah
itu sudah pernah bertemu dengan ketiga putra Elang Maut (Ikuti serial Pendekar
Rajawali Sakti, dalam kisah "Kuda Api Gordapala"). Saat itu, mereka sama-sama
Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengejar kuda hitam Jaran Geni, tapi dengan tujuan berbeda.
"Siapa kau, Kisanak"! Apa keperluanmu berada di kuil suci ini?" tanya Rangga
meskipun sudah mendengar desisan Banara yang begitu perlahan tadi.
"He he he...! Aku Iblis Tongkat Merah! Maksud kedatanganku ke kuil ini pasti
sudah kau ketahui, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Iblis Tongkat Merah, lantang
suaranya. Laki-laki tua berjubah merah itu menatap tajam ketiga putra Elang Maut yang
berdiri tepat di belakang Rangga. Kemudian, matanya kembali menatap Pendekar
Rajawali Sakti. Sinar matanya begitu tajam, bagai sedang mengukur tingkat
kepandaian pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara Danupaksi, Cempaka, dan
Pandan Wangi sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Mereka mengedarkan pandangan, merayapi orang-orang berbaju ketat serba merah
yang mengepung tempat ini begitu rapat. Sehingga, tak ada sedikit pun celah
untuk dapat meloloskan diri, tanpa harus melakukan pertarungan. Dan tampaknya
mereka juga sudah siap melakukan pertarungan. Yang jelas, hanya tinggal menunggu perintah
saja dari Iblis Tongkat Merah.
"Aku tidak punya banyak waktu, Pendekar Rajawali Sakti. Kuharap, kau mau
menyerahkan delapan pisau emas itu," tegas Iblis Tongkat Merah dingin.
"Dia pemimpin keempat Delapan Penjuru Mata Angin, Kakang," bisik Banara memberi
tahu. "Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti membalas tatapan laki-laki tua berjubah merah itu dengan
sinar mata yang tidak kalah tajamnya.
"Untuk apa kau menginginkan pisau emas itu, Kisanak?" tanya Rangga.
"Jangan berpura-pura tidak tahu, Pendekar Rajawali Sakti!" sentak Iblis Tongkat
Merah jadi berang.
"Baik.... Tapi sayang, pisau-pisau emas itu sudah kulebur," kata Rangga enteng.
"Keparat..! Jangan coba-coba mempermainkan aku, Bocah!" Iblis Tongkat Merah
semakin bertambah berang mendengar kata-kata Rangga barusan.
"Aku tidak main-main. Tanyakan saja pada
mereka. Justru kedatangan kami ke kuil ini hendak mengambil hasil leburan pisaupisau emas itu.
Leburan itu ada di dalam kuil. Kalau kau mau melihatnya, silakan," kata Rangga
lagi semakin ringan suaranya.
"Setan...! Aku tidak butuh bualanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Serahkan pisau
emas itu, atau seluruh Kerajaan Karang Setra jadi lautan api!" ancam Iblis
Tongkat Merah menggeram marah.
"Hebat juga ancamanmu, Iblis Tongkat Merah.
Tapi, aku khawatir kau tidak sempat lagi melakukannya," pancing Rangga terus memanasi.
"Setan keparat..! Serang, bunuh mereka semua...!"
geram Iblis Tongkat Merah berseru lantang memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, orang-orang berbaju merah yang sejak tadi memang sudah
menunggu perintah, langsung saja berlompatan sambil berteriak-teriak menyerang
pendekar-pendekar muda yang sudah terkepung ini.
Dan memang, pertarungan yang sudah diduga sejak tadi tidak bisa dihindari lagi.
Ketiga putra Elang Maut langsung mencabut pedang masing-masing.
Danupaksi dan Cempaka segera melompat
menyebar, menyambut lawan-lawannya. Mereka juga langsung menarik pedang dari
warangkanya. Hanya Rangga dan Pandan Wangi saja yang masih
bertangan kosong. Memang, mereka adalah
pendekar-pendekar yang sudah sering menghadapi segala macam pertarungan di dalam
pengembaraan selama ini.
"Hup! Hiyaaat..!"
Begitu memiliki kelonggaran, Rangga langsung melentingkan tubuh ke udara, lalu
meluruk deras ke arah Iblis Tongkat Merah yang masih berdiri pada undakan
pertama tangga kuil. Begitu ringan dan manis gerakan Pendekar Rajawali Sakti
saat mendarat sekitar lima langkah di depan Iblis Tongkat Merah. Sementara,
pekik dan jeritan melengking terdengar saling sambut, disertai teriakan-teriakan
pertempuran yang begitu membahana. Denting senjata beradu pun mewarnai suasana
malam ini. "Bagus! Kau bisa keluar dari orang-orangku,
Pendekar Rajawali Sakti," dengus Iblis Tongkat Merah sinis.
"Mereka orang-orang malang, yang seharusnya tidak perlu mengorbankan nyawa untuk
orang sepertimu, Iblis Tongkat Merah," sambut Rangga tidak kalah sinisnya.
"Kau akan menyesal mencampuri urusan
Kelompok Delapan Penjuru Mata Angin, Pendekar Rajawali Sakti."
"Aku khawatir kau sendiri yang menyesal telah berurusan denganku," balas Rangga
lagi, semakin dingin nada suaranya.
"Phuih! Bersiaplah, Bocah Setan...!"
"Hm..., silakan. Kau tamuku, silakan menyerang lebih dulu," tantang Rangga
langsung. "Phuih!"
Perlahan Iblis Tongkat Merah melangkah ke depan dua tindak. Beberapa kali
ludahnya disemburkan, mencoba mengurangi kemarahan yang begitu meluap dalam
dada. Laki-laki tua berjubah merah ini adalah seorang tokoh persilatan yang
sangat diperhitungkan.
Makanya, dia tahu kalau dalam pertarungan sudah dihinggapi nafsu amarah, rasanya
serangannya bakal tidak terkendalikan lagi. Iblis Tongkat Merah mencoba untuk
tidak terpancing amarahnya. Meskipun, kata-kata balasan dari Pendekar Rajawali
Sakti cukup membuat telinganya jadi terasa panas memerah bagai terbakar.
"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti.
Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Iblis Tongkat Merah mengecutkan tongkatnya, cepat sekali Rangga merunduk.
Sehingga, tongkat berwarna merah yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak itu lewat di atas kepalanya.
Dan pada saat itu juga, Rangga cepat memutar tubuhnya sambil melepaskan satu
tendangan berputar yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Serangan balasan yang diberikan Rangga begitu cepat dan tidak terduga, membuat
Iblis Tongkat Merah sempat terperangah juga. Tapi tendangan itu masih bisa
dihindarinya dengan menarik mundur kakinya dua langkah. Tendangan keras
bertenaga dalam sempurna itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Yeaaah...!"
Begitu Rangga menegakkan tubuhnya kembali, Iblis Tongkat Merah sudah kembali
mengebutkan tongkatnya kuat-kuat. Begitu tinggi tenaga dalam yang dimiliki lakilaki tua ini, sehingga kebutan tongkat merahnya menimbulkan deru angin dahsyat
bagai badai topan.
"Hup...!"
Rangga buru-buru melentingkan tubuh ke udara, lalu cepat sekali meluruk ke arah
kepala Iblis Tongkat Merah, dengan kedua kaki bergerak cepat seperti berputar.
Saat itu Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Begitu cepat serangan yang dilakukan Rangga, membuat Iblis Tongkat Merah jadi
terperanjat bukan main.
"Hait...!"
Cepat-cepat Iblis Tongkat Merah mengebutkan tongkatnya berputar ke atas, untuk
melindungi kepalanya dari serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa
diduga sama sekali, Rangga justru melentingkan tubuh berbalik, dan tahu-tahu
sudah mendarat tepat di depan laki-laki tua berjubah merah
itu. Pada saat Iblis Tongkat Merah belum sempat menyadari apa yang dilakukan
Rangga, tahu-tahu....
"Yeaaah...!"
Bet! Begkh! "Akh...!" Iblis Tengkorak Merah terpekik keras terkejut
Sungguh sukar dipercaya! Gerakan Rangga ternyata begitu cepat. Tanpa diduga sama
sekali, langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek ke dada, tanpa
dapat dihindari laki-laki tua berjubah merah itu.
Tak pelak lagi, tubuh Iblis Tongkat Merah terpental deras ke belakang. Tapi
keseimbangan tubuhnya masih bisa dikuasai meskipun dengan terhuyung-huyung.
Tampak setetes darah menitik keluar dari sudut bibirnya. Iblis Tongkat Merah
mendekap dadanya yang terkena pukulan keras menggeledek tadi.
Untung saja tadi tengah mengerahkan tenaga dalam, sehingga pukulan Rangga yang
bersarang di dadanya tidak sampai menimbulkan luka mengkhawatirkan.
"Hap! Hsss...!"
Wuk! Wuk...! Iblis Tongkat Merah cepat-cepat menarik napas dalam-dalam, dan mengecutkan
tongkatnya beberapa kali. Dia melakukan beberapa gerakan untuk mengatur jalan
pernapasan dan peredaran darahnya yang tadi sempat terganggu akibat terkena
pukulan bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga berdiri tegak dengan bibir mengulas senyuman tipis. Pendekar
Rajawali Sakti menunggu sampai lawannya benar-benar siap melakukan pertarungan
kembali. Sementara itu pertarungan di tempat lain masih
terus berlangsung sengit Sudah terlihat tubuh-tubuh berbaju merah bergelimpangan
bersimbah darah.
Entah sudah berapa orang yang tewas di tangan para pendekar muda itu. Tapi
pertarungan masih saja terus berlangsung sengit. Dan jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi masih terus terdengar, bercampur teriakan pertarungan dan
denting senjata beradu.
"Gila...! Bisa habis semua anak buahku kalau begini terus," desis Iblis Tongkat
Merah dalam hati.
Rupanya laki-laki berjubah merah ini juga memperhatikan pertarungan itu. Dan dia
tahu, orang-orangnya tidak mungkin lagi bisa bertahan lebih lama menghadapi para
pendekar muda yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi. Dan
ini sudah bisa terbaca oleh Iblis Tongkat Merah, saat melihat hampir separuh
anak buahnya sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi.
"Tinggalkan tempat ini, cepaaat..!" teriak Iblis Tongkat Merah tiba-tiba.
Begitu keras suara teriakannya! Sehingga mereka yang sedang bertarung, seketika
itu juga berhenti.
Pada saat itu, Iblis Tongkat Merah sudah melesat cepat bagai kilat meninggalkan
halaman depan kuil ini. Melihat pemimpinnya melesat pergi, orang-orang berbaju
merah ketat itu segera berlompatan cepat meninggalkan ajang pertarungan.
"Jangan dikejar...!" seru Rangga cepat begitu melihat teman-temannya ingin
mengejar. Seruan Rangga yang cukup keras, membuat
mereka mengurungkan keinginan untuk mengejar Iblis Tongkat Merah dan orangorangnya yang berlarian cepat meninggalkan halaman depan kuil ini.
Mereka kemudian segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa mereka dibiarkan kabur, Kakang?" tanya Cempaka merasa tidak puas.
"Tidak ada gunanya mengejar mereka, Cempaka.
Paling-paling kau hanya akan mendapatkan mereka yang tertinggal, dan tidak bisa
berlari cepat. Dan itu tidak ada artinya untuk mengetahui di mana Raden
Gordapala saat ini," sahut Rangga menjelaskan.
"Aku tidak yakin kalau iblis itu masih hidup, Kakang," dengus Cempaka.
"Dia memang masih hidup, Cempaka," serobot Banara.
"Bagaimana kau bisa yakin?" Cempaka meminta penjelasan.
"Raden Gordapala sudah bisa bangkit hanya dengan tujuh pisau emas, walaupun
seharusnya ada delapan pisau untuk membangkitkannya dari kubur, Namun, itu saja
sudah cukup bagi kehidupannya sampai purnama yang akan datang," kata Banara
mencoba menjelaskan.
"Tapi Kakang Rangga sudah membunuhnya,
Banara," sanggah Cempaka.
"Hanya dari luarnya saja, Cempaka. Rohnya masih tetap hidup, dan masih akan
bangkit selama semua pisau emas itu belum dimusnahkan."
Sementara Cempaka dan Banara berdebat,
Rangga mengajak yang lain untuk masuk ke dalam kuil.
Dan Banara yang ingin ikut, dapat dicegah Cempaka. Sehingga, pemuda itu terpaksa
menemani gadis yang masih penasaran ini. Memang, dia masih belum jelas tentang
Raden Gordapala yang diyakini mereka semua masih hidup.
"Katakan padaku, Banara. Kenapa kau dan
mereka semua begitu yakin kalau Jago dari Alam
Kubur itu masih hidup...?" desak Cempaka meminta penjelasan untuk keyakinan
dirinya sendiri.
"Penjelasanku tadi belum cukup, Cempaka" Yang jelas, Raden Gordapala memiliki
seribu satu macam rahasia yang sukar dicari jawabannya. Dia juga dikenal
berjuluk Iblis Seribu Nyawa, karena memang sukar untuk bisa benar-benar
membunuhnya,"
Banara mencoba menjelaskan.
"Tapi dia manusia biasa, kan...?"
"Sekarang ini aku sendiri tidak yakin. Sebab, tidak sedikit orang yang
mengatakan kalau dia jelmaan iblis dari dasar neraka. Dan sampai saat ini juga,
belum ada yang tahu rahasia kelemahannya. Terlebih lagi mengetahui titik
kelemahan untuk membunuhnya, hingga benar-benar mati," jelas Banara lagi.
"Sudah berapa kali dia bisa bangkit lagi dari kematian?" tanya Cempaka lagi.
"Ayahku pernah cerita tentang dia, Cempaka.
Katanya, Raden Gordapala sudah hidup tujuh keturunan sebelum kita lahir ke dunia
ini. Dan sampai saat ini, belum ada seorang pun yang bisa menemukan rahasia
kematiannya yang abadi. Dia selalu bisa bangkit kembali, setiap kali orang yang
bertarung dengannya menyangka sudah bisa membunuhnya.
Sehingga, tidak jarang para pendekar jadi gila, karena beberapa kali harus
berhadapan dengan Jago dari Alam Kubur itu."
Cempaka mengangguk-anggukkan kepala, kemudian melangkah meniti anak-anak tangga yang langsung menuju ke pintu kuil.
Banara mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping gadis ini.
"Kau sudah puas, Cempaka?" tanya Banara.
"Cukup untuk saat ini," sahut Cempaka.
4 "Heh..."!"
Rangga menggerinjang bangun dengan terkejut dari tidur, begitu telinganya
mendengar teriakan-teriakan keras memanggilnya. Cepat dia melompat menghampiri
jendela kamar, dan langsung dibukanya lebar-lebar. Tampak Danupaksi berdiri di
depan jendela kamar ini.
"Ada apa, Danupaksi...?"
"Mereka hendak menghancurkan desa sebelah Timur, Kakang," sahut Danupaksi.
"Mereka siapa...?" tanya Rangga.
"Iblis Tongkat Merah dan anak buahnya, Kakang.
Mereka sudah bergerak ke sana."
"Keparat..!" geram Rangga. "Beri tahu yang lainnya."
"Mereka semua sudah berangkat sejak tadi,"
sahut Danupaksi.
"Heh..."! Kenapa tidak memberitahuku dari tari?"
"Aku tidak tahu kalau kau tidur di sini, Kakang.
Kamar yang biasa kau tempati kudapati kosong.
Sejak tadi, aku mencarimu," sahut Danupaksi menjelaskan, tidak mau disalahkan.
"Kau cepat susul yang lain. Aku segera ke sana,"
kata Rangga. "Baik, Kakang."
Danupaksi bergegas berlari menghampiri kudanya yang tertambat tidak jauh di
bawah pohon. Cepat sekali dia melompat. Lalu begitu hinggap di atas
punggung kudanya, langsung digebahnya keras-keras. Kuda tinggi besar berwarna
coklat tua itu meringkik keras, kemudian berlari cepat seperti anak panah
terlepas dari busurnya.
Sementara Rangga juga bergegas mengenakan pakaian dan pedangnya, lalu melesat
keluar dari kamar itu melalui jendela yang masih terbuka lebar.
Dia terus berlari menghampiri kuda hitamnya yang ditambatkan di bawah sebatang
pohon kemuning.
Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak jadi naik ke punggung kuda hitam itu.
"Kau segera ke desa sebelah Timur, Dewa Bayu.
Aku akan menggunakan Rajawali Putih. Kita bertemu di sana," kata Rangga sambil
menepuk punggung kuda hitam itu.
Setelah meringkik keras, Dewa Bayu segera berlari cepat ke arah yang sama dengan
Danupaksi tadi.
Sementara Rangga bergegas ke tengah-tengah halaman depan kuil. Lalu, dia berdiri
tegak di tengah-tengah halaman kuil yang cukup luas ini, sehingga cukup untuk
mendarat Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang merawat dan
Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membesarkan Rangga, serta membekalinya dengan ilmu-ilmu kedigdayaan tingkat
tinggi. Bahkan menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti di saat-saat genting
seperti sekarang ini.
"Suiiit..!"
*** Danupaksi terkejut begitu tiba di desa sebelah Timur dari Kotaraja Karang Setra.
Seluruh rakyat Karang Setra menyebut desa ini adalah Desa Lampak. Adik tiri
Pendekar Rajawali Sakti ini hampir
tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Suasana desa ini begitu tenang dan sunyi. Tak seorang pun terlihat berduka.
Semuanya dalam keadaan wajar, bagai tak pernah terjadi sesuatu di sini. Bahkan
sedikit pun tak ada tanda-tanda kalau desa ini habis diserang. Keadaannya begitu
bersih. "Cempaka...!" seru Danupaksi begitu melihat Cempaka keluar dari sebuah rumah.
Bergegas Danupaksi melompat turun dari
punggung kudanya, lalu berlari-lari menghampiri Cempaka yang berpaling begitu
namanya dipanggil.
Cempaka berdiri saja menanti sampai Danupaksi dekat di depannya.
"Kita terlambat, Kakang," jelas Cempaka sebelum Danupaksi sempat membuka
mulutnya. "Eh..."! Apa maksudmu, Cempaka?" tanya
Danupaksi tidak mengerti.
"Kakang Rangga sudah membereskan mereka
sebelum sampai ke desa ini," sahut Cempaka memberi tahu.
"Kakang Rangga..." Sekarang di mana dia?"
"Di rumah kepala desa, bersama yang lain," sahut Cempaka lagi kalem.
Danupaksi jadi tertegun.
"Hanya dua puluh orang. Dan tidak ada Iblis Tongkat Merah bersama mereka,"
sambung Cempaka. "Aneh.... Padahal aku pergi lebih dulu. Kenapa sekarang Kakang Rangga yang lebih
dulu sampai...?"
gumam Danupaksi bertanya-tanya sendiri keheranan.
"Jangankan kau, Kakang. Aku saja yang pergi lebih dulu masih juga tidak
kebagian," celetuk Cempaka.
"Tapi jangan heran. Soalnya, pasti Kakang Rangga mengendarai Rajawali Putih.
Tentu saja bisa sampai
lebih dulu."
"Iya, ya...," Danupaksi mengangguk-anggukkan kepala.
Danupaksi baru ingat kalau kakak tirinya itu punya tunggangan seekor burung
rajawali raksasa. Sudah barang tentu bisa sampai ke desa ini dalam waktu yang
sangat singkat. Dan lagi, bagi Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pekerjaan yang
sulit untuk menghadapi dua puluh orang anak buah Iblis Tongkat Merah, yang ratarata berkepandaian rendah.
Danupaksi sendiri masih sanggup menghadapi mereka dalam jumlah yang sama.
"Kakang, boleh aku tanya...?"
"Apa?"
"Dari mana kau bisa tahu kalau mereka hendak menggempur desa ini?" tanya Cempaka
ingin tahu. "Dari salah seorang telik sandi yang kusebar ke seluruh pelosok kerajaan," sahut
Danupaksi. "Telik sandi itu tahu kau ada di kuil?"
"Aku yang memberi tahu," sahut Danupaksi lagi.
"Mereka semua tahu, di mana aku berada. Dan harus cepat melapor jika terjadi
sesuatu." "Kakang Rangga tahu?"
"Tidak. Dan kuminta, kau juga jangan memberi tahu."
"Kenapa?"
"Itu tugasku, Cempaka. Bagaimanapun juga, aku bertanggung jawab atas keselamatan
Karang Setra, meskipun ada Kakang Rangga di sini."
"Aku mengerti, Kakang."
"Terima kasih, Cempaka. Hanya kau saja yang tahu."
Mereka terdiam dan terus melangkah menyusuri jalan desa yang berdebu ini.
Penduduk masih banyak
terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Mereka seperti tidak tahu kalau desa ini hampir saja digempur anak buah Iblis
Tongkat Merah. "Apakah penduduk tidak ada yang tahu,
Cempaka?" tanya Danupaksi.
"Tidak. Dan ini memang disengaja agar mereka tidak resah," sahut Cempaka.
Danupaksi mengangguk-anggukkan kepala.
Pemuda itu sudah menduga kalau Rangga pasti tidak mengizinkan kepala desa untuk
memberi tahu warganya. Dan itu memang watak Pendekar Rajawali Sakti, yang tidak
pernah mau melibatkan seluruh rakyat Karang Setra dalam persoalan seperti ini.
Hal itu tentu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah dari para
penduduk, di samping tidak ingin terjadi keresahan yang akan membuat keadaan
semakin bertambah kacau. Bahkan mungkin bisa tidak terkendali. Kalau hal itu
sampai terjadi, bisa menguntungkan pihak lawan yang semakin leluasa mengacaukan
keadaan. Mereka berhenti melangkah ketika melihat Rangga dan Pandan Wangi keluar dari
sebuah rumah berukuran cukup besar dan berhalaman luas diikuti tiga orang putra
Elang Maut. Mereka diiringi seorang laki-laki separuh baya, bertubuh tegap
dengan sebuah gagang golok menyembul di pinggang.
Danupaksi dan Cempaka segera menghampiri saat Rangga melambaikan tangan
memanggil. Mereka kemudian dikenalkan kepada laki-laki separuh baya yang bernama
Ki Lantaka, Kepala Desa Lampak ini.
"Aku harap kau tidak perlu resah, Ki. Semuanya sudah kami tangani. Dan kuharap
lagi, kau tidak perlu memberi tahu warga desa ini. Sebentar lagi desa ini akan
dijaga para prajurit kerajaan," kata Rangga.
"Baik, Den. Terima kasih," ucap Ki Lantaka seraya membungkuk hormat.
Kepala desa ini memang tidak tahu, siapa
pendekar-pendekar muda ini sebenarnya. Karena, mereka semua memang mengenakan
pakaian biasa seperti umumnya kaum pendekar. Tak ada seorang pun yang
menunjukkan ciri kalau mereka adalah orang-orang utama Kerajaan Karang Setra. Di
antara mereka, hanya ketiga putra Elang Maut saja yang bukan anggota keluarga
Istana Karang Setra.
Sedangkan Pandan Wangi sudah diangkat sebagai anggota keluarga kehormatan Istana
Karang Setra. "Kami harus pergi sekarang, Ki. Masalahnya, harus tiba lebih dahulu sebelum
mereka sampai," kata Rangga langsung berpamitan.
"Kalau ada yang bisa kubantu, pasti dengan senang hati akan turut membantu,
Den," kata Ki Lantaka.
"Kau sudah cukup membantu dengan membuat
keadaan desa ini tetap tenang," ujar Rangga.
"Akan kuusahakan, Den."
"Terima kasih, Ki. Nah, sekarang kami mohon diri."
"Selamat jalan, Den. Semoga Hyang Widi
menyertai kalian semua."
Rangga menepuk pundak kepala desa itu,
kemudian melompat naik ke punggung kuda hitam Dewa Bayu, diikuti yang lainnya.
Sebentar kemudian, para pendekar muda penegak keadilan itu sudah bergerak cepat
meninggalkan desa itu. Dan tujuan mereka sudah pasti, ke Puncak Gunung Tangkup!
Di sanalah Raden Gordapala mendirikan istananya. Dan Rangga menduga kalau Jago
dari Alam Kubur itu berada di sana bersama para pengikutnya.
*** Perjalanan yang ditempuh ke Puncak Gunung Tangkup memang tidak terlalu sulit.
Bahkan sama sekali tidak ditemui hambatan berarti. Sehingga, rombongan para
pendekar muda yang dipimpin Pendekar Rajawali Sakti sampai di Puncak Gunung
Tangkup dalam waktu yang tidak begitu lama. Malah bisa lebih cepat dari
perhitungan mereka semula.
"Wah...! Aku tidak tahu kalau di sini ada bangunan istana...," desah Cempaka
menggumam perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Kelihatannya sudah puluhan tahun tidak dihuni,"
sambung Danupaksi menggumam.
Keadaan bangunan istana itu memang kotor dan tak terawat. Tanaman rambat hampir
menutupi seluruh dindingnya yang sudah retak dan berlumut.
Rerumputan tampak tumbuh liar di sekeliling bangunan ini. Sarang-sarang burung
terlihat di setiap dinding yang berlubang. Bahkan di atap, dan lubang-lubang
jendela serat-serat laba-laba tersebar di mana-mana. Benar-benar sebuah istana
yang mengerikan keadaannya. Tidak heran kalau bangunan itu disebut Istana Hantu.
"Sepi, Kakang. Apa mungkin Raden Gordapala ada di sini?" bisik Pandan Wangi
bertanya perlahan pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di sampingnya.
"Mungkin. Tapi, aku tidak yakin," sahut Rangga, juga perlahan suaranya.
"Apa tidak sebaiknya kita periksa saja ke dalam, Kakang?" saran Pandan Wangi.
Rangga terdiam sebentar, kemudian menganggukkan kepalanya sedikit. Hampir tak
terlihat gerakan kepala Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kakinya
melangkah mendekati pintu depan bangunan istana itu. Rerumputan yang tumbuh
liar, cukup merepotkan juga. Sarala terpaksa berada di depan, membabat
rerumputan yang menghalangi jalan mereka untuk mendekati pintu Istana Hantu ini.
Krieeet..! Suara berderit menggiriskan terdengar menyakitkan telinga saat Rangga membuka
pintu Istana Hantu ini. Bau tidak sedap langsung menyeruak hidung mereka saat
berada dalam bangunan tua yang sudah tidak terawat ini. Sungguh tidak sedap
keadaan di dalam bangunan ini. Keadaannya begitu kotor dan berantakan.
Daun-daun kering, debu, batu-batu kerikil dan serpihan kayu berserakan di
lantai. Sarang laba-laba tersebar hampir menutupi ruangan yang berukuran sangat
besar ini. Pendekar-pendekar muda itu terus melangkah perlahan-lahan, melintasi
ruangan yang kotor dan berantakan ini.
"Kakang...," desis Cempaka ketika mereka
memasuki ruangan dalam yang tidak kalah besarnya dari ruangan depan tadi.
Mereka semua memandang ke arah yang ditunjuk Cempaka. Di sudut ruangan, terlihat
tulang-tulang tengkorak manusia bertumpuk membukit. Pendekar-pendekar muda itu
terus melangkah, memasuki setiap ruangan yang ada di dalam bangunan istana ini.
Tak ada yang didapatkan di dalam istana ini.
Hampir setiap ruangan yang dimasuki, hanya tulang-tulang tengkorak manusia saja
yang ditemukan. Tak ada satu ruangan pun yang kelihatan bersih.
Semuanya dalam keadaan rusak, kotor, dan
berantakan. Sampai mereka tiba di luar istana melalui pintu belakang, tetap tak
menemukan sesuatu yang berarti.
"Tidak ada yang berarti di sini, Kakang," kata Pandan Wangi, agak mendesah
suaranya. "Kalau tidak di sini, di mana lagi dia tinggal, Banara?" tanya Danupaksi seraya
menatap Banara yang selalu didampingi kedua adiknya.
"Hanya istana ini satu-satunya tempat tinggal Raden Gordapala. Dan menurut
ayahku, semua rahasia Raden Gordapala tersimpan di istana ini,"
sahut Banara. "Tapi sudah seluruh bagian istana ini diperiksa, tapi tak ada sesuatu pun yang
berarti," kata Danupaksi lagi.
"Mungkin ada tempat rahasia yang tidak bisa kita lihat di sini," selak Sarala.
"Ya, mungkin juga. Tapi aku ragu bisa menemukan tempat rahasia itu," gumam
Danupaksi, seakan-akan untuk dirinya sendiri.
"Apa tidak sebaiknya kita berpencar saja, Kakang...?" usul Pandan Wangi.
"Jangan edan-edanan, Kak Pandan!" rungut
Cempaka. "Sangat berbahaya kalau kita berpencar, Pandan Wangi. Kita semua tidak paham
seluk-beluk daerah ini," Banara juga tidak menyetujui usul si Kipas Maut itu.
"Tapi...."
Belum juga Pandan Wangi selesai dengan
ucapannya, tiba-tiba saja....
"Akh...!" pekik Liliani.
Mereka semua jadi terkejut, melihat sebuah tangan yang kotor berlumpur dan rusak
tiba-tiba saja menyembul dari dalam tanah. Tangan itu men-cengkeram pergelangan
kaki Liliani. "Hiyaaa...!"
Sret! Bet! Danupaksi cepat bertindak. Bagai kilat pedangnya dicabut, langsung dibabatkan ke
tangan yang menyembul dari dalam tanah, dan tengah men-cengkeram pergelangan
kaki Liliani. Sekali tebas saja, tangan membusuk itu buntung. Lalu Danupaksi
cepat melompat menyambar tubuh gadis itu.
Belum lagi hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba saja dari dalam tanah di
sekitar mereka bersembulan tubuh-tubuh rusak yang begitu mengerikan. Sosok-sosok
mayat hidup itu terus bermunculan semakin banyak mengepung para pendekar muda
ini. Sret! Cring! Mereka semua langsung mencabut senjata
masing-masing. Hanya Rangga yang tidak mengeluarkan pedang pusakanya. Mayatmayat hidup yang bermunculan dari dalam tanah itu bergerak lamban dan kaku
menghampiri para pendekar muda itu. Suara-suara menggereng terdengar mendengung.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Cempaka berteriak nyaring, dan melompat menyambut mayat-mayat
hidup itu. Cepat sekali pedangnya dikebutkan pada salah satu mayat hidup yang
berhasil dijangkaunya.
Crakkk! "Aaargkh...!" mayat hidup itu meraung keras, langsung ambruk begitu pedang
Cempaka membelah dadanya.
Saat itu, Danupaksi dan ketiga putra Elang Maut juga sudah bertindak. Raunganraungan keras terdengar menggema, disusul ambruknya mayat-mayat
hidup itu. Tapi makhluk-makhluk bertubuh rusak dan kotor berlumpur lainnya tetap
saja maju dengan gerakan lamban dan kaku. Pendekar-pendekar muda itu terus
berlompatan sambil mengebutkan cepat pedangnya, membabat makhluk-makhluk
bertubuh rusak mengerikan itu.
Tapi mereka semua jadi terkejut setengah mati, karena mayat-mayat hidup yang
tadi ambruk bisa bangkit lagi. Dan mereka terus merangsek semakin rapat
mengepung para pendekar muda ini. Bahkan yang sudah buntung kepalanya saja,
masih bisa bangkit lagi. Sementara kepala-kepala yang buntung itu ikut bergerak,
sehingga membuat hati ngeri melihatnya. Melihat kenyataan ini, Rangga yang sejak
tadi tidak melakukan tindakan apa pun segera bertindak.
"Kalian semua ke belakangku...!" seru Rangga lantang.
Tanpa menunggu waktu lagi, mereka semua berlompatan ke belakang Pendekar
Rajawali Sakti.
Sementara Rangga sudah merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping, dan
merendahkan tubuh dengan lutut tertekuk. Kedua telapak tangannya merapat di
depan dada. Sebentar, ditariknya napas dalam-dalam. Lalu....
"Aji 'Bayu Bajra'...! Yeaaah...!"
Tepat di saat Rangga menghentakkan kedua
tangannya merentang ke samping, seketika itu juga bertiup angin badai yang
begitu keras menderu-deru.
Begitu hebatnya badai topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga
mayat-mayat hidup itu tidak mampu lagi bertahan. Mereka beterbangan bagai daundaun kering tersapu angin. Bahkan pepohonan di sekitar bagian belakang istana
ini ikut beterbangan, terbongkar dari akarnya. Tapi aneh, badai topan itu sama sekali
tidak dirasakan pendekar-pendekar muda yang berada di belakang Pendekar Rajawali
Sakti. Dan mereka hanya bisa terlongong bengong melihat mayat-mayat hidup itu
berpelantingan tak mampu menghadapi gempuran aji
'Bayu Bajra'. "Hep!"
Rangga kembali merapatkan kedua tangannya di depan dada. Seketika itu juga badai
topan lenyap, begitu Rangga menarik ajiannya yang dahsyat. Tak ada lagi satu
makhluk mayat hidup di sekitar mereka.
"Ayo, cepat tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.
Tanpa menunggu waktu lagi, mereka segera berlarian sambil menyimpan senjata
masing-masing. Mereka terus berlari ke bagian depan halaman Istana Hantu lewat samping. Tapi
mendadak saja....
"Ha ha ha...!"
Ketujuh pendekar muda itu seketika berhenti berlari, begitu tiba-tiba terdengar
Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tawa yang begitu keras menggelegar. Begitu kerasnya, seakan-akan datang dari
segala penjuru mata angin. Saat itu mereka baru saja sampai di halaman depan
Istana Hantu ini. Mereka benar-benar terkejut mendengar suara tawa yang begitu
keras menggelegar dan tiba-tiba sekali datangnya.
Dan belum lagi rasa terkejut itu hilang, tiba-tiba saja mereka dikejutkan
kembali. Tanah yang dipijak, tiba-tiba saja bergetar hebat bagai diguncang
gempa. Lalu.... Grakh...! "Whaaa...!"
"Aaa...!"
Mereka jadi menjerit, begitu tiba-tiba saja tanah
yang dipijak terbelah lebar. Tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk
menyelamatkan diri. Ketujuh pendekar muda itu langsung terjatuh masuk ke dalam
tanah yang terbelah dengan sendirinya. Jeritan panjang terus terdengar bersamaan
dengan me-luncurnya tubuh-tubuh mereka ke dalam tanah yang terbelah!
*** 5 Entah berapa lama pendekar-pendekar muda itu meluncur masuk ke dalam tanah yang
terbelah. Hingga akhirnya, mereka merasa seperti terbanting di tempat yang cukup keras,
seperti terbanting di atas batu cadas keras. Untung saja sebelum tubuh mereka
menyentuh bumi, terlebih dahulu mereka mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga, tubuh mereka tidak remuk. Namun, tetap saja mereka meringis, menahan
pegal pada persendian tubuh.
Ketujuh pendekar itu jadi terkejut, karena tahu-tahu sudah berada di dalam
sebuah ruangan yang dindingnya terbuat dari batu hitam. Suasana di ruangan itu
lembab dan pengap. Hanya ada sebuah pelita kecil yang menerangi ruangan batu ini
Sedikit pun tak ada lubang atau pintu di ruangan ini. Mereka sama-sama mendongak
ke atas. Tampak begitu jauh mereka berada di dalam tanah ini. Begitu jauhnya,
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 27 Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu Medali Wasiat 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama