Ceritasilat Novel Online

Setan Pedang Perak 1

Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak Bagian 1


1 "Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke udara, tersepak kaki kuda
coklat belang putih yang dipacu cepat oleh seorang
pemuda berbaju biru tua. Pemuda itu terus menggebah
kudanya dengan kecepatan tinggi, sambil berteriak
kencang. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang.
Memang ada kekhawatiran terlintas di wajahnya. Dari
kejauhan tampak debu mengepul tinggi ke angkasa.
Pemuda berbaju biru tua itu semakin kencang memacu
kudanya. Tidak dipedulikan lagi kudanya yang sudah kelelahan.
Demikian pula debu dan keringat yang membasahi tubuhnya. Kudanya terus digebah.
Menuju sebuah lembah yang
di tengah-tengahnya terdapat bangunan besar yang
dikelilingi gelondongan kayu pohon yang besar dan tinggi,
membentuk pagar. Bangunan itu lebih mirip benteng pertahanan, atau padepokan.
Tapi melihat letaknya yang
terpencil di tengah-tengah lembah, bangunan itu layak disebut sebuah sarang
salah satu partai persilatan.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pemuda itu kembali menggebah kudanya saat menoleh
ke belakang. Terlihat gerombolan orang berkuda yang
jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang itu semakin
mendekati. Itulah yang dikhawatirkannya. Pemuda itu
memang tengah dikejar-kejar karena suatu persoalan.
Jarak mereka semakin dekat, membuat udara kian pengap
oleh debu yang mengepul tinggi di angkasa.
"Hiegh...!"
Tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi pemuda berbaju
biru tua itu meringkik keras sambil mengangkat kaki
depannya tinggi-tinggi. Kuda coklat belang putih itu berhenti seketika. Malah
penunggangnya nyaris terpelanting,
kalau saja tidak cepat melompat turun dari punggung
kudanya. Dua kali dia berputaran di udara. Kemudian
mudah sekali kakinya mendarat di tanah, tidak jauh dari
kudanya yang menggelepar-gelepar di tanah. Tampak pada
bagian pinggul binatang itu tertancap sebatang anak
panah yang cukup dalam. Sebentar kemudian kuda itu
diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Keparat...!" desis pemuda itu geram.
"Cepat...! Tangkap dan bunuh iblis itu...!" terdengar
teriakan keras.
Dua puluh orang berkuda yang mengejar tadi serentak
melompat, sebelum tunggangan mereka berhenti berpacu.
Gerakan mereka sungguh indah dan ringan sekali. Dapat
dipastikan rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan yang
cukup tinggi. Dengan golok terhunus, mereka mengepung
pemuda itu dari segala arah.
"He... he... he.... Kau tidak akan dapat lari lagi, Bocah
Keparat!" dengus laki-laki setengah baya yang berdiri tepat
di depan pemuda berbaju biru tua itu.
Dia terkekeh-kekeh memamerkan baris-baris giginya
yang hitam dan nyaris ompong. Tangannya memegang
sebilah golok besar yang berkilatan dijilat cahaya matahari.
Sedangkan pemuda berbaju biru tua itu pandangannya
beredar ke sekeliling. Pengepungnya yang rata-rata bersenjatakan golok beraneka
ragam, siap menunggu
perintah. Pemuda berbaju biru tua itu mencabut pedangnya yang sejak tadi
tersampir di pinggang. Tampak sebilah
pedang keperakan yang panjang dan sangat tipis, berkilatan tertimpa cahaya
matahari. "Sudah kukatakan, jangan harap bisa melarikan diri,
Palaka," tegas laki-laki setengah baya berbaju hijau daun
itu. "Hm.... Aku tidak melarikan diri, Guritan! Aku hanya
menghindari keroyokanmu! Kalau kau berani, hadapilah
aku secara jantan!" bentak pemuda yang dipanggil Palaka
itu. "Ha... ha... ha...," laki-laki setengah baya yang bernama
Guritan itu hanya tertawa saja, lalu memberi aba-aba
melalui jentikan dua jarinya.
Seketika dari empat jurusan, empat orang langsung berlompatan ke depan sambil
berteriak keras. Kini pemuda
berbaju biru tua makin terkepung rapat.
Kaki mereka bergeser, sambil memainkan golok di
depan dada. "Haaat!"
"Hiyaaat..!"
Dua orang yang berada di samping kanan dan di depan,
langsung melompat sambil menebaskan goloknya ke arah
Palaka. Secepat kilat pemuda itu mundur satu langkah,
lalu tubuhnya dimiringkan ke kiri. Tebasan golok dari
samping kanan hanya menyambar tempat kosong. Secepat
golok itu lewat, secepat itu pula Palaka menghentakkan
kakinya ke kanan. Dan kembali tubuhnya ditarik mundur,
menghindari sabetan golok dari depan.
"Uts...!"
Palaka buru-buru memiringkan tubuhnya ke kanan
ketika datang satu serangan lagi dari samping kiri. Namun
belum sempat tubuhnya diseimbangkan, datang serangan
lain dari belakang. Kemudian dibarengi serangan dari arah
kanan dan depan. Empat orang itu menyerang bertubi-tubi,
disertai permainan golok yang cepat dan sangat gencar.
Mereka menyerang secara bergantian, dan dalam tempo
cepat. Hal ini membuat Palaka kewalahan menghadapinya.
Tidak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang.
Bahkan untuk mengambil napas saja, terasa sukar sekali.
Ruang geraknya benar-benar tertutup. Tak ada celah
sedikit pun untuk keleluasaan geraknya. Semuanya tertutup oleh kelebatan golok
yang cepat. Sehingga hanya
kilatan sinar keperakan yang tampak berkelebatan
mengurung tubuh Palaka.
Deghk! Palaka terkejut ketika tiba-tiba sebuah tendangan keras
mendarat di punggungnya. Dan begitu tubuhnya terjajar ke
depan, sebilah golok menyambar cepat bagai kilat. Namun
pemuda berbaju biru tua itu cepat-cepat mengibaskan
pedangnya untuk menyampok tebasan golok yang
mengarah ke dada.
Trang! Bunga api memercik saat dua senjata beradu keras
yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Seketika
Palaka merasakan pergelangan tangannya nyeri saat
pedangnya beradu dengan golok salah seorang penyerangnya. Palaka menyadari kalau
tenaga dalam yang dimilikinya
seimbang dengan tenaga dalam lawannya. Itu berarti
dirinya harus waspada dan berhati-hati dalam menghadapi
mereka yang rata-rata memiliki tenaga dalam sama.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja sebelum Palaka bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, seorang lawan telah melancarkan serangan kilat. Goloknya
yang besar dan berkilat, berkelebat mengincar dada pemuda berbaju biru tua itu.
Secepat kilat Palaka mundur satu langkah, sehingga
tebasan golok itu lewat di depan dadanya. Namun belum
juga posisi tubuhnya bisa ditarik kembali, satu tendangan
keras dari arah kanan, meluncur cepat sekali. Dalam posisi
sulit seperti ini Palaka tidak sempat lagi menghindar.
Deghk! "Akh...!" Palaka memekik keras agak tertahan.
Kembali pemuda itu terhuyung karena bahunya terhantam tendangan keras mengandung
pengerahan tenaga
dalam yang cukup tinggi. Pada saat tubuhnya terhuyung,
datang lagi satu serangan golok yang mengarah ke
lehernya. Cepat sekali datangnya serangan itu, sehingga
Palaka tidak bisa menghindar.
"Mati aku...," desah Palaka dalam hati.
Pada saat yang genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan
putih berkelebat cepat menyambar orang yang menebaskan golok ke leher Palaka.
Des! "Akh...!" orang itu memekik keras, tepat saat tubuhnya
terpental jauh ke belakang.
Tiga orang lainnya terperanjat. Namun sebelum sempat
menyadari apa yang terjadi, bayangan putih itu kembali
berkelebat cepat menyambar mereka. Kembali terdengar
jeritan melengking panjang saling susul. Ketiga orang itu
mental jauh ke belakang dan tersuruk di tanah. Hanya
sebentar mereka mampu menggeliat. Sesaat kemudian,
sudah tak bernyawa lagi.
Bukan hanya para pengepung Palaka yang terperanjat
menyaksikan kejadian itu. Bahkan pemuda itu terpaku dan
mulutnya ternganga lebar, melihat empat tubuh tergeletak
dengan leher koyak berlumuran darah. Empat orang itu
tewas seketika. Kesunyian langsung mewarnai tempat ini.
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba terdengar tawa menggelegar memecah
kesunyian yang terjadi. Semua orang yang berada di
tempat itu kembali terkejut. Mereka kebingungan, karena
tawa itu terdengar tanpa ada orangnya. Malah suara tawa
itu menggema ke segala penjuru.
*** "Hantu...!" teriak salah seorang tiba-tiba.
Seketika itu juga yang lainnya berlarian pontang-panting
mengikuti orang itu. Mereka melompat ke punggung kuda
masing-masing, dan langsung menggebahnya meninggalkan tempat itu.
"Hei! Kembali...!" teriak Guritan.
Tapi tak ada seorang pun yang mengindahkan teriakan
Guritan. Menyadari hanya tinggal seorang diri di tempat ini,
Guritan tidak ingin ambil risiko. Cepat dia berlari dan
melompat naik ke punggung kudanya.
"Hiyaaa!"
Guritan langsung mengebah cepat kudanya. Debu
langsung membumbung tinggi ke angkasa ketika kuda
hitamnya melesat kencang meninggalkan Palaka yang kini
tinggal seorang diri di tempat sunyi ini.
"Hm...," Palaka menggumam kecil.
Pandangan pemuda berbaju biru tua itu beredar ke
sekeliling. Tak seorang pun terlihat di tempat yang sunyi ini.
Suara tawa menggelegar itu pun sudah tidak terdengar
lagi, tepat saat Guritan pergi menyusul teman-temannya.
"Aku tidak tahu, siapa dirimu. Tapi jika kau bermaksud
baik, keluarlah. Kita bisa bicara baik-baik," kata Palaka,
agak lantang suaranya.
Untuk sesaat suasana sunyi sepi. Tak terdengar suara
sedikit pun kecuali angin yang berhembus perlahan
menebarkan udara dingin. Palaka mengedarkan
pandangannya berkeliling. Telinganya dipasang tajamtajam agar bisa mendengar
suara sekecil apa pun, tapi
tetap saja tidak terdengar apa-apa.
Namun tidak lama kemudian, terdengar siulan yang
tidak beraturan bunyinya. Suara itu datang dari arah
belakang pemuda berbaju biru tua itu. Perlahan-lahan
Palaka memutar tubuhnya, dan langsung terperanjat.
Ternyata di depannya sudah duduk seorang pemuda
berbaju putih bersih agak ketat. Sama dengan Palaka, dia
juga mengenakan ikat kepala berwarna putih. Wajahnya
cukup tampan, dan kulitnya kuning langsat. Tapi
ketampanan wajahnya ternoda oleh luka codet memanjang
yang membelah pipi kanannya, hingga batas bibir.
Palaka memandangi pemuda yang usianya tidak
berbeda jauh darinya. Atau mungkin juga masih sebaya.
Sedangkan pemuda berbaju putih itu tampak tidak mempedulikan. Bibirnya yang agak
monyong terus mengalungkan siulan yang tidak beraturan iramanya.
"Kau tadi yang membunuh mereka...?" tanya Palaka
langsung menebak.
"Hanya sekadar menyelamatkan nyawamu. Kelihatannya
kau perlu bantuan," sahut pemuda berbaju putih itu kalem.
"Aku memang terdesak. Tapi tidak ada niatan di hatiku
untuk membunuh mereka. Kau menambah beban persoalanku saja!" dengus Palaka
kurang senang dengan
pertolongan pemuda itu.
"Kendalikan dulu dirimu, Palaka...," masih terdengar
tenang suara pemuda berbaju putih itu.
Palaka tersentak kaget. Betapa tidak..." Laki-laki muda
berbaju putih ini mengetahui namanya. Dari mana pemuda
itu mengetahui namanya..." Pertanyaan ini yang mengganggu benak Palaka, di balik
keterkejutannya yang amat
sangat. "Dari mana kau mengenalku..."!" tanya Palaka, agak
keras suaranya.
"Tidak terlalu sukar untuk mengetahui namamu, Palaka.
Bahkan aku juga tahu tujuanmu datang ke daerah ini. Kau
hendak menuju lembah itu, bukan...?" masih terdengar
tenang nada suara pemuda berbaju putih itu. Bahkan
sedikit pun tidak berpaling memandang Palaka yang berdiri
tidak seberapa jauh di depannya.
Sementara itu Palaka terus memandangi. Tatapan matanya memancarkan
ketidakpercayaan kalau pemuda yang
belum dikenalnya ini mengetahui tentang dirinya. Bahkan
mengetahui tujuannya datang ke lembah ini. Mendadak
saja ada perasaan khawatir di hatinya, yang memancar
lewat sorot matanya.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang diriku" Siapa kau
sebenarnya?" tanya Palaka. Nada suaranya terdengar
tajam. "Aku Sangaji. Tentang dirimu, kuketahui dari seseorang
yang patut dipercaya. Itu sebabnya aku langsung datang ke
sini. Tapi kedatanganku rupanya agak sedikit terlambat,"
sahut pemuda berbaju putih itu kalem.
"Siapa yang mengatakan itu padamu?" kejar Palaka
ingin tahu. "Sayang sekali, aku sudah berjanji untuk tidak mengatakannya padamu."
"Lalu, apa maksudmu menemuiku?" tanya Palaka lagi.
"Hanya untuk mengatakan agar kau jangan ke lembah


Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana. Terlebih lagi benteng itu," sahut Sangaji ringan
seraya menunjuk ke arah benteng di tengah lembah sana.
"He...! Kau tidak bisa seenaknya melarangku!" bentak
Palaka sengit. "Aku hanya menyampaikan amanat saja. Terserah jika
kau tidak sudi mendengarnya," terdengar ringan sekali
suara Sangaji. "Huh! Kau sudah menambah persoalanku, malah
sekarang akan membuat persoalan lagi!" dengus Palaka
memberengut. Palaka membalikkan tubuhnya, kemudian berjalan
meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas, lembah
yang terletak di bawah lereng tebing itu. Sama sekali tidak
dihiraukan peringatan pemuda berbaju putih yang
mengaku bernama Sangaji itu.
"Kau pasti akan memerlukan aku, Palaka. Aku akan
menunggu di sini," ujar Sangaji setengah berteriak.
Palaka benar-benar tidak peduli lagi. Malah semakin
dipercepat ayunan kakinya. Pemuda berbaju biru tua itu
berjalan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga dalam waktu singkat sudah menempuh
perjalanan begitu jauh. Sementara Sangaji masih tetap
duduk bersandar pada pohon. Dipandanginya Palaka yang
semakin menjauh. Tampak di bibir tipisnya terulas
senyuman kecil.
Palaka menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba di
depan pintu gerbang benteng yang berada di tengahtengah lembah ini. Pemuda itu
seketika tertegun melihat
daun pintu gerbang benteng telah hancur berantakan.
Perlahan-lahan kakinya terayun memasuki benteng itu.
Dan kini, dia kembali tertegun. Bola matanya terbeliak
lebar. "Apa yang terjadi di sini...?" desis Palaka dalam hati.
Kakinya terayun kembali semakin jauh memasuki
benteng itu. Matanya beredar ke sekeliling. Tampak dua
buah bangunan besar yang berada di dalam lingkaran
benteng itu sudah hancur tidak berbentuk lagi. Bau anyir
darah tercium menusuk hidung, terbawa hembusan angin
yang cukup kencang.
Perlahan-lahan pemuda itu melanjutkan langkahnya.
Beberapa kali kakinya terpaksa harus melangkahi mayatmayat yang bergelimpangan tak tentu arah. Palaka dapat
mengenali sebagian besar mayat-mayat itu dari pakaiannya, kecuali beberapa mayat
yang berjubah putih.
"Oh...! Eyang...!" sentak Palaka ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh
yang terbaring di antara
tumpukan balok yang menghitam hangus.
Bergegas Palaka menghampiri sosok tubuh tua berjubah
putih yang tertelungkup itu. Ketika tubuh laki-laki tua
dibalikkan, pemuda itu terkejut. Ternyata sebagian wajah
mayat laki-laki tua itu sudah hancur. Bergegas diletakkannya kembali mayat lakilaki tua yang tadi dipanggilnya
eyang itu. Untuk beberapa saat dipandanginya mayat lakilaki tua itu. Lalu,
ditariknya napas panjang, dan terasa
berat sekali. "To... looong...!" tiba-tiba terdengar rintihan lirih.
Palaka langsung memalingkan kepalanya ke arah suara
rintihan lirih itu. Tak ada yang bergerak, meskipun banyak
mayat yang bergelimpangan.
"Siapa di situ...?" kembali terdengar rintihan lirih.
"Di manakah kau, Kisanak?" tanya Palaka, agak keras
suaranya. "Di sini...."
Palaka langsung menghampiri ketika melihat sepotong
tangan menyembul dari reruntuhan balok kayu dan batu
yang tengah bergerak-gerak lemah. Gerakan tangan itu
baru terhenti begitu Palaka dekat.
"Paman...!" sentak Palaka begitu melihat adanya gambar
seekor macan tercetak pada tangan yang kotor berlumuran
darah kering dan debu.
Bergegas pemuda itu mengangkat balok-balok kayu dan
bebatuan yang menimbun laki-laki yang dipanggil paman
oleh Palaka. Puing-puing itu dilemparkannya begitu saja,
tidak peduli kalau jatuh menimpa mayat-mayat yang
bergelimpangan di sekitarnya. Palaka semakin bersemangat saat sudah bisa
menyingkirkan sebagian
reruntuhan yang menimbun seorang laki-laki setengah
baya. "Paman..., Paman Tirta...," panggil Palaka seraya membersihkan kotoran dan darah
kering di wajah laki-laki
setengah baya itu.
"Ohhh...," laki-laki setengah baya itu hanya mampu
merintih lirih.
Palaka bergegas mengambil tempayan yang berada
tidak jauh dari tempat itu. Airnya masih ada setengah.
"Ohhh.... Apakah kau Palaka...?" terdengar lirih suara
Paman Tirta. "Benar. Aku Palaka, Paman," sahut Palaka sambil terus
membawa tempayan.
Paman Tirta kembali merintih lirih, kemudian terbatukbatuk. Laki-laki setengah
baya itu mencoba bangkit duduk,
tapi Palaka cepat-cepat mencegah.
"Palaka, cepatlah kau pergi dari sini sebelum mereka
datang kembali," ujar Paman Tirta pelan, hampir tidak
terdengar. "Kau tidak usah mengobatiku, Palaka!
Percuma...! Aku telah terkena racun...!"
"Apa yang terjadi di sini, Paman?" tanya Palaka tidak
peduli dengan peringatan laki-laki setengah baya itu.
"Oh.... Palaka..., cepatlah kau pergi. Mereka pasti akan
datang lagi ke sini."
"Siapa mereka, Paman" Apa yang mereka inginkan di
sini?" tanya Palaka mendesak.
"Oh...," Paman Tirta mendesah seraya menghembuskan
napas panjang. Tubuhnya tampak semakin lemah.
"Paman...."
"Palaka! Pergilah ke Karang Setra. Temui Pendekar
Rajawali Sakti di sana...," suruh Paman Tirta terputus.
"Paman...!"
"Katakan padanya tentang keadaan di sini. Berikan
cincin ini padanya. Dia pasti bisa mengerti jika cincinku kau
berikan padanya...," setelah berkata demikian, Paman Tirta
terbatuk-batuk.
"Paman...."
"Cepatlah pergi, dan jangan sampai ada yang tahu
kedatanganmu ke sini!"
Paman Tirta kembali terbatuk-batuk. Kali ini dari mulutnya menyemburkan darah
kental berwarna kehitaman bercampur cairan hijau kekuningan. Palaka terkejut
melihatnya. "Paman...!" sentak Palaka ketika kepala laki-laki
setengah baya itu terkulai.
Diguncang-guncangkan tubuh laki-laki setengah baya itu
sambil terus memanggil namanya. Tapi Paman Tirta sudah
tidak bernyawa lagi. Telapak tangan Palaka mengusap
wajah pamannya itu. Sebentar pemuda berbaju biru tua itu
tertunduk, kemudian melepaskan cincin dari jari manis
laki-laki setengah baya itu.
"Akan kulaksanakan amanatmu yang terakhir, Paman,"
ujar Palaka lirih.
Perlahan-lahan pemuda berbaju biru tua itu bangkit.
Tubuh laki-laki setengah baya yang sudah tidak bernyawa
masih dipandanginya. Kemudian kakinya melangkah perlahan, meninggalkan benteng
yang sudah tidak berbentuk
itu. Hanya bagian pagarnya saja yang masih kelihatan utuh.
Tapi seluruh bagian dalamnya sudah tidak beraturan lagi.
Sungguh pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.
"Kasihan kalian...," desah Palaka lirih.
*** 2 Pagi masih terlalu dini. Matahari belum menampakkan
dirinya, meskipun kokok ayam jantan sudah sejak tadi
terdengar saling sambut. Kicauan burung menambah
semaraknya pagi yang masih gelap ini. Kegelapan memang
masih menyelimuti Desa Gadakan. Sebuah desa yang tidak
terlalu besar, dan terletak di Kaki Gunung Gadakan, atau
lebih tepat bila dikatakan berada di lereng gunung.
Semua penduduk desa itu masih terlelap dalam buaian
mimpi. Udara yang teramat dingin ini membuat orang
malas beranjak dari pembaringan.
Tapi tidak demikian halnya seorang pemuda berambut
panjang agak tergelung sedikit ke atas. Dia malah berjalan
perlahan-lahan sambil menuntun seekor kuda hitam yang
tinggi dan tegap berotot. Sambil terus berjalan menikmati
kesegaran udara pagi hari, pemuda tampan berbaju rompi
putih itu terus melangkah tenang. Padahal kegelapan
masih menyelimuti sekitarnya, ditambah udara dingin
menusuk kulit. Seakan-akan, semuanya bukanlah penghalang untuk melangkahkan
kakinya. "Hiegh...! Hgrrr...."
Tiba-tiba saja kuda hitamnya meringkik keras dan mendengus-dengus sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara kaki depannya dihentak-hentakkan. Pemuda
berbaju rompi putih itu menghentikan ayunan kakinya.
Matanya memanearkan keheranan memandangi kudanya
yang mendadak gelisah itu.
"Hsss..., diam...," pemuda itu berusaha meredakan
kegelisahan kudanya.
Namun kuda hitam itu malah meringkik keras sambil
meronta, mencoba melepaskan pegangan tali kekangnya.
Pemuda itu semakin keheranan. Namun sebelum sempat
diketahui penyebabnya, mendadak secercah cahaya
kemerahan berkelebat bagai kilat menuju ke arahnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Secepat kilat pemuda berbaju rompi putih itu melompat
ke atas sambil menepuk punggung kudanya. Tepat saat
tubuhnya melesat, kuda itu langsung melompat deras ke
samping. Cahaya kemerahan itu lewat, tidak berhasil
menyentuh sasaran.
Dengan gerakan ringan, pemuda berbaju rompi putih itu
mendarat di tanah setelah berputaran beberapa kali.
Sebentar pemuda itu melirik kuda hitamnya yang sudah
menepi. Binatang itu kelihatan tenang kembali. Malah kini
tengah merundukkan kepalanya masuk ke saluran air, di
tepi jalan ini. Pemuda berbaju rompi putih itu mengedarkan
pandangannya berkeliling, dan langsung tertuju ke arah
datangnya sinar kemerahan tadi.
"Hm...," gumamnya perlahan.
Saat kudanya hendak dipanggil mendadak dari depan
kembali melesat seberkas cahaya kemerahan. Pemuda
berbaju rompi putih itu langsung memiringkan tubuh
sedikit ke kanan, sementara tangan kirinya bergerak cepat
menghadang cahaya kemerahan itu.
Tap! Pemuda tampan itu langsung mengamati benda yang
berhasil ditangkapnya. Benda itu sebesar telapak tangan
bayi berwarna kemerahan dan berbentuk lempengan
seperti piring. Saat matanya mengarah ke depan, terlihat
sebuah bayangan berkelebat cepat. Seketika itu juga
tangan kirinya dihentakkan, untuk melemparkan benda
bulat pipih berwarna kemerahan itu.
Benda kemerahan itu melesat cepat bagai kilat,
langsung menembus kegelapan pagi buta ini. Seketika itu
juga, terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya sesosok tubuh yang
keluar dari dalam semak belukar.
"Hup...!"
Pemuda tampan itu langsung melompat. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kakinya mendarat manis di dekat
sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Tampak benda
kemerahan itu tertanam dalam di tenggorokannya. Darah
merembes keluar dari tenggorokan yang tertancap benda
berbentuk lempengan itu.
Namun sebelum mayat itu sempat diperiksa, mendadak
dari dalam kegelapan bermunculan beberapa sosok tubuh
berbaju putih. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu
bergegas melompat ke belakang beberapa tindak. Sementara sosok-sosok tubuh yang
bermunculan itu langsung
bergerak membuat lingkaran mengepung. Jumlahnya tidak
kurang dari tiga puluh orang, dan semuanya berseragam
putih ketat Masing-masing memegang tombak panjang
merah bermata tiga.
"Siapa kalian...?" tanya pemuda itu.
Namun sebelum mendapat jawaban, pemuda itu
kembali dikejutkan oleh munculnya seorang laki-laki kurus
mengenakan jubah longgar berwarna kuning. Tubuhnya
agak bungkuk, disangga sebatang tongkat hitam berkeluk
yang tergenggam di tangannya.
*** "He... he... he...!" laki-laki tua berjubah kuning itu tertawa
terkekeh-kekeh.
"Eyang Bangkal...," desis pemuda berbaju rompi putih itu
perlahan. Rupanya dia mengenali laki-laki tua di hadapannya.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Rajawali Sakti. He... he...
he...," laki-laki tua bungkuk yang dikenal bernama Eyang
Bangkal itu kembali terkekeh, yang lebih mirip sebuah
seringai. "Hm...," pemuda berbaju rompi putih yang memang
Pendekar Rajawali Sakti hanya menggumam kecil saja.
Pemuda itu membalas tatapan Eyang Bangkal dengan
tajam pula. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip.
Mereka memang pernah bertemu, bahkan sempat bentrok
di Gunung Gadakan ini.
"Serang...!" tiba-tiba saja Eyang Bangkal berteriak
lantang memberi perintah.
"Hiya...!"
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga orang-orang berbaju putih itu berlompatan menyerang Pendekar
Rajawali Sakti. Tombak
mereka berkelebatan cepat, menusuk ke bagian-bagian
tubuh yang mematikan. Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali
Sakti bergerak memutar tubuhnya. Maka seketika itu juga jurus 'Pukulan Maut
Paruh

Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rajawali' dikerahkan.
Cepat sekali gerakan yang dilakukan Rangga. Kedua
tangannya bergerak secepat kilat diikuti gerakan tubuh
yang meliuk-liuk dan gerakan kaki yang begitu lincah, cepat
luar biasa. Dalam beberapa gebrakan saja, sudah terdengar jeritanjeritan panjang melengking
tinggi. Dan kini tampak beberapa sosok tubuh berbaju putih bergelimpangan di
tanah dengan kepala pecah. Dalam waktu singkat saja, sudah
lima orang tergeletak tak bernyawa.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras melengking, pendekar muda
yang selalu mengenakan baju rompi putih itu melentingkan
tubuhnya ke angkasa. Tubuhnya diputar indah sekali di
udara, kemudian meluruk deras ke arah kudanya yang
berada di tepi jalan. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti
hinggap di punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu
itu. "Hieeeghk...!" Dewa Bayu meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Rangga mengendalikan kudanya agar bisa tenang.
Sebentar kemudian dipandanginya orang-orang yang
berada tidak seberapa jauh di depan. Dan kini tatapan
matanya begitu tajam menusuk langsung pada Eyang
Bangkal. "Kau akan menyesal jika terus mencari urusan denganku, Eyang Bangkal," tegas
Rangga, dingin nada suaranya.
"Kau harus dilenyapkan, Pendekar Rajawali Sakti! Kau
selalu menjadi penghalangku...!" geram Eyang Bangkal.
Tapi geraman orang tua itu tidak dihiraukan sama
sekali. Rangga cepat memutar kudanya, dan langsung
menggebah dengan kecepatan tinggi. Kuda hitam itu
melesat bagai kilat, hingga dalam sekejap sudah lenyap
dari pandangan mata.
"Jangan lari kau...!" teriak Eyang Bangkal geram
setengah mati. Tapi bayangan kuda hitam yang ditunggangi Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah tidak terlihat lagi. Eyang Bangkal
memaki-maki sambil menghentak-hentakkan tongkatnya
ke tanah. Kemudian, matanya merayapi mayat anak
buahnya yang tergeletak di tanah. Sementara itu matahari
mulai menyemburat, mengintip malu-malu. Sinarnya yang
kemerahan, begitu lembut menyapu seluruh permukaan
alam ini. "Ayo kembali!" sentak Eyang Bangkal kesal.
Laki-laki tua bungkuk berjubah kuning itu langsung
melesat cepat meninggalkan tempat itu, diikuti orang-orang
berbaju putih pekat. Sebentar saja tempat itu sudah sunyi.
Dan kini hanya tinggal lima sosok mayat yang tergeletak
dengan kepala hancur berantakan.
*** Sampai matahari tepat di atas kepala, Rangga baru
menghentikan lari kudanya. Tampak sebuah sungai yang
cukup besar menghadang di depan. Pendekar Rajawali
Sakti itu melompat turun dari punggung kudanya, lalu
berjalan menghampiri sungai yang terlihat jernih airnya itu.
Namun ketika tangannya dicelupkan, mendadak air
sungai itu bergolak mendidih mengepulkan uap tipis
kebiruan. "Akh...!" Rangga memekik keras tertahan.
Buru-buru tangannya diangkat keluar dari dalam sungai.
Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mundur dua tindak.
Seketika matanya memandangi tangan yang berubah
memerah. Tangannya terasa panas sekali bagai terbakar.
Rangga merasakan panas itu menjalar hingga ke seluruh
tubuhnya. "Uh! Aaakh...!" kembali Rangga memekik keras tertahan.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bergetar ketika panas
yang menjalar ke seluruh tubuhnya semakin tak tertahankan lagi. Buru-buru ia
duduk bersila dan menggerakgerakkan tangannya cepat di depan dada. Lalu kedua
telapak tangannya merapat di depan dada.
"Hap! Hsss...!"
Perlahan Rangga memejamkan mata. Tubuhnya masih
terasa panas dan bergetar, meskipun tidak sehebat tadi.
Namun mendadak saja....
Desss! Satu tendangan yang bertenaga dalam tinggi, tiba-tiba
mendarat di punggungnya. Seketika tubuhnya terguling
beberapa kali di tanah. Sebelum Pendekar Rajawali Sakti
itu sempat bangkit, satu tendangan yang sangat keras dari
penyerang gelap itu kembali tiba. Dan kemudian, beberapa
tendangan lagi susul-menyusul menghajar tubuhnya, tanpa
sedikit pun dia mampu menghindar. Pada saat itu
Pendekar Rajawali Sakti bcnar-benar tidak berdaya
melawan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Sehingga tidak mampu melawan sama sekali. Rangga
merasakan pepohon di sekelilingnya berputar. Kemudian
dia pun tak ingat apa-apa lagi. Pingsan!
Tak lama setelah itu, bermunculan orang-orang berjubah
putih yang wajahnya tertutup tudung berbentuk kerucut.
"Angkat dia," perintah orang yang membokong Pendekar
Rajawali Sakti tadi.
Dua orang bergerak maju, lalu mengangkat tubuh
Rangga yang sudah tidak sadarkan diri. Dada yang bergerak lemah turun naik,
menandakan kalau pemuda
berbaju rompi putih itu masih hidup. Tanpa banyak bicara
lagi, lima orang berjubah putih panjang hingga menggeser
tanah itu bergerak meninggalkan tepian sungai. Salah
seorang sempat melemparkan sebuah benda berbentuk
seperti bola yang besarnya sekepalan tangan ke arah
sungai. Bola berwarna keperakan itu langsung melesak
begitu menyentuh permukaan air sungai.
Suara ledakannya terdengar menggelegar, membuat
bumi yang dipijak berguncang dahsyat. Namun getaran dan
ledakan itu tidak membuat lima orang berjubah putih
panjang itu menghentikan ayunan langkahnya. Mereka
terus melangkah menembus kelebatan hutan.
Kuda Dewa Bayu yang semenjak tadi memperhatikan
majikannya dibuat tak berdaya, segera meringkik keras
sambil menengadahkan kepalanya. Sesaat kemudian,
kuda hitam itu berlari cepat bagaikan anak panah melesat
dari busur. Begitu cepatnya binatang liu berlari, sehingga
dalam waktu singkat sudah lenyap dari pandangan mata.
*** Sementara itu, kuda hitam tunggangan Pendekar
Rajawali Sakti sudah sampai di perbatasan gerbang
Kotaraja Karang Setra. Kuda yang bernama Dewa Bayu itu
terus berpacu cepat menuju istana kerajaan yang berada
di tengah-tengah pusat kota. Orang-orang yang melihat
kuda itu berlari cepat tanpa penunggang, jadi bertanyatanya. Bahkan dua orang
prajurit penjaga pintu gerbang
istana, buru-buru membuka pintu begitu melihat kuda
tunggangan rajanya kembali tanpa ada orangnya.
Hanya saja para prajurit itu tidak terkejut lagi melihat
Dewa Bayu kembali sendiri tanpa Pendekar Rajawali Sakti.
Memang sudah sering kuda itu keluar masuk sendirian.
Bahkan bisa lebih satu purnama kuda itu menghilang,
kemudian tiba-tiba muncul lagi tanpa penunggang, meskipun punggungnya terpasang
pelana. Namun kehadiran
kuda hitam yang kelihatannya terburu-buru itu tidak seperti
biasanya. "Hieeeghk...!"
Kuda hitam itu langsung meringkik keras begitu tiba di
depan istana. Beberapa prajurit yang kebetulan bertugas di
sana, tentu saja terkejut, karena kuda itu kelihatan liar
sekali. Binatang itu melonjak-lonjak sambil meringkik
keras. Beberapa kali diangkat kedua kaki depannya tinggitinggi sambil meringkik
keras. Keributan di depan istana itu membuat semua orang
yang berada di dalam, berlarian keluar. Tampak Danupaksi
dan Cempaka juga bergegas berlari ke luar. Mereka terkejut melihat tingkah laku
Dewa Bayu. Sejenak mereka
saling berpandangan. Sementara sekitar dua puluh orang
prajurit sudah mengelilingi kuda itu dengan tambang
tergenggam di tangan.
"Mau apa kalian di situ..." Minggir...!" bentak Cempaka
keras. Para prajurit langsung membungkukkan badannya memberi hormat, lalu bergegas
menyingkir jauh. Cempaka
melangkah tegap menghampiri kuda hitam yang mendengus-dengus seraya
menganggukkan kepalanya berulang-ulang. Sedikit demi sedikit, Cempaka mendekati
kuda hitam itu.
Melihat Cempaka menghampiri, Dewa Bayu berangsur
jinak. Kakinya melangkah menghampiri gadis berbaju
merah muda ketat yang dihiasi beberapa sulaman benang
emas pada bahunya. Kuda hitam itu menyorongkan
kepalanya pada Cempaka yang langsung memeluk penuh
kasih sayang. "Ada apa, Dewa Bayu?" tanya Cempaka lembut seraya
membelai-belai kepala kuda hitam pekat berkilat itu.
Dewa Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan
kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. Cempaka yang
berusaha untuk mengerti isyarat kuda itu, jadi kebingungan
sendiri. Memang tidak ada yang bisa mengerti isyarat yang
diberikan Dewa Bayu selain Pendekar Rajawali Sakti.
Menyadari kalau Cempaka kebingungan, kuda itu
menggigit ujung baju gadis itu. Segera diseretnya Cempaka
hingga ke dekat punggung. Kemudian kuda itu merendahkan tubuhnya, lalu kepalanya
menoleh ke belakang. Dan
dengan ujung moncongnya, ditepuk-tepuknya punggungnya
sendiri. "Kau menyuruhku naik...?" tanya Cempaka dengan
kening berkerut dalam.
Kuda hitam itu terangguk-angguk. "Ah, tidak.... Aku tidak
berani menunggangimu," tolak Cempaka seraya bergerak
mundur. Tapi kuda itu lebih cepat menggigit ujung baju gadis itu.
Kembali Cempaka jadi kebingungan juga. Belum ada
seorang pun yang menunggangi kuda ini, yang memang
tidak bisa ditunggangi siapa pun. Dia akan lebih liar
daripada kuda liar yang ada di bukit, jika ada orang yang
tidak dikenal berusaha menungganginya.
"Baik.... Baik, tapi aku tidak mau bertanggung jawab.
Kau yang menyuruhku, Dewa Bayu," kata Cempaka
menyerah. Cempaka segera naik ke punggung kuda hitam itu,
sambil memegangi tali kekangnya. Tapi belum juga
sempurna duduknya di punggung kuda itu, mendadak saja
Dewa Bayu meringkik keras dan langsung melesat cepat
keluar dari halaman depan Istana Karang Setra.
"Aaah...!" Cempaka menjerit terkejut.
Buru-buru tali kekang kuda itu dipegangi erat-erat.
Sementara para prajurit yang menyaksikan, bergegas
menghadang sebelum kuda itu mencapai pintu gerbang.
Tapi kuda itu malah melompat tinggi, melewati barisan
kepala para prajurit. Cempaka sampai berteriak karena
merasa ciut hatinya berada di punggung kuda ini.
"Buka pintunya...!" teriak Cempaka keras.
Dua prajurit penjaga pintu gerbang itu malah berdiri
tegak, sambil mengarahkan ujung tombak ke depan.
Cempaka jadi geram. Padahal, kuda ini sebentar lagi
sampai. Tapi, mendadak saja Dewa Bayu melompat tinggi.
"Aaah...!" jerit Cempaka melengking.
Bukan hanya Cempaka saja yang merasa ngeri. Bahkan
semua prajurit dan pembesar istana yang menyaksikan
harus menahan napas. Kuda Dewa Bayu tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti itu melompat tinggi, dan terus
meluncur melewati gerbang istana yang tinggi. Sebentar
kemudian, kuda itu menghilang di balik benteng yang
mengelilingi bangunan istana.
"Siapkan kudaku, cepat..." Kejar kuda itu...!" teriak
Danupaksi menggelegar.
Sebentar saja, pintu gerbang terbuka tebar. Maka dari
arah samping istana sebelah kanan, berhamburan sekitar
lima puluh prajurit dan dua tamtama serta seorang
panglima memacu kudanya dengan cepat keluar dari
istana ini. Danupaksi sendiri langsung melompat ke punggung
kuda putihnya begitu seorang pengurus kuda datang
membawa tunggangannya. Langsung saja pemuda itu
menggebah cepat kudanya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
*** 3 Cempaka memegangi tali kekang kuda hitam itu kuatkuat. Tubuhnya terguncangguncang mengikuti irama derap
kaki kuda yang berlari cepat bagai terbang saja. Sama
sekali kuda hitam tunggangan kakak tirinya itu tidak bisa
dikendalikan. Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu
terus berlari seperti tak mempedulikan raut wajah
Cempaka yang pucat pasi. Meskipun gadis itu memiliki
tingkat kepandaian tinggi, tapi belum pernah menunggang
kuda demikian cepat.
"Pelankan larimu, Dewa Bayu...!" seru Cempaka keras di
dekat telinga kuda hitam itu.
Tapi permintaan gadis itu tidak dipedulikan sama sekali.
Dewa Bayu terus berlari kencang, membuat kepulan debu
di angkasa. Cempaka berpaling ke belakang, agar berharap
ada yang mengikutinya. Ternyata itu hanya sia-sia belaka,
karena tak ada seorang prajurit pun yang terlihat
menyusulnya. Dan disadari betul kalau kecepatan lari kuda
ini tidak ada tandingannya. Meskipun ada prajurit yang
mengejar, tapi tidak akan mungkin bisa menyusul. Jangankan menyusul. Mendekat
saja tidak akan mungkin.
Cempaka jadi pasrah. Diturutinya saja, ke mana kuda ini
membawa pergi. Namun pegangannya pada tali kekang
kuda hitam ini tidak ingin dikendorkan.
"Kau akan membawaku ke mana...?" tanya Cempaka
sambil mengurangi rasa takutnya. Kuda hitam itu terus
saja berlari, seakan-akan tidak mendengar suara penunggangnya yang begitu keras,


Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalahkan suara derap
langkah kakinya.
Memang cukup jauh perjalanan yang ditempuh. Setelah
melewati Kaki Gunung Gadakan, kuda itu memutari kaki
gunung ini, dan terus menuju ke arah bukit yang bersebelahan dengan gunung ini.
Kuda itu baru berhenti
setelah sampai di tepi sungai yang cukup besar dan berair
jernih. Sungai itu bagaikan sebuah pembatas antara
Gunung Gadakan dengan bukit di seberang sana.
"Hup!"
Cempaka langsung saja melompat turun dari punggung
kuda hitam itu. Sebentar dipandanginya sungai yang
terbentang di depannya, kemudian beralih pada kuda
hitam yang mendengus-dengus sambil menghentakhentakkan kakinya di tanah berumput
berbatu kerikil.
Sebentar Cempaka mengamati kuda hitam itu, lalu menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Cempaka.
Kuda hitam itu masih mendengus-dengus menghentakhentakkan kaki depannya ke
tanah. Sejenak Cempaka
mengamati kuda itu, kemudian mengarahkan pandangannya pada tanah berumput yang
dipenuhi kerikil itu. Kelopak
matanya agak terbeliak, begitu melihat kerikil itu berwarna
merah dan rerumputan di sekitarnya hangus bagai
terbakar. Namun yang lebih mengejutkan lagi, di antara
batu-batu kerikil itu tercecer untaian kalung berbentuk
segitiga yang memiliki beberapa lingkaran di tengahtengahnya. Cempaka memungut
kalung itu, dan memandanginya beberapa saat
"Kakang Rangga...," desis Cempaka sambil memandangi
sekitar tepian sungai ini. Kini diyakini kalau Rangga mendapatkan kesulitan.
Pantas saja Dewa Bayu membawanya
ke sini. Dan dengan ditemukannya kalung segitiga yang
memiliki beberapa lingkaran di tengah itu, Cempaka
semakin yakin kalau Rangga membutuhkan pertolongan.
Meskipun Pendekar Rajawali Sakti memiliki kepandaian
tinggi, namun bagaimanapun juga tetap manusia biasa.
Dan tak seorang pun di dunia ini yang memiliki
kesempurnaan dalam hal ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Cempaka semakin menajamkan penglihatannya, mengamati tanah berumput
yang banyak kerikil itu.
"Hm...," Cempaka menggumam kecil ketika melihat ada
jejak kaki pada rerumputan yang kelihatannya masih baru.
Tanpa ragu-ragu lagi, gadis itu mengikuti jejak-jejak kaki
yang tertera cukup jelas di tanah berumput kering ini.
Sedangkan Dewa Bayu mengikuti dari belakang. Kuda
itu mendengus-dengus, dan kaki depannya selalu dihentakhentakkan saat melangkah
mengikuti ayunan kaki
Cempaka di depannya.
"Sebaiknya kau tunggu saja di sini, Dewa Bayu. Mudahmudahan ada prajurit yang
datang," kata Cempaka.
Kuda hitam itu mendengus kecil, kemudian tidak lagi
mengikuti gadis itu. Sedangkan Cempaka terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan
mengikuti jejak yang tertera
jelas di tanah berumput. Gadis itu berjalan dengan kepala
tertunduk agak dalam. Matanya tidak berkedip mengamati
jejak-jejak yang ditelusurinya.
"Hm..., jejak ini berhenti di sini," gumam Cempaka saat
tidak melihat jejak lagi.
Jejak langkah kaki itu memang terputus tepat di tengah
hutan yang tidak seberapa lebat ini. Cempaka mengangkat
kepalanya, lalu pandangannya beredar ke sekeliling. Tak
ada lagi petunjuk, ke mana jejak itu menuju. Sedangkan
tempat ini hanya dipenuhi pepohonan besar dan kecil serta
semak belukar yang kelihatannya sudah mengering.
Namun belum juga gadis itu memperoleh petunjuk,
mendadak terdengar suara mendesing dari arah samping
kanan. Cepat sekali Cempaka menarik tubuhnya ke
belakang ketika melihat seberkas cahaya kemerahan berkelebat deras ke arahnya.
Kilatan cahaya itu lewat sedikit
di depan tubuhnya. Namun, gadis itu merasakan adanya
hawa panas yang sangat menyengat ketika benda berwarna merah itu lewat.
"Hup...!"
Buru-buru Cempaka melentingkan tubuhnya ke
belakang sambil berputaran dua kali. Namun baru saja
kakinya mendarat, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar ke
arahnya. "Hup! Yeaaah...!"
Cempaka bergegas melompat kembali ke belakang, lalu
memutar tubuhnya beberapa kali ketika melihat bayangan
keperakan berkelebatan di sekitar tubuhnya. Adik tiri
Pendekar Rajawali Sakti itu tak sempat lagi memperhatikan. Karena, belum sempat
menarik napas panjang,
muncul lagi satu bayangan putih yang langsung menyerangnya pula.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kembali Cempaka melentingkan tubuhnya ketika
cahaya keperakan berkelebat mengarah ke kakinya.
Gerakan tubuh gadis itu sungguh ringan, sehingga tahutahu sudah di atas dahan
pohon. Kini Cempaka dapat
melihat jelas kalau di bawahnya ada dua orang berpakaian
putih panjang hingga ke kaki. Seluruh kepalanya tertutup
kain berbentuk kerucut. Sehingga mukanya tidak begitu
jelas terlihat, karena penutup kepala itu cukup besar.
"Hap...!"
Cempaka langsung melentingkan tubuhnya ketika
secercah cahaya merah kembali meluncur deras ke arahnya. Beberapa kali gadis itu
berjumpalitan di udara,
kemudian manis sekali mendarat di tanah, berjarak sekitar
dua batang tombak dari dua orang berbaju putih itu.
Namun sebelum Cempaka bisa melakukan sesuatu, dua
orang berpakaian aneh itu kembali menyerangnya.
Sungguh aneh! Mereka bertarung tanpa mengeluarkan
suara sedikit pun. Bahkan setiap gerakannya sangat halus,
sehingga tak terdengar suara sedikitpun. Padahal bajunya
lebar dan panjang berkibaran tersapu angin.
Bet! Cempaka tersentak ketika tiba-tiba saja salah seorang
mengebutkan tangannya. Bergegas gadis itu melompat ke
samping. Namun pada saat itu, seorang lagi sudah bergerak cepat seraya
melepaskan pukulan bertenaga dalam
cukup tinggi. Deghk! "Akh...!" Cempaka terpekik agak tertahan.
Pukulan orang berbaju putih aneh itu tidak bisa dihindari
lagi, dan tepat menghantam bahu kanan Cempaka. Akibatnya gadis itu terhuyunghuyung ke belakang. Pada saat itu,
salah seorang mengeluarkan tambang dari balik lipatan
bajunya. Sambil melompat cepat, orang berbaju putih itu melemparkan tambangnya. Dengan
cepat ujung tambang itu
ditangkap oleh kawannya. Seketika mereka bergerak cepat
memutari tubuh Cempaka yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan kini tahu-tahu tubuhnya sudah terlilit tambang.
Cempaka tidak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya
lagi, kemudian jatuh tersuruk.
Tanpa berbicara sedikit pun, dua orang berpakaian putih
aneh itu langsung berlari masuk ke hutan menyeret tubuh
Cempaka yang tak berdaya terlilit tambang. Gadis itu
meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun jeratan
tambang itu kuat sekali.
"Akh...!" Cempaka memekik tertahan ketika sebongkah
batu besar membentur kepalanya.
Seketika itu juga Cempaka tak sadarkan diri. Tubuh
gadis itu terus diseret ke dalam hutan. Namun, yang jelas
gadis itu tak tahu, ke mana dirinya dibawa pergi.
*** Sementara itu di tepian sungai, Danupaksi baru saja
sampai bersama beberapa orang prajurit dan panglima.
Pemuda itu langsung melompat turun dari punggung kuda
begitu melihat kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali
Sakti berada sendirian di tepi sungai itu. Binatang itu
mendengus-dengus seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bergegas Danupaksi
menghampiri kuda itu.
"Dewa Bayu, di mana Cempaka?" tanya Danupaksi.
Kuda hitam itu mendengus-dengus seraya menghentakhentakkan kaki depannya ke
tanah. Danupaksi langsung
memandang ke tanah. Keningnya berkerut ketika melihat
tanah berumput itu banyak terdapat jejak kaki yang masih
baru. "Kalian ikuti jejak ini...!" seru Danupaksi memberi
perintah. Perintah adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu diteruskan
oleh dua orang panglima kepada para prajuritnya. Serentak
mereka melaksanakan perintah, langsung bergerak mengikuti jejak yang tertera
cukup jelas di tanah berumput
kering ini. Sedangkan Danupaksi sendiri berjalan di depan.
Tidak dipedulikan lagi kudanya yang ditinggal di tepi
sungai. Seorang prajurit bergegas mengambil kuda
pemuda itu dan menuntunnya.
Sementara Dewa Bayu mengayunkan langkahnya
mengikuti Danupaksi dari belakang. Jejak yang tertera di
tanah berumput itu demikian jelas terlihat, sehingga
mereka bisa cepat bergerak. Sebentar saja mereka sudah
sampai di dalam hutan. Di tempat ini, jejak-jejak itu
semakin nyata. Terutama di tempat Cempaka bertarung
melawan dua orang berbaju putih yang berbentuk aneh.
"Hm...!" Danupaksi menggumam dengan kening agak
berkerut Pemuda yang mengenakan baju warna putih itu
langsung mengetahui kalau di tempat ini baru saja
berlangsung pertarungan. Danupaksi jadi cemas, karena
tidak menemukan adik tirinya di sini. Sedangkan jejak yang
ditemukannya sangat jelas terlihat.
"Ke sini...!"
Tiba-tiba salah seorang prajurit berseru keras. Seketika
itu juga Danupaksi menghampiri prajurit itu. Matanya
terbeliak begitu melihat rerumputan patah-patah, hampir
rata dengan tanah. Danupaksi semakin bertambah cemas.
Jelas sekali kalau itu adalah bekas-bekas seseorang yang
terseret. Dengan hati diliputi kecemasan yang amat sangat,
Danupaksi bergegas melangkah cepat mengikuti alur jejak
yang begitu jelas tertera di tanah. Jejak itu semakin jauh
masuk ke hutan.
"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan dirimu,
Cempaka...," desah Danupaksi dalam hati.
"Awas...!" tiba-tiba salah seorang panglima yang berjalan
di belakang Danupaksi, berteriak keras.
Begitu Danupaksi mengangkat kepalanya, tampak
sebuah sinar kemerahan meluncur deras ke arahnya.
"Hup!"
Buru-buru tubuh pemuda itu dimiringkan ke kanan,
maka benda berwarna kemerahan itu langsung melesat
lewat sedikit di depan dadanya. Hanya saja, sayangnya
benda kemerahan itu menghantam dada salah seorang
prajurit yang berada di belakang Danupaksi. Prajurit yang
sial itu menggeletar beberapa saat, kemudian ambruk di
tanah. Sebentar kemudian dia telah kehilangan nyawanya.
Dadanya berlubang tertembus benda berwarna kemerahan
tadi. Tampak darah mengucur deras dari dadanya.
"Waspada...!" seru Danupaksi. Namun seruan pemuda
berbaju putih itu, langsung disambut oleh munculnya
orang-orang berpakaian aneh berwarna putih. Ada enam
orang, tapi wajah mereka tidak terlihat jelas. Seluruh
kepala mereka terselubung kain putih berbentuk kerucut
yang menyatu dengan jubahnya.
Dan sebelum Danupaksi dan para prajuritnya bisa
berbuat sesuatu, lima orang berpakaian serba putih itu
langsung bergerak cepat tanpa menimbulkan suara sedikit
pun. Satu orang menerjang Danupaksi, sedangkan lima
orang lainnya menyerang para prajurit yang masih diliputi
keterkejutan. Seketika itu juga terdengar jeritan melengking tinggi,
disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh prajurit. Sungguh
luar biasa! Dalam sekali gebrak saja, sudah sepuluh orang
prajurit yang tewas dengan dada dan leher terkoyak lebar.
Sementara Danupaksi tidak sempat lagi memperhatikan
para prajuritnya. Karena, pemuda itu sendiri sibuk
menghadang serangan-serangan yang dilancarkan orang
berjubah putih panjang dan longgar itu. Sementara jeritanjeritan melengking
tinggi, semakin sering terdengar
menyayat. "Keparat..!" geram Danupaksi ketika sempat melirik ke
arah para prajuritnya.
Bagaimana tidak geram" Karena dalam waktu sebentar
saja, sudah lebih dari separuh prajuritnya bergelimpangan
tak bernyawa. Darah menggenang membanjiri tanah
berumput kering di hutan ini. Lima orang berpakaian putih
aneh itu, sangat cepat gerakannya. Sehingga para prajurit
tidak sempat lagi berbuat banyak.
Sesaat Danupaksi lengah. Maka kelengahan ini membuat dirinya celaka. Pemuda
berbaju putih ketat itu tidak
menyadari ketika lawannya mendaratkan satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi ke dada. Tubuh Danupaksi
terhuyung-huyung ke belakang seraya mendekap dada
yang mendadak sesak dan nyeri sekali. Tulang-tulang
dadanya seakan-akan patah terkena pukulan bertenaga
dalam tinggi tadi.
Selagi Danupaksi terjajar, orang berpakaian aneh itu,
sudah melompat cepat bagai kilat menerjang pemuda itu.
"Cukup...!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras.
Seketika orang-orang berbaju putih itu langsung
menghentikan serangannya. Mereka langsung melompat
mundur, berdiri berjajar dengan kepala agak tertunduk
seperti sengaja menyembunyikan wajahnya. Danupaksi
yang dadanya masih terasa nyeri dan sesak, mencoba
memperhatikan raut wajah seorang laki-laki muda berpakaian warna putih ketat.
Pemuda yang baru muncul itu
berdiri tegak di atas sebongkah batu yang cukup besar.
Danupaksi agak bergidik juga melihat wajah yang
sebenarnya tampan, namun dirusak oleh luka memanjang
yang membelah pipi kanannya.
"Danupaksi! Jika kau mencari Cempaka, aku akan membebaskannya setelah dia


Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjalani hukuman kelancangannya memasuki wilayahku tanpa ijin. Tapi jika hendak
mencari Rangga, maka yang kau dapatkan hanya
kematian...!" lantang dan tegas sekali kata-kata pemuda
itu. Danupaksi ingin berkata, tapi dadanya terasa. Seakanakan kata-katanya berubah
menjadi desahan. Namun,
pandangan matanya begitu tajam menusuk ke bola mata
pemuda berbaju putih dengan luka codet yang membelah
pipi kanannya. Dan belum sempat Danupaksi bersuara, pemuda itu
langsung melesat, lenyap bagai tertelan bumi. Pada saat
yang sama, enam orang berpakaian aneh berwarna putih
itu juga menghilang tak tahu ke mana. Begitu cepatnya
bergerak, sehingga tak ada seorang pun yang bisa
mengetahui kepergian mereka.
"Uh...!" Danupaksi mendengus, menghembuskan napas
panjang. Sakit di dadanya begitu mengganggu sekali. Paling tidak
dibutuhkan waktu satu hari penuh untuk bersemadi agar
kesehatannya pulih. Pemuda itu memandangi para
prajuritnya yang tinggal tujuh orang. Sementara seorang
panglimanya tewas.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Danupaksi mengayunkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Sisa prajurit itu bergerak lesu mengikuti Danupaksi.
Begitu banyak yang tewas, dan Danupaksi tidak ingin
mengambil risiko terlalu tinggi. Paling tidak, dia sudah
mengetahui kalau Rangga dan Cempaka kini menjadi
tawanan seorang pemuda bermuka codet yang tidak
diketahuinya. "Aku harus mencari cara untuk bisa membebaskan
mereka," tekad Danupaksi dalam hati.
*** 4 Cempaka menggeliatkan tubuhnya sambil merintih lirih.
Perlahan-lahan kelopak matanya terbuka, lalu dikerjapkan
sebentar. Dan kini matanya kembali terbuka lebar. Gadis
itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Baru disadari
kalau dirinya berada di suatu ruangan sempit yang seluruh
dindingnya dari batu hitam yang berlumut tebal.
"Oh...," Cempaka kembali merintih lirih ketika sadar
kalau kedua tangan dan kakinya terikat rantai kuat-kuat.
Gadis itu hanya bisa terbaring menelentang, karena
lehernya juga terikat rantai yang menyatu dengan pembaringan batu yang
ditidurinya. Cempaka hanya bisa
menggerak-gerakkan kepala saja. Itu pun tidak terlalu
bebas. Belenggu yang menjerat leher, membuat kebebasannya jadi sangat terbatas.
Cempaka berusaha mengingat-ingat peristiwa yang
dialaminya. Yang diingat, dirinya diseret oleh orang berpakaian aneh. Kepalanya
sempat terantuk batu, selanjutnya dia tidak sadarkan diri.
"Mungkin inilah sarang manusia-manusia aneh itu....,"
gumam Cempaka dalam hati. "Tapi..., apakah Kakang
Rangga juga ada di sini...?"
Cempaka belum bisa menjawab pertanyaannya sendiri
ketika terdengar suara berderit. Gadis itu sedikit memalingkan mukanya. Dari
sudut ekor mata, dia bisa melihat pintu
ruangan sempit ini terbuka perlahan-lahan.
Dari balik pintu besi baja hitam itu, muncul sosok berpakaian putih yang
bentuknya aneh. Orang itu berjalan
perlahan menghampiri Cempaka yang terbaring dengan
tangan, kaki, dan leher terbelenggu rantai. Orang berpakaian serba putih panjang
dan longgar itu berdiri tepat di
samping Cempaka. Tidak mudah untuk mengenali, karena
kerudung berbentuk kerucut yang dikenakan menutupi
hampir seluruh kepalanya.
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Cempaka,"
ujar orang itu.
Meskipun Cempaka sudah berusaha melihat, tetap saja
tidak bisa dikenalinya wajah yang berada di balik kerudung
berbentuk aneh itu.
"Siapa kau?" tanya Cempaka dengan suara yang agak
tajam. "Sayang sekali, saat ini aku tidak bisa menunjukkan jati
diriku padamu, Cempaka," sahut orang itu. "Tapi aku
sangat menyesalkan atas tindakanmu yang gegabah."
Cempaka diam saja. Matanya disipitkan berusaha untuk
bisa melihat jelas wajah orang berkerudung putih itu, tapi
hanya kegelapan saja yang tampak. Sepertinya wajah
orang ini terselubung kain hitam di balik kerudung
putihnya. "Kau akan kulepaskan jika bersedia berjanji untuk tidak
kembali lagi ke sini. Terlebih lagi mencari Rangga...," ada
sedikit tekanan pada suaranya ketika menyebut nama
Rangga. "Di mana Kakang Rangga"!" tanya Cempaka, agak keras
suaranya. "Aku tidak bisa menjelaskannya padamu, Cempaka.
Yang perlu kau ketahui tidak lama lagi Rangga akan mati!"
"Tidak mungkin...!" desis Cempaka menggeram. "Tidak
mungkin kau dan teman-temanmu bisa menghadapinya!"
"Bicaralah sepuasmu, Cempaka. Nanti kau akan melihat
mayatnya saja."
"Biadab...! Lepaskan aku! Biar kubunuh kau...!" teriak
Cempaka berang.
Orang berpakaian aneh itu hanya diam saja. Beberapa
saat dia hanya berdiri mematung, kemudian tubuhnya berbalik dan berjalan
meninggalkan ruangan itu.
"Lepaskan aku...! Kubunuh kau...!" teriak Cempaka berapi-api. Cempaka benarbenar berang setelah mendengar
kalau orang-orang aneh itu akan melenyapkan Rangga
selama-selamanya.
"Aku harus keluar dari tempat ini. Mereka tidak boleh
membunuh Kakang Rangga...!" desis Cempaka.
Tapi begitu menyadari dirinya terbelenggu, gadis itu
mendesah panjang dan berat. Tidak mungkin Cempaka
bisa melepaskan diri dari belenggu ini. Rantai yang membelenggu tangan, kaki,
dan lehernya begitu kuat. Namun
Cempaka berusaha melepaskan belenggu itu dengan
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
"Uh...!" Cempaka mendengus kencang.
Meskipun seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah
dikerahkan, tapi rantai yang membelenggunya tetap sulit
diputuskan. Bahkan pergelangan tangannya kini terasa
sakit sekali. Kini Cempaka menghentikan usahanya.
Keringat sudah membanjiri sekujur tubuhnya yang terbelenggu.
*** Entah sudah berapa lama Cempaka berada dalam
ruangan batu yang sempit ini. Yang pasti, tubuhnya terasa
semakin lemas. Sedikit pun tak ada makanan atau air
masuk ke mulutnya. Dia juga tidak tahu apakah hari sudah
berganti atau belum. Ruangan batu ini tidak ada lubang
sedikit pun, sehingga terasa pengap. Hanya sebuah pelita
kecil yang menerangi ruangan ini. Sama sekali tak ada
cahaya matahari masuk ke dalam ruangan ini.
Krieeet! Cempaka memalingkan kepalanya sedikit ketika pintu
yang terbuat dari besi baja hitam itu terbuka.
Sebentar kemudian muncul seorang laki-laki muda
mengenakan baju ketat warna putih, diiringi enam orang
berpakaian aneh yang berwarna putih juga. Mereka
menghampiri, lalu berdiri mengelilingi altar batu yang di
atasnya terbaring tak berdaya tubuh ramping berbaju
merah muda yang berhiaskan sulaman benang emas pada
bagian bahunya.
Trek! Laki-laki muda yang pipi kanannya terdapat luka membentuk garis memanjang itu, menjentikkan ujung jarinya.
Dua orang berpakaian aneh berwarna putih, seketika bergerak mendekati Cempaka.
Kemudian mereka membuka
belenggu yang mengikat tangan, kaki serta leher gadis itu.
Dan sebelum Cempaka merasakan kebebasan, mendadak
salah seorang menggerakkan jari tangannya beberapa kali.
Seketika itu Cempaka merasakan tubuhnya semakin
lemas, kemudian tidak sadarkan diri lagi.
"Bawa gadis ini ke dalam hutan, dan tinggalkan di sana,"
perintah pemuda yang mukanya terdapat luka codet di pipi
kanan itu. Tak ada yang bersuara sedikit pun. Dua orang segera
menggotong tubuh Cempaka dan membawanya keluar.
Dua orang lagi mengikuti dari belakang. Sedangkan sisanya masih berada di
ruangan itu bersama pemuda yang
mengenakan baju putih ketat. Mereka kemudian
meninggalkan ruangan itu setelah empat orang yang
membawa Cempaka sudah tidak terlihat lagi. Pintu baja
hitam kembali tertutup rapat, saat ruangan batu itu
kosong. *** Siang itu udara begitu panas. Matahari bersinar terik,
tanpa awan yang menghalangi. Cempaka merintih lirih
ketika terasa adanya sesuatu yang dingin melekat di
keningnya. Perlahan-lahan kelopak mata gadis itu terbuka.
Ketika matanya melihat seraut wajah yang tidak dikenalnya
sama sekali, dia langsung menggerinjang bangkit duduk.
"Siapa kau" Mengapa aku ada di sini...?" tanya
Cempaka seraya memandangi pemuda berbaju biru tua
yang duduk tidak jauh di depannya.
"Namaku Palaka. Dirimu kudapatkan tengah tak sadarkan diri di hutan ini," jelas
pemuda berbaju biru tua itu.
Suaranya lembut, diiringi senyuman.
"Ohhh...," Cempaka mendesah panjang seraya
memegangi keningnya yang terasa agak pening.
Gadis itu mencoba kembali mengingat-ingat apa yang
telah terjadi pada dirinya. Ya...! Kini dia ingat kalau
sebelumnya berada di suatu tempat yang pengap dan
sempit. Kemudian, Cempaka tidak tahu lagi kelanjutannya,
karena langsung tidak sadarkan diri ketika belenggunya
dibuka setelah mendapat beberapa totokan pada dadanya.
Kini dia berada di dalam hutan bersama seorang pemuda
yang tidak dikenal sama sekali. Cempaka memandangi
pemuda berbaju biru yang mengaku bemama Palaka itu.
"Berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanya Cempaka.
Kali ini suaranya tidak lagi ketus.
"Lumayan juga. Semalaman kau tidak sadar. Dan baru
tengah hari begini kau sadar," jawab Palaka.
"Ohhh...," lagi-lagi Cempaka mengeluh lirih.
Gadis itu merasakan perutnya melilit, minta diisi. Tubuhnya menggeliat sambil
meringis, menahan rasa perih yang
mendadak saja menyerang, setelah mengetahui kalau
semalaman tidak sadarkan diri.
"Kenapa" Sakit..?" tanya Palaka melihat gadis itu
meringis sambil menggeliatkan tubuhnya.
"Tidak...," sahut Cempaka seraya meringis sambil
menekan perutnya.
"Lalu...?"
"Lapar," sahut Cempaka yang sudah tidak dapat
bertahan lagi. "Ha... ha... ha...!" Palaka tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Cempaka memberengut saja, tapi akhirnya
tertawa juga. Palaka mengambil buntalan kain lusuh yang
berada di belakang tubuhnya, kemudian menyodorkannya
pada Cempaka. Tentu saja gadis itu jadi keheranan. Dipandanginya Palaka dalamdalam. "Ada bekal di situ. Makan saja," jelas Palaka. Cempaka
mengambil buntalan kain itu, kemudian membuka
ikatannya. Kembali dipandanginya Palaka yang tersenyumsenyum saja. Ada beberapa
bungkusan daun waru di
dalam buntalan kain ini. Palaka mengulurkan tangannya,
kemudian mengambil satu bungkus. Cempaka jadi
bengong, karena Palaka langsung membuka bungkusan
daun waru itu. Ternyata, di dalamnya berisi nasi dan lauk.
Melihat Palaka begitu nikmat makannya, Cempaka mengambil sebungkus. Kini mereka
mulai menikmati makanan
itu. "Kenapa banyak sekali bungkusannya?" tanya Cempaka
melihat ada lima bungkus bekal yang dibawa Palaka.
"Semalaman kau tidak sadarkan diri Apalagi aku tidak
tahu, sudah berapa hari kau berada di sini. Pasti perutmu
lapar sekali," sahut Palaka seenaknya.
Cempaka tersenyum-senyum saja. Meskipun sehariharinya tinggal di dalam
lingkungan istana, tapi makan di
atas daun dan duduk di tanah berumput begitu terasa
nikmat sekali. Terlebih lagi, perutnya memang kosong.
Tidak terasa Cempaka sudah menghabiskan dua bungkus
nasi itu. "Ambil saja lagi kalau kurang," kata Palaka menawarkan.
"Sudah cukup. Terima kasih makannya," sahut
Cempaka. "Kalau kau suka arak, minum saja. Guci itu masih
penuh." Lagi-lagi Cempaka tersenyum. Dalam hatinya mengatakan kalau pemuda itu itu baik
dan juga ramah sekali.
Tanpa malu-malu lagi, diambilnya guci arak itu dan lalu
dibuka tutupnya. Sedikit arak itu ditenggak, kemudian
disodorkan pada Palaka. Pemuda berbaju biru tua itu
menerima dan langsung menenggaknya. Cempaka memperhatikan jakun pemuda itu yang
turun naik pada saat
tenggorokannya dilewati cairan mak manis itu.
"Kau berasal dari Desa Gadakan, ya?" tanya Cempaka.
"Bukan," sahut Palaka.
"Kupikir kau berasal dari sana. Habis, arak itu berasal
dari sana, sih. Dan lagi, aku bisa membedakan arak dan
tempat asalnya," jelas Cempaka.
"Aku memang beli dari sana. Tidak jauh dari sini," sahut
Palaka lagi. "Lalu, kau berasal dari mana?" tanya Cempaka ingin
tahu. "Dari Lembah Teratai," sahut Palaka lagi.
"Lembah Teratai..."!" Cempaka tersentak mendengar
nama lembah itu.
"Benar, kenapa..." Tampaknya kau terkejut sekali mendengar lembah itu."


Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau berasal dari Padepokan Guruwatu?"
Palaka tidak langsung menjawab, tapi malah memandangi Cempaka dalam-dalam.
"Hampir semua orang di padepokan itu aku mengenalnya. Terutama Eyang Langsara,"
jelas Cempaka yang bisa
membaca adanya kecurigaan pada sorot mata pemuda
berbaju biru tua itu.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" tanya Palaka, agak
dalam nada suaranya.
"Aku Cempaka, berasal dari Karang Setra. Kau pasti
tahu Karang Setra kalau memang berasal dari Lembah
Teratai," tegas Cempaka.
"Bagaimana kau bisa mengetahui tentang Padepokan
Guruwatu?" tanya Palaka lagi.
"Ha... ha... ha.... Kau ini aneh, Palaka. Tentu saja aku
mengetahui tentang padepokan itu, karena Kakang
Rangga bersahabat baik dengan Paman Tirta dan Eyang
Langsara."
"Rangga.... Kau juga tahu tentang Pendekar Rajawali
Sakti itu..."!"
Kini gantian Cempaka yang terperanjat bengong melihat
raut wajah Palaka yang teriongong dan mulut terbuka
lebar. Untuk beberapa saat mereka tidak berbicara.
Masing-masing diliputi berbagai macam ketidakmengertian. Namun dari sorot mata
mereka, terpancar
sinar kecurigaan. Mereka sama-sama mengalami kejadian
yang membuat mereka harus saling mencurigai.
"Cempaka, apa hubunganmu dengan Rangga?" tanya
Palaka lagi. "Dia kakakku," sahut Cempaka. "Apa..."!"
*** Bukan main terperanjatnya Palaka begitu mendengar
pengakuan Cempaka yang tidak terduga sama sekali.
Pemuda itu memang tidak mengetahui tentang keluarga
Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya diminta Paman Tirta
untuk pergi ke Karang Setra dan menemui Rangga di
istana. Pemuda itu juga tidak tahu, siapa Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti. Yang diketahuinya,
Pendekar Rajawali Sakti adalah sahabat baik guru-gurunya
di Padepokan Guruwatu yang terletak di Lembah Teratai.
"Ada apa, Palaka" Mengapa begitu terkejut sekali?"
tanya Cempaka. "Bagaimana bisa kupercayai kalau kau adiknya
Rangga?" Palaka malah balik bertanya.
Cempaka jadi mengerutkan keningnya. Gadis itu tidak
mengerti atas sikap pemuda yang cukup tampan ini. Dipandanginya Palaka dalamdalam dengan benak dipenuhi
berbagai macam pertanyaan. Gadis itu benar-benar tidak
mengerti, kenapa akhir-akhir ini begitu banyak orang yang
mempunyai hubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti..."
Bukan hanya hubungan baik saja, tapi juga hubungan yang
berdasarkan balas dendam. Dan sekarang ini ada seorang
pemuda yang tampaknya juga sedang mencari Pendekar
Rajawali Sakti.
"Cempaka! Jika kau memang benar adik Rangga, pasti
tahu di mana dia sekarang," tegas Palaka.
"Untuk apa kau bertanya demikian?"
"Aku harus bertemu dengannya. Ada sesuatu yang
penting dan harus kusampaikan secepatnya," sahut
Palaka. "Belakangan ini memang banyak yang mencari Kakang
Rangga. Apakah kau ingin membalas dendam?"
"Tidak. Justru aku jauh-jauh mencarinya ke sini karena
ada hal penting yang menyangkut Padepokan Guruwatu."
"Sayang sekali, saat ini Kakang Rangga tidak jelas
berada di mana...," desah Cempaka.
"Kau tidak tahu di mana dia...?" ada nada kekecewaan
pada suara Palaka.
"Mungkin ada di Gunung Gadakan ini. Tapi aku tidak
tahu pastinya," sahut Cempaka sendu.
Cempaka teringat ketika berada di dalam sebuah kamar
batu yang sempit dan pengap. Sayangnya gadis itu tidak
tahu di mana tempat itu terletak. Padahal dia yakin kalau
Rangga ditawan di tempat itu.
"Palaka! Apakah kau benar-benar ingin bertemu Kakang
Rangga?" tanya Cempaka tiba-tiba, setelah cukup lama
saling berdiam diri.
Palaka hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Kau membawa pesan dari Eyang Langsara?" tanya
Cempaka lagi. "Bukan, tapi dari Paman Tirta," sahut Palaka.
"Saat ini, sebenarnya aku juga sedang mencari Kakang
Rangga. Tapi aku menemukan jalan buntu...."
Tanpa ragu-ragu lagi, Cempaka menceritakan kejadian
yang sebenarnya, hingga berada di hutan ini. Gadis itu juga
berterus terang kalau Pendekar Rajawali Sakti itu kemungkinan ditawan orangorang berjubah putih dan berkerudung kain berbentuk kerucut.
Palaka mendengarkan penuh perhatian. Meskipun gadis
itu sudah menyelesaikan ceritanya, Palaka masih diam
saja dengan kening agak berkerut dalam. Memang,
pemuda itu agak terkejut mendengar dugaan Cempaka
kalau Pendekar Rajawali Sakti kini tertawan. Siapa saja
yang mendengarnya, pasti tidak akan mempercayai hal ini.
Terlebih lagi jika sudah mengenal jauh tentang diri
Pendekar Rajawali Sakti. Apakah mungkin seorang
pendekar digdaya yang tingkat kepandaiannya sukar dicari
tandingannya itu bisa tertawan..." Ataukah ini hanya
gurauan saja" Memang sukar dipercayai. Dan ini membuat
Palaka tertarik untuk membuktikannya.
"Di mana kau pertama kali bertemu mereka?" tanya
Palaka setelah cukup lama juga berdiam diri.
"Kau akan ke sana...?"
"Akan kubuktikan apakah ceritamu itu benar atau tidak"
"Aku juga tidak percaya."
"Kalau begitu, kita buktikan sama-sama."
"Baik! Ayo kita berangkat sekarang."
*** 5 Di suatu tempat yang masih berada di daerah Gunung
Gadakan, Rangga berdiri terkulai dengan tangan serta kaki
terentang terikat rantai. Bahkan seluruh tubuhnya terlilit
rantai baja hitam yang menyatu dengan dinding batu di
belakangnya. Sebuah ruangan batu yang tidak seberapa besar
menjadi sebuah kurungan buat Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun matanya terbuka, tapi kepala pemuda berbaju
rompi putih itu terkulai lemas bagai tak memiliki tenaga.
Perlahan-lahan kepalanya diangkat. Terdengar suara
rintihan lirih, nyaris tidak terdengar. Pendekar Rajawali
Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, kemudian
memandangi tubuhnya sendiri.
"Uh...!"
Pendekar Rajawali Sakti berusaha melepaskan belenggu
pada seluruh tubuhnya, tapi rantai baja hitam itu sungguh
kuat dan keras. Beberapa kali kekuatan tenaga dalamnya
dikerahkan, tapi selalu gagal.
Rangga menghentikan usahanya ketika mendengar
suara derit pintu. Buru-buru kepalanya dirundukkan hingga
terkulai, dan digunakannya pernapasan perut Maka kini
seluruh otot-ototnya jadi lemas bagai dalam keadaan
pingsan. Rangga tetap diam dengan kepala terkulai. Telinganya
mendengar suara langkah kaki yang mendekati, dan berhenti tepat di depannya.
Dengan sudut ekor mata yang
setengah terpejam, Pendekar Rajawali Sakti bisa mengetahui siapa yang datang.
Tapi dia tertegun begitu mendengar kembali langkah kaki dari enam orang
terdengar memasuki ruangan ini. Dan suara itu berhenti tidak jauh di
depannya. "Dia masih belum sadar juga," terdengar suara setengah
bergumam. Rangga sempat terkejut ketika mengenali suara itu.
Jelas, itu suara seorang laki-laki muda yang di pipi kanannya terdapat luka
codet memanjang. Ya, laki-laki itu pasti
Sangaji. Pemuda itu memang pernah dipecundangi Pendekar Rajawali Sakti beberapa
purnama yang lalu.
"Pandan, apakah kau mengenal pemuda itu?" tanya
Sangaji. Hampir saja Rangga mengangkat kepalanya ketika
nama Pandan Wangi disebut. Betapa tidak" Sebab,
mengapa kini Pandan Wangi bersekongkol dengan Sangaji.
Itukah cara Pandan Wangi membalas dendam pada dirinya, karena cemburu melihat
Rangga akrab dengan seorang wanita yang belum dikenalnya" Apakah Pandan
Wangi terpedaya oleh Sangaji" Atau memang sengaja ingin
melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti" Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak
Rangga. Tapi, belum
juga terjawab, tiba-tiba....
"Dia.... Oh, tidak...! Kalian... kalian tidak boleh membunuh Kakang Rangga!"
Pandan Wangi jadi histeris.
Gadis itu melangkah mundur beberapa tindak. Dipandanginya wajah-wajah yang
berada di sekitarnya. Seketika
itu juga raut wajahnya berubah menegang. Pandan Wangi
menyadari kekeliruannya selama ini. Dia merasa terpedaya
oleh Sangaji dan Eyang Bangkal. Gadis itu dirayu untuk
mengikuti segala rencana mereka, yang menyebutkan
tujuannya akan menangkap seorang tokoh sesat. Sehingga
dia mau saja melakukan perintah dari pemuda yang pipinya codet itu. Kini setelah
mengetahui 'tokoh sesat' itu
adalah Rangga, gadis itu marah sekali. Dia merasa ditipu
mentah-mentah. Sorot matanya begitu tajam menusuk
langsung ke wajah-wajah yang berada di dalam ruangan
berdinding batu ini. Salah satu di antaranya adalah Eyang
Bangkal. "Kubunuh kalian semua. Hiyaaat...!" teriak Pandan
Wangi keras melengking tinggi.
"Pandan...!" sentak Sangaji terperanjat.
Tapi si Kipas Maut itu sudah melompat menyerangnya
sambil melontarkan dua pukulan beruntun disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Uts...!"
Sangaji langsung mundur satu tindak. Kemudian
secepat kilat tubuhnya dimiringkan ke kiri dan ke kanan,
menghindari serangan yang dilancarkan Pan dan Wangi.
Begitu cepatnya Pandan Wangi menyerang, sehingga
membuat orang-orang yang berada di ruangan ini terpana.
Dan sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi,
Pandan Wangi sudah memutar cepat tubuhnya. Sungguh
luar biasa kecepatannya. Seketika pedangnya sudah tercabut, dan langsung
dikibaskan ke arah lima orang yang
masih terpana dengan kejadian yang cepat ini.
"Awas...!" teriak Sangaji memperingatkan.
Kelima orang yang memiliki kepandaian tinggi itu buruburu berlompatan mundur,
menghindari tebasan pedang
Pandan Wangi yang begitu cepat luar biasa. Namun malang
bagi dua orang berpakaian putih yang berada di belakang
agak ke samping dari Eyang Bangkal. Mereka tidak sempat
lagi menghindar, sehingga pedang si Kipas Maut itu langsung menyambar dadanya.
Jeritan panjang melengking saling susul terdengar, bersama ambruknya dua orang
berbaju putih itu. Darah
langsung menyemburat keluar dari dada yang sobek terbabat pedang berwarna merah
itu. Pandan Wangi yang dalam keadaan mengamuk masih
sempat melihat isyarat dari kerdipan mata Rangga yang
menyuruhnya kabur. Tentu saja gadis itu terkejut bukan
main, karena tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali
Sakti tidak pingsan seperti yang diduga semua orang.
Agak lama juga dipikirkannya arti dari kerdipan mata
Pendekar Rajawali Sakti, namun karena sering berjalan
bersama-sama, Pandan Wangi segera mengerti arti
kerdipan mata Rangga yang menyuruhnya keluar dari
tempat itu. "Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Pandan Wangi melentingkan
tubuhnya. Maka seketika itu juga diterobosnya pintu keluar
sambil membabatkan pedangnya beberapa kali. Kembali
terdengar jeritan melengking tinggi, lalu terlihat lagi tiga
orang berpakaian serba putih menggelepar di tanah. Dada
dan leher mereka tertebas pedang si Kipas Maut.
"Pandan...!" panggil Sangaji berteriak lantang. Tapi
Pandan Wangi sudah lenyap keluar dari ruangan berdinding batu ini. Sementara
Eyang Bangkal hanya bisa
melongo melihat lima orang anak buahnya tewas hanya
dalam beberapa gebrakan saja.
"Kejar gadis itu! Bunuh bila melawan...!" seru Sangaji
berang. Empat orang langsung bergerak cepat keluar. Sedangkan Eyang Bangkal masih
berdiri terpaku merayapi lima
mayat anak buahnya yang tewas terbabat pedang Pandan
Wangi. Saat itu Sangaji bersungut-sungut memaki-maki.
Kemudian dipandanginya Rangga yang masih terkulai.
Keningnya langsung berkerut melihat wajah yang tertunduk
lemas itu memucat bagai tak teraliri darah.
Bergegas pemuda berbaju putih ketat, dengan luka
codet membelah pipinya itu menghampiri. Langsung
dipegangnya pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti
itu. Hampir saja Sangaji terlonjak mundur begitu merasakan pergelangan tangan
Rangga begitu dingin. Segera jarijari tangannya ditempelkan di leher dan sekitar
dada pemuda berbaju rompi putih itu. Dan kali ini dia benarbenar terlonjak mundur
beberapa tindak.
"Mustahil...!" desis Sangaji.
Sangaji memandangi Rangga yang terkulai dengan
seluruh tubuh terbelenggu rantai baja hitam terikat ke
dinding. Kepalanya bergerak menggeleng-geleng beberapa
kali. Pandangan matanya memancarkan ketidakpercayaan.
Tapi, buktinya Pendekar Rajawali Sakti sepertinya memang
sudah tewas. "Ada apa, Sangaji...?" tanya Eyang Bangkal yang masih
berada di ruangan ini.
"Mustahil...! Tidak mungkin aku salah meramu obat!"
desis Sangaji dengan nada suara sumbang.


Pendekar Rajawali Sakti 44 Setan Pedang Perak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Bangkal melangkah mendekati Rangga,
kemudian memegang leher pemuda berbaju rompi putih
itu. Eyang Bangkal melepaskan tangannya, maka kepala
Rangga kembali terkulai lemas. Laki-laki tua bertubuh
kurus agak bungkuk yang mengenakan jubah kuning itu
memandangi wajah Sangaji yang tampak kebingungan.
"Aku tidak akan membunuhnya, sebelum dia kusiksa.
Aku tidak menginginkan cara kematian yang begitu mudah
untuknya!" geram Sangaji. Kepalanya menggeleng-geleng
beberapa kali. "Tapi dia sudah mati, Sangaji," tegas Eyang Bangkal
pelan. "Setan! Hiyaaat...!"
Sangaji melampiaskan kekesalan dengan menghantamkan pukulan ke dinding di
sampingnya. Demikian dahsyat
Pedang Ular Mas 12 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Kucing Suruhan 8

Cari Blog Ini