Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang Bagian 2
sakitnya. Tapi itu hanya untuk sementara saja. Mungkin sampai setengah hari,"
jelas Rangga. "Sudah cukup, Kakang. Ayo kita segera berangkat...!"
seru Pandan Wangi cepat.
Gadis itu bergegas menghampiri kudanya, lalu melompat naik. Sebentar kemudian, dituntunnya kuda
Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu Rangga sudah memondong tubuh Paman Legiwa, dan langsung melompat naik ke punggung kudanya.
Kemudian dengan cepat kuda hitamnya digebah.
"Hiyaaa!"
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga kedua ekor kuda itu berlari cepat menuju timur. Rangga sengaja
berada di belakang Pandan Wangi yang mengetahui tempat tabib yang dimaksudkan.
Mereka harus bergerak cepat agar laki-laki tua ini bisa tertolong. Sehingga
kedua pendekar muda itu memacu
cepat kudanya, tidak mempedulikan kalau jalan yang
dilalui sangat lebat oleh pepohonan dan semak belukar.
Mereka terus menggebah cepat kudanya.
*** Rangga duduk mencangkung di sebuah balai-balai
bambu, di beranda depan sebuah pondok kecil. Seluruh dindingnya terbuat dari
anyaman bambu, dan atapnya dari daun-daun rumbia yang dirangkai rapat. Sementara
di depan pondok itu terlihat Pandan Wangi tengah bermain-main bersama seorang
anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun. Beberapa kali Pendekar Rajawali
Sakti itu menjulurkan kepalanya ke arah pintu pondok yang
tertutup rapat.
Pemuda berbaju rompi putih itu bangkit berdiri ketika pintu pondok terbuka. Dari
dalam muncul seorang laki-laki tua mengenakan jubah lusuh yang warnanya sudah
memudar. Seluruh rambutnya sudah memutih semua.
Janggutnya yang putih, terjuntai panjang sampai melewati lehernya.
"Bagaimana, Ki...?" tanya Rangga langsung.
"Keadaannya parah sekali. Hhh...! Untung belum
terlambat dibawa ke sini," sahut laki-laki tua itu.
Dari Pandan Wangi, Rangga tahu kalau laki-laki tua ini bernama Ki Raksapati. Dia
seorang tabib yang sangat pandai, di samping seorang pertapa yang berilmu tinggi
sekali. Laki-laki tua itu menghenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu yang tadi
diduduki Rangga. Sementara
Pendekar Rajawali Sakti itu pun duduk kembali di samping Ki Raksapati.
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Anak
Muda," ungkap Ki Raksapati dengan suara agak berat
"Apa, Ki?"
"Tahukah kau, siapa yang melukainya?" tanya Ki
Raksapati dengan tatapan agak tajam, tertuju langsung ke bola mata Pendekar
Rajawali Sakti yang berada di
sampingnya. "Kami menemukannya sudah demikian, Ki," sahut
Rangga. "Hm.... Terlalu berani kalau dia sampai berurusan
dengan Dewi Asmara Maut...," suara Ki Raksapati seperti bergumam.
"Dewi Asmara Maut..." Siapa dia, Ki?" tanya Rangga.
Ki Raksapati belum menjawab, namun Pandan Wangi
sudah datang menghampiri sambil menggendong bocah
perempuan yang tadi bermain-main dengannya. Anak kecil itu langsung berpindah ke
pangkuan Ki Raksapati.
Kelihatannya dia begitu manja sekali. Sementara Rangga memberikan senyuman
padanya. "Bagaimana keadaannya, Kakang" Apa masih bisa
disembuhkan?" tanya Pandan Wangi seraya duduk di
samping Rangga.
"Mudah-mudahan," sahut Rangga, langsung menoleh ke
arah Pandan Wangi.
"Kemungkinan untuk sembuh memang ada. Tapi, aku
tidak bisa menjamin akan pulih seperti semula," Ki
Raksapati mengakui secara jujur.
"Maksudmu?" Pandan Wangi ingin memastikan.
"Ada kemungkinan
dia lumpuh, atau kehilangan
kekuatannya sama sekali," sahut Ki Raksapati.
"Begitu parah..."!" Pandan Wangi terkejut.
"Ya...! Itulah akibat pukulan 'Tarian Bunga Berbisa'.
Memang tidak langsung mematikan, tapi akibatnya sangat menyakitkan," jelas Ki
Raksapati. Pandan Wangi memandang laki-laki tua itu dalamdalam, kemudian beralih pada Rangga yang berada di
sampingnya. Sedangkan yang dipandang hanya diam saja.
Kembali si Kipas Maut itu menatap Ki Raksapati.
"Siapa yang melakukan itu, Ki?" tanya Pandan Wangi
ingin tahu. "Jurus 'Tarian Bunga Berbisa' hanya dimiliki Dewi
Asmara Maut. Tapi aku tidak yakin kalau perempuan itu berkeliaran sampai ke
daerah ini," sahut Ki Raksapati, agak ragu-ragu nada suaranya.
Kembali Pandan Wangi menatap Rangga. Dia tahu
kalau Pendekar Rajawali Sakti membutuhkan suasana
tenang dan damai. Tapi tampaknya kali ini tidak ada kesempatan
lagi untuk menikmati ketenangan
yang diinginkannya. Pandan
Wangi kasihan juga melihat kekasihnya yang tampaknya lelah sekali. Hampir setiap hari Pendekar Rajawali
Sakti itu harus bergelut dengan segala macam kekerasan dan bergelimang darah.
Dan itu memang sudah risiko seorang pendekar.
Memang, bagaimanapun digdayanya seorang pendekar,
tetap saja tidak bisa melupakan kodratnya sebagai
manusia biasa. Yang pasti, dirinya akan mengalami
kelelahan dan kejenuhan. Dan ini bisa hilang dengan beristirahat dalam satu atau
dua hari. Hanya saja,
memang tidak mudah bagi seorang pendekar seperti
Rangga untuk bisa tetap diam begitu saja, sementara satu persoalan menghadang di
depannya. "Pesanku pada kalian, jika ingin berhadapan dengan
Dewi Asmara Maut, berhati-hatilah. Perempuan itu sangat licik. Terutama untukmu,
Rangga. Kegemarannya pada
anak-anak muda yang tampan dan gagah sangat besar.
Yang pasti, korbannya tidak akan dilepaskan begitu saja dari cengkeramannya,"
jelas Ki Raksapati.
"Pasti perempuan genit itu...," desis Pandan Wangi
langsung bisa menangkap kata-kata Ki Raksapati.
"Ah! Apakah kalian sudah pernah bertemu?" tanya Ki
Raksapati agak terkejut mendengar desisan Pandan Wangi.
"Kalau yang kau maksudkan perempuan cantik berbaju
merah muda, kami memang pernah bentrok. Aku benci
melihat tingkahnya yang genit," nada suara Pandan Wangi terdengar sengit. Gadis
itu sempat melirik Pendekar Rajawali Sakti yang hanya diam saja mendengarkan.
"Ah...., sangat berbahaya bagi kalian. Terutama untukmu, Rangga. Mungkin kalian masih beruntung bisa terlepas darinya. Tapi aku
yakin, itu hanya sementara saja.
Yang jelas, dia pasti akan mencari kalian berdua," kata Ki Raksapati agak
mendesah. "Itu lebih baik, Ki. Bia r kubuat rusak wajahnya.
Sembarangan saja mau...," Pandan Wangi tidak melanjutkan. Hampir saja si Kipas Maut itu membongkar sendiri
hubungannya dengan Rangga. Untung dia masih bisa
mengekang diri. Bahkan Rangga sudah mendelik pada
gadis itu. Dan pada saat mereka tengah
terdiam, mendadak saja dikejutkan oleh suara tawa mengikik yang menggema.
"Hik hik hik...."
Rangga dan Pandan Wangi langsung melompat keluar
dari beranda depan pondok kecil itu. Gerakan mereka sungguh cepat dan ringan,
dan tahu-tahu sudah berada di tengah-tengah halaman pondok. Suara tawa mengikik
itu masih juga terdengar menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata
angin. Sementara Ki Raksapati tetap duduk di tempatnya sambil memeluk anak
perempuan kecil yang ketakutan mendengar suara tawa itu.
"Hei, Pengecut...! Keluar kau...!" bentak Pandan Wangi lantang.
Bentakan si Kipas Maut itu seketika menghentikan tawa mengikik itu. Dan tibatiba saja sebuah bayangan merah muda berkelebat cepat ke arah kedua pendekar
muda itu. Dan kini di depan mereka sudah berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju
agak ketat berwarna merah
muda. Usianya memang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi. Namun wajah dan
bentuk tubuhnya benar-benar
membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya.
"Sulit sekali mencarimu, Bocah Bagus," ujar wanita itu seraya mengerling genit
pada Rangga. "Kakang Rangga tidak akan melayanimu, Perempuan
Jalang!" sentak Pandan Wangi ketus.
"Ou...! Rupanya adik manis ini masih galak juga...,"
wanita itu benar-benar meremehkan Pandan Wangi.
"Setan. Aku bukan anak kecil lagi!" bentak Pandan
Wangi langsung meluap amarahnya.
"Sabar, Pandan...," Rangga mencoba menyabarkan si
Kipas Maut itu.
"Huh!" dengus Pandan Wangi.
Rangga melangkah maju dua tindak mendekati wanita
berbaju merah muda dan cantik itu. Sementara, wanita itu semakin kelihatan genit
saat Rangga memberi senyuman padanya. Hal ini membuat Pandan Wangi semakin geram
saja. Meskipun gadis itu sangat percaya kalau Rangga seorang laki-laki yang
tidak mudah terpikat, tapi Dewi Asmara Maut cantik sekali. Laki-laki mana pun
pasti akan terpikat padanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti juga
manusia biasa, yang tidak mungkin luput dari nafsu
kelaki-lakiannya.
"Kaukah yang berjuluk Dewi Asmara Maut?" tanya
Rangga dengan suara lembut.
"Ah..., rupanya kau bisa cepat mengetahui tentang
diriku, Bocah Bagus," sahut wanita itu diiringi senyuman menawan dan kerlingan
mata menggoda. "Tentu saja. Siapa pun akan mencari kabar tentang
wanita cantik yang pernah dijumpainya," kata Rangga lagi.
"Kakang...!" sentak Pandan Wangi terkejut mendengar kata-kata Pendekar Rajawali
Sakti. "Gadismu marah lagi tuh."
"Biarkan saja," sahut Rangga.
"Keparat..!" geram Pandan Wangi langsung memuncak
amarahnya. Si Kipas Maut itu tidak bisa lagi mengendalikan
amarahnya. Sambil berteriak keras, gadis itu menerjang wanita cantik berbaju
merah muda yang tak lain Dewi Asmara Maut. Senjata andalannya yang berupa sebuah
kipas baja putih, langsung dicabut.
"Hiyaaa...!"
Bet! Tiba-tiba Rangga mengebutkan tangannya, dan langsung menyambar perut Pandan Wangi. Kibasan itu
membuat Pandan Wangi begitu terkejut, dan tidak bisa lagi mengelak
"Akh...!" Pandan Wangi terpekik agak tertahan.
Gadis itu terpental balik ke belakang. Namun setelah melakukan putaran dua kali,
kakinya mendarat manis
sekali di tanah. Pandan Wangi menatap Rangga dengan sinar mata tidak percaya.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri di samping Dewi Asmara Maut.
"Kakang.., kau...," tercekat suara Pandan Wangi.
Benar-benar tidak bisa dipercayai, apa yang dilakukan Rangga padanya tadi.
Pendekar Rajawali Sakti itu telah berubah dalam waktu singkat! Dan kini...
Pandan Wangi jadi gusar, marah, dan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Jelas sekali kalau Rangga benar-benar menyukai wanita itu. Bahkan membiarkan
wanita cantik itu melingkarkan tangan ke pinggangnya. Rangga dipeluk manja.
Wanita itu benar-benar menunjukkan kemesraan secara liar.
"Setan...!" desis Pandan Wangi menggeram.
Ledakan api cemburunya seketika bergolak dalam dada.
Hatinya marah, cemburu, kesal, juga tidak percaya. Yang jelas, berbagai macam
perasaan berkecamuk dalam
dadanya. Napasnya tersengal, wajahnya memerah bagai besi terbakar. Pandan Wangi
tak mampu lagi menahan
diri. Kembali dia melompat cepat penuh kemarahan
menggelegak dalam dada.
"Hiyaaat..!"
Bet! Bet! Pandan Wangi langsung memberi serangan beruntun
dengan kebutan kipas ke arah Dewi Asmara Maut. Namun manis sekali, wanita cantik
berbaju merah muda itu
menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun.
Bahkan licik sekali, menjadikan Rangga sebagai tameng untuk dirinya. Maka
beberapa kali Pandan Wangi terpaksa menarik cepat serangannya, karena tidak
ingin melukai Pendekar Rajawali Sakti.
Yang membuat si Kipas Maut ini keheranan, Rangga
sama sekali tidak bertindak apa-apa. Bahkan hanya diam saja dijadikan benteng
hidup oleh Dewi Asmara Maut. Hal ini membuat Pandan Wangi jadi semakin geram.
Timbul niatnya untuk menyerang Rangga Namun....
"Hentikan, Pandan...."
"Heh..."!" bukan main terkejutnya Pandan Wangi,
Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai-sampai langsung melompat mundur beberapa
tindak. Suara itu jelas sekali terdengar di telinganya. Dan suara itu dikenalinya betul.
Jelas itu adalah suara Rangga. Tapi, sama sekali tidak terlihat Rangga berbicara
tadi "Jangan berhenti, Pandan. Terus serang aku," kembali terdengar bisikan halus di
telinga Pandan Wangi.
Tentu saja gadis itu kebingungan. Tapi begitu Rangga mengerdipkan matanya,
Pandan Wangi hampir tertawa
dibuatnya. Namun, dirinya masih bisa dikendalikan. Dan dengan
cepat, si Kipas Maut melompat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti.
Kini Pandan Wangi bisa mengetahui, kalau sikap Rangga yang demikian ternyata tidaklah bersungguhsungguh. Meskipun tidak mengetahui rencana sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti
itu, tapi kerdipan mata tadi sudah memberikan suatu isyarat yang sekaligus
membuat hati gadis itu jadi tenang.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi terus menyerang Pendekar Rajawali
Sakti, dan menganggapnya sebagai latihan saja. Meskipun menyerang sungguhsungguh, tapi gadis itu yakin kalau tidak akan mungkin mampu mengalahkan
Pendekar Rajawali Sakti. Untuk membuatnya terdesak saja, tidak akan bisa dilakukan.
Menyadari hal ini, gadis itu tidak tanggung-tanggung lagi memberi serangan.
Tentu saja kejadian
ini membuat Dewi Asmara Maut tertawa kesenangan. Itu berarti tidak perlu lagi bersusah-payah memisahkan Rangga dari
gadis itu. "Biarkan aku pergi, Pandan. Percayalah! Aku tetap
mencintaimu," kembali Pandan Wangi mendengar bisikan halus.
Sambil terus menyerang, si Kipas Maut menganggukkan kepalanya. Dan ini dilakukan
dalam waktu yang tepat, sehingga tidak terlihat sama sekali.
"Bagus. Sekarang, biarkan aku memukulmu. Kau boleh
mengikutiku nanti. Jangan khawatir, aku akan menunjukkan jalan padamu," kembali Pandan Wangi
mendengar bisikan halus.
Dan sebelum gadis itu menyetujui, mendadak saja
Rangga sudah memberi satu pukulan ke dada gadis itu.
Tentu saja Pandan Wangi terkejut, tapi tidak bisa berkelit lagi. Dan
memang, pukulan
itu telak menghantam
dadanya. Namun Pandan Wangi jadi terkejut bukan main.
Ternyata dia tidak merasakan apa-apa setelah terkena pukulan, meskipun tubuhnya
terpental deras ke belakang.
Pandan Wangi jatuh bergulingan di tanah beberapa kali, dan langsung diam
menggeletak tak bergerak-gerak lagi.
Sementara Dewi Asmara Maut tertawa terbahak-bahak
kesenangan. Dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dan memberi
senyuman manis pada wanita itu.
"Ayo, Bocah Bagus. Kita tinggalkan tempat ini," ajak Dewi Asmara Maut.
Rangga kembali tersenyum dan mengangguk. Mereka
kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Sementara Ki Raksapati bergegas
menghampiri Pandan Wangi yang
tergeletak di tanah. Saat itu Rangga dan Dewi Asmara Maut sudah jauh masuk ke
dalam hutan. Mereka berjalan mempergunakan
ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah tidak terlihat bayangannya.
"Pandan...," agak tersedak suara Ki Raksapati.
"Aku tidak apa-apa, Ki," jelas Pandan Wangi seraya
membuka matanya.
"Oh..!" Ki Raksapati mendesah lega.
Pandan Wangi bangkit berdiri. Debu yang melekat di
bajunya dikibaskan. Gadis itu menyelipkan kembali kipas andalannya
ke balik ikat pinggang. Sementara Ki Raksapati memandangi, namun sinar matanya penuh
diliputi berbagai macam tanda tanya atas kejadian yang baru saja disaksikannya.
"Kau benar tidak apa-apa, Pandan...?" tanya Ki
Raksapati. "Tidak. Tadi Kakang Rangga hanya berpura-pura saja.
Pukulannya tidak terasa apa-apa, kok," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.
"Tapi...," Ki Raksapati tidak melanjutkan, lalu matanya memandang ke arah
kepergian Rangga dan Dewi Asmara
Maut tadi. "Aku pergi dulu, Ki...," pamit Pandan Wangi yang saat itu mendengar bisikan
halus di telinganya.
Dan sebelum Ki Raksapati bisa menjawab, gadis itu
sudah melesat cepat bagai kilat. Kini tinggal laki-laki tua itu yang terbengong
tidak mengerti. Kepalanya digeleng-gelengkan sambil menghembuskan napas panjang.
"Hhh..., anak-anak muda sekarang...."
*** 6 Rangga duduk di tepi pembaringan besar di dalam
sebuah ruangan yang cukup luas dan tertata indah.
Seluruh dindingnya dari belahan papan tebal berwarna coklat muda agak kemerahan,
persis seperti buah mahoni.
Sedangkan lantainya beralaskan permadani tebal yang warnanya sama dengan
dinding. Ruangan ini seperti
kamar seorang putri bangsawan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menyangka kalau di Puncak Gunung Jangkar ini
ada sebuah bangunan megah seperti istana. Dan sekarang dirinya berada dalam
salah satu ruangan bangunan itu. Juga tidak dimengerti,
mengapa Dewi Asmara Maut membawanya ke bangunan
yang katanya sebagai istananya ini. Hanya satu yang membuat Pendekar Rajawali
Sakti itu merasa heran, sejak berada di tempat ini, tidak satu pun terlihat ada
orang lain di sekitar bangunan yang cukup besar dan megah ini.
"Kakang...."
Rangga tersentak ketika mendengar suara halus dari
arah jendela yang tertutup rapat. Bergegas dia bangkit dari pembaringan itu,
kemudian menghampiri jendela. Pelahan dan hati-hati Pendekar Rajawali Sakti itu
membuka jendela kamar ini. Begitu terbuka, menyembul seraut wajah
cantik. "Pandan.... Bagaimana kau bisa tahu aku ada di kamar ini?" tanya Rangga.
"Nanti aku jelaskan. Cepat keluar dari sini," sahut Pandan Wangi yang berada di
luar jendela. Rangga bergegas melompat ke luar. Gerakannya ringan sekali, sehingga tak
terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah berumput. Pandan Wangi
bergegas menutup kembali jendela itu, kemudian menarik tangan Rangga dan
membawanya pergi menjauh. Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Sepasang pendekar itu baru berhenti setelah cukup
jauh dari bangunan besar dan megah itu. Rangga memutar tubuhnya, memandang ke
arah bangunan besar bagai
istana yang masih terlihat jelas, meskipun jaraknya sudah begitu
jauh. Sedangkan Pandan Wangi berdiri di sampingnya. "Seharusnya kau tidak datang secepat ini, Pandan,"
ungkap Rangga. "Mengapa" Menyesal...?" agak ketus suara Pandan
Wangi "Aku belum sempat melakukan apa-apa."
"Jangan harap aku membiarkanmu bercumbu dengan
perempuan itu!" dengus Pandan Wangi.
Rangga menghembuskan napas panjang. Memang sukar
jika menyelesaikan satu persoalan yang dicampur perasaan cemburu. Jelas sekali kalau Pandan Wangi
cemburu pada Dewi Asmara Maut. Dan ini ditunjukkannya secara jelas, tanpa
ditutup-tutupi. Tapi Rangga bisa memaklumi. Memang, Dewi Asmara Maut sangat
cantik, meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Lekuk-lekuk tubuhnya
sungguh menggairahkan. Rangga sendiri mengakui kalau wanita itu memang cantik dan menggairahkan sekali.
Tapi, ada sesuatu yang selalu menjadi pegangan kuat Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dia tidak bisa bermain cinta dengan wanita mana pun juga. Terlebih lagi sampai
melangkah jauh. Belum sampai perbuatan kotor itu terjadi, pasti sudah
diperingatkan oleh Rajawali Putih yang selalu mengawasi, meskipun dari tempat
yang sangat jauh.
"Ada berapa orang di dalam sana, Kakang?" tanya
Pandan Wangi. "Tidak ada siapa-siapa," sahut Rangga.
"Kau tidak melihat seorang pun di sana?" Pandan Wangi tidak percaya.
Rangga hanya menggelengkan kepalanya saja, seraya
menatap gadis itu dalam-dalam. Tatapan itu seakan-akan hendak meyakinkan kalau
memang tidak ada seorang pun di dalam bangunan berbentuk istana itu. Tapi
rupanya Pandan Wangi tidak juga mau percaya.
"Lalu, apa kau juga melihat orang lain di sana,
Pandan?" tanya Rangga.
"Ya, seorang gadis," sahut Pandan Wangi.
"Siapa?"
"Mana aku tahu...," sahut Pandan Wangi seraya
mengangkat pundaknya.
Kembali mereka terdiam dengan pandangan lurus ke
arah bangunan itu. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Dan
tampaknya perhatian Rangga mulai tertumpah pada masalah ini. Bahkan keinginannya
untuk bisa menikmati ketenangan dalam satu atau dua hari saja seperti
terlupakan. "Mungkin sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, Pandan," ajak Rangga tibatiba. "Heh..."!" Pandan Wangi tersentak kaget.
"Rasanya tidak ada gunanya berada di tempat ini. Kita tidak tahu, untuk apa dan
ada urusan apa berada di sini,"
kata Rangga lagi.
"Kau ini aneh, Kakang. Apakah kau sudah lupa
perkataan Ki Raksapati..." Selama perempuan itu masih hidup, akan semakin banyak
korban yang jatuh. Bisa-bisa semua anak muda di dunia ini habis olehnya," tegas
Pandan Wangi. "Kau ingin membunuhnya?" tanya Rangga.
"Harus," sahut Pandan Wangi mantap.
"Dengan alasan apa?"
Kali ini Pandan Wangi tidak menjawab. Memang mereka berdua tidak ada persoalan
apa-apa terhadap Dewi Asmara Maut. Maka, tidak ada alasan untuk membunuh wanita
itu. Kalau toh hanya karena persoalan cemburu, rasanya riskan
sekali. Dan itu tidak perlu sampai terjadi
pertumpahan darah.
"Merunduk, Pandan...!" desis Rangga tiba-tiba.
Pandan Wangi segera merundukkan kepalanya ketika
melihat Dewi Asmara Maut keluar dari bangunan istana itu. Meskipun jarak mereka
terlalu jauh, tapi bisa melihat jelas. Memang, puncak gunung ini merupakan
padang rumput luas, sehingga bisa memandang jauh ke segala arah secara leluasa.
Jelas sekali kalau wanita berbaju merah muda itu
sedang mencari sesuatu. Dan sudah bisa ditebak kalau Ranggalah yang dicari,
karena kabur dari kama rnya. Dewi Asmara Maut tampak kesal. Tak lama kemudian,
dari dalam bangunan itu keluar seorang gadis berbaju kuning, diikuti seorang lakilaki tua berjubah hitam. Pada tangan kanannya terdapat sebatang tongkat yang
bagian ujungnya berbentuk kepala seekor musang.
Tak lama kemudian, dari dalam bangunan itu bermunculan orang-orang berpakaian
segala bentuk, corak, dan warna. Melihat dari penampilan dan senjata yang tersandang, jelas
kalau mereka semua dari rimba persilatan.
"Heran..., dari mana mereka berdatangan...?" gumam
Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Entah apa yang mereka bicarakan, terlalu jauh untuk bisa didengar. Bisa saja
Rangga mempergunakan Ilmu
'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi dikhawatirkan getarannya akan tertangkap.
Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bisa-bisa malah menimbulkan kesulitan. Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau mereka rata-rata
memiliki kepandaian tinggi. Hal ini bisa terlihat dari sorot mata dan
penampilannya. "Ayo, Pandan. Kita pergi," ajak Rangga ketika orang-orang itu kembali masuk ke
dalam bangunan megah bagai istana.
"Tunggu dulu, Kakang," cegah Pandan Wangi.
"Ada apa lagi?"
"Aku jadi ingin tahu, apa yang mereka kerjakan di sini,"
sahut Pandan Wangi.
"Jangan edan-edanan, Pandan...!"
sentak Rangga dengan suara pelan.
Pandan Wangi tidak menanggapi. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti hanya bisa mendesah dan menggelengkan kepalanya saja. Memang
sudah menjadi watak Pandan
Wangi yang selalu saja ingin tahu, setiap kali tertarik pada suatu kejadian. Dan
kali ini Rangga benar-benar khawatir jika rasa keingintahuan kekasihnya itu
begitu menggebu.
Sudah bisa diduga kalau orang-orang yang berada di
dalam bangunan istana itu berasal dari rimba persilatan golongan hitam. Tentang
apa yang mereka lakukan di
sana, sebenarnya bukan urusannya. Tapi....
"Heh! Pandan...!"
Rangga tersentak ketika tiba-tiba Pandan Wangi melesat cepat mendekati bangunan
besar dan megah itu. Namun gadis itu sudah tidak bisa dicegah lagi, karena sudah
berlari jauh dan semakin mendekati bangunan megah itu.
Rangga tak punya pilihan lain lagi. Maka dia cepat
melompat dan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak heran kalau sebelum
Pandan Wangi mencapai bangunan istana itu, dia sudah berhasil mengejarnya.
Rangga mengurangi kecepatan
larinya, dan mensejajarkan diri di samping gadis itu.
"Kau gila, Pandan!" sentak Rangga.
Pandan Wangi hanya diam saja, tidak mempedulikan
gerutuan pemuda berbaju rompi putih itu. Gadis itu terus berlari, dan melompat
cepat bagai kilat begitu dekat bangunan itu. Dan kini, tahu-tahu si Kipas Maut
itu sudah merapat di dinding. Secepat kilat, Rangga mengikuti.
Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
berada di samping Pandan Wangi. Mereka merapatkan punggung ke dinding yang agak terlindung oleh tanaman rambat.
"Tunggulah aku di sini, Kakang," pinta Panda Wangi.
"Mau ke mana?" tanya Rangga berbisik.
"Aku akan menyelidiki ke dalam."
Rangga tidak sempat lagi mencegah, karena tubuh
Pandan Wangi sudah melenting ke atas. Dan dengan
ringan sekali, gadis itu hinggap di atap bangunan ini.
Sementara Rangga
hanya bisa memandangi sambil menarik napas dalam-dalam. Dan sebelum bisa berbuat sesuatu, Pandan Wangi sudah
menghilang entah ke mana.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
"Nekat..!" dengus Rangga dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke
atap, tapi tidak lagi melihat Pandan Wangi lagi di sana.
Pandangannya kini tertumbuk pada sebuah jendela. Di balik jendela itulah dirinya
pernah berada, di sebuah kamar indah dan tertata apik.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" Rangga
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu terdiam berpikir keras, kemudian melompat
cepat dan ringan sekali
mendekati jendela kamar itu. Sebentar telinganya ditempelkan ke daun jendela itu, lalu mendadak saja dia tersentak. Seketika
wajahnya jadi berubah pucat, lalu kembali berubah memerah.
"Laknat..!" desis Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu mendongak, lalu tubuhnya melenting ke atas. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, pemuda berbaju rompi putih itu hinggap di atap,
tepat di atas kamar itu. Pelahan Rangga membuka atap yang
terbuat dari belahan kayu yang dihaluskan. Hanya sedikit, tapi cukup untuk
melihat ke dalam kamar itu.
Seketika dadanya berdebar keras. Bahkan seluruh
aliran darahnya seperti berhenti mengalir, saat menyaksikan dua manusia berlainan jenis tengah berpacu dalam gelombang lautan
birahi di atas ranjang. Desah napas dan rintihan lirih tertahan terdengar jelas
menguak telinga. Rangga yang tak sanggup la gi menyaksikan adegan itu segera
melompat menjauhi atap kamar. Sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu
sudah berada di bagian atap lain, di dekat cerobong asap.
"Hm...," gumam Rangga pelahan.
Tapi belum juga niatnya untuk masuk melalui cerobong asap
terlaksana, entah
dari mana mendadak saja pundaknya terasa ditepuk dari belakang. Dan belum juga kepala Pendekar Rajawali
Sakti bisa menoleh, seketika satu hantaman keras mendarat di punggungnya. Rangga
sadar betul kalau hatinya diliputi ketegangan, sehingga tak menyadari adanya
bahaya. Deghk! "Akh...!"
Rangga memekik tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh tersungkur, dan
bergulingan di atap yang miring. Namun dia cepat melesat bangkit berdiri. Dan
pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat menerjang ke arahnya.
Slap! "Uts...!"
*** Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, maka
bayangan itu lewat sedikit di sampingnya. Seketika Rangga mengibaskan tangannya
menyampok bayangan hitam itu.
Namun tanpa diduga sama sekali, bayangan hitam itu
mampu menghindar dengan manis sekali. Bahkan cepat
berputar, dan kembali menyerang.
"Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Rajawali Sakti
kecuali menghentakkan cepat kedua tangan ke depan
sambil memutar tubuhnya menghadap bayangan hitam
itu. Tak pelak lagi, tangan mereka berbenturan keras.
"Akh...!"
Terdengar jeritan keras, tepat saat bayangan hitam itu terpental. Sedangkan
Rangga sendiri sempat terdorong sekitar tiga langkah ke belakang. Seketika
Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat mengejar bayangan hitam itu, sebelum
jatuh terguling ke tanah.
"Yeaaah...!"
Degkh! Kembali terdengar jeritan keras melengking tinggi begitu pukulan
yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti menghantam bayangan hitam itu. Deras sekali sosok
tubuh berbaju hitam itu terpental jatuh ke tanah. Hanya sebentar tubuhnya mampu
menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.
Sementara Rangga berdiri tegak di pinggir atap.
Pandangannya lurus pada sosok tubuh berbaju hitam yang tergeletak tak bernyawa
di atas tanah berumput. Dari mulut, hidung, dan telinga orang itu mengucurkan
darah. Tampak dadanya melesak ke dalam dengan tulang-tulang hancur terhantam pukulan
Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna tadi.
Pertarungan yang singkat itu rupanya membuat keributan juga. Dan sebelum Rangga bisa melakukan
sesuatu, tampak dari dalam bangunan besar ini bermunculan orang-orang rimba persilatan. Mereka tampak terkejut begitu melihat sosok tubuh berbaju hitam tergeletak di dekat
jendela. "Itu dia di atas...!"
Seorang laki-laki bertubuh tegap mengenakan pakaian kulit binatang menunjuk ke
atap bangunan besar bagai istana ini. Maka sekitar delapan orang yang ada di
situ seketika menengadahkan kepalanya ke arah Pendekar
Rajawali Sakti yang masih berdiri di sana.
"Sial...!" dengus Rangga.
Tidak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menghindar, karena
delapan orang itu sudah
berlompatan ke atap bangunan ini. Gerakan mereka yang ringan dan cepat, sudah
menandakan kalau rata-rata
memiliki kepandaian cukup tinggi.
"Hup!"
Rangga bergegas melompat mundur beberapa tindak.
Saat itu delapan orang rimba persilatan itu sudah berada di atas atap dan
langsung bergerak mengepung. Seketika senjata mereka dimain-mainkan lincah
sekali. Deru angin terdengar dari delapan penjuru. Pelahan-lahan Rangga memutar
tubuh mengamati delapan orang yang sudah
mengepungnya. "Hhh! Terpaksa...!" desah Rangga berat di dalam hati.
Memang Rangga tidak punya pilihan lain lagi selain
menghadapi delapan orang ini. Padahal mereka tidak
pernah saling bertemu, apalagi mengenal. Tapi tampaknya kedelapan orang ini
tidak bersahabat. Buktinya sebelum Rangga sempat membuka mulut untuk bertanya,
dua orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya sudah berlompatan menyerang.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Kaki Rangga segera bergeser sedikit ke belakang, dan manis sekali tubuhnya
diliukkan menghindari serangan dari dua arah itu. Namun sebelum tubuhnya sempat
ditarik kembali, serangan berikut datang dari depan.
Bahkan disusul dari arah belakang. Rangga benar-benar tidak diberi kesempatan
untuk bicara lagi. Sedangkan untuk menarik napas sebentar saja, rasanya sulit
sekali. Delapan orang ini menyerang secara bergantian dan cepat sekali dari delapan
arah. Serangan yang dilakukan delapan orang ini sungguh
cepat dan berbahaya. Setiap pukulan, tusukan, dan
tebasan senjata mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti kerepotan juga menghadapinya.
Malah beberapa kali terpaksa mengumpat, karena hampir saja terkena pukulan atau
tebasan senjata lawan-lawannya. Namun sampai sejauh ini Pendekar Rajawali Sakti
itu masih bisa mengimbangi, meskipun
tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang. "Aaakh...!"
Mendadak saja terdengar jeritan panjang melengking
tinggi. Tampak seorang yang mengeroyok
Pendekar Rajawali Sakti terjungkal dengan kepala hampir terpisah.
Darah seketika muncrat keluar dari lubang yang menganga di leher. Bukan hanya
tujuh orang saja yang terkejut.
Bahkan Rangga pun tersentak kaget, karena tadi tidak merasa memberi serangan.
Dan sebelum keterkejutan mereka lenyap, mendadak
seorang lagi menjerit keras dan langsung terjungkal deras turun dari atap ini.
Pada saat itu, Rangga melihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat. Dan tak
lama kemudian, kembali terdengar dua jeritan panjang melengking tinggi.
Dalam waktu sebentar saja, sudah empat orang terjungkal tak bernyawa lagi.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merasa ada kesempatan untuk bisa selamat dari
keroyokan ini, maka cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat. Tubuhnya
berputaran cepat menghajar dua orang sekaligus yang berada di dekatnya. Saat itu
Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkatan
yang terakhir, sehingga kedua kepalan tangannya memerah membara bagai besi terbakar.
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua kali jeritan menyayat terdengar saling susul.
Kemudian disambung oleh pekikan-pekikan
panjang melengking tinggi. Dalam waktu singkat saja, tinggal dua orang yang masih hidup.
Dan tampaknya mereka sudah
gentar melihat enam orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Namun sebelum
mereka mengambil tindakan, Rangga sudah memberi satu pukulan keras lewat jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Pada saat yang sama, bayangan putih itu menerjang
yang seorang lagi. Sesaat kemudian kembali terdengar jeritan panjang melengking
tinggi dan menyayat. Dalam waktu yang hampir bersamaan, kedua orang itu
terjungkal deras ke bawah. Keras sekali tubuh mereka terbanting ke tanah
berumput halus. Hanya sebentar mereka mampu
menggeliat, sesaat kemudian sudah diam tak bernyawa lagi.
Rangga memutar tubuhnya, tepat ketika bayangan
putih itu mendarat tidak jauh dari tempat berdirinya. Kini di depan Rangga
berdiri seorang pemuda berwajah tampan.
Bajunya berwarna putih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap,
padat, dan berotot.
"Maaf, aku terpaksa ikut campur," ucap pemuda itu,
sopan sekali. "Terima kasih. Kau datang tepat pada waktunya," ucap Rangga merendah.
Padahal, Pendekar Rajawali Sakti itu masih mampu
menghadapi delapan orang itu sendirian. Hanya saja dia tidak ingin jumawa. Yang
jelas, dengan adanya pemuda itu pekerjaannya semakin ringan, dan tidak perlu
menguras tenaga terlalu banyak.
"Kalau boleh kutahu, siapakah Kisanak ini?" tanya
Rangga, sopan dan lembut sekali.
"Aku Wikalpa, dan kau sendiri?" pemuda itu kini balik bertanya.
"Rangga," sahut Rangga memperkenalkan namanya.
"Hm..., sepertinya aku pernah mendengar namamu.
Jika kau pernah singgah di Kadipaten...."
"Ah..., ya! Benar sekali. Pasti kau Raden Wikalpa, putra tunggal Adipati Baka
Witara," potong Rangga cepat
Pemuda berbaju putih ketat itu hanya tersenyum saja.
Dia memang putra tunggal Adipati Baka Witara. Semua orang di seluruh
Kadipaten Watu Kambang selalu
memanggilnya dengan sebutan raden. Suatu sebutan yang hanya diberikan untuk
bangsawan atau orang berdarah biru. Dan sebutan itu biasanya berlaku untuk putra
keluarga istana, atau putra pembesar dan bangsawan. Tapi sebenarnya Raden
Wikalpa tidak menyukai sebutan itu.
Anggapannya dengan adanya sebutan itu justru akan
menimbulkan jurang pemisah saja. Namun dia tidak bisa melarang dan memberontak.
Sebutan itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu hingga sekarang ini.
"Kudengar, kau menghilang dari istana kadipaten. Boleh aku tahu, kenapa kau
berada di tempat ini?" tanya Rangga kembali.
"Cukup panjang ceritanya. Tapi yang jelas, sebagian besar rencanaku sudah
berjalan mulus," sahut Raden
Wikalpa. Rangga mengangkat bahunya sedikit. Dia tahu kalau
Raden Wikalpa merasa keberatan atas pertanyaannya.
Namun keberatan itu hanya ditunjukkan lewat sikap dan kata-kata yang halus
sekali, sehingga tidak sampai
menyinggung perasaan lawan bicaranya.
"Raden, sebaiknya kita menyingkir dulu dari sini," ajak Rangga yang merasa
tempat ini kurang cocok bagi mereka untuk saling membagi pengalaman selama ini.
"Baiklah. Ayo!"
*** 7 Rangga tercenung memandangi bangunan megah yang
berada cukup jauh di hadapannya. Sementara Raden
Wikalpa sendiri hanya diam saja setelah menceritakan kalau Dewi Lanjani sengaja
dilepaskan. Memang, calon adipati ini ingin mengetahui maksud sebenarnya,
mengapa Dewi Lanjani hendak membunuhnya. Kemudian pemuda
itu terus membuntuti Dewi Lanjani sampai ke puncak
gunung ini, tapi menemui jalan buntu. Memang tidak
mudah untuk menyelidiki lebih jauh lagi. Apalagi untuk masuk ke dalam bangunan
istana itu. Bangunan itu memang dijaga ketat, meskipun kelihatannya tidak ada seorang pun yang menghuni
bangunan megah itu. Dan ini sudah dibuktikan sendiri oleh Rangga tadi, yang
mencoba masuk ke dalam sana.
Belum juga keinginannya sempat terlaksana, serangan sudah keburu datang.
"Temanku ada di dalam sana," jelas Rangga pelan
seperti untuk dirinya sendiri.
"Sama. Calon ketua pengawalku juga ada di dalam
sana," sahut Raden Wikalpa.
Rangga menatap pemuda yang berdiri di sampingnya.
"Aku melihat seorang wanita membawa Jaka Kumbara,
calon ketua pengawalku. Aku sendiri tidak tahu, mengapa dia sampai bisa tidak
berdaya begitu," jelas Raden Wikalpa.
Rangga masih terdiam. Bisa ditebak, kalau wanita yang dimaksudkan pemuda ini
pasti Dewi Asmara Maut.
Seorang wanita yang memiliki ilmu untuk melemahkan
dan memperdaya laki. Gairah laki-laki akan bangkit tanpa disadarinya. Hal ini
pernah terjadi pada Pendekar Rajawali Sakti itu, meskipun masih mampu
melawannya. Dan Rangga sempat berada di dalam istana itu, atas
keinginannya sendiri untuk mengikuti Dewi Asmara Maut.
Kalau memang Raden Wikalpa selalu mengamati bangunan megah itu, tentu juga
melihat Rangga masuk ke dalam bangunan itu.
"Kau melihatku pernah masuk ke sana?" tanya Rangga
ingin tahu. "Ya! Tampaknya kau akrab sekali dengan wanita itu,"
sahut Raden Wikalpa tanpa berpaling sedikit pun.
"Semula aku hanya ingin menyelidiki saja. Tapi belum sempat melakukan sesuatu,
Pandan Wangi sudah keburu datang. Dan sekarang dia berada di dalam sana," Rangga
mencoba menjelaskan.
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengatakan kalau di dalam kamar itu
hampir saja ia terlena dan tidak sadar oleh rangsangan yang diberikan Dewi
Asmara Maut. Untung saja ada seseorang yang memanggil wanita itu.
Entah untuk keperluan apa. Yang jelas, gadis yang
memanggil, baru diketahui Rangga setelah Raden Wikalpa menceritakan tentang
dirinya. Pada saat itu, dari dalam bangunan megah terlihat
sebuah bayangan biru berkelebat cepat keluar. Rangga sedikit tersentak begitu
mengetahui kalau bayangan yang berkelebat itu ternyata Pandan Wangi. Dan sebelum
Pendekar Rajawali Sakti itu sempat bergerak untuk
menjemput, mendadak saja dari dalam bangunan istana itu juga berkelebat sebuah
bayangan lagi yang langsung menghadang Pandan Wangi.
"Celaka...!" desis Rangga begitu melihat Pandan Wangi sudah diserang seorang
laki-laki tua, berjubah kuning gading.
Belum berapa lama mereka bertarung, dari dalam
bangunan istana itu bermunculan orang-orang bersenjata beraneka ragam bentuknya.
Mereka berlarian cepat ke arah pertarungan itu. Tentu saja Rangga tidak bisa
lagi menahan diri ketika Pandan Wangi mulai dikeroyok tidak kurang dari sepuluh
orang. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah halaman depan bangunan
istana. Cukup jauh juga jarak antara Rangga dengan tempat itu. Dan setibanya di
sana, pemuda berbaju rompi putih itu langsung masuk dalam arena pertarungan.
Segera dikerahkannya jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang
dahsyat dan sukar dicari tandingannya.
Kedatangan Pendekar Rajawali Sakti membuat Pandan
Wangi semakin bersemangat lagi. Bahkan gadis itu
menggunakan dua senjata sekaligus. Kipas Maut di tangan kiri, dan Pedang Naga
Geni berada di tangan kanannya.
Dengan kedua senjata maut itu, Pandan Wangi seperti sosok malaikat pencabut
nyawa. Sementara Rangga masih menggunakan tangan kosong.
Namun begitu, seorang lawan pun tidak berhasil mendesaknya, karena jurus-jurus yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti itu sangat cepat dan dahsyat luar biasa.
"Modar...!" seru Rangga tiba-tiba.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara, lalu meluruk deras
mempergunakan Jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Kedua kakinya bergerak cepat mengarah kepada salah seorang
pengeroyoknya. Serangan yang cepat dan dahsyat itu tak bisa dihindari lagi.
Sehingga.... Prak! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking seketika terdengar menyayat. Tampak orang yang menggunakan senjata
rantai, berputaran sambil meraung-raung memegangi
kepalanya. Dan sebelum orang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah
memberi satu pukulan keras lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah...!"
Des! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan melengking tinggi. Seketika orang itu terjungkal keras
menghantam tanah setelah terlontar sejauh tiga batang tombak. Hanya sebentar dia
mampu menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
Empat orang yang juga mengeroyok Pendekar Rajawali
Sakti terkejut bukan main. Karena gerakan Rangga begitu cepat luar biasa,
sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan sebelum mereka bisa menyadari,
Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali bergerak. Tubuhnya melayang berputaran dengan tangan terentang lebar ke samping. Kali ini jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'
dikerahkan. Tak lama kemudian, terdengar jeritan melengking dan menyayat saling sambut.
Rangga yang sudah menguasai dengan sempurna jurus-jurus 'Rajawali Sakti', memang
sukar ditandingi. Terlebih lagi oleh empat orang yang hanya memiliki kepandaian
tanggung. Tak heran kalau mereka tidak sempat lagi menghindari serangan cepat
dan dahsyat itu. Empat orang pengeroyok itu kini sudah
menggelepar dengan dada koyak mengucurkan darah.
Dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', kedua
tangan Rangga memang seperti mata pedang saja. Tubuh manusia bisa terbelah bila
terkena tebasannya!
Pada saat itu, Pandan Wangi juga sudah berhasil
menjatuhkan tiga orang lawannya. Dan kini tinggal dua orang lagi yang tampaknya
lebih tangguh dari yang lain.
Terutama sekali laki-laki tua berbaju kuning gading yang memegang tongkat
berkeluk tak beraturan itu.
"Serahkan satu padaku, Pandan...!" seru Rangga.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat.
Langsung diserangnya laki-laki tua berbaju kuning gading.
Terjangan yang cepat dan tidak terduga itu membuat laki-laki tua berbaju kuning
gading jadi kelabakan juga.
Semampunya tongkatnya dikibaskan mencoba menghalau
serangan Rangga yang cepat itu. Namun seranganserangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti itu memang dahsyat sekali. Tak
heran dalam beberapa
gebrakan saja, laki-laki tua berbaju kuning gading itu sudah terpekik terkena
pukulan keras di dada.
"Akh...!"
"Nih, satu lagi... Hih! Yeaaah...!" teriak Rangga keras.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melontarkan satu pukulan keras dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Serangan yang datangnya sangat cepat dan mendadak itu tidak bisa lagi
dihindari. Degkh! "Aaa...!"
Lki-laki tua itu menjerit keras.
Tubuhnya yang kurus terbungkus baju kuning gading
yang longgar, terpental deras menghantam sebatang
pohon. Dan hanya sebentar saja tubuhnya mampu
menggeliat, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Pada saat yang sama, Pandan Wangi
juga sudah menyelesaikan
pertarungannya, setelah menusukkan pedangnya ke perut lawan.
Gadis itu langsung melompat begitu melihat lawannya telah tewas. Segera
dihampirinya Rangga yang tampaknya seperti sedang berpikir sesuatu.
Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti sangat heran juga, sebab dedengkot penghuni
bangunan istana itu tidak
Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncul. Padahal pasti suara pertarungan tadi terdengar sampai ke dalam.
Timbullah berbagai dugaan dalam benak Rangga. Mungkinkah Dewi Asmara Maut tengah
mengatur siasat untuk menjeratnya kembali" Atau mungkin sengaja mengorbankan
anak buahnya untuk memenuhi hasratnya
lebih dulu" Lalu, ke mana anak buah Dewi Asmara Maut yang lain. Apakah hanya
sekian jumlahnya..."
*** "Kakang," panggil Pandan Wangi.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Benarkah dia putra adipati?" Pandan Wangi balik
bertanya. "Tidak kuragukan lagi," sahut Rangga
"Kalau begitu, harus kusampaikan padanya kalau
orang-orang di dalam sana sedang merencanakan untuk menyerang Kadipaten Watu
Kambang," ungkap Pandan
Wangi memberitahu hasil penyelidikannya di dalam
bangunan megah itu.
Rangga mengerutkan keningnya.
"Semula aku menduga kalau Dewi Asmara Maut yang
memimpin. Tapi ternyata masih ada lagi, Kakang," lanjut Pandan Wangi.
"Siapa?" tanya Rangga.
"Raja Musang Hitam."
Kembali kening Rangga berkerut. Dia memang pernah
mendengar julukan itu. Raja Musang Hitam adalah tokoh beraliran sesat yang
sangat tinggi keandalannya. Selama ini dia selalu merajai rimba persilatan
bagian timur. Dan Kadipaten Watu Kambang ini memang termasuk wilayah
timur. Tapi apa maksud Raja Musang Hitam hendak
menyerang Kadipaten Watu Kambang" Pertanyaan ini tiba-tiba saja timbul dalam
benak Pendekar Rajawali Sakti itu.
Satu pertanyaan yang belum bisa terjawab saat ini.
Rangga kemudian bergegas menghampiri Raden Wikalpa, diikuti Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti itu menyuruh Pandan Wangi
untuk mengatakan apa saja yang diketahuinya selama berada di dalam bangunan
megah bagai istana itu. Maka dengan gamblang, si Kipas Maut itu menceritakan
semua yang diketahuinya.
"Raja Musang Hitam...," desis Raden Wikalpa setengah bergumam.
"Kau mengenalnya, Raden?" tanya Rangga.
"Tidak. Tapi aku pernah mendengarnya," sahut Raden
Wikalpa. Untuk beberapa saat mereka terdiam dengan pikiran
masing-masing. Sebentar Raden Wikalpa memandang
Pandan Wangi, dan sebentar kemudian beralih ke arah bangunan megah di depannya.
Beberapa kali napasnya
ditarik panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat.
"Hm, aku ingat. Ayahku pernah bertarung dengannya
ketika sama-sama masih muda. Dan aku sendiri belum
lahir waktu itu. Memang, pernah kudengar kalau Raja Musang Hitam beberapa kali
sering mencoba menyerang Kadipaten Watu Kambang, tapi tidak pernah berhasil.
Hhh.... Rupanya kali ini dia ingin mengulangnya lagi," ujar Raden Wikalpa, pelan
suaranya. "Kau tahu persoalannya?" tanya Rangga.
"Kalau tidak salah, karena memperebutkan ibuku,"
sahut Raden Wikalpa.
"Dendam lama...," desah Rangga dalam hati.
Tapi kini bukan lagi persoalan pribadi antara si Raja Musang Hitam dengan
Adipati Baka Witara. Persoalan itu sudah melibatkan banyak orang dari kalangan
persilatan. Dan kalau mereka sampai benar-benar menyerang, sudah pasti prajurit-prajurit
kadipaten tidak akan sanggup menghadapinya.
Rangga sudah beberapa kali berhadapan, sehingga
sudah bisa mengukur kekuatannya. Pendekar Rajawali
Sakti itu juga sudah mengetahui tentang kekuatan
prajurit-prajurit kadipaten. Yang pasti, tidak akan jauh berbeda
dengan prajurit-prajurit
kadipaten lainnya. Mereka biasanya hanya mengerti ilmu olah kanuragan
yang sedikit saja. Jangankan prajurit kadipaten, prajurit yang kuat sekalipun
tidak akan sanggup menghadapi
orang-orang persilatan yang rata-rata berkemampuan
tinggi. "Aku harus bertindak lebih dahulu sebelum mereka
menyengsarakan rakyat," tekad Raden Wikalpa mantap.
"Jumlah mereka cukup banyak, Raden," Pandan Wangi
memberitahu. "Berapa orang?" tanya Raden Wikalpa.
"Mungkin dua puluh, tiga puluh, atau mungkin juga
lebih dari lima puluh orang. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, jumlah mereka
cukup untuk menghancurkan sebuah kadipaten hanya dalam waktu satu hari saja."
"Lalu, mengapa waktu kita bertempur di sana, mereka tidak menyerang kita
semuanya?" tanya Raden Wikalpa lagi.
"Itu memang sengaja, Raden. Raja Musang Hitam
memang tidak ingin mengorbankan pasukannya secara
sia-sia. Yang penting baginya menyusun siasat, lalu sama-sama menghancurkan atau
dihancurkan," jelas Pandan
Wangi. Raden Wikalpa terdiam. Disadari kalau kekuatan
prajurit Kadipaten Watu Kambang tidak seberapa. Sedangkan untuk meminta bantuan kerajaan, tidaklah
mungkin. Masalahnya, Pandan Wangi bilang kalau mereka akan menyerang dua atau
tiga hari lagi. Dan untuk
meminta bantuan dari istana kerajaan, paling tidak
membutuhkan waktu sedikitnya dua belas hari perjalanan pulang pergi.
"Kalian punya saran?" pinta Raden Wikalpa seperti
putus asa. Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan Dalam
keadaan seperti ini, memang sukar untuk berpikir wajar.
Terlebih lagi keadaan sudah begitu mendesak. Dan mereka semua tentu saja tidak
menginginkan Kadipaten Watu
Kambang yang tenteram, damai, dan makmur, hancur
karena persoalan dendam pribadi.
Tapi yang jelas, Raden Wikalpa tidak akan mungkin
membiarkan si Raja Musang Hitam memenggal leher
ayahnya. Untuk melakukan pertarungan pun, rasanya
Adipati Baka Witara tidak mampu lagi. Ini karena usianya yang sudah demikian
lanjut. Terlebih lagi, sudah puluhan tahun Adipati Baka Witara tidak pernah
melatih jurus-jurusnya
lagi. Malah Raden Wikalpa pernah mengalahkannya dalam satu kali latihan. Apalagi sekarang harus menghadapi si
Raja Musang Hitam yang sehari-harinya jelas selalu bergelut dengan kekerasan.
"Apa tidak sebaiknya hal ini diberitahukan Adipati Baka Witara saja," Pandan
Wangi memberikan saran.
"Bagaimana, Raden?" tanya Rangga agak mendesak.
Raden Wikalpa tidak segera menjawab, dan tampaknya
sedang berpikir keras. Meskipun masalah ini menyangkut orang tuanya, tapi
rasanya sungkan untuk melibatkannya.
Dia ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan pihak kadipaten. Tapi
calon adipati itu jadi berpikir juga setelah
Pandan Wangi tadi memberitahukan kalau kekuatan musuh tidak mungkin dihadapi seorang diri saja.
"Kalian pasti berkemampuan tinggi. Bagaimana kalau
kuminta untuk membantuku menumpas mereka...?" pinta Raden Wikalpa seraya
memandangi Rangga dan Pandan
Wangi bergantian.
Sedangkan yang dipandangi malah saling melontarkan
pandangan. Permintaan Raden Wikalpa memang tidak
pernah terpikirkan sama sekali. Terlebih lagi Rangga, yang sebenarnya lebih
menyetujui pendapat Pandan Wangi
untuk memberitahukan hal ini pada penguasa Kadipaten Watu Kambang ini. Namun
tampaknya Raden Wikalpa
ingin menyelesaikannya tanpa melibatkan seorang pun dari kadipaten.
"Raden, kalau hanya kita bertiga, rasanya tidak
mungkin menghadapi mereka," kilah Pandan Wangi yang sudah
tahu persis kekuatan
orang-orang di dalam
bangunan istana itu.
"Memang. Tapi kita bisa melakukannya dengan cara
mengurangi kekuatan mereka sedikit demi sedikit," jelas Raden Wikalpa.
"Maksud Raden?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Serang, lalu menghilang," usul Raden Wikalpa.
Pandan Wangi masih belum bisa memahami, sedangkan
Rangga sudah bisa menangkap maksud Raden Wikalpa.
Memang cara seperti itu bisa saja dilakukan. Tapi itu akan membuat mereka
semaian berang. Dan tentu saja ini bisa lebih
berbahaya. Mungkin
belum separuh kekuatan
lenyap, sudah membuat mereka menyerang Kadipaten
Watu Kambang secara brutal Bahkan bukannya tidak
mungkin, akan membalas lebih menyakitkan lagi
Sedangkan untuk saat ini saja, mereka sudah kehilangan kekuatan yang tidak sedikit. Dan Rangga
sudah bisa menduga kalau saat ini mereka pasti tengah menyusun rencana dan
kekuatan yang lebih berlipat
ganda. *** 8 Malam sudah merayap menyelimuti seluruh permukaan
puncak gunung ini. Kesunyian begitu terasa mencekam, setelah kabut mulai
menggumpal tebal. Sementara itu, di salah satu ruangan di dalam bangunan megah
bagai istana di puncak gunung ini, tampak Dewi Asmara Maut berdiri tegak
membelakangi jendela besar yang terbuka lebar.
Pandangan wanita itu tidak berkedip menjilati seorang pemuda yang tergeletak di
atas pembaringan. Pelahan-lahan wanita cantik yang sudah tidak muda lagi itu
melangkah menghampiri pembaringan besar beralaskan
kain sutra halus berwarna jingga. Kemudian tubuhnya dibaringkan di samping
pemuda itu dengan posisi miring.
"Tidak kusangka, kau begitu kuat dan perkasa, Jaka
Kumbara," kata Dewi Asmara Maut lembut
Pemuda tampan bertubuh tegap dan berotot itu
membuka matanya. Bibirnya tersenyum melihat Dewi
Asmara Maut sudah berada di sampingnya. Pelahan
tangan pemuda yang memang Jaka Kumbara itu menjulur dan melingkar di pinggang
yang ramping. Kemudian
dipeluk dan langsung dilumatnya bibir Dewi Asmara Maut disertai gairah
menggelegak. "Ah...," desah Dewi Asmara Maut lirih.
Wanita itu menggeliat-geliat ketika jari-jari tangan Jaka Kumbara mulai
menjelajahi bagian-bagian tubuhnya yang peka. Kembali bibirnya merintih dan
mendesis, dan tubuhnya agak mengejang. Cepat sekali gairah wanita itu bangkit setelah mendapat
cumbuan yang begitu liar, tapi menghanyutkan. Sampai-sampai tidak dirasakan
lagi kalau Jaka Kumbara telah
melepaskan pakaiannya.
Hampir saja seluruh pakaian wanita itu terlepas semua, ketika terdengar ketukan
pintu dari luar.
"Setan...!" maki Dewi Asmara Maut kesal.
Didorongnya tubuh Jaka Kumbara hingga menggelimpang ke samping ketika dirinya akan dipeluk.
Tapi pemuda itu malah menarik tangan Dewi Asmara Maut dan memeluknya kuat-kuat.
Sementara ketukan di pintu kembali terdengar lebih keras. Dewi Asmara Maut
mencoba melepaskan pelukan pemuda itu, tapi Jaka Kumbara
malah memagut bibirnya. Bahkan melumatnya liar sekali.
"Hih!"
Dengan kasar sekali Dewi Asmara Maut mendorong
tubuh pemuda itu. Dan segera saja dia melompat bangkit berdiri. Jaka Kumbara
yang sudah tidak ingat dirinya lagi, mencoba memburu. Namun Dewi Asmara Maut
sudah lebih dulu menotok pemuda itu hingga terkulai seketika.
Bergegas wanita itu memungut pakaiannya, dan langsung cepat mengenakannya.
Ketukan di pintu kembali terdengar keras.
"Tunggu...!" seru Dewi Asmara Maut.
Sebentar wanita itu memandang Jaka Kumbara yang
tergeletak lemas di pembaringan, kemudian bergegas
menghampiri pintu kamar yang tertutup rapat. Dewi
Asmara Maut kembali memandang Jaka Kumbara. Sebenarnya pemuda tampan yang begitu perkasa di atas ranjang itu disukainya. Dan
baru kali ini seorang pemuda ditahannya sampai satu hari lebih. Biasanya, kalau
sudah dinikmati keperkasaannya, langsung dicampakkan begitu saja.
Tapi kali ini Dewi Asmara Maut seperti merasa sayang melenyapkan Jaka Kumbara
cepat-cepat. Terasa ada
sesuatu yang lain dalam permainan asmara dengan
pemuda itu. Suatu perasaan yang
Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum pernah dialaminya selama ini. Dewi Asmara Maut tidak jadi
membuka pintu, tapi kembali menghampiri pemuda itu.
Seketika diberikannya totokan beberapa kali.
"Tidak lama kau akan bisa bergerak lagi, Bocah Bagus,"
kata Dewi Asmara Maut.
Wanita itu bergegas menghampiri pintu yang kembali
diketuk keras, kemudian membukanya. Tampak seorang
gadis berbaju kuning berdiri di a mbang pintu kamar ini.
"Dewi Lanjani.... Ada apa?" agak kesal nada suara Dewi Asmara Maut.
"Maaf, Bibi Dewi. Raja Musang Hitam memanggilmu."
"Hm.... Ada apa malam-malam begini memanggilku...?"
Dewi Asmara Maut mengerutkan keningnya.
"Barangkali minta dipijat," sahut Dewi Lanjani seraya tersenyum dikulum.
"Setan kau!" dengus Dewi Asmara Maut.
Dewi Lanjani hanya terkikik geli sambil beranjak pergi.
Sedangkan Dewi Asmara Maut menutup pintu kamarnya,
dan melangkah setelah gadis itu tidak terlihat lagi. Ayunan kakinya cepat dan
bergegas menuju ujung lorong yang agak gelap ini. Tapi di dalam benaknya terus
bertanya-tanya, tidak biasanya Raja Musang Hitam memanggilnya tengah malam
begini. Wanita itu berhenti melangkah di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka.
Pelahan-lahan diketuknya pintu itu.
Tak ada jawaban sama sekali dari dalam. Kemudian
kembali diketuk lebih keras lagi.
"Masuk...!"
Dewi Asmara Maut melangkah masuk setelah terdengar
suara berat dari dalam. Kemudian ditutupnya pintu kamar yang keadaannya tidak
terlalu terang. Hanya sebuah pelita kecil yang menyala redup di sudut ruangan
besar ini. Pandangan wanita itu langsung tertuju pada sesosok
tubuh yang setengah terbaring di ranjang. Separuh
tubuhnya tertutup kain berwarna biru tua. Dia seorang laki-laki yang berusia
setengah baya, namun masih
kelihatan gagah dan tegap.
"Kemarilah...."
Dewi Asmara Maut mendekat, lalu hanya berdiri saja di dekat pembaringan itu.
Sedikit bibirnya digigit ketika tangan laki-laki itu menjulur dan meraba
pahanya. Pelahan Dewi Asmara Maut naik ke atas ranjang itu, lalu tubuhnya direbahkan di
sana. "Malam ini kau tidur di sini, Dewi."
Dewi Asmara Maut tidak menjawab, karena laki-laki
setengah baya itu sudah melumat bibirnya, ganas dan liar sekali. Wanita itu
memang tidak bisa menolak ajakan laki-laki setengah baya yang dikenal berjuluk
si Raja Musang Hitam ini, dan selalu tunduk dalam pelukannya.
"Ohhh...," desah Dewi Asmara Maut.
Memang sudah menjadi kebiasaan si Raja Musang
Hitam. Tak banyak bicara, tapi rangsangan dan cumbuan yang diberikan membuat
wanita itu seketika merintih dan menggeliat sehingga tak mampu menguasai dirinya
lagi. Di dalam kamar yang diterangi sebuah pelita kecil itu, hanya terdengar
desah napas dan rintihan lirih. Tak ada kata-kata terucapkan, karena mereka
langsung tenggelam
dalam deburan ombak gairah yang berdebur meruntuhkan seluruh persendian.
*** "Heh..."!"
Raja Musang Hitam terperanjat ketika tiba-tiba terdengar suara-suara teriakan dan denting senjata beradu keras. Seketika lakilaki setengah baya itu melompat dari pembaringan,
lalu cepat menyambar pakaian dan mengenakannya. Sementara Dewi Asmara Maut juga
bergegas mengenakan pakaiannya kembali. Raja Musang Hitam segera menyambar
tongkatnya dan melompat keluar dari kamar ini.
"Setan alas...!" umpat Dewi Asmara Maut seraya
bergegas berlari keluar dari kamar ini.
Wanita itu berlari-lari mengikuti Raja Musang Hitam.
Mereka langsung keluar dari bangunan megah bagai istana itu. Betapa terkejutnya
mereka begitu sampai di luar, karena suara-suara teriakan dan denting senjata
beradu tadi sudah tidak terdengar lagi. Namun yang lebih
mengejutkan, di pelataran bangunan besar ini sudah
tergeletak mayat-mayat yang masih mengucurkan darah.
Raja Musang Hitam baru menyadari kalau gerombolannya kalah cepat. Waktu Rangga dan Pandan
Wangi menyerbu ke sini, dia menyangka kalau dua
pendekar itu pasti bisa dikalahkan. Makanya, laki-laki setengah baya itu tidak
mengeluarkan seluruh anak
buahnya. "Bangsat! Mereka telah mendahului kita lagi!" sentak Raja Musang Hitam seraya
memandangi mayat-ma yat yang bergelimpangan saling tumpang tindih.
"Masa kehancuranmu, Raja Musang Hitam...."
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Raja Musang Hitam begitu
tiba-tiba terdengar suara menyahuti. Dan begitu kepalanya diangkat, tahu-tahu
tidak jauh di depannya sudah berdiri dua orang pemuda dan seorang gadis.
"Siapa kalian"!" bentak Raja Musang Hitam.
"Aku putra Adipati Baka Witara," sahut pemuda yang
berdiri di tengah, yang ternyata memang Raden Wikalpa.
Sedangkan yang dua orang lagi tak lain adalah
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Rupanya
mereka benar-benar melaksanakan rencana yang dicetuskan Raden Wikalpa. Menyerang secara diam-diam dan bertahap. Hanya saja
pada pertarungan di depan pintu utama bangunan istana ini, seluruh penghuni
keluar semua. Untung semuanya sudah diperhitungkan secara matang, sehingga tidak ada kesukaran bagi mereka bertiga untuk membabat habis
orang-orang itu. Terlebih lagi, Rangga telah menggunakan pedang pusakanya yang
tak ada tandingannya di jagad ini. Pedang Rajawali Sakti memang sangat dahsyat dan
luar biasa. "Dewi Asmara Maut, perintahkan
mereka semua keluar!" perintah Raja Musang Hitam. Dia menyangka
anak buahnya masih berada di dalam.
"Tidak ada gunanya, Raja Musang Hitam. Semua anak
buahmu sudah tidak ada lagi," Raden Wikalpa yang
menyahuti. "Keparat..!" desis Raja Musang Hitam menggeram.
Saat itu, dari arah samping bangunan istana, Dewi
Lanjani berlari-lari. Gadis itu tampak terkejut melihat Raden Wikalpa sudah
berdiri berhadap-hadapan dengan Raja Musang Hitam.
"Dari mana saja kau"! Ke mana yang lain"!" tanya Raja Musang Hitam ketus, begitu
melihat Dewi Lanjani.
"Keliling. Dan mereka..., mereka semua tewas," sahut Dewi Lanjani seraya melirik
Raden Wikalpa. "Phuih...!"
Raja Musang Hitam menyemburkan ludahnya. Sementara, Raden Wikalpa tersenyum-senyum penuh
kemenangan. Ternyata semua rencananya berjalan lancar.
Dan sekarang tinggal tiga orang lagi yang harus dihadapinya. "Terimalah kematianmu, Musang Hitam! Hiya...!"
Cepat sekali Raden Wikalpa melompat sambil mencabut pedangnya yang masih
berlumuran darah. Seketika itu juga pedangnya dikebutkan ke arah dada si Raja
Musang Hitam. Namun dengan gerakan manis, laki-laki setengah baya itu
mengegoskan tubuhnya. Maka serangan Raden
Wikalpa hanya menyambar tempat kosong.
Pada Saat yang sama, Dewi Asmara Maut sudah
menyerang Pandan Wangi. Wanita itu memang memiliki
satu persoalan yang belum terselesaikan dengan si Kipas Maut. Dewi Asmara Maut
menganggap Pandan Wangi
hanya sebagai penghalang dalam menjerat Pendekar
Rajawali Sakti ke dalam pelukannya.
Sementara itu, Dewi Lanjani kelihatan ragu-ragu untuk menyerang Pendekar
Rajawali Sakti. Keraguan gadis itu dapat diketahui Rangga.
"Kalau kau akan pergi, aku memberi kesempatan
padamu," kata Rangga.
Dewi Lanjani tidak menjawab, dan semakin kelihatan
bimbang. Sementara dua pertarungan sudah berjalan
sengit. Gadis itu menatap Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, kemudian
memandang ke arah pertarungan antara Raja Musang Hitam dan Raden Wikalpa.
"Sebaiknya kau bantu Raden Wikalpa. Dia tidak akan
mampu menandingi Raja Musang Hitam," kata Dewi
Lanjani. Rangga hanya tersenyum saja. Saat itu Dewi Lanjani
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku ingin agar dia hidup. Katakan, satu saat aku akan datang membalaskan dendam
ayahku," kata Dewi Lanjani setengah berbisik.
"Hm.... Raden Wikalpa membunuh ayahmu?" tanya
Rangga. "Dialah yang memberi perintah hukuman mati pada
ayahku." "Kenapa?"
"Tanyakan saja padanya!" sahut Dewi Lanjani ketus.
"Siapa nama ayahmu?" tanya Rangga.
"Bromokati."
Dewi Lanjani langsung melesat pergi, tepat ketika Raja Musang Hitam mendaratkan
satu pukulan tongkatnya ke punggung Raden Wikalpa.
"Akh...!"
Raden Wikalpa terhuyung-huyung. Dan pada saat yang
tepat, Raja Musang Hitam sudah melompat sambil
menusukkan salah satu ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada pemuda itu. Tak
ada kesempatan lagi bagi
Raden Wikalpa. Namun ketika ujung tongkat sedikit lagi menembus dada Raden
Wikalpa, dengan cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti melompat. Langsung ditotoknya ujung tongkat laki-laki
berbaju serba hitam itu.
Tak! "Heh..."!" Raja Musang Hitam terperanjat.
Buru-buru tongkatnya ditarik pulang ketika terasa
bergetar terkena totokan jari Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Bantu Pandan Wangi, Raden," ujar Rangga.
Sebelum Raden Wikalpa menjawab, Rangga sudah cepat
melompat bagai kilat menyerang Raja Musang Hitam. Dua kali Pendekar Rajawali
Sakti itu melontarkan pukulan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang
tinggi sekali. "Hiyaaat..!"
"Uts!"
Bergegas Raja Musang Hitam mengegoskan tubuhnya
ke samping, menghindari serangan Pendekar Rajawali
Sakti itu. Namun sebelum bisa menarik kembali tubuhnya agar tegak, Pendekar
Rajawali Sakti sudah memberi
serangan cepat dan beruntun. Serangan-serangan itu
demikian dahsyat, membuat Raja Musang Hitam kedodoran menghindarinya.
Sementara Raden Wikalpa sudah membantu Pandan
Wangi menyerang Dewi Asmara Maut. Saat itu pagi sudah mulai datang menjelang.
Rona merah menyemburat keluar dari balik gunung sebelah timur. Sedangkan
pertarungan masih terus berlangsung sengit sekali. Entah sudah berapa jurus
pertarungan itu berlangsung. Dan kini masih saja berlangsung semakin sengit.
Hingga matahari semakin naik tinggi, pertarungan seperti tidak akan berhenti.
"Hup! Heyaaa...!"
Tiba-tiba saja Raja Musang Hitam melompat ke
belakang beberapa langkah. Tongkatnya ditancapkan di samping kakinya.
Sedangkan Rangga berdiri tegak,
menunggu apa yang akan dilakukan laki-laki setengah baya berbaju hitam itu.
Beberapa saat mereka saling menatap tajam.
"Hm. Rupanya dia hendak mengeluarkan ilmu kesaktian," gumam Rangga dalam hati.
Dan memang, Raja Musang Hitam tengah memusatkan
perhatiannya untuk mengerahkan aji kesaktiannya. Kedua telapak tangannya
dirapatkan di depan dada. Kemudian tubuhnya dimiringkan sedikit ke kanan, lalu
Pendekar Rajawali Sakti 43 Huru Hara Di Watu Kambang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelahan ditarik ke kiri dengan kaki terentang lebar. Begitu tubuhnya kembali
tegak, tampak dari sela-sela jari
tangannya mengepulkan asap hitam yang berbau tidak
sedap. "Hep...!"
Rangga segera bersiap sambil menahan napas, lalu
memindahkan pernapasannya ke perut. Kedua telapak
tangannya dirapatkan di depan dada, lalu diangkat hingga sampai ke atas kepala.
Kemudian kedua tangan itu ditarik cepat sampai sejajar pinggang.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Tepat ketika kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti
memancarkan sinar biru, Raja Musang Hitam melompat
menerjang sambil menjulurkan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar ke
depan. Rangga segera melebarkan kakinya ke samping. Dan dengan cepat sekali
tangannya dihentakkan ke depan, menyambut serangan laki-laki
setengah baya itu.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah...!" seru Rangga
keras menggelegar.
Glarrr! "Aaakh...!"
Raja Musang Hitam menjerit melengking tinggi ketika kedua telapak tangannya
beradu dengan telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki berbaju hitam
itu menggeliat-geliat dengan tangan melekat erat pada tangan Rangga. Sementara
sinar biru langsung menyelimuti
seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu.
"Yeaaah...!"
Mendadak saja Rangga berteriak keras. Dan seketika
tangannya cepat dihentakkan, melebar ke
samping. Secepat itu pula, kepala Raja Musang Hitam dikeprak dengan keras sekali.
Prak! Blarrr...! Ledakan keras seketika terdengar menggelegar. Rangga langsung melompat mundur
begitu tubuh Raja Musang
Hitam meledak dan hancur seketika. Kepingan-kepingan tubuhnya bertebaran ke
segala arah. Ledakan yang keras menggelegar itu membuat Dewi Asmara Maut yang
tengah dikeroyok Pandan Wangi dan Raden Wikalpa jadi terkejut, dan lengah.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Raden Wikalpa. Seketika itu juga dia melompat
cepat sambil menusukkan pedangnya tepat ke arah ulu hati wanita itu.
"Hiyaaat...!"
Crab! "Aaa...!"
Dewi Asmara Maut memang tidak sempat lagi berkelit.
Tusukan pedang Raden Wikalpa begitu cepat dan kuat, karena disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Sebentar wanita itu masih mampu berdiri, kemudian setelah
pedang Raden Wikalpa ditarik kembali, tubuh itu pun ambruk di tanah. Darah segar
seketika mengalir dari dadanya.
"Hhh...!" Raden Wikalpa menarik napas panjang. Segera pedangnya yang berlumuran
darah itu dimasukkan ke
dalam sarungnya.
Saat itu Pandan Wangi sudah menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti. Kalau saja tidak cepat dicegah, pasti gadis itu sudah
memeluknya. Sementara Raden Wikalpa masih berdiri
mematung memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. Baru pertama kali ini dia melakukan pertarungan yang begitu lama
dan melelahkan. Tapi
hatinya puas, karena bisa menyelesaikan semuanya tanpa harus menyertakan orangorang kadipaten.
Raden Wikalpa memutar tubuhnya dan
langsung menghampiri Rangga dan Pandan Wangi. Sebentar pemuda itu
memandangi Rangga, kemudian mengulurkan tangannya. Dengan hangat Pendekar Rajawali Sakti itu menyambutnya.
"Terima kasih. Sungguh tak kusangka kalau akan
berhasil menghancurkan gerombolan pengacau kadipaten.
Padahal, tadinya aku tak bermaksud ke arah itu. Aku hanya bermaksud menjalankan
rencanaku saja," ucap
Raden Wikalpa, sedikit terharu.
"Sudah sewajarnya sesama manusia saling tolong,
Raden," ucap Rangga merendah. "Hm. Raden, ada
persoalan yang masih mengganjal benakku. Tadi kau
mengatakan bahwa tengah menjalankan rencana. Apa
rencanamu itu?" desak Rangga kembali ketika teringat kalau Raden Wikalpa belum
menceritakan semuanya.
"Tujuan utama, kau sudah tahu. Aku ingin mencari
penyebab mengapa Dewi Lanjani ingin membunuhku. Tapi, sebenarnya rencana
kedualah yang paling penting," jelas Raden Wikalpa.
"Apa itu?" desak Rangga.
"Mencari dan menguji calon pengawal pribadiku."
"Lho! Bukankah calon pengawal pribadimu ada di dalam istana itu?"
"Benar. Tapi dia sudah tak berdaya."
"Lalu?"
"Aku sudah mendapatkan penggantinya!" tegas Raden
Wikalpa. "Siapa?" Rangga jadi ingin tahu.
"Diriku sendiri."
Rangga tersentak, tapi langsung kagum terhadap
pemuda itu. Betapa tidak" Jelas kalau pemuda itu sudah cukup dewasa untuk
menjadi adipati. Sebab, sebagai
seorang adipati sebenarnya tak perlu merisaukan adanya pengawal pribadi. Dan
yang jelas, kepercayaan pada diri sendirilah
yang diperlukan. Dan
sebenarnya, hanya
kepercayaan pada diri sendirilah yang menjadi pengawal pribadi seorang pemimpin.
Masalahnya, banyak pengawal pribadi yang just ru berkhianat pada junjungannya
sendiri. "Oh, ya. Ada pesan dari Dewi Lanjani, Raden," kata
Rangga. "Hm..., ke mana dia?" Raden Wikalpa baru menyadari
kalau Dewi Lanjani sudah tidak ada lagi.
"Dia akan datang kembali, khusus untuk menuntut
balas atas kematian ayahnya yang bernama Bromokati,"
kata Rangga menyampaikan pesan Dewi Lanjani.
Raden Wikalpa sedikit tersentak. Kini jelas sudah,
mengapa Dewi Lanjani berniat ingin membunuhnya.
Ternyata diri gadis itu diselimuti dendam. Bahkan dia sampai bergabung dengan
Raja Musang Hitam dan Dewi
Asmara Maut untuk melenyapkannya.
"Hm, ya. Kini aku ingat. Bromokati memang terpaksa
kuhukum penggal. Dia sebenarnya seorang patih, tapi mencoba memberontak. Dan aku
ditugaskan Gusti Prabu untuk menangkap dan menghukum mati. Tapi sungguh
tak kusangka kalau dia memiliki seorang anak yang kini hendak membalas dendam
padaku," jelas Raden Wikalpa tanpa diminta.
"Kalau begitu kami tidak perlu ikut campur, Raden,"
tegas Rangga. "Ah! Kau sudah banyak membantuku. Memang sebaiknya persoalanku dengan Dewi Lanjani menjadi
urusanku sendiri. Hm, kapan dia akan menemuiku?"
"Suatu saat, katanya."
"Baiklah. Akan kutunggu dia."
Mereka tidak berbicara lagi, kemudian pelahan meninggalkan tempat itu. Tiga orang itu berpisah setelah sampai di lereng gunung
ini. Pandan Wangi sempat
memberitahu kalau Paman Legiwa sedang terluka dalam dan kini tengah berada dalam
perawatan seorang tabib.
Raden Wikalpa langsung menuju pondok tabib yang
disebutkan Pandan Wangi.
"Mungkin sekarang aku bisa tenang, Pandan," kata
Rangga "Yah, mudah-mudahan saja ada persoalan lagi," desah Pandan Wangi menggoda.
"Hus...!"
"Ha ha ha...!"
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Conver t : Abu Keisel
Editor : Clickers
Ebook oleh : Dew i KZ
http://kangzusi.com/ http://dew i-kz.info/
Pedang Langit Dan Golok Naga 21 Pendekar Kelana Sakti 5 Jago Jago Rogo Jembangan Badai Awan Angin 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama