Ceritasilat Novel Online

Titisan Ratu Pantai Selatan 1

Pendekar Rajawali Sakti 69 Titisan Ratu Pantai Selatan Bagian 1


TITTSAN RATU PANTAI SELATAN Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit
Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S. Gambar sampul oleh Henky Hak cipta pada Penerbit Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ian tertulis
dari penerbii Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Titisan Ratu Pantai Selatan
1 Malam sudah merambat begitu larut. Keheningan
menyelimuti seluruh Pesisir Pantai Selatan. Yang terdengar hanya deburan ombak
lemah, yang sekali-kali menjilati pantai.
Langit tampak kelam, setitik pun tak terlihat cahaya bintang maupun rembulan.
Bahkan sedikit pun tak terasa hembusan angin, membuat laut yang menghitam pekat
terlihat tenang.
Di antara kerikil-kerikil batu karang dan pasir yarjg menghampar di sepanjang
pesisir pantai, tampak seseorang bertubuh ramping tengah berjalan perlahanlahan. Ayunan kakinya terasa begitu mantap, meskipun hanya satu-satu dan
terlihat perlahan. Sorot matanya bersinar tajam, menatap lurus ke tengah laut
yang menghitam pekat. Baju biru yang dikenakannya begitu ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan tampak indah. Melihat keadaannya, jelas dia
adalah seorang wanita.
Di antara sela-sela rambut yang meriap lebat menghitam, terlihat seraut wajah
cantik, berkulit putih halus. Bibirnya yang
merah terkatup rapat, tanpa seulas senyum pun terlihat Kakinya terus melangkah
mantap dan perlahan, semakin mendekati bibir pantai.
"Hhh..,!" terdengar tarikan napasnya yang begitu perlahan dan terasa berat
sekali. Ayunan kaki wanita itu bani berhenti setelah menyentuh lidah air laut di bibir
pantai ini. Dia berdiri tegak memandang lurus ke tengah laut. Lalu, perlahan
kepalanya berpaling ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang terlihat di
sekitar pesisir pantai ini. Begitu sunyinya, sehingga debur ombak yang sangat
kecil begitu terasa mengusik gendang telinga.
"Sudah lewat tengah malam. Mengapa belum muncul juga...?" desah wanita cantik
berbaju biru itu perlahan.
Sambil menghembuskan napas panjang, wanita itu kemudian duduk bersila di bibir
pantai yang berpasir putih ini.
Pandangannya tetap tertuju lurus ke tengah laut. Sedikit demi sedikit mulai
dirasakan adanya hembusan angin yang menyebarkan udara begitu dingia Deburan
ombak pun mulai keras menggetarkan jantung. Tapi, wanita cantik yang mengenakan
baju biru ketat itu tetap duduk bersila. Padahal, lidah-lidah ombak mulai liar
menghantam rubuhnya yang ramping dan indah.
"Hhh.... Datanglah, Nyai. Berikan tanda-tanda kedatanganmu padaku," desah wanita
itu. Perlahan sekali, hampir tak terdengar suaranya.
Sementara angin semakin keras menimbulkan suara menderu. Dan ombak pun semakin
menggelombang tinggi, menghantam batu-batu karang. Namun, wanita berwajah cantik
yang mengenakan baju biru itu tetap duduk bersila sambil merapatkan kedua
telapak tangan di depan dada.
Sikapnya tidak peduli, meskipun seluruh tubuhnya sudah basah
oleh gelombang air laut yang semakin keras dan menggila.
Bahkan saat air laut sudah menggenang mengubur pinggangnya, dia masih tak
bergeming. Wanita itu tetap duduk bersila menatap lurus ke tengah laut.
Clraaat! Glarrr...! Tiba-tiba saja berkelebat secercah cahaya kilat yang langsung diikuti ledakan
guntur. Kelihatannya, bagai hendak membelah angkasa yang pekat terse-limut awan
tebal menghitam ini. Seluruh pesisir pantai ini bagai bergetar akibat ledakan
guntur yang terdengar dahsyat, begitu seleret cahaya kilat di tengah lautan.
Namun wanita itu masih tetap duduk bersila, walaupun tadi sempat terperanjat.
Jelas sekali terlihat di matanya kalau ujung kilat yang menyambar begitu cepat
itu, tepat menghantam permukaan di tengah laut. Kelopak matanya jadi menyipit
begitu melihat kobaran api di tengah-tengah laut, tepat di tempat ujung kilat
tadi menyambar.
Kobaran api itu tidak mengecil, juga tidak membesar. Tapi terlihat semakin dekat
saja. Wanita itu kini semakin bisa melihat jelas. Dan ternyata, benda yang
dilihatnya bukanlah kobaran api. Melainkan, segumpal cahaya besar yang
menyelubungi bayang-bayang beberapa sosok tubuh dan sebuah kereta kuda yang
begitu besar dan indah sekali.
Bahkan kini cahaya itu semakin memudar. Dan, akhirnya cahaya itu menghilang
begitu sampai di pesisir pantai, tepat di depan wanita cantik yang sedang duduk
bersila di tepi pantai.
Kini tampak jelas di dalam kepekatan malam, di depan wanita itu berdiri sekitar
sepuluh orang gadis cantik. Mereka mengawal sebuah kereta kencana berlapiskan
emas, ditarik delapan ekor kuda gagah dan tegap berwarna putih. Di arasnya
berdiri seorang wanita berwajah sangat cantik. Dia berpakaian begitu indah, dan
bermahkota yang berkilatan oleh batu-batu mutiara.
Sementara, wanita berbaju biru yang masih tetap duduk bersila, jadi terpana
menyaksikan semua itu. Matanya tidak berkedip memandangi wanita bermahkota yang
berdiri di atas kereta kencana berlapiskan emas di depannya itu.
*** 'Terimalah sembahku, Nyai Ratu...," Ucap wanita cantik berbaju biru itu seraya
merapatkan kedua telapak tangan dan membawanya ke depan hidung.
Wanita cantik berpakaian indah itu melangkah turun dari kereta kencananya.
Hebat! Dia bisa melangkah di atas permukaan air laut yang bergelombang, meriak
di tepian pantai. Langkahnya berhenti setelah sampai di depan wanita berbaju
biru yang masih tetap duduk bersila dengan telapak tangan kiri berada di atas
lututnya. "Bangunlah, Rampita...," ujar wanita bermahkota yang dipanggil Nyai Ratu itu,
"Baik, Nyai Ratu."
Perlahan wanita berbaju biru yang bernama Rampita itu bangkit berdiri, setelah
memberi sembah kembali. Berdirinya agak membungkuk, dan sikapnya begitu hormat
pada wanita bermahkota indah dan berpakaian bergemerlapan itu.
"Aku tahu semua, apa yang ada dalam hatimu, Rampita.
Tidak, perlu disampaikan lagi padaku," kata Nyai Ratu.
Suaranya terdengar begitu lembut.
"Aku mohon pertolonganmu, Nyai...," kata Rampita berharap.
'Tidak perlu kau pikirkan, Rampita. Aku pasti akan membantumu. Percayalah. Tak
ada seorang pun yang bisa menghalangi lagi. Aku penguasa seluruh lautan di
Mayapada ini. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, jika aku sudah
melakukan sesuatu," kata Nyai Rata
'Terima kasih, Nyai. Aku tidak tahu lagi, dengan apa aku bisa membalas semua
budi dan kebaikan hari Nyai," ucap Rampita seraya kembali memberi sembah.
"Sekarang pulanglah. Aku membawa sepuluh orang yang akan mengawal ke mana saja
kau pergi. Dan aku akan datang lagi jika kau memang benar-benar membutuhkan.
Lakukan apa saja yang kau inginkan. Aku akan selalu melindungimu," kata Nyai
Ratu lagi. "Terima kasih, Nyai. Tapi...," Rampita tidak meneruskan ucapannya.
"Tapi, kenapa...?"
Rampita tidak menjawab. Dipandanginya sepuluh orang yang berada di sisi kereta
kencana. Pakaian yang dikenakan wanita-wanita itu begitu menyolok persis seperti
para putri bangsawan kaya atau putri-putri raja. Tentu saja akan menarik
perhatian jika mereka mengenakan pakaian seperti itu.
"Pakaian mereka akan berganti setelah aku kembali nanti,"
kata Nyai Ratu seperti bisa membaca pikiran Rampita.
"Oh! Maafkan aku, Nyai...," ucap Rampita seraya memberi sembah.
Wanita cantik bermahkota itu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan
melangkah kembali ke kereta kencananya. Seperti melayang saja gerakannya saat
naik ke atas kereta kencana yang begitu indah ini. Sebentar ditatapnya Rampita,
kemudian delapan ekor kuda putih yang menarik
kereta kencana itu bergerak memutar. Kini kereta kuda itu kembali melaju cepat
bagai kilat ke tengah lautan.
Kilauan cahaya terang bagai api, kembali memancar terang di tengah lautan,
kemudian perlahan-lahan lenyap tak terlihat lagi Sementara itu, sepuluh gadis
cantik yang tadi datang bersamanya, tahu-tahu sudah berganti pakaian tanpa
sedikit pun bisa terlihat Rampita. Dan mereka kemudian berdiri berjajar di
belakang gadis cantik berbaju biru itu. Sungguh sukar dipercaya! Baju yang
dikenakan Rampita, seketika itu juga jadi kering! Padahal dia tadi hampir
tenggelam oleh gelombang lautan, saat Nyai Ratu datang dari tengah lautan
bersama kereta kencana itu.
"Kami diperintahkan untuk menuruti apa saja yang kau perintahkan, Nini," kata
salah seorang gadis itu.
"Kalian akan terus mendampingiku?" tanya Rampita seraya memutar tubuhnya,
memandangi sepuluh gadis cantik yang kini sudah mengenakan pakaian biasa seperti
dirinya. "Selama Nini membutuhkan, dan selama Kanjeng Nyai Ratu belum memerintahkan untuk
kembali," sahut gadis itu lagi.
"Baiklah. Tapi apa kalian tahu yang kuhadapi sekarang ini?"
ujar Rampita sepera" menguji.
"Kami semua sudah tahu, Nini. Dan kami siap menghadapi segala yang terjadi. Kami
rela mati demi menjunjung tinggi perintah Kanjeng Nyai Ratu. Dan sekarang ini
kami harus mengabdi pada Nini."
Rampita tersenyum senang mendengar kata-kata itu.
Kemudian wajahnya berpaling menatap ke tengah laut.
Sebentar ditariknya napas panjang, lalu perlahan kakinya terayun meninggalkan
Pesisir Pantai Selatan ini. Sepuluh orang
gadis yang semuanya berwajah cantik itu mengikuti dari belakang.
"Kalian semua tidak membawa senjata. Apa kalian bisa bertarung tanpa senjata?"
kata Rampita tanpa berpaling sedikit pun. Dan dia terus saja melangkah semakin
jauh meninggalkan pantai.
"Senjata kami akan terlihat jika memang tgenar-benar dibutuhkan," sahut salah
seorang dari delapan gadis itu.
"Berupa apa?" tanya Rampita.
"Jika Nini menggunakan pedang, kami semua akan menggunakan pedang. Senjata kami
mengikuti senjata yang Nini gunakan."
Lagi-lagi Rampita hanya tersenyum saja. Bisa dimengerti semua jawaban yang
diberikan gadis di belakangnya ini. Dan dia memang menyadari kalau kesepuluh
gadis itu bukan manusia biasa. Malah bisa dikatakan, mereka memang bukanlah
manusia. Jadi, segala apa yang dilakukan memang sulit diterima akal manusia
biasa Seperti kemunculannya yang dari dalam lautan, atau juga cara berganti pakaian.
Begitu tiba-tiba saja pakaian mereka sudah berganti, tepat di saat ratu mereka
sudah kembali ke tengah lautan. Tapi hal itu tidak membuat Rampita merasa heran.
Bahkan apa yang disaksikannya ini, malah membuat hatinya senang. Dengan
demikian, begitu banyak harapan yang terkandung di dalam harinya sekarang ini.
Wajahnya pun kini terlihat begitu cerah. Sedangkan sinar matanya berbinar bagai
bertaburkan bintang.
Sementara, gadis-gadis muda berparas cantik itu terus bergerak semakin jauh
meninggalkan pantai. Dan mereka terus melangkah menuju sebuah perkampungan
nelayan yang agak
jauh dari pantai ini, dan merupakan satu-satunya perkampungan yang terdekat. Tak
ada seorang pun yang berbicara lagi. Mereka terus melangkah tanpa membuka suara
sedikit pua *** Sementara itu, jauh dari Pesisir Pantai Selatan tampak berdiri sebuah bukit yang
menjulang cukup tinggi, dikelilingi lebatnya hutan yang rimbun. Di atas puncak
bukit yang biasanya disebut Bukit Rangkas, berdiri sebuah bangunan berukuran
besar dan memanjang. Bangunan itu dikelilingi pagar tinggi dari kayu yang bagian
atasnya runcing seperti tombak bambu.
Di atas sebuah bangunan kecil tinggi seperti sebuah menara pengintai, terlihat
berdiri dua orang sedang memandang ke arah pesisir pantai. Yang seorang adalah
laki-laki berusia lanjut, berjubahnya panjang dan longgar berwarna putih.
Sedangkan yang berdiri di sebelah kanan laki-laki tua itu adalah seorang lakilaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun.
Wajahnya terlihat cukup' tampan. Tubuhnya tegap dan otot-ototnya bersembulan
keluar. Benar-benar seorang laki-laki kekar dan tegap. Sebilah pe-dang tampak
tersampir di pinggangnya. Baju merah berukuran ketat, membungkus tubuhnya yang
tegap dan padat berisi. Pandangannya juga diarahkan ke pesisir pantai yang
terlihat begitu jelas dari Puncak Bukit Rangkas ini.
"Kau lihat, apa yang terjadi di sana, Sanjaya...?" ujar laki-laki tua berjubah
putih yang dikenal bernama Eyang Danarpati.
Suaranya terdengar begitu pelan. Sehingga seperti menggumam, bicara pada diri
sendiri. "Seseorang telah bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan, Eyang," sahut Sanjaya
juga perlahan setengah menggumam.
"Aku tidak tahu, bencana apa yang akan terjadi...," desah Eyang Danarpati lirih.
"Jika Eyang mengizinkan, aku akan mencari manusia durhaka itu dan mencegahnya
sebelum terjadi sesuatu," tegas Sanjaya bernada memohon.
"Tidak ada yang bisa kau lakukan, Sanjaya. Tak ada seorang pun yang bisa
menghalangi, jika Ratu Pantai Selatan sudah berbuat sesuatu," kata Eyang
Danarpati, masih tetap pdan suaranya.
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan, Eyang?" tanya Sanjaya.
Eyang Danarpati hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan pemuda itu.
Pandangannya masih tertuju lurus ke arah pantai yang kini nampak sudah terang,
seperti hari-hari yang lalu. Bahkan awan hitam yang sejak tadi menyelimuti
seluruh langit, sudah nampak mulai tersibak. Sedangkan cahaya bulan pun mulai
menyemburat, menyinari alam yang gelap gulita ini.
Cukup lama juga Eyang Danarpati terdiam membisu.
Pandangannya (urus ke arah pantai, tak berkedip sedikit pun.
Sementara Sanjaya juga terdiam tidak bicara lagi, meskipun pertanyaannya tadi
belum terjawab. Dia tahu, memang sulit bagi Eyang Danarpati untuk menjawab
pertanyaannya tadi.
Semua orang sudah tahu, siapa Ratu Pantai Selatan itu. Dia adalah seorang tokoh
wanita yang menguasai seluruh samudera di bumi ini. Tokoh wanita sakti yang
sudah hidup ratusan, bahkan ribuan tahun. Dia tak akan pernah mati sepanjang
bumi masih terus berputar mengiringi perputaran kehidupan seluruh penghuninya.
Dan selama ini, memang tak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.
Walaupun segala perbuatannya terkadang sangat merugikan banyak orang, tapi Ratu
Pantai Selatan begitu dihormati dan
disegani kaum nelayan. Memang, tidak sedikit perbuatan Ratu Pantai Selatan yang
membantu kehidupan manusia di mayadapa ini. Sehingga, sulit untuk bisa
dipastikan, apakah Ratu Pantai Selatan bisa dimasukkan ke dalam golongan hitam
maupun putih. "Ayo kita kembali ke bawah, Sanjaya," ajak Eyang Danarpati.
Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Eyang Danarpati segera saja turun dari puncak
menara yang cukup tinggi ini.
Gerakan kakinya begitu lincah dan ringan, saat menapaki anak-anak tangga yang
sangat curam di sisi menara pengintai ini.
Sanjaya bergegas mengikuti orang tua berjubah putih itu. Ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dikerahkan, untuk mengimbangi
gerakan yang dilakukan Eyang Danarpati menuruni tangga menara ini.
Sebentar saja, mereka sudah menjejak tanah. Mereka terus melangkah menuju ke
beranda depan rumah berukuran besar yang ada di tengah-tengah lingkaran pagar
gelondong kayu yang tinggi dan kokoh ini. Kedua orang itu baru berhenti setelah
berada di dalam beranda, lalu sama-sama duduk di lantai yang hanya beralaskan
selembar tikar paridan yang sudah kelihatan lusuh. Tak ada seorang pun terlihat.
Dan memang, malam sudah begitu larut. Suasana terasa begitu sunyi di Puncak
Bukit Rangkas ini. Hanya desiran halus angin malam saja yang terdengar mengusik
gendang telinga dua orang laki-laki yang usianya sangat jauh ini.
"Besokpagi, hentikan semadi mereka semuanya," kata Eyang Danarpati terdengar
perlahan dan agak mendesah suaranya.
"Bukankah masih satu hari lagi mereka harus bersemadi, Eyang...?"
"Sudah cukup. Mereka tidak boleh terlalu lama bersemadi.
Bisa mengurangi daya ketahanan tubuh. Mereka harus melatih
sedikit demi sedikit. Aku tidak ingin mereka memaksakan diri dalam berlatih
semadi," sahut Eyang Danarpati memberi alasan untuk menghentikan semadi seluruh
muridnya. Dan memang, seluruh muridnya sudah dua hari ini tengah melakukan semadi.
Sehingga, tempat yang dikenal sebagai Padepokan Bukit Rangkas ini kelihatan


Pendekar Rajawali Sakti 69 Titisan Ratu Pantai Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu sepi,' seperti tidak ada penghuninya. Hanya Eyang Danarpati dan cucunya
ini saja yang tidak melakukan semadi. Tingkat kepandaian yang dimiliki Sanjaya
memang jauh lebih tinggi daripada seluruh murid Padepokan Bukit Rangkas ini. Itu
bisa dimaklumi, karena dia adalah cucu satu-satunya Eyang Danarpati.
"Eyang! Apakah penghentian semadi mereka ada hubungannya dengan kejadian di
pantai tadi?" tanya Sanjaya ingin tahu.
Eyang Danarpati tidak segera menjawab. Dia hanya menarik napas saja, dan
menghembuskannya kuat sekali.
Pandangannya menerawang jauh ke depan. Seperti ada sesuatu yang riba-riba saja
menjadi satu ganjalan dalam hatinya. Sedangkan Sanjaya terus memandangi raut
wajah tua yang sudah berkeringat itu. Meskipun usianya lebih dari tujuh puluh
tahun, tapi Eyang Danarpati masih tampak kelihatan gagah.
"Padepokan ini satu-satunya yang terdekat dengan Desa Nelayan di Pantai Selatan.
Aku merasa akan terjadi sesuatu di sini. Entah itu cepat atau lambat," pelan
sekali suara Eyang Danarpati, seakan bicara pada diri sendiri.
Sanjaya jadi terdiam. Sudah sejak kecil pemuda itu tinggal bersama laki-laki tua
ini. Dan dia tahu betul watak kakeknya.
Kalau Eyang Danarpati sudah berbicara melalui dasar harinya, itu berarti suatu
pertanda yang sukar dielakkan lagi. Pandangan
mata hati Eyang Danarpati seribu kali lebih tajam daripada pandangan mata biasa.
"Aku akan menyelidiki orang yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan, Eyang,"
kata Sanjaya mantap.
Eyang Danarpati memandangi cucunya ini dalam-dalam.
"izinkan aku. Eyang...," mohon Sanjaya bersungguh-sungguh.
"Tapi kau jangan melakukan tindakan apa-apa. Aku tidak ingin terjadi sesuatu
padamu," kata Eyang Danarpati, tidak bisa menolak keinginan cucunya ini.
"Secepatnya akan kuberi tahu kalau sudah mengetahuinya, Eyang," janji Sanjaya.
Eyang Danarpati mengangguk-anggukkan kepala. Dia percaya dengan janji cucunya
ini "Kapan kau akan berangkat?" tanya Eyang Danarpati.
"Secepatnya, setelah membangunkan semua muridmu, Eyang," sahut Sanjaya.
Kembali Eyang Danarpati mengangguk-anggukkan kepala.
*** 2 Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan cahayanya di ufuk
Timur, Sanjaya sudah memacu kudanya.
Ditinggalkannya Padepokan Bukit Rangkas yang terletak di atas Puncak Bukit
Rangkas, tidak jauh dari Pesisir Pantai Selatan.
Pemuda itu cepat sekali memacu kudanya, begitu sudah berada di luar lingkungan
padepokan. Sengaja dia pergi sendiri tanpa
ada seorang pun yang menemani. Kepergian pemuda itu diiringi Eyang Danarpati
yang mengantarkannya sampai beranda depan bangunan padepokannya.
Sanjaya terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi Walau jalan yang dilalui
menurun dan penuh batu-batu kerikil, kudanya tetap dipacu kencang Hingga sebelum
matahari naik tinggi, pemuda itu sudah sampai di Kaki Bukit Rangkas.
Kemudian lari kudanya baru diperlambat setelah sampai di pinggiran sebuah desa,
yang tampaknya sebuah Desa Nelayan.
"Ada apa itu di sana..." Ramai sekali...," gumam Sanjaya bicara pada diri
sendiri. Memang, keramaian begitu tampak di tepi pantai. Sanjaya jadi tertarik ingin
mengetahui. Dia tahu, pesisir pantai itu yang semalam diperhatikan bersama Eyang
Danarpati. Bergegas dia melompat turun dari punggung kudanya, lalu melangkah
cepat sambil menuntun kuda putih yang keempat kakinya belang hitam itu.
"Ada keramaian apa di sana, Ki...?" tanya Sanjaya ketika seorang nelayan tua
melintas di depannya.
"Ada orang mati," sahut laki-laki tua nelayan itu.
"Orang mati..."!" Sanjaya mengerutkan keningnya.
"Benar! Tubuhnya penuh luka. Dia hampir tenggelam di laut," sahut laki-laki tua
nelayan itu lagi. "Orangnya masih muda..., tapi kelihatannya bukan pemuda desa
ini." "Apa tidak ada yang mengenali, Ki?" tanya Sanjaya, ingin tahu.
"Tidak. Sekarang sudah diurus kepala desa," sahut laki-laki tua nelayan itu
lagi. Nelayan itu memandangi Sanjaya dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang ingin
diketahuinya. Sedangkan Sanjaya mengarahkan pandangannya pada kerumunan banyak
orang di pantai. Tampak empat orang bergerak bersamaan, menggotong sebuah tandu
berisikan sesosok tubuh yang tertutup selembar tikar. Semua orang yang
berkerumun mengikuti empat orang laki-laki bertubuh kekar yang menggotong tandu
itu. Mereka mengikuti seorang laki-laki setengah baya, bertubuh tegap dengan
wajah masih mencerminkan ketampanannya. Baju yang dikenakannya juga sangat bagus
untuk ukuran seorang nelayan.
Semua orang di Desa Nelayan itu sangat menghormatinya, karena laki-laki setengah
baya itu adalah Kepala Desa Nelayan ini. Orang mengenalnya sebagai Ki Soma.
Sanjaya juga sudah mengenal kepala desa yang masih berusia sekitar lima puluh
tahun itu. Sanjaya masih terus memandangi iring-iringan itu, sampai tak
menyadari kalau lelaki nelayan tua yang diajaknya bicara tadi meninggalkannya
tanpa berpamitan lagi.
Sanjaya mengayunkan kakinya menuju ke sebuah kedai yang tidak jauh dari pesisir
pantai ini, setelah iring-iringan orang yang membawa sosok mayat itu sudah jauh
menuju ke tempat pemakaman yang ada di dekat hutan bakau. Kudanya kemudian
ditambatkan di bawah sebatang pohon yang sudah mati. Kemudian kakinya melangkah
masuk ke dalam kedai yang hanya ditunggui seorang wanita setengah baya bertubuh
gembur, seperti tong kayu tempat air.
"Beri arak, Nyi," pinta Sanjaya.
"Arak putih, Den...?" tanya wanita itu ramah.
Sanjaya hanya menganggukkan kepala saja. Pemilik kedai bertubuh gembur itu
kemudian menyediakan permintaan tamunya dengan sikap dibuat ramah. Sama sekali
Sanjaya tidak menghiraukannya. Perhatiannya terus tertuju ke arah pantai yang sudah nampak
sepi. Beberapa perahu tertambat di pesisir pantai itu. Tampak di lautan lepas,
terlihat beberapa perahu nelayan terombang-ambing gelombang. Sanjaya lalu
meneguk arak pesanannya sedikit
"Kelihatannya Aden ini baru datang ke sini, ya...?" tegur wanita gemuk pemilik
kedai itu, dengan suara lembut
"Benar, Nyi," sahut Sanjaya seraya berpaling menatap wanita pemilik kedai yang
sudah duduk di depannya
"Datang dari mana, Den?"
"Jauh," sahut Sanjaya seenaknya,
"Itu yang mati tadi juga pendatang, Den. Baru kemarin dia datang, dan menginap
di rumah penginapan Nini Kalin. Kasihan dia. Padahal kedatangannya ke sini untuk
mencari orang tuanya," jelas wanita gemuk pemilik kedai itu bercerita tanpa
diminta. "Apakah sering terjadi pembunuhan di sini, Nyi?" tanya Sanjaya jadi ingin tahu.
"Sejak peristiwa enam bulan yang lalu, baru kali ini ada pembunuhan lagi Tapi,
yang sekarang kelihatannya lebih kejam. Tubuhnya sampai habis kena bacokan.
Lehernya saja hampir buntung. Hih...! Ngeri, Den...," wanita gemuk yang sering
dipanggil Nyi Koret itu nampak bergidik, tidak sanggup membayangkan keadaan
tubuh pemuda yang ditemukan tewas terbunuh pagi ini di pantai.
"Peristiwa enam bulan yang lalu..." Peristiwa apa itu. Nyi?"
tanya Sanjaya ingin tahu.
"Hanya orang gila yang mau cepat kaya, dan mencari pesugihan. Caranya, bersekutu
dengan setan! Dia mencari
tumbal, setiap sepekan sekali. Bayangkan saja, Den. Selama enam bulan..., entah
sudah berapa orang yang mati jadi tumbalnya. Tapi untung saja perempuan itu
cepat mati. Kalau tidak..., bisa habis seluruh penduduk desa ini dijadikan
tumbal olehnya," Nyi Koret kembali bercerita.
Sanjaya mengangguk-angukkan kepala. Sungguh tidak diketahuinya kalau di Desa
Nelayan ini pernah terjadi satu peristiwa mengerikan enam bulan yang lalu.
Padahal, jarak dari desa ini dengan padepokan kakeknya tidaklah seberapa jauh.
Dan memang, Sanjaya pada enam bulan yang lalu tidak ada di padepokan. Dia sedang
menjalankan tugas dari kakek yang juga gurunya. Tapi, tak ada seorang pun yang
bercerita tentang peristiwa mengerikan itu. Dan sekarang, timbul lagi satu
peristiwa pembunuhan seperti itu. Tapi, Sanjaya belum bisa mengkaitkan dengan
tugas yang sedang diembannya sekarang ini.
"Kata suamiku, anak muda itu mata dengan ciri-ciri yang hampir sama. Tapi
sekarang lebih mengerikan lagi," sambung Nyi Koret. "Suamiku sendiri yang
pertama kali menemukannya tadi pagi. Aku juga tidak tahan melihatnya."
"Apa mungkin ada orang yang mencari kekayaan dengan pesugihan lagi, Nyi?" tanya
Sanjaya. "Mungkin juga, Den. Tapi kenapa yang jadi korban justru pendatang, dan bukannya
penduduk desa ini sendiri," sahut Nyi Koret.
Sanjaya jadi teringat yang dilihatnya semalam. Tapi, hatinya tidak yakin kalau
dari peristiwa yang dilihatnya semalam, sudah menimbulkan korban begiru cepat.
Lagi pula, sama sekali tidak terlihat adanya suatu pertarungan, ataupun
pengambilan korban. Semalam, yang dilihatnya hanya seseorang yang memanggil Ratu
Pantai Selatan untuk bersekutu. Dan orang
yang tampaknya wanita itu meninggalkan pantai bersama sepuluh gadis yang dibawa
Ratu Pantai Selatan dari dasar laut Sama sekali tidak ada peristiwa lain. Tapi
sekarang, sudah ditemukannya korban yang belum diketahui penyebabnya.
Masih terlalu dini bila ingin mengkaitkan dengan apa yang dilihatnya semalam.
*** Cukup ramai juga penginapan Nini Kalin. Hampir semua kamar yang disewakan bagi
para pendatang yang kemalaman, sudah terisi. Masih untung, Sanjaya bisa memilih
kamar yang menghadap langsung ke jalan. Sehingga semua orang yang melalui jalan
di depan penginapan ini bisa diamatinya. Dan dia juga bisa mengamati setiap
orang yang keluar masuk penginapan ini.
"Sulit juga mencari orang itu. Seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami,"
desah Sanjaya perlahan, berbicara pada diri sendiri.
Memang, tidak mudah mencari orang yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan.
Terlebih lagi, Sanjaya melihatnya dari jarak yang sangat jauh. Dan sejak
matahari belum tenggelam tadi, dan sampai hampir tengah malam begini, belum juga
bisa didapatkan satu orang pun yang bisa dicurigainya. Terlebih lagi saat dia
tiba di Desa Nelayan ini. Di sini, satu pembunuhan penuh teka-teki sudah
terjadi. Dan itu menambah kesulitan baginya untuk bisa mengetahui lebih cepat
lagi. Semua orang di desa ini seperti sudah tercekam suatu kengerian. Dan mereka
semua mengkaitkan pembunuhan aneh di pantai siang tadi dengan peristiwa yang
pernah terjadi sekitar enam bulan yang lalu.
"Hmmm..., sepi sekali," gumam Sanjaya.
Pemuda itu terus merayapi jalan yang sudah kelihatan begitu sepi sekali. Tapi
begitu pandangannya mengarah ke ujung jalan, mendadak saja....
"Heh..."! Apa itu..."!"
Kedua bola mata Sanjaya jadi terbeliak begitu melihat beberapa bayangan merah
berkelebat di dalam kegelapan malam yang begitu sunyi dan senyap. Hanya sekilas
saja bayangan-bayangan merah yang berkelebatan cepat bisa terlihat. Dan langsung
menghilang, tak terlihat lagi.
"Hap...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Sanjaya langsung melompat keluar jendela kamarnya
yang sejak siang tadi terus terbuka.
Gerakannya begitu ringan, sehingga tak sedikit pun suara yang ditimbulkan saat
kakinya menjejak tanah.
"Hap...!"
Pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu kembali melenting dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sekali saja tubuhnya
dikempos, kakinya langsung hinggap di atas atap sebuah rumah. Lalu, dia kembali
melesat cepat bagai kilat menuju ke tempat beberapa bayangan merah yang
berkelebatan bagai kilat tadi terlihat.
Dan kini bayangan itu langsung menghilang begitu saja.
Beberapa kali Sanjaya berlompatan begitu ringan dari satu atap rumah, ke atap
rumah yang lainnya. Hingga dalam waktu sebentar saja, kakinya sudah menjejak
kembali di tanah, tempat tadi beberapa bayangan merah berkelebat bagai kilat
terlihat. Pemuda itu segera mengedarkan pandangannya berkeliling begitu tajam.
Tapi, tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Yang ada hanya pepohonan dan
kegelapan yang menyelimuti.
'Tak ada apa-apa di sini. Hmmm...," gumam Sanjaya perlahan.
Kembali pandangannya beredar berkeliling. Namun begitu menatap ke arah kanan,
tiba-tiba saja....
Wusss...! "Heh..."!"
Sanjaya jadi terbeliak setengah mati.
"Uts!"
Buru-buru tubuhnya melenting berputaran ke belakang, begitu tiba-tiba sebuah
bayangan berwarna merah berkelebat cepat ke arahnya. Sanjaya merasakan adanya
satu hembusan angin yang begitu kuat dan terasa panas, saat bayangan merah itu
lewat di atas rubuhnya yang berputaran ke belakang.
"Hap!"
Baru saja kaki pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu menjejak tanah, kembali
terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di
sekelilingnya sudah mengepung sekitar sepuluh orang gadis yang semuanya
mengenakan baju warna merah menyala.
Hampir Sanjaya tidak dapat mempercayai semua yang dilihatnya. Keadaannya yang
sudah terkepung tidak kurang oleh sepuluh gadis cantik yang mengenakan baju wama
merah menyala, membungkus tubuhnya yang amat indah dan ramping menggiurkan.
Namun sorot mata gadis-gadis itu sangat tajam, membuat hati Sanjaya jadi
bergetar. "Siapa kalian...?" tanya Sanjaya dengan nada suara dibuat begitu dingin.
"Mereka tidak akan menjawab pertanyaanmu...," terdengar sahutan yang begitu
tajam dan terasa berat.
Perlahan Sanjaya memutar tubuhnya. Kening pemuda itu jadi berkerut melihat
seorang wanita bertubuh ramping, mengenakan baju biru tengah berdiri di bawah
pohon yang besar dan gelap. Sehingga, sulit baginya untuk bisa melihat wajah
wanita itu. Apalagi cahaya bulan yang menggantung di langit tidak sanggup
menembus rimbunnya pepohonan yang melindungi wanita bertubuh ramping itu. "Siapa
kau?" tanya Sanjaya. Kedua kelopak mata pemuda itu lebih menyipit, mencoba untuk
bisa melihat lebih jelas lagi. Tapi kegelapan yang menyelimutinya, memang sukar
ditembus dengan pandangan matanya.
"Kau berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan, Bocah Bagus,"
sahut wanita itu.
Glek! Sanjaya langsung menelan ludahnya, begitu mendengar wanita itu mengaku sebagai
Ratu Pantai Selatan. Semua orang yang tinggal di sekitar Pesisir Pantai Selatan
Ini sudah sering mendengar namanya! Dia adalah seorang wanita berwajah cantik,
dan bertubuh menggiurkan. Seluruh samudera di bumi ini dikuasainya. Dan
tinggalnya pun terletak di dasar samudera yang paling dalam. Tak ada seorang pun
yang bisa selamat jika sudah dibawa ke dalam istananya di dasar samudera. Juga,
tak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah berhadapan dengannya.
Sanjaya jadi teringat dengan apa yang dilihatnya malam itu, sehingga sekarang
berada di Desa Nelayan ini. Langsung disadari kalau sekarang tengah berhadapan
dengan seseorang yang tubuhnya sudah ditirisi jiwa Ratu Pantai Selatan. Dia juga
menyadari, apa yang akan terjadi pada dirinya. Tidak mudah untuk bisa melepaskan
diri jika sudah berhadapan seperti ini.
Terlebih lagi, sekarang ada sepuluh orang gadis lain yang mengepungnya. Dan
gadis-gadis itu bukanlah manusia biasa!
"Ikutlah denganku, Sanjaya...," ajak wanita itu lagi. Kali ini nada suaranya
terdengar begitu lembut Sanjaya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tidak heran
kalau Ratu Pantai Selatan bisa mengetahui namanya, walaupun tidak memperkenalkan
diri tadi. Wanita itu memang bisa mengetahui, siapa saja yang dihadapinya. Bukan hanya
namanya yang bisa diketahui, tapi juga seluruh kehidupan dan asal-usulnya.
Itulah salah satu dari seribu kehebatan Ratu Pantai
Selatan. Perlahan Sanjaya melangkah mundur. Tapi, langkahnya berhenti saat baru
beberapa tindak saja.
Sanjaya teringat pesan kakeknya yang juga sekaligus gurunya, agar tidak
melakukan tindakan apa pun dalam menghadapi pemuja Ratu Pantai Selatan. Terlebih
lagi, kalau si pemuja itu sekarang sudah ditirisi jiwa wanita cantik penguasa
seluruh samudera di Mayapada ini.
"Maafkan aku, Kanjeng Ratu. Aku tadi tidak bermaksud buruk. Aku hanya...,"
ucapan Sanjaya terputus.
"Kau sudah mengusik pekerjaan abdi-abdiku, Sanjaya. Dan kesalahanmu itu harus
ditebus," kata Ratu Pantai Selatan masih terdengar lembut nada suaranya. Tapi di
balik kelembutannya itu, tersimpan sesuatu yang tak bisa dibayangkan Sanjaya.


Pendekar Rajawali Sakti 69 Titisan Ratu Pantai Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Maafkan aku, Kanjeng Ratu...," ucap Sanjaya dengan suara bergetar.
"Ikutlah denganku. Sanjaya. Untuk menebus kesalahanmu,"
ujar Ratu Pantai Selatan tegas.
Entah untuk keberapa kalinya Sanjaya terpaksa harus menelan ludahnya. Matanya
melirik ke kanan dan ke kiri,
merayapi gadis-gadis cantik berbaju merah yang mengepungnya dengan sorot mata
begitu tajam. Seluruh wajah Sanjaya jadi memucat Tapi, pemuda ini tetap tidak
ingin menuruti keinginan wanita titisan Ratu Pantai Selatan itu. Dia tahu, apa
yang akan terjadi jika menuruti kehendak wanita penguasa samudera itu.
'Tidak!" sentak Sanjaya tiba-tiba.
"Hiyaaat..!" Cepat sekali Sanjaya melenting ke udara, mencoba meloloskan diri
dari jeratan wanita penguasa samudera itu. Gerakannya begitu cepat dan tibatiba. Namun belum juga Sanjaya bisa jauh meninggalkan tempat itu, mendadak saja
delapan orang gadis cantik berbaju merah itu sudah berlompatan bagai kilat
mengejarnya. "Ufs...! Sanjaya jadi tersedak begitu tiba-tiba di depannya sudah menghadang delapan
gadis cantik berbaju merah yang tadi mengepungnya. Sungguh tidak disangka kalau
gadis-gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan mi bisa bergerak demikian cepat,
bagaikan kilat behingga, mereka sudah berdiri menghadang di depan tanpa
diketahui kapan bergeraknya.
Sanjaya cepat memutar tubuhnya. Tapi matanya kontan jadi terbeliak. Ternyata
tidak jauh di depannya kini sudah berdiri gadis cantik berbaju biru, yang tadi
berdiri di bawah pohon dan mengaku bernama Ratu Pantai Selatan. Begitu
cantiknya, sehingga membuat Sanjaya jadi tak berkedip memandanginya.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja, gadis cantik berbaju biru yang tadi mengaku sebagai Ratu Pantai
Selatan itu melompat cepat sambil menjulurkan tangan kanannya ke depan.
Sementara, Sanjaya tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Dia hanya berdiri terpaku
dengan kedua bola mata terbeliak lebar tanpa berkedip sedikit pun juga.
"Oh..."!" Sanjaya jadi terhenyak.
Tiba-tiba saja dia jadi tersadar. Dan....
"Hait...!"
Hampir saja ujung jari tangan kanan titisan Ratu Pantai Selatan itu mengenai
dadanya, untung Sanjaya cepat-cepat meliukkan tubuhnya menghindar. Kini bergegas
tubuhnya melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang. Tapi begitu kakinya
menjejak tanah, mendadak saja....
Wusss...! "Heh..."! Hup!"
Buru-buru Sanjaya melambung tinggi ke udara, ketika tiba-tiba saja dari arah
belakang terasa hembusan angin yang begitu halus. Ternyata, salah seorang gadis
berbaju merah melesat cepat hendak menerkamnya. Untung saja Sanjaya sudah lebih
cepat menghindar dengan melesat ke udara. Maka, gadis berbaju merah itu hanya
lewat sedikit di bawah telapak kaki pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu.
"Hiyaaat...!"
Belum lagi Sanjaya bisa menjejakkan kakinya kembali ke tanah, satu orang gadis
berbaju merah lagi sudah melompat cepat menerjangnya. Dan Sanjaya terpaksa harus
berjumpalitan di udara, menghindari terjangan gadis cantik bertubuh indah yang
mengenakan baju berwarna merah menyala itu.
Kali ini, Sanjaya benar-benar tidak dapat lagi berbuat lebih banyak. Tubuhnya
terus berjumpalitan, sambil meliuk-liuk menghindari serangan-serangan yang
dilakukan gadis-gadis
cantik ini Sedikit pun tak ada kesempatan bagi Sanjaya untuk bisa membalas
menyerang Bahkan sama sekali tidak mempunyai kesempatan mencabut pedangnya yang
tergantung di pinggang. Serangan-serangan yang dilancarkan sepuluh gadis cantik
ini begitu cepat, dan dilakukan secara beruntun.
Akibatnya, Sanjaya benar-benar kelabakan setengah mati menghindarinya.
"Hiyaaa...!"
"Hap,..!"
Sanjaya cepat-cepat menarik tubuhnya ke samping, ketika satu orang gadis
penyerangnya memberi satu pukulan keras menggeledek ke arah dada. Tapi tanpa
diduga sama sekali, mendadak saja dari arah belakang muncul seorang gadis cantik
lain yang langsung melepaskan satu tendangan menggeledek.
Begitu cepatnya tendangan itu, sehingga dia tidak dapat lagi menghindarinya.
Padahal Sanjaya bisa menarik tubuhnya kembali tegak. Tapi...
Desss! "Akh...!" Sanjaya terpekik keras agak tertahan.
Seketika itu juga, tubuhnya terjerembab mencium tanah.
Pada saat yang bersamaan, satu orang gadis lagi sudah melompat sambil melepaskan
satu pukulan ke arah pemuda yang masih tertelungkup di tanah itu.
"Ufs...!"
Sanjaya cepat-cepat menggelimpangkan tubuhnya ke samping. Sehingga, pukulan
gadis itu tidak sampai mengenai sasaran. Dan pukulan itu hanya menghantam tanah
kosong, hingga terbongkar mencintakan kepulan debu yang membumbung ke angkasa.
Sanjaya sendiri sampai terperanjat,
karena tanah jadi terguncang akibat pukulan gadis berbaju merah itu.
Tak bisa dibayangkan lagi, seandainya pukulan yang sangat keras itu menghantam
tubuh pemuda ini. Jelas bisa hancur jadi debu seluruh tubuhnya. Sanjaya cepatcepat melompat bangkit berdiri. Namun ketika kakinya baru saja menjejak tanah,
satu serangan lain sudah datang begitu cepat luar biasa. Akibatnya, pemuda itu
jadi terperangah, dengan kedua bola mata terbeliak lebar.
"Hait...!"
Sanjaya cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka pukulan yang dilepaskan
gadis itu hanya lewat sedikit saja dari dadanya. Pada saat yang bersamaan,
mendadak saja gadis berbaju biru yang tadi mengaku dirinya adalah Ratu Pantai
Selatan sudah melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan pada saat yang bersamaan,
satu orang gadis lain berbaju merah sudah mengibaskan satu tendangan menyamping
ke arah kaki Sanjaya.
Wukkk! "Hup! Yeaaah...!"
Sanjaya cepat-cepat melenting ke udara. Namun mendadak saja matanya jadi
terbeliak. Sama sekali tidak disangka kalau di udara, sudah menunggu Tifisan
Ratu Pantai Selatan. Dan ketika tangan kanan gadis cantik berbaju biru itu
menjulur ke depan, Sanjaya tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....
Tukkk! "Aaah...."
Sanjaya hanya bisa mendesah lirih. Seketika itu juga tubuhnya jatuh terguling ke
tanah. Dicobanya untuk bergerak
bangkit, tapi jadi terperanjat setengah mati. Ternyata seluruh tubuhnya tidak
lagi bisa digerakkan sedikit pun juga. Dan pada saat itu, Ratu Pantai Selatan
sudah berdiri di sampingnya.
Wanita cantik dengan bibir indah itu menyunggingkan senyum manis sekali.
"Bawa dia...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, salah seorang gadis berbaju merah segera
menghampiri Sanjaya. Seperti mengangkat segumpal kapas saja, gadis itu memanggul
Sanjaya di pundaknya. Tanpa ada seorang pun yang mengeluarkan suara, mereka
bergegas berlompatan pergi meninggalkan pinggiran Desa Nelayan itu. Gerakan
mereka begitu cepat dan ringan. Sehingga, dalam waktu sekejap mata saja sudah
tidak terlihat lagi bayangan tubuh sebelas orang gadis cantik itu.
Keadaan di pinggiran Desa Nelayan itu jadi sunyi kembali.
Tak ada lagi suara yang terdengar, kecuali debur ombak di pantai dan sapuan
angin saja yang terdengar menyebarkan alunan irama alam yang menggetarkan
jantung Dan malam pun tenis merayap semakin larut. Tak ada seorang pun bisa
melihat peristiwa di pinggiran Desa Nelayan Pesisir Pantai Selatan ini tadi.
*** 3 "Ohhh...."
Sanjaya menggeliat sambil merintih lirih. Sebentar kepalanya digerak-gerakkan,
kemudian kelopak matanya mulai dikerjapkan beberapa kali. Pemuda itu bergegas
menggerinjang bangun begitu menyadari dirinya sekarang berada di sebuah ruangan berukuran
sangat besar dan megah, seperti berada di dalam kamar istana.
"Oh.... Di mana ini" Apa yang terjadi padaku...?" keluh Sanjaya lirih, agak
menggumam. Pandangan pemuda itu beredar berkeliling, merayapi keadaan sekitar kamar yang
begitu indah dan megah ini.
Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat sebuah kamar yang begitu indah dan
megah. Sanjaya cepat menggerinjang turun dari pembaringan berukuran besar. Dia
benar-benar terkejut melihat keadaan dirinya yang sudah berganti pakaian berupa
jubah panjang dari bahan sutera halus yang berkilat dan berwarna biru laut.
Sanjaya berpaling saat mendengar suara dari arah pintu.
Tampak pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir itu bergerak terbuka
perlahan-lahan. Dan dari balik pintu itu, muncul seorang gadis cantik mengenakan
baju biru yang begitu tipis sekali. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya membayang
jelas. Tentu saja bola mata Sanjaya jadi terbeliak lebar tak berkedip memandanginya.
Debar jantung pemuda itu seketika berpacu cepat. Sepertinya dia tengah berada
dalam suatu perasaan yang dia sendiri tidak tahu.
"Bagaimana keadaanmu, Sanjaya...?" lembut sekali nada suara wanita Itu.
Sanjaya tidak bisa menjawab pertanyaan itu Entah kenapa, lidahnya jadi terasa
begitu kelu dan tenggorokannya terasa begitu kering. Beberapa kali dia menelan
ludah untuk membasahi tenggorokannya. Malah, debaran jantungnya yang begitu
keras tidak juga bisa berkurang. Seluruh kesadaran dirinya seperti lenyap,
seiring datangnya perasaan yang
bergejolak. Perasaan seperti mengajaknya terbang ke langit tingkat tujuh.
Sementara, wanita cantik itu semakin dekat saja di depan Sanjaya. Aroma harum
yang begitu tajam menyengat hidung, membuat seluruh kepala pemuda ini jadi
terasa pening. Terlebih lagi jari-jari tangan yang lentik dan halus mulai bermain-main di dada
Sanjaya yang bidang begitu lembut.
Kesadaran Sanjaya benar-benar lenyap, saat bibir yang memerah indah milik wanita
itu mengecup halus bibirnya.
Sanjaya tidak dapat lagi menguasai kesadaran dirinya.
Tangannya segera dilingkarkan ke pinggang yang ramping terbungkus baju dari
bahan yang begitu halus dan tipis.
Sehingga, mereka bagai tidak memiliki pembatas lagi. Seperti
kerbau dicucuk hidungnya, Sanjaya menuruti saja saat wanita itu menuntun ke
pembaringan. "Peluklah aku, Sanjaya. Cumbulah sepuasmu...," desah wanita itu lirih dan lembut
sekali. "Kau... kau cantik sekali...," desis Sanjaya bergetar. Dadanya kian bergemuruh
oleh gairah menggelegak dahsyat dalam dada.
"Lakukan, apa yang harus kau lakukan, Sanjaya. Puaskan dirimu. Cumbu aku...,"
bisik wanita itu.
Bisikan-bisikan yang halus dan lembut, disertai sapuan-sapuan lembut dari jarijari tangan lentik, membuat Sanjaya tak mampu lagi mengendalikan diri. Perlahanlahan direbahkannya tubuh wanita itu ke pembaringan. Lalu dengan tangan agak
gemetar, pakaian yang dikenakan wanita itu mulai dilepaskannya. Kedua bola
matanya tak berkedip merayapi bentuk tubuh yang begitu indah, terbaring polos
tanpa selembar benang pun yang menutupinya. Dan saat itu pula, pakaian jubah
Sanjaya juga telah terlepas.
Perlahan-lahan Sanjaya mendekatkan wajahnya ke wajah yang cantik menggairahkan
itu. Lalu, lembut sekali bibir merah dan agak terbuka itu dikecupnya. Kedua
tangan wanita itu melingkar di leher Sanjaya, membuat pemuda itu tidak bisa lagi
melepaskan diri.
"Ohhh...!"
Rintihan dan desahan lirih terdengar begitu halus, membuat gairah mereka semakin
menggelora. Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan. Semua berganti rintihan
lirih dan desahan-desahan menggelora yang membangkitkan gairah. Di dalam kamar
yang berukuran besar dan megah itu, dua sosok tubuh
bergelut dalam lautan birahi yang menggelora. Dan dua sosok tubuh itu kini mulai
berkilatan oleh keringat
Entah berapa lama mereka bergelut mengarungi samudera keindahan asmara. Dan
tahu-tahu, Sanjaya sudah menggulir disertai keluhan panjang dari tubuh wanita
itu. Kelopak mata Sanjaya terpejam rapat. Gerakan di dadanya begitu cepat dan
memburu. Butir-butir keringat membanjiri seluruh tubuhnya.
Sementara wanita cantik yang berbaring di sebelahnya, mulai bergerak turun dari
pembaringan. Dia tersenyum menatap tubuh Sanjaya yang terbaring dengan dada telanjang
Perlahan, pakaiannya dikenakan lagi.
Lalu tanpa berbicara sedikit pun, kakinya melangkah meninggalkan kamar itu.
Sementara Sanjaya masih tetap terbaring bersimbah keringat di seluruh tubuhnya.
*** Tak ada seorang pun yang tahu, apa yang terjadi pada diri Sanjaya. Sementara
itu, di Puncak Bukit Rangkas tampak seorang laki-laki tua berdiri tegak
memandang ke tengah lautan dari atas menara yang sangat tinggi. Kedua bola
matanya tidak berkedip memandangi gelombang lautan yang beriak tidak terlalu
besar. Dari raut wajahnya, tercermin kekhawatiran yang begitu mendalam. Wajahnya
baru berpaling saat merasakan ada seseorang yang naik ke atas menara ini. Tapi
sebentar kemudian, pandangannya kembali diarahkan ke tengah lautan yang bagaikan
tak bertepi itu.
Sedikit wajahnya tidak berpaling ketika seorang gadis muda berusia sekitar
delapan belas tahun sudah berada di sampingnya. Baju warna merah muda yang
dikenakannya, terlihat cukup ketat. Sehingga membentuk tubuh yang kecil dan
mungil seperti gadis berumur tiga belas tahun. Gadis itu juga
mengarahkan pandangan ke tengah laut yang tampak tenang, dengan gelombang kecil
mengikuti hembusan angin.
"Kapan dia akan datang ke sini, Karina?" tanya laki-laki tua berjubah putih yang
tak lain Eyang Danarpati.
"Kalau tidak ada halangan, besok pagi sudah sampai di sini.
Eyang," sahut gadis yang dipanggil Karina itu.
Kembali mereka terdiam. Pandangan mereka terus tertuju ke arah lautan lepas yang
tampak menghitam dan berkilauan oleh pantulan cahaya rembulan, bagai bertaburkan
manik-manik mutiara yang begitu indah dipandang mata.
"Aku khawatir terjadi sesuatu pada Kakang Sanjaya, Eyang,"
kata Karina. Nada suaranya terdengar begitu cemas.
"Sanjaya sudah meninggal," pelan sekali suara Eyang Danarpati.
"Meninggal..."!" Karina tampak terkejut setengah mati.
"Mayatnya ditemukan penduduk desa dekat pantai."
"Oh...," Karina hanya bisa mendesah panjang. "Kapan itu terjadinya. Eyang?"
"Tiga hati yang ialu. Mayatnya sudah dikuburkan."
Karina tertunduk lesu. Pantas, wajah Eyang Danarpati tampak murung dang berduka.
Sungguh! Hal itu baru diketahuinya sekarang. Gadis itu jadi menyesal menanyakan
tentang Sanjaya. Jelas, pertanyaan itu membangkitkan kedukaan Eyang Danarpati
yang semakin dalam.
Eyang Danarpati seperti tak tahan lagi menahan keharuan.
Cucu satu-satunya kini telah tiada hilang sudah harapan yang dapat
dibanggakannya. Mungkin kalau tidak ada Karina, iaki-laki tua itu sudah
menggulirkan air mata. Untung perasaannya bisa ditahan, walaupun matanya
merembang berkaca-kaca.
Laki-laki tua berjubah putih itu kemudian memutar tubuhnya berbalik, dan
melangkah turun dari menara ini. Karina mengikuti dari belakang. Mereka terus
bergerak turun tanpa berbicara iagi. Diam-diam Eyang Danarpati menghapus air
matanya. Kedua orang itu terus melangkah menuju ke bangunan besar yang menjadi
tanda kalau di Puncak Bukit Rangkas ini terdapat sebuah padepokan. Mereka
kemudian duduk berhadapan di beranda depan bangunan besar itu, beralaskan
selembar tikar.
"Aku berharap, dia bisa datang lebih cepat. Kudengar sudah begitu banyak korban
yang jatuh. Dan yang terakhir adalah Sanjaya. Entah, apa yang akan terjadi lagi
kalau iidak segera dihentikan," desah Eyang Danarpati perlahan, seakan bicara
untuk diri sendiri.
"Maaf, Eyang. Apakah Eyang tidak bisa menghadapinya sendiri?" tanya Karina
takut-takut Eyang Danarpati tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan malah menatap begitu
dalam pada gadis yang duduk bersila di depannya ini.
"Maaf, kalau pertanyaanku tadi menyinggungmu, Eyang,"
ucap Karina buru-buru.
"Hhh...!" Eyang Danarpati menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat
sekali.

Pendekar Rajawali Sakti 69 Titisan Ratu Pantai Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan Karina jadi tertunduk, menyesali pertanyaannya yang bisa menyinggung
perasaan Ketua Padepokan Bukit Rangkas ini. Memang, seharusnya dia tidak perlu
mengajukan pertanyaan seperti itu tadi. Tapi, semuanya sudah terjadi. Dan dia
memang merasa heran karena Eyang Danarpati seperti tidak mau menghadapi Ratu
Pantai Selatan yang kini sedang merajalela, sehingga menimbulkan begitu banyak
korban. Dan semua korbannya adalah pemuda, baik yang pandai ilmu olah
kanuragan maupun yang sama sekali buta. Dan selama lebih dari dua pekan ini,
sudah tidak terhitung lagi jumlah anak-anak muda yang menjadi korbannya.
"Kau tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh.
Sebaiknya, beristirahat dulu," ujar Eyang Danarpati.
"Aku pergi dulu, Eyang," pamit Karina.
Eyang Danarpati hanya menganggukkan kepala saja. Dia masih tetap duduk bersila
di beranda depan bangunan padepokan ini. Sementara, Karina sudah tidak terlihat
lagi di sana. Gadis itu sudah masuk ke dalam bangunan yang berukuran sangat
besar ini. Dan malam terus merayap semakin bertambah larut Eyang Danarpati masih
tetap duduk bersila memandang lurus ke depan, dengan sinar mata yang begitu
kosong bagai tak bersemangat
Kegeiapan masih terus menyelimuti seluruh Puncak Bukit Rangkas ini. Eyang
Danarpati masih juga belum beranjak dari beranda depan rumah padepokannya,
walaupun tidak berapa lama lagi pagi akan datang menjelang Entah apa yang sedang
dipikirkannya sekarang ini. Dia duduk bersila seperti bersemadi, namun tatapan
matanya begitu kosong, tertuju lurus ke depan.
Beberapa orang murid padepokan itu masih tampak terlihat berjaga-jaga di
beberapa tempat.
"Heh! Siapa itu..."!" sentak Eyang Danarpati, ketika tiba-tiba saja melihat
bayangan berkelebat cepat bagai kilat Belum juga Eyang Danarpati melakukan
sesuatu, tiba-tiba saja,...
"Aaa...!"
"Heh..."!"
Eyang Danarpati jadi tersentak setengah mati, begitu terdengar jeritan panjang
melengking tinggi. Cepat-cepat dia melompat keluar dari beranda itu. Dan pada
saat kakinya baru menjejak tanah, mendadak saja dari atas atap bangunan
padepokan itu meluncur sesosok tubuh ke arahnya.
"Hup...!"
Dengan satu gerakan indah sekali, Eyang Danarpati cepat-cepat melompat
menghindari sosok tubuh yang meluncur begitu cepat dari atas atap.
Blukkk! "Hah..."!"
Kedua bola mata Eyang Danarpati jadi terbeliak lebar, begitu di depannya jatuh
sesosok tubuh seorang laki-laki muda yang dikenal sebagai muridnya. Seluruh
tubuhnya penuh lubang dan mengucurkan darah. Tampak jelas kalau lehernya
menganga lebar hampir buntung. Hanya bagian wajahnya saja yang tidak mendapatkan
luka sedikit pun.
Belum juga rasa keterkejutannya bisa dihilangkan, kembali dia dikejutkan oleh
teriakan-teriakan keras dan jeritan melengking tinggi dari arah bagian belakang
bangunan padepokan ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Tanpa berpikir panjang iagi, laki-laki tua berjubah putih itu segera melenting
ke udara. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga hanya sekali lesatan saja
sudah berada di atas atap. Lalu kembali tubuhnya melesat cepat ke arah datangnya
suara pertarungan yang didengarnya. Beberapa kali dia berlompatan dan melakukan
putaran di udara, lalu ringan sekali meluruk turun begitu sampai di bagian
belakang rumah besar padepokannya ini.
"Mundur kalian semua...!" seru Eyang Danarpati begitu kakinya menjejak tanah.
Di bagian halaman belakang yang cukup luas, iaki-laki tua itu melihat muridmuridnya bertarung sengit melawan sepuluh orang gadis-gadis cantik berbaju serba
merah. Dan teriakannya yang begitu keras menggelegar karena disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi, membuat semua murid Padepokan Bukit Rangkas langsung
berlompatan mundur meninggalkan kancah pertarungan.
"Edan...!" desis Eyang Danarpati menggeram.
Hampir sulit dipercaya melihat sebagian murid-muridnya sudah bergelimpangan tak
bernyawa lagi. Darah berhamburan membasahi tanah yang berumput di halaman
belakang padepokan ini. Sementara itu, mereka yang masih hidup segera berjajar
di belakang gurunya yang sudah berusia lanjut ini.
Sedangkan sepuluh orang gadis cantik berbaju serba merah, berdiri berjajar
sekitar tiga batang tombak jauhnya di depan Eyang Danarpati.
"Mau apa kalian mengacau padepokanku ini.."! Siapa kalian..."!" tanya Eyang
Danarpati langsung.
Sinar mata laki-laki tua itu mencorong begitu tajam, merayapi wajah-wajah cantik
yang berada sekitar tiga tombak di depannya. Tapi tak ada seorang pun dari
kesepuluh gadis berbaju merah itu yang menjawab pertanyaan Eyang Danarpati tadi.
Mereka hanya berdiri tegak membalas sorot mata laki-laki tua itu dengan tidak
kalah tajamnya. Tak ada satu pun senjata yang tersandang. Tapi dalam waktu yang
begitu singkat tadi, mereka sudah mencabut nyawa lebih dari dua puluh orang
murid Padepokan Bukit Rangkas.
"Kalian hanya diam saja. Apa kalian tidak bisa bicara, heh..."!" dengus Eyang
Danarpati jadi geram, melihat
kesepuluh orang gadis yang telah membunuh lebih dari dua puluh muridnya hanya
diam saja tidak menjawab
pertanyaannya. Mereka memang tetap diam tak bicara sedikit pun. Hal ini membuat Eyang Danarpati
semakin bertambah berang Harga dirinya direndahkan atas sikap kesepuluh gadis
berbaju merah ini. Perlahan laki-laki tua berjubah putih itu melangkah ke depan
beberapa tindak. Sorot matanya masih tetap begitu tajam juga, terdengar
gemeretuk gerahamnya yang menahan geram.
"Kalian datang untuk membunuh murid-muridku. Kalian harus bertanggung jawab...!"
desis Eyang Danarpati dingin menggeletar.
Bettt! Tiba-tiba saja sepuluh gadis cantik berbaju merah itu mengebutkan tangannya
secara bersamaan ke depan. Dan tahu-tahu, dari tangan yang terkepal menyemburat
secercah sinar berwarna-warni seperti pelangi. Lalu begitu sinar itu hilang, di
tangan mereka masing-masing sudah tergenggam sebilah pedang yang bentuk dan
ukurannya sama. Melihat senjata yang muncul begitu tiba-tiba dan sangat aneh,
Eyang Danarpati jadi tersentak. Kedua bola matanya terbeliak lebar seperti tidak
percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.
"Apakah mereka para pengawal Ratu Pantai Selatan...?"
desis Eyang Danarpati bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Cara kesepuluh orang gadis catik berpakaian merah itu mengeluarkan senjata
berbentuk pedang yang begitu aneh, memang langsung membuat Eyang Danarpati
berpikir sampai ke sana. Terlebih lagi, selama ini dia selalu memikirkan tentang
Ratu Pantai Selatan yang kehadirannya sempat disaksikan dari Puncak Bukit
Rangkas ini. "Kami mendapat perintah untuk menghancurkan padepokan ini. Suka atau tidak,
kalian semua harus mati malam ini juga,"
kata salah seorang gadis itu.
Suara gadis itu terdengar begitu datar dan dingin sekali. Tak ada tekanan
sedikit pun pada nada suaranya. Bahkan saat berbicara pun, gerakan bibirnya
hanya sedikit sekali. Seakan-akan bukan dia yang mengeluarkan suara tadi.
"Siapa yang memerintah kalian"!" tanya Eyang Danarpati dingin sekali nada
suaranya. "Kanjeng Ratu."
"Hhh! Tidak semudah itu kalian bisa menghancurkan padepokan ini. Kalian harus
melangkahi dulu mayatku!" desis Eyang Danarpati.
Srettt! Dari balik jubahnya yang panjang dan lebar, Eyang Danarpati langsung saja
mencabut senjatanya berupa sebuah tombak berukuran pendek, yang bagian ujungnya
bermata tiga. Tombak pendek bermata tiga itu langsung ditempatkan di depan dada. Senjentara,
semua muridnya sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tampak di antara
para pemuda murid Padepokan Bukit Rangkas ini, ada Karina di sana. Gadis itu
juga sudah bersiap dengan pedang terhunus di tangan kanannya.
Bukan hanya Karina saja, wanita di padepokan ini. Masih ada lagi gadis-gadis
muda yang menuntut ilmu di padepokan ini.
Dan mereka semua sekarang sudah berada di halaman belakang, memperhatikan
gurunya yang tengah berhadapan dengan sepuluh gadis mengawal Ratu Pantai
Selatan. "Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Eyang Danarpati berteriak lantang menggelegar. Dan seketika itu
juga, tubuhnya melesat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tombak pendek
bermata tiga ke arah salah seorang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan.
Bettt! Meskipun Eyang Danarpati sudah mengerahkan seluruh kecepatannya, tapi ujung
tombak bermata tiga itu hanya lewat sedikit saja di depan dada gadis cantik
berbaju merah itu yang hanya menarik sedikit tubuhnya ke belakang. Bahkan tanpa
diduga sama sekali, serangan Eyang Danarpati dibalas dengan mengebutkan
pedangnya ke arah perut
"Hait..!"
Wukkk! Trang! Percikan bunga api terlihat menyebar begitu tombak Eyang Danarpati menangkis
pedang yang mengarah ke perutnya.
Cepat-cepat laki-laki tua itu melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi baru
saja menjejak tanah yang berumput cukup tebal di halaman belakang bangunan
Padepokan Bukit Rangkas ini, tiba-tiba saja satu orang gadis lainnya sudah
melompat begitu cepat sambil mengebutkan pedang ke arah dada laki-laki tua
berjubah putih itu.
"Hap!"
Hanya satu kali lompatan saja, Eyang Danarpati berhasil menghindari tebasan
pedang yang mengarah dadanya. Namun, tubuhnya harus kembali melesat karena satu
orang gadis lagi sudah menyerang begitu cepat, di saat kakinya baru saja
menjejak tanah. Eyang Danarpati terpaksa harus berjumpalitan di udara, karena
gadis-gadis berbaju merah itu terus mencecar secara bergantian dengan kecepatan
sungguh luar biasa.
"Kenapa kalian bengong saja"! Ayo, bantu Eyang Guru...!"
seru Karina tidak sanggup melihat gurunya teras didesak.
Mendengar teriakan Karina yang begitu keras menggelegar, semua murid-murid Eyang
Danarpati seketika itu juga berhamburan, menyerang sepuluh orang gadis berbaju
merah yang sedang mengeroyok laki-laki tua berjubah putih itu. Maka, pertarungan
memang tidak bisa dihindari lagi. Jeritan-jeritan melengking tinggi langsung
terdengar membelah kesunyian malam di Puncak Bukit Rangkas ini.
*** 4 Sepuluh orang gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan itu memang bukan manusia
biasa. Meskipun dikeroyok puluhan orang yang memiliki kepandaian dalam ilmu olah
kanuragan, mereka tidak mengalami satu kesulitan sedikit pun. Bahkan satu
persatu murid Padepokan Bukit Rangkas dibuat tak berdaya. Tubuh-tubuh berlumur
darah semakin banyak bergelimpangan. Namun pertarungan itu masih terus
berlangsung sengit
Pertarungan itu terus berlangsung, hingga matahari membiaskan sinarnya di ufuk
Timur. Meskipun sudah lebih dari setengah jumlah murid Padepokan Bukit Rangkas
yang tewas, tapi tak ada seorang pun dari mereka yang mencoba keluar dari
pertarungan. Terlebih lagi Eyang Danarpati. Dia bertarung seperti seekor banteng
liar. Namun sampai begitu lama pertarungan berlangsung, satu orang pun belum
juga berhasil dilumpuhkan.
"Khraaagkh...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara keras yang begitu menggelegar di angkasa. Begitu
kerasnya suara itu, sehingga seluruh Puncak Bukit Rangkas ini jadi bergetar
bagaikan hendak runtuh. Dan suara itu rupanya mengejutkan sepuluh orang gadis
berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan. Hampir bersamaan, mereka mendongak
ke atas. Lalu seperti ada yang memberi perintah, mereka langsung berlompatan
pergi dari padepokan ini.
Rupanya ada sesosok tubuh berpakaian biru yang sejak tadi berada di atas pohon.
Dialah yang memberi perintah kepada sepuluh gadis berbaju merah untuk pergi
menghindar. Karena dia telah mengetahui kalau suara burung itu adalah burung
rajawali tunggangan Rangga. Rampita yang merupakan Tifisan Ratu Pantai Selatan,
merasa belum waktunya untuk bentrok dengan Rangga maupun burung rajawali
tunggangannya. Gerakan mereka begitu cepat luar biasa. Sehingga dalam sekejapan mata saja,
kesepuluh gadis itu sudah hilang dari pandangan. Maka pertarungan itu pun
seketika jadi terhenti.
Sementara, cahaya matahari semakin terang membias. Tampak Eyang Danarpati
merayapi mayat-mayat muridnya yang bergelimpangan. Sedangkan Karina menghampiri
laki-laki tua itu.
"Tinggal berapa orang yang masih hidup?" tanya Eyang Danarpati sambil memandangi
murid-muridnya yang masih hidup.
"Tinggal lima belas orang lagi," sahut Karina.
"Hhh...!" Eyang Danarpati menghembuskan.
"Kenapa mereka tiba-tiba pergi, Eyang?" tanya Karina masih keheranan atas
kepergian sepuluh orang pengawal Ratu Pantai Selatan yang begitu tiba-tiba.
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Eyang Danarpati mendesah.
'Tapi....' 'Tapi kenapa, Eyang?"
"Kau dengar sesuatu sebelum mereka pergi, Karina?" Eyang Danarpati malah balik
bertanya. "Ya! Seperti suara guntur," sahut Karina.
"Itu bukan guntur, Karina. Suara itu terasa aneh sekali. Yang jelas, baru kali
Ini aku mendengarnya," kata Eyang Danarpati membantah jawaban Karina.
Perlahan laki-laki tua itu mengayunkan kakinya diikuti Karina yang selalu setia
mendampingi. Dan itu memang sudah suatu kebiasaan. Jika Sanjaya yang merupakan
cucu Eyang Danarpati tidak ada di padepokan ini, maka yang bertugas
mendampinginya adalah gadis ini. Karena, Karina adalah orang kedua setelah
Sanjaya di Padepokan Bukit Rangkas ini.
"Kalian bereskan semua ini," perintah Eyang Danarpati pada sisa muridnya yang
masih hidup. Tak ada seorang pun yang membantah. Meskipun dalam keadaan yang teramat lelah,
murid-murid Padepokan Bukit Rangkas yang tinggal berjumlah sekitar rima belas
orang itu segera melaksanakan perintah gurunya. Sementara, Eyang Danarpati
sendiri terus melangkah didampingi Karina.
Tiba-tiba saja, ayunan langkah kaki Eyang Danarpati terhenti. Kepalanya langsung
didongakkan ke atas langit, tepat ketika di angkasa terlihat seekor burung
berputar-putar mengelilingi Puncak Bukit Rangkas ini.
Kelopak mata laki-laki tua itu jadi berkerut Burung itu terbang begitu tinggi
sekali, bagai menyatu dengan awan. Tapi, sangat jelas terlihat.
"Khraaagkh...!"
"Kau dengar suara itu, Karina...?" tanya Eyang Danarpati dengan suara setengah
menggumam. Dia seakan-akan bertanya pada diri sendiri.
"Aku dengar, Eyang," sahut Karina yang juga memandangi burung itu di angkasa.
"Tapi, apa mungkin suara tadi dari burung itu, Eyang...?"
"Hmmm...," Eyang Danarpati hanya menggumam perlahan saja.
Mereka terus memperhatikan burung yang tampak putih keperakan di angkasa. Burung
yang sepertinya seekor rajawali itu terus berputar-putar di atas Puncak Bukit
Rangkas. Kemudian tiba-tiba saja burung itu melesat cepat bagai kilat Begitu cepatnya,
sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa.
Dan tahu-tahu, burung itu sudah menghilang entah ke mana.
"Hhh...! Pertanda apa lagi ini,.." Kenapa sekarang ini banyak kejadian-kejadian
aneh...?" keluh Eyang Danarpati, mendesah lirih.
*** Sebenarnya, apa yang dilihat Eyang Danarpati dan Karina tadi"
Memang di atas Bukit Rangkas tadi, ada seekor burung berbulu putih keperakan.
Namun, burung itu bukanlah burung biasa, melainkan seekor rajawali raksasa.
Terbangnya demikian tinggi. Sehingga, terlalu sulit untuk bisa melihat jelas,
kalau di atas punggung burung raksasa itu tengah duduk dua orang.
Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal sebagai Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut Saat ini mereka memang sedang menunggang
Rajawali Putih, seekor
rajawali raksasa berbulu putih tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan burung
raksasa itulah yang menjadikan Rangga seorang pendekar tangguh dan digdaya
seperti sekarang ini.
Hingga, pemuda berbaju'rompi putih itu sangat disegani oleh tokoh-tokoh


Pendekar Rajawali Sakti 69 Titisan Ratu Pantai Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan, baik golongan putih maupun golongan hitam.
"Ke mana mereka menghilang, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah. Mereka tidak terlihat lagi setelah melewati tebing batu di sana itu,"
sahut Rangga sambil menurrjuksebuah tebing yang penuh batu-batu.
"Sebaiknya, kita lihat dulu keadaan di Padepokan Bukit Rangkas, Kakang," usul
Pandan Wangi. "Kau saja yang ke sana lebih duVu. Aku akan menyelidiki sekitar tebing batu
itu," kata Rangga memberi perintah.
Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya saja. "Katakan pada Eyang Danarpati, aku
akan segera ke sana," kata Rangga lagi.
Rangga kemudian memerintahkan Rajawali Putih untuk mendarat di sebuah dataran
yang cukup luas, tidak jauh dari Padepokan Bukit Rangkas. Kedua pendekar muda
itu langsung berlompatan turun dari punggung rajawali raksasa berbulu putih
keperakan ini, begitu sampai di tanah.
"Ingat, Pandan. Jangan bertindak sesuatu sampai aku datang ke sana," pesan
Rangga. Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala.
Setelah itu, Rangga kembali melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Begitu
Pendekar Rajawali Sakti menepuk leher burung itu, maka cepat sekali Rajawali
Putih melambung tinggi
ke udara sambil memperdengarkan suara yang begitu keras menggelegar seperti
guntur. Sementara, Pandan Wangi masih tetap berdiri memandangi sampai Rajawali
Putih hilang dari pandangannya.
Sedangkan Rangga yang masih menunggang Rajawali Putih, kembali ke tebing batu di
Lereng Bukit Rangkas ini. Dia meminta Rajawali Putih untuk mendekati tebing batu
itu. "Jangan pergi jauh-jauh, Rajawali. Aku pasti akan membutuhkanmu," pesan Rangga.
"Khraaagkh!"
'Terus lebih dekat lagi, Rajawali." Rajawali Putih meluruk semakin dekat dengan
tebing batu itu. Lalu....
"Hup...!"
Ringan sekali Rangga melompat dari punggung burung rajawali raksasa itu. Ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah mencapai tingkat yang begitu
sempurna. Sehingga, bagaikan selembar daun kering tubuhnya hinggap di atas tebing batu
itu. Sementara, Rajawali Putih kembali melambung tinggi ke udara.
"Rasanya tidak mungkin kalau mereka bisa menghilang begitu saja. Pasti ada
sesuatu di sekitar tebing batu ini,"
gumam Rangga berbicara sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sorot matanya begitu tajam,
merayapi sekitar tebing batu itu. Rangga terus berlompatan dari satu tonjolan
batu, ke tonjolan batu lainnya. Hingga akhirnya, dia berhenti begitu kakinya
menjejak sebuah batu yang permukaannya cukup besar dan datar.
"Hmmm____"
*** Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, berharap menemukan sebuah gua. Tapi
harapannya tidak juga terwujud.
Yang dilihat hanya tumpukan bebatuan serta hamparan kerikil di sepanjang tebing
Lereng Bukit Rangkas ini Tapi, hatinya begitu yakin kalau sepuluh orang yang
dilihatnya tadi menghilang di sekitar tebing batu ini.
"Apa yang kau cari di sini, Cah Bagus...?"
"Heh..."!"
Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar teguran
yang begitu halus dan lembut Cepat tubuhnya berputar berbalik. Kedua bola
matanya jadi terbeliak lebar begitu tiba-tiba saja di atas tebing batu ini sudah
berdiri seorang gadis berwajah cantik. Tubuhnya ramping, terbungkus baju warna
biru ketat Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak mengetahui kehadirannya. Tahu-tahu, di
atas tebing batu itu sudah berdiri seorang gadis seperti bidadari. Baju yang
dikenakannya juga terbuat dari bahan yang cukup tipis, sehingga lekuk-lekuk
tubuhnya membayang nyata sekali.
"Hup...!"
Hanya sekali mengempos tubuhnya saja, Rangga melesat tinggi ke udara. Begitu
ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melayang. Kemudian kakinya hingga di atas
tebing batu, tidak jauh di depan gadis cantik berbaju biru itu, tanpa
memperdengarkan suara sedikit pun.
"Kau mencari sesuatu di sini, Kisanak?" tanya gadis itu masih dengan suara
lembut sekali. "Ya! Aku mencari sepuluh orang gadis," sahut Rangga sambil mengamati wanita yang
berdiri sekitar dua tombak di depannya ini.
"Aku tahu, di mana mereka," kata gadis itu lagi, masih dengan suara lembut
"Hm, di mana?" tanya Rangga dengan kening jadi berkerut
"Tidak jauh dari sini. Bahkan mereka ada di sekitar tebing ini," sahut gadis itu
lagi. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi bertambah berkerut.
Dipandanginya gadis Cantik yang berdiri di depannya ini dalam-dalam. Sepertinya,
Pendekar Rajawali Sakti sedang mengamatinya. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum
saja dengan sikap seperti mengundang.
"Kau begitu tampan sekali. Siapa namamu, Kisa-nak?" tanya gadis itu disertai
senyuman manis dan menggoda.
"Rangga. Dan kau sendiri siapa, Nisanak?" sahut Rangga langsung balik bertanya lagi.
"Rampita," sahut gadis itu masih dengan senyum manis tersungging di bibirnya.
"Nama yang cantik sekali," puji Rangga. 'Tapi, kenapa kau berada di tempat sepi
seperti ini...?"
"Seperti yang kukatakan tadi, aku tahu tempat mereka yang kau cari tadi," sahut
Rampita kalem. "Kau tahu apa yang kucari...?" Rangga jadi berkerut keningnya.
"Kau mencari mereka, bukan...?"
Rampita menunjuk ke arah samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Seketika
kedua bola mata Rangga jadi
terbeliak lebar, begitu berpaling ke arah kanan. Sekitar tiga tombak di sebelah
kanannya, tahu-tahu sepuluh orang gadis cantik berbaju merah menyala sudah
berdiri di situ. Gadis-gadis itulah yang dilihatnya dari angkasa, ketika
menggempur Padepokan Bukit Rangkas belum lama tadi.
Rangga benar-benar tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya. Sungguh dia tidak tahu kapan datangnya sepuluh gadis itu. Sama
sekali tak terdengar suara, yang menandakan kedatangan gadis-gadis berbaju merah
itu. Bahkan kemunculan gadis yang mengaku bernama Rampita pun, sama sekali tidak
diketahuinya. Rangga cepat menyadari kalau sekarang ini sedang berhadapan dengan
gadis-gadis cantik yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Sehingga, kehadiran
mereka saja tidak menimbulkan suara sedikit pun juga, dan sama sekali tidak
diketahuinya. "Eh..."!"
Lagi-lagi Rangga terkejut begitu kembali berpaling pada Rampita. Gadis itu kini
kelihatan lain sekali. Bukan hanya wajahnya yang bercahaya. Bahkan juga seluruh
tubuhnya terselimut cahaya yang memendar terang, membuat wajahnya kelihatan
begitu cantik. Seakan-akan, Rangga sedang berhadapan dengan dewi yang baru turun
dari Kahyangan.
Bahkan pakaian yang dikenakan gadis itu juga langsung berubah, begitu gemerlapan
bagai bertaburkan intan berlian.
Rangga merasakan kalau tidak lagi berhadapan dengan Rampita. Dan dia tidak tahu,
siapa wanita yang begitu cantik bagai Dewi Kahyangan yang berada di depannya
itu. *** Perlahan Rampita yang kini sudah berubah ujudnya itu melangkah menghampiri
Rangga yang masih berdiri terpaku, seperti tidak percaya kalau hal ini benarbenar terjadi. Pendekar
Rajawali Sakti masih tetap memandangi, meskipun Rampita sudah berada sekitar
lima langkah lagi di depannya. Aroma yang sangat harum, begitu terasa menyengat
hidung Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, terasakan kalau aroma harum
itu bukanlah wewangian biasa. Rangga sudah pernah menghadapi hal seperti ini
(Untuk lebih jelas, silakan baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode
'Tumbal Penguasa Samudera"). Dan....
"Hmmm...! Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti memindahkan pusat pemapasannya melalui
perut. Cepat disadari kalau bau harum yang merasuk penciumannya mengandung
sesuatu yang begitu kuat dan bisa cepat menghilangkan kesadarannya. Tapi hal itu
bisa ditahannya setelah memindahkan pusat pemapasannya ke perut, dan menutup
pusat peredaran darahnya lewat pengerahan hawa mumi. Perlahan Pendekar Rajawali
Sakti melangkah mundur dua tindak.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga agak dingin nada suaranya.
"Bersujudlah, Cah Bagus. Kau pasti sudah tahu, dengan siapa kau berhadapan,"
sahut Rampita. Suaranya kini terdengar lain sekali.
Suara Rampita kali ini begitu lembut, sehingga membuat siapa saja yang mendengar
bisa langsung hilang kesadarannya.
Dan itu bisa dirasakan Rangga pada aliran darahnya yang sudah terjaga hawa murni
yang cepat dikeluarkannya tadi.
Pendekar Rajawali Sakti juga merasakan adanya sesuatu yang begitu lain. Bukan
hanya udara di atas tebing batu ini saja yang lain, tapi juga suasana dan segala
yang ada. Seolah-olah, Rangga bukan lagi berada di dalam dunia nyata. Untung
Rangga tetap bertahan agar tidak kehilangan kesadarannya.
Kening Pendekar Rajawali Sakti kembali berkerut, saat melihat sepuluh orang
gadis yang dikejarnya dari Puncak Bukit Rangkas juga sudah berubah pakaiannya.
Mereka kini mengenakan pakaian seperti para putri raja atau bangsawan.
Cahaya yang menyelimuti tubuh mereka, membuat mereka tampak begitu cantik dan
menggairahkan sekali.
"Hmmm.... Apakah mereka ini yang diceritakan Karina...?"
gumam Rangga berbicara sendiri dalam hati. "Kalau memang begitu, berarti aku
berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan dan pengawal-pengawal-nya. Hmmm..., aku
harus hati-hati. Mereka bukan manusia, tapi siluman yang seharusnya hidup di
dasar samudera."
Sementara, Rangga melangkah mundur beberapa tindak.
Matanya sempat melirik pada sepuluh orang gadis yang masih tetap diam di
tempatnya. Setelah menyadari dengan siapa sekarang berhadapan, Rangga tidak mau
berbuat gegabah yang bisa mencelakakan diri sendiri. Sudah sering didengarnya
tentang ratu penguasa samudera ini. Dan dia sudah tahu, wanita cantik yang gemar
pemuda-pemuda tampan ini tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun juga! Dan memang,
sampai saat ini belum ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.
Rangga sendiri tidak yakin kalau bisa menandingi kesaktian yang dimiliki Ratu
Pantai Selatan. Karena, wanita itu memang siluman yang memiliki kesaktian begitu
tinggi. Sehingga, sulit diukur tingkatannya. Tapi bukan itu yang menjadi pikiran
Pendekar Rajawali Sakti ini. Dari cerita-cerita yang didengarnya, belum ada
seorang pun yang bisa lolos bila sudah berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan.
Bahkan tidak ada seorang pun yang bisa kembali dalam keadaan hidup.
"Hmmm.... Kalaupun aku harus mati, aku tidak boleh mati menjadi budaknya," desis
Rangga bertekad dalam hati.
"Kenapa kau mengejar para pengawalku, Rangga?" tanya Ratu Pantai Selatan agak
dingin nada suaranya.
"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Nisanak," sahut Rangga tegas.
"Aku tahu, siapa kau sebenarnya, Rangga. Dan aku tahu betul mengenai
kehidupanmu. Tapi, itu bukan berarti kau bisa seenaknya saja ingin mencampuri
urusanku," tegas Ratu Pantai Selatan, semakin dingin nada suaranya.
"Aku tidak akan mencampuri urusanmu, kalau saja kau tidak menyakiti bangsaku!"
"Aku tidak pernah menyakiti seorang manusia pun. Aku justru banyak menolong
mereka keluar dari kesulitan. Dan keberadaanku di sini pun karena menolong
seseorang dengan satu perjanjian yang sangat adil. Aku bersedia menolong segala
kesulitannya, dan dia juga bersedia memenuhi kebutuhanku.
Cukup adil, bukan...?"
"Memang adil, tapi aku akan menghentikan perjanjian itu!"
dengus Rangga tegas.
"Perjanjian itu akan berhenti kalau dia sudah tidak sanggup lagi menyediakan
kebutuhanku. Jadi, tidak ada gunanya kau bersusah payah menghentikannya. Rangga.
Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan perjanjianku dengan manusia,"
tegas Ratu Pantai Selatan memperingatkan.
"Aku yang akan menghentikannya!" tegas Rangga.
"Kau terlalu congkak, Rangga," desis Ratu Pantai Selatan dingin. "Waiaupun kau
sering disebut-sebut sebagai manusia setengah dewa, tapi kau belum cukup untuk
menghentikanku.
Sebelum telanjur, sebaiknya kembali saja ke Kulon. Dan, jangan mencampuri
urusanku lagi. Kau akan menyesal.
Rangga. Bahkan rohmu pun akan menyesal."
Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis sekati senyumnya, sehingga hampir tak
terlihat. Cepat disadari kalau keadaannya sudah semakin memanas. Bahkan bukannya
tidak mungkin, bisa terjadi adu kesaktian. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah
siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi, walaupun sudah tahu
dengan siapa berhadapan sekarang ini
"Hmmm.... Kau begitu tampan, Rangga. Sayang kalau ketampananmu disia-siakan
begitu saja," ujar Ratu Pantai Selatan lembut menggoda.
"Kau juga cantik. Tapi maaf, sama sekali aku tidak tertarik oleh kecantikanmu,"
balas Rangga sambil mengulas senyum.
"Keparat...! Kau sudah berani menghinaku, Bocah!" geram Ratu Pantai Selatan.
Balasan kata-kata Rangga memang membuat Ratu Pantai Selatan jadi berang setengah
mati. Wajahnya seketika itu juga memerah. Tapi sebenarnya bukan kata-kata
Pendekar Rajawali Sakti yang membuatnya berang. Pesona yang biasanya tidak
pernah gagal dalam menguasai laki-laki, kini tidak berarti sama sekali di
hadapan Pendekar Rajawali Sakti itu. Inilah yang membuatnya geram. Padahal,
semula dia mengira kalau kekuatan daya pesonanya sudah mempengaruhi kesadaran
pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tapi kenyataannya, justru malah
membuatnya begitu berang!
Istana Iblis 1 Pendekar Binal Karya Khu Lung Kisah Tiga Kerajaan 22

Cari Blog Ini