Pendekar Rajawali Sakti 51 Tumbal Penguasa Samudera Bagian 1
http://cerita-silat.mywapblog.com
daftar judul cerita silat bag 11 kisah dua saudara perguruan - liang ie shen2
dewi ular - kho ping hoo3 Pedang Bayangan dan Panji Sakti - liang ie shen4
pendekar bayangan setan - khu lung5 bu kek siansukho ping hoo6 anak berandalan7
amarah pedang bunga iblis8 Amanat Marga9 Pukulan Si Kuda Binal10 Bunga Pedang
Embun Hujan Kanglam11 Bila Pedang Berbunga Dendam12 Bidadari dari Sungai Es13
Bara Maharani14 Bandit Penyulam15 ASMARA PEDANG DAN GOLOK16 Bulu Merak17 ANTARA
BUDI DAN CINTA18 Angrek Tengah Malam19 Cula Naga Pendekar Sakti20 Cincin Maut21
DUEL 2 JAGO PEDANG22 DUEL DI BUTONG23 dua musuh turunan24 Dendam Asmara25 Darah
Ksatria26 Kait Perpisahan27 Elang Terbang Di Dataran Luas28 ELANG PEMBURU29
Durjana dan Ksatria30 Duri Bunga Ju31 JALA PEDANG JARING SUTRA32 iblis sungai
telaga33 hong lui bun34 Hantu Wanita Berambut Putih35 golok maut36 Golok Kumala
Hijau37 Tiga maha besar38 Rahasia Hiolo Kumala39 NERAKA HITAM40 GOLOK BULAN
SABIT41 gelang perasa42 Geger Dunia Persilatan43 Kisah Bangsa Petualang44 Kilas
Balik Merah Salju45 PENDEKAR KIDAL46 Pendekar Jembel47 Kisah Si Rase Terbang48
Kisah Pedang Di Sungai Es49 Kisah Pedang Bersatu Padu50 Kasih Diantara Remaja51
keajaiban negeri es52 Kedele Maut53 Rajawali hitam54 Kembalinya Sang Pendekar
Rajawali55 Kereta Berdarah56 Kesatria Berandalan57 Kitab Pusaka58 ksatria negeri
salju59 Kuda Binal Kasmaran60 Lambang Naga Panji Naga Sakti61 Laron Pengisap
Darah62 Suling Mas63 Cinta Bernoda Darah64 Mutiara hitam65 Istana pulau es66
Pendekar bongkok67 Pendekar Super Sakti68 sepasang pedang iblis69 Kisah Sepasang
Rajawali70 Suling Emas Dan Naga Siluman
Tidak ada suara yang lebih indah daripada suara alam. Terlebih lagi suara
deburan ombak yang menghantam batu-batu "karang di pantai. Begitu indahnya,
hingga membuat seorang pemuda berbaju rompi putih termangu. Dia berctiri di atas
sebuah batu karang yang cukup tinggi, dan menjorok ke tengah laut.
Tanpa berkedip, kedua matanya memandang lurus ke arah sepasang burung camar
putih yang bermain-main lincah. Di antara gulungan ombak. Suara jerit sepasang
burung camar itu bagaikan nyanyian alam sehingga menambah indahnya suasana siang
hari yang panas ini. Seringkali pemuda itu tersenyum manakala melihat sepasang
burung camar itu sating memperebutkan ikan yang berhasil diperoleh salah se-ekor
pasangannya. "Hhh.... Seandainya setiap manusia bisa bebas seperti camar itu...," terdengar
desahan halus, hampir tidak terdengar di telinga.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu memalingkan mukanya ketika mendengar
ayunan kaki yang ringan dari arah belakang. Tampak seorang gadis bertubuh
ramping tengah berjalan menghampirinya.
Ayunan langkahnya begitu ringan, dan tidak tergesa-gesa. Wajahnya cantik sekali.
Kulitnya putih, dan begitu pas dengan baju ketat berwarna biru langit yang
dipakainya. Sehelai sabuk kuning keemasan melilit pinggangnya. Sedangkan sebuah
kipas putih keperakan terselip di sabuk itu. Gadis itu berhenti
berjalan tepat di dekat batu karang yang sangat Jjesar menjorok ke tengah laut.
"Sampai kapan kau akan tetap di sana, Kakang?"
tanya gadis itu agak berteriak. Bahkan membuat sepasang burung camar yang tengah
bercanda jadi terkejut.
"Hup!"
Ringan sekali gerakan pemuda berbaju rompi putih itu saat melompat dari atas
batu karang. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu mendarat manis sekali
di depan gadis berbaju biru. Sedikit pun tidak terdengar suara saat sepasang
kakinya menjejak pasir .pantai yang putih dan basah. Dia tersenyum, lalu
mengayunkan kakinya tanpa berkata-kata lagi.
Gadis cantik berbaju biru itu mengikuti. Langkahnya langsung disejajarkan di
samping kanan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kapan kita sampai di Karang Setra, Kakang?"
Tanya gadis cantik berbaju biru itu.
"Tidak lama lagi," sahut pemuda berbaju rompi putih.
"Rasanya aku sudah kangen, ingin berkumpul lagi bersama Cempaka dan Danupaksi."
Pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga, hanya tersenyum saja.
Sedangkan gadis di sampingnya yang dikenal bernama Pandan Wangi atau berjuluk si
Kipas Maut, terus berjalan.
Pandangannya nampak lurus ke depan. Mereka berjalan berdampingan menyusuri
pantai berpasir putih yang selalu dibasahi air laut Beberapa kali lidah ombak
menjilati kaki mereka.
"Kakang...," terdengar manja suara Pandan Wang}.
Gadis itu memeluk lengan Rangga. Sikapnya memang manja sekali. Sedangkan
Pendekar Rajawali
Sakti hanya mendiamkan saja. Dia bergumam sedikit dan terus melangkah tanpa
memalingkan muka sedikit pun juga. Dalam beberapa hari ini, gadis itu sudah
merasa kalau sikap Rangga agak lain.
Pendekar Rajawali Sakti lebih sering murung, dan tidak lagi banyak bicara. Dari
sikapnya itu, Pandan Wangi sudah bisa meraba kalau ada sesuatu yang sedang
mengganggu pikiran Rangga.
"Ada apa, Pandan?" Tanya Rangga yang menunggu lama. Tapi, Pandan Wangi masih
diam saja memandangi wajah tampan di sampingnya ini.
"Kenapa Kakang seperti tidak ingin kembali ke Karang Setra?" tanya Pandan Wangi,
bernada ragu-ragu.
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti bukan tidak ingin kembali
ke Karang Setra.
Tanah kelahirannya memang selalu ditinggalkan, karena itu adalah tuntutan jiwa
kependekarannya.
Hanya saja, semakin dekat dengan Kerajaan Karang Setra, hatinya semakin gelisah
saja. Dia sendiri tidak tahu, apa penyebab semua itu. Tidak biasanya Rangga
mempunyai perasaan begini. Biasanya, setiap tempat yang akan disinggahinya
selalu dianggap sama. Dan tentu saja memiliki persoalan yang menuntutnya untuk
diselesaikan. Dan memang selama ini, tidak pernah ada keluhan. Tugasnya sebagai
seorang pendekar, memang harus membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
Tidak peduli, apakah itu orang berpangkat, atau rakyat jelata.
Ayunan langkah mereka terhenti ketika dari arah depan teriihat debu mengepul,
membumbung tinggi ke angkasa. Sementara bumi yang dipijak terasa bergetar bagai
terjadi gempa. Suara gemuruh
deburan ombak, mulai terganggu oleh deru angin kencang disertai menggemuruhnya
suara bagaikan bebatuan berjatuhan dari atas bukit. Belum lagi ada yang sempat
berpikir lebih jauh, mendadak saja....
"Pandan, awas...!" seru Rangga keras dan tiba-tiba sekali.
*** "Hup! Yeaaah...!"
Tubuh Rangga cepat melenting sambil memberi perintah pada Pandan Wangi, tepat di
saat gumpalan debu bersama tiupan angin badai melanda ke arah mereka. Pandan
Wangi yang tidak cepat menyadari terlambat untuk menghindar.
"Aaa. .!"
"Pandan...!"
Rangga terkejut bukan main, melihat Pandan Wangi tergulung gumpalan debu yang
terus bergerak cepat disertai hembusan angin kencang dan suara gemuruh. Tubuh
Pandan Wangi kini seperti lenyap tertelan gumpalan debu bagai bola raksasa itu.
"Hap! Hiya! Hiyaaa...!"
Cepat Rangga berlompatan mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk mengejar
Pandan Wangi yang lenyap tergulung gumpalan debu itu. Namun belum jauh Rangga
bertindak mengejar, mendadak saja gumpalan debu bagai bola raksasa itu
menghilang. Dan ternyata, Pandan Wangi juga turut lenyap bersamaan dengan
lenyapnya gumpalan debu itu.
Rangga menghentikan pengejarannya, tepat di tempat gumpalan bola debu raksasa
tadi menghilang.
"Heh...! Ke mana dia...?"
Rangga jadi kebingungan sendiri. Pandangannya
beredar ke sekeliling, namun tidak ada yang dapat dilihat lagi. Keadaan di
tepian pantai ini kembali tenang. Hanya deburan ombak dan teriakan burung camar
saja yang terdengar saling bersahutan. Tidak ada lagi suara bergemuruh bagai
badai. Tidak ada lagi gulungan debu serta angin topan yang menjalar.
Bahkan Pandan Wangi juga tidak nampak di sekitar tepian pantai ini.
Rangga benar-benar tidak bisa memahami
kejadian yang baru saja dialaminya ini. Dia tidak tahu, dari mana datangnya, dan
kemana lenyapnya gumpalan debu yang membawa Pandan Wangi pergi.
"Heh..."!"
Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba tempat yang dipijaknya bergetar hebat
Dan belum lagi bisa melakukan sesuatu, mendadak....
Glarr...! "Hiyaaa...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara, ketika
tiba-tiba saja tempat yang dipijaknya terbongkar bersama ledakan dahsyat
menggelegar. Debu dan pasir berhamburan ke udara, membentuk jamur raksasa.
Beberapa kali Rangga ber-jumpalitan di udara, sebelum mendarat manis sekali di
tempat yang cukup jauh dan aman.
Debu masih teriihat mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Rangga sampai
terpana menyaksikan debu dan pasir membentuk jamur raksasa.
Begitu indah, namun tersembunyi kedahsyatan yang mengerikan. Kalau saja Pendekar
Rajawali Sakti tidak cepat melompat ke udara, pasti tubuhnya bakal hancur
bersama debu dan pasir itu tadi. Perlahan namun pasti, debu dan pasir itu
menyebar tertiup angin. Tampak sebuah lubang yang sangat besar
menganga sekitar tiga batang tombak didepan Rangga.
"Hm...."
Rangga mengerutkan kening ketika melihat ke dalam lubang yang menganga lebar di
depannya. Di dalam lubang itu terdapat undakan tangga yang menuju ke dalam
tanah. Yang membuat kening Pendekar Rajawali Sakti semakin dalam berkerut,
undakan tanah itu seperti terbuat dari batangan emas. Kuning berkilat tertimpa
teriknya cahaya matahari.
Perlahan Rangga mendekati lubang itu. Dan keningnya semakin berkerut dalam.
Ternyata undakan tangga kuning keemasan itu menuju sebuah pintu yang sangat
besar, dan berdaun pintu dari besi.baja putih berkiat Pintu itu terbuka lebar,
seakan-akan memperilakan Pendekar Rajawali Sakti untuk masuk kesana. Sebentar
pemuda berbaju rompi putih itu tertegun memandangi ke arah pintu di dalam lubang
besar di depannya ini.
"Masuklah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Heh..."!"
Rangga terlonjak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara menggema. Suara itu
demikian jelas, seakan-akan berada dekat di telinganya. Rangga terlompat mundur
dua tindak. Pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi, tidak ada seorang pun yang
terlihat di sekitar tepian pantai ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti
mengarahkan pandangan ke dalam lubang.
Pintu di dalam lubang itu masih tetap terbuka lebar.
"Masuklah, Pendekar Rajawali Sakti," kembali terdengar suara menggema.
"Hm..., siapa kau?" Tanya Rangga. Sikapnya pe-nuh kewaspadaan.
"Kau akan tahu jika sudah berada di dalam istanaku," sahut suara itu lagi.
Rangga terdiam. Sebentar otaknya berputar untuk menuruti suara yang terdengar
tanpa ujud itu.
Perlahan kakinya melangkah mendekati lubang itu.
Satu undakan tangga kuning keemasan dipijaknya.
Perlahan kakinya bergerak menuruni undakan tangga berjumlah tujuh buah itu satu
persatu. Rangga berhenti sebentar setelah sampai didepan pintu besi baja putih
berkilat. Keadaan di balik pintu ini begitu gelap, tanpa ada cahaya sedikit pun yang
menerangi. Perlahan Rangga melangkahkan kakinya memasuki pintu yang sangat besar
ini. Kembali Pendekar Rajawali Sakti terkejut.
Karena begitu berada di dalam, mendadak saja pintu itu cepat bergerak menutup.
Suasana di dalam begitu gelap, sampai-sampai untuk melihat tangan sendiri tidak
bisa. "Aku harus menggunakan aji 'Tatar Netra'," gumam Rangga dalam hati.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Tatar Netra',
terdengar derit daun pintu yang bergerak membuka. Tampak seberkas cahaya
menyilaukan bergerak perlahan dari arah depan.
Cahaya yang begitu terang dan semakin membesar itu sangat menyilaukan mata.
Rangga menyipitkan matanya sedikit. Sebentar diamati sekitarnya. Ternyata dia
berada dalam sebuah gua yang berlorong amat panjang. Namun gua ini sekarang
begitu terang, seperti berada di luar sana.
"Berjalanlah terus mengikuti lorong ini, Pendekar Rajawali Sakti," kembali
terdengar suara menggema bernada berat.
"Hm...," Rangga bergumam.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan langkahnya menyusuri lorong yang
cukup besar dan panjang ini. Sebuah lorong lurus, tanpa ada belokan sedikit pun.
Rangga merasa kalau lorong ini terus menurun. Jalan yang dilalui tidak bisa
terlihat, karena tertutup kabut tebal hingga sebatas lutut Perlahan lahan
Pendekar Rajawali Sakti berjalan dengan mata tajam mengamati sekelilingnya.
"Hm.... Sepertinya, lorong ini tidak pernah ada habisnya," gumam Rangga dalam
hati. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan perlahan-lahan. Dan memang, lorong ini
seperti tidak berujung.
Pemuda berbaju rompi putih itu menoleh ke belakang. Agak terkejut juga dia.
Karena setiap tempat yang dilewati, selalu tertutup kabut tebal, sehingga tidak
bisa lagi melihat tempat asal masuk tadi. Namun anehnya, hawa di sini begitu
hangat Padahal tidak ada sinar matahari. Dan cahaya yang menerangi juga berasal
dari batu-batu dinding, dan langit-langit lorong ini.
"Tempat apa ini..?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
*** Entah sudah berapa lama Rangga berjalan, tapi belum juga menemukan ujung lorong
yang berkabut tebal ini. Semakin jauh berjalan, semakin terasa kalau jalan yang
dilaluinya terus menurun. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus saja mengayunkan
kakinya. Setiap tempat yang dilangkahi selalu diamatinya. Tidak ada yang bisa
dijadikan petunjuk menarik. Yang teriihat hanya gumpalan kabut tebal, dengan
bebatuan memancarkan sinar terang bagai
matahari. "Berbeloklah ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti,"
terdengar lagi suara berat menggema dekat telinga Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya diputar ke arah
kanan, lalu kembali berjalan perlahan-Iahan mengikuti petunjuk suara yang
didengarnya. Rasa penasaran semakin menebal menguasai dirinya untuk mengetahui
sumber suara itu. Pendekar Rajawali Sakti jadi melupakan Pandan Wangi yang
menghilang terbawa gumpalan debu yang datang tiba-tiba di tepi pantai tadi.
Entah kenapa, suara dan tempat ini seakan-akan menguasai seluruh alam jiwa dan
raga Pendekar Rajawali Sakti. Namun demikian, Rangga masih merasakan kalau
kesadarannya tetap seperti biasa, tak terganggu sedikit pun.
"Masuklah ke pintu yang berada di tengah."
Rangga menatap pintu paling tengah di depannya.
Ada lima buah pintu yang bentuk dan ukurannya sama persis. Sebentar Pendekar
Rajawali Sakti terdiam, kemudian langkahnya terayun menuju pintu paling tengah.
Ayunan langkahnya kembali terhenti di depan pintu. Sebentar diamatinya bagian
dalam pintu di depannya. Begitu gelap, .seperti pertama kali masuk ke dalam
lorong ini. Kemudian Rangga mengamati pintu-pintu lain yang bentuk dan ukurannya
sama persis. Perlahan kakinya kembali terayun memasuki pintu itu.
Aneh...! Begitu kakinya melewati pintu, keadaan di dalam menjadi terang benderang. Rangga
berdecak, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Dia seperti berada dalam sebuah taman surga yang begitu indah tak ada
bandingnya. Pendekar Rajawali Sakti berdiri terpaku memandangi "sekitamya sambil
beberapa kali berdecak kagum.
Sungguh....! Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti melihat alam begitu indah,
bagai taman Swargaloka yang khusus diperuntukkan bagi dewa. Begitu mudah-nya,
sehingga sukar dilukiskan dengan kata-kata seindah apa pun juga. Pandangan
Pendekar Rajawali Sakti kemudian tertuju pada sebuah bangunan berbentuk istana
kecil yang memancarkan cahaya kuning keemasan.
"Selamat datang di taman istanaku, Pendekar Rajawali Sakti...."
"Oh..."!" Rangga terkejut.
Pendekar Rajawali Sakti langsung memutar tubuhnya. Dia semakin terkejut begitu
melihat seorang laki-laki yang sebaya dengannya tahu-tahu sudah berdiri tidak
jauh darinya. Di belakang laki-laki berwajah tampan dan berkulit putih halus
bagai kulit seorang gadis remaja itu berdiri berjajar gadis-gadis cantik
mengenakan kemben sebatas dada. Mereka seperti sengaja memperlihatkan bagian
kulit bahu dan sebagian dada atas yang putih mulus tanpa cacat sedikit pun.
Di samping kanan dan kiri pemuda tampan berpakaian indah itu, berdiri dua orang
laki-laki tua oerjubah putih dan dua orang perempuan tua yang juga mengenakan
jubah putih. Mereka semua memegang tongkat kayu hitam berlekuk yang pada bagian
Pendekar Rajawali Sakti 51 Tumbal Penguasa Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala berbentuk bulat seperti telur angsa. Pemuda itu melangkah perlahan
mendekati Rangga.
"Maaf, jika cara mengundang kami kurang ber-kenan di hatimu, Pendekar Rajawali
Sakti," ucap pemuda tampan itu.
Suaranya terdengar lembut, namun sangat besar dan berat Bahkan mengandung
kewibawaan yang sangat besar. Rangga hanya tersenyum saja. Hatinya masih
diliputi kekaguman yang amat sangat terhadap keadaan di tempat ini. Demikian
pula orang-orangnya, serta pakaian yang dikenakan. Bagi Pendekar Rajawali Sakti
hal ini sangat aneh. Mereka berpakaian seperti layaknya para dewa dan dewi di
kahyangan. Apakah dia berada di Swargaloka...."
Rangga cepat menghilangkan pikiran seperti itu.
Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin berpikir terlalu jauh dulu.
"Mari..., sebaiknya kita bicara di dalam," ajak pemuda itu ramah.
Rangga tak dapat menolak ajakan yang ramah ini, meskipun hati dan pikirannya
saat ini dipenuhi segudang pertanyaan dan keheranan tentang semua yang
dialaminya. Dia belum mengerti, untuk apa manusia-manusia aneh ini mengundangnya
ke sini" Dan lagi..... Dimana sekarang Pandan Wangi berada"
Rangga jadi teringat Pandan Wangi. Dan baru kali ini dia teringat kekasihnya
itu. Tapi pada saat seperti ini, rasanya tidak layak bertanya. Terlebih lagi,
sikap orang-orang di sini begitu ramah, seperti menyambut seorang tamu agung
yang sudah lama dinanti-nantikan.
Rangga terpaksa memendam rasa keingintahuan-nya yang mulai menggejolak dalam
dada. Diikutinya saja pemuda tampan berpakaian indah dan aneh ini, menuju ke
bangunan istana kecil yang seluruh dindingnya berwarna kuning keemasan. Di
belatang mereka, tampak mengikuti dua orang laki-laki tua dan dua orang perempuan tua
berjubah putih, serta dua puluh gadis cantik berkemben sebatas dada.
*** 2 Kekaguman Rangga semakin bertambah setelah berada, di dalam bangunan istana
kecil. Dari luar, bangunan itu memang teriihat sederhana. Tapi begitu berada di
dalamnya, seluruh istana yang ada di mayapada ini pasti tidak bisa menandingi.
Bahkan Rangga yakin kalau istananya sendiri di Karang Setra juga tidak bisa
membandingi. Begitu indah! Bahkan seluruh dinding, lantai, dan langit-langitnya
seperti terbuat dari emas murni berhiaskan manik-manik batu permata.
Mereka kini berkumpul di sebuah ruangan yang cukup besar dan duduk di lantai
beralaskan permadani tebal yang empuk, menghadapi sebuah meja rendah yang lebar
berbentuk bulat. Meja besar berkilat itu penuh segala macam makanan yang
mengundang sclera siapa saja yang melihat. Tapi tidak buat Rangga. Selera
makannya hilang seketika teringat Pandan Wangi. Apalagj, dia tidak tahu maksud
undangan orang-orang ini padanya, dengan cara yang aneh dan sukar dimengerti.
"Maaf, kalau boleh tahu, apa nama tempat ini.
Dan, siapa Kisanak serta Nisanak semua...," ujar Rangga mendahului.
"Aku Pangeran Argabaja. Dan mereka ini adalah para pengawal serta dayangdayangku," pemuda tarapan itu memperkenalkan diri, serta semua orang yang berada
dalam ruangan ini.
Dua orang laki-laki tua yang duduk di sebelah kanan Pangeran Argabaja bernama Ki
Sundrata. Dia mengenakan kalung bermata satu buaji. Sedangkan seorang lagi bernama Ki Pulung.
Dia mengenakan kalung bermata dua. Sementara dua wanita tua yang duduk di
sebelah kiri Pangeran Argabaja masing-masing adalah Nyai Amoksa dan Nyai
Sutirani. Masing-masing juga mengenakan kalung bermata tiga dan empat Pangeran Argabaja
sendiri men-jelaskan kalau jumlah mata kalung yang dikenakan keempat pengawal
pribadinya sekaligus merupakan tanda tingkat kepandaian. Yang memiliki jumlah
mata kalung sedikit, tingkatannya semakin tinggi dari yang lainnya.
Sedangkan di belakang mereka, duduk berjajar jadis-gadis cantik yang hanya
mengenakan kemben sebatas dada. Namun pada punggung mereka tersampir sebilah
pedang bergagang hitam berhiaskan batu permata merah, bagai batu merah delima
yang cukup besar ukurannya.
"Kami sudah memperkenalkan diri. Dan kami sudah tahu, siapa Kisanak
sesungguhnya," kata Pangeran Argabaja. Nada suaranya masih terdengar lembut.
"Dari mana Pangeran mengetahui tentang diriku?"
Tanya Rangga ingin tahu.
"Namamu sudah terkenal sampai ke negeri kami, Pendekar Rajawali Sakti," jelas
Pangeran Argabaja.
"Di mana negeri Pangeran?" Tanya Rangga lagi.
"Sukar untuk dikatakan, Pendekar Rajawali Sakti.
Karena, saat ini kami sendiri tidak tahu, di mana sekarang negeri kami berada.
Kami masih beruntung, karena taman kecil ini tidak ikut lenyap bersama yang
lainnya," kali ini nada suara Pangeran Argabaja terdengar agak sendu.
"Lenyap..."!" Rangga terkejut tidak mengerti. Sukar
dipercaya kalau sebuah negeri bisa lenyap tanpa diketahui. Sebuah negeri
bukanlah seorang manusia yang bisa pergi ke mana saja yang sesuka kakinya
melangkah. Rangga memandangi Pangeran Argabaja dalam-dalam, seakan-akan tengah
mencari ke-benaran kata-kata pemuda itu. Namun dari raut wajah dan sinar mata
Pangeran Argabaja, tercermin kesungguhan. Bahkan sinar mata yang merembang sendu
itu seperti menyimpan kedukaan yang amat dalam.
"Bagaimana kejadiannya sehingga sebuah negeri bisa hilang?" Tanya Rangga mencoba
bisa memahami. "Itulah yang sulit kukatakan, Pendekar Rajawali Sakti. Kami semua sedang berada
di dalam taman kecil ini. Tapi begitu tiba-tiba saja, kami tidak bisa keluar
karena seluruh taman ini terkurung bebatuan.
Sepertinya kami berada di dalam sebuah lubang yang tiba-tiba saja mengurung kami
hidup-hidup. Kami tidak tahu lagi, kemana harus keluar dari tempat ini,"
Pangeran Argabaja mencoba mengisahkan.
"Aneh...," desis Rangga seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Cerita yang dikisahkan Pangeran Argabaja memang sangat aneh dirasakan Pendekar
Rajawali Sakti. Bagaimana mungkin sebuah taman yang cukup luas bisa terkubur
dalam waktu sekejap saja" Bahkan tanpa diketahui sama sekali. Lebih parah lagi,
ternyata juga tidak ada jalan keluar. Padahal, Rangga sendiri bisa datang ke
tempat ini. Dan itu berarti ada jalan yang bisa ditempuh. Kembali Rangga
mengamati Pangeran Argabaja dan semua orang yang ada di ruangan ini dalam-dalam.
Namun yang didapatinya hanya kesenduan dan sinar mata penuh harap akan
pertolongan dari pemuda berbaju rompi putih ini.
"Hhh.... Apa yang harus kulakukan...?" desah Rangga perlahan, seakan-akan bicara
pada diri sendiri.
"Kami hanya meminta agar kau membebaskan kami dari keterkurungan ini," pinta
Pangeran Argabaja.
*** Di dalam taman kecil ini, sukar diketahui siang dan malam. Keadaannya selalu
saja sama. Ini karena cahaya yang berasal dari batu-batuan yang menerangi
sekitamya tersebar pada sekeliling dinding taman kecil ini. Apa yang menjadi
keraguan serta pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti, kini hampir terjawab sudah.
Tempat ini memang terkubur rapat. Orang lain bisa masuk ke taman kecil ini, tapi
tidak ada celah sedikit pun untuk bisa keluar.
Dan itu merupakan salah satu dari sekian banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Bagaimana mungkin jalan masuk bisa tertutup dan tidak bisa lagi diketahui
asalnya..." Lalu, siapa yang menuntun Rangga hingga sampai ke tempat asing
terpencil ini"
Apakah Pangeran Argabaja sendiri, atau salah seorang pengawalnya yang sudah
berusia lanjut itu"
Atau mereka semua yang menuntunnya ke tempat ini" Semua pertanyaan itu sukar
sekali dijawab. Dan memang, Rangga tidak punya kesempatan bertanya lagi pada
Pangeran Argabaja.
Sementara itu, Pangeran Argabaja dan semua orang yang beberapa waktu lalu
dilihatnya, kini sirna begitu saja bagai tertelan bumi. Sudah tiga kali Rangga
mengelilingi taman kecil ini, tapi tidak seorang pun dijumpai. Dan seakan-akan terasakan kalau taman kecil ini terasa
semakin mengecil, karena tiba-tiba saja dinding-dindingnya bergerak mendekati
Rangga. "Sial...!" umpat Rangga seraya menghantamkan tinjunya ke sebuah batu yang cukup
besar di depannya.
Batu yang memancarkan cahaya terang itu hancur berkeping-keping, memperdengarkan
suara bergemuruh bagai terjadi gempa. Pandangan Rangga beredar ke sekeliling
dengan mata memerah, bagai mata elang. Gerahamnya bergemeletuk. Sepertinya
Pendekar Rajawali Sakti tengah menahan kemarahan yang amat sangat. Tak terlihat
seorang pun di sekitar taman ini.
Rangga sekarang yakin betul kalau dirinya tertipu.
Dicobanya untuk mencari jalan keluar dari taman ini.
Tapi setelah berputar-putar beberapa kali mengelilingi taman kecil itu, belum
juga ditemukan. Seluruh dinding yang terbuat dari batu bercahaya terang,
bagaikan tembok penjara yang rapat dan sangat kokoh. Dan itu terus bergerak
merapat. Sementara, taman itu semakin mengecil saja. Dan jika Pendekar Rajawali Sakti
tidak juga bisa mencari jalan keluar, berarti tubuhnya akan terjepit hingga jadi
dendeng. Dan itu berarti pula, tamatiah riwayat Pendekar Rajawali Sakti.
"Akan kucoba menghancurkan dinding batu ini,"
gumam Rangga seraya menatap salah satu sisi dinding.
Pendekar Rajawali Sakti merenggangkan kakinya, laIu menarik napas dalam-dalam
seraya meletakkan kedua tangan di pinggang. Sebentar perhatiannya di-pusatkan
pada satu titik, untuk mengumpulkan
kekuatan tenaga dalam pada kepalan tangan. Sesaat kemudian....
"Hiyaaa...!"
Glarrr! Ledakan keras terdengar menggelegar seperti hendak memecahkan gendang telinga,
begitu satu pukulan bertenaga dalam sempurna sekali dilepaskan Pendekar Rajawali
Sakti. Namun apa yang terjadi....
"Keparat..!" umpat Rangga melihat dinding yang habis dihantamnya masih tetap
utuh. Dinding itu tidak berubah sama sekali, bahkan terus bergerak hendak melumatkan
tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memandangi kepalan tangannya yang memerah,
karena pengerahan tenaga dalam penuh. Kembali Pendekar Rajawali Sakti bersiap
melakukan pukulan kembali. Kali ini kekuatan tenaga dalamnya ditingkatkan penuh.
Seluruh wajahnya jadi lemerah bagai terbakar sinar matahari. Tatapan matanya
begitu tajam, seakan-akan hendak menembus dinding batu di depannya.
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan keras menggelegar.
Rangga cepat melompat ke belakang tiga langkah begitu dinding yang dihantamnya
benjetar. Ledakan itu benar-benar keras, seakan-akan hendak me-runtuhkan seluruh
dinding serta langit-langit batu yang menimbun taman kecil ini.
"Bedebah...!" lagi-lagi Rangga mengumpat geram.
Meskipun dinding yang terkena pukulannya tadi sempat bergetar, namun tetap tidak
berubah sama sekali. Rangga memandangi dinding itu dengan mata tajam menusuk.
Sulit dipercaya apa yang baru saja di saksikannya. Pukulan maut yang
dilepaskannya tidak
berarti sama sekali. Padahal pukulan itu dikeluarkan lewat jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Selama ini, tidak seorang pun yang bisa
menahan jurus maut itu. Bahkan batu karang yang paling keras sekalipun akan
hancur berkeping-keping bila terkena pukulannya. Tapi batu dinding ini....
Sama sekali tidak berubah bentuknya, dan terus bergerak perlahan memperdengarkan
suara gemuruh. Sepertinya, kematian Rangga tinggal menunggu waktu saja.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" gumam Rangga bertanya sendiri. Sedangkan
hatinya mulai guncang, melihat dinding-dinding Itu terus bergerak hendak melumat
dirinya. *** Beberapa kali Rangga mencoba menghancurkan dinding-dinding yang mengelilinginya.
Dan setiap kali dicoba, sama sekali tidak berubah. Keringat sudah membasahi
seluruh wajah dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun demikian, dia belum
berputus asa. Kekuatan dinding batu itu membuatnya jadi penasaran "Sepertinya harus dicoba
dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'," gumam Rangga dalam hati.
Sret! Sinar biru berkilau seketika menyemburat begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti
tercabut dari warangkanya. Sebentar Rangga memandangi mata pedang yang
memancarkan sinar biru itu, kemudian membawanya ke depan dada. Dengan kedua
tangan menggenggam erat tangkai pedang, Pendekar
Rajawali Sakti bersikap mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus
simpanan yang yang sangat dahsyat dan jarang dikeluarkan dalam pertarungan,
kecuali terpaksa sekali.
"Hup...!"
Rangga menarik pedangnya ke samping sehingga ujungnya tegak lurus. Pandangan
matanya begitu lajam, menembus dinding batu di depannya. Seluruh tubuhnya
bergetar, dan wajahnya memerah bagai bara. Rangga mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalam yang disalurkan ke dalam pedang di tangan.
"Hiyaaa....!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil
mengayunkan pedang ke depan. Begitu dahsyatnya jurus 'Pedang Pemecah Sukma'!
Akibatnya ketika mata pedang menghantam dinding batu bercahaya terang, terjadi
ledakan dahsyat menggelegar, disertai percikan api yang berkobar bagai hendak
menghanguskan seluruh isi taman ini. "Yeaaah...!"
Cepat Rangga melompat mundur sambil menarik kembali pedangnya. Seluruh taman
kecil yang kian menyempit ini bergetar, memperdengarkan suara bergemuruh. Rangga
memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung. Asap tebal masih
berkepul dari batu yang terkena babatan pedang sakti itu. Perlahan-lahan asap
itu menyebar, tepat saat getaran itu mereda.
"Berhasil...," desis Rangga begitu melihat lubang pada dinding batu.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat, menerobos lubang menganga di dinding
batu bercahaya terang itu. Setelah berapa kali berjumpalitan di udara, maka
dengan manis sekali kakinya mendarat Dan pada saat itu pula, dinding-dinding berwarna keemasan tadi telah
benar-benar rapat.
"Heh...?"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu, karena dirinya kini telah
berada di tepi pantai.
Suara deburan ombak terdengar jelas mengusik telinga. Sedangkan matahari
bersinar terang di atas kepala. Keadaannya persis seperti ketika masuk ke dalam
lubang yang ternyata sebuah taman kecil yang terpendam.
"Apakah aku bermimpi...?" Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun sejauh mata
memandang, hanya pantai yang teriihat. Tidak ada dinding yang mengurung dirinya,
dan hampir melumat tubuhnya tadi. Tidak ada lubang di pasir yang dimasukinya.
Juga, tidak ada taman yang indah bagai taman Swargaloka milik para dewa di
kahyangan. Segalanya seperti sediakala. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti merasakan
ada yang kurang. Ya..., tidak ada lagi Pandan Wangi di sampingnya.
"Heh..."! Di mana Pandan Wangi...?"
Rangga celingukan mencari-cari kekasihnya itu.
Tapi memang, Pandan Wangi tidak ada lagi di tempat Ini. Rangga melompat ke atas
sebuah batu karang vang cukup tinggi. Dari puncak batu karang ini, bisa terlihat
jelas ke seluruh pantai. Namun tidak seorang pun yang terlihat Keadaan pantai
ini begitu sepi, kecuali debur ombak dan jerit burung camar saja yang terdengar.
"Pandan...!" teriak Rangga sekuat-kuatnya. Suara teriakan Pendekar Rajawali
Sakti menggema jauh terbawa angin. Namun tak ada sahutan sama sekali.
Panggilan Rangga hanya disahuti burung camar.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berteriak memanggil Pandan wangi, tapi
gadis yang dicintainya itu tetap tidak ada. Malah menyahut pun tidak. Ada
kecemasan terselip di hatinya. Dia kembali teringat peristiwa yang baru saja
dialami. Waktu itu, Pandan Wangi menghilang setelah tergulung gumpalan debu.
Dan dia sendiri terkurung di dalam sebuah taman yang sangat aneh.
"Hm.... Siapa itu yang datang...?" gumam Rangga ketika matanya menangkap sebuah
gerak yang cukup jauh dan hampir tidak teriihat.
Semakin lama apa yang dilihat Pendekar Rajawali Sakti, semakin terlihat jelas.
Hampir saja jantung Rangga berhenti befdetak begitu dapat melihat jelas apa yang
ada di sana. Di antara kepulan debu dan derap langkah kaki yang membuat bumi
bergetar, teriihat serombongan orang berpakaian seragam bagai prajurit. Lima
orang tampak berada paling depan menunggang kuda. Mereka menggiring seorang
wanita cantik dan masih muda serta berbaju biru. Dia terpancang di tiang kayu,
Pendekar Rajawali Sakti 51 Tumbal Penguasa Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di atas sebuah gerobak yang ditarik empat ekor kuda.
"Pandan Wangi...," desis Rangga ketika mengenali gadis yang terikat di tiang
itu. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari atas
batu. Sungguh ringan gerakannya, karena ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai
taraf sempuna. Bagaikan segumpal kapas, Rangga mendarat manis sekali di depan
rombongan itu. "Berhenti...!" bentak Rangga keras.
Namun rombongan itu seperti tidak mendengar suaranya. Mereka terus saja bergerak
perlahan dengan irama tetap. Suara genderang yang ditabuh dua orang bertelanjang dada,
seakan-akan hendak menggetarkan jantung siapa saja yang mendengar-nya. Rangga
berdiri agak menghadang di depan.
Matanya tajam menatap laki-laki muda yang berada paling depan. Dikenalnya betul
siapa pemuda tampan itu.
"Pangeran Argabaja...! Kuminta kalian berhenti!"
bentak Rangga lagi dengan suara lebih keras.
Rombongan yang dipimpin Pangeran Argabaja itu tetap bergerak tanpa menghiraukan
bentakan Rangga. Mereka semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini
membuat Rangga benar-benar geram. Dia sudah merasa tertipu, dan sekarang
pangeran tampan itu membawa Pandan Wangi dalam keadaan terikat di tiang kayu.
"Bedebah...! Kalian memaksaku melakukan ke-kerasan, heh..."!" geram Rangga
sengit. Pendekar Rajawali Sakti segera menarik kaki kanannya ke belakang satu tindak.
Sementara kedua tangannya terkepal erat berada di samping pinggang.
Dan kini rombongan itu semakin dekat saja.
"Kalian yang memaksa...! Hiyaaa...!"
Wus...! Begitu Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari-jari terbuka
lebar, seketika itu juga berhembus angin topan dahsyat. Rupanya Pendekar
Rajawali Sakti mengerahkan aji 'Bayu Bajra'
untuk menghentikan rombongan itu. Namun apa yang terjadi..." Rombongan kecil itu
terus bergerak dengan irama tetap, seakan tidak terpengaruh sama sekali oleh
ajian yang dikerahkan Rangga.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Rangga semakin memperhebat ajiannya. Pasir di
pantai ini berhamburan ke udara, tersapu badai yang diciptakan Pendekar Rajawali
Sakti. Batu-batu karang mulai berhamburan, beterbangan ke arah rombongan kecil
itu. Namun tetap saja mereka bergerak dengan irama tetap. Rangga jadi tertegun,
karena tak satu pun batu-batu karang yang beterbangan itu mengenai mereka.
Bahkan seperti lewat begitu saja, meskipun jelas sekali Rangga melihat kalau ada
beberapa di antaranya yang terkena hempasan batu.
Pendekar Rajawali Sakti memang tak tahu kalau rombongan Pangeran Argabaja
mempergunakan aji
'Tinggal Raga'. Ajian ini memang harus digunakan bila mereka berada di luar
laut. Tanpa menggunakan ajian ini, jasad mereka akan terbakar matahari.
Namun bila malam hari, ajian ini memang bisa ditanggalkan.
Jadi sekarang tidak heran bila mereka bagaikan sebuah bayangan saja. Dan kini
Rangga telah mencabut ajiannya. Sejenak dia tertegun, lalu melangkah mundur
beberapa tindak. Sedangkan rombongan kecil itu terus bergerak maju. Perlahan,
namun pasti mereka semakin mendekati lautan. Sementara deburan ombak semakin
terdengar keras. Sedikit Rangga berpaling ke belakang.
"He..."!"
Mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak. Laut yang semula tenang, kini
seperti mengamuk. Ombak berrgulung-gulung setinggi gunung. Sedangkan langit
menjadi kelam tersaput awan hitam. Angin pun terasa semakin kencang, dengan
suaranya yang mengguruh.
Alam seakan-akan hendak murka. Rangga kembali berpaling memandang rombongan
kecil yang sudah demikian dekat dengan dirinya.
"Pandan! Kau dengar aku..."!" seru Rangga mencoba memanggil Pandan Wangi.
Namun si Kipas Maut itu tetap diam dengan kepala terkulai, tertunduk lemah.
Seluruh tubuhnya terikat tambang yang menyatu dengan tiang di atas gerobak kayu.
Sebenamya yang disapa Rangga adalah sukma Pandan Wangi. Sedangkan jasadnya ada
di dalam lautan. Si Kipas Maut itu memang telah dimasuki ajian 'tinggal Raga'.
Ajian ini memang bisa diberikan pada orang lain. Hanya saja, orang yang
diberikan akan menjadi tak berdaya, dan tak tahu walau sukmanya telah terpisah
dari jasadnya. Rangga menggeser kakinya ke samping. Pikirannya terasa buntu. Pendekar Rajawali
Sakti tidak tahu, makhluk apa yang sedang dihadapinya ini.
"Aku harus menangkap salah seorang dari mereka," desis Rangga dalam hati.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat menerjang salah seorang dayang yang
berjalan di belakang Pangeran Argabaja dan empat orang tua pengawalnya.
Namun.... "Heh...."!"
Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut bukan main.
Ternyata dia seperti menerjang sebuah bayangan saja. Jelas-jelas tangannya
menyentuh tubuh salah seorang dayang. Tapi, ternyata tidak terasakan apa-apa,
selain hawa dingin yang menyentuh kulit tengannya. Rangga jadi penasaran.
Didekatinya salah seorang yang berpakaian seragam prajurit, dan mencoba mencekal
tangannya. Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti terkejut, karena prajurit itu tidak
bisa tertangkap. Padahal, tidak ada gerakan berkelit sedikit pun.
"Makhluk silumankah mereka...?" pildr Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti semakin heran dan penasaran. Tangannya dijulurkan hendak
menyentuh tubuh salah seorang prajurit Tapi..., tangan Pendekar Rajawali Sakti malah
menembus tubuh prajurit itu.
Cepat-cepat Rangga menarik kembali tangannya. Dia benar-benar tidak mengerti
akan semua ini.
Sementara Pangeran Argabaja yang berada didepan bersama empat pengawal tuanya,
mulai memasuki laut yang mengamuk bergelombang setinggi gunung.
"Hei! Berhenti...!" bentak Rangga sekuat-kuatnya.
Namun rombongan itu tetap saja bergerak. Perlahan-lahan namun pasti, mereka
mulai memasuki lautan.
Sedikit pun mereka tidak mempedulikan Rangga yang jadi kebingu-ngan. Tidak
mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa ikut menceburkan diri ke dalam laut yang
tengah murka begini. Rangga hanya bisa memperhatikan disertai pikiran kalut.
Sedikit demi sedikit, mereka mulai menghilang ditelan gelombang laut. Dan begitu
tidak terlihat lagi, mendadak saja alam kembali cerah. Matahari bersinar terang,
dan langit pun nampak cerah kembali.
Laut kembali tenang, dan angin bertiup lembut perlahan.
"Oh.... Apa yang terjadi..." Apakah aku akan kehilangan Pandan wangi...?" rintih
Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti jatuh terduduk lemas.
Pandangannya nanar tertuju ke tengah lautan. Dia begitu yakin kalau gadis yang
dibawa tadi adalah Pandan wangi. Tapi, untuk apa mereka membawa Pandan Wangi"
Juga, untuk apa mereka mengurung Pendekar Rajawali Sakti di dalam tanah, di
sebuah taman indah bagai taman Swargaloka" Siapa mereka sebenarnya..."
Pertanyaan yang sangat sukar dijawab.
"Dewi Penguasa Samudera...," desis Rangga
perlahan. "Oh, apakah mereka orang-orangnya Dewi Penguasa Samudera...?"
Rangga tersentak mendapat pikiran demikian.
Tubuhnya menggerinjang bangkit berdiri. Ditatapnya ombak di lautan yang
bergulung indah dan teratur.
Kepalanya menggeleng perlahan, seakan-akan mencoba menghilangkan pikiran yang
tiba-tiba saja timbul di kepalanya. Dia tidak percaya kalau Dewi Penguasa
Samudera memerintahkan prajuritnya untuk menculik seorang gadis. Untuk apa..."
"Tidak...! Pandan Wangi harus kembali! Dia tidak boleh jadi tumbal! Apa pun yang
terjadi, aku harus menyelamatkannya! Hmm..... Dewi Penguasa
Samudera....."
*** 3 Sampai hari menjelang tengah maiam, Rangga masih berada di tepi pantai. Dia
duduk bersila, bersikap semadi. Pandangannya lurus ke depan, menatap tajam ke
tengah laut yang kini nampak menghitam.
Udara pun semakin dingin terasa menusuk kulit.
Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk bersila, tak bergeming sedikit pun
juga. Seluruh jiwa dan raganya dipasrahkan pada sang Pencipta. Dan Rangga
memohon agar dipertemukan dengan Dewi Penguasa Samudera.
Pada tengah malam, saat itu bulan hanya bersinar separuhnya saja Namun keinginan
Pendekar Rajawali Sakti belum juga terkabulkan. Seakan-akan permohonan Rangga
tidak ditanggapi para dewa yang bersemayam di kahyangan. Namun Pendekar Rajawali
Sakti itu tetap duduk diam. Hatinya sudah bertekad, tidak akan bangun sebelum
permohonan-nya dikabulkan. Dia ingin bertemu Dewi Penguasa Samudera, dan meminta
kembali kekasihnya.
"Cras!"
Tiba-tiba saja kilat menyambar, membelah langit.
Cahayanya yang terang dan hanya sesaat itu, membuat Rangga sedikit terkejut. Dan
belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak saja di depannya muncul segumpal
asap tebal! Perlahan-lahan, asap itu menghilang bersama tiupan angin. Dari
gumpalan asap itu muncul seorang wanita berparas cantik bagai dewi.
Pakaiannya indah berwarna biru.
Bahunya yang putih, tertutup selendang tipis berwarna biru juga. Pada kepalanya terdapat sebentuk mahkota kecil. Di tangan
kanannya tertenggam sebatang tongkat pendek berwama kuning keemasan berbentuk
seekor ular. Begitu cantiknya, sampai-sampai Rangga terpana memandangnya.
"Untuk apa kau memanggilku, Rangga?" lembut sekali suara wanita itu bertanya.
"Siapa kau?" suara Rangga terdengar agak tertahan.
"Aku Dewi Penguasa Samudera," sahut wanita itu memperkenalkan diri. Senyumnya
terkembang, begitu menawan sekali.
"Kau..., Dewi Penguasa Samudera...?" Rangga seakan-akan ingin memastikan.
Wanita itu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Begitu manis, membuat
parasnya yang cantik semakin bertambah cantik. Entah kenapa, Rangga sampai
terpana, dan sempat menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak
saja jadi terasa kering.
"Kau sudah memanggilku, dan aku kini berada di sini. Katakan, apa yang kau
inginkan, Rangga?" ujar Dewi Penguasa Samudera. Suaranya masih tetap terdengar
lembut menggelitik telinga.
Rangga tidak perlu bertanya lagi, dari mana wanita cantik penguasa lautan di
jagat raya ini bisa tahu namanya. Dari banyak cerita yang telah didengarnya
selama ini, Dewi Penguasa Samudera memang bukan manusia. Bisa dikatakan, dia
jelmaan Dewi yang ditugaskan melindungi lautan. Dan dia bisa mengetahui nama
seseorang tanpa bertanya lebih dahulu.
"Aku ingin kau mengembalikan kekasihku," sahut Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kekasihmu..." Siapa kekasihmu?" Tanya Dewi
Penguasa Samudera.
"Jangan berpura-pura, Nyai Dewi. Siang tadi orang-orangmu telah menculik Pandan
Wangi. Bahkan mereka sempat mengurungku di taman kecil bawah tanah. Pasti mereka
membawanya masuk ke dalam laut," Rangga menunjuk ke tengah lautan.
"Sekarang bukan bulan purnama pertama untuk tahun ini, Rangga. Tidak ada
pengawalku yang mencari korban. Lagi pula, di istanaku tidak ada gadis yang
bernama Pandan Wangi. Kau boleh lihat ke sana, kalau tidak percaya," tenang
sekali jawaban Dewi Penguasa Samudera.
Rangga tersenyum tipis. Pendekar Rajawali Sakti tahu, seandainya masuk ke dalam
istana wanita ini, sangat kecil kemungkinannya bisa kembali lagi. Kalau pun
kembali, pasti sudah jadi mayat. Dia tahu, siapa wanita cantik penguasa lautan
ini. Dia adalah seorang wanita yang sepanjang zaman selalu tampak cantik.
Bahkan selalu menginginkan pemuda-pemuda tampan untuk dijadikan teman hidup
sementara. Di samping itu, Dewi Penguasa Samudera juga mencari gadis-gadis
cantik untuk dijadikan tumbal bagi ke-langsungan hidup kerajaannya di dasar
lautan. Dan yang pasti, pemuda-pemuda yang sudah tidak diinginkan Dewi Penguasa Samudera
lagi akan dikembalikan ke permukaan, namun sudah menjadi mayat. Sedangkan rohnya
tetap hidup, namun menjadi budak di kerajaan dasar laut Rangga memang belum
pernah mengalami sendiri. Tapi cerita-cerita seperti itu sangat melekat dan
dipercayai orang-orang yang hidup di pesisir pantai. Bahkan mereka yang tinggal
jauh dari pantai pun mempercayainya. Setiap tahun, Dewi Penguasa Samudera ini
mencari gadis muda dan seorang pemuda tampan.
"Bagaimana..." Masih belum percaya?"
"Aku tidak percaya," sahut Rangga agak mendengus.
Dewi Penguasa Samudera tertawa renyah. Begitu merdu suara tawanya, bagaikan
sebuah kidung yang dinyanyikan pesinden temama. Rangga sempat menelan ludahnya,
tapi tetap bertahan untuk tidak tergoda. Wanita ini memang penuh daya pesona,
dan sanggup melemahkan hati siapa saja yang berhadapan dengannya.
"Silakan datang ke istanaku, Rangga. Pintu istanaku selalu terbuka lebar
untukmu," ujar Dewi Penguasa Samudera lagi.
"Aku akan datang saat fajar menyingsing nanti.
Dan kalau ternyata Pandan Wangi ada di sana, aku tidak segan-segan menghancurkan
kerajaanmu!"
terdengar nada ancaman dalam suara Rangga.
"Silakan, Rangga. Aku yakin, kau pasti tidak ingin kembali lagi setelah berada
di istanaku."
"Persetan...!" dengus Rangga dalam hati.
"Ha ha ha...!"
Rangga kembali duduk bersemadi. Saat itu seluruh tubuh Dewi Penguasa Samudera
tertutup asap tebal yang muncul dari sela-sela pasir. Dan begitu asap
menghilang, tubuh wanita itu juga ikut lenyap dari pandangan mata. Rangga
memejamkan matanya, untuk kembali melakukan semadi. Kini Pendekar Rajawali Sakti
meminta kekuatan dan perlindungan dari sang Pencipta jagat raya ini.
"Apa pun yang akan terjadi, Pandan Wangi harus kudapatkan kembali," tekad Rangga
dalam hati. *** Perlahan Rangga membuka matanya saat
merasakan hangatnya sinar sang mentari. Dari balik cakrawala di tengah lautan,
nampak menyemburat rona merah yang berasal dari bola api raksasa yang siap
menghangatkan sebagian permukaan bumi ini.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri.
Pandangannya begitu tajam tidak berkedip, menatap lurus ke tengah lautan.
Baru saja kakinya hendak terayun, mendadak saja telinganya mendengar suara
ribut-ribut dari arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke belakang.
Tampak puluhan orang berjalan beriringan sambil menabuh berbagai macam gamelan.
Bukan hanya orang tua dan orang-orang dewasa saja, bahkan anak-anak pun ikut
serta dalam iring-iringan itu.
Beberapa di antaranya menggotong tandu berbentuk perahu yang dihiasi bermacammacam bunga dan buah-buahan. Para wanita terlihat membawa baki-baki yang penuh
segala macam makanan dan rangkaian bunga. Sejenak Rangga tertegun menyaksikannya. Iring-iringan itu nampak berjalan cepat melewatinya.
"Maaf, Kisanak. Boleh aku bertanya...?" Rangga mencegat salah seorang laki-laki
setengah baya yang berjalan paling belakang.
Laki-laki setengah baya itu memandangi Rangga dari ujung kepala hingga ujung
kaki. Sementara iring-iringan itu terus bergerak mendekati pantai. Rangga
terpaksa mengayunkan kaki karena laki-laki setengah baya yang dicegatnya sudah
kembali berjalan menyusul rombongannya.
"Kenapa mereka seperti membawa sesaji, Paman?" Ranya Rangga tanpa peduli, karena
sikap orang yang ditanya kelihatan tidak menanggapi.
"Dua hari lagi bulan purnama pertama tahun ini,"
sahut laki-laki setengah baya itu tanpa menghentikan ayunan langkahnya.
"Purnama awal tahun...?" Rangga tersentak, seakan-akan tidak percaya.
"Iya. Kenapa...?" laki-laki setengah baya itu memandangi Rangga dalam-dalam.
"Kau pasti bukan penduduk sini."
"Benar, Paman Aku kebetulan saja lewat, dan bermalam di sini," Rangga
membenarkan. Kembali laki-laki setengah baya itu memandang Rangga, seakan-akan tidak percaya
kalau pemuda berbaju rompi putih ini tadi bermalam di pantai ini.
Kemudian perhatiannya dialihkan ke arah orang-orang yang mulai melakukan upacara
sesaji. Secara beramai-ramai bawaan masing-masing dilemparkan dan dihanyutkan
oleh perahu yang dihiasi beraneka macam bunga dan buah-buahan ke tengah laut
Mereka menggiring dengan perahu yang banyak tertambat di pantai ini.
"Kenapa Paman memandangku seperti melihat hantu...?" tegur Rangga merasa jengah.
"Siapa namamu, Anak Muda?" Tanya laki-laki setengah baya itu.
Pendekar Rajawali Sakti 51 Tumbal Penguasa Samudera di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rangga," sahut Rangga.
"Aku Balek. Orang-orang biasa memanggilku Paman Balek. Hm.... Apa benar kau
semalam telah berada di sini?"
Rangga mengangguk.
"Kau tidak menemui peristiwa apa-apa semalam?"
Tanya Paman Balek lagi.
Rangga tidak segera menjawab. Sekarang malah terbalik. Pendekar Rajawali Sakti
yang memandangi
laki-laki setengah baya ini dalam-dalam. Agak terkejut juga hatinya mendengar
pertanyaan Paman Balek barusan.
"Aku melihat serombongan prajurit membawa seorang tawanan melintasi tempat ini,"
jelas Rangga tanpa mengatakan yang sebenarnya.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Paman Balek lagi.
"Tidak ada," sahut Rangga, berbohong.
"Syukurlah kau tidak mendapatkan suatu apa pun, Anak Muda. Dan sebaiknya,
segeralah pergi sebelum senja datang. Kau sangat tampan dan gagah seperti putra
bangsawan. Jika Dewi Penguasa Samudera melihatmu, pasti kau akan dijadikan
pengantinnya untuk satu tahun."
Rangga terdiam mendengar penjelasan Paman balek barusan. Tapi dia tetap tidak
ingin mengatakan semua peristiwa yang dialaminya semalam, sehingga harus
kehilangan Pandan Wangi.
"Bulan purnama tinggal dua hari lagi. Tapi Dewi Penguasa Samudera belum juga
memilih calon tumbalnya," jelas Paman Balek setengah bergumam, seakan berbicara
pada dirinya sendiri.
Hampir saja Rangga keterlepasan bicara untuk mengatakan kalau perempuan itu
sudah mendapatkan lumbal. Tapi mulutnya masih bisa ditahan untuk mengeluarkan
kata-kata. Dia tahu kalau Pandan Wangi semalam ditangkap pesuruh Dewi Penguasa
Samudera untuk dijadikan tumbal tahunan. Dan sebelum bulan purnama datang, semua
penduduk yang bermukim lekat pantai akan mempersembahkan sesaji untuk memohon
keselamatan, agar terhindar dari bencana. Di samping itu, mereka juga meminta
agar hasil tangkapan di laut selalu berlimpah. Itu memang sudah menjadi suatu
adat turun-temurun
dari nenek moyang mereka.
Rangga baru tersadar dari lamunannya setelah Paman Balek tidak ada lagi di
sampingnya. Laki-laki setengah baya itu sudah bergabung bersama rombongannya
untuk melakukan upacara sesaji. Untuk beberapa saat lamanya Rangga hanya
memperhatikan saja dari tempatnya berdiri.
"Aku harus menyelamatkan Pandan Wangi....
Harus!" Lagi-lagi Rangga bertekad dalam hati.
Tapi tekadnya tidak mungkin dilaksanakan hari ini, karena upacara sesaji ini
akan berlangsung sampai senja nanti. Dan yang pasti, malam ini di laut akan
ramai oleh para nelayan yang menangkap ikan. Dan biasanya, setelah upacara
seperti ini, malamnya mereka akan mendapatkan hasil tangkapan yang berilmpah
dari biasanya. Jadi tidak mungkin Rangga terjun ke laut hari ini.
"Aku pasti akan datang ke istanamu, Dewi Penguasa Samudera," desis Rangga dalam
hati. *** Tidak semua rencana bisa terlaksana. Rangga sudah merencanakan kalau malam ini
hendak ke Istana Penguasa Samudera. Tapi semua rencananya terpaksa dibatalkan.
Dan memang, tidak mungkin menyelam ke dasar laut dalam keadaan begini ramai.
Penduduk sekitar pesisir pantai malam ini meng-adakan suatu pesta pantai yang
begitu meriah. Malam yang seharusnya gelap pekat, menjadi terang benderang oleh cahaya obor
yang terpancang di sepanjang pantai. Sedangkan di lautan sana, tampak perahuperahu nelayan hilir mudik. Semua orang yang tinggal di sekitar pesisir pantai
ini tumpah ruah. Maka, pantai yang semula tenang dan damai, kini jadi padat oleh segala
macam tingkah polah para penduduk. Semua ini merupakan bagian dari upacara
persembahan yang dilakukan penduduk sekitar pantai, yang kehidupannya sangat
ditunjang oleh hasil laut
"Hhh.... Apa yang harus kulakukan sekarang...?"
kehih Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kini duduk bertopang dagu di atas batu karang,
memandangi keramaian yang terjadi di pantai ini. Bisa saja dia tidak peduli
Pendekar Pemanah Rajawali 32 Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama