Ceritasilat Novel Online

Tuntutan Gagak Ireng 1

Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng Bagian 1


TUNTUTAN GAGAK IRENG Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Tuntutan Gagak Ireng
Ebook: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking terdengar menyayat, memecah kesunyian pagi buta ini. Jeritan itu datang dari balik sebuah
batu yang begitu besar di tengah-tengah hutan lebat ini. Belum lama suara
jeritan itu menghilang, terlihat sebuah
bayangan putih berkelebat melesat keluar dari balik batu itu.
Tapi, mendadak saja puluhan anak panah berhamburan keluar dari balik pepohonan ke arah
bayangan putih itu. Sosok berbaju serba putih itu berjumpalitan di udara,
menghindari panah-panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya.
Cring! Panah-panah langsung berguguran saat orang
berpakaian serba putih itu mengibaskan pedangnya yang telah tercabut dari warangkanya. Pedang itu seakan-akan melindungi
tubuhnya dari hujan
anak panah. Tak ada satu batang anak panah pun
yang berhasil menyentuh tubuhnya. Kakinya kemudian mendarat lunak sekali di tanah, begitu
puluhan anak panah berhenti berhamburan mengancamnya. Dia berdiri tegak dengan sinar mata
tajam memandangi sekitarnya.
"Keluar kalian, Tikus-tikus Busuk...!"
Lantang sekali suaranya. Begitu keras dan
menggelegar, membuat pepohonan di sekitarnya
bergetar, sehingga daun-daunnya berguguran.
Pada saat itu, dari atas sebatang pohon yang
cukup besar dan tinggi meluruk turun seorang la-ki-laki berperawakan tinggi
besar. Bajunya berwarna hijau, dipadu manik-manik dari batu merah. Sebilah golok bergagang gading terselip di
pinggangnya. Dia berdiri tegak sambil berkacak
pinggang. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot lurus ke bola mata pemuda berbaju serba putih di depannya.
Beberapa saat mereka terdiam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Keadaan begitu sunyi,
hanya desir angin saja yang terdengar. Sementara di ufuk timur, semburat merah
sang surya terlihat sudah membias.
Di pagi yang seharusnya cerah dan ramai oleh
kicauan burung ini jadi terasa begitu sunyi. Seakan-akan, burung-burung pun ikut
merasakan ke- tegangan yang saat ini terjadi. Begitu sunyinya, hingga detak jantung dua orang
yang saling berhadapan itu terdengar jelas. Perlahan mereka sa-ma-sama menggeser
kaki lebih mendekat, dan baru berhenti setelah di antara mereka berjarak beberapa langkah lagi.
Saat itu dari balik pohon dan bebatuan bermunculan orang-orang bersenjata. Sebentar saja, hutan yang semula sunyi sepi,
sudah banyak di-penuhi orang yang menghunus senjata berbagai
bentuk. Dan mereka semua mengepung pemuda
berbaju putih itu. Tak ada celah sedikit pun bagi pemuda itu untuk meloloskan
diri. Jumlah mereka begitu banyak. Herannya, pemuda berbaju putih
itu kelihatan tenang, walaupun tatapan matanya
semakin menyorot tajam.
"Kau sudah terlalu banyak membuat kekacauan, Birawa. Sudah saatnya pertumpahan darah ini kau hentikan," dingin sekali nada suara orang berbaju hijau itu.
"Aku juga sudah muak oleh tingkah kalian yang
memaksaku mengotori tangan dengan darah!" balas pemuda berbaju putih yang dipanggil Birawa, tidak kalah dinginnya.
"Apa pun alasannya, kau harus ikut mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
"Apa yang harus kupertanggungjawabkan..."
Justru kau yang harus bertanggung jawab atas
nyawa-nyawa mereka, Gagak Ireng!" keras sekali
suara Birawa. Ujung jari pemuda itu agak bergetar menuding
laki-laki tegap berbaju hijau di depannya. Mendapat tudingan begitu, wajah lakilaki berbaju hijau yang bernama Gagak Ireng jadi memerah. Gerahamnya
bergemeretak, menahan kemarahan yang
amat sangat dada.
"Kau memang keras kepala, Birawa. Jangan
menyesal kalau aku terpaksa harus menggunakan
kekerasan!"
Gagak Ireng segera menjentikkan jari tangannya. Saat itu juga, orang-orang yang sudah mengepung tempat itu segera bergerak semakin rapat.
Golok dan pedang mereka berkilatan tertimpa cahaya matahari yang baru saja muncul di ufuk timur. "Tunggu! Kalian tidak perlu mengorbankan
nyawa untuk orang gila ini!" sentak Birawa, lantang menggelegar.
"Jangan takut! Serang saja bocah edan itu...!"
seru Gagak Ireng tampak berang.
Orang-orang yang sudah mengepung rapat
tempat itu segera berlarian, meluruk ke arah pemuda berbaju putih ini Pekik dan
teriakan- teriakan pembangkit semangat bertempur, terdengar dahsyat bagai hendak meruntuhkan hutan
yang tidak begitu lebat ini. Mereka bergerak cepat bagai serombongan semut yang
melihat gula. "Edan...! Kalian semua sudah buta!" geram Birawa melihat lebih dari lima puluh orang meluruk hendak mengeroyoknya.
*** Memang tak ada pilihan lain lagi bagi Birawa.
Melihat begitu banyak orang berlarian dari segala penjuru dengan senjata
terhunus di tangan, maka dia harus bertindak. Birawa langsung merapatkan kedua
tangannya di depan dada. Lalu cepat sekali tangannya dihentakkan hingga
merentang lebar ke samping.
"Yeaaah...!"
Begitu tubuhnya memutar dan kembali merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, seketika itu juga bertiup angin
kencang. Badai topan yang sangat dahsyat seketika itu juga terjadi. Akibatnya,
orang-orang yang tadi berlarian hendak
mengeroyok pemuda itu jadi berpelantingan bagai daun-daun kering terhempas
angin. Jeritan-jeritan panjang dan keluhan kesakitan
terdengar saling susul di antara deru angin topan yang semakin dahsyat. Tubuhtubuh berpentalan
dan beterbangan bersama batu-batu serta pepohonan yang tercabut dari akarnya. Tidak sedikit pula yang sudah menggeletak
tertindih batu atau pepohonan. Saat itu juga, hutan yang semula tenang berubah
bagai neraka. "Hep!"
Birawa kembali merentangkan kedua tangan ke
samping. Kemudian dia melakukan beberapa gerakan di depan dada. Dan begitu kedua telapak
tangannya kembali merapat di depan dada, badai
dahsyat itu seketika berhenti. Perlahan Birawa
melepaskan kedua telapak tangannya yang menyatu rapat di depan dada tadi.
"Kalian memaksaku bertindak demikian," desah
Birawa seakan menyesal.
Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan yang semula kelihatan tenang dan damai, kini jadi hancur berantakan dalam beberapa saat saja. Pepohonan
bertumbangan saling tumpang tindih. Tak sedikit tubuh bergelimpangan
terhimpit pohon dan bebatuan. Pandangan Birawa
kemudian terpaku pada Gagak Ireng yang masih
tetap tegak, meskipun berdirinya sudah bergeser sekitar sepuluh langkah dari
tempat semula. "Sungguh dahsyat aji 'Badai Membelah Bumi'
yang kau miliki, Birawa. Tapi belum cukup untuk mengurungkan niatku," desis
Gagak Ireng dingin menggeletar.
"Hm...," Birawa hanya menggumam saja.
Kembali pandangan pemuda itu beredar ke sekeliling. Tak ada seorang pun yang bangkit berdiri lagi. Lebih dari lima puluh
orang sudah bergeleta-kan tak bernyawa lagi. Mereka tewas karena tidak kuat
menahan gempuran angin topan yang dicip-takan Birawa tadi.
Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap
dinikmati. Birawa menghembuskan napas panjang, lalu kembali mengarahkan perhatiannya pada Gagak Ireng yang kini sudah melangkah mendekatinya. Dan jarak mereka sekarang tinggal beberapa langkah lagi.
"Sudah cukup banyak korban yang kau timbulkan, Birawa. Dan akulah yang akan menghentikanmu," desis Gagak Ireng lagi. Masih tetap dingin nada suaranya.
"Kau yang harus bertanggung jawab atas kematian mereka," desah Birawa.
"Kita tentukan sekarang, Birawa. Kau, atau aku
yang akan menyusul mereka."
Setelah berkata demikian, Gagak Ireng segera
membuka jurus kembangan penyerangan. Sedangkan Birawa masih tetap berdiri tegak. Sedikit pun matanya tidak berkedip
memperhatikan lakilaki separuh baya bertubuh tegap itu.
"Tahan seranganku, Birawa! Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu Gagak Ireng melompat menerjang, Birawa langsung melesat cepat sekali ke depan. Kedua tangannya menjulur lurus,
mengancam ke arah
lawan. Mereka sama-sama melayang di udara dengan kedua telapak tangan terbuka menjulur lurus ke depan. Dan pada satu titik
tengah.... "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Glarrr! Satu ledakan keras menggelegar dahsyat terjadi
begitu dua pasang telapak tangan beradu keras di udara. Bunga-bunga api memercik
ke segala arah akibat benturan itu. Tampak keduanya terpental
balik ke belakang, dan berputaran beberapa kali.
Hampir bersamaan, mereka mendarat kembali.
Kemudian, dua orang yang bertarung itu kembali berlompatan berputar saling mendekat. Hampir bersamaan pula mereka berhenti berlompatan
memutar, lalu sama-sama menghentakkan kedua
tangan ke depan. Kembali terdengar ledakan keras menggelegar saat dua pasang
telapak tangan bertemu pada titik tengah.
"Hih!"
Gagak Ireng cepat menarik pulang tangannya,
lalu cepat melontarkan satu pukulan keras menggeledek ke arah dada Birawa. Tapi manis sekali
pemuda itu mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan yang dilepaskan Gagak Ireng tidak menemui sasaran.
Dua langkah Birawa mundur ke belakang. Dan
pada saat itu, langsung dilepaskannya serangan
balasan berupa tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Gagak Ireng segera memiringkan tubuh ke kanan, menghindari tendangan kaki kiri Birawa.
Bergegas kakinya digeser ke kanan sebelum Birawa sempat menarik kembali tendangannya. Dan
dengan kecepatan bagai kilat, tangannya dihentakkan ke arah kaki yang berada di samping tubuhnya. "Hih!"
Bet! Birawa yang menyangka bakal menerima serangan, cepat-cepat menarik kakinya sedikit. Lalu tanpa diduga sama sekali,
kakinya berputar ke
depan. Langsung kakinya dihentakkan kembali ke
arah dada tanpa menyentuh tanah lebih dulu.
Tentu saja gerakan yang begitu cepat dan sulit itu membuat Gagak Ireng jadi
terperangah tidak percaya.
Desss! "Akh...!" Gagak Ireng terpekik keras agak tertahan.
Deras sekali tubuh Gagak Ireng terpental ke belakang, dan menghantam sebatang pohon yang
sudah doyong hampir roboh. Pohon itu seketika
ambruk menimbulkan gemuruh menggetarkan.
Gagak Ireng kembali bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang mendadak jadi
terasa sesak. "Setan...! Huh!" dengus Gagak Ireng.
Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, dan
dihembuskan kuat-kuat. Lalu dilakukannya beberapa gerakan tangan di depan dada, untuk mengusir rasa sesak yang memenuhi seluruh rongga
dadanya. Sementara Birawa berdiri tegak, seperti memberi kesempatan pada lawan
untuk kembali siap melakukan pertarungan kembali.
Sret! Gagak Ireng mencabut senjatanya yang sejak
tadi terselip di pinggang. Senjatanya berupa pedang berwarna hitam, tapi
ujungnya bercabang
dua seperti lidah ular. Mata pedang itu juga berkeluk seperti keris, dan pada
satu sisinya tampak bergerigi. Segumpal asap tipis kehitaman tampak mengepul
dari seluruh mata pedang itu.
"Hm...," Birawa menggumam perlahan.
Pemuda itu menggeser kakinya beberapa lang

Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kah ke samping. Matanya tidak berkedip memandangi pedang hitam yang ujungnya bercabang dua
itu. Dia tahu, pedang berkeluk seperti keris itu sangat dahsyat dan tidak bisa
dianggap enteng.
Terlebih lagi, asap yang mengepul dari mata pedang itu. Jelas, mengandung racun yang bisa
membuat pernapasannya jadi tersumbat.
Dengan pedang anehnya yang mengepulkan
asap beracun, Gagak Ireng jadi dikenal berjuluk Raja Pedang Racun. Dan tidak
sedikit lawannya
yang tewas di ujung pedangnya ini. Kebanyakan
dari lawannya tidak sanggup menghadapi lebih
dari sepuluh jurus. Bila asap hitam itu sudah
sampai merasuk ke dalam paru-paru, tak ada
yang sanggup lagi bertahan. Pertahanannya jadi
goyah, karena napas terganggu. Maka dengan mudah Gagak Ireng akan menghentikan perlawanan
lawan-lawannya.
Dan semua itu sangat disadari Birawa. Pemuda
itu tidak sudi mati konyol di ujung pedang Gagak Ireng yang sudah terkenal
kedahsyatannya. Tapi, dia juga tidak ingin Gagak Ireng terus mengejar-nya
seperti hewan buruan. Birawa sudah jemu
menjadi buronan, dan senantiasa selalu menghadapi orang-orang yang ingin membunuhnya. Padahal, dia tidak ingin lagi tangannya berlumuran
darah. Sret! Cring! Birawa juga segera mencabut pedangnya. Sebatang pedang yang memancarkan sinar putih keperakan. Pedangnya langsung disilangkan di depan
dada. Sementara itu, Gagak Ireng sudah melangkah
mendekati. Sesaat mereka saling menatap dalam
jarak yang tidak begitu jauh. Kemudian....
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
*** Secara bersamaan mereka saling berlompatan
menerjang. Masing-masing mengebutkan pedang
ke depan, sehingga dua senjata yang memiliki pamor dahsyat saling beradu keras
di udara. Denting senjata terdengar memekakkan telinga, disertai ledakan keras
menggelegar. Bunga api memercik
dari benturan kedua pedang itu, dan menyebar ke segala arah.
Kembali mereka bertarung dalam jarak rapat.
Pedang mereka berkelebat cepat, saling sambar
dan menangkis. Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuan untuk menjatuhkan secepatnya. Jurus-jurus dahsyat dan andalan dikeluarkan. Begitu cepatnya gerakan-gerakan yang dilakukan, sehingga tubuh mereka
seperti lenyap.
Yang ada kini tinggal dua bayangan berkelebat saling sambar.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa,
mereka sama-sama telah menghabiskan sepuluh
jurus. Dan tampaknya, Birawa mulai terpengaruh
asap kehitaman yang keluar semakin banyak dari
pedang Gagak Ireng. Birawa juga merasakan pernapasannya mulai terganggu. Sehingga pemuda
itu jadi tidak bisa lagi mengendalikan jurusjurusnya. "Mampus kau! Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring, Gagak Ireng mengebutkan pedangnya ke dada Birawa. Dengan cepat
sekali pedang pemuda berbaju putih itu ditarik
dan dilintangkan di depan dada.
Trang! "Akh...!"
Birawa tak dapat lagi menguasai pedangnya.
Seketika itu juga pedangnya terpental jauh ke
udara. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng sudah mengebutkan pedangnya kembali
ke arah perut. Begitu cepat serangannya, sehingga Birawa tak sempat lagi
menghindar. Cras! "Akh...!" untuk kedua kalinya Birawa terpekik.
Darah langsung mengucur keluar dari perutnya
yang sobek terbabat pedang Gagak Ireng. Birawa
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
perutnya yang sobek berlumuran darah.
Kepalanya digeleng-gelengkan karena rasa pening mulai menghinggapi. Entah sudah berapa banyak asap hitam beracun itu dihirupnya. Dan
pandangannya juga jadi nanar.
"Hiyaaat...!"
Pada saat itu Gagak Ireng sudah melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya. Sementara
tak ada lagi waktu bagi Birawa untuk menghindar.
Dan.... Crak! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar memecah kesunyian hutan ini, begitu ujung
pedang Gagak Ireng kembali membelah dada Birawa. Maka darah pun kembali muncrat deras sekali. Tubuh pemuda itu semakin terhuyung limbung tak terkendali lagi. Sementara asap hitam
beracun semakin banyak masuk ke dalam dada,
sehingga membuatnya semakin sulit bernapas.
"Hih!"
Meskipun lawannya sudah tidak berdaya lagi,
tapi Gagak Ireng tidak puas sampai di situ saja.
Pedangnya langsung dihunjamkan ke dada pemuda berbaju putih itu. Tak ada lagi suara yang keluar dari mulut Birawa. Pedang
berwarna hitam yang berkeluk bagai keris itu menghunjam dalam
di dadanya, hingga tembus ke punggung. Birawa
masih bisa berdiri beberapa saat. Dan begitu satu tendangan mendarat di dada,
seketika tubuhnya
jatuh tersungkur.
Darah semakin banyak membanjiri tubuhnya.
Sebentar tubuhnya menggelepar di tanah, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Gagak Ireng
berdiri tegak memandangi lawan yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Pedangnya kemudian
disarungkan kembali. Asap hitam pun langsung
menghilang begitu pedang itu kembali tersimpan
di dalam warangkanya.
"Hup!"
Bagaikan kilat, Gagak Ireng melompat ke atas
batu yang menjulang bagaikan bukit. Sebentar
kakinya hinggap di atas batu itu, lalu cepat meluruk turun. Gerahamnya
bergemeletuk melihat dua
sosok tubuh tergeletak di tanah, di balik batu besar bagai bukit ini.
"Tenanglah kalian di sana. Si keparat itu sudah kubereskan," ujar Gagak Ireng
perlahan. Sebentar Gagak Ireng berdiri tegak di samping
kedua tubuh tak bernyawa lagi itu, kemudian melangkah pergi dengan ayunan kaki cepat. Gagak
Ireng terus berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan
itu. ***** 2 Waktu terus bergulir seiring peredaran matahari mengelilingi bumi. Satu purnama sudah berlalu.
Tak seorang pun yang membicarakan Birawa yang
telah tewas di tangan Gagak Ireng. Keberhasilan Gagak Ireng menghentikan
kehidupan Birawa,
disambut gembira seluruh rakyat Kadipaten Wadas Lintang yang terletak tidak seberapa jauh dari hutan tempat Birawa tewas di
tangan Gagak Ireng.
Selama ini, Birawa memang dianggap sebagai
biang keonaran oleh semua orang di seluruh wilayah Kadipaten Wadas Lintang. Bukan hanya
menggasak harta, tapi juga nyawa orang yang dirampok ikut melayang. Dan sudah tentu hal itu
membuat keresahan. Sehingga, Adipati Bayaga
terpaksa meminta bantuan Gagak Ireng untuk melenyapkan Birawa.
Tapi, apa kematian Birawa sudah menghentikan semua keresahan itu..." Memang, selama satu purnama ini tidak ada lagi
peristiwa perampokan atau pembunuhan di kota kadipaten ini. Hingga,
Adipati Bayaga mengangkat Gagak Ireng menjadi
kepala pasukan khusus kadipaten. Maka, sudah
tentu semua anggotanya adalah pengikut Gagak
Ireng. Semua orang di Kadipaten Wadas Lintang
ini memang sudah menganggap tak ada lagi persoalan yang akan timbul. Tapi, tidak demikian
halnya dengan Gagak Ireng.
"Beberapa hari ini kuperhatikan kau selalu murung dan menyendiri. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Kakang...?"
Gagak Ireng menghembuskan napas panjang.
Wajahnya berpaling menatap seorang pemuda bertubuh tegap, dan berkulit kuning langsat Pakaiannya terbuat dari bahan sutra halus yang indah, berwarna merah muda.
Wajahnya juga cukup
tampan. Senyumnya cukup menawan menyungging di bibirnya yang agak kemerahan. Dia adalah Rapasak, adik angkat Gagak
Ireng. "Tidak," sahut Gagak Ireng seraya menggeser
duduknya. Rapasak menempatkan diri di samping kakak
angkatnya ini. Saat itu, senja sudah merayap turun. Burung-burung sudah kembali
ke sarang masing-masing. Tak ada lagi orang lain di taman belakang ini. Sebuah taman
indah, terletak di belakang bangunan besar dan megah yang dikelilingi pagar
tinggi dari batu yang tebal dan kokoh seperti benteng. Tempat ini memang hadiah
dari Adipati Bayaga atas keberhasilan Gagak Ireng menumpas
Birawa, yang selama satu bulan lalu dianggap perusuh di Kadipaten Wadas Lintang
ini. "Kakang sudah berhasil meraih keinginan pertama, menjadi orang nomor dua di Kadipaten Wadas Lintang ini di samping Gusti Adipati Bayaga.
Apa masih ada hambatan untuk kelanjutannya,
Kakang...?" terasa begitu lembut suara Rapasak, seperti suara seorang wanita
saja. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rapasak.
Semua akibat yang bakal terjadi nanti sudah kupikirkan. Dan sampai saat ini tak ada yang meng-ganggu pikiranku," kata Gagak
Ireng diiringi senyuman di bibir.
Tapi, senyuman Gagak Ireng terasa hambar sekali. Dan ini dapat dirasakan Rapasak. Hanya saja, dia tidak mau mendesak lagi. Pemuda itu tahu, jika Gagak Ireng sudah
mengatakan tidak, sela-manya akan tetap tidak. Dan biasanya, Gagak
Ireng baru bersedia mengatakannya kalau sudah
merasa tidak bisa lagi menghadapinya sendiri. Selama dirinya masih merasa mampu,
tak akan ada yang mengetahui persoalan terpendam di dalam
hatinya. "Aku akan ke rumah Nyi Walang, Kakang," pinta Rapasak seraya bangkit berdiri.
"Ada apa kau ke sana?" tanya Gagak Ireng.
"Bosan terkurung terus di sini, Kakang. Aku
akan mencari hiburan sedikit," sahut Rapasak.
"Pergilah. Tapi jangan terlalu lama di sana."
"Mungkin besok aku baru pulang, Kakang. Katanya di sana ada yang baru. Nyi Walang tidak
akan memberikannya pada orang lain, kecuali
aku." "Ya, sudah.... Asal jangan seperti dulu lagi," pesan Gagak Ireng.
"Aku pergi, Kakang," pamit Rapasak.
Gagak Ireng hanya mengangguk saja. Dia masih duduk di bangku taman ini, memandangi adik
angkatnya yang berjalan agak cepat meninggalkannya. Kepalanya menggeleng perlahan, tapi sebentar kemudian raut wajahnya kembali berubah
terselimut kabut. Tak lama kemudian, Gagak Ireng bangkit berdiri sambil
menghembuskan napas
panjang. "Aku harus mempersiapkan diri. Aku yakin, cepat atau lambat pasti ada yang datang menuntut
balas atas kematian Birawa. Hhh...!" desah Gagak Ireng seraya mengayunkan
kakinya melangkah
meninggalkan taman belakang ini. "Hhh..., siapa pun orangnya, aku tidak bisa
dianggap remeh."
*** Sementara itu Rapasak sudah menunggang kudanya, membelah jalan utama Kadipaten Wadas
Lintang. Meskipun sudah hampir tengah malam,
tapi suasana di kadipaten ini masih terlihat ramai.
Kedai-kedai, rumah-rumah penginapan, rumahrumah perjudian, dan tempat-tempat hiburan
lainnya seperti tak pernah menghentikan kegiatannya. Siang malam selalu saja ramai dikunjungi orang.
Rapasak terus memacu kudanya menuju ke
bagian selatan Kadipaten Wadas Lintang ini. Pemuda itu tidak bisa memacu cepat kudanya, karena sepanjang jalan yang dilalui masih cukup ramai orang. Kadipaten Wadas Lintang memang tidak pernah sepi. Seakan-akan, kadipaten ini tidak pernah tidur meskipun di malam
hari. Suasa-nanya selalu meriah. Padahal, baru-baru ini mere-ka semua habis
dicekam rasa takut oleh sepak tenang Birawa yang menggasak harta dan membunuh pemiliknya yang mencoba melawan. Mereka
benar-benar sudah melupakan peristiwa itu, dan
kembali hidup seperti hari-hari yang lalu.
Rapasak baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu bertingkat dua sehingga tampak


Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi. Beberapa orang keluar masuk rumah itu.
Dan mereka yang datang atau pergi, semuanya laki-laki. Seorang anak berumur sekitar dua belas tahun menghampiri Rapasak.
Pemuda itu kemudian tersenyum, dan menyerahkan kudanya pada
anak laki-laki itu.
"Rawat kudaku dengan baik, ya...?" pinta Rapasak seraya memberi sekeping uang perak.
"Baik, Den," sahut anak itu seraya membungkuk hormat. Rapasak mengayunkan kakinya, memasuki
rumah itu. Suara tawa terkikik dan canda bebera-pa orang langsung menyergap
telinganya, begitu
melewati pintu. Rapasak langsung menghampiri
seorang perempuan separuh baya yang bertubuh
gemuk, sehingga lehernya terlipat bagai menyatu dengan dagu. Wanita itu
tersenyum ramah begitu
melihat Rapasak datang.
"Kukira kau tidak datang, Rapasak," sambut
wanita bertubuh tambun itu dengan keramahan
dibuat-buat. "Aku tidak pernah ingkar janji, Nyi Walang,"
ujar Rapasak "Aku percaya. Mari...."
Rapasak lalu mengikuti langkah wanita gemuk
itu. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan lain
yang tidak kalah besarnya dari ruangan depan ta-di. Beberapa wanita yang
berkumpul di sana sege-ra melemparkan senyuman dan kerdipan mata genit pada Rapasak Tapi pemuda itu hanya membalasnya dengan senyuman tipis saja.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong, setelah melewati ruangan yang terang-benderang itu.
Di samping kiri dan kanan lorong ini terdapat beberapa pintu yang tertutup. Tak
ada satu pintu pun yang terbuka. Sampai di ujung lorong, mereka berhenti. Nyi Walang membuka
sebuah pintu yang
berada di ujung lorong ini, lalu melangkah melewati pintu diikuti Rapasak dari
belakang. Ternyata pintu ini merupakan sebuah penghubung ke bagian belakang bangunan besar dan bertingkat ini. Mereka terus berjalan melintasi taman, menuju beberapa bangunan
kecil bagai pendopo
yang berjajar rapi mengelilingi taman kecil ini. Nyi Walang membawa Rapasak ke
sebuah bangunan
yang berada paling tengah. Tanpa mengetuk pintunya lagi, wanita bertubuh gemuk bagai tong air
ini langsung saja membuka pintu itu. Kemudian,
Rapasak dipersilakan masuk terlebih dahulu.
"Silakan...," ucap perempuan tambun itu, ramah. Rapasak melangkah masuk, baru Nyi Walang
mengikuti dari belakang. Ternyata, bangunan ini hanya terdiri dari dua ruangan
yang hanya dibata-si selembar dinding dari bilik bambu. Sebuah pelita tergantung
di tengah-tengah ruangan ini. Hanya ada sebuah kursi panjang dan sebuah lemari
berukuran kecil dan panjang di sini. Rapasak meng-hempaskan tubuhnya di kursi
panjang dari rotan
itu. Sementara, Nyi Walang terus melangkah masuk ke dalam ruangan satunya lagi.
"Kau tunggu sebentar, Rapasak," ujar Nyi Walang sebelum menghilang di balik pintu bilik bam-bu pemisah ruangan ini.
Rapasak hanya mengangguk saja. Tak lama,
Nyi Walang telah kembali lagi diikuti seorang wanita berusia muda yang
mengenakan baju warna
hijau muda. Rapasak cepat bangkit berdiri. Mulutnya sampai ternganga melihat wanita cantik di samping Nyi Walang yang begitu
cantik bagai bi-dadari baru turun dari kahyangan. Kulitnya putih bersih, sangat
pas dengan warna dan potongan
baju yang dikenakannya.
"Baru dua hari Minati datang, dan belum ada
seorang pun yang mengunjunginya. Dia khusus
untukmu, Rapasak," jelas Nyi Walang ramah, disertai senyumnya yang dibuat-buat.
"Minati.... Nama yang cantik, secantik orangnya," desah Rapasak memuji.
"Layanilah dia dengan baik, Minati," pesan Nyi
Walang. "Baik, Nyi," sahut Minati lembut.
"Silakan. Kalian pasti ingin mengenal lebih dekat lagi," kata Nyi Walang lagi.
Tanpa menunggu jawaban apa pun juga, wanita
bertubuh gemuk itu segera melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Masih belum ada yang
membuka suara, meskipun Nyi Walang sudah tidak ada lagi di ruangan ini.
"Silakan duduk," ucap Minati lembut dan sopan. "Terima kasih."
Rapasak kembali duduk di kursi yang tadi didudukinya, sedangkan Minati hanya berdiri saja.
Jari-jari tangannya mempermainkan sehelai saputangan hijau muda dari bahan sutera halus. Sedangkan Rapasak tidak lepas-lepasnya memperhatikan wajah dan tubuh wanita di depannya ini.
Begitu cantiknya, seakan-akan Rapasak tidak ingin mengalihkan perhatiannya barang sedikit pun.
"Duduklah di sini," pinta Rapasak seraya menepuk tempat sampingnya.
Sambil tersenyum dikulum, wanita cantik berbaju hijau itu melangkah mendekat. Kemudian dia duduk di samping Rapasak. Bau
harum yang se-merbak langsung menyeruak, menusuk cuping hidung Rapasak. Sehingga membuatnya tak dapat
lagi menahan gejolak hati untuk merasakan halusnya kulit tubuh wanita ini. Rapasak mengambil tangan wanita itu, dan
menggenggamnya hangat-hangat. Sedikit pun Minati tak menolak. Dibiarkannya saja jari-jari tangannya diremas penuh
kehangatan dan gairah yang menggelora dalam
dada Rapasak. *** "Nyi Walang selalu cerita tentang Raden...," kata Minati perlahan.
"Jangan panggil raden. Panggil saja Kakang Rapasak," potong Rapasak cepat.
"Nanti Nyi Walang marah."
"Dia tidak akan berani memarahimu."
Minati hanya tersenyum saja seraya menundukkan kepala. Rapasak cepat menggamit dagu
wanita itu, lalu membawanya ke atas. Sehingga,
wajah mereka begitu dekat. Mau tak mau desah
napas mereka terasa hangat menerpa kulit wajah
satu sama lain.
"Kau pasti putra bangsawan yang berpengaruh
di Kadipaten Wadas Lintang ini, Kakang," tebak
Minati lagi. "Bukan," sahut Rapasak.
"Ah, mana mungkin" Buktinya, Nyi Walang melayani Kakang begitu istimewa. Kalau bukan seorang pembesar, atau putra pembesar di kadipaten ini, mana mungkin Nyi Walang
memberi pelayanan
yang begitu istimewa...?" Minati tidak percaya.
"Aku adik kandung Gagak Ireng, Kepala Pasukan Khusus Kadipaten Wadas Lintang ini," jelas
Rapasak terus terang.
"Kepala Pasukan Khusus" Bukankah itu berarti
orang kedua di kadipaten?"
"Benar. Tapi itu baru satu bulan ini. Setelah...,"
Rapasak tidak melanjutkan.
"Setelah apa, Kakang?" desah Minati ingin tahu. "Ah, sudahlah...," Rapasak mengelak tidak ingin membicarakan lagi.
"Ayolah, Kakang.... Aku ingin tahu tentang dirimu. Bukankah tadi Nyi Walang mengatakan kalau kita harus saling mengenal lebih dekat..." Aku juga nanti akan mengatakan
tentang diriku padamu, Kakang," rengek Minati memaksa.
"Kau pintar sekali merayuku, Minati."
"Ah, Kakang...."
Minati jadi tersipu. Rapasak begitu gemas melihat wajah yang bersemu merah dadu. Dicubitnya
hidung yang berbentuk indah dan bangir ini. Minati semakin tersipu seperti seorang gadis yang baru saja disentuh pemuda yang
dicintainya. Gadis itu hanya diam saja saat tangan Rapasak melingkar di pinggangnya. Dan dia juga diam ketika Rapasak memberinya satu kecupan
lembut di pipi.
"Ke dalam, yuk...?" ajak Rapasak.
"Nanti saja, Kakang. Kau belum mengatakan
apa-apa tentang dirimu. Aku ingin mengenalmu
lebih jauh lagi sebelum...," Minati tidak meneruskan ucapannya.
"Nanti juga kau tahu."
"Ah, tidak.... Aku ingin sekarang."
Rapasak mengangkat bahunya sedikit.
"Baiklah. Tapi, kau harus janji. Setelah kukatakan, kau harus bersedia ke dalam. Bagaimana...?" Minati mengangguk dan tersenyum manis.
"Kakang Gagak Ireng diangkat menjadi Kepala
Pasukan Khusus karena jasanya. Dia berhasil menewaskan seorang pengacau yang telah merugikan
banyak orang di kadipaten ini. Orang itu berkepandaian tinggi, sehingga jago-jago kadipaten tak ada yang sanggup
menandinginya," Rapasak mulai
bercerita. "Sebelum ini, apa kakakmu juga seorang pembesar kadipaten?" tanya Minati.
"Bukan."
"Lalu?"
"Aku dan Kakang Gagak Ireng semula hidup
mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ada lima puluh orang anak buah
Kakang Gagak Ireng.
Sekarang, mereka semua menjadi anggota pasukan khusus itu. Dan kami harus tinggal di Kadipaten Wadas Lintang ini untuk menjaga keamanan
seluruh wilayah kadipaten."
"Tugas yang berat...," desah Minati.
"Memang. Tapi Kakang Gagak Ireng menyukainya. Dan ini memang sudah menjadi keinginannya sejak dulu, untuk menjadi orang kedua di sebuah kadipaten. Yaaah...,
ternyata Kadipaten
Wadas Lintang ini menjadi pilihannya. Dan semua keinginannya selama ini sudah
terwujud. Bahkan
Gusti Adipati Bayaga sendiri selalu meminta nasihat Kakang Gagak Ireng. Segala
keputusan yang akan diambil, selalu dibicarakan pada Kakang Gagak Ireng."
"Hm..., tentu kakakmu sangat tangguh," kembali Minati menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Memang. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi kepandaiannya," sambut Rapasak bangga. "Apa kau juga setangguh dia, Kakang?" tanya Minati lagi.
"Masih satu tingkat di bawahnya."
Minati bangkit berdiri, lalu melangkah mendekati jendela. Perlahan tangannya yang halus dan lembut membuka daun jendela itu,
sehingga angin malam yang dingin menerobos masuk menerpa
tubuhnya. Sedangkan Rapasak masih tetap duduk
di kursi panjang dari rotan itu. Perlahan Minati memutar tubuhnya, berbalik
membelakangi jendela. "Boleh kutahu, siapa perusuh yang mengacau
kadipaten ini, Kakang?" tanya Minati lagi.
"Namanya Birawa. Tapi, semua orang di kadipaten ini selalu menyebutnya si Setan Jagal," sahut Rapasak.
"Birawa...," gumam Minati, agak mendesah suaranya. "Ada apa, Minati" Kau kenal?" tanya Rapasak.
"Kedatanganku ke sini sebenarnya juga ada satu urusan yang berhubungan dengan orang yang
kau sebutkan namanya tadi, Kakang," kata Minati.
Kali ini suaranya terdengar lain.
"Kau ada persoalan dengan Birawa...?"
Minati tidak menjawab. Bibirnya mengulas senyum yang begitu manis. Kakinya melangkah perlahan mendekati Rapasak yang masih duduk di
kursi rotan panjang ini. Tangannya terulur, dan langsung disambut pemuda ini
dengan hangat disertai senyum terkembang di bibir. Perlahan Rapasak bangkit
berdiri, langsung melingkarkan tangannya di pinggang yang ramping dan padat berisi. Tubuh mereka begitu rapat, sehingga tak ada lagi jarak yang tersisa.
"Kau tidak menanyakan tentang diriku, Kakang?" suara Minati kembali terdengar lembut.
"Aku tidak peduli siapa dirimu, Minati. Yang
penting, malam ini kau bersamaku," sahut Rapasak. "Ahhh...."
Minati menggeliat begitu Rapasak melumat bibirnya. Wajahnya langsung disembunyikan begitu
Rapasak melepaskan pagutannya. Dengan halus
sekali, Minati melepaskan rangkulan pemuda ini.
Kemudian kakinya melangkah mundur beberapa
tindak. Tapi Rapasak menahan dengan menggenggam tangannya. Tiba-tiba saja, Rapasak menyentaknya kuat-kuat, sehingga Minati terjatuh ke dalam pelukan pemuda ini.
"Auw...!"
Rapasak tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan
ini. Cepat-cepat dipondongnya tubuh ramping itu, dan dibawanya masuk ke dalam
ruangan lain yang
berukuran sama dengan yang tadi. Di ruangan ini hanya ada sebuah pembaringan,
sebuah meja, dan
kursi di depannya. Rapasak langsung membawa
ke pembaringan, dan merebahkan wanita itu dengan hati-hati sekali. Sepertinya wanita itu sebuah porselen yang tak boleh
tergores kemulusannya.
"Ah, Kakang...," desah Minati begitu Rapasak
menghujani wajah dan lehernya dengan ciumanciuman hangat penuh gairah menggejolak.
Minati hanya dapat menggeliat dan mendesah
lirih di bawah himpitan tubuh kekar dan tegap be-rotot ini. Sedangkan jari-jari


Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan Rapasak sudah begitu liar, menjelajahi seluruh tubuh di bawah
himpitannya. Minati kembali menggelinjang
saat merasakan tangan Rapasak menggusur pakaiannya. Rapasak mengulurkan tangannya, lalu mematikan pelita yang berada di meja, di samping pembaringan ini. Seketika itu juga
ruangan jadi meremang. Hanya cahaya bulan saja yang coba-coba
mengintip dari celah-celah atas jendela. Tak ada lagi yang bicara. Tak terdengar
suara apa pun ju-ga, selain desah napas dan erangan lirih diiringi derit
pembaringan yang tak kuat menahan berat
beban di atasnya.
"Ohhh...."
***** 3 "Hendak ke mana lagi, Rapasak...?" tegur Gagak Ireng melihat adik angkatnya sudah rapi hendak pergi.
"Aku ada janji," sahut Rapasak seraya berbalik
memutar tubuhnya.
"Sudah satu pekan ini kau selalu saja keluar
rumah malam-malam, dan selalu saja pulang pagi.
Ke mana saja selama ini, Rapasak?"
"Kakang pernah jatuh cinta...?" Rapasak malah
balik bertanya.
"Ha ha ha...!" Gagak Ireng malah tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan adik angkatnya. Dihampirinya Rapasak dan dicengkeramnya
kedua bahu pemuda itu dengan kuat, sehingga,
pemuda itu jadi meringis. Tapi hatinya sudah cukup senang karena Gagak Ireng
tidak lagi memasang wajah tegang seperti tadi. Malah sekarang
senyumnya terkembang menghiasi bibirnya yang
hampir tertutup kumis.
"Gadis mana yang kau pilih, Rapasak?" tanya
Gagak Ireng. "Bukan gadis, tapi janda," jelas Rapasak.
"Gadis atau janda itu bukan masalah. Asal bukan istri orang saja yang kau sambar," gurau Gagak Ireng.
Rapasak hanya tersenyum saja.
"Kau ingin cepat-cepat, Rapasak?" tanya Gagak
Ireng lagi. "Nanti saja, Kakang. Aku lebih senang kalau
kau dulu yang mendapat pendamping."
"Aku sudah terlalu tua untuk punya istri, Rapasak. Jangan terlalu memikirkan diriku. Aku sudah cukup senang kalau kau punya
istri dan hi- dup bahagia."
"Terima kasih, Kakang," ucap Rapasak perlahan. Pemuda itu menundukkan kepala. Gagak Ireng
jadi berkerut keningnya melihat raut wajah adik angkatnya tiba-tiba saja jadi
berubah mendung.
Diangkatnya wajah pemuda ini, sehingga mereka
saling bertatapan.
"Ada persoalan, Rapasak...?" tanya Gagak Ireng
lembut. "Kakang pasti tidak setuju kalau tahu tentang
dia," duga Rapasak perlahan.
"Kenapa kau punya pikiran seperti itu?"
"Karena dia...."
"Katakan, Rapasak. Aku tidak akan menghalangi kalau itu membuatmu bahagia."
"Namanya Minati, Kakang. Tinggalnya di rumah
Nyi Walang," pelan sekali suara Rapasak, hampir tak terdengar di telinga Gagak
Ireng. Agak terkejut juga Gagak Ireng mendengar pengakuan adik angkatnya ini. Sungguh tidak disang-ka kalau wanita pilihan adik
angkatnya ini berasal dari rumah pelacuran terkenal di kota Kadipaten Wadas
Lintang ini. Gagak Ireng menghembuskan
napas panjang sambil berbalik memutar tubuhnya. Kakinya melangkah perlahan mendekati jendela. Sementara Rapasak hanya memandangi saja.
Beberapa saat kesunyian menyelimuti mereka
berdua. Cukup lama juga Gagak Ireng berdiri di depan
jendela, memandang bulan yang menggantung penuh di langit hitam kelam, bertaburkan cahaya
bintang. Perlahan tubuhnya diputar, langsung
menatap Rapasak yang masih berdiri saja memandang dengan sinar mata sukar diartikan.
"Kau tahu di mana keluarganya?" tanya Gagak
Ireng, agak mendesah suaranya.
"Dia tidak punya keluarga lagi. Dia berasal dari daerah selatan," sahut Rapasak
memberitahu. "Tepatnya?"
"Bukit Gantang."
Gagak Ireng menatap Rapasak tajam-tajam begitu mendengar tempat wanita yang menjadi pilihan adik angkatnya ini berasal. Sedangkan Rapasak hanya tertunduk saja, tak sanggup membalas
tatapan mata yang tajam itu. Kembali mereka terdiam beberapa saat lamanya.
Perlahan Gagak Ireng melangkah mendekati, lalu berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan
Rapasak yang masih
terduduk diam. "Tatap aku, Rapasak," pinta Gagak Ireng, begitu dalam suaranya.
Perlahan Rapasak mengangkat kepalanya. Mereka langsung bertatapan tanpa berbicara sedikit pun juga. Entah apa yang ada di
dalam dada Rapasak saat ini. Dia tahu, Gagak Ireng tidak menye-tujui hubungannya
dengan wanita yang berasal
dari Bukit Gantang.
"Rapasak! Kau tahu, dari mana Birawa berasal,
bukan...?" dalam sekali suara Gagak Ireng.
"Ya! Aku tahu, Kakang," sahut Rapasak perlahan seraya menganggukkan kepala.
"Dari mana?"
*** Cukup lama juga Rapasak tidak menjawab pertanyaan Gagak Ireng. Kepalanya kembali tertunduk dengan bibir masih terkunci rapat. Sedangkan Gagak Ireng memandanginya
begitu tajam menusuk. Terdengar hembusan napas berat, bagai hendak melepaskan ganjalan yang ada di rongga dada.
"Kau harus hati-hati dengan setiap orang yang
datang dari Bukit Gantang, Rapasak. Kau kan tahu, Birawa berasal dari sana. Dan bukannya tidak mustahil kalau kematiannya
sudah tersebar sampai ke sana. Sadarilah hal itu, Rapasak," Gagak Ireng
menasihati penuh perhatian.
"Tapi, dia sendiri punya persoalan dengan Birawa, Kakang. Dia juga baru tahu, kalau Birawa
sudah tewas. Bahkan merasa bersyukur mendengar kematian si perusuh itu. Dan kudengar, dia
ingin mengucapkan terima kasih padamu yang telah melenyapkan Birawa, Kakang," kata Rapasak
memberitahu. "Rapasak..., Rapasak..."
Gagak Ireng menggeleng-gelengkan kepala. Rapasak jadi tidak mengerti atas sikap kakak angkatnya ini. Dipandanginya Gagak Ireng dengan sinar mata minta penjelasan.
Sungguh tidak dimengerti, kenapa Gagak Ireng jadi begitu berhati-hati dan selalu mencurigai setiap
orang Bukit Gantang yang datang ke kadipaten ini.
"Segala macam alasan bisa saja dikemukakan
untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Kau
harus bisa membedakan antara bunga dan ular
berbisa. Perhatikanlah hal itu, Rapasak. Aku tidak ingin kita semua patah
sebelum waktunya. Ingat-lah tujuan utama kita ke kadipaten ini," kata Gagak
Ireng lagi. "Kenapa Kakang selalu menaruh curiga pada
setiap orang yang datang dari Bukit Gantang"
Apakah karena Birawa berasal dari sana?" tanya
Rapasak jadi ingin tahu.
"Kau adikku satu-satunya, Rapasak. Orang satu-satunya yang kupercaya dan kucintai. Aku tidak ingin kau terjebak. Meskipun Birawa sudah
terkubur, tapi persoalannya belum tuntas begitu saja...," Gagak Ireng mencoba
memberi pengertian.
"Maksud Kakang...?" Rapasak masih belum
mengerti juga. "Kau tahu di mana Birawa selama ini hidup"
Juga, dari mana dia mendapat ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian begitu tinggi...?" Gagak
Ireng malah memberikan pertanyaan.
Rapasak terdiam tidak menyahut. Sebelum
mengejar Birawa sampai ke hutan, mereka memang sudah menyelidiki asal-usul Birawa. Hingga, mereka tahu betul kelemahan
ilmu yang dimiliki
Birawa. Inikah yang selama beberapa hari ini membuat
Gagak Ireng sering merenung dan menyendiri"
Rapasak jadi bertanya-tanya dalam hati. Sungguh tidak pernah terlihat kalau
Gagak Ireng tengah
memikirkan lawan-lawan yang berhasil dilenyapkan. Tapi... Rapasak cepat membantah semua yang ada di kepalanya. Dia tidak percaya kalau Gagak Ireng memiliki rasa
gentar terhadap as-al-usul Birawa. Pemuda itu tidak yakin kalau asal-usul Birawa
membuat Gagak Ireng menjadi gentar.
Terutama setelah mengalahkan, dan mengirimnya
ke lubang kubur.
"Aku akan menyelidikinya, Kakang. Kalau memang dia punya maksud tertentu, aku akan melenyapkannya," tegas Rapasak. "Sekarang aku akan
ke sana. Sudah ada janji dengannya."
"Aku tidak memaksamu, Rapasak. Hanya kuminta, kau berhati-hati pada semua orang yang
berasal dari Bukit Gantang," ujar Gagak Ireng.
Rapasak hanya tersenyum saja. Ditepuknya
bahu kakak angkatnya ini. Kemudian tubuhnya
berputar dan berjalan meninggalkan Gagak Ireng
sendirian di dalam ruangan ini.
Gagak Ireng masih berada di dalam ruangan itu
meskipun Rapasak sudah tidak terlihat lagi. Kakinya lalu melangkah mendekati jendela dan berdiri di sana. Sekilas Rapasak masih terlihat tengah memacu kudanya meninggalkan
rumah besar dan
megah yang dikelilingi pagar batu setinggi dua batang tombak. Beberapa orang
tampak berada di
sudut-sudut yang rawan untuk berjaga-jaga.
"Hm... Aku harus menyelidikinya sendiri. Pengalamannya belum banyak dalam hal seperti ini,"
gumam Gagak Ireng setelah berpikir beberapa
saat. Bergegas Gagak Ireng melangkah meninggalkan
ruangan itu. Tak berapa lama kemudian, kudanya
sudah terlihat dipacu cepat meninggalkan rumahnya yang besar, hadiah dari Adipati Bayaga. Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan
seperti malam-malam sebelumnya, suasana di Kadipaten Wadas Lintang ini selalu saja ramai.
"Hiya! Hiya...!"
Gagak Ireng memacu cepat kudanya menuju
bagian selatan Kadipaten Wadas Lintang. Tapi dia tidak memilih jalan utama yang
setiap saat dilalui orang. Yang dipilihnya adalah jalan memutar, melalui rumahrumah penduduk dan perkebunan.
Tidak dipedulikan lagi kalau malam telah begitu pekat, meskipun bulan bersinar
penuh saat itu.
Kudanya terus dipacu dengan kecepatan penuh.
*** "Hieeek...!"
"Heh..."! Hup...!"
Gagak Ireng terkejut setengah mati begitu tibatiba kuda yang ditungganginya meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggitinggi. Cepat-cepat tubuhnya melenting, melompat dari punggung kuda hitam itu.
Dan bersamaan kakinya menjejak tanah, kuda hitam itu langsung ambruk menggelepar. Gagak Ireng
jadi terbeliak melihat kudanya seketika tewas. Tampak di leher binatang itu tertancap sebuah
benda berbentuk
mata tombak berwarna hitam pekat.
"Kurang ajar...!" desis Gagak Ireng menggeram.
Suasana sekitarnya begitu sepi. Hanya desir
angin saja yang terdengar, menebarkan udara dingin menusuk tulang. Gagak Ireng
mengedarkan pandangan tajam-tajam. Telinganya juga dipasang begitu tajam, mendengarkan
setiap suara sekecil apa pun yang ada di sekitarnya. Tapi setelah begitu lama,
tak juga terdengar sesuatu yang mencurigakan. Sekitarnya begitu sunyi. Hanya
pepohonan saja yang terlihat menghitam pekat di sekitarnya.
"Hm.... Siapa yang mau main-main denganku...?" gumam Gagak Ireng bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Perlahan Gagak Ireng mengayunkan kakinya
sambil tetap memasang mata dan telinganya tajam-tajam. Sikapnya begitu hati-hati dan waspada. Gagak Ireng baru berhenti melangkah setelah dekat di samping bangkai
kudanya. Tubuhnya
membungkuk sedikit, lalu mencabut mata tombak
hitam yang menancap di leher kudanya.
"Hm..., beracun," desis Gagak Ireng menggumam perlahan. Sebentar diamatinya benda berbentuk mata
tombak hitam itu. Sebuah benda terbuat dari bahan hitam yang keras, dan mengandung racun jahat mematikan. Tidak heran kalau kuda itu mati
seketika. "Hih...!"
Tiba-tiba saja Gagak Ireng mengebutkan tangan
kanannya ke samping begitu sekilas terdengar suara mencurigakan dari arah
samping kanannya.
Benda berbentuk mata tombak hitam yang berada
di tangannya, seketika itu juga melesat cepat bagaikan kilat.
Srak!

Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiyaaa...!"
Gagak Ireng cepat melesat begitu dari semak
yang tertembus mata tombak hitam melesat sebuah bayangan hitam ke atas pohon. Hampir bersamaan, mereka menjejakkan kakinya di atas dahan pohon yang cukup tinggi. Dan secara bersamaan pula, masing-masing menghentakkan kedua
tangannya ke depan.
Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika dua pasang telapak tangan beradu. Tampak
dua orang itu saling melentingkan tubuh ke belakang. Mereka sama-sama mendarat
ringan sekali. Kini satu sama lain berdiri saling berhadapan berjarak sekitar dua batang
tombak. "Hm...," Gagak Ireng menggumam perlahan.
Kelopak matanya sedikit menyipit memperhatikan sosok tubuh hitam yang berdiri sejauh dua
batang tombak di depannya. Sosok tubuh ramping, terbungkus baju hitam pekat yang sangat ketat. Dari bentuk tubuhnya sudah
dapat dipastikan kalau sosok itu adalah wanita. Juga dari rambut-nya yang
panjang teriap hingga hampir menutupi
wajahnya. "Siapa kau..."!" tanya Gagak Ireng, agak membentak suaranya.
"Aku Pendekar Bukit Gantang yang hendak
menuntut balas padamu!" sahut orang berbaju
serba hitam itu, tegas dan dingin suaranya.
Hampir tak ada tekanan dalam nada suaranya.
Tapi Gagak Ireng sudah bisa memastikan kalau
orang berbaju serba hitam itu adalah wanita. Dan dari segebrakan tadi, juga
sudah bisa diukur tingkat kepandaian wanita itu. Yang jelas, dia tidak bisa
dipandang sebelah mata. Dan Gagak Ireng
tahu, apa yang diinginkan wanita berjuluk Pendekar Bukit Gantang itu.
"Apa yang hendak kau tuntut dariku, Nisanak"
Di antara kita tidak ada persoalan apa pun," tanya Gagak Ireng.
Sungguh dia baru kali ini bertemu orang yang
mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang. Tapi
Gagak Ireng sudah bisa menebak maksud kemunculan wanita berbaju serba hitam ini. Terlebih lagi, setelah mengaku berjuluk
Pendekar Bukit Gantang yang pasti berasal dari Bukit Gantang, tempat tanah
kelahiran Birawa.
"Kau sudah berhutang nyawa, Gagak Ireng.
Dan ini harus dibayar dengan nyawamu juga! Malam ini, aku menagih hutang padamu!" tegas Pendekar Bukit Gantang.
"Hutang nyawa..." Ha ha ha...! Mengenalmu saja aku belum. Lalu, bagaimana bisa berhutang
nyawa padamu?" Gagak Ireng jadi tergelitik tenggorokannya mendengar tuntutan
wanita serba hitam itu. "Kau pasti tidak lupa peristiwa di Hutan Cagar
Mayit, Gagak Ireng..."
"Hm..."!" gumam Gagak Ireng tidak kaget lagi
mendengarnya, karena memang sudah menduga
demikian. Mana mungkin Gagak Ireng bisa melupakan
peristiwa yang baru saja terjadi sebulan lalu itu"
Maka, matanya semakin tajam memperhatikan
wanita berbaju serba hitam di depannya. Berbagai pertanyaan langsung memenuhi
kepalanya. Siapa
wanita ini sebenarnya..."
"Apa hubunganmu dengan Birawa, Nisanak?"
tanya Gagak Ireng, agak ditekan suaranya.
"Dia saudaraku. Dan kematiannya harus kau
balas dengan nyawamu!" sahut Pendekar Bukit
Gantang tegas. "Hm...," Gagak Ireng jadi menggumam perlahan. "Bersiaplah, Gagak Ireng...!" desis Pendekar
Bukit Gantang dingin. "Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, wanita berbaju hitam yang
mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang itu
melompat cepat menerjang. Satu pukulan keras
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan lurus mengarah ke dada.
"Hup!"
Gagak Ireng cepat-cepat mengegoskan tubuhnya menghindari serangan itu. Tapi sebelum sempat menarik tubuhnya tegak kembali, Pendekar
Bukit Gantang sudah kembali melepaskan pukulan tangan kirinya. Begitu cepat serangan susulannya, membuat Gagak Ireng jadi terperangah.
"Hih!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Gagak Ireng untuk mengelak. Cepat-cepat tangan kanannya
menghentak untuk menangkis pukulan itu. Satu
benturan kekuatan tenaga dalam terjadi, hingga
menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Gagak Ireng cepat-cepat melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali.
Pendekar Bukit Gantang juga segera melentingkan tubuh beberapa
kali ke belakang. Dan kini kembali mereka berdiri saling berhadapan.
"Edan...!" dengus Gagak Ireng merasakan nyeri
pada pergelangan tangannya, akibat benturan keras dengan wanita berbaju serba hitam tadi.
Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga
dalam wanita ini begitu dahsyat. Bahkan hampir
saja Gagak Ireng tidak kuat menahannya. Tapi da-ri benturan itu sudah membuatnya
merasa yakin kalau kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya
masih lebih tinggi.
Lain halnya yang dirasakan Pendekar Bukit
Gantang. Dari benturan tadi, seluruh tangan kirinya jadi bergetar hebat. Bahkan terasa begitu panas! Terlebih lagi, detak
jantungnya seakan-akan berhenti seketika.
Sret! "Hm...!"
*** Gagak Ireng menggeser kakinya sedikit ke kanan begitu lawan mencabut pedangnya. Agak terkejut juga hatinya melihat pedang yang berwarna kehijauan. Pedang itu sama
persis dengan milik
Birawa. Bahkan bentuk dan ukurannya begitu
sama. Gagangnya pun tak ada perbedaan sama
sekali. Seakan-akan wanita itu memegang pedang
milik Birawa. Padahal, Gagak Ireng begitu yakin kalau pedang Birawa sudah
terkubur bersama ja-sadnya di Hutan Cagar Mayit.
"Hiyaaat...!"
Bet! Cring! Gagak Ireng langsung mencabut pedang kebanggaannya begitu wanita yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang melakukan serangan
cepat menggunakan pedang berwarna kehijauan.
Secepat kilat Gagak Ireng mengebutkan pedangnya, menangkis serangan yang mengarah ke dada.
Tring! Bunga api memercik begitu dua senjata berpamor dahsyat beradu keras di depan dada Gagak
Ireng. Tapi Pendekar Bukit Gantang tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali
dilakukannya serangan-serangan gencar yang cepat dan dahsyat. Setiap kebutan
pedangnya mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Pendekar Bukit Gantang sama sekali tidak peduli kalau setiap kali pedangnya beradu dengan
pedang Gagak Ireng, tangannya selalu bergetar
hebat. Sampai sejauh ini, pedangnya masih bisa
dipertahankan hingga tidak terlepas dari genggaman. Bahkan serangan-serangan
yang dilakukan semakin bertambah dahsyat saja. Jurus demi jurus berlalu cepat.
"Ugkh!"
Pendekar Bukit Gantang mulai mengeluh. Napasnya kini terasa jadi sesak bagai tersumbat se-bongkah batu yang begitu besar
dalam dadanya. Sama sekali tidak disadari kalau asap kehitaman yang keluar dari pedang Gagak
Ireng mengandung
racun yang membuat dadanya terasa begitu sesak.
"Lepas...!" seru Gagak Ireng tiba-tiba.
Saat itu juga, Gagak Ireng mengebutkan pedangnya ke arah pedang di tangan Pendekar Bukit Gantang. Begitu cepat
serangannya, sehingga wanita berbaju serba hitam itu tak sempat lagi menarik
pedangnya yang sudah terulur ke depan.
Trang! "Akh...!"
Pendekar Bukit Gantang tidak dapat lagi menahan pedangnya yang mencelat ke udara, begitu
terbabat pedang Gagak Ireng yang begitu keras.
"Hup! Hiyaaa...!"
Pendekar Bukit Gantang cepat-cepat melenting
ke udara mengejar pedangnya yang mencelat tinggi ke angkasa. "Yeaaah...!"
Pada saat yang hampir bersamaan, Gagak Ireng
juga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat
kilat, pedangnya dibabatkan ke tangan kanan
Pendekar Bukit Gantang yang terulur hendak menangkap pedangnya.
Bet! Cras! "Akh...!" satu pekikan keras keluar dari bibir
wanita berbaju serba hitam itu.
Tebasan pedang Gagak Ireng tak dapat lagi terbendung. Tangan kanan wanita itu seketika buntung terbabat pedang berwarna hitam pekat berbentuk aneh itu. Darah kontan mengucur dari
tangan yang buntung sebatas pergelangan. Dan
sebelum wanita berbaju serba hitam itu bisa melakukan sesuatu, Gagak Ireng sudah melepaskan
satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Des! "Aaakh...!"
Tak pelak lagi, Pendekar Bukit Gantang terbanting keras ke tanah akibat terhajar tendangan keras di dada. Beberapa kali
tubuhnya bergulin-gan di tanah. Dan begitu bisa bangkit berdiri, Gagak Ireng
sudah mendarat di depannya. Tanpa dapat dicegah lagi, Gagak Ireng cepat mengebutkan pedangnya ke dada wanita berbaju
serba hitam itu. Bet! Crab! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi mengakhiri pertarungan ini. Hanya sebentar saja Pendekar Bukit Gantang mampu
bertahan berdiri,
kemudian ambruk menggelepar di tanah. Dari dadanya mengucur darah akibat sabetan pedang
yang ujungnya bercabang seperti lidah ular itu.
Pendekar Bukit Gantang mengejang beberapa
saat, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Gagak
Ireng memasukkan pedangnya ke dalam warangka
di pinggang. Kemudian kakinya melangkah menghampiri lawannya. Sedikit tubuhnya membungkuk, menyibakkan rambut yang menutupi wajah
wanita ini. Tampak seraut wajah cantik yang telah memucat, terlihat di balik
rambut panjang hitam yang meriap.
"Hm...?" gumam Gagak Ireng jadi berkerut keningnya begitu melihat wajah cantik hampir tertutup rambut panjang.
Sebentar dipandangi, kemudian diseretnya tubuh kaku itu ke dalam semak. Gagak Ireng masih
berdiri beberapa saat setelah keluar dari dalam semak untuk menyembunyikan tubuh
wanita itu. Keningnya masih berkerut dalam, seolah-olah tengah berpikir keras tentang wanita
berbaju serba hitam yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit
Gantang. "Apakah dia Minati..." Hm... Aku harus segera
menemui Rapasak."
Gagak Ireng bergegas berlari cepat meninggalkan tempat itu. Digunakannya ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya berlari, sehingga
dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
***** 4 Sementara itu Rapasak sudah tiba di rumah
bordil milik Nyi Walang. Yang dituju langsung
pondok tempat tinggal Minati yang berada di bagian belakang rumah utama. Tapi Rapasak tidak
menemukan wanita itu di dalam pondoknya. Lalu
dia kembali ke rumah utama yang berukuran besar dan megah. Pemuda itu menyeret Nyi Walang
ke dalam sebuah ruangan. Wanita gemuk itu tampak ketakutan melihat ketegangan di wajah Rapasak. "Katakan, di mana Minati...?" desak Rapasak.
"Tadi dia ada di kamarnya! Dia tidak pernah
menerima tamu lain. Sungguh...!" sahut Nyi Walang, bergetar suaranya.
"Tapi kenyataannya tidak ada."
"Mungkin sedang keluar."
"Kau jangan coba-coba mempermainkan aku,
Nyi Walang" gertak Rapasak mengancam.
"Tidak! Aku tidak pernah mempermainkan
orang. Dia memang sering keluar."
"Ke mana?"
"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah mengatakannya. Aku selalu membebaskan gadis-gadis di
sini untuk keluar jalan-jalan."
"Hhh!" Rapasak mendengus berat.
Pemuda itu melangkah mendekati jendela yang
terbuka lebar. Jendela ini memang menghadap


Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung ke bagian belakang, sehingga keadaan di belakang rumah bordil ini
tampak terlihat jelas.
Dari jendela ini dia dapat melihat pondok yang di-tempati Minati. Pondok itu
masih tampak sepi,
dan pintunya terbuka lebar. Seorang laki-laki ber-perut gendut tampak keluar
dari sebuah pondok
lain, diantar seorang wanita cantik yang tubuhnya hanya dililit kain. Wanita itu
hanya mengantarkan sampai di ambang pintu.
Rapasak memutar tubuhnya berbalik. Ditatapnya Nyi Walang dalam-dalam. Sedangkan wanita
gemuk itu hanya diam dengan tubuh masih gemetar ketakutan. Belum pernah Rapasak dilihatnya
marah seperti ini. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Rapasak tiba-tiba saja jadi
marah. Padahal sebelumnya kalau wanita yang diinginkan tidak
ada, Rapasak selalu mencari gantinya. Tapi kali ini
Rapasak begitu marah mendapati Minati tak ada
lagi di pondoknya.
"Mungkin sebentar lagi dia datang, Rapasak,"
hibur Nyi Walang mencoba menenangkan langganannya ini. "Sebaiknya kau cari saja yang lain.
Masih banyak gadis yang lebih cantik darinya."
Rapasak tidak berkata sedikit pun. Kakinya
kemudian terayun meninggalkan kamar ini. Sedangkan Nyi Walang masih tetap duduk dengan
tubuh gemetar. Brak! Keras sekali Rapasak membanting pintu, hingga Nyi Walang terlonjak terkejut. Rapasak terus mengayunkan kakinya keluar dari
rumah pelacuran itu. Seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun menghampiri
sambil menuntun kuda, begitu melihat Rapasak keluar dari rumah itu.
"Hup!"
Rapasak langsung melompat naik ke punggung
kuda putihnya dan cepat menggebahnya. Bagaikan anak panah lepas dari busur, kuda putih itu berpacu cepat meninggalkan anak
laki-laki yang terbengong tidak mengerti. Dia hanya mengangkat bahunya saja, dan kembali
bertugas menjaga ku-da-kuda tamu yang datang ke rumah ini.
Sementara Rapasak terus memacu cepat kudanya. Tidak dipedulikan lagi keadaan jalan yang masih dipadati orang. Kudanya
terus digebah semakin cepat, membuat orang-orang yang memadati jalan itu menyumpah serapah karena merasa
terganggu. Rapasak sama sekali tak mempedulikan. Kudanya malah semakin cepat dipacu melintasi jalan tanah berdebu yang membelah Kota Kadipaten Wadas Lintang ini.
"Rapasak...!"
"Hooop...!"
Rapasak langsung menarik tali kekang kudanya
begitu mendengar panggilan keras. Kuda putih itu meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki
depannya. Rapasak cepat berpaling ke arah panggilan tadi. Bergegas dia melompat turun begitu
melihat Gagak Ireng setengah berlari menghampiri. "Kakang Gagak Ireng, kenapa ada di sini...?"
tanya Rapasak begitu kakak angkatnya sudah dekat. "Aku sengaja mencarimu," sahut Gagak Ireng.
"Ada apa?" tanya Rapasak lagi.
"Ayo, ikuti aku."
Gagak Ireng segera berbalik dan melangkah cepat. Rapasak jadi berkerut keningnya, lalu bergegas mengikuti sambil menuntun
kudanya. Mereka
berjalan cepat di antara kerumunan orang yang
memadati jalan ini. Mereka berbelok ke jalan kecil, dan masuk ke dalam sebuah
perkebunan yang lebat oleh pepohonan.
"Ada apa, Kakang" Kenapa membawaku ke sini...?" tanya Rapasak jadi penasaran ingin tahu.
Gagak Ireng tidak menjawab, tapi malah terus
saja melangkah cepat menerobos kebun yang gelap ini. Rapasak terus mengikuti di sampingnya
sambil menuntun kuda yang mengikuti dari belakang. "Kau tidak menemui gadismu di sana, bukan...?" Gagak Ireng malah balik bertanya.
"Dari mana Kakang tahu...?" Rapasak terkejut
mendengar pertanyaan kakak angkatnya.
"Aku dari sana tadi. Nyi Walang mengatakan,
kau marah-marah padanya."
Rapasak hanya diam saja.
"Kau tidak akan bertemu dengannya lagi. Dia
tidak akan bisa datang lagi ke sana," lanjut Gagak
Ireng. "Kakang..."
Gagak Ireng menghentikan langkahnya. Ditatapnya Rapasak agak dalam, dengan sinar mata
sulit diartikan. Sedangkan Rapasak hanya diam
saja. Sulit diterjemahkan maksud kata-kata Gagak Ireng barusan. Rapasak hanya
dapat menduga-duga dalam hati.
"Aku hanya ingin kau memastikan saja. Mungkin dugaanku meleset," kilah Gagak Ireng seraya melanjutkan ayunan langkahnya
lagi. Rapasak hanya diam saja, lalu ikut melangkah
di samping kakak angkatnya. Berbagai macam dugaan kembali timbul di kepalanya. Tapi semua dugaan itu tak satu pun yang
terlontar menjadi pertanyaan, dan tetap tersimpan di kepalanya sampai mereka
tiba di suatu tempat yang rapat oleh pepohonan. Rapasak semakin tidak mengerti,
kenapa kakak angkatnya ini membawanya ke tempat seperti ini. Rapasak hanya memperhatikan saja kakak
angkatnya menyibakkan semak belukar. Dan dari
dalam semak itu, diseretnya sesosok tubuh berba-ju hitam yang berlumuran darah.
Keadaan begitu gelap, sehingga Rapasak tidak bisa melihat jelas wajah sosok tubuh berbaju hitam
itu. Terlebih la-gi, rambut hitam yang meriap panjang hampir
menutupi seluruh wajahnya.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Rapasak.
"Lihat saja baik-baik."
"Oh..."!"
Rapasak mendesah terkejut begitu Gagak Ireng
menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajah sosok tubuh berbaju hitam itu. Hampir tidak dipercayai penglihatannya kali
ini. Bergantian, dipandangi wajah mayat itu, lalu berpindah pada
Gagak Ireng beberapa kali. Seakan-akan masih belum dipercayai, apa yang
disaksikannya kali ini.
"Kau mengenalnya, Rapasak?" tanya Gagak
Ireng dengan suara agak ditekan.
"Bagaimana dia bisa berada di sini?" Rapasak
malah balik bertanya.
Tentu saja Rapasak kenal. Memang, wanita
berbaju serba hitam yang sudah menjadi mayat
itu adalah Minati! Wanita yang selama beberapa
hari ini selalu menjadi teman penghangat tidurnya di atas ranjang.
"Sudah kuduga, dia adalah teman wanitamu,
setelah nama Birawa disebutnya," kata Gagak
Ireng. "Kau yang membunuhnya, Kakang...?" nada
suara Rapasak terdengar seperti tidak percaya.
"Hanya ada satu pilihan. Dia atau aku yang
terbunuh," sahut Gagak Ireng, agak dalam suaranya. Rapasak hanya diam saja.
"Hhh.... Sudah kuperingatkan agar kau berhatihati, Rapasak. Kedatangannya ke sini sengaja untuk membalas kematian Birawa,"
kata Gagak Ireng lagi.
Rapasak masih tetap diam.
"Maaf. Bukan maksudku untuk...."
"Tidak, Kakang. Aku yang minta maaf padamu,"
selak Rapasak cepat. "Aku kurang hati-hati dan
terlalu cepat mempercayai kata-katanya."
Gagak Ireng tersenyum dan menepuk pundak
adik angkatnya ini. Sedangkan Rapasak hanya diam saja. Sungguh tidak disangka kalau Minati
punya maksud untuk membalas kematian Birawa
pada kakak angkatnya. Gagak Ireng memang sudah memperingatkan, tapi tidak disangkanya kalau akan begitu cepat bisa terbongkar.
"Ayo, kita pulang," ajak Gagak Ireng.
"Bagaimana dengan mayat ini?" tanya Rapasak.
"Biarkan saja. Besok pagi juga ditemukan
orang." Rapasak tidak berkata-kata lagi ketika melangkah pergi mengikuti kakak angkatnya. Sementara
malam terus merayap semakin larut. Tapi suasana di Kadipaten Wadas Lintang masih
kelihatan ramai, meskipun sudah agak berkurang. Gagak
Ireng dan Rapasak terus berjalan semakin jauh
meninggalkan tempat itu. Tanpa disadari, ada se-pasang mata yang sejak tadi
mengawasi. Dan begitu kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi, muncul seorang laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun dari balik sebatang pohon yang cukup besar. Dia
lalu melangkah cepat menghampiri jasad Minati yang tergeletak bersimbah darah.
La-ki-laki yang mengenakan baju putih keperakan itu berdiri mematung di samping
mayat wanita berbaju serba hitam itu.
"Sudah kuperingatkan..., dia bukan lawanmu.
Hhh.... Malang sekali nasibmu, Minati," ujarnya pelan.
Begitu pelannya, sehingga hampir tidak terdengar. Perlahan dia berlutut dan mengambil pedang yang tergeletak tidak jauh dari
mayat ini. Kemudian dilepaskannya warangka pedang yang ada di
pinggang Minati. Laki-laki berwajah cukup tampan itu memasukkan pedang berwarna
kehijauan ke dalam warangkanya. Dia masih berlutut memandangi tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Darah yang melumuri mayat itu sudah terlihat agak mengering.
"Maaf. Aku harus meninggalkanmu di sini. Aku
harus segera memberi tahu Kakang Gandapara
mengenai keadaanmu," katanya lagi masih dengan
suara perlahan.
Laki-laki itu bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya tubuh yang terbaring tak bernyawa lagi itu. Kemudian, dia cepat melesat
pergi tanpa berpaling lagi. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan
saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Tak ada lagi orang yang terlihat di
tempat yang lebat oleh pepohonan ini, kecuali mayat wanita berbaju serba hitam
itu saja. Dia hanya dite-mani hembusan angin dingin yang membekukan
darah di tubuhnya.
*** Jauh di sebelah utara Kadipaten Wadas Lintang, tepatnya di sebuah bukit yang berbatu, berdiri sebuah bangunan besar
dikelilingi pagar dari balok-balok kayu yang besar dan tinggi. Di dalam sebuah
ruangan berukuran cukup besar, tampak
tiga orang laki-laki tengah duduk bersila beralaskan permadani tebal berwarna biru langit. Di ruangan ini hanya ada seorang
gadis. Gadis cantik itu mengenakan baju warna biru
ketat. Tampak sebilah pedang bertengger di pung-gungnya. Di balik sabuk yang
melilit pinggangnya, juga terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan. Di
sampingnya duduk seorang pemuda tampan mengenakan baju putih tanpa lengan. Dadanya yang bidang dibiarkan terbuka lebar. Di depan mereka adalah dua orang
laki-laki berusia antara tiga puluh dan enam puluh tahun.
Salah seorang dari mereka mengenakan baju
warna putih keperakan. Dialah yang malam itu
melihat Gagak Ireng dan Rapasak di dekat mayat
Minati. Sedangkan yang seorang lagi, meskipun
umurnya sudah berkepala enam, tapi masih kelihatan gagah dan tampan. Bajunya belang-belang
seperti dari kulit binatang. Ikat kepalanya juga berwarna sama dengan baju yang
dikenakannya. "Bagaimana menurutmu, Pendekar Rajawali
Sakti" Sudah dua orang saudara kami yang tewas
tanpa kesalahan yang pasti," terdengar pelan sua-ra laki-laki berbaju kulit
binatang itu. Pandangannya begitu lurus ke bola mata pemuda berbaju rompi putih yang duduk di depannya. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu memang Pendekar Rajawali Sakti. Nama sebenarnya
Rangga. Dia tidak segera menjawab, tapi malah
melirik gadis berbaju biru di sampingnya. Gadis itu tak lain adalah Pandan
Wangi, yang dikenal
berjuluk si Kipas Maut.
"Apa benar Birawa merampok dan membunuh
penduduk Kadipaten Wadas Lintang...?" tanya
Rangga, seakan-akan ingin memastikan.
Pendekar Rajawali Sakti sudah mendengar semua cerita yang terjadi di Kadipaten Wadas Lintang. Dan semua itu diketahui dari cerita laki-laki berbaju kulit binatang yang
di kalangan rimba
persilatan dikenal sebagai Ki Gandapara.
"Tuduhan itu tidak benar, Pendekar Rajawali
Sakti. Tidak ada bukti kalau Birawa melakukan
perbuatan sekeji itu," bantah Ki Gandapara tegas.
"Aku yakin, semua ini sudah diatur Gagak
Ireng. Dia sengaja membuat kekacauan, lalu menuduhkan semuanya pada Birawa," sambung pemuda yang duduk di samping Ki Gandapara. Pemuda itu sudah dikenal Rangga. Namanya Balung
Samodra. "Yang jelas, bukan hanya Birawa sasarannya. Tapi semua pendekar di Bukit Gantang
ini." "Di antara kami dan Gagak Ireng memang tidak
ada kecocokan, dan sudah lama berselisih. Dan
sebenarnya, kami tidak ingin meneruskan perselisihan yang tidak ada gunanya ini. Tapi Gagak
Ireng selalu saja mencari gara-gara," sambung Ki Gandapara.
"Hm.... Dia sudah mengenalmu?" tanya Rangga.
"Sudah. Walaupun aku baru saja berada di sini
setelah mendengar kematian Birawa di tangannya.
Dia juga tidak tahu kalau akulah saudara tertua di antara pendekar-pendekar
Bukit Gantang ini,"
sambung Ki Gandapara. "Aku selalu pergi mengembara, dan kembali ke Bukit Gantang hanya se

Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali saja. Semua tanggung jawab di sini dipegang Balung Samodra."
Rangga tersenyum kecut. Kata-kata Ki Gandapara seakan-akan menyentuh hatinya. Pendekar
Rajawali Sakti sadar kalau selalu pergi mengemba-ra, meskipun punya tanggung
jawab lain selain ra-ja di Karang Setra. Dan hanya sesekali saja pulang ke tanah
kelahirannya. Semua tanggung jawab di
Karang Setra juga dipercayakan pada adik-adik tirinya.
"Kalau boleh aku tahu, berapa jumlah kekuatan di sini?" selak Pandan Wangi bertanya.
"Hanya enam. Dan dua sudah tewas di tangan
Gagak Ireng. Jadi, tinggal empat orang lagi yang tersisa. Dan kepandaian yang
mereka miliki, tak ada yang setingkat dengan Gagak Ireng. Itu sebabnya mereka
kuminta untuk tidak terpancing.
Kami ingin tahu, apa tujuan Gagak Ireng sebenarnya di Kadipaten Wadas Lintang
ini," kembali Ki Gandapara menjelaskan dengan gamblang.
"Aku sendiri masih ragu, apakah bisa menandinginya atau tidak. Itu sebabnya aku cepat-cepat menghubungi kalian, karena
wilayah Kadipaten
Wadas Lintang ini masih wilayah Kerajaan Karang Setra juga. Dan tentunya, kau
juga tidak ingin wi-layahmu terusik, Pendekar Rajawali Sakti," sambung Ki Gandapara.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Meskipun Ki Gandapara sudah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Raja Karang Setra, tapi tidak pernah memanggil dengan
sebutan gusti seperti
pada umumnya. Ki Gandapara selalu menganggap
Rangga adalah seorang pendekar, sama seperti dirinya. Karena itu, dia tidak lagi
merasa sungkan hanya menyebut nama saja.
"Siapa sebenarnya Gagak Ireng itu, Balung Samodra?" tanya Pandan Wangi.
Jelas sekali kalau nada pertanyaan si Kipas
Maut itu mengandung rasa penasaran. Dan ini cepat diketahui Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sak-ti hanya diam saja. Matanya
hanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang kelihatan tidak peduli.
Pandan Wangi malah menatap Balung Samodra
dalam-dalam. "Tadinya dia hanya kepala rombongan perampok kecil di Kadipaten Wadas Lintang ini. Kemudian mendiang Eyang Guru kami berhasil mengusirnya keluar dari Kadipaten Wadas Lintang. Namun dia masih juga meneruskan pekerjaan terkutuknya. Bahkan sampai malang-melintang dari satu daerah ke daerah lain karena memang tidak
punya tempat tinggal tetap. Dia dikenal berjuluk Penyamun Bukit Tengkorak.
Sarangnya memang
di sekitar Bukit Tengkorak, tidak jauh letaknya dari Bukit Gantang ini, dia
menjadi orang kedua di Kadipaten Wadas Lintang. Itu juga berkat akal li-ciknya
yang mengelabui pembesar kadipaten. Gagak Ireng menimbulkan kekacauan di seluruh Wilayah Kadipaten Wadas Lintang, lalu menuduh Birawa sebagai pelakunya. Gusti Adipati Bayaga
sendirilah yang mengangkatnya menjadi Kepala
Pasukan Khusus Kadipaten. Dan itu merupakan
jabatan penting yang membuatnya menjadi orang
kuat kedua di kadipaten ini," jelas Balung Samodra, gamblang.
"Licik...!" desis Pandan Wangi.
"Itu memang sudah wataknya, Pandan Wangi.
Dia selalu menggunakan segala cara untuk mewujudkan keinginannya," kata Balung Samodra lagi.
"Aku yakin, bukan jabatan itu yang menjadi tujuan utamanya. Pasti ada suatu tujuan tertentu
yang belum terlaksana."
"Dan dia terus saja akan mencari persoalan
dengan mengkambinghitamkan kami untuk tujuan busuknya," sambung Ki Gandapara.
"Apakah Adipati Bayaga sendiri tidak tahu siapa sebenarnya Gagak Ireng?" tanya Pandan Wangi
lagi. "Aku tidak tahu tentang itu, Pandan Wangi,"
sahut Ki Gandapara seraya melirik Balung Samodra. "Masalahnya, selama ini Gagak Ireng tidak
pernah menjarah ke Kadipaten Wadas Lintang.
Aku sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja dia datang ke sini. Bahkan
sekarang bisa menjadi
orang kedua di Kadipaten Wadas Lintang ini"
"Yang jelas, Adipati Bayaga sudah bersumpah
untuk memberi jabatan Kepala Pasukan Khusus
Kadipaten pada siapa saja yang berhasil menghentikan kerusuhan di Kadipaten
Wadas Lintang,"
sambung Balung Samodra.
"Apa kerusuhan itu langsung berhenti setelah
Birawa tewas?" Rangga jadi ikut bertanya.
"Ya," sahut Balung Samodra.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
"Ini mencurigakan sekali, Kakang," ujar Pandan
Wangi seraya menatap Rangga yang duduk di
sampingnya. Sedangkan Rangga hanya diam saja.
"Kadipaten Wadas Lintang sangat luas. Rasanya memang tidak mungkin kalau hanya Birawa
sendiri yang menjarah seluruh kadipaten itu dalam waktu kurang dari satu bulan. Lagi pula, kalau memang Birawa yang melakukan,
di mana harta hasil rampokannya disimpan...?" Pandan
Wangi seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Itulah yang menjadi beban pikiran kami, Pandan Wangi," sambut Balung Samodra.
*** Sementara itu pada waktu yang sama, Gagak
Ireng juga tengah berbincang-bincang dengan Rapasak di kediamannya. Kemunculan Minati yang
hendak menuntut balas dengan cara mendekati
Rapasak membuat Gagak Ireng menjadi gundah,
meskipun sebelumnya sudah diduga.
"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa dia
memakai nama Pendekar Bukit Gantang, Kakang...?" ujar Rapasak seperti bertanya pada diri sendiri.
Gagak Ireng memang sudah menceritakan semua tentang kejadian malam itu kepada Rapasak,
sehingga mengakibatkan tewasnya Minati. Juga
tentang maksud kedatangan Minati ke Kota Kadipaten Wadas Lintang ini. Bahkan untuk menyembunyikan diri yang sebenarnya, Minati sengaja
menggunakan nama Pendekar Bukit Gantang. Tapi, rupanya kepandaian yang dimiliki wanita itu memang jauh di bawah Gagak
Ireng. Sehingga gadis itu dapat dikalahkan dengan mudah.
"Nama apa pun yang dipakai, semua akibat ini
sudah kupikirkan. Dan kita harus berhati-hati
mulai sekarang ini. Aku yakin, bukan hanya Mina-ti saja yang hendak membalas
kematian Birawa.
Tapi masih banyak yang lainnya," tegas Gagak
Ireng. "Terutama sekali kau, Rapasak. Aku tidak ingin kejadian ini terulang
lagi. Kau hampir saja mencelakakan kita semua."
"Maafkan aku, Kakang," ucap Rapasak menyesal. "Sudahlah. Semua yang sudah terjadi tidak perlu disesali lagi. Yang penting sekarang lebih berhati-hatilah. Jangan mudah
percaya begitu saja pada orang-orang yang datang dari Bukit Gantang. Kau
mengerti, Rapasak...?"
Rapasak menganggukkan kepala. Memang ada
penyesalan di hatinya atas kematian Minati. Padahal dia sudah menaruh suatu harapan besar.
Tapi kenyataannya sungguh pahit. Dan Rapasak
harus menerima kenyataan ini meskipun sakit hati rasanya. Baru kali ini pemuda itu menaruh harapan besar pada seorang wanita.
Tapi sebelum harapannya berkembang, wanita yang mulai dicintainya sudah keburu tewas. Bahkan tewas di tangan kakak angkatnya sendiri.
"Kakang tahu siapa sebenarnya yang dijuluki
Pendekar Bukit Gantang?" tanya Rapasak
"Aku pernah mendengar namanya, tapi belum
pernah bertemu langsung. Dia dianggap pelindung jago-jago Bukit Gantang," jelas
Gagak Ireng. "Apakah kepandaiannya tinggi, Kakang?"
"Aku tidak tahu pasti. Tapi dia punya sahabat
kental yang sangat tangguh dan digdaya."
"Siapa?"
"Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti..."!" Rapasak terkejut setengah mati mendengar nama
Pendekar Rajawali
Sakti disebut. Sebuah nama yang tidak asing lagi dan sangat disegani di kalangan
persilatan. Sampai saat ini, tak ada seorang pun yang sanggup
Pedang Penakluk Iblis 3 Dewi Ular 66 Misteri Anak Selir Pendekar Sakti 12

Cari Blog Ini