Ceritasilat Novel Online

Harga Sebuah Kepala 2

Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Sebuah Kepala Bagian 2


Slap! Plak! "Ikh..."!"
Pranggala jadi tersentak kaget, karena tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih melesat begitu cepat memotong arus serangannya. Dan seketika itu juga, terasa ada sesuatu yang sangat keras menghantam kakinya. Akibatnya, dia jadi terpekik kaget, dan cepat-cepat melenting ke belakang. Tiga kali Pranggala melakukan putaran, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi mendelik lebar. Ternyata sekitar dua batang tombak di depannya sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, tengah memondong tubuh Dewi Manik yang tampaknya sudah tidak sadarkan diri lagi.
Pemuda berwajah tampan bertubuh tegap berotot dan berbaju putih tanpa lengan itu meletakkan tubuh Dewi Manik di atas tanah yang cukup teduh dan aman. Kemudian dia berdiri lagi, menghadapi Pranggala. Namun, pandangannya tertuju pada Ki Jalaksana yang masih tergeletak dengan darah mengucur cukup deras dari perutnya yang sobek. Pemuda itu menghampiri laki-laki berusia setengah baya ini. Sebentar diperiksanya laki-laki itu, lalu diberikannya beberapa totokan di sekitar perut yang sobek. Seketika itu juga darah berhenti mengalir keluar. Dan, pemuda itu kembali berdiri tegak menghadapi Pranggala.
"Setan! Siapa kau..."!" bentak Pranggala gu-sar.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 108. Harga Sebuah Kepala Bag. 5
7. Juli 2014 um 09:06
5 ? "Kau yang membunuh mereka semua...?" pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya, dengan suara terdengar agak dingin.
"Merekalah yang cari mampus sendiri!" sahut Pranggala, ketus.
"Hebat sekali kepandaianmu, Kisanak Tapi sayang, digunakan untuk membantai sesamamu."
"Phuih! Apa urusanmu, heh..."! Atau kau juga tertarik oleh hadiah yang disediakan Ki Tunggul Santak untuk membawa kepalaku..." Kalau memang itu kemauanmu, ayo maju saja sekalian. Biar kukirim kau sekalian ke neraka!" dengus Pranggala lantang.
Tapi, pemuda berwajah tampan dan berkulit putih bersih yang terbungkus baju rompi putih itu hanya diam saja. Hanya saja matanya memandang dengan sorot mata tajam, menembus langsung ke bola mata Pranggala. Dan perlahan kakinya melangkah beberapa tindak ke depan, hingga jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi. Sementara, Pranggala sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya juga memancar begitu tajam, membalas tatapan mata pemuda berbaju rompi putih yang sama sekali tidak dikenalnya ini
Belum lagi mereka ada yang membuka suara terdengar suara langkah kaki-kaki kuda menuju tempat ini. Dan tidak lama kemudian terlihat seorang gadis cantik menunggang kuda putih sambil menuntun seekor kuda hitam yang melangkah belakang, tanpa penunggang. Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kuda. Langsung dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung. Gadis berwajah cantik berbaju biru muda itu lalu berdiri di sebelah kanan pemuda berbaju rompi putih ini. Pedangnya yang bergagang kepala naga berwarna hitam tampak menyembul di balik punggung. Sementara sebuah kipas putih keperakan tampak terselip di balik ikat pinggangnya. Saat itu, Pranggala hanya memperhatikan saja dengan sinar mata masih menyorot tajam menusuk.
"Kau urus mereka yang masih hidup, Pandan," ujar pemuda itu tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Berapa orang?" tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan ini
Memang, gadis cantik itu adalah Pandan Wangi. Di kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbajui rompi putih yang menyelamatkan nyawa Dewi Manik ini tidak lain dari Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Dua. Satu wanita, dan satu lagi laki-laki yang berada di bawah pohon itu," sahut Rangga sambil menunjuk Ki Jalaksana.
Tanpa bertanya lagi, Pandan Wangi bergegas menghampiri Dewi Manik, satu-satunya wanita yang ada di tempat ini. Sebentar diperiksanya lu-ka-luka yang diderita Dewi Manik. Dan wanita itu sempat mengatakan sesuatu pada si Kipas Maut. Setelah membawa Dewi Manik ke tempat yang lebih baik, Pandan Wangi bergegas menghampiri Ki Jalaksana. Keningnya seketika berkerut melihat luka dan keadaan tubuh laki-laki berusia setengah baya ini.
"Aku tidak tahu siapa dirimu, Kisanak. Tapi aku tahu, kaulah yang membantai mereka semua. Hhh...! Tindakanmu sungguh kejam. Tidak seha-rusnya mereka semua dibunuh," kata Rangga me-nyesali tindakan Pranggala yang membantai habis setiap lawannya.
"Hhh! Sudah kuduga.... Kau pasti sama seperti yang lain. Gampang tergiur oleh hadiah yang di-janjikan Ki Tunggul Santak. Baik! Aku tidak bakal menyingkir. Bahkan ingin bertemu langsung de-ngannya. Akan kulumat dia sampai habis, tidak bersisa lagi. Dan kalau kau mau mencoba, silakan. Dengan senang hati akan kulayani," kata Pranggala, agak datar nada suaranya.
"Sadarlah, Kisanak. Tidak ada gunanya meng-umbar nafsu dan amarah dengan menyebarkan maut di mana-mana. Semua yang kau lakukan hanya menyulitkan dirimu saja. Percayalah. Semua persoalan pasti bisa diselesaikan secara baik-baik. Tidak harus dengan pertumpahan darah," kata Rangga mencoba lembut. "Sedangkan untuk mengetahui siapa yang salah dan siapa yang benar, nanti akar diketahui. Dan sebaiknya, hentikanlah semua pembantaian ini. Tidak ada gunanya lagi bagimu terus-menerus membantai sesama manusia."
"Sudah! Aku tidak perlu nasihatmu...!" bentak Pranggala sengit.
"Aku tidak menasihatimu, Kisanak. Aku ha-nya...."
"Cukup...!"
Rangga langsung berhenti, begitu Pranggala membentaknya dengan suara keras menggelegar. Tampak raut wajah pemuda itu jadi memerah. Sedangkan kedua bola matanya berapi-api, menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam, saling berpandangan dengan sorot mata tajam. Seakan-akan, tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.
"Aku tidak mengenalmu, Kisanak. Sebaiknya! jangan ikut campur urusanku. Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya segeralah menyingkir dari sini. Daripada nanti kepalamu kupecahkan," terasa begitu dingin nada suara Pranggala.
Rangga jadi tercenung juga mendengar katakata bernada ancaman itu. Dan dari sorot matanya, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pranggala tidak main-main. Sementara Pandan Wangi yang sejak tadi mendengar percakapan itu, sudah langsung gemas. Dia bangkit berdiri dan hendak meninggalkan Ki Jalaksana. Tapi belum juga kakinya terayun, Ki Jalaksana sudah mencegahnya.
"Sebaiknya kalian pergi saja. Dia bukan manusia lagi. Kalian hanya akan mengantarkan nyawa saja berurusan dengannya," lemah sekali suara Ki Jalaksana.
Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga, mendengar kata-kata orang tua itu. Sebentar dipandanginya wajah Ki Jalaksana yang semakin kelihatan memucat. Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang masih berdiri berhadapan dengan Pranggala. Sementara itu, terlihat Pranggala sudah menyilangkan pedang kembali di depan dada. Sorot matanya sangat tajam, seakan hendak merobek jantung melalui kedua bola mata Rangga yang juga menatap tidak kalah tajam.
"Turuti saja kata-kataku, Nisanak. Ajak temanmu pergi dari sini," ujar Ki Jalaksana lagi sambil terbatuk kecil.
Darah kembali keluar dari rongga mulut laki-laki setengah baya itu. Sementara Pandan Wangi kelihatan jadi bimbang. Tapi begitu mengalihkan pandangan pada Ki Jalaksana lagi, mendadak saja terdengar teriakan keras menggelegar yang begitu mengejutkan. Cepat Pandan Wangi memalingkan wajahnya. Saat itu tampak Pranggala sudah melesat menyerang Rangga dengan kecepatan tinggi. Pedangnya dikebutkan begitu cepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wut! "Haps...!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala Pendekar Rajawali Sakti bisa menghindari serangan pedang Pranggala. Lalu cepat kakinya ditarik belakang dua langkah. Namun pada saat yang bersamaan, Pranggala sudah memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan saat itu juga, kaki kanannya melayang deras mengarah ke dada.
"Haiiit..!"
Rangga agak terkejut juga mendapatkan serangan yang demikian cepat dan beruntun ini. Maka cepat tubuhnya dimiringkan ke kiri, menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan Pranggala. Lalu begitu cepat tangan kanannya dihentakkan, tepat menghantam tulang kering kaki Pranggala yang menjulur lurus, lewat di samping tubuhnya. Begitu cepat sekali sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Plak! "Ikh...!"
Pranggala jadi terpekik kecil. Cepat-cepat kakinya ditarik, dan melompat ke belakang. Untung saja Rangga tidak mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya. Sehingga, Pranggala hanya meringis sedikit merasakan nyeri pada tulang kakinya.
Pranggala tadi memang terlalu menganggap enteng pemuda berbaju rompi putih ini, hingga sempat kecolongan. Dan untung saja pukulan Pendekar Rajawali Sakti barusan tidak disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga tulang kakinya tidak sampai remuk. Saat itu juga, Pranggala cepat menyadari kalau lawan yang dihadapinya sekarang ini tidak seperti lawan-lawannya terdahulu. Nyatanya, pemuda berbaju rompi putih itu memiliki kemampuan tinggi. Ini bisa dilihat dari gerakannya yang begitu cepat, saat menghindari serangannya tadi. Bahkan Pranggala sama sekali tidak bisa melihat gerakan tangan pemuda berbaju rompi putih itu, yang begitu cepat menghantam tulang kering kaki kanannya tadi.
? *** ? "Phuih! Rupanya kau punya kepandaian juga, heh..."!" dengus Pranggala seraya menyemburkan ludah dengan sengit.
Rangga hanya diam saja. Namun matanya terus memperhatikan gerakan kaki Pranggala yang menggeser ke kanan menyusuri tanah. Sedangkan pedang pemuda itu bergerak-gerak melintang di depan dada. Sementara, Pandan Wangi yang di samping Ki Jalaksana tanpa berkedip memperhatikan kedua pemuda yang berdiri saling berhadapan itu. Sedangkan Ki Jalaksana yang masih baring dengan wajah semakin memucat beberapa kali terbatuk disertai semburan darah dari mulutnya
"Nisanak... Dengarkan aku.... Ugkh!"
Perhatian Pandan Wangi jadi beralih. Ditatapnya Ki Jalaksana yang berusaha bangkit, tapi kembali roboh dan menggeletak di tanah. Darah kental berwarna kehitaman menyembur dari mulutnya. Cepat-cepat Pandan Wangi mendekati, dan berlutut di sampingnya.
"Nisanak dia bernama Pranggala. Dia sudah banyak membunuh orang. Tidak sedikit pendekar tangguh mati di tangannya. Sebaiknya, cepatlah pergi. Dan jangan berurusan dengannya. Kau akan mati, Nisanak..," kata Ki Jalaksana terbata-bata.
"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Pandan Wangi.
Saat itu, pertarungan antara Pranggala dan Pendekar Rajawali Sakti sudah berlangsung sengit. Tapi, Pandan Wangi tidak mempunyai kesempata untuk memperhatikan. Karena, perhatiannya kini tercurah penuh pada Ki Jalaksana yang semakin memucat wajahnya. Bahkan tarikan napasnya juga sudah tersendat-sendat. Beberapa kali Ki Jalaksa terbatuk dan menyemburkan darah kental berwarna agak kehitaman.
'Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Tapi...," kata-kata Ki jalaksana terputus. Kembali laki-laki setengah baya itu terbatuk beberapa kali dengan darah terus berhamburan dari mulutnya.
'Tapi kenapa, Ki?" tanya Pandan Wangi men-desak.
"Ki Tunggul Santak..."
"Siapa...?"
"Ki Tunggul Santak. Dialah yang menyediakan hadiah tiga ribu kepeng emas untuk kepala anak itu.... Ugkh.,.!"
"Ki...."
Pandan Wangi mengguncang bahu Ki Jalaksana. Tapi, laki-laki berusia setengah baya itu sudah mengejang, lalu terkulai tidak bernyawa lagi. Memang sangat parah luka yang dideritanya. Pandan Wangi hanya bisa menarik napas sedikit. Dan perhatiannya langsung beralih pada Dewi Manik. Bergegas dihampirinya wanita itu. Tapi gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu juga jadi terperanjat karena Dewi Manik juga sudah tidak bernyawa lagi.
"Hm.... Aku harus segera memberi tahu Kakang Rangga. Aku yakin, pemuda itu sangat berbahaya," gumam Pandan Wangi.
Lalu si Kipas Maut itu segera melangkah cepat menghampiri Rangga yang masih bertarung sengit
melawan Pranggala. Tapi ayunan kakinya jadi ter henti, begitu melihat pertarungan kedua pemuda itu sepertinya tidak mungkin dihentikan begitu saja. Bahkan kalau Pendekar Rajawali Sakti dipanggil, bisa berbahaya akibatnya. Bisa-bisa pemuda berbaju rompi putih ini akan celaka. Kini Panda Wangi jadi kebingungan sendiri, tidak tahu bagaimana cara menghentikan pertarungan. Dan dia jadi berdiri mematung memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun juga.
Sementara pertarungan antara Pranggala melawan Pendekar Rajawali Sakti terus berlangsung semakin sengit. Entah sudah berapa jurus berlalu tapi tampaknya tidak akan cepat-cepat berakhir. Kini mereka sudah sama-sama saling melontarkan serangan-serangan dahsyat yang sangat berbahaya. Sedikit saja kelengahan, akan sangat berbahaya akibatnya.
Saat itu, terlihat Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, hingga melewati kepala lawannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, tubuhnya menukik dengan kedua kaki berputar cepat mengarah ke kepala Pranggala. Begitu cepatnya gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti, membuat Pranggala jadi tersentak.
"Haiiit..!"
Wut! Tapi Pranggala bisa cepat menguasai keadaan. Maka bagai kilat pedangnya dikebutkan ke atas kepala, hingga membuat Rangga terpaksa harus menarik kakinya kembali. Dan saat itu juga, tubuhnya terbalik, hingga kepalanya berada di bawah. Tepat di saat jangkauan tangannya berada di depan dada, secepat kilat tangan kanannya dihentakkan, melepaskan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala yang baru saja bisa menghindari terjangan kakinya, jadi terbeliak kaget setengah mati. Dan pemuda itu berusaha berkelit menghindarinya, tapi tanpa diduga Rangga merangkum jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya, tangannya bisa berputar begitu cepat mengibas mengikuti gerakan tubuh Pranggala. Apalagi, gerakan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak diduga. Hingga....
Diegkh! "Akh...!"
? *** ? Begitu keras kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala terpental sampai sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, membuat pemuda itu kembali terpekik. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Phuih!"
Sambil menyemburkan ludah dengan sengit, Pranggala kembali bangkit berdiri. Dadanya terasa begitu sesak. Dan napasnya juga jadi tersengal, bagai ada sebongkah batu yang mengganjal rongga dadanya. Sedikit kepalanya menggeleng, mencoba mengusir rasa pening di kepala, yang membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.
Belum pernah ada seorang pun yang membuatku jatuh. Hhh! Bisik dalam hari Pranggala.
Sorot mata Pranggala terlihat begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, sejauh dua batang tombak.
"Kepandaianmu luar biasa, Kisanak. Tapi sayang, aku tidak ada waktu untuk terus meladenimu. Masih ada urusanku yang belum selesai. Kelak, akan bertemu lagi," kata Pranggala masih dengar suara yang terdengar dingin.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam sedikit saja, melihat Pranggala memutar tubuhnya. Dan dengar kecepatan bagai kilat, pemuda itu melesat pergi. Begitu tinggi tingkat ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah le-nyapnya Pranggala.
Pendekar Rajawali Sakti baru memutar tubuhnya, begitu mendengar suara langkah-langkah kaki yang begitu ringan menghampiri. Ternyata itu langkah Pandan Wangi. Gadis itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kenapa dia kau biarkan pergi, Kakang" Pada-hal, kau bisa saja membunuhnya tadi," kata Pandan Wangi langsung, seperti menyesali sikap Rangga yang membiarkan Pranggala pergi begitu saja.
'Tidak ada alasan untuk membunuhnya, Pandan," sahut Rangga kalem.
'Tidak ada alasan katamu...?" Pandan Wangi jadi mendelik. "Lihat mayat-mayat ini! Dialah yang membantainya, Kakang. Apa alasan itu belum cukup...?"
"Aku tidak tahu siapa mereka semua, Pandan."
"Aku tahu," selak Pandan Wangi cepat.
?Kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya wajah cantik itu dalam-dalam. Dan yang dipandangi malah membalasnya dengan sorot mata tajam.
Untuk beberapa saat, mereka terdiam saling berpandangan.
"Kalau pemuda tadi namanya Pranggala. Sudah banyak yang mati di tangannya. Bahkan tidak sedikit pendekar yang mati. Dan mereka ini...," Pandan Wangi penunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan termasuk mayat Dewi Manik dan Ki Jalaksana. "Mereka semua hendak menangkap pemuda itu, Kakang."
"Dari mana kau tahu semua itu, Pandan?" tanya Rangga agak heran juga.
"Laki-laki itu yang mengatakannya padaku se-belum dia mati," sahut Pandan Wangi seraya me-nunjuk mayat Ki Jalaksana.
Rangga hanya melirik saja sedikit. Walaupun tidak memeriksa, dia juga sudah tahu kalau orang yang ditunjuk Pandan Wangi sudah tidak bernyawa lagi.
"Juga wanita itu, Kakang. Sebelum meninggal, dia sempat mengatakan kalau Pranggala itu iblis pembunuh yang harus dilenyapkan. Bahkan akan membunuh siapa saja yang dijumpainya. Apalagi, kepandaiannya juga sangat tinggi. Begitu berba-hayanya, sampai-sampai Ki Tunggul Santak me-ngeluarkan hadiah tiga ribu kepeng emas untuk kepalanya," sambung Pandan Wangi, menjelaskan lagi.
"Siapa itu Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga jadi semakin heran.
"Aku sendiri tidak tahu. Mereka tidak sempat mengatakan lebih jelas lagi. Luka yang mereka derita sangat parah, Kakang. Dan aku tidak bisa lagi menolong," sahut Pandan Wangi. 'Tapi wanita itu sempat mengatakan, jika kita mau bertemu Ki Tunggul Santak, tempat tinggalnya tidak jauh dari sini. Dan katanya lagi, sekarang Ki Tunggul Santak sedang berada di sekitar Desa Salak Rejeng. Hanya saja tepatnya tidak tahu."
"Desa Salak Rejeng ada di kaki Gunung Puting ini," terdengar bergumam suara Rangga.
"Sebaiknya, kita ke sana saja, Kakang," kata Pandan Wangi cepat memberi saran.
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Mencari tahu, siapa sebenarnya Pranggala itu. Kalau memang sangat berbahaya, rasanya tidak mungkin kita berdiam diri saja, Kakang. Dan kalau kupikir, mustahil Ki Tunggul Santak sudi mengeluarkan hadiah begitu besar untuk kepala Pranggala. Jadi jelas, pemuda itu memang berbahaya," kata Pandan Wangi lagi.
Rangga jadi terdiam merenung. Kakinya lalu terayun menghampiri dua ekor kuda yang berada tidak seberapa jauh dari tempat mereka berdua berdiri. Pandan Wangi memandangi sebentar, lalu bergegas menyusul. Mereka memegangi tali kekang kuda masing-masing, tapi belum juga beranjak pergi dari tempat ini. Sementara angin yang bertiup perlahan, mulai menyebarkan bau anyir darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi di sekitar tempat ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti merayapi tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih itu.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan dan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitamnya yang dikenal bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi bergegas mengikuti, naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Tapi, mereka belum juga menggebahnya. Entah apa yang ada dalam benak Rangga, hingga seperti merenung memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan menyebarkan bau anyir darah.
'Tidak lama lagi malam akan tiba, Kakang. Kau mau bermalam di sini?" Pandan Wangi mengingatkan.
"Hanya Desa Salak Rejeng yang terdekat dari sini, Pandan," kata Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
'Tidak ada salahnya kita ke sana, Kakang."
Rangga hanya tersenyum saja sedikit, kemudian mendecak. Tali kekang kudanya segera dihentakkan. Maka kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melangkah perlahan-lahan. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari samping kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan, meninggalkan tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih tidak bernyawa lagi.
Saat itu, matahari memang sudah condong ke arah barat. Cahayanya tidak lagi terik. Dan angin yang bertiup sudah mulai terasa dingin. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terus menjalankan kuda perlahan-lahan menuju Desa Salak Rejeng yang tidak jauh lagi jaraknya.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 108. Harga Sebuah Kepala Bag. 6
7. Juli 2014 um 09:07
6 ? Tidak terlalu sulit untuk mencari tempat tinggal Ki Tunggul Santak. Dengan pengumuman hadiah tiga ribu kepeng emas bagi siapa saja yang berhasil membawa kepala Pranggala kepadanya yang disebarkan, semua orang di Desa Salak Rejeng ini sudah mengenal Ki Tunggul Santak. Bahkan hanya sekali saja Rangga bertanya, maka orang yang ditanya langsung mengantarkan sampai ke depan rumahnya.
Rumah Ki Tunggul Santak memang tidak begitu besar, tapi memiliki halaman cukup luas. Dan sebenarnya rumah itu hanya disewa Ki Tunggul Santak, selama belum ada seorang pun yang mampu membawa kepala Pranggala padanya. Bukan hanya Rangga saja yang merasa heran, karena rumah itu dijaga ketat puluhan anak-anak muda bersenjata pedang dan golok. Tapi, Pandan Wangi juga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah dari mana Ki Tunggul Santak bisa mengumpulkan mereka. Padahal, muridnya sendiri sudah tinggal sedikit. Tapi sekarang, rumah sewa yang kini menjadi tempat tinggal sementara dijaga ketat. Entah berapa puluh orang yang menjaga di sekeliling rumah itu.
Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, begitu tiba di depan pintu pagar bambu yang mengelilingi rumah kecil dan seder-hana bentuknya itu. Terlihat tiga orang anak muda yang semuanya menyandang pedang di pinggang menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Pandan Wangi juga segera turun dari punggung kudanya. Mereka menunggu tiga orang murid Ki Tunggul Santak itu sampai dekat.
"Maaf, apakah ini tempat tinggal Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga langsung, setelah memberi salam.
"Benar," sahut salah seorang anak muda itu. "Kalian siapa, dan apa keperluannya hingga ingin bertemu Ki Tunggul...?"
"Kami hanya dua orang pengembara, yang mendengar kalau Ki Tunggul Santak menyediakan hadiah besar bagi siapa saja yang bisa membawa kepala Pranggala. Kami berdua merasa tertarik, dan ingin meminta keterangan sebelum mencari orang yang kepalanya disayembarakan itu," sahut Rangga beralasan.
"Ikut aku," kata pemuda itu lagi, seraya ber-balik.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk, lalu melangkah mengikuti. Sementara Pandan Wangi juga ikut melangkah di samping kanannya. Tapi begitu mereka sampai di tengah halaman, dua orang pemuda mencegatnya.
"Biar kami yang mengurus kuda-kuda kalian," pinta salah seorang.
Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang kudanya pada salah seorang dari mereka. Pandan Wangi juga menyerahkan kudanya. Kinimereka kembali melangkah mengikuti pemuda yang sejak tadi terus berjalan di depan. Kemudian pendekar muda dari Karang Setra itu kemudian disuruh menunggu, setelah tiba di beranda depan rumah yang kecil dan sederhana ini. Sementara, pemuda yang membawanya sudah menghilang ke dalam. Tapi tidak berapa lama, dia muncul lagi bersama seorang laki-laki tua berjubah putih bersih, dengan sebilah pedang tergenggam di tangan kiri. Sarung pedang itu terlihat indah berwarna hitam yang berkilat.
"Silakan duduk," ucap laki-laki tua yang tidak lain Ki Tunggul Santak, dengan senyum ramah tersungging di bibirnya.
'Terima kasih," ucap Rangga.
Mereka bertiga kemudian duduk di lantai beranda depan yang beralaskan selembar tikar lusuh. Sementara, anak muda yang mengantarkan kedua pendekar itu sudah menghilang lagi entah ke mana.
"Kudengar kalian ingin bertemu denganku...?" tanya Ki Tunggul Santak masih ramah sikapnya.
"Benar," sahut Rangga. "Kami ingin bertemu orang yang bernama Ki Tunggul Santak."
"Akulah Ki Tunggul Santak."
"Ooo...."
"Dan kalian dua orang pendekar yang ingin mengadu nasib?" tanya Ki Tunggul Santak ingin memastikan.
"Benar, Ki," sahut Rangga lagi seraya meng-angguk sedikit.
"Ketahuilah. Orang yang akan kalian kejar memiliki kepandaian tinggi sekali dan sukar ditandingi. Sudah banyak pendekar seperti kalian, baik muda maupun tua yang mencoba mengadu nasib. Tapi sampai sekarang, yang kudengar hanya kematian mereka saja. Tidak seorang pun yang sanggup menandingi kesaktian Pranggala. Maaf, bukannya ingin menggentarkan dan menghilangkan semangat kalian berdua. Paling tidak kalian harus siap, kalau orang yang akan dihadapi tidak sembarangan," kata Ki Tunggul Santak langsung menjelaskan.
"Kami tahu, Ki," ujar Rangga kembali tersenyum sedikit.
"Ya, aku percaya. Kalian pasti sudah mendengar banyak dari orang-orang. Aku memang me-nyebar pengumuman itu, tidak hanya di Desa Salak Rejeng ini. Tapi di seluruh desa yang ada di sekitar kaki Gunung Puting ini."
"Mudah-mudahan nasib kami baik, Ki," Ujar Rangga.
"Bukan hanya pada kalian berdua saja. Setiap orang yang datang ke sini, selalu kuharapkan bisa datang kembali dengan membawa berita menggembirakan. Tapi sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa membawa kepala Pranggala ke sini," kata Ki Tunggul Santak.
Rangga hanya diam saja. Bisa dirasakan ada-nya keputusasaan dalam nada suara laki-laki tua ini. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi hanya diam saja mendengarkan semua percakapan itu, tanpa sedikit pun menyelak. Juga bisa dirasakannya kalau kata-kata Ki Tunggul Santak tadi memang mengandung nada keputusasaan. Tapi diam-diam, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pandan Wangi. Hanya saja gadis itu seperti tidak mau mengutarakannya. Dan hanya lirikan matanya saja yang beberapa kali hinggap di wajah Pendekar Rajawali Sakti.
? *** ? Kesempatan Pandan Wangi untuk mengutar-kan ganjalan yang ada dalam hatinya, memang terbuka juga. Itu terjadi setelah dia dan Rangga meninggalkan rumah yang disewa Ki Tunggul Santak. Mereka tidak menunggang kuda keluar dari halaman rumah yang dijaga sangat ketat itu. Dan kuda-kuda itu hanya dituntun, mengikuti dari belakang. Kedua pendekar muda dari Karang Setra ini berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Salak Rejeng ini.
"Kakang, apa kau tidak merasakan adanya kelainan pada Ki Tunggul Santak?" Pandan Wangi baru membuka suara setelah berada cukup jauh dari rumah yang disewa Ki Tunggul Santak.
"Maksudmu...?" tanya Rangga meminta penje-lasan.??
"Aku merasakan ada sesuatu yang tersembunyi dalam suaranya," sahut Pandan Wangi, terdengar agak ragu-ragu.?
Rangga langsung menghentikan ayunan lang-kahnya, dan kontan menatap gadis di sebelahnya dalam-dalam. Dan yang dipandangi balas menatap dengan sorot mata begitu sukar diartikan.
"Kau memperhatikannya juga, Pandan...?" ujar Rangga bernada bertanya.
"Ya. Dia seperti putus asa, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Hm.... Kalau itu, aku juga merasakannya sejak pertama kali bertemu," kata Rangga sedikit menggumam.
'Tapi ada sesuatu yang sejak tadi menjadi beban pikiranku, Kakang," tambah Pandan Wangi, kembali terdengar agak ragu-ragu.
Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Kembali kakinya melangkah perlahan-lahan. Se-mentara, Pandan Wangi mengikuti di sebelah kirinya.
"Rasanya sukar dipercaya kalau tidak ada sesuatu antara Pranggala dengan dia, sehingga Ki Tunggul Santak sampai mau menyediakan hadiah begitu besar hanya untuk sebuah kepala saja. Sedangkan kita, tidak tahu pasti permasalahannya sampai Pranggala menjadi buruan dan berharga begitu tinggi," papar Pandan Wangi, mulai mengemukakan ganjalan hatinya.
Tapi Rangga masih tetap saja diam mende-ngarkan.
"Semua orang yang ada di desa ini tidak ada yang tahu, siapa Pranggala dan Ki Tunggul Santak itu. Mereka juga baru tahu setelah kedua orang itu ada di desa ini, Kakang. Dan mereka secara bersamaan muncul di sini, dengan membawa persoalan yang tidak bisa dipandang ringan. Sudah banyak nyawa yang melayang, tanpa ada seorang pun yang mengetahui permasalahannya. Bahkan mereka yang tergiur oleh hadiah itu, juga tidak tahu persoalannya. Sampai-sampai rela mengantarkan nyawa sia-sia. Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa ini, Kakang. Kalau kita mengikuti arus, itu berarti harus menyusuri jejak-jejak setan yang tidak akan terlihat. Bahkan tidak tahu, di mana akhir perjalanannya," panjang lebar Pandan Wangi mengutarakan beban yang sejak tadi mengganjal hatinya.
"Hm...," tapi Rangga hanya menggumam sedikit saja.
Namun kening Pendekar Rajawali Sakti terlihat berkerut. Seakan-akan ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Sesuatu yang sulit dikemukakan, walaupun sorot matanya begitu jauh memandang ke depan. Pandan Wangi sendiri melangkah dengan pandangan lurus ke depan, seakan-akan juga tengah memikirkan sesuatu. Dan mereka jadi terdiam membisu, dengan pikiran terus menggantung di dalam benak masing-masing.
Hingga mereka sampai di perbatasan desa, belum juga ada yang bicara. Namun ayunan lang-kah mereka tiba-tiba jadi terhenti, begitu di depan tampak berdiri menghadang seorang pemuda yang hampir sebaya dengan Pendekar Rajawali Sakti, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Baju warna merah muda yang dikenakannya sangat ketat sehingga otot-ototnya tampak bersembulan, membuat tubuhnya kelihatan tegap dan berisi. Dan sorot matanya terlihat seperti kosong, menatap lurus ke depan. Seakan-akan, kehadiran kedua pendekar yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya tidak diperhatikannya.
Bukan hanya Pandan Wangi saja yang langsung bisa mengenali. Tapi, Rangga juga sudah langsung bisa mengetahui kalau pemuda yang menghadang di depan adalah Pranggala.
? *** ? "Sejak semula sudah kuduga, kalian berada sini pasti tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Hhh! Kalian akan mati sia-sia...! terasa begitu dingin nada suara Pranggala.
"Kau salah sangka, Kisanak," bantah Rangga tegas.
"Kalau tidak, untuk apa menemui Ki Tunggul Santak?"
"Hanya ingin mencari kebenarannya saja, sahut Rangga.
"Kebenaran..." Hhh! Tidak ada lagi kebenaran di jagat ini, Kisanak. Kebenaran sudah terlalu rapuh. Jadi, jangan harap bisa mendapatkannya," sinis sekali nada suara Pranggala.
"Kebenaran itu masih tetap ada, Kisanak. Walaupun aku tidak menyangkal, kalau kebenaran memang sudah rapuh. Tapi paling tidak, sekecil apapun dari segunung kesalahan, kebenaran pasti ada. Dan, sedikit kebenaran itulah yang kini kuinginkan. Maka kau juga jangan mengira kalau aku tergiur tiga ribu kepeng emas. Bagiku, hadiah sebesar itu tak ada artinya untuk nyawa orang. Terlebih lagi untukmu, Kisanak. Kau yang memiliki kepandaian tinggi, tidak seharusnya dihargai hanya tiga ribu kepeng emas untuk kepalamu."
"Kau bicara seolah-olah berada di pihakku, Kisanak Tapi, maaf. Aku tidak akan pernah percaya pada siapa pun juga. Setiap kali aku mempercayai seseorang, pasti orang itu selalu mengkhianatiku," masih terdengar sinis nada suara Pranggala.
"Aku tidak akan memihak pada siapa pun juga. Terlebih lagi, mereka yang suka membunuh orang-orang tidak berdosa."
"Kau membuatku bingung, Kisanak. Apa sebe-narnya yang kau inginkan di sini, heh..."!"
"Kebenaran."
"Huh! Aku tidak percaya pada kebenaran!"
"Kau boleh tidak percaya. Tapi kalau kau berada di pihak yang benar, pasti akan merasakan arti kebenaran sesungguhnya walau hanya setitik debu."
Pranggala jadi tertegun mendengar kata-kata Rangga barusan. Memang diakui di dalam hati, baru kali ini dia bertemu seseorang yang berpan-dangan begitu luas. Bahkan begitu percaya akan adanya kebenaran, yang selama ini sudah hampir dilupakan orang. Memang, sekarang ini sulit mencari kebenaran yang kini bisa diputarbalikkan hanya dengan kekuatan harta. Harta memang bisa membuat yang salah menjadi benar.
Tapi, tidak demikian halnya Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun hanya setitik debu yang ada, dia tetap percaya kalau kebenaran bisa diperolehnya.
"Kisanak, siapa namamu?" tanya Pranggala mulai terdengar berubah nada suaranya.
"Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi," sahut Rangga memperkenalkan diri, juga Pandan Wangi yang berada di sebelah kirinya.
"Kau pasti sudah tahu namaku," kata Pranggala.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kau tahu, Rangga. Kenapa aku tidak memberi kesempatan hidup pada siapa saja yang menjadi lawanku" Padahal, sebenarnya mereka sudah berapa kali kubiarkan tetap hidup. Tapi mereka justru mencari kesempatan, dan menohokku dari belakang. Kau mengerti maksudku, Rangga..."' ujar Pranggala.
'Ya, aku mengerti. Memang tidak enak menjadi orang buruan," sahut Rangga.
"Seperti mereka yang pernah kau selamatkan nyawanya dari tanganku. Sudah berapa kali mereka kuberi kesempatan hidup tapi tetap saja memburuku seperti binatang buruan. Bahkan selalu mencuri kesempatan untuk membunuhku. Apakah aku salah kalau tidak sudi lagi memberi kesempatan pada mereka yang ingin membokongku... " Apa kau pikir tindakanku salah..." Lalu, di mana letak kebenarannya, Rangga...?"
Mendapat pertanyaan yang beruntun begitu, Rangga jadi tidak bisa menjawab langsung. Dia jadi tertegun juga, dan bingung memberi jawabannya. Memang sulit dijawab pertanyaan Pranggala barusan. Karena memang antara kesalahan dan kebenaran sekarang ini hanya dibatasi oleh benang yang amat tipis.
"Kalian berdua kubiarkan tetap hidup, karena baru sekali ini bertemu denganku. Tapi kalau kalian berdua tetap ingin membunuhku dengan segala cara, aku terpaksa membela diri. Dan kurasa, aku tidak salah kalau sampai membunuh kalian berdua," kata Pranggala lagi.
Kata-kata yang diutarkan Pranggala, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi tertegun. Kedua pendekar muda itu tidak bisa lagi menyangkal kebenaran yang diutarkan Pranggala barusan. Dan ini juga membuat mereka jadi bimbang. Walaupun Pranggala sudah banyak membunuh orang yang dianggap tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa, tapi sikap dan penuturannya membuat kedua pendekar itu jadi berpikir lain. Dan mereka merasa yakin kalau ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa berdarah ini.
? *** ? "Pranggala.... Hm.... Boleh aku memanggilmu begitu?" ujar Rangga.
"Kau bisa memanggilku apa saja, Rangga," sambut Pranggala.
"Boleh aku tahu, apa persoalanmu dengan KiTunggul Santak?" tanya Rangga langsung.
"Kenapa kau tanyakan itu?" Pranggala malah balik bertanya.
"Kau keberatan...?"
Pranggala terdiam. Beberapa saat ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja. Sedikit ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga tetap menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi, yang membuat Pranggala jadi terdiam dan merasa berat menjawabnya.
"Belum pernah ada yang menanyakan hal itu padaku. Biasanya, mereka yang mencariku langsung menyerang tanpa bertanya lagi. Dan rupanya, mereka menyerangku karena menginginkan tiga ribu kepeng emas yang dijanjikan Ki Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala.
Begitu pelannya, hampir tidak terdengar di telinga Rangga maupun Pandan Wangi. Dari nada suaranya, jelas sekali terasa kalau ada sesuatu yang bergolak dalam dada Pranggala.
"Kau punya persoalan pribadi dengan Ki Tunggul Santak?" tanya Pandan Wangi, setelah semuanya terdiam cukup lama.
Pranggala tidak langsung menjawab. Malah dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam.
"Aku ingin membunuhnya," kata Pranggala pelan, namun terdengar tegas nada suaranya.
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi lagi.
Lagi-lagi Pranggala tidak langsung menjawab. Kembali dipandanginya si Kipas Maut itu dalam-dalam. Seakan, pertanyaan Pandan Wangi barusan begitu mengganjal relung hatinya. Sementara diam-diam, Rangga terus mengamati pemuda itu dengan kelopak mata agak menyipit.
"Kalaupun kukatakan, kalian tidak akan bisa memahaminya. Ini persoalan pribadi antara aku dengan Ki Tunggul Santak. Tapi, dia sudah melibatkan orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa, terpaksa harus mati di tanganku. Dan semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Karena tentu saja aku tidak sudi mati di tangan siapa pun juga, sebelum bisa memenggal kepala Ki Tunggul Santak," tegas Pranggala.
"Mendekari Ki Tunggul Santak, tidak semudah seperti apa yang kau bayangkan, Pranggala. Dia dikelilingi jago-jago persilatan undangannya. Bahkan kurasa, kau tidak akan bisa mendekati tempat kediamannya," kata Rangga pelan, namun terdengar sangat dalam nada suaranya.
"Aku tahu. Itu sebabnya, kenapa aku selalu bersabar mencari kesempatan baik agar bisa berhadapan langsung dengannya," sambut Pranggala kalem.
"Kau berkepandaian sangat tinggi, Pranggala. Kalau kau menginginkan nyawa Ki Tunggul Santak, kenapa tidak mengajukan tantangan dan bertarung secara jujur saja...?" usul Pandan Wangi.
"Kau belum tahu siapa Ki Tunggul Santak itu Nisanak," terdengar agak sinis nada suara Pranggala.
"Aku memang baru mengenalnya tadi. Dan ku- lihat dia sangat ramah, sopan, berilmu tinggi dan tidak angkuh. Bahkan terlihat begitu merendah," kata Pandan Wangi lagi.
"Kau terlalu mudah terbius oleh penampilan luarnya saja. Kalau sudah tahu siapa dia yang se-benarnya, aku yakin kau tidak akan mau bertemu dengannya. Bahkan mungkin juga akan berhasrat melenyapkannya dari muka bumi ini," kata Pranggala dengan nada suara sinis lagi.
"Kau memandang Ki Tunggul Santak seperti seorang penjahat besar yang harus dilenyapkan saja," ujar Pandan Wangi terus memancing.
Tapi, Pandan Wangi hanya terlihat tersenyum kecil saja. Perlahan tubuhnya berbalik, lalu melangkah mendekati sebatang pohon yang cukup besar dan berdaun rindang. Sementara Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan beberapa saat. Mereka melihat Pranggala duduk bersila di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi dirinya dari sengatan teriknya mentari.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itumelangkah menghampiri, kemudian duduk bersila tidak jauh di depan Pranggala. Masih belum ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 "

Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Sebuah Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. 108. Harga Sebuah Kepala Bag. 7
7. Juli 2014 um 09:13
7 ? Entah sudah berapa lama Rangga dan Pandan Wangi berbicara dengan Pranggala. Sampai matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, ketiga anak muda itu masih berada tidak jauh di luar perbatasan Desa Salak Rejeng. Dari semua pembicaraan itu, Rangga kini sudah memahami persoalan yang sedang dihadapi Pranggala. Walaupun, belum tuntas benar.
"Namamu sudah telanjur rusak, Pranggala. Memang, aku mengakui kalau kau belum tentu bersalah. Dan mereka yang selama ini memburumu, merasakan seperti tengah mengikuti jejak-jejak setan yang sangat sukar dilihat. Demikian pula, Ki Tunggul Santak. Dia juga mengalami kesulitan untuk bisa mengetahui keberadaanmu," kata Rangga perlahan.
"Aku bisa memahami, Rangga. Memang kedu-dukanku sekarang ini sangat sulit. Semua orang sudah telanjur menyangka aku adalah pembunuh. Mereka memandangku tidak lebih dari iblis haus darah. Tapi semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Dan semua ini karena ulah Ki Tunggul Santak. Itu sebabnya, kenapa aku ingin membunuhnya. Tapi, rintangan yang kuhadapi terlalu besar. Begitu banyak orang yang tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala, seakan begitu menyesali semua yang telah terjadi pada dirinya.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu," sahut Pranggala agak men-desah, sambil mengangkat pundaknya sedikit.
"Kalau kau merasa tidak bersalah, kenapa tidak berusaha membersihkan diri?" saran Pandan Wangi.
"Bagaimana caranya?" tanya Pranggala me-minta pendapat.
Pandan Wangi tidak langsung bisa menjawab. Malah matanya melirik Rangga. Sedangkan Pen-dekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Dan sampai sekarang, walaupun Pranggala sudah bercerita begitu banyak, tapi belum tahu juga sebab-sebab pertentangannya dengan Ki Tunggul Santak.
'Pranggala! Boleh aku tahu, kenapa kau menginginkan kematian Ki Tunggul Santak.." Juga, kenapa dia menginginkan kepalamu. Apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua, sampai mengorbankan begitu banyak orang yang tidak tahu apa-apa...?" tanya Rangga.
Pranggala tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu malah diam termenung, dengan pandangan tertuju lurus ke bola mata pemuda berbaju rompi putih yang berada tepat di depannya. Seakan-akan, dari sorot matanya memancarkan sesuatu yang sangat berat untuk diungkapkan. Sementara, Rangga membalas pandangan mata itu dengan sinar mata tidak kalah dalam. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya barusan.
"Hhh...!" Pranggala menghembuskan napas panjang-panjang.
Terasa begitu berat hembusan napasnya. Sementara, Rangga masih tetap sabar menunggu, sambil memandangi pemuda itu dengan sorot mata yang cukup dalam. Demikian pula Pandan Wangi yang hanya membisu, seperti menunggu jawaban Pranggala atas pertanyaan Rangga tadi.
"Sebenarnya, ini masalah pribadi antara aku dan Ki Tunggul Santak. Dan rasanya orang lain tidak perlu ikut campur. Tapi kenyataannya, Ki Tunggul Santak sendiri yang memulai, hingga orang lain ikut campur. Bahkan mereka semua mengejar, memburuku seperti binatang. Aku sendiri tidak tahu, kenapa bisa sampai sejauh ini persoalannya. Padahal, aku hanya menuntut tanggung jawabnya saja. Dan, hanya nyawanya saja yang kuinginkan. Tapi karena dia juga, terpaksa aku harus membunuh mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa," terdengar berat dan pelan sekali suara Pranggala.
'Tanggung jawab apa yang kau tuntut dari KiTunggul Santak, Pranggala?" tanya Pandan Wangi, semakin ingin tahu.
"Hutang...," sahut Pranggala bernada terputus.
"Hutang apa?" desak Pandan Wangi lagi.
"Hutang nyawa."
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpan-dangan. Mereka semakin tertarik saja untuk mengetahui persoalan yang kini sedang dihadapi. Mereka merasa kalau persoalan antara Pranggala dengan Ki Tunggul Santak semakin rumit. Dan kerumitan inilah yang membuat mereka semakin ingin tahu.
Tapi kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah bisa membayangkan kalau Pranggala menuntut nyawa Ki Tunggul Santak. Dan ini tentu saja hanya sebuah persoalan balas dendam. Hanya tampaknya, Ki Tunggul Santak sudah meluaskan persoalan balas dendam berdarah ini dengan mengikutsertakan orang-orang luar yang tidak tahu apa-apa. Dan dia seolah-olah menjadi kan Pranggala sosok penjahat besar haus darah, yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini.
"Kalau kalian tahu, Ki Tunggul Santak sebenarnya bukan orang baik-baik. Dan dia juga tidak pernah mempunyai sebuah padepokan silat. Dia sebenarnya adalah seorang pemimpin gerombolan liar. Bersama murid-muridnya, desa kelahiranku dihancurkannya. Semua penduduk dibunuh, dan harta bendanya dirampas. Hanya aku sendiri yang masih bisa selamat. Aku lalu pergi dari desa, mengembara sampai dipungut murid oleh seorang pertapa. Dan sekarang, aku harus membalas kematian orangtuaku, saudara-saudaraku, dan seluruh penduduk desaku yang dibunuh dengan kejam," dengan nada suara sendu, Pranggala menceritakan awal perso-alannya dengan Ki Tunggul Santak.
"Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?" tanya Pandan Wangi
"Lima belas tahun yang lalu. Waktu itu, aku masih berumur sebelas tahun. Dan aku tidak pernah lupa wajah laki-laki yang membunuh ayahku dengan keji. Memperkosa ibuku, lalu membakar mereka semua di dalam rumah. Rangga, apa aku salah bila hendak membalas dendam yang sudah kusimpan selama lima belas tahun ini?"" pandangan Pranggala tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja mendengarkan.
"Sulit dikatakan, Pranggala. Balas dendam memang tidak akan ada yang bisa menghalangi. Aku tidak bisa mengatakan, apakah kau benar atau salah. Semuanya sudah terjadi. Pertumpahan darah sudah begitu banyak. Rasanya, aku memang tidak akan mungkin bisa mencegah pertumpahan darah lebih banyak lagi. Sedangkan, sekarang ini kau berada dalam kedudukan yang sangat sulit. Semua orang sudah memandangmu sebagai pembunuh kejam yang haus darah," sahut Rangga hati-hati.
'Terus terang, semua itu sebenarnya tidakkuinginkan, Rangga. Tapi setiap kali kucoba untuk menjelaskan, mereka tidak pernah mau mengerti. Bahkan malah ingin membunuhku. Apa yang kulakukan sekarang ini, hanya sekadar membalas dari semua perbuatan mereka, Rangga. Aku sudah berkelana mencari mereka yang dulu menghancurkan desaku. Satu persatu kudatangi, dan sekarang tinggal Ki Tunggul Santak saja. Aku sendiri tidak bisa menghentikan langkahku lagi, Rangga. Sudah tidak kupedulikan lagi kata-kata orang. Dan ini sudah menjadi sumpahku. Setelah kepala Ki Tunggul Santak terpisah, aku akan mengasingkan diri dari dunia persilatan. Aku akan mengikuti jejak guruku, menjadi pertapa," kata Pranggala mantap.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau memang itu sudah menjadi tekadmu, Pranggala. Tapi kalau boleh kusarankan, sebaiknya tantang langsung Ki Tunggul Santak, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah," sahut Rangga pelan.
"Kau bijaksana sekali, Rangga. Akan kugu-nakan saranmu. Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekelilingnya, dan segala tipu dayanya. Aku seperti telah mendapat semangat baru, setelah bertemu denganmu, Rangga. Rasanya, memang ini jalan satu-satunya agar tidak banyak pertumpahan darah lagi," sambut Pranggala, seraya tersenyum.
Sebentar pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bangkit berdiri sambilmenghembuskan napas sedikit. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi masih tetap duduk memandangi. Pranggala berdiri tegak dengan pandangan lurus ke Desa Salak Rejeng tanpa berkedip sedikit pun. Saat itu, Rangga dan Pandan Wangi sudah berdiri. Mereka berdiri di belakang pemuda yang selama ini selalu menjadi momok menakutkan semua orang.
"Akan kudatangi dia sekarang juga," ujar Pranggala perlahan, dan agak mendesis suaranya.
Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagai kilat Pranggala melesat pergi tanpa berpaling lagi sedikit pun pada kedua pendekar muda yang berada tepat di belakangnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
"Kakang, kau tidak akan membantunya...?" ujar Pandan Wangi bertanya, seraya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tepat di sebelah kanannya.
"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja.
Tanpa bicara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri kudanya. Kemudian, dia melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu. Sedangkan Pandan Wangi memandangi beberapa saat kemudian bergegas menghampiri kuda putihnya yang berada tidak begitu jauh dari Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar kemudian, Pandan Wangi sudah berada di atas punggung kuda putihnya. Mereka sebentar berpandangan, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tanpa bicara lagi, mereka segera menggebah kudanya perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Entah disadari atau tidak, mereka justru menuju Desa Salak Rejeng. Sementara, saat itu matahari sudah mulai condong ke arah barat Namun, sinarnya masih tetap terik dan menyengat kulit.
? *** ? Sementara itu Pranggala sudah tiba di Desa Salak Rejeng. Keningnya agak berkerut juga meli-hat keadaan desa yang begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penduduknya. Seorang pun tidak ada dijumpainya pada jalan yang dilalui ini. Bahkan tidak terdengar sedikit pun suara-suara yang menandakan adanya kehidupan. Hanya hembusan angin saja yang terdengar mengusik telinga. Dan Pranggala terus melangkah mantap, membelah jalan desa yang berdebu ini.
Sesekali pemuda berwajah cukup tampan ber-tubuh tegap dengan sebilah pedang dalam warangka di genggaman tangan kirinya ini mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada satu rumah pun yang pintunya terbuka. Seakan, seluruh penduduk Desa Salak Rejeng ini sudah tahu akan kedatangannya. Dan mereka tidak ada yang berani keluar. Tapi, Pranggala tampaknya tidak peduli melihat keadaan desa yang sunyi ini. Kakinya terus melangkah perlahan-lahan, dengan ayunan mantap.
Dan ayunan langkah kaki pemuda itu baru berhenti, setelah tiba di depan sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas ini. Puluhan orang bersenjata dari segala macam bentuk dan ukuran tampak berjaga-jaga di sekitar itu. Mereka memandangi Pranggala yang berdiri tegak tidak jauh dari pintu pagar yang terbuat dari bambu ini. Sedangkan Pranggala sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Sorot matanya begitu tajam, lurus ke arah rumah itu.
"Ki Tunggul Santak..! Aku Pranggala datang hendak membuat perhitungan lama denganmu...!'' lantang sekali suara Pranggala.
Begitu kerasnya suara Pranggala, sehingga menggema sampai ke seluruh pelosok Desa Salak Rejeng ini. Dari suaranya saja, sudah bisa dipastikan kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda ini sudah sangat tinggi tingkatannya. Karena jelas kalau suara itu dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi dan penuh.
Teriakan Pranggala yang lantang menggelegar dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, me-ngejutkan semua orang yang ada di sekitar halaman rumah ini. Bahkan Ki Tunggul Santak yang berada didalam rumah juga jadi terkejut setengah mati. Bergegas laki-laki tua itu melangkah ke luar. Dan keterkejutannya semakin bertambah, begitu melihat Pranggala berdiri tegak di depan pintu pagar halaman rumah yang disewanya ini.
"Phuih! Akhirnya muncul juga bocah setan itu...!" dengus Ki Tunggul Santak sambil menyem-burkan ludahnya dengan sengit.
Ki Tunggul Santak bergegas melangkah menghampiri pemuda ini, diikuti semua orang bayaran dan para pengikutnya. Dia baru berhenti melangkah, setelah sampai di depan pintu pagar yang terbuat dari belahan bambu itu. Sementara, mereka yang mengikuti Ki Tunggul Santak segera menyebar, mengepung Pranggala tanpa diperintah lagi.
Sret! Cring! Pranggala hanya melirik sedikit saja, begitu melihat orang-orang yang mengepungnya sudah langsung menghunus senjata. Sementara, Ki Tunggul Santak masih tetap berdiri tegak. Dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang segera digeser sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, penuh kebencian mengarah langsung ke bola mata Pranggala.
"Rupanya kau sudah bosan jadi binatang buruan, Pranggala. Dan sekarang, kau datang menyerahkan nyawamu," terasa begitu dingin nada suara Ki Tunggul Santak.
"Justru kedatanganku ingin memenggal kepalamu, Ular Busuk!" sambut Pranggala, tidak kalah dingin.
"Phuih!" Ki Tunggul Santak menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Laki-laki tua itu memandangi para pengikut yang sudah mengepung pemuda musuh bebuyut annya itu. Tidak kurang dari lima puluh orang sudah siap dengan senjata terhunus. Dan kepandaian mereka semua sudah cukup tinggi. Sebagian adalah para pengikut setianya, dan sebagian lagi orang-orang bayarannya. Ki Tunggul Santak jadi tersenyum tipis melihat kekuatan yang dimilikinya. Dengan lima puluh orang berkepandaian tinggi, mustahil bagi Pranggala untuk bisa mempertahankan selembar nyawanya.
"He he he...!" Ki Tunggul Santak jadi terkekeh.
Namun belum juga hilang suara tawanya, mendadak saja Pranggala sudah mengebutkan tangan kanannya ke depan dengan kecepatan bagai kilat. Begitu cepat kebutan tangannya, hingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan Pranggala meluncur dua bilah pisau kecil yang memancarkan cahaya keperakan. Kedua pisau itu meluruk deras ke arah dada Ki Tunggul Santak.
"Heh..."! Hap!"
Ki Tunggul Santak jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya menghindari sambaran dua bilah pisau kecil yang dilontarkan Pranggala cepat bagai kilat. Maka kedua pisau bercahaya keperakan itu meluncur lewat sedikit saja di depan dada Ki Tunggul Santak yang berputaran di udara.
"Hap!"
Begitu kedua kaki orang tua ini menjejak tanah, saat itu juga Pranggala sudah melesat bagai kilat menerjang, sambil mencabut pedang yang sejak tadi tergenggam di tangan kanan. Bagaikan kilat pula, pedangnya dibabatkan ke arah leher Ki Tunggul Santak.
"Hiyaaat...!"
Wut!?? ? "Haiiit..!"
Ki Tunggul Santak cepat-cepat mengegoskan kepalanya ke kanan, hingga ujung pedang Prang-gala lewat sedikit saja di depan tenggorokan. Namun belum juga bisa menyeimbangkan tubuhnya, Pranggala sudah memberi satu tendangan keras yang begitu cepat menggeledek, sambil melompat ke arah dada orang tua ini.
"Jebol dadamu! Yeaaah...!"
"Ikh...!"
Ki Tunggul Santak jadi terbeliak. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali menghindari tendangan Pranggala yang begitu dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap!"
Dengan gerakan manis sekali, Ki Tunggul Santak melesat bangkit berdiri. Sementara, Pranggala sudah kembali berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Saat itu, Ki Tunggul Santak memandangi dengan sorot mata tidak percaya, kalau anak muda yang dulu hampir mati di tangannya ini, sekarang memiliki kepandaian dahsyat. Pantas saja orang-orang yang tergiur hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak, sampai sekarang tidak ada yang bisa membawa kepala Pranggala padanya.
"Cabut pedangmu, Ki Tunggul Santak! Aku pantang membunuh orang tanpa senjata di ta-ngan," ujar Pranggala dingin menggetarkan.
"Phuih!" Ki Tunggul Santak hanya menyem-burkan ludahnya saja dengan sengit.
Perlahan orang tua yang berbaju jubah putih panjang dan longgar bagai pertapa itu menggeser kakinya ke kanan. Namun sorot matanya masih begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Pranggala.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Tunggul Santak melesat cepat bagai kilat menerjangPranggala. Satu tendangan keras yang menggele-dek langsung dilepaskan ke kepala pemuda ini.
"Haps!"
Namun hanya sedikit saja Pranggala mengegos, tendangan dahsyat menggeledek yang dilepaskan Ki Tunggul Santak dapat dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Pranggala melepaskan satu sodokan tangan yang begitu cepat, dan tepat mengarah ke lambung orang tua berjubah putih bersih ini. Begitu cepat sodokannya sehingga....
"Ikh...!"
Ki Tunggul Santak jadi terpekik kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya melenting setengah berputar ke belakang, menghindari sodokan tangan Pranggala. Namun begitu kakinya baru menjejak tanah kembali, Pranggala sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada.
"Haiiit..!"
Dan begitu Ki Tunggul Santak bisa menghindari pukulan tangan kiri, tanpa diduga sama sekali Pranggala memutar arah pukulan tangan kirinya. Lalu begitu cepat tangan kirinya itu dihentakkan.
Bet! Plak! "Akh...!"
Ki Tunggul Santak yang sama sekali tidak menduga kalau Pranggala bisa memutar tangannya begitu cepat sambil menyerang, tidak dapat lagi berkelit menghindar. Maka sentakan tangan pemuda itu tepat menghantam dadanya. Begitu keras sentakan tangan Pranggala, sampai Ki Tunggul Santak terhuyung ke belakang sejauh enam langkah.
"Setan keparat! Phuih...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 108. Harga Sebuah Kepala Bag. 8 (Selesai)
7. Juli 2014 um 09:13
8 ? "Serang! Bunuh bocah keparat itu...!" teriak Ki Tunggul Santak keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah dua kali, mereka yang memang sejak tadi sudah siap dengan kepungannya, langsung saja berlompatan menyerang pemuda ini dari segala arah. Saat itu, Pranggala jadi terkesiap juga melihat arus serangan yang begitu deras datang dari segala penjuru mata angin di sekelilingnya.
"Hup! Hiyaaat..!"
Cepat-cepat Pranggala melenting ke udara. Namun pada saat itu juga, puluhan batang anak panah sudah berhamburan ke arahnya. Akibatnya, pemuda itu terpaksa harus berjumpalitan di udara, dan kembali meluruk turun. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, satu sambaran golok yang berukuran sangat besar sudah melayang ke arah kepala dari belakang.
Wusss! "Ups!"
Sambaran angin tebasan golok itu sempat juga mengejutkan Pranggala. Namun kepalanya lebih cepat lagi merunduk, hingga tebasan golok itu lewat sedikit di atasnya. Dan saat itu juga, Pranggala menghentakkan kakinya ke belakang.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat sentakan kaki Pranggala, hingga....
Dugkh! "Akh...!"
Satu pekikan keras tertahan seketika itu juga terdengar. Tampak penyerang yang berada di be-lakangnya terpental jauh ke belakang, dengan darah muncrat dari mulutnya. Tendangan ke belakang yang dilepaskan Pranggala memang sangat kuat, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Akibatnya, orang itu langsung ambruk menggelepar dengan darah mengalir dari mulutnya. Dan hanya sebentar saja tubuhnya masih bisa menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati! Sementara darah masih terus mengalir dari lubang mulut dan hidungnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sementara, Pranggala terus berlompatan cepat sambil mengibaskan pedang secara berputaran. Begitu cepat gerakan-gerakannya, hingga anak buah Ki Tunggul Santak tidak dapat lagi membaca setiap arah gerakan pedang pemuda itu. Dan sebentar saja, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul.
Dan kini, tubuh-tubuh tak bernyawa berlu-muran darah pun sudah mulai terlihat bergelim-pangan di sekitar pertarungan. Sementara itu, Ki Tunggul Santak semakin geram saja melihat orang-orangnya seakan tidak sanggup lagi menghadapi anak muda ini.
"Bocah setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
? *** Sambil memaki dengan kemarahan meluap dalam dada, Ki Tunggul Santak cepat melesat menyerang Pranggala. Terjunnya Ki Tunggul Santak, yang rupanya membangkitkan semangat orang-orangnya. Maka, mereka semakin gencar saja menyerang. Sedangkan Ki Tunggul Santak bergerak begitu cepat mematahkan setiap serangan balasan yang dilancarkan Pranggala.
Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, keadaan jadi terbalik. Pranggala sudah kelihatan begitu kewalahan menghadapi serangan-serangan beruntun yang datang dari segala arah ini. Bahkan dalam waktu tidak begitu lama, entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya. Akibatnya keadaan pemuda itu jadi semakin mencemaskan. Namun di saat Pranggala benar-benar hampir tidak memiliki daya lagi, mendadak saja....
"Akh!"
"Aaa...!"
Tiba-tiba dari arah belakang kepungan, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling sambut. Dan jeritan itu tentu saja membuat mereka yang sedang bertarung jadi terperanjat setengah mati. Sementara, Ki Tunggul Santak yang juga mendengar jeritan itu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh setengah batang tombak, meninggalkan Pranggala yang terus sibuk menghindari setiap serangan yang datang dari sekelilingnya.
"Heh..."!"
Kedua bola mata Ki Tunggul Santak jadi terbeliak lebar, begitu melihat dua anak muda tengah mengamuk menghajar para pengikutnya. Dan tampaknya, kedua anak muda itu tidak akan dapat ditandingi. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari lima belas orang yang dijatuhkan.
"Phuih...!" Ki Tunggul Santak menyemburkan ludahnya dengan sengit. "Hiyaaat..!"
Ki Tunggul Santak memang tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Terlebih lagi, setelah mengetahui siapa dua orang yang menyerang anak buahnya, hingga jadi berantakan begitu. Mereka memang Rangga dan Pandan Wangi!
"Mampus kau! Yeaaah...!"
Cring! Bet! Secepat kilat Ki Tunggul Santak mencabut pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pedangnya dibabatkan tepat ke leher Rangga.
"Haps...!"
Namun hanya sedikit saja Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan kepala, maka tebasan Ki Tunggul Santak tidak sampai mengenai sasaran. Dan saat itu juga, Rangga menarik kakinya ke belakang. Tapi pada saat itu juga, satu tebasan golok meluncur cepat ke arah punggungnya.
'Yeaaah...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti mem-bungkukkan tubuhnya. Lalu, langsung dilepaskannya satu tendangan keras ke belakang. Begitu cepat tendangannya, sehingga orang yang membokongnya dari belakang tidak dapat lagi menghindar. Dari....
Des! "Akh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga tidak sempat lagi memperhatikan pembokongnya yang terpental balik ke belakang, karena harus cepat melesat ke atas. Memang, pada saat itu tebasan pedang Ki Tunggul Santak berkelebat begitu cepat mengarah ke kakinya. Dan mata pedang Ki Tunggul Santak yang berkilatan tertimpa cahaya matahari itu lewat sedikit saja di bawah telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Saat berada di udara itu, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan kedua tangannya langsung te-rentang lebar ke samping, kemudian bergerak cepat. Sehingga, Ki Tunggul Santak jadi terbeliak lebar, terkejut setengah mati. Daa...
Plak! "Akh...!"
Ki Tunggul Santak jadi terpekik begitu kibasan tangan Rangga berhasil menghantam kepalanya. Seketika itu juga, darah mengucur deras dari ba-gian atas telinga orang tua ini. Memang keras sekali kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya Ki Tunggul Santak jadi terhuyung-huyung ke belakang, dengan darah mengalir deras dari bagian atas telinganya yang retak.
Sementara itu, di tempat lain Pandan Wangi tampak sama sekali tidak mengalami kesulitan mengatasi lawan-lawannya. Kipas baja putih di tangan kanannya berkelebat cepat diimbangi gerakan tubuh dan kakinya yang begitu indah dan lincah luar biasa. Hingga, tidak ada seorang pun lawan yang bisa menyentuh tubuh gadis cantik berjuluk si Kipas Maut ini.
Sedangkan di tempat lain lagi, terlihat Pranggala yang kini tidak lagi menghadapi Ki Tunggul Santak. Semangatnya juga sudah bangkit kembali.
Terlebih lagi, dia tahu kalau Rangga dan Pandan Wangi berpihak kepadanya. Hingga, tidak segan-segan lagi lawan-lawannya dibabat dengan pedang. Maka jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar menyayat. Tubuh-tubuh bersimbah darah terus berhamburan membasahi tanah berdebu ini.
Tapi, pengikut-pengikut Ki Tunggul Santak se-akan tidak pernah habis. Mereka terus berdatangan dari setiap pelosok Desa Salak Rejeng ini. Rupanya, suara-suara pertarungan itu terdengar sampai ke pelosok desa. Dan mereka yang memang sedang berjaga-jaga di sekitar Desa Salak Rejeng ini, jadi berhamburan mendatangi dan langsung saja menyerang dari segala penjuru. Hingga, seakan-akan pengikut Ki Tunggul Santak tidak akan pernah ada habisnya. Selalu saja berdatangan, dan langsung menyerang.
? *** ? Sementara itu, Rangga dan Ki Tunggul Santak sudah kembali bertarung sengit. Meskpun darah mengucur dari kepalanya, tapi gerakan-gerakan Ki Tunggul Santak masih tetap gesit dan cukup berbahaya. Beberapa kali Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari setiap serangan Ki Tunggul Santak. Dan entah sudah berapa jurus pertarungan berlangsung. Tapi, tampaknya laki-laki tua berjubah putih itu sudah kelihatan terdesak sekali.
Beberapa kali pukulan keras bertenaga dalam yang dilepaskan Rangga mendarat di tubuhnya, tapi tetap saja orang tua itu terus menyerang seperti kesetanan. Sementara, Rangga sudah mulai merasa jengkel juga. Sengaja seluruh kepandaiannya tidak dikerahkan secara penuh. Rangga sebenarnya ingin memberi kesempatan pada Ki Tunggul Santak untuk memperbaiki perbuatannya. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mau mengerti kemurahan hati yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan menganggap pemuda lawannya ini sudah meremehkannya.
"Phuih! Hiyaaat...!"
Sambil menyemburkan ludah yang bercampur darah, Ki Tunggul Santak melesat cepat sekali ke atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, pedangnya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegos-kan kepala, tebasan pedang Ki Tunggul Santak ti-dak sampai mengenai sasaran. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Rangga melepaskan satu tendangan keras, sambil membanting tubuhnya ke tanah. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ki Tunggul Santak tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, saat itu tubuhnya masih berada di udara. Dan....
Diegkh! "Akh...!"
Ki Tunggul Santak jadi terpekik, begitu ten-dangan yang dilepaskan Rangga mendarat telak di dadanya. Akibatnya, tubuh orang tua itu melayang deras ke belakang. Dan tanpa disadari, tubuhnya justru melayang mendekati Pranggala yang kini hanya menghadapi tiga orang lawan saja.
Melihat Ki Tunggul Santak meluncur deras tanpa dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi, Pranggala tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang hanya sedikit ini. Tanpa menghiraukan tiga orang lawannya, tubuhnya cepat melesat menyongsong tubuh Ki Tunggul Santak yang meluncur deras ke arahnya, akibat terkena tendangan menggeledek Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!"
Wuk! Langsung saja Pranggala menghunjamkan pedangnya ke tubuh orang tua berjubah putih ini. Dan....
Bresss! "Aaa...!"
"Hih!"
Darah seketika muncrat keluar dari punggung Ki Tunggul Santak, begitu Pranggala mencabut pedangnya kembali. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pranggala mengibaskan pedangnya ke leher disertai pengerahan tenaga dalam penuh dan tinggi.
"Hiyaaat..!"
Cras! "Akh!"
Hanya sedikit saja terdengar pekikan tertahan, lalu kepala Ki Tunggul Santak langsung terpenggal buntung. Darah kontan muncrat berhamburan dari leher yang sudah tidak berkepala lagi itu. Hanya sebentar saja tubuh tua berjubah putih itu masih bisa berdiri, kemudian limbung dan ambruk menggelepar di tanah. Sementara, kepalanya menggelinding jauh dari tubuhnya. Pranggala berdiri tegak memandangi tubuh Ki Tunggul Santak yang menggeletak berlumuran darah tanpa kepala menempel di lehernya lagi.
Pendekar Rajawali Sakti hanya membiarkan saja Pranggala yang melampiaskan dendamnya. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah mengakhiri pertarungan, langsung cepat membereskan tiga orang lawan Pranggala tadi. Tidak perlu waktu banyak karena sebentar saja ketiga lawannya sudah ambruk tak bangun-bangun lagi, terbabat kipas bajanya.
Sementara itu sambil menghembuskan napas panjang, Pranggala melangkah dan mengambil kepala Ki Tunggul Santak. Sebentar dipandanginya kepala yang masih mengucurkan darah segar itu, kemudian diletakkan kembali di tanah. Lalu pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Kini, tidak ada lagi seorang pun yang hidup di sekitarnya. Dan saat itu juga, Pranggala jadi tersentak....
"Eh, ke mana mereka...?"
Pranggala jadi celingukan sendiri, mencari Rangga dan Pandan Wangi yang sudah lenyap, begitu tidak ada lagi lawan yang dihadapi. Entah pergi ke mana kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.
"Kalian benar-benar pendekar sejati. Terima kasih, atas bantuan kalian...," gumam Pranggala perlahan.
Sebentar pemuda itu memandangi mayat-ma-yat yang bergelimpangan saling rumpang tindih di sekitarnya. Kemudian kakinya terayun melangkah meninggalkan tempat ini. Saat itu, matahari sudah benar-benar hampir tenggelam di cakrawala. Cahayanya yang memerah jingga menyemburat di sebelah barat mayapada ini. Dan Pranggala semakin jauh melangkah, terus meninggalkan Desa Salak Rejeng yang kini banjir darah.
? ? SELESAI Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Pisau Terbang Li 13 Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung Dendam Asmara Liar 1

Cari Blog Ini