Ceritasilat Novel Online

Istana Gerbang Neraka 1

Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka Bagian 1


105. Istana Gerbang Neraka
baca online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana
Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
Pendekar Rajawali Sakti
episode: ISTANA GERBANG NERAKA
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
1 Senja sudah mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Sinar matahari sudah tidak
lagi menyengat, namun masih cukup untuk menerangi mayapada ini. Di tengah
pancaran matahari senja ini, tampak serombongan orang berkuda tengah meniti
jalan tanah berdebu di pinggiran jurang. Sebuah jurang yang tidak begitu dalam,
namun terlihat cukup besar. Dinding-dindingnya terdiri dari batu-batu cadas yang
keras dan runcing. Sekitar dua puluh orang berkuda bergerak perlahan-lahan,
mengawal sebuah pedati berukuran cukup besar yang dikendalikan oleh seorang
laki-laki yang sudah lanjut usia. Kendati telah berumur, namun masih kelihatan
cekatan dalam mengendalikan empat ekor kuda yang menarik pedati ini.
Para pengawal dibagi menjadi dua bagian. Sepuluh orang berkuda di depan, dan
sepuluh orang lagi berkuda di belakang pedati. Mereka bergerak hati-hati sekali,
karena jalan yang dilalui cukup licin dan sempit. Di sebelah kanan, terdapai
jurang yang menganga. Sedangkan di sebelah kiri, dinding bukit yang sangat
terjal dan tinggi. Apalagi, jalan yang dilalui ini masih kelihatan cukup jauh.
Tidak ada seorang pun dari mereka yang berbicara. Mereka seperti harus
memusatkan seluruh perhatian pada jalan yang dilalui. Sedikit saja tergelincir,
jurang yang menganga sudah menanti.
Namun kenyataannya, jalan seperti itu tidak terlalu panjang. Belum juga matahari
benar-benar tenggelam di balik peraduannya, jalan yang cukup berbahaya itu sudah
terlewati. Dan kini rombongan berkuda itu memasuki tepian sebuah hutan yang
tampaknya tidak begitu lebat. Bahkan terlihat banyak pohon yang sudah ditebang.
Salah seorang penunggang kuda yang paling depan mengangkat tangannya ke atas
kepala, maka rombongan berkuda itu langsung berhenti.
"Istirahat di sini! Dirikan tenda...!" teriak penunggang kuda yang berada paling
depan, memberi perintah.
Mereka semua segera berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Tiga
orang bergegas menghampiri pedati, dan masuk ke dalamnya. Tidak berapa lama,
terlempar beberapa gulungan kain berwarna putih. Kemudian satu orang melompat
keluar dari dalam pedati. Sementara yang lain segera mengambil barang-barang
yang dilemparkan ke luar dari dalam pedati itu. Tanpa ada yang memerintah lagi,
mereka langsung bekerja mendirikan tiga buah tenda berukuran cukup besar di
tepian hutan ini.
Sementara, penunggang kuda terdepan yang tampaknya adalah pemimpin rombongan,
masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Tak lama dia dihampiri oleh lakilaki tua yang menjadi kusir pedati dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Laki-laki
tua itu langsung merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Tubuhnya sedikit
dibungkukkan setelah berada dekat dengan laki-laki berusia setengah baya yang
masih tetap berada di atas punggung kuda putihnya.
"Gusti... Tempat ini kurang baik untuk bermalam, sebab masih berada di wilayah
Kerajaan Jenggala," ujar orang tua itu dengan sikap sangat hormat.
"Mereka tidak akan mungkin mengejar sampai sejauh ini, Ki Manik. Kalaupun tetap
mengejar, tidak akan sampai ke sini. Dan beberapa orang akan kuperintahkan untuk
menjaga ujung jalan itu. Kalau mereka kelihatan, hujani saja dengan anak panah,"
sahut laki-laki setengah baya yang dipanggil gusti.
'Tapi, Gusti. Bukan hanya itu saja jalan satu-satunya. Mereka bisa memutari
bukit di sebelah sana untuk menuju ke sini," sergah orang tua yang dipanggil Ki
Manik, sambil menunjuk sebuah bukit yang tidak begitu tinggi.
Namun belum juga ada jawaban, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah jalan
yang dilalui tadi. Tak lama, terlihat kepulan debu membubung tinggi ke angkasa.
Dan bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa.
"Celaka, Gusti Panglima. Mereka benar-benar mengejar...," desis Ki Manik.
"Cepat ambil kuda kalian, dan hadang mereka di ujung jalan...!" seru orang
berkuda yang dipanggil panglima ini.
Dan memang, laki-laki setengah baya itu adalah seorang panglima. Walaupun
sekarang tidak mengenakan baju panglima perang. Di Kerajaan Jenggala, dia
dikenal sebagai Panglima Gagak Sewu.
Sementara itu mereka yang tengah bekerja mendirikan tenda, bergegas berlompatan
ke kuda masing-masing. Lima orang di antaranya langsung menyambar busur dan
beberapa kantung anak panah. Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung bergerak
cepat menggebah kudanya ke jalan yang dilalui tadi. Sedangkan Panglima Gagak
Sewu sudah sejak tadi memacu cepat kudanya sambil menyambar sebuah busur dan
sekantung anak panah.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan dan tangkas sekali, panglima berusia setengah baya itu
melompat turun dari punggung kudanya, tepat di ujung jalan yang diapit jurang
dan bukit batu. Sementara di depan sana, tampak berpacu puluhan orang berkuda
yang berpakaian seragam prajurit. Batu-batu jalan itu langsung berguguran
tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
Panglima Gagak Sewu berdiri tegak di tengah ujung jalan ini. Busurnya sudah
terentang, siap melepaskan anak panah. Saat itu, lima orang yang juga membawa
panah sudah siap di sampingnya. Mereka menanti sampai para prajurit itu dekat.
"Serbuuu...!" teriak Panglima Gagak Sewu lantang menggelegar.
Seketika itu juga, anak anak panah berhamburan cepat sekali, begitu orang-orang
berkuda itu mulai dekat. Dan seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan
panjang dan melengking tinggi, disertai ringkikan kuda. Tampak para prajurit
yang berkuda paling depan terjungkal ambruk ke tanah tertembus anak panah.
Panglima Gagak Sewu dan lima orang lainnya terus menghujani panah ke arah para
prajurit yang baru datang. Jeritan-jeritan menyayat melengking tinggi pun terus
terdengar semakin sering dan saling susul.
Tubuh-tubuh berpakaian seragam prajurit terus bergelimpangan di antara kuda-kuda
yang mulai sulit dikendalikan lagi. Bahkan tidak sedikit yang terlempar masuk ke
dalam jurang. Sementara, Panglima Gagak Sewu terus berteriak memberi perintah
untuk terus memanah. Memang hebat serangannya. Hanya dia dan lima orang
pengikutnya, sudah mampu menghambat arus prajurit prajurit berkuda itu.
"Munduuur..!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar. Maka prajurit-prajurit
berkuda itu segera memutar, lalu memacu cepat kudanya menjauhi ujung jalan.
Melihat hal ini Panglima Gagak Sewu segera mengangkat tangannya ke atas kepala.
Maka, lima orang pengikutnya segera menghentikan serangan panahnya. Sementara,
prajurit-prajurit berkuda itu terus bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya
lenyap tak terlihat lagi.
"Kalian tetap di sini. Jaga jangan sampai ada seorang pun yang lolos," kata
Panglima Gagak Sewu.
"Baik, Gusti," sahut lima orang yang kelihatannya masih berusia muda itu,
serentak. Panglima Gagak Sewu kembali naik ke punggung kudanya, dan cepat berpacu kembali
ke perkemahan. Begitu sampai di depan sebuah tenda yang paling besar, panglima
itu langsung melompat turun dari kudanya. Tampak Ki Manik yang diapit dua orang
prajurit sudah menunggu di depan tenda. Laki-laki tua yang berbaju jubah panjang
warna putih itu bergegas menghampiri.
*** "Bagaimana keadaan Gusti Putri, Ki Manik?" tanya Panglima Gagak Sewu langsung.
"Sudah mulai membaik, Gusti Panglima," sahut Ki Manik dengan sikap hormat.
"Lukanya...?"
"Tidak mengkhawatirkan lagi. Emban Girika sudah membalut lukanya dengan kain.
Dan darahnya juga sudah tidak keluar lagi. Tapi, keadaannya masih lemas. Hhh...,
kasihan Gusti Putri. Mengapa dia harus menderita begitu...?" desah Ki Manik.
"Inilah kehidupan, Ki. Kita semua tidak akan menyangka bakal seperti ini
jadinya," Panglima Gagak Sewu juga mendesah, seraya menghempaskan tubuhnya dan
duduk di atas rerumputan.
Ki Manik juga ikut duduk bersila di depan panglima yang sudah berusia sekitar
lima puluh tahun ini. Sesaat mereka terdiam membisu.
"Aku heran, Ki. Kita semua sudah menyamar, dan tidak ada yang berseragam
prajurit lagi. Tapi, masih saja bisa dikenali" Bahkan mereka terus mengejar.
Jadi, bagaimana mereka bisa tahu, Ki...?" tanya Panglima Gagak Sewu seperti
bicara pada diri sendiri.
"Sudah barang tentu mereka akan terus mengejar, Gusti. Mereka sudah pasti tahu
tujuan kita. Dan ini yang kukhawatirkan, Gusti "
"Apa yang kau cemaskan. Ki?"
"Karena tujuan kita sudah diketahui, aku khawatir mereka mengambil jalan lain
dan mencegat di depan. Kalau sudah begitu, rasanya dua puluh orang prajurit
tidak akan mampu menghadapi lagi. Kita sudah terialu banyak kehilangan prajunt,
Gusti Panglima."
"Yaaah... Memang tinggal hanya dua puluh orang prajuritku yang masih hidup.
Tapi, aku tidak akan menyerah begitu saja, Ki. Gusti Putri Arum Winasih akan
tetap kubawa sampai ke tujuan. Apapun yang terjadi, akan tetap kuhadapi. Nyawaku
taruhannya, Ki," tegas Panglima Gagak Sewu.
Kembali mereka terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara
dari dalam tenda, keluar seorang wanita bertubuh gemuk terbungkus baju kemben
warna biru. Dia langsung berlutut di depan Panglima Gagak Sewu, dengan
merapatkan telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Emban Girika?" tanya Panglima Gagak Sewu langsung.
"Ampun, Gusti Panglima. Gusti Putri memanggil," sahut perempuan gemuk yang
dipanggil Emban Girika.
Panglima Gagak Sewu bergegas bangkit berdiri. Langsung kakinya melangkah cepat
mendekati tenda yang berdiri paling besar, di antara tiga tenda yang lain.
Segera dibukanya penutup tenda itu, dan masuk ke dalam. Sementara, Ki Manik dan
Emban Girika tetap duduk menunggu di luar.
Di dalam tenda yang cukup besar ini. terlihat seorang wanita muda dan cantik.
Tapi wajahnya kelihatan pucat, tengah berbaring beralaskan beberapa lembar kain
dan kulit yang lembut. Kepalanya dipalingkan sedikit, begitu Panglima Gagak Sewu
masuk. Panglima Gagak Sewu bergegas mendekati, saat tangan gadis cantik itu
bergerak lemah memanggilnya.
"Ada apa, Gusti Putri?" tanya Panglima Gagak Sewu setelah duduk dekat di samping
gadis ini. "Paman, berapa jauh lagi perjalanan ini?" tanya Putri Arum Winasih dengan suara
terdengar sangat lemah.
"Tidak jauh lagi, Gusti Putri. Tinggal setengah hari saja. Besok pagi, kita
lanjutkan perjalanan ini," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Paman, kudengar mereka terus mengejar. Benar...?"
"Benar, Gusti Putri. Tapi, mereka sudah dihalau di ujung jalan dekat jurang. Dan
kini, lima orang prajurit sudah menjaga di sana. Jadi tidak mungkin mereka bisa
sampai ke sini, Gusti. Tempat ini sangat terlindung, dan sulit dijangkau. Lagi
pula, perbatasan tidak jauh lagi. Besok, pasti kita semua sudah aman, berada di
luar Kerajaan Jenggala."
"Aku menjadi bebanmu saja, Paman."
"Ah.... Jangan berkata begitu, Gusti Putri. Semua yang hamba lakukan hanya
sekadar pengabdian."
"Mereka hanya menginginkan aku, Paman. Kalau aku menyerahkan diri, kau dan yang
lain bisa bebas pergi. Sebaiknya, tinggalkan saja aku di sini, Paman," kata
Putri Arum Winasih lirih.
"Apa pun yang terjadi, hamba tetap akan melindungi Gusti Putri. Ah... sudahlah,
Gusti Putri. Jangan terlalu banyak bicara dulu. Hamba akan keluar mengatur
penjagaan," kata Panglima Gagak Sewu.
Setelah memberi hormat, Panglima Gagak Sewu keluar dari dalam tenda ini.
Sementara, Putri Arum Winasih tetap berbaring dengan tubuh lemah. Dan tidak lama
Panglima Gagak Sewu keluar, Emban Girika masuk ke dalam tenda ini, dan segera
duduk di samping gadis itu.
*** Semalaman penuh Panglima Gagak Sewu tidak memicingkan matanya sekejap pun. Dia
terus berjaga-jaga bersama dua puluh orang prajuritnya. Dan pagi-pagi sekali, di
saat matahari baru saja menampakkan diri, mereka sudah berangkat meninggalkan
tepian hutan ini. Mereka kini harus menerobos masuk ke dalam hutan yang tidak
begitu lebat. Panglima Gagak Sewu yang berkuda paling depan sesekali berpaling
ke belakang. Kenyataannya, hutan yang dilalui memang tidak terlalu luas. Hingga ketika
matahari berada di atas kepala, mereka sudah berada di tepi hutan. Panglima
Gagak Sewu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, maka rombongan itu
berhenti. Kini di depan mereka tampak berdiri sebuah bangunan batu berbentuk
sebuah puri kecil. Inilah yang menandakan perbatasan Kerajaan Jenggala dengan
Kerajaan Karang Setra. Setelah memasuki perbatasan itu, mereka berada di dalam
Kerajaan Karang Setra.
Panglima Gagak Sewu memutar kudanya, lalu menghampiri pedati yang dikendalikan
Ki Manik. Disibakkannya tirai kain penutup pedati itu. Tampak Putri Arum Winasih
terbaring ditunggui Emban Girika.
"Gusti Putri, perbatasan sudah terlihat. Tidak lama lagi, kita berada di wilayah
Kerajaan Karang Setra. Mereka pasti tidak akan mungkin mengejar sampai ke Karang
Setra," lapor Panglima Gagak Sewu.
Putri Arum Winasih tersenyum saja. Meskipun wajahnya kelihatan pucat, tapi sinar
matanya memancarkan kegembiraan mendengar laporan panglimanya.
"Teruskan, Paman. Langsung saja ke istana. Kita harus segera menemui Kakang
Prabu Rangga di Karang Setra," ujar Putri Arum Winasih.
"Baik, Gusti Putri."
Setelah memberi hormat, Panglima Gagak Sewu bergegas ke depan lagi. Segera
diberinya isyarat tangan kanan untuk terus berjalan. Maka rombongan itu pun
kembali bergerak, tidak terlalu tergesa-gesa menuju perbatasan Kerajaan Karang
Setra. Namun belum juga sampai di perbatasan, tiba-tiba saja...
"Aaa...!"
"Heh..."! Apa itu..."!" Panglima Gagak Sewu jadi tersentak begitu tiba-tiba
terdengar jeritan dari belakang.
Begitu berpaling ke belakang, tampak seorang prajuritnya tersungkur ke tanah,
tertancap sebatang anak panah. Dan yang lebih mengagetkan lagi, di belakang
sana, dalam jarak jangkauan anak panah, tampak serombongan prajurit berkuda
berpacu cepat mengejar rombongan yang dipimpin Panglima Gagak Sewu ini. Satu
pasukan prajurit Kerajaan Jenggala yang berjumlah cukup besar!
"Ki Manik! Bawa Gusti Putri ke perbatasan. Aku akan menghadang mereka.
Cepat...!" perintah Panglima Gagak Sewu.
"Baik, Gusti Panglima," sahut Ki Manik yang mengendarai pedati " Hiya!
Hiyaaa...!"
Ki Manik langsung saja menghentakkan tali kendali, sehingga pedati yang cukup
besar ukurannya ini segera berpacu cepat dan berguncang-guncang memperdengarkan
suara berderak. Sementara, Panglima Gagak Sewu sudah memutar kudanya untuk
kembali ke belakang. Sedangkan lima orang prajurit yang membawa busur dan panah
sudah siap menunggu perintah.
"Kalian sepuluh orang, cepat mengawal Gusti Putri!" perintah Panglima Gagak
Sewu. Sepuluh orang yang berada di belakang Panglima Gagak Sewu, segera memutar
kudanya dan mengejar pedati yang dipacu cepat menuju perbatasan Karang Setra.
Sementara, Panglima Gagak Sewu dan delapan orang prajuritnya tetap berada di
punggung kuda menanti prajurit Kerajaan Jenggala yang berjumlah cukup besar.
Tampak di depan mereka, seorang prajurit menggeletak tidak bernyawa lagi dengan
panah menembus punggungnya.
"Panah...!" seru Panglima Gagak Sewu memberi perintah.
Wus! Slap! Lima orang prajurit yang memegang busur langsung melepaskan anak-anak panahnya,
begitu prajurit prajurit Kerajaan Jenggala sudah cukup dekat. Panah-panah itu
langsung menerjang, menembus prajurit yang berada di depan. Saat itu juga,
terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya beberapa
prajurit berkuda. Sementara, Panglima Gagak Sewu juga cepat melepaskan anak-anak
panahnya, membuat arus para prajurit Jenggala itu jadi terhambat.
"Munduuur...!" teriak Panglima Gagak Sewu memberi perintah lagi.
Semua prajurit yang berada di belakang Panglima Gagak Sewu segera menghentakkan
tali kekang kudanya. Langsung kuda mereka dipacu cepat menyusul pedati yang
ditumpangi Putri Arum Winasih, tepat di saat para prajurit dari Kerajaan
Jenggala sudah memasang panahnya.
"Hiyaaa...!"
Panglima Gagak Sewu cepat-cepat menggebah kudanya, begitu melepaskan anak
panahnya yang terakhir. Sementara di belakang dengan jarak beberapa tombak,


Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para prajurit Kerajaan Jenggala langsung menggebah cepat kudanya. Bahkan beberapa prajurit melepaskan panahnya. Panglima Gagak Sewu cepat-cepat merunduk,
hingga dua batang anak panah lewat di atas kepalanya. Tapi...
Jleb! "Aaakh...!"
Satu orang prajurit yang berada di samping Panglima Gagak Sewu tiba-tiba
menjerit, begitu sebatang anak panah menembus punggungnya. Dan keseimbangan
tubuhnya tidak bisa lagi dikendalikan. Seketika itu juga dia jatuh terbanting
dari kudanya. Tubuhnya bergelimpangan beberapa kali, lalu mengejang kaku dan
diam tak bernyawa lagi.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Panglima Gagak Sewu terus cepat menggebah kudanya. Sementara, tampak pedati dan
sepuluh orang prajuritnya sudah melewati perbatasan yang ditandai oleh sebuah
bangunan batu berbentuk sebuah puri yang tidak besar ukurannya. Saat itu,
kembali terdengar jeritan panjang yang disusul ambruknya seorang prajurit lagi
yang berada di sebelah kanan Panglima Gagak Sewu.
Sudah tiga orang prajurit Panglima Gagak Sewu terjungkal dari kudanya, dengan
sebatang anak panah menembus punggung. Sementara perbatasan Karang Setra sudah
semakin dekat, tapi prajurit-prajurit Kerajaan Jenggala yang mengejar juga
semakin dekat. "Cepat, Gusti Panglima. Cepat...!" teriak Ki Manik dari atas pedati memberi
semangat. Sementara Panglima Gagak Sewu dan enam orang prajuritnya yang tersisa terus
menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Sedangkan prajurit-prajurit Kerajaan
Jenggala juga semakin dekat saja. Namun Panglima Gagak Sewu dan enam orang
prajuritnya ternyata berhasil juga melewati gerbang perbatasan.
Mereka segera menghentikan lari kudanya setelah dekat dengan pedati yang
dikendalikan Ki Manik. Saat itu juga, para prajurit dari Kerajaan Jenggala
menghentikan pengejaran. Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya yang
berpakaian panglima, kelihatan kesal melihat buruannya sudah berhasil melewati
perbatasan. "Phuuuh...!" Panglima Gagak Sewu menghembuskan napas panjang.
Panglima setengah baya itu tetap duduk di punggung kudanya, menatap tajam pada
panglima dari Kerajaan Jenggala yang juga memandangnya dengan sorot mata memerah
tajam. "Ayo, tjnggalkan mereka," ajak Panglima Gagak Sewu.
Kini rombongan yang sudah berkurang empat orang itu melanjutkan perjalanan,
meninggalkan perbatasan dan para prajurit dari Kerajaan Jenggala yang terus
memandangi dengan sorot mata kesal. Sementara, Panglima Gagak Sewu memalingkan
mukanya sedikit ke belakang. Bibirnya tampak tersenyum, karena sudah berhasil
lolos dari kejaran prajurit-prajurit itu. Tapi, hatinya juga belum bisa tenang.
Meskipun sudah berada di wilayah Kerajaan Karang Setra, bukan berarti bahaya
sudah lewat begitu saja. Di dalam hatinya, Panglima Gagak Sewu khawatir juga
kalau-kalau orang-orang dari Kerajaan Jenggala menyelusup ke Karang Setra dengan
cara menyamar untuk mencari mereka. Terutama, Putri Arum Winasih. Mereka tentu
tidak akan tinggal diam begitu saja, sebelum bisa melenyapkan putri cantik itu.
"Hhh...!" Panglima Gagak Sewu menghembuskan napas panjang-panjang.
*** 2 Tepat di saat matahari hampir tenggelam di ufuk barat, rombongan kecil yang
dipimpin Panglima Gagak Sewu tiba di depan bangunan Istana Karang Setra. Sebuah
bangunan yang sangat megah, tapi kelihatan begitu terbuka, hingga bentuk istana
itu terlihat jelas dari jalan yang cukup besar dan selalu ramai ini. Mereka
langsung menuju pintu gerbang yang dijaga empat orang prajurit berusia muda
bersenjatakan sebatang tombak berukuran dua kali panjang tubuh mereka, masingmasing di tangan kanan.
Seorang prajurit penjaga menghampiri Panglima Gagak Sewu yang masih tetap duduk
di punggung kudanya. Panglima berusia setengah baya itu melompat turun, begitu
prajurit yang masih berusia muda ini dekat di depannya.
"Siapa kalian" Dan, ada perlu apa datang ke sini?" tanya prajurit itu, ramah.
"Kami dari Kerajaan Jenggala. ingin bertemu Gusti Prabu Rangga," sahut Panglima
Gagak Sewu "Kau seorang utusan?"
Panglima Gagak Sewu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
"Ayo, ikuti aku," ajak prajurit itu.
Panglima Gagak Sewu menuntun kudanya, mengikuti prajurit penjaga itu. Sedangkan
yang lain cepat turun dari punggung kudanya. Dan mereka berjalan mengikuti
prajurit yang berada paling depan. Sedangkan Ki Manik tetap berada di atas
pedatinya, sambil menjalankan perlahan-lahan di belakang yang lain.
"Kalian tetap di sini dulu," ujar Panglima Gagak Sewu setelah sampai di depan
tangga masuk ke istana.
Tidak ada yang menjawab. Mereka semua hanya menganggukkan kepala saja. Panglima
Gagak Sewu menatap sebentar ke arah pedati, tepat ketika Emban Girika sedikit
menjulurkan kepala ke luar. Kemudian, panglima itu melangkah meniti anak-anak
tangga mengikuti prajurit penjaga yang terus berjalan di depan.
"Tunggu dulu di sini," kata prajurit itu, setelah tiba di ruangan yang sangat
luas dan megah.
Panglima Gagak Sewu hanya mengangguk saja. Sementara prajurit muda itu terus
berjalan menyeberangi ruangan ini, dan menghilang di balik pintu yang berukuran
sangat besar. Tapi tidak lama dia muncul lagi bersama seorang pemuda tampan,
berbaju merah muda dari bahan sutera halus.
"Panglima Gagak Sewu...!" seru pemuda itu begitu melihat Panglima Gagak Sewu.
"Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, Danupaksi," ujar Panglima Gagak Sewu
seraya tersenyum.
Pemuda tampan itu memang Danupaksi, adik tiri Rangga yang dikenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti, yang juga raja di Karang Setra ini. Danupaksi bergegas
menyongsong Panglima Gagak Sewu. Dan mereka berpelukan dengan hangat, membuat
prajurit penjaga yang mengantarkan Panglima Gagak Sewu tadi jadi terlongong
bengong tidak mengerti.
"Prajurit, kembali ke tempatmu," perintah Danupaksi.
"Hamba, Gusti," sahut prajurit itu seraya memberi sembah hormat.
"Mari, Paman," ajak Danupaksi ramah.
"Sebentar, Danupaksi," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Ada apa?"
"Aku datang tidak sendiri, Danupaksi."
"Oh..."
"Ada Gusti Putri Arum Winasih."
"Oh, ya..."! Kenapa tidak masuk saja?"
"Gusti Putri sedang sakit."
"Oh..."!"
Danupaksi terperanjat bukan main mendengar kedatangan Putri Arum Winasih. Dan
lebih terkejut lagi, begitu mendengar Putri Arum Winasih sedang sakit. Bergegas
pemuda itu keluar dari ruangan ini, diikuti Panglima Gagak Sewu. Danupaksi jadi
tertegun begitu melihat mereka yang datang bersama Panglima Gagak Sewu.
Saat itu juga, Danupaksi baru menyadari kalau Panglima Gagak Sewu tidak
mengenakan pakaian seorang panglima, tapi memakai pakaian biasa seperti orang
kebanyakan. Dan mereka semua juga tidak mengenakan pakaian prajurit. Tapi yang
membuat Danupaksi jadi tertegun, jumlah mereka hanya enam belas orang saja,
selain Ki Manik dan Putri Arum Winasih yang berada di atas pedati.
"Paman...," ujar Danupaksi terputus, seraya menatap Panglima Gagak Sewu yang
berdiri di sampingnya.
"Nanti akan kujelaskan, Danupaksi. Sekarang tolong beri perawatan dulu pada
Gusti Putri," kata Panglima Gagak Sewu cepat-cepat.
*** Panglima Gagak Sewu memang sudah dikenal baik dalam lingkungan keluarga besar
Istana Karang Setra. Bahkan sebenarnya dia sendiri kelahiran Karang Setra. Tapi
begitu menginjak remaja, panglima itu pergi ke Kerajaan Jenggala, karena ayahnya
memang dari kerajaan itu dan menjadi panglima di sana. Hingga akhirnya, dia
menggantikan kedudukan ayahnya, untuk mengabdi di Kerajaan Jenggala. Memang,
antara Panglima Gagak Sewu dengan keluarga Istana Karang Setra terjalin
persahabatan yang sangat erat. Bahkan antara Kerajaan Karang Setra dengan
Kerajaan Jenggala juga menjalin hubungan persahabatan yang erat. Maka tidak
heran kalau mereka semua diterima dengan baik.
Tapi yang membuat Danupaksi jadi heran, kedatangan mereka tidak seperti layaknya
seorang pembesar kerajaan. Bahkan Putri Arum Winasih sendiri berpakaian tidak
sebagaimana layaknya seorang putri raja. Bukan hanya Danupaksi saja yang heran.
Cempaka, Ki Lintuk, Paman Wirapati, dan seluruh pembesar Kerajaan Karang Setra
juga tidak mengerti melihat keadaan tamu-tamunya ini.
Sementara, Putri Arum Winasih sudah mendapat perawatan dan kamar yang baik.
Sedangkan Panglima Gagak Sewu dan semua prajuritnya berkumpul di ruangan Balai
Sema Agung, bersama Danupaksi serta seluruh pembesar utama Kerajaan Karang
Setra. Saat itu, malam sudah datang menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Karang
Setra ini. Dan kegelapan begitu jelas terlihat di luar, dari jendela yang
seluruhnya terbuka lebar.
"Aku yakin, kedatangan Paman ke sini bukan karena diutus Prabu Gandaraka," ujar
Danupaksi memecah kesunyian di dalam ruangan Balai Sema Agung ini "Ceritakan,
Paman. Apa sebenarnya yang terjadi...?"
"Hhh...!"
Panglima Gagak Sewu menghela napas dalam-dalam. Terasa begitu berat tarikan
napasnya. Dan raut wajahnya kelihatan berselimut mendung, membuat Danupaksi yang
duduk tepat di depannya jadi mengerutkan kening. Adik tiri Raja Karang Setra ini
semakin yakin kalau ada sesuatu yang telah terjadi di Kerajaan Jenggala,
sehingga membuat Putri Arum Winasih, Panglima Gagak Sewu, dan beberapa orang
prajurit yang datang ke Karang Setra ini berpakaian seperti orang kebanyakan.
"Ceritakan, Paman. Apa yang terjadi...?" desak Danupaksi.
"Aku malu untuk mengatakannya, Danupaksi. Aku merasa seperti tidak ada gunanya
lagi...," terdengar lirih sekali suara Panglima Gagak Sewu.
"Kenapa kau berkata begitu, Paman...?"
"Hhh...!"
Entah sudah berapa kali Panglima Gagak Sewu menarik napasnya dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan tengah mencari kekuatan untuk mengatakan
peristiwa yang telah terjadi di Kerajaan Jenggala.
"Terjadi pemberontakan di Jenggala, Paman...?" tebak Danupaksi, langsung.
"Yaaah.... Telah terjadi pemberontakan di Sana. Dan mereka sekarang berhasil
menggulingkan takhta," desah Panglima Gagak Sewu lirih.
Danupaksi menghembuskan napas panjang-panjang. Memang sudah diduga sejak pertama
kali Panglima Gagak Sewu datang bersama Putri Arum Winasih dan beberapa orang
prajurit berpakaian biasa. Ternyata, dugaannya tepat. Memang tidak mungkin
seorang putri raja keluar dari wilayahnya tanpa pengawalan cukup. Terlebih lagi,
panglima dan prajurit-prajurit yang mengawalnya tidak berpakaian prajurit yang
lengkap. Kerajaan Jenggala memang bukanlah kerajaan besar. Bahkan tidak memiliki prajurit
tangguh. Luas wilayahnya sendiri hanya sepertiga dari luas wilayah Kerajaan
Karang Setra. Tak heran kalau pertahanannya sangat rapuh, hingga mudah diserang
musuh. Dari beberapa panglima yang ada di Kerajaan Jenggala, Danupaksi tahu
kalau hanya Panglima Gagak Sewu saja yang memiliki kepandaian tinggi. Sedangkan
yang lain, bisa disamakan dengan para punggawa di Karang Setra ini.
"Paman, kapan itu terjadi?" tanya Danupaksi setelah terdiam beberapa saat.
"Lima hari yang lalu," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Lalu, bagaimana keadaan Gush Prabu Gandaraka?" tanya Danupaksi lagi.
"Aku tidak tahu, bagaimana keadaannya sekarang. Gusti Prabu Gandaraka
memerintahkan aku untuk menyelamatkan Gusti Putri Arum Winasih. Dan aku hanya
bisa membawa tiga puluh prajurit pilihanku. Tapi yaaah..., hanya tinggal mereka
saja yang masih hidup. Sebagian prajuritku telah gugur menghadang pengejaran
prajurit-prajurit yang memberontak," pelan sekali suara Panglima Gagak Sewu.
Panglima setengah baya itu memandangi para prajuritnya yang duduk di
belakangnya. Sedangkan para pembesar Karang Setra sepertinya tidak ada yang
membuka suara. Mereka merasa begitu prihatin atas keadaan yang terjadi di
Kerajaan Jenggala.
"Siapa yang mendalangi makar itu, Adi Gagak Sewu?" tanya Ki Lintuk yang sejak
tadi diam saja.
"Raden Banyugara," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Siapa..."!"
Danupaksi sampai terlonjak, begitu mendengar dalang pemberontakan di Kerajaan
Jenggala. Bahkan semua pembesar Karang Setra yang ada di dalam ruangan ini juga
kaget setengah mati. Mereka seperti tidak percaya pada apa yang didengar
barusan. Mereka semua tahu, siapa Raden Banyugara itu. Jelas sulit dipercaya
kalau yang mendalangi itu justru kakak sepupu Putri Arum Winasih sendiri, yang
berarti keponakan Prabu Gandaraka.
Dan mereka semua tahu, bagaimana Raden Banyugara itu. Dia adalah seorang pemuda
pendiam dan tidak banyak bicara kalau tidak ditanya. Bahkan banyak yang tahu
kalau Raden Banyugara tidak suka mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian.
Yang disukainya adalah menekuni ilmu-ilmu sastra dan ketatanegaraan. Bahkan
Raden Banyugara bisa dikatakan sebagai pemuda lemah. Jadi memang sulit bisa
dipercaya kalau pemuda yang kelihatan lemah dan tidak memiliki kepandaian ilmu
olah kanuragan sedikit pun, bisa memimpin sebuah pemberontakan.
"Raden Banyugara.... Kenapa hal itu dilakukannya..." Apa yang diinginkannya dari
pemberontakan...?" desah Paman Wirapati, seperti bicara pada diri sendiri.
"Kenapa dia melakukan pemberontakan itu, Adi Gagak Sewu?" tanya Ki Lintuk
setelah hilang rasa keterkejutannya.
"Inilah yang membuatku tidak mengeriti, Kakang Lintuk, Waktu itu sedikit pun
tidak ada tanda-tanda akan terjadi pemberontakan. Semua itu terjadi tiba-tiba
saja. Dan yang lebih mengherankan lagi, sebagian besar prajurit dan seluruh
panglima memihak padanya. Hanya sedikit saja prajurit yang setia pada Gusti
Prabu Gandaraka. Bahkan sebagian besar prajuritku sendiri, ikut bergabung dengan
mereka. Aku benar- benar tidak tahu, mengapa semua itu dilakukan...," sahut
Panglima Gagak Sewu masih terdengar pelan suaranya.
Dan mereka semua terdiam, tanpa ada yang bicara sedikit pun juga. Hingga keadaan
begitu sunyi, sampai-sampai suara tarikan napas dan detak jantung hampir
terdengar. "Danupaksi! Kedatanganku ke sini bukannya hendak meminta bantuan prajurit, tapi
hanya ingin agar Gusti Putri Arum Winasih mendapatkan perlindungan. Aku merasa,
hanya di sinilah tempat yang aman bagi Gusti Putri. Aku mohon pada kalian semua,
sampai aku dapat mengumpulkan kembali kekuatan dan merebut lagi takhta yang
sudah terguling," kata Panglima Gagak Sewu, setelah cukup lama berdiam diri.
"Karang Setra selalu terbuka untuk para sahabat, Paman Gagak Sewu," sambut
Danupaksi, sambil merentangkan tangannya.
"Terima kasih," ucap Panglima Gagak Sewu, merasa lega.
Danupaksi memberi senyuman persahabatan yang manis sekali.
'Tapi sayang...." desah Panglima Gagak Sewu.
"Ada apa, Paman?" tanya Danupaksi.
"Aku tidak bisa bertemu langsung dengan Gusti Prabu Rangga."
"Aku sudah memerintahkan Paman Wirapati agar menyebar telik sandi untuk mencari
Kakang Rangga. Aku yakin, tidak lama lagi Kakang Rangga pasti datang," jelas
Danupaksi. "Ah! Semoga saja cepat datangnya," harap Panglima Gagak Sewu.
"Memang sudah terlalu lama Kakang Rangga dan Kak Pandan meninggalkan istana. Aku
merasa, mereka tidak lama lagi datang ke sini," ujar Danupaksi, bernada
menghibur. Panglima Gagak Sewu hanya tersenyum saja. Dia tahu, Danupaksi hanya memberi
ketenangan pada hatinya saja. Masalahnya, Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali
Sakti dan sekaligus Raja Karang Setra sering bepergian meninggalkan istananya.
Dan memang sudah pasti, sebagai seorang pendekar kelana, dia tidak akan mungkin
bisa hidup di dalam lingkungan istana. Hanya sesekali saja Rangga berada di
istana ini. Itu pun tidak bertahan lama. Paling lama hanya lima hari. Dan
seterusnya, Pendekar Rajawali Sakti akan mengembara lagi. Akan dijelajahinya
alam yang luas dan ganas ini, untuk mengabdikan diri sebagai pendekar penegak
keadilan. *** Tiga hari sudah Panglima Gagak Sewu, Putri Arum Winasih, dan beberapa prajurit
berada di Istana Karang Setra. Kesehatan Putri Arum Winasih juga semakin
membaik. Untung saja panah yang menembus punggungnya tidak begitu dalam, hingga
tidak sampai membahayakannya.
Cempaka yang selalu menjenguk Putri Arum Winasih setiap saat, sore ini juga
sudah berada di dalam kamar tamu Kerajaan Karang Setra itu. Kelihatan cantik
sekali Putri Arum Winasih sore ini. Pipinya sudah kelihatan memerah. Dan matanya
juga sudah kelihatan cerah, bagai telaga bertaburkan butir-butir mutiara. Putri
Arum Winasih menyambut kedatangan Cempaka dengan senyum tersungging di bibir.
Begitu manis senyumnya.
"Kau kelihatan cantik sekali, Putri," puji adik tiri Pendekar Rajawali Sakti


Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, tulus. "Ah! Jangan memanggilku begitu, Kak Cempaka. Aku lebih muda darimu. Panggil saja
aku Arum," pinta Putri Arum Winasih tersipu.
"Tapi, bagaimanapun juga kau tetap seorang putri raja. Jadi tidak pantas kalau
aku memanggilmu begitu," balas Cempaka, merasa sungkan.
"Kak Cempaka juga."
"Aku...?"
Cempaka jadi tertawa. Entah kenapa, ucapan Putri Arum Winasih jadi menggelitik
hatinya. Tapi tawanya yang merdu itu tidak berlangsung lama. Adik tiri Rangga
itu melangkah menghampiri Putri Arum Winasih yang duduk dekat jendela.
Diambilnya tempat di samping putri dari Kerajaan Jenggala itu. Pandangannya
diarahkan ke depan, merayapi taman belakang istana yang tertata indah. Tampak
beberapa gadis bermain-main di dalam taman itu. Begitu riang, seakan tidak ada
beban sedikit pun pada diri mereka.
Dan kedua gadis itu jadi terdiam. Sama-sama memandang ke luar, menikmati
indahnya suasana senja. Matahari tampak memerah anggun, membias di balik puncak
bukit yang melatari istana ini. Angin pun berhembus lembut, menyebarkan udara
sejuk, membuat suasana senja semakin bertambah indah.
"Hhh...!" Cempaka menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Putri Arum Winasih berpaling sedikit, melirik adik tiri Pendekar Rajawali Sakti
ini. Tapi sebentar kemudian pandangannya sudah diarahkan ke puncak gunung yang
mulai diselimuti kabut. Rona merah masih membias begitu indah di sana.
"Indah sekali sore ini. Kau mau berjalan-jalan bersamaku, Arum...?" ujar Cempaka
lembut, seraya melirik sedikit pada gadis cantik di sebelahnya.
"Aku menunggu tawaranmu sejak tadi, Kak Cempaka," sambut Putri Arum Winasih
tersenyum. "Kenapa tidak bilang dari tadi...?"
"Aku tidak ingin merepotkanmu, Kak. Kau sudah terlalu repot mengurusku. Aku
tidak ingin menambah bebanmu lagi. Tapi, aku senang kalau berjalan-jalan
bersamamu. Ada rasa aman...," ujar Putri Arum Winasih.
"Ah, kau...," Cempaka jadi tersipu.
Mereka kemudian melangkah ke luar dari dalam kamar ini, langsung menuju ke taman
belakang istana yang megah. Dua orang penjaga pintu taman membungkuk memberi
hormat. Dan beberapa gadis yang ada di taman itu segera berlutut, memberi sembah
hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Kedua gadis berparas cantik itu terus saja melangkah perlahan-lahan seakan tidak
peduli pada mereka yang ada di sekelilingnya ini. Udara senja yang sejuk ini
memang sangat menyegarkan. Tanpa terasa, mereka berjalan sudah cukup jauh ke
tengah taman yang luas ini. Kini, tidak terlihat seorang pun lagi di tempat ini.
Mereka berhenti di pinggir sebuah kolam yang cukup besar, dengan bunga-bunga
teratai bermekaran di tengah-tengah kolam yang berair jernih ini. Kedua gadis
itu lalu duduk di sebuah bangku taman yang terbuat dari batu.
"Kalau ingat kejadian yang kualami, rasanya aku ingin belajar ilmu olah
kanuragan. Supaya kuat sepertimu, Kak Cempaka," ujar Putri Arum Wina sih.
"Tapi ada ruginya juga, Arum," kata Cempaka.
"Apa ruginya, Kak?"
"Sulit mendapat jodoh."
Kedua gadis itu jadi tertawa renyah. Mereka terus bercengkerama, dan sesekali
diseling tawa lepas berderai. Sampai keadaan mulai temaram, mereka masih tetap
duduk di bangku taman itu. Entah apa yang dibicarakan. Tapi, tampaknya
seringkali terdengar gurauan yang membuat mereka tertawa lepas berderai.
Sementara, matahari terus merayap semakin tenggelam ke dalam peraduannya. Kedua
gadis itu baru meninggalkan taman ini, setelah keadaan benar-benar gelap.
3 Malam terus merayap semakin larut. Kini kegelapan menyelimuti seluruh wilayah
Kerajaan Karang Setra. Namun di dalam kota, tampak begitu gemerlap oleh lampulampu yang terpasang di rumah-rumah dan pada hampir seluruh sudut jalan. Orangorang pun seakan tidak peduli kalau langit sudah menjadi gelap. Mereka masih
saja terlihat hilir mudik di jalan-jalan Kotaraja Karang Setra.
Di antara hilir mudiknya orang-orang di jalan ini, tampak dua orang anak muda
tengah melangkah tidak tergesa-gesa di pinggiran jalan. Mereka seakan-akan
tengah menikmati indahnya Kotaraja Karang Setra. Dan bila dilihat dari pakaian
yang rapi dan terbuat dari bahan sutera halus, jelas sekali kalau mereka bukan
orang sembarangan. Terlebih lagi, di pinggang masing-masing tersandang sebilah
pedang. "Ramai sekali di sini, Kakang Rasik." ujar salah seorang yang berbaju biru agak
ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar dan berotot. Wajahnya juga sangat
tampan, namun sorot matanya terlihat begitu tajam.
"Ya," sahut seorang lagi yang dipanggil Rasik tadi.
Rasik juga bertubuh tegap dan berotot, terbungkus baju merah muda yang juga
ketat. Wajahnya pun terlihat tampan, dengan kumis tipis menghiasi bagian atas
bibirnya. Selembar kain berwarna putih mengikat kepalanya. Tampak tangan
kanannya tidak henti-hentinya memainkan dua buah benda bulat berwarna putih
keperakan. "Sayang, kita punya tugas yang sangat penting di sini," keluh Rasik lagi. "Kau
tahu, Wirya. Kabarnya gadis di Karang Setra ini cantik-cantik."
"Masih banyak waktu Kakang. Kenapa tidak mencari hiburan saja dulu..." Urusan
tugas, bisa ditunda. Toh, tidak ada yang tahu, Kakang," kata pemuda yang bernama
Wirya seraya tersenyum.
"Tugas kita tidak ringan, Wirya."
"Aku tahu, Kakang. Tapi tidak ada salahnya kalau mencari sedikit hiburan. Sayang
kalau dilewatkan begitu saja."
Rasik hanya tersenyum saja. Dia tahu, Wirya memang gemar sekali mencari hiburan
berupa gadis-gadis cantik. Di dalam hatinya, ada sedikit penyesalan juga memulai
bicara tentang gadis-gadis Karang Setra yang kecantikannya memang sudah
terkenal. Tapi, mereka juga tahu kalau tidak mudah mencari gadis-gadis penghibur
di kota ini. Kalaupun ada, tempatnya sangat tersembunyi dan sulit dicari.
Terutama, yang baru datang ke kota ini. Bahkan penduduk kota ini sendiri tidak
semuanya yang tahu.
Segala macam hiburan yang menyediakan gadis-gadis penghibur memang dilarang di
kota ini. Apalagi ancaman hukumannya sangat berat. Maka tak heran akan kesulitan
mencari hiburan yang menyediakan gadis cantik di sini. Tapi memang, kota ini
jadi aman. Hingga, hampir tidak terdengar adanya keributan.
"Itu ada kedai, Kakang," tunjuk Wirya.
"Kau sudah lapar?" tanya Rasik.
"Sejak tadi, Kakang."
Rasik kembali tersenyum. Mereka kemudian menuju kedai yang kelihatannya sangat
ramai. Seorang laki-laki setengah baya yang merupakan pemilik kedai menyambut
mereka dengan senyum ramah tersungging di bibir. Ditunjukkannya sebuah meja
dengan dua kursi yang terletak agak ke sudut. Cukup besar juga kedai ini. Dan
pengunjungnya juga cukup banyak.
"Mau pesan apa, Den?" tanya pelayan itu ramah.
"Arak dan makanan yang paling enak di sini," sahut Rasik.
"Sebentar, Den," ujar pelayan itu.
Laki-laki setengah baya yang masih kelihatan tegap itu meninggalkan kedua pemuda
ini. Sementara, Rasik merayapi keadaan sekelilingnya. Demikian pula Wirya, yang
tidak mau ketinggalan. Bibirnya tersenyum-senyum melihat pelayan kedai ini
ternyata terdiri dari gadis-gadis muda berparas cantik. Tapi tingkah mereka
tidak kelihatan genit dan mengundang dalam melayani pengunjung kedai ini.
Laki-laki setengah baya tadi kini datang lagi bersama dua gadis muda berparas
cantik, sambil membawa dua baki berisi dua guci arak dan makanan yang dipesan.
Dengan sikap ramah dan senyum manis mereka meletakkan pesanan itu di atas meja.
Sementara, Wirya tidak henti-hentinya merayapi salah seorang gadis pelayan yang
berada di sebelahnya. Bau harum tubuh gadis itu membuat cuping hidung Wirya jadi
kembang-kempis.
"Cantik sekali kau. Siapa namamu...?" tanya Wirya tidak dapat lagi menahan diri.
"Narti, Den," sahut gadis pelayan itu lembut.
"Nama yang cantik. Secantik orangnya," puji Wirya menggoda.
Gadis itu hanya tersenyum tersipu saja. Bergegas ditinggalkannya tempat itu
setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sementara laki-laki setengah baya yang
menjadi pemilik kedai ini masih tetap berdiri di dekat meja itu.
"Silakan, Den," ujar laki-laki itu mempersilakan tamunya.
"Terima kasih, Ki," sahut Rasik.
Pemilik kedai itu hendak beranjak pergi, tapi Wirya sudah keburu mencegah dengan
mencekal tangannya.
"Ada apa. Den?"
"Apa di sini juga menyediakan penginapan, Ki?" tanya Wirya.
"Raden berdua ini pendatang?" pemilik kedai itu malah balik bertanya.
"Benar, Ki. Kami berdua datang dari jauh," sahut Rasik.
"Kedai ini memang menyediakan tempat untuk menginap, Den. Tapi, tidak terlalu
bagus. Dan biasanya, para pendatang seperti Raden berdua ini selalu mencari
tempat menginap yang bagus. Kalau mau, Raden bisa ke rumah penginapan yang ada
di ujung jalan ini. Di sana tempatnya bagus, Den," tunjuk pemilik kedai itu
memberi tahu. "Ada teman wanita tidak, Ki?" tanya Wirya setengah berbisik.
"Wah, kalau itu tidak tahu, Den. Tapi..."
"Tapi kenapa, Ki?"
"Kalau Raden mau, pemilik rumah penginapan itu bisa mencarikannya. Hanya saja,
harus diam-diam. Karena pekerjaan seperti itu sangat dilarang di kota ini, Den.
Bahkan hukumannya juga sangat berat kalau ketahuan. Jadi, harus hati-hati saja,
Den." "Terima kasih, Ki," ucap Wirya seraya tersenyum.
"Permisi, Den."
"Ya...."
Laki-laki setengah baya pemilik kedai itu bergegas berlalu dengan tergopohgopoh. "Kau terlalu, Wirya. Seharusnya caranya jangan begitu," tegur Rasik.
"Kepalang basah, Kakang. Kalau tidak begitu, mana bisa kita mencari tahu di kota
yang besar begini...," sahut Wirya seenaknya.
"Hhh.... Terserah kau sajalah. Kalau ada apa-apa, tanggung sendiri akibatnya."
"Jangan khawatir, Kakang. Aku sudah banyak tahu tentang keadaan di Karang Setra
ini," sahut Wirya, kalem.
Rasik tidak bicara lagi. Dituangnya arak dari dalam kendi ke gelas bambu dan
diteguknya hingga tandas tak bersisa dalam sekali tenggak saja. Sementara Wirya
sudah mulai menikmati makanannya. Sesekali matanya melirik gadis pelayan yang
tadi melayani dan memperkenalkan diri sebagai Narti. Dan rupanya, gadis itu juga
sudah beberapa kali melirik Wirya. Hingga satu saat, lirikan mata mereka
bertemu. Wirya langsung memberi senyumannya yang teramat manis. Tapi, Narti
cepat-cepat menyembunyikan wajahnya, dan berlalu dari ruangan kedai ini.
Sementara Wirya hanya dapat tertawa saja di dalam hati, melihat tingkah gadis
pelayan yang cukup cantik itu.
*** Penginapan yang ditunjukkan oleh pemilik kedai itu memang bagus sekali.
Tempatnya bersih, dan kamar- kamarnya juga cukup besar. Mereka mendapatkan dua
kamar terpisah. Wirya yang sejak di kedai tadi sudah mengincar gadis pelayan
yang bernama Narti, segera keluar dari kamarnya, setelah Rasik sudah mendengkur
dalam kamarnya sendiri. Bergegas pemuda itu beranjak dari kamarnya, lalu pergi
keluar. Dia langsung menuju tempat Narti bekerja menjadi pelayan kedai. Sengaja
Wirya menunggu tidak jauh di depan kedai, mengamati keadaan yang semakin sepi.
Hingga menjelang tengah malam, kedai itu baru tutup, setelah semua pengunjungnya
pergi. Wirya terus menunggu dengan sabar. Kelopak matanya seperti tak pernah
berkedip, mengamati kedai yang semakin gelap. Kini kedai itu hanya diterangi
satu pelita saja di beranda depan. Tampak dari samping kedai, serombongan gadis
yang bekerja menjadi pelayan di sana meninggalkan tempat pekerjaannya.
"Hm, mana dia...?"
Wirya mengamati satu persatu gadis-gadis yang keluar dari kedai itu, tapi Narti
tidak terlihat di antara mereka. Hatinya mulai tidak sabar. Padahal, semua gadis
pelayan kedai itu sudah pulang dan tidak kelihatan lagi seorang pun. Saat Wirya
mulai tidak sabar, terlihat seorang gadis keluar dari dalam kedai, melalui pintu
depan. Sedangkan laki-laki setengah baya pemilik kedai itu tampak mengantarkan
sampai ke pintu depan. Entah apa yang mereka percakapkan, karena terlalu jauh
bagi Wirya untuk mendengar. Tapi, tidak lama gadis itu melangkah pergi.
Sedangkan pemilik kedai itu menutup pintunya. Wirya menunggu dengan sabar di
bawah pohon yang cukup gelap. Begitu gadis pelayan kedai yang dikenalinya
bernama Narti sudah dekat, barulah dia menampakkan diri.
"Oh..."!"
Narti nampak terkejut, begitu tiba-tiba Wirya muncul tepat di depannya. Tapi
begitu mengenali wajah Wirya yang tadi makan di kedai, gadis itu langsung
memberi senyuman yang manis sekali. Melihat hal ini, jakun Wirya jadi turun
naik. "Malam sekali pulangnya, Narti," tegur Wirya dibuat lembut suaranya.
"Ah! Sudah biasa pulang tengah malam, Den," sahut Narti seraya menunduk.
"Jangan panggil aku raden. Panggil saja Kang Wirya," kata Wirya meminta.
Narti hanya tersenyum tersipu saja.
"Mau pulang?" tanya Wirya berbasa-basi.
"Iya."
"Boleh kuantar?" Wirya langsung menawarkan.
"Ah, jangan. Nanti merepotkan saja"
"Tidak. Aku senang bisa berkenalan denganmu, Narti. Bolehkah kuantar...?"
Narti hanya mengangguk sedikit saja. Dan mereka kemudian mulai melangkah
menyusuri jalan yang sudah sunyi. Tidak terlihat seorang pun di jalan ini.
Mereka terus berjalan sambil berbicara ringan. Tanpa terasa, mereka sudah
berjalan cukup jauh. Dan kini depan Istana Karang Setra yang megah dan terang
benderang oleh cahaya lampu sudah terlewati. Terlihat enam orang prajurit
menjaga pintu gerbang istana yang tertutup rapat itu. Wirya menghentikan
langkahnya, tepat di depan pintu gerbang istana. Matanya terus memandang ke arah
istana yang berdiri megah dan terlihat jelas dari jalan ini. Narti juga ikut
berhenti. Sekilas dipandangnya wajah Wirya yang kelihatan begitu seksama
memandangi bangunan istana yang megah itu.
"Ada apa, Kakang" Kenapa memandangi istana?" tegur Narti.
"Ah, tidak...," sahut Wirya buru-buru, dan terus melangkah lagi.
Narti mengikuti di samping kanan pemuda ini. Mereka terus berjalan semakin jauh,
menuju arah barat. Sementara dua kali Wirya berpaling ke belakang, memandang
enam prajurit yang menjaga pintu gerbang istana itu. Sedangkan Narti sempat
memperhatikan dengan kelopak mata agak menyipit.
"Kau mengagumi keindahan Istana itu, Kakang?" tegur Narti lagi.
"Ya," hanya desahan saja yang keluar dari bibir Wirya.
"Memang semua pendatang selalu mengagumi keindahan istana. Aku juga selalu kagum
melihatnya. Sering kubayangkan, bagaimana seandainya masuk dan tinggal di dalam
istana beberapa hari. Pasti lebih enak tinggal di istana ya, Kakang...?" ujar
Narti seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi lebih enak hidup bebas tanpa harus dikekang oleh segala macam aturan dan
dikelilingi pengawal, Narti," kata Wirya.
"Mungkin juga begitu, Kakang. Lihat saja Gusti Prabu Rangga. Sehari-harinya,
beliau selalu mengembara bersama Gusti Ayu Pandan Wangi. Mereka jarang berada di
istana. Dan yang menjadi kepala pemerintahannya saja, adik tirinya. Namanya
Raden Danupaksi."
"Hm...," Wirya hanya menggumam perlahan saja.
"Kata orang, Gusti Prabu Rangga adalah seorang pendekar yang sangat sakti,
Kakang. Makanya sering bepergian jauh. Sekarang saja, beliau tidak sedang berada
di istana. Padahal, sekarang ini ada tamu penting dari kerajaan lain," tutur
Narti, tanpa diminta.
'Tamu penting...?"
"lya, itu juga kata orang. Tapi, aku hanya mendengar saja, Kakang. Kalau siang
hari. banyak prajurit yang makan di kedai. Mereka sering bercerita tentang
keadaan di dalam istana. Prajurit-prajurit itu yang bercerita, kalau sekarang
ada tamu penting di istana. Tapi, sekarang ini Gusti Prabu Rangga sendiri tidak
ada. Maka pihak kerajaan segera mengirimkan utusan untuk memberi tahu Gusti
Prabu." "Kau tahu siapa tamunya?" tanya Wirya.
"Kalau tidak salah, Putri Arum Winasih dari Kerajaan Jenggala, Kakang. Kau tahu,
di mana Kerajaan Jenggala...?"
Wirya hanya diam saja.
'Tidak jauh, Kakang. Hanya melewati Hutan Rangkas saja. Kalau dari sini, hanya
tiga hari perjalanan saja."
Wirya hanya tetap diam. Sementara, mereka terus berjalan menyusuri jalan yang
cukup besar membelah kota ini. Sedangkan Narti tidak bicara lagi. Dan kini,
mereka berhenti setelah di ujung jalan, tepat di depan sebuah rumah penginapan.
Di rumah penginapan itulah Wirya malam ini tinggal. Ditatapnya ke arah sebuah
jendela yang tertutup rapat. Dan di balik jendela itu, adalah kamar yang


Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditempati Rasik.
"Aku menginap di sini," kata Wirya. "Mau mampir dulu...?"
"Sudah malam, Kakang."
"Sebentar saja."
Narti kelihatan ragu-ragu.
"Kau takut...?"
Narti diam saja, masih kelihatan ragu-ragu. Sementara Wirya sudah mulai
kelihatan tidak sabar. Diambilnya tangan gadis itu dan digenggamnya dengan
hangat. Narti mengangkat kepalanya sedikit, hingga pandangannya langsung bertemu
pandangan mata pemuda itu.
"Mampir dulu, ya...."
Narti tidak bisa menjawab. Entah kenapa, dia menurut saja saat Wirya
membimbingnya memasuki halaman rumah penginapan itu. Seorang laki-laki tua yang
menjaga rumah penginapan hanya melirik sedikit saja. Dia kelihatan tidak peduli,
dan terus merebahkan kepalanya di atas meja.
*** "Nah, ini kamarku," tunjuk Wirya sambil membuka pintu kamar yang disewanya.
Narti hanya diam saja diambang pintu. Dipandanginya bagian dalam kamar yang
cukup luas dan indah ini. Seperti tidak sadar, gadis itu melangkah masuk. Wirya
hanya tersenyum-senyum saja mengikuti dari belakang. Tapi, bola matanya terus
berputar liar memandangi bentuk tubuh yang ramping dan indah ini.
Narti memang gadis cantik, walaupun hanya seorang pelayan di rumah makan.
Kulitnya putih dan halus. Bentuk tubuhnya begitu indah dan ramping. Rambutnya
juga hitam bergelombang, berkilatan tertimpa cahaya lampu pelita yang tergantung
di tengah tengah ruangan kamar sewaan ini. Sementara, diam-diam Wirya menutup
pintu dan menguncinya dari dalam. Sedangkan Narti seperti masih terpesona
melihat keadaan kamar ini, seakan-akan baru pertama kali melihat kamar yang
begitu indah. "Kau suka di sini, Narti...?" ujar Wirya lembut, masih berdiri di belakang gadis
itu. Perlahan Narti memutar tubuhnya, hingga berhadapan langsung dengan pemuda ini.
Kepalanya jadi tertunduk begitu melihat senyuman lebar terkembang di bibir
Wirya. Lalu tubuhnya diputar sedikit ke kanan, dan melangkah menghampiri
pembaringan yang berukuran cukup besar beralaskan kain sutera halus berwarna
merah muda. Perlahan-lahan gadis itu duduk di tepi pembaringan ini.
'Tentu mahal sekali sewanya, Kakang," kata Narti perlahan.
"Ah, tidak...," sahut Wirya seraya menghampiri.
Wirya kemudian duduk di sebelah gadis ini. Begitu dekat, hingga bau harum gadis
itu tercium hidungnya. Perlahan Wirya mengambil tangan gadis itu, dan
menggenggamnya erat-erat. Lalu, sebelah tangan lagi melingkar di pundak yang
ramping ini. Sedangkan Narti hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
"Kau suka kamar ini, Narti?" lembut sekali suara itu terdengar di telinga Narti.
Narti hanya diam saja, dan masih menundukkan kepalanya.
"Kalau suka, kau boleh tidur di sini malam ini," kata Wirya lagi.
Narti mengangkat kepalanya perlahan, dan langsung menatap bola mata pemuda itu.
Dan ketika Wirya membalasnya dengan lembut, disertai senyum yang terus
terkembang manis di bibirnya. Beberapa saat mereka saling berpandangan.
"Kau cantik sekali, Narti...."
Wirya mulai melancarkan rayuannya. Sedangkan Narti hanya diam saja. Bahkan masih
tetap diam, saat Wirya mulai mendekatkan wajahnya. Dan begitu dekat, hingga
dengus napas mereka terasa begitu hangat menerpa kulit wajah masing-masing.
Tampak belahan bibir Narti yang merah mulai bergetar saat Wirya mendekatkan
bibirnya. "Hp."
"Hm..."
Saat itu juga, bibir mereka sudah menyatu rapat. Wirya mengulum dan melumatnya
dengan gairah menggelora dalam dada. Kedua tangannya sudah melingkar, memeluk
tubuh ramping ini erat-erat. Sementara Narti seperti pasrah, tidak bergeming
sedikit pun. Bahkan tangannya juga dilingkarkan ke leher pemuda ini, membuat
gairah Wirya semakin menggelora saja.
"Ahhh...."
Narti mendesah lirih, saat Wirya melepaskan pagutannya. Dan perlahan-lahan,
gadis ini direbahkan di pembaringan. Dipandanginya wajah Narti yang cantik,
dengan belahan pipi yang kemerahan seperti bayi. Narti memalingkan wajahnya,
seakan tidak sanggup membalas tatapan lembut penuh gairah mata pemuda ini.
"Hpsss..."
Narti mulai merintih dan menggelinjang, saat jari-jari tangan Wirya menjelajahi
tubuhnya dan menyelinap ke dalam pakaiannya. Kedua bola mata gadis itu terpejam
sambil menggigit-gigit bibirnya sendiri. Sementara, Wirya semakin menggelegak
gairahnya. Dengus napasnya mulai terdengar memburu. Gerakan tangannya yang
cepat, mulai melepaskan satu persatu pakaian yang dikenakan gadis ini
"Oh..."
Dan malam terus berlalu, berpacu dengan dengus napas dua insan dalam gejolak
birahi. Malam yang seharusnya dingin, justru semakin panas di kamar ini. Seekor
cicak remaja tampak malu-malu mengintip dua manusia berlainan jenis tengah
bergumul di tengah gelombang asmara dari balik sebuah cermin di dinding.
*** 4 Pagi-pagi sekali Wirya dan Rasik meninggalkan rumah penginapan. Mereka keluar
sebelum matahari benar-benar penuh menampakkan diri. Hanya rona merah saja yang
masih terlihat menyemburat di kaki langit sebelah timur. Langkah mereka terlihat
cepat, meninggalkan penginapan itu menuju tengah Kotaraja Karang Setra. Dan
mereka baru berhenti setelah berada tidak jauh di bagian samping sebelah barat
Istana Karang Setra.
"Aku rasa bukan sekarang saatnya yang tepat, Wirya. Kau lihat. Penjagaan begitu
ketat. Rasanya sukar bagi kita untuk menembus langsung ke dalam. Apalagi, siang
hari begini," kata Rasik tanpa berpaling sedikit pun.
"Tapi aku tahu, Putri Arum Winasih ada di dalam sana, Kakang," kata Wirya pasti.
"Bagaimana kau bisa yakin, Wirya" Sedangkan kita hanya menduga-duga saja," kata
Rasik. Wirya tidak menjawab, tapi malah tersenyum-senyum saja. Tanpa disadari, Rasik
memperhatikannya dengan kelopak mata agak menyipit. Dan Wirya baru tahu kalau
sedang diperhatikan setelah berpaling.
"Aku mendapat keterangan penting semalam," kata Wirya memberi tahu.
"Dari mana?" tanya Rasik.
"Kau tidak perlu tahu, dari mana aku memperoleh keterangan kalau Putri Arum
Winasih ada di istana ini. Juga, jangan tanya bagaimana caranya mendapatkan
keterangan itu, Kakang," sahut Wirya sombong.
"Wanita...?" tebak Rasik langsung.
Wirya hanya tersenyum saja. Memang, Rasik sudah tahu betul watak temannya ini.
Rasanya tidak ada waktu terbuang sedikit pun bagi Wirya, untuk mendapatkan
perempuan- perempuan yang bisa diajak tidur. Memang, Wirya memiliki wajah tampan
dan tubuh tegap. Dan suaranya juga sangat lembut. Tak heran kalau wanita yang
kenal dengannya, tidak akan sanggup menolak. Seperti tidak sadar, tubuhnya akan
direngkuh ke dalam pelukan Wirya di atas ranjang.
Keahlian Wirya yang satu ini memang tidak dapat diikuti Rasik. Meskipun juga
berwajah tampan dan bertubuh tegap berotot, tapi Rasik tidak pandai merayu
wanita. Apalagi, sampai mengajaknya ke atas ranjang. Dan keahlian Wirya yang
satu ini memang seringkali sangat bermanfaat untuk mendapatkan keterangan yang
diperlukan. Seperti sekarang ini, mudah sekali Wirya sudah tahu kalau Putri Arum
Winasih berada di dalam Istana Karang Setra. Padahal, kemarin mereka baru
memperkirakan saja. Walaupun, dalam hati sudah yakin kalau Putri Arum Winasih
pasti berada di dalam istana bersama Panglima Gagak Sewu dan beberapa prajurit
yang berhasil lolos dari kejaran para prajurit Kerajaan Jenggala yang
memberontak. "Ayo ke depan, Wirya," ajak Rasik.
Mereka kemudian melangkah menyusuri benteng istana yang tidak begitu tinggi ini.
Meskipun hampir tidak terlihat adanya prajurit penjaga, tapi mereka tetap yakin
kalau penjagaan di sekitar istana ini sangat ketat.
"Kakang! Kau tahu, siapa Raja Karang Setra ini...?" tanya Wirya bernada menguji.
"Prabu Rangga Pati Permadi," sahut Rasik tanpa berpaling sedikit pun.
"Kau tahu, siapa dia?"
Rasik hanya menggeleng saja.
"Dia seorang pendekar, Kakang. Dan sering bepergian. Sekarang ini, dia juga
tidak ada di istana. Dan yang menggantikan kedudukannya untuk sementara, hanya
adik tirinya saja. Jadi, istana ini dalam keadaan kosong, Kakang," jelas Wirya,
memberi tahu. Rasik berpaling menatap temannya ini. Sungguh tidak dimengerti, dari mana Wirya
mendapatkan keterangan yang begitu lengkap. Padahal, baru kemarin mereka sampai
di Kotaraja Karang Setra ini. Tapi, Wirya seperti sudah berhari-hari berada di
sini. Sampai-sampai, keadaan rajanya yang sering bepergian pun diketahuinya.
"Aku bisa mengenalinya kalau dia ada, Kakang. Selain raja, dia juga seorang
pendekar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," kata Wirya memberi tahu lagi.
"Siapa..."!"
"Pendekar Rajawali Sakti."
Rasik begitu terkejut mendengar Raja Karang Setra bergelar Pendekar Rajawali
Sakti. Siapa yang tidak kenal julukan itu..." Semua orang yang pernah
berkecimpung dalam rimba persilatan pasti akan mengenal Pendekar Rajawali Sakti.
Seorang tokoh muda dalam rimba persilatan yang sukar sekali dicari tandingannya.
Bahkan sudah banyak tokoh persilatan berkepandaian tinggi dapat ditaklukkannya,
sehingga selalu menyeganinya. Tidak peduli, apakah itu lawan atau kawan.
Dan Rasik benar-benar terkejut, sampai-sampai menghentikan ayunan kakinya.
Langsung dipandanginya Wirya dengan sinar mata yang begitu dalam, seakan-akan
mencari kebenaran dari ucapan yang mengejutkannya barusan. Sungguh tidak pernah
terkira kalau Raja Karang Setra adalah tokoh persilatan kosen yang bergelar
Pendekar Rajawali Sakti. Rasik kembali mengayunkan kakinya tanpa bicara lagi.
Sedangkan Wirya juga terdiam membisu.
Dan begitu tiba di bagian depan istana, Rasik dan Wirya melihat dua orang
penunggang kuda memasuki pintu gerbang. Mereka jadi tertegun, karena kedua
penunggang kuda itu berpakaian biasa saja, seperti layaknya para pendekar yang
berkelana di dalam rimba persilatan. Tapi, enam orang prajurit yang menjaga
pintu gerbang istana itu kelihatan memberi penghormatan dengan membungkuk dan
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Seorang pemuda yang menunggang kuda hitam melompat turun begitu melewati pintu
gerbang yang dibuka lebar. Dan satu penunggang kuda lainnya adalah seorang gadis
cantik berbaju biru. Dia juga melompat turun dari punggung kudanya. Tampak dua
orang laki-laki setengah baya menghampiri dengan langkah bergegas. Mereka segera
memberi penghormatan, lalu mengambil kuda-kuda itu dan membawanya pergi ke
bagian belakang. Sementara, sepasang anak muda yang berpakaian seperti layaknya
seorang pendekar itu melangkah menuju tangga istana. Saat itu, pintu gerbang
tertutup. Sementara, Rasik dan Wirya terus memandangi sampai pintu gerbang tertutup rapat.
Mereka berpandangan beberapa saat, tapi tidak ada seorang pun yang bersuara.
"Itu tadi Prabu Rangga yang datang, Kakang. Aku tahu, dari pakaian dan pedangnya
yang dibawa," jelas Wirya.
"Hm...," Rasik hanya menggumam perlahan saja.
"Ini sudah pasti kesulitan besar, Kakang. Tidak mungkin kita bisa
menandinginya," kata Wirya lagi. "Kepandaiannya begitu tinggi. Bahkan Raden Banyugara sendiri belum tentu bisa menandinginya "
"Jangan mengeluh, Wirya. Tugas ini sangat penting. Kalau berhasil, kita akan
memperoleh kedudukan yang sangat tinggi di Jenggala," tegas Rasik, mengingatkan.
"Aku jadi ragu-ragu, Kakang."
"Kenapa?"
"Prabu Rangga sudah datang. Pasti penjagaan akan semakin diperketat. Dan
rasanya, akan sulit untuk bisa melewatinya. Kalaupun bisa, kita harus menghadapi
Prabu Rangga sendiri. Itu tidak mungkin, Kakang. Tidak mungkin kita bisa
menandingi hanya berdua saja. Kau sudah dengar kehebatannya, kan...?"
Rasik hanya diam saja. Dalam hati, diakui ke benaran kata-kata Wirya tadi.
Memang, mereka berdua tidak akan mungkin bisa menandingi kepandaian Pendekar
Rajawali Sakti. Apalagi mereka sudah sering mendengar sepak terjang pendekar
muda yang juga jadi raja di Kerajaan Karang Setra ini.
"Ayo kembali ke penginapan. Kita pikirkan nanti di sana," ajak Rasik.
Wirya hanya mengangkat bahunya sedikit saja.
Sementara itu di dalam istana, semua orang tampak gembira menyambut kedatangan
Rangga dan Pandan Wangi. Entah sudah berapa lama mereka meninggalkan istana ini
untuk mengembara, menjelajahi ganasnya kehidupan di luar. Kegembiraan ini,
terutama sekali terlihat pada Cempaka. Gadis itu seakan tidak mau lepas dari
Pendekar Rajawali Sakti, dan terus menggayuti lengan sampai berada di depan
pintu kamar peristirahatan Raja Karang Setra.
"Boleh aku masuk bersamamu, Kakang...?" pinta Cempaka manja.
"Kenapa tidak" Kau toh sering masuk ke sini," kata Rangga tidak keberatan.
Mereka kemudian masuk ke dalam kamar itu. Rangga membiarkan saja pintu kamar
terbuka lebar yang ditunggui oleh dua orang prajurit saja. Mereka kemudian duduk
di kursi panjang dekat jendela. Rangga melepaskan pedang pusakanya, dan
menaruhnya di atas meja kecil dekat kursi panjang yang didudukinya. Sementara
Cempaka terus memandangi, seakan begitu rindu sekali pada kakak tirinya.
"Kakang lewat Jenggala, tidak?" tanya Cempaka langsung.
'Tidak. Aku langsung ke sini setelah bertemu seorang utusan yang dikirim
Danupaksi," sahut Rangga.
"Kasihan Putri Arum, Kakang. Sampai sekarang, dia tidak tahu bagaimana nasib
ayahnya," kata Cempaka lagi, dengan nada suara terdengar memelas.
"Utusan itu sudah bercerita banyak padaku. Tadi Danupaksi juga sudah
menceritakan semuanya padaku. Tapi, aku ingin mendengar sendiri dari Putri Arum
dan Paman Panglima Gagak Sewu," kata Rangga.
"Mereka masih ada di sini, Kakang," kata Cempaka memberi tahu.
Rangga hanya tersenyum saja. Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti sudah tahu kalau
Putri Arum Winasih dan Panglima Gagak Sewu serta beberapa orang prajuritnya
berada di istana ini, karena memang sudah diberi tahu Danupaksi. Memang tak
mungkin kalau Danupaksi sampai mengirim utusan ke segala penjuru untuk
mencarinya, jika tidak ada keperluan yang sangat penting dan mendesak.
"Kita harus menolongnya, Kakang," kata Cempaka lagi.
'Tentu. Tapi, tidak dengan mengerahkan prajurit untuk memerangi pemberontak
itu," sahut Rangga tegas.
'Tapi semua prajurit Jenggala berpihak pada Raden Banyugara, Kakang."
"Aku tahu, Cempaka. Tapi semuanya perlu dipikirkan masak-masak. Aku rasa, ini
persoalan kecil. Dan kita tidak bisa memerangi mereka begitu saja. Akan
berakibat buruk bagi Karang Setra nantinya."
"Lalu, apa yang akan Kakang lakukan untuk menolong Putri Arum Winasih?" tanya
Cempaka ingin tahu.
Rangga jadi tersenyum. Entah kenapa dia jadi tersenyum mendengar pertanyaan adik
tirinya ini barusan. Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke arah pintu. Dan
tampaklah Danupaksi sudah berdiri di ambang pintu yang sejak tadi dibiarkan
terbuka lebar. Setelah memberi sembah hormat, Danupaksi melangkah masuk.
Sedangkan Rangga dan Cempaka masih tetap duduk di kursi panjang dekat jendela.
"Aku mengganggu, Kakang...?" ujar Danupaksi.
'Tidak. Duduklah...," sahut Rangga seraya tersenyum.
Danupaksi duduk di kursi yang ada di depan bangku panjang ini, menghadap
langsung ke jendela. Sedangkan Rangga dan Cempaka jadi membelakangi jendela
besar kamar ini.
"Baru saja aku dapat laporan dari prajurit Paman Gagak Sewu. Katanya, dia
melihat dua orang kepercayaan Raden Banyugara ada di sekitar istana ini," kata
Danupaksi langsung memberi laporan.
"Sudah kau lihat kebenarannya?" tanya Rangga.
"Sudah. Mereka baru datang kemarin, dan menginap di rumah penginapan Ki Sarpan,"
sahut Danupaksi.
"Lalu?" tanya Rangga lagi.
Belum juga Danupaksi menjawab, Pandan Wangi muncul di ambang pintu. Gadis itu
langsung saja masuk, begitu melihat Rangga memberi isyarat dengan tangan untuk
langsung masuk dan menutup pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka. Gadis
berjuluk si Kipas Maut itu mengambil tempat di samping Danupaksi.
"Ada rundingan apa ini?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Danupaksi baru saja memberi tahu, kalau ada dua orang dari Jenggala berkeliaran
di sekitar sini," sahut Rangga kalem.
"Kenapa tidak langsung ditangkap saja...?" selak Cempaka.
"Tidak sembarangan menangkap orang, Cempaka. Harus ada tuduhan yang tepat," kata
Rangga, tetap kalem suaranya.
'Tapi tujuan mereka sudah jelas, Kakang. Mereka pasti ingin membunuh Putri Arum
Winasih," selak Danupaksi.
"Belum pasti, Danupaksi. Dan ini menjadi tugasmu untuk menyelidiki tujuan mereka
berada di Karang Setra ini," ujar Rangga.


Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah menyebar beberapa telik sandi di sekitar rumah penginapan itu,
Kakang. Kalau ada perkembangan, pasti akan kuberitahukan," kata Danupaksi.
"Kau beri tahu saja Pandan Wangi, Danupaksi," sahut Rangga seraya menatap Pandan
Wangi. Danupaksi juga langsung menatap Pandan Wangi yang duduk di sebelahnya, kemudian
beralih pada Pendekar Rajawali Sakti, dengan sorot mata minta penjelasan.
"Kau juga bisa bertindak kalau perlu, Danupaksi. Tapi untuk yang dua orang itu,
aku tidak ingin kau ikut campur. Ada yang lebih besar, yang harus kulakukan,"
kata Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menjelaskan.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Danupaksi.
Rangga hanya tersenyum saja menjawab pertanyaan adik tirinya ini. Pendekar
Rajawali Sakti lalu bangkit berdiri sambil meraih pedangnya, dan menyandangkan
ke punggung. Kemudian, kakinya melangkah hendak keluar dari dalam kamar ini.
Sementara, yang lain hanya memandangi saja dengan sorot mata memancarkan
ketidakmengertian. Pendekar Rajawali Sakti berhenti, setelah sampai di pintu.
Tangannya sudah ingin membuka pintu kamar itu, tapi tidak jadi. Segera kepalanya
dipalingkan. "Aku serahkan keamanan pada kalian semua," kata Rangga langsung membuka pintu.
"Kau akan ke mana, Kakang?" tanya Cempaka, agak keras suaranya.
Tapi Rangga sudah menghilang di balik pintu yang tertutup kembali. Sementara,
mereka hanya bisa saling berpandangan saja dan sama-sama mengangkat bahu.
*** Sementara itu Rangga sudah berada di bagian belakang Istana Karang Setra yang
megah ini. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandangi sekitarnya, kemudian
tertumbuk pada seorang laki laki setengah baya yang duduk di bawah pohon. Dia
tahu, laki-laki itu adalah Panglima Gagak Sewu dari Kerajaan Jenggala. Rangga
tersenyum sedikit dan segera menghampiri. Panglima Gagak Sewu cepat-cepat
bangkit berdiri, lalu berlutut di tanah sambil memberi sembah hormat dengan
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Terimalah sembahku, Gusti Prabu," ucap Panglima Gagak Sewu dengan sikap begitu
hormat. Rangga hanya tersenyum saja. Langsung disentuhnya pundak panglima ini,
memintanya bangun. Dengan sikap masih hormat, Panglima Gagak Sewu beranjak
bangkit. Kini mereka melangkah ke sebatang pohon yang cukup rindang dan duduk di
bawahnya. "Semua yang terjadi di Jenggala sudah kudengar, Paman. Aku turut prihatin," kata
Rangga setelah menghembuskan napas panjang.
"Maaf, Gusti Prabu. Kedatangan kami ke sini tentu sangat merepotkan. Dan pasti
akan membuat kesulitan," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Jangan pikirkan itu, Paman. Apa yang kami lakukan sudah sewajarnya. Tapi maaf,
Paman. Bukannya aku tidak suka kau berada di istana ini. Sedangkan Putri Arum
Winasih memang harus tetap berada di dalam istana ini dan jangan keluar dari
lingkungan istana. Tapi kau tidak, Paman," kata Rangga.
"Maksud, Gusti Prabu...?" tanya Panglima Gagak Sewu tidak mengerti.
"Kau seorang panglima, Paman. Tentunya tidak ingin negerimu terus-menerus berada
di tangan orang yang tidak berhak, bukan..." Kau harus bisa membebaskan negerimu
dari tangan Raden Banyugara," jelas Rangga.
Panglima Gagak Sewu terdiam merenung. Dalam hatinya, Kerajaan Jenggala memang
ingin direbutnya kembali dari tangan Raden Banyugara. Tapi apa mungkin..."
Sedangkan prajurit yang dimiliki sekarang hanya tinggal enam belas orang saja.
Dan semangat mereka juga tidak mungkin bisa diandalkan. Sedangkan Raden
Banyugara memiliki prajurit yang berjumlah cukup besar. Jadi rasanya tidak
mungkin merebut lagi takhta yang kini sudah dikuasai oleh orang yang tidak
berhak sama sekali dengan hanya mengandalkan beberapa prajurit.
"Gusti Prabu, hamba sudah tidak lagi punya kekuatan untuk melakukan itu.
Sedangkan prajurit yang hamba miliki sekarang hanya tinggal enam belas orang
saja. Jadi, mana mungkin hamba bisa merebut lagi takhta dari tangan Raden Banyugara...?" ujar Panglima Gagak Sewu. "Atau barang-kali, Gusti Prabu hendak
meminjamkan sejumlah prajurit untuk hamba...?"
Rangga tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Tidak, Paman. Tidak seorang pun prajurit Karang Setra yang akan kukirim ke
sana." "Lalu, bagaimana hamba bisa mewujudkan 'impian itu...?"
"Hanya kau dan aku yang ke sana, Paman. Sedangkan enam belas prajuritmu biar
berada di sini. Dan untuk keamanan Putri Arum Winasih, jangan terlalu
dipikirkan. Dia aman kalau tidak keluar dari lingkungan istana ini' kata Rangga.
"Hanya berdua saja, Gusti...?"
Panglima Gagak Sewu jadi terperanjat setengah mati mendengar kata-kata Raja
Karang Setra yang seakan menginginkan mereka berdua saja yang harus pergi ke
Kerajaan Jenggala untuk merebut kembali takhta yang kini dikuasai pemberontak.
Rasanya memang sulit dipercaya Walaupun Panglima Gagak Sewu tahu kalau Raja
Karang Setra yang juga dikenal bergelar Pendekar Rajawali Sakti memiliki
kepandaian tinggi, tapi hatinya masih ragu-ragu.
"Kenapa, Paman" Kau tidak percaya dengan kemampuanmu sendiri...?"
"Bukan. Bukan itu, Gusti Prabu. Tapi apa mungkin...?"
"Kenapa tidak" Aku yakin, prajurit-prajurit yang sekarang berpihak pada Raden
Banyugara tidak sepenuhnya berpihak padanya. Kau tahu sifat prajurit, Paman"
Mereka akan mengabdi pada siapa saja yang sekarang berkuasa. Sedangkan tujuan
utama kita hanyalah Raden Banyugara. Dan kalau sudah melumpuhkannya, aku yakin
tidak akan ada seorang prajurit pun yang akan bertindak. Mereka pasti akan
tunduk," jelas Rangga, menegaskan.
Panglima Gagak Sewu hanya terdiam saja sambil merenung. Dalam hati memang diakui
kebenaran kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan. Sifat prajurit memang akan
mengikuti segala yang diperintahkan pimpinannya. Dan mereka selalu mengabdikan
diri, pada siapa saja yang sedang berkuasa. Tapi, itu juga dikarenakan para
panglima mereka ikut memberontak mendukung Raden Banyugara.
Dan ini berarti bukan hanya Raden Banyugara sendiri yang menjadi sasaran untuk
dilumpuhkan, tapi juga panglima-panglima dan orang-orang di sekelilingnya yang
sudah pasti tidak sedikit jumlahnya. Mereka jelas orang-orang berkepandaian
tinggi, kendati tidak setinggi Panglima Gagak Sewu. Namun tetap saja panglima
itu masih belum bisa meyakinkan diri.
"Sebaiknya kau bersiap-siap, Paman. Malam nanti kita berangkat," kata Rangga
seraya bangkit berdiri.
"Gusti..."
Panglima Gagak Sewu ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya seperti tercekat di
tenggorokan. Sedangkan Rangga tidak jadi melangkah. Langsung dipandanginya
panglima berusia setengah baya ini.
"Ada apa, Paman?"
"Tidak, Gusti. Tidak jadi. Baiklah, Gusti. Malam nanti kita berangkat ke
Jenggala," kata Panglima Gagak Sewu agak tergagap.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian memutar tubuhnya berbalik. Kini Pendekar
Rajawali Sakti melangkah pergi meninggalkan panglima itu seorang diri di halaman
belakang istana ini. Panglima Gagak Sewu memberi sembah hormat dengan merapatkan
kedua telapak tangan di depan hiding. Sedangkan Rangga sudah jauh
meninggalkannya, dan tenggelam di dalam bangunan istana yang megah ini. Dan
Panglima Gagak Sewu masih tetap duduk di bangku yang ada di bawah pohon ini.
Panglima itu jadi merenung sendiri memikirkan kata-kata Raja Karang Setra
barusan. Sungguh tidak dimengerti, apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali
Sakti di Jenggala nanti. Hanya berdua saja.... Rasanya sulit dipercaya dengan
hanya berdua saja, bisa merebut takhta kerajaan dari tangan Raden Banyugara yang
dikelilingi begitu banyak orang berkepandaian tinggi.
"Hhh...! Sebaiknya keinginannya kuikuti saja. Aku yakin, Gusti Prabu Rangga
sudah punya rencana. Dia bukan saja seorang raja, tapi juga seorang pendekar dan
pemikir tangguh. Hm... Sebaiknya aku memang menaruh kepercayaan penuh padanya.
Mudah-mudahan saja, sang Hyang Widhi memberi jalan terang padanya," gumam
Panglima Gagak Sewu perlahan, berbicara pada diri sendiri.
*** 5 Hanya tiga hari saja menunggang kuda, Rangga dan Panglima Gagak Sewu sudah tiba
di batas Kerajaan Jenggala. Tidak ada sedikit pun rintangan yang dihadapi.
Walaupun perbatasan dijaga para prajurit, tapi mereka tidak ada yang mengenali Panglima Gagak Sewu. Karena, panglima itu mengenakan caping bambu yang
cukup besar hingga melindungi wajahnya agar tidak bisa dikenali.
Tepat di saat matahari tenggelam di balik peraduannya, mereka baru tiba di kota
kerajaan itu. Pemberontakan yang dilakukan Raden Banyugara rupanya sudah merubah
Kisah Para Pendekar Pulau Es 4 Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga Bayar Nyawa 2

Cari Blog Ini