Ceritasilat Novel Online

Penghuni Lembah Neraka 1

Pendekar Rajawali Sakti 96 Penghuni Lembah Neraka Bagian 1


PENGHUNI LEMBAH NERAKA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Penghuni Lembah Neraka
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Alunan seruling terdengar begitu merdu, merasuk
sampai mengusik hati siapa saja yang mendengarnya.
Alunan seruling itu selalu terdengar setiap sore. Entah sudah berapa lama hal
itu berlangsung, tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan semua penduduk Desa
Tegalan ini seperti terbiasa mendengarnya tanpa ada seorang pun yang merasa
terganggu. Hanya saja sampai saat ini, tidak ada yang tahu tentang peniup
seruling itu. Siapa orangnya, masih menjadi sebuah pertanyaan besar bagi
penduduk Desa Tegalan.
Tapi memang, setiap pagi alunan merdu seruling itu
bagaikan memberi tanda pada seluruh penduduk Desa
Tegalan. Dan lama kelamaan, sudah menjadi hal yang
biasa di telinga. Mereka seakan-akan belum mau beranjak meninggalkan rumah untuk ke ladang, jika
alunan seruling itu belum terdengar.
Tapi dalam beberapa hari ini, alunan seruling itu
selalu terdengar setelah matahari muncul. Padahal sebelumnya, walau hari masih
gelap, tapi alunan seruling itu sudah terdengar. Perubahan itu tentu saja
membuat seluruh penduduk Desa Tegalan jadi bertanya-tanya. Dan semua itu tetap bergayut di dalam kepala mereka saja, tanpa ada
yang tahu penyebab pe-rubahan itu.
Dan pagi ini, seluruh penduduk Desa Tegalan semakin heran. Sejak sinar matahari baru tampak di
ufuk timur, sampai bersinar penuh seperti ini, suara seruling itu belum juga
terdengar. Bahkan Ki Carmat yang menjadi kepala desa itu juga merasa heran
dengan menghilangnya alunan seruling yang begitu merdu. "Andini, kau merasakan adanya keanehan pagi
ini...?" tanya Ki Carmat, seraya melirik anak gadisnya yang duduk di lantai
beranda depan sambil menga-nyam tikar.
"Sejak tadi, Ayah," sahut Andini.
Gadis berwajah manis yang masih berusia delapan
belas tahun itu menghentikan pekerjaannya. Kepalanya diangkat, dan langsung ditatapnya wajah ayahnya. Tampak jelas kalau kepala desa yang berusia lebih dari tujuh puluh tahun
itu kelihatan gelisah. Pandangannya juga tidak berkedip, tertuju lurus ke puncak
bukit yang melatarbelakangi desa ini. Bukit itu masih kelihatan tertutup kabut,
walaupun matahari
sudah naik cukup tinggi.
"Ayah kelihatan gelisah sekali...," tegur Andini hati-hati.
"Entahlah, Andini. Aku sendiri tidak tahu. Entah
kenapa, tiba-tiba saja hatiku terasa jadi tidak enak.
Sepertinya, akan terjadi sesuatu di desa ini," sahut Ki Carmat.
Suara laki-laki tua itu terdengar begitu pelan, dan hampir saja menghilang
ditelan angin. Sementara Andini bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri
ayahnya. Kemudian, gadis itu duduk di kursi kayu hitam yang ada di sebelah kiri
kursi kepala desa ini.
Hanya sedikit saja Ki Carmat melirik ke wajah manis anak gadisnya, kemudian
kembali mengarahkan pandangan ke puncak bukit, sambil menghembuskan napas panjang. Cukup lama juga mereka terdiam membisu, dengan
benak masing-masing dipenuhi tanda tanya. Dan beberapa kali Ki Carmat menarik napas dalam-dalam, la-lu menghembuskannya kuatkuat. Sementara, Andini
terus memperhatikan wajah laki-laki tua ini dengan
kening berkerut dan mata terlihat agak menyipit.
"Mungkin si peniup seruling itu sedang sakit. Jadi, Ayah tidak perlu
memikirkannya...," ujar Andini. Suaranya seperti terdengar terputus.
"Justru itu yang menjadi beban pikiranku, Andini,"
desah Ki Carmat.
"Kenapa harus dipikirkan" Apakah si peniup seruling itu memang menguntungkan untuk kemajuan desa
ini, Ayah" Tanpa si peniup seruling itu pun, desa ini terus berkembang semakin
maju. Dan semua ini juga
berkat kerja keras Ayah," kilah Andini.
Ki Carmat jadi tersenyum dan menggelenggelengkan kepala beberapa kali. Ditepuknya pundak
gadis itu, lalu bangkit berdiri dari kursinya. Perlahan kakinya terayun ke tepi
beranda, lalu berdiri di sana sambil mengetuk-ngetukkan ujung tongkat rotannya
ke lantai yang terbuat dari belahan papan.
"Begitu banyak yang telah dilakukannya untuk desa
ini. Dan begitu besar artinya irama seruling itu bagi penduduk desa ini. Rasanya
irama seruling itu sudah menyatu dengan darah dan jiwa semua orang di sini.
Hhh...! Kau lihat, Andini...."
Ki Carmat mengulurkan tangannya ke depan, menunjuk orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahnya. Andini juga mengarahkan pandangan ke sana. "Mereka seperti kehilangan semangat, sehingga
enggan ke ladang. Desa ini akan jauh mundur ke belakang, kalau semua penduduknya
sudah kehilangan
semangat hidup," tegas Ki Carmat lagi.
"Itulah jeleknya, Ayah," ujar Andini, terus memandangi punggung ayahnya.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Andini?" tanya
Ki Carmat tidak mengerti.
Tapi Andini tidak langsung menjawab, dan malah
bangkit berdiri. Kemudian kakinya melangkah menghampiri laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang dan longgar berwarna putih
bersih itu, lalu berdiri di sebelah kanannya. Sementara di depan halaman rumah
ini masih terlihat orang-orang berlalu lalang dengan wajah seperti sudah
kehilangan semangat hidup
lagi. Setiap orang yang lewat, selalu berhenti sebentar
dan menganggukkan kepala pada laki-laki tua itu. Mereka begitu menghormati
kepala desanya. Sedangkan
Ki Carmat hanya membalasnya dengan senyum kecil
disertai anggukan kepala yang juga hanya sedikit saja.
Malah senyum tipis dan anggukan kepalanya hampir
tidak terlihat.
"Yaaah.... Penduduk desa ini tidak memiliki rasa
percaya diri. Mereka selalu tergantung pada orang lain.
Dan kalau orang yang menjadi tempatnya bergantung
sudah tidak ada lagi, mereka seperti orang buta kehilangan tongkat," kata
Andini, menjelaskan perkataannya.
Diam-diam Ki Carmat tersenyum. Dalam hati, diakuinya kecerdasan otak Andini. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Andini memiliki pikiran seperti itu. Dan memang diakui,
penduduk Desa Tegalan ini
selalu saja bergantung pada orang lain, seperti tidak punya rasa percaya diri.
Dan yang lebih parah lagi, mereka terlalu mudah dipengaruhi. Ki Carmat sendiri
bukannya tidak tahu, tapi memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menutupi
kelemahan yang ada di desanya. Disadari kalau tidak mungkin bisa merubah
watak orang lain, tanpa orang itu sendiri yang meru-bahnya.
Sementara, matahari semakin naik tinggi. Saat itu,
terlihat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan
memasuki desa ini dari arah timur. Yang seorang adalah pemuda tampan. Dan yang
seorang lagi, adalah
gadis berwajah cantik. Dari pedang yang tersandang di punggung, sudah dapat
diketahui kalau mereka berasal dari kalangan rimba persilatan.
*** Kedua penunggang kuda itu berhenti tepat di depan
sebuah kedai yang tidak begitu ramai pengunjungnya.
Bahkan hanya ada sekitar tujuh orang saja di dalam
kedai itu. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, se-pasang anak muda itu
melompat turun dari punggung
kuda masing-masing. Sementara seorang bocah lakilaki berusia sekitar delapan tahun berlari-lari kecil menghampiri. Segera
diambilnya tali kekang kedua
ekor kuda itu. Pemuda berbaju rompi putih itu mengelus kepala
bocah itu sambil tersenyum. Sedangkan gadis cantik
yang datang bersamanya, langsung saja melangkah
masuk ke dalam kedai.
"Tolong beri makan kudanya, ya...," pinta pemuda
itu ramah. "Baik, Den," sahut bocah itu sambil membungkuk
sedikit. Pemuda itu kemudian melangkah masuk mengikuti
gadis teman seperjalanannya tadi. Sementara gadis itu tampak sudah duduk di
depan sebuah meja yang tidak
begitu besar ukurannya.
Letaknya agak ke sudut dekat jendela besar yang
dibiarkan terbuka lebar. Kemudian pemuda itu duduk
di depannya. Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh gemuk datang menghampiri dengan senyum
terkembang di bibirnya yang merah. Sikapnya begitu
ramah. "Ingin pesan apa, Den...?" tanya wanita bertubuh
gemuk itu ramah. Senyumnya masih terus mengembang, menghiasi bibirnya.
"Sediakan saja makanan enak. Juga seguci arak,"
pesan pemuda itu.
"Aku minta air putih saja," selak gadis cantik berba-ju biru yang duduk di
depannya. "Baik, tunggu sebentar."
Wanita gemuk yang ternyata pemilik kedai, segera
meninggalkan anak-anak muda ini, dan menghilang di
balik pintu. Sedangkan kedua anak muda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan memang, ada sekitar tujuh orang di dalam kedai ini. Semuanya laki-laki, yang masing-masing
menyandang senjata berbagai bentuk dan ukuran. Jelas sekali kalau mereka juga dari kalangan rimba
persilatan. "Desa apa ini namanya, Kakang?" tanya gadis cantik berbaju biru muda itu.
"Desa Tegalan."
"Kau pernah datang ke sini sebelumnya?"
"Sekali. Tapi, hanya singgah dan tidak sampai bermalam di sini."
"Sekarang, kita akan bermalam?"
"Tergantung keadaan nanti."
Mereka kini terdiam. Sementara, wanita gemuk pemilik kedai sudah datang kembali, bersama seorang
gadis berkulit hitam manis. Gadis itu membawa baki
kayu yang cukup besar, penuh pesanan makanan kedua anak muda ini. Dengan sikap ramah dan sopan,
makanan-makanan itu diletakkan di atas meja.
"Silakan...," ucap wanita gemuk itu, masih dengan
sikap yang hormat sekali.
"Terima kasih," ucap pemuda berbaju rompi putih.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka menikmati hidangan itu. Sesekali pandangan mereka beredar ke sekeliling kedai ini. Sejak tadi,
tidak ada lagi pengunjung yang datang. Dan tampaknya, pengunjung-pengunjung
lain yang sudah ada lebih dulu, juga saling mencuri pandang antara satu dengan
yang lain. Sepertinya,
mereka saling mencurigai.
"Aku merasakan adanya sikap-sikap aneh, Kakang,"
ujar gadis berbaju biru.
Suara gadis itu terdengar kecil sekali, sehingga seperti berbisik saja.
Sedangkan pemuda yang diajak bicara, hanya melirik sedikit saja. Bahkan terus
menikmati makanan tanpa bicara sedikit pun. Sementara,
gadis berbaju biru muda yang berwajah cantik jelita itu terus memperhatikan
orang-orang yang ada dalam kedai ini lewat sudut matanya.
Di saat mereka semua yang ada di dalam kedai tengah menikmati makanannya, tiba-tiba saja terdengar
teriakan melengking tinggi yang cukup mengejutkan.
Serentak mereka semua bangkit berdiri, langsung sama-sama saling melemparkan pandangan sesaat. Tak
lama, kembali terdengar teriakan panjang dan melengking, yang jelas sekali kalau datang dari arah sebelah timur. Wanita gemuk
pemilik kedai ini juga keluar dari belakang, diikuti dua orang pembantunya.
Mereka rupanya juga terkejut mendengar teriakan melengking tadi.
"Kau bayar makanannya, Pandan," ujar pemuda
berbaju rompi putih buru-buru.
"Heh..."!"
Belum lagi gadis cantik berbaju biru muda itu sempat berkata sesuatu, pemuda berbaju rompi putih yang berjalan bersamanya tadi
sudah melesat begitu cepat ke luar kedai. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat
hanya kelebatan bayangan putih saja bergerak bagai
kilat. Dan bayangan itu langsung lenyap seperti asap tertiup angin.
Gadis cantik yang tadi dipanggil Pandan, segera merogoh saku ikat pinggangnya. Dan dikeluarkannya beberapa keping uang perak. Sambil meletakkan uang
perak itu, bergegas kakinya melangkah ke luar. Dan
pada saat yang bersamaan, semua pengunjung kedai
ini juga melangkah ke luar, setelah membayar makanan dan minuman masing-masing. Mereka juga meletakkan begitu saja uang pembayarannya di atas meja, dan bergegas keluar tanpa
berbicara sedikit pun juga.
Sementara gadis berbaju biru muda yang memang
Pandan Wangi, sudah berada di punggung kudanya
yang putih, tinggi dan tegap. Hatinya agak terkejut ju-ga sejenak, melihat kuda
hitam tunggangan pemuda
berbaju rompi putih masih ada. Sambil mengambil tali kekang kuda hitam itu,
kudanya sendiri digebah perlahan-lahan.
Sebentar saja, suasana di desa yang semula terlihat agak sunyi, sudah banyak
dipadati orang yang keluar dari dalam rumah masing-masing. Jeritan melengking
yang terdengar sangat tinggi dan menyayat tadi, rupanya juga mengejutkan seluruh
penduduk Desa Tegalan ini. Mereka sampai memadati jalan, hingga Pandan Wangi jadi sulit memacu
cepat kudanya.

Pendekar Rajawali Sakti 96 Penghuni Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hiya! Hiyaaa...!"
Begitu terlepas dari kerumunan orang banyak, Pandan Wangi segera menggebah cepat kudanya. Kuda
putih itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggitinggi, lalu melesat cepat bagai kilat membawa gadis penunggangnya ini.
Sementara, kuda hitam milik pemuda berbaju rompi putih
yang memang Rangga, atau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti mengikuti dari belakang.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu menggebah
kudanya bagaikan kesetanan saja. Kuda putih itu berlari cepat, membuat debu dan
daun-daun kering beterbangan di belakangnya. Arahnya sudah jelas. Arah timur, dan terus mendekati
Bukit Jagal. *** "Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi terus menggebah kudanya dengan
kecepatan yang tinggi. Seakan-akan tidak dipedulikan lagi kuda putihnya yang
sudah terengah-engah dipacu cepat. Sementara kuda hitam tunggangan Pendekar
Rajawali Sakti yang bernama Dewa Bayu terus mengikuti dari belakang. Pandan Wangi menoleh ke belakang, hendak melihat Dewa Bayu. Tapi saat itu, keningnya jadi berkerut.
"Hooop...!"
Langsung saja si Kipas Maut menarik tali kekang
kudanya, sehingga kuda putih itu berhenti berlari disertai ringkikan yang keras
sekali sampai memekakkan telinga. Maka, tali kekang kudanya cepat dikendalikan
sebelum sampai terlempar dari punggung tunggangan-nya.
"Hm.... Siapa yang mengikutiku...?" gumam Pandan
Wangi bertanya pada diri sendiri.
Jelas sekali di dalam kepulan debu, terlihat bebera-pa orang berlari-lari
mengikuti jalan yang ditempuhnya. Dan tampaknya, mereka mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Begitu cepat, hingga dalam waktu sebentar saja sudah dekat
dengan gadis cantik yang
dikenal berjuluk si Kipas Maut ini. Dan mereka semua yang berjumlah empat orang
itu langsung berhenti berlari, sekitar dua batang tombak lagi di depan Pandan
Wangi. "Nisanak, menyingkirlah. Jangan menghalangi jalan
kami...!" bentak salah seorang yang berada paling depan.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap.
Otot-ototnya tampak bersembulan dari kulitnya yang
agak kehitaman. Pakaian merah yang dikenakannya
begitu ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar
dan berotot Sebilah pedang berukuran cukup panjang
tampak tergantung di pinggang kanan. Pandan Wangi
menaksir kalau usianya sekitar empat puluh tahun.
Sedangkan tiga orang lainnya, masih kelihatan muda. Mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun. Di pinggang mereka juga
tergantung pedang yang bentuk
dan ukurannya sama. Mereka juga mengenakan baju
ketat berwarna merah menyala, hingga memetakan
bentuk tubuh yang tegap berotot. Tampak jelas, pada baju bagian dada kiri mereka
tersulam gambar seekor naga yang menyemburkan api.
"Aku tidak akan menghalangi jalan kalian. Tapi kalau boleh tahu, untuk apa kalian menuju ke bukit
itu...?" ujar Pandan Wangi seraya menunjuk ke Bukit Jagal yang ada tidak
seberapa jauh lagi di belakangnya.
"Apa pedulimu, Nisanak"! Cepat minggir! Atau, kami terpaksa harus memaksamu menyingkir dari sini!"
bentak laki-laki bertubuh tegap itu kasar.
"Hm...! Pandan Wangi jadi berkerut keningnya, mendapatkan kata-kata bernada kasar seperti itu. Sorot matanya terlihat begitu tajam,
seakan-akan hendak menembus langsung bola mata laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun ini. Dan
untuk beberapa saat, mereka hanya saling tatap dengan sinar mata yang samasama memancar tajam.
"Huh! Keras kepala juga kau rupanya, heh...!" dengus laki-laki berbaju merah itu jadi geram.
Trek! Begitu ujung jarinya dijentikkan, maka seketika itu juga tiga orang pemuda yang
berada di belakangnya
langsung berlompatan mengepung Pandan Wangi. Dan
tanpa berkata-kata lagi, mereka segera saja mencabut pedang masing-masing.
"Hup!"
Pandan Wangi cepat melompat turun dari punggung
kudanya. Sungguh indah dan ringan gerakannya, sehingga tidak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah. Dan ketika
bokong kudanya ditepak
sekali, maka kuda putih itu segera melenggang perlahan menjauh, diikuti kuda
hitam yang sejak tadi terus mendampingi. Saat ini, Pandan Wangi sudah dikepung
tiga orang dengan pedang sudah terhunus di tangan
kanan masing-masing. Dari sudut ekor matanya, diperhatikannya ketiga pemuda itu tajam-tajam. Setiap gerak yang dilakukan mereka
menjadi pusat perhatiannya.
"Kuperingatkan sekali lagi, Nisanak. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah
percuma. Sebaiknya, segera-lah menyingkir sebelum lehermu yang bagus itu
terpisah dari badan," masih terdengar dingin sekali nada suara laki-laki berbaju
merah ini. "Dari sikapmu, aku jadi sulit menggerakkan kaki
untuk menyingkir," sambut Pandan Wangi tidak kalah
dinginnya. "Setan...! Kau ingin mampus, heh..."!"
Pandan Wangi mengangkat pundak sedikit.
"Phuih...!"
Sambil menyemburkan ludahnya dengan geram, salah seorang laki-laki berbaju merah itu melangkah beberapa tindak ke depan,
mendekati si Kipas Maut. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam, seakan ingin
melumat tubuh ramping gadis itu bulat-bulat. Sementara, Pandan Wangi sendiri
kelihatan tenang. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh sikap dan sorot mata yang
sudah jelas mengancam jiwanya.
"Seraaang...!"
Begitu terdengar suara keras menggelegar, seketika
itu juga tiga orang berpakaian serba merah yang memang sejak tadi sudah menunggu perintah, langsung
saja berlompatan sambil berteriak-teriak keras menggelegar dahsyat.
"Haiiit...!"
Pandan Wangi segera melenting sedikit ke udara.
Dan sambil berputaran, senjata kipas mautnya dicabut dan langsung dikebutkan ke
arah pemuda berbaju merah yang berada paling dekat dengannya.
Bettt! "Uts...!"
Hampir saja ujung kipas putih keperakan yang
runcing itu membelah dadanya. Untung saja pemuda
berbaju merah itu segera menarik tubuhnya ke belakang, dan cepat-cepat melompat beberapa langkah sebelum Pandan Wangi bisa melakukan serangan kembali. Saat itu dari arah sebelah kanan, seorang pemuda lain yang juga mengenakan
baju merah sudah cepat
menebaskan pedang, tepat mengarah ke leher si Kipas Maut.
"Ups...!"
Sedikit saja Pandan Wangi mengegos, sehingga tebasan pedang itu berhasil dihindari. Dan pada saat itu juga, dengan kecepatan
bagai kilat, dilepaskannya satu tendangan menyamping sambil memiringkan tubuhnya, tepat mengarah ke lambung lawan.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan si Kipas
Maut, sehingga pemuda berbaju merah ini tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu seluruh pusat perhatiannya masih
tercurah pada serangannya
yang sudah dapat dipatahkan lawan tadi. Dan....
Desss! "Hegkh...!"
*** 2 Pemuda itu kontan terhuyung-huyung ke belakang
sambil mengeluh pendek, begitu lambungnya telak sekali terkena tendangan si Kipas Maut. Dan belum juga rasa nyeri di lambungnya
bisa dihilangkan, gadis berbaju biru yang berjuluk si Kipas Maut sudah melompat
cepat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam
tingkat tinggi.
"Yeaaah...!"
Plak! "Akh...!"
Begitu cepat pukulan tangan kiri Pandan Wangi,
membuat kepala lawan jadi terdongak ke atas disertai pekikan nyaring. Tampak
darah muncrat keluar dari
mulutnya. Namun Pandan Wangi rupanya belum merasa puas. Sambil berteriak keras menggelegar, seluruh kekuatan tenaga dalamnya
yang sudah mencapai
tingkat tinggi dikerahkan. Lalu bagaikan kilat, kaki kanannya terayun cepat
menghantam dada pemuda
itu. "Hiyaaat..!"
Des! Prak! "Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, bersama terpentalnya tubuh pemuda itu ke belakang. Keras sekali
tubuhnya jatuh menghantam tanah, lalu bergelimpangan beberapa kali. Tampak darah
dari mulutnya semakin banyak keluar. Sebentar
saja tubuhnya menggeliat sambil mengerang memegangi dadanya, kemudian mengejang kaku dan diam
tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya seketika terbang
melayang. Dadanya terlihat hancur melesak masuk ke
dalam, akibat terkena tendangan dahsyat si Kipas
Maut yang bertenaga dalam tinggi.
Perlahan Pandan Wangi memutar tubuhnya sambil
mendesis kecil. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus lawanlawannya. Tampak wajah-wajah
terpana tergambar jelas, melihat salah seorang teman mereka tewas di tangan
gadis cantik yang kelihatan
lemah itu. Mereka seperti tidak percaya kejadian yang baru disaksikan tadi.
Sungguh tidak disangka kalau
gadis yang kelihatannya lemah ini memiliki kepandaian tinggi. Bahkan bisa menewaskan salah seorang
dengan hanya beberapa gebrakan saja.
"Setan...! Kau berhutang nyawa padaku, Bocah...!"
geram laki-laki berusia hampir setengah baya.
Sambil menghentakkan kakinya dengan berang, laki-laki itu melangkah menghampiri Pandan Wangi. Sedangkan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu hanya berdiri tegak
menanti dengan sikap kelihatan
tenang sekali. Kipas mautnya sudah terkembang di
depan dada, seakan-akan memang sengaja untuk melindungi diri dari ancaman maut. Meskipun sikapnya kelihatan tenang, tapi sorot
matanya terlihat begitu tajam, bagaikan sorot mata singa betina yang sedang
melindungi anaknya dari incaran pemburu liar.
"Bocah...! Sebutkan, namamu, sebelum kukirim ke
neraka!" bentak laki-laki berbaju merah menyala itu garang.
"Aku si Kipas Maut!" sahut Pandan Wangi datar.
"Phuih! Apa pun julukanmu, kau harus berhadapan
dengan Suro Gading!" dengus laki-laki berbaju merah itu yang ternyata bernama
Suro Gading. Namun Pandan Wangi hanya tersenyum kecil saja,
namun begitu sinis! Dan sorot matanya masih tetap tajam menusuk. Sesekali
diperhatikannya dua orang
pemuda yang berada sekitar lima langkah di belakang Suro Gading.
Cring! Begitu manis dan indah gerakan tangan Suro Gading saat mencabut pedangnya, dan langsung disilangkan ke depan dada. Pandan Wangi sempat menyipitkan matanya, melihat pedang yang berkilatan tersilang di depan dada. Dia
merasa, pedang itu bukanlah pedang biasa. Pasti memiliki satu kekuatan yang
tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Hm...."
"Tahan seranganku, Bocah! Hiyaaat...!"
Bet! Bagaikan geledek, Suro Gading melompat sambil
mengebutkan pedangnya ke arah dada si Kipas Maut.
Tapi hanya sedikit saja memiringkan tubuh dan sambil menarik sedikit ke
belakang, tebasan pedang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu lewat
di depan dadanya. Dan....
"Hih!"
Secepat kilat, Pandan Wangi mengebutkan kipas
mautnya, tepat mengarah ke perut. Begitu cepat serangan balasannya, membuat Suro Gading tidak menyangka sama sekali. Dan hatinya jadi terperangah setengah mati. Cepat-cepat
kakinya ditarik ke belakang, membuat serangan balasan si Kipas Maut itu tidak
sampai mengenai sasaran.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Pandan Wangi
melenting ke udara sambil berputar satu kali. Lalu cepat bagai kilat, senjata
mautnya yang berupa kipas ba-ja putih dikebutkan, tepat mengarah ke bagian atas
kepala Suro Gading.
Bet! "Ikh..."!"
Untuk kedua kalinya, Suro Gading terperanjat setengah mati, melihat serangan Pandan Wangi yang begitu dahsyat luar biasa. Cepat-cepat tubuhnya mengegos ke kanan, sambil menarik
kakinya ke belakang selangkah. Tapi tanpa diduga sama sekali, begitu sabetan
kipas putih keperakan itu berhasil dihindari, sebuah tendangan lawan yang begitu
cepat dan keras
meluncur cepat ke arahnya.
"Yeaaah...!"
"Heh..."!"
Begkh! "Ugkh...!"
Suro Gading benar-benar tidak dapat lagi berbuat
sesuatu. Matanya hanya bisa terbeliak sambil mengeluh pendek begitu tendangan
yang dilepaskan Pandan
Wangi tepat menghantam dadanya. Seketika, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
dadanya dengan tangan kiri. Sementara itu, manis sekali Pandan Wangi menjejakkan
kakinya kembali ke
tanah, dan berdiri tegak sambil meletakkan senjata kipas mautnya di depan dada.
"Keparat...!" desis Suro Gading geram.
Napas laki-laki setengah baya itu langsung tersengal, mendapat tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi di dadanya
tadi. Pandangan matanya pun jadi berkunang-kunang.


Pendekar Rajawali Sakti 96 Penghuni Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini dia menggereng sambil menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Dicobanya untuk mengusir rasa
pening yang menyerang kepala akibat sesak napas setelah mendapat tendangan bertenaga dalam tinggi di
dadanya ini. Sementara, Pandan Wangi tetap menunggu berdiri tegak dengan sikap begitu tenang. Sedangkan bibirnya terus
menyunggingkan senyuman tipis.
"Serang perempuan edan itu! Bunuh dia...!" seru
Suro Gading memerintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, dua orang pemuda pengikut Suro Gading segera berlompatan menyerang Pandan Wangi. Padahal, raut wajah mereka
mencerminkan keraguan, setelah melihat Suro Gading
yang menjadi pemimpin berhasil mendapat tendangan
di dadanya. Sementara, Suro Gading sendiri cepatcepat melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya, kembali mencoba mengusir rasa sesak yang
menghinggapi dada.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan dua orang
pemuda ini. Mereka seperti sengaja terus- menerus
melakukan serangan, sehingga Pandan Wangi terpaksa
harus berjumpalitan. Beberapa kali ujung-ujung pedang kedua pemuda itu hampir merobek tubuhnya.
Tapi dengan gerakan indah dan manis sekali, semua
serangan itu masih bisa dihindari. Hanya saja, dia belum mempunyai kesempatan
sedikit pun untuk balas
menyerang. *** "Kubunuh kau, Bocah! Hiyaaa...!"
Suro Gading langsung saja melompat, begitu bisa
menghilangkan rasa sesak yang menghinggapi dadanya. Langsung dicecarnya si Kipas Maut dengan
permainan jurus-jurus pedangnya yang cepat dan
dahsyat luar biasa. Akibatnya, Pandan Wangi jadi bertambah kerepotan, karena
terpaksa harus menghadapi
keroyokan dari tiga arah.
Keadaan Pandan Wangi semakin bertambah sulit
saja, tanpa memiliki kesempatan sama sekali untuk
balas menyerang. Dan gadis itu hanya bisa berjumpalitan sambil meliuk-liukkan
tubuhnya menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dari tiga arah. Dan beberapa kali pula
senjata kipasnya beradu dengan pedang-pedang lawan, sehingga menimbulkan
percikan bunga api.
"Hiyaaa...!"
Pandan Wangi mencoba melenting tinggi-tinggi ke
udara. Tapi belum juga bisa melakukan sesuatu, Suro Gading sudah lebih cepat
lagi melesat. Dan pedangnya langsung dibabatkan beberapa kali secara beruntun
dengan kecepatan sangat tinggi. Terpaksa, Pandan
Wangi harus berputaran di udara dan kembali meluruk turun. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, kembali datang
serangan dari dua orang pemuda pengikut Suro Gading. Maka terpaksa gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu harus
berputaran, seraya meliuk-liuk
menghindari setiap sambaran pedang yang berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuhnya. Bahkan belum
lagi bisa menarik napas, Suro Gading sudah kembali
menyerang dengan kemarahan meluap.
Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi ketiga lakilaki itu belum juga bisa menjatuhkan Pandan Wangi.
Padahal, kelihatannya gadis itu sudah terus-menerus mendapat desakan hebat, tapi
masih saja bisa berkelit.
Dan di saat mereka bertarung, tanpa ada yang menyadari tahu-tahu sudah muncul seorang perempuan tua.
Tubuhnya bungkuk, terbalut jubah panjang berwarna
hijau gelap. "Hik hik hik...!"
"Heh..."!"
"Oh..."!"
Mereka yang bertarung jadi terkejut setengah mati,
begitu mendengar tawa terkikik. Dan mereka langsung berlompatan mundur
menghentikan pertarungan. Tapi
bagi Pandan Wangi, siapa pun yang tertawa tadi, seca-ra tidak langsung sudah
membantunya keluar dari serangan-serangan yang mematikan. Dan kini, dia bisa
menarik napas lega, walaupun kelopak matanya jadi
berkerut melihat seorang perempuan tua tahu-tahu
sudah berada di tempat ini. Wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.
Sedangkan Suro Gading tampak semakin bertambah berang saja, melihat perempuan tua itu. Mulutnya langsung menggereng seperti
seekor macan kelaparan
yang sudah berhari-hari tidak mendapat buruan. Sorot matanya terlihat begitu
tajam, tertuju langsung ke wajah penuh keriput itu. Tapi, wanita tua yang tajamtajam dipandangi ini hanya terkikik sambil melangkah beberapa tindak mendekati
Pandan Wangi. Dan dia
berdiri tepat di tengah-tengah antara Pandan Wangi
dengan Suro Gading, dan kedua anak muda pengikutnya. Seakan-akan, dia ingin menjadi penengah saja.
"Nyai Balung Wungkul, minggir kau! Jangan campuri urusanku!" bentak Suro Gading lantang menggelegar. "Suro Gading! Kenapa kau mengeroyok gadis ini?"
tanya wanita tua yang dipanggil Nyai Balung Wungkul, tanpa menghiraukan bentakan
Suro Gading sedikit
pun. "Itu bukan urusanmu!" bentak Suro Gading ketus.
"Dan itu juga bukan watakmu yang main keroyok,
bukan...?"
"Phuih...!"
Suro Gading jadi mendengus kesal melihat sikap
Nyai Balung Wungkul. Terlebih lagi, kata-katanya bisa dibalikkan dengan
menyakitkan sekali. Dan matanya
hanya menatap saja dengan sorot yang begitu tajam,
seakan-akan hendak melumatkan tubuh tua renta itu.
Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja sambil perlahan menggerak-gerakkan senjata kipasnya di depan
dada, seakan ingin menyegarkan diri dengan kibasan
angin kipas itu.
Nyai Balung Wungkul memutar tubuhnya sedikit,
lalu berpaling menatap Pandan Wangi. Bibirnya yang
keriput tampak menyunggingkan senyuman tipis.
"Simpan kembali senjatamu, Cah Ayu. Dia tidak
akan menyerangmu lagi," ujar Nyai Balung Wungkul,
lembut nada suaranya.
"Hm...."
Pandan Wangi menutup kipasnya, lalu menyelipkan
ke balik ikat pinggangnya setelah menatap sebentar
pada perempuan tua ini. Dari sorot matanya yang terlihat lembut, Pandan Wangi
merasa kalau perempuan
tua ini memang ingin menghentikan pertarungan yang
sejak semula sama sekali tidak diinginkannya. Dia pun juga memberi senyum cukup
manis. Sementara, Suro
Gading jadi menggerutu kesal melihat semua ini. Tapi,
tampaknya keberanian untuk bertindak tidak dimilikinya. Hanya ditatapnya tajam-tajam perempuan tua
yang menghentikan pertarungannya.
"Hendak ke mana tujuanmu, Cah Ayu?" Tanya Nyai
Balung Wungkul, tanpa mempedulikan Suro Gading
yang menggerutu seorang diri.
"Menyusul kakakku ke sana," sahut Pandan Wangi
sambil menunjuk ke arah timur.
"Pergilah. Urusanmu dengan Suro Gading sudah selesai." "Terima kasih, Nyai," ucap Pandan Wangi seraya
menjura memberi hormat. "Aku juga sebenarnya tidak
menginginkan pertarungan ini. Tapi, dialah yang memulainya lebih dulu. Dan aku tidak bisa mencegah jatuh korban. Maafkan aku,
Nyai" "Ah, sudahlah.... Pergilah cepat, sebelum kakakmu
jauh." "Aku mohon diri, Nyai."
Kembali Pandan Wangi menjura, kemudian juga
menjura pada Suro Gading. Tapi penghormatannya dibalas Suro Gading dengan dengusan berat. Laki-laki itu tampaknya masih belum
puas. Sedangkan Pandan
Wangi sudah melangkah menghampiri kudanya. Dan
dengan gerakan indah dan ringan sekali, dia melompat naik ke punggung kuda putih
itu. Lalu, diambilnya tali kekang kuda hitam. Sedikit matanya menatap Nyai
Balung Wungkul, kemudian menggebah kudanya hingga
berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Debu langsung beterbangan membubung tinggi ke
angkasa, begitu kuda putih yang ditunggangi Pandan
Wangi berlari cepat meninggalkan tempat itu. Sebentar saja, gadis yang dikenal
berjuluk si Kipas Maut itu sudah lenyap dari pandangan. Sementara, Nyai Balung
Wungkul segera menghampiri Suro Gading, setelah
Pandan Wangi benar-benar tidak terlihat lagi.
"Kenapa dia kau biarkan pergi begitu saja, Nyai"
Dia sudah membunuh satu orang anak buahku!" dengus Suro Gading kesal.
"Kau membuang-buang waktu saja mengurusi bocah itu, Suro Gading. Mana hasil kerjamu...?" nada
suara Nyai Balung Wungkul juga tidak kalah ketusnya.
"Huh!" Suro Gading hanya mendengus saja.
"Kau gagal...?" tebak Nyai Balung Wungkul.
"Kau lihat saja sendiri. Berapa orang yang kubawa,
dan berapa sekarang yang masih ada...?"
"Tapi, bagaimana hasilnya?"
"Aku terpaksa membunuhnya."
"Heh"! Apa...?"
Nyai Bedung Wungkul tampak terkejut sekali, sampai-sampai kedua bola matanya terbeliak lebar, seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Dipandanginya dalam-dalam wajah Suro Gading,
seakan-akan ingin mendapatkan kebenaran dari jawaban yang diinginkannya. Tapi, kelihatannya Suro Gading juga tidak bermain-main.
Bahkan membalas tatapan mata perempuan tua itu dengan tajam pula.
"Kalau saja kau ada, pasti tidak akan seterkejut itu, Nyai. Dia tidak seperti
perkiraan kita. Aku terpaksa membunuhnya, walaupun aku tahu apa yang akan kuterima nanti," kata Suro Gading lagi.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang akan kukatakan
nanti, Suro Gading. Tapi, jangan khawatir. Bagaimanapun juga, aku akan berada di belakangmu," ujar
Nyai Balung Wungkul perlahan.
"Terima kasih, Nyai."
"Ah, sudahlah.... Ayo kita pergi sekarang."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera meninggalkan tempat itu. Dan tidak berapa lama saja, tempat
itu sudah sunyi. Tak terlihat seorang pun di sana, kecuali sesosok mayat seorang
anak muda berbaju merah saja yang masih terlihat menggeletak di tanah. Tak ada seorang pun yang
mempedulikannya. Hanya angin
saja yang masih setia membelai tubuhnya.
*** Sementara itu, Pandan Wangi yang memacu cepat
kudanya sudah sampai di kaki Bukit Jagal. Lari kudanya cepat dihentikan karena terhalang sebuah sungai kecil yang berair sangat jernih. Dengan gerakan indah dan ringan sekali,
gadis berjuluk si Kipas Maut itu melompat turun dari punggung kudanya. Lalu
dibiar-kannya kuda itu melepaskan dahaga di air sungai ini.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Sesaat keningnya jadi berkerut,
begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih berdiri tegak mematung tidak
jauh darinya. "Kakang Rangga...."
Pandan Wangi langsung mengenali pemuda itu, walaupun berdiri membelakangi. Bergegas pemuda itu
dihampirinya. Dan belum sempat ditegur, pemuda itu
sudah memutar tubuhnya. Tampak raut wajahnya terlihat berselimut kabut. Pandan Wangi jadi keheranan.
Sebentar ditatapnya wajah tampan pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu, kemudian beralih ke
arah sebuah gundukan tanah yang tampaknya masih
baru. Tidak terlihat ada orang lain lagi di sekitar tempat ini.
"Kuburan siapa itu?" tanya Pandan Wangi.
"Satria Seruling Emas," sahut pemuda berbaju
rompi putih yang memang Rangga.
Suaranya terdengar pelan, dan hampir saja tidak
terdengar di telinga Pandan Wangi.
"Kelihatannya masih baru ..."
"Ya. Baru saja aku selesai menguburkannya."
"Kau yang menguburkannya, Kakang...?"
, Pandan Wangi kelihatan terperanjat.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja sedikit.
Perlahan nafasnya ditarik dalam-dalam, kemudian di-hembuskannya kuat-kuat.
Sedangkan Pandan Wangi
berganti-ganti memandangi wajah Pendekar Rajawali
Sakti dan kuburan yang memang masih baru ini.
"Dia sempat mengatakan satu nama dan tempat,
sebelum meninggal," jelas Rangga masih terdengar pelan suaranya.
"Apa?" tanya Pandan Wangi.
"Penghuni Lembah Neraka."
"Hanya itu...?"
"Dia sempat juga mengatakan kalau sudah lama berada di sini, dan selalu meniup serulingnya setiap pagi sebelum matahari terbit"
"Apa maksudnya, Kakang?"
"Entahlah.... Hanya itu yang dikatakannya padaku.
Tidak ada yang lain," sahut Rangga agak mendesah.
"Penghuni Lembah Neraka...," gumam Pandan Wangi pelan. Kening gadis itu kelihatan berkerut, seakan tengah
berpikir keras sambil menggumamkan kata-kata yang
disebutkan Rangga tadi berulang-ulang. Sebentar kemudian kembali ditatapnya wajah tampan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Sepertinya nama itu baru kudengar, Kakang. Memangnya ada tempat yang namanya Lembah Neraka...?" nada suara Pandan Wangi terdengar seperti


Pendekar Rajawali Sakti 96 Penghuni Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggumam, seakan bicara pada diri sendiri.
"Aku kenal, siapa Satria Seruling Emas, Pandan.
Aku yakin, perkataannya pasti ada maksudnya. Rasanya, mustahil jika dia sampai tewas kalau tidak ada sebabnya," sahut Rangga
pasti. "Tapi, apa kau pernah tahu tempat yang bernama
Lembah Neraka, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Hanya ada satu desa yang terdekat dengan kaki
Bukit Jagal ini, Pandan."
"Desa Tegalan...?"
"Ya, Desa Tegalan."
"Lalu...?"
"Mungkin penduduk desa itu mengenal tempat yang
bernama Lembah Neraka itu. Aku rasa, kita bisa menanyakannya pada mereka."
"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam perlahan
saja. Sementara, Rangga juga terdiam dan tidak berkata
apa-apa lagi. *** 3 Malam sudah larut menyelimuti seluruh Bukit Jagal
dan sekitarnya. Bahkan Desa Tegalan yang terletak tidak jauh dari bukit itu,
juga sudah terlelap dalam buaian mimpi. Kerlip lampu pelita di depan setiap
rumah, terlihat bagaikan kunang-kunang dipermainkan
angin. Tak ada seorang pun terlihat berada di luar ru-mahnya. Kesunyian begitu
terasa menyelimuti seluruh desa yang terpencil ini.
Dan sementara di dalam sebuah kamar penginapan,
terlihat Rangga dan Pandan Wangi masih duduk berdua di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar,
membicarakan tentang Satria Seruling Emas yang tewas secara aneh. Mereka masih belum bisa memahami
arti kata-kata terakhir yang diucapkan Satria Seruling Emas. Memang sulit
dimengerti, sehingga masih menjadi suatu teka-teki yang sulit dipecahkan.
Dan tiba-tiba saja, kesunyian yang mencekam itu
dipecahkan oleh terdengarnya jeritan yang begitu panjang melengking tinggi.
Rangga dan Pandan Wangi
yang belum bisa memejamkan mata di kamar penginapan, kontan jadi tersentak kaget Tanpa membuangbuang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung
melesat keluar dari kamar ini melalui jendela.
"Hup!"
Pandan Wangi tidak mau ketinggalan lagi. Bergegas
tubuhnya melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti
sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya kedua pendekar muda itu
melesat, sehingga sulit sekali melihat bayangan tubuhnya. Sebentar saja, mereka
sudah jauh meninggalkan rumah penginapan di Desa
Tegalan ini. Mereka terus berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke arah
sumber jeritan yang tadi
terdengar begitu jelas.
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu
melihat sesosok tubuh terkapar di pinggiran desa bagian timur. Langsung larinya
dihentikan. Lalu dihampirinya sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah itu.
Dan belum lagi Rangga bisa menjamah, Pandan
Wangi sudah datang. Gadis itu juga terperanjat melihat ada seseorang tergeletak
dengan dada terbelah lebar, berlumuran darah segar.
"Kakang! Bukankah dia salah seorang yang ada di
kedai tadi pagi...?" desis Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
"Ohhh...."
"Oh! Dia masih hidup, Kakang...!" sentak Pandan
Wangi. Rangga buru-buru menghampiri, dan mengangkat
tubuh laki-laki tegap dan berotot itu. Ditopangnya tubuh tegap itu dengan
sebelah kakinya yang ditekuk.
Tampak bibir laki-laki bertubuh tinggi tegap itu bergerak-gerak seperti hendak
mengatakan sesuatu. Dan
Rangga segera mendekatkan telinganya.
"Mereka.... Penghuni Lembah Neraka...."
"Siapa mereka?" tanya Rangga cepat-cepat
"Mereka harus dicegah sebelum terlambat. Akh...!"
"Tung...."
Rangga langsung menghembuskan napas panjang
karena belum sempat bertanya, melihat laki-laki yang tidak dikenalnya ini
menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Perlahan diletakkannya tubuh yang sudah
tak bernyawa itu ke tanah lagi, kemudian bangkit berdiri. Langsung pandangannya
bertemu dengan tatapan
mata Pandan Wangi. Dan untuk beberapa saat mereka
jadi terdiam, hanya saling berpandangan saja.
"Kau dengar apa katanya tadi, Pandan...?"
"Ya."
"Aku merasa ada satu rahasia tersembunyi di desa
ini, Pandan. Sudah dua orang tewas. Dan mereka menyebut Penghuni Lembah Neraka. Hm.... Harus dicegah sebelum terlambat. Apa maksudnya?" nada suara
Rangga terdengar setengah menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
Sedangkan Pandan Wangi hanya membisu saja. Tapi keningnya terlihat berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu yang teramat
sulit. Cukup lama juga kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terdiam
membisu. "Ada yang datang, Pandan. Ayo, kita pergi dari sini,"
ujar Rangga cepat-cepat mengajak.
Telinga Pandan Wangi yang tajam, cepat menangkap adanya suara langkah-langkah kaki orang banyak
menghampiri tempat ini. Dan ajakan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi dibantah. Segera kakinya terayun mengikuti Rangga yang
sudah berjalan lebih dahulu. Ayunan langkah kakinya begitu cepat, disertai
pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Hingga
sebentar saja, mereka sudah jauh meninggalkan tempat itu, dan lenyap tak
terlihat lagi dalam kegelapan malam.
Tak berapa lama berselang, terlihat orang- orang
berdatangan sambil membawa obor dan segala macam
senjata tajam. Dari pakaian yang dikenakan, sudah
dapat dipastikan kalau mereka adalah pendudukpenduduk Desa Tegalan ini.
*** Kematian aneh seorang laki-laki yang kemudian dikenal bernama Ki Somali itu, menjadi perbincangan
hangat di Desa Tegalan. Terlebih lagi, kematian Ki Somali yang lebih dikenal
berjuluk Pendekar Tangan Besi itu sangat mengerikan. Bukan hanya dadanya saja
yang terbelah, tapi juga kedua tangannya hampir ter-babat buntung. Sebelah
kakinya juga sudah buntung,
terpisah agak jauh dari tempat ditemukannya. Kematian yang sangat mengenaskan bagi seorang pendekar
yang sudah ternama, seperti Pendekar Tangan Besi.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi yang masih
berada di penginapan, bukan membicarakan kematian
Pendekar Tangan Besi. Mereka justru tengah diliputi segudang pertanyaan,
mengenai kata-kata terakhir
yang diucapkan kedua korban pembunuhan itu.
"Semua orang membicarakan kematian Pendekar
Tangan Besi, Kakang," kata Pandan Wangi, seraya
menghempaskan tubuhnya di kursi dekat jendela.
"Dari mana kau tahu kalau orang yang meninggal
semalam itu Pendekar Tangan Besi, Pandan?" tanya
Rangga. Memang bukan hanya Rangga saja yang tidak tahu.
Tapi, Pandan Wangi sebelumnya juga tidak tahu, siapa orang yang ditemukan tewas
semalam. Dan baru tadi
si Kipas Maut itu tahu, kalau orang yang ditemukan
tergeletak di jalan tidak jauh dari perbatasan sebelah timur desa itu, adalah
Pendekar Tangan Besi. Tentu
saja hal ini membuat Rangga jadi heran.
"Ki Carmat," sahut Pandan Wangi singkat.
"Siapa itu Ki Carmat?" tanya Rangga lagi.
"Kepala Desa Tegalan ini. Dan dia juga berjuluk
Pendekar Tongkat Hitam," sahut Pandan Wangi kalem.
"Kau menemuinya?" tanya Rangga lagi.
"Aku tidak bicara langsung. Dan hanya mendengar
saja dari pembicaraan orang-orang. Katanya, Ki Carmat mengenali orang itu, dan memang sudah terjalin
hubungan persahabatan di antara mereka," jelas Pandan Wangi singkat.
"Persahabatan. Hm...."
Pandan Wangi terdiam membisu. Pandangan matanya tidak terlepas dari wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti yang duduk tidak seberapa jauh di depannya. Dan untuk beberapa
saat, mereka terdiam sambil sesekali saling melemparkan pandangan.
"Kakang, ada yang ingin kukatakan padamu," Pandan Wangi memecah kebisuan yang terjadi di dalam
kamar ini. "Katakan saja, Pandan. Tentang apa...?" sambut
Rangga lembut. "Kemarin ketika mengejarmu, aku sempat bertarung," kata Pandan Wangi, jadi teringat peristiwa pertarungannya kemarin.
"Dengan siapa...?" tanya Rangga agak terkejut.
Dan memang, Pandan Wangi baru sempat menceritakannya sekarang. Tentu saja hal itu membuat Rangga jadi terperanjat. Padahal, semalaman penuh mereka selalu bersama-sama, tapi
sama sekali Pandan Wangi
tidak menceritakannya.
Lalu secara singkat, Pandan Wangi menceritakan
asal mula kejadiannya. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian tanpa sedikit pun menyelak,
sampai Pandan Wangi menyelesaikan ceritanya. Dan
Pendekar Rajawali Sakti belum juga membuka mulut,
ketika Pandan Wangi sendiri sudah tidak bersuara lagi.
"Pandan! Kau kenal salah seorang dari mereka?"
tanya Rangga setelah cukup lama membisu.
Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja.
Memang, dia tidak kenal satu orang pun yang menyerangnya, maupun perempuan tua yang menghentikan
pertarungannya. Tapi dari apa yang diketahui, disebutkannya ciri-ciri orang itu tanpa menunggu permin-taan Rangga terlebih
dahulu. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mendengarkan
penuh perhatian. Dan kini kening pemuda berbaju
rompi putih itu jadi berkerut saat Pandan Wangi mengatakan tentang perempuan tua
yang tiba-tiba saja datang dan menghentikan pertarungannya. Lalu, gadis
itu langsung saja menghentikan ceritanya. Pandangannya begitu dalam, menatap langsung ke wajah
Rangga. Terlihat jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti seperti sedang berpikir
keras, atau mungkin juga sedang mengingat-ingat sesuatu. Yang pasti, ada
hubungannya dengan kejadian yang dialami Pandan Wangi.
Kembali mereka berdua terdiam. Cukup lama juga
tidak terdengar suara sedikit pun. Dan kesunyian itu dipecahkan oleh
terdengarnya hembusan napas Rangga yang begitu berat dan panjang. Kelopak mata
Pan- dan Wangi semakin terlihat menyipit, memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Dia yakin, Rangga sedang berusaha mengingat
sesuatu. "Coba ingat-ingat dulu, bagaimana ciri-ciri perempuan tua yang menghentikan pertarunganmu, Pandan," pinta Rangga, setelah cukup lama membisu.
"Usianya sekitar tujuh puluh tahun, atau mungkin
juga sudah lebih. Bajunya jubah panjang warna hijau gelap, dan membawa sebatang
tongkat seperti terbuat dari kayu hitam. Ada semacam batu permata pada bagian
kepala tongkatnya. Dan...."
"Nyai Balung Wungkul...," desis Rangga tanpa sadar, membuat Pandan Wangi berhenti seketika.
"Tepat, Kakang...!" sentak Pandan Wangi agak keras
suaranya. "Laki-laki yang bernama Suro Gading, memang menyebut namanya begitu. Maaf, aku terlupa."
"Hm.... Kau tahu siapa dia, Pandan?" tanya Rangga.
Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja.
Bahkan semakin dalam memandangi wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang dipandangi malah mengarahkan tatapan matanya ke luar jendela.
"Kau pasti pernah mendengar julukan Iblis Tongkat
Permata...," ujar Rangga terdengar pelan sekali suaranya.
"Iblis Tongkat Permata.... Hm.... Pernah juga aku
mendengarnya, Kakang."
"Wanita tua itulah yang berjuluk si Iblis Tongkat
Permata." "Siapa..."!"
Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati, begitu
mengetahui kalau perempuan tua yang memisahkan
pertarungannya ternyata Iblis Tongkat Permata. Seorang wanita yang sudah amat ternama di kalangan
rimba persilatan. Tingkat kepandaian yang dimiliki
sangat tinggi. Tapi sayangnya, dia berada pada jalan salah, hingga para pendekar
tidak ada yang menyu-kainya.
Pandan Wangi benar-benar terkejut, karena sama
sekali tidak mengenalinya. Sungguh tidak diketahuinya kalau wanita itu adalah si Iblis Tongkat Permata yang julukannya sudah
sering terdengar. Dan memang, antara mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Jadi, tidak heran kalau Pandan Wangi tidak mengenali.
*** Malam sudah turun menyelimuti seluruh permukaan Desa Tegalan. Pandan Wangi dan Rangga masih
belum juga bisa memejamkan mata. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Entah
kenapa, perasaannya jadi gelisah sendiri, seperti ada sesuatu yang akan terjadi
pada dirinya. Kegelisahan Pendekar Rajawali Sakti tentu saja
mendapat perhatian yang penuh dari Pandan Wangi.
Tapi si Kipas Maut itu tidak berani menegur, kecuali dia hanya memandangi saja
dengan kepala dipenuhi
segudang pertanyaan yang tentu saja tidak akan terjawab saat ini.
"Hhh...! Panas sekali udara malam ini," keluh Rangga sambil menghembuskan napas panjang- panjang.
"Aku malah merasa sebaliknya, Kakang," ujar Pandan Wangi. Dan memang, Pandan Wangi merasakan kalau malam ini begitu dingin sekali. Terlebih lagi, kabut begitu
tebal menyelimuti seluruh permukaan Desa Tegalan.
Tapi sungguh mengherankan melihat keadaan Rangga.


Pendekar Rajawali Sakti 96 Penghuni Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu tampak berkeringat seluruh tubuhnya.
Dan seakan-akan, memang merasakan kalau udara
malam ini begitu panas membakar tubuh.
"Kakang...," terdengar hati-hati sekali nada suara
Pandan Wangi. "Hm...."
"Kau kelihatan gelisah sekali. Ada apa...?" tanya
Pandan Wangi agak ragu-ragu.
"Entahlah...," desah Rangga, panjang.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Kakang?"
"Aku tidak tahu, Pandan. Tapi, rasanya...."
Belum lagi kata-kata yang diucapkan Rangga selesai, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menghenti-kannya. Dan kepalanya
langsung terdongak ke atas,
menatap langit-langit kamar penginapan ini. Saat itu juga, Pandan Wangi
mendengar adanya suara yang
sangat halus, tepat di atas atap kamar penginapan ini.
Tapi, suara itu hanya terdengar sesaat saja, karena kemudian menghilang.
Dengan tangannya, Rangga memberi isyarat agar
Pandan Wangi tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Dan gadis yang dikenal
berjuluk si Kipas Maut ini hanya mengangguk saja. Sementara, perlahan-lahan
Rangga mulai menggeser kakinya mendekati jendela.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menginjak lantai kamar ini. Bahkan tidak terdengar suara sedikit pun dari gerakan
kakinya. Sebentar saja, Rangga sudah berada di dekat jendela. Dan baru saja hendak melompat ke luar, mendadak.... Slap! "Heh..."! Ups!"
Jleb! Rangga langsung menarik cepat tubuhnya ke kanan, tepat ketika sebuah benda bercahaya keperakan
melesat cepat bagai kilat, menembus jendela kamar
penginapan yang terbuka lebar itu. Sedikit sekali benda itu lewat di depan dada
Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menancap di tiang yang ada di tengahtengah ruangan kamar ini.
"Hup!"
Pandan Wangi langsung melompat mendekati tiang.
Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam, dicabutnya benda itu dari tiang penyangga kamar ini. Lalu, bergegas dihampirinya Rangga
yang sudah berdiri di
depan jendela. "Bintang perak, Kakang," kata Pandan Wangi memberi tahu, sambil menyodorkan benda keperakan itu.
Rangga hanya melirik saja sedikit. Memang, di atas
telapak tangan kanan Pandan Wangi terdapat sebuah
benda berbentuk bintang dari perak yang berkilatan.
"Kau di sini saja, Pandan. Aku tidak lama," kata
Rangga pelan. "Mau ke mana kau, Ka....?"
Slap! Belum lagi pertanyaan Pandan Wangi selesai, Rangga sudah melesat keluar melalui jendela dengan kecepatan bagai kilat. Dalam
sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Sedangkan Pandan Wangi hanya berdiri tegak di depan jende-la, memandang lurus ke luar
menembus kegelapan
malam yang berselimut kabut cukup tebal. Pendekar
Rajawali Sakti benar-benar sudah tidak terlihat lagi.
Entah ke arah mana perginya.
"Hm..., siapa yang melemparkan benda ini...?" gumam Pandan Wangi, bertanya pada diri sendiri.
Diamatinya bintang perak yang masih berada di
atas telapak tangannya. Sementara, malam terus merayap semakin larut. Perlahan gadis itu memutar tubuhnya berbalik. Tapi pada
saat itu juga....
"Heh..."!"
Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dalam kamar ini sudah berdiri seseorang berbaju serba hitam dengan wajah tertutup topeng
kayu berbentuk tengkorak. Seluruh kepalanya terselubung kain hitam. Dia
berdiri tegak membelakangi pintu. Tampak sebilah pedang tergantung di
pinggangnya. "Siapa kau"! Mau apa kau datang ke sini..."!" tanya Pandan Wangi langsung,
begitu keterkejutannya hilang.
"Aku diutus untuk menjemputmu, Pandan Wangi,"
sahut orang itu datar.
Suaranya yang besar, jelas sekali terdengar dibuatbuat. Seakan-akan, suaranya yang asli ingin disembu-nyikannya. Tapi Pandan Wangi
sudah bisa menebak
kalau orang yang ada di balik topeng kayu tengkorak itu seorang wanita.
"Siapa yang mengutusmu?" tanya Pandan Wangi lagi. "Sayang, aku tidak bisa memberitahukannya. Kau
akan tahu sendiri nanti di sana."
"Hmmm...," Pandan Wangi menggumam panjang,
sambil memperhatikan orang bertopeng kayu tengkorak di depannya dengan sinar mata tajam.
"Ayolah, Pandan Wangi. Waktuku tidak lama."
"Maaf. Aku terpaksa menolak, karena harus menunggu Kakang Rangga dulu," tegas Pandan Wangi.
"Jangan memaksaku untuk bertindak tegas, Pandan Wangi. Aku tidak suka cara-cara paksaan."
"Heh..."!"
Pandan Wangi jadi terkejut. Jelas sekali, kata- kata orang itu bernada
mengancam. "Kau tentu mengerti maksudku, Pandan Wangi. Sebaiknya, jangan berbuat sesuatu yang bisa merugikan dirimu sendiri," ancam orang
bertopeng tengkorak
kayu itu lagi. "Maaf. Aku tetap tidak bisa ikut denganmu," tegas
Pandan Wangi. "Kalau begitu, aku terpaksa harus memaksamu.
Hup...!" Wusss! "Haiiit...!"
*** 4 Sedikit Pandan Wangi terkesiap, begitu tiba-tiba sa-ja orang bertopeng tengkorak
kayu itu melompat menerjangnya dengan kecepatan sangat luar biasa. Tapi hanya sedikit saja tubuhnya
mengegos, terjangan itu berhasil dihindari. Dan cepat-cepat kakinya bergeser ke
samping beberapa langkah.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Plak! Kedua tangan mereka beradu dengan keras. Dan
saat itu, Pandan Wangi merasakan tangannya jadi bergetar kesemutan. Cepat-cepat
kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sebelum datang serangan
kembali. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang bertopeng tengkorak kayu itu sudah
melancarkan serangan
cepat bagai kilat, membuat Pandan Wangi jadi terperangah sesaat. "Haiiit..!"
Pandan Wangi cepat-cepat meliuk, menghindari terjangan kedua tangan orang bertopeng tengkorak kayu
itu. Dari gerakan-gerakannya, jelas sekali terlihat kalau lawannya hanya ingin
melumpuhkan si Kipas Maut
ini saja. Tapi, tampaknya Pandan Wangi juga bukanlah orang sembarangan yang
begitu mudah bisa ditakluk-kan.
Gerakan-gerakan yang dilakukan Pandan Wangi juga begitu cepat luar biasa. Sehingga, tidak satu pun serangan orang bertopeng
tengkorak kayu itu yang
berhasil mengenai tubuh si Kipas Maut ini. Dan tanpa terasa, pertarungan sudah
berjalan lima jurus, sehingga membuat keadaan di dalam kamar ini jadi berantakan sekali. "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Orang bertopeng tengkorak kayu itu semakin mempercepat serangan-serangannya. Kedua tangannya
bergerak begitu cepat, hingga bagaikan berubah jadi berjumlah banyak. Dan Pandan
Wangi tampak mulai
kelabakan menghindari serangan-serangan yang datang begitu cepat dan beruntun ini. Tapi gadis itu masih juga berhasil
menghindar, walaupun sama sekali
tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang sedikit pun juga. Bahkan untuk mencabut senjata kipas mautnya saja, terasa sulit
sekali. Serangan orang bertopeng tengkorak kayu itu memang gencar sekali, tan-pa
terputus sedikit pun.
"Hih! Yeaaah...!"
Dan begitu memiliki sedikit kesempatan, Pandan
Wangi langsung saja menghentakkan tangan kanannya. Langsung diberikannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
tingkat tinggi.
"Hup!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, orang bertopeng
tengkorak kayu itu melesat ke atas. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya menukik turun
ke belakang tubuh si Kipas Maut ini. Kemudian begitu cepat sekali tangan
kanannya bergerak, memberi satu totokan tepat di bahu sebelah kiri Pandan Wangi.
Tuk! "Ikh..."!"
Pandan Wangi jadi terpekik kaget. Dan seketika itu
juga, terasa ada hawa panas menyelimuti tubuhnya
dari bekas totokan di bahu kiri. Tak berapa lama kemudian, seluruh tubuhnya
terasa jadi lemas sekali.
Dan belum lagi Pandan Wangi bisa menyadari apa
yang terjadi, orang bertopeng tengkorak kayu itu sudah bergerak cepat ke
depannya. Lalu....
"Hih!"
Tuk! Kembali dilepaskannya satu totokan dengan ujung
jari kanannya, tepat di dada Pandan Wangi. Akibatnya, gadis ini langsung jatuh
menggeletak di lantai. Tubuhnya jadi lemas tak bertenaga lagi, setelah pusat
jalan darahnya tertotok kuat. Sementara orang bertopeng
tengkorak kayu itu segera menghampiri. Lalu dipondongnya tubuh si Kipas Maut ini, bagaikan mengangkat sekantung kapuk.
"Maaf. Kau sendirilah yang memilih aku bertindak
begitu," ujar orang bertopeng tengkorak kayu ini.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, orang bertopeng tengkorak kayu itu melesat cepat, keluar dari jendela sambil membawa
Pandan Wangi. Begitu cepat
lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah
lenyap tertelan gelapnya malam yang terselimut kabut tebal.
Dan belum lama orang bertopeng tengkorak kayu
itu menghilang membawa Pandan Wangi, Rangga baru
kembali. Rangga langsung saja masuk melalui jendela yang masih terbuka lebar.
Dan mendadak saja, kedua
bola matanya jadi terbeliak lebar begitu menjejak lantai kamar penginapan ini.
"Heh"! Ada apa ini..."!"
Rangga benar-benar terkejut, melihat keadaan kamar penginapannya berantakan seperti kapal pecah.
Pandangannya beredar ke sekeliling, dengan kelopak
mata terlihat sedikit menyipit. Namun, mendadak saja hatinya tersentak begitu
teringat Pandan Wangi.
"Pandan...!" seru Rangga memanggil, dengan nada
suara agak ditahan sedikit.
Tak ada sahutan sedikit pun. Rangga bergegas
menghampiri pintu, dan membukanya lebar-lebar. Tidak ada seorang pun yang terlihat di lorong kamarkamar penginapan ini. Kembali ditutupnya pintu kamar itu, dan langsung dikuncinya dari dalam. Kembali pandangannya beredar ke
sekeliling ruangan ini.
"Pasti telah terjadi sesuatu di sini. Hm..." Tapi, di mana Pandan Wangi...?" gumam
Rangga perlahan, bertanya-tanya pada diri sendiri.
Selagi Pendekar Rajawali Sakti diliputi berbagai macam pertanyaan, tiba-tiba
saja keningnya jadi berkerut saat melihat sebuah benda yang sudah begitu
dikenalnya. Sebuah kipas dari baja putih, tergeletak tidak jauh dari ujung
kakinya. Segera diambilnya kipas yang dikenali milik Pandan Wangi.
"Pasti telah terjadi sesuatu di sini. Oh..., Pandan...," desah Rangga berbicara pada diri sendiri.
Digenggamnya erat-erat kipas berwarna keperakan
yang menjadi senjata andalan Pandan Wangi. Kemudian, diselipkan ke balik ikat pinggangnya. Sebentar Rangga mengedarkan
pandangan ke seluruh ruangan
kamar penginapan, kemudian cepat melesat ke luar
melalui jendela. Begitu sempurna ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah
lenyap tak terlihat lagi.
Sementara, malam terus merambat semakin larut.
Dan suasana di Desa Tegalan semakin sunyi senyap,
bagaikan sebuah desa mati. Hanya suara serangga malam saja yang terdengar, serta sesekali suara kentongan peronda. Sedangkan
Rangga sudah lenyap entah
ke mana, meninggalkan kamar penginapan yang berantakan seperti kapal pecah terhantam badai di lautan.
*** Semalaman penuh Rangga mencari Pandan Wangi
yang hilang dari kamar penginapan. Sudah seluruh pe-losok Desa Tegalan
dijelajahi, tapi Pandan Wangi tidak juga bisa ditemukan. Bahkan jejaknya pun
sama sekali tidak terlihat Rangga jadi gelisah sendiri, benar-benar mencemaskan
nasib Pandan Wangi yang hilang entah
ke mana. Terlebih lagi, gadis itu meninggalkan senjata kipas mautnya.
Rangga jadi semakin cemas akan nasib kekasihnya
itu. Dia tahu, kalau Pandan Wangi sampai terpisah da-ri senjata mautnya, pasti
tengah dalam keadaan bahaya. Rangga sudah bisa menebak, Pandan Wangi tentu tidak pergi begitu saja. Kecemasan hati Pendekar Rajawali Sakti semakin
terlihat, saat matahari sudah berada di atas kepala, belum juga mendapatkan
tanda-tanda keberadaan Pandan Wangi.
Dengan lesu, Rangga kembali ke penginapannya. Ki
Rabit, pemilik penginapan yang terbesar di Desa Tegalan ini, langsung
menyambutnya begitu melihat Rangga memasuki pintu depan. Pendekar Rajawali Sakti
berhenti melangkah tepat di ambang pintu. Kelopak
matanya agak menyipit melihat Ki Rabit tergopohgopoh menghampiri. Laki-laki tua yang sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun
itu langsung saja mem-bungkukkan tubuhnya, begitu tiba di depan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga langsung.


Pendekar Rajawali Sakti 96 Penghuni Lembah Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tadi ada orang yang mencarimu, Den," sahut Ki
Rabit memberi tahu.
"Siapa?" tanya Rangga lagi. Keningnya semakin dalam berkerut "Dia tidak mau menyebutkan namanya. Tapi, dia
meninggalkan ini. Katanya, Raden bisa tahu, kalau
sudah menerimanya."
Rangga memandangi sebuah bungkusan kain merah yang disodorkan Ki Rabit sebentar. Kemudian diambilnya bungkusan kain merah itu dan langsung diamatinya beberapa saat.
"Terima kasih, Ki," ucap Rangga. "Ada yang lainnya?" "Tidak, Den. Orang itu langsung pergi setelah membelikan titipan ini," sahut Ki Rabit.
"Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, Ki?"
"Tidak, Den. Dia hanya mengatakan kalau Raden
pasti sudah tahu, jika sudah menerima titipannya ini.
Hanya itu saja yang dikatakannya, Den."
"Baiklah, Ki. Terima kasih."
Tanpa berkata-kata lagi, Rangga segera melangkah
masuk ke dalam rumah penginapan ini. Terus disusurinya lorong yang di kanan dan kirinya terdapat pintu-pintu kamar sewaan.
Sementara, Ki Rabit kembali sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Karena selain
sebagai penginapan, rumah ini juga merangkap kedai.
Rangga langsung saja masuk ke dalam kamarnya
yang masih tetap berantakan seperti semalam, ketika ditinggalkannya. Pendekar
Rajawali Sakti menarik kursi ke depan jendela. Dia duduk di sana sambil terus
mengamati bungkusan kain merah yang diberikan Ki
Rabit tadi. "Hm...."
Perlahan Rangga membuka bungkusan kain merah
itu, tapi mendadak saja....
"Heh..."!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti,
setelah membuka bungkusan kain merah yang diberikan Ki Rabit tadi. Begitu terkejutnya, sampai Rangga terlompat bangkit dari
kursi yang didudukinya. Bahkan kedua bola matanya jadi terbelalak lebar. Ternyata, bungkusan kain merah itu berisi sebuah kotak
kayu yang di dalamnya terdapat sebuah tusuk rambut
yang sangat dikenalnya. Jelas, tusuk rambut itu milik Pandan Wangi!
Di dalam kotak kayu itu juga berisi selembar daun
lontar kering. Segera diambil dan dibukanya gulungan daun lontar itu. Beberapa
baris kalimat tertera di sana.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut dalam
begitu membaca tulisan yang tertera pada daun lontar ini. Lamat-lamat dibacanya
tulisan pada daun lontar itu. "Tinggalkan desa ini secepatnya, kalau kau tidak
ingin kepala gadismu terpisah dari badan. Gadismu akan kau dapatkan kembali
setelah kau melewati tujuh gu-nung dari desa ini. Ingat, kepala gadismu menjadi
taru- hannya! " Rangga langsung meremas lembaran daun lontar
itu. Dan tanpa sadar, perasaan itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
sempurna, hingga kepalan
telapak tangannya sampai mengepulkan asap tipis.
Dan begitu kepalannya terbuka, daun lontar itu sudah menjadi abu.
Tampak wajah Pendekar Rajawali Sakti memerah,
seperti besi terbakar di dalam tungku. Nafasnya jadi bertambah cepat memburu,
men- dengus-dengus seperti seekor kuda yang baru saja dipacu cepat seharian
penuh. Seluruh tubuhnya jadi bergetar, menahan kemarahan yang meluap, hampir
tumpah meledak dalam
dada. "Hup!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melompat
cepat bagai kilat, menerobos jendela yang sejak semalam terbuka lebar. Begitu
sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah
lenyap dari pandangan. Bagaikan asap tertiup angin, tubuhnya langsung menghilang
tanpa terlihat bayan-gannya sedikit pun juga.
*** Rangga terus berlari secepat angin, ke luar dari Desa Tegalan. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga kedua telapak kakinya bagaikan tidak menjejak tanah sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari,
meskipun sudah jauh meninggalkan Desa Tegalan. Tanpa disadari, justru Rang-ga sampai di kaki Bukit
Jagal. Larinya baru berhenti, setelah tiba di lereng bukit ini, di tengah-tengah
sebuah padang rumput yang cukup luas dan subur bagai permadani terhampar.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan
pandangan ke sekeliling, seakan-akan ada yang tengah dicarinya. Dia berdiri
tegak dengan kedua tangan ber-kacak pinggang. Wajahnya masih tetap kelihatan merah. Dadanya tampak bergerak cepat turun naik. Dan
nafasnya terdengar begitu cepat memburu, mendengus-dengus seperti kuda.
"Hm...."
Perlahan Rangga mengayunkan kakinya lagi, menyeberangi padang rumput ini. Dia terus berjalan
sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya melangkah. Bahkan rerumputan yang
dipijaknya juga tidak
bergerak sedikit pun.
Rangga kembali berhenti melangkah setelah sampai
di seberang padang rumput ini. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling dengan sikap begitu angker.
Sedikit pun tidak terlihat sunggingan senyum pada bibirnya. Dan pandangan
matanya kemudian tertumbuk
pada sebuah goa batu yang mulutnya tidak begitu besar, tapi kelihatan sangat dalam.
"Setan Bukit Jagal, aku Rangga datang ingin bertemu denganmu...!"
Terdengar lantang sekali suara Rangga. Dan jelas
kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna.
Akibatnya daun-daun
pepohonan di sekitarnya berguguran. Bahkan batubatu ikut berlompatan! Teriakan Rangga tadi terus
menggema, terpental jauh oleh pepohonan dan batubatuan yang banyak terdapat di sekitar lereng Bukit Jagal ini.
Wusss...! Belum lagi hilang gema suara Rangga dari pendengaran, terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat begitu cepat, keluar dari dalam
goa. Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia mengenakan baju
warna hijau agak ketat, hingga membentuk tubuhnya
yang tinggi tegap dan berotot Tampak di pinggangnya tergantung sebilah golok
yang berukuran sangat besar.
Mungkin besarnya tiga kali dari golok-golok biasa.
"Pendekar Rajawali Sakti, apa maksudmu datang ke
sini?" terasa dingin dan berat sekali nada suara laki-laki berbaju hijau yang
dikenali Rangga sebagai Setan Bukit Jagal.
"Waktuku tidak banyak, Setan Bukit Jagal. Maka
kuharap, jawablah semua pertanyaanku dengan tepat,
dan jangan berbelit-belit," ujar Rangga tegas dan lantang suaranya.
"Hm...," Setan Bukit Jagal menggumam kecil.
Kalau saja bukan Pendekar Rajawali Sakti yang
berkata seperti itu, barangkali goloknya sudah langsung berbicara. Tapi yang ada
di depannya adalah
Pendekar Rajawali Sakti, seorang pemuda yang berilmu sangat tinggi dan sukar sekali dicari tandingannya.
Di antara mereka memang sudah saling mengenal.
Bahkan pernah bentrok dan bertarung mengadu jiwa.
Dan, Setan Bukit Jagal memang harus mengakui ketangguhan Pendekar Rajawali Sakti. Malah kalaupun
pemuda itu mau, bisa saja memenggal lehernya. Tapi, Rangga malah memberi
kesempatan hidup baginya.
Dan ini yang membuat Setan Bukit Jagal jadi segan.
Bahkan tidak punya lagi keberanian untuk menantang
bertarung. "Apa yang ingin kau ketahui dariku, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Setan Bukit Jagal.
"Kau tahu milik siapa ini, Setan Bukit Jagal...?"
Rangga melemparkan sebuah benda berbentuk bintang berwarna putih keperakan, dan tepat jatuh di
ujung jari kaki Setan Bukit Jagal. Sebentar laki-laki separuh baya itu
menatapnya, kemudian beralih ke
wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Dan perlahan, tubuhnya membungkuk,
memungut bintang berwarna
putih keperakan itu.
"Seharusnya kau sudah tahu kalau ini senjata milikku, Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, kenapa hal itu di-tanyakan lagi...?" ujar
Setan Bukit Jagal, masih terdengar berat sekali nada suaranya.
"Itu yang ingin kuketahui, Setan Bukit Jagal. Untuk apa kau menyerangku
semalam...?" desis Rangga langsung.
"Menyerangmu..." Edan! Kau jangan sembarangan
menuduh, Pendekar Rajawali Sakti. Apa lagi semalam..." Huh...! Semalam aku ada tamu. Dan kalau tidak percaya, tamuku masih ada sampai sekarang. Itu, di dalam sana!" Setan Bukit
Jagal menunjuk ke dalam goa yang menjadi tempat tinggalnya.
Saat itu dari dalam goa keluar seorang wanita muda
berwajah cantik. Bajunya cukup ketat, berwarna merah muda, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Kakinya melangkah lembut sekali,
menghampiri Setan Bukit Jagal. Lalu, dia berdiri tepat di samping kiri laki-laki
berusia setengah baya ini.
"Ada apa, Kakang" Siapa dia...?" lembut sekali suara wanita itu. "Pendekar Rajawali Sakti. Dia temanku," sahut Setan Bukit Jagal, tanpa berpaling sedikit pun.
Setan Bukit Jagal terus menatap Rangga.
"Kau bisa tanyakan padanya, Pendekar Rajawali
Sakti. Bukan hanya semalam saja aku tidak keluar,
tapi sudah tiga hari ini tidak pergi ke mana-mana.
Mustahil kalau aku sampai menyerangmu semalam.
Apalagi dengan benda terkutuk ini. Huh...!"
Setan Bukit Jagal melemparkan bintang perak itu
kuat-kuat, dan langsung menancap pada sebongkah
batu yang sebesar badan kerbau. Rangga melirik sedikit. Di dalam hatinya, dia
merasa kagum juga melihat kehebatan pengerahan tenaga dalam Setan Bukit Jagal.
Bintang perak itu menembus dalam sekali ke permukaan batu itu, hingga yang terlihat hanya sedikit ujungnya saja.
"Kau tahu, Pendekar Rajawali Sakti. Sejak pertarungan kita dulu, aku tidak pernah lagi menggunakan senjata seperti itu. Dan
selama ini pula, aku tidak pernah keluar dari tempatku ini. Jelas...?" tegas
Setan Bukit Jagal meyakinkan.
Rangga hanya diam saja. Sementara, Setan Bukit
Jagal memutar tubuhnya. Lalu, tangan kirinya langsung saja merengkuh pinggang wanita cantik itu. Mereka kemudian melangkah kembali, masuk ke dalam
goa tanpa menghiraukan Rangga yang masih tetap
berdiri mematung sambil memandangi. Sampai mereka
lenyap tak terlihat lagi, Rangga masih diam di situ.
Beberapa saat lamanya Pendekar Rajawali Sakti
masih berdiri tidak seberapa jauh dari mulut goa tempat tinggal Setan Bukit
Jagal. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri bintang perak yang tertanam
begitu dalam di permukaan batu sebesar badan kerbau. Kening Rangga jadi berkerut melihat bintang perak itu amblas dalam sekali.
Padahal, batu ini sangat keras.
"Hm.... Memang berbeda lemparan Setan Bukit Jagal dengan yang semalam. Tapi, apa memang benar pelakunya bukan dia" Lalu siapa...?" gumam Rangga
berbicara sendiri.
Rangga memang mengenali kalau senjata rahasia
berbentuk bintang itu milik Setan Bukit Jagal. Tapi ta-di, pemiliknya sendiri
tidak mengakui kalau semalam telah menyerangnya. Dan ini yang membuat Rangga
jadi ragu-ragu. Jelas sekali perbedaan lemparan Setan Bukit Jagal tadi, dengan
yang semalam. Walaupun
hanya sekilas, tapi Rangga sudah bisa melihat perbedaannya.
Rangga menatap sebentar ke arah goa, kemudian
memutar tubuhnya berbalik. Lalu kakinya diayunkan
hendak meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah....
"Pendekar Rajawali Sakti, ada satu orang lagi yang
biasa menggunakan senjata seperti itu. Dan kau bisa bertemu dengannya di Lembah
Neraka...!"
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget. Cepat tubuhnya diputar dan langsung berhenti melangkah. Ditatapnya mulut goa yang kelihatan gelap itu. Jelas sekali terdengar di telinganya kalau
suara itu berasal dari dalam sana.
Dan nadanya sama dengan nada suara Setan Bukit
Orang Orang Terbuang 2 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Pedang Hati Suci 10

Cari Blog Ini