Ceritasilat Novel Online

Sekutu Iblis 2

Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis Bagian 2


Rajawali Sakti tak memberi kesempatan sedikit pun bagi orang itu untuk
memperbaiki kedudukan. Padahal, laki-laki berbaju biru itu baru saja bangkit
berdiri. Pendekar Rajawali Sakti langsung memberikan kepalan tangan kiri ke arah dada
laki-laki berbaju biru itu. Namun, kepalannya dapat ditangkis. Maka Rangga
menyusuli dengan satu tendangan kaki kanan ke arah ulu hati. Melihat hal ini
laki-laki berbaju biru itu bergerak ke kanan. Namun tanpa diduga sama sekali,
Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Seketika tendangannya ditarik pulang,
dan langsung menyapu ke arah punggung. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak
dapat dielakkan orang itu lagi.
Desss! "Aaakh...!"
Laki-laki berbaju biru itu kontan memekik kesakitan, begitu punggungnya
terhantam sapuan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya seketika terjerembab ke tanah
keras sekali. "Yeaaa...!"
Dari arah belakang, sebilah pedang membabat leher Pendekar Rajawali Sakti. Maka
cepat-cepat Rangga menundukkan kepala. Dan tubuhnya segera berputar menghadapi
laki-laki berbaju hitam yang menyerangnya. Namun, saat itu meluncur sambaran
senjata rahasia dari laki-laki berbaju coklat. Pendekar Rajawali Sakti cepat
menekuk kedua lututnya. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa
melesat ke atas. Dan begitu menukik turun, Rangga melepaskan dua pukulan dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang berisi tenaga dalam lumayan. Begitu
cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga...
Duk! Duk! "Aaakh...!"
"Aaa...!"
Kedua orang itu kontan menjerit kesakitan, begitu terhantam pukulan yang
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuh mereka terjungkal ke tanah sambil
mendekap tulang dahinya yang bocor. Mereka menggelepar-gelepar sambil
bergulingan, dan terus menjerit kesakitan.
"Huh! Kalian cari penyakit sendiri! Masih untung hari ini aku masih bisa menahan
sabar. Kalau tidak, kalian akan mampus hari ini juga!" dengus Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti hendak berlalu dari tempat itu, tapi tiba-tiba terdengar
jeritan tertahan dari Lima Utusan Setan. Rangga buru-buru berbalik. Tampak
kelima orang itu tengah meregang menahan ajal.
"Heh"!" Rangga tersentak kaget dan buru-buru menghampiri.
Tampak dari mulut Lima Urusan Setan keluar cairan busa bercampur darah. Bola
mata mereka melotot keluar, seperti dicekik. Selintas saja bisa ditebak kalau
Lima Utusan Setan telah bunuh diri dengan jalan menelan racun ganas. Dia tak
habis pikir, kenapa mereka bertindak senekat itu.
Belum juga Rangga menemukan jawabannya, mendadak terdengar seseorang
memanggilnya dari belakang.
"Kisanak...."
"Hm.... Siapa kau?" tanya Rangga dengan sikap waspada. Tampak dari balik
sebatang pohon besar, muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun.
Bajunya lusuh, dengan celana sebatas betis.
"Aku penjaga rumah Kepala Desa Watu Jajar. Nyai Wangsa meminta Kisanak agar
bertemu dengannya," jelas laki-laki bertubuh kurus itu, sambil menghampiri.
"Siapa Nyai Wangsa itu?"
"Istri Ki Wangsa, Kepala Desa Watu Jajar," jelas orang tua itu kembali.
"Hm.... Apa perlunya dia ingin bertemu denganku?"
"Aku tidak tahu, sebab hanya diperintahkan untuk mengatakan pesan itu saja."
Rangga berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Segera
dihampirinya Dewa Bayu yang masih merumput tenang. Diambilnya tali kekang kuda
itu, lalu diikutinya laki-laki kurus yang mengaku penjaga rumah Kepala Desa Watu
Jajar itu. *** 5 Rangga dan penjaga rumah kepala desa itu belum sampai di tempat kediaman Ki
Wangsa, namun sudah berpapasan dengan seorang perempuan setengah baya. Wajahnya
cantik. Dan didampingi seorang perempuan tua. Ketika telah beberapa tombak,
laki-laki yang berada di sebelah Rangga menjura hormat.
"Nyai.... Aku telah membawa pemuda ini. Kenapa Nyai sampai keluar begini jauh.
'Terima kasih, Patijan. Kau di sini saja bersama Mbok Jayeng. Aku ingin bicara
sebentar dengannya. Ingat! Jangan ceritakan hal ini pada suamiku!"
"Baik, Nyai," sahut kedua orang itu bersamaan.
Perempuan setengah baya itu kemudian berpaling ke arah Rangga, lalu tersenyum
getir. Kemudian tubuhnya membungkuk, memberi salam penghormatan.
"Aku Nyai Wangsa, istri Kepala Desa Watu Jajar."
"Ya.... Aku pun telah tahu dari Patijan. Namaku Rangga, Nyai," sahut Rangga
sopan. "Rangga, aku ingin meminta pertolonganmu. Apakah kau bersedia?" tanya Nyai
Wangsa. "Pertolongan apa gerangan, Nyai?" tanya Rangga heran.
"Orang-orang desa mengatakan kalau kau adalah pengacau. Tapi aku tahu kalau
sesungguhnya kau ingin berbuat baik pada kami. Sebenarnya, mereka hanya takut
akan malapetaka yang akan menimpa jika bercerita pada orang luar. Sebab, hal itu
seringkali terjadi. Bagi siapa saja yang menceritakan kejadian di desa ini pada
orang luar, tak lama kemudian kedapatan tewas. Sehingga, tak seorang pun yang
berani membuka mulut. Terlebih-lebih suamiku yang menjabat kepala desa ini, ikut
andil di dalamnya," jelas Nyai Wangsa lirih.
"Nyai, aku tak mengerti maksudmu...," kata Rangga, ragu mengutarakan
kecurigaannya. "Hm, ya. Aku sadar. Kau tentu curiga, karena aku istri kepala desa bukan"
Ketahuilah. Aku telah lama menentangnya. Tapi, dia tak peduli. Dan lagi pula,
aku tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki keadaan di desa ini. Aku hanya
seorang perempuan lemah sahut wanita setengah baya itu lirih.
Rangga diam memperhatikan, seolah mencoba meyakini kebenaran kata kata wanita
itu. "Tolonglah kami, Rangga. Tak seorang pun warga desa ini yang mampu menolong
dirinya sendiri. Lepaskanlah kami dari belenggu yang tak mampu kami buka. Untuk
saat ini, hanya kaulah satu-satunya harapan yang bisa menolong kami...." lanjut
Nyai Wangsa. "Nyai, aku akan berusaha semampuku. Yang penting berdoalah semoga aku berhasil.
Nah! Tolong ceritakan, apa yang kau ketahui mengenai dewa gadungan itu," sahut
Rangga dengan suara pelan.
"Hm.... Betul dugaanku. Ternyata kau pun sependapat kalau dewa itu memang
gadungan. Namanya, Datuk Kraeng. Dia seorang tokoh hitam yang berkepandaian
tinggi. Saat ini, orang itu sedang mempelajari ilmu hitam yang dahsyat sekali.
Kau harus mencegahnya, sebab akan semakin banyak korban yang berjatuhan!"
"Dari mana kau mengetahui semua itu?"
"Patijan itu orang kepercayaanku. Dan dia kusuruh menguntit suamiku, ketika
sedang pergi ke rumah kakaknya."
"Lalu?"
"Ternyata, dia dan kakaknya sama saja! Mereka berkomplot!" dengus wanita itu
geram. Rangga memandang heran, dengan kening berkerut dalam.
"Siapa yang kau maksud dengan kakak suamimu, Nyai?"
"Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng Sukoco!"
"Ki Ageng Sukoco" Siapa dia?" tanya Rangga, semakin heran.
"Ah, maaf Rangga. Tentu saja kau tak tahu, karena bukan orang sini. Ki Ageng
Sukoco adalah Ketua Perguruan Kelabang Emas yang sangat terkenal dan ditakuti
seluruh penduduk Desa Watu Jajar," jelas Nyai Wangsa seraya menunjuk letak
perguruan yang berada di sebelah timur desa.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan itu.
"Ada hal lain yang perlu kau ketahui, Rangga..."
"Apa itu?"
"Dewa gadungan itu tidak hanya sekadar meminta korban. Mereka, melalui Ki Ageng
Sukoco, berdagang benda terlarang di desa ini. Benda keparat itulah yang membuat
penduduk Desa Watu Jajar sengsara, lemah, dan tak berdaya. Semangat mereka mati,
sehingga mudah diperbudak," jelas Nyai Wangsa.
"Benda apa itu, Nyai?" tanya Rangga, semakin ingin tahu.
"Candu! Desa ini telah dipenuhi pemadat yang membuat pikiran sehat terlena,"
jelas Nyai Wangsa lagi.
"Astaga! Sungguh keji perbuatan mereka. Orang-orang seperti itu tak bisa dikasih
hati!" geram Rangga.
"Rangga, bersungguh-sungguhkah kau ingin menolong kami?"
"Nyai, aku berjanji! Mereka tak akan kubiarkan begitu saja menyengsarakan orang
banyak!" tegas Rangga.
"Tapi..., ada satu permintaan lagi," tambah wanita setengah baya itu sambil
memalingkan wajah lesu.
"Apa itu?"
"Kalau kelak suamiku ikut terlibat, aku mohon jangan celakakan dia. Sebetulnya,
dia bukan orang jahat..,," lirih suara Nyai Wangsa.
Rangga diam tak menjawab
"Rangga! Kau bersedia bukan, memenuhi permintaanku itu...?"
"Aku akan berusaha mengingatnya, Nyai..."
"Terima kasih. Kalau begitu, kami permisi dula...," ucap Nyai Wangsa.
"Nyai, awasss...!" teriak Rangga.
Mendadak Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah wanita itu sambil mendorong
tubuhnya. Hingga, wanita itu jadi terjajar beberapa langkah ke samping.
Pendekar Rajawali Sakti lalu bergerak cepat, mengibaskan kedua tangannya ke
depan. Dan... Tap! Tap! *** Wanita itu tersentak kaget dengan apa yang dilakukan Rangga, namun segera
menyadari ketika beberapa bilah pisau menyambar ke arahnya. Kalau saja pemuda
itu tak mendorongnya, niscaya pisau-pisau itu akan menembus tubuhnya!
Rangga telah menangkap dua bilah pisau yang tadi melesat, lalu setelah itu
dilemparkannya pisau-pisau itu kembali pada sesosok tubuh yang hendak melesat
pergi dari sebuah cabang pohon yang tak begitu jauh dari tempat mereka bicara
tadi. Wesss...! Wesss...!
"Hiyaaa...!"
Orang berpakaian serba hitam itu langsung berjumpalitan menghindari serangan
balik Pendekar Rajawali Sakti. Tapi pada saat itu Rangga telah melesat cepat ke
arahnya sambil mengirim pukulan jarak jauh lewat telapak tangan kanan.
"Heaaa...!"
Bukkk! "Uhhh...!"
Tubuh orang berpakaian serba hitam itu kontan terlempar ke bawah sambil mengeluh
kesakitan, begitu kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam dadanya. Dia
terus bergulingan, kemudian langsung melenting bangkit berdiri. Pada saat yang
sama, Rangga kembali melesat sambil melepaskan pukulan ke arah dada. Dengan
gerakan mengagumkan, laki-laki berbaju serba hitam itu mengibaskan tangan kiri
untuk menangkis, seraya mengayunkan satu tendangan keras.
Plak! Sebuah benturan keras terjadi. Namun, tidak ada seorang pun yang terpengaruh
oleh benturan itu.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti juga cepat menghindar ke samping untuk
menghindar dari tendangan. Tubuhnya lalu berputar cepat, mengayunkan tendangan
setengah lingkaran ke pinggang lawan. Namun orang berpakaian serba hitam itu telah melompat ke belakang, sehingga terhindar dari nasib sial. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti terus melenting mengikuti. Agaknya, pemuda itu kali ini tak mau
melepaskan lawannya. Bahkan tangannya cepat menyodok dada, sedang orang itu
menangkis dengan tangan kiri.
Plak! "Uhhh...!"
Tapi pada benturan kali ini, orang berpakaian serba hitam itu mengeluh
kesakitan. Dan Rangga tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Tangan kirinya cepat
bergerak, menotok jalan darah di tubuh lawan.
Tuk! "Akh!"
Orang berpakaian serba hitam itu kontan ambruk ke tanah dengan tubuh tak
berdaya. Matanya mendelik garang ketika Pendekar Rajawali Sakti melangkah dan
berdiri di hadapannya.
"Pengecut! Bunuh saja aku daripada dilumpuhkan begini!" dengus orang itu geram.
Rangga tak langsung menjawab. Matanya malah memandang ke arah Nyai Wangsa
beserta kedua pembantunya. Wajah mereka kelihatan ketakutan sekali. Rangga lalu
menghampiri sambil tersenyum kecil berusaha meyakinkan mereka.
"Nyai, percayalah. Aku akan membereskan orarg itu. Sekarang, kalian pulanglah.
Orang itu tak akan membahayakanmu..."
"Tapi..."
Rangga kembali tersenyum.
"Tidak. Aku berjanji, dia tak akan membahayakan keselamatanmu!" tegas Pendekar
Rajawali Sakti.
Nyai Wangsa memandang sekilas pada orang berpakaian serba hitam dan bertopeng
hitam pula. Kemudian matanya memandang ke arah Rangga sambil mengangguk pelan.
"Baiklah. Aku percaya kata-katamu. Kami permisi dulu. Oh, ya. Sekali lagi,
kuucapkan terima kasih atas kebaikanmu mau membantu kami...," ucap Nyai Wangsa.
"Kau tak perlu berkata begitu. Membantu sesama adalah kewajiban setiap manusia.
Silakan, Nyai...," sahut Rangga.
Nyai Wangsa dan dua orang yang membantunya segera berlalu dari situ. Langkah
mereka tampak terburu-buru, seperti takut ada yang mengawasi.
Rangga memandang ketiga orang itu beberapa saat lamanya, sampai ketiganya hilang
di ujung jalan. Kemudian kakinya melangkah mendekati orang bertopeng hitam itu,
dan kembali berdiri tegak di hadapannya.
"Lepaskan aku, Keparat!" dengus orang itu garang dengan mata melotot lebar.
"Apa yang akan kau lakukan jika kulepaskan...?" tanya Rangga tenang.
"Huh! Aku akan mengadukan wanita itu, biar suaminya menghukum kelancangannya!
Baru setelah itu, membunuhmu!"
"Sadarkah kau bahwa aku bisa membunuhmu sekarang juga?" kata Rangga, sambil
tersenyum kecil.
"Huh! Lakukanlah kalau memang itu maumu!"
"Membunuhmu adalah persoalan mudah, Kisanak. Tapi, itu amat enak bagimu. Kau
akan mati dengan cara amat menyakitkan!" ancam Rangga, dingin.
"Apa maksudmu"!" sentak orang bertopeng itu.
"Maksudku begini... "
Rangga tak melanjutkan kata-katanya. Namun tiba-tiba ditendangnya perut orang
itu dengan ujung kakinya.
Begkh! "Aaakh...!"
"Dan begini...!"
Duk! "Aaakh...!"
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti menghantam dengan tendangan bertubi-tubi,
sehingga tubuh orang itu terpental dan terjungkal beberapa kali sambil menjerit
kesakitan. Kemudian Rangga menghentikan hantamannya ketika orang itu terlihat
mulai megap-megap dan sulit bernapas. Dari mulutnya berkali-kali memuntahkan
darah kental. "Ini baru permulaan. Dan kau akan mendapatkan yang lebih hebat kalau tak memberi
tahu orang yang menyuruhmu membunuh wanita itu...," kata Rangga dingin sambil
memandang tajam pada lawannya.
"Keparat! Bunuhlah aku! Bunuhlah aku, daripada disiksa begini! Ayo, bunuh aku!"
teriak orang itu dengan amarah meluap-luap.
"Bukankah telah kukatakan, kalau hanya untuk membunuhmu adalah soal mudah. Tapi,
sebaiknya nikmati dulu buah hasil dosa-dosamu selama ini!"
Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti berjongkok. Lalu dua buah jari
kanannya kembali menotok beberapa jalan darah di tubuh orang bertopeng itu.
Akibatnya, orang itu memekik kesakitan, karena aliran darahnya jadi tak
beraturan. Maka tentu saja hal itu menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Apalagi, karena dia telah mengalami luka dalam yang cukup parah, akibat hajaran
Rangga tadi. "Nah! Selamat menikmati kematianmu sesaat lagi...," kata Rangga tenang, seraya
bangkit dan berjalan meninggalkannya begitu saja.
"Keparat! Hei, mau ke mana kau"! Hentikan perbuatanmu! Hentikan! Aku akan
mengatakannya padamu...!" teriak orang bertopeng itu.
Nah. katakanlah , sahut Rangga tenang sambil berbalik.


Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kembalikan keadaanku seperti semula, baru kukatakan padamu!"
"Hm.... Kau masih mempermainkanku, Kisanak. Kalau begitu, biadah kau kutinggal
saja di sini sampai menemui ajal," sahut Rangga kembali berbalik.
"Baiklah, akan kukatakan...!"
"Katakan saja, dan jangan berbelit-belit. Siapa orangnya"!" bentak Rangga tanpa
berbalik. "Orang itu..., Ki Ageng Sukoco...."
"Hm, bagus. Kalau begitu, istirahatlah saja di sini dulu!"
Bersamaan dengan selesai kata-katanya. Rangga cepat menghampiri orang itu.
Kemudian dikembalikannya aliran darah laki-laki berbaju hitam itu seperti
semula. Namun, totokannya tak dibebaskan. Malah, ditambahkannya dengan totokan
yang dapat membungkam suara orang itu. Rangga lalu membawanya ke semak-semak
yang tertutup, kemudian meninggalkannya di situ.
"Totokan itu akan membuatmu terbaring di sini seharian lamanya. Dan setelah itu,
teman-temanmu akan kuringkus. Begitu juga dengan kau!" kata Rangga sebelum
melesat ke satu arah. Sedangkan Dewa Bayu dibiarkannya merumput sendiri.
*** Senja telah berlalu, ketika Rangga tiba di depan pintu gerbang Perguruan
Kelabang Emas. Dengan mengendap-endap, Pendekar Rajawali Sakti berusaha
mengintai apa yang terjadi di dalamnya. Perguruan yang halamannya luas dan
dipagari oleh jajaran batang kayu rapat-rapat setinggi satu tombak itu terlihat
sepi. Di depan rumah terlihat beberapa penjaga saja yang hilir mudik. Dan
agaknya mereka mulai tugas jaga malam.
Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat ke atas, dan mendarat manis di sebuah
cabang pohon di atasnya. Dia terus meloncat dari cabang pohon ke cabang pohon
lain, menuju arah samping bangunan utama yang terletak di tengah-tengah halaman.
Kini Pendekar Rajawali Sakti telah berada di dalam lingkungan bangunan itu. Di
sebelah rumah utama yang besar itu masih terdapat barak-barak tempat tinggal
para murid. Rangga terus menerobos masuk sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh yang sempurna. Dia mendarat di atas genteng, dan langsung merapatkan
tubuhnya. "Hm, sepi sekali. Jangan-jangan mereka telah mengetahui kedatanganku...," gumam
Rangga perlahan, terus tiarap di atas salah satu atap sebuah bangunan.
Sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara' yang dimilikinya, Pendekar
Rajawali Sakti terus mendekati bangunan utama dengan hati-hati sekali.
Begitu tiba di bangunan utama, Rangga segera membuka sebuah genteng dan melihat
ke bawah. Tak terlihat siapa-siapa. Suasana terlihat sepi, sehingga pemuda itu
semakin curiga saja jadinya. Di periksanya ruangan lain, tapi juga hanya
terlihat beberapa orang saja. Tak ada satu ciri-ciri pun yang dikatakan Nyai
Wangsa tentang orang tua bernama Ki Ageng Sukoco. Pemuda itu tak habis pikir.
Dan kecurigaannya semakin menjadi-jadi saja. Maka dia bermaksud mencari tahu
keadaan di tempat itu. Dan tentu saja dia harus menanyai salah seorang murid
Perguruan Kelabang Emas.
Rangga lalu segera turun dari atap, dengan gerakan tanpa suara. Tubuhnya
langsung menyelinap di balik sebuah dinding bangunan ketika salah seorang murid
Perguruan Kelabang Emas berjalan mendekati tempat itu. Begitu telah dekat,
Rangga cepat melumpuhkan orang itu.
Tuk! "Ohhh....!"
Begitu orang itu ambruk, Rangga menahan. Lalu Pendekar Rajawali Sakti
menyeretnya ke tempat gelap sambil mendekap mulut orang itu.
"Jangan berteriak! Kalau tidak, kupecahkan kepalamu!" ancam Rangga.
Orang itu memelototkan matanya dengan geram. Sementara, tangan kanan Rangga
langsung mencekik keras lehernya.
"Aku tak ada waktu! Katakan, di mana Ki Ageng Sukoco"! Atau, kau mampus sekarang
juga"!" desis Rangga geram.
"Eeekh... kekh...!"
"Kalau kau mau menjawabnya, cukup memberi isyarat dengan berdiam diri. Tapi
kalau kau tak ingin mampus, jangan coba-coba berteriak!" ancam Rangga lagi.
Orang itu diam tak bersuara, sehingga Rangga melepaskan dekapan mulutnya. Namun,
cekikan dari belakang leher orang itu tak dilepaskan. Hanya dikendurkan saja
sedikit. "Nah! Katakan, di mana Ki Ageng Sukoco?"
"Dia tak di sini... "
"Jadi di mana?"
"Di pantai. Menjemput barang yang datang bersama beberapa orang murid utama..."
sahut orang itu.
"Pantai" Pantai apa" Dan, di mana tepatnya mereka berada?"
"Dekat dua buah karang yang tinggi dan besar, serta di tengahnya bolong mirip
sarang burung walet. Nama tempat itu, adalah Pantai Walet," jelas orang itu
lagi. "Satu lagi. Siapa yang memberi perintah agar Nyai Wangsa dibunuh?"
"Eh! Aku..., aku tak tahu...."
"Jangan berbohong!" Rangga mengancam dengan mengencangkan cekikannya.
"Ekh...! Hek..., lepaskan dulu. A..., aku tak berdusta...."
"Katakan yang benar!" sentak Rangga kembali mengendurkan cekikannya.
"Sungguh! Aku tak berdusta! Aku sama sekali tak tahu, siapa yang akan membunuh
Nyai Wangsa. Ki Ageng Sukoco tak mungkin melakukannya, karena dia adalah adik
iparnya sendiri!"
"Keparat! Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan mengenakan topeng hitam
pula. Dan dia mengaku, kalau Ki Ageng Sukoco telah memberi perintah padanya
untuk membunuh Nyai Wangsa!" geram Rangga.
"Astaga! Itu pasti orang-orangnya Datuk Kraeng! Kisanak! Aku berkata yang
sesungguhnya. Ki Ageng Sukoco tak mungkin hendak membunuhnya. Lagi pula, kami
tak pernah berkeliaran di desa dengan menggunakan pakaian serba hitam. Itu
adalah seragam anak buah Datuk Kraeng...," sahut orang itu, terkejut.
"Hm.... Di mana Datuk Kraeng berada?"
"Di bukit kecil dekat Pantai Walet. Di situ terdapat sebuah goa yang menghadap
ke utara. Di sanalah tempat tinggalnya."
"Bagus. Nah, sekarang istirahatlah dulu!"
Tuk! Rangga cepat menotok urat suara orang itu, sebelum membuka dekapan pada mulut.
Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat menuju Pantai Walet.
6 Pendekar Rajawali Sakti memacu Dewa Bayu bagai dikejar setan saja. Untung saja,
kuda hitam itu mampu berlari lebih cepat dari kuda biasa. Apalagi, kuda itu
bukan kuda sembarangan. Seekor kuda yang memiliki daya tahan luar biasa!
Sehingga tak heran bila sekarang Pantai Walet sudah kelihatan.
Kini Pendekar Rajawali Sakti mengendurkan lari kudanya. Dari kejauhan terlihat
sebuah perahu layar yang berlabuh di pantai. Dan ketika Pendekar Rajawali Sakti
memandang ke sekeliling, tampaklah sebuah bukit yang tak terlalu tinggi.
Letaknya memang tak begitu jauh dari karang bolong yang berbentuk sarang burung
walet itu. "Hm... Ternyata murid Ki Ageng Sukoco itu berkata benar. Tapi, aku mesti hatihati. Jangan-jangan dia berdusta. Bisa saja ketika aku memasuki goa, ternyata
sebuah perangkap..." kata Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju kudanya, lalu melompat turun dengan
gerakan indah. Kemudian kudanya ditambatkan di sebuah pohon nyiur, dan perlahanlahan mendekati arah pantai. Tampak perahu-perahu kecil di bibir pantai.
Beberapa orang juga tengah membongkar isi perahu-perahu, dan membawanya ke atas
bukit. "Hm... Kalau begitu, apa yang dikatakan orang itu ternyata benar. Aku harus
bertindak sekarang...!" desis Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bergerak dengan pengerahan ilmu meringankan
tubuhnya yang telah sempurna, menuju ke bukit kecil itu. Sementara berbagai
macam pertanyaan terus bergayut di benaknya. "Apakah peti-peti yang dibawa orang
tadi berisi candu" Apa benar Ki Ageng Sukoco yang merupakan ketua perguruan
silat justru malah meracuni penduduk Desa Watu Jajar dengan candu" Mengapa dia
begitu tega?"
Rangga belum bisa menjawabnya. Sementara, kakinya terus melangkah. menaiki bukit
kecil yang kini menghadang. Namun baru saja Rangga menemukan goa yang
dimaksud... "Heh, siapa kau"!"
Terdengar bentakan keras, sehingga membuat langkah Pendekar Rajawali Sakti
terhenti. "Dia pasti memata-matai kegiatan kita di sini! Sebaiknya tangkap dan bunuh
saja!" sambut sebuah suara lagi.
Maka mendadak saja dua sosok tubuh langsung melesat ke arah Rangga. Mereka
langsung mengayunkan pedang yang ujungnya melengkung. Pendekar Rajawali Sakti
terkejut sejenak, lalu buru-buru menundukkan kepala. Maka serangan dahsyat dari
dua penyerangnya dapat dihindari.
Untuk beberapa saat kening Rangga jadi berkerut, menyaksikan ilmu olah kanuragan
mereka yang aneh. Bahkan sama sekali berbeda dengan yang terdapat di negeri ini.
Diperhatikannya jurus-jurus itu secara seksama.
Pendekar Rajawali Sakti juga melihat kalau wajah mereka berbentuk agak persegi
empat, dengan kedua rahang menonjol. Mereka memakai ikat kepala berwarna merah
dan bergaris-garis hijau. Rompi yang mereka kenakan juga berwarna hijau lusuh.
Bagian tepinya, terdapat garis berwarna merah. Sementara mereka juga bercelana
pendek, sebatas paha. Kalau diperhatikan, usia mereka masih terhitung muda.
Sekitar dua puluh lima tahun. Mungkin karena ditempa oleh kehidupan yang keras,
membuat mereka tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya.
"Hiyaaa...!"
Kembali dua buah serangan sekaligus menyambar leher Pendekar Raiawali Sakti.
Maka cepat-cepat Rangga menundukkan kepala. Namun salah seorang cepat
mengayunkan satu tendangan keras. Akibatnya, Rangga harus memiringkan tubuh
untuk menghindarinya. Sementara pada saat yang sama, lawannya yang seorang lagi
mengayunkan satu tendangan ke arah dada. Terpaksa Rangga menangkis dengan tangan
kiri. Plak! "Heh"!"
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut ketika merasakan kalau tangannya
seperti menghantam besi baja ketika menangkis tadi. Namun Rangga tak bisa terusmenerus terpaku dengan keterkejutannya. Tubuhnya langsung melenting ke atas, ketika dari arah belakang terasakan adanya satu sambaran senjata mengincar
punggungnya. Rangga cepat berbalik. Dan tangannya langsung bergerak ke atas, untuk memapak
tebasan pada punggungnya.
Plak. Begitu Rangga berhasil memapak pergelangan tangan orang yang membokongnya, dia
jadi terkejut sendiri. Seperti tadi, tangannya seperti menghantam benda keras
saja! "Ha ha ha...! Ayo! Pilihlah sesuka hatimu, bagian tubuh yang kau sukai!" ejek
pembokongnya, sambil tertawa keras.
"Heh"!"
Rangga menatap tajam pembokongnya.
*** Pada jarak kira-kira sepuluh langkah, tampak berdiri seorang laki-laki yang
bertubuh tinggi tegap. Rambutnya pendek dan berdiri kaku. Sepasang matanya agak
sipit. Rahangnya yang menonjol, memperlihatkan kebengisannya. Dadanya bidang,
dengan otot bertonjolan di balik baju rompi berwarna hijau dan bergaris merah
itu. Seperti kedua lawannya tadi, orang ini pun mengenakan celana pendek. Namun,
sedikit lebih tinggi di atas lutut dengan ukuran agak ketat. Di pinggangnya
terlihat sabuk kulit yang tebal dan berbulu hitam kasar. Di pinggang kirinya
terselip senjata yang mirip kedua lawannya tadi.
Ketika Rangga merayapi ke sekeliling, tampak tempat itu telah dikepung. Mereka
bersikap tenang, memandang orang yang tadi tertawa mengejek.
"Siapa kau?" tanya Rangga pelan.
"Namaku Sompong Suchinda, kepala perompak dari Negeri Siam. Nah, sekarang
giliranmu. Siapa kau, dan apa kerjamu di sini"!" sahut orang yang mengaku
bernama Sompong Suchinda dengan suara keras.
"Aku Rangga. Dan aku hanya kebetulan lewat..."
"Ha ha ha....! Jangan coba-coba mengelabuiku, Kisanak. Tempat ini bukan jalan
umum yang biasa dilalui orang. Lagi pula, gerak-gerikmu mencurigakan. Orangorangku tak pernah menangkap orang yang salah jalan sepertimu!"
"Hm... Orang-orangmu" Sejak kapan kau berkuasa dengan menangkapi orang yang
lewat di sekitar tempat ini" Dan, apa yang kau lakukan malam-malam begini di
tepi pantai, lalu menurunkan barang-barang dari perahu" Kalau bukan sedang
menyelundupkan barang terlarang, kau tentu sedang bersiap hendak menggempur
negeri ini!" balas Rangga, enteng.
"Ha ha ha...! Kau pintar membalikkan kata-kata, Kisanak. Tapi aku tak tertarik
untuk menjawabnya. Yang kutahu, kau telah mencelakakan dua anak buahku. Untuk
itu, kau harus mendapat balasan setimpal. Baru setelah itu, kau kuserahkan pada
Datuk Kraeng. Terserah, apakah dia akan membunuhmu atau membuangmu ke tengah
lautan," kata Sompong Suchinda.
"Bicaramu seperti orang berkuasa sekali, Kisanak," sindir Rangga sambil
tersenyum sinis.
"Kenapa tidak" Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka. Dan tak seorang pun boleh
menghalanginya!" sahut Sompong Suchinda sambil terkekeh mengejek.
"Ya! Seperti dewa gadungan yang kau sebut Datuk Kraeng itu, bukan?" kata Rangga,
bernada mengejek.
"Huh! Aku tak peduli dengan segala kegiatannya! Kedatanganku ke sini hanya untuk
berdagang. Dan kalau di sini menguntungkan, kenapa tidak kujalani" Dan kalau ada
seseorang yang menguntungkanku, maka kepadanya kami berkawan. Dan seorang kawan,
sudah seharusnya dibela!" sahut Sompong Suchinda enteng.
"Huh! Kalian memang keparat-keparat terkutuk! Hm.... Jadi selama ini kalianlah
yang membawa candu-candu itu ke sini, sehingga penduduk Desa Watu Jajar menjadi
lemah akalnya," geram Rangga.
"Ha ha ha...! He" Kenapa kau, Kisanak. Agaknya kau tak senang dengan usaha kami"
Bukankah ini lebih baik daripada merampok" Lagi pula, apa urusannya dengan
penduduk Desa Watu Jajar" Orang-orang Perguruan Kelabang Emaslah yang
menyebarkan candu-candu itu. Kami ke sini karena Datuk Kraeng yang memintanya.
Kalau kau ingin jadi pahlawan kesiangan, pada Datuk Kraeng dan pada orang-orang
Perguruan Kelabang Emaslah urusanmu!"
"Keparat! Kalian memang sama terkutuknya!" bentak Rangga semakin geram saja.
"He! Kau tak perlu marah-marah padaku. Sebentar lagi, kau boleh marah sepuaspuasmu di depan Datuk Kraeng. Itu pun kalau kau mampu menerima hajaranku!" sahut
Sompong Suchinda sambil menyeringai lebar.
Setelah berkata demikian, Sompong Suchinda bersiap memasang jurus untuk
menyerang lawan. Tapi belum juga ada serangan...
"Sompong! Apa yang kau lakukan di sini?"
Orang asing itu menoleh ke arah sumber suara. Tampaklah seorang laki-laki tua
berusia sekitar enam puluh tahun. Tangannya menggenggam sebilah pedang yang
masih tersimpan dalam warangka. Beberapa orang lagi di belakangnya, tampak
berjalan mengiringi.
"Hm... Ki Ageng Sukoco, kau kiranya. Kukira siapa..." sahut Sompong Suchinda
perlahan. "Apa yang terjadi" Dan, siapa pemuda itu?"
"Dia memata-matai kita!"
"Hm...," orang tua itu bergumam sambil memandangi pemuda berbaju rompi putih di
depannya. Perlahan-lahan, didekatinya pemuda itu.
"Jadi, kaukah yang bernama Ki Ageng Sukoco?" tanya Rangga dingin.
"Oh! Rupanya kau mengetahui juga diriku! Kaukah orang yang belakangan ini
mengacau Desa Watu Jajar" Hm.... Sungguh gegabah berani datang ke sini," tanya
Ki Ageng Sukoco, sinis.
"Sungguh hebat bicaramu, Ki. Siapakah sebenarnya yang pengacau" Kau atau aku?"
"Kau pintar bicara, Anak Muda. Tapi, bicaramu justru akan mencelakakanmu. Kau
terlalu ingin tahu urusan orang. Maka, kau akan menerima akibatnya," sahut Ki
Ageng Sukoco, seraya berbalik. Ditinggalkannya pemuda itu, lalu berpaling ke
arah Sompong Suchinda.
"Hm..... Agaknya kau mengenalnya juga, Ki Ageng Sukoco?" tanya Sompong Suchinda.
"Tidak. Tapi, beritanya banyak kudengar belakangan ini. Dia pengacau yang tak
boleh diberi hati!" sahut orang tua itu.
"Ha ha ha...! Aku mengerti. Kau pun tentu berurusan dengannya, dan ingin
menggunakan tanganku untuk menghajarnya. Tentu saja, tawaran ini kuterima, Ki
Ageng Sukoco. Mudah-mudahan kau bisa melampiaskannya, setelah dia menjadi
bangkai!" sahut Sompong Suchinda.
Ki Ageng Sukoco hanya tertawa kecil. Sedangkan Sompong Suchinda sudah melangkah
mendekati Rangga dengan wajah keras dan sorot mata tajam.
"Rangga! Keluarkan seluruh kemampuanmu, jika tak ingin cepat mampus di
tanganku!" ancam Sompong Suchinda, jumawa.


Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sompong! Kau boleh bicara apa saja. Tapi kukira, bicaramu tak lebih dari
tempayan kosong," sahut Rangga enteng.
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
*** Sambil membentak nyaring, Sompong Suchinda melompat cepat menyerang Pendekar
Rajawali Sakti. Angin serangannya terasa deras dan kuat. Jelas, tenaga dalamnya
cukup kuat. Sementara kedua tangannya yang terpentang membentuk cakar, siap
mengancam pertahanan Pendekar Rajawali Sakti dalam pengerahan lima rangkaian
jurus 'Rajawali Sakti'.
Plak! Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti menangkis serangan itu dengan tangan
kiri. Dan Rangga kembali merasakan kalau tangan lawannya begitu keras bagai
baja. Untung saja seluruh tenaga dalamnya dikerahkan ke seluruh bagian tubuhnya.
Sehingga, benturan tadi tidak terlalu banyak mempengaruhinya. Dan ketika tangan
kiri Sompong Suchinda kembali menghantam bagian dada, tangan kanannya menangkis
ke atas. "Hiyaaa...!"
Plak! Begitu habis berbenturan, Sompong Suchinda bergerak cepat berputaran sambil
mengayunkan satu tendangan keras ke arah perut. Maka, Pendekar Rajawali Sakti
cepat melompat ke atas, mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kaki
kanannya cepat diangkat ke atas, karena tangan kiri lawan cepat menyapu bagian
kakinya. Namun tanpa diduga sama sekali, tubuh Sompong Suchinda langsung
melenting ke atas. Dan tubuhnya cepat berbalik, lalu meluncur ke arah Pendekar
Rajawali Sakti yang sudah mendarat di tanah. Kaki kanan Sompong Suchinda yang
berisi tenaga dalam mengincar dada Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga
tak punya pilihan, selain memapak. Begitu cepat gerakan mereka, sehingga tanpa
dapat dihindari benturan keras kembali terjadi.
Blarrr! "Hup!"
'Yeaaa...!"
Kedua orang itu sama-sama terlempar ke belakang, namun cepat berputar ringan dan
menjejakkan kaki di tanah dengan mantap. Sompong Suchinda telah langsung kembali
melompat menyerang, dengan satu tendangan menggeledek. Nyaris tendangan itu
memecahkan batok kepala, kalau saja Rangga tak cepat menunduk.
Begitu Sompong Suchinda menjejakkan kakinya setelah serangannya hiput, Pendekar
Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.
Tubuhnya langsung melesat ke arah Sompong Suchinda, dengan kedua kaki bergerak
menyilang menghantam kepala.
Orang asing itu terkejut bukan main melihat perubahan jurus yang dilakukan
Pendekar Rajawali Sakti. Maka tubuhnya cepat bergulingan untuk menghindarinya.
Dan begitu bangkit berdiri, Rangga sudah melenting dan mencegat di depannya.
Langsung diayunkannya satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Bukan main
kagetnya Sompong Suchinda. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Namun
Pendekar Rajawali Sakti yang telah membaca gerakannya cepat melesat ke atas
pula, membawa sebuah pukulan maut dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali.
Sehingga, tangan Rangga sudah berubah merah bagai besi terbakar. Melihat
serangan ini, laki-laki bertubuh tinggi besar itu segera merangkapkan kedua
tangannya untuk menangkis.
Plak! Des! "Uhhh...!"
Tubuh Sompong Suchinda terpental ke atas disertai keluhan kesakitan begitu
pukulan Pendekar Rajawali Sakti telak menghantam dadanya. Sayang Pendekar
Rajawali Sakti tidak melanjutkan serangannya, seperti ingin memberi kesempatan
pada lawan untuk bersiap kembali. Begitu mendarat di tanah, hanya
diperhatikannya keadaan laki-laki dari negeri seberang itu.
Sungguh sama sekali tak disangka, kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak
begitu cepat. Untung saja Sompong Suchinda mampu mengendalikan tubuhnya,
sehingga waktu meluncur ke tanah, kakinya lebih dulu sampai walau agak
terhuyung-huyung.
Melihat ketuanya terhuyung-huyung begitu rupa, anak buah Sompong Suchinda segera
bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Tahan...!" cegah Sompong Suchinda, membentak nyaring.
Anak buah Sompong Suchinda seketika menatap ke arah ketuanya, seperti ingin
meyakinkan cegahan tadi. Tapi, Sompong Suchinda telah mengangkat telapak tangan
kirinya ke atas, pertanda kalau anak buahnya tak boleh menyerang. Kemudian
terlihat kakinya melangkah pelan mendekati pemuda berbaju rompi putih itu. Lalu,
dia berhenti ketika jaraknya telah lebih kurang tiga langkah di depan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hm... Belum pernah kulihat orang yang mampu menyerang sedemikian cepat, seperti
apa yang kau lakukan tadi. Tentu kau bukan orang sembarangan. Siapakah kau
sebenarnya?" tanya Sompong Suchinda.
"Aku hanya pengembara yang tersesat. Hm... Kalau boleh kusarankan, sebaiknya
pulanglah ke negerimu. Jangan kembali lagi ke sini untuk berdagang barang-barang
terlarang itu," ujar Rangga kalem.
Sring! Nasihat Rangga ternyata dijawab Sompang Suchinda dengan mencabut senjatanya. Dan
matanya langsung memandang tajam ke arah pemuda itu.
"Kisanak! Aku tak tertarik nasihatmu! Maaf. Nah, sekarang mari kita lanjutkan
pertarungan dengan menggunakan senjata. Cabutlah pedangmu!"
"Pedangku tidak pantas berhadapan denganmu," sahut Rangga, enteng.
Dengan kata-kata itu, sama saja Pendekar Rajawali Sakti menganggap rendah
lawannya. Maka sudah tentu Sompong Suchinda jadi naik darah. Matanya kian
melotot lebar, dan kedua urat di pelipisnya mengembung. Bahkan rahangnya sudah
berkerotokan menahan amarah. Hal itu memang disengaja Rangga, untuk
membangkitkan amarah lawannya.
"Huh! Aku tak peduli kau bersenjata atau tidak! Hanya perlu diingat, aku tak
segan-segan mencabut nyawamu! Jagalah kepalamu! Yeaaa...!"
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Sompong Suchinda berlangsung
semakin seru, ketika orang asing itu sudah menggunakan senjatanya yang demikian
hebat. Dia mampu membuka pertahanan Rangga. Dan hal itu dirasakan betul oleh
Pendekar Rajawali Sakti. Ujung senjata lawan yang melengkung terkadang nyaris
membabat lehernya kalau tak cepat menghindar.
7 Sementara itu, cukup jauh dari Pantai Walet, Nyai Wangsa dan dua orang
pembantunya tampak berjalan terburu-buru menuju tengah Desa Watu Jajar.
Nyai Wangsa bukannya tak khawatir setelah peristiwa percobaan pembunuhan
terhadap dirinya. Kini jiwanya betul-betul terancam. Kalau saja saat itu Rangga
tak menyelamatkannya, entah apa jadinya. Mungkin tak dapat bernapas seperti saat
ini. Tapi, apakah saat ini jiwanya betul-betul telah aman" Bagaimana kalau
ternyata ada orang bertopeng lain yang mengikuti dan tiba-tiba membunuhnya dari
belakang" Wanita itu berkali-kali menoleh ke belakang, kemudian matanya menyapu
ke sekeliling selama perjalanannya. Dia bersama dua orang pembantunya memang
tengah menuju rumahnya di tengah-tengah Desa Watu Jajar.
"Ada apa, Nyai...?" tanya Patijan yang mengetahui perubahan wajah majikannya.
Nyai Wangsa memandang sekilas, kemudian mengalihkan perhatian ke sekeliling
tempat itu lagi. Sementara, Patijan dapat merasakan kecemasan wanita itu. Juga
ketika matanya melirik Mbok Jayeng, wanita tua itu pun menunjukkan wajah cemas.
Laki-laki bertubuh kecil dan dekil itu menghela napas pendek.
"Nyai tak perlu cemas. Bukankah Nyai mempercayai pemuda itu" Dia pasti dapat
melindungi kita," hibur Patijan, berusaha meredakan kecemasan hati wanita itu.
"Aku percaya padanya. Tapi saat ini, dia tak bersama kita. Bagaimana kalau tibatiba ada manusia bertopeng lain yang menghadang dan membunuh kita semua?" tanya
Nyai Wangsa cemas.
Patijan baru menyadari hal itu. Dia terdiam beberapa saat lamanya. Wajahnya
mulai pucat. Dilihatnya Mbok Jayeng yang membisu sejak tadi. Tapi, melihat wajah
majikannya yang terus-menerus cemas, dia hanya bisa menarik napas dalam-dalam.
Seolah dia ingin menyalakan keberanian dan mengusir jauh-jauh rasa takut di
hatinya. "Nyai tak perlu cemas. Aku akan melindungimu dari siapa pun yang mencoba
membunuhmu!" tegas Patijan, mantap.
Nyai Wangsa terdiam. Tampak sikap Patijan berusaha gagah. Dia terharu, sekaligus
tertawa geli dalam hati. Bagaimana mungkin Patijan yang selama ini penakut tibatiba saja bisa bicara lantang seperti itu"
"Terima kasih, Patijan. Kau memang baik...," sahut Nyai Wangsa.
"Oalah, Patijan! Lagakmu seperti pendekar saja. Melihat orang mencabut golok
saja, kau sudah lari terbirit-birit!" timpal Mbok Jayeng yang sejak tadi diam
saja. "Eee... Jangan sembarangan omong, Mbok! Mbok belum tahu kalau aku punya jurus
ampuh yang bisa diandalkan" Nih, lihat!" tangkis Patijan.
Kemudian laki-laki kerempeng itu memperagakan beberapa gerakan. Tapi dasar
Patijan memang tak becus apa-apa soal ilmu silat, maka gerakannya kacau-balau
dan asal jadi saja.
'Tuh! Hebat, kan?" kata Patijan, setelah selesai memperagakan gerakangerakannya. Laki-laki kerempeng itu mengibas-ngibaskan debu di tubuhnya sambil
tersenyum-senyum kecil.
Mbok Jayeng hanya mencibir melihat tingkah laki-laki itu. Tapi Nyai Wangsa
sepertinya terhibur, meski kecemasan hatinya tak sirna juga. Kim mereka
melanjutkan perjalanan, hingga tak lama sudah tiba di rumah yang paling besar
dan mewah di desa itu.
Mereka mengendap-endap, masuk lewat jalan belakang. Ki Wangsa agaknya belum
kembali ke rumah. Maka wanita itu mengajak kedua pembantunya untuk langsung ke
kamar. "Patijan! Pergilah ke kotaraja. Katakan pada pihak kerajaan kalau desa ini dalam
bahaya. Kita tak bisa membiarkan pemuda itu berjuang sendiri, sementara kita
diam-diam saja menunggu hasilnya," ujar Nyai Wangsa.
Patijan terkejut, langsung memandang wanita itu seolah tak percaya.
"Kenapa" Takut?" tanya Nyai Wangsa.
"Nyai, selama ini tak seorang pun yang pernah berhasil tiba di kotaraja untuk
melaporkan keadaan desa kita. Mereka semua tewas di tengah jalan...," sahut
Patijan, cemas.
"Hm... Kalau begitu, pergilah ke kadipaten. ceritakan semua persoalan ini pada
adipati agar beliau membawa pasukannya ke sini untuk menghancurkan orang-orang
itu!" "Sama saja, Nyai. Ke kotaraja atau kadipaten, tak ada bedanya. Mereka menunggu
orang desa mau keluar dari sini di perbatasan. Dan mereka langsung membunuhnya!"
jelas Patijan. 'Patijan! Apakah kau selamanya ingin melihat desa kita begini terus" Tak
tergerakkah hatimu untuk menolong dan membebaskan desamu sendiri?" tanya Nyai
Wangsa mencoba menggugah semangat laki-laki kerempeng itu.
Patijan terdiam dan merenung beberapa saat.
"Tapi, Nyai...," desah Patijan terputus.
"Kalau kita berusaha, pasti ada jalan untuk lolos!"
"Bagaimana aku bisa melewati mereka yang berjaga di tapal batas?"
"Bilang saja kalau kau utusan Ki Wangsa yang menyuruhmu pergi ke desa lain!'
"Ke desa lain" Dan..., memakai nama Ki Wangsa" Bagaimana kalau beliau tahu" Oh,
Nyai. Aku bisa celaka!" kata Patijan.
Tenang! Tenang dulu Patijan. Aku akan mengirim surat atas nama suamiku, yang
ditunjukkan pada Kepala Desa Sukasari. Dia itu masih ada hubungan saudara dengan
suamiku. Katakan kalau isi surat itu bersifat pribadi. Nah! Dengan begitu, kau
akan lolos dari pemeriksaan mereka. Kemudian, pergilah ke kadipaten. Begitu
sampai di sana, laporkan apa yang terjadi di sini Soal surat itu, aku yang
bertanggung jawab pada suamiku," jelas wanita itu singkat.
Patijan menimbang-nimbang beberapa saat.
"Bagamiana. Patijan" Kau bisa bukan" Aku tahu, semangatmu besar dan keberanianmu
hebat. Kau pasti mampu melakukannya," desak wanita itu lagi.
Laki-laki kerempeng itu memandang Nyai Wangsa beberapa saat lamanya. Tak lama,
kepalanya mengangguk pelan.
"Aku percaya, kau memang pemuda berani. Tunggulah sebentar. Aku akan menuliskan
suratnya. Ingat! Surat itu tak perlu disampaikan. Ini hanya untuk mengelabui
para penjaga perbatasan, kalau mereka memeriksamu," Nyai Wangsa mengingatkan.
"Baik, Nyai...."
*** Ki Wangsa menyesal bukan main setelah bertengkar dengan istrinya. Apalagi
setelah menjatuhkan tangan pada wanita yang sebenarnya sangat dicintainya itu.
Padahal, selama ini tak pernah dilakukannya. Memang, tadi Nyai Wangsa betulbetul membuatnya marah dan jengkel.
Kepala Desa Watu Jajar itu sore ini sedang menikmati makannya di sebuah kedai di
desanya. Padahal untuk makan di luar, jarang dilakukannya. Dia lebih menyukai
masakan istrinya sendiri. Setelah cukup kenyang, Ki Wangsa segera membayar
makanannya. Dan dengan langkah gontai, dia berjalan ke luar kedai. Segera
dihampiri kudanya yang tertambat di depan. Begitu naik, kudanya langsung digebah
sekencang-kencangnya, tanpa tujuan pasti.
Menjelang malam, Ki Wangsa juga masih enggan kembali ke rumahnya. Dan dia segera
menuju ke rumah saudaranya, Ki Ageng Sukoco, Ketua Perguruan Kelabang Emas.
Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu seperti tersadar hati dari
pikirannya. Selama menunggang kuda mengelilingi desa, tampak jelas kehidupan
rakyatnya. Mereka menjadi malas dengan wajah pasrah penuh ketakutan, dibayangbayangi sesuatu bencana yang amat mengerikan. Sementara para pemuda desa telah
diracun kesenangan baru, yaitu menghisap candu. Mereka tak mempedulikan lagi
bahaya besar yang menimpa desanya. Para wanita pun sebagian mulai ikut-ikutan
mencoba candu yang mudah diperoleh. Hanya sebagian kecil penduduk desa yang
masih mempedulikan keadaan desanya. Namun, mereka tak mampu berbuat apa-apa
Memang, bayangan ketakutan selalu melintas di depan mata.
Begitu sampai di depan pintu gerbang. Perguruan Kelabang Emas, Ki Wangsa segera
turun dari kudanya. Dan belum juga dia masuk, seorang murid Perguruan Kelabang
Emas sudah menyambutnya.
"Ki Ageng Sukoco belum kembali. Silakan masuk, Ki...," sambut penjaga pintu
gerbang. "Kemana?" tanya Ki Wangsa.
"Entahlah... "
"Boleh aku masuk dan menunggu?"
"Silakan, Ki...!"
Ki Wangsa melangkah pelan. Beberapa orang murid Perguruan Kelabang Emas yang
melihat kehadirannya, segera memberi salam penghormatan. Orang tua itu
membalasnya sambil tersenyum. Di bangunan utama, salah seorang murid
mempersilakan untuk menunggu. Orang itu kemudian berlalu, setelah menyiapkan
minuman dan makanan kecil.
Ki Wangsa memandang ke sekeliling sambil melangkah ke dekat jendela. Dari situ
bisa terlihat dan mendengar pembicaraan beberapa orang murid Perguruan Kelabang
Emas yang sedang duduk-duduk tak jauh dari jendela. Mulanya, dia tak begitu
tertarik. Namun ketika percakapan mulai terdengar seru, orang tua itu tergerak
untuk menguping.
"Wah, siapa dia"! Sungguh hebat! Dia mampu ke sini tanpa diketahui seorang pun
dari kita!" tanya salah seorang.
"Entahlah. Kata Sarwen, dia masih muda, tampan, dan memakai baju rompi putih.
Serta..., membawa pedang di punggungnya," jelas kawan nya.
"Jangan-jangan, pemuda yang belakangan ini berkeliaran di sini!" desis orang
pertama. "Bisa jadi!"
"Masih untung, si Sarwen selamat dan hanya ditotok saja. Kalau dibunuh. wah,
celaka dia!"
"lya! Eh! Ngomong-ngomong, aku tak yakin kalau pemuda itu bermaksud buruk
terhadap penduduk desa ini!"
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Entahlah... "
"Percakapan kedua orang itu terhenti, ketika mendengar suara ribut-ribut dari
arah luar. Ki Wangsa yang berada di dalam, tersentak dan buru-buru keluar
menghampiri kerumunan beberapa orang murid Perguruan Kelabang Emas.
"Ada apa?" tanya orang tua itu pada salah seorang murid.
"Anu, Ki. Pemuda itu ," sahut murid itu ragu.
"Pemuda yang mana?"
"Pemuda berbaju rompi putih yang belakangan ini berada di desa kita," sahut
murid perguruan itu lagi.
"Memangnya, ada apa dengan dia?"
"Dia membuat kekacauan!"
"Membuat kekacauan" Di mana?"
Murid Perguruan Kelabang Emas itu tak langsung menjawab. Dipandanginya kawankawannya terlebih dulu.


Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di Pantai Walet, sahut murid itu, setelah melihat beberapa kawannya mengangguk.
"Hm.... Apa yang dilakukannya di sana?""
"Mengacaukan hubungan dagang Ki Ageng Sukoco dengan orang-orang asing dari Siam
itu Ki....?"
"Hm.... Dari mana kalian tahu?""
"Aku baru saja dari sana. Ki Ageng Sukoco berpesan, agar aku membawa beberapa
orang murid perguruan ke sana untuk menangkap pemuda itu," sahut murid tadi.
"Hm... Ya..., ya," sahut Ki Wangsa seraya mengangguk-angguk.
"Maaf. Ki. Kami harus buru-buru," sahut murid itu sambil menyiapkan beberapa
orang murid Perguruan Kelabang Emas yang dapat diandalkan untuk ikut dengannya.
Ki Wangsa sendiri terdiam beberapa saat lamanya melihat kesibukan mereka.
Kemudian dipanggilnya salah seorang murid perguruan itu, sebelum melangkah
pulang. "Tolong katakan pada Ki Ageng Sukoco, aku tak bisa lama-lama berada di sini. Ada
urusan penting yang harus kuselesaikan," pesan orang tua itu pada salah seorang
murid. "Baiklah. Ki!"
Tak lama, Ki Wangsa terlihat buru-buru menghampiri kudanya. Setelah berada di
punggung kudanya, dia menggebah sekencang-kencangnya.
*** Di Pantai Walet, pertarungan Pendekar Rajawali Sakti dengan orang asing dari
Negeri Siam semakin meningkat dahsyat. Sudah puluhan jurus digelar, tapi belum
ada tanda-tanda yang keluar sebagai pemenang. Padahal, Sompong Suchinda telah
menggunakan senjata mirip sebilah pedang, dengan ujung sedikit melengkung.
Setiap sisi tajam senjatanya, silih berganti mengincar kulit Pendekar Rajawali
Sakti. Jika dibabatkan ke arah leher, maka tangannya membabat ke kanan. Lalu,
gerakan tangannya turun menghajar pinggang. Kemudian meliuk kembali menyambar ke
arah kaki. Hal itu memang amat merepotkan Pendekar Rajawali Sakti.
Selain itu, pedang Sompong Suchinda juga mengandung daya sedot yang mampu
menarik tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin mendekat, ketika senjata itu
menyambar. Tak heran jika kali ini keadaan Rangga betul-betul terdesak hebat.
Tubuh Sompong Suchinda terus melompat, ketika Pendekar Rajawali Sakti masih
berada di udara, setelah menghindari serbuannya yang bertubi-tubi. Memang,
Sompong Suchinda tak mau melepaskannya begitu saja. Dalam keadaan masih di
udara, ujung senjatanya disambarkan ke leher. Rangga cepat menukik ke bawah,
sementara ujung pedang terus mencecarnya. Begitu sampai di tanah langsung
dilepaskannya satu tendangan ke arah pergelangan tangan Sompong Suchinda yang
menggenggam senjata. Sementara, kaki kanannya menyilang menghantam ke arah
perut. "Uts...!"
Plak! Tangan kiri Sompong Suchinda menangkis tendangan kaki kiri Rangga yang mengarah
ke perutnya. Sementara tangan kanannya yang memegang senjata ditarik pulang,
tapi langsung dikelebatkan ke arah perut.
Tak ada waktu lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menghindar, selain
menggunakan tenaga dorongan tendangannya yang beradu dengan tangan kiri lawan,
untuk melesat ke belakang. Namun itu pun tak cukup kuat Karena...
Crasss! Tetap saja ujung pedang Sompong Suchinda menyambar dadanya.
"Akh!"
Pendekar Rajawali Sakti berteriak kesakitan, ketika senjata orang asing itu
melukai dadanya. Memang, sakitnya terasa hingga ke tulang sumsum. Untung saja,
Rangga masih sempat menguasai diri. Tubuhnya langsung melenting, menjauhi
Sompong Suchinda yang siap mengirim serangan berikut.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat lima tombak, lalu kedua kakinya menjejak
ringan di tanah. Sambil mendekap luka di dada dengan tangan kiri, Pendekar
Rajawali Sakti memandang tajam ke arah lawannya. Tangan kanannya perlahan-lahan
terangkat naik, memegang gagang pedang pusakanya.
Melihat hal itu bukan main girangnya Sompong Suchinda. Dia tertawa lebih keras.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau terpaksa harus menggunakan pedangmu juga, bukan!"
Ayo, keluarkanlah seluruh kemampuan ilmu pedangmu, kalau ingin mati secara
gagah!" ejek orang asing itu.
Cring! Rangga sudah mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tersandang di punggung.
Seketika cahaya biru menyilaukan mata menerangi tempat itu.
'"Pedang Pemecah Sukma'!" teriak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat, dengan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma' pada tingkat yang terakhir. Dia memang tak mau tanggung-tanggung lagi.
Sementara Sompong Suchinda begitu terkejut melihat perbawa Pedang Pusaka
Rajawali Sakti. Dan belum lagi keterkejutannya lenyap, kibasan pedang Pendekar
Rajawali Sakti hampir menyambar tubuhnya. Maka buru-buru dia menjatuhkan diri ke
tanah sambil terus bergulingan.
Kini Sompong Suchinda terlihat pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya
sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Namun cahaya biru yang
keluar dari batang pedang Rangga seperti tak memberi kesempatan sedikit pun.
Apalagi, perbawa pedang itu seperti mempengaruhi jiwanya. Dan ketika tubuhnya
melenting ke atas, cahaya biru itu menyambar bagian bawah tubuhnya.
Setelah berputaran beberapa kali, orang asing itu mendarat di tanah manis
sekali. Dan itu ternyata memang sudah ditunggu Pendekar Rajawali Sakti. Dengan
gerakan cepat bukan main, Rangga melesat sambil melepaskan tendangan dahsyat
bertenaga dalam tinggi, lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat
gerakannya, sehingga Sompong Suchinda tak mampu mengelak lagi. Dan...
Desss! "Aaakh...!"
Sompong Suchinda memekik keras, ketika satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti
menghantam dadanya. Tubuhnya terjungkal ke tanah sejauh tiga tombak sambil
memuntahkan darah kental berkali-kali. Orang asing itu berusaha bangkit dengan
sempoyongan dan tertatih-tatih. Tampak lawannya tengah berdiri tegak pada jarak
lima langkah di depannya sambil memandang dengan sepasang mata tajam berkilat.
"Sia..., siapa kau sebenarnya" Ke..., kepandaianmu sungguh hebat...," lirih
suara Sompong Suchinda sambil menahan sakit di dadanya.
"Pedangku telah keluar dari sarangnya. Dan itu, berarti kematian bagimu. Aku tak
mampu mencegahnya, karena kaulah yang memintaku untuk mencabutnya!" dingin suara
Rangga. Wajah Sompong Suchinda menggigil ketakutan. Seumur hidupnya belum pernah dia
melihat senjata sedahsyat itu. Dan kini, senjata itu pula yang akan mengakhiri
hidupnya. Anak buah Sompong Suchinda yang tadi hendak bersiap-siap membantu ketuanya, kini
berpikir seribu kali untuk turun tangan. Mereka dibuat terkesima oleh tindakan
pemuda itu. Demikian juga, Ki Ageng Sukoco beserta beberapa orang muridnya.
Mereka tak tahu harus berbuat apa. Namun mendadak saja....
"Ha ha ha...! Dugaanku ternyata benar. Siapa sangka Pendekar Rajawali Sakti yang
termahsyur itu ternyata sudi hadir di tempat terpencil ini...!"
Terdengar suara tawa yang berisi tenaga dalam, sehingga memenuhi sekitarnya.
8 Di atas sebuah batu besar, tak jauh dari tempat mereka berada, terlihat seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar. Badannya kekar dengan otot-otot menonjol.
Wajahnya kasar dan bibirnya tebal, dengan sepasang mata menyorot tajam. Orang
itu memakai jubah biru yang tiap tepinya terdapat garis kuning. Rambutnya yang
panjang diikat pita merah. Di pinggangnya terlihat sebuah senjata cakra.
"Datuk Kraeng...!" seru mereka yang hadir di tempat itu.
"Ha ha ha...! Kalian sungguh gegabah menganggap enteng Pendekar Rajawali Sakti.
Dia memang bukan tandingan kalian. Tak heran kalau anak buahku pun tak ada yang
mampu menghadapinya!" kata laki-laki yang dipanggil Datuk Kraeng, seraya
melompat dengan gerakan indah ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan kakinya mendarat beberapa tombak di depan Rangga.
"Hm... Jadi kaukah Datuk Kraeng, yang mengangkat dirimu sebagai dewa?" desis
Rangga, sinis. "Oh! Rupanya kau pun telah mengenalku. Hm.... Suatu perkenalan yang bagus
sekali!" sahut Datuk Kraeng tenang.
"Kisanak! Perbuatanmu sudah di luar batas. Tapi, aku masih berusaha sebijak
mungkin. Menyerahlah, atau kau harus mati di tanganku!" lantang suara Rangga.
"Ha ha ha...! Kesombongan Pendekar Rajawali Sakti yang kudengar ternyata memang
benar. Tidak tahukah kau, kalau saat ini sedang berada di mana" Kau berada di
wilayahku! Dan orang-orang ini, siap merencahmu! Lagi pula, perbuatan apa yang
pernah kulakukan sehingga mesti menyerahkan diri," sahut Datuk Kraeng, mengejek.
"Hm.... Dewa macam apa yang bisanya hanya meminta korban gadis-gadis perawan,
serta harta benda berharga?" kata Rangga, kalem.
"Ha ha ha...! Aku hanya membiasakan mereka untuk menghisap candu, agar tidak
bodoh, malas, dan mempunyai semangat lagi," kata Datuk Kraeng.
"Huh! Kau mencoba lari dari tanggung jawab!"
"He he he...! Sebenarnya, kau salah, Kisanak. Aku tak pernah mengurusi hal
sepele itu. Ki Ageng Sukocolah yang melakukannya. Sedangkan aku hanya menjaga
keamanannya saja."
"Datuk Kraeng! Apa maksudmu"!" sentak Ki Ageng Sukoco.
"Hm... Kau lihat" Bukankah dia marah setelah kedoknya terbuka?" sinis nada suara
Datuk Kraeng, sambil melirik ke arah Ki Ageng Sukoco.
"Datuk Kraeng! Jangan memutarbalikkan kenyataan. Kaulah yang semula menawarkan
pada kami, untuk mendatangkan barang-barang terlarang itu ke sini! Bahkan kau
minta persembahan gadis-gadis desa untuk dijadikan korban dalam memenuhi
persyaratan mempelajari ilmu hitam! Dan kau juga yang meminta perlindungan
padaku. Lalu, kuminta pada saudaraku, agar melindungimu dari kejaran tentara
kerajaan yang akan menangkapmu. Aku tahu, kau adalah buronan kerajaan! Inikah
balasanmu terhadapku?" geram Ki Ageng Sukoco.
"Ha ha ha...! Orang tua tolol, kau adalah orang tamak. Aku tak pernah ikut
campur hasil keuntunganmu dalam berdagang candu. Malah, aku membantumu
mendapatkan keuntungan besar, dengan mendatangkan orang-orang asing itu ke sini.
Apakah kau pikir aku berhutang budi padamu"! Huh! Kini, aku tak membutuhkanmu
setelah apa yang kuinginkan terpenuhi!" dingin suara Datuk Kraeng.
"Keparat! Aku harus membunuhmu lebih dulu!" sentak orang tua itu.
Sring! Ki Ageng Sukoco segera mencabut pedangnya, dan melompat menyerang Datuk Kraeng.
"Yeaaa...!"
Datuk Kraeng hanya mendengus sinis. Dan tiba-tiba saja telapak tangannya
dijulurkan ke arah Ki Ageng Sukoco.
"Hiyaaa...!"
Werrr! Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Ageng Sukoco tak mampu mengelak lagi. Dan...
Desss! "Aaa...!"
Ki Ageng Sukoco menjerit keras ketika tubuhnya terjungkal terhantam selarik
sinar kuning yang menebarkan bau busuk ke seluruh tempat itu. Tubuh orang tua
itu langsung jatuh ke tanah dan menggelepar-gelepar beberapa saat. Tak lama tubuhnya diam, namun kulitnya mulai mengelupas. Bahkan dagingnya cepat sekali
membusuk dan meleleh. Sehingga dalam beberapa saat saja, tubuh Ki Ageng Sukoco
tinggal tulang-belulang saja!
"Biadab!" desis salah seorang murid Ki Ageng Sukoco.
Huh, akan kubunuh kau! lanjut yang lain sambil melompat menyerang Datuk Kraeng.
Tapi Datuk Kraeng telah memberi isyarat pada anak buahnya. Sehingga, beberapa
orang berpakaian serba hitam langsung berlompat menghadapi beberapa orang murid
Ki Ageng Sukoco. Sementara, Datuk Kraeng sendiri perlahan-lahan kembali
melangkahkan kakinya menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Setelah mengetahui siapa yang paling bersalah, kau tentu mau melupakan
persoalan ini, bukan" Kuharap kita bisa menjadi sahabat yang baik," bujuk Datuk
Kraeng. "Huh! Siapa yang sudi berkawan dengan manusia biadab sepertimu! Datuk Kraeng,
menyerahlah! Serahkan dirimu pada kerajaan. Mereka tentu akan mengampuni
kematianmu!" desis Rangga.
"Hm... Bicaramu seperti tak memandang sebelah mata sedikit pun padaku. Baiklah.
Ingin kulihat, sampai di mana kepandaianmu yang diagung-agungkan orang itu!"
*** Setelah berkata demikian, Datuk Kraeng bersiap membuka jurus untuk menyerang
lawan. Namun belum sempat menyerang Pendekar Rajawali Sakti, saat itu juga
terdengar suara ribut ribut. Ternyata banyak orang kini berdatangan ke tempat
itu. "Kawan-kawan! Datuk Kraeng telah membunuh guru kita secara keji dan biadab!
Bunuh dia! Cincang!" teriak salah seorang murid Ki Ageng Sukoco, ketika
mengetahui siapa orang-orang yang datang itu.
Mendengar berita itu, bukan main kalapnya murid-murid Perguruan Kelabang Emas
yang baru tiba di tempat itu. Maka tanpa pikir panjang lagi mereka langsung
menyerang Datuk Kraeng dengan kemarahan yang meluap-luap. Sementara, sebagian
lagi membantu kawan-kawannya yang terdesak tiga orang anak buah Datuk Kraeng
yang memang berkepandaian tinggi.
"Cacing-cacing dungu! Mampuslah kalian, yeaaa...!"
Dengan geram Datuk Kraeng menggunakan senjata cakranya yang bisa berbalik lagi,
setelah dilemparkan. Dan cakra itu langsung menghajar murid-murid Perguruan
Kelabang Emas. Cras! Breeet! "Aaa...! Sesaat saja terdengar pekik kematian murid-murid Ki Ageng Sukoco. Mereka kontan
ambruk dalam keadaan menyedihkan. Kini darah mulai menggenangi sekitar Pantai
Walet. Melihat keadaan itu tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tak mau berpangku tangan.
"Minggir kalian semua...!"
Bersamaan dengan itu pula, Pendekar Rajawali Sakti melompat menyerang Datuk
Kraeng sambil menggunakan pedang yang masih dalam genggamannya sejak tadi. Datuk
Kraeng terkesiap. Dia tahu betul, bagaimana hebatnya pedang Pendekar Rajawali
Sakti. Itulah sebabnya, dia tak mau bertindak gegabah dengan melemparkan
senjatanya. Salah salah, senjatanya sendiri yang akan putus dibabat pedang
lawan. Datuk Kraeng sengaja terus mengelak dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang telah mencapai taraf sempurna. Hal itu memang disengaja, untuk mencari
peluang yang tepat dalam membalas serangan Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti bukannya tak mengerti siasat Datuk Kraeng. ltulah
sebabnya sedikit pun tak diberikannya kesempatan pada lawan untuk memperbaiki
keadaan. Pengalamannya yang telah cukup matang dalam bertarung, membuatnya tak
begitu mudah dikecoh lawan. Dan justru dialah yang sebaliknya bermaksud
mengecoh, menggunakan siasat yang digunakan Datuk Kraeng.
"Hiyaaa...!"
Datuk Kraeng membentak nyaring sambil mengerahkan segenap kecepatan geraknya
ketika melihat ada peluang untuk itu.
Siiing! Senjata cakranya melesat cepat, menyambar leher Pendekar Rajawali Sakti.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya sendiri mengikuti sambil melakukan tendangan
menggeledek. Wut! "Uts...!"
Pendekar Rajawali Sakti yang telah menduga siasat Datuk Kraeng, gesit sekali
mengelak dari sambaran senjata cakra dengan memiringkan kepala ke kiri. Dan dia
terus melompat ke samping, menghindari tendangan berikutnya yang dilancarkan
Datuk Kraeng. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menghantam pinggang kiri atas
Datuk Kraeng. Sementara pedangnya dikibaskan ke belakang, memapak serangan balik
senjata cakra yang menderu ke arahnya.
Duk! Trasss! "Aaakh...!"
Datuk Kraeng menjerit keras begitu pinggangnya terhantam kaki kanan Pendekar
Rajawali Sakti dalam pengerahan jurus-jurus rangkaian lima jurus 'Rajawali
Sakti'. Sementara senjata cakra kebanggaannya, terpecah menjadi beberapa bagian,
begitu tersambar Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Tubuhnya kontan terjungkal ke
belakang menahan rasa sakit. Meskipun begitu, dia masih mampu berjumpalitan dan
menjejakkan kedua kakinya dengan manis di tanah.
Tapi pada saat itu, tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah melesat ke arahnya.
Pedang Pusaka Rajawali Sakti telah tersilang di depan wajah, dan tangan kiri
memegang mata pedang.
Datuk Kraeng mendengus geram, melihat kedahsyatan pedang lawan. Barusan
senjatanya terbelah menjadi dua tertebas pedang itu. Dan kini, satu-satunya yang
bisa diandalkan untuk menghancurkan lawan adalah pukulan mautnya yang diperdalam
selama ini!

Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh! Kau akan merasakan pukulan Api Neraka Kematianku yang dahsyat tiada
bandingannya!" geram Datuk Kraeng buas.
Datuk Kraeng langsung menyorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Maka
seketika dari telapak tangannya melesat selarik sinar kuning yang menyebarkan
bau busuk menyengat.
"Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi sudah menduga, telah bersiap pula
memapakinya. Maka...
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti nyaring, seraya
menyorongkan telapak tangan kiri ke depan, setelah mengusap batang pedang.
Dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, seketika melesat selarik sinar biru
yang mengeluarkan bunyi gemuruh bagai angin topan. Dan sinar itu terus meliukliuk memapak pukulan Datuk Kraeng.
Glarrr! "Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan keras, ketika kedua pukulan berlawanan jenis bertemu.
Kemudian disusul terpentalnya tubuh Datuk Kraeng ke belakang, saat sinar biru
dari pukulan Pendekar Rajawali Sakti masih menyelubunginya.
Orang-orang yang sedang bertarung kontan terkejut mendengarnya. Mereka seketika
menghentikan pertarungan, dan melihat tubuh Datuk Kraeng sudah terkapar
terselubung sinar biru yang perlahan-lahan memudar. Kemudian, terlihat tubuh
tuanya menghitam bagai arang. Mati! Ketika mereka melihat ke arah lainnya,
tampak Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak. Perlahan-lahan pedangnya
disarungkan kembali ke dalam warangka. Maka seketika sinar biru yang menyilaukan
lenyap. *** "Datuk Kraeng telah tewas akibat kesombongannya dan kejahatan yang telah
dilakukan. Kalian pun akan mengalami nasib yang sama, bila tak menyerahkan diri
pada pihak kerajaan!" kata Rangga dengan suara lantang.
Orang-orang itu terdiam sesaat, sambil memandang satu sama lain. Namun mendadak
saja... "Kalian semua, menyerahlah! Tempat ini telah dikepung tentara kadipaten!"
Mereka semua seketika berpaling ke arah sumber suara. Benar saja. Puluhan orang
berpakaian seragam prajurit kadipaten dengan senjata tombak telah mengepung
tempat itu. Karena tak punya harapan lagi, mereka meletakkan senjata satu
persatu. Pasukan kadipaten itu mendekat perlahan-lahan.
"Kau juga! Buang senjatamu itu...!" bentak salah seorang prarjurit kadipaten
pada Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda itu tersenyum.
"Jangan! Dialah yang membereskan orang-orang ini!" terdengar sebuah suara
lantang, sebelum Pendekar Rajawali Sakti menjawab.
"Hm.... Kepala Desa Watu Jajar! Kau pun ada di sini!" kata Rangga sinis ketika
melihat orang yang berkata lantang.
'Ya.... Maaf, atas sikapku yang keliru selama ini, Kisanak,' ucap laki-laki tua
yang tak lain Ki Wangsa penuh penyesalan.
Rangga diam saja memperhatikan orang tua yang kini tengah menundukkan kepala
dengan wajah tertunduk malu. Kemudian pandangannya dialihkan pada prajuritprajurit kerajaan yang sedang meringkus ketiga anak buah Datuk Kraeng serta
murid-murid Perguruan Kelabang Emas. Sedangkan Sompong Suchinda dan anak buahnya
telah raib dari tempat itu, termasuk juga kapal-kapal mereka. Agaknya ketika
terjadi pertarungan tadi, secara diam-diam mereka pergi menyelamatkan diri.
"Secara langsung, aku memang tak terlibat. Walaupun, hal itu kuketahui. Kakakku,
Ki Ageng Sukoco adalah orang yang paling berpengaruh dan ditakuti di desa ini.
Beliau pula yang memperjuangkan aku menjadi kepala desa. Sehingga, ketika dia
datang dan memintaku agar merahasiakan kehadiran seorang buronan kerajaan, aku
menyetujuinya saja. Tapi, ternyata yang diminta tidak hanya itu. Dia juga minta
izin untuk melakukan perdagangan candu. Tak lama, dia juga memintaku untuk
mengatakan pada penduduk, kalau Datuk Kraeng yang juga temannya itu adalah dewa
yang harus diberi persembahan. Aku semakin tak berdaya ketika mereka dengan
leluasa mengobrak-abrik desa ini, dan berbuat sesuka hati terhadap rakyat..,"
jelas Ki Wangsa.
"Hm... Lalu, kenapa tiba-tiba kau datang dengan membawa pasukan kadipaten
segala?" tanya Rangga.
"Istriku yang memberitahukan mereka..."
"Nyai Wangsa?" lanjut Rangga kaget.
'Ya! Dia telah menceritakan semuanya padaku, ketika aku mengutarakan
keprihatinanku, setelah melihat apa yang terjadi terhadap warga desaku ini. Aku
sadar, bahwa aku telah membiarkan mereka menderita selama ini..."
Rangga terdiam. Sementara Ki Wangsa pun membisu.
"Kakakku telah menerima dosa akibat perbuatannya. Demikian juga Datuk Kraeng.
Terima kasih, Rangga. Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan kalau kau tak
membantu kami...," lanjut Ki Wangsa lirih.
"Sudahlah. Semua telah berlalu. Dan mereka yang bersalah telah mendapat
ganjarannya. Tugasmu saat ini adalah membenahi rakyatmu. Bertindaklah tegas
kalau memang itu benar," ujar Rangga.
"Aku akan mengingat pesanmu itu, Rangga."
Pemuda itu tersenyum kecil, kemudian bersuit nyaring. Dari kejauhan, terlihat
seekor kuda berbulu hitam tengah berlari kencang ke arahnya. Kuda Dewa Bayu
berhenti di dekat kedua orang itu. Dan Rangga langsung melompat ke punggungnya.
"Ki Wangsa! Tugasku di sini telah selesai. Aku mohon pamit dulu. Sampaikan
salamku pada istrimu. Dia wanita terbaik yang pernah kutemui. Dia patut jadi
contoh wanita-wanita di desa ini. Selamat tinggal!" kata Rangga, sebelum memacu
kudanya yang berlari kencang meninggalkan tempat itu.
Ki Wangsa tak sempat menyahut, karena Rangga cepat sekali telah lenyap dari
pandangannya. Dia hanya bisa melambaikan tangannya sambil mendesah pelan.
"Selamat jalan, Kisanak. Selamat jalan, Pendekar Rajawali Sakti...."
Malam semakin larut. Dan angin mulai berhembus ketika titik-titik embun mulai
menetes. Semua orang mulai melangkah pelan, meninggalkan pantai yang membawa
sejarah baru bagi Desa Watu Jajar!
SELESAI Scan by Clickers
Edit By Lovely Peace
www.duniaabukeisel.blogspot.com
Iblis Sungai Telaga 3 Candika Dewi Penyebar Maut X I I Kitab Mudjidjad 14

Cari Blog Ini