Ceritasilat Novel Online

Topeng Setan 1

Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan Bagian 1


TOPENG SETAN Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Topeng Setan 128 hal ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Siang ini udara terlihat cerah. Matahari terhalang
awan putih yang bergerumbul membentuk hamparan
permadani lebar. Gelombang laut pun terlihat tenang ketika angin semilir
berhembus. Sebuah kapal berukuran cukup besar terlihat di kejauhan. Pada tiang yang paling tinggi, berkibar sebuah bendera berwarna hijau
dengan lambang pedang me-lintang dan di atasnya bergambar bangau putih yang
sedang mengepakkan kedua sayapnya. Sepintas, lambang itu mengingatkan orang pada sebuah perguruan
silat dari negeri seberang yang amat terkenal. Bukan saja karena murid-muridnya
yang berilmu tinggi, tapi juga mereka terkenal sebagai pembela kebenaran yang
suka membantu orang-orang lemah dan tertindas. Perguruan itu bernama Bangau
Sakti, dan diketuai oleh
orang tua sakti bernama Ki Sanjung Lugai.
Saat itu, seorang pemuda berwajah keras tampak
berdiri gagah di buritan kapal. Rambutnya yang sepanjang bahu tergerai ditiup
angin. Pemuda itu memakai baju lengan pendek yang terbuat dari bahan tebal dan
dipenuhi sisik seperti ular. Dipunggungnya tersandang sebatang pedang berukuran
besar. Sementara sepasang matanya menatap tajam ke depan dengan kedua
tangan bersedakap di dada. Di belakangnya terlihat
seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun.
"Berapa lama lagi kita akan sampai di negeri itu,
Paman?" "Hm.... Kalau tak ada badai, barangkali besok subuh kapal sudah bisa mendarat," jawab laki-laki tua berusia lima puluh tahun.
"Rasanya perjalanan kita akan lancar...," gumam
pemuda itu. Perlahan kepalanya mendongak, mengamati langit di ujung pandangan nun jauh di sana.
"Ya! Paman kira juga begitu. Pada bulan-bulan seperti ini badai tak akan datang."
"Apakah perjalanan kita ke negeri itu ada gunanya"
Kalau saja ayah tak terlalu memaksa, sebenarnya aku enggan. Memamerkan kemampuan
bukanlah perbuatan baik, Paman."
"Ada hal yang belum kau ketahui, Sisik Naga. Perguruan Batu Kumala saat ini sedang mengadakan pesta ulang tahun ketuanya, yaitu Ki Satya Dharma. Mereka bermaksud mengadakan adu kepandaian, bukan
untuk gagahan atau pamer, tapi sekadar menambah
erat persahabatan antar perguruan. Hal itu soal biasa dalam dunia persilatan,
kita harus maklum."
Pemuda yang dipanggil Sisik Naga hanya terdiam
tanpa memalingkan wajah.
"Kau adalah wakil ayahmu, orang terkena! di negeri
kita dan pendekar yang dihormati di negeri yang akan kita tuju. Tunjukkan jiwa
ksatriamu saat pertandingan diadakan. Jangan memalukan nama perguruan dan
ayahmu...," lanjut si orang tua sambil menepuk pundak Sisik Naga.
"Kehormatan yang bagaimana menurut mereka di
sini" Apakah kematian bagi lawan?"
Si orang tua tersenyum mendengar pertanyaan itu.
Sisik Naga memang baru berusia sekitar tujuh atau
delapan belas tahun. Dan jarang sekali terjun dalam dunia persilatan, sehingga
tidak mengerti tata cara tentang bagaimana sebaiknya bersikap.
"Tidak begitu. Dalam pertandingan yang sifatnya
persahabatan, dilarang saling mencelakai. Bila kita berhasil mengalahkan lawan
dengan cara yang baik,
itu akan lebih terhormat dan terpuji."
"Bagaimana caranya, Paman?"
"Seumpamanya dia memakai ikat kepala, maka kau
cukup menanggalkan ikat kepalanya tanpa dia mampu
menahan. Atau mencabut senjatanya tanpa dia sadari.
Nah, hal-hal semacam itu sudah membuktikan bahwa
kepandaian kita lebih unggul darinya. Mereka yang
menyaksikan pertandingan akan mengerti," jelas orang tua itu.
Sisik Naga mengangguk kecil.
"Apakah Paman tahu, sampai di mana kemampuan
orang-orang negeri ini?"
"Hm.... Siapa yang tahu kepandaian setiap orang"
Seperti yang terjadi di negeri kita, di sini pun sama.
Kepandaian orang atau seorang tokoh sulit diduga.
Bahkan tak menutup kemungkinan banyak terdapat
tokoh-tokoh persilatan yang berwatak aneh," jelas si orang tua.
"Berwatak aneh seperti apa, Paman?"
"Suka mencampuri urusan orang lain tanpa sebab,
mencari gara-gara sekadar untuk memenuhi nafsu
pribadi, atau bertingkah yang tak sewajarnya serta
berbuat sesuka hatinya," jawab si orang tua.
Sisik Naga mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. "Kalau di negeri kita seperti si Gila dari Muara Tembong ya, Paman" Ayah pernah
membicarakan tokoh
itu padaku. Dia seorang tokoh sakti yang tiada terkalahkan sampai saat ini.
Bahkan, ayah sendiri segan
berurusan dengannya."
"Tapi ayahmu bukan orang sembarangan. Si Gila
dari Muara Tembong sendiri sungkan mengganggunya." "Ki Simbul Lumut, beberapa perahu kecil mendekat
ke kapal kita!" teriak seseorang yang berdiri pada tiang
paling tinggi di kapal.
"Semua bersiap...!"
Laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Simbul Lumut langsung memberi aba-aba dengan suara keras.
Sepasang matanya memandang nyalang. Begitu juga
dengan Sisik Naga. Lebih dari lima buah perahu kecil semakin jelas terlihat,
bergerak ke arah mereka.
*** "Siapa mereka dan apa maunya?" tanya Sisik Naga.
"Hm.... Siapa yang tahu" Tapi kita harus waspada.
Kau jaga di bagian belakang kapal, biar Paman menja-ga di sini. Dan perintahkan
Sopeng Langit serta Watan Kijang untuk berjaga di tiap sisi yang berlawanan di
tengah kapal!"
"Baik, Paman!"
Sisik Naga segera memanggil dua orang yang dikatakan pamannya, dan memberi perintah pada yang
lain untuk bersiaga penuh. Dalam sekejap saja suasa-na kapal menjadi tegang.
Wajah-wajah mereka kaku
dengan sepasang mata tajam, mengawasi perahuperahu kecil yang terus mendekat dari berbagai arah.
"Orang-orang yang berada di kapal, turunlah kalian
ke laut dengan sukarela, atau kami harus memaksa
dengan kekerasan..."!"
Salah seorang yang berada dalam perahu kecil berteriak lantang, dengan kedua tangan bertolak pinggang. Ki Simbul Lumut tersenyum kecil sambil menyipitkan mata. Tapi Sisik Naga langsung bangkit amarahnya, mendengar kata-kata yang dianggapnya suatu
penghinaan. Inikah salah satu tokoh aneh yang barusan diceritakan pamannya"
"Kisanak, siapakah kalian dan mengapa menghadang perjalanan kami?" tanya Ki Simbul Lumut dengan tenang. Perahu-perahu kecil itu berhenti ketika jarak mereka telah begitu dekat. Orang tua itu dapat melihat jelas, siapa yang tadi
berteriak keras. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan memakai
baju dari kulit binatang. Di dadanya bergelantungan tengkorak dan tulangbelulang yang diuntai menjadi sebuah kalung. Begitu juga dengan ikat
pinggangnya. Wajahnya tampan, namun sorot matanya tajam menusuk dan
sangat angker. Rambutnya yang panjang digelung ke
belakang. Laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu membawa sebilah
parang besar di pinggangnya. Dan yang lainnya terlihat sama, meski mereka bertelanjang dada dan mengenakan cawat dari kulit binatang. Seluruh tubuhnya
dipenuhi hiasan tulangbelulang serta tengkorak-tengkorak manusia. Wajah
mereka angker dan tampak bermusuhan, dengan sorot
mata liar seperti manusia yang tak beradab. Parangparang besar telah siap tergenggam di tangan. Ada ju-ga yang memegang sumpritan
yang mengeluarkan bau
busuk menyengat Bisa dipastikan kalau sumpritan itu mengandung racun yang hebat
"Aku Tato Begananda, raja di lautan dan daratan.
Kuperintahkan kalian meninggalkan seluruh harta
benda dan barang berharga di kapal ini, dalam tiga hitungan. Kalau tidak, jangan
harap aku akan memberi
ampun!" perintah laki-laki berbaju kulit binatang itu sombong.
"Kisanak, kami tak peduli kau raja lautan dan daratan. Tapi jika kau perintahkan kami meninggalkan seluruh harta dan barang-barang
bawaan, maka kau harus melangkahi mayat kami dulu!" sahut Ki Simbul
Lumut garang. Orang tua itu sudah menduga, siapa gerombolan ini
sebenarnya. Mereka tak lain bajak laut yang biasa terdapat di perairan selat
ini. Meski nama Tato Beganan-da tak dikenalnya, tapi bisa diduga dari sorot
matanya kalau orang itu memiliki ilmu olah kanuragan yang tak rendah. Begitu
juga anak buahnya. Mereka bukan
orang-orang liar sembarangan.
"Huh! Begitukah keputusanmu, Orang Tua" Baik,
jangan sesalkan nanti di neraka!" dengus Tato Begananda. "Huh, apa yang perlu kutakutkan dari kalian?"
"Bangsat!"
Tato Begananda memaki. Dan bersamaan dengan
itu, memberi isyarat pada anak buahnya.
Slup! Slup! "Aaakh...!"
"Yeaaa...!"
Beberapa anak buah Tato Begananda langsung meniup sumpritan yang berada di tangan mereka. Seketi-ka, jarum-jarum beracun yang
dihiasi bulu- bulu halus, berhamburan ke arah orang-orang Ki Simbul Lumut Terdengar pekik kesakitan ketika dahi, leher, dan dada mereka tertembus
senjata maut itu. Lima orang
langsung ambruk tak berdaya, dua di antaranya jatuh ke laut.
"Awas! Lindungi diri kalian dari sumpritan beracun!" teriak seseorang memperingatkan ka- wankawannya. Tapi ketika mereka akan mencari alat yang mampu
melindungi diri dari serangan sumpit beracun, saat itu juga anak buah Tato
Begananda melompat dengan ringan ke atas kapal sambil mengayunkan pedang dengan
dahsyat. Dua orang kepercayaan Ki Simbul Lumut,
yaitu Sopeng Langit dan Watan Kijang langsung menyambut. Begitu juga Sisik Naga. Putra Ki Sanjung Lugai itu mengamuk habishabisan dengan hati penuh
kegeraman. "Keparat-keparat laknat! Mampuslah kalian semua...!" Seluruh anak buah Perguruan Bangau Sakti yang
berada di kapal, berjuang sekuat tenaga menghadapi
serbuan para bajak laut itu. Kepandaian mereka ratarata cukup bisa diandalkan,
tapi orang-orang liar itu pun bukan orang sembarangan. Gerakan mereka amat
cepat dan lincah menghindari serangan bagaikan kera yang melompat-lompat dari
satu cabang ke cabang
lain. Mereka dengan mudah menghindari kelebatan
senjata lawan. Tak heran bila dalam sekejap korban
terlihat bergeletakan di sana sini. Orang-orang liar itu semakin riuh bersuara,
seperti binatang buas terluka.
"Keparat! Orang-orang liar jahanam, mampuslah
kalian!" teriak Ki Simbul Lumut seraya mengayunkan
pedang dan berhasil menyambar seorang lawan, hingga terjungkal. Namun saat ujung pedang berkelebat hendak menyambar seorang korban, saat itu pula Tato Begananda memapaki dengan parang di tangan kanannya.
Trang! "Orang tua busuk! Kau pikir aku akan mendiamkan
kelakuanmu" Kau bagianku!"
"Huh! Kenapa tak maju sejak tadi"!"
Tato Begananda berkelebat cepat sambil mengayunkan parang di tangannya ke arah Ki Simbul Lumut. Orang tua itu bukanlah tokoh sembarangan. Di
negerinya termasuk orang yang dihormati, selain Ketua Perguruan Bangau Sakti.
Beliau adalah salah seorang
adik seperguruan tokoh sakti itu. Maka tak heran kalau ilmu silat dan ilmu olah
kanuragannya cukup ting-gi. Meski Tato Begananda telah mendesak dengan sekuat daya dan kemampuan, tapi orang tua itu tidak
terdesak. Kenyataan itu membuat kemarahan Tato Begananda semakin meluap. Apalagi ketika melihat seorang pemuda berbaju kulit ular mengamuk dan membinasakan banyak anak buahnya.
*** "Hm.... Kau lihat" Sebentar lagi anak buahmu akan
habis satu persatu. Kini tiba saatnya bagimu untuk
menyerah. Kami bukanlah orang-orang kejam. Kalian
boleh pergi sekarang juga!" ujar Ki Simbul Lumut
memberi peringatan.
"Ha ha ha...! Kau pikir siapa dirimu, berani berkata begitu padaku?" Tato
Begananda tertawa terbahak-bahak.
Lelaki itu mengeluarkan sebuah topeng berwajah
seram yang terbuat dari kayu dari balik bajunya. Lalu dikenakannya. Wajah tampan
Tato Begananda seketika berubah menjadi wajah setan yang menakutkan.
Sepasang matanya bulat lebar dengan alis tebal dan
tajam. Coreng-moreng di topeng kayu itu melukiskan


Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gambar yang tak jelas. Namun dari gigi bagian bawah, menyembul sebuah taring
yang mencuat ke atas mele-wati bibir, hidung, hingga ke dahi.
Ki Simbul Lumut pada mulanya menduga kalau lawan adalah orang yang tidak waras. Apalagi, kemudian menari-nari beberapa saat
lamanya. Namun ketika ti-ba-tiba saja menyerang, terkesiap juga orang tua itu.
Dari bola mata di balik topeng kayu, menyebar suatu
pengaruh yang membuat pikirannya mengawang tak
menentu. Tenaganya perlahan melemah, dan gerakannya seperti orang mabuk. Ki Simbul Lumut berusaha
memukul-mukul kepalanya untuk menyadarkan diri.
Tapi, tenaganya terus menyusut dengan cepat seperti diserang kelumpuhan total.
"Mampus! Hihhh...!"
Cras! "Akh...!"
Orang tua itu hanya bisa menjerit lemah ketika parang Tato Begananda membabat lehernya hingga terpisah dari tubuh.
Setelah menewaskan orang tua itu tanpa perlawanan yang berarti, tubuh Tato Begananda melesat dan
menghajar anak buah kapal besar satu persatu. Banyak di antara mereka yang tak berdaya melawan pengaruh gaib yang dipancarkan topeng kayu yang dikenakannya. Sehingga, Tato Begananda tak ubahnya seperti membasmi orang-orang yang tak memiliki kepandaian silat. "Bedebah laknat! Dia pikir siapa kami!"
Sisik Naga menggeram dan langsung melompat
sambil mengayunkan pedang ke leher lawan.
"Yeaaa...!"
Wuttt! Tato Begananda dengan mudah mengelak, kemudian mengayunkan parangnya untuk menangkis.
Trang! Sisik Naga terkejut merasakan telapak tangannya
nyeri bukan main akibat benturan itu. Tapi mana sudi dia menunjukkan kesakitan
di wajahnya. Sebaliknya
pemuda itu menggeram dan menyerang lawan semakin
hebat, dengan mengerahkan segenap kemampuan
yang dimilikinya. Tapi aneh, pikirannya mengawang
dan tenaganya terus melemah dengan cepat ketika beradu pandang dengan topeng kayu yang dipakai lawan.
"Ha ha ha...! Siapa pun tak akan mampu melawan
pengaruh Topeng Setan yang kukenakan ini!" teriak
Tato Begananda sambil tertawa lebar.
"Keparat...!" maki Sisik Naga.
Pemuda itu mengayunkan pedang, tapi dirasakan
pedang itu terlalu berat Sedangkan tenaganya lemah
sekali, dan langkah kakinya tak mampu mengangkat
tubuh. Pemuda itu terjungkal, tepat ketika Tato Begananda mengayunkan pedang dan
menebas lehernya
tanpa belas kasihan.
Cras! "Akh...!"
Sisik Naga mengeluh pelan. Darah membanjiri lantai kapal ketika kepalanya menggelinding. Dua orang terkuat di kapal itu tewas
dalam waktu singkat. Akibatnya, anak buah Tato Begananda semakin merajalela. Apalagi ketika dia turun tangan sendiri. Dalam
waktu singkat penumpang kapal itu binasa di tangan
mereka. "Habisi mereka, tak seorang pun boleh tertinggal!"
perintah Tato Begananda.
"Semua tewas tak ada yang tersisa!" lapor salah
seorang anak buahnya.
"Buang ke laut dan angkut semua barang berharga
di kapal ini!"
Anak buah Tato Begananda langsung menyampaikan perintah pimpinannya. Tanpa banyak tanya lagi
mereka membagi dua rombongan. Sebagian membuang mayat-mayat ke laut, dan yang lain mengangkuti barang-barang berharga yang berada dalam kapal.
Barang-barang itu dipindahkan ke dalam perahuperahu kecil yang tadi mereka gunakan. Suara hirukpikuk terdengar beberapa saat. Air laut di sekitar kapal
terlihat merah, dan dari kejauhan terlihat sirip ikan hiu berbondong-bondong
mendekati mereka.
"Cepat! Tinggalkan tempat ini, sebelum hiu-hiu itu
menyerang kalian!" perintah Tato Begananda.
Secepat kilat mereka melesat ke perahu kecil dan
membiarkan kapal besar itu terapung-apung.
"Ha ha ha...! Siapa pun yang mencoba menghalangiku, maka kematianlah yang akan didapat!" teriak Ta-to Begananda jumawa, sambil
bertolak pinggang di pe-rahunya.
Sepasang matanya menyipit dan menatap tajam perahu besar yang semakin jauh terlihat. Topeng Setan yang tadi dikenakannya,
telah diselipkan kembali ke dalam baju. Bibirnya tak lekang menampakkan senyum
sinis yang selalu menghias.
*** 2 Pantai itu terletak tak begitu jauh dari Desa Selira.
Itu sebabnya, mata pencaharian utama penduduk desa
dari hasil laut, yaitu sebagai nelayan. Seperti kebanya-kan penduduk yang berada
di pantai, sudah menjadi
tradisi mengadakan upacara kurban bagi penghuni
laut, agar hasil tangkapan ikan mereka lebih banyak dan penguasa laut bermurah
hati. Pada tahun ini, upacara jatuh pada minggu pertama
bulan kelima. Penduduk kelihatan sudah ramai berkumpul di tepi pantai. Beberapa perahu nelayan dihia-si dengan rumbai-rumbai
berwarna-warni. Sebuah perahu besar berada paling depan dari barisan perahu
lain. Di dalamnya terdapat banyak orang yang masingmasing membawa bunga, kepala kerbau, dan segala
macam penganan.
Seorang laki-laki berbaju indah dan berikat kepala
lebar, berdiri di ujung perahu dan berteriak keras.
"Upacara sesaat lagi dilaksanakan! Dimulai dari perahu ini, lalu yang lain mengikuti dengan tertib. Tabuh-tabuhan dibunyikan
dengan suara yang pelan serta khidmat!"
Lalu, beberapa perahu bergerak perlahan. Dari salah satu perahu terdengar irama gending, perlahan
dan bergaung bagai pengiring tembang yang semakin
lama semakin mengiris hati. Orang-orang di pantai
tampak berdoa sambil menundukkan kepala.
"Berhenti...!" teriak lelaki berikat kepala tadi.
Kemudian, laki-laki itu memberi perintah agar setiap orang yang berada di perahu mengikuti bacaan
doa yang dikumandangkannya sambil menurunkan
sesajian mereka. Suara doanya bagai gerendengan ratusan tawon yang menggema. Ditingkahi irama gending yang tak putus berbunyi. Dan seseorang mengiringi bacaan doa dengan nyanyian
yang melengking tinggi.
"Sang Hyang Jagad Dewa Batara, berkahilah sesajian kami. Berikanlah hasil ikan yang berlimpah pada kami. Berikanlah
keselamatan pada seluruh penduduk
desa kami yang melaut...."
Ketika semua sesaji telah diceburkan ke laut, mereka bersiap mengakhiri upacara. Tapi saat itu pula, salah seorang dari mereka
menunjuk sebuah kapal berukuran sedang yang mendekat perlahan ke arah mereka. "Perintahkan kapal itu untuk memutar haluan!" kata laki-laki berikat kepala lebar. Agaknya dialah pemimpin upacara ini.
Salah seorang langsung berteriak memperingatkan.
Tapi kapal itu terus bergerak perlahan ke arah mereka.
Tentu saja membuat sebagian penduduk desa itu kesal bukan main. Upacara ini
harus dilakukan khidmat,
tak boleh ada yang mengganggu. Namun orang-orang
yang berada di kapal itu seperti tak peduli dengan peringatan mereka.
"Perintahkan sekali lagi, dan bila mereka tak mau
menurut, kalian boleh mengambil tindakan!" kata si
pemimpin upacara.
Sebuah perahu berisi lima orang pemuda penduduk
Desa Selira, mendekat dan berteriak keras memberi
peringatan pada penghuni kapal. Namun hasilnya tetap nihil. Kapal itu terus bergerak pelan. Dengan gemas, dua orang di antara
mereka melempar tambang
dan naik ke atas kapal.
"Kosong! Tak ada penghuninya!" teriak seseorang
dari atas kapal.
"Ada bercak darah berceceran di sini!" desis kawannya. Tak terasa bulu kuduk kedua pemuda itu bangun.
Sepasang mata mereka melotot garang, memandang
tak berkedip ke dek kapal yang penuh bercak-bercak
darah. "Hm.... Agaknya penghuni kapal ini telah dibantai
habis-habisan. Siapa yang melakukan perbuatan keji
ini?" gumam pemuda yang mengenakan ikat kepala
merah. "Siapa pun yang melakukannya, pastilah mereka
gerombolan orang-orang yang tak berperikemanusiaan...," sahut kawannya yang bermata juling.
"Lihat! Di atas tiang paling tinggi terdapat bendera!"
Kedua pemuda itu memperhatikan bendera hijau
bertambang sebilah pedang dan di atasnya tergambar
seekor burung bangau putih tengah mengepakkan
sayap. "Apa pikiranmu" Bukankah ini kapal sebuah perguruan silat?" tanya pemuda berikat kepala merah.
"Hm.... Aku jadi teringat. Perguruan Batu Ku- mala
sedang mengadakan perayaan. Banyak perguruan silat
yang mereka undang. Mungkin penghuni kapal ini salah satu perguruan silat yang mereka undang."
"Tak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Kita harus memutar kapal ini agar tak mengganggu upacara.
Nanti, setelah upacara selesai kita beri tahu orang-orang Perguruan Batu
Kumala," kata pemuda yang berikat kepala merah.
Kedua pemuda itu mengendalikan kapal setelah
terdengar teriakan peringatan pada mereka.
Sementara tiga orang kawannya yang menunggu di
perahu, kembali bergabung dengan para pengikut upacara lainnya. *** Halaman depan Perguruan Batu Kumala ramai oleh
umbul-umbul berwarna-warni. Bangku-bangku panjang berjejer di setiap sudut halaman. Pada bagian depan bangunan terdapat
beberapa buah kursi mewah
yang berjajar. Dan pada jarak tiga tombak di depannya, terdapat sebuah panggung seluas dua kali tiga
tombak dengan tinggi kira-kira sepuluh jengkal dari permukaan tanah. Tampak
lebih dari dua puluh orang
murid-murid Perguruan Batu Kumala mondar-mondir
di setiap sudut menyiapkan segala sesuatunya.
Besok adalah hari ulang tahun Ki Satya Dharma,
Ketua Perguruan Batu Kumala. Orang tua yang disegani semua kalangan persilatan itu genap berusia tujuh puluh tahun. Mulanya beliau tak setuju dengan
perayaan itu. Namun beberapa orang murid berhasil
meyakinkannya, bahwa tujuan terpenting dari perayaan itu untuk meningkatkan hubungan persahabatan di antara sesama perguruan.
Sore ini segalanya telah siap. Beberapa perguruan
silat yang diundang, telah berdatangan.
Umumnya mereka berasal dari tempat yang jauh.
Tapi Perguruan Batu Kumala memiliki bangunan yang
cukup besar dan menyediakan beberapa ruangan bagi
para undangan, sehingga semua tamu dapat bermalam
di tempat itu. Sementara itu di sebuah ruangan di bagian utama
bangunan Perguruan Batu Kumala, Ki Satya Dharma
tengah menerima dua orang tamu. Wajah orang tua itu tampak terkejut setelah
mendengar cerita dua orang
pemuda Desa Selira yang berkunjung ke tempatnya.
Demikian pula para murid utama yang hadir di ruangan itu. "Apakah Eyang menduga kalau kapal itu milik Perguruan Bangau Sakti dari negeri seberang?" tanya salah seorang muridnya dengan
suara pelan. Ki Satya Dharma tidak menjawab. Bahkan kepalanya menoleh pada salah seorang murid yang duduk
di sampingnya. "Jagakarsa, bersediakah kau menolongku memeriksa isi kapal?"
"Bersedia, Eyang. Aku akan berangkat sekarang juga bersama beberapa orang kawan," jawab seorang laki-laki berbadan tegap dan berkumis tipis seraya
memberi hormat pada orang tua itu.
"Kisanak, beribu terima kasih kuucapkan kepada
kalian yang telah memberitahukan berita ini kepada
kami. Sudilah kalian mengantarkan murid-muridku ke
kapal itu, untuk memeriksa isinya dan mencari tahu
siapa pelaku semua ini," ujar Ki Satya Dharma dengan suara lunak.
"Ah! Kami hanya sekadar menjalan kewajiban,
Eyang. Kau dan murid-muridmu telah berbuat banyak
bagi desa kami. Kalau tak ada kalian, entah apa jadinya kami saat diserang kawanan bajak laut beberapa bulan lalu," sahut salah
seorang pemuda Desa Selira itu. "Sudahlah. Jangan terlalu membebani pikiran
kalian atas pertolongan kami yang tak seberapa."
"Kalau begitu kami mohon pamit, Eyang."
Ki Satya Dharma mengangguk sambil tersenyum
ramah. Setelah memohon diri, Jagakarsa beserta lima orang
kawannya mengikuti kedua pemuda Desa Selira.
"Eyang, siapa kira-kira pelaku kebiadaban itu?"
tanya seorang muridnya dengan nada geram setelah
orang-orang tadi berlalu dari ruangan.
"Hm.... Aku sendiri tak bisa memastikan. Mungkinkah dari kawanan bajak laut yang pernah kita tumpas dahulu" Tapi tak mungkin.
Berdasarkan cerita kedua


Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu, aku percaya kalau kapal itu membawa
rombongan Perguruan Bangau Sakti. Mereka orang
hebat dan ketuanya sendiri adalah tokoh yang sulit dikalahkan oleh orang-orang
sembarangan."
"Apakah itu perbuatan suatu kelompok yang tak ingin persahabatan antara kita dan negeri seberang ter-jalin akrab?" tanya murid
yang lain. "Bila ada orang yang berbuat demikian dengan alasan yang tak kita ketahui untungnya, rasanya hal itu tak masuk akal. Apa
perlunya kelompok itu menghalangi persahabatan yang kita jalin?" timpal seorang
murid yang lain.
"Apa yang kalian duga tidak salah. Tapi kita tidak
tahu, apa yang mereka mau dengan perbuatan biadab
itu. Yang jelas, mereka tak bekerja sendiri. Mustahil rombongan itu dapat
dihabisi oleh seorang tokoh,
mengingat mereka bukan orang- orang sembarangan,"
ujar Ki Satya Dharma, menengahi perdebatan kedua
muridnya. "Apa yang akan kita lakukan, Eyang" Apakah tak
mungkin kalau kelompok itu mulai mengintai kita?"
tanya seorang muridnya menduga-duga.
Ki Satya Dharma mulai berpikir setelah mendengar
prasangka muridnya. Tapi apa urusannya bila ada suatu kelompok hendak mengacaukan mereka" Dan apa
untungnya bagi mereka mengganggu pesta perayaannya" Orang tua itu baru saja ingin memerintahkan beberapa muridnya untuk lebih berjaga-jaga, ketika terdengar keributan di halaman
depan. Bersamaan dengan
murid-muridnya yang berada di ruangan itu, dia langsung bangkit menuju halaman
depan. Beberapa murid Perguruan Batu Kumala tampak
sedang bertempur dengan orang-orang liar yang mengenakan cawat terbuat dari kulit binatang. Wajah mereka penuh coreng-moreng, dan
di tangan masingmasing tergenggam sebilah parang panjang dan tajam.
Beberapa orang menggunakan senjata sumpritan. Di
antara yang bertempur tampak juga murid-murid Perguruan Merak Emas dan Perguruan Gunung Tidar
yang membantu menghalau orang-orang liar itu. Kedua perguruan itu memang telah tiba-pagi tadi untuk menghadiri perayaan ulang
tahun Ki Satya Dharma.
"Apa yang terjadi di sini"! Hentikan pertarungan!"
bentak Ki Satya Dharma dengan suara keras.
*** Mendengar suara yang keras itu, murid-murid Perguruan Batu Kumala dan dua perguruan lain serentak
menghentikan serangan. Tapi lawan-lawan mereka tak
peduli. Kalau saja tak ada seseorang dari mereka yang memberi isyarat, niscaya
mereka akan terus meng-gempur lawan-lawannya.
"Kaukah ketua perguruan ini?"
Ki Satya Dharma menyipitkan mata. Yang bertanya
adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dengan rambut digelung
ke belakang. Berbeda
dengan yang lainnya, orang ini mengenakan baju yang cukup rapi, terbuat dari
kulit binatang. Wajahnya
tampan namun sorot matanya tajam penuh sinar kebencian. Tak ada senyum sedikit pun menghiasi bibirnya. Di tangannya tergenggam
sebilah parang panjang seperti yang dipakai kawan-kawannya. Sekilas saja, Ki
Satya Dharma dapat menduga kalau laki-laki ini ketua gerombolan itu.
"Betul. Siapa kau, Kisanak" Barangkali aku lupa
mengundang kawan sendiri dalam pestaku ini. Maafkanlah atas kealpaanku. Tapi, bukankah soal itu dapat dibicarakan baik-baik
dengan cara yang lebih terhormat?" suara Ki Satya Dharma terdengar lunak dengan
sedikit senyum dan sikap hormat pada tamunya.
"Aku Tato Begananda, penguasa daratan dan lautan. Kuperintahkan kalian semua berlutut!" kata orang itu dengan sikap angkuh
dan menuding telunjuknya
ke bawah. "Kurang ajar!" salah seorang murid tertua Perguruan Batu Kumala langsung memaki.
"Huh! Anak muda besar kepala!" dengus Ki Patih
Meluwa, Ketua Perguruan Merak Emas yang berdiri di
sebelah kiri Ki Satya Dharma.
"Ki Satya Dharma, biarlah anak tak tahu adat ini
kuurus!" geram Ki Danur Brata, Ketua Perguruan Gunung Tidar, yang langsung melangkah lebar.
Tapi Ki Satya Dharma memberi isyarat pada orang
tua berusia sekitar lima puluh tahun lebih itu agar bersabar. Dia sendiri
kemudian memandang Tato Begananda dengan bibir tersenyum.
"Kisanak, aku Satya Dharma. Selamanya selalu
menghormati setiap tamu yang hadir di tempat ini. Begitu juga dengan kalian.
Tapi penghormatan itu bukan berarti kami harus berlutut kepadamu. Harap kalian
maklum kalau kami tak bisa melakukannya, dan menjadi tersinggung karenanya," katanya lunak.
"Hm, begitukah! Baiklah, kalau demikian kami harus memaksa kalian untuk melakukannya!"
"Bocah keparat! Kau pikir dirimu siap", mau besar
kepala di hadapan kami"!"
Ki Danur Brata yang agaknya sudah tak sabar lagi,
langsung berkelebat dan menyerang Tato Begananda
dengan hati penuh rasa geram.
"Yeaaa...!"
Wukkk! "Uts...!"
Tapi sebelum gerakan orang tua itu mendekat ke
arah lawan, belasan orang-orang liar yang mukanya
penuh coreng-moreng langsung mengayunkan parang
mereka, menghadang Ki Danur Brata. Tentu saja orang tua itu terkejut dan jungkir
balik menghindari serangan lawan-lawannya.
"Keparat! Manusia-manusia terkutuk, mampuslah
kalian kalau berani menghalangiku!" dengus Ki Danur Brata sambil mencabut
kerisnya. Trak! Wuuut! Orang tua itu mengamuk hebat. Hatinya geram bukan main. Dalam keadaan begitu, ingin rasanya menghabisi lawan secepatnya. Tak heran kalau seluruh kemampuannya langsung
dikeluarkan. Tapi alangkah
terkejutnya Ki Danur Brata ketika melihat kenyataan kalau lawan-lawannya
bukanlah orang sembarangan.
Bahkan perlahan-lahan orang tua itu terlihat mulai
terdesak. Ki Danur Brata bersungut-sungut sambil
mendengus geram. Sementara, Ki Satya Dharma dan
yang lain bukan tidak tahu gelagat itu. Dia yang tadi mendiamkan perbuatan
tamunya, kini mulai merasa
khawatir dan memberi isyarat pada murid-muridnya
untuk membantu orang tua itu.
"Diamlah di tempat kalian! Jangan mempermalukan
diriku dengan bantuan konyol itu!" bentak Ki Danur
Brata. Murid-murid Perguruan Batu Kumala jadi serba salah. Orang tua itu berkeras tak mau dibantu. Tapi kalau mereka tak membantu,
bisa dipastikan kurang dari lima jurus lagi orang tua itu akan dapat dirobohkan
lawan-lawannya.
"Eyang Danur Brata adatnya keras, tak suka dibantu bila sedang bertarung," bisik seorang murid Perguruan Gunung Tidar dengan
suara lirih. Mendengar penjelasan itu, tak heran ketika melihat
ketuanya mulai terdesak, tak seorang pun di antara
mereka yang bergerak membantu. Padahal kalau melihat wajah-wajah mereka, terbias kegeraman yang amat sangat melihat gurunya
dikeroyok begitu rupa. Dan salah seorang dengan berani berteriak pada gurunya.
"Eyang, biarkan kami membantumu. Mereka bukan
orang-orang sembarangan!"
"Sial kau! Apa kau pikir aku tak mampu menghadapi mereka"! Kau hanya mengecilkan gurumu saja!"
Murid itu mendengus kesal. Sementara gurunya
makin terdesak. Beberapa goresan luka senjata lawan mulai menghajar dirinya.
Bahkan dalam suatu kesempatan Ki Danur Brata terpekik, saat parang lawan
menghajar perutnya sampai robek. Dan orang tua yang keras hati itu melompat ke
belakang dengan telapak
kiri mendekap perut. Tangan kanannya terkepal di
pinggang. Dengan muka geram, kepalan tangan kanannya disorongkan ke depan. Maka, saat itu pula
menderu selarik sinar kuning menyilaukan mata ke
arah lawan-lawannya. Itulah pukulan andalannya yang bernama 'Lahar Gunung
Tidar'. Siapa pun yang terkena pukulan itu, tubuhnya akan lumer seperti daging
terbakar! "Hiyaaat...!"
Tato Begananda yang sejak tadi memperhatikan sepak terjang anak buahnya, tiba-tiba melompat dengan satu teriakan nyaring.
Telapak kirinya didorong, dan seketika melesatlah secercah sinar ungu yang
menghadang pukulan lawan.
Glarrr...! Terdengar ledakan keras, disusul asap hitam mengepul ke udara akibat benturan dua pukulan dahsyat
tadi. "Aaa...!"
Ki Danur Brata terpekik. Tubuhnya terlempar persis
di kaki Ki Satya Dharma dalam keadaan tak bernyawa
lagi. Muka dan tubuhnya rusak berat, lehernya nyaris putus tersabet senjata
lawan. Tak jauh dari situ, Tato Begananda dengan wajah keras dan garang
mendengus sinis, berdiri tegak memandang mereka.
"Eyang...!"
Murid-murid Perguruan Gunung Tidar menjerit keras dan mengerumuni mayat Ki Danur Brata.
Salah seorang malah langsung bergerak cepat menyerang Tato Begananda.
"Jahanam keparat! Kau harus membayar ke- matian guruku dengan pembalasan yang setimpal!"
"Huh! Kecoa busuk! Kau hanya mengantar nyawa
kepadaku!" dengus Tato Begananda.
Wuuut! "Yeaaat...!"
Trak.... Breeet!
"Aaa...!"
*** 3 Ki Satya Dharma dan yang lainnya tersentak ketika
melihat seorang murid Perguruan Gunung Tidar kembali tewas dalam keadaan yang nyaris mirip gurunya.
Melihat keadaan semakin panas dan tamu-tamu tak
diundang itu makin liar, darah orang tua itu mulai
bergolak. "Kisanak, sudikah kau membantuku menghalau
orang-orang liar itu, sementara aku akan menggebuk
ketuanya?" ucap Ki Satya Dharma kepada Ki Patih Meluwa. "Jangan khawatir, Ki!"
"Syukurlah.... Hati-hati, mereka bukan orang sembarangan. Jangan terlalu keras kepala. Kalau memang tak mampu menghadapinya
seorang diri, biarkan murid-murid membantumu."
"Baiklah, Ki."
Setelah itu, Ki Satya Dharma melangkah mendekati
lawan dan berhenti setelah jarak mereka terpaut kurang lebih sepuluh jengkal. Matanya tajam memandang Tato Begananda.
"Kisanak, sikapmu sungguh keterlaluan. Datang
tanpa diundang, kemudian mengacau dan membunuh
tamu-tamuku. Sebagai tuan rumah, aku tak bisa
membiarkan kau berbuat sesuka hatimu. Suka atau
tidak, kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" kata Ki Satya Dharma dengan suara tegas.
"Ha ha ha...! Orang tua busuk, bisa berbuat apa
kau padaku" Berlututlah, atau sebentar lagi kau tak akan melihat dunia ini!"
"Anak muda sombong! Perlihatkan padaku bahwa
kau memang pantas bersikap seperti malaikat maut!"
dengus Ki Satya Dharma seraya membuka jurus.
Hal seperti itu jarang dilakukannya, memulai lebih
dulu suatu pertarungan. Tapi sikap Tato Begananda
dianggapnya sudah keterlaluan sekali, dan tak mungkin baginya menghindar dari lawan, cepat atau lambat.
Anak buah Tato Begananda bersiap hendak menyerang orang tua itu, namun saat itu juga Ki Patih Meluwa bergerak cepat
menghadang. Wajah-wajah lawan
tampak beringas dan siap menyerang.
"Hm ... Bagus. Rupanya kau telah menyiapkan segalanya. Tapi jangan harap akan mampu mengalahkan
kami! Majulah kau, Tua Bangka!" dengus Tato Begananda sambil mengayunkan parangnya.
Ki Satya Dharma memandang tajam. Ujung pedangnya digerakkan lurus dengan siku, menghadap ke
belakang. Tubuhnya sedikit miring ke kanan. Meskipun tadi Tato Begananda memerintahkan orang tua itu untuk bergerak lebih dulu,
tapi ternyata dialah yang lebih dulu menyerang.
"Yeaaat...!"
Trak! Trang! Kedua senjata mereka beradu cepat dengan pengerahan tenaga dalam kuat, hingga menimbulkan percikan bunga api. Beberapa kali keduanya berusaha menyambar bagian tubuh lawan yang kelihatan terbuka,
tapi saat itu pula senjata lawan menangkis dan kemba-li berbalik menyerang.
Pertarungan itu berlangsung
cepat, sulit diikuti pandangan mata orang yang ilmunya rendah. Sementara itu, anak buah Tato Begananda telah
bergerak mengurung Ki Patih Meluwa. Dengan mengeluarkan teriakan dahsyat, mereka menyerbu orang tua itu seperti kawanan serigala
mengeroyok mangsa. Ki
Patih Meluwa sejak tadi telah bersiap dengan senjata ruyung mautnya yang terbuat
dari baja pilihan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
Trak! Trak! Meskipun orang tua itu berusaha mendesak ingin
menghabisi lawan-lawannya, namun hal itu tak mudah
dilakukan. Ki Patih Meluwa sendiri terkejut dan baru menyadari kalau lawan-lawan
yang sedang dihada-pinya bukan orang-orang sembarangan. Walau telah
mengerahkan segenap kemampuannya, tapi orang

Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu sedikit pun tak mengalami kesulitan membendung serangannya. Bahkan kalau tak hati-hati
menghindar, senjata lawan akan menyambar dan melukai dirinya. Trak! Cras! "Akh...!"
Ki Patih Meluwa mengeluh kesakitan, ketika bahu
kirinya disambar ujung senjata salah seorang lawan.
Beruntung dia cepat melompat dan menghindar dari
serangan berikutnya. Kalau tidak, pasti kepalanya
akan terpisah dari tubuh. Orang tua itu menggeram
dan wajahnya terlihat kaku. Dan sambil berteriak keras, dia melompat dengan ruyung berputar-putar menyambar ke sana kemari. Pada saat yang bersamaan,
salah seorang muridnya berteriak.
"Eyang, biarkan kami membantumu...!"
Ki Patih Meluwa hanya diam saja. Agaknya, muridnya itu tak ingin peristiwa yang menimpa Ki Danur
Brata terulang kembali. Tanpa mempedulikan persetujuan gurunya, dia langsung ikut menyerang lawanlawan Ki Patih Meluwa. Melihat orang tua itu tak berusaha mencegah, muridmuridnya yang lain satu persatu menyerbu orang-orang liar yang hanya mengenakan
cawat itu. Kini, keadaan pertarungan menjadi terbalik. Bukan
saja mereka berhasil menyamakan kedudukan, tapi
perlahan-lahan dapat mendesak lawan- lawannya. *
"Hiyaaat...!"
"Mampus!"
"Yeaaat..!"
Cras! Bret! "Aaa...!"
Terdengar pekik kesakitan dari orang-orang liar
dengan muka penuh coreng-moreng itu. Beberapa
orang di antaranya terjungkal bermandikan darah.
Sementara gabungan murid ketiga perguruan itu mengamuk seperti kerasukan setan, dan korban di pihak
lawan terus berjatuhan. Kedudukan memang tak
seimbang. Meski lawan memiliki kemampuan ilmu silat yang cukup tinggi, namun
jumlah ketiga perguruan silat itu sangat banyak, sehingga satu orang paling
sedikit menghadapi tiga orang lawan. Maka tak heran bila Tato Begananda tak
berteriak nyaring untuk menghentikan pertarungan, anak buahnya pasti akan
tersapu bersih. "Keparat laknat! Hadapilah aku...!"
*** Ki Satya Dharma tercekat. Tiba-tiba saja lawan berjumpalitan beberapa kali di udara dan bergerak meng-hindarinya. Ketika dia
bermaksud mengejar, lawan
berbalik dengan cepat. Wajah Tato Begananda kini telah ditutupi sebuah topeng
yang amat aneh. Sepasang mata lebar memancarkan pengaruh kuat dengan corengmoreng warna-warni. Dari gigi tengah bagian bawah, mencuat sebuah taring yang
kuat dan panjang
hingga ke dahi. "Yeaaa...!"
Ki Satya Dharma merasa tenaganya seperti tersedot
ke arah lawan dan tubuhnya lemas bukan, main. Lelaki itu membuang diri ke tanah ketika Tato Begananda mengayunkan parang ke arah
lehernya. Crak! Crak! Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, orang tua itu terus berguling-guling di tanah menghindari bacokan
lawan. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Dengan satu sapuan cepat, Ki Satya
Dharma menjerit kesakitan ketika tulang keringnya dihantam kaki lawan.
Orang tua itu heran. Dalam keadaan, biasa, tendangan itu tak akan berakibat apaapa. Tapi kali ini terdengar bunyi berderak, menandakan tulang kakinya patah!
Belum lagi sempat menguasai diri, saat itu juga terlihat sekilas cahaya berkilat
menimpa matanya. Ki
Satya Dharma tercekat, dan hanya sempat mengeluh
pendek. Kepalanya menggelinding jauh, dan dari
pangkal leher mengucur darah segar seperti tiada hen-ti. "Eyang...!"
Murid-murid Perguruan Batu Kumala seperti tersihir. Mereka hanya dapat berteriak lemah. Begitu juga dengan yang lain. Tenaga
mereka seperti terkuras habis ketika menatap Tato Begananda yang mengenakan
topeng kayu. Tapi meskipun begitu, beberapa orang
bergerak dengan sisa tenaga yang ada untuk menyerang laki-laki itu. Termasuk di antara orang-orang itu adalah Ki Patih Meluwa.
"Yeaaa...!"
Cras! Breeet! "Akh...!"
Sekali Tato Begananda bergerak, terdengar keluh
kesakitan. Mereka ambruk dengan nyawa melayang
dan tubuh penuh luka. Bersamaan dengan itu, anak
buahnya kembali menyerang sisa- sisa murid ketiga
perguruan. Dengan sadis dan tak berperikemanusiaan
mereka membasminya satu persatu. Sungguh aneh!
Mereka merasakan tenaganya menurun cepat, sehingga seperti berhadapan dengan belasan tokoh berilmu
tingkat tinggi tiada bandingan.
"Ayo, habiskan mereka! Tak seorang pun boleh
menghinaku!" teriak Tato Begananda memberi semangat. Namun sebelum semua murid ketiga perguruan itu
mereka tumpas habis, tiba-tiba melesat sesosok
bayangan yang langsung mengamuk dan menghajar
orang-orang liar tersebut
"Yeaaat..!"
Desss! Dukkk! "Aaakh...!"
"Setan...!" dengus Tato Begananda geram.
Beberapa orang anak buahnya terpental saling menjerit kesakitan, terkena hajaran orang yang baru datang: Dengan satu lompatan
ringan, orang itu langsung dihadangnya.
"Setan keparat! Hadapilah aku! Yeaaat..!"
"Hup!"
Plak! Plak! "Hih!"
Tato Begananda tak perlu menunggu lama, sebab
orang itu langsung menyerangnya dengan kekuatan
penuh. Tato Begananda cepat menyambut dan memapaki serangan lawan, kemudian terlihat tubuhnya berputar dua kali sambil
mengayunkan tendangan. Namun lawannya bukanlah orang sembarangan. Tubuhnya dengan cepat berkelit dan melompat beberapa kali sebelum tegak berdiri di
depan lawan. Kini orang itu dapat terlihat jelas. Dia adalah seorang laki-laki tua berjenggot
seperti kambing dengan pancaran mata tajam menusuk. Bajunya berwarna merah
kembang-kembang dengan dasar putih, terlihat
kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang sedikit kurus.
Rambutnya yang telah memutih dan panjang dibiarkan
tergerai ke belakang.
"Manusia laknat bertopeng kayu, siapa kau sebenarnya dan ada urusan apa membuat kekacauan di
sini"!" bentak orang itu garang.
"Aku Tato Begananda, penguasa seluruh jagat. Siapa kau, berani berkata lancang kepadaku"!"
"Huh! Manusia busuk sepertimu memang tak bisa
diberi hati. Biarlah aku si tua Sembiring, yang akan mengajarimu bersikap sopan
pada orang lain!"
Dengan geram orang tua bernama Ki Sembiring itu
kembali melompat cepat, dengan kedua tangan siap
menghantam lawan. Nama tokoh itu sangat dikenal dalam rimba persilatan. Dia adalah seorang tokoh kosen yang ilmu silat tangan
kosongnya sangat hebat. Tak
heran bila kalangan persilatan menjulukinya, Tangan Kilat Penguasa Jagat. Tapi
ketika berhadapan pada jarak dekat, orang tua itu merasakan keanehan melanda tubuhnya. Tenaganya seperti
tersedot dan pikirannya menerawang tak menentu. Itu terlihat dari seranganserangannya yang mulai kacau dan tak bertenaga.
"Ha ha ha...! Apakah kau pikir mengandalkan nama
besarmu mampu mengalahkanku" Orang tua busuk,
ajalmu sebentar lagi tiba!"
Tato Begananda memang tak main-main dengan kata-katanya. Parangnya berkelebat cepat menyambar
lawan. Ki Sembiring terperangah. Dan berusaha sekuat tenaga menghindar.
Sementara keringat dingin mulai
mengucur deras dari pori-pori tubuhnya. Orang tua itu semakin heran merasakan
perubahan hebat dalam tubuhnya. Dia seperti tak berdaya sedikit pun menghadapi lawan yang semakin bernafsu menghabisi nyawanya. "Yeaaah...!"
Plak! Crasss! "Akh...!"
Ki Sembiring hanya bisa mengeluh pelan. Perutnya
kena disodok dengan keras, ketika sebelah tangannya menangkis pukulan lawan. Isi
perutnya seperti diaduk-aduk tak karuan. Belum lagi menyadari apa yang terjadi, senjata lawan dengan cepat menyambar dadanya.
Terdengar suara bergemeretak ketika tulang dadanya
patah. Ki Sembiring terkulai dengan tubuh bermandikan darah. Napasnya putus seketika.
Bersamaan dengan itu, anak buah Tato Begananda
pun telah selesai menghabisi lawan-lawannya. Tokoh
sesat ini tertawa nyaring sebelum meninggalkan tempat itu. "Ha ha ha...! Siapa pun yang berani menghalangi
niatku menjadi penguasa jagat, maka mampuslah akibatnya!" *** Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tampak tengah duduk mematung memandangi dua orang
gadis yang tengah bertarung sengit. Kedua gadis itu sama-sama tangguh, dan samasama bernafsu menja-tuhkan lawan. Mulanya pemuda berompi putih itu tak
begitu memperhatikan pertarungan itu. Tapi ketika
seorang pemuda berusia sebaya dengannya hadir di
tempat itu dan berusaha melerai perkelahian, dia mulai mengerti bahwa ketiga
muda-mudi itu tak lain saudara-saudara seperguruan.
"Sudahlah Ganatri! Dewi! Apa yang kalian perebutkan sampai berkelahi seperti ini"!"
"Diam kau, Kakang Wangsa! Jangan campuri urusan kami!" sahut gadis berbaju putih.
"Tapi Dewi, tak baik kalian berbuat begini. Apalagi kalau guru sampai
mengetahuinya. Beliau pasti akan
menghukum kalian!"
"Huh! Anak centil ini harus diberi pelajaran dulu,
baru aku mau menyudahinya!" dengus gadis berbaju
putih yang dipanggil Dewi.
"Siapa yang centil" Kaulah yang mulai mencari gara-gara!" sahut gadis berbaju hijau sengit.
"Ganatri, sudahlah! Untuk apa kalian teruskan perkelahian ini"!"
"Bukan aku yang memulai, Kakang Wangsa! Tapi
Kak Dewi yang mulai menyerangku tanpa sebab."
"Diam kau! Semua ini gara-garamu. Kalau bukan
kau yang memulai lebih dulu, mana mungkin aku
memulainya!"
"Sudah..., sudah! Hentikan pertarungan ini atau
aku akan bertindak keras"!"
Tapi ancaman Wangsa sama sekali tidak digubris.
Pemuda berbaju kuning yang bernama Wangsa itu uring-uringan sendiri. Agaknya kedua gadis itu mengerti betul, kalau pemuda itu
tak akan berani bertindak keras kepada mereka.
Kedua gadis itu kembali bertempur dengan sengit
seperti hendak saling berbunuhan. Apalagi ketika keduanya sudah saling
menggunakan pedang. Wangsa
hanya bisa berteriak-teriak melerai, namun tak sedikit pun kedua gadis itu mau
mengurungkan niatnya untuk terus bertarung.
"Murid-murid goblok! Apa yang kalian perebut- kan
sampai bertarung mati-matian"!"
Trang! Trang! "Heh"!"
"Eyang Guru...!"
Ketiga muda-mudi itu cepat berlutut ketika seorang
perempuan tua dengan rambut panjang memutih, tibatiba melesat dan menghantam pedang di tangan kedua
gadis itu hingga terpental. Sepasang matanya memandang tajam. Sementara di tangan kanannya terdapat
sebilah pedang tajam berkilat Meskipun tubuhnya kurus, namun saat berdiri terlihat gagah dan kokoh.
"Tak malukah kalian, bertarung memperebutkan
pepesan kosong" Apa kata orang jika mengetahui murid-murid Nyai Nipah berkelahi dengan saudara sendi-ri. Bukannya membantu mereka
yang lemah dan lebih
membutuhkan pertolongan atau membasmi penjahatpenjahat yang sering mengacau!"
"Ampunkan kami, Eyang Guru...."
"Huh! Kau Wangsa, sebagai murid tertua, apa yang
bisa kau lakukan untuk membimbing adik-adik seperguruanmu"!"
"Ampun, Eyang Guru. Aku memang salah dan tak
berguna...."
Perempuan tua yang bernama Nyai Nipah itu menyarungkan pedang dan memandang murid-muridnya
satu persatu. "Coba katakan padaku, persoalan apa yang membuat kalian sampai berkelahi?"
Kedua gadis yang bernama Ganatri dan Dewi diam
membisu, tak mampu menjawab.
"Ayo katakan!" bentak Nyai Nipah dengan suara keras. "Eh! Ng..., tidak ada persoalan yang penting,
Eyang...," Dewi menyahut dengan pelan sekali.
"Goblok! Kalau tak ada persoalan penting, kenapa
kalian sampai berkelahi"! Ganatri, katakan yang sebenarnya!"
Ganatri hanya menundukkan wajah dalam-dalam.
"Sial! Kalau kalian tak mengatakannya, maka jangan harap bisa lepas dari hukumanku. Ayo katakan!
Sampai pada hitungan ketiga kalian tak mengatakan,
maka bersiaplah menerima hukuman! Satu...!" Nyai
Nipah mulai menghitung.
Ketiga muda-mudi itu mulai gelisah. Mereka saling


Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpandangan dengan wajah ragu.
"Dua...!"
Wajah Ganatri pucat, Dewi gelisah, sedang Wangsa
jadi salah tingkah. Mereka tahu betul, kalau gurunya berkata begitu maka itu
pasti akan dilakukannya. Du-lu saja ketika Wangsa berbuat kesalahan, Nyai Nipah
menghajarnya habis-habisan sampai babak-belur. Ta-pi, apakah mereka harus
mengatakan persoalan yang
sebenarnya" Apa nanti Nyai Nipah tidak tambah murka" "Ti...."
"Ha ha ha...! Nyai Nipah, kenapa matamu buta dan
telingamu tuli, sampai tak tahu persoalan muridmuridmu sendiri?"
"Heh..."!"
Hitungan terakhir perempuan tua itu terhenti ketika sesosok tubuh berkelebat dan
berdiri tegak di depan mereka. Seorang laki-laki tua berambut panjang tergerai
dan bertubuh pendek. Dia memakai baju kembangkembang yang agak kebesaran. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu yang cukup panjang.
Wajah orang tua itu bulat dan selalu berminyak.
"Selapati, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Nyai Nipah yang agaknya
mengenali laki-laki tua itu.
"Hm.... Sudah lama sekali aku tak mengunjungi kekasihku. Begitukah caramu menyambut kekasih yang
datang dari jauh?" sahut orang tua yang bernama Selapati itu. *** 4 "Selapati, aku sedang tak ingin bercanda. Ada keperluan apa kau datang ke sini?" tanya Nyai Nipah tegas.
"Ha ha ha...! Sifatmu masih seperti dulu, tegas dan garang. Baiklah.... Tapi,
tak sopan rasanya bicara di sini. Apa kau tak mempersilakan aku mampir ke tempatmu" Atau barangkali kau hendak menyelesaikan
persoalan murid-muridmu lebih dulu" Siapa tahu aku
bisa sedikit membantu."
"Hm.... Apa yang kau ketahui tentang murid- muridku?" "Aku memang tak tahu banyak. Tapi kalau mengenai mereka berkelahi, aku sempat mencuri dengar. Kalau tak salah, mereka
memperebutkan murid lakilakimu itu...."
"Apa..."!" Nyai Nipah melotot garang pada kedua
murid perempuannya.
"Nyai Nipah, itulah kau. Sejak muda tak mau tanggap soal-soal begini, jadi sampai muridmu bertikai karena soal sederhana pun kau
tak mengerti."
"Dewi! Ganatri! Benarkah apa yang dikatakan Ki Selapati, kalau kalian berkelahi karena memperebutkan Wangsa"!" bentak Nyai Nipah
garang. Ganatri dan De-wi hanya diam membisu.
"Katakan atau kedua telinga kalian ku potong saat
ini juga!"
Tetap tak ada jawaban dari kedua gadis itu. Bahkan
mereka tampak menggigil ketakutan.
"Sudahlah, Nyai. Kenapa susah-susah segala. Bukankah kau memiliki dua murid laki-laki dan dua wanita. Jodohkan saja mereka buru-buru," kata Ki Selapati.
Nyai Nipah mendelik garang.
"Bicara apa kau" Murid laki-lakiku hanya seorang!"
"Hm.... Jadi, siapa pemuda berbaju rompi putih
itu?" tunjuk Ki Selapati ke satu arah.
Nyai Nipah mengikuti arah telunjuk Ki Selapati dan
melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih,
tengah bermalas-malasan di bawah sebatang pohon
yang cukup rindang.
Nyai Nipah melangkah lebar mendekati pemuda
yang tak lain Rangga, atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Kemudian, berdiri tepat di mukanya. Sepasang matanya menatap tajam dengan wajah menunjukkan ketidaksenangan.
"Siapa kau"! Dan apa yang dikerjakan di sini?"
"Eh! Ng..., maaf! Aku hanya kebetulan lewat di tempat ini...," sahut Rangga seraya bangkit dan memberi penghormatan kepada
perempuan tua itu.
Nyai Nipah diam tak memberikan tanggapan. Diamatinya pemuda itu dari ujung rambut sampai ke
kaki. "Kulihat kau membawa pedang di punggungmu,
paling tidak kau bukan orang biasa. Mustahil kalau
hanya kesasar ke sini, tanpa maksud-maksud lain
yang licik," ujar Nyai Nipah curiga.
"Nisanak, maksud licik apakah yang kau maksudkan" Apakah kau ingin mengatakan bahwa aku ke sini
karena mengetahui kau memiliki harta karun yang
berlimpah" Atau barangkali kau memiliki benda pusaka yang langka" Kalau kau menuduhku begitu, kau
salah alamat. Jangankan namamu dan daerah ini,
bahkan aku sendiri tadinya tak tahu bahwa di tempat ini ada penghuninya. Sampai
kedua muridmu itu datang dan tiba-tiba saja berkelahi. Kalau memang kau tak suka
dan curiga dengan kehadiranku, baiklah. Aku tak ingin memperpanjang persoalan.
Biarlah aku pergi saja," ujar Rangga sambil melangkah pelan.
"Tunggu!"
"Ada apa lagi, Nisanak?"
"Huh! Tak akan kubiarkan kau seenaknya berlalu
dari tempatku ini, sebelum aku yakin betul bahwa kau tak mempunyai maksud-maksud
buruk di sini!"
"Nisanak, aku tak ingin memperpanjang urusan.
Dengan cara apa aku bisa meyakinkanmu, bahwa kedatanganku ke tempat ini hanya kebetulan dan tak
membawa maksud buruk seperti dugaanmu."
"Bagus! Buktikanlah dengan caraku!"
Sring...! Rangga menggeleng lemah ketika melihat perempuan tua itu mencabut pedang dan memasang jurus,
siap untuk menyerang.
"Nisanak, tak bisakah kita bicara baik-baik tanpa
menggunakan kekerasan?"
"Justru aku telah bicara baik-baik, tapi kau malah
menyulitkanku dengan berpura-pura bodoh!"
"Apakah aku harus mengakui apa yang sebenarnya
tak kulakukan?"
"Tutup mulutmu! Buktikanlah sekarang juga bahwa
kata-katamu benar!" bentak Nyai Nipah sambil menyambar leher Rangga dengan ayunan pedangnya.
"Uts! Nisanak, sabarlah sedikit...."
"Yeaaa...!"
Tanpa mempedulikan kata-kata Rangga, Nyai Nipah
kembali menyerang dengan sengit ketika serangan per-tamanya dapat dielakkan
Pendekar Rajawali Sakti
dengan mudah. "Nisanak, aku tak ingin memperpanjang urusan. Tidakkah kau bisa mengerti?"
Tapi ucapan Pendekar Rajawali Sakti hanya ditanggapi dengan serangan-serangan yang semakin ganas.
Rangga jadi kesal dibuatnya. Serangan perempuan tua itu tampak hebat dan
mematikan, seperti menghadapi
musuh besar saja layaknya.
Rangga percaya, kalau terus-terusan mengelak pasti
ujung pedang lawan akan melukainya. Dengan menggeram hebat, pemuda itu melompat ke belakang. Tapi
Nyai Nipah terus menyusul dengan ringan. Pedangnya
berkelebat menyambar-nyambar tubuh lawan, menimbulkan desir angin kencang. Saat itu Rangga memainkan jurus pertahanannya yang hebat, 'Sembilan Langkah Ajaib'. Kedua kakinya bergerak lincah, dan tubuhnya meliuk-liuk seperti
orang menari saat menghindari
sambaran pedang lawan.
*** "Bagus! Agaknya dugaanku tak meleset. Kau ternyata bukan orang sembarangan. Dugaanku semakin
kuat bahwa kehadiranmu di sini pasti bermaksud buruk!" dengus Nyai Nipah.
"Kau terlalu memaksa dan menginginkan nyawaku,
Nisanak. Maka, sudah sepatutnya aku mempertahankan diri."
"Bagus! Jagalah jiwamu baik-baik, sebab kali ini
aku tak akan memberi hati lagi padamu. Tahanlah jurus pedang yang kuberi nama 'Kincir Setan Meranggas Lalang'."
Rangga sudah menduga, perempuan tua itu pasti
akan memainkan jurus pedang andalannya. Maka segera disambutnya dengan mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Ternyata dugaannya tidak keliru. Kelebatan pedang
Nyai Nipah sungguh dahsyat.
Sulit diikuti pandangan mata biasa. Bukan itu saja!
Pengerahan tenaga dalam yang hebat, membuat kulit
tubuhnya seperti dihantam deru angin kencang.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Heh! Rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'"!"
Ki Selapati terperangah melihat jurus silat yang di-mainkan pemuda berbaju rompi
putih itu. Kejadian itu begitu cepat terjadi. Seketika Pendekar Rajawali Sakti
mencabut pedang dan sinar biru yang menyilaukan
mata langsung menerangi tempat itu.
Trasss! Plak! Tuk! "Akh...!"
Nyai Nipah mengeluh pelan. Tubuhnya ambruk ke
tanah dalam keadaan tertotok. Pedang di tangannya
terpotong menjadi dua bagian. Sementara Pendekar
Rajawali Sakti berdiri tegak di depannya dengan pedang telah kembali tersarung dalam warangka.
"Eyang Guru...!" teriak ketiga murid Nyai Nipah
sambil menyerbu ke arah perempuan tua itu.
"Pemuda keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" bentak Ganatri sambil mencabut pedang dan menyerang pemuda yang telah mencelakakan gurunya.
"Bocah, tahan pedangmu!"
Ki Selapati membentak sambil berkelebat dan menyambar pedang di tangan Ganatri dengan tongkatnya, hingga terlepas dari tangan.
"Orang tua busuk! Apakah kau bersekongkol dengan pemuda keparat ini?"
"Tenanglah, Cah Ayu. Gurumu tak apa-apa. Dia
hanya salah tangan ingin mencelakai orang. Kalau saja pemuda itu berhati kejam,
tentu saat ini gurumu tak bernyawa lagi," jelas Ki Selapati.
Ganatri diam mematung dan memandang gurunya
seperti ingin minta penjelasan. Tapi Nyai Nipah menundukkan kepala dengan wajah sedih. Baru kali ini
dia menelan pil pahit, dikalahkan seorang pemuda
yang sama sekali tidak dikenalnya. Padahal namanya di dunia persilatan termasuk
dalam jajaran tokoh yang disegani, karena kehebatan ilmu silatnya.
"Maaf, Nisanak. Aku tak bermaksud berbuat lancang padamu. Tapi kau begitu telengas dan ingin mencabut nyawaku tanpa sebab.
Sudah sepatutnya aku
mempertahankan diri," ujar Rangga, sopan.
"Sudahlah, Nyai Nipah. Kau tak perlu berkecil hati
dengan kekalahanmu, sebab orang yang mengalahkanmu bukan tokoh sembarangan. Hm.... Siapa yang
mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti" Aku
sendiri pun mungkin tak mampu menghadapinya lebih
dari sepuluh jurus," hibur Ki Selapati.
"Pendekar Rajawali Sakti" Apakah yang kau maksudkan pemuda ini?" tanya Nyai Nipah seperti tak percaya.
"Siapa lagi kalau bukan dia?" jawab Ki Selapati,
sambil tersenyum kecil.
Nyai Nipah memperhatikan Rangga dengan seksama. Kemudian, kepalanya menggeleng lemah.
"Hm.... Rupanya aku terlalu lama bersembunyi di
tempat ini, sampai tak tahu kalau pendekar tersohor sepertinya berdiri di
depanku...."
"Sudahlah, Nisanak. Tak perlu dipersoalkan. Aku
sama sekali tak sehebat apa yang kalian kira. Maaf...."
Tuk! Tangan Rangga cepat bergerak membebaskan totokan Nyai Nipah. Kemudian kembali memberi salam
penghormatan pada kedua orang tua itu.
"Maafkan atas sikap kasar ku tadi. Rasanya persoalan di antara kita tak perlu diperpanjang lagi. Aku mohon diri untuk melanjutkan
perjalanan...."
"Tunggu dulu, Pendekar Rajawali Sakti!"
"Hm.... Ada apa" Apakah aku berbuat salah lagi?"
Ki Selapati tertawa kecil, kemudian berjalan mendekati pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kebetulan sekali kau berada di sini, Pendekar Rajawali Sakti! Nyai Nipah pasti tak keberatan mengun-dangmu ke tempatnya untuk
membicarakan persoalan
penting yang akan kusampaikan."
"Dari tadi kau membicarakan persoalan terus. Apa
sebenarnya yang akan kau bicarakan, Selapati?" tanya Nyai Nipah.
"Tak inginkah kau mengundang kami ke tempatmu?" Nyai Nipah bangkit dan mengajak mereka ke tempatnya. Sementara ketiga muridnya mengikuti dari belakang.
Mereka tiba di suatu tempat yang agak rendah, dikelilingi pohon-pohon lebat Di dekat kolam yang cukup luas, terdapat sebuah
pondok yang cukup besar. Nyai Nipah mengajak kedua tamunya ke dalam, dan bersama
ketiga muridnya, mereka duduk bersila di ruang
tengah. "Maaf! Di antara kami guru dan murid tidak ada
yang disembunyikan. Aku selalu mengajari mereka
akan hal itu. Jadi kalau ada suatu rahasia yang ingin dibicarakan, bicaralah di
depan kami berempat," jelas Nyai Nipah.
"Tak apa. Cerita ini perlu juga mereka ketahui," sahut Ki Selapati.
"Nah, katakanlah! Berita apa yang kau bawa?"
"Begini. Tahukah kau, beberapa hari lalu Perguruan
Batu Kumala tertimpa malapetaka" Banyak muridmuridnya yang binasa. Bahkan ketuanya sendiri, Ki
Satya Dharma, didapati tewas. Dan dua orang tamunya yaitu Ki Patih Meluwa dan Ki Danur Brata pun
tewas di tempat itu...."
"Apa..."!" Nyai Nipah tampak terkejut mendengar
berita itu. "Bukan hanya mereka, tapi serombongan mu- ridmurid dari Perguruan Bangau Sakti yang berasal dari seberang, binasa semua tanpa


Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketahuan siapa yang
melakukan. Tapi berat dugaan, pembantaian itu ada
kaitannya dengan peristiwa yang terjadi di Perguruan Batu Kumala."
"Siapa yang melakukan semua kebiadaban itu?"
"Katanya seseorang yang bernama Tato Begananda."
"Tato Begananda" Siapa orang berhati iblis itu?"
Nyai Nipah mengerutkan dahi.
*** "Entahlah! Aku pun belum pernah mendengar nama
itu sebelumnya. Hanya menurut beberapa orang yang
pernah menyaksikan sepak terjangnya, dia banyak
memiliki anak buah yang cukup tangguh. Selain itu,
dia pun memiliki kepandaian tinggi dan sulit dikalahkan. Orang itu tidak waras,
karena ingin menguasai
rimba persilatan dengan cara paksa. Harus ada yang
menghentikan kegilaannya, kalau tak ingin kembali
timbul korban," ujar Ki Selapati.
"Paman, apakah tokoh-tokoh persilatan tak ada
yang memikirkan hal ini, dan bersatu mencegah perbuatannya lebih lanjut?" tanya Rangga.
Ki Selapati tersenyum getir.
"Orang bernama Tato Begananda itu cepat atau
lambat akan mendatangi semua tokoh persilatan, dan
memerintahkan mereka untuk mengakuinya sebagai
penguasa seluruh jagat. Siapa yang berani menolak,
maka kematianlah yang akan diderita tokoh itu," jawab Ki Selapati.
"Hm.... Sungguh sadis orang itu!" dengus Rangga
geram. "Guru, orang seperti itu tak perlu diberi hati. Izin-kanlah aku menemuinya dan
memberi pelajaran," kata
Wangsa menimpali.
Nyai Nipah mengeluarkan suara tawa di hidung.
"Wangsa, tahukah kau bagaimana kehebatan Ki
Satya Dharma, Ki Patih Meluwa dan Ki Danur Brata"
Mereka bukan tokoh sembarangan. Bahkan aku sendiri tak yakin bisa menang, seandainya timbul pertarungan antara kami. Dengan cara
apa kau memberi pelajaran pada orang bernama Tato Begananda?"
"Eyang Guru, aku memang tak memiliki kepandaian
yang hebat, tapi harus ada orang yang menghentikan
sepak terjangnya yang biadab. Kalau tidak, akan semakin banyak korban yang
jatuh. Dan orang itu pun
semakin besar kepala."
"Apa yang kau katakan memang benar, tapi bertindak tanpa memikirkan kemampuan sendiri, sama artinya dengan perbuatan yang bodoh!"
"Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang?" tanya
Dewi seraya memandang gurunya.
"Ki Selapati, apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan lagi?" tanya Nyai Nipah kepada Ki Selapati, tanpa mempedulikan pertanyaan
muridnya. "Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi sebagai tokoh
golongan lurus, kita berkewajiban membereskan persoalan ini. Kalau tidak, orang itu akan terus merajale-la. Aku sendiri tak yakin
mampu mengalahkannya.
Menurut cerita terakhir yang kudengar, Tato Beganan-da telah mengobrak-abrik
Padepokan Suryalaga dan
membunuh Ki Suratman beserta seluruh muridmuridnya."
"Apa" Dia pun membunuh tokoh yang jarang mencampuri urusan orang lain itu"!"
Ki Selapati mengangguk.
"Keterlaluan! Orang itu betul-betul tak bisa dibiarkan!" geram Nyai Nipah.
"Tato Begananda tak ingin ada orang lain yang menyainginya. Begitu mendengar Ki Suratman termasuk
salah satu tokoh persilatan yang disegani, dia langsung mendatanginya."
"Hm.... Orang itu benar-benar berhati iblis. Aku jadi ingin melihat, bagaimana
tampangnya!" geram Rangga.
"Apakah kau bermaksud turun tangan...?" tanya Ki
Selapati. "Kemampuan yang kumiliki memang tak seberapa,
Ki. Tapi, biarlah ku coba menghadapinya!"
"Syukurlah bila kau bermaksud demikian. Hm....
Bila Pendekar Rajawali Sakti yang akan menghadapinya, dia bisa berbuat apa"!"
"Jangan memujiku begitu rupa, Ki Selapati. Aku
sama dengan kalian, yang masih memiliki banyak kekurangan."
"Tapi selama ini, siapa yang meragukan kemampuan yang kau miliki" Banyak sudah tokoh-tokoh sesat berilmu tinggi jatuh di tanganmu. Dan sekarang
banyak tokoh persilatan yang menyandarkan harapan
di tanganmu untuk membereskan Tato Begananda."
"Ah, aku hanya berusaha. Kalaupun nanti orang itu
sadar, itu karena kesadarannya sendiri dan bukan
paksaan dari siapa pun," sahut Rangga merendah.
"Jangan berharap terlalu banyak, Pendekar Rajawali Sakti. Orang gila seperti Tato Begananda tak akan pernah berpikir soal itu.
Yang ada dalam benaknya, setiap orang harus menghormati dan mengakuinya sebagai penguasa jagat yang tak terkalahkan!"
Nyai Nipah baru saja akan menimpali ketika terdengar suara menggelegar dari luar.
"Orang-orang yang berada di dalam pondok, keluarlah kalian!"
"Heh..."!"
Ketiga murid Nyai Nipah cepat bangkit, disusul perempuan tua itu, Ki Selapati, lalu Pendekar Rajawali Sakti. Pada jarak sepuluh
tombak di muka rumah, terlihat lebih dari dua puluh orang mengepung tempat
ini. Orang-orang itu hanya mengenakan cawat yang
terbuat dari kulit binatang. Seluruh muka dan tubuh mereka penuh coreng-moreng
berwarna-warni dengan
rambut acak-acakan. Sorot mata mereka tajam dan
liar. Mulai dari ikat kepala dan seluruh tubuh mereka digantungi kalung yang
terbuat dari tulang-belulang manusia. Dan pada setiap tangan mereka tergenggam
sebilah parang panjang yang tajam berkilat.
Berdiri paling depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia berbeda dengan yang lain. Wajahnya tampan,
namun sorot matanya amat
menakutkan. Rambutnya panjang digelung ke belakang, dan memakai baju yang terbuat dari kulit binatang. Di pinggang dan
lehernya terdapat banyak tulang-belulang manusia yang diuntai menjadi kalung.
Orang itu pun memiliki sebilah parang panjang yang
terselip di pinggangnya. Melihat gerak-geriknya, agaknya orang ini adalah
pemimpin gerombolan itu.
"Siapa di antara kalian yang bernama Nyai Nipah"
Aku, Tato Begananda, memerintahkanmu untuk tunduk dan berlutut di hadapanku. Dan mengakuiku sebagai penguasa jagat dan rimba persilatan!" ujar orang itu tegas sambil menatap
tajam ke arah mereka.
*** 5 Mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya,
bergetar juga hati Nyai Nipah dan Ki Selapati. Tak dis-angka, orang yang baru
saja dibicarakan tiba-tiba telah berada di depan mata. Tak sedikit pun terbias
sikap bersahabat dari mereka, dan tak terdengar sedikit pun basa-basi dari
ucapannya. "Manusia keparat! Jaga mulutmu dan jangan sembarangan bicara di tempat ini!" bentak Dewi jengkel sambil berkacak pinggang.
"Siapa kau, Anak Ingusan"! Menepilah, aku tak
punya urusan denganmu!"
"Huh! Dasar manusia sombong! Kau pikir dirimu
siapa, berani bicara seperti itu pada kami"!" timpal Wangsa tak kalah garang.
Tato Begananda tampak menyipitkan mata dan
memandang sinis pada keduanya. Kemudian tangannya menuding ke arah mereka sambil berkata garang.
"Kalian berdua, majulah!"
Wangsa dan Dewi saling pandang sesaat, lalu menatap Nyai Nipah seperti meminta persetujuan.
"Huh! Apakah kau pikir aku takut dengan gertakanmu itu"!"
Wangsa lebih dulu melesat, sebelum Nyai Nipah
memberikan jawaban.
"Wangsa, jangan gegabah!" bentak Nyai Nipah terkejut melihat sikap muridnya.
Begitu Wangsa menjejakkan kaki di dekat Tato Begananda, saat itu juga lima orang anak buahnya langsung menyerang ganas.
"Yeaaa...!"
"Dasar bajingan keparat! Apakah kebisaan kalian
hanya main keroyokan"!" geram Dewi sambil mencelat
dan mencabut pedangnya untuk membantu Wangsa.
Tapi saat itu juga melesat lima orang anak buah Tato Begananda. Mereka langsung menghadang dan menyerang gadis itu dengan garang. Parang di tangan mereka menderu-deru, seperti
hendak mencincang tubuh
ramping itu menjadi potongan- potongan kecil.
"Aku anggap ini jawaban kalian! Hm..., bagus! Ka Lembah Nirmala 27 Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Tragedi Berdarah Diponorogo 3

Cari Blog Ini