Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular Bagian 1
1 Udara dingin menyapu pelataran lembah subur di kaki Bukit Ular. Hari belum lagi
terlalu sore. Namun mendung tebal yang menyelimuti langit sejak siang tadi,
membuat suasana terlihat remang-remang. Dan, dalam keadaan begini, siapa pun
rasanya enggan keluar rumah. Tidak heran bila suasana di perkampungan di dekat
bukit itu sepi seperti di pekuburan.
Jauh di sebelah tenggara Bukit Ular, tampak lautan lepas yang membentang luas.
Jika menyusuri jalan kaki bukit yang seperti ular ini, maka akan terlihat bibir
pantai yang berkelok-kelok ditumbuhi tanaman bakau yang lebat serta pohon apiapi. Tempat itu memang jarang didatangi manusia. Bahkan tidak terlihat seorang
pun yang mau tinggal di situ. Bukan saja daerah itu angker, tapi juga banyak
dihuni binatang buas dan melata. Sebagian besar daerah itu pun kelihatan kering
dan tandus, serta sesekali diselingi semak-semak berduri. Padahal di kaki bukit
yang berjarak lebih kurang setengah harian bila ditempuh dengan berjalan kaki,
terdapat daerah subur yang ditumbuhi tanaman beraneka ragam. Tidak heran kalau
di situ banyak terdapat perkampungan. Bahkan di tempat itu terdapat sebuah
padepokan yang cukup ternama, seperti Desa Sedayu ini. Namanya, Padepokan Silat
Awan Putih. Walaupun ketua padepokan ini yang bernama Ki
Sawangan bukanlah tokoh terkenal, namun banyak
muridnya yang membantu kaum lemah dan tertindas.
Mereka tidak segan-segan mengulurkan tangan untuk
membantu sesama yang dilanda kesusahan. Sejak dulu apa yang diperoleh di
perguruan itu selalu diamalkan sebaik-baiknya. Itulah sebabnya, maka Padepokan
Awan Putih cukup dikenal di kalangan persilatan.
Dari hari ke hari. murid-murid yang berdatangan ke padepokan itu selalu berlipat
jumlahnya. Dan sejauh ini, Ki Sawangan selalu menerima dengan hati terbuka.
Walaupun, segala kebutuhan mereka di sini selalu apa adanya.
Ki Sawangan memang arif lagi bijaksana. Selain menekankan ilmu kedigdayaan, dia pun selalu memberi
petuah-petuah yang berguna dalam kehidupan.
Seperti sekarang ini. Orang tua itu tampak tengah
duduk di beranda depan, sementara murid-muridnya
duduk bersila di hadapannya beralaskan bumi. Duduk di sisi kiri dan kanannya
adalah empat orang murid utamanya. Masing-masing, Singalodra, Umblauran, Taji
Momongan, dan Ni Sekar Wangi. Merekalah yang selama ini menjadi tangan kanannya.
Sekaligus giat membantu melatih murid-murid yang lain.
"Seperti kalian ketahui sebelumnya, hari ini kita mengadakan kembali upacara
pelepasan murid-murid
padepokan yang telah lulus menuntut ilmu. Aku berpesan pada kalian semua,
hendaknya ilmu yang diperoleh di sini bisa berguna dan diamalkan sebaik-baiknya.
Ketahuilah! Segala yang ada di atas dunia ini tak ada yang sempurna, sesuai kodrat kita
sebaagai manusia. Maka jagalah sikap untuk selalu merendahkan hati. Sesungguhnya
rendah hati itu merupakan obat yang baik bagi kehidupan. Sedangkan sebaliknya,
sikap sombong serta mengagungkan diri
sendiri akan membawa kerugian. Bahkan selalu
mencelakakan kita ke jurang kenistaan...!" tutur Ki Sawangan dengan nada rendah,
namun terdengar cukup lantang.
Para murid mengangguk-angguk. Tidak ada seorang
pun yang berbisik-bisik untuk menimpali kata-kata si Orang Tua. Mereka memang
terbiasa bersikap tertib dan teratur.
Selesai memberi petuah, semua murid Ki Sawangan
bangkit berdiri. Lebih dari dua puluh murid perguruan ini, satu persatu memberi
salam hormat seraya mencium
punggung telapak tangan kanan gurunya. Adat yang
sederhana itu telah menjadi kebiasaan bagi setiap murid yang hendak meninggalkan
perguruan sebagai tanda bakti terhadap gurunya.
"Aku mohon pamit, Eyang...!"
Ki Sawangan tersenyum seraya menepuk-nepuk
punggung muridnya.
"Baik-baiklah menjaga diri, Jaka. Dan, sampaikan salam hormatku pada orang
tuamu," orang tua itu.
Pemuda bertubuh tegap yang dipanggil Jaka mengangguk, lalu kembali memberi hormat pada gurunya.
Kemudian dia memberi tempat pada yang lainnya untuk satu persatu bersimpuh di
kaki Ki Sawangan.
Dua puluh lima orang kini telah berbaris rapi dan siap meninggalkan padepokan.
Ki Sawangan tersenyum sekali lagi. Ada perasaan bangga campur haru dalam
hatinya. Tidak sia-sia mereka dididik jika kelak bisa membawa harum pada depokan ini. Dan
khususnya, pada diri mereka diri. Suasana tampak hening, ketika memasuki acara
pelepasan murid-murid padepokan yang persatu meninggalkan tempat ini. Namun
mendadak saja suasana hening itu dipecahkan satu teriakan panjang menyayat.
"Aaa...!"
"Hei"!"
Ki Sawangan terkejut. Begitu juga keempat murid
utamanya serta murid-murid lain. Suara itu dekat sekali persis di depan pintu
gerbang padepokan. Seketika
sebagian murid lain yang masih berada di ruangan ini mencemaskan beberapa murid
yang telah lebih dulu
meninggalkan perguruan.
"Apa itu"! Apa yang terjadi..."!" tanya Ki Sawangan, langsung melompat dari
kursinya. Namun belum lagi bergerak lima langkah, kembali
terdengar jeritan kesakitan dari mulut pintu gerbang. Kali ini tampaknya agak
jelas, apa yang telah terjadi. Tampak beberapa murid perguruan yang tadi keluar
lebih dulu, melayang ke halaman depan dalam keadaan sudah menjadi mayat. Sekujur
tubuh mereka hancur bermandikan darah!
Begitu berada di depan bangunan utama padepokan ini Ki Sawangan menggigil geram.
Juga yang lainnya. Mereka segera mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Tidak usah repot-repot mencari! Kami ada di sini!"
*** Tiga sosok bayangan tiba-tiba saja berkelebat, lalu
mendarat ringan di muka pintu gerbang perguruan. Mereka terdiri dari dua lakilaki bertampang seram, dan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Di
kedua pundaknya melilit selendang biru.
"Kisanak bertiga, siapa kalian..."!" sentak Ki Sawangan lantang.
"Kami bertiga yang disebut penghuni Pulau Ular...!"
sahut seorang laki-laki yang bertubuh agak pendek dan berkulit hitam, sambil
mendengus sinis. Di pinggangnya tergantung sebuah kapak besar bermata dua
berwarna hitam. Sepasang biji matanya tampak melotot keluar.
Hidungnya pesek serta agak besar. Dan dia dikenal
sebagai Kolo Denowo.
Ki Sawangan terkejut bukan main begitu mendengar
tempat asal ketiga orang ini. Siapa yang tidak kenal penghuni pulau itu" Di sana
bercokol seorang datuk sesat yang memiliki kepandaian laksana dewa. Dan kalau
ketiga orang ini mengaku sebagai penghuni pulau itu, maka siapa lagi kalau bukan
murid tokoh sakti dari Pulau Ular"
"Kisanak! Di antara para penghuni Pulau Ular dengan Perguruan Awan Putih tidak
ada permusuhan apa-apa.
Kenapa kalian berbuat begitu telengas pada muridmuridku?" tanya Ki Sawangan minta penjelasan.
"Huh! Kau benar. Tua Bangka! Tapi secara tidak langsung kalian telah menciptakan
permusuhan dengan kami!" sahut laki-laki yang bertubuh agak kurus dan berwajah
lonjong. Sepasang matanya agak menyipit. Seluruh permukaan kulitnya berwarna
coKiat kusam seperti bersisik. Dan dia dikenal sebagai Ki Sanca Ireng. Senjata
andalannya adalah sebuah tongkat dari tubuh ular yang telah dikeringkan.
Kehebatannya, tongkat itu mengandung bisa ular yang amat mematikan.
"Apa maksud kata-katamu?" sahut Ki Sawangan dengan dahi berkerut.
"Jangan pura-pura bodoh!" dengus yang wanita.
Nama wanita ini adalah Nyi Ayu Supraba. Wajahnya
dingin dan nyaris tanpa senyum. Meski begitu, bekas kecantikannya di masa muda
masih terlihat. Dia terlihat tidak bersenjata. Namun sesungnya selendang yang
dikenakannya merupakan senjata yang amat menakutkan.
Tenaga dalamnya mampu dikerahkan pada selendang yang lemas itu, sehingga menjadi
kaku dan tajam laksana mata pedang. Dan bila dikebutkan ke arah lawan, maka akan
tercium bau harum yang amat memabukkan.
"Kisanak! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kalian bicarakan" Kami sama
sekali tidak pernah meng-usik penghuni Pulau Ular. Bagaimana kalian bisa
mengatakan kalau secara langsung kami sudah menciptakan permusuhan?" tanya Ki
Sawangan lagi. "Dengarlah, Orang Tua bau tanah! Sesungguhnya bukan hanya perguruanmu saja yang
menciptakan permusuhan dengan kami. Tapi, juga seluruh perguruan serta tokoh
silat di daratan ini! Ingatkah kalian pada Dewi Tangan Darah"
Kalian langsung mengadakan pesta besar-besaran menyambut kematiannya. Itu penghinaan besar bagi kami.
Apalagi dia adalah salah satu adik seperguruan kami!
Kalian boleh mendapat pengampunan jika bisa menunjukkan di mana pemuda yang
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti"!" tegas Ki Kolo Denowo disertai rasa
kegeramannya pada tokoh papan atas yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Sawangan mengangguk pelan, mulai mengerti apa
maksud ketiga penghuni Pulau Ular itu.
"Kisanak! Boleh saja kalian mendendam pada Pendekar Rajawali Sakti. Namun
membinasakan murid-muridku
secara seenaknya, sungguh perbuatan sewenang-wenang yang tidak bisa kuterima
begitu saja!" ujar Ki Sawangaa
"Hm... Jadi benar kalau kau memang cari urusan dengan kami"!" dengus Ki Sanca
Ireng. "Kisanak! Kalianlah yang membuat urusan denganku.
Aku sama sekali tidak tahu-menahu soal Pendekar
Rajawali Sakti yang telah membinasakan adik seperguruan kalian. Juga, tidak
pernah ikut-ikutan dalam urusan itu.
Lalu, tiba-tiba saja kalian mengamuk di tempatku. Apa namanya kalau bukan
mencari gara-gara"!" balas Ki Sawangan dengan suara lantang.
"Orang Tua Busuk! Tutup mulutmu! Kau kira bisa berbuat apa pada kami, he"!
Jangan karena kami beri hati, maka kau bisa bicara seenak perut!" desis Nyi Ayu
Supraba geram "Hm... Penghuni Pulau Ular memang sombong dan merasa dirinya paling hebat hingga
merasa bisa berbuat apa saja pada orang lain. Kisanak! Aku memang orang tua
lemah. Namun bila kepalanya diinjak, semut pun akan menggigit!"
"Bagus! Kau telah menentukan nasibmu. Orang Tua.
Nah! Sekarang, lihatlah akibatnya!"
Bersamaan dengan itu, Nyi Ayu Supraba langsung mencelat menyerang Ki Sawangan.
Ketua Padepokan Awan Putih itu jadi terkesiap.
Demikian pula semua muridnya. Gerakan wanita itu cepat bukan main. Bahkan
rasanya sulit dielakkan. Kecuali dengan menjatuhkan diri. Seketika Ki Sawangan
membuang diri ke tanah, dan langsung bergulingan.
"Yeaaat..!"
Nyi Ayu Supraba telah kembali mencelat menyerang,
sebelum orang tua itu sempat bangkit berdiri.
Sambil bergulingan, Ki Sawangan secara untunguntungan mencoba menangkis dengan tangannya.
Plak! Namun kesudahaannya, orang tua itu mengeluh sendiri.
Pergelangan tangannya linu seperti menghantam batu baja saat menangkis tendangan
Nyi Ayu Supraba. Dan sebelum sempat menyadari, tendangan kaki kanan wanita itu
kembali meluncur ke arah dada.
Blagh! "Aaahh...!"
Orang tua itu menjerit kesakitan. Tubuhnya makin deras bergulingan di tanah,
begitu tendangan Nyi Ayu Supraba telak menghantam dadanya. Darah segar tampak
menetes dari sudut bibirnya.
Wanita itu agaknya tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Ki Sawangan. Belum
juga orang tua itu bangkit, sudah langsung diberi pukulan maut jarak jauh berisi
tenaga dalam tinggi yang cepat menggeledek.
"Mampus! Hih!"
"Oh...."
Ki Sawangan hanya mampu terkesiap dengan mata
melotot lebar. Dan....
Prak! "Aaah...!"
Wanita itu memang lihai bukan main. Kepala Ketua
Padepokan Awan Putih itu kontan hancur remuk terkena hantamannya. Dan nyawanya
melayang saat itu juga.
*** "Wanita Iblis! Tindakanmu benar-benar di luar batas kemanusiaan!" desis
Singalodra dengan wajah geram dan tubuh gemetar.
Sementara itu, ketiga saudara seperguruan serta murid-murid lain menghambur
menghampiri tubuh Ki Sawangan.
"Mau apa kau"! Mau menyusulnya" Ayo, ke sini!" sahut Nyi Ayu Supraba enteng sam
berkacak pinggang.
"Wanita Jahanam! Kami tidak akan tinggal diam, setelah perbuatan terkutukmu
ini!" bentak Sekar Wangi tajam.
"Hei"! Tidak usah banyak mulut! Kalau kalian mau balas dendam, ayo maju!
Sekalian semua maju bersama!" sentak Nyi Ayu Supraba, galak.
"Iblis Sombong! Jangan dikira kami takut. Huh!" Taji Momongan segera menghunus
pedangnya. Sring! Tindakan laki-laki itu kemudian diikuti murid-murid yang lain. Mereka segera
mengurung Tiga Penghuni Pulau Ular dengan wajah penuh dendam dan nafsu membunuh.
Kematian Ki Sawangan yang amat mengenaskan, sudah
cukup membuat hati mereka bagai diiris-iris.
"Huh! Sekumpulan kerbau-kerbau dungu sudah hendak berlagak pada penghuni Pulau
Ular. Kalian hanya menemui kematian secara sia-sia!" dengus ki Kolo Denowo
dingin. Beda dari dua saudaranya yang lain, Nyi Ayu Supraba agaknya sudah tidak sabar.
Wanita itu sudah langsung melompat menerjang.
"Yeaaat..!"
Bruaaak! "Aaaa...!"
Nyi Ayu Supraba memang wanita berhati kejam dan
sama sekali tidak mengenal kasihan. Pukulan mautnya langsung menyambut, membuat
murid-murid Padepokan
Awan Putih yang mengurungnya terpental dan binasa
dengan tubuh remuk. Sedang yang memiliki kepandaian cukup lumayan, terhindar
dari bahaya, karena sudah buru-buru melompat menghindar.
"Hiyaaat..!"
Trang! Breeet! "Aaaa...!"
Meski korban di pihak murid-murid Padepokan Awan
Putih berjatuhan terus dalam waktu singkat, namun
semangat mereka bukannya mengendor. Malah sebaliknya, semakin menyala-nyala. Agaknya mereka tidak mempedulikan nyawa sendiri lagi
karena tidak mau harga dirinya diinjak-injak.
Tapi mana mungkin semua itu dipedulikan penghuni
Pulau Ular" Mereka adalah tokoh-tokoh berhati kejam yang mampu membunuh manusia
tanpa berkedip. Dan pem-bantaiannya yang dilakukan saat ini begitu menyenangkan
mereka, seperti anak kecil mendapatkan mainan kesuka-annya.
Ketiga penghuni Pulau Ular memang bukan tandingan
murid padepokan. Jika Ki Sawangan saja bisa mudah
dibinasakan dalam waktu singkat, maka sesungguhnya perlawanan mereka sama sekali
tidak ada artinya. Padahal ketiga tokoh itu saat belum lagi menggunakan senjata.
"Manusia Keparat! Tahan seranganku ini!" desis Singalodra geram, langsung
menyerang Ki Kolo Denowo yang berada dekat dengannya.
Wuuut! Dengan mudah Ki Kolo Denowo menunduk, sehingga
golok Singalodra luput dari sasaran.
Plak!
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu tangan kanannya bergerak cepat, menangkap
pergelangan tangan Singalodra. Dan bersamaan dengan itu. tangan murid Padepokan
Awan Putih ini dipelintir ke belakang. Sedangkan kaki kirinya menghantam seorang
murid Perguruan Awan Putih yang hendak membantu
Singalodra. Kraaak! Singalodra menjerit kesakitan begitu tangan dipelintir ke belakang. Tulang
lengannya kontan patah. Sementara, murid perguruan yang bermaksud membantu
Singalodra langsung terjungkal dengan dada remuk. Begitu ambruk di tanah dia
tewas seketika.
Duk! "Aaakh...!"
Ki Kolo Denowo agaknya tak ingin bertindak kepalang tanggung. Langsung saja
tengkuk Ki Singalodra dihajar dengan pukulan keras. Sekali lagi, orang itu
menjerit tertahan. Lalu, begitu jatuh menggeloso di tanah, dia tewas dengan
leher patah! Pada saat yang hampir bersamaan, Umblauran pun
tewas di tangan Ki Sanca Ireng. Dan saat ini, terlihat Nyi Ayu Supraba tengah
mendesak Taji Momongan serta Sekar Wangi.
"Heaaat...!"
Kedua murid utama Padepokan Awan Putih itu
membentak nyaring dan menghantam Nyi Ayu Supraba
dengan mengerahkan segenap tenaga.
Tapi, Nyi Ayu Supraba hanya tersenyum dingin. Tubuhnya cepat melejit ke atas
menghindari serangan lawan, lalu balas menghantam dengan pukulan maut.
"Hiiih!"
Prak! Seberkas sinar kehitaman seketika melesat ke arah Taji Momongan. Namun murid
padepokan ini cepat membuang diri ke samping, langsung bergulingan. Akibatnya,
sungguh malang bagi Sekar Wangi yang ada di belakang. Wanita itu kontan menjerit
begitu jadi sasaran pukulan lawan.
Blesss...! "Aaakh...!"
Tubuh wanita itu terjungkal ke tanah, dalam keadaan remuk bermandikan darah. Dia
hanya sempat mengeluarkan keluhan tertahan, sebelum nyawanya lepas dari raga!
"Sekar Wangi"! Oh, tidak! Tidaaak...!"
Taji Momongan tersentak kaget melihat keadaan itu.
Buru-buru dikejarnya tubuh Sekar Wangi, dan dipangkunya dengan pahanya. Wajahnya
tampak muram bercampur
kelam. Dan untuk sesaat, hatinya seperti hancur berkeping-keping.
Selama ini secara diam-diam, memang telah terjalin hubungan intim antara Taji
Momongan dengan Sekar
Wangi. Dan secara diam-diam pula semua murid yang lain telah mengetahui. Bahkan
mereka mempunyai rencana
akan memohon restu Ki Sawangan pada hari ini, setelah usai pelepasan muridmurid, untuk mengikat hubungan ke dalam tali perkawinan. Tapi sekarang, semua
itu hanya tinggal mimpi. Dan Taji Momongan tidak kuasa menahan perasaan sedih
dan haru. Tubuhnya bergetar hebat ketika berbalik dan memandang tajam ke arah
wanita yang telah membunuh kekasihnya.
"Iblis Keparat! Kau akan kubunuh dengan kedua belah tanganku!" desis laki-laki
itu geram. "Huh! Banyak mulut! Lakukanlah kalau mampu! Sengaja kudiamkan kau sejenak untuk
memberi napas dan
sekaligus berdoa untuk kematianmu!" dengus Nyi Ayu Supraba sinis.
Taji Momongan memutar pedangnya, lalu merapatkannya dengan wajah. Sepasang matanya seperti tidak berkedip memandang ke arah
wanita itu. Telinganya
dibuka lebar-lebar untuk mendengar segala sesuatu gerak yang mencurigakan
seandainya lawan yang lain bermaksud membokong.
"Yeaaat..!"
"Uts!"
Pedang murid Padepokan Awan Putih itu berkelebat
menyambar ke arah leher dan langsung ke pinggang.
Kelihatannya cepat dan hebat sekali. Namun hal itu sama sekali tidak berarti
apa-apa bagi Nyi Ayu Supraba. Wanita itu cepat melejit ke atas, lalu bergulungan
mendekati Taji Momongan. Dan, tiba-tiba pukulan dihantamkan dengan telapak
tangan kanan terkembang.
"Hiiih!"
"Uhhh...!"
Taji Momongan cepat menjatuhkan diri, dan bergulingan menghindar. Namun jantungnya terasa berdegup kencang dan tidak
beraturan. Kulitnya terasa panas ter-bakar. Mendadak saja satu tendangan Ki
Sanca Ireng menyusul, dan begitu angin pukulan lewat di sisinya memaksa Taji
Momongan melompat ke belakang. Namun
seketika hantaman telapak tangan kiri Nyi Ayu Supraba telah menantinya. Dan....
Begkh! Taji Momongan langsung menjerit keras, begitu pukulan Nyi Ayu Supraba mendarat
telak di dadanya. Tubuhnya kontan ambruk di tanah dalam keadaan bermandikan
darah. Tewas! "Aaaa...!"
"Huh! Dikira bisa berbuat apa pada kita!" dengus Nyi Ayu Supraba sinis.
"Sia-sia kita ke sini. Lebih baik kita cari ke tempat yang lain!" sahut Ki Kolo
Denowo, setelah menghabisi lawan-lawannya yang terakhir.
"Betul! Tanganku sudah gatal untuk menghancurkan batok kepala Pendekar Rajawali
Sakti keparat itu!" desis Ki Sanca Ireng geram.
"Tapi ke mana kita harus mencarinya?"
"Kenapa mesti bingung-bingung. Ayu" Orang itu katanya terkenal. Dan kurasa semua
tokoh silat pasti tahu, di mana dia berada. Kecuali kalau mereka berusaha
menyembunyi-kannya!"
"Betul apa yang kau katakan, Ireng! He, siapa pun yang berusaha melindunginya
akan mampus!"
"Hua ha ha...! Dia kira bisa bermain-main dengan penghuni Pulau Ular!" sambut Ki
Sanca Ireng, diringi tawa terbahak.
"Sudah, jangan banyak mulut! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini secepatnya!"
ajak Ayu Supraba seraya mencelat cepat dari situ.
Ki Sanca Ireng dan Ki Kolo Denowo mengikuti dari
belakang. Ketiganya memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.
Gerakan mereka juga luar biasa.
Maka dalam waktu singkat saja, bayangan mereka telah lenyap tanpa bekas!
*** 2 Dua orang pemuda tengah berjalan tenang di sebuah jalan di pinggir sebuah desa.
Sesekali salah seorang menendang kerikil-kerikil yang menghalangi jalan.
Tendangan itu kelihatan remeh saja. Namun, kerikil itu ternyata mencelat dan
menghantam batang kayu. Bahkan membuat kulit
kayu itu somplak.
"Gila! Kalau kena aku bagaimana, Soma?" rutuk salah seorang pemuda dengan wajah
gondok. Dia memang
berjalan agak ke depan.
Pemuda berusia dua puluh lima tahun yang dipanggil Soma hanya terkekeh kecil.
"Mana mungkin, Kemong! Kau kira batu kerikil itu ketendang ke arahmu"!" kilah
pemuda yang sebenarnya bernama Somadipura. Langsung disusulnya pemuda yang
dipanggil Kemong itu. Lalu ditepuk-tepuknya pundak kawannya.
"Iya, memang tidak. Tapi kalau meleset?"
Somadipura terkekeh kecil.
"Apa kau kira aku selengah itu?"
"Hm.... Murid Eyang Anggadita ternyata juga pintar bersilat lidah!" sahut Kemong
sambil menggeleng pelan.
"Sudahlah. Kau ini bisa saja bicara. Hari ini aku tengah bergembira, karena
kedua orang tua Lestari telah
menyetujuiku sebagai calon menantunya. Kau dengar, Mong"! Lima tahun aku menanti
saat seperti ini. Dan baru sekarang kesampaian!" Kata Somadipura dengan wajah
tampak cerah dan mata berbinar-binar.
"Aku iri padamu, Soma. Lestari gadis setia. Padahal saat kau berguru, ada
seorang juragan kaya yang melamar.
Orang tuanya setuju saja, kalau Lestari setuju. Tapi Lestari malah menolak
habis-habisan!"
Somadipura kembali terkekeh senang.
"Hei" Kau sendiri, bagaimana" Sudah menemukan calon pilihan?"
Kemong tersenyum pahit sambil menggeleng lemah.
"Hmmm... Mana ada gadis yang mau denganku?" sahut Kemong putus asa. "Wajahku
tidak setampanmu. Lagipula, aku bukan orang berada. Tidak ada gadis yang mau
menjadi kekasihku...," desah Kemong.
"Hei" Jangan berkata begitu, Sobat. Dunia tidak selebar daun kelor. Masih banyak
gadis lain di dunia ini yang bisa dipilih asal kau tidak takut-takut mendekati
mereka...!"
hibur Somadipura.
"Aku hanya malu pada diriku sendiri...," sahut Kemong lesu.
"Itulah kelemahanmu. Wajahmu tidak terlalu buruk. Dan soal kaya, bukan menjadi
ukuran setiap gadis. Kau harus yakin! Tumbuhkan rasa percaya diri dan jangan
cepat putus asa!" kata Somadipura memberi semangat
Kemong menghela napas pendek. Lalu kepalanya
menoleh pada kawannya.
"Ya, mungkin kau benar juga...," kata Kemong lemah.
Somadipura kembali menepuk pundak kawannya
sambil tersenyum lebar.
"Percayalah. Kau pasti bisa...." lanjut Somadipura kembali meyakinkan hati
kawannya. "Aku naksir si..."
"Kokom, bukan"!" tebak Somadipura memotong pembicaraan Kemong. Kemong tersipu
malu. "Nah! Tidak perlu takut. Kau harus berani bicara terus terang. Dan katakan,
bahwa kau suka padanya!" tandas Somadipura.
"Tapi Ki Ganda pun sepertinya suka padanya..."
"Alaaah! Apa urusannya dengan tua bangka tukang kawin itu" Mana mungkin si Kokom
mau dengannya!"
"Tapi si Kokom mau!"
"Dari mana kau tahu?"
"Banyak yang bilang begitu.... "
Kemong terdiam dan terus melangkah pelan. Wajahnya tampak lesu, meski Somadipura
menghiburnya berkali-kali.
"Sudahlah. Kalau memang dia tidak suka, eh...!"
Somadipura menghentikan kata-katanya ketika melihat seorang gadis berjalan pada
arah yang berlawanan. Bola matanya berbinar dan senyumnya terkembang.
Agaknya Kemong pun melihatnya. Dan wajahnya pun
tampak berbinar seraya menepuk pundak sobatnya.
"Nah, kalau bisa yang seperti ini!" kata Kemong.
"Hus, sial! Jangankan kau. Aku pun mau!"
"Sial! He, apa kau langsung lupa pada Lestari?"
Somadipura tidak mempedulikan. Langsung langkahnya dipercepat. Segera
dihadangnya jalan gadis itu. Sedang Kemong mengikuti dari belakang dengan
jantung berdegup kencang.
"Mau ke mana Nisanak" Bolehkah mengantarkanmu pulang...?" sapa Somadipura sambil
cengar-cengir. Gadis itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya
Somadipura dengan kening berkerut. Kemudian bibirnya tersenyum kecil, lalu
menggeleng pelan.
"Tidak, terima kasih. Aku bisa berjalan sendiri...," tolak gadis itu halus.
"Amat berbahaya bagi seorang gadis secantikmu jalan seorang diri...," bujuk
Somadipura. "Aku sudah biasa...."
Somadipura mendecah disertai gelengan kecil. Sesaat matanya mengamati pedang di
punggung gadis cantik ini, lalu berbalik merendengi langkahnya.
"Hm.... Bisa jadi memang sudah biasa. Tapi dengan membawa-bawa pedang begitu,
bukan berarti semua laki-laki iseng bisa ditakut-takuti," sindir Somadipura.
Gadis itu tersenyum, lalu memandang Somadipura
kembali. "Hm.... Kau kira pedangku ini sebagai hiasan belaka?"
kata gadis itu disertai senyum sinis.
"He, bagaimana menurutmu, Mong...?" tanya Somadipura seraya tersenyum lebar dan
menyikut lengan kawannya. "Eh! Aku... aku...." Kemong jadi tergagap, tak tahu
harus berkata apa.
"Apa kau kira laki-laki iseng akan takut melihat pedang itu?"
"Mana kutahu...," sahut Kemong, gugup.
Kata-kata Kemong terhenti, ketika sikut Somadipura kembali menyodok dadanya.
Wajah Somadipura tampak
kurang senang sambil mengedipkan mata untuk
sekelebatan. Lalu wajahnya kembali dipasang cerah ketika berhadapan dengan gadis
itu. "Nah, betul kan kataku" Tapi bila kau berjalan dengan seorang laki-laki
sepertiku misalnya, maka tidak ada seorang pun yang berani mengganggumu!" kata
Somadipura, agak menyombongkan diri.
"Begitukah?" sahut gadis itu seraya tersenyum kembali.
Namun tiba-tiba gadis ini mencabut pedangnya. Bahkan raut wajahnya pun berubah.
"Coba buktikan kata-katamu. Dan, tahan seranganku!
Sekiranya kau mampu bertahan kurang dari tujuh jurus ilmu pedangku, maka
tawaranmu kuterima!" ujar gadis itu lagi.
*** "He, benarkah..."!"
Wajah Somadipura berbinar. Agaknya dia merasa yakin, mampu melakukan apa yang
ditawarkan gadis itu. Sama sekali kemampuan gadis itu dianggap remeh.
"Lihat serangan!" bentak gadis itu sudah langsung mengarahkan pedang ke
tenggorokan Somadipura.
"Uts!"
Bukan main terkejutnya Somadipura melihat gerakan
gadis ini yang cepat bukan main. Kepalanya cepat
mengegos. Dan ketika pedang gadis ini membabat
pinggang, tubuhnya cepat melompat ke atas.
"Hup!"
"Yeaaat!"
Baru saja kaki Somadipura menyentuh tanah, gadis itu langsung melepaskan satu
tendangan keras. Untung saja pemuda itu masih mampu menghindari dengan menggeser
tubuhnya ke kiri. Namun, bersamaan dengan itu, ujung pedang gadis ini terus
menyambar ke arah lambung. Cepat bagal kilat, Somadipura meliukkan tubuhnya.
Agaknya gadis itu tidak berhenti begitu saja. Serangannya segera disusul dengan
menyodokkan kepalan tangan ke arah
dada. Kembali Somadipura harus melompat ke belakang.
Namun, gadis itu terus mencecarnya. Baru saja kaki Somadipura mendarat, pedang
gadis itu telah berkelebat ke perut. Dan...
Breeet! "Uhhh...."
Untung saja ujung pedang itu hanya menyambar baju di bagian perut Somadipura.
Namun itu cukup membuat
pemuda ini tersentak kaget. Dan dia segera bergerak ke kiri, untuk menghindari
serangan selanjutnya. Namun kaki kiri gadis ini telah keburu menghantam
perutnya. Maka....
Duk! "Uhhh...."
Somadipura mengeluh tertahan begitu tendangan kaki kiri gadis itu mendarat telak
di perutnya. Langkahnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dia berusaha
memperbaiki keseimbangan tubuhnya, namun ujung
pedang gadis itu telah menempel di tenggorokannya.
Wajah Somadipura kontan pucat. Dan tanpa sadar,
keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuhnya.
"Hm. Hanya seginikah kemampuanmu?" dengus gadis itu dingin, sambil menekan ujung
pedangnya. "Eh! Aku... aku...."
"Huh!" dengus gadis itu. Lalu pedangnya disarungkan kembali. "Kalau baru punya
kepandaian setahi kuku, jangan coba-coba sok jadi pahlawan."
Setelah berkata begitu, gadis ini segera meninggalkan Somadipura dengan langkah
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenang. Sementara, pemuda itu menghela napas lega. Namun, kerongkongannya masih
terasa kering dan lidahnya sedikit kelu. Masih sulit dipercaya kalau gadis
cantik yang kelihatannya lemah dan tidak berdaya itu mampu menundukkannya dalam
waktu singkat! "Apa kataku! Kau terlalu yakin dan memandang
enteng!" gerutu Kemong sambil mengeleng lemah.
"Lagipula, kau kena kutukan Lestari. Berani-beraninya mencoba menyeleweng.
Padahal, sebentar lagi kau akan kawin!"
"Alaaah! Diam kau!" sentak Somadipura kesal. Kemong langsung terdiam. Namun,
perlahan-lahan mengembangkan senyum. Tampaknya Somadipura masih penasaran
betul dengan gadis tadi. Buktinya meski dengan langkah tertatih-tatih, pandangan
mata pemuda itu masih terus memandangi gadis tadi dengan perasaan gemas.
"Suatu saat, dia akan tahu siapa aku!" desisnya Somadipura geram.
"Coba lihat! Langkah gadis itu kelihatan tenang sekali.
Hm... kelihatannya dia sama sekali tidak takut pada siapa pun. Seharusnya kau
mengerti dan tidak meremehkannya begitu saja," ujar Kemong.
"Kemong! Sekali lagi kau memanasi aku, akan kuhajar kau!" geram Somadipura,
semakin kesal saja mendengar ocehan kawannya.
Kemong kembali terdiam. Namun, dia masih saja belum bisa menahan rasa geli di
hatinya. "Hei, siapa itu"!" sentak Somadipura.
Di depan sana, Somadipura melihat dua orang laki-laki berwajah seram tengah
menghadang gadis yang tadi di-godanya. Melihat gelagat yang tidak baik, segera
diajaknya Kemong untuk mendekat.
"Lebih baik kita tidak usah mencampuri urusannya.
Nanti kau kena getahnya lagi," sahut Kemong memperingatkan.
"Gadis itu dalam bahaya. Dan kita harus membantunya!"
"Apa yang bisa kita bantu" Dia bisa menjaga dirinya sendiri!"
"Alaaah, sudah! Ayo...!" sentak Somadipura, langsung melangkah lebar mendekati.
Mau tidak mau Kemong terpaksa mengikuti. Apa yang
diduga Somadipura memang tepat. Karena tiba-tiba saja, salah seorang dari lakilaki berwajah kasar itu telah menyerang gadis tadi sambil menyeringai lebar
penuh nafsu. "Ha ha ha...! Gadis Manis! Kau kira bisa lari begitu saja dariku, he"! Hari ini
Prapanca alias Macan Loreng Hutan Mauk akan mendapatkan gundik yang menarik,
sebagai penghias istananya. Ha ha ha...!" kata laki-laki yang bernama Prapanca
dan berjuluk Macan Loreng Hutan
Mauk ini. "Manusia Buruk, cis! Kau boleh hanyut dalam mimpimu itu...!" sentak gadis itu.
"He!" Kenapa tidak" Kau kira aku tidak bisa
menangkapmu"!"
"Huh!"
Gadis itu mendengus dingin seraya melompat ke atas.
Sementara Macan Loreng Hutan Mauk mengejar dengan
gesit. Tubuh Prapanca yang gemuk, mestinya hanya bisa bergerak lamban dan kaku. Namun
yang terlihat justru
sebaliknya. Dia mampu bergerak gesit. Dan dari desir angin serangannya, terasa
kalau tenaganya amat kuat.
"He he he...! He, Prapanca! Apa kau mau terus main kejar-kejaran dengannya"
Sudah! Cepat tangkap dia. Aku sudah tidak sabar ingin mendekap gadis liar ini!"
teriak laki-laki bertubuh kekar, kawan dari Prapanca.
"Tutup mulut, Dasgiwa! Dia milikku. Dan kau tidak boleh menyentuhnya sedikit
pun, sebelum aku benar-benar
bosan!" teriak Macan Loreng Hutan Mauk geram.
"Ha ha ha...!"
Dasgiwa tertawa lebar. Namun nada tawanya jelas
mengejek. Karena telah dua jurus berlangsung, tapi Prapanca belum juga mampu
menaklukkan gadis itu.
Dan itu dirasakannya betul oleh Prapanca sendiri.
Bahkan sudah membuat kemarahannya meluap-luap.
Wajahnya kelihatan geram. Lalu dengan satu bentakan nyaring. Macan Loreng Hutan
Mauk mengamuk hebat.
"Yeaaat...!"
Sring! Gadis itu bukannya tidak mengerti gelagat. Maka
pedangnya sudah langsung dicabut.
Bet! Bet! "Uhhh...."
Senjata gadis itu berkelebat hebat, menyambar ke
seluruh tubuh Prapanca dengan kecepatan sulit diikuti pandangan mata biasa.
Namun begitu, Prapanca mampu menghindarinya dengan gesit. Bahkan sesekali
telapak tangannya menghantam, sehingga menimbulkan desir
angin kuat bagai hantaman gada.
Wuuut! Dalam suatu kesempatan, pedang di tangan gadis itu menyambar ke depan. Dan tahutahu, tubuh Prapanca
berkelebat cepat hingga seperti lenyap dari pandangan.
Gadis itu jadi terkejut. Dan mendadak saja pergelangan tangannya tercekal.
Plak! "Uhhh...."
Dengan sekali sentak, pedang gadis itu terlepas. Lalu tahu-tahu tangannya
terpelintir ke belakang. Gadis itu mencoba menyikut dengan tangan yang satu
lagi. Namun dengan tangkas, Prapanca menangkap dan mencekalnya erat-erat.
"Ouw...!" jerit gadis itu kesakitan.
"He he he...! Sekarang kau bisa berbuat apa" Kalau kau menurut tentu tidak akan
begini jadinya!"
Sementara dari kejauhan, Somadipura dan Kemong
tersentak. Keberanian mereka yang tadi bangkit pelan-pelan, kini semakin ciut
dan terus menyusut.
"Bagaimana ini, Mong?" tanya Somadipura dari balik semak-semak lebat.
"Mana kutahu"! Tadi kau yang mengusulkan kita ke sini...."
"Aduuuh, kasihan gadis itu. Tapi kita bisa berbuat apa"
Kalau orang itu mampu meringkusnya dalam waktu
singkat, tentu kepandaiannya amat hebat. Dan kawannya, paling tidak memiliki
kepandaian yang tidak berbeda. Kita berdua tidak ada artinya sama sekali kalau
coba menolong," keluh Somadipura.
"Makanya...!" gerutu Kemong kesal.
"Hei, coba lihat! Ada orang datang!" sentak somadipura tiba-tiba.
"Mana" Mana"!"
*** Kemong menegaskan pandangan. Dan di depan sana,
tampak seorang pemuda berbaju rompi putih di atas
seekor kuda berbulu hitam telah berada di tempat itu!
"Kisanak, lepaskan gadis itu!" bentak pemuda berbaju rompi putih itu.
"Heh"!"
Prapanca mendengus geram. Demikian juga kawannya.
Sebaliknya, gadis itu terkejut. Wajahnya seketika begitu gembira, melihat orang
yang baru muncul.
"Kau..., kau...."
Pemuda berbaju rompi putih itu tersenyum, kemudian kembali mengalihkan perhatian
pada kedua laki-laki bertampang seram.
"Kisanak! Akan kau apakan adikku ini" Lepaskan dia!"
ulang pemuda itu.
"Bocah ingusan tidak tahu diri! Hei"! Kau kira dirimu siapa, berani bertingkah
di depanku" Bapak moyangmu sendiri belum tentu berani mencegah keinginanku.
Pergi kau dari sini! Atau, kutendang sampai mampus!?" geram Prapanca semakin
geram. "Hua ha ha...! Kau dengar itu, Prapanca" Katanya gadis liar ini adiknya. Nah,
hati-hatilah. Jangan-jangan dia akan menyembelihmu dengan pedangnya jika kau
berbuat semaumu pada adiknya!" teriak Dasgiwa, bernada mengejek.
"He he he...! Ini semakin membuatku girang, Dasgiwa.
Apa tidak sebaiknya kita dekap adiknya yang cantik ini di depan hidungnya?"
sahut Prapanca disertai tawa lebar.
"Hm.... Agaknya kalian kepala batu juga! Nah! Lakukanlah sesuatu terhadap adikku
sesuka hatimu. Tapi, ingat.
Jangan salahkan kalau tindakanku terlalu keras pada kalian," sahut pemuda
berbaju rompi putih itu, enteng.
"Hei, kurang ajar...!"
Dasgiwa kontan melotot mendengar kata-kata muda itu.
"Kunyuk tidak tahu diri!" maki Prapanca. "Kau kira berhadapan dengan siapa,
he"!"
Mata Prapanca juga sampai melotot lebar, bahkan urat-urat di pelipisnya
bertonjolan. "Kenapa tidak tahu" Bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan manusia
rendah berotak kotor"!"
sahut pemuda itu enteng sambil tersenyum mengejek.
"Bangsoaaat...! Kurang ajar!" maki Prapanca. Dibanding kawannya, Prapanca memang
lebih cepat naik darah dan lebih cepat pula melampiaskannya. Dia merasa, harga
dirinya betul-betul terinjak-injak mendengar ocehan pemuda yang betul-betul
tidak memandang sebelah mata terhadapnya. Padahal, nama Macan Loreng Hutan Mauk
sudah terkenal di delapan penjuru angin. Dan hari ini, seorang pemuda yang tidak
dikenalnya sudah seenaknya menganggap rendah dirinya. Mana mungkin bisa didiamkan begitu saja! Begitu cekalan pada gadis itu dilepaskan, dia langsung
berkelebat. "Yaaat..!"
"Heup!"
Plak! Macan Loreng Hutan Mauk sudah langsung melompat
ke arah pemuda itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pada kibasan
tangannya. Agaknya dia ingin
menunjukkan kehebatannya pada pemuda itu. Tapi yang dihadapinya malah tersenyum
kecil tanpa bergeming
sedikit pun. Dan begitu pukulan Prapanca dekat, telapak kiri pemuda itu
menangkapnya. Lalu tanpa turun dari punggung kudanya, kaki kirinya menghantam ke
dagu Prapanca, Plak! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya Prapanca, ketika merasakan
kepalan tangannya seperti menghantam dinding baja. Dan kalau saja tidak buruburu menghindar ke samping, bukan tidak mungkin tendangan pemuda itu bisa
merontokkan rahangnya. Dari angin serangannya saja bisa diduga betapa kuatnya
tendangan itu. "Siapa kau sebenarnya. Bocah"!" bentak Prapanca garang.
"Manusia-manusia busuk! Tidak tahukah saat ini tengah berhadapan dengan Pendekar
Rajawali Sakti!"
"Apa"! Pendekar Rajawali Sakti..."!"
Prapanca dan Dasgiwa tersentak kaget begitu mendengar kata-kata gadis itu yang terakhir. Langsung dipandangnya pemuda berbaju
rompi putih itu dengan wajah kurang yakin.
"Kisanak! Apakah kau pendekar besar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...?"
tanya Dasgiwa lirih dan hati-hati sekali.
*** 3 "Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pendekar besar...,"
sahut pemuda yang memang Rangga, enteng.
"Ah! Kalau begitu kami keliru. Maafkan kelancangan kami, Kisanak...." sahut
Dasgiwa, bernada menyesal.
Sedang Prapanca hanya merapat ke tubuh kawannya
dengan kepala tertunduk. Kedua orang itu agaknya sadar betul kalau tetap
berkeras untuk ribut dengan pemuda itu, akhirnya akan babak belur sendiri.
Mereka sadar siapa yang tidak kenal dengan kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti"
"Sudahlah... kuharap, kalian tidak mengulangi perbuatan seperti tadi.
Ketahuilah. Tidak baik menyiksa perasaan orang lain. Kalian akan membuat
penderitaan seumur hidup pada korban-korban yang kalian lakukan!"
Keduanya mengangguk hampir bersamaan.
"Baiklah. Aku tidak akan memperpanjang urusan. Kalian boleh pergi sekarang
juga...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti.
"Eh! Terima kasih, Kisanak..." sahut keduanya serentak.
Lalu mereka segera berlalu dari tempat itu dengan
langkah terburu-buru.
Sementara, gadis yang hampir saja menjadi korban
keberingasan Prapanca dan Dasgiwa itu melangkah mendekati Pendekar Rajawali
Sakti. Sesaat dia membisu sambil menundukkan kepala. Lalu pelan-pelan wajahnya
terangkat dan memandang Rangga.
"Terima kasih atas pertolonganmu..."ucap gadis itu.
"Kau Ambarwati, bukan...?" tebak Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum.
Gadis itu mengangguk pelan.
"Hm.... Jauh sekali perjalananmu. Apakah ada yang kau cari di wilayah timur
ini...?" tanya Rangga.
Gadis yang bernama Ambarwati hendak menggeleng.
Namun, kemudian kepalanya mengangguk, meski terlihat samar sekali.
"Mengunjungi kerabatmu?" tanya Rangga lagi.
"Ya...."
"Hm... Kalau begitu kau bisa melanjutkan perjalanan kembali. Hati-hatilah...."
"Kakang Rangga...!" panggil Ambarwati perlahan, ketika melihat Rangga hendak
meninggalkannya begitu saja.
"Hm.... Ada apa, Ambarwati...?"
"Eh! Aku... aku..."
Gadis itu tampak sedikit gugup. Dan untuk sesaat, dia tidak tahu harus berbuat
apa. "Ada apa, Ambar" Adakah sesuatu yang ingin kau katakan padaku?" tanya Rangga
ramah. "Aku masih asing dengan daerah ini. Sedangkan tempat tinggal kerabatku amat
sulit. Aku..., aku...."
Rangga menghela napas pendek dan sedikit mengembangkan senyum. Dipandanginya Ambarwati untuk beberapa saat. Meski tidak meneruskan kata-katanya, namun bisa diketahui maksud
gadis itu. Usianya muda dan wajahnya cantik. Tentu akan membuat laki-laki hidung
belang sering mengganggunya. Dan yang paling terpenting adalah, gadis ini tidak
memiliki pengalaman bertarung. Apalagi dalam menghadapi orang-orang seperti
Macan Loreng Hutan Mauk! Sementara itu, di kejauhan mendadak terdengar derap langkah beberapa ekor kuda.
Rangga dan Ambarwati
langsung berpaling ke arah suara. Dan kini kelima orang yang menunggang kuda
dengan kencang melewati tempat Somadipura dan Kemong bersembunyi. Somadipura
yang juga melihat kedatangan kelima orang penunggang kuda itu tersentak dan
bergegas bangkit.
"Kakang Kencana Wungu...!"
Somadipura berteriak kencang, memanggil salah
seorang penunggang kuda.
"Heh"!"
Penunggang kuda yang paling depan terkejut. Segera laju kudanya dihentikan.
Ketika berbalik, dia melihat Somadipura berlari-lari kecil menghampiri bersama
Kemong. "Somadipura! Apa yang kau lakukan di sini" Dan, siapa mereka?" tunjuk laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun yang dipanggil Kencana Wungu, pada Pendekar
Rajawali Sakti dan Ambarwati.
"Ssst..! Dia Pendekar Rajawali Sakti...!" sahut Somadipura.
"Oh, benarkah"!"
Somadipura mengangguk.
"Aku pun baru mendengarnya tadi. Kakang, ada apa kau berada di sini" Apakah
hendak menemui Eyang Anggadita?"
"Betul, Soma! Sesuatu telah terjadi pada perguruan kami...!" sahut Kencana Wungu
bernada sedih. "Hm... Wajahmu murung. Demikian juga yang lain. Pasti ada sesuatu yang hebat
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah terjadi. Ada apa, Kakang Kencana Wungu?" tanya Somadipura, curiga.
"Orang-orang Pulau Ular telah mengacau dan menghancurkan perguruan kami. Mereka
telah membunuh Eyang Pradipta!" jawab Kencana Wungu.
"Apa"! Orang-orang Pulau Ular" Bagaimana mungkin"!"
sentak Somadipura kaget setengah mati.
"Mereka sebenarnya mencari Pendekar Rajawali
Sakti..." "Mencari Pendekar Rajawali Sakti" Ada urusan apa...?"
tanya Somadipura heran.
"Entahlah. Mana kutahu! Sungguh kebetulan kami bisa bertemu. Sebentar, Soma. Aku
harus menyampaikannya sendiri pada pendekar itu," sahut Kencana Wungu.
Kencana Wungu lantas turun dari punggung kudanya.
Kakinya segera melangkah, menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti. Ketika telah beberapa tombak dari Rangga, dia merangkapkan kedua
tangan, memberi salam peng-hormatan.
"Maaf, Kisanak. Apakah betul kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya
Kencana Wungu sambil terus melangkah dan tersenyum.
*** Rangga membalas salam hormat laki-laki itu.
"Betul, Kisanak. Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?" tanya pemuda itu.
Kencana Wungu mendesah lega.
"Aku Kencana Wungu, murid Ki Pradipta dari Perguruan Merak Angin. Kami membawa
kabar kalau orang-orang dari Pulau Ular telah datang dan mengacau perguruan
kami. Mereka membinasakan guru kami dan semua murid.
Beruntung, kami berlima bisa selamat. Dan guru sempat berpesan kalau peristiwa
pembantaian itu harus segera disebarluaskan pada tokoh persilatan golongan
putih," tutur Kencana Wungu.
"Orang-orang Pulau Ular" Ada urusan apa mereka mengacau perguruan kalian" Apakah
kalian mempunyai urusan dengan mereka?" tanya Pendekar Rajawali Sakti heran.
"Justru itu yang tidak dimengerti guruku. Selama perguruan kami berdiri, belum
pernah sekali pun berurusan dengan mereka. Kisanak! Orang-orang Pulau Ular itu
sebenarnya tengah mencarimu. Dan menekan kami untuk memberitahukan di mana kau
berada!" "Gila! Apa maksud mereka"! Mana mungkin gurumu tahu, sedangkan aku sama sekali
belum pernah mengenal beliau secara langsung," desis pemuda itu semakin heran.
"Entahlah. Agaknya mereka tidak pilih buru. Mereka sengaja membantai siapa saja
yang ditemui untuk
memancing kehadiranmu," sahut Kencana Wungu.
"Lalu, ke mana mereka saat ini..?" tanya Rangga geram.
"Entahlah, Kisanak. Kami pergi untuk menemui Eyang Anggadita, adik seperguruan
guru kami. Pada saat itu, pertarungan tengah berkecamuk hebat..."
"Hm, baiklah. Terima kasih. Aku akan ke sana menemui mereka," sahut Rangga
langsung berbalik. Segera dihampirinya kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Dan
dengan gerakan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas punggung
Dewa Bayu. "Hup!"
Bersamaan dengan itu, Ambarwati pun ikut melompat di belakangnya.
"Kakang, aku ikut..!" pinta Ambarwati enteng.
"Ambar! Ini berbahaya...."
"Aku tidak takut!" potong gadis itu cepat.
"Hhh..."
Rangga menghela napas pendek. Lalu kudanya dihela
sekuatnya setelah berpamitan dengan yang lain.
"Eeeh...!"
Somadipura yang baru saja berdiri di samping Kencana Wungu terkejut ketika
melihat tindakan gadis itu. Dia bermaksud mencegah, namun kuda hitam tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti mencelat cepat.
"Ada apa, Soma?" tanya Kencana Wungu heran.
"Eh, tidak ada apa-apa...," sahut pemuda itu seraya tersipu malu.
"Hm," gumam Kencana Wungu pelan. "Soma! Ayo antar kami ke tempat gurumu!"
"Eh, iya! Baik...," sahut Somadipura melompat ke belakang laki-laki itu.
Sementara Kemong melompat ke belakang yang
lainnya. Tidak lama kemudian, mereka segera memacu kencang kuda-kudanya,
meninggalkan tempat ini.
*** Sementara itu, Rangga merasa sedikit risih berjalan
bersama Ambarwati. Semula dia ingin menolak, namun gadis itu langsung melompat
ke belakangnya. Di depan orang banyak tadi, mana mungkin dia bisa bersikap
keras. Lagipula belum tentu kalau gadis itu menurut. Kalau sampai berkeras maka dia
sendiri yang akan malu.
Tidak heran bila selama dalam perjalanan, Rangga lebih banyak membisu. Lebihlebih ketika kuda yang ditunggangi berlari demikian kencang, hingga menimbulkan
takut di hati Ambarwati. Gadis itu memeluk pinggang Rangga. Dan itu sudah cukup
membuat Rangga semakin bertambah
risih, sehingga terpaksa melambatkan lari kudanya.
"Begitu lebih baik, Kakang. Aku takut sekali. Kuda ini lain daripada kuda-kuda
lainnya yang pernah kutemui.
Larinya kencang sekali..." keluh Ambarwati.
Rangga tersenyum tanpa menyahut barang sepatah
kata pun. "Kakang...?"
"Hmm...?"
"Eh! Maaf, kalau aku menyebutmu Kakang. Karena... ya, karena kau lebih tua saja
dibandingku...."
"Tidak mengapa..." sahut Rangga singkat
"Kakang marah padaku...?"
"Ah, tidak...."
"Jawaban itu tidak tulus, dan seperti berdusta."
Rangga diam saja.
Ketika kuda yang ditunggangi berlari kencang,
Ambarwati langsung memeluk pinggang Rangga. Dan itu membuat Rangga semakin
bertambah risih, sehingga
terpaksa melambatkan lari kudanya.
"Begini lebih baik, Kakang. Tadi aku takut sekali. Kuda ini beda dari kuda-kuda
lain. Larinya kencang sekali...," ujar Ambarwati seperti berbisik.
"Berarti Kakang marah padaku, bukan?"
Rangga kembali tidak menjawab, tapi malah melompat turun dari tunggangannya.
Gadis itu mengikuti dengan wajah masam.
"Kita telah dekat dengan perguruan itu. Setidaknya hati-hati..." ujar Rangga
memperingatkan.
Ambarwati memberengut Tapi, Rangga tidak
memperhatikannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti kini menajamkan pendengaran dan
penglihatannya. Jalan
menuju Perguruan Merak Angin agak menanjak. Dan satu-satunya jalan yang sering
dilalui adalah lewat undakan tanah yang memang sengaja dibuat. Kalaupun ada
jalan lain, itu mesti berputar. Dari situ mereka harus menerobos hutan kecil.
Baru kemudian mereka akan bertemu bagian belakang perguruan. Jalan itulah yang
agaknya ditempuh saat ini. Agaknya pemuda itu tidak ingin langsung
berhadapan, melainkan ingin membuktikan lebih dulu kebenarannya.
"Jalan ini sedikit jauh. Tapi, mungkin lebih aman...," kata Rangga singkat
sambil menoleh gadis itu sekilas. Tapi Ambarwati diam saja. "Kau capek?"
Gadis itu menggeleng.
Kini mereka telah tiba di depan pagar tinggi yang
merupakan bagian belakang perguruan. Rangga memandang tajam dengan wajah curiga. Namun tidak terdengar sesuatu yang
mencurigakan. "Ambar, kau di sini dulu. Aku akan melihat apa yang terjadi di dalam sana," ujar
Rangga. Tanpa meminta jawaban gadis itu, Pendekar Rajawali Sakti telah mencelat ke salah
satu cabang pohon. Begitu mendarat ringan di atas pohon Rangga terpaku sejenak,
memperhatikan keadaan di dalam perguruan. Lalu dia melompat turun dengan ringan
bagai sehelai bulu, melewati pagar kurang lebih setinggi dua tombak.
Dengan sedikit gelisah Ambarwati menunggu. Namun
tidak lama Pendekar Rajawali Sakti telah muncul kembali.
Wajahnya tampak pucat bercampur kesal.
"Kurang ajar! Mereka telah membinasakan semuanya!"
desis Pendekar Rajawali Sakti, dengan mendaratkan kakinya di depan gadis itu.
Segera Pendekar Rajawali Sakti melompat ke punggung Dewa Bayu dan hendak
menyentaknya. Namun kali ini
tidak seperti tadi. Rangga segera menoleh ke arah
Ambarwati yang diam saja terpaku.
"Ambar, ayo naik...!"
Gadis itu sama sekali tidak menoleh. Sedang Rangga jadi menarik napas panjang.
Lalu dia lompat turun.
"Kenapa denganmu, Ambar. Ayo, naik. Kita akan segera pergi dari sini. Bukankah
kau ingin ikut denganku?" bujuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang, tentu aku hanya memberatkan saja bukan?"
tanya gadis itu lirih.
Pemuda itu tersenyum lebar, karena tahu kenapa
Ambarwati bersikap seperti itu.
"Maaf, pikiranku sedang ruwet. Tapi, bukan berarti aku marah padamu..," desah
Rangga. Gadis itu masih tetap membisu. Kali ini wajahnya tidak tertunduk, tapi memandang
Rangga seperti ingin
meyakinkan kata-katanya.
Dan ketika Rangga tersenyum seraya mengangguk,
baru gadis itu ikut tersenyum. Dia segera melompat ke belakang punggungnya
ketika Rangga sudah berada di atas Dewa Bayu kembali. Kemudian Pendekar Rajawali
Sakti menghela Dewa Bayu kencang-kencang.
*** Tiga sosok bayang berkelebat cepat dengan gerakan
sulit diikuti pandangan mata biasa. Seolah-olah, mereka tengah melayang terbang.
Jelas ilmu meringankan tubuh mereka amat sempurna. Beberapa orang yang sempat
berpapasan kontan tersentak kaget.
"Hei, apa itu"!" tanya salah seorang yang berkepala gundul langsung menghentikan
langkahnya. "Apa"!" tanya kawannya dengan wajah bingung.
"Tidakkah kau melihat sesuatu yang berkelebat tadi?"
tanya laki-laki berkepala gundul itu.
"Melihat apa" Aku hanya merasakan tiupan angin kencang. Jangan mengigau kau,
Temon!" "Sungguh! Aku seperti melihat orang-orang yang berlari kencang. Jalu!" tegas
laki-laki gundul yang dipanggil Temon.
"Hm, sudahlah. Barangkali kampung ini banyak
setannya." desis laki-laki yang dipanggil Jalu.
"Hus, kamu ini ada-ada saja!"
Wuuut! Kembali mereka dibuat terkejut. Kali ini mereka melihat jelas lima orang lakilaki bertubuh besar yang berlari kencang menyusul tiga orang yang tadi
berkelebat cepat.
"Apa kataku..!" dengus Temon.
Sementara Jalu hanya bisa mendecak kagum dengan
wajah takjub. "Di dunia ini aneh-aneh saja bisa terjadi. Sudah banyak kulihat orang-orang
hebat. Tapi, yang satu ini benar-benar luar biasa!" kata Jalu kagum seraya
menggeleng beberapa kali.
Apa yang mereka lihat memang amat menakjubkan.
Kelima orang yang berlari kencang tadi bergerak amat ringannya. Namun begitu,
belum juga mampu menyusul ketiga orang yang hendak dikejar. Bahkan lambat laun,
mereka kehilangan jejaknya. Dan hal itu jelas membuat mereka menjadi kesal bukan
main. Kini kelima orang itu menghentikan larinya. Dan kali ini.
terlihatlah sosok mereka. Salah seorang dari kelima orang itu adalah wanita
berusia sekitar empat puluh tahun.
Sementara, lainnya berusia rata-rata lima puluh tahun.
"Keparat! Kita kehilangan jejak!" dengus laki-laki yang bertubuh gempal dan
berjenggot tebal. Senjatanya berupa sebuah golok panjang yang ujungnya bercagak.
Melihat ciri-cirinya, kaum rimba persilatan akan segera tahu kalau dia adalah
tokoh yang amat disegani di wilayah selatan.
Namanya, Ki Rancuh Bustira.
"Apa mungkin mereka tidak merasakan kehadiran kita?"
tanya laki-laki berkepala botak, bersenjatakan rantai panjang yang melilit di
pinggangnya. Dia pun berasal dari wilayah selatan dan termasuk jajaran tokoh
silat yang amat disegani. Orang mengenalinya sebagai Ki Kala Gemet.
"Sudah pasti! Kalau tidak, mana mungkin mereka akan diam saja!" sahut laki-laki
berkulit hitam. Tubuhnya sedikit kurus dengan mata cekung. Sepintas badannya
terlihat lemah. Namun sesungguhnya memiliki kepandaian yang setara dengan
keempat kawannya. Di wilayah barat, dia amat disegani. Dan di wilayah itu pula
dia dikenal dengan nama Ki Manuk Bedong.
Sementara laki-laki yang bertubuh agak bungkuk dan berambut telah penuh uban itu
hanya terdiam sambil mendecah kesal beberapa kali. Laki-laki ini dengan busur
dan anak panahnya telah malang melintang di delapan penjuru angin. Anak panahnya
jarang luput dari sasaran.
Makanya, jarang tokoh persilatan yang tak mengenal Ki Danang Mangun.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya satu-satunya wanita dalam rombongan ini.
Namanya, Nyai Manik Sari.
Yang lainnya terdiam. Dan perlahan-lahan Nyai Manik Sari menoleh ke arah Ki
Danang Mangun, orang tertua di antara mereka.
"Di sini ada dua jalan yang memungkinkan. Ke utara terdapat Perguruan Kinjeng
Loreng. Sedang di timur ada Perguruan Kupu-Kupu Perak. Mereka pasti menuju salah
satu perguruan itu," sahut Ki Danang Mangun.
"Hm.... Kalau begitu, lebih baik kita bagi tugas," usul Ki Rancah Bustira.
"Itu usul yang baik. Kalau Nyai Manik Sari setuju, kami akan menuju ke tempat
Nyai Kundia yang mengetuai
Perguruan Kupu-Kupu Perak. Sedang yang lain menuju tempat Ki Abiasa, Ketua
Perguruan Kinjeng Loreng!" kata Ki Manuk Bedong.
"Begitu pun bagus!" timpal Ki Danang Mangun.
"Tapi, ingat! Bila di salah satu tujuan ternyata mereka tidak ada, maka yang
lain harus menyusul ke tujuan kedua," kata Nyai Manik Sari.
Tampaknya keempat orang itu mengangguk setuju.
"Hm... Kalau demikian, sebaiknya kita lekas bergerak.
Jangan sampai mereka membuat korban lebih banyak
lagi!" Ki Rancuh Bustira agaknya sudah tidak sabar betul.
"Hm... Aku sudah tidak sabar ingin melumat mereka!"
dengus Ki Kala Gemet, geram.
"Hati-hatilah. Jangan bertindak gegabah, orang-orang Pulau Ular memiliki
kepandaian hebat!" ingat Nyai Manik Sari. "Jangan bertindak gegabah dan
memandang enteng lawan."
"Sudah! Sudah! Ayo, cepat kita berangkat!" sahut Ki Danang Mangun, langsung
melesat cepat diikuti kedua kawannya.
Bersamaan dengan itu. Nyai Manik Sari dan Ki Manuk Bedong telah pula bergerak ke
arah yang berbeda, sesuai kesepakatan.
*** 4 Hari belum sore ketika dua sosok anak muda tiba di Desa Sendang Sari. Beberapa
anak muda desa itu sempat
melirik. Bahkan ada yang mencoba menarik perhatian gadis yang berjalan bersama
pemuda berbaju rompi putih itu. Namun sedikit pun gadis itu tidak peduli.
"Hm.... Sudah seharian kita mencari jejak mereka.
Namun sampai kini belum juga bertemu...," gumam pemuda yang berbaju rompi putih
itu. "Kakang Rangga! Sebaiknya kita lebih sering bertanya pada orang-orang," usul
gadis berwajah cantik yang duduk di belakang pemuda yang menunggang kuda hitam.
Dan dia tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Terlalu banyak pembunuhan yang mereka lakukan..."
desah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Persis seperti saudara seperguruannya, si Dewi Tangan Darah itu, bukan?" tanya
gadis yang tak lain Ambarwati.
Rangga mengangguk. Sementara Ambarwati terdiam
beberapa saat. "Kau lapar, Ambar?" usik Pendekar Rajawal Sakti.
Dengan ekor matanya, dia melirik Ambarwati.
Gadis itu tersenyum malu.
"Baiklah. Kita mampir dulu di kedai itu. Siapa tahu di sana ada keterangan yang
bisa didapat..," tunjuk Rangga ke sebuah kedai yang tidak jauh di depan.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti menggebuk kudanya, untuk lebih cepat sampai di
depan kedai. Dan Rangga langsung melompat turun, begitu menarik tali kekang
kudanya, saat tiba di depan kedai Ambarwati bergegas turun mengikuti.
Setelah menambatkan kuda, kedua anak muda ini
melangkah masuk ke dalam, dan disambut dengan
pandangan menyelidik dari beberapa pengunjung kedai.
Kebanyakan dari mereka mendecah kagum, melihat
kecantikan gadis yang bersama Pendekar Rajawali Sakti.
Namun melihat senjata yang dibawa kedua anak muda itu, hati mereka yang coba
berniat iseng jadi ciut juga. Namun, rupanya ada juga seorang laki-laki
brangasan yang bergerak menghampiri.
"He he he...! Gadis Manis. Lebih baik kau duduk saja di sini!" kata laki-laki
itu langsung menangkap pergelangan tangan Ambarwati yang hendak duduk bersama
Rangga. "Hei, kurang ajar!" sentak Ambarwati garang dengan mata melotot lebar.
"He he he...! Kau galak juga rupanya, Cah Ayu!"
Orang bertubuh gemuk bercambang bawuk tebal itu
bukannya menghentikan perbuatannya. Malah dia semakin berani hendak menangkap
pinggang gadis itu.
Namun sebelum tangan laki-laki itu sempat berbuat
usil, secepat kilat Rangga menangkap pergelangan
tangannya. Seketika laki-laki gemuk itu mendengus gusar.
Bahkan kepalan tangan kirinya menghantam ke muka
Rangga. Bersamaan dengan itu pergelangan tangan kanannya yang dicekal Rangga
segera ditariknya.
"Hiiih!"
Dengan tangkas Rangga menahan tangan kiri yang
bergerak ke arahnya. Sedangkan telapak tangan kanannya langsung mencengkeram
kuat-kuat. Plak! Tap! "Uhhh...."
Laki-laki gemuk itu mengeluh kesakitan. Namun, dia masih terus berusaha
berontak. Sementara Rangga mem-perkuat cengkeramannya.
"Aaakh...!"
Kembali laki-laki gemuk itu menjerit kesakitan. Buku-buku jarinya berderak
patah. Tubuhnya meringkuk dan bergetar hebat. Namun, Rangga tidak juga
melepaskan cengkeramannya.
"Bocah Setan, lepaskan dia...!"
Mendadak kedengaran bentakan keras, yang disusul
berkelebatnya seseorang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Rupanya kawan laki-laki gemuk itu mengirimkan satu tendangan keras ke arah
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti yang menangkap sekelebatan bayangan itu,
langsung bergerak cepat. Sambil tetap mencengkeram kaki kanannya menyambut tendangan
orang itu. Plak! Dan dengan kecepatan yang sulit diimbangi, ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti
terus bergerak menghantam.
Des! "Aaakh...!"
Bruaaak! Orang itu kontan terjungkal sambil menjerit kesakitan.
Seketika tubuhnya menimpa beberapa buah meja dan
kursi hingga hancur berantakan.
"Kurang ajar...!"
Para pengunjung kedai lainnya mendengus geram.
Mereka memandang pemuda berbaju rompi putih itu
dengan sorot mata mengandung ancaman.
"Hei, Bocah! Apa kau ingin pamer kekuatan di sini"!"
bentak salah seorang yang merasa terganggu selera
makannya. "Kisanak! Apakah tidak melihat! Orang inilah sesungguhnya mengganggu kami.
Apakah aku harus mendiamkannya saja?" sahut Rangga enteng, tanpa melepaskan cengkeramannya.
"Aduuuh, lepaskan! Lepaskan...!" teriak laki-laki gemuk itu kesakitan.
"Huh!"
Rangga mendengus geram. Langsung didorongnya
tubuh laki-laki gemuk itu sampai terjajar dan menghantam sebuah meja lain.
Bruaaak! "Bangsat!" maki pengunjung kedai yang duduk di situ.
Tangan pengunjung kedai ini segera menghantam
tubuh laki-laki gemuk. Akibatnya, tubuh gemuk itu kembali terpental ke sudut
yang lain. Sambil merapikan baju, pengunjung kedai berkumis
tipis itu berdiri tegak memandang pemuda yang dianggap telah membuat ulah.
"Hm.... Apakah dengan membawa-bawa pedang dan pamer kehebatan, kau kira bisa
berbuat seenaknya di sini"
Kalau kau memang hebat, ayo keluar! Tunjukkan padaku kehebatanmu!" dengus lakitaki berkumis tipis yang mejanya berantakan kehantam tubuh laki-laki gemuk tadi.
Dia segera melangkah lebar, keluar dari kedai ini.
"Kakang...."
Wajah Ambarwati kelihatan mulai cemas.
Paling tidak kekhawatiran gadis itu beralasan. Karena hampir separuh dari
pengunjung kedai ini, kemudian keluar mengikuti laki-laki berkumis tipis yang
menyandang pedang di punggungnya itu. Bahkan yang lainnya satu persatu beranjak
dan ingin menyaksikan tontonan yang bakal menarik.
Mau tidak mau Rangga terpaksa mengikuti. Kakinya
melangkah lebar menyusul diikuti Ambarwati. Sementara laki-laki berkumis tipis
dan berbaju serba hitam itu telah menunggu dengan tatapan tajam sambil berkacak
pinggang. "Bocah Bau Kencur! Lagakmu selangit seperti merasa hebat sendiri. Ayo, cabut
pedangmu dan tunjukkan
kebisaanmu!" bentak laki-laki itu garang.
Rangga menepis tangan Ambarwati. Kemudian melangkah, dan berhenti pada jarak lima langkah di depan laki-laki berkumis tipis
ini. "Kisanak! Aku tidak mencari urusan kalau tidak terpaksa. Dan aku tidak bermaksud
pamer kekuatan. Kalau saja orang itu tidak mengganggu adikku, mana mungkin aku
menghajarnya. Sementara, kau tersinggung dan
menantangku. Berarti kau memang setuju dengan perbuatan orang itu?" tanya Rangga, kalem.
"Tidak usah banyak mulut! Jelas, apa yang kau lakukan membuat gemas semua
pengunjung kedai. Dan kau
bermaksud mengelak pula. Hei Bocah! Gagak Lumayung bisa saja mengampunimu, asal
kau merangkak dan mencium kakiku tiga kali sambil memohon ampun!" sahut lakilaki berkumis tipis yang mengaku bernama Gagak
Lumayung. Mendengar itu mereka yang berada di sekitarnya
tertawa mengejek.
"Ha ha ha...! Baru tahu rasa dia! Lagaknya selangit. Dan sekarang, kena
batunya!" teriak satu suara.
"Ayo, merangkak dan cium kakinya!" timpal yang lain.
"He he he...! Dasar pengecut! Dikira semua orang bisa digertak dengan
kepandaiannya ya setahi kuku itu!" teriak yang lain.
Rangga mendengus dingin. Lalu dipandangnya lelaki di hadapannya dengan tajam.
Rasanya kesabarannya pun
ada batasnya. "Kisanak! Kau yang memulai semua ini. Silakan...."
"Huh!"
Gagak Lumayung mendengus geram. Kemudian tubuhnya melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yaaat..!"
"Hup!"
Rangga cepat bergerak menangkis serangan kepalan
tangan Gagak Lumayung yang mengarah ke muka.
Kemudian tubuhnya sedikit miring ke kiri, ketika laki-laki berkumis tipis itu
menyusuli dengan pukulan ke dada.
Gagak Lumayung agaknya penasaran betul. Seketika
kakinya melepaskan tendangan kilat dua kali berturut-turut ke arah rahang dan
leher. Namun dengan pengerahan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' Rangga cepat mengegoskan kepala. Bahkan dia
segera balas menyerang melepaskan satu pukulan ke arah perut.
"Yeaaat!"
Serangkum angin kencang menderu kencang ke arah
Gagak Lumayung. Mendapat serangan balasan ini, laki-laki berkumis tipis itu
terkejut juga. Cepat bagai kilat, dia melompat gesit ke samping. Namun,
tendangan kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak mengikuti. Maka
dicobanya untuk menangkis dengan tangan kiri.
Plak! "Uhhh...!"
Laki-laki berpakaian serba hitam itu mengeluh
kesakitan merasakan nyeri dan linu ketika berbenturan tadi. Belum lagi dia
sempat menguasai diri, mendadak Rangga mencelat menyambar ke arah leher. Cepatcepat Gagak Lumayung menunduk dengan tubuh bergerak ke
kanan untuk menghindarinya.
Wuuut! Tendangan pertama Pendekar Rajawali Sakti berhasil dihindari Gagak Lumayung.
Tapi, tubuh Rangga terus berputaran dengan kedua kaki ikut terayun. Dan gerakan
ini memang tidak diperhitungkan Gagak Lumayung.
Akibatnya.... Desss! "Aaakh...!"
Telak sekali dada Gagak Lumayung terhantam
tendangan Rangga. Seketika dia menjerit tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung
ke belakang. Rangga sendiri tidak meneruskan serangan. Dia berdiri tegak sengaja tidak
mengejarnya. Pendekar Rajawali Sakti seperti memberi kesempatan pada lawan untuk
kembali bersiap.
"Bangsat...!"
Gagak Lumayung mendengus geram. Sorot matanya liar dan wajahnya berkerut menahan
amarah. Tampak sekali dia sangat penasaran dapat dihajar lawan.
Sring! "Cabut pedangmu! Dan, tahan seranganku ini!" lanjut Gagak Lumayung garang sambil
mencabut pedang.
"Pedangku belum waktunya digunakan...!" sahut Rangga kalem.
"Sombong! Huh! Aku tidak peduli apakah kau bertangan kosong atau tidak. Jangan
salahkan kalau celaka!"
Rangga tersenyum sinis. Dan dia masih berdiri tegak saat Gagak Lumayung melompat
menyerang. "Heaaat...!"
Wuuuk! Wuuuk! Pedang di tangan Gagak Lumayung mengurung
Pendekar Rajawali Sakti dengan ketat! Kilatan sinarnya seperti menyambar ke
seluruh permukaan tubuh Rangga.
Sementara orang-orang yang menonton pertarungan
berdecak kagum melihat permainan pedang laki-laki
berbaju serba hitam itu. Mereka menduga, dalam waktu singkat, pemuda berbaju
rompi putih itu pasti akan celaka.
Tapi, Rangga telah bertekad tidak akan memberi hati lagi pada laki-laki berkumis
ini. Dengan manis Pendekar Rajawali Sakti selalu mampu mengelak dari setiap
sambaran pedang dengan tetap menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya terus bergerak lincah diiringi gerakan kedua
kaki dan tangannya. Dan kini keadaan menjadi terbalik. Orang-orang mulai menahan
napas, karena sedikit pun ujung senjata Gagak Lumayung tak mampu menggores
permukaan kulit pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hiyaaa..!"
Mendadak saja Rangga membentak nyaring. Tubuhnya
melenting ke atas. Sementara Gagak Lumayung langsung mengejarnya dengan senjata
berputar menanti kelengahan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tiba-tiba Rangga
bergerak cepat dan seperti lenyap dari pandangan. Lalu....
Tap! Gagak Lumayung tersentak ketika mendadak aja pergelangan tangannya tercekal. Dia bermaksud berontak, namun tangannya terasa
lemas bukan main. Bahkan tahu-tahu pedangnya lepas dari genggaman. Dan belum
sempat dia berpikir lebih jauh, satu tendangan keras mendarat di dadanya.
Begkh! "Aaakh!"
Gagak Lumayung kontan terjungkal dan menjerit keras.
Dengan wajah berkerut menahan rasa sakit dia berusaha bangkit. Namun, tahu-tahu
lehernya terasa tertekan oleh ujung pedangnya sendiri yang kini berada dalam
genggaman Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah cara ini yang kau inginkan...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Eh, ekh...."
Gagak Lumayung jadi salah tingkah sendiri. Tidak terasa jantungnya berdegup
kencang dan keringatnya mulai
mengucur perlahan membasahi tubuh. Pikirannya kosong tidak menentu. Karena yang
ada di dalam benaknya hanya satu pertanyaan, apakah pemuda ini akan terus
meneruskan ujung pedang itu hingga menembus tenggorokannya, atau tidak"
"Hua ha ha... Dasar Gagak Lumayung Sinting! Agaknya kali ini kau kena batunya.
Kau bertindak tanpa periksa, siapa lawan sesungguhnya!"
Mendadak saja terdengar satu suara disertai tawa
nyaring. "Hei, Kampret Sok Jago! Tidak tahukah kau bahwa pemuda itu adalah si Pendekar
Rajawali Sakti"!" lanjut suara itu.
"Heh"!"
"Apa"!"
Gagak Lumayung dan lainnya terkejut ketika mendengar julukan Pendekar Rajawali Sakti disebut. Langsung dipandangnya pemuda
berbaju rompi putih itu dengan seksama.
Sementara Rangga melemparkan pedang yang digenggamnya, dan mendarat tepat di ujung kaki Gagak Lumayung. Kemudian kepalanya
berpaling memandang
laki-laki tua bertubuh kecil dengan rambut pendek awut-awutan yang baru saja
mencelat mendekatinya. Di tangan kanannya tergenggam batang tongkat pendek
berwarna hitam. Dialah yang tadi bersuara.
"Salam hormatku padamu. Orang Tua. Matamu sungguh jeli...!" sahut Rangga
disertai senyum manis.
"Hei"! Siapa yang tidak kenal Pendekar Rajawali Sakti"
Selain memiliki kepandaian hebat, dia juga terkenal murah hati. Apalagi terhadap
seorang gembel kelaparan seperti ku ini!" oceh orang tua itu sambil tersenyum
lebar. "Hm ... Kalau begitu, kebetulan sekali. Mari, Kisanak.
Kuundang kau makan bersama kami. Sekalian aku terpaksa mengganti kerusakan perabotan kedai ini yang rusak tidak sengaja," sahut
Rangga, mengajak orang tua itu ke dalam kedai. Sementara Ambarwati mengikuti di
samping kanan pemuda itu.
*** Orang tua itu terkekeh-kekeh kecil. Dan dia segera
memesan segala makanan yang enak-enak dalam porsi
yang cukup banyak. Rangga hanya tersenyum, sementara Ambarwati menggeleng sambil
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendecah kesal.
"Kisanak. Kalau boleh tahu, siapakah kau ini...?" tanya Rangga di sela-sela
kesibukan orang tua itu mengunyah makanan.
"He he he...! Apakah itu perlu?"
"Paling tidak aku tidak memanggilmu sesuka hatiku,"
sahut Rangga. "Ha ha ha...! Pintar kau bicara. Bocah. Tapi apa Ki Sangga Langit punya arti di
hadapan Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya orang tua bernama Ki Sangga Langit,
merendah. "Ah! Kalau demikian, Kisanak adalah orang tua yang amat mengagumkan dari wilayah
timur itu. Nama besarmu telah membuat mataku silau, dan selalu ingin bertemu
denganmu!" seru Pendekar Rajawali Sakti, juga merendah.
"He he he...! Apalah artinya namaku dibanding nama besarmu?" Ki Sangga Langit
kembali ketawa lebar. Namun mendadak terlihat matanya mendelik. "Tapi kau harus
hati-hati!"
"Hati-hati kenapa?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, tak mengerti.
"Ada orang-orang hendak merontokkan nama besarmu!"
"Hm, siapa mereka?"
"Apakah kau betul-betul tidak tahu?"
Rangga menggeleng. Wajahnya dibuat sedemikian rupa, agar terlihat benar-benar
terkejut. Orang tua itu mendekatkan jarak, sehingga wajahnya sedikit disorongkan ke muka.
"Orang-orang itu...," kata Ki Sangga Langit dengan suara perlahan sekali.
Rangga jadi mengerutkan dahi.
Pendekar Rajawali Sakti memang pernah mendengar
nama Ki Sangga Langit walaupun tak pernah bertemu
orangnya. Berita yang didengarnya mengenai watak orang tua aneh yang bernama Ki
Sangga Langit ini agaknya tidak berlebihan. Dan ini terbukti dengan sendirinya.
Entah apa yang menyebabkannya demikian. Tapi sedikitnya, orang tua ini pasti
tidak waras. Meski, terkadang ucapannya terbukti.
Dan yang lebih aneh lagi, dia akan marah jika lawan bicaranya menanggapi segala
ucaapannya dengan main-main. Dan kalau sudah begitu, tidak ada ampun lagi. Dia
akan segera menghajar lawan bicaranya habis-habisan.
Namun bila lawan bicaranya bersikap seperti apa yang diinginkannya, yakni
menanggapi ceritanya dengan penuh perhatian, maka orang tua ini akan merasa
senang betul. Pendekar Rajawali Sakti barangkali tidak takut dengannya. Karena paling tidak,
dia tidak ingin mencari urusan.
Dan memang tidak ada salahnya menyenangkan hati orang tua ini, dengan
memperlihatkan wajah kesungguhan dalam menyimak ceritanya, meski dalam hati
sedikit geli. Bahkan lambat laun Ambarwati pun mulai merasakannya Rangga memberi
isyarat agar gadis itu tidak tertawa atau tersenyum-senyum.
"Orang-orang mana...?" tanya Rangga dengan suara halus sekali.
"Betul-betul kau tidak tahu?"
Rangga menggeleng.
"Orang-orang Pulau Ular?"
Pendekar Rajawali Sakti kembali menggeleng pura-pura tidak tahu.
"Tiga orang dari mereka telah datang ke daratan ini, dan mencarimu. Hati-hati.
Mereka berkepandaian tinggi dan senantiasa menggunakan senjata rahasia yang amat
beracun!" "Hm..., begitukah" Aku tidak akan melupakan budimu, Ki. Terima kasih! Terima
kasih...!" bisik pemuda itu kembali.
"Husss! Tunggu dulu! Mereka kini berada di utara...?"
"Utara" Tempat siapa...?"
"Apakah kau betul-betul tidak tahu?"
Rangga kembali menggeleng.
"Abiasa! Ketua Padepokan Kinjeng Loreng itu pasti akan binasa!"
"Astaga! Kalau begitu, aku harus cepat-cepat ke sana.
Kasihan mereka!"
Rangga hendak bangkit berdiri, namun orang tua itu langsung menangkap
pergelangan tangannya.
"He, tunggu dulu...!"
"Ada apa, Ki Sangga Langit?"
"Kau yakin bisa mengalahkan ketiga orang itu?"
"Akan kucoba!"
"Hus! Jangan begitu! Mereka sangat hebat dan memiliki senjata-senjata beracun.
Hong Lui Bun 15 Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Pedang Dan Kitab Suci 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama