Pendekar Rajawali Sakti 117 Memburu Pengkhianat Bagian 2
"Setan alas kau, Bocah! Kubunuh kau! Hiyaaa t...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Panglima Widura kembali melompat menyerang tanpa menghiraukan rasa sesak yang mendadak saja timbul menyelimuti dadanya. Pedangnya langsung berputaran dengan kecepatan kilat, menyerang adik tiri Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Hap!"
Dengan liukan-liukan tubuh yang diimbangi kelincahan gerakan kaki, membuat Danupaksi agak kerepotan juga menyarangkan pedangnya ke tubuh panglima yang menjadi lawannya. Beberapa kali Danupaksi melancarkan serangan yang begitu cepat, tapi belum juga bisa melumpuhkannya. Bahkan perlawanan Panglima Widura begitu gigih, walaupun tadi sempat terkena pukulan.
"Lepas kepalamu! Hiyaaa...!", tiba-tiba saja Panglima Widura berteriak keras sambil mengebutkan pedangnya ke leher, tepat di saat Danupaksi sendiri baru melancarkan serangan dengan pedangnya.
"Haiiit!"
Namun hanya meliukkan tubuh, Danupaksi berhasil menghindari serangan.
"Hup!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 117. Memburu Pengkhianat Bag. 5
29. August 2014 um 10:01
5 ? Cepat Danupaksi melompat ke belakang, begitu berhasil mengelakkan tebasan pedang Panglima Widura pada lehernya. Namun belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba melesat sebuah bayangan di antara dua orang yang sedang bertarung ini. Bersamaan dengan itu, terlihat sebuah cahaya merah melesat begitu cepat bagai kilat ke arah Danupaksi. Sehingga...
Clark! "Akh...!"
"Raden..."!"
Semua yang melihat kejadian itu jadi terpekik, bersama terdengarnya jeritan Danupaksi yang terpental ke belakang, tepat ketika cahaya merah yang datang begitu cepat menyambar tepat di dadanya.
Sementara, bayangan putih yang berkelebat cepat bagai kilat itu kembali melesat, langsung menyambar Panglima Widura yang keadaannya sudah terpojok. Begitu cepat bayangan putih itu melesat. Sehingga sebelum ada yang sempat menyadari, bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan sambil membawa Panglima Widura. Sedangkan Danupaksi terbanting keras sekali di tanah, dan kembali memekik agak tertahan. Tubuhnya menggeliat menggeletak di atas tanah yang sedikit lembab oleh siraman darah dari para prajurit yang tadi bertarung sengit.
"Raden...!"
Panglima Lanang bergegas menghampiri dengan kecemasan melihat Danupaksi tergeletak diam seperti mati. Tampak asap berwarna agak kemerahan mengepul dari dadanya yang sedikit terbuka dan bidang.
"Raden...!"
Suara Panglima Lanang terdengar tercekat, begitu melihat Danupaksi tergeletak dengan kedua bola mata terpejam. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuhnya. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan telah mati. Tampak dadanya memerah dan masih mengepulkan asap bagai terbakar.
"Raden..."
Perlahan Panglima Lanang mengangkat tubuh Danupaksi yang terasa begitu panas seperti ada bara api yang bersemayam dalam tubuhnya, Bahkan, sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuh anak muda itu. Panglima Lanang memondong tubuh Danupaksi yang sudah diam tidak bergerak-gerak lagi. Dipandanginya wajah tampan anak muda itu. Tanpa terasa, setitik air bening jatuh menggulir di pipinya.
Sementara, para prajurit yang sudah menye-lesaikan pertarungan, tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka terdiam dengan wajah diliputi kecemasan, melihat Danupaksi seperti mati dalam pondongan Panglima Lanang. Dua orang panglima dari Kerajaan Pakuan menghampiri Panglima Lanang. Mereka berdiri saja di depan panglima dari Kerajaan Karang Setra itu.
"Kita bawa ke istana, Paman Panglima," Usul salah seorang.
Panglima Lanang memandangi kedua panglima dari Kerajaan Pakuan itu beberapa saat, kemudian sedikit menganggukkan kepala. Salah seorang langsung memerintahkan prajurit menyiapkan kuda. Sedangkan seorang lagi segera menyiapkan prajurit yang masih hidup. Dan prajurit Panglima Widura tidak ada lagi yang kelihatan masih tertinggal hidup.
Tidak berapa lama, mereka keluar dari halaman rumah kediaman Panglima Widura yang besar dan berantakan dipenuhi mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih bersimbah darah. Tampak berkuda paling depan Panglima Lanang yang masih tetap memondong tubuh Danupaksi. Dua orang panglima dari Kerajaan Pakuan terus mendampingi. Sedangkan di belakang mereka, para prajurit mengikuti dengan wajah tertunduk cemas melihat keadaan Raden Danupaksi yang mungkin terluka parah atau sudah mati.
? *** ? Entah sudah berapa lama Panglima Lanang duduk sendiri di atas bukit batu memandang matahari yang perlahan-lahan mulai tenggelam di ufuk barat. Cahayanya yang memerah jingga dan begitu indah, sama sekali tidak dapat dinikmatinya. Pikirannya begitu galau melihat keadaan Danupaksi yang sampai saat ini belum juga siuman. Dan sekarang, Danupaksi berada dalam perawatan seorang tabib pilihan di Kerajaan Pakuan.
Meskipun tabib itu sudah mengatakan jiwa Danupaksi masih bisa tertolong, tapi Panglima Lanang masih juga belum bisa tenang hatinya.
"Paman Lanang...."
"Oh..."!"
Panglima Lanang tiba-tiba saja tersentak setengah mati, begitu terdengar panggilan dari belakang. Cepat dia terlompat bangun dan berbalik. Dan seketika itu juga seluruh tubuhnya jadi menggigil, seperti terserang demam. Panglima Lanang langsung jatuh berlutut dengan bola mata terbeliak dan mulut ternganga. Seakan-akan, dia melihat sosok makhluk mengerikan di depannya.
"Gusti Prabu...," bergetar suara Panglima Lanang.
"Kenapa wajahmu begitu pucat, Paman" Kau seolah-olah sedang berhadapan dengan hantu saja."
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba..., hamba...," tercekat suara Panglima Lanang di tenggorokan.
"Sudahlah, Paman. Aku sudah tahu semua pe-ristiwanya. Kau tidak perlu merasa bersalah. Ba-ngunlah, Paman. Kau seorang panglima. Tidak pantas bersikap begitu."
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu...," masih terdengar bergetar suara Panglima Lanang.
Perlahan laki-laki berusia separo baya itu bangkit berdiri setelah memberi hormat dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung. Sementara, pemuda yang tiba-tiba muncul itu tersenyum. Kakinya lalu melangkah beberapa tindak mendekati. Senyumannya begitu manis terkembang di bibirnya yang merah, bagaikan bibir seorang gadis. Pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Panglima Lanang yang juga seorang panglima di Kerajaan Karang Setra.
"Aku bukan raja di sini, Paman. lngatlah. Kau harus memanggilku Rangga," ujar pemuda berbaju rompi putih itu lembut, dengan senyum terus terkembang di bibir.
Pemuda berwajah tampan dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung itu memang Rangga, yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculannya yang begitu tiba-tiba seperti hantu, memang membuat Panglima Lanang jadi terkejut setengah mati. Hampir saja detak jantungnya berhenti seketika.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu Hamba..., hamba begitu terkejut tadi," ucap Panglima Lanang.
"Ah.... Sudahlah, Paman. Aku sudah tahu semua kejadiannya. Jangan merasa bersalah atas nasib yang dialami Danupaksi. Aku malah bangga pada Danupaksi. Dia benar-benar telah membuk-tikan dirinya sebagai adik seorang raja yang sedang mengemban tugas. Aku sudah menjenguknya di istana. Memang cukup parah keadaannya, tapi akan sembuh dalam beberapa hari ini," kata Rangga mencoba menenangkan hati Panglima Lanang yang masih diliputi kegelisahan.
"Hamba benar-benar tidak tahu, siapa orang-nya yang melakukan kecurangan pada Raden Da-nupaksi," ucap Panglima Lanang sudah mulai bisa tenang kembali.
Rangga tersenyum mendengar penuturan Panglima Kerajaan Karang Setra itu. Semua yang terjadi memang sudah didengarnya dari orang-orang di dalam Istana Pakuan. Bahkan dua orang panglima yang ikut menghancurkan prajurit Panglima Widura juga sudah bercerita padanya.
"Aku tahu, siapa orangnya, Paman," ucap Rangga kalem.
"Oh..."!" Panglima Lanang jadi tersedak tidak menyangka.
"Dia Nyai Wisanggeni atau si Setan Perempuan Penghisap Darah, guru Panglima Widura. Memang tinggi tingkat kepandaiannya. Aku sendiri terasa sulit untuk menghadapinya. Dialah otak dari semua rencana pemberontakan yang dilakukan Panglima Widura," kata Rangga, tetap kalem.
"Kalau saja hamba bisa bertemu dengan-nya...," terputus kata-kata Panglima Lanang.
"Sulit untuk bisa menemukan tempat persem-bunyiannya, Paman. Tapi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan berusaha untuk membalaskan kekalahan yang diderita Danupaksi. Aku sendiri masih punya perhitungan nyawa dengannya," kata Rangga tegas.
"Oh! Perhitungan nyawa apa itu...?" tanya Panglima Lanang ingin tahu.
'Terlalu panjang ceritanya, Paman. Nantilah kalau semua ini sudah berakhir. Aku akan men-ceritakannya padamu dalam perjalanan pulang ke Karang Setra," sahut Rangga.
"Gusti akan kembali ke Karang Setra?" tanya Panglima Lanang langsung gembira.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
"Oh! Tentu semua akan senang menyambut-mu," desah Panglima Lanang.
"Aku akan beristirahat sebentar di sana, Paman. Sampai...," Rangga tidak meneruskan kata-katanya.
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Pandan Wangi yang sampai saat ini masih berada dalam perawatan Rajawali Putih, akibat luka-lukanya yang cukup parah setelah bertarung melawan Nyai Wisanggeni. Memang membutuhkan waktu cukup lama untuk menyembuhkannya. Dan Rangga sudah memutuskan untuk menunggu di Karang Setra.
"Sudah hampir gelap. Sebaiknya, kau kembali ke istana, Paman. Jangan sampai mereka mencari-carimu," ujar Rangga.
"Baik. Hamba akan selalu berada dekat dengan Danupaksi," ucap Panglima Lanang.
"Kalau Danupaksi sudah sehat, cepatlah kembali ke Karang Setra. Aku juga akan berusaha secepatnya membereskan si Setan Perempuan Penghisap Darah itu dengan muridnya," kata Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga cepat me-mutar tubuhnya berbalik dan langsung melangkah tanpa bicara apa pun juga. Panglima Lanang yang sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, jadi terdiam melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah melangkah pergi meninggalkannya. Dia hanya bisa berdiri memandangi, sampai punggung pendekar muda berbaju rompi putih itu lenyap ditelan lebatnya pepohonan di puncak bukit ini.
Beberapa saat Panglima Lanang masih berdiri memandangi ke arah mana Rangga tadi pergi meninggalkannya, walaupun kini sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Dan di saat matahari benar-benar tenggelam di balik peraduannya, Panglima Lanang baru melangkah meninggalkan puncak bukit ini. Angin pun sudah mulai terasa berhembus, menyebarkan udara dingin bersama butir-butir embun. Panglima Lanang terus berjalan perlahan-lahan, menuruni lereng bukit yang tidak begitu lebat ditumbuhi pepohonan ini.
? *** ? Sementara di tempat yang lebih tinggi dari bukit itu, Rangga berdiri tegak memandangi Panglima Lanang yang semakin jauh menuruni lereng bukit ini. Jelas sekali kalau arah yang dituju Panglima Lanang adalah Istana Pakuan. Dan Rangga sendiri seperti menanti sesuatu di bukit ini. Pendekar Rajawali Sakti belum juga beranjak pergi, walaupun sekelilingnya sudah diselimuti kegelapan. Suara gerit seranggga malam pun sudah sejak tadi terdengar menabuh gendang telinganya.
"Secepatnya aku harus bisa menemukan, di mana Nyai Wisanggeni dan muridnya bersembunyi. Jangan sampai mereka mengacaukan Pakuan ini lagi," gumam Rangga dalam hati.
Sebentar Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan saja yang tampak menghitam dijilati cahaya rembulan. Jauh di sebelah selatan bukit ini, terlihat kerlip cahaya lampu dari rumah-rumah di Kotaraja Pakuan, bagai kunang-kunang di sawah. Begitu indah kota itu dipandang dari atas bukit pada malam hari seperti ini. Namun semua itu sama sekali tak dinikmati Pendekar Rajawali Sakti.
"Luas sekali wilayah Pakuan ini. Rasanya, tidak mungkin aku harus menjelajahinya hanya untuk mencari Nyai Wisanggeni. Terpaksa..., aku harus meminta bantuan Rajawali Putih. Mudah-mudahan saja, Rajawali Putih sudah bisa meninggalkan Pandan Wangi barang sejenak," gumam Rangga lagi, dalam hati.
Perlahan kepala Pendekar Rajawali Sakti menengadah ke atas. Hanya kegelapan dan kerlip bintang saja yang terlihat di langit. Beberapa saat Rangga berdiri tegak seperti patung. Tapi tidak lama kemudian, mulai terlihat napasnya ditarik dalam dalam. Sehingga dadanya yang bidang, jadi membusung. Kemudian...
"Suiiit...!"
Malam yang semula begitu hening, seketika jadi pecah oleh siulan Rangga yang begitu keras membelah angkasa.
Sementara, Rangga sendiri masih tetap berdiri tegak dengan pandangan tertuju lurus ke langit yang kelam bercahayakan kerlip bintang berwarna keperakan.
"Hm", lama sekali. Apa yang dilakukan Rajawali..." Rasanya tidak terlalu jauh dari sini ke Lembah Bangkai," gumam Rangga perlahan.
Memang Rangga merasakan kedatangan Rajawali Putih begitu lama tidak seperti biasanya. Dan dia tahu, jarak antara bukit ini dengan Lembah Bangkai yang menjadi tempat tanggal burung rajawali raksasa itu tidak terlalu jauh. Dan seharusnya, hanya sekali panggilan saja Rajawali Putih sudah sampai. Tapi sampai begitu lama menunggu, Rajawali Putih belum juga menampakkan diri.
"Sebaiknya aku coba panggil sekali lagi," gumam Rangga lagi dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti bersiap-siap memanggil Rajawali Putih. Kepalanya sudah ter-dongak ke atas, dan dadanya sudah membusung. Lalu tidak lama kemudian..
"Suiiit..!"
Kembali Rangga menunggu. Tapi kali ini dia jadi heran. Panggilannya sama sekali tidak mem-bawa hasil. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau Rajawali Putih bakal muncul. Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi heran, bertanya-tanya sendiri dalam hati. Belum pernah hal seperti ini dialaminya. Rajawali Putih pasti datang, kalau mendengar panggilannya. Tapi kali ini"
"Baiklah. Aku coba sekali lagi," ujar Rangga pelan.
Rangga kembali bersiap hendak memanggil Rajawali Putih. Dan kali ini siulannya lebih panjang daripada sebelumnya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terdiam dengan kepala terdongak ke atas, memandang langit. Dan tidak lama kemudian. ..
"Suiiit...!"
Namun baru saja suara siulan yang dialunkan Rangga terdengar, tiba-tiba saja...
"Heh..."!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 117. Memburu Pengkhianat Bag. 6
29. August 2014 um 10:02
6 ? ? Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terasa hempasan angin yang begitu halus namun sangat kuat. Akibatnya, siulan Pendekar Rajawali Sakti seketika menghilang begitu saja. Hempasan angin itu datang bersama terdengarnya siulan yang dialunkan untuk memanggil Rajawali Putih.
"Edan...! Siapa lagi yang usil menggangguku"!" dengus Rangga jadi kesal.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti terdiam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang dapat dilihat, selain pepohonan yang menghitam terselimut gelapnya malam yang begitu pekat. Sedangkan dari langit, awan begitu tebal menutupi cahaya bulan.
"Hm... Akan kucoba dengan aji 'Pembeda Ge-rak dan Suara'," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerah-kan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sebuah ilmu kesaktian yang membuat telinganya dapat mende-ngar suara sekecil apa pun. Dan Rangga juga dapat memilih suara yang diinginkannya, dengan memilah-milah suara yang sampai ke telinganya.
Tampak kepala Pendekar Rajawali Sakti ber-gerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Dia berusaha mencari, kalau-kalau ada orang lain di sekitarnya yang mengganggunya tadi. Tapi sama sekali tidak terdengar sesuatu yang mencurigakan. Hanya desir angin saja yang tertangkap pendengarannya. Rangga segera menarik ajiannya dan kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling mempergunakan aji 'Tatar Netra'.
"Hm.. "
Saat pandangannya tertuju ke arah kiri, Rangga sempat melihat sebuah bayangan yang tersembunyi di antara lebatnya pepohonan dan gundukan batu cadas yang banyak terdapat di bukit ini. Ini memang sangat menarik perhatiannya. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Dan..
"Hup!"
Wusss! Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga hanya sekali lesat saja, sudah lenyap bagaikan asap tersapu angina. Hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun Rangga menjejakkan kakinya di tempat yang menjadi perhatiannya tadi. Tapi...
"Ups...!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting dan berputar sekali ke belakang, begitu tiba-tiba saja merasakan desir angin yang begitu halus menyambut kedatangannya. Dan manis sekali kakinya kembali menjejak tanah yang berbatu.
"Hm..."
Rangga jadi bergumam, begitu di depannya sudah terlihat berdiri seorang laki-laki tua berbaju jubah merah menyala. Di tangannya, tampak sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya.
Walaupun usianya sudah mencapai lebih dari delapan puluh tahun, tapi orang tua itu masih tetap berdiri tegak dan gagah. Raut wajahnya terlihat bengis dengan sorot mata tajam dan memerah bagai sepasang bola api. Belahan bibirnya hampir tidak terlihat, tertutup kumis putih panjang yang menyatu dengan jenggot putihnya yang panjang sampai menutupi leher. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya saling berpandangan saja, dengan sorotan mata tajam. Seakan-akan mereka saling mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Maaf, Ki. Aku tidak kenal denganmu. Tapi kenapa kau menggangguku tadi...?" tanya Rangga.
"Kau yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" orang tua itu malah balik bertanya dengan suara ketus dan dingin menggetarkan.
"Benar," sahut Rangga singkat.
"Kalau begitu, kau harus mampus! Kau sudah berani mengganggu muridku!" bentak orang tua itu, semakin dingin dan garang suaranya.
"Eh..."! Tunggu! Aku tidak tahu siapa kau, Ki. Dan apa urusanmu padaku..."!" sentak Rangga tidak mengerti.
"Aku Ki Sancaka. Urusanmu nanti setelah kau berada di neraka, Bocah!"
"Heh..."!"
Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk mencegah, begitu tiba-tiba orang tua yang mengaku Ki Sancaka itu mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan seketika itu juga, dari ujung tongkat yang kelihatan rapuh melesat sebuah benda kecil berbentuk pisau yang begitu cepat bagai kilat.
"Ups!"
Cepat Rangga miring ke kanan, hingga pisau kecil itu lewat hanya sedikit saja di samping tu-buhnya. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditarik tegak kembali, orang tua itu sudah cepat melompat. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah kepala.
"Haiiit...!"
Sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, sehingga sabetan tongkat orang tua itu tidak sampai mengenainya. Dan pada saat itu juga, Rangga sedikit memutar tubuhnya dengan bertumpu pada kaki kiri. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melayangkan satu tendangan berputar yang langsung diarahkan ke dada orang tua ini.
"Hap!"
Bet! "Heh..."!"
Lagi lagi Rangga jadi terkesiap. Cepat kaki ka-nannya ditarik, begitu Ki Sancaka mengibaskan tongkatnya ke depan dada. Dua langkah Rangga melompat ke belakang, berusaha menjaga jarak. Langsung kedua tangannya dikepalkan, tersilang di depan dada. Sementara, Ki Sancaka berdiri tegak dengan tongkat tertekan kuat pada tanah di ujung jari kakinya.
"Pantas muridku begitu segan berhadapan denganmu. Ternyata kepandaianmu lumayan juga. Tapi aku ingin tahu. sampai di mana kau bisa menahan jurus-jurusku, Pendekar Rajawali Sakti," terdengar begitu dingin nada suara Ki Sancaka.
"Maaf, Ki. Bukannya tidak menghormati orang tua. Tapi, aku benar-benar tidak mengerti semua ini. Kau tiba-tiiba saja muncul dan langsung menyerangku tanpa alasan. Kau punya dendam padaku, Ki?" Rangga tetap membuat suaranya lembut dan tenang.
"Phuih! Jangan bermanis mulut denganku, Bocah! Ayo, tahan seranganku ini!" bentak Ki Sancaka Bdak menghiraukan kata kata Rangga.
Dan belum lagi Rangga bisa membuka suaranya orang tua itu sudah mengebutkan tongkatnya ke depan, sambil mendengus berat Seketika itu juga, berdesir angin yang sangat kuat bagai hempasan badai topan.
"Hap!"
Rangga cepat melenting ke belakang dan ber-putaran dua kali, sebelum serangan Ki Sancaka mencapai sasaran. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Tapi pada saat itu juga, Ki Sancaka sudah melesat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tongkatnya yang tepat diarahkan ke kepala pemuda berbaju rompi putih ini.
"Mampus kau! Sha.. !"
"Ups! Gila...!"
Hampir saja kebutan tongkat orang tua itu menghantam kepala Pendekar Rajawali Sakti, kalau saja tidak cepat merunduk. Saat itu juga, Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, dan langsung melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
"Ikh!"
Tendangan yang begitu cepat dan mengan-dung pengerahan tenaga dalam sempurna, mem-buat Ki Sancaka jadi tersentak kaget setengah mati. Namun cepat tongkatnya dikebutkan ke bawah, sehingga membuat Rangga terpaksa harus menarik kembali kakinya sebelum mencapai sasaran. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang, mengambil jarak untuk mengatur serangan berikut. Sementara, Ki Sancaka sendiri juga melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Kini mereka kembali berdiri tegak saling berhadapan dengan tatapan mata yang begitu tajam menusuk, saling mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Hm.... Anak muda ini benar-benar tangguh. Pantas saja Wisanggeni sulit menghadapinya," gu-mam Ki Sancaka dalam hati, mengagumi kepandaian yang dimiliki lawannya yang masih muda ini.
Sementara, Rangga sendiri sudah cepat me-nyadari kalau lawannya kali ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kepandaiannya begitu tinggi, hingga begitu sulit melakukan serangan. Seakan-akan orang tua yang mengaku bernama Ki Sancaka ini mengetahui semua gerakannya. Bahkan seperti sudah bisa menebak, ke mana arah serangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga benar-benar harus berhati-hati menghadapinya.
? *** ? "Aku bosan bermain-main denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya, kita selesaikan saja urusan ini," terasa begitu dingin nada suara Ki Sancaka.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Sementara, tongkat Ki Sancaka sudah tersilang di depan dada dan perlahan-lahan diputar. Kemudian ujung tongkatnya ditancapkan ke tanah sambil memperdengarkan suara mendengus yang begitu berat.
"Hep!"
Cepat sekali Ki Sancaka melakukan gerakan-gerakan dengan kedua tangannya, diimbangi gerakan tubuh yang meliuk-liuk seperti seekor ular. Sementara, Rangga masih tetap tegak berdiri memperhatikan setiap gerak laki-laki tua itu. Tidak lama Ki Sancaka membuat beberapa gerakan yang begitu indah dengan liukan tubuh seperti ular. Dan ketika berhenti, tampak kedua tangannya sudah berwarna merah membara seperti besi terbakar dalam tungku.
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget, ketika melihat kedua tangan Ki Sancaka menjadi merah membara seperti terbakar. Keadaan seperti itu tentu saja membuatnya agak terperangah, karena kedua tangan Ki Sancaka yang merah begitu sama dengan saat Rangga mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Tanpa disadari, Rangga jadi melangkah mundur beberapa tindak. Malah kedua bola matanya jadi terbelalak seperti tidak percaya dengan apa yang tengah disaksikannya.
"Kenapa kau terkejut, Pendekar Rajawali Sakti" Takut menghadapi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' ini...?" terdengar mengejek nada suara Ki Sancaka.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.
Mendengar nama jurus yang digunakan Ki Sancaka, hati Pendekar Rajawali Sakti jadi sedikit tenang. Jelas sekali jurus yang dimilikinya berbeda dengan jurus Ki Sancaka. Hanya hasilnya saja yang kelihatan sama.
"Sebaiknya aku coba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali." gumam Rangga dalam hati "Hap...!"
Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkatan terakhir untuk mengimbangi jurus 'Cakar Api Penyebar Maut' Ki Sancaka. Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang juga menjadi merah membara seperti api, membuat kedua bola mata Ki Sancaka iadi terbebak lebar.
"Heh..."! Jurus apa yang kau gunakan...?" sentak Ki Sancaka tidak dapat lagi menahan rasa keterkejutannya.
"Sama sepertimu," sahut Rangga kalem, agak memancing.
"Kunyuk! Kau mencuri ilmuku, heh..."!"
Rangga hanya tersenyum saja mendengar tu-duhan itu. Dan memang, jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir sengaja dikeluarkan untuk memancing amarah lawannya. Dan sekarang, pancingannya sudah mulai menampakkan hasilnya. Ki Sancaka menduga, Rangga mencuri ilmunya. Tentu saja ini membuatnya jadi geram setengah mati, hingga wajahnya memerah bagai kepiting rebus.
"Kubunuh kau, Pencuri Busuk! Hiyaaat..!"
Sambil menggeram dahsyat, Ki Sancaka me-lompat begitu cepat sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, berdesir angin yang sangat kuat, disertai hempasan udara panas menyengat kulit. Sementara, Rangga yang sudah siap sejak tadi tetap diam menanti dengan kedua tangan terkepal erat di samping pinggang. Dan begitu serangan Ki Sancaka sudah dekat....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang terkepal ke depan, tepat di saat kedua tangan Ki Sancaka sudah dekat ke dadanya.
Glarrr...! Tak pelak lagi, benturan keras pun terjadi hingga menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Bahkan tanah yang dipijak jadi ber-getar, bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat. Bunga api pun memercik dari dua pasang tangan yang beradu keras itu.
Tampak mereka sama-sama terpental satu ba-tang tombak ke belakang, diiringi jeritan pendek yang tertahan. Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Terlihat Ki Sancaka agak terhuyung begitu kedua kakinya bisa menapak lagi di tanah. Setetes darah kental berwarna agak kehitaman, mengalir keluar dari sudut bibirnya. Sementara, Rangga dengan gerakan manis sekali bisa berdiri tegak, tanpa sedikit pun kelihatan terluka.
"Phuih!"
Ki Sancaka menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, mena-tap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tersirat rasa dendam dan penasaran yang amat sangat di dalam sinar bola matanya. Terlebih lagi, saat mengetahui lawannya yang masih berusia muda itu tetap tegar tanpa mendapatkan luka sedikit pun.
Sedangkan saat ini, Ki Sancaka merasakan dadanya begitu sesak seperti baru saja terhantam sebuah godam yang sangat besar dan kuat. Bahkan seluruh persendian tulang tangannya terasa nyeri!
"Jangan besar kepala dulu, Bocah! Kali ini, aku akan mengadu nyawa denganmu!" desis Ki Sancaka dingin menggetarkan.
"Aku kira tidak ada gunanya kita mengadu jiwa, Ki. Apalagi, kalau sikapmu ini membela orang yang salah. Meskipun, orang itu adalah muridmu sendiri. Apa boleh buat, aku terpaksa melayanimu," tegas Rangga.
"Kau sudah mengganggu ketenangan Nyai Wisanggeni. Maka harus kau bayar mahal atas perbuatanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Ki Sancaka geram. "Hanya nyawamulah yang patut untuk membayar keusilanmu!"
"Oh..."! Jadi si Setan Perempuan Penghisap Darah itu muridmu "' kali ini nada suara Rangga terdengar agak sinis.
"Benar! Dan sekarang, bersiaplah menjemput kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang tidak ada lagi pilihan baginya. Terpaksa disambutnya tantangan yang sudah dibuka Ki Sancaka. Bahkan sejak kemunculannya tadi, orang tua itu terus saja mendesak ingin membunuhnya. Tapi setelah tahu kalau Ki Sancaka adalah guru Nyai Wisanggeni sikap Rangga yang semula masih mengalah, kini jadi berubah begitu jauh. Sorot matanya jadi begitu tajam, hingga membuat Ki Sancaka agak bergidik juga.
"Phuih!"
Ki Sancaka menyemburkan ludahnya, berusaha mengurangi getaran yang tiba-tiba terjadi dalam hatinya. Perlahan kakinya melangkah mendekati tongkatnya yang tadi ditancapkan di tanah. Mudah sekali tongkat kayunya dicabut. Sementara Rangga sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Hanya tatapan matanya saja yang terlihat begitu tajam, memperhatikan setiap gerak Ki Sancaka dalam membuka jurusnya kembali untuk meneruskan pertarungan.
"Cabut senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Ki Sancaka sambil mengebutkan tongkat kayunya ke depan.
"Untuk menghadapimu, tidak perlu menggunakan senjata," sambut Rangga dingin.
"Sombong ..! Jangan menyesal kalau kau mati tanpa sempat mencabut senjata, Bocah!" dengus Ki Sancaka geram.
Rangga hanya tersenyum tipis saja. Sementara, Ki Sancaka sudah mulai membuka jurusnya kembali. Tongkatnya segera dikebutkan cepat beberapa kali, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, kebutan tongkat kayunya itu menimbulkan suara angin menderu bagai badai topan. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Dan"
"Hm..."
Rangga mengumam sedikit, saat melihat Ki Sancaka menjajarkan tongkat dengan tubuhnya, sehingga ujung tongkatnya hampir menyentuh hidungnya sendiri. Tampak seluruh tubuh orang tua itu bergetar bagai terserang demam ringgi. Dan begitu getaran di tubuhnya menghilang, seketika itu juga seluruh tubuhnya memancarkan cahaya kuning keemasan. Pada bagian ujung tongkatnya juga memancar cahaya kuning keemasan, yang membentuk bulatan sebesar kepala manusia.
"Dia mulai menggunakan ilmu kesaktian. Hm... Apa boleh buat. Aku harus menggunakan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati. "Hep...!"
Cepat Rangga merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dan tubuhnya langsung bergerak miring ke kiri, begitu kakinya terentang cukup lebar ke samping. Lalu perlahan-lahan tubuhnya bergerak ke kanan. Dan ketika kembali tegak, terlihat cahaya biru berkilauan menyemburat, bagai hendak keluar dari kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.
Sementara itu, Ki Sancaka sendiri sudah siap melakukan serangan dengan mengerahkan ilmu pamungkasnya. Untuk beberapa saat, mereka berdua saling berdiam diri, seakan-akan tengah mengukur tingkat ilmu yang akan digunakan masing-masing.
"Sambutlah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Diawali bentakan keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa, Ki Sancaka melompat cepat sambil menghentakkan tongkatnya ke depan. Dan ketika bulatan cahaya kuning keemasan dari ujung tongkatnya melesat..
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Rangga berteriak keras sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan jari-jari terkembang lebar. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka melesat cahaya biru berkilauan yang menyilaukan mata.
Begitu cepatnya dua cahaya itu melesat, se-hingga...
Glarrr...! *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 117. Memburu Pengkhianat Bag. 7
29. August 2014 um 10:03
7 ? ? Satu ledakan keras terdengar menggelegar bagai hendak meruntuhkan bukit yang menjadi ajang pertarungan dua tokoh persilatan tingkat tinggi, tepat di saat dua cahaya yang beradu di te-ngah-tengah.
"Akh...!"
Terdengar jeritan agak tertahan keluar dari mulut Ki Sancaka, begitu tubuhnya terdorong lima langkah ke belakang. Cahaya kuning keemasan yang memancar dari seluruh tubuh dan ujung tongkatnya seketika itu juga lenyap. Tapi, cahaya biru yang memancar dan kedua telapak tangan Rangga terus meluncur cepat bagai kilat ke arah orang tua ini.
"Heh..."!"
Ki Sancaka jadi terbeliak melihat Rangga masih terus melancarkan serangan tanpa berhenti sedikit pun. Cepat orang tua itu berusaha menghindar dengan menggeser kakinya ke samping. Tapi, gerakannya sudah terlambat. Akibatnya, dia tidak bisa lagi menghindari cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan... "Akh...!"
Kembali Ki Sancaka memekik, begitu cahaya biru terang yang keluar dari telapak tangan Rangga menghantam tubuhnya. Dan cahaya biru itu langsung menyelimuti seluruh tubuh Ki Sancaka.
"Ugkh...!"
Ki Sancaka jadi mengeluh, begitu merasakan tubuhnya terselubung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Seketika seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk melepaskan diri dari selubung cahaya biru ini. Tapi semakin kuat mengerahkan tenaga dalamnya, semakin banyak saja cahaya biru itu menggumpal menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Akh...!"
Kembali Ki Sancaka memekik, saat merasakan kekuatannya mulai mengalir keluar tanpa dapat dikendalikan lagi. Sementara, Rangga mulai melangkah menghampiri orang tua ini. Kedua tangannya masih terjulur ke depan, memancarkan cahaya biru yang terus menyelimuti seluruh tubuh Ki Sancaka.
Dan Ki Sancaka terus menggeliat-geliat sambil berteriak, berusaha melepaskan diri dari belenggu cahaya biru yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Tapi semakin keras berusaha semakin deras pula kekuatannya tersedot keluar tanpa disadari. Tam-pak titik keringat sebesar butir-butir jagung mulai merembes membasahi tubuhnya. Sedangkan Rangga semakin dekat saja. Dan ketika jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi, Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah.
"Ugkh! Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti 117 Memburu Pengkhianat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja Ki Sancaka menjerit melengking tinggi, hingga menggema ke seluruh bukit ini. Dan saat itu juga, tubuhnya jadi lemas bagai tidak memiliki kekuatan lagi. Kalau saja tubuhnya tidak terselubung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' pasti sudah ambruk ke tanah. Ki Sancaka sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang sudah lemah seperti mengalami kelumpuhan. Sementara, Rangga masih terus mengerahkan ilmunya yang sangat dahsyat.
"Hih! Yeaaah...!"
Mendadak Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga tangannya dihentakkan ke depan. Dan....
Glarrr! Bersamaan dengan itu, terdengar ledakan keras memekakkan telinga. Dan seketika, seluruh tubuh Ki Sancaka hancur berkeping-keping menjadi tepung, begitu kedua tangan Rangga terhentak mundur, yang mengakhiri pengerahan ilmu kesaktiannya.
"Hhh...!"
Rangga menghembuskan napas panjang, sambil menarik kakinya ke belakang dua langkah. Dipandanginya onggokan debu jasad Ki Sancaka yang hancur akibat aji 'Cakra Buana Sukma'. Me-mang sungguh dahsyat akibatnya jika dikerahkan sampai pada tingkat yang terakhir. Tubuh lawannya bisa menjadi debu seketika.
Beberapa saat lamanya Rangga masih berdiri diam, memandangi jasad lawannya yang kini sudah teronggok menjadi debu tidak jauh di depannya. Dan beberapa kali dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian kakinya mulai bergerak ke belakang beberapa langkah, lalu tubuhnya berbalik.
"Malam ini juga aku harus menemukan Nyai Wisanggeni dan muridnya. Akan kupanggil Rajawali Putih," gumam Rangga perlahan, bicara pada diri sendiri.
*** ? Hati Rangga jadi merasa lega setelah menge-tahui dari Rajawali Putih kalau keadaan Pandan Wangi tidak perlu dikhawatirkan lagi. Dalam beberapa hari ini, Pandan Wangi bisa kembali bersamanya. Dan malam ini Rangga tidak bisa terus-menerus menanyakan keadaan Pandan Wangi, karena harus secepatnya bisa menemukan Nyai Wisanggeni dan muridnya. Terutama menemukan Setan Perempuan Penghisap Darah yang telah membuat Pandan Wangi dan Danupaksi jadi celaka. Kemarahan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bisa dibendung lagi.
Dengan menunggang Rajawali Putih, Rangga bisa menjelajahi seluruh wilayah Kerajaan Pakuan dalam waktu singkat. Bahkan sampai memeriksa ke daerah perbatasan antara Pakuan dan Karang Setra. Namun sampai tengah malam, belum juga ditemukan tanda-tanda, di mana adanya Nyai Wisanggeni yang selama ini dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah.
"Kembali ke bukit Rajawali," pinta Rangga pada burung rajawali raksasa yang menjadi tung-gangannya.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung melesat cepat bagai kilat menuju bukit, tempat Rangga memanggilnya tadi dengan siulan saktinya. Dalam waktu sekejap mata saja, Rajawali Putih sudah berada di atas bukit itu lagi. Namun saat Rangga hendak memintanya turun, mendadak saja kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.
"Tunggu, Rajawali...! Kau lihat di bawah Sana...?" terdengar agak bergetar suara Rangga.
"Khrrr...!"
Tampaknya Rajawali Putih juga sudah melihat. Dan burung itu mengkirik perlahan sambil menjulurkan kepala ke bawah. Sehingga Rangga yang berada di punggungnya dapat melihat lebih jelas lagi. Dengan menggunakan aji 'Tatar Netra', Pendekar Rajawali Sakti semakin dapat melihat lebih jelas lagi apa yang ada di bawahnya. Padahal saat ini malam begitu gelap tanpa sedikit pun terlihat cahaya bintang maupun bulan. Langit malam juga terselimut awan tebal menghitam.
"Benar, Rajawali. Ternyata mereka masih ada di sini. Hhh...! Kalian tidak akan lolos dari tanganku sekarang!" gumam Rangga agak menggeram suaranya begitu bisa memastikan kalau dua orang yang dilihatnya di puncak bukit itu adalah Nyai Wisanggeni dan muridnya, Panglima Widura dari Kerajaan Pakuan.
Dari angkasa, Rangga melihat jelas kalau perempuan tua itu bersama muridnya tengah berdiri tidak jauh dari tumpukan debu dari tubuh Ki Sancaka yang tewas akibat terkena aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti dalam pertempurannya tadi.
"Ayo, Rajawali. Kita kejutkan mereka," ajak Rangga.
"Khraaagkh...!"
Sambil berseru keras menggelegar, Rajawali Putih langsung saja menukik cepat bagai kilat menuju puncak bukit yang tidak begitu lebat di-tumbuhi pepohonan. Teriakan Rajawali Putih yang begitu keras bagai guntur membelah angkasa, sudah membuat Nyai Wisanggeni dan Widura jadi tersentak kaget setengah mati. Dan saat mendongak ke atas, kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, tahu-tahu Rajawali Putih sudah mendarat tepat sekitar satu batang tombak di depan mereka, membuat kedua bola mata semakin lebar terbeliak. Terlebih lagi, saat dari punggung burung rajawali raksasa itu melompat seorang pemuda berbaju rompi putih yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu berdiri tegak di depan burung rajawali raksasa tunggangannya.
"Jangan harap bisa sembunyi dariku...," terasa begitu dingin nada suara Rangga.
Kebencian begitu nyata tersirat dalam tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti. Kebencian yang sudah tidak bisa terbendung lagi, karena ulah kedua orang ini yang menyebabkan Pandan Wangi dan Danupaksi jadi menderita. Padahal orang-orang itu sudah teramat dekat dengan hati Pendekar Rajawali Sakti.
"Malam ini kalian berdua harus menerima ganjaran yang setimpal!" desis Rangga dingin menggetarkan.
"Kau yang akan mampus, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak Widura begitu lenyap dari keter-panaannya.
Sret! Tanpa membuang waktu lagi, Widura langsung saja mencabut pedangnya. Dan
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
Sambil membentak nyaring, Widura langsung saja melompat sambil membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Haiiit...!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegos kan kepala, tebasan pedang Widura dapat dihindari. Bahkan dengan kecepatan mengagumkan, Rangga menghentakkan tangan kirinya diikuti egosan tubuh yang begitu manis. Begitu cepat sodokan tangannya, sehingga membuat Widura tiidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan.
Begkh! "Akh...!"
Widura jadi terpekik begitu sodokan tangan kiri Rangga mendarat telak di dadanya. Dan di saat tubuhnya terhuyung, cepat Rangga melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
"Hiyaaat...!"
Des! "Aaa...!"
Widura menjerit melengking tinggi, begitu tendangan yang dilepaskan Rangga berhasil mendarat keras sekali di dadanya. Akibatnya seketika tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak ke belakang.
Bruk! Keras sekali tubuh Widura terbanting ke tanah, dan hanya bisa menggeliat sedikit saja. Tampak dari mulutnya mengalir darah segar yang agak kental. Kedua bola matanya terbeliak lebar. Sedikit tubuhnya mengejang, lalu diam tdak bergerak-gerak lagi. Seketika, nyawa panglima itu melayang dengan tulang-tulang dada remuk, akibat terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Bocah keparat...! Kau harus membayar mahal nyawa muridku!" bentak Nyai Wisanggeni geram, begitu melihat muridnya tewas hanya dalam dua kali gebrakan saja.
"Hhh!"
Rangga hanya sedikit menghembuskan napas-nya saja. Lalu kakinya cepat digeser ke kanan dua langkah, begitu Nyai Wisanggeni sudah memutar tongkatnya yang berbentuk ular di depan dada. Kemudian perempuan tua itu menancapkan ujung tongkatnya ke tanah, tepat di ujung jari-jari kakinya. Sementara, tatapan matanya terlihat begitu tajam, bagai hendak melumat seluruh tubuh pemuda yang berada sekitar satu batang tombak di depannya.
? *** ? Entah berapa lama mereka terdiam saling berpandangan dengan tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Dan secara bersamaan, mereka saling bergerak menggeser kakinya ke samping. Sementara. Nyai Wisanggeni sudah menyilangkan tongkatnya di depan dada. Dan Rangga masih tetap dengan tangan kosong yang berada di samping pinggangnya. Tapi kedua bola matanya tidak berkedip sedikit pun memperhatikan setiap gerak si Setan Perempuan Penghisap Darah itu.
Entah sudah berapa lama mereka terdiam saling berpandangan tajam. Sementara di ufuk timur, semburat cahaya merah jingga mulai terlihat. Dan kicauan burung pun mulai terdengar, pertanda sebentar lagi pagi akan datang menjelang. Keadaan di puncak bukit ini pun sudah mulai tersiram cahaya matahari. Dan udara yang semula terasa begitu perlahan mulai menghangat.
Rangga berpaling sedikit, melirik Rajawali Putih yang masih tetap mendekam memperhatikannya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu kelihatannya agak gelisah dengan datangnya pagi.
"Kau boleh pergi, Rajawali," kata Rangga seakan bisa mengetahui arti kegelisahan tunggangannya
"Khrrr...!"
Rajawali Putih langsung mengembangkan sa-yapnya. Dan.
"Khraaagkh...!"
Sambil berseru nyaring, Rajawali Putih menge-pakkan sayapnya yang besar. Bagaikan kilat, dia melesat tinggi ke angkasa. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan, hilang tertelan awan yang masih cukup tebal menggumpal di angkasa.
"Sahabatku sudah pergi. Kau tidak perlu takut sekarang, Nyai Wisanggeni. Hanya aku dan kau yang ada di sini," dingin dan datar sekali suara Rangga.
"Phuih!"
Nyai Wisanggeni hanya menyemburkan ludah-nya saja dengan sengit. Sedikit kepalanya mendo-ngak ke atas. Memang sudah tidak terlihat lagi burung rajawali raksasa yang membuat hatinya tadi jadi gentar juga melihatnya. Sedangkan Rangga hanya tersenyum sedikit melihat bakal lawannya ingin memastikan kalau Rajawali Putih sudah pergi dari puncak bukit ini.
Bet! Merasa pasti kalau Rajawali Putih sudah tidak ada lagi, Nyai Wisanggeni langsung saja mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular ke depan. Dan seketika itu juga, dari ujung kepala tongkatnya melesat puluhan benda kecil seperti jarum berwarna kuning keemasan yang begitu cepat.
"Hap!"
Namun Rangga yang sejak tadi sudah siap, dengan gerakan yang begitu manis berhasil menghindari semua benda kecil itu. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan seekor ular tanpa menggeser kakinya sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti kembali tegak, begitu tidak ada lagi jarum-jarum senjata rahasia si Setan Perempuan Penghisap Darah.
"Hanya itukah yang kau miliki, Nyai Wisanggeni.?" Sengaja Rangga memanasi perempuan tua itu, karena ingin memancing kemarahannya.
"Bocah keparat! Cabut senjatamu...I" bentak Nyai Wisanggeni geram.
Rangga hanya tersenyum saja. Hatinya senang, karena pancingannya ternyata membawa hasil. Nyai Wisanggeni kelihatan geram sekali merasa diremehkan pemuda lawannya.
Wut! Kembali Nyai Wisanggeni mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan kali ini, berulang-ulang. Maka dari ujung kepala tongkat yang berbentuk ular itu melesat puluhan jarum halus berwarna kuning keemasan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kali ini. Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Nyai Wisanggeni. Jarum-jarum halus yang sangat berbahaya itu meluncur deras, menghujani Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya perempuan tua itu tidak sudi memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang.
"Hiyaaa...!"
Nyai Wisanggeni berlompatan, memutari tubuh Pendekar Rajawali Sakti sambil cepat mengebutkan tongkatnya secara berulang-ulang. Dan ujung kepala tongkatnya terus ditujukan pada lawannya.
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil melenting tinggi-tinggi ke atas, Rangga berputaran dengan tubuh meliuk menghindari serangan si Setan Perempuan Penghisap Darah itu.
'Yeaaah...!"
Diiringi teriakan keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras dengan kedua kaki bergerak begitu cepat bagai berputar. Saat itu juga, jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dikerahkannya
"Ikh..."!"
Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, melihat serangan Rangga yang begitu cepat dan dahsyat tanpa diduga sama sekali. Cepat kakinya ditarik ke belakang, seraya mengebutkan tongkatnya ke atas kepala.
Tapi pada saat itu juga, Rangga sudah memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah. Dan bagaikan kilat, dilepaskannya satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiyaaa...!"
"Hih..!"
Bet! Nyai Wisanggeni jadi kaget setengah mati. Cepat tongkatnya dikebutkan ke depan dada, sambil melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Maka pukulan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai menghantam tubuhnya.
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah, dan langsung mengembangkan kedua tangannya ke samping, bagaikan sepasang sayap rajawali yang sedang mengembang. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah menyilangkan lagi tongkatnya di depan dada.
"Phuih!"
Sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit, Nyai Wisanggeni menggeser kakinya perlahan ke kanan. Sementara, Rangga sudah mulai menggerakkan tangannya, bagaikan burung hendak terbang meninggalkan bumi. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata perempuan tua berjubah putih kumal itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 117. Memburu Pengkhianat Bag. 8 (Selesai)
29. August 2014 um 10:05
8 ? ? ? Bagaikan kilat, Rangga melenting ke atas mem pergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan Nyai Wisanggeni, kedua tangannya langsung mengibas cepat secara bergantian. Akibatnya si Setan Perempuan Penghisap Darah itu jadi kelabakan menghindarinya.
"Hap! Hiyaaa...!"
Nyai Wisanggeni terpaksa harus berlompatan dan jungkir balik menghindari setiap kibasan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bagaikan sayap seekor burung rajawali murka ini. Setiap kibasan tangannya selalu menimbulkan hempasan angin kuat, disertai hembusan hawa panas menyengat kulit.
Nyai Wisanggeni terus berjumpalitan sambil sesekali mengebutkan tongkatnya untuk menangkis setiap kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali tongkat perempuan tua itu menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, pemuda berbaju rompi putih itu terus saja melancarkan serangan dengan kibasan kedua tangannya yang begitu cepat dan dahsyat.
"Hap! Yeaaah...!"
Dan pada satu saat, tiba-tiba saja Rangga me-miringkan tubuhnya ke kanan. Lalu dengan ge-rakan tubuh begitu cepat, jurusnya dirubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat gerakannya, sehingga Nyai Wisanggeni jadi kaget tidak menyangka. Dan..
Begkh! "Akh...!"
Pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi ditahan, tepat menghantam keras dada perempuan tua itu. Sehingga, Nyai Wisanggeni menjerit ketika tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Bruk! Keras sekali tubuh perempuan tua itu terban-ting ke tanah, dan bergelimpangan beberapa kali. Tubuhnya baru berhenti ketika menghantam sebatang pohon yang sangat besar.
Brak! Seketika pohon yang besar itu hancur berke-ping-keping terlanda tubuh perempuan tua itu. Namun Nyai Wisanggeni bisa cepat bangkit lagi walaupun terhuyung-huyung. Tampak darah kental berwarna agak kehitaman menyembur keluar dari mulutnya, begitu kedua telapak kakinya menjejak tanah lagi. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung tongkatnya yang ditekan kuat di depan ujung jari kakinya. Sementara, Rangga terlihat berdiri tegak menatap tajam pada perempuan tua berjubah putih kumal itu dengan sinar mata memerah bagai bara api.
"Keparat...!" Nyai Wisanggeni menggeram ma-rah merasa kecolongan. "Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti...!"
Wuk! Sambil menggeram marah Nyai Wisanggeni mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, hingga ujung kepala tongkat yang berbentuk kepala ular tertuju lurus ke dada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun. Hanya pandangan matanya saja yang terlihat begitu tajam menusuk ke bola mata perempuan tua itu.
Belum juga Setan Perempuan Penghisap Darah itu bisa melancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara gemuruh hingga membuat tanah di puncak bukit itu jadi bergetar bagai terjadi gempa. Getaran dan suara gemuruh itu membuat Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget setengah mati. Kembali tongkatnya yang sudah menjulur lurus ke depan diturunkan. Sementara Rangga juga terperanjat tidak mengerti.
Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, terlihat debu mengepul tinggi ke angkasa dari lereng bukit ini, sehingga menarik perhatian mereka. Namun tidak lama kemudian, terlihat semak-semak dan pepohonan bergoyang bagai terlanda badai. Dan....
"Danupaksi..." Rangga mendesis perlahan begitu terlihat seorang penunggang kuda muncul dari balik semak belukar.
Dan kemunculan pemuda penunggang kuda yang ternyata Danupaksi, diikuti pula oleh seorang gadis cantik berbaju biru muda. Gadis yang menunggang kuda putih itu tidak lain Pandan Wangi. Kemudian, disusul lagi oleh seorang laki-laki berusia separo baya, serta puluhan orang berkuda berpakaian seragam prajurit dari Kerajaan Karang Setra. Dalam waktu tidak berapa lama saja, puncak bukit itu sudah dipenuhi prajurit dari Karang Setra.
? *** ? "Tangkap dia...!" seru Danupaksi tiba-tiba.
"Tahan!" bentak Rangga keras menggelegar, sebelum para prajurit yang diperintah Danupaksi bergerak untuk menangkap Nyai Wisanggeni.
Tajam sekali Rangga menatap adik tirinya, kemudian melangkah beberapa tindak menghampiri. Sementara Danupaksi sendiri sudah turun dari punggung kudanya, didampingi Pandan Wangi dan Panglima Lanang.
"Aku tidak menginginkan ada kecurangan da lam persoalan ini. Biar aku yang menanganinya sendiri," tegas Rangga.
"Tapi, Kakang. Dia sudah..."
"Cukup, Danupaksi!" sentak Rangga tegas, memutuskan ucapan adik tirinya.
Danupaksi langsung diam membisu. tidak be rani lagi membantah, walaupun dalam hatinya terdapat ganjalan yang menggunung. Dan matanya menatap tajam penuh kebencian pada Nyai Wisanggeni yang telah membuatnya terbaring beberapa hari di Istana Pakuan. Tapi melihat tatapan mata Rangga yang begitu tajam pemuda itu tidak bisa lagi membuka mulutnya.
"Kalian semua. menjauh dari sini!" bentak Rangga lantang menggelegar.
Tanpa diperintah dua kali, semua prajurit yang berada di tempat itu langsung bergerak menjauh. Tinggal Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang yang masih tetap berada dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit Rangga melirikkan matanya yang tajam pada mereka. Dan tanpa diminta dengan kata-kata lagi, mereka segera menarik diri bergerak menjauhinya. Sementara Rangga sendiri melangkah mendekati Nyai Wisanggeni yang tampaknya sudah tidak memiliki harapan untuk bisa menyelamatkan diri lagi.
"Kau tidak perlu cemas, Nyai Wisanggeni. Mereka tidak akan ikut campur. Hanya aku yang akan memenuhi keinginanmu," kata Pendekar Rajawali Sakti kalem.
"Hm" Kuakui kejantananmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku pun akan berlaku sebagaimana mestinya seorang pesilat," sambut Nyai Wisanggeni, kagum dengan kekesatriaan lawannya.
"Mari, Nyai. Mulailah lebih dulu," ujar Rangga mempersilakan dengan senyuman tersungging di bibir.
Nyai Wisanggeni menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Sementara diperhatikannya orang-orang yang berada di sekelilingnya. Memang, mereka tampaknya tidak tengah berada dalam keadaan siap tempur. Bahkan sebagian tampak enak duduk di bawah pohon, seperti begitu yakin kalau rajanya bisa mengalahkan perempuan tua ini. Bahkan Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang, terlihat duduk mencangkung beralaskan rerumputan yang cukup tebal terhampar di puncak bukit ini. Mereka juga begitu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa mengalahkan lawannya.
Melihat semua itu, Nyai Wisanggeni jadi berge-tar juga hatinya. Disadari kalau lawan yang sedang dihadapinya bukanlah lawan sembarangan. Lawan yang sudah menewaskan gurunya, juga murid tunggal kesayangannya. Sudah barang tentu kepandaian pemuda berbaju rompi putih ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari begitu yakinnya orang-orang yang ada di puncak bukit ini, tanpa tersirat keraguan sedikit pun.
"Phuuuh...!"
Nyai Wisanggeni menghembuskan napasnya panjang-panjang, mencoba mengurangi keraguan dan kegentaran yang bersemayam dalam hatinya. Ujung tongkatnya yang runcing pun ditancapkan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dan tatapan matanya kini tertuju lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berada sekitar satu setengah tombak di depan.
"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Tahan se-ranganku...," desis Nyai Wisanggeni datar "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, perempuan tua itu langsung saja melesat cepat bagai kilat. Dan tongkatnya seketika dikebutkan, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakb.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegos-kan kepalanya, serangan Nyai Wisanggeni dengan mudah dihindari. Tapi, Rangga agak terkejut juga saat merasakan desir angin yang begitu panas di atas kepalanya, ketika tongkat berbentuk ular milik perempuan tua itu lewat.
"Hep!"
Cepat Rangga melompat ke belakang sejauh dua langkah. Dan pada saat itu Nyai Wisanggeni sudah memutar tongkatnya, yang langsung disabetkan ke pinggang.
Bet! "Hih...!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindarinya. Maka segera dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' untuk menangkis. Cepat sekali gerakan yang mereka lakukan, sehingga...
Plak! "Ikh..."!"
Nyai Wisanggeni terpekik kaget, begitu tongkatnya menghantam tangan kanan Rangga yang mengibas menangkis serangannya. Seluruh tangan kanannya yang memegang tongkat kontan terasa jadi bergetar. Dan seluruh persendian tulang tangannya jadi nyeri bagai hendak lepas. Sementara, Rangga sendiri sempat terlompat ke belakang, tanpa merasakan apa-apa sama sekali.
"Hm...," Pendekar Rajawali Sakti menggumam pelan.
Dari benturan tangan dengan tongkat ular Nyai Wisanggeni tadi, sudah bisa diukur kalau tingkat pengerahan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih unggul. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah bersiap hendak melakukan serangan lagi.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, perempuan tua itu kembali melompat dengan sabetan tongkat yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap!"
Namun sungguh di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha bergeming sedikit pun juga. Bahkan begitu ujung tongkat yang berbentuk kepala ular itu sudah dekat dadanya, cepat kedua telapak tangannya dikatupkan. Sehingga, ujung tongkat perempuan tua itu terjepit di antara kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti di depan dada.
"Ikh...!"
Nyai Wisanggeni berusaha menarik kembali tongkatnya, tapi jepitan tangan Rangga begitu kuat. Seakan-akan, tongkat itu berada dalam jepitan dua batu karang yang begitu kuat. Meskipun seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan. tapi tetap saja tongkatnya tidak terlepaskan. Bahkan sedikit pun tidak bergeming.
"Keparat...! Hih, yeaaah...!"
? *** ? Tampak begitu geram Nyai Wisanggeni menda- pati tongkatnya tidak berdaya berada dalam jepitan tangan lawannya yang masih muda ini. Dan sambil berteriak keras, tubuhnya melenting ke atas. Lalu, kaki kanannya menghentak memberi satu tendangan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap! Hiyaaa...!"
Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga me-lepaskan jepitannya pada tongkat perempuan tua itu. Dan bagaikan kilat, tangan kirinya dikibaskan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tepat mengarah ke kaki Nyai Wisanggeni yang menjulur mengarah ke kepala. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak sempat lagi menarik pulang kakinya. Dan.
Plak! "Akh...!"
Bersamaan terdengarnya pekikan Nyai Wisanggeni, Rangga melesat ke atas. Lalu, cepat sekali di lepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat pukulannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak dapat lagi mempertahankan dadanya yang kosong.
Begkh! "Aaakh ..!"
Kembali Nyai Wisanggeni menjerit keras me-lengking tinggi, begitu pukulan tangan kanan Rangga tepat menghantam keras dadanya. Akibatnya, tubuh perempuan tua itu seketika terpental jauh ke belakang.
Bruk! Keras sekali tubuh perempuan tua itu terban-ting ke tanah. Dan dari mulutnya langsung me-nyemburkan darah kental berwarna agak kehi taman. Sedangkan Rangga sudah kembali berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya di depan Nyai Wisanggeni.
"Hoeeekh...!"
Kembali Nyai Wisanggeni memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya, saat berusaha berdiri lagi. Dengan bantuan tongkatnya, perempuan tua itu bisa berdiri lagi, walaupun tubuhnya jadi terhuyung. Sementara, Rangga tetap menunggu dengan senyuman tersungging di bibir. Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku akan mengadu nyawa denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nyai Wisanggeni, agak bergetar suaranya.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
Sementara, Nyai Wisanggeni sudah melepaskan tongkatnya. Lalu dengan tangan kosong dibuatnya beberapa gerakan di depan dada. Sorot matanya tertuju lurus, bagai hendak merobek dada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah membuatnya jatuh bangun beberapa kali.
"Hih...!"
Begitu perempuan tua itu menarik tangannya hingga tersilang di depan dada, seketika kedua tangannya jadi berubah merah membara seperti terbakar. Rangga yang sudah pernah menghadapi ilmu seperti itu dari Ki Sancaka, segera merapatkan kedua tangannya di depan dada.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan tubuh. Kedua kakinya segera direntangkan ke samping. Dan begitu tubuhnya kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih tetap merapat di depan dada. Rangga yang sudah tahu kalau Nyai Wisanggeni sudah mempersiapkan ilmu kesaktian dahsyat, tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera disiapkannya aji 'Cakra Buana Sukma" untuk menandinginya.
"Tahan ajian pamungkasku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Sambil membentak nyaring, Nyai Wisanggeni langsung saja menghentakkan kedua tangannya yang sudah memerah ke depan. Dan pada saat itu juga...
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Dua cahaya meluncur begitu cepat dari dua aliran ilmu kesaktian, tanpa dapat dicegah lagi. Dan ketika kedua sinar merah dan biru itu bertemu tepat di tengah-tengah...
Glarrr...! Satu ledakan dahsyat terdengar bagai guntur membelah angkasa. Tampak Nyai Wisanggeni ter-pental jauh ke belakang sambil menjerit begitu panjang melengking tinggi. Keras sekali tubuhnya terbanting di tanah, dan bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti setelah membentur sebongkah batu yang cukup besar. Sementara Rangga sedikit pun tidak bergeser kakinya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut aji kesaktiannya begitu melihat Nyai Wisanggeni tidak bergerak-gerak lagi, tergeletak di tanah berumput yang cukup tebal ini. Tampak dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah kental berwama agak kehitaman. Sedikit pun tidak ada gerakan yang menandakan kalau wanita tua itu masih hidup.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memperha-tikan perempuan tua itu, kemudian melangkah menghampiri. Langkahnya baru terhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi dari tubuh perempuan tua yang tergeletak tidak bergerak-ge-rak lagi. Dadanya terlihat berlubang agak meng-hitam agak kebiruan. Asap berwarna kebiruan terlihat mengepul dari dadanya yang berlubang cukup besar.
Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Memang sungguh dahsyat akibat aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir. kalau dikerahkan lewat tenaga dalam penuh dan sempurna. Setelah yakin kalau Nyai Wisanggeni sudah tidak bernyawa lagi, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Lalu kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi, Danupaksi, dan Panglima Lanang yang sudah menanti sejak tadi. Mereka langsung menyambut kemenangan itu dengan wajah cerah, walaupun sejak semula sudah begitu yakin akan kemenangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo kita kembali ke Karang Setra," ajak Rangga langsung, sebelum ada yang melontarkan suara.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera me-lompat naik ke punggung kuda masing-masing. Panglima Lanang memberi tali kekang kuda Dewa Bayu pada Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua itu melompat naik ke atas punggung kudanya sendiri, setelah Rangga berada di atas punggung Dewa Bayu, kuda hiiam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan tidak berapa lama kemudian, mereka se-mua sudah bergerak meninggalkan puncak bukit ini. Para prajurit yang berjumlah puluhan orang itu mengikuti dari belakang. Mereka semua menjalankan kuda perlahan-lahan, langsung menuju Karang Setra. Rangga berkuda paling depan, didampingi Danupaksi dan Pandan Wangi.
"Bagaimana kalian bisa bertemu, Pandan?" tanya Rangga.
"Rajawali Putih membawaku ke batas Kota Pa-kuan. Di sana aku bertemu Danupaksi," sahut Pandan Wangi.
"Kau tahu dari mana kalau aku ada di sini, Danupaksi?" tanya Rangga seraya berpaling pada adik tirinya.
"Paman Lanang," sahut Danupaksi ringan. Rangga langsung melirik Panglima Lanang.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak langsung kembali ke Istana Pakuan. Hamba terus mengikuti...."
"Ah, sudahlah potong Rangga cepat.
Mereka pun tidak bicara lagi, terus bergerak perlahan-lahan menuju ke Karang Setra yang ber-batasan dengan Kerajaan Pakuan.
? SELESAI ? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Malaikat Tanpa Wajah 1 Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Dandara Memburu Putri Datuk 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama