Ceritasilat Novel Online

Misteri Dewi Maut 1

Pendekar Rajawali Sakti 137 Misteri Dewi Maut Bagian 1


" . 137. Misteri Dewi Maut Bag. 1
6. November 2014 um 08:40
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Misteri Dewi Maut
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1? ? Malam belum lagi larut. Tak heran kalau masih saja ada orang berkeliaran di luaran. Seperti dua orang laki-laki yang tengah menyusuri jalan setapak di Desa Randu Dongkal ini. Kaki mereka telah penuh lumpur. Dan sesekali, terdengar kecipak air ketika kaki mereka menjejak kubangan air. Tadi siang, turun hujan rintik yang tak ada hentinya. Baru ketika menjelang senja, hujan mulai berhenti. Namun tetap saja mendung masih terlihat, membuat langit jadi tampak kelam.
Perlahan-lahan hawa dingin merambat semakin menggila. Dan kini tubuh kedua orang itu mulai tampak menggigil
"Tidak biasanya, malam ini terasa dingin ya, Kang?" kata salah seorang memecah kebisuan yang terjadi sejak tadi. Bila melihat raut wajahnya, orang itu berusia sekitar dua puluh tahua. Parasnya tam?pan, dengan tubuh besar dan tegap.
"Huh! Kalau saja Purwati tidak ingin melahirkan sekarang, tak bakalan aku mau keluyuran di malam sedingin ini!"
"Jangan begitu, Gento! Justru di situlah tanggung jawabmu sebagai suami diuji. Jangan enaknya saja yang kau suka!" ujar kawannya sambil terkekeh kecil.
Tubuh orang ini kecil, kumisnya yang melintang bergerak-gerak ketika tertawa. Tingginya hanya sebatas telinga pemuda yang dipanggil Gento. Tapi melihat sorot matanya yang tajam dan langkahnya yang ringan, bisa diukur kalau kepandaiannya tidak rendah.
"He he he...! Dingin-dingin begini, buat apa keluar" Lebih baik mendekap Purwati," kata Gento diiringi suara terkekeh renyah.
"Brengsek kau, Gento! Ingin membuatku cemburu, ya...?" rutuk laki-laki berkumis melintang itu.
"Makanya cepat-cepat kawin, Kang Badra untuk apa lama-lama" Itu dengan Lastri bagaima?""
Laki-laki berkumis melintang itu menghela napas. Berat sekali rasanya mendengar nama perempuan yang disebutkan Gento tadi. Apalagi untuk bercerita.
"Maaf. Kang Badra. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu desah Gento begitu menyadari perubahan pada raut wajah orang yang di?panggil Badra.
"Ah, tidak apa-apa...!" sahut Badra, setelah menghela napas" Barangkali bukan jodoh, To. Si Lastri lebih tertarik pada Prabanta..."
"Prabanta.." Lintah darat yang sering memeras penduduk itu?"
Mata Gento kontan terbelalak seperti tak percaya pada pendengarannya. Dan ketika dilihatnya la?ki-laki itu mengangguk, dia kembali terkesima.
"Astaga! Tidak disangka, ya Kang. Kukira Lastri orangnya baik budi. Ternyata hatinya menyimpan kebusukan. Tega benar dia mengkhianatimu!" kata Gento, agak mendengus.
"Dia tidak mengkhianati aku, To...."
"Jadi, apa namanya" Memang Prabanta masih bujangan dan kaya raya. Wanita mana yang tidak tertarik padanya" Tetapi, dia tak boleh berbuat sesuka hatinya seperti itu!"
"Orang tua Lastri terjerat hutang. Sedang Pra?banta terus mendesak dan memaksa. Bahkan belakangan, mulai mengancam akan menyita semua harta benda orang tua Lastri yang tersisa. Tapi ternyata, Prabanta menyimpan niat tertentu. Dia menginginkan Lastri...," Jelas Badra dengan suara getir.
"Lalu apakah Lastri mau saja" Dan Kakang ti?dak berbuat apa-apa untuk mencegahnya...?" de?sah Gento.
"Apa yang harus kuperbuat jika orang tuanya telah bersedia" Dia pikir aku ini hanya seorang pengembara yang tidak punya pekerjaan tetap. Jika anaknya kawin dengan Prabanta, tentu akan terjamin. Dan tentu saja kehidupan mereka tidak morat-marit lag!"
Gento mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Aku turut bersedih, Kang. Untung saja lintah darat itu tak berada di desa kita. Kalau tidak, pasti dia pun mengincar Purwati. Aku tak akan bisa bersikap tabah sepertimu..."
"Sudahlah. Aku tidak mau mengungkit-ungkit peristiwa itu lagi. Dengan mengembara ke mana saja, lama kelamaan bayangan itu akan hilang de?ngan sendirinya," ujar Badra mantap.
"Jadi, Kakang akan mengembara lagi...?" tanya Gento.
"Benar. Untuk apa aku berada di sini...?"
"Sebagai adik, aku memang tidak berhak mengatur jalan hidup Kakang. Tetapi kalau Kakang terus begini, mana bisa hidup tenang. Kakang harus punya keluarga dan menetap di suatu tempat," desah Gento.
Badra belum sempat menyahut, ketika hidungnya kembang-kempis mencium sesuatu. Dan Gento pun juga merasakannya. Udara yang dingin tiba-tiba bercampur wewangian menyengat. Keduanya mencari-cari sumbernya, tetapi sampai beberapa saat belum diketemukan juga. Seolah, sumber wewangian itu menyebar ke segala tempat, terbawa angin yang berhembus menggigilkan.
"Bau harum apa ini, Kang Badra...?" tanya Gento keheranan.
"Entahlah.... Aku juga tidak tahu. Seperti bau harum kembang setaman bercampur kayu cendana. Tetapi kini lebih wangi!"
Belum juga kata kata Badra kering...
"Awaaas, Kang...!"
Teriak Gento memperingatkan
Mendadak saja sesuatu bayangan putih menyambar ke arah mereka. Cepat bagai kilat mereka melompat ke kiri dan kanan, sehingga sambaran bayangan itu luput. Namun begitu gagal, bayangan itu cepat berputar dan kembali melesat. Kali ini, Gento yang menjadi sasaran. Sementara Badra yang sadar kalau adiknya tidak mengerti sama sekali dalam soal ilmu olah kanuragan langsung memapak dengan tangan terkepal.
Plak! "Ugkh!"
Laki-laki itu mengaduh! Wajahnya berkerut menahan sakit. Tangannya seolah olah membentur dinding batu yang keras. Belum lagi disadari apa yang terjadi, telah berdiri tegak seseorang tiga langkah di depannya. Bahkan tahu tahu saja, tubuh Gento telah dikempit di pinggangnya dalam keadaan tertotok
? *** ? "Siapa kau...?" bentak Badra dengan mata terbelalak. Betapa tidak" Bayangan putih tadi ternyata seorang wanita muda berwajah jelita. Kulitnya putih bersih. Hidung yang mancung, bibir merah merekah, serta rambutnya yang hitam panjang bergelombang sampai ke pinggul, membuat sempurna kecantikannya.
Bukan itu saja yang membuat laki-laki berkumis melintang ini terpaku. Pakaian yang dikenakan wa?nita itu begitu tipis. Sehingga samar-samar lekuk-lekuk tubuhnya yang menggiurkan terlihat. Sintal dan padat, dengan dua buah bukit kembar yang membentuk indah. Dari tubuh wanita itulah tercium bau harum yang membuat setiap laki-laki mabuk kepayang.
"Bocah bagus, namaku Ayu Purbani. Adikmu kupinjam barang sejenak. Setelah itu, akan kukembalikan lagi padamu," sahut si Wanita, disertai senyum memikat.
Untuk sesaat laki-laki itu seperti tidak tahu harus berbuat apa. Dipandanginya wanita itu lama sekali, seolah ingin meyakinkan kalau tidak salah lihat.
"Mengapa melamun" Kau tidak keberatan bu?kan...?" tanya wanita cantik ini memecah keterpakuan Badra.
"Eeeh, tunggu dulu! Mau kau bawa ke mana adikku?" cegah laki-laki itu, ketika perempuan cantik ini berbalik dan melangkah menjauh.
"Hm. Sayang wajahmu tidak memungkinkan. Kalau tidak, aku pun berkenan meminjammu," sahut wanita itu sambil terus melangkah.
"Heee, apa maksudmu...?"
"Maksudku..." Hi hi hi...! Adikmu bertubuh ba?gus dan wajahnya lumayan. Dan kau mengerti mak?sudku, bukan...?"
Tersiraplah darah Badra ketika mendengar kata-kata wanita ini. Kesadarannya mulai timbul. Wa?nita yang mengaku bernama Ayu Purbani ini, jelas bukan orang baik-baik. Sebenarnya Badra hendak menghalangi wanita itu membawa adiknya. Tapi dia tidak kuasa menentang sorot mata Ayu Purbani yang penuh daya pemikat luar biasa. Seolah, setiap keinginannya harus selalu dipenuhi dan dituruti.
"Setan!" hardik Badra sambil berpaling. Mulai disadari kalau pandangan wanita itu mengandung kekuatan yang tidak wajar. "Lepaskan adikku. Ja?ngan paksa aku berbuat kasar untuk mencegah niat kotormu itu!"
"Hi hi hi...! Boleh juga gertakkanmu. Tetapi, kau tidak berhak atas dirinya. Kalau adikmu mau ikut denganku, kau mau bicara apa?" kata Ayu Purbani.
Kemudian tangan Ayu Purbani bergerak cepat ke arah punggung Gento. Totokan pemuda itu dilepaskan. Pandangan matanya tak bergeser dari mata Gento.
"Bocah bagus, bersediakah ikut denganku?" tanya Ayu Purbani disertai senyum manis.
"Eh, aku.." Tentu saja suka sekali. !" sahut Gento yang sudah berdiri di samping wanita itu.
"Hi hi hi...! Bagus! Bagus!" Ayu Purbani terkikik girang. Lalu kepalanya berpaling pada Badra. "Nah! Kau dengar, bukan..." Dengan suka rela dia ikut denganku. Sekarang, kau pulanglah!"
"Kuntilanak sialan! Kau pasti menggunakan ilmu sihir. Pergilah, dan jangan ganggu kami! Atau aku akan menggunakan kekerasan padamu!" bentak Badra garang.
"Hi hi hi...! Bisa berbuat apa kau padaku" Nih, bawalah dia!"
"Gento! Ayo kita pergi dari tempat ini!" ajak Badra sambil menarik tangan adiknya.
Tetapi, nba-tiba saja Gento menyentakkan lengannya dengan keras. Sehingga cekalan tangan Badra terlepas.
"Gento! Apakah kau benar-benar telah kepincut kuntilanak ini..." Ayo, cepat kita pergi...!" dengus Badra.
"Kakang! Pulanglah lebih dulu! Nanti aku menyusul!" ujar Gento dengan pandangan mata kosong.
"Kau bicara apa, Gento...?" tanya laki-laki ber?kumis melintang itu sambil membelalakan matanya. Tanpa sadar tangannya terayun ke wajah Gento.
Plak! Plok! Wajah Gento tampak merah terkena tamparan Badra. Sebagai balasannya, Gento menendang tajam pada kakaknya.
"Bangsat...! Semua ini gara-gara ulahmu!" bentak Badra sambil menyerang Ayu Purbani.
"Hi hi hi...! Kenapa kau marah" Seharusnya kau menyadari kalau tidak berhak mencampuri urusan orang muda!" ejek Ayu Purbani, langsung menghindari serangan itu dengan mudah.
"Setan! Adikku tidak pantas bagj wanita sepertimu!" seru Badra kembali menerjang wanita cantik itu.
Dengan tersenyum penuh ejekan, Ayu Purbani memiringkan tubuhnya. Bahkan dengan jari-jari terbuka, dikirimkannya satu tebasan ke arah leher.
Weeet! Dengan terkejut, laki-laki berkumis melintang itu segera membuang diri ke samping. Tetapi sebuah tendangan melingkar Ayu Purbani telah melayang cepat ke arah perut Badra.
Begkh! "Ugkh...!"
Badra memekik keras, begitu perutnya terhajar tendangan. Perutnya terasa mual dan kepalanya pening. Tak terasa darah segar menetes dari sudut bibirnya.
"Hi hi hi...! Baru punya kepandaian setahi kuku, mau banyak jual lagak. Seharusnya kau sudah kubunuh sejak tadi!" kata wanita itu, penuh ejekan.
"Keparat! Bunuh saja aku! Aku tak takut mati!" hardik laki-laki itu dengan mata merah.
"Hi hi hi...! Bocah bagus! Kau lihat, bukan" Dia telah mengganggu kita. Orang seperti itu patut menerima hukuman. Butakan matanya. Dan buntungi kedua kakinya!" ujar wanita itu.
Ayu Purbani segera mengeluarkan satu dari sepasang pedang pendek yang terselip di pinggangnya. Tanpa ragu-ragu, Gento yang sudah hilang pikiran warasnya menerima pedang itu dan melang?kah mendekati kakaknya. Pedang itu segera diangkatnya tinggi-tinggi.
"Gento, apa yang kau lakukan" ingat! Aku ini Kakangmu, Gento!"
Laki-laki itu berteriak untuk menyadarkan adiknya. Tetapi....
Crap! Crappp! "Wuaaa...!"
Badra berteriak setinggi langit, ketika pedang itu cepat sekali menembus sepasang matanya. De?ngan tubuh terhuyung-huyung, Badra mendekap kedua matanya yang tertembus pedang pendek de?ngan kedua tangannya. Tampak darah mengalir da?ri sela-sela jarinya. Sebentar saja, Badra telah am-bruk di tanah, tak sadarkan diri. Dan ketika kedua kakinya ditebas, dia sudah tak merasakan apa-apa lagi.
"Hi hi hi...! Bagus! Dengan begitu dia tidak akan mengganggu kesenangan kita lagi!"
Wanita itu terkikik kegirangan, setelah Gento menjalankan perintahnya. Dan setelah menotok Gento kembali, wanita cantik itu berkelebat pergi dari tempat ini. Sementara Gento yang masih dalam pengaruh ilmu sirepnya dan tertotok lemas, dibopong di bawah ketiaknya.
? *** ? "Oaa... Oaaa...!"
Keheningan sebuah rumah gubuk di Desa Randu Dongkal pecah oleh tangisan bayi.
Sementara perempuan muda di dalam gubuk itu tersenyum lega. Kedua matanya basah oleh air mata haru. Dipandanginya bayi mungil masih me?rah itu, kemudian dikecupnya perlahan-lahan. Dan tangis bayi itu pun perlahan- lahan mereda. Kemu?dian mata wanita itu memandangi perempuan tua yang sejak tadi berada di tepi ranjang dengan wajah lesu.
"Mbok.... Kakang Gento ke mana" Sejak semalam hingga pagi ini, dia belum kembali. Apakah dia menemui kesulitan di perjalanan?" tanya wanita muda ini.
"Entahlah, Nduk. Hatiku pun gelisah. Seharus?nya dia sudah kembali bersama dukun beranak. Untung kau tidak mengalami kesulitan. Bayi itu keluar dengan mudah," jawab perempuan tua ini.
"Kakang Badra juga belum kembali...?"
Perempuan tua itu menggeleng.
"Ke mana mereka, Mbok...?"
"Mana aku tahu" Bapakmu telah menyusul menjelang pagi tadi. Mudah-mudahan sekarang te?lah bertemu... "
Ucapan perempuan itu belum selesai, ketika dan kejauhan terdengar bunyi kentongan dipukul bertalu-talu. Keduanya saling berpandangan de?ngan wajah cemas.
"Mbok, ada apa" Bukankah bunyi kentongan itu menandakan ada seseorang yang kena musibah?"
"Entahlah, Nduk Aku kurang jelas...," desah si Perempuan Tua.
Perempuan tua itu buru-buru membuka pintu depan ketika mendengar ribut-ribut di luar. Di depan pintu, berdiri seorang laki-laki kurus berusia li?ma puluh lima tahun. Kedua tangannya membopong tubuh seseorang yang ditutupi selimut lebar. Di belakangnya tampak pula seorang pemuda, yang juga membopong sesosok tubuh.
Walaupun telah diselimuti kain, masih terlihat tetesan darah yang membuat kain itu jadi berwarna merah. Dengan seketika, wajah perempuan tua itu menjadi pucat.
"Kang, apa yang telah terjadi. ..?" tanya perem?puan tua itu dengan perasaan cemas. Dengan tiba-tiba disingkapnya kain yang menutupi tubuh orang yang dibopong laki-laki tua di depannya. Begitu terbuka, perempuan tua itu memekik sekuatnya. Tubuhnya langsung lemas dan ambruk seketi?ka.
"Mbok, ada apa?"
Mendengar suara orang jatuh, perempuan mu?da yang berada di ranjang berusaha bangkit. Beberapa orang laki-laki segera menerobos masuk, dan berusaha menahan wanita muda itu agar tidak melihat tubuh yang sedang dibopong laki-laki kurus tadi.
"Lepaskan! Lepaskan aku, ingin kulihat siapa dia...?"
"Purwati, tenangkan hatimu! Kau masih perlu istirahat...," bujuk salah seorang.
Tetapi perempuan muda bernama Purwati itu terus meronta-ronta melepaskan diri. Secara tiba-tiba, seperti memiliki tenaga yang berlipat ganda, sekali sentakan dia berhasil melepaskan diri. Kemudian, langsung menghambur untuk melihat wajah orang yang sedang dibopong laki-laki tua itu. Ketika kain itu dibuka, Purwati langsung memekik sekuat-nya.
"Kakang Gentooo...!"
Ternyata orang yang dibopong memang Gen?to. Wajahnya kini terlihat pucat berkeriput, warna kulitnya berubah pucat kekuning-kuningan. Bahkan tubuhnya telah kaku dan dingin. Melihat suaminya tewas secara menyedihkan, Purwati langsung pingsan. Untung orang yang berdiri dekat dengannya menahan. Langsung Purwati dibopong dan diba-ringkan di tempat tidur.
? *** ? Sejak peristiwa itu, orang Desa Randu Dongkal membicarakannya dari mulut ke mulut. Dari tanda kebinasaan Gento, jelas kalau kejantanannya telah terisap habis. Gento selama ini dikenal sebagai la?ki-laki yang baik dan tidak pemah menyeleweng. Tetapi dengan adanya peristiwa ini, orang mulai mencomoohkannya. Bila di depan istrinya berlagak baik, tetapi di belakang diam-diam nyeleweng.
Keluarga itu merasa terpukul. Lebih-lebih Pur?wati. Setiap keluar rumah, orang memandangnya dengan sinis dan jijik. Badra yang matanya buta dan kedua kakinya buntung, mulai ikut bicara untuk menjernihkan keadaan. Dia mulai menceritakan segala sesuatu yang telah terjadi.
Tapi orang desa itu ada yang percaya, dan ada pula yang tidak. Mereka menuduh Badra mengarang cerita, untuk menutupi aib adiknya. Barulah pembicaraan itu mereda, ketika dari desa lain terdengar peristiwa-peristiwa serupa. Banyak pemuda yang binasa dengan ciri-ciri serupa pula. Sejak itu?lah, nama Ayu Purbani santer dibicarakan orang. Selain kecantikannya yang luar biasa, juga merupakan seorang Dewi Maut yang menakutkan.
Tetapi, banyak para pemuda yang penasaran ingin bertemu Ayu Purbani si Dewi Maut. Mereka ingin membuktikan sendiri, tentang kecantikannya.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 137. Misteri Dewi Maut Bag. 2
6. November 2014 um 08:43
2 ? Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berjalan peten, melewati pematang sawah. Sesekali wajahnya yang penuh keringat diusap dengan punggung tangannya. Siang ini matahari memang bersinar penuh, seakan-akan hendak membakar bumi. Wajah pemuda itu yang semula bersih kini mulai matang kemerahan.
"Huh! Panasnya minta ampun. Mungkin di Sa?na aku bisa berteduh," desah pemuda itu ketika melihat pohon besar yang rindang tumbuh di depannya.
Sebentar saja, pemuda itu melesat mengguna?kan ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga tak heran, dalam waktu singkat dia telah berada di bawah pohon rindang ini.
Tapi baru saja pemuda itu bermaksud merebahkan diri, tiba-tiba telinganya yang tajam mende?ngar suara ribut-ribut, di belakang bukit kecil yang tak jauh dari situ. Mulanya hendak didiamkan saja. Tetapi begitu mendengar jeritan seseorang yang teraniaya, cepat tubuhnya bangkit. Seketika kekuatannya dikempos, langsung mengerahkan ilmu meri?ngankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi. Begitu cepat kelebatan tubuhnya, sehingga sebentar saja dia telah sampai di atas bukit kecil. Dan pandangannya langsung tertuju pada empat orang laki-laki bertampang kasar, yang tengah mempermainkan seorang gadis berbaju hijau di bawah sana.
"Keparat, lepaskan aku!" teriak gadis berbaju hijau itu, yang sudah dalam keadaan tertotok.
"He he he...! Melepaskanmu..." Sungguh bodoh sekali...," sahut laki-laki bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk. Di pinggangnya, tergantung sebilah golok besar. Sepasang matanya berbinar-binar, seperti hendak menelanjangi tubuh gadis itu.
"Cuih! Setan-setan keparat seperti kalian hanya bisa main keroyok. Lepaskan aku! Aku masih mampu bertarung sampai seribu jurus!"
"Kau benar, Blonto Suro! Dia masih mampu bertarung seribu jurus, kenapa tidak kau layani!" kata laki-laki kurus bersenjatakan rantai besi. Pandangannya ditujukan pada laki-laki tinggi besar yang dipanggil Blonto Suro.
"Untuk apa bertarung segala, kalau di depan mata sudah terdapat hidangan nikmat. Bukan be?gitu, Dipakama?" timpal laki-laki berkepala botak, dengan tubuh bongkok. Di pinggangnya tampak berjejer pisau kecil.
Sementara, laki-laki kurus yang dipanggil Dipa?kama hanya manggut-manggut. Pandangannya kini sudah menjilati tubuh gadis yang terbaring tak berdaya karena tertotok lemas.
"Durbala, kau ini tolol sekali!" sela laki-laki yang mengenakan blangkon" Maksud Dipakama itu bagus. Kenapa tidak dilayani" Bukankah dia masih kuat bertarung seribu jurus" Apalagi hanya menghadapi kita berempat. Tenaganya tentu masih segar bugar."
"Aaah! Kau terlalu membuang tenaga, Wiksa Keti! Untuk apa dibuat lama-lama. Sebaiknya, se?gera dimanfaatkan!" potong laki-laki botak yang di?panggil Durbala, tidak sabar.
"Maksudku, kita akan bertarung dengannya, tetapi tidak di sini. Melainkan, di semak-semak itu!" sahut Dipakarna sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Laki-laki berblangkon yang dipanggil Wiksa Keti terkekeh, begitu mengerti apa yang dimaksudkan Dipakama. Matanya melotot sambil menyeringai, dengan ludah hampir menetes penuh nafsu saking gemasnya, dia membungkuk tangannya langsung terjulur, meremas sebelah dada gadis itu.
"Ouw...! Bangsat keparat, kubunuh kau setan!" bentak gadis itu sambil melotot garang. Wiksa Keti hanya terkekeh kesenangan.
"Wiksa Keti, siapa suruh mendahuluiku" Setan kau!"
"Anjing-anjing kurap! Jangan harap dapat menyentuh diriku! Lebih baik aku mati daripada kalian sentuh!" bentak gadis itu.
"Ha ha ha.. ! Kau ingin mati" Boleh saja! Teta?pi, setelah kami semua puas nanti!" sahut Blonto Suro.
Setelah berkata begitu, Blonto Suro menyambar wanita itu. Langsung dibawanya gadis ini ke balik semak-semak rimbun.
"Bangsat! Lepaskan aka.., lepaskan aku...!" teriak wanita itu kembali. Kini hatinya mulai dijalari rasa takut yang tak terhingga.
Namun belum lagi, Blonto Suro bertindak lebih jauh....
"Lepaskan gadis itu, Kisanak!"
Tiba-tiba terdengar bentakan yang keras menggelegar, membuat keempat orang itu terkejut. Dan belum hilang keterkejutan mereka, sudah berkelebat sosok bayangan putih, dan tahu-tahu mendarat ringan di depan Blonto Suro.
Kini, semua yang ada di situ melihat, siapa yang mengeluarkan bentakan tadi. Dia adalah pemuda berbaju rompi putih. Pedangnya yang berhulu kepala rajawali tersembul di balik punggungnya. Rambutnya yang gondrong berterbangan ditiup angin.
"Siapa kau"!" bentak Blonto Suro.
Sementara itu tiga orang sahabat laki-laki ber tubuh besar itu mendekat dengan wajah garang. Masing-masing siap memegang senjatanya.
"Aku Rangga. Dan aku muak melihat tingkah kalian! Sebaiknya, lepaskan wanita itu!" seru pemu?da berbaju rompi putih yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Anjing kecil! Jangan jual lagak di hadapan Empat Iblis Pencabut Nyawa!" bentak Blonto Suro. Kemudian kepalanya berpaling pada Dipakama. "Dipakama! Sebaiknya cepat bereskan dia, sebelum aku muntah melihat lagaknya!"
Tetapi, Dipakama tampak ragu-ragu.
"Dipakama, kau dengar tidak kata-kataku?" bentak Blonto Suro kembali.
"Sebentar, Blonto Suro. Rasanya aku pernah melihat ciri-ciri pemuda ini. Dan, pedangnya itu... "Kalau tak salah, dia Pendekar Rajawali Sakti!"
Bagaikan disengat kala, Blonto Suro baru ingat dengan julukan itu.
"Kau Pendekar Rajawali Sakti?" seru Blonto Suro dengan perasaan bergetar. Kakinya mundur dua tindak ke belakang. Namun. dia cepat berusaha menguasai diri.
? *** ? 'Pendekar Rajawali Sakti! Sebaiknya pergilah dari sini. Dan, jangan suka mencampuri urusan orang!" bentak Blonto Suro.
"Lebih baik lagi, bila kalian yang pergi dari sini. Dan, tinggalkan wanita itu!" ujar Rangga tenang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Mendengar namamu, tadinya kami masih menghargai. Tetapi lagakmu telah membuatku muak!" seru Blonto Suro de?ngan sikap dibuat setenang mungkin.
"Kisanak! Sebenarnya, tingkah siapa yang memuakkan" Kalian empat orang kuat ingin mengganggu seorang wanita. Dan aku?"" tanya Rangga.
"Kurang ajar! Dipakama, dan kau Wiksa Keti! Bereskan dia...!" teriak Blonto Suro.
Wiksa Keti dan Dipakama segera mempersiapkan diri untuk segera menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Ciaaat...!"
Wiksa Keti berteriak nyaring. Tahu kalau Pen?dekar Rajawali Sakti berilmu tinggi, laki-laki berblangkon tidak berani berlaku ayal-ayalan. Senjata andalannya yang berupa keris di tangan segera berkelebat mengancam tenggorokan. Dan apabila serangannya gagal nanti, dia telah mempersiapkan serangan susulan. Dan jurusnya ini disebut, 'Memanah Rembulan Menyingkap Tirai Pelangi'. Itulah sa?lah satu jurus yang menjadi andalannya.
Dipakama sendiri telah memutar-mutar rantai besinya. sehingga menimbulkan pusaran angin kencang. Senjatanya mengancam gerakan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiaaat!"
Tubuh Rangga meliuk-liuk tak beraturan bagai orang mabuk, mengerahkan jurus 'Sembilan Lang kah Ajaib'! Sehingga kelebatan keris lawannya lewat dengan sendirinya. Ketika sebuah tendangan Dipakama melaju ke lambung, Rangga langsung melenting ke atas. Maka serangan itu luput dengan sendirinya.
"Bangsat!" maki Wiksa Keti begitu melihat se?rangan lawannya gagal.
Laki-laki berblangkon itu segera memutar tu?buhnya. Lalu dengan satu loncatan ringan, dikejarnya Pendekar Rajawali Sakti.
"Heup!"
Begitu menjejak tanah, Rangga kembali melen?ting ke udara. Dan setelah berputaran beberapa ka?li, tubuhnya hinggap di salah satu cabang pohon kecil. Kemudian Rangga duduk seenaknya sambil mengawasi lawannya yang berada di bawah.
"Pendekar Rajawab Sakti, turunlah kau! Apa kebisaanmu hanya main loncat-loncatan begitu" Mari kita tentukan, siapakah yang lebih unggul!" teriak Wiksa Keti, mencak-mencak.
Karena Rangga mendiamkan saja, Dipakama jadi berang.
"Hiyaaa!"
Laki-laki bersenjatakan rantai besi itu langsung melenting. Rantai besinya kemudian dikelebatkan dengan kekuatan dahsyat.
Wuuut! Krakkk! "Uts!"
Rangga bergerak cepat, ketika rantai besi Di?pakama menghantam cabang pohon tempat duduknya tadi. Tubuhnya langsung melayang bagaikan rajawali. Kemudian, tangannya bergerak mengibas. Maka dari tangannya melesat sesuatu yang mengarah ke wajah lewan-lawannya.
Dengan terkejut kedua orang di bawahnya berusaha menghindari. Tetapi, daya luncur benda itu lebih cepat lagi. Hingga"
Plak! Plok! "Aaah!"
Wiksa Keti dan Dipakama gelagapan sesaat be?gitu benda itu mendarat di wajah masing-masing. Ketika mereka menyeka wajah, terciumlah bau busuk yang tidak sedap. Maka, meledaklah amarah mereka.
"Kurang ajar! Berani kau melempar wajahku dengan bau busuk! Kupatahkan batang lehermu nanti!" seru Dipakama.
"Biar dia kubikin mampus!" timpal Wiksa Keti.
Melihat kedua temannya dapat mudah dipermainkan, Durbala ikut maju mengeroyok Rangga yang sudah mendarat manis di tanah. Sementara Rangga hanya memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' dalam menghadapi lawan-lawannya.
Tak pantas kalian mengeroyok anak gadis. Mestinya kalian mengeroyok ketidakadilan di muka bumi ini," kata Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Jangan banyak mulut! Terimalah pisau-pisauku ini!" sentak Durbala.
Siut! Cet! Cettt!
Seketika lima bilah pisau terbang melesat, mengancam tubuh Rangga. Dapat dibayangkan, betapa berbahayanya serangan ini.
"Haaap!"
Namun dengan segera Rangga mengeluarkan jurus 'Seribu Rajawali' yang memiliki gerakan ce?pat. Sehingga, tubuhnya seperti berubah jadi ba?nyak. Dan entah bagaimana caranya, kelima pisau terbang itu tahu-tahu sudah berada di tangan Pen?dekar Rajawali Sakti. Lalu secepat itu pula, pisau-pisau itu dilempar balik pada Wiksa Keti dan Di?pakama.
Zing! Zing! Dua dari Empat Iblis Pencabut Nyawa itu jadi terkesiap, melihat kecepatan pisau-pisau yang melebihi kecepatan lemparan Durbala tadi. Namun de?ngan gerakan cepat mereka berusaha menangkis senjata pisau yang dilempar balik oleh Rangga, menggunakan senjata masing-masing.
Sial bagi Dipakama. Karena gerakannya kurang cepat, pinggangnya tersambar juga.
Cras! "Aaakh!"
Dipakama kontan menjerit kesakitan, begitu tersambar pisau yang dilempar Pendekar Rajawali Sakti.
"Bangsat! Pendekar Rajawali Sakti! Hari ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" bentak Dipakama tak mempedulikan darah yang mengucur dari luka di pinggang. Rantai besinya diputar putar mengan?cam Rangga.
Wuuut! Wuuut! Siuuut!
Seketika tiga serangan dahsyat menerjang Rangga, dari tiga orang pengeroyok yang tampaknya tidak mau memberi hati lagi. Sementara, Rang?ga segera memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya cepat meliuk-liuk tak beraturan, menghindari setiap serangan.
Sambil menghindari serangan, Pendekar Raja?wali Sakti sesekali mengirimkan serangan balasan.
Untuk sesaat pertarungan berjalan sengit dan seru. Tiga lawannya benar-benar sudah murka. Tampak rantai besi Dipakama menyambar-nyambar bagai gerakan ular mencari mangsa. Sedangkan ujung keris Wiksa Keti menusuk-nusuk ke tempat yang mematikan. Sementara, pisau-pisau terbang Durbala mengancam seluruh jalan darahnya.
Dengan gerakan yang sulit ditangkap mata biasa, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menangkap semua pisau terbang Durbala. Bahkan kakinya tiba-tiba melepaskan tendangan pada Wiksa Keti. Sehingga, orang ini jadi jatuh terpelanting. Ketika Durbala kembali melempar pisau-pisau terbang, semuanya dapat dipukul jatuh oleh Pendekar Rajawali Sakti menggunakan senjata pisau terbang yang berhasil ditangkapnya.
Durbala terkejut setengah mati, ketika pisau ter?bang miliknya dapat dilumpuhkan. Dan belum lagi rasa keterkejutannya hilang. Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat dengan sebuah totokan berbahaya. Maka dengan sebisanya, dia melenting ke belakang berusaha menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Tetapi Rangga terus mengejarnya, dengan sebuah tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Begkh! "Aaakh...!"
Telak sekali dada Durbala mendapat sebuah tendangan keras, walaupun hanya sedikit dialiri tenaga dalam dari Pendekar Rajawali Sakti. Tubuh?nya kontan terjungkal di tanah, disertai jerit kesakitan.
Dengan gerakan cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat ke Wiksa Keti. Langsung dicengkeramnya laki-laki berblangkon itu, dan langsung dilemparkan ke arah Dipakama. Tanpa dapat dicegah lagi keduanya menjerit setinggi langit, ketika bertabrakan satu sama lain dan ja?tuh berdebam di tanah.
"Kurang ajar! Hadapilah aku, Pendekar Raja?wali Sakti!" bentak Blonto Suro geram, melihat kawan-kawannya tengah mengaduh-aduh kesakitan.
Betapa terkejutnya orang tinggi besar itu ketika menoleh ke arah Rangga kembali. Ternyata Pende?kar Rajawali Sakti telah lenyap dari tempatnya berdiri tadi. Dan ketika matanya diarahkan pada gadis tadi, ternyata telah lenyap pula. Blonto Suro hanya bisa menghentak hentakkan kakinya dengan kesal.
"Kisanak kita tidak bermusuhan! Jadi, untuk apa saling bunuh" Urus sajalah ketiga orang sahabatmu itu. Kau tidak perlu penasaran pada gadis itu. Dia kini aman bersamaku!" terdengar suara Rangga dari kejauhan, yang dialiri tenaga dalam.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info

Pendekar Rajawali Sakti 137 Misteri Dewi Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? 2017 ?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"": ?"?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" "
?"?"?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?""
?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?""
137. Misteri Dewi Maut Bag. 3
6 ?"?"?"?"" 2014 ?"?" 8:44 ".
3? ? "Nisanak. Kalau boleh kutahu, siapakah namamu" Aku Rangga?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, kepada gadis yang baru saja ditolongnya dari gangguan Empat Iblis Pencabut Nyawa.
"Untuk apa kau tanya-tanya namaku" Dan, sia?pa pula yang menyuruhmu menyelamatkanku"! Aku masih bisa menjaga diriku sendiri!" sentak ga?dis berbaju hijau ini.
Gadis itu ternyata terlalu angkuh. Dia benar-benar tak peduli kalau dirinya telah diselamatkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan sedikit pun tidak mengucapkan terima kasih. Sikapnya terkesan sinis dan acuh.
'Tentu saja kau dapat menjaga diri. Tapi dalam keadaan tertotok seperti tadi, apa kau bisa?"" usik Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau pikir aku tidak dapat melepaskan totokan mereka" Kalau kau tidak mencampuri urusanku, tentu batang leher mereka telah kupenggal satu persatu...!" kilah gadis itu, keras.
Mendengar kata-kata itu, Rangga tidak dapat lagi menahan tawanya.
"Heee..."! Mengapa menertawaiku. .?" bentak wanita itu.
"Siapa bilang" Aku tertawa, ya karena ingin tertawa saja...," ujar Rangga.
"Huh! Laki-laki memang sering berdusta!"
"Nyatanya, wanita paling senang didustai..," balas Rangga.
"Wanita yang mana" Kau pikir, semua wanita bisa kau dustai"!" bentak wanita itu. Matanya kini melotot gusar.
"Yang jelas bukan kau, Nisanak...," kata Rang?ga.
"Jangan tertawa! Tidak lucu, tahu"!"
"Aku tidak bermaksud melucu...!" kata Rangga perlahan.
"Kau memang brengsek! Kenapa kau mengikutiku terus-menerus" Pergi sana! Aku dapat berjalan sendiri!"
"Eh..." Siapa yang mengikutimu, Nisanak" Bukankah kau sendiri yang mengikutiku...?" bantah Rangga.
"Brengsek!"
Gadis ini jadi bersungut-sungut, kemudian berbalik. Seketika dia berlari pergi dari tempat pinggiran hutan yang cukup lebat ini. Agaknya, gadis itu baru turun gunung. Sehingga, dia tidak tahu se?dang dengan siapa berhadapan. Apalagi untuk mengenal para tokoh persilatan.
Gadis itu baru berhenti larinya, ketika Pendekar Rajawali Sakti tidak mengikutinya. Sambil mengatur pernapasannya yang mulai memburu, tubuhnya disandarkan pada sebatang pohon yang cukup teduh berdaun rindang.
Tapi belum lama berteduh, beberapa kulit buah-buahan mengenai tubuh gadis itu. Dengan cepat kepalanya melongok, tampak Pendekar Rajawali Sakti sedang duduk di atas dahan kecil sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Sementara, mulutnya sibuk mengunyah buah yang kulitnya dilemparkan tadi. Melihat hal ini tentu saja gadis itu jadi melotot garang.
"Setan keparat!" seru gadis itu.
Seketika itu pula, dia melontarkan pukulan jarak jauh pada dahan yang diduduki Pendekar Rajawali Sakti.
Wuuut! Kraaak! Dahan yang diduduki Rangga kontan patah berantakan terkena pukulan jarak jauh gadis itu. Tapi, ternyata gerakan Pendekar Rajawali Sakti lebih ce?pat lagi. Pemuda berbaju rompi putih itu tidak ada lagi di tempatnya, lenyap bagai ditelan bumi. Se?hingga gadis itu jadi kebingungan sendiri. Setelah menoleh ke sana kemari dan yang dicari tak ada, gadis itu segera berlari menuju ke utara.
? *** ? Sebuah suara pertarungan pecah di Desa Randu Dongkal. Dua orang bertubuh aneh tampak sedang dikeroyok puluhan orang berpakaian serba kuning yang kelihatannya berasal dari sebuah padepokan. Di sekitar pertarungan, mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah sebagai bukti kalau pertarungan telah berjalan cukup lama.
Walaupun dikeroyok orang banyak sedimikian rupa, agaknya kedua orang bertubuh aneh itu tidak mengalami kesulitan. Padahal, masing-masing memanggul tubuh seseorang di punggung. Dari sini bi?sa diyakini kalau kedua orang itu berkepandaian tinggi.
Salah satu orang yang dikeroyok bertubuh pen?dek gemuk. Rambutnya yang panjang, dikuncir ke belakang. Wajahnya lebar dengan hidung besar. Sementara yang seorang lagi bertubuh tinggi kurus. Kepalanya botak, agak lancip ke atas. Senjatanya sebuah tongkat berwarna merah darah.
Tiba-tiba saja laki-laki tinggi kurus itu bersiul nyaring sambil menunjuk ke arah orang-orang berpakaian serba kuning. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu puluhan tawon beracun berdatangan dan berputar-putar di sekelilingnya. Lalu, dengan cepat puluhan tawon itu menerjang ke arah para pengeroyok yang jumlahnya puluhan.
Rupanya, laki-laki tinggi kurus itu, memiliki sebuah ilmu yang dapat memanggil puluhan tawon lewat siulan. Sedangkan tongkat merah di tangannya adalah sebagai penangkal tawon-tawon beracun itu.
Maka seketika terdengar teriakan dari sana-sini. Para pengeroyoknya yang terkena sengatan tawon beracun kontan jatuh bergulingan sambil menggigil seperti kedinginan. Kemudian mereka binasa de?ngan tubuh membiru. Bisa dibayangkan betapa beracunnya tawon-tawon itu!
"He he he"! Apa kalian kira bisa mencegah kami?" Sebaiknya pulanglah. Dan katakan pada ketuamu, kami meminjam putranya hanya sebentar. Tengah malam nanti, pasti akan kukembali kan...," kata laki-laki yang bertubuh pendek sambil tertawa mengejek.
Sementara, laki-laki botak yang bersiul tadi telah menarik pulang tawon-tawon beracunnya, kendati binatang-binatang penyengat itu masih berterbangan di sekitarnya.
"Iblis keparat! Kembalikan kedua putra ketua kami! Kalau tidak, terpaksa kepala kalian berdua sebagai gantinya!" bentak salah seorang pengeroyok dengan suara garang, tanpa gentar melihat rekannya yang tewas secara mengenaskan.
*** ? "Ha ha ha...! Kau dengar, Rambing Puger! Sungguh hebat gertakan mereka pada kita. Tidak perlu main-main lagi. Sikat saja mereka jangan disia-siakan lagi!" ejek laki-laki botak, kepada laki-laki gemuk yang dipanggil Rambing Puger.
"Bah...! Apa dikira kami sebagai rumput yang diam saja dicabun seenaknya!" teriak salah seorang murid padepokan itu.
"Ha ha ha...! Kalau itu yang kalian kehendaki, baiklah. Berdoalah selagi masih bisa!" ujar Rambing Puger, segera meletakkan orang yang dibopongnya di atas tanah.
"Haiyaaa!"
Sambil berjumpalitan beberapa kali di udara, Rambing Puger berteriak keras. Tubuhnya langsung jatuh ke bumi dalam keadaan berjongkok seperti katak dengan kedua tangan menempel di tanah. Pada saat yang seperti itu, para pengeroyok serentak menerjangnya, dengan berbagai senjata tajam.
"Krok! Koook!"
Sambil berteriak seperti katak, Rambing Puger segera menyorongkan kedua tangan ke depan. Ma?ka seketika itu pula terdengar suara seperti angin topan yang bergemuruh, menerjang ke arah para pengeroyok yang merandek sejenak karena terkejut.
"Wuaaa!"
"Aaargkh!"
Seketika tubuh para pengeroyoknya terpelanting, tersambar pukulan jarak jauh Rambing Puger.
Teriakan kematian pun terdengar begitu mengenaskan. Dari mulut mereka, mengalir darah kental kehitaman.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Rambing Pu?ger mendekati laki-laki tinggi kurus berkepala botak.
"Nah, Simo Jalak. Sekarang giliranmu," ujar Rambing Puger sambil berkacak pinggang.
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki yang dipang?gil Simo Jalak mengeluarkan kembali siulan yang mengandung kekuatan gaib dan terdengar janggal di telinga. Maka dari sekitar tempat itu kembali berterbangan puluhan tawon, yang siap menunggu perintah selanjutnya dari Simo Jalak. Dan ketika la?ki-laki berkepala botak itu menunjuk ke arah penge?royok, tawon tawon beracunnya segera menyerang sambil memperdengarkan suara menakutkan.
Sementara, orang-orang berpakaian serba ku?ning tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kalau ada yang dapat menghindar, paling-paling hanya dua tiga orang saja. Tetapi pada saat yang gawat, sekonyong-konyong melesat selarik sinar kemerahan ke arah tawon-tawon beracun.
Slap! Slap! Werrr...! Seketika itu pula, tawon-tawon beracun berjatuhan ke tanah dalam keadaan hangus. Dan be?gitu sinar merah kembali menghantam, tawon-ta?won yang masih menyerang korbannya berjatuhan dalam keadaan hangus. Betapa terkejutnya Simo Jalak melihat kejadian ini.
"Suiiit! Siiit!
Simo Jalak bersiul keras, memberi aba-aba bagi binatang- binatang suruhannya. Maka kini rombongan tawon beracun itu terbang balik, kemudian le?nyap ke dalam hutan, di antara batang pohon yang berdaun lebat.
Sementara sosok yang melepaskan sinar merah tadi, tampak sedang enak-enakan duduk di atas sebatang pohon tumbang. Dia adalah seorang pemuda tampan berambut gondrong. Pakaiannya rompi berwarna putih. Tampak sebatang pedang bergagang kepala burung tersembul di balik bahunya.
"Siapakah kau..."!" bentak Simo Jalak, begitu melihat kehadiran pemuda yang tak lain dari Pen?dekar Rajawali Sakti.
"Namaku tidak penting. Tapi yang penting, hentikan tindakan kejam kalian! Dan bagiku, sudah semestinya turun tangan mencegah sebelum timbul korban lebih jauh...," sahut Rangga.
Simo Jalak segera meletakkan orang yang dibopongnya. Kemudian kakinya melangkah beberapa tindak mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Se?mentara tongkat merahnya dikebut-kebutkan, hingga menimbulkan suara menyakitkan telinga. Sikapnya sangat memandang rendah.
"Bocah! Menyingkirlah kau, sebelum terlambat dan menyesal!" hardik Simo Jalak. Matanya tam?pak melotot garang.
'Simo Jalak! Sebaiknya kita berhati-hati. Bo?cah ini tampaknya berilmu tinggi!" kata Rambing Puger memberi peringatan.
Mendengar peringatan temannya, Simo Jalak hanya mendengus sinis.
"He he he...! Takut apa dengan bocah ingusan itu" Dalam beberapa gebrakan saja, dia akan merangkak dan merengek-rengek minta ampun padaku!" sahut Simo Jalak, jumawa disertai tawa meremehkan.
"Jadi...?" tanya Rambing Puger.
"Ya, kita habisi saja sekalian! Terlalu lama di sini bisa-bisa Gusti Ayu Purbani marah pada kita!" potong Simo Jalak.
"Benar juga kau. Biar aku yang habisi dia!" se?ru Rambing Puger mulai mengerahkan tenaga dalamnya.
"Heya!"
Sambil berteriak keras Rambing Puger menyorongkan tangan ke muka dengan telapak terbuka. Maka dari telapaknya berdesir angin keras, ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Begitu desiran angin hampir menerpa tubuhnya, dengan tenang Rangga pun mendorong telapak tangannya ke muka menyambut serangan Rambing Puger.
Wuuut! Glarrr...! "Aaakh!"
Terdengar ledakan dahsyat akibat beradunya dua tenaga dalam yang amat tinggi. Sehingga debu dan pasir sampai berterbangan ke mana-mana. Se?mentara tubuh Rambing Puger terdorong ke belakang. Sungguh tidak disangka akan seperti ini kejadiannya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tidak bergeser sedikit pun dari pijakannya.
"Siapakah kau sebenarnya..."!" tanya Rambing Puger, membentak.
"Dialah Pendekar Rajawali Sakti!" Mendadak saja terdengar sebuah suara nyaring dari seseorang. Ternyata suara itu berasal dari se?orang gadis berusia belasan tahun yang tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh dari situ. Melihat kedatang-annya yang tiba-tiba, agaknya gadis itu berisi juga. Wajahnya cantik, namun terkesan galak. Rambutnya dikuncir ke belakang dengan pakaian berwarna hijau.
"Kau sendiri, siapa Nisanak...?" tanya Rambing Puger.
"Soal namaku, tidak perlu tahu. Tetapi setiap orang yang punya sangkut paut dengan Ayu Pur?bani, harus mati di tanganku!" dengus wanita ber?baju hijau, sinis.
Sriiing! "Heyaaat!"
Tiba-tiba gadis itu mencabut pedang. Langsung diserangnya Rambing Puger.
? *** ? Rambing Puger terkejut setengah mati. Tapi secepat itu, tubuhnya bergeser ke kiri seraya menghantam pergelangan tangan gadis itu. Tapi tentu saja gadis ini tidak sebodoh itu. Cepat tangannya ditarik, langsung melepaskan tendangan ke bawah perut. Terpaksa Rambing Puger melompat ke atas, seraya mengirim serangan kilat ke batok kepala gadis ini.
"Bocah gendeng! Ingin mampus saja, pakai ba?nyak tingkah segala! Nih, makan untukmu!" bentak Rambing Puger.
Tetapi gadis itu cepat memutar pedangnya, dan memapak serangan dengan sabetan senjatanya.
Weeet! Trang! Benturan dua buah senjata terjadi, menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Dan tahu-tahu, pedang di tangan gadis itu telah terpental dari genggaman. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi dia bersiap, sebuah hantaman keras telah menghantam perutnya.
Des! "Aaakh!"
Gadis itu kontan terpental, disertai tetesan da?rah dari sudut bibirnya begitu sebuah hantaman ka?ki mendarat di perutnya. Pada saat yang sama Rambing Puger melesat kembali. Tapi....
"Heaaat"!"
Sebuah bayangan putih mendadak berkelebat disertai teriakan mengguntur, menyambuti serangan Rambing Puger.
Plak! Plakkk! "Uuukh!"
Orang bertubuh gemuk pendek itu kontan mengeluh kesakitan ketika tangannya beradu dengan bayangan putih yang tak lain dari Pendekar Raja?wali Sakti. Kedua tangannya seketika terasa kesemutan dan linu bukan main. Sementara Rangga sendiri merasa tangannya bergetar.
"Huh! Agaknya kau benar-benar ingin mati di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti! Sekarang, rasakan seranganku!" seru Rambing Puger.
Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam luar biasa Rambing Puger menghantamkan tangan?nya ke arah Rangga. Maka segera Pendekar Raja?wali Sakti menyambutinya.
Blug! Kembali dua tangan berisi tenaga tinggi berte?mu di udara. Tubuh Rambing Puger kembali ter?pental ke belakang. Tetapi sambil jatuh, tubuhnya melakukan gerakan salto beberapa kali di udara. Ketika jatuh ke bumi, dia langsung berjongkok dengan kedua telapak tangan menempel bumi.
"Krok! Koook!"
Rambing Puger mengeluarkan suara mengkorok bagai kodok. Dan mendadak, dia bangkit sambil menyorongkan kedua tangannya ke depan. Maka seketika sebuah desir angin yang sangat kuat menerpa ke arah Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti segera menyambutinya.
Dugkh! "Uuuh!"
Tidak dapat ditahan lagi, tubuh Pendekar Rajawali Sakti terdorong ke belakang, begitu habis memapak serangan.
"Hebat!"
Puji Pendekar Rajawali Sakti, langsung bergulingan menjauhi lawan.
"Hiyaaa...!"
Pada saat itu, Simo Jalak turut ikut membantu Rambing Puger. Tongkatnya yang berwarna merah langsung dihantamkan, begitu Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Tongkat Simo Jalak bergulung-gulung, menimbulkan suara bersiutan.
Sementara, Rambing Puger juga terus mendesak dengan pukulan ilmu 'Katak' yang hampir punah dari rimba persilatan. Kabarnya, pukulan itu dapat menghancurkan batu sekeras apa pun. Bah?kan mampu mencabut pohon sampai ke akar-akar nya. Debu dan daun-daun kering sampai berterbangan, bagaikan dihempas badai.
"Eiiik!"
Pendekar Rajawali Sakti segera melenting ke atas untuk menghindari serangan kedua orang itu. Pukulan tongkat Simo Jalak tidak sedahsyat temannya, tapi mengandung racun tawon yang dapat mematikan hanya dalam beberapa saat saja. Untuk sesaat, Rangga jadi pontang-panting.
Dengan cepat, Rangga langsung mengerahkannya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang membuat tubuhnya meliuk-liuk dan terhuyung-huyung bagai?kan orang mabuk. Dan sampai sejauh ini, semua serangan tak ada satu pun yang menyentuh tubuh?nya.
"Yeaaat..!"
Pada suatu kesempatan Rangga, melenting ke atas disertai pengerahan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Lalu mendadak saja, tubuhnya meluruk ke arah Simo Jalak. Dan dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu tendangan geledek yang begitu cepat. Perubahan jurus yang tiba-tiba ini membuat Simo Jalak terperangah. Tapi dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Karena ...
Des! "Aaakh...!"
Telak sekali dada Simo Jalak terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya kontan terjengkang ke tanah, disertai pekik kesakitan. Dari sudut bibirnya tampak meleleh darah kental kehijauan.
Rambing Puger tampak geram melihat kawannya terluka. Langsung diserangnya Pendekar Raja?wali Sakti disertai pukulan ilmu 'Katak'nya yang dahsyat.
"Krok! Koook!"
Disertai suara mengkorok bagai kodok, Ram?bing Puger menghentakkan kedua tangannya ke depan, setelah sebelumnya berjongkok sambil menempelkan telapak tangannya di bumi. Maka seke?tika serangkum angin dahsyat melesat cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan mengagumkan Rangga berhasil mengelakkan se?rangan dengan bergeser ke kanan. Akibatnya sebu?ah pohon yang cukup besar tumbang berikut akarnya, ketika terkena pukulan ilmu 'Katak' yang dah?syat.
"Heyaaa...!"
? *** Begitu habis mengelakkan serangan, Pendekar Rajawali Sakti langsung membuat kuda-kuda rendah. Kemudian kedua tangannya melakukan gerak?an di depan dada, dengan jari-jari terkepal. Ketika kepalannya telah berpindah ke pinggang, tampak tangannya telah berubah merah membara.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Raja?wali Sakti langsung menghentakkan kedua tangan dengan kedua telapak tangan terbuka. Jelas, Pen?dekar Rajawali Sakti menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Seketika melesat sinar merah menghantam ke arah Rambing Puger. Begitu cepat gerakan Rangga, sehingga"
Blazzz...! "Aaakh...!"
Telak sebuah dada Rambing Puger terhantam sinar merah yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya kontan terjengkang di tanah, tidak bangun-bangun lagi. Pingsan.
"Pendekar Rajawali Sakti! Sungguh hebat ke-pandaianmu. Tapi kedua anak buahku memang bu?kan tandinganmu. Suatu saat, kita akan berhadapan. Tetapi bukan pertarungan mati atau hidup. Melainkan, dalam kenikmatan yang bisa berakibat maut! Hi hi hi... "
Mendadak terdengar suara mengikik yang be?lum jelas dari mana datangnya. Dan ini sempat membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menentukan arah datangnya suara, tiba-tiba melesat sosok bayangan bertubuh ramping dan berbau ha?rum. Begitu cepat bayangan itu melesat, sehingga ketika Simo Jalak dan Rambing Puger disambarnya, Rangga tidak bisa mencegah.
Pendekar Rajawali Sakti bermaksud mengejar sosok bayangan yang ternyata wanita tadi, tapi kalah cepat. Karena wanita tadi begitu cepat menghilangnya. Rangga mengurungkan niatnya. Dan dia hanya bisa memandang ke arah bayangan tadi le?nyap.
"Tuan Pendekar Rajawali Sakti kami atas nama Perguruan Pedang Guntur Kencana menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu," kata salah seo?rang dari orang-orang berpakaian serba kuning, membuat Rangga jadi berbalik.
'Tak usah berterima kasih, Kisanak. Semua itu yang kulakukan hanya berdasarkan panggilan hatiku saja. Sudah wajar dalam dunia persilatan ini, ka?lau kita harus memerangi ketidakadilan dan kemungkaran," kata Rangga sambil tersenyum.
"Ah! Ternyata tidak salah yang kudengar tentang dirimu. Atas nama ketua, kami mengundangmu singgah ke tempat kami," kata orang itu.
"Hm.... Baiklah. Undangan kalian kuterima. Tapi sebaiknya, aku ingin memeriksa gadis itu," kata Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga segera menghampiri gadis berbaju hi?jau yang tadi menyerang dua anak buah Ayu Pur?bani.
"Bagaimana keadaanmu, Nisanak," tanya Rangga, ketika berada di depan gadis cantik berbaju hijau ini.
"Sudah lumayan. Mereka memang tangguh," gumam gadis itu, seperti tak menganggap kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau begitu, sebaiknya kau ikut aku ke Perguruan Pedang Guntur Kencana," Rangga menawarkan.
Gadis itu tak menyahut. Tapi ketika Rangga dan murid-murid perguruan yang telah memondong dua sosok yang hendak dibawa dua anak buah Ayu Purbani itu melangkah, gadis ini segera mengikuti.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"
?"?"?""
?"" ?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?""
?"?"?"
?"?"?"?"?""
?"?""
?"" ?"?"?""
?"" ?"?"?"?"?"?"?"
?"?""
?"?""
?"?"?"?""
?"?" ?"?"?"?""
?"?"?"?"?"
?"?"?"?"
?"?"?"?"
?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?""
?"?"?"
?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?""
? 2017 " . 137. Misteri Dewi Maut Bag. 4
6. November 2014 um 08:45
4 ? Sebuah bayangan berkelebat menuju sebuah pekuburan di senja yang hening ini. Gerakannya gesit dan cepat bukan main. Seolah-olah kakinya tidak menyentuh tanah.
Sudah beberapa minggu ini, pekuburan itu me?mang ramai dibicarakan orang. Terutama ketika hampir tiap hari di pekuburan ini ditemukan mayat yang semuanya dalam keadaan mengenaskan. Tubuh pucat dengan kulit berkeriput. Begitu seringnya ditemukan mayat, sehingga pekuburan itu dinamai Kuburan Mayat Berkabung. Suasana kuburan itu memang menyeramkan. Apalagi, letaknya tepat di punggung sebuah bukit.
Ketika tiba di antara dua gapura pekuburan itu, bayangan ini berhenti. Kini terlihat jelas, siapa sosok bayangan itu. Ternyata dia adalah seorang gadis cantik. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai begitu saja sampai ke pinggul. Tetapi yang paling menyolok adalah pakaiannya yang terbuat dari sutera halus tembus pandang. Sehingga bentuk tubuhnya yang padat dan menggiurkan terlihat jelas.
Pada kedua pundak wanita cannk itu tampak dua sosok tubuh yang tiba-tiba saja dihempaskan ke tanah.
Bruk! "Ukh...!"
"Aduh...!"
Kedua orang itu mengaduh kesakitan, tapi tak lama bangkit berdiri lagi. Tanpa peduli wanita itu menggeser sebuah batu di samping gapura. Seketi?ka terjadilah keanehan. Diawali suara bagai gemuruh perlahan-lahan dinding bukit itu bergeser, membentuk pintu masuk yang cukup untuk dua orang.
Dengan tenang wanita itu memasuki goa yang tercipta di punggung bukit ini. Sementara dua laki-laki yang tadi dipanggul, mengikuti dari belakang dengan kepala tertunduk. Ketika wanita itu menggeser batu yang ada dalam goa, pintu masuk itu menutup kembali. Wanita ini terus menyusuri jalan dalam goa di perut bukit ini. Dan ternyata di dalam sana terdapat ruangan yang lebar dan bersih tertata apik.
Wanita itu langsung menuju ke ruangan yang lebih besar. Dalam ruangan itu tampak terentang seutas tali sebesar jari kelingking, dari satu dinding ke dinding lainnya. Sebentar dia memusatkan perhatian sejenak, lalu melenting ke atas.
"Heup!"
Setelah berputaran beberapa kali, wanita itu ja?tuh tepat di atas tali yang merentang.
Sungguh aneh tali yang mendapat beban di atasnya tidak melengkung barang sedikit pun. Seolah-olah, tubuh wanita itu tidak berbobot sama sekali. Bisa dibayangkan, betapa tinggi ilmu meringankan tubuhnya itu, bahkan dengan tenang ba-gaikan di atas tanah dia merebahkan dirinya di atas tali itu.
"Duduk!" perintah wanita itu pada dua laki-laki yang tadi dipondongnya. Mereka masih berdiri menampakkan wajah bingung dan bersalah.
Mata wanita ini, tajam menatap kedua orang yang ternyata anak buahnya. Sementara, yang ditatap segera menunduk, tidak berani membalas.
"Kalian tahu telah berbuat salah dan bertindak gegabah?" sambung wanita ini.
"Ampun, Gusti Ayu Purbani. Hamba tidak ta?hu...," sahut laki-laki gemuk pendek yang tidak lain Rambing Puger.
Gadis cantik yang ternyata Ayu Purbani, mendelik ke arah orang yang bertubuh tinggi kurus de?ngan kepala botak. Dia tidak lain Simo Jalak.
"Simo! Apa kau merasa telah pintar?" tanya Ayu Purbani.
"Aaa... ampun, Gusti! Tentu saja Gusti jauh le?bih pintar...," sahut Simo Jalak, ketakutan.
"Bagus! Lain kali, bila berhadapan dengan pe?muda yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti, kau tidak boleh memandang enteng. Ilmu kalian berdua memang cukup tinggi. Tetapi melawan dia, berarti kalian mencari penyakit sendiri!" dengus wanita cantik ini.
"Ha ha ha...! Tetapi bila dibanding Eyang Mahesa Keling dalam tiga jurus dia dijamin akan menggeletak tanpa nyawa!" kata Simo Jalak jumawa.
"Betul, Gusti! Melawan Eyang Guru, dia tidak ada apa-apanya...!" Rambing Puger ikut-ikutan menimpali.
Ayu Purbani tersenyum kecil sambil memandangi mereka dengan mata berbinar-binar.
"Apa yang kalian katakan tak salah. Eyang Mahesa Keling yang bergelar Iblis Atas Angin, memang tiada duanya. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku bisa seperti ini" Itu juga tidak lepas dari jasa kalian berdua. Tanpa adanya kalian, mungkin aku tidak akan pernah mempelajari ilmu silat dan ilmu kesaktian peninggalannya...," kata Ayu Purbani dengan suara mulai lunak.
Melihat sikap Ayu Purbani mulai membaik, ke?dua laki-laki itu tersenyum sambil cengengesan.
"He he he...! Untuk Gusti Ayu Purbani, segalanya akan kami berikan. Asal..., he he he..! Asal ada imbalannya seperti dulu...," pancing Simo Ja?lak.
Begitu mendengar kata-kata laki-laki itu, Ayu Purbani langsung mendelik sengit.
"Simo Jalak! Setelah aku memiliki semua ilmu silat dan kesaktian guru, tidak ada imbalan lagi buat kalian! Sekarang, akulah pewaris tunggal! Dan ka?lian berdua harus tetap mengabdi seumur hidup padaku. Siapa yang membantah, akan mendapat hukuman berat!" tandas Ayu Purbani.
"Glegkh!"
Simo Jalak jadi menelan ludahnya sendiri, wajahnya berkerut ketakutan, tetapi hatinya kesal bu?kan main. Dulu sewaktu gadis ini ditemukan, begitu hangat dan menggoda. Lebih-lebih setelah tahu, kalau mereka berdua adalah pewaris ilmu-ilmu seorang tokoh hitam bernama Eyang Mahesa Ke?ling yang bergelar Iblis Atas Angin.
Dengan modal kecantikannya, Ayu Purbani mempengaruhi mereka berdua yang memang tengah tergila-gila kepadanya. Sehingga apa pun yang diinginkan gadis itu pasti dipenuhi. Bahkan sampai kitab sakti warisan pun diberikan pada Ayu Purbani. Memang, mereka berdua termasuk orang-orang bodoh sehingga tidak mampu mempelajari ilmu silat dari kitab pusaka itu. Mereka hanya puas dengan ilmu yang dipelajari langsung dari gurunya.
Setelah mendapatkan kitab ilmu silat yang luar biasa itu, Ayu Purbani menghilang. Tapi setelah be?berapa saat berlalu, gadis itu kembali lagi. Dan ini membuat Simo Jalak dan Rambing Puger saling berebut mendapatkan hati Ayu Purbani. Seperti biasanya, yang menang tentu akan mendapat im-balan berupa tidur semalam dengan gadis itu. Te?tapi secara tidak terduga, Ayu Purbani menolak. Tentu saja keduanya jadi berang dan marah besar. Maka pertengkaran pun dilanjutkan dengan perkelahian sengit.
Mulanya kedua laki laki itu menganggap enteng. Namun betapa terkejutnya mereka, ketika mendapat kenyataan kalau gadis itu kini memiliki kepandaian sangat tinggi. Bahkan dalam waktu singkat saja keduanya dapat dirobohkan. Maka sejak itu mereka jadi pengikut Ayu Purbani. Dan kali ini, Simo Jalak coba-coba memancing untuk mengajak gadis itu tidur bersama. Tapi nyatanya, usaha laki-laki itu gagal.
"Kalian harus ingat! Jangan suka mengungkit-ungkit peristiwa dulu. Bila memandel, aku tidak akan segan-segan memancung kepala kalian ber?dua! Mengerti kalian..."!" dengus Ayu Purbani.
"Mengerti, Gusti!" sahut keduanya dengan wa?jah ketakutan.
"Sekarang, pergilah. Jangan ganggu tidurku!"
"Baik, Gusti!" jawab mereka serempak.
Setelah memberi hormat, kedua laki-laki itu berbalik dan berlalu dari ruangan ini. Sedangkan Ayu Purbani merebahkan diri pada tali yang terentang, bagaikan tidur di atas kasur empuk.
? *** ? Seorang wanita tua berjalan mondar-mandir di ruangan tengah, di rumahnya yang besar. Punggungnya yang bongkok, jadi semakin membungkuk manakala sedang berjalan seperti itu. Wajahnya ge?lisah bercampur kesal. Berkali-kali kepalanya menggeleng, hingga rambutnya yang disanggul dan dipenuhi tusuk konde bergoyang-goyang.
"Sudahlah, Mak. Tak lama lagi dia pasti kem?bali...," bujuk perempuan setengah baya yang sejak tadi ikut gelisah, melihat sikap perempuan tua itu. Wajahnya terlihat cantik, walaupun kerut di bawah matanya telah terlihat.
"Mana bisa aku berdiam diri, kalau dia belum juga kembali! Ingat! Sudah dua minggu, Relawati! Sudah dua minggu!" seru nenek itu sambil mere-tangkan dua jari.
"Aku juga gelisah. Tetapi, bukankah sudah ada Kakang Aditia yang tengah mencarinya. ?" potong Relawati.
"Alaaah! Bisa apa si Aditia. Hatinya lemah dan mudah kasihan. Bagaimana kalau dia bertemu kuntilanak itu" Apa kau tidak takut dia kepincut dan terjerat dalam ilmu sihirnya?" tanya si Nenek.
Perempuan setengah baya yang dipanggil Rela?wati membuang pandang sekilas. Wajahnya jelas semakin gelisah. Walaupun hatinya membenarkan, tapi berusaha menutupinya.


Pendekar Rajawali Sakti 137 Misteri Dewi Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa tahu Gita Rahayu tidak mencari perem?puan itu...," gumam Relawati.
"Apa katamu" Sudah jelas Mintaraga tewas oleh si Perempuan Setan itu. Mana mungkin Gita Rahayu pergi kalau tak menuntut balas pada pembunuh kakangnya!" tandas nenek tua dengan mata melotot garang
"Mak! Gita Rahayu sudah sering terjun dalam dunia persilatan sebelum Mintaraga tewas. Anak itu memang nakal dan susah sekali diatur ujar Relawati.
"Diam kau! Kalian berdua sama. Mendidik anak saja tidak becus. Kalau saja kalian bisa sedikit keras, tentu tidak akan begini jadinya. Si Mintaraga gila perempuan si Gita Rahayu gila kelayapan! Dasar brengsek...!" maki nenek ini.
"Mak! Kalau kami terlalu keras, apa jadinya mereka..." Tentu mereka akan lebih berani pada orang tua."
'Tapi sekarang apa jadinya" Yang mendapat susah tentu kalian juga, bukan..." Sudahlah! Jangan banyak bicara lagi!" sahut perempuan tua itu sambil menyambar pedangnya yang tergantung di dinding. Lalu kakinya melangkah lebar keluar.
"Mau ke mana. Mak"!"
"Aku hendak mencari cucuku yang bengal itu. Kalau ketemu, akan kuhukum dia supaya jera dan kapok!" dengus nenek itu.
"Apakah Kakang Aditia saja tidak cukup...?"
"Aaah! Dia lagi yang kau bicarakan. Bisa apa sih, suamimu itu" Jangan-jangan, aku pun harus menyelamatkannya! Sudahlah.... Kau diam saja di rumah baik-baik selama aku pergi!"
"Mak...!"
Tetapi perempuan tua itu telah berkelebat, le?nyap dari situ. Dari sini bisa diketahui kalau kepandaiannya sangat tinggi. Siapakah sebenarnya wanita tua itu" Sebenarnya, wanita tua itu tak asing dalam rimba persilatan. Pada masa mudanya, dia amat terkenal sebagai si Burung Hantu. Tapi nama sebenarnya, adalah Nyai Utami. Si Burung Hantu sangat aneh dan ugal-ugalan. Kadang memerangi kejahatan sampai habis-habisan. Di lain waktu dia juga memusuhi golongan lurus. Sehingga, kaum persilatan jadi bingung menentukan golongannya.
? *** ? Sepasang anak muda tampak memasuki sebu?ah kedai makan yang cukup ramai di Desa Randu Dongkal. Mereka langsung mengambil tempat di sudut ruangan ini, setelah menemui pelayan untuk memesan makanan.
"Gita Rahayu, bukannya aku tidak mau mengajakmu. Tetapi perjalanan ini sangat berbahaya. Apa jadinya bila terjadi sesuatu, dan aku tidak dapat melindungimu" Pasti kedua orang tuamu akan menyalahkan aku...," kata pemuda tampan berbaju rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung menyembul di balik punggung.
"Sudahlah Rangga. Kalau kau tak mau mengajak, aku pun dapat pergi sendiri! Tanpa kehadiranmu tadinya aku pun jalan sendiri!" kilah gadis cantik berbaju hijau itu.
Pemuda yang memang Rangga tahu kalau ga?dis ini terlalu keras hati. Maka dia tidak heran bila mendapat jawaban seperti itu.
"Menurut Ketua Perguruan Guntur Kencana, perjalanan masih memakan waktu setengah harian lagi. Masih ada waktu untuk merubah niat... "
'Tidak perlu! Niatku sudah bulat, wanita itu harus menebus nyawa kakangku dengan nyawanya!" sentak gadis berbaju hijau yang ternyata bernama Gita Rahayu itu dengan wajah berang.
Rangga hanya menghela napas. Disadari kalau gadis ini keras kepala. Tetapi, sebenarnya tidak disertai bekal ilmu olah kanuragan yang cukup. Menghadapi kedua anak buah Ayu Purbani saja su?dah tidak berdaya. Apalagi dengan Ayu Purbani. Agaknya Gita Rahayu sendiri hanya terbawa den-dam dan amarahnya saja.
"Baiklah kalau niatmu sudah bulat. Tetapi bila terjadi apa-apa aku tidak akan bertanggung jawab," jawab Rangga.
"Huh! Siapa sudi perlindunganmu! Kau boleh berpangku tangan melihatku sekarat!" tukas Gita Rahayu ketus.
"Baiklah...," desah Rangga.
Baru saja Rangga selesai bicara, tahu-tahu datang seorang laki-laki brewok bertubuh tinggi besar dan berkepala botak ke meja mereka. Di tangannya tampak sebuah kendi tuak yang sesekali ditenggak. Melihat jalannya yang sempoyongan, dan bau tuak setiap berbicara, jelas dia dalam keadaan mabuk berat.
"He he he...! Tidak sangka, hari ini aku beruntung mendapat calon istri yang amat cantik. Mari, Nisanak. Kau ikut denganku!" oceh laki-laki itu sambil menarik lengan Gita Rahayu.
"Cuih, Pemabuk Sialan! Pergi kau dari sini!" maki Gita Rahayu sambil menarik tangannya.
"Ha ha ha...! Rupanya calon istriku galak juga. Tetapi aku paling suka dengan gadis galak, karena dapat membuatku bersemangat."
Sehabis berkata demikian, orang tinggi besar ini menenggak tuaknya. Matanya yang merah de?ngan tajam mengawasi Gita Rahayu. Dan ketika melirik pada Rangga, pemuda itu pura-pura tidak tahu.
"Sialan! Agaknya dia benar-benar tidak mau peduli padaku!" maki Gita Rahayu dalam hati, dan ditujukan pada Rangga.
Gadis itu mendadak terkejut ketika tangannya ada yang menarik. Tarikan yang begitu kuat, se?hingga Gita Rahayu merasa kesakitan. Seketika tangan kirinya meraih gagang pedang yang tergantung di pinggangnya. Tetapi entah bagaimana, pedangnya terpental dan menancap di dinding ruang?an. Sedangkan tangan kirinya sudah ditelikung ke belakang.
"Aouw! Kurang ajar! Lepaskan aku, lepas?kan...!" teriak Gita Rahayu, kebingungan.
"Ha ha ha...! Mana mungkin burung yang su?dah tertangkap kulepaskan lagi. Kini kau tak dapat berbuat apa-apa lagi. Ayolah kita bersenang-senang," kata laki-laki pemabuk itu.
Tuk! Tuk! Begitu selesai dengan kata-katanya, laki-laki brewok itu telah bergerak cepat. Lalu....
Tubuh gadis itu lemas tidak berdaya ketika tangan kiri orang itu menotok urat gerak di tubuh?nya. Lalu, dipanggulnya Gita Rahayu dengan seenaknya. Kemudian laki-laki itu melangkah keluar kedai. Tentu saja gadis cantik itu jadi bertambah ketakutan
"Aouw! Botak Keparat Sialan! Lepaskan aku, lepaskan...! Aaa! Tolooong, tolooong...!" teriak ga?dis itu sekeras kerasnya.
"Hayo! Siapa yang berani menolong gadis ini dari tanganku"' teriak laki-laki itu sambil berbalik. Matanya mendelik garang pada seluruh pengunjung kedai makan ini.
Jangankan untuk menolong, menoleh ke arah laki-laki itu saja para pengunjung sudah ketakutan. Mereka bagaikan melihat hantu yang tidak segan-segan mencabut nyawa.
"Ha ha ha...! Kau lihat, bukan" Tidak ada se?orang pun yang berani menolongmu. Siapa saja yang berani merintangi maksud Mahendra, akan mampus!" seru laki-laki yang mengaku bernama Mahendra sambil tertawa terbahak-bahak dan menyambar sebuah toya yang terletak di mejanya.
Siapa sebenarnya Mahendra" Tak ada seorang pun penduduk Desa Randu Dongkal yang mengenalnya. Tapi sebenarnya, dia seorang perampok yang berani secara terang-terangan merampas harta benda orang di depan orang banyak. Ilmu silatnya tinggi. Siapa berani menghalangi, pasti dibunuh. Sifatnya kejam dan telengas. Sehingga orang lebih suka menyingkir daripada harus berurusan dengannya.
Sementara Gita Rahayu kesal bukan main. Ingin minta tolong pada Rangga, tapi dia malu. Karena, pemuda itu tampaknya tidak mau peduli. Tapi dia juga khawatir kalau Mahendra akan berbuat yang tidak-tidak terhadapnya. Menghadapi kenyataan seperti ini, ingin rasanya gadis itu menjerit sekuat kuatnya. Dan...
"Rangga! Apakah kau tidak sudi menolongku...?" teriak Gita Rahayu sambil menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kesal dan malu. Sedang?kan air matanya tanpa terasa telah menetes keluar.
"Tergantung keadaan, apakah kau benar-benar butuh pertolonganku atau hanya terpaksa saja ujar Rangga seenaknya.
"Sialan! Apakah kau tega melihat aku dipermainkan keparat berkepala botak ini...?" tanya Gita Rahayu sambil berteriak.
"Bukankah aku tidak bertanggung jawab lagi terhadapmu?" potong Rangga.
"Rangga! Aku tidak ingin berdebat! Kumohon tolonglah aku dari tangan si Keparat Berkepala Bo?tak ini!" pinta Gita Rahayu.
Sebenrnya tidak diminta pun, Rangga pasti akan menolong. Rangga hanya menguji saja sampai di mana kekerasan hati gadis itu. Rangga bermaksud mengubah sifatnya, agar tak terlalu keras kepa?la serta dapat berpandangan sedikit luas, jangan hanya menuruti nafsu amarah saja.
"Heh..! Apakah kau ingin menolong gadis ini?" tanya perampok kejam itu.
"Aaah, tidak...!" seru Rangga.
"Rangga, kau...!" Gita Rahayu memekik sambil mendelik.
"Ha ha ha...! Kau dengar! Pemuda temanmu itu tidak berani menolongmu. Sekarang kau mau apa, Gadis Manis...?"
"Eeeh, tunggu dulu! Aku memang tidak bermaksud menolongnya. Tapi aku tidak mengizinkan kau membawa tunanganku pergi dari sini!"
"Heeeh!..." Apa kau bilang...?" tanya Mahen?dra, mendelik.
"Hm... Selain budek, tampangmu juga menyebalkan!" ejek Rangga sambil menatap Mahendra.
"Bocah setan! Bosan hidup kau rupanya..."!"
Mahendra menggeram keras. Setelah meletakkan Gita Rahayu, toyanya diputar sedemikian rupa. Sehingga menimbulkan angin kencang. Lalu"
"Heyaaat...!"
Prak! Brakkk! Meja di depan Rangga hancur berantakan dihantam toya Mahendra. Tetapi pemuda itu telah mencelat, sehingga terhindar dari hantaman toya.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
Pemburu Mahkota Dara 1 Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan Kisah Pedang Bersatu Padu 9

Cari Blog Ini