Ceritasilat Novel Online

Peri Peminum Darah 2

Pendekar Rajawali Sakti 135 Peri Peminum Darah Bagian 2


Usia Ki Pagut Geni sekitar empat puluh tahun lebih. Namun, tubuhnya masih terlihat kekar dan besar. Kemahirannya dalam menggunakan senjata pedang, tombak, serta panah, juga ditunjang de?ngan tenaga dalamnya yang hebat. Sehingga tidak mustahil murid-muridnya amat trampil mengguna?kan berbagai senjata, di samping memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.
Ki Pagut Geni memang begitu memperhatikan perkembangan tiap-tiap muridnya. Agaknya, dia lebih menonjolkan ilmu-ilmu olah kanuragan, ketimbang yang lainnya. Bahkan setiap beberapa waktu, Padepokan Kilat Buana mengadakan adu tanding antar murid-murid seangkatan. Kemudian, dia memilih murid terbaik untuk digembleng, lang?sung di bawah bimbingannya. Murid-murid inilah yang akhirnya menjadi murid utamanya. Sedang bagi mereka yang kurang trampil, tindak pengawasan dilakukan olah murid-murid utama. Bahkan bagi murid-murid yang kurang berbakat, orang tua itu tidak segan-segan mengeluarkannya dari pade?pokan.
Ki Pagut Geni sendiri sering turun ke dunia luar bersama murid-muridnya untuk melihat pertarungan nyata. Paling tidak untuk memberi pengalaman bertarung dengan cara amat aneh. Sering mereka menyerang para perampok atau menghajar kawanan begal yang berjumlah banyak. Maka tindakan ini membuat padepokan mereka menjadi semakin dikenal serta amat dihargai rakyat jelata.
Namun, Ki Pagut Geni hanyalah manusia biasa. Sekeras-kerasnya dia menggembleng, tetap saja ada beberapa muridnya yang bersifat telengas. Bah?kan beberapa murid ada yang mulai gagah-gagahan dengan mencari urusan menghajar orang-orang yang tidak disukai. Yang lebih menyedihkan, mere?ka sering ringan tangan pada orang lain meski urusannya sangat sepele. Hal itu sering teriadi, acapkali murid-murid padepokan itu keluar dari sarangnya.
? *** ? Seorang gadis berambut panjang tampak te?ngah berjalan pelan memasuki Desa Alas Rumput. Tempat ini terhitung paling dekat dari kawasan Pa?depokan Kilat Buana. Sehingga tidak heran bila murid padepokan itu yang bersifat telengas, banyak berkeliaran di sini.
Gadis itu begitu cantik, dan amat memikat. Sepasang alisnya tebal dan bibirnya merah merekah. Baju hitam yang dikenakannya tipis, sehingga, bagian dadanya yang sedikit tertutup pakaian dalam terlihat. Beberapa orang murid Padepokan Kilat Buana yang kebetulan berkeliaran mulai bersuit menggoda. Bahkan lainnya malah berani berteriak-teriak sambil tertawa lebar. Namun, gadis itu sama sekali tidak peduli. Kakinya terus melangkah tenang. Dan tiba-tiba....
"He he he...! Gadis secantik ini berjalan seo?rang diri pasti akan mendapat banyak bahaya!" kata salah satu dari tiga murid padepokan itu seraya cengar-cengir.
Bahkan salah seorang dengan nakal mencengkeram pergelangan tangan. Tapi gadis itu kelihatannya diam saja, tidak berusaha menepis.
"He he he...! Kalian lihat" Dia suka padaku. Maka dia menjadi milikku. Kalian tidak berhak mengganggunya!" kata pemuda itu, seraya tertawa kegirangan.
"Enak saja kau, Sugriwa! Kita melihatnya bertiga. Maka, dia harus memilih kita bertiga!" sahut kawannya yang bernama Dungkul, sambil mencoba memeluk pinggang gadis itu. Dan ketika melihat gadis itu ternyata diam saja, Dungkul makin tertawa kegirangan.
"Ha ha ha...! Kau lihat, bukan" Ternyata dia lebih menyukaiku!"
Sementara yang seorang lagi merasa iri. Dan dia tidak mau ketinggalan, berusaha memeluk gadis itu dari belakang. Dan sekali lagi, gadis itu diam saja sambil memperhatikan diiringi senyum kecil.
"Amboi! Dia pun suka padaku!" teriak pemuda bernama Parmin kegirangan.
"Hm, ini tidak betul!" Sugriwa tak suka.
"Kenapa kau ini" Dia menyukai kita bertiga, maka kita berhak memilikinya!" bantah Dungkul.
"Dungkul benar. Kita berhak memilikinya!" dukung Parmin.
"Kenapa pakai ribut segala" Aku sebenarnya tidak keberatan menjadi milik kalian bertiga asal..."
Suara gadis itu terdengar merdu dengan senyum manisnya. Dan perlahan-lahan, dia melepaskan tangan-tangan pemuda yang mulai nakal merayapi tubuhnya.
"Kau dengar itu" Dia tidak keberatan"!" seru Dungkul kegirangan.
"He he he...! Pasti karena dia tahu kalau kita murid-murid Padepokan Kilat Buana!" timpal Par?min.
"Hm.... Jadi, kalian murid-murid Padepokan Kilat Buana?" tanya gadis itu, kagum.
"Betul!" sahut ketiganya serempak.
Gadis cantik ini tertawa pelan.
"Hm, sungguh kebetulan. Kudengar murid-murid Padepokan Kilat Buana hebat dan tangkas. Maukah kalian mempertunjukkan padaku" Siapa di antara kalian yang lebih unggul, maka dialah yang berhak memilikiku...," kata gadis itu dengan suara merayu.
"Hua ha ha...! Pasti aku yang hebat!" kata Sugriwa jumawa. "Minggir kalian! Gadis ini milikku!"
Sugriwa menepis kedua kawannya dan hendak menggandeng gadis itu. Namun secara bersamaan, Dungkul dan Parmin langsung mencekal kedua ta?ngan Sugriwa. Wajah mereka tampak kesal, menunjukkan rasa tidak senang.
"Kau jangan terlalu jumawa, Sugriwa! Dan jangan sekali-sekali berani berkata begitu di hadapanku!" desis Dungkul garang.
"He"! Kau berani padaku?" hardik Sugriwa. Seketika, tangannya bergerak cepat.
Desss! "Uhhh...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 135. Peri Peminum Darah Bag. 5
26. Oktober 2014 um 05:58
5 ? Dungkul terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan, begitu pukulan Sugriwa mendarat di dadanya. Sementara Parmin berusaha menyodokkan lutut kanannya ke lambung Sugriwa. Namun dengan cepat, Sugriwa memutar tubuh. Langsung disikutnya tengkuk kawan Parmin de?ngan keras.
Duk! "Akh!"
Nyaris Parmin tersungkur ke depan kalau saja keseimbangan tubuhnya tidak tenaga.
"Setan!" Dungkul dan Parmin memaki berbarengan. Cepat mereka memasang kuda-kuda untuk menyerang Sugriwa.
"Huh! Masih coba unjuk gigi di hadapanku, heh"! Lebih baik kalian mengaku kalah, maka persoalan akan selesai!"
"Dikira kau telah menang! Phuih! Kau akan merasakan balasanku, Sugriwa!" desis Dungkul geram, seraya melompat menyerang.
"Sekali-kali dia harus merasakan hajaran! Kubantu kau, Dungkul!" seru Parmin ikut melompat menyerang Sugriwa.
"Huh!"
Sugriwa hanya mencibir sinis. Cepat bagai kilat, dia melompat ke samping menghindari tendangan Dungkul. Sementara, tangannya menangkis kepal?an tangan Parmin yang mengarah ke dada.
Plak! Begitu habis menangkis, Sugriwa melompat ke atas dan langsung membuat putaran beberapa kali. Kemudian, tubuhnya meluruk deras, bermaksud melepaskan tendangan. Namun, Parmin tidak kalah gesit. Dia menghindar menundukkan kepala, dan langsung menjatuhkan diri ke tanah. Dan seketika itu juga kedua kakinya dihantamkan ke selangkang-an Sugriwa.
Namun, Sugriwa telah melompat ke belakang, sehingga serangan itu luput. Sementara pada saat yang sama, Dungkul telah mengancamnya dengan satu tendangan keras menyapu ke arah pinggang. Cepat Sugriwa menangkisnya dengan kibasan ta?ngan kiri. Tapi, Dungkul segera menarik pulang se-rangannya. Tubuhnya langsung berputar dengan kaki kiri melayang ke arah dada Sugriwa. Begitu cepat gerakannya, sehingga Sugriwa tak sempat menghindarinya.
Begkh! "Akh!"
Telak sekali dada Sugriwa terhantam tendangan Dungkul hingga mengeluh kesakitan. Tubuhnya langsung bergulingan di tanah, karena serangan Dungkul kembali datang dengan cepat. Tapi di sisi lain, Parmin segera menggunakan kesempatan itu untuk menghantam Sugriwa dengan satu tendang?an keras.
Duk! "Hugkh!"
Kembali Sugriwa menjerit kesakitan, ketika perutnya terhantam tendangan Parmin. Tangannya langsung memegangi perutnya yang terasa akan pecah. Tubuhnya melengkung di tanah seperti udang. Wajahnya tampak meringis menahan sakit. Sementara Dungkul dan Parmin telah berdiri di dekat Sugriwa sambil menatap tajam.
"Huh! Kau kira dirimu sudah hebat" Sekarang, rasakan akibat kesombonganmu!" desis Dungkul.
Plok! Plok! Terdengar tepukan menyambut kekalahan Su?griwa.
"Hebat! Kalian semua hebat. Tapi aku hanya memilih seseorang. Lalu siapa yang harus kupilih?" tanya gadis itu.
"Parmin! Aku lebih berhak ketimbang kau!" kata Dungul dengan wajah garang.
"Hm... Jangan meremehkan aku, Dungkul!" desis Parmin dengan wajah tidak kalah garangnya.
"Jangan sampai pikiranku berubah, Parmin. Lebih baik menyingkirlah!" tandas Dungkul, mulai mengancam.
"Huh! Langkahi mayatku jika kau merasa lebih unggul!"
"Bedebah!"
Dungkul menggeram. Dan dia siap hendak menghajar kawannya. Namun saat itu, muncul dua orang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Di punggung mereka masing-masing, tersandang sebilah pedang. Dan melihat kehadiran mereka, ke?tiga murid Padepokan Kilat Buana itu segera menunduk dengan wajah takut.
"Apa yang kalian rebutkan sehingga saling baku hantam antar kawan sendiri" Jawab!" hardik salah satu dari dua orang murid utama Padepokan Kilat Buana yang baru datang.
"Eh! Kami", kami...," sahut Dungkul. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
Namun saat itu juga, Dungkul tertolong. Karena tiba-tiba, gadis yang tadi diperebutkan menghampiri kedua pemuda murid utama itu, seraya tersenyum memikat.
"Hm.... Agaknya kalian berdua lebih gagah ketimbang ketiga cecunguk ini...."
Kedua pemuda itu terpaku sesaat. Wajah mere?ka yang tadi garang, kini tampak lucu. Lekuk-lekuk indah dari tubuh gadis ini terbayang nyata, lewat pakaian tipis yang dikenakannya. Dan ini sempat membuat nafsu kelelakian kedua pemuda itu terguncang.
"Mereka bertiga ingin memiliki diriku. Namun, tak mungkin aku meladeni ketiganya. Lalu mereka kuuji adu kepandaian. Dan pemenangnya berhak memilihku. Kalian boleh ikut kalau suka..," kata gadis itu menawarkan.
"Eh, apa maksudmu...?" tanya salah seorang dengan suara bergetar.
"Apakah otakmu dungu" Atau, belaagak pilon?" gadis itu balik bertanya disertai senyum memikat. "Salah seorang dari kalian boleh memiliki diriku. Dan aku tidak akan menolak bila diperlakukan bagaimanapun. Tapi aku hanya memilih orang yang terunggul di antara kalian. Sebab aku hanya suka pada mereka yang hebat."
Kedua pemuda itu saling berpandang dengan wajah bingung. Dan ketika melirik sekilas ke arah gadis yang tengah menunggu keputusan, wajah me?reka mulai berubah. Dan masing-masing mulai menunjukkan sikap permusuhan.
"Layong! Kau tahu, aku lebih tua darimu. Ma?ka, akulah yang berhak!" cetus seorang dari ke duanya.
"Fiwung! Usiamu memang lebih tua dariku. Namun tidak berarti kau lebih hebat! Gadis ini ha?nya mencari terhebat. Bukan yang usianya tua!" sahut orang yang bernama Layong, mendengus geram.
"Kurang ajar! Kau berani bertingkah padaku, heh"!" sentak orang yang dipanggil Piwung.
Mendengar itu, Layong tidak mau kalah. Sege?ra tangannya berkacak pinggang.
"Apa pangkatmu, sehingga aku mesti takut, he"!" balas Layong.
Kedua pemuda itu nyaris baku hantam, seperti ketiga murid Padepokan Kilat Buana sebelumnya. Namun"
"Layong! Piwung...!"
Terdengar bentakan nyaring, yang membuat kelima orang murid Padepokan Kilat Buana tersentak kaget. Dan mereka langsung berpaling ke arah sumber suara.
? *** ? Orang yang membentak adalah pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tegap. Rambutnya panjang dengan ikat kepala warna merah. Tahu-tahu saja dia telah berada di dekat mereka. Melihat kehadirannya yang laksana hantu, menunjukkan kalau tingkat kepandaiannya jauh di atas kelima pemuda murid Padepokan Kilat Buana. Buktinya, mereka menunduk kepala dalam-dalam, begitu melihat kehadiran pemuda yang baru muncul ini.
Plak! Plak! "Akh!"
Cepat sekali telapak tangan pemuda berambut panjang itu menghajar wajah Layong dan Piwung. Sehingga, keduanya kontan mengeluh tertahan. Dari sudut bibir masing-masing terlihat beberapa tetes darah meleleh. Tubuh mereka terhuyung-huyung. Namun tetap saja mereka tidak berani mela-wan, dan tetap menunduk.
Begitu habis menghajar Layong dan Piwung, pemuda berambut panjang itu kembali berkelebat. Gerakannya cepat bukan main, ke arah Sugriwa, Dungkul, dan Parmin.
"Heh"!"
Sugriwa, Dungkul, dan Parmin tercekat. Na?mun secepat itu pula mereka menjerit tertahan, de?ngan tangan mendekap perut masing-masing. Seketika tubuh mereka tersungkur mencium tanah.
"Dasar keledai-keledai dungu! Apa yang kalian perebutkan, he"! Hanya karena perempuan jalang ini kalian saling baku hantam"! Keparat! Meskinya kalian mampus saja...!" bentak pemuda berambut panjang itu.
Kelima murid Padepokan Kilat Buana itu sama sekali tidak berkutik. Mereka cepat bangkit sambil menunduk dalam. Sementara itu, gadis yang diperebutkan melangkah ke arah pemuda yang tengah mengamuk.
"Hm... Agaknya, kaulah yang paling gagah di antara mereka kata gadis itu disertai senyum genit dan dengan tangan terjulur hendak menyentuh pundak pemuda ini.
"Perempuan busuk! Eyah kau...!" sentak pe?muda itu garang. Langsung ditangkapnya pergelangan tangan wanita itu, siap hendak dibantingnya.
Tapi dengan gerakan yang sulit dilihat mata biasa, gadis itu mendadak mencelat ke atas. Begitu mendarat, tahu-tahu"
Wut! Des! "Akh!"
"Kakang Turangga Weton..."!"
Kelima pemuda yang tengah menundukkan wajah mendadak terkejut. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja pemuda yang tadi terlihat garang, kini mengeluh tertahan. Tubuhnya kontan terjajar beberapa langkah. Sementara wanita cantik itu bertolak pinggang di depannya seraya tersenyum kecil.
"Setan! Agaknya kau sengaja memperdaya mereka, he"! Kuremukkan batok kepalamu, Betina Jalang!" desis pemuda yang dipanggil Turangga Weton. Turangga Weton langsung siap dengan kuda-kudanya, lantas menerjang gadis itu.
Wuuut! Gadis itu hanya bergeser sedikit, sehingga pukulan Turangga Weton luput dari sasaran. Na?mun, pemuda itu cepat berbalik gesit. Dan seketika sebelah kakinya berputar menghantam pinggang. Namun sekali lagi, gadis itu berkelit lincah dengan melompat cepat ke atas. Melihat hal ini Turangga Weton semakin gusar saja. Maka sambil mengge-ram hebat, serangannya dilipat gandakan.
"Yaaat!"
Gerakan Turangga Weton cepat bukan main. Dan bersamaan dengan itu, terasa angin bersiut kencang menandakan kalau serangannya diiringi tenaga dalam tinggi. Tapi meski begitu, gadis itu sama sekali tidak merasa kesulitan menghindarinya. Malah dia seperti sengaja mempermainkan Turang?ga Weton dengan melompat ke sana kemari bagai seekor kijang.
Kelima pemuda murid Padepokan Kilat Buana memandang pertarungan dengan wajah takjub. Mereka tahu betul, siapa Turangga Weton. Dia adalah murid paling utama Padepokan Kilat Buana. Dan kepandaiannya, beberapa tingkat di bawah mereka. Sementara gadis itu sama sekali tidak memandang sebelah mata. Tapi untungnya dia mampu meng-hindar, sambil tersenyum-senyum. Jelas, kepandaian gadis ini cukup hebat pula.
"Cukup" !" bentak gadis itu nyaring seraya me?lompat ke belakang pada jarak sepuluh langkah.
Sepasang mata gadis itu menatap tajam ke arah Turangga Weton. Dan sambil berkacak pinggang, dia menuding sinis.
"Katakan pada guru si Tua Bangka Busuk itu! Ingin mampus di tanganku, atau hidup menjadi budak Peri Peminum Darah!"
"Peri Peminum Darah"'
Turangga Weton terkejut. Sementara yang lain tersentak kaget mendengar julukan itu. Namun ke?tika mereka hendak menegaskan wajahnya, gadis itu telah lenyap entah ke mana!
"Kurang ajar! Dia kira bisa mempermainkan ki?ta" Huh! Aku sendiri nantinya yang akan memecahkan batok kepalanya!" desis Turangga Weton bersungut-sungut seraya meninggalkan tempat itu.
? *** ? Di Padepokan Merak Emas, Ki Bagong Udeg senang sekali dengan hadirnya Pendekar Rajawali Sakti. Dia beserta seluruh muridnya menyambut penuh suka cita. Kebetulan sekali, di tempatnya tengah berkunjung Ki Ageng Sela beserta cucunya Nila Dewi, Ki Tabong dan Ki Waskita. Dan kali ini, Ki Bagong Udeg cukup mengirim beberapa murid?nya untuk mengundang Ki Panjaran dan Ki Panaka. Kebetulan sekali, tempat tinggal kedua tokoh itu tidak jauh. Dan hanya dapat ditempuh dengan perjalanan pergi pulang selama kurang dari setengah hari dengan berkuda.
"Rangga... Kuharap kau bisa bersabar menunggu kedua kawanku, sebelum memulai pembicaraan kita. Aku telah berjanji akan mengundang mereka, begitu kau datang. Silakan cicipi hidangan kami yang ala kadarnya...!" ujar Ki Bagong Udeg.
"Terima kasih, Ki Bagong Udeg. Pelayananmu sungguh luar biasa. Dan aku merasa seperti berada di rumah sendiri," ucap Pendekar Rajawali Sakti.
"Ah! Kau memang pandai sekali memuji, Rang?ga"
"Apakah kau telah tahu kalau orang bertopeng yang tempo hari bertarung denganmu adalah si Peri Peminum Darah?" tanya Ki Ageng Sela.
"Peri Peminum Darah?"
Wajah Rangga tampak kaget. Dipandangnya orang tua itu dengan seksama.
"Dari mana kau tahu, Ki?" tanya Rangga.
"Dari Ki Bagong Udeg, dan dari cerita-cerita orang lain, kami tahu kalau ciri-ciri si Peri Peminum Darah seperti itu...," sahut Ki Ageng Sela.
"Hm... Jadi Peri Peminum Darah itu seorang wanita?" kata Rangga seperti berkata sendiri.
"Kami menduga, dia ada hubungannya dengan si Hantu Putih Mata Elang yang tewas di tanganmu setahun lalu," tambah Ki Ageng Sela.
"Dari mana kau bisa menduga begitu?" tanya Rangga lagi.
"Dia mendendam padamu, bukan?"
Rangga mengangguk.
'Tahukah kau, apa alasannya?"
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng.
"Tidakkah terpikir olehmu, salah seorang keluarga si Hantu Putih Mata Elang yang ingin menuntut balas padamu?"
Rangga berpikir sesaat. Wajahnya kelihatan tegang, seperti memikirkan sesuatu
"Apakah dia orangnya...?" gumam Rangga ragu.
"Siapa yang kau maksud?" kali ini Ki Bagong Udeg yang bertanya.
"Roro Inten."
"Siapa Roro Inten?"
"Putri si Hantu Putih Mata Elang."
"Hm... Jadi Hantu Putih Mata Elang mempunyai seorang anak?" kata Ki Waskita, seperti ingin meyakinkan.
"Begitulah yang kutahu.. , sahut Rangga. Wajahnya masih menyiratkan keraguan. Dan tiba-tiba dia teringat seseorang.
"Ke mana cucumu, Ki Ageng?" tanya Rangga pada Ki Ageng Sela.
"Nila Dewi maksudmu?" tandas Ki Ageng Sela.
Rangga mengangguk
"Dia tengah bermain dengan kawan barunya, murid perempuan Ki Bagong Udeg. Kasihan... Sejak kematian Bayu Permana, dia terus mengurung diri. Itulah sebabnya, dia kuajak ke sini karena banyak mendapat kawan baru..."
"Tidak heran Peri Peminum Darah mengenal Nila Dewi," desah Rangga.
Wajah Ki Ageng Sela tampak terkejut mendengar kata-kata Rangga.
"Kalau memang benar si Peri Peminum Darah itu Roro Inten, berarti memang pernah mengenal Nila Dewi. Itu tidak heran. Sebab, mereka pernah kenal untuk beberapa saat." jelas Pendekar Raja?wali Sakti.
Ki Ageng Sela mengangguk. Kini bisa dimengerti, mengapa Peri Peminum Darah mengenali Nila Dewi.
"Kisanak semua, kurasa aku tidak perlu ikut dalam pertemuan ini...," kata Pendekar Rajawali Sakti seraya bangkit berdiri.
"Lho, kenapa?" tanya Ki Bagong Udeg, ikut berdiri.
"Aku harus membuktikan kebenaran dugaanku."
"Bagaimana caranya kau membuktikan hal itu?" tanya Ki Ageng Sela.
"Ke Hutan Lengkeng."
"Hutan Lengkeng?"
"Ya! Aku yakin, di sanalah sarang Hantu Putih Mata Elang. Kalau benar Peri Peminum Darah itu putrinya, maka dia tidak akan pergi jauh. Aku harus ke sana untuk mencarinya!"
Pemuda itu bermaksud melangkah. Namun sa?at itu masuk tiga orang.
Ki Bagong Udeg menyambut segera seorang laki-laki setengah baya berpakaian bagus, didampingi dua orang pemuda. Orang itu memberi salam hormat, kemudian menatap dengan wajah sendu.
"Maafkan kami, Kisanak semua. Bisakah kami bertemu Ki Bagong Udeg, Ketua Padepokan Merak Emas...?" tanya Ielaki setengah baya itu.
"Aku sendiri orangnya. Adakah sesuatu yang bisa kubantu?"
"Sungguh kebetulan. Aku Ki Dawang Rejo. Dan kedua orang ini adalah muridku. Ada pun keperluanku yang utama adalah hendak bertemu Pen?dekar Rajawali Sakti yang konon kudengar berada di tempat mi?? jelas orang tua itu.
"Oh, Pendekar Rajawali Sakti" Kebetulan orangnya ada di sampingku."
Ki Bagong Udeg segera memperkenalkan Pen?dekar Rajawali Sakti. Kini terlihat wajah Ki Dawang Rejo cerah ketika melihat senyum ramah pemuda itu.
"Pendekar Rajawali Sakti... Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu denganmu."
"Ki Dawang Rejo. Begitu pun denganku. Anak buahmu telah menceritakan sedikit persoalan yang kau hadapi. Dan maaf, karena waktu itu aku harus buru-buru. Tapi yang jelas, aku tidak bisa membantumu secara khusus. Apalagi mengembalikan putrimu dalam keadaan hidup. Aku tidak bisa menjamin. Namun untuk membereskan si Peri Peminum Darah, itu memang harus kulakukan!" jelas Pen?dekar Rajawali Sakti.
"Jadi..., apakah putriku telah tewas...?" tanya Ki Dawang Rejo dengan wajah kecewa bercampur sedih mendalam.
"Kisanak, jangan berpikir seperti itu dulu. Kita masih punya harapan. Kalau saja putrimu kutemukan dalam keadaan selamat, tentu saja akan kubawa padamu. Begitu pula bila kutemukan mayatnya. Maka akan kuantar, agar bisa dikuburkan se?cara layak. Tapi aku hanyalah seorang manusia yang mempunyai keterbatasan. Dugaanku hanya berdasar pada kebiasaan si Peri Peminum Darah yang tidak pernah membiarkan korbannya hi?dup...," hibur pemuda itu seraya menepuk-nepuk pundak Ki Dawang Rejo.
"Ki Bagong Udeg.... Maaf, aku harus pergi dan tidak bisa menunggu kedua kawanmu. Mungkin aku sendiri tahu di mana harus mencari Peri Pe?minum Darah...," lanjut Rangga, segera berpamitan pada Ketua Padepokan Merak Emas.
"Oh! Kau tahu di mana Peri Peminum Darah itu, Rangga" Kalau begitu kami akan ikut menyertaimu!" seru Ki Bagong Udeg.
Rangga sebenarnya bermaksud hendak pergi sendiri. Namun kata-kata Ki Bagong Udeg didukung oleh ketiga kawannya. Sehingga mau tidak mau pemuda itu mengajak mereka.
"O, jadi kalian pun akan ke sana?" tanya Ki Da?wang Rejo, dengan wajah sedikit cerah.
"Ya! Kami akan menyelidiki sarangnya," sahut Rangga.
"Sarangnya" Jadi bukan ke Padepokan Kilat Buana?" tanya orang tua itu heran.
"Padepokan Kilat Buana" Ada apa di sana?"
Kali ini Ki Bagong Udeg serta yang lain menunjukkan wajah bingung.
"Kami mendapat kabar dari murid Padepokan Kilat Buana kalau Peri Peminum Darah akan mengobrak-abrik padepokan itu," jelas Ki Dawang Rejo.
"Hm... Ada baiknya kita menyelidiki ke sana," sahut Rangga, seraya melangkah keluar.
Ki Bagong Udeg dan yang lain segera mengikuti langkah pemuda itu.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 135. Peri Peminum Darah Bag. 6
26 octobre 2014, 06:00
6 ? Seorang pemuda murid Padepokan Kilat Bua?na melaporkan pada gurunya yang bernama Ki Pa?gut Geni tentang kehadiran beberapa orang tokoh persilatan dan seorang yang berpakaian indah se?perti seorang saudagar. Mereka tak lain dari, Pen?dekar Rajawali Sakti, Ki Bagong Udeg, Ki Tabong, Ki Ageng Sela, Ki Waskita, dan Ki Dawang Rejo. Dan kini, Ki Pagut Geni menerima mereka di ruang utama padepokan itu.
"Akulah Ki Pagut Geni. Ada kabar apa kalian menemuiku?" kata Ki Pagut Geni, memperkenalkan diri dan sekaligus bertanya-tanya.
Sebenarnya, Ki Pagut Geni bukanlah keturunan orang yang terpelajar. Sejak muda, wataknya terkenal berangasan. Sehingga tidak heran kalau tidak mengenal sopan-santun. Dalam pembicaraan pun terlihat kalau dia tak suka berbasa-basi. Begitu juga saat ini. Tanpa mempersilakan tamunya du?duk, dia sudah langsung menanyakan tujuan mere?ka sambil berdiri.
Rangga hanya tersenyum kecut, sambil melirik ke arah rekan-rekanya. Meski merasakan kalau sambutan Ki Pagut Geni terkesan kurang sopan, namun pemuda itu berusaha untuk memahaminya.
"Ki Pagut Geni, kedatangan kami di sini seka?dar hendak bergabung denganmu, untuk menghadapi si Peri Peminum Darah," jelas Rangga.
"Hm, Peri Peminum Darah" Ya! Aku juga baru saja mendapat laporan dari muridku. Tapi, ada apa dengannya sehingga kalian perlu repot-repot ke sini?" tanya orang itu, seperti tidak merasa menda?pat masalah oleh berita ini.
"Orang itu berbahaya, dan"
"Tunggu dulu!" Potong Ki Pagut Geni lang?sung.
Orang tua itu memandang Rangga dengan ta?jam. Sementara, Rangga jadi terdiam dan juga lang?sung memandang tajam pada Ki Pagut Geni.
"Hm, aku tahu. Kalian meremehkan kemampuanku, bukan?"
"Kami tidak mengerti maksudmu, Ki?" tanya Rangga dengan wajah heran.
"Kalian kira si Peri Peminum Darah sedemikian hebat, sehingga kalian pikir aku tidak mampu mengatasinya" Lalu, kalian datang bermaksud mengulurkan bantuan"!" kata Ki Pagut Geni, mulai tersinggung.
"Jangan berpikir begitu, Ki. Tentu saja kami tahu kehebatanmu Tapi"
"Cukup! Sekarang jawab pertanyaanku. Siapa kau, sehingga berani merendahkanku"! Aku tahu dan memang kenal keempat kawanmu. Demikian pada hartawan ini, serta kedua pengawalnya. Tapi, aku tidak mengenalmu! Lantas, orang-orang seperti kaliankah yang akan membantuku"!"
"Ki Pagut Geni! Pemuda inilah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," jelas Ki Bagong Udeg.
Sejak tadi, Ketua Padepokan Merak Emas ini diam menahan kesal melihat sikap Ketua Padepok?an Kilat Buana yang terlihat sombong. Dia berharap, dengan begitu sikap Ki Pagut Geni bisa sedikit lunak. Sebab untuk saat ini, siapa yang tidak kenal si Pendekar Rajawali Sakti"
Tapi apa yang diharapkan Ki Bagong Udeg, agaknya bertolak belakang. Begitu mendengar sia?pa pemuda itu sebenamya, dia malah tertawa lebar.
"He he he...! Benar, saat ini aku tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi apa kau mesti memandang rendah padaku, sehingga berpikir aku butuh pertolonganmu" Apakah kau su?dah sedemikian hebat menyandang nama kosong itu?" kata orang tua ini sinis.
Rangga yang sejak tadi berusaha sabar, kini mulai kesal.
"Aku sama sekali tidak berpikiran seperti itu, Ki. Tapi urusan si Peri Peminum Darah adalah urus?an semua orang. Paling tidak, harus ada yang ber?buat sesuatu untuk menghentikan perbuatannya yang keji. Jadi jangan hanya persoalan harga diri yang ada di benakmu! Ini masalah keselamatan ba?nyak orang!" kata Pendekar Rajawali Sakti, tenang.
"Jangan mengguruiku, Bocah! Kau tahu, sebelum kepalamu keluar melihat isi dunia ini, aku telah malang melintang dalam dunia persilatan. Jadi jangan menganggap remeh kalau hanya menghadapi bajingan busuk yang kau takutkan. Hanya keledai keledai dungu yang takut dengan perem?puan!" desis Ki Pagut Geni menyindir.
Mendengar ejekan itu, rasanya darah dalam dada Ki Tabong mulai mendidih telah naik ke ubun-ubun. Dia hendak maju untuk balas memaki Ketua Padepokan Kilat Buana itu, namun keburu ditahan Ki Bagong Udeg. Sementara Ki Pagut Geni hanya menatap tajam ketika melihat gerakan Ki Tabong. Seakan, hendak ditelannya bulat-bulat tubuh Ki Ta?bong lewat sorot matanya yang menggiriskan.
"Ki Tabong! Rupanya kau punya harga diri ju?ga, heh"! Kau boleh tunjukkan kejantanan di sini. Jangan berhadapan denganku dulu. Karena banyak muridku yang siap meladenimu sendiri!" dengus Ki Pagut Geni geram.
Dengan kata-katanya itu, jelas sekali kalau sebenarnya Ki Pagut Geni menganggap remeh Ki Tabong. Sehingga membuat orang tua bertubuh gemuk pendek itu semakin geram saja. Meski Ki Bagong Udeg dan yang lain berusaha menahan, namun dengan kasar ditepisnya tangan mereka. Langsung ditudingnya Ki Pagut Geni dengan sikap garang.
"Pagut Geni. Kau boleh tunjukkan kehebatan?mu padaku!"
"Ki Tabong, sudahlah. Kedatangan kita ke sini bukan hendak mencari permusuhan. Kita harus mencari si Peri Peminum Darah. Kalau memang Ki Pagut Geni tidak bersedia bekerja sama, bukan suatu persoalan. Kita cari si Peri Peminum Darah itu di tempat lain," ujar Rangga, berusaha menyabarkan Ki Tabong.
"Tidak! Orang ini sudah keterlaluan! Dia merendahkan kita, dan sama sekali tidak memandang sebelah mata. Dikira dirinya siapa"! Kalau dibiarkan terus, dia akan besar kepala!" sergah Ki Tabong.
"Tidak usah banyak bicara! Lawan dulu murid?ku. Kalau kau mampu mengalahkannya, aku mengaku kalah padamu!" desis Ki Pagut Geni garang.
"Phuih! Tidak perlu muridmu. Majulah kau sendiri!" sentak Ki Tabong.
"Ha ha ha...! Kau kira dirimu siapa" Menghadapi muridku saja, kau masih belum pantas. Apalagi mesti menghadapiku"
"Setan!"
Ki Tabong menggeram. Langsung dia melom?pat menerkam Ketua Padepokan Kilat Buana. Sia-sia saja Rangga dan yang lain menahan amarah Ki Tabong yang agaknya tidak bisa disurutkan lagi.
"Yeaaat!"
Mendadak seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun bertubuh kekar tadi kebetulan tak jauh dari situ langsung memapak serangan Ki Tabong.
"Ha ha ha...! Bagus, Satria! Meski dia tidak pantas menjadi lawanmu, tapi kau tidak perlu mem?beri hati. Tunjukkan, kalau dia sebenarnya bukan tandinganmu!" seru Ki Pagut Geni, sambil terkekeh lebar.
? *** ? Pertarungan antara Ki Tabong dengan Satria Waksa murid utama Ki Pagut Geni itu memang ti?dak bisa terelakkan lagi. Ki Tabong memang panas betul mendengar kata-kata Ketua Padepokan Kilat Buana tadi. Sehingga tidak tanggung-tanggung lagi segenap kemampuannya dikerahkan untuk menjatuhkan Satria Waksa. Ingin segera dibuktikannya kalau dirinya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Namun apa yang dibayangkan ternyata tidak sesuai keadaan. Ternyata kepandaian Satria Waksa tidak bisa dipandang ringan. Hal ini tidak mengherankan, sebab Ki Pagut Geni mempertaruhkan harga dirinya.


Pendekar Rajawali Sakti 135 Peri Peminum Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Plak! "Hiiih!"
Beberapa kali Ki Tabong mengeluh tertahan, setiap kedua tangan mereka beradu. Tenaga pemu?da itu kuat luar biasa. Dan kegesitannya dalam bergerak amat mengagumkan. Bahkan orang tua itu pelan-pelan terlihat mulai terdesak hebat.
"Yeaaa!"
Satria Waksa bertenak lantang menggelegar. Kemudian kaki kanannya dikibaskan ke arah ping?gang Ki Tabong. Namun orang tua itu cepat me?lompat ke belakang menghindarinya. Maka dengan berpijak pada sebelah kakinya, murid utama Ki Pa?gut Geni itu mencelat mengejar. Langsung dihan-tamnya perut Ki Tabong dengan satu tendangan keras.
Ki Tabong berusaha menangkis, karena untuk berkelit sudah tak mungkin.
Plak! Benturan keras terjadi, membuat Ki Tabong meringis kesakitan. Sekujur tangannya yang digunakan untuk menangkis terasa nyeri bukan main. Dan belum juga dia bersiap, kaki Satria Waksa yang sebelah lagi cepat menghantam pinggangnya.
Des! "Aaakh...!"
Orang tua itu mengeluh tertahan. Tubuhnya nyaris terjungkal ke kanan, namun cepat menguasai keseimbangan. Namun Satria Waksa seperti tidak memberi kesempatan. Belum juga Ki Tabong bersiap kembali, pemuda itu telah berputar dengan satu tendangan susulan. Begitu cepat gerakannya, se?hingga"
Duk! "Hugkh!"
Ki Tabong kontan mengeluh tertahan, seraya mendekap perutnya yang terasa mual bukan main. Tubuhnya langsung terjungkal tiga langkah ke be?lakang, tepat di depan Ki Bagong Udeg. Tampak mulutnya meringis merasakan sakit yang hebat.
"Ha ha ha...! Ternyata dugaanku benar! Kalian memang hanya keledai-keledai dungu yang bertingkah hendak menjadi pahlawan!" ejek Ki pagut Ge?ni.
Sementara itu Ki Waskita sudah hendak turun tangan menghajar Satria Waksa, namun Ki Bagong Udeg mencegahnya.
"Sudahlah. Apa yang dikatakan Rangga me?mang benar. Kita jangan mencari keributan di sini," ujar Ki Bagong Udeg seraya mengangkat tubuh Ki Tabong.
"Tapi orang ini sudah kelewat menghina kita"!" kilah Ki Waskita.
"Biarlah. Tidak usah dibesar-besarkan...," sa?hut Ki Bagong Udeg, masih berusaha menyabarkan sahabatnya.
"Ha ha ha...! Kata-kata itu memang sepatutnya keluar dari mulut orang-orang pengecut!" sindir Ki Pagut Geni sambil ketawa lebar.
Mau tidak mau, kata-kata penuh penghinaan ini membangkitkan kembali amarah Ki Waskita yang mulai surut. Dan bukan hanya orang tua itu saja yang tersinggung. Tapi, Ki Ageng Sela, Ki Ba?gong Udeg, Rangga yang sejak tadi diam, langsung menatap tajam pada Ki Pagut Geni.
"Kisanak! Sikapmu sudah di luar batas. Kau telah dengar, kedatangan kami ke sini bukan men?cari keributan. Namun kau terus memancing kesabaran kami. Apa sebenarnya yang kau inginkan?" tanya Rangga, dengan suara bergetar berusaha me?nahan kemarahan.
"O, rupanya masih ada keberanian juga kau, Anak Muda! Hm.... Kau pun boleh tunjukkan, kalau bukan pengecut dengan melawan muridku ini," sahut Ki Pagut Geni enteng sambil menepuk-nepuk pundak muridnya yang tadi baru saja menjatuhkan Ki Tabong.
"Rangga! Biar dia kuberi pelajaran agar tidak besar kepala!" dengus Ki Waskita semakin geram.
Namun pemuda itu memberi isyarat dengan tangannya. Kemudian bibirnya tersenyum kecil.
"Jangan mengotori tangan hanya untuk memuaskan orang sombong ini, Ki. Biarlah kau kuwakili untuk menghadapinya," kata Rangga, berusaha setenang mungkin.
"Nah, Satria. Kau dengar itu" Kali ini Pendekar Rajawali Sakti yang akan menjajalmu. Apakah kau. takut mendengar nama besarnya?" tanya gurunya.
"Aku tidak pernah takut pada siapa pun, Guru. Walau dedemit yang berada di mukaku!" sahut mu?rid Ki Pagut Geni tegas, disertai senyum sinis.
Rangga tersenyum seraya melangkah tiga langkah ke kiri. Sedang Satria Waksa mengikutinya sambil memandang dengan sorot mata tajam. Kini dia mulai memasang kuda-kuda.
"Kepandaianmu hebat, Sobat. Dan gurumu pun konon kata orang juga hebat. Maka jangan permalukan dia di depan orang banyak...." sindir Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tidak perlu mengajariku, Kisanak!" dengus Satria Waksa geram.
"Hm, mungkin saja. Tapi, agaknya kau masih perlu belajar banyak untuk mengendalikan kesombonganmu..."
"Tutup mulutmu! Yeaaa...!"
Secepat kilat Satria Waksa melompat disertai bentakan nyaring melengking. Dia melakukan ten?dangan tipuan dengan kaki kanan untuk mengecoh. Dan Rangga cepat menundukkan kepala. Maka sekonyong-konyong, Satria Waksa menarik tendang?an. Dan dengan tubuh berputar, dilepaskannya ten?dangan dengan kaki kiri ke arah dada.
Wuuut! Tapi Pendekar Rajawali Sakti menyadari. Sege?ra tubuhnya melenting cepat bagai kilat, sehingga tendangan Satria Waksa hanya mengenai tempat kosong. Begitu habis berputaran, tahu-tahu Pende?kar Rajawali Sakti meluruk deras dengan satu ke?palan tangan menyodok ke arah muka. Satria Wak?sa terkesiap. Serta merta, dia mendoyongkan tu?buhnya ke samping sambil menangkis.
Sehabis menangkis, kaki kanan Satria Waksa hendak melayang ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti, namun belum lagi dilakukannya, tubuh Rang?ga telah merapat dekat disertai pukulan keras ke perut.
Begkh! "Ugkh'' Satria Waksa kontan mengeluh tertahan. Tu?buhnya terhuyung-huyung ke belakang, untung masih bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
"Hati-hati! Dan, jaga setiap pertahananmu...!" kata si Pendekar Rajawali Sake disertai senyum manis. Matanya tak lepas mengawasi lawannya.
"Keparat! Satria Waksa menggeram. Tanpa mempedu?likan sakit yang diderita, dia kembali melompat menerkam Rangga.
"Yaaat!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 . 135. Peri Peminum Darah Bag. 7
26. Oktober 2014 um 06:00
7 ? Dengan pengerahan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang disertai ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, tubuh Pendekar Ra?jawali Saktiba bagai lenyap dari pandangan. Satria Waksa jadi terkesiap. Dan untuk sekejap, pemuda itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dan mendadak saja, dia merasakan angin sambaran ke?ras menuju ke arahnya. Cepat Satria Waksa menghentakkan telapak tangan kanannya ke depan di?sertai bentakan nyaring. Sementara tangan kirinya bersiaga di dada.
"Yeaaat!"
Wuuut! Seketika serangkum angin kencang menyam?bar ke depan ke arah bayangan yang bergerak ce?pat ke arahnya. Namun, kelebatan bayangan yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakfi itu, tiba-tiba berputaran di udara. Lalu seketika Pendekar Raja?wali Sakti meluruk, mengincar batok kepala Satria Waksa. Karena untuk menghindar jelas tidak mung?kin, maka Satria Waksa menangkis dengan sebelah tangannya.
Plak! Satria Waksa merasakan sakit bukan main pada tangannya ketika menangkis serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga rasa sakit itu hilang, Rangga telah kembali berputaran. Dan dengan ju?rus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' Pendekar Ra?jawali Sakti melepaskan dua tendangan beruntun yang menghantam dada dan perut Satria Waksa.
Dugkh! "Aaakh...!"
Murid Ki Pagut Geni memekik tertahan. Tubuh?nya tenungkal ke tanah beberapa langkah, dan tidak bangkit lagi!
"Heh"!"
Bukan main terkejutnya Ki Pagut Geni melihat keadaan muridnya. Dikira, Pendekar Rajawali Sakti bertindak kejam, sehingga menewaskan muridnya. Maka buru-buru diperiksanya keadaan Satria Wak?sa.
Pikiran yang sama juga terlintas di benak Ki Bagong Udeg dan kawan-kawannya. Bahkan mu?rid-murid Padepokan Kilat Buana lainnya telah siap mengurung.
Sementara Rangga hanya tersenyum.
"Tidak perlu khawatir. Aku hanya sekadar meruntuhkan keangkuhannya saja...," kata Rangga dingin, setelah memperhatikan keadaan lawannya.
Ki Pagut Geni mendengus geram. Matanya disipitkan ketika memandang Pendekar Rajawali Sak?ti dengan tajam. Satria Waksa memang belum tewas. Hanya sekadar tidak sadarkan diri. Namun de?ngan caranya itu dan ditambah kata-kata terakhir Pendekar Rajawali Sakti, jelas membuatnya ter-singgung. Orang tua ini merasa kalau harga dirinya tengah diinjak-injak Pendekar Rajawali Sakti.
Begitu bangkit berdiri, Ki Pagut Geni memberi isyarat pada dua orang muridnya, untuk segera membawa Satria Waksa ke dalam. Sementara, seo?rang murid lainnya mengangsurkan sebilah pedang berhulu kepala naga. Orang tua itu lantas maju dua langkah, hingga jaraknya kini hanya dua tombak di hadapan Pendekar Rajawali Sakti. Sorot matanya tajam, membayangkan dendam serta kebencian pa?da pemuda itu.
Semua murid Padepokan Kilat Buana kini membentuk lingkaran agak lebar. Mereka mengerti, apa yang akan dilakukan gurunya. Dan agaknya, Ki Bagong Udeg pun bisa menangkap gejala tidak enak. Ki Pagut Geni pasti akan menantang Pende?kar Rajawali Sakti untuk bertarung. Memang, Satria Waksa adalah muridnya yang terpandai dan bisa diandalkan. Sehingga, kekalahannya di tangan Pen?dekar Rajawali Sakti membuat wajahnya betul-betul bagai dicoreng oleh kotoran korbau.
"Cabutlah pedangmu dan hadapi aku, Pende?kar Rajawali Sakti. Ingin kulihat, sampai di mana kehebatanmu yang selama ini digembar-gemborkan orang!" dengus Ki Pagut Geni dingin.
"Ki Pagut Geni! Kenapa kau menyalahi aturan dan memperpanjang urusan?" tanya Ki Bagong Udeg. "Saat berhadapan dengan Ki Tabong, kau mengatakan kalau cukup diwakili muridmu. Dan kini ketika Pendekar Rajawali Sakti, mampu menjatuhkan muridmu kenapa kau tidak terima" Kedatangan kami ke sini bukan untuk mengacau. Na?mun, kau terus merusak keadaan."
"Urusan muridku dengan kawanmu. Tapi urus?an si Pendekar Rajawali Sakti adalah denganku. Atau, barangkali nyali Pendekar Rajawali Sakti mu?lai ciut bila berhadapan denganku?" sindir orang tua itu sinis.
Rangga tersenyum kecut. Kakinya maju dua langkah, sehingga jaraknya dengan Ki Pagut Geni semakin dekat.
"Kedatanganku ke sini bukan mencari keri?butan, Ki. Namun dengan kesombonganmu, kau membuatku tidak punya pilihan Iain lagi. Maka silakan kalau memang kau memaksa," sahut Pende?kar Rajawali Sakti singkat.
"Cabutlah pedangmu!" dengus Ki Pagut Geni, langsung mencabut pedang dan melintangkannya di depan dada.
Sret! "Pedangku belum waktunya digunakan. Kare?na aku menganggap belum perlu," sahut Rangga.
"Terserah saja. Tapi jangan katakan aku curang. Atau mungkin pedangmu hanya sekadar un?tuk menakut-nakuti"!" dengus orang tua itu menyindir.
Ki Pagut Geni langsung berputar dua langkah ke kiri. Lalu sambil berputar, dia mencelat menye?rang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa!"
"Hup!"
Gesit sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke kanan menghindari serangan orang tua itu. Na?mun, kelebatan pedang Ki Pagut Geni terus mengurung tubuhnya dengan ketat. Permainan pe?dang Ki Pagut Geni memang tak bisa dipandang enteng. Sedikit saja salah melangkah, maka ujung pedang orang tua itu akan menyambar tubuhnya.
Untuk sesaat Rangga terkejut. Namun tubuh?nya cepat meliuk-liuk indah, dengan gerakan kaki lincah menghindari setiap serangan. Pemuda itu sengaja memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk mengetahui, sampai sejauh mana kehebatan serangan Ki Pagut Geni. Memang, jurus itu sengaja digunakan untuk menghindar, di samping menjajaki kemungkinan mencari kelemahan lawan.
"Yaaat!"
Bukan main gemasnya Ki Pagut Geni. Tiga ju?rus telah berlalu tapi belum juga bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Dan yang lebih membuatnya kesal, pemuda itu sama sekali belum membalas serangannya.
? *** ? "Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kepandaianmu hanya menghindar saja" Ayo, balas seranganku"!" teriak orang tua itu lantang sambil memperhebat serangan.
Dengan tangan kanan menggenggam pedang, tangan kiri Ki Pagut Geni menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam tinggi kuat. Gerakannya pun terasa lebih mantap. Dan Rangga bukannya tidak menyadari. Beberapa kali tubuhnya diterpa angin kencang. Namun sejauh itu, Pendekar Rajawali Sakti masih mampu bertahan.
Ki Pagut Geni kini tampak mengerahkan jurus 'Angin Mencipta Badai yang merupakan jurus andalan untuk memporak-porandakan pertahanan lawan. Tidak heran bila gerakannya semakin cepat dan ganas saja. Bahkan orang-orang yang berada di sekitar tempat itu semakin mundur agak jauh.
'Yeaaa!" Kini Pendekar Rajawali Sakti terlihat melompat ke belakang, dan langsung membuat beberapa kali putaran. Sementara, Ki Pagut Geni cepat mengejar dengan pedang terhunus. Melihat dahsyat serangan orang tua itu, Pendekar Rajawali Sakti merasa kalau pedangnya harus dicabut.
Sring! Baru saja Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan pedangnya yang memancarkan cahaya biru berkilauan, pedang Ki Pagut Geni sudah berkelebat cepat mengincar lehernya.
Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti mengangkat Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke de?pan lehernya.
Trang! Seketika percikan bunga api berterbangan ke segala arah, ketika dua senjata yang amat dahsyat beradu. Begitu kerasnya, sampai-sampai Ki Pagut Genit terjajar beberapa langkah. Sedangkan Rang?ga tidak bergeming sedikit pun.
Belum juga Ki Pagut Geni bersiap, Pendekar Rajawali Sakti sudah mendesaknya dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Dan ini membuat orang tua itu kelabakan. Dia berusaha mengimbangi permainan pedang Pendekar Rajawali Sakti, tapi ge?rakannya semakin kacau saja. Seakan-akan, dia te?lah kehilangan kendali. Bahkan setiap kali senjatanya berbenturan, terasa hawa panas menjalar ke jantungnya. Telapak tangannya sendiri seperti kesemutan. Dan berkali-kali, mengeluh kesakitan.
"Heaaa!"
Disertai teriakan keras menggelegar, pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti mengurung tubuh Ki Pagut Geni. Dan tiba-tiba saja, ujung kaki kiri Rangga menghantam ke arah muka. Orang tua itu terkesiap, dan cepat melompat ke belakang. Na?mun dengan gerakan tidak terduga, Pendekar Ra?jawali Sakti bergulingan, menyerang lawan dari ba?wah.
Ki Pagut Geni terkesiap, sama sekali tidak diduga kalau pemuda ini bergerak demikian cepat. Cepat-cepat pedangnya dikibaskan ke bawah.
Trang! Ki Pagut Geni berhasil menangkis sambaran pedang Rangga. Namun mendadak saja kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti meluncur cepat ke depan.
Begkh! "Aaakh!"
Orang tua itu menjerit tertahan begitu dadanya telak terhantam kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tu?buhnya kontan terjungkal ke tanah beberapa lang?kah.
"Kurang ajar!" Ki Pagut Geni menggeram sam?bil menyeka darah yang menetes di sudut bibirnya.
Hantaman Pendekar Rajawali Sakti yang diiringi tenaga dalam tinggi membuat isi dadanya seperti akan pecah. Tapi, mana mau dia menyerah begitu saja" Maka sambil menahan rasa sakit hebat, Ki Pagut Geni cepat bangkit dan bersiap hendak menyerang kembali.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya ber?diri tegak. Matanya memandang orang tua itu de?ngan tajam.
"Apakah kau tidak ingin menyudahi permainan ini, Ki?" tanya Rangga dingin.
"Huh! Apa kau kira sudah menang, karena bisa menjatuhkan aku sekali" Kau akan merasakan balasannya dariku!" dengus Ki Pagut Geni garang.
Namun belum sempat orang tua itu menyerang, tiba-tiba...
"Aaa...!"
Terdengar pekikan nyaring melengking tinggi, yang mengejutkan semua orang.
"Heh"!"
Mereka kontan mencari-cari sumber suara. Dan mereka segera berlarian ke luar bangunan utama padepokan ini. Tampak di halaman padepokan ini berdiri seorang wanita cantik berpakaian tipis. Rambutnya panjang terurai, berkibar- kibar tertiup angin. Di sekitarnya terlihat beberapa orang murid Kilat Buana tergeletak tidak bernyawa. Rupanya, teri-akan menyayat itu, berasal dari murid-murid Ki Pa?gut Geni yang terbantai oleh wanita itu.
? *** ? "Siapa kau..."!" hardik Ki Pagut Geni, melihat murid-muridnya tewas dengan kepala remuk.
"Aku telah beritahukan kedatanganku ke sini. Dan kukira, kau akan menyambutku dengan baik!"
"Hm... Jadi kau yang berjuluk si Peri Peminum Darah?" tanya Ki Pagut Geni, ingin meyakinkan.
Orang-orang yang berada di tempat itu terkejut menyaksikan kehadiran gadis berbaju serba hitam itu. Namun apa yang mereka pikirkan, agaknya berbeda dengan apa yang sedang dipikirkan Rang?ga.
"Roro Inten"!" desis Rangga pelan ketika mem-perhatikan wajah gadis itu dengan seksama.
Roro Inten yang ditemuinya setahun lalu, sedi?kit berbeda dengan sekarang. Kulitnya halus dan wajahnya bertambah cantik. Namun sikap genitnya dulu, kini tetap tidak berubah. Meski, mengandung hawa menggiriskan lewat pancaran matanya.
"Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat seenaknya saja di tempatku"! Kau harus mati karena perbuatanmu!" geram Ki Pagut Geni seraya melompat menerjang dengan amarah meluap-luap.
Untuk sesaat orang tua itu melupakan pertarungannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dan perhatiannya dialihkan pada gadis berjuluk Peri Peminum Darah.
Peri Peminum Darah mendengus sinis. Dan dia betul-betul memandang rendah Ki Pagut Geni.
"Tua bangka tidak tahu diri! Memang aku ingin menjajalmu?"
Dengan sedikit berkelit, tebasan pedang Ki Pagut Geni mudah sekali dihindar. Dan tubuhnya terus mencelat ke atas. Sementara, Ki Pagut Geni mengejar dengan amarah meluap.
"Jahanam terkutuk! Kau harus bayar kematian murid-muridku dengan nyawa busukmu! Heaaa!"
"Huh! Nyawa busukmulah yang akan menyusul ke neraka!" desis Peri Peminum Darah sambil tersenyum mengejek.
Tubuh Peri Peminum Darah langsung berputar bagai gasing, lalu meluncur ke arah Ki Pagut Geni yang belum sempat melakukan serangan. Bahkan kini gadis itu telah membawa serangan dengan satu pukulan maut bertenaga dalam kuat.
"Yeaaa!"
Werrr! "Uhhh...!"
Bukan main terkejutnya Ki Pagut Geni merasa?kan sambaran angin kencang laksana badai topan. Bahkan tubuhnya jadi terhuyung-huyung ke bela?kang berusaha menjaga keseimbangan. Padahal, pukulan gadis itu berjarak tiga jengkal darinya. Yang lebih menggiriskan beberapa murid Padepokan Ki?lat Buana yang terkena hantaman, kontan terjungkal sambil menjerit roboh. Sementara Pendekar Ra?jawali Sakti dan kawan-kawannya berusaha meng?hindar sambil bertahan. Sedangkan Ki Dawang Re?jo dan kedua pengawalnya meski terkena sambar?an, sempat tenungkal juga.
"Gila!" desis Rangga memaki. "Tenaga dalamnya lebih hebat dari ibunya sendiri?"
Pada saat itu juga, tubuh si Peri Peminum Da?rah mencelat ke arah Ki Pagut Geni dengan ge?rakan kilat.
"Yaaa...!"
"Uhhh...!"
Orang tua itu berusaha menghindar sambil mengibaskan pedang. Namun, tubuh Peri Peminum Darah lenyap dari pandangan. Dan tahu-tahu, satu depakan keras menghantam dadanya.
Duk! "Aaa...!"
Ki Pagut Geni menjerit menyayat. Tubuhnya terjungkal tujuh langkah dengan dada remuk! Begi?tu mencium tanah, nyawanya melayang dari raga. Sekujur tubuhnya berlumur darah.
Sementara itu si Peri Peminum Darah berdiri tegak dengan wajah sinis. Sedangkan murid-murid Padepokan Kilat Buana hanya tersentak kaget.
"Heh"!"
"Guru...!"
Beberapa murid langsung menghampiri mayat gurunya. Sementara, yang lain mengurung Peri Peminum Darah dan langsung menyerang hebat.
"Iblis terkutuk! Kau harus membayar nyawa guru kami, yeaaa..!"
Wut! Bet! Peri Peminum Darah hanya mendengus sinis sambil mengibaskan telapak tangannya.
"Kecoa-kecoa busuk! Mampuslah kalian!
Heaaa...!"
Peri Peminum Darah langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Weeer! Seketika, sekelebatan cahaya merah kekuningan menyambar murid-murid Padepokan Kilat Bua?na laksana badai topan.
"Aaa...!"
Tanpa ampun lagi, mereka terjungkal dan tewas dengan tubuh hampir menghitam seperti terbakar. Pekik kematian saling susul-menyusul terde?ngar dalam waktu singkat. Sementara, Peri Pemi?num Darah terus mengumbar pukulan jarak jauhnya.
"Rangga. Apakah kita hanya berdiam diri saja menunggu nasib?" tanya Ki Bagong Udeg mulai cemas.
Tanpa menjawab pertanyaan Ki Bagong Udeg, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat menghadang Peri Peminum Darah.
"Peri Peminum Darah, hentikan perbuatanmu. Kaulah lawanku...!" teriak Pendekar Rajawali Sakt begitu mendarat di tanah.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sak?ti menyerang Peri Peminum Darah.
"Hup!"
Namun sungguh di luar dugaan, si Peri Pemi?num Darah melenting tinggi ke atas, lalu hinggap di atas genteng bangunan Padepokan Kilat Buana. Sehingga serangan Pendekar Rajawali Sakti hanya menemui tempat kosong.
"Pendekar Rajawali Sakti! Aku mengundangmu ke Hutan Lengkeng, tempat kau membinasakan ibuku. Di sanalah kematianmu akan menung?gu!" kata Peri Peminum Darah lantang. Baru saja kata-katanya selesai, tubuhnya mencelat dengan gerakan cepat sekali.
"Kejar"!" teriak seorang murid utama pade?pokan ini.
"Tidak perlu! Kalian tidak akan mampu mengejarnya. Dia hanya memerlukanku. Maka biar aku yang akan menghadapinya!" cegah Rangga lantang.
"Huh! Tahu apa kau soal kematian guru kami"! Dia harus mampus di tangan kami!" dengus murid itu, tetap pada pendiriannya.
Sepuluh orang murid Padepokan Kilat Buana segera menyiapkan kuda untuk mengejar si Peri Peminum Darah. Sementara yang lain mengurus mayat Ki Pagut Geni dan mayat beberapa murid yang mati di tangan Peri Peminum Darah.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 135. Peri Peminum Darah Bag. 8 (Selesai)
26. Oktober 2014 um 06:02
8 ? Peri Peminum Darah agaknya telah menunggu di tempat yang diperhitungkan si Pendekar Rajawali Sakti. Sebuah tepi sungai yang menjorok ke bawah, dan berada tidak jauh dari sebuah pohon beringin besar yang batangnya mungkin bisa dipeluk dua orang dewasa, di dalam Hutan Lengkeng. Tempat itu memang persembunyian si Hantu Putih Mata Elang yang merupakan ibu Roro Inten alias si Peri Peminum Darah. Meskipun sampai saat ini Pende?kar Rajawali Sakti tidak tahu pasti di mana sebenarnya persembunyian Peri Peminum Darah.
"Hm" Agaknya kau membawa kawan juga, Pendekar Rajawali Sakti...!" sindir gadis itu dengan wajah sinis.
"Roro Inten! Mereka juga mempunyai kepentingan sendiri denganmu." sahut Rangga cepat.
"Wanita iblis! Kau telah membunuh beberapa orang murid wanitaku. Maka sebagai guru mereka, aku datang meminta pertanggungjawabanmu!" de?ngus Ki Bagong Udeg geram.
"Bagus. Nah, silakan. Kau minta pertanggungjawabanku yang bagaimana?" sahut Peri Peminum Darah seraya tersenyum mengejek.
'Aku menginginkan nyawamu! ' sahut Ki Bagong Udeg dingin.
Orang tua itu segera melompat menyerang Peri Peminum Darah, mendahului Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh!"
Si Peri Peminum Darah mendengus pelan tan?pa merubah sikap berdirinya.
Plak! Wuuut! Telapak tangan kiri Peri Peminun Darah me?nangkap kepalan Ki Bagong Udeg. Namun, orang tua itu langsung menghantamnya dengan tendang?an kaki kanan ke arah kepala. Cepat bagai kilat, gadis itu memiringkan kepala untuk menghindari. Sementara cengkeramnya pada kepalan Ki Bagong Udeg makin dipererat. Kemudian dibanting orang tua itu ke kanan.
"Hiiih!"
Bruk! "Uhhh..!"
Tubuh orang tua itu kontan tersungkur lima langkah mencium tanah. Untung saja Peri Peminum Darah tidak langsung mengirim serangan susulan.
"Kuperingatkan pada kalian! Pergilah dari sini. Dan jangan campuri urusanku dengan Pendekar Rajawali Sakti!" desis Peri Peminum Darah garang.
"Phuih! Perempuan celaka! Kau kira kami takut denganmu"!" sentak Ki Waskita dan Ki Tebong berbareng. Dan serentak, mereka langsung menye?rang garang.
Ki Ageng Sela sendiri sebenarnya bingung. Karena secara pribadi, dia tidak bermusuhan de?ngan wanita ini. Kedatangannya ke sini sekadar membela Ki Bagong Udeg sahabatnya. Sehingga dia tidak begitu bernafsu menyerang. Apalagi di sadari kalau kemampuannya tidak berarti dibanding Peri Peminum Darah.
"Yeaaa!"
"Tolol!" umpat si Peri Peminum Darah geram menangkis dua serangan sekaligus.
Plak! Wuuut! Meski Ki Tebong dan Ki Waskita menyerangnya dengan pedang di tangan, namun seperti tidak berarti bagi Peri Peminum Darah. Demikian juga ketika Ki Bagong Udeg kembali membantu dengan suatu kibasan pedang. Gadis itu tampak mampu bergerak gesit. Dan terlihat, kali ini tidak sedang main-main menghadapi lawan-lawannya. Tubuh?nya berputar sesaat bagai angina. Lalu...
Begkh! Des! "Wuaaa...!"
Ketiga orang itu langsung terjungkal beberapa langkah dengan dada seperti akan pecah begitu ter?kena pukulan dan tendangan keras bukan main dari Peri Peminum Darah. Bahkan sejata di tangan me?reka terpental entah ke mana.
"Kalian boleh mampus sekarang juga!" desis si Peri Peminum Darah, siap akan menghabisi mere?ka.
Namun sebelum gadis itu bertindak lebih lan?jut...
"Cukup!"
Terdengar bentakan menggelegar dari Pen?dekar Rajawali Sakti, membuat gadis itu mengurungkan niatnya. Seketika dipandangnya Rangga sambil tersenyum mengejek.
"Bagus! Kau tidak inginkan kematian mereka, tapi mengajaknya ke sini!"
"Mereka memang keras kepala. Tapi lebih keras hatimu yang diselimuti hawa iblis!" balas Rangga.
"Hm, sudahlah. Kalau saja kau tidak mencegahnya, maka nasib mereka akan sama seperti mu?rid-murid Padepokan Kilat Buana yang tadi coba menyusulku!"
Rangga paham maksud kata-kata Peri Pemi?num Darah. Seketika dadanya terasa seperti terbakar, menahan amarah.
"Roro Inten! Tindakanmu sudah kelewat batas. Rupanya iblis telah benar-benar menyusup di relung hatimu."
"Ya! Tapi, ini karena ulahmu! Kau penyebabnya!" desis Roro Inten seraya menuding.
"Apakah menyangkut soal ibumu?"
'Ya!" "Tidakkah kau sadari, kalau perbuatan ibumu sesat" Dan aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Aku telah mencoba menasihati, namun dia terlalu angkuh!" kilah Pendekar Rajawali Sakti.
"Persetan dengan segala alasanmu! Kau tidak merasakan, bagaimana sakitnya kehilangan satu-satunya orang yang menyayangimu!"
"Kehilangan orang yang dicintai bukanlah hal yang luar biasa, Roro Inten. Aku juga pernah mengalaminya. Ibuku tewas di tangan orang lain secara mengenaskan. Hanya orang yang kau cintai banyak membuat malapetaka bagi orang lain. Jadi, apakah masih harus dibela?"
"Persetan! Kubunuh kau! Kau harus balas ke?matian ibuku dengan nyawa busukmu! Yeaaa!"
Peri Peminum Darah langsung menggeram marah. Kemudian dia melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti sambil membentak nyaring.
? *** ? Wuuut! Bruak! Rangga terkejut bukan main. Demikian juga yang lainnya. Dan mereka segera beringsut-ingsut, menjauhi arena pertarungan, ketika sebatang po?hon langsung hancur berantakan terkena pukulan gadis itu.
"Yeaaa...!"
Peri Peminum Darah kembali mengamuk. Telapak tangannya dihentakkan ke depan. Maka seke?tika meluncur deras selarik cahaya kemerahan bercampur kuning ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Gila...!" desis Rangga takjub.
Jantung Pendekar Rajawali Sakti jadi berdetak lebih kencang. Seketika dia bergeser ke kanan, menghindari sambaran pukulan Peri Peminum Da?rah. Meski mampu menghindar, namun pada jarak lima jengkal kulit Rangga terasa seperti terbakar. Dan...


Pendekar Rajawali Sakti 135 Peri Peminum Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bruak! Beberapa buah pohon kembali ambruk tidak karuan terhantam pukulan Peri Peminum Darah. Dan kini tubuh gadis itu telah mencelat bagai kilat menyerang Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah sigap. Kedua tangannya segera dihentakkan dengan pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sehingga, kedua tangannya menjadi merah bagai terbakar.
Plak! Plak! "Uhhh...!"
Rangga jadi mengeluh tertahan, sehabis mencoba menahan pukulan kedua tangan Peri Pemi?num Darah. Bahkan tubuhnya sampai terjajar be?berapa langkah.
Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menguasai diri, kembali gadis itu berkelebat cepat. Seketika dilepaskannya satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi ke arah perut Rangga. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....
Begkh! "Aaakh!"
Pemuda itu menjerit tertahan, ketika satu ten?dangan kilat telak menghantam perutnya. Tubuh?nya terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum lagi dia bersiap Peri Peminum Darah telah mencelat kembali menyerang.
Wut! Wut! "Hup!"
Empat kali tendangan dalam waktu nyaris bersamaan adalah suatu gerakan yang sulit dilakukan oleh tokoh silat mana pun. Dan ini membuat Rang?ga terkejut setengah mati. Cepat bagai kilat Pende?kar Rajawali Sakti menghindari dengan menjatuhkan diri dan terus bergulingan.
"Gila! Dari mana dia memperoleh kemajuan begitu pesat" Anak ini bahkan lebih hebat dari ibunya sendiri!" gumam Rangga tidak habis pikir, begitu bangkit berdiri.
"Heaaa!"
Roro Inten agaknya tidak sudi memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti un?tuk bernapas. Kedua tangan dan kakinya sudah bergerak cepat, menyerang Rangga.
"Mampus kau!"
Peri Peminum Darah langsung melepaskan pu?kulan maut dengan menghentakkan kedua tangan?nya.
Jder! "Uhhh...!"
Masih untung, Rangga cepat melesat ke atas. Tubuh Rangga langsung berputaran ke belakang, namun gadis itu cepat mengejar dengan satu ten?dangan keras.
"Yeaaa!"
Karena untuk menghindar tidak mungkin, Pen?dekar Rajawali Sakti harus memapak dengan ta?ngannya. Tapi di luar dugaan sama sekali, gadis itu menarik kakinya. Lalu tubuhnya direndahkan dalam-dalam untuk menyerang dari bawah.
"Hiyaaa!"
Sementara Rangga masih mempergunakan li?ma rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang digabung-gabungkan. Tubuhnya berkelebat cepat, menyam?bar Peri Peminum Darah. Sehingga Peri Peminum Darah seperti terkurung oleh serangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi pemuda itu tidak habis pikir, karena Roro Inten mudah sekali menghindar dari setiap serang?annya. Seolah-olah, gadis itu sama sekali tidak me?mandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa!"
Kini Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Namun, tubuh Peri Peminum Da?rah cepat meliuk indah menghindarinya.
"Ayo! Keluarkan segala kemampuan yang kau miliki! Keluarkan semuanya, sebelum kau mampus di tanganku!" teriak Peri Peminum Darah seperti memancing kemarahan Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa!"
Peri Peminum Darah ganb melepaskan pukulan mautnya yang terasa lebih dahsyat daripada sebelumnya. Nyaris tubuh Rangga hancur berantakan kalau tidak buru-buru menjatuhkan diri. Namun be?lum lagi bangkit, satu tendangan keras telah meluncur ke arah Rangga.
Duk! "Akh...!"
Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan, begitu tendangan Peri Peminum Darah telah mendarat di dadanya. Dan kini gadis itu berdiri tegak, sambil memandang tajam Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya terlihat sinis disertai senyum mengejek.
Rangga mendengus. Tangannya segera menghapus darah yang meleleh deras dari mulutnya. Isi dadanya seperti remuk menerima tendangan yang keras bukan main. Tenaga dalam gadis itu memang dahsyat. Dan Rangga segera duduk bersila untuk bersemadi sebentar. Begitu dadanya terasa ringan, Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Perlahan-lahan tangannya terangkat ke atas, memegang gagang pedangnya.
Cring! Seketika sinar biru berkilauan memendar ketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Cepat pedang disilangkan ke depan dada. Lalu kakinya merentang lebar, dengan ta?ngan ini mengusap batang pedang. Kini matanya menatap tajam pada Peri Peminum Darah, setelah cahaya biru menyelimuti kedua tangannya dan pe?dangnya tersimpan kembali ke balik punggung.
"Hm.... Kini kau tidak berdaya, Rangga. Nyawamu berada di tanganku. Kalau saja kuteruskan serangan, kau akan mampus tanpa bisa duduk la?gi!" desis Peri Peminum Darah.
"Aku tak pernah takut mati, Roro Inten...," sahut Rangga berusaha tenang.
"Hm... Kuakui keperkasaanmu. Namun sayang, kau tetap saja harus mati di tanganku...," kata Roto Inten.
"Aku justru menyayangkan sikapmu. Kau seorang gadis cantik yang berkepandaian tinggi. Na?mun, perbuatanmu seperti iblis. Sungguh sayang..."
"Tutup mulutmu! Aku tidak sudi mendengar nasihatmu!" hardik Peri Peminum Darah geram.
"Percayalah, kau masih butuh seseorang. Khususnya, orang yang harus kau percayai...," bujuk Pendekar Rajawali Sakti kembali.
"Tidak! Aku tidak percaya padamu! Kau sama sekali tidak mempedulikanku! Apa yang kau lakukan padaku dulu" Kau terlalu angkuh dan merasa dirimu hebat! Kau akan kubunuh! Kau akan kubunuh...! Yeaaa!"
Mendadak saja, Peri Peminum Darah terlihat berang. Wajahnya telah memerah membara. De?ngan suara melengking tinggi, dia menghantam Pendekar Rajawali Sakti disertai tenaga dalam tinggi.
Rangga jadi berkemt keningnya. Tidak dikira kalau gadis itu akan berbuat demikian. Semula, dia berharap Roro Inten bisa dilunakkan. Namun kenyataannya" Untung saja Rangga telah siap menghadapi segala kemungkinan. Maka...
? *** ? "Aji 'Cakra Buana Sukma'!"
Disertai hentakan keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti langsung memapak serangan dari kedua tangan Peri Peminum Darah dengan kedua tangannya yang telah terselimut cahaya biru berkilauan.
"Yeaaat!"
Glarrr....! Satu ledakan dahsyat terdengar, ketika kedua pasang telapak tangan beradu. Sementara, Roro Inten terlihat terjajar beberapa langkah. Seluruh kekuatannya sudah dikempos untuk membinasakan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga sendi?ri terlihat bergetar walau tidak terjajar. Darah kental perlahan-lahan tampak menetes dari sudut bibirnya.
Pergelangan tangan si Peri Peminum Darah perlahan-lahan mulai dijalari cahaya biru yang bergulung-gulung dari tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hmmm" "
Peri Peminum Darah menggeram ketika tenaga dalamnya terasa seperti tersedot keluar. Dan gadis itu tak mampu mencegahnya. Semakin berusaha melepaskan diri, semakin banyak tenaganya terkuras. Tubuhnya terasa panas bagai dibakar api. Dan perlahan-lahan, cahaya biru bergulung-gulung dari tangan Pendekar Rajawali Sakti membelit tubuh?nya.
"Hiyaaa!"
Rangga kembali berteriak keras, kemudian tu?buhnya bergerak cepat sambil menghentakkan ke?dua tangannya.
Glarrr...! "Aaa...!"
Terdengar jerit melengking, namun cepat lenyap ketika cahaya biru meledakkan tubuh Peri Pe?minum Darah. Tak ada lagi jasad gadis itu, kecuali pecahan daging-daging kering seperti terbakar dari tubuh Roro Inten. Terasa bau daging terbakar menyergap hidung orang-orang yang ada di sekitarnya.
"Hhh...!" Rangga menghela napas melihat ke adaan Roro Inten yang tak berbentuk lagi.
"Rangga! Kau tidak apa-apa...?" tanya Ki Ageng Sela, khawatir. Dihampirinya pemuda itu bersama yang lain.
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng lemah. Dan ketika kakinya melangkah, tubuhnya terhuyung-huyung.
"Rangga, sebaiknya kau beristirahat dulu. Biar kami yang akan mengurusmu...." sambung Ki Ba?gong Udeg.
Pemuda itu kembali menggeleng. Tanpa berkata apa-apa dia menghampiri kuda Dewa Bayu. Be?gitu naik ke atas punggung kuda, tangannya melambai lemah. Kemudian digebahnya Dewa Bayu, dan berlalu dari tempat itu.
Sementara itu Ki Ageng Sela dan yang lain memperhatikan dengan cemas. Dari kejauhan, mereka melihat tubuh Pendekar Rajawali Sakti tertelungkup di punggung kudanya. Namun, Dewa Bayu terus berlari kencang.
"Hm.... Dia terlalu keras hati untuk ditolong...," gumam Ki Ageng Sela, seraya menggeleng lemah disertai helaan napas pendek.
? SELESAI ? ? ? ? ? Scan by Clickers
Convert to PDF by Abu Keisel
Edit by Lovely Peace
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Pendekar Setia 8 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pukulan Naga Sakti 9

Cari Blog Ini