Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pantai Selatan 2

Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan Bagian 2


"Batu itu mengeluarkan cahaya jika malam hari.
Dan cahayanya bisa membuat kekuatan Ki Jarokamin jadi berlipat ganda. Demikian
pula murid-muridnya yang masih muda-muda itu. Mereka jadi seperti pendekar
tangguh yang kepandaiannya sudah tinggi.
Aku sendiri tidak mengerti. Dalam beberapa hari saja, kepandaian Ki Jarokamin
dan murid-muridnya jadi sepuluh kali lipat. Sepertinya mereka sudah mem-perdalam
sebuah ilmu, selama tiga puluh tahun,"
tutur Ki Baruka.
"Lalu, apa yang membuatmu jadi cemas, Ki?" tanya Rangga memancing.
"Setelah memperoleh benda ajaib itu, sikap dan tindakan Ki Jarokamin jadi
berubah. Ini yang membuatku cemas, Rangga. Terlebih lagi, dia telah sesumbar
akan menguasai jagat ini. Bahkan akan menyingkirkan siapa saja yang mencoba
meng-ulanginya. Malah aku sendiri yang sudah seperti adiknya, hampir tidak
dipedulikan sama sekali.
Terlebih lagi, aku dan seluruh keluargaku diancam akan dibunuh bila coba-coba
menghalangi keinginannya yang gila itu. Terus terang, aku jadi cemas seandainya dia sampai terlalu
jauh, Rangga. Harus ada yang bisa menghentikannya sebelum semakin angkuh dan
merasa paling hebat di jagat ini," kata Ki Baruka panjang lebar.
Rangga jadi terdiam membisu.
"Ki, apa Ki Jarokamin pemah mengatakan dari mana batu itu diperolehnya?" tanya
Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Tidak," sahut Ki Baruka.
Rangga kembali terdiam. Kini dia tahu, persoalan apa yang sedang dihadapinya
sekarang. Dan dia juga tahu, seperti apa yang akan dihadapinya. Seeorang yang
memiliki kekuatan berlipat, akibat terpengaruh oleh kekuatan dari batu karang
yang menjadi pusaka yang dititipkan di rumah Ki Patungga. Kekuatan aneh yang
entah bagaimana cara menghadapinya.
"Rangga, aku tahu kau seorang pendekar digdaya yang sangat hebat. Aku juga tahu,
kau dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itulah aku minta semua
kegilaan Ki Jarokamin dihentikan, tanpa harus melukainya. Dia tidak sejahat
seperti apa yang kau duga. Cukup pisahkan saja dia dari benda celaka itu," pinta
Ki Baruka memohon.
"Hhh.... Sulit untuk memenuhi keinginanmu, Ki.
Aku tidak bisa menjamin apa-apa," sahut Rangga mendesah berat.
"Aku bisa mengerti, Rangga. Tapi usahakanlah..."
"Aku akan berusaha, Ki. Tapi, entah apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak bisa
mengatakannya padamu."
"Aku sudah siap menghadapi segala apa pun yang akan terjadi, Rangga. Bahkan yang
terburuk sekali pun."
Rangga jadi tersenyum kecut. Ki Baruka juga
tersenyum. Ditepuknya pelan pundak Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan untuk
beberapa saat mereka membisu, sehingga suasana jadi hening.
"Aku pergi dulu, Ki. Secepatnya aku akan kembali lagi ke sini untuk
menyelesaikan persoalan di sini,"
ujar Rangga berpamitan seraya bangkit berdiri.
"Baiklah, Rangga. Kunantikan kedatanganmu,"
sahut Ki Baruka.
Setelah berpamitan, Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke luar diiringi Ki
Baruka. Saat itu, matahari sudah naik cukup tinggi. Cahayanya yang bersinar
menerangi seluruh mayapada ini sudah terasa cukup terik menyengat. Sebentar
kemudian seorang laki-laki tua datang menghampiri menuntun Dewa Bayu tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti.
Ditinggalkannya kuda itu di ujung bawah tangga beranda, setelah tubuhnya
membungkuk sedikit memberi hormat pada Ki Baruka.
"Sampaikan salamku pada Rukmini," ucap Rangga.
"Maafkan kalau putriku sempat merepotkanmu,"
ucap Ki Baruka.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu. Sebentar ditatapnya Ki Baruka yang
berdiri di undakan beranda depan rumahnya. Sedikit kepalanya mengangguk lalu
menggebah kudanya perlahan. Kuda hitam itu berlari tidak terlalu kencang
meninggalkan rumah kepala desa ini. Sementara itu, Ki Baruka terus memandangi
sampai Pendekar Rajawali Sakti lenyap di tikungan jalan yang langsung menuju
arah selatan. *** Jarak Desa Bahar Arum ke pertapaan Ki Patungga di Bukit Batu memang tidak
terlalu jauh. Hingga, Rangga bisa cepat sampai bersama Dewa Bayu.
Seorang murid Ki Patungga yang menjaga pintu pertapaan yang juga dijadikan
padepokan bergegas membuka pintu gerbang lebar-lebar, begitu melihat Rangga
menunggang Dewa Bayu. Murid yang masih berusia muda itu segera membungkuk
memberi hormat saat Rangga melewatinya. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun
dari punggung kudanya, setelah berada di dalam. Kemudian seorang anak muda lain
menghampiri tergesa-gesa, dan langsung mengambil tali kekang pendekar muda itu.
"Ki Patungga ada?" tanya Rangga.
"Ada, Den. Bersama Nini Pandan Wangi di ruang tamu," sahut anak muda itu dengan
sikap dan tutur sapa sopan.
Rangga langsung saja melangkah menuju
bangunan utama padepokan. Kakinya segera meniti anak-anak tangga yang langsung
menuju beranda depan. Dan begitu kakinya menjejak lantai beranda yang terbuat
dari belahan papan, dari dalam muncul Ki Patungga bersama Pandan Wangi.
"Kau sudah dapatkan pencuri itu, Rangga?" Ki Patungga langsung saja melontarkan
pertanyaan. "Sudah," sahut Rangga singkat.
"Oh, syukurlah...," desah Ki Patungga lega. "Lalu benda itu berhasil kau
dapatkan?"
Rangga hanya menggelengkan kepala saja,
kemudian duduk di bangku kayu dan menghadapi langsung sebuah meja bundar dari
kayu. Tangannya meraih sebuah kendi, kemudian membasahi
tenggorokannya dengan air bening dari dalam kendi yang terbuat dari tanah liat
itu. Sementara, Ki
Patungga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja.
"Sudah kuduga, kau pasti mendapat kesulitan untuk mendapatkan benda itu," kata
Ki Patungga seraya duduk di kursi yang ada di seberang Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu Pandan Wangi mengambil tempat di sebelah kiri Pendekar Rajawali
Sakti. Gadis itu diam saja sejak tadi, dan terus memperhatikan wajah Rangga yang
dibasahi keringat. Siang ini, matahari memang memancar begitu terik. Hingga
hampir sekujur tubuh Rangga jadi basah oleh keringat.
"Siapa pencuri itu, Rangga?" tanya Ki Patungga ingin tahu.
"Kau kenal semua penduduk Desa Bahar Arum, Ki?" Rangga malah balik bertanya.
"Tidak begitu banyak," sahut Ki Patungga, agak heran juga mendengar pertanyaan
demikian. Sedangkan pertanyaannya sendiri belum terjawab.
"Dengan kepala desanya?" tanya Rangga lagi.
"Ki Baruka maksudmu, Rangga...?"
Rangga mengangguk.
"Tentu saja kenal. Hanya orang-orang tertentu saja yang kukenal di sana."
"Kau juga tahu kalau di Desa Bahar Arum ada padepokan...?" tanya Rangga lagi.
"Ya, aku tahu. Ki Jarokamin yang memimpinnya.
Kepandaiannya berada dua tingkat di bawahku, tapi itu sebelum aku kehilangan
benda pusaka itu, Rangga. Dan sekarang...," Ki Patungga tidak melanjutkan.
"Kenapa sekarang, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dia pasti bisa mudah sekali menghancurkan padepokanku, kalau dia tahu aku tidak
lagi punya kekuatan apa-apa. Antara aku dan Ki Jarokamin pernah terjadi perselisihan,
hingga menimbulkan kebencian di hatinya sampai sekarang. Bahkan dengan segala
cara, dia selalu berusaha untuk menghancurkan aku. Hhh.... Entah apa yang
terjadi kalau dia sampai tahu persoalan ini," terdengar pelan sekali suara Ki
Patungga. "Ki Jarokamin juga tahu tentang pusaka yang kau miliki itu, Ki?" tanya Rangga
lagi. "Tentu saja dia tahu, Rangga. Dia ada ketika aku dititipkan benda itu," sahut Ki
Patungga. Rangga jadi mengangguk-angguk pelan.
"Eh, Rangga...! Kenapa kau bertanya seperti itu"
Apa kau...?"
"Maaf, Ki. Bukannya menuduh, tapi masih perlu bukti banyak untuk meyakinkan
kebenarannya. Aku hanya sekadar ingin tahu saja," kata Rangga cepat-cepat.
"Kau mencurigai Ki Jarokamin yang mencurinya, Kakang...?" sela Pandan Wangi
bertanya. "Hanya dugaan saja, Pandan."
"Tapi mungkin juga, ya...," gumam Ki Patungga bernada ragu-ragu. "Ah! Kalau
benda itu sampai jatuh ke tangannya, bisa jadi neraka seluruh jagat ini. Dia
orangnya serakah, dan terkadang tindakkannya bisa sekejam iblis. Tapi, dia juga
memiliki isi hati yang baik. Begitu banyak kebaikan yang sudah di-perlihatkannya
di Desa Bahar Arum. Walaupun di masa muda dulu kehidupannya sangat kelam, tapi
dia sudah bertobat. Malah seluruh sisa hidupnya ingin diisinya dengan kebaikan.
Lalu apa mungkin dia yang mengambil benda itu...?"
"Mudah-mudahan dugaanku tidak benar, Ki," ujar Rangga tidak ingin membuat
pikiran orang tua itu
terganggu. "Kalaupun benar, aku tidak akan menyesal-kannya," sahut Ki Patungga. "Meskipun
pernah menjadi temanku dulu, tapi setelah perselisihan itu dia tidak pernah lagi
menganggapku teman. Malah memandangku sebagai saingannya."
"Saingan dalam hal apa, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Persaingan antar padepokan, Nini Pandan," sahut Ki Patungga.
Pandan Wangi menganggukkan kepala. Memang tidak aneh lagi kalau terjadi
persaingan antara satu padepokan dengan padepokan silat lain. Terlebih lagi,
kedua padepokan ini letaknya tidak terlalu jauh. Dan, sudah barang tentu mereka
selalu bersaing untuk membuktikan keunggulan dalam membina
padepokan dan dalam tingkat kepandaian ilmu olah kanuragan.
Tapi persaingan itu juga bisa mengakibatkan permusuhan yang tidak akan pernah
berakhir. Ini sering terjadi dan banyak dijumpai pada padepokan-padepokan silat
lain. Bahkan sering kali diakhiri dengan pertumpahan darah. Persoalan yang
sebenarnya tidak terlalu berat, tapi bisa menyangkut keselamatan jiwa.
"Aku pergi dulu, Ki," pamit Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kau akan pergi lagi, Rangga?" tanya Ki Patungga.
"Ya, aku harus mendapatkan benda itu dan menyerahkannya padamu lagi," sahut
Rangga. "Mudah-mudahan kau berhasil."
"Terima kasih, Ki."
Rangga bergegas meninggalkan Ki Patungga di beranda depan rumahnya ini.
Sedangkan Pandan Wangi cepat-cepat mengikuti Pendekar Rajawali
Sakti, dan menjajarkan langkahnya di sebelah kanan.
Mereka berjalan menuju kudanya yang ditambatkan di bawah pohon.
"Aku ikut, Kakang," pinta Pandan Wangi.
"Tugasmu di sini lebih berat, Pandan. Kau harus menjaga kalau-kalau terjadi
sesuatu di sini. Ingatlah!
Bukan hanya Ki Patungga saja yang menjadi lemah sekarang. Tapi, ketangkasan
semua muridnya juga semakin berkurang," halus sekali Rangga menolak.
"Tidak ada kejadian apa-apa di sini, Kakang. Aku bosan terus menunggu."
"Jangan berharap yang buruk, Pandan. Aku malah senang bila tidak terjadi sesuatu
di sini. Secepatnya aku kembali," kata Rangga, langsung saja melompat naik ke
punggung kudanya.
Pandan Wangi tidak lagi bisa memaksa. Sebentar Rangga menatap gadis itu,
kemudian memutar kudanya. Dan seketika kudanya digebah dengan kencang.
Maka Dewa Bayu melesat cepat bagai sebatang anak panah terlepas dari busur.
Seorang murid Ki Patungga cepat-cepat membuka pintu gerbang. Dan tanpa
mengendurkan lari kudanya. Rangga terus saja melesat bersama Dewa Bayu keluar
dari lingkungan padepokan ini. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah
lenyap dari pandangan. Hanya kepulan debu saja masih terlihat semakin memudar
tertiup angin. *** Senja sudah mulai datang merayap menyelimuti sebagian permukaan bumi ini. Rangga
memperlambat lari kudanya setelah dekat dengan perbatasan Desa Bahar Arum. Desa
itu tampak sunyi, dan hanya beberapa orang saja yang terlihat berada,
di depan rumah masing-masing.
Saat Pendekar Rajawali Sakti mulai memasuki desa ini, mendadak saja telinganya
yang tajam mendengar sesuatu yang membuat langkah kaki kudanya dihentikan.
Dengan gerakan ringan, Pendekar Rajawali Sakti lalu melompat dari kudanya.
Sejenak Rangga mencoba mencari arah datangnya suara itu.
"Hm..., siapa yang bertarung..." Coba kulihat,"
gumam Rangga dalam hati.
Setelah bisa memastikan arah datangnya suara yang didengarnya, cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tubuhnya bagaikan melayang
di atas tanah. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan kudanya, menuju
arah timur dari Desa Bahar Arum ini.
"Heh..."!"
Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar begitu melihat Rukmini tengah
bertarung menghadapi keroyokan lima orang berpakaian serba hitam.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung terjun ke dalam
pertarungan. "Hiyaaa...!"
Bet! Satu pukulan yang begitu keras langsung dilepaskan Rangga disertai pengerahan
tenaga dalam sempurna. Begitu cepat pukulannya, sehingga satu orang yang saat
itu tengah membabatkan goloknya ke arah kepala Rukmini tidak sempat lagi
mengetahui-nya. Akibatnya, pukulan itu tepat menghantam batok kepala orang itu.
Prak! "Aaakh...!"
Jeritan panjang yang melengking tinggi seketika terdengar, disusul ambruknya
orang berpakaian serba hitam dengan kepala retak berhamburan darah.
Sementara Rangga tidak sempat lagi memperhatikan, karena kembali melesat dan melepaskan satu tendangan keras
menggeledek dari jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', begitu melihat jiwa Rukmini terancam.
"Yeaaah...!"
Tendangan yang cepat dan menggeledek itu
memang sangat luar biasa, hingga orang berpakaian serba hitam itu tidak dapat
lagi berkelit menghindarinya. Maka, kembali terdengar jeritan panjang melengking
tinggi, yang disusul terpentalnya seorang lagi yang mengeroyok anak gadis kepala
desa itu. "Hap!"
Rangga cepat menjejakkan kakinya, tepat di sebelah kiri Rukmini. Napas gadis itu
terdengar mendengus kelelahan. Tapi raut wajahnya kelihatan cerah melihat Rangga
kini sudah berada di sampingnya. Dan pedangnya langsung disilangkan di depan
dada. Sementara tiga orang berpakaian serba hitam yang mengeroyok Rukmini ini
tadi, kelihatan ragu-ragu melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
membuat dua orang dari mereka tergeletak tidak bernyawa lagi.
"Kau tidak apa-apa, Rukmini?" tanya Rangga setengah berbisik suaranya.
"Tidak," sahut Rukmini seraya mengatur jalan napasnya. "Untung kau cepat datang,
Kakang." "Kenapa kau bisa bentrok dengan mereka?" tanya Rangga lagi.
"Aku tak tahu. Tiba-tiba mereka menyerang."
"Hm , hati-hatilah, Rukmini," gumam Rangga.
"Baik, Kakang," sahut Rukmini seraya mengangguk kecil.
Sementara itu, tiga orang berpakaian serba hitam sudah bergerak ke kanan. Mereka
mempermainkan golok di depan dada. Dari balik kain hitam yang menutupi wajah,
terlihat sinar-sinar mata yang menyorot tajam, memancarkan nafsu membunuh ke
arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Sambil berteriak keras menggelegar, ketiga orang berpakaian serba hitam itu
secara bersamaan melompat cepat bagai kilat menerjang Rangga. Dan pada saat itu
juga, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Pendekar Rajawali Sakti


Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melesat menyambut serangan ketiga orang berpakaian serba hitam ini.
"Hih! Yeaaah...!"
Satu pukulan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada
salah seorang yang menyerangnya. Suara pekikan tertahan, kontan terdengar
bersama terpentalnya satu orang ke belakang. Dan saat itu juga, cepat sekali
Rangga memutar tubuhnya. Lalu bagaikan kilat, dilepaskannya satu tendangan keras
menggeledek. "Begkh!"
"Akh...!"
Satu orang lagi seketika terjungkal terkena tendangan keras Pendekar Rajawali
Sakti yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sementara, Rangga sendiri sudah cepat memutar
tubuhnya. Tapi pada saat itu juga, seorang lagi yang masih tersisa sudah melesat
hendak melarikan diri.
"Jangan lari kau! Hiyaaa...!" Melihat salah seorang akan melarikan diri, Rangga
tidak mau melepas-kannya begitu saja. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh
sempurna, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat mengejar. Tapi baru saja
tubuhnya melayang di udara, tiba-tiba saja orang berpakaian serba hitam itu
mengebutkan tangannya ke belakang, sambil terus berlari cepat sekali.
"Heh..."! Hup!"
Rangga jadi terperanjat juga melihat beberapa buah benda kecil berbentuk bulat
berwarna merah, meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat tubuhnya melenting dan
berputaran beberapa kali menghindari terjangan senjata-senjata rahasia orang
berpakaian serba hitam itu.
"Hap!"
Begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, orang berpakaian serba hitam
itu sudah lenyap tidak terlihat lagi. Rangga jadi mendengus kesal, karena tidak
bisa menangkap orang itu hidup-hidup.
Padahal, dia memerlukannya saat ini. Pendekar Rajawali Sakti berpaling saat
telinganya mendengar langkah kaki ringan yang menghampirinya. Tampak Rukmini
melangkah cepat menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
*** 6 "Sejak pagi aku mencarimu, Kakang," kata Rukmini.
"Mau apa?" tanya Rangga.
"Ayah hilang diculik orang," sahut Rukmini.
"Apa..."!"
Bukan main terperanjatnya Pendekar Rajawali Sakti mendengar Ki Baruka diculik.
Padahal, baru satu hari ini dia pergi. Begitu terkejutnya, sampai-sampai gadis
itu dipandangi begitu dalam. Hingga untuk beberapa saat, Rangga terdiam membisu.
Sepertinya, tidak ada lagi kata-kata yang terlintas dalam benaknya.
"Aku tahu siapa yang menculik ayahku, Kakang,"
kata Rukmini lagi.
"Siapa?" tanya Rangga cepat.
"Ki Jarokamin," sahut Rukmini langsung.
"Kau jangan menuduh sembarangan, Rukmini...,"
tangkis Rangga memancing.
"Aku yakin dia yang melakukannya, Kakang. Aku menemukan ini di kamar ayahku,"
kata Rukmini sambil memperlihatkan sebuah sabuk dari kulit.
Pada mata sabuk itu sebuah ukiran bintang yang terbuat dari logam berwarna
kuning keemasan.
Rangga mengambil sabuk kulit itu, dan meng-amatinya dengan sinar mata begitu
tajam. Sementara Rukmini memperhatikan raut wajah Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku kenali sabuk itu, Kakang. Semua murid Ki
Jarokamin memakainya," jelas Rukmini.
"Hm...," Rangga menggumam kecil.
Pendekar Rajawali Sakti lalu berpaling, memandang empat tubuh yang tergeletak
sudah tidak bernyawa lagi. Kemudian, dihampirinya salah seorang. Pendekar
Rajawali Sakti menyingkap baju hitam di bagian pinggang mayat laki-laki berbaju
hitam itu. Saat itu kelopak matanya jadi menyipit.
Memang, orang ini mengenakan sabuk yang sama dengan sabuk dalam genggaman
tangannya. "Rukmini, kau tahu letak padepokan Ki Jarokamin?" tanya Rangga seraya bangkit
berdiri. "Tahu," sahut Rukmini mengangguk.
"Antarkan aku ke sana. Kita bebaskan dulu ayahmu," ajak Rangga.
"Murid Ki Jarokamin banyak, Kakang. Berbahaya kalau datang ke sana sendiri,"
kata Rukmini mem-peringatkan.
"Antarkan saja aku ke sana, Rukmini," pinta Rangga.
"Baiklah," sahut Rukmini sambil sedikit mengangkat pundaknya.
Rangga berpaling sedikit. Kemudian....
"Suiiit...!"
"Siapa yang kau panggil, Kakang?" tanya Rukmini mendengar siulan Pendekar
Rajawali Sakti.
Tapi belum juga Rangga menjawab, sudah terdengar ringkikan kuda. Dan tidak lama
kemudian, muncul seekor kuda hitam yang berlari kencang.
Rukmini jadi ternganga melihat kuda hitam tunggangan pemuda itu bisa datang
hanya dipanggil lewat siulan saja. Dewa Bayu meringkik keras, setelah dekat
dengan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi,
dan dihentakkan
keras ke tanah. Kuda itu mendengus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Rangga menghampiri kuda hitam itu, dan mengambil tali kekangnya yang terbuat
dari perak. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik dengan gerakan ringan sekali.
Sementara, Rukmini masih diam berdiri memandangi.
"Ayo, Rukmini. Naik ke sini," ajak Rangga.
"Tapi...," Rukmini kelihatan ragu-ragu.
Belum pernah Rukmini menunggangi satu kuda bersama seorang laki-laki. Dan
keraguan gadis itu bisa dirasakan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa
menghiraukan keraguan gadis ini, Rangga langsung saja menggebah kudanya keras.
Dan begitu, kuda hitam itu melompat. Lalu, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
menyambar pinggang Rukmini.
"Auh..."!"
Rukmini jadi terpekik kaget, begitu tubuhnya terasa melayang tersambar tangan
kuat Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu tersadar, dia sudah terguncang-guncang
di atas punggung Dewa Bayu di depan Pendekar Rajawali Sakti. Kembali gadis itu
terpekik saat kuda itu berlari bagaikan angin. Begitu cepatnya, sampai dia tidak
sanggup lagi membuka matanya.
Tapi tidak berapa lama, Rukmini merasakan kuda ini berhenti berlari. Perlahan
matanya dibuka. Dan matanya jadi terbeliak, begitu melihat Rangga sudah berdiri
di depan kuda ini. Sedangkan di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri berjajar
lebih dari lima puluh orang berpakaian serba hitam yang semuanya mengenakan
topeng kain hitam. Hanya kedua mata mereka saja yang terlihat.
"Hup!"
Rukmini cepat melompat turun dari punggung Dewa Bayu tunggangan Pendekar
Rajawali Sakti ini, dan langsung melangkah menghampiri Rangga.
"Kembali naik ke kuda, Rukmini," perintah Rangga tanpa berpaling sedikit pun
pada gadis itu.
"Tapi, Kakang...," Rukmini hendak bersikeras.
Tapi Rangga sudah mendorong gadis itu ke
belakang. Rukmini tampak bingung. Sebentar ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti,
sebentar kemudian dipandanginya orang-orang berpakaian serba hitam yang sudah
menghunus golok.
"Cepat naik, Rukmini...!" perintah Rangga agak keras suaranya.
Rukmini bergegas menghampiri kuda hitam
tunggangan pemuda berbaju rompi putih itu lagi.
Sebentar hatinya ragu-ragu, kemudian naik juga ke punggung kuda hitam ini.
"Bawa dia pergi, Dewa Bayu," pinta Rangga tanpa berpaling lagi.
"Hieeekh...!"
"Hey...!"
Rukmini jadi terpekik begitu tiba-tiba kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu
meringkik keras, dan langsung melesat pergi kembali ke arah semula.
Begitu cepat lesatan kuda ini, hingga Rukmini terpaksa harus merebahkan tubuhnya
sambil menggenggam tali kekang erat-erat. Bahkan matanya tidak bisa lagi dibuka.
Sebentar saja, kuda itu sudah lenyap meninggalkan debu yang mengepul di angkasa.
Sementara Rangga sudah melangkah beberapa tindak ke depan, menghampiri orangorang berpakaian serba hitam yang berjumlah lebih dari lima puluh orang itu.
Mereka berdiri berjajar, menghadang di tengah jalan yang menuju padepokan Ki
Jarokamin. Dan Rangga merayapi mereka den sorot mata yang begitu tajam menusuk.
"Hm...."
Sambil menggumam perlahan, Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepala ke atas.
Bibirnya langsung menyunggingkan senyum, begitu melihat seekor burung rajawali
berbulu putih keperakan melayang-layang di atas awan, tepat di atas kepalanya.
Begitu tinggi, hingga yang terlihat hanya sebuah titik putih perak agak
kehitaman. Rangga tahu, Rajawali Putih masih tetap mengawasinya dari angkasa.
"Bawa aku dari sini, Rajawali. Aku tidak ingin membuang tenaga percuma hanya
untuk menghadapi mereka," pinta Rangga perlahan.
Dan kata-kata yang diucapkan melalui pengerahan tenaga batin yang sangat pelan
itu, bisa terdengar Rajawali Putih yang berada di angkasa. Seketika itu juga,
Rajawali Putih meluruk deras bagai kilat ke arah pemuda ini.
"Khraaagkh...!"
Teriakan Rajawali Putih yang begitu keras dan menggelegar membelah angkasa,
membuat orang-orang berpakaian serba hitam itu. Jadi terkejut setengah mati.
Bersamaan mereka mendongakkan kepala ke atas. Dan saat itu, Rajawali Putih sudah
berada dekat di atas kepala mereka, hingga bentuknya yang sangat besar bagai
bukit ini terlihat begitu jelas!
"Khraaagkh...!"
Wusss! Begitu cepat Rajawali Putih menyambar Rangga yang sudah menunggu, dan langsung
kembali melesat tinggi ke angkasa. Begitu cepat lesatannya,
hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tidak terlihat lagi, hilang
tertelan awan yang cukup tebal mengambang di angkasa. Sementara, orang-orang
berpakaian serba hitam itu jadi kelabakan, begitu pemuda yang dihadangnya sudah
lenyap disambar seekor burung rajawali raksasa yang tiba-tiba saja muncul dari
angkasa. "Cepat pergi! Laporkan kepada Ki Jarokamin...!"
tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak keras.
Dan seketika itu juga, mereka berlarian kembali ke padepokannya. Sementara itu
di angkasa, Rangga yang berada dalam cengkeraman jari-jari kaki Rajawali Putih
jadi tersenyum melihat murid-murid Ki Jarokamin berlarian saling susul kembali
ke padepokannya.
"Turunkan aku, Rajawali. Tidak enak seperti ini...!"
pinta Rangga. "Khraaakh...!"
Rajawali Putih cepat menukik turun mengikuti permintaan Rangga. Sebentar saja,
burung rajawali raksasa itu sudah mendarat manis sekali di tanah.
Rangga yang sudah terlepas dari cengkeraman burung itu, cepat melompat naik ke
punggungnya. Dan tanpa diperintah lagi, Rajawali Putih kembali melesat, melambung tinggi ke
angkasa. "Khraaagkh...!"
*** Sementara itu, Ki Jarokamin tengah memandangi Ki Baruka yang seluruh tubuhnya
terikat pada sebatang tonggak kayu di tengah-tengah halaman yang luas dan
dikelilingi pagar kayu yang sangat tinggi dan tebal. Tampak darah sedikit
mengalir dari sudut
bibir Kepala Desa Bahar Arum ini.
"Katakan, Baruka. Mau apa anak muda itu datang menemuimu..."! Kau
memanggilnya...?" terasa begitu dingin suara Ki Jarokamin.
"Dia datang bersama anakku. Dia..., dia kekasih anakku," sahut Ki Baruka agak
tersendat suaranya.
"Bohong...!"
Plak! "Ugkh...!"
Ki Baruka hanya mengeluh sedikit saja ketika satu tamparan keras mendarat di
wajahnya. Dan seketika, darah mengalir deras keluar dari mulutnya.
Perlahan Ki Baruka mengangkat kepalanya hingga tegak. Sorot matanya terlihat
begitu tajam, menatap lurus ke bola mata Ki Jarokamin yang berada dekat di
depannya. "Aku tahu siapa dia, Baruka. Kau tidak perlu lagi berdusta. Kau ingin coba-coba
mengkhianatiku, hah..."!"
Ki Baruka hanya diam saja. Saat itu, terdengar ribut-ribut dari luar pagar yang
menyerupai benteng pertahanan ini. Ki Jarokamin cepat berbalik, dan langsung
menatap ke pintu gerbang yang dibuka dua orang muridnya. Dari luar, bergerombol
masuk murid-muridnya yang tadi menghadang Rangga di tengah jalan.
"Heh..."! Kenapa kalian ke sini" Bukankah kalian harus menghadang anak muda
itu...?" bentak Ki Jarokamin lantang.
"Maaf, Ki. Dia bukan manusia, tapi siluman...,"
sahut salah seorang.
"Apa katamu, heh..."!"
Kedua bola mata Ki Jarokamin jadi mendelik mendengar jawaban salah seorang
muridnya. "Kami semua sudah menghadangnya, Ki. Tapi tiba-tiba saja, dari atas datang
burung raksasa yang langsung menyambarnya. Burung itu cepat sekali terbang. Dan
tahu-tahu, sudah menghilang," jelas orang berpakaian serba hitam itu lagi.
"Sudah! Kembali kalian ke tempat masing-masing...!" bentak Ki Jarokamin jadi
gusar. Semua muridnya yang berpakaian serba hitam itu bergegas meninggalkan orang tua
ini. Ki Jarokamin kembali memutar tubuhnya. Dipandanginya Ki Baruka dengan sinar
mata begitu tajam menusuk, seakan-akan hendak menghancurkan kepala desa ini.
"Kau pikir aku akan takluk oleh bocah ingusan itu, Baruka.... Kau lihat saja.
Setelah batok kepala bocah itu kuhancurkan, barulah padepokan Ki Patungga akan
kuhancurkan. Kemudian, menyusul desamu akan kubakar habis! Kau benar-benar sudah
membuatku kecewa, Baruka. Jangan salahkan bila aku menghancurkan desamu...!"
desis Ki Jarokamin dingin menggetarkan.
"Iblis...! Kau benar-benar sudah jadi iblis, Kakang Jarokamin!" desis Ki Baruka
geram. "Ha ha ha...! Terserah apa katamu, Baruka. Lihat saja bocah andalanmu itu. Dia
akan mati di sini. Dan kau jadi umpannya, Baruka. Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, Ki Jarokamin meninggalkan Kepala Desa Bahar Arum
yang masih terikat pada tonggak kayu di tengah-tengah halaman padepokannya yang
luas ini. Dan dia menuju ke dalam bangunan utama padepokannya. Sedangkan Ki
Baruka hanya bisa menyumpah dan memaki geram, melihat tingkah Ki Jarokamin yang
sudah benar-benar berubah ini.
Tapi kegeraman Ki Baruka jadi lenyap, setelah
menyadari kalau perubahan yang terjadi pada Ki Jarokamin akibat pengaruh benda
aneh yang didapatkan dari Bukit Batu. Dia tidak tahu, benda apa itu. Tapi
pengaruhnya sungguh luar biasa, hingga bisa merubah sikap Ki Jarokamin, hingga
hatinya tertutup hawa iblis. Dan kegusaran Ki Baruka berganti menjadi rasa iba.
"Kalau saja aku mampu...," desah Ki Baruka.
Tapi desahan kepala desa itu terputus, ketika tiba-tiba terlintas sebuah
bayangan yang menutupinya dari sengatan matahari. Ki Baruka cepat menengadahkan
kepala. Dan....
"Hah..."!"
Kedua bola mata Ki Baruka jadi terbeliak lebar begitu melihat seekor burung
rajawali raksasa melayang-layang di atas kepalanya. Terlihat dekat sekali,
hingga bentuk burung rajawali itu terlihat jelas.
Tapi yang membuat mulutnya ternganga adalah, Rangga yang berada di punggung
burung itu! "Khraaagkh!...!"
*** Dan memang, burung yang dilihat Ki Baruka adalah Rajawali Putih, tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti. Tampak di punggungnya duduk seorang pemuda berompi
putih. Dan semua yang berada di sekitar padepokan itu tentu saja dapat terlihat
jelas pemuda berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Kau selamatkan Ki Baruka, Rajawali. Aku akan turun saat kau mengambilnya nanti.
Bawa dia ke padepokan Ki Patungga," ujar Rangga memberi perintah.
"Khraaagkh...!"
"Sekarang Rajawali...!"


Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Khraaagkh...!" '
Sementara itu, Ki Baruka terus memandang ke atas dengan rasa keterkejutan dan
heran yang tiada tara. Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah meluruk deras ke
arahnya. Dan bagaikan kilat, burung itu menyambar tonggak kayu yang mengikat Ki
Baruka. Hanya sekali sentak saja, tonggak kayu yang tertanam begitu kuat di
tanah itu tercabut. Dan Ki Baruka jadi terpekik kaget, begitu merasakan tubuhnya
melayang ke angkasa.
Kemunculan burung rajawali raksasa yang
menyambar Ki Baruka itu membuat murid-murid Ki Jarokamin yang menjaga jadi
tersentak kaget setengah mati. Tapi belum juga sempat melakukan sesuatu, burung
rajawali raksasa itu sudah melesat tinggi ke angkasa. Sebentar saja, Rajawali
Putih sudah hampir lenyap ditelan awan yang menggumpal cukup tebal menutupi
angkasa. Semua murid Ki Jarokamin yang saat itu berada di halaman jadi ribut. Dan
keributan ini membuat Ki Jarokamin keluar dari rumah kediamannya. Orang tua itu
kontan terbeliak melihat tonggak kayu yang mengikat Ki Baruka sudah tidak ada
lagi di tempatnya. Dan begitu kepalanya mendongak ke atas, terlihat seekor
burung rajawali raksasa melayang membawa pergi dengan cakarnya Ki Baruka yang
masih terikat pada tonggak kayu.
"Khraaagkh...!"
"Keparat..! Kejar burung setan itu...!" teriak Ki Jarokamin jadi gusar setengah
mati. Murid-murid Ki Jarokamin yang berada di halaman segera mengambil kuda masingmasing. Dan sebentar saja, lebih dari lima puluh orang memacu cepat kudanya, keluar dari
dalam padepokan ini.
Mereka berusaha mengejar Rajawali Putih dengan mengikuti arah kepergiannya yang
membawa Ki Baruka. Sementara Ki Jarokamin menyumpah
serapah memandangi burung rajawali raksasa yang semakin terlihat mengecil di
angkasa. "Siapkan kudaku. Cepaaat...!" perintah Ki Jarokamin, lantang menggelegar.
Sekitar dua puluh orang tampak masih berada di sekitar Ki Jarokamin. Sementara
salah seorang bergegas mengambil seekor kuda yang tegap berkulit coklat belang
putih. Ki Jarokamin langsung saja melompat naik ke punggung kuda itu.
"Ambil kuda kalian masing-masing. Ikut aku...!"
perintah Ki Jarokamin lantang menggelegar suaranya.
Maka sekitar tiga puluh anak muda itu bergegas mengambil kuda masing-masing yang
berada di samping rumah besar padepokan itu. Dan tidak lama kemudian, mereka
memacu cepat kudanya
meninggalkan padepokan ini. Dan hanya tinggal sekitar sepuluh orang saja yang
tetap tinggal. Mereka semua berada di halaman depan padepokan ini, memandangi
mereka yang pergi meninggalkannya.
Sementara itu, tanpa ada seorang pun yang tahu, Rangga sudah berada di atas atap
rumah berukuran cukup besar ini. Pendekar Rajawali Sakti menunggu beberapa saat,
sampai rombongan Ki Jarokamin tidak terlihat lagi. Dan bibirnya tersenyum
melihat tempat kediaman Ki Jarokamin hanya dijaga tidak kurang dari sepuluh
orang murid saja.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Hey! Siapa itu..."!"
"Hah..."!"
7 Sepuluh orang murid Ki Jarokamin yang bertugas menjaga padepokan ini jadi
terkejut setengah mati begitu tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti muncul dari
atas atap. Wajah mereka seketika pucat pasi, setelah menyadari siapa yang muncul
ini. Dan tentu saja mereka sudah tahu betul kehebatan pemuda berbaju rompi putih
yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh! Mau apa kau ke sini...?" bentak salah seorang sambil mencabut goloknya.
Yang lainnya segera mengikuti, mencabut golok masing-masing. Dan mereka bergerak
mengepung Pendekar Rajawali Sakti dari segala arah. Sedangkan pemuda itu hanya
tersenyum saja memandangi sepuluh orang yang semuanya berbaju hitam dengan golok
terhunus. "Sebaiknya kalian pergi saja. Aku tidak ada urusan dengan kalian semua," dingin
sekali nada suara Rangga.
Tapi jawaban yang didapatkan Pendekar Rajawali Sakti sangat mengejutkan. Tibatiba saja, salah seorang berteriak keras menggelegar memberi perintah.
"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan, mereka melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil
berteriak keras
menggetarkan jantung. Tapi terlihat jelas sekali kalau pemuda berbaju rompi
putih itu tetap tenang. Bahkan senyumnya tersungging makin lebar. Dan begitu
salah seorang yang berada di depannya membabatkan golok ke arah kepala, dengan
gerakan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mengegos sehingga, golok itu hanya
lewat tanpa mengenai sasaran sedikit pun juga. Dan pada saat itu juga, dengan
kecepatan kilat, Rangga menghentakkan tangan kirinya. Langsung dilepaskannya
sodokan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat sodokan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti, sehingga orang
berpakaian serba hitam ini tidak sempat lagi menghindar. Dan....
"Hegkh!"
Anak muda murid Ki Jarokamin itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh
terbungkuk, ketika sodokan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di perutnya.
Sementara Rangga sudah harus membungkuk, saat merasakan adanya serangan golok
dari belakang. Cepat sekali kaki kanannya menghentak ke belakang, tanpa memutar
tubuh lagi. Maka satu orang yang berada di belakangnya kontan menjerit keras,
begitu dadanya terkena tendangan ke belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Namun serangan yang datang tidak berhenti. Dan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa
harus berjumpalitan sambil sesekali melontarkan pukulan dan tendangan keras,
walaupun tidak disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Tapi itu pun sudah
cukup membuat murid-murid Ki Jarokamin jungkir balik menghadapinya.
Meskipun serangan yang datang dari segala arah
silih berganti tanpa henti, tapi Rangga sama sekali tidak kelihatan kewalahan.
Bahkan setiap pukulan maupun tendangan yang dilepaskannya, tidak pernah meleset
dari sasaran. Tapi serangan murid-murid Ki Jarokamin tidak mengendor sedikit
pun. Bahkan semakin terasa ganas saja. Dan ini membuat Rangga jadi sedikit
kerepotan juga. Apalagi serangan-serangan mereka semakin bertambah dahsyat dan
berbahaya. "Hhh! Terlalu membuang waktu melayani mereka.
Aku harus secepatnya membereskan mereka. Mudah-mudahan saja pusaka Ki Patungga
ditinggal di rumah ini," Rangga berbicara sendiri dalam hati.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera saja
meningkatkan serangannya. Pukulan serta tendangan yang dilontarkan begitu cepat
dan beruntun, hingga membuat murid-murid Ki Jarokamin tidak dapat lagi
menghindari. Saat itu juga, jeritan serta pekikan tertahan terdengar saling sambut, yang
kemudian disusul berjatuhannya murid-murid Ki Jarokamin. Satu persatu Rangga
membuat mereka tidak dapat bangun lagi. Hingga dalam beberapa gebrakan saja,
sudah tidak ada seorang pun yang kelihatan bisa bangkit berdiri lagi. Pendekar
Rajawali Sakti kini berdiri tegak memandangi tubuh-tubuh yang bergelimpangan di
sekelilingnya beberapa saat.
Kemudian.... "Hup...!"
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Rajawali
Sakti melesat masuk ke dalam rumah Ki Jarokamin yang sangat besar dan dijadikan
sebuah padepokan ini.
Ternyata rumah yang sangat besar ini memiliki kamar
yang jumlahnya cukup banyak. Rangga terpaksa harus memasuki kamar-kamar itu satu
persatu. Tapi sampai semua sudut bagian rumah ini diperiksa, tidak juga
ditemukan benda yang dicarinya. Pendekar Rajawali Sakti kembali keluar melalui
pintu belakang.
"Hmmm...."
*** Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut saat melihat sebuah bangunan kecil
dari bilik bambu berdiri di halaman belakang rumah ini. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati. Sebentar dia berdiri
diam di depan pintu yang tertutup rapat, kemudian perlahan-lahan tangannya
membuka pintu bilik itu.
Tidak ada tanda-tanda terdapat jebakan, sampai pintu bilik itu terbuka lebar.
Rangga mulai melangkah memasuki bilik yang ternyata tidak begitu besar
ukurannya. "Hm..., bilik semadi," gumam Rangga perlahan.
Beberapa saat Rangga berdiri saja di ambang pintu bilik semadi ini. Matanya
beredar berkeliling, merayapi setiap sudut ruangan yang tidak begitu besar ini.
Dan pandangan matanya kemudian tertumbuk pada sebuah kotak kayu berukir yang
kelihatannya sudah lapuk dan berwarna hitam.
Malah, sama sekali tidak menarik untuk dilihat.
Perlahan Rangga menghampiri kotak kayu yang tergeletak di atas altar batu yang
terletak di tengah-tengah ruangan bilik semadi ini. Sejenak diamatinya altar
batu itu, kemudian tangannya terjulur, untuk mengambil kotak kayu yang
kelihatannya sudah lapuk. Kemudian Rangga membuka tutup kotak itu
perlahan-lahan.
"Ohhh...."
Pendekar Rajawali Sakti jadi mendesah panjang, begitu melihat isi kotak ini
ternyata sebuah batu yang mirip batu karang biasa. Tapi dari lubang-lubang batu
itu memancar cahaya yang cukup menyilaukan mata.
Cepat-cepat Rangga menutup lagi kotak kayu itu, lalu bergegas keluar dari bilik
semadi ini. Tapi baru saja Rangga sampai di luar, mendadak saja....
"Tinggalkan benda itu di sini, Anak Muda...?"
"Heh..."!"
*** Rangga benar-benar terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba saja terdengar
bentakan keras dari arah samping kanan. Cepat Pendekar Rajawali Sakti memutar
tubuhnya ke kanan. Dan saat itu, terlihat empat orang sudah berada tidak jauh di
depannya. Salah seorang adalah wanita yang usianya mungkin sudah setengah baya, tapi masih
kelihatan cantik.
Bentuk tubuhnya juga seperti seorang gadis berusia sembilan belas tahun.
Rangga langsung ingat, siapa keempat orang ini.
Merekalah yang dikejar orang-orang berpakaian serba hitam yang kini diketahuinya
adalah murid-murid Ki Jarokamin. Keempat orang inilah yang di-lihatnya di hutan
bakau dekat pesisir pantai selatan.
"Dengar, Anak Muda. Benda itu kepunyaan junjungan kami. Jadi, kau tidak berhak
memilikinya. Sebaiknya, serahkan saja benda itu sebelum kami menjatuhkan tangan kasar
padamu," ujar laki-laki yang memegang tombak pendek, dengan bagian ujungnya
berbentuk bintang berwarna keperakan.
Rangga tahu, laki-laki berusia lebih dari separo baya itu bernama Nambu.
Sedangkan yang lainnya bernama Jaraba dan Balika. Sementara satu-satunya wanita
di antara mereka bernama Randini. Beberapa saat Rangga terdiam memandangi mereka
satu persatu, seakan sedang mengukur sampai tingkat kepandaian yang dimiliki
mereka. "Heh, Bocah...! Apa kau sudah tuli..." Serahkan benda itu, cepat..!" bentak
Balika kasar. "Maaf, aku tahu siapa pemilik benda ini. Dan aku mengambilnya dari tempat ini,
untuk mengembali-kannya pada yang berhak," sahut Rangga kalem, namun terdengar
tegas nada suaranya.
"Heh! Apa kau bilang..."! Siapa pemilik benda itu?"
sentak Nambu. "Sahabatku," sahut Rangga tegas. "Namanya Ki Patungga. Ketua padepokan di Bukit
Batu." "Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja keempat orang itu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban
Pendekar Rajawali Sakti barusan. Dan ini tentu saja membuat pemuda berbaju rompi
putih itu jadi tertegun tidak mengerti.
Hatinya jadi bertanya-tanya sendiri, apakah jawabannya tadi salah..."
"Anak Muda, siapa namamu...?" tanya Randini tiba-tiba, setelah berhenti gelak
tawanya. "Rangga," sahut Rangga menyebutkan namanya.
"Kau yakin kalau benda itu milik Ki Patungga?"
tanya Randini lagi, seakan ingin memastikan.
"Kenapa kau tanyakan itu, NiSanak?" Rangga malah balik bertanya.
"Anak Muda, ketahuilah! Kami berempat adalah pengawal pribadi Gusti Putri Nyai
Srigading. Benda yang ada pada dirimu itu sebenarnya milik junjungan
kami. Dan Ki Patungga hanya dititipkan untuk sementara saja. Tapi, dia sudah
melalaikannya. Akibatnya benda itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak dan berjiwa iblis.
Kami semua tahu, siapa Ki Patungga itu. Gusti Putri Nyai Srigading memilihnya
untuk menyimpan benda itu, karena melihat Ki Patungga adalah orang yang jujur
dan berhati putih.
Tapi ternyata dia sudah membuat junjungan kami kecewa. Maka, Gusti Putri
memerintahkan kami untuk mengambil kembali benda itu. Jadi, tidak ada gunanya
kau terus mempertahankannya, Anak Muda.
Karena, benda itu memang bukan milikmu atau Ki Patungga. Tapi, junjungan
kami...," jelas Randini panjang lebar.
"Bagaimana aku bisa mempercayai kalian...?"
tanya Rangga seperti untuk diri sendiri.
Pertanyaan Rangga itu membuat Nambu dan yang lain jadi saling berpandangan.
Seakan, mereka baru sadar kalau antara mereka dan pemuda berbaju rompi putih ini
belum ada yang saling mengenal.
Sudah barang tentu tidak ada rasa saling percaya.
Mereka sadar, Rangga tidak akan mungkin
menyerahkan benda pusaka itu begitu saja.
"Baiklah, Anak Muda. Aku tahu kedudukanmu saat ini. Satu-satunya cara, kita
semua menemui Ki Patungga," kata Nambu.
"Itu lebih baik, daripada saling berburuk sangka,"
sambut Rangga langsung setuju.
"Sebaiknya kita pergi saja sekarang, Kakang.
Sebelum Ki Jarokamin dan murid-muridnya datang,"
selak Balika. 'Ya, ayo...," sambut Nambu.
"Kau punya kuda, Anak Muda?" tanya Randini.
"Ada di luar," sahut Rangga.
"Bagus. Kita akan bisa cepat sampai ke sana,"
kata Randini lagi.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas keluar meninggalkan padepokan ini. Dan
di luar, Rangga bersiul nyaring. Tidak berapa lama kemudian, terdengar ringkikan
kuda dari kejauhan. Lalu dalam waktu singkat, muncul seekor kuda hitam yang
tinggi dan tegap. Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya, begitu tiba di depan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu, Nambu dan
yang lainnya sudah berada di punggung kuda masing-masing.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat naik ke punggung Dewa Bayu
tunggangannya ini.
Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu dengan lembut.
"Maaf, aku harus menjemput temanku dulu," kata Rangga sambil berpaling menatap
empat orang ini.
"Berapa orang temanmu?" tanya Nambu.
"Hanya seorang gadis. Putri Kepala Desa Bahar Arum," sahut Rangga.
Tanpa meminta persetujuan lagi, Pendekar
Rajawali Sakti langsung cepat menggebah kudanya.
Dan empat orang yang mengaku pengawal pribadi Putri Nyai Srigading ini bergegas
menggebah kudanya, mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
"Bawa aku ke tempat Rukmini kau tinggalkan, Dewa Bayu!" pinta Rangga.
"Hieeekh...!"
"Yeaaah...!"
*** Sementara itu, di padepokan Ki Patungga terjadi kegemparan oleh munculnya seekor
burung rajawali raksasa yang membawa seorang laki-laki terikat pada sebatang


Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tonggak kayu berukuran cukup besar. Ki Patungga dan Pandan Wangi yang sedang
berbincang-bincang di dalam rumah utama
padepokan, bergegas keluar begitu mendengar ribut-ribut dari mulut murid
padepokan ini. Tapi saat mereka sudah mencapai pintu, burung rajawali raksasa
itu kembali melesat tinggi ke angkasa cepat bagai kilat, sambil memperdengarkan
suara serak dan keras menggelegar bagai guntur.
"Khraaagkh...!"
"Apa itu..."!" sentak Ki Patungga terkejut.
Sementara Pandan Wangi langsung tersenyum, begitu kepalanya terdongak ke atas.
Tampak di angkasa seekor burung rajawali melayang-layang di atas awan. Begitu
tinggi, hingga bentuknya hampir tidak terlihat.
"Ki Baruka...," desis Ki Patungga begitu pandangannya menangkap seseorang yang
tergeletak di tengah halaman padepokan dengan tubuh terikat tonggak kayu.
Bergegas dihampirinya Kepala Desa Bahar Arum itu. Ki Patungga membuka tambang
yang mengikat tubuh Ki Baruka ke tonggak kayu itu. Walaupun kelihatannya Ki
Baruka sudah mati, tapi dari gerakan dadanya sudah menandakan kalau masih hidup.
Ki Patungga memerintahkan murid-muridnya untuk membawa Ki Baruka ke dalam.
Sementara, Pandan Wangi hanya diam saja memperhatikan. Sesekali kepalanya
mendongak ke atas. Saat itu, Rajawali Putih masih terlihat melayang di angkasa.
Dan pada saat yang bersamaan, Ki Patungga juga mendongakkan kepala ke atas. Dan matanya masih sempat melihat Rajawali Putih
sebelum menghilang tertelan awan.
"Burung itu yang membawa Ki Baruka ke sini...?"
nada suara Ki Patungga seperti bertanya pada diri sendiri.
Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Dia tahu, itu Rajawali Putih tunggangan
Rangga. Tapi dalam kepalanya, gadis itu menduga kalau telah terjadi sesuatu yang
dialami Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sampai memanggil Rajawali Putih untuk
membantunya. Pasti sesuatu yang sangat berbahaya bagi pendekar dari Karang Setra
itu. Maka seketika itu juga terselip rasa kekhawatiran di hati Pandan Wangi.
"Kau mau ke mana, Pandan?" tanya Ki Patungga, saat melihat Pandan Wangi mau
pergi. "Menyusul Kakang Rangga," sahut Pandan Wangi.
Tapi belum juga gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu melangkah pergi,
tiba-tiba saja....
"Ada yang datang...!"
Seorang murid Ki Patungga yang berada di atas pagar padepokan ini tiba-tiba saja
berteriak lantang memberitahu. Ki Patungga bergegas menghampiri tangga yang ada
di tepi pagar kayu tinggi itu. Cepat dinaikinya anak-anak tangga. Sementara,
Pandan Wangi sudah melesat ringan sekali, dan lebih dulu sampai daripada Ki
Patungga. Tampak di luar benteng padepokan ini sudah mengepung puluhan orang berpakaian
serba hitam yang sudah menghunus golok. Bahkan sekitar tiga puluh orang sudah
siap dengan anak panah terhunus.
Mereka semua menunggang kuda, mengepung
padepokan Ki Patungga ini.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Murid-murid Ki Jarokamin," sahut Ki Patungga.
"Kenapa mereka mengepung padepokanmu?"
tanya Pandan Wangi lagi.
Belum juga Ki Patungga bisa menjawab, sudah terdengar teriakan dari luar yang
begitu keras. Sehingga, terdengar sangat jelas dari atas pagar benteng padepokan ini.
"Ki Patungga! Kami datang untuk meminta Ki Baruka. Cepat keluarkan dia dari
tempatmu...!"
"Heh..."! Bagaimana mereka tahu kalau Ki Baruka ada di sini...?" Ki Patungga
jadi tersentak kaget.
"Mungkin mereka sudah mengikuti sejak tadi, Ki.
Atau barangkali juga memang mereka sedang mengejarnya," Pandan Wangi menyahuti.
"Mengejar..." Kenapa?" Ki Patungga seperti bertanya pada diri sendiri.
"Sebaiknya tanyakan saja pada Ki Baruka, Ki,"
sahut Pandan Wangi menyarankan. "Biar aku yang mengurus mereka."
Sebentar Ki Patungga terdiam.
"Baiklah. Aku segera kembali. Tapi, usahakan jangan sampai terjadi pertarungan.
Kau tentu tahu keadaan di sini, Pandan...?"
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
Sementara Ki Patungga sudah mulai turun dari atas pagar benteng padepokannya.
Sedangkan orang-orang berpakaian serba hitam yang memang murid-murid Ki
Jarokamin sudah tidak sabar lagi kelihatannya. Pandan Wangi berdiri tegak di
ujung pagar gelondongan kayu bagian atas ini. Sementara, murid-murid Ki Patungga
sudah siap dengan anak panah terpasang di busur. Mereka berjajar di balik pagar
bagian atas ini. Dan di bawah, sudah terkumpul
seluruh murid padepokan ini. Mereka juga sudah siap dengan senjata masingmasing. Melihat ada seorang gadis cantik berdiri di atas pagar, seketika terdengar
teriakan-teriakan bernada usil yang bisa membuat telinga jadi panas. Tapi Pandan
Wangi tidak mempedulikan, dan tetap berdiri tegak memandangi orang-orang
berpakaian serba hitam itu dengan sinar mata tajam. Perlahan tangannya meraih
sekantung anak panah yang berada tidak jauh di sebelahnya. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan tenaga dalamnya yang tinggi, Pandan Wangi cepat sekali
melemparkan anak-anak panah itu ke bawah. Begitu cepat lemparannya, hingga
datang bagaikan hujan menyirami orang berpakaian serba hitam itu. Dan sebelum
ada yang sempat menyadari, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang dan
melengking saling sambut.
Kemudian, terlihat beberapa orang berjatuhan tertembus anak panah yang
dilemparkan si Kipas Maut itu. Seketika itu juga, orang-orang berbaju hitam ini
jadi kalang-kabut. Mereka jadi berhamburan, berusaha menyelamatkan diri masingmasing. Tapi saat menyadari tidak ada lagi serangan yang datang, mereka kembali
mengepung benteng padepokan ini.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar memberi perintah. Dan
seketika itu juga, berhamburan anak-anak panah menghujani padepokan ini. Pandan
Wangi yang berada di atas, segera mengeluarkan senjata kipas maut andalannya.
Cepat sekali kipas gadis itu dikebutkan, menghalau setiap batang anak panah yang
menghujani dirinya.
Sementara murid-murid Ki Patungga juga mulai
membalas menyerang dengan anak panah!
Pertempuran memang tidak dapat dihindari lagi.
Ribuan anak panah langsung berhamburan saling menyambar. Dan jeritan-jeritan
kematian pun terdengar saling sambut dari kedua belah pihak.
Tampak sebagian orang-orang berpakaian serba hitam mencoba menghancurkan pintu
benteng padepokan ini. Sedangkan murid-murid Ki Patungga yang berada di dalam,
sudah siaga menghadapi pertarungan ini. Sementara itu, Ki Patungga yang sedang
menemui Ki Baruka di dalam bangunan padepokannya segera berlari keluar, begitu
mendengar pertarungan yang terjadi di padepokannya.
"Celaka.... Mereka bisa membantai habis murid-muridku...," desis Ki Patungga
cemas. *** 8 Sementara agak jauh dari padepokan Ki Patungga, Pendekar Rajawali Sakti dan
empat orang yang menginginkan benda pusaka yang diperebutkan itu, terus memacu
cepat kudanya menuju padepokan yang sedang digempur murid-murid Ki Jarokamin. Di
atas punggung kuda Dewa Bayu bukan hanya Rangga saja, tapi duduk pula Rukmini,
putri tunggal Ki Baruka yang menjadi Kepala Desa Bahar Arum.
"Hooop...!"
Tiba-tiba saja Rangga menghentikan lari kudanya.
Maka Dewa Bayu kontan meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya.
Sedangkan empat orang yang mengikuti dari belakang, segera menghentikan lari
kudanya. Rangga langsung melompat turun, dan membiarkan Rukmini masih berada di
punggung kuda hitam itu.
"Kenapa kau berhenti, Anak Muda?" tanya Nambu.
"Aku mendengar suara pertarungan di depan sana," sahut Rangga.
Nambu, Balika, Jaraba, dan Randini terdiam beberapa saat. Mereka langsung
mendengar suara pertarungan yang tampaknya sangat sengit. Sesaat mereka saling
berpandangan satu sama lain.
"Kalian terus saja ke sana. Aku yakin, padepokan Ki Patungga sedang diserang.
Dan aku akan menghadang Ki Jarokamin di sini," kata Rangga.
"Kau sendirian?" selak Randini.
"Pergilah kalian. Benda itu ada pada Rukmini,"
kata Rangga meminta.
"Aku akan menemanimu di sini, Anak Muda," ujar Nambu. "Kalian semua terus saja.
Bantu Ki Patungga menyelamatkan padepokannya."
"Baik, Kakang," sahut Randini.
Nambu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Sementara Rukmini yang
berada di punggung Dewa Bayu juga melompat turun.
"Kau ikut mereka, Rukmini," ujur Rangga meminta.
"Tapi, Kakang...."
"Jangan membantah, Rukmini."
"Aku mau, Kakang. Tapi, tidak dengan kudamu itu."
"Pakai saja kudaku," selak Nambu.
Rukmini tersenyum dan mengangguk, kemudian menghampiri kuda tunggangan Nambu.
Dengan gerakan ringan sekali, gadis itu melompat naik ke punggung kuda ini.
"Ayo, cepat..!" ajak Randini. "Hiyaaa...!"
'Yeaaah...!"
Mereka segera menggebah cepat kudanya menuju padepokan Ki Patungga. Sementara
Rangga dan Nambu tetap menunggu Ki Jarokamin dan sebagian muridnya yang juga
sedang menuju padepokan itu.
"Paman Nambu! Murid-murid Ki Jarokamin sangat banyak. Kuharap, kau tidak
terkejut bila aku meminta bantuan sahabatku," kata Rangga.
"Hm.... Kau punya sahabat lagi di sini, Rangga?"
"Ya, sahabat baikku."
"Terserah, apa yang kau lakukan. Aku percaya kau orang jujur, Rangga."
Rangga hanya tersenyum saja. Dan kepalanya segera mendongak ke atas. Tampak
seekor burung rajawali berbulu putih melayang-layang tinggi di atas awan,
sehingga kelihatan kecil sekali. Dan sesekali
burung itu hilang ditelan tebalnya gumpalan awan.
"Mereka datang, Rangga," kata Nambu memberitahu.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja.
Sejak tadi, Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mendengar suara kaki-kaki kuda
yang dipacu dengan kecepatan tinggi menuju ke arah ini. Dan tidak berapa lama
kemudian, terlihat kepulan debu membumbung tinggi ke angkasa. Hentakan kaki-kaki
kuda yang dipacu cepat, semakin jelas terdengar.
Dan tanah yang dipijak pun terasa agak bergetar seperti terjadi gempa.
Beberapa saat Rangga dan Nambu menunggu.
Dan tidak lama kemudian, terlihat Ki Jarokamin bersama muridnya yang cukup
banyak memacu cepat kudanya dari arah depan Pendekar Rajawali Sakti. Ki
Jarokamin mengangkat tangan kirinya ke atas, begitu melihat dua orang menghadang
jalannya. Langsung lari kudanya dihentikan. Demikian pula murid-muridnya yang
berada di belakang.
"Hei! Minggir kalian...!" bentak Ki Jarokamin.
Tapi Rangga dan Nambu tetap saja diam. Bahkan Nambu sudah mengeluarkan
senjatanya yang berupa sebuah tombak pendek, dengan bagian ujungnya berbentuk
bintang berwarna keperakan. Melihat orang yang berada di sebelah Rangga
menghunus senjata, Ki Jarokamin jadi mendelik.
"Phuih! Kalian sengaja menghadangku di sini rupanya, heh..."!" dengus Ki
Jarokamin seraya menyemburkan ludahnya.
Rangga dan Nambu tetap saja diam tidak
bergeming sedikit pun.
"Singkirkan mereka...!" perintah Ki Jarokamin.
'Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Enam orang langsung berlompatan dari punggung kuda. Gerakan mereka begitu ringan
dan indah. Setelah beberapa kali berputaran di udara, mereka langsung menjejakkan kaki
tepat di depan Rangga dan Nambu. Tanpa bicara lagi, mereka langsung saja
menyerang dengan golok!
"Hap!"
*** Belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu, Nambu sudah melesat menyambut serangan
enam orang murid Ki Jarokamin ini. Senjatanya yang berupa tombak pendek bermata
bintang perak berkelebat cepat sekali. Begitu cepatnya, hingga sulit diikuti
pandangan mata. Dan sebelum ada yang menyadari, enam orang yang berpakaian serba
hitam itu sudah menjerit melengking, lalu ambruk ke tanah dengan tenggorokan
terkoyak mengucurkan darah. Hanya beberapa saat mereka menggelepar seperti ayam
disembelih, kemudian diam tidak bergerak. Mati!
Nambu kembali melesat, dan tahu-tahu sudah berada di samping Pendekar Rajawali
Sakti lagi. "Keparat...! Kau harus bayar nyawa muridku!
Hiyaaat...!"
Ki Jarokamin jadi berang setengah mati melihat enam orang muridnya tewas hanya
sekali gebrak saja. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat dari
punggung kudanya. Tubuhnya
langsung meluruk deras ke arah Nambu. Dan seketika satu pukulan keras, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi, dilepaskan bagai kilat.
"Hap!"
Nambu hanya mengegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu cepat mengebutkan
senjatanya ke arah Ki Jarokamin. Cepat sekali kebutan senjata berujung bintang
perak itu, hingga membuat Ki Jarokamin jadi tersentak kaget. Cepat-cepat
tubuhnya melenting berputar ke belakang, menarik kembali serangannya.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, tangan kanannya langsung mengibas ke depan
dengan tubuh sedikit membungkuk.
'Yeaaah...!"
Wusss...! "Hup! Hiyaaa...!"
Nambu cepat-cepat melenting ke atas, begitu terlihat dua buah pisau kecil
meluncur deras ke arahnya. Rangga yang berada di sebelah Nambu tadi, cepat
menggeser kakinya ke samping. Tentu saja dia tidak ingin tubuhnya menjadi
sasaran senjata rahasia orang tua itu.
"Seraaang...!" teriak Ki Jarokamin tiba-tiba.
"Hiyaaa...!"
'Yeaaah...!"
Semua murid Ki Jarokamin langsung meluruk sambil berteriak-teriak keras
mengangkat golok ke atas kepala, bagaikan batu-batu yang berguguran dari atas
gunung. Sesaat Rangga dan Nambu saling melontarkan lirikan. Meskipun mereka
memiliki kepandaian tinggi, tapi tidak mungkin bisa menghadapi keroyokan begini
banyak. "Suiiit..!"
Tiba-tiba saja Rangga bersiul nyaring. Dan begitu siualannya menghilang dari
pendengaran, saat itu juga...,
"Kraaaghhh...!"
"Heh..."! Apa itu...?"
Nambu jadi terkesiap, begitu tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras dan
serak menyakitkan telinga. Dan belum lagi bisa menyadari, tahu-tahu dari angkasa
meluruk deras seekor burung rajawali raksasa.
Bukan hanya Nambu saja yang terkesiap, tapi juga Ki Jarokamin! Dia jadi
terlongong melihat seekor burung rajawali raksasa tiba-tiba saja muncul dari
angkasa dan langsung meluruk! Sayapnya yang lebar sudah dikibaskan ke arah
murid-murid Ki Jarokamin.
Bet! Wukkk! "Aaa...!"
Seketika itu juga terdengar jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi saling
sambut, disusul berpelantingannya murid-murid Ki Jarokamin yang terkena kebutan
sayap Rajawali Putih. Bukan hanya sayapnya saja yang mengebut menghajar orangorang ini, tapi cakar dan paruhnya juga bergerak cepat.
Akibatnya, murid-murid Ki Jarokamin jadi kelabakan dibuatnya. Mereka
berhamburan, berusaha menyelamatkan diri dari amukan burung rajawali raksasa
ini. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak terhitung lagi mayatmayat yang bergelimpangan berlumur darah. Sementara Nambu dan Ki Jarokamin jadi


Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpana menyaksikan amukan burung rajawali raksasa itu. Terlebih lagi, Ki
Jarokamin. Dia seperti lupa kalau yang menjadi sasaran amukan burung rajawali
raksasa itu adalah murid-muridnya sendiri.
Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja dengan sorot mata tenang.
"Cukup, Rajawali...!"
"Khraaagkh. .!"
Wusss...! Rajawali Putih langsung melesat tinggi ke angkasa, begitu Rangga tiba-tiba
berteriak memintanya berhenti menyerang murid-murid Ki Jarokamin. Begitu cepat
burung rajawali raksasa itu terbang, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah
lenyap tidak terlihat lagi ditelan gumpalan awan.
"Keparat...!" desis Ki Jarokamin begitu tersadar.
Laki-laki tua itu memandangi murid-muridnya yang bergelimpangan tidak bernyawa
lagi, dengan luka-luka begitu mengerikan di tubuhnya. Angin yang berhembus
langsung menyebarkan bau anyir darah dari tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran
darah ini. Dan Ki Jarokamin semakin geram melihat muridnya yang masih hidup
tinggal sekitar sepuluh orang lagi. Dan mereka juga tampaknya sudah tidak ada
semangat lagi untuk bertempur.
"Kau.... Kau akan rasakan pembalasanku, Bocah...!" geram Ki Jarokamin dengan
jari telunjuk menuding ke arah Rangga.
Kedua bola mata Ki Jarokamin memerah berapi-api penuh kemarahan. Sementara,
Nambu hanya diam saja seperti tengah bermimpi, menyaksikan seekor burung
rajawali raksasa muncul dan mengamuk menghajar murid-murid Ki Jarokamin.
Sedangkan Rangga yang dituding Ki Jarokamin kelihatan tetap tenang, disertai
senyum tersungging di bibirnya. Seakan, hatinya puas oleh hasil kerja Rajawali
Putih dalam mengurangi kekuatan orang tua ini.
"Kau harus mampus, Bocah!" desis Ki Jarokamin menggeram.
Perlahan orang tua itu melangkah mendekati Rangga yang tetap berdiri tenang
dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Jarokamin menghentakkan kedua tangannya
ke depan, begitu kakinya terpentang cukup lebar ke samping. Dan seketika itu
juga, dari kedua telapak tangannya melesat cahaya merah menyala bagai api.
Cahaya itu meluruk begitu deras bagai kilat, ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Namun dengan gerakan cepat sekali, Rangga melenting ke udara dan berputaran
beberapa kali. Sehingga, serangan Ki Jarokamin tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan cahaya merah
bagai api itu hanya menghantam tanah tempat Rangga berdiri tadi.
Glarrr...! Satu ledakan dahsyat seketika terdengar keras menggelegar. Tampak tanah yang
terhantam cahaya merah itu terbongkar, hingga menyebar ke segala arah. Nambu
yang tadi berada di samping Rangga, sudah langsung melompat ke belakang. Tentu
saja dia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Ki Jarokamin.
"Hiyaaa...!"
Ki Jarokamin kembali menghentakkan kedua
tangannya ke atas. Maka kembali cahaya merah melesat dari kedua tangannya.
Sementara, Rangga yang berada di udara segera meluruk turun begitu mendapat
serangan lagi. Dan untuk kedua kalinya, serangan Ki Jarokamin tidak sampai
mengenai sasaran.
"Hap!"
Rangga cepat merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lalu, tubuhnya
bergerak miring ke
kanan dan kembali bergerak ke kiri. Begitu tubuhnya kembali tegak, pada selasela telapak tangannya yang merapat di depan dada, terlihat cahaya biru terang
menyemburat bagai hendak memberontak keluar.
Sementara itu, Ki Jarokamin sudah siap dengan serangannya lagi.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Jarokamin kembali menghentakkan kedua
tangannya ke depan.
Dan begitu cahaya merah melesat dari kedua telapak tangan orang tua itu....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Secepat kilat Rangga menghentakkan kedua
tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar. Maka seketika dari
telapak tangannya melesat cahaya biru menghadang serangan Ki Jarokamin. Tak
pelak lagi, dua cahaya dari aji kesaktian tingkat tinggi yang sangat dahsyat itu
pun bertemu di tengah-tengah.
Glarrr! Kembali satu ledakan terdengar keras menggelegar bagai gunung memuntahkan
laharnya. "Akh...!"
Ki Jarokamin tampak terpental ke belakang dan terpekik agak tertahan. Tapi,
orang tua itu cepat dapat menguasai dirinya, hingga tidak sampai jatuh
terguling. Sementara, Rangga terus berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang
agak lebar. Sedangkan kedua tangannya tetap terentang lurus ke depan, membuat
cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangannya terus meluruk deras bagai
kilat ke arah Ki Jarokamin yang baru saja bisa menguasai keseimbangan. Dan belum
juga Ki Jarokamin bisa berbuat sesuatu, cahaya biru yang memancar dari
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah menghantam tubuhnya.
Slap! "Akh...!"
*** Ki Jarokamin kembali terpekik. Dan seketika, tubuhnya terselimut cahaya biru
yang memancar deras dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Di dalam
selubung cahaya biru itu, Ki Jarokamin menggeliat-geliat berusaha melepaskan
diri. Tapi semakin keras berusaha, semakin deras pula tenaganya terbuang
percuma. Hingga akhirnya, kekuatannya yang terus mengalir keluar tidak bisa lagi
dikendalikan, bagai ada satu kekuatan yang sangat dahsyat menyedotnya.
Sementara, Rangga mulai melangkah perlahan-lahan mendekati lawannya. Tapi begitu
jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi, mendadak saja....
"Cukup, Kakang...!"
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar teriakan keras dari
belakang. Begitu terkejutnya, sampai-sampai Pendekar Rajawali Sakti terlompat ke
belakang dan melepaskan aji 'Cakra Buana Sukma' yang tengah membelenggu tubuh Ki
Jarokamin. Begitu terlepas dari belenggu cahaya biru, Ki Jarokamin langsung
jatuh terguling ke tanah dengan tubuh lemas bagai tidak memiliki tenaga.
Rangga cepat memutar tubuhnya, dan melihat Pandan Wangi bersama Ki Patungga
datang menghampiri. Mereka juga ditemani Ki Baruka, Rukmini, Randini, Jaraba,
dan Balika. Di belakang mereka
tampak membuntuti murid-murid Ki Patungga.
"Kau tidak perlu membunuhnya, Rangga. Biarkan dia hidup dan menyadari semua
kesalahannya," ujar Ki Baruka setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya melirik sedikit pada Ki Jarokamin yang masih tergeletak tanpa daya
di tanah. Sementara, sepuluh orang murid orangtua itu tidak ada satu pun yang berani
mendekati. Mereka semua hanya diam dan pasrah menunggu nasib.
"Bawa guru kalian pergi dari sini!" perintah Ki Baruka.
Tanpa diperintah dua kali, murid-murid Ki Jarokamin bergegas menghampiri
gurunya. Dan mereka langsung menggotongnya pergi dari situ.
Akibat dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang
dilepaskan Rangga, memang membuat Ki Jarokamin kehilangan sebagian besar
kekuatannya. Kalau tadi Pandan Wangi tidak menghentikan, dia bisa mati.
Atau paling tidak, akan menjadi lumpuh seumur hidup. Memang dahsyat sekali
akibat aji 'Cakra Buana Sukma' yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, Rangga. Aku benar-benar berhutang nyawa padamu," ucap Ki
Patungga. "Lupakan saja, Ki," ujar Rangga merendah.
"Rangga...," panggil Nambu. Rangga berpaling ke arah suara yang memanggil
namanya. "Aku dan saudara-saudaraku akan pergi. Dan kuharap, kita bisa bertemu lagi suatu
saat. Terima kasih atas segala bantuan yang kau berikan. Pusaka ini harus segera
dikembalikan pada junjungan kami,"
kata Nambu berpamitan.
Setelah menjura memberi hormat, mereka segera berlompatan naik ke punggung kuda.
Sebentar kemudian mereka langsung cepat menggebah
kudanya meninggalkan tempat itu. Kemudian, Ki Baruka juga berpamitan hendak
kembali ke desanya lagi, setelah Nambu dan yang lain tak kelihatan lagi.
"Bagaimana denganmu, Ki Patungga" Sudah pulih semua yang kau miliki?" tanya
Rangga. "Ya! Semua kembali seperti semula," sahut Ki Patungga.
"Ki! Benar mereka yang berhak atas benda itu?"
tanya Rangga ingin tahu.
"Benar. Aku hanya dititipkan oleh junjungan mereka. Dan memang, sudah saatnya
aku harus mengembalikan benda itu pada yang berhak," sahut Ki Patungga
menjelaskan dengan singkat.
Rangga hanya mengangguk saja. Dan matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang
berdiri di depan kudanya. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti mengambil kudanya
sendiri. Setelah berpamitan pada Ki Patungga, kedua pendekar muda dari Karang
Setra itu kembali melanjutkan perjalanan untuk
mengembara menegakkan keadilan di muka bumi ini.
Ki Patungga mengiringi kepergian kedua pendekar muda itu dengan pandangan mata,
sampai menghilang tidak terlihat lagi.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Pedang Angin Berbisik 30 Pendekar Naga Putih 95 Utusan Dari Neraka Senja Jatuh Di Pajajaran 6

Cari Blog Ini