Ceritasilat Novel Online

Rahasia Patung Kencana 2

Pendekar Rajawali Sakti 121 Rahasia Patung Kencana Bagian 2


Katakili menelan ludah sambil memandang ke sekeliling pada murid-murid Eyang Rahwana. Dia berharap setelah menjelaskan maksudnya maka orang tua itu akan mengajaknya ke dalam dan membicarakan persoalan yang tengah dibawanya secara empat mata. Namun dia boleh kecewa se-bab orang tua itu sama sekali tak menganggap bahwa berita yang dibawanya itu penting. Bahkan sebaliknya, menganggap remeh dan biasa saja.
"Ng..., anu..., bukankah Eyang ingin sekali mengetahui di mana benda itu berada?"
"Apakah kau menginginkan imbalan atas ke-teranganmu itu?"
Kembali Katakili menelan ludah mendengar pertanyaan yang terus terang tanpa basa-basi itu. Dia tak bisa menjawab selain menganggukkan kepala sebab memang itulah tujuannya ke sini.
"Hm, imbalan apa yang kau inginkan?"
"Hamba tak minta imbalan apa-apa, tapi kalau diperkenankan sudilah Eyang menerima hamba menjadi muridmu...."
"Begitukah?"
"Hanya itu, Eyang!" sahut Katakili cepat.
"Nah, tunjukkan di mana patung itu berada."
"Apa..., apakah Eyang mau mengabulkan permintaanku ini?"
"Kau katakan dulu di mana benda itu berada, kemudian setelah itu kuuji kebenaranmu, baru-lah setelah itu akan kupertimbangkan keinginan-mu," sahut Eyang Rahwana tegas.
"Ba..., baiklah. Patung itu disembunyikan di sebuah goa yang berada di lereng Gunung Watu Mungkur...."
"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Eyang Tarsiwan telah mempercayakan peta penunjuk itu pada salah seorang kawan hamba. Namun dia tak bisa memegang amanat dan men-ceritakannya pada beberapa orang kawannya yang dianggap bisa dipercaya. Tapi kawan-ka-wanku yang lain ternyata membocorkannya pula kepada yang lain. Kemudian kupikir apa salahnya bila aku pun memberitahukannya pada Eyang yang kuanggap masih berhak atas patung itu...."
"Tahukah kau bahwa hal itu berarti melanggar amanat gurumu sendiri?"
"Hamba tak merasa mendapat amanat itu dari beliau...."
"Hm, wibawa seorang guru ditentukan oleh ke-patuhan dan tingkah laku murid-muridnya. Apa-kah kau tak mengakui bahwa kau murid Tarsi-wan?"
"Hamba memang bekas murid beliau, tapi...."
"Apakah karena gurumu tewas oleh kami lalu kau beranggapan bahwa dengan sikapmu ini aku merasa gembira?"
"Bu..., bukankah Eyang membenci Eyang Tar-siwan?"
Mendengar jawaban itu terlihat si orang tua tersenyum kecil. Kemudian dia memberi isyarat pada murid-muridnya. Beberapa saat saja dua orang muridnya segera menangkap Katakili dan membawanya ke belakang.
"Eyang! Mau kau apakan aku"! Eyang, apakah kau tak tahu berterima kasih atas berita yang kubawa untukmu"! Eyang, lepaskan aku! Le-paskan aku...!"
Katakili berteriak-teriak dan berusaha be-rontak dengan sekuat tenaganya. Tapi orang tua itu tak bodoh untuk memberi perintah pada ke-dua orang muridnya itu. Mereka bukan murid tingkat rendahan, oleh sebab itu percuma saja Katakili berusaha untuk berontak.
Tak berapa lama kemudian terdengar leng-kingan Katakili yang menyayat hati, dan kemu-dian disusul datangnya kembali dua orang murid yang membawanya ke belakang. Keduanya mem-beri hormat, kemudian mengikuti gurunya itu ke dalam sebuah ruangan yang cukup besar. Si orang tua duduk bersila di bawah dinding yang memiliki jendela, sementara sepuluh orang mu-ridnya duduk bersila di depannya dengan kea-daan miring sehingga diantara mereka saling ber-hadapan lima-lima orang.
"Tahukah kalian kenapa orang itu harus di-bunuh" Dia pengkhianat, dan itulah sejahat-jahat-nya orang. Pada saat gurunya terbunuh, mereka lari tunggang langgang menyelamatkan
diri. Kemudian datang dan tiba-tiba menawarkan apa yang dulu ingin kucari. Tapi semuanya telah terlambat, sebab aku telah mengetahuinya lebih dulu. Dan tak ada ampunan bagi manusia yang amat kubenci selain kematian. Sekarang bersiap-lah. Kita akan menuju Gunung Watu Mungkur sekarang juga, sebab Patung Kencana harus jatuh ke tanganku!"
Rahwana baru saja selesai berkata demikian ketika salah seorang muridnya yang berjaga di luar melaporkan bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya.
"Siapa?"
"Seorang perempuan tua dan menamakan di-rinya sebagai Roro Ayu...."
"He, sial!"
* * * "Hi hi hi...! Tidak sukakah kau didatangi oleh saudara sendiri, Rahwana?" terdengar suara ke-tawa mengikik ketika Rahwana beserta murid-muridnya tiba di halaman depan.
Di depan berdiri dengan lemah gemulai seso-sok tubuh ramping dengan rambut panjang teru-rai sebatas lutut. Sebagian wajahnya ditutupi oleh rambutnya yang telah memutih. Ketawanya nyar-ing, dan kedua tangannya bertolak pinggang.
"Ada keperluan apa kau datang ke tempatku, Roro Ayu?" tanya Rahwana datar.
"Hi hi hi...! Semakin bertambah umurmu ternyata sikapmu semakin tak sopan saja, Rahwana. Begitukah penyambutanmu terhadap adik seper-guruan sendiri" Apakah tak ada basa-basimu me-nyuruhku masuk?"
"Roro Ayu, tak usah berbasa-basi segala. Kau tahu bagaimana sikapku dari dulu. Katakanlah, apa keperluanmu datang ke tempatku ini?"
Perempuan itu kembali ketawa nyaring. Na-mun tak berapa lama kemudian terlihat dia me-nyibakkan rambutnya, maka terlihat kulit wajah-nya yang telah keriput itu. Hidungnya kecil dan agak lancip, dan bentuk mukanya lonjong dengan bagian dagu runcing. Dahinya lebar dan sepasang alls matanya yang tebal namun telah memutih. Perempuan tua yang berusia sekitar delapan pu-luh tahun itu masih meninggalkan sisa-sisa ke-cantikan usia mudanya. Seperti halnya dengan Rahwana, dia masih berdiri tegak dan sama sekali tak menunjukkan kerawanan usia tuanya.
Sepasang matanya berkilat tajam dan menatap Rahwana dengan sorotan penuh dakwaan.
Kemudian terdengar suaranya yang nyaring.
"Rahwana, akupun punya hak atas Patung Kencana dan kau tahu itu. Apakah setelah kini kau mengetahui letak benda itu kau ingin me-nyerakahinya sendiri?"
"Hm, sudah kuduga kau datang karena per-soalan itu...."
"Persoalan apa lagi yang membuat aku ke tempatmu ini kalau bukan persoalan itu!"
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Sedikit bagian seperti yang telah kita sepakati dahulu!" sahut perempuan tua itu tegas.
"Kita pernah berjanji, barang siapa yang me-nemukan benda itu lebih dulu, maka dia berhak mendapat bagian yang banyak. Kau masih ingat, bukan" Nah, akulah yang menemukan letak ben-da itu lebih dulu!"
"Kau memang licik, Rahwana. Sekarang aku mulai mengerti bahwa kau ingin menyerakahi benda itu seorang diri!" tuduh Roro Ayu dengan nada geram.
Seperti yang telah mereka sepakati bersama, maka bila patung itu diketemukan maka pe-lajaran ilmu silat yang berada di dalamnya akan mereka bagi menjadi empat bagian yang sama. Pengecualian bagi yang menemukannya lebih du-lu, akan mendapat sedikit tambahan. Rahwana belum menemukannya, melainkan baru menda-pat petunjuk tentang letak benda itu. Dan dia mengungkit-ungkit soal janji mereka dahulu. Pa-dahal dengan kata sedikit yang diucapkan Roro Ayu tadi mengisyaratkan basa-basinya bahwa dia harus mendapatkan bagiannya. Tapi Rahwana malah menyahut seolah menegaskan pengertian yang sebenarnya. Sudah barang tentu membuat. perempuan tua itu geram bukan main.
"Kenapa tidak" Aku telah banyak bersusah payah dan kalian ingin mendapat bagian yang sama. Kalaupun aku mau membagi sedikit itu sudah lebih baik," sahut Rahwana enteng.
"Rahwana, begitukah sikapmu sekarang?" Ro-ro Ayu menegaskan dengan suara menuduh.
"Ya," sahut Rahwana mantap.
"Baiklah. Kalau memang kau sudah berkeras menganggap bahwa benda itu milikmu, tak perlu lagi kita bicara di sini. Akan kita tentukan siapa yang berhak memperoleh benda itu!"
"Ha ha ha...! Apakah kau pikir tempat benda itu disembunyikan telah kau ketahui"!" ejek Rah-wana sinis.
"Kenapa tidak"! Semua orang kini telah men-getahuinya. Lereng Gunung Watu Mungkur akan dibanjiri oleh tokoh-tokoh persilatan dari berbagai kalangan. Kakang Yatmika telah tiada, dan Ka-kang Setya Durna raib entah kemana sejak terak-hir kali kita menewaskan Kakang Kuntala dan Kakang Tarsiwan. Kau tak punya siapa-siapa lagi sebagai sekutumu. Bagus, Kakang Rahwana. Biar nanti kita tentukan siapa yang paling berhak memiliki benda itu!" kata Roro Ayu sambil berlalu dari tempat itu.
Rahwana termenung beberapa saat lamanya. Dia sama sekali tak mengkhawatirkan adik seper-guruannya itu, tapi..., he, apa benar tempat itu bukan lagi rahasia dan telah banyak diketahui oleh umum" Dengan begitu, pastilah akan terjadi saling rebutan yang akan menimbulkan banyak korban. Berpikir begitu, dia mendecah pelan sambil tersenyum sinis. Ronggo Lawe terkenal se-bagai tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya. Meski mereka tak menuruni seluruh kepandaian yang dimiliki, tapi selama ini siapa yang pernah menjatuhkan mereka" Murid-murid Ronggo Lawe selamanya disegani oleh setiap kalangan persila-tan karena ketinggian ilmu silat yang mereka miliki, dan tak sembarang orang yang mencari gara-gara dengan mereka. Apalagi coba-coba beruru-san. Rahwana kembali tersenyum sinis mengingat hal itu. Kemudian mengajak beberapa orang mu-ridnya untuk segera pergi dari padepokan. Tujuan mereka sudah jelas, yaitu Gunung Watu Mung-kur!
* * * Kuda coklat yang berbulu kasar itu terus membawa majikannya berlari dengan kencang se-perti tiada hendak berhenti. Seorang gadis dengan rambut sepanjang punggung diikat pita hijau dan memakai baju serba putih. Di punggungnya ter-sandang sebatang pedang. Wajahnya yang manis dengan kulit kuning langsat, terlihat gusar dan cemas sekali. Ada sesuatu yang bergayut dalam benaknya sehingga dia memacu kudanya dan memaksa hewan itu untuk berlari sekencang-kencangnya.
Tujuan mereka terlihat mendekati Gunung Watu Mungkur yang berdiri gagah perkasa nun jauh di depan sana. Melewati sebuah pinggiran hutan, gadis itu tersentak kaget dan buru-buru menarik tali kekang ketika lima sosok tubuh me-lompat dari sebuah cabang pohon dan mengha-dang perjalanannya. Wajah mereka terlihat kasar dan tak bersahabat sambil memegang senjata masing-masing seperti hendak menakut-nakuti gadis itu.
"Siapakah kalian dan apa maksudnya meng-halangi perjalananku?" tanya si gadis dengan na-da tak senang.
Yang berperut gendut dan bertubuh besar me-nyahut sambil menyeringai lebar.
"Siapa kami, itu tak perlu kau tahu. Tapi siapa adanya kau itulah yang paling perlu. Cah Ayu, apakah kau murid si tua Bhairawa?"
Gadis itu tak langsung menjawab melainkan memandang orang-orang itu dengan seksama, se-olah ingin meyakinkan kebenaran prasangkanya bahwa mereka punya maksud buruk mencegat-nya di sini. Tapi Ki Bhairawa bukanlah orang sembarangan. Gurunya itu memang bukan tokoh terkenal, namun siapapun akan segan kepadanya karena menurut apa yang banyak didengar orang, dia memiliki kepandaian yang cukup hebat.
"Betul, apa yang kalian inginkan dari beliau?"
"Ha ha ha...! Bagus, ternyata usahaku tak sia-sia. He, Cah Ayu turunlah kau dari atas kudamu dan antarkan kami pada gurumu itu!"
"Maaf, Ki sanak. Aku sedang terburu-buru dan tak bisa mengantarkan kalian kepada beliau. Tapi kalau ada pesan bisa disampaikan kepadaku nan-ti akan kuberitahukan kepada beliau."
"Tidak bisa! Justru kaulah yang harus ikut kami!"
"Gondewa, kenapa kau malah berurat leher segala dengan gadis itu" Sudah, sergap dan tang-kap saja agar si tua bangka itu mau menunjuk-kan di mana benda itu berada!" teriak salah seo-rang kawannya.
"Sabarlah, Mantingan! Kita toh tak bisa lang-sung main keras saja. Siapa tahu gadis itu mau diajak bekerja sama," sahut orang yang dipanggil Gondewa itu.
Mendengar kata-kata orang itu, semakin ter-kejutlah hati gadis itu. Dia baru saja pulang ke-kampungnya mengunjungi orang tuanya, dan bu-ru-buru kembali ke Gunung Watu Mungkur un-tuk memperingatkan gurunya karena belakangan ini banyak tokoh-tokoh persilatan akan menuju tempat ini. Meskipun mereka tak tahu-menahu soal patung yang dicari banyak tokoh persilatan itu, namun karena gurunya adalah satu-satunya orang yang berdiam di lereng gunung itu, mau tak mau dia akan terkena getahnya pula.
"Bagaimana, Cah Ayu" Kau tentu mau bekerja sama dengan kami, bukan?" tanya Gondewa den-gan wajah dibuat semanis mungkin.
"Aku tak mengerti maksud kalian...."
"Kau pasti tahu dan mengerti!" potong Gonde-wa cepat.
"Huh, siapa yang peduli dengan apa yang ka-lian mau! Menyingkirlah dan jangan menghalangi jalanku!" sahut gadis itu ketus.
Gadis berbaju putih itu agaknya berangasan dan tak bisa terlalu bersabar. Melihat bahwa ke-lima orang itu sudah terang-terangan akan me-maksanya, dia langsung bersiap-siap dan menarik tali kekangnya kuat-kuat hingga kuda itu me-ringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya ke atas.
"Heaaah!"
"Bandel!"
"Hup!"
Melihat itu Gondewa bertindak cepat. Tubuh-nya melompat sambil mencabut golok dan men-gayunkannya ke leher hewan itu. Kuda itu tak sempat meringkik ketika tubuhnya itu ambruk dengan leher tergantung nyaris putus. Masih un-tung gadis itu cepat melompat dengan sigap dan langsung mencabut pedangnya dengan sigap.
"Kurang ajar! Kalian sengaja mencari gara-gara denganku. Huh, terimalah ini pembalasan-ku!"
"Hup!"
Trang! Ujung pedang gadis itu langsung menyambar ke leher, jantung dan pinggang Gondewa. Namun laki-laki itu dengan tangkas menyambutnya den-gan permainan goloknya yang lincah dan ber-hasil menangkis semua serangan lawan tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Bahkan ketika gadis itu dengan kalap meningkatkan serangan-nya, Gondewa masih mampu untuk meladeninya dengan menganggap enteng.
"Gondewa, apakah kau masih ingin bermain-main dengan mereka" Cepat bereskan gadis itu atau kau tak mampu melakukannya?" teriak sa-lah seorang kawannya dengan kesal.
"Kau sama saja dengan si Mantingan. Serba tak sabar. Apa kau pikir aku tak mampu me-ringkus bocah ini, he"!"
"Kalau begitu lekas lakukan! Tanganku sudah gatal untuk mendapatkan benda itu!"
"Barangkali memang kau tak mampu mering-kusnya seorang diri. Biarlah kubantu agar cepat selesai!" sahut salah seorang kawannya yang lain sudah langsung melompat dan menyerang gadis itu dengan senjata kapaknya yang berukuran be-sar.
Gondewa tak sempat mencegah. Tapi kalau-pun hal itu dilakukannya, percuma saja. Dia tahu betul kelakuan kawannya yang satu ini. Orangnya memang tak sabaran, namun dia tak cerewet se-perti yang lainnya, melainkan langsung turun tangan untuk menyelesaikan masalah dengan ca-ranya. Contohnya seperti yang dilakukannya se-karang ini.
"Yeaaa...!"
Trak! Ahhh...!" Tuk! "Beres...!" kata kawannya itu sambil menen-teng kapak di pundaknya.
Gadis itu melotot garang sambil memaki-maki tak karuan. Menghadapi Gondewa dia belum ten-tu bisa mengalahkannya, bahkan bisa jadi kalau Gondewa bersungguh-sungguh, dia akan dapat dijatuhkan dengan waktu singkat. Hal itu keliha-tan jelas sekali. Tenaga dalam yang dimiliki Gon-dewa jauh berada di atasnya. Terbukti saat mere-ka beradu senjata, selalu saja gadis itu mengeluh kesakitan karena tangannya yang kesemutan dan telapak tangannya yang terasa perih. Lalu ketika dengan tiba-tiba seorang kawannya membantu, gadis itu tak mampu lagi untuk bertahan lebih
dari dua jurus. Dalam satu kesempatan pedang-nya kena dihajar kapak lawannya hingga terpen-tal, dan saat itulah Gondewa dengan cepat me-nyambar ke arahnya lalu menotoknya hingga le-mas tak bertenaga.
"Keparat-keparat busuk! Lepaskan aku! Aku masih mampu bertarung seribu jurus lagi dengan kalian semua!"
"Ya, kami percaya itu. Tapi saat ini bukan itu yang penting melainkan memaksa si tua bangka Bhairawa itu menunjukkan pada kami di mana letak Patung Kencana itu berada," sahut Gon-dewa tenang.
"Kalian salah alamat! Guruku sama sekali tak tahu menahu soal benda yang kalian inginkan itu!" sentak si gadis itu.
"Kalau begitu dia harus menunjukkan pada kami seluruh tempat di lereng Gunung Watu Mungkur sampai patung itu ketemu."
"Bangsat keparat! Guruku tak sudi menjadi budak kalian!"
"Hm, jadi dia lebih senang melihat muridnya mampus di depan matanya?"
"Jahanam, lepaskan aku! Lepaskaaan...!" te-riak gadis itu terus memaki-maki tak karuan.
Namun dengan tenangnya Gondewa menyam-bar tubuh gadis itu dan membopongnya di pun-dak. Kemudian tanpa banyak bicara mereka sege-ra berlalu dari tempat itu menuju Gunung Watu Mungkur. Namun baru saja berjalan kurang lebih sepuluh langkah, mendadak dua orang penung-gang kuda menghadang di depan mereka. Gondewa dan Mantingan terbelalak karena tahu betul, siapa kedua orang itu.
"Ka..., kau..."!"
* * * Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 121. Rahasia Patung Kencana Bag. 6
28. April 2014 um 11:24
6 ? "Senang bertemu kembali denganmu, Sobat!" sahut salah seorang penunggang kuda itu. Se-orang pemuda tampan berambut panjang terurai dan berompi putih. Di punggungnya terlihat se-buah pedang yang berhulu kepala burung. Pemu-da itu tak lain dari Rangga, alias Pendekar Raja-wali Sakti.
Di sebelahnya yang menunggang kuda berbulu putih adalah seorang berwajah amat cantik me-makai baju biru muda, dengan pedang dan kipas terselip di pinggangnya. Gadis ini tak lain dari Pandan Wangi, atau lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.
Gondewa dan Mantingan diam dan tak mampu menjawab untuk beberapa saat. Bagaimana pun pengalaman pahit beberapa hari yang lalu amat membekas dalam benak mereka. Betapa dengan mudah kedua orang ini meringkus mereka tanpa bisa mengadakan perlawanan yang berarti.
Namun tidak demikian halnya dengan ketiga orang kawannya itu. Lebih-lebih bagi si gemuk-pendek berbadan kekar yang bersenjatakan kapak itu. Sambil melangkah gusar dia mendekati kedua orang itu dan sudah menyerang dengan senjatanya ke arah leher kuda si Pendekar Raja-wali Sakti.
"Segala bocah bau kencur mau menghalangi langkahku ini! Minggirlah kalian!"
"Wendo, jangan!" Gondewa memperingatkan, namun terlambat sebab kawannya itu telah me-lompat cepat sambil mengayunkan kapaknya.
Namun sebelum serangan itu mendekat, Rangga telah melompat dari punggung kudanya dan menyambar pergelangan tangan lawan den-gan satu tendangan keras.
Tak! "Aouwww...!"
Si gemuk pendek bernama Wendo itu menjerit kesakitan sambil memegangi pergelangan tan-gannya yang patah. Kapaknya telah terpental en-tah ke mana. Sementara pada saat yang bersa-maan, tubuh Rangga telah berada kembali di punggung kudanya.
"Tak seorang pun kuijinkan mengganggu ku-daku selagi aku masih berada di punggungnya!" dengus Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Setan!" Wendo memaki dan kembali melom-pat sambil mengirimkan serangan bertenaga kuat ke arah Rangga.
"Hm, bandel juga rupanya kau ini?"
"Hup!"
Plak! Des! "Aaaakh...!"
Untuk kedua kalinya dia kembali menjerit kesakitan. Kali ini diiringi tubuhnya yang terjungkal sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri. Be-berapa tetes darah tampak meleleh dari sudut bi-birnya.
Ketika tadi dia menghantam dengan sebelah tangannya, dengan tangkas Rangga menangkap. Namun agaknya Wendo telah menyiapkan seran-gan selanjutnya melalui tendangan kakinya yang menyapu pinggang lawan. Namun tanpa beranjak dari punggung kudanya, Rangga menangkis ten-dangan lawan dengan tangannya yang satu lagi, persis di tulang kering lawan. Kemudian dengan satu ayunan kuat, ujung kakinya menghantam dada laki-laki bertubuh gempal itu.
"Keparat! Bocah, sayang kau harus mampus di usiamu yang masih muda ini karena keusilan-mu mengganggu urusan orang!"
"Yeaaa...!"
"Gudira! Bebengan! Hentikan...!" teriak Gon-dewa kembali memperingatkan kedua kawannya yang lain agar tidak meneruskan niat mereka me-nyerang pemuda itu.
Tapi peringatan itu sama sekali tak dihirau-kan keduanya. Dengan kalap mereka bermaksud hendak menghabisi nyawa pemuda itu dalam be-berapa saat saja.
Trang! Trak! Cras! Breeeet! "Aaaakh...!"
Kedua orang itu memekik kesakitan ketika
dengan tiba-tiba senjata mereka seperti tersentak dan terlepas dari genggaman. Saat itu pula terasa perih dan nyeri di telinga mereka, diiringi darah yang mengucur deras.
"Hah, telingaku"!" desis mereka bersamaan sambil memandang dua buah daun telinga yang tergeletak di tanah. Tak terasa mereka meraba te-linganya yang telah putus, masing-masing sebe-lah.
Pandan Wangi berdiri tegak sambil meman-dang sinis dengan kedua tangannya masing-masing memegang kipas dan pedang.
"Kalian boleh pilih, tinggalkan gadis itu dan pergi dari sini atau mampus di tanganku..."!"
"Huh, jangan coba-coba! Gudira, Bebengan, dan kau Wendo! Kemari cepat!" teriak Gondewa sambil mencabut golok dan menempelkannya ke leher gadis yang tadi dibopongnya.
"He, jangan main-main denganku kau!" gertak Pandan Wangi mengancam.
"Eeee, jangan bergerak! Sekali kau melangkah, leher gadis ini akan putus!" ancam Gondewa sambil menekankan golok di tangannya ke leher gadis itu.
Bukan main geramnya Pandan Wangi melihat siasat licik yang dilakukan orang itu. Kalau saja tak dilihatnya wajah gadis itu yang pucat pasi ke-takutan, ingin rasanya dia melompat dan me-nebas leher orang itu.
Rangga turun dari kudanya lalu dipinjamnya pedang Pandan Wangi. Namun baru saja dia hen-dak mencoba melangkah, kembali Gondewa
memperingatkan.
"Berhenti! Jangan coba berbuat yang macam-macam atau nyawa gadis ini akan melayang di tanganku"! Kuhitung sampai tiga, dan kalian ha-rus pergi dari sini! Satu...!"
"Lepaskan gadis itu, kalau tidak kau akan ce-laka sendiri. Kuperingatkan kepadamu, bahwa aku mampu bergerak secepat matamu berkedip!" sahut Rangga tenang.
"Dua...!" Gondewa tak memperdulikan dan te-tap menghitung sambil menekankan goloknya di leher gadis itu.
Kali ini bukan saja gadis di dekatnya itu yang bertambah pucat mukanya, Pandan Wangi pun sudah mulai merasa cemas. Dia berusaha untuk membujuk Rangga untuk mengikuti saja keingin-an orang itu. Namun jangankan menyahut, untuk berpaling pun dia tak mau. Matanya menyorot ta-jam ke arah Gondewa.
"Kuperingatkan sekali lagi, lepaskan gadis itu dan kalian bisa pergi dari sini secara baik-baik...."
"Ti...!"
Ctak!!! "Hiiieeeh...!!!!"
"Heh"!"
"Yeaaah...!"
* * * Tap! "Aaakh...!" Gondewa menjerit kesakitan ketika
pergelangan tangannya ditancap pedang di tangan Rangga yang menderu kencang.
Kejadian itu begitu cepat sekali terjadi dan sama sekali tak diduganya. Rangga menjentikkan tangannya dan tiba-tiba kudanya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Perhatian Gondewa sedikit berpaling kare-na keterkejutannya itu, namun waktu yang sing-kat telah cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti un-tuk melemparkan pedang Pandan Wangi yang be-rada di tangannya dan menancap tepat di perge-langan tangan Gondewa yang sedang meng-genggam golok. Dia memekik kesakitan, dan go-loknya terlepas dari genggamannya. Rangga tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tubuhnya me-lompat cepat menyambar gadis itu yang berada di dekat lawannya, kemudian dengan cepat berdiri tegak pada jarak tujuh langkah dari Gondewa sambil membebaskan gadis itu dari totokan.
"Aku telah memperingatkan kepadamu, tapi kau masih juga membandel. Sekarang pilihlah hukumanmu, kukorek jantungmu atau kutebas lehermu?" tanya Rangga dengan suara dingin dan sorot mata tajam menusuk.
Paras Gondewa mulai pucat ketakutan. Ba-gaimana mungkin ada manusia yang bisa berge-rak secepat itu" Pikirnya. Melempar pedang, me-nyelamatkan gadis itu, dan mencabut kembali pedang yang menancap di pergelangan tangan-nya, lalu melompat dengan ringan dan tahu-tahu telah berada di depannya sambil menjulurkan ujung pedang yang masih berdarah.
"Eh, aku..., aku...."
"Jawab! Atau semua kawanmu bakal mampus di tanganku juga!" bentak Rangga keras sambil melangkah perlahan-lahan mendekati.
Gondewa melirik kepada kawan-kawannya. Mereka terlihat sama ketakutan seperti dirinya, dan tak mampu untuk berbuat apapun. Apalagi ketika Pandan Wangi bersama gadis yang mereka tolong mulai melangkah mendekati. Seolah men-gisyaratkan bahwa tak ada jalan kabur bagi me-reka.
"Am..., ampunkan kami, Tuan Pendekar...," terdengar suara Gondewa bergetar.
"Hm, apakah kau pikir aku akan mengampuni kalian begitu saja" Kau dan kawanmu itu telah melakukan yang salah lagi, terhadap seorang pe-rempuan. Dan itu sangat aku benci. Kalian sudah sepatutnya mampus!" dengus Rangga.
Ujung pedangnya telah menyentuh leher Gon-dewa. Wajah orang itu terlihat semakin pucat dan keringat sebesar butiran jagung mulai mengucur di wajah dan tubuhnya. Apalagi ketika ujung pe-dang di tangan Rangga mulai menekan di leher-nya.
"Bagaimana rasanya kalau kau yang merasa-kan bahwa kematianmu cuma menunggu waktu saja?"
Gondewa tak mampu untuk menjawabnya. Bahkan untuk menelan ludahpun dia sangat ta-kut sekali. Bola matanya terbelalak lebar, dan jantungnya seperti berhenti berdetak saking ce-masnya.
"Pergilah sebelum hilang kesabaranku...," lan-jut Rangga sambil menarik pedang dan me-langkah meninggalkan mereka.
Gondewa terduduk lemas dengan nafas mem-buru lega. Mantingan buru-buru menghampiri dan membantunya untuk berdiri. Sementara keti-ga kawannya yang lain telah lari terbirit-birit begi-tu mendengar ucapan Rangga tadi.
"Ingat! Jangan sampai kutemukan lagi kalian pada peristiwa yang sama, sebab saat itu sudah tak ada lagi ampunan bagi kalian!" lanjut Rangga dingin.
Gondewa dan Mantingan mengangguk bersa-ma. Mereka berlalu dari tempat itu dengan ter-buru-buru.
"Ki sanak berdua, terima kasih atas pertolon-gan kalian. Namaku Puspa Rini, murid Eyang Bhairawa. Tempat kami tak berapa jauh lagi dari sini. Jika kalian sudi, guruku tentu akan senang sekali menerima kedatangan kalian berdua...," ka-ta gadis berbaju putih itu sambil memberikan sa-lam penghormatan.
"Sudahlah. Hal itu persoalan biasa antar ma-nusia untuk saling tolong menolong. Aku Pandan Wangi dan dia Rangga. Hm, kulihat kau me-nunjuk ke arah lereng Gunung Watu Mungkur. Apakah gurumu tinggal di sana?"
"Betul...."
"Baiklah. Kalau memang kau tak keberatan, kami senang sekali menerima tawaranmu itu. Bu-kan begitu, Kakang?"
"Ya...," sahut Rangga mengangguk pelan.
"Eh, ng..., maaf. Apakah kehadiran kalian di tempat ini karena ada keperluan khusus?"
"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi.
"Soal.... Patung Kencana...?" pelan terdengar suara gadis itu.
Pandan Wangi dan Rangga saling pandang un-tuk beberapa saat, kemudian berpaling kembali pada Puspa Rini.
"Apakah kau tahu banyak soal benda itu?" tanya Rangga.
"Aku, eh..., aku sama sekali tak tahu menahu soal benda itu. Bahkan mendengarnya pun baru kemarin...."
"Lalu kenapa kau menduga bahwa kehadiran kami di sini karena benda itu?" desak Rangga.
"Maaf, Ki sanak berdua. Aku sama sekali tak bermaksud buruk pada kalian. Tapi kudengar bahwa akan banyak tokoh persilatan yang akan menuju lereng Watu Mungkur untuk mempe-rebutkan patung itu. Aku sama sekali tak ber-minat. Kukira begitu juga halnya dengan guruku. Tapi karena beliau berada di sana, aku hanya khawatir akan menjadi sasaran tokoh-tokoh per-silatan dan menganggap bahwa guruku menyem-bunyikan benda itu. Padahal setahuku, beliau sama sekali tak mengetahui adanya benda itu di lereng Gunung Watu Mungkur," jelas Puspa Rini.
"Hm, begitu...," gumam Rangga.
Mereka kemudian menceritakan maksudnya datang ke tempat ini sesuai dengan amanat yang diterima Rangga.
"Oh, jadi..., jadi Ki sanak ini adalah Pendekar
Rajawali Sakti yang termashur itu"! Dan..., dan Ni sanak ini pastilah si Kipas Maut yang amat ter-kenal"! Oh, sungguh suatu kehormatan bagi-ku bisa bertemu dengan kalian berdua, dan guruku pasti akan senang menerima tamu seperti kalian!" Silahkan!" sahut Puspa Rini dengan wajah takjub dan girang begitu mendengar siapa kedua muda-mudi itu.
Karena kudanya telah mati dibunuh oleh ka-wanan tadi, Pandan Wangi mengajaknya untuk naik ke punggung kudanya. Dan tak berapa lama mereka telah melanjutkan perjalanan mendaki le-reng Gunung Watu Mungkur.
* * * Apa yang diduga oleh mereka tak salah. Le-reng Gunung Watu Mungkur yang tadinya sunyi dan sepi kini telah dipenuhi oleh banyak orang. Tempat itu tak ubahnya bagai sebuah per-kampungan yang ramai. Padahal tadinya jarang sekali ada orang yang mau menginjakkan kakinya di tempat ini. Selain keadaan alamnya yang ger-sang, di tempat itupun banyak terdapat jebakan-jebakan maut yang mematikan. Yaitu berupa ju-rang-jurang terselubung ranting dan batu-batu-an, serta perangkap-perangkap alam berupa ko-lam-kolam lahar yang terus menggelegak setiap saat. Berbeda dengan gunung berapi lainnya, ma-ka Gunung Watu Mungkur banyak memiliki ko-lam-kolam lahar pada lereng-lerengnya yang memiliki tebing curam dan terjal.
"Eyang...!" Puspa Rini tersentak kaget ketika mendengar suara teriakan di kejauhan ketika me-reka menuju tempat kediaman gurunya.
"Ayo, cepat kita lihat!" sentak Rangga sambil memacu kudanya lebih kencang.
Namun jalan yang mereka lalui semakin me-nanjak sehingga sulit bagi kuda-kuda itu untuk berlari cepat. Bahkan untuk berjalan dengan membawa beban di punggungnya saja mereka se-ring tergelincir. Rangga menyadari hal itu dan menuntun kudanya mendaki. Demikian pula hal-nya dengan Pandan Wangi.
Kecemasan Puspa Rini terbukti ketika melihat seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun berbadan tinggi langsing, sedang di-kerubuti oleh beberapa orang tokoh persilatan. Kepandaian orang tua itu terlihat hebat dan lihai sekali. Namun para pengeroyok pun agaknya bu-kan orang sembarangan pula.
"Eyang...!" Puspa Rini berteriak nyaring sambil melompat cepat hendak membantu gurunya itu. Namun dua orang dari para pengeroyok itu lang-sung mengalihkan perhatiannya dan segera me-mapaki serangannya sehingga gadis itu terlihat gelagapan.
"Yeaaaah...!"
Plak! Trang! Des! "Aaaakh...!"
Pada saat yang kritis itu, Rangga dan Pandan
Wangi bergerak cepat menghalau serangan ke-dua lawannya itu. Terdengar suara senjata ber-dentang ketika pedang di tangan Pandan Wangi menghantam senjata lawan. Rangga sendiri me-nundukkan kepala sambil mengibaskan tangan-nya menghantam pergelangan tangan lawan. Ke-mudian pada saat yang hampir bersamaan kepa-lan tangan yang satu lagi menyodok perut la-wan. Begitu pula halnya dengan si Kipas Maut. Ujung kaki kirinya menghantam telak pinggang kiri la-wan. Kedua orang itu menjerit kesakitan dengan tubuh terjungkal.
"Setan! Siapa yang berani kurang ajar, he"!" bentak salah seorang pengeroyok si orang tua dengan suara nyaring.
Melihat kedua kawannya berteriak kesakitan, hal itu sudah mengejutkan yang lainnya. Mereka menghentikan pertarungan dan melihat sepasang muda-mudi telah berada di tempat itu. Salah seo-rang yang berkulit hitam dan kasar dengan ram-but panjang yang kotor menatap tajam ke arah kedua muda-mudi itu dengan wajah sinis.
"Ki sanak, kulihat pertarungan itu tak jujur. Bagaimana mungkin kau bisa melakukannya" Hal itu adalah perbuatan rendah dan tak terpuji," sahut Rangga santai.
"Hm, aku kenal siapa kau, Bocah. Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" dengus orang itu penuh selidik.
"Agaknya akalmu sejeli matamu. Benar apa yang kau duga itu, Ki sanak...."
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba orang itu tertawa terbahak-bahak seolah ada sesuatu yang dianggapnya lucu. Entah itu dari sikap Rangga atau kata-katanya barusan. Tentu saja hal itu membuat si Pendekar Rajawali Sakti menjadi heran.
"Ki sanak, kalau bukan seorang periang pasti-lah kau seorang yang kurang waras. Kenapa kau tertawa tanpa sebab?"
"Setan! Apa kau bilang, aku gila" Phuiih! Apa kau pikir dirimu sudah kelewat jago berani bicara begitu terhadap si Bayangan Maut"!" dengus orang itu sambil menunjukkan muka dengan ga-rang.
"Hm, kau rupanya si Bayangan Maut yang su-dah kesohor itu. Lalu kenapa kau ketawa tanpa sebab?"
"He, siapa bilang aku ketawa tanpa sebab"! Justru karena ada sebab makanya aku ketawa. Coba pikir! Bukan rahasia lagi, kalau siapapun yang datang ke tempat ini menginginkan Patung Kencana. Untukku yang bejad dan busuk sudah sewajarnya memperebutkan benda itu, tapi bagi seorang Pendekar yang selalu sok bersikap adil, bijaksana, dan sok bersikap baik seperti Pende- kar Rajawali Sakti, ternyata tak lebih dari seekor anjing yang rakus pula! He he he...!"
"Bayangan Maut, jaga mulutmu!" bentak Rangga berang mendengar kata-kata menghina itu.
"Kenapa" Kau menolak tuduhan itu" Lalu apa urusannya kau ke sini kalau bukan karena pa-tung itu"!"
"Memang aku ke sini karena patung itu, tapi bukan kemauanku sendiri, melainkan karena mendapat amanat dari seseorang!"
"Alaaah! Tak usah berpura-pura dan mencari kambing hitam! Katakan saja kau pun mengin-ginkan pelajaran ilmu silat yang berada di dalam patung itu. Apakah kau merasa malu namamu bakal jatuh kalau kau berterus terang begitu, he"!" ejek si Bayangan Maut kembali.
"Setaaan...!" Pendekar Rajawali Sakti memaki.
"Ha ha ha...! Kau marah-marah karena tak mampu menghindari dari tuduhanku yang benar itu, bukan" Nah, untuk apa banyak berdalih se-gala macam?"
Kalau saja menurutkan perasaan hati, ingin rasanya saat itu juga dia melompat dan menam-par mulut si Bayangan Maut yang pedas itu dan membuatnya hancur. Tapi Rangga menyabarkan hatinya. Orang itu terlihat pandai bersilat lidah dan pandai pula membuatnya marah. Tapi men-dadak pada saat itu terdengar suara riuh dari tempat yang tak begitu jauh dari situ. Salah seo-rang berteriak diikuti oleh yang lainnya.
"Patung Kencana telah ditemukan" Patung Kencana telah ditemukan...!!!"
"Heh"!"


Pendekar Rajawali Sakti 121 Rahasia Patung Kencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 121. Rahasia Patung Kencana Bag. 7
28. April 2014 um 11:25
7 ? Pada saat Rangga sedang bertarung itu, Puspa Rini buru-buru menghampiri gurunya dan me-numpahkan kekhawatirannya terhadap orang tua itu. Syukur bahwa Ki Bhairawa tak kurang suatu apapun. Padahal dia sudah begitu khawatir. Bu-kan saja para pengeroyok itu berkepandaian ting-gi, tapi juga karena beberapa orang tokoh persila-tan banyak menonton pertarungan itu. Agaknya mereka siap mencuri kesempatan disaat kedua belah pihak sedang bertarung. Hal itulah yang amat menggelisahkannya. Namun dengan adanya keributan kecil di lereng sebelah atas, orang-orang yang berada di tempat ini langsung ber-hamburan menuju ke atas. Begitu juga halnya dengan si Bayangan Maut beserta anak buahnya.
"Pendekar Rajawali Sakti, kalau kau mau me-lanjutkan urusan kita ini kau boleh menunggu setelah urusanku beres!" kata si Bayangan Maut sambil mengajak anak buahnya untuk segera ber-lalu dari tempat ini dengan bergegas.
"Maaf, Bayangan Maut. Mungkin kita tak akan lama berpisah...," sahut Rangga sambil tersenyum kecil.
Si Bayangan Maut tak sempat lagi mengacuh-kan kata-kata pemuda itu. Dalam benaknya su-dah terbayang benda yang selama ini diimpi-impikannya itu. Sehingga dia sepertinya lupa bahwa kedatangan Pendekar Rajawali Sakti ke tempat ini juga atas benda itu.
"Bagaimana Kakang" Apakah kita akan ke sa-na juga untuk merebut benda itu?" tanya Pandan Wangi sudah tak sabar.
Rangga tersenyum kecil sambil menyahut pe-lan. Bahkan terdengar sayup-sayup di telinga ga-dis itu.
"Hm, apakah kau ingin mandi keringat dan bau amis diantara sekelompok orang-orang yang tengah berebutan itu?"
"Apa maksudmu, Kakang...?" Pandan Wangi bertanya-tanya dengan wajah bingung.
Namun Rangga tak sempat menjawab ketika Ki Bhairawa dan Puspa Rini mendekat ke arah mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, ah sungguh suatu kehormatan besar bisa bertemu dengan kalian berdua. Terima kasih atas perto-longan kalian," ujar Ki Bhairawa memberi salam penghormatan.
Rangga dan Pandan Wangi segera membalas salam penghormatan itu.
"Ah, lupakanlah, Ki sanak. Kalau tak salah bukankah Ki sanak ini adalah Ki Bhairawa?" tanya Rangga.
"Benar, Ki sanak. Akulah Ki Bhairawa. Aku-akan merasa dihormati kalau kalian berdua sudi" mampir ke tempat gubukku yang reot...."
"Terima kasih, Ki. Kami senang sekali...," sa-hut Rangga.
Keduanya segera mengikuti orang tua itu ber-sama muridnya ke sebuah pondok yang tak jauh dari situ.
Ki Bhairawa memang seorang yang sabar lagi bijaksana, disamping seorang tuan rumah yang baik. Dia sama sekali tak menunjukkan kekhawa-tirannya atas peristiwa yang baru saja terjadi itu. Juga tak terbesit kegelisahannya melihat begitu banyak tokoh persilatan hadir di sekeliling-nya. Mereka saling memperkenalkan diri, berbincang-bincang hingga kedua tamunya itu meng-utarakan maksud kedatangan mereka ke tempat ini.
"Hm, hal itu memang sudah kuduga...," sahut Ki Bhairawa halus sambil tersenyum pahit.
"Maaf, Ki. Ki sanak jangan salah paham. Aku sama sekali tak bermaksud menyerakahi benda itu, namun sekedar menjalankan amanat orang itu. Lagipula jika ada seseorang yang bisa diper- caya, tentu saja aku rela benda itu dimiliki oleh- nya. Namun seperti Ki sanak ketahui, kepan- daian Ki Ronggo Lawe yang dituangkannya ke da-lam coretan dan guratan yang terdapat dalam pa-tung itu sungguh hebat dan tiada bandingan-nya. Kalau sampai jatuh ke tangan orang yang salah, maka kekacauan dan malapetaka akan terjadi di mana-mana...," jelas Rangga.
"Ya, aku mengerti hal itu. Aku juga percaya akan apa yang kau katakan tadi, Ki sanak. Juga percaya bahwa kau adalah orang yang tepat un-tuk menyimpannya...."
"Terima kasih, Ki. Kalau demikian kami akan melihat keadaan di atas sebelah sana, tempat orang-orang itu sedang memperebutkan benda itu," kata Rangga sambil beranjak dan bermaksud
meninggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu, Ki. Apakah kau tak mengingin-kan patung itu?" tanya Ki Bhairawa.
"Tentu saja!"
"Duduklah dahulu...," lanjut Ki Bhairawa.
Rangga memandang orang tua itu dengan wa-jah heran. Ki Bhairawa kelihatan serius sekali. Apalagi ketika dia menarik nafas panjang, dan terdiam beberapa saat lamanya. Rangga dengan sabar menunggu orang tua itu melanjutkan uca-pannya.
"Patung Kencana telah kusembunyikan di tempat aman...."
"Apa"!"
Rangga dan Pandan Wangi terkejut mendengar kata-kata orang tua itu. Demikian juga dengan Puspa Rini. Selama ini dia sama sekali tak menge-tahui bahwa gurunya tahu menahu soal benda yang dicari tokoh persilatan itu.
"Harap jangan salah sangka dulu. Beberapa hari yang lalu aku pergi ke kota dan sempat men-curi dengar pembicaraan beberapa orang yang, mengatakan bahwa Patung Kencana peninggalan Ki Ronggo Lawe berada di kawasan Watu Mung- kur. Sepulangnya dari sana aku mencari benda itu disekeliling tempat ini dan akhirnya menemu-kannya. Tapi percayalah, aku sama sekali tak bermaksud menyerakahinya. Aku mengerti bahwa benda itu bukan milikku, jadi aku menyimpannya di tempat lain agar dapat kuberikan kepada orang yang berhak di kemudian hari," kata Ki Bhairawa menjelaskan.
"Tapi, kenapa Ki sanak kelihatan tenang-tenang saja, padahal benda itu telah ditemukan oleh orang-orang"!" tanya Rangga bingung.
"Benda itu palsu. Aku membuat patung yang serupa dengan sepuhan keemasan untuk me- ngecoh mereka...."
"Hm, sungguh cerdik sekali! Tapi apakah Ki- sanak yakin bahwa benda itu telah betul-betul aman disembunyikan...?"
Ki Bhairawa belum sempat menjawab ketika mendadak terdengar suara bentakan dari luar.
"Tua bangka busuk, keluar kau cepaaaat...!"
"Heh"!"
* * * Ki Bhairawa serta muridnya dan kedua ta-munya itu tersentak kaget dan bergegas menuju keluar. Mereka lebih terkejut lagi ketika tempat itu telah dikepung dari segala penjuru oleh berba-gai tokoh persilatan. Namun dengan langkah mantap dan wajah tak gentar, Ki Bhairawa perla-han-lahan melangkah ke halaman depan rumah-nya. Kemudian berhenti setelah tujuh langkah, la-lu memandang mereka berkeliling.
"Ki sanak semua, ada keperluan apa kalian memanggilku keluar dari pondokku"!" teriak Ki Bhairawa dengan suara lantang dan tegar.
"Setan busuk! Kami tak mau debat omong se-gala denganmu. Mana Patung Kencana yang kau sembunyikan itu"!" bentak salah seorang yang
bertubuh besar dengan dahi lebar. Sepasang ma-tanya bulat dengan hidung bulat dan besar. Gi-ginya terlihat hitam kekuning-kuningan ketika menyeringai lebar. Di tangannya tergenggam se-buah gada berduri.
"Hm, kalau tak salah kau adalah si Bandul Kematian, bukan" Kenapa kau menuduhku me-nyembunyikan benda yang sama sekali tak ku-ketahui?" sahut Ki Bhairawa setenang mungkin.
"Tua bangka, jangan coba bersandiwara di de-pan kami. Kau sengaja telah mengecoh dengan membuat patung palsu sementara yang aslinya kau sembunyikan! Kau kira kami dapat kau ki-buli, he" Patung palsumu itu telah hancur dan terbukti bukan terbuat dari emas. Sedangkan pa-tung yang asli konon terbuat dari emas murni. Apalagi jawaban yang akan kau berikan"!" ben-tak si Bandul Kematian dengan wajah semakin berang.
"Ki Bhairawa, lebih baik kau berikan patung itu kepadaku. Aku lebih berhak darimu sebab akulah murid Eyang Ronggo Lawe!" timpal salah seorang perempuan tua berambut panjang ter-urai yang tak lain dari Roro Ayu.
"Kisanak, akulah yang berhak atas benda itu! Aku murid nomor dua dan lebih berhak dari se-galanya atas peninggalan Eyang Ronggo Lawe!" sahut seseorang yang tak lain dari Rahwana.
"Rahwana, dan kau Roro Ayu! Huh, seenak-nya kalian bicara tentang milik dan hak. Patung itu kini telah menjadi milik semua orang yang menemukannya. Kalian adalah manusia serakah,
dan guru kalian mengetahui hal itu hingga tak mewariskannya kepada kalian. Kalau memang Ronggo Lawe merestui, dia pasti tak usah bersu-sah payah membuat guratan dipatung itu tapi mengajarkannya langsung kepada kalian. Bukan begitu, kawan-kawan"!!" teriak seseorang bertu-buh kurus dan tinggi bagai jerapah.
"Betul! Apa yang dikatakan si Setan Jerang- kong memang benar. Si Rahwana dan Roro Ayu sama sekali tak berhak memiliki benda itu. Ki Ronggo Lawe sendiri telah mengisyaratkannya dengan membuat patung itu!" teriak yang lainnya menimpali.
Dan untuk beberapa saat tempat itu gemuruh oleh caci-maki dan hinaan terhadap kedua orang itu. Namun Rahwana dan Roro Ayu terlihat te-nang-tenang saja.
"Diam kalian semua...!!"
"Heh"!"
"Aaakh...!"
Dengan tiba-tiba Rahwana membentak keras dengan suara menggelegar seperti guntur dan mengejutkan mereka yang berada di tempat itu. Beberapa orang yang memiliki tenaga rendah su-dah menjerit kesakitan sambil mendekap kedua daun telinganya rapat-rapat. Dari situ keluar cai-ran darah. Begitu juga halnya dari lobang hidung dan kedua kelopak mata. Bahkan beberapa orang tampak bergulingan sambil menjerit kesakitan dan tewas beberapa saat kemudian.
"Setan! Kau pikir dirimu sudah terlalu hebat dengan pamer tenaga dalam begitu, heh"!" maki
si Setan Jerangkong geram.
"Huh! Kalian bisa berbuat apa kepadaku" Aku yang berhak atas patung itu dan siapapun yang keberatan boleh berhadapan dan terima ke-matiannya"!" teriak Rahwana jumawa.
"Coba lihat! Agaknya si Rahwana telah men-ganggap dirinya sebagai jago yang tak terkalah-kan. Bukankah dengan kata-katanya itu berarti dia memandang rendah pada kita semua"! Bah-kan secara tak langsung dia menantang kita se-mua yang berada di sini. Ayo, apa lagi yang di-tunggu"! Kita hajar dia beramai-ramai!!!" teriak seorang bertubuh kecil dan kurus dengan suara lantang dan nyaring.
Selama ini Rahwana memang tokoh yang dis-egani. Selain murid Ki Ronggo Lawe yang sudah kesohor memiliki kepandaian setinggi langit, se-pak terjangnya pun sangat mengejutkan dan membuat takut banyak kalangan persilatan. Be-lum ada seorang tokoh pun yang selama ini bisa selamat dari hajarannya. Kebanyakan dari mere-ka tewas sebab Rahwana tak pernah membiarkan musuhnya hidup lebih lama. Dia selalu mengha-jar lawan sampai mati.
Tapi kali ini keadaan terbalik. Rahwana cu- ma ditemani lima orang muridnya, sedangkan tempat ini dipenuhi oleh tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi dari berbagai macam aliran. Di an-tara mereka pun banyak yang menaruh dendam terhadapnya. Maka melihat jumlah mereka yang banyak, keberanian mereka menyala-nyala. Apa-lagi ketika tokoh bertubuh kecil dan kurus tadi
membakar semangat mereka terus-menerus. Ma-ka bagai minyak lampu disiram api, kebencian dan rasa seram mereka semakin morak saja.
"Betul! Lebih baik kita hajar saja dia!"
"Serbu, Rahwana!"
"Cincang tubuhnya...!!!"
"Pegang lehernya dan bunuh dia...!!!"
Maka bagai tanggul bendungan yang jebol, le-bih dari lima puluh tokoh-tokoh persilatan me-nyerbu ke arah Rahwana dan murid-muridnya. Rahwana sama sekali tak menyangka hal itu akan terjadi. Dia bahkan memperkirakan mereka tak akan berani menantangnya. Kalaupun ada satu dua orang yang mempunyai adat yang keras dan pantang dihina. Namun dengan penuh keyakinan dia merasa mampu mengalahkan siapa pun yang ada di sini. Tapi sekian banyak tokoh persilatan yang berada di tempat ini menyerbu ke arahnya, sama sekali tak pernah diduganya!
"Orang itu memakan buah dari kesombong-annya sendiri...," gumam Ki Bhairawa pelan.
"Apakah kira-kira mereka mampu mengalah-kannya, Eyang...?" tanya Puspa Rini polos.
Orang tua itu tersenyum kecil, kemudian me-mandang kepada Rangga.
"Bagaimana menurutmu pertanyaan muridku itu, Ki sanak?"
Rangga hanya tersenyum kecil.
"Sepotong lidi mungkin akan patah begitu menghantam sebatang ranting. Tapi apakah rant-ing akan tahan menahan hantaman batang lidi yang terikat menjadi satu?"
Jawaban bijak yang dikeluarkan Rangga cepat dimengerti oleh Puspa Rini. Gadis itu meng-angguk pelan. Mendadak terdengar satu suara menyahuti.
"Tapi tak semua orang setolol itu mengga-bungkan diri sementara ada urusan yang lebih penting!"
"Heh"!"
Yang mengeluarkan suara itu adalah perem-puan tua berambut panjang yang terurai sambil tersenyum sinis. Perempuan itu tak lain dari Roro Ayu. Bersama dengannya juga terlihat beberapa tokoh persilatan yang agaknya tak mem-perdulikan pertarungan itu. Mereka melangkah mendekati Ki Bhairawa dengan sikap mengan-cam.
"Ki Bhairawa, berikan patung itu maka ku-jamin kau akan selamat!" lanjut Roro Ayu dengan suara mengancam.
* * * "Nyi Roro Ayu, kau termasuk orang yang sera-kah. Meski aku tahu dimana benda itu berada, jangan harap akan kuberikan kepadamu," sahut Ki Bhairawa dingin.
"Keparat! Kalau begitu terimalah kematian-mu!" bentak perempuan tua itu sambil melompat cepat dan menyerang Ki Bhairawa.
"Hup!"
Ki Bhairawa tersentak kaget. Kehebatan murid-murid Ki Ronggo Lawe telah kesohor ke mana-mana, namun baru kali ini dia membuktikannya sendiri dengan bertarung langsung atas murid termudanya. Padahal menilik usia jelas Nyi Roro Ayu lebih tua beberapa puluh tahun di banding Ki Bhairawa. Tapi gerakannya gesit bukan main ba-gai seekor burung walet. Dan angin serangannya bagai topan prahara yang mampu membuat jan-tungnya berdebar-debar dan tubuhnya tersentak kaget sekali. Orang tua itu tak yakin apakah dia mampu mengimbangi lebih dari tujuh jurus se-rangan lawan. Diam-diam dia mengeluh sendiri.
Sementara itu Rangga, Pandan Wangi, dan Puspa Rini tak sempat bertindak apa-apa. Be-berapa tokoh persilatan yang tadi berdiri di situ telah menyerang mereka untuk melampiaskan kekesalannya terhadap Ki Bhairawa.
"Huh, cecunguk-cecunguk busuk! Lebih baik kalian mampus dari pada nantinya membuat su-sah!"
"Yeaaah...!"
"Setan keparat! Mampus rupanya kalian, he"!" maki Pandan Wangi geram sambil mencabut ki-pas mautnya dan menghadapi mereka dengan amarah yang meluap.
Rangga sendiri tak kalah geramnya melihat si-kap mereka. Tubuhnya melompat dengan ringan untuk menghindari serangan-serangan mereka. Kemudian sesekali hantaman kepalan tangan dan tendangan kakinya menyodok dada dan perut la-wan membuat mereka terjungkal sambil menjerit kesakitan.
Plak! Begkh! "Aaakh...!"
Lain halnya dengan Pandan Wangi. Dia ber-tindak telengas terhadap para pengeroyoknya dan ujung kipasnya yang tajam dan kuat bagai malai-kat maut pencabut nyawa. Dalam waktu singkat habislah mereka semua tewas di tangannya. Be-berapa orang lagi kabur terbirit-birit menyela-matkan diri. Namun mana mau gadis itu mem-biarkannya saja. Tubuhnya bergerak cepat sambil menyambar pedang di pinggang. Sambil bersalto indah.
"Yeaaah...!"
Cras! Crab! "Aaa...!"
Dua orang yang terdekat memekik sesaat se-belum roboh dengan nyawa putus ketika ujung kipas Pandan Wangi menyambar leher. Sedang-kan seorang lagi yang berjarak agak jauh, men-jerit kesakitan ketika pedang yang dilemparkan gadis itu menancap di punggung kiri dan terus menembus ke jantung. Dia menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak.
Sedangkan Rangga terlihat lebih bijaksana. Dia mendiamkan saja ketika lawan-lawannya ka-bur dengan membawa luka-luka dalam yang cu-kup parah akibat hajaran dan. tendangannya. Orang terakhir yang sedang bertarung dengan Puspa Rini ciut nyalinya begitu melihat kedua muda-mudi itu melangkah mendekatinya. Tanpa
diperintah lagi dia segera angkat kaki dari tempat itu menyusul kawan-kawannya.
Mendadak terdengar pekik kesakitan Ki Bhai-rawa yang disusul tubuhnya yang terjungkal di dekat ketiga orang itu. Puspa Rini cepat memburu dengan wajah cemas ketika melihat darah men-gucur deras dari mulut gurunya itu.
"Puspa, awaaas...!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Glaaaar! Pada saat yang bersamaan, tubuh Nyi Roro Ayu mencelat dan bermaksud mengirim serangan susulan. Kedua telapak tangannya merah mem-bara bagai nyala api. Pandan Wangi mencoba memperingatkan, namun agaknya Puspa Rini akan terlambat menghindar, kalau saja saat itu Rangga tak langsung bertindak, niscaya kedua orang itu, guru dan murid akan binasa ber-samaan.
Nyi Roro Ayu tersentak kaget. Dipandanginya pemuda itu beberapa saat lamanya seolah tak percaya bahwa ada orang yang mampu menahan pukulan mautnya.
"Siapa kau, Bocah dan siapa gurumu" Jawab, sebelum kupatahkan lehermu!" bentaknya men-gancam.
Rangga tersenyum sinis mendengar kata-kata perempuan tua itu. Dia mengetahui bahwa mu-rid-murid Ki Ronggo Lawe memiliki kemampuan yang hebat. Itulah sebabnya yang membuat dia tak mau gegabah saat menangkis pukulan lawan
tadi. Sambil mengerahkan tenaga dalam yang kuat, Pendekar Rajawali Sakti memapaki dengan mengeluarkan jurus Pukulan Maut Paruh Raja-wali. Akibatnya yang dirasakannya sungguh lu-mayan hebat. Jantungnya berdegup lebih ken-cang saat kedua telapak tangan mereka bertemu. Dan nafasnya kelihatan tak beraturan menahan himpitan pukulan lawan. Namun sebisa mungkin dia berusaha menenangkan diri dan tak memper-lihatkan keterkejutannya itu.
"Nyi sanak, nenekku seorang cerewet yang se-lalu memerintahku dan menakut-nakutiku. Tapi semakin dia berbuat begitu semakin senang aku melawannya. Bahkan kalau tak ingat dia nenek-ku, ingin rasanya kutampar mulutnya yang cere-wet itu. He, kau persis nenekku, tapi kau bukan dia. Nah, bisa kau duga apa yang ingin kulaku-kan dengan mulutmu yang ceriwis itu," sahut Rangga sambil tersenyum kecil mengejek.
* * * Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 121. Rahasia Patung Kencana Bag. 8 (Selesai)
28. April 2014 um 11:27
8 ? Bukan main geramnya Nyi Roro Ayu menden-gar jawaban pemuda itu. Sepasang kelopak ma-tanya terbuka lebar dan raut wajahnya me-nampakkan kebengisan hatinya. Dalam pikiran-nya itu, pemuda ini adalah seorang yang baru tu-run gunung dan percaya betul akan kehebatan
ilmu silat serta kepandaian yang dimilikinya. Ma-ka dengan mengkertak rahangnya dia bergerak cepat sekali menghajar pemuda itu. Dalam per-hitungannya lawan tak akan sempat mengelak dan binasa dalam sekali pukul saja. Tak heran bi-la dia mengerahkan tenaga dalam kuat-kuat. Dan dia mempersiapkan pukulan mautnya yang berli-pat ganda. Kedua tangannya mengeluarkan bara api yang menyala-nyala dan menimbulkan hawa panas pada radius lima tombak dari tubuhnya.
"Heaaah...!"
"Heh!"
Rangga tersentak dan cepat mundur. Sejak tadi dia memang telah bersiap diri menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun dia tak menyangka bahwa lawan bermksud menghabisinya secepat mungkin sehingga me-ngeluarkan seluruh kemampuannya yang dimili-ki. Tubuhnya melinting ke atas sambil mencabut pedang pusaka. Dia tahu betul bahwa tenaga da-lam lawannya hebat luar biasa, dan belum tentu berada di bawahnya. Demikian pula dengan pu-kulan maut yang akan dihajarkannya kepada di-rinya. Dia langsung mempersiapkan jurus am-puhnya yaitu Pedang Pecah Sukma.
"Hiyaaa...!"
Wuuut! Seberkas sinar biru menerangi tempat itu un-tuk beberapa saat ketika batang pedang itu ke-luar dari warangkanya. Lalu dengan cepat pula dia menyambar tubuh lawan yang meliuk-liuk menghindari. Kedua orang itu bertarung dengan
tempo cepat sehingga yang terlihat hanya sinar biru bergulung-gulung dan lesus angin kencang dan batu-batu yang berjatuhan.
"Kakang Rangga...!?" desis Pandan Wangi" ter-kejut. Dia belum pernah melihat Rangga ber-' ta-rung sehebat ini sebelumnya.
Pandan Wangi memiliki tenaga bathin yang cukup hebat sehingga dia mampu mengikuti ja-lannya pertarungan antara keduanya. Hal itulah yang membuatnya sedikit khawatir. Meski Rangga berusaha mendesak dengan permainan jurus-jurus pedangnya yang hebat, namun lawanpun masih sempat mengirim serangan gencar. Dia pun bisa menduga bahwa hanya ilmu peringan tubuh yang dimiliki perempuan tua itu yang amat sem-purna, mampu menghindari dirinya dari sam-baran pedang lawan dan berbalik menyerang. Ge-rakannya pun cukup gesit. Dan bila dibanding-bandingkan akan terlihat bahwa Nyi Roro Ayu memiliki sedikit kelebihan dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Namun karena ditangan Rangga terdapat sebuah pedang pusaka yang menghalan-gi serangannya, sehingga terlihat Nyi Roro Ayu tak mampu berbuat banyak terhadapnya.
"Tenanglah, Nduk! Kawanmu itu orang hebat. Dia pasti mampu mengatasi perempuan tua itu...," hibur Ki Bhairawa sambil mendekap da-danya yang masih terasa nyeri.
Pandan Wangi memandang orang tua itu se-kilas, kemudian kembali memalingkan perhatian-nya ke arah pertarungan.
"Yakinlah, kawanmu itu bukan orang sembarangan. Aku bisa melihat kehebatannya... lanjut Ki Bhairawa?"
"Terima kasih, Ki. Mudah-mudahan apa yang kau katakan itu benar...," sahut Pandan Wangi li-rih.
Bukan hanya Pandan Wangi yang mencemas-kan hal itu, tapi Rangga pun merasakan hal yang sama. Kecepatan bergerak lawannya sungguh he-bat dan tiada bandingannya. Tak percuma Ki Ronggo Lawe memiliki nama yang berpengaruh dan disegani kalau ternyata muridnya yang memi-liki seluruh kepandaiannya, mampu mewariskan kepandaian yang luar biasa ini. Pendekar Rajawa-li Sakti mengkertak rahang. Nyi Roro Ayu mencuri kesempatan ketika tubuhnya berputar dan posisi tangannya diatas. Padahal saat itu dia sedang merapal aji saktinya. Demikian pula halnya den-gan perempuan tua itu. Dengan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dia menghantam dada la-wan.
"Yeeaaah...!"
"Hiyaaa...! Aji Cakra Buana Sukma...!"
Glaaaar...! Terdengar ledakan keras ketika kedua puku-lan mereka bertemu. Bersamaan dengan itu terli-hat sesosok tubuh terlempar dari arena per-tarungan itu. Debu masih mengepul di tempat itu akibat pertarungan keduanya, dan menghalangi pemandangan. Tapi Pandan Wangi yang begitu cemas akan keselamatan kekasihnya, sudah lang- sung menyerbu ke tempat arena pertarungan.
"Kakang Ranggaaa...!!!"
Ketika mengetahui bahwa Rangga masih te-gak berdiri dengan nafas terengah-engah dan ba-tang pedang yang masih digenggamnya, Pandan Wangi tak tahu harus bagaimana mengucapkan perasaan syukurnya. Dipeluknya pemuda itu dengan suka cita.
"Kakang Rangga, oh syukurlah kau selamat. Aku cemas sekali memikirkanmu. Oh bibirmu..." Bibirmu berdarah, Kakang. Kau..., kau terluka dalam..."!" seru Pandan Wangi terkejut sambil menyeka darah yang menetes di sudut bibirnya.
Rangga mengusap rambut gadis itu pelan. Sementara tangannya yang sebelah lagi me-nyarungkan pedang. Ditatapnya Pandan Wangi dengan penuh kasih.
"Tak apa-apa. Aku tak apa-apa...."
Mendadak saat itu terdengar pekikan nyaring yang disusul ambruknya sesosok tubuh sambil bermandikan darah. Serentak mereka berpaling. Ki Bhairawa lebih dulu mendesis seperti tak per-caya.
"Astaga...!"
* * * Rahwana tewas dan para pengeroyoknya tak lebih dari tujuh orang. Harga yang pantas mereka bayar untuk itu. Mayat-mayat bergelimpangan di tempat itu akibat amukan Rahwana yang luar bi-asa. Diantaranya terlihat hangus tak berbentuk, hancur menjadi beberapa bagian. Dan sebagian terlempar ke dalam kolam-kolam lahar yang banyak terdapat di sekitar situ.
"Habislah sudah murid-murid Ki Ronggo Lawe...," lanjut Ki Bhairawa.
Pandan Wangi baru menyadari hal itu dan buru-buru berpaling untuk melihat lawan Rangga tadi. Namun tak terlihat tubuh utuh dari perempuan tua itu. Dia hancur berkeping-keping dalam kea-daan rusak dan sulit untuk dikenali lagi. Agaknya pukulan Nyi Roro Ayu tak mampu menandingi aji Cakra Buana Sukma yang dilepas-kan Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis itu dikejutkan ketika ketujuh tokoh per-silatan yang tersisa dengan perlahan-lahan men-dekati mereka. Sorot mata mereka garang dan mengancam dengan pasti dengan langkah gagah seperti pasukan yang menang perang. Penuh per-caya diri.
"Ki Bhairawa, serahkan Patung Kencana itu padaku kalau kau ingin selamat!" kata salah se-orang diantara mereka.
Sebelum orang tua itu menyahut, Pendekar Rajawali Sakti lebih dulu melangkah maju dan menghentikan langkah saat jarak mereka terpaut lima langkah lagi dan memandang mereka satu persatu dengan tajam.
"Ki sanak, bicaramu sungguh hebat seolah ba-gai malaikat maut yang mencabut nyawa. Benda itu bukan hakmu kenapa kau begitu bernafsu in-gin memilikinya?"
"Diam kau! Aku tahu siapa kau. Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Rajawali Sakti, he" Tapi jangan kira mengandalkan nama besarmu
kami akan menjadi takut. Kau telah lihat sendiri. Murid Ronggo Lawe yang termasyur itu telah te-was di tangan kami. Jangan sampai kau menjadi giliran yang kedua kali!" sahut orang itu garang.
Rangga memandang sinis kepada orang berwa-jah kasar dengan gigi-gigi hitam dan kotor itu. Kemudian menyahut dengan suara dingin.
"Hm, kalian memang hebat mampu membu-nuh murid Ronggo Lawe. Tapi ke manakah mu-ridnya yang seorang lagi itu" Ah, ternyata dia te-lah tewas disana...," tunjuk Pendekar Rajawali Sakti kepada sosok mayat perempuan tua yang tak lain dari Nyi Roro Ayu.
Sikap dan kata-katanya terlihat sombong, tapi dia tak tahu lagi bagaimana caranya menahan di-ri melihat keangkuhan mereka dengan mengata-kan telah menewaskan Rahwana. Padahal itu membutuhkan pengorbanan yang banyak terha-dap mereka. Dengan caranya itu Rangga sengaja ingin menunjukkan bahwa dengan seorang diri dia mampu menewaskan Nyi Roro Ayu, murid Ronggo Lawe pula!
Ketujuh orang itu memandang sinis kepa-danya. Kelihatannya mereka sama sekali tak ter-pengaruh oleh apa yang dikatakannya. Bahkan terlihat kesan mereka yang bersungguh-sungguh ingin menghajarnya. Terbukti beberapa orang mu-lai gatal memegang-megang senjatanya dengan wajah garang.
Agaknya tak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Pendekar Rajawali Sakti selain meladeni kemauan mereka. Mau tak mau dia harus bertarung.
Dan..., he, menghadapi tujuh orang tokoh persila-tan yang memiliki kepandaian tak rendah bukan-lah persoalan enteng. Apalagi dalam keadaan ter-luka dalam begini. Hal itu pula yang dicemaskan oleh Pandan Wangi. Sehingga terlihat dia bersiap-siap di samping pemuda itu untuk membantunya.
Mendadak terlihat dua orang saling berkejar-an dari salah satu lereng gunung di sebelah kiri orang-orang itu. Serentak semuanya berpaling.
"Keparat! Paman, jangan serakah kau! Benda itu milikku. Akulah yang mengajakmu ke sini! Ayo kembali dan serahkan kepadaku!" teriak orang yang berada di belakang.
"He he he...! Dasar sial kau! Mana mungkin aku mau menyerahkan Patung Kencana ini ke-padamu!" sahut orang yang di depan sambil ter-kekeh dan melompat dari satu tempat ke tempat lain.
"Celaka! Patung Kencana yang kusembunyi-kan ditemukan oleh mereka!!" desis Ki Bhairawa tersentak kaget.
"Patung Kencana yang asli?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Bhairawa cepat mengangguk.
Ketujuh tokoh persilatan itu agaknya tak perlu menimbang kata-kata orang tua itu untuk mem-percayainya. Melihat kedua orang yang saling be-rebutan benda yang mereka inginkan, sudah membuat ketujuhnya langsung melompat dan mencegat keduanya. Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi serta Ki Bhairawa dan muridnya menyusul dari belakang.
"Berhenti! Serahkan Patung Kencana itu ke-padaku!" bentak salah seorang dari ketujuh tokoh persilatan yang mencegat kedua orang yang saling berkejaran itu.
"Apa, berhenti"! Setan kurap! Kalian pikir sia-pa dirimu berani bicara begitu kepada Tupai Maut Tongkat Sakti. Huh, mampuslah bagian kalian semua!"
Tanpa banyak bicara lagi orang itu langsung melompat dan menyerang ketujuh penghadang-nya sambil mengayunkan tongkatnya. Tentu saja hal itu membuat orang-orang itu tak tinggal diam begitu saja. Kekesalan mereka terhadap Ki Bhai-rawa, kini ditumpahkan kepada orang yang berju-luk Tupai Maut Tongkat Sakti yang begitu men-ganggap enteng mereka. Dengan geram mereka mencabut senjata dan mulai menyerang dengan gencar.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut serta Ki Bhairawa dan Puspa Rini te-lah berada di situ pula. Mereka menghentikan langkah dan tak tahu harus berbuat apa. Namun begitu melihat salah seorang dari dua orang yang tadi saling kejar-mengejar itu, timbul geram di ha-ti Pandan Wangi begitu mengenali siapa orang itu.
"Kakang, kau lihat orang itu" Dialah yang du-lu hendak menggangguku. Hm, kebetulan sekali dia berada di sini. Aku akan membuat per-hitungan dengannya!" katanya sambil mendengus dan langsung melompat mendekati orang itu.
"Hati-hati, Pandan...!" teriak Rangga mempe-ringatkan.
* * * Sebenarnya kata-katanya hanya basa-basi sa-ja. Dia tahu betul siapa orang itu dan sampai di mana kemampuannya. Orang itu tak lain dari Kertapati yang pernah dihajarnya beberapa hari yang lalu. Pandan Wangi pasti mampu meng-atasinya. Itulah sebabnya Rangga tak terlalu me-risaukannya. Dia lebih memusatkan perhatiannya kepada orang yang membawa Patung Kencana yang tengah bertarung dengan ketujuh orang pengeroyok itu.
"Apakah Ki sanak yakin bahwa patung yang tengah dipegang orang itu adalah yang asli?" tanya Rangga meyakinkan.
"Tak salah lagi, Ki sanak. Mereka berasal dari lereng sebelah sana, dimana aku menyembunyi-kan patung itu. Aku tak tahu bagaimana mereka sampai menemukan tempat itu. Padahal aku te-lah menyembunyikan secara rahasia," sahut Ki Bhairawa tak habis pikir.
"Aaaa...!"
"Modaaar...!" ,
Breeet! "Aaakh...!"
Keduanya tersentak ketika tiga orang para pengeroyok itu menjerit kesakitan dengan tubuh terjengkang. Satu orang lehernya putus disambar ujung tongkat yang runcing. Sementara dua orang lagi batok kepalanya pecah dihantam ujung
tongkat yang lainnya. Namun orang itu sendiri tak luput dari serangan lawannya. Salah satu ujung pedang berhasil merobek dada si Tupai Maut Tongkat Sakti dan membuatnya terhuyung-huyung kesakitan. Pada saat yang hampir bersa-maan sebuah golok lawan berhasil merobek ping-gangnya. Tapi agaknya orang yang bertubuh ting-gi besar itu memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Sambil membentak nyaring, tubuhnya melam-bung tinggi. Namun para pengeroyoknya yang tinggal empat orang itu tak menyia-nyiakan ke-sempatan itu. Mereka mengejarnya dengan senja-ta terhunus.
"Yeaa...!"
Trak! Praaaak! Cras! "Aaah!"
Tubuh si Tupai Maut Tongkat Sakti alias Dur-gandana menukik sambil mengayunkan tongkat-nya secara tiba-tiba. Dua orang lawannya coba menangkisnya. Namun ujung tongkat itu lebih cepat menyambar batok kepala mereka. Keduanya memekik kesakitan dengan kepala pecah. Namun yang seorang lagi berhasil menyambar sebelah kaki Durgandana hingga puntung sebatas lutut. Orang itu menahan sakit yang bukan kepalang. Begitu tubuhnya meluncur ke bawah, lawan yang seorang lagi telah menyambutnya dengan satu sambaran pedang yang sangat ber-bahaya.
Trak! Breeet! "Aaa...!"
"Yeaaah...!"
Sambil bergulingan tongkat Durgandana ber-hasil menangkis senjata lawan. Lalu dengan se-ngit dia memutarnya hingga bagian yang runcing-di tingkatnya itu menyambar leher lawan. Orang itu cuma sempat menjerit tertahan. Tubuhnya sempoyongan dan ambruk beberapa saat kemu-dian. Namun belum lagi Durgandana sempat memperbaiki posisinya, lawan yang tinggal seo-rang lagi telah menyerangnya dengan sengit.
Trak! Bles...! "Hugh!"
Sambil bergulingan menghindari serangan la- wan, tubuh Durgandana melenting dan dengan cepat menghunjam tongkatnya ke jantung lawan. Orang itu tersentak dengan tubuh kaku dan mata melotot. Durgandana menarik tongkatnya sehing-ga lawannya ambruk tanpa perlawanan dengan tubuh menggelepar. Tak lama kemudian diam tak berkutik.
"Siapa lagi yang berani menghalangiku..."!" ucapnya sombong sambil memandang nanar pada pemuda berambut panjang dan memakai baju rompi yang berdiri tegak di depannya.
"Ki sanak, berikan patung itu kepadaku. Kau tak berhak memilikinya...," kata pemuda itu, yang tak lain dari Rangga.
"Aaa...!"
"Heh"!"
Pada saat itu juga terdengar jerit kesakitan yang disusul ambruknya sesosok tubuh. Keduanya terkejut, namun cepat memalingkan perha-tian. Pandan Wangi agaknya telah berhasil men-gatasi lawannya.
"Jangan coba-coba!" sentak Durgandana cepat ketika dilihatnya pemuda itu bermaksud mencuri kesempatan dan akan menyambar patung yang berada di dalam dekapannya.
Pendekar Rajawali Sakti tak meneruskan niat-nya. Dia tersenyum kecil meremehkan lawan. Be-tapa tidak" Dalam keadaan terluka dan kakinya tinggal sebelah, sulit bagi orang itu untuk mem-pertahankan dirinya dari serangan. Tapi hal yang dikhawatirkan Rangga, karena tak jauh di bela-kang Durgandana menganga sebuah kolam lahar yang cukup besar dan curam. Sedangkan orang itu perlahan-lahan mundur sambil meren-tangkan tongkatnya di tangan.dan mata yang tak lekang dari Rangga.
Breeet! Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang se-hingga sinar biru menerangi tempat itu untuk be-berapa saat kemudian. Diacungkannya pedang itu ke atas sehingga terlihat wajah pemuda itu yang tampak menyeramkan.
"Ki sanak, kau tahu siapa pemilik pedang ini, bukan" Nah, serahkanlah patung itu secara baik-baik atau harus kupaksa dengan kekerasan" Aku mendapat amanat dari orang yang berhak untuk menyelamatkan patung itu!" gertak Rangga den-gan suara dingin.
"He, Pendekar Rajawali Sakti..."!" Durgandana terkejut kaget ketika melihat pedang itu.
Dia segera menyadari bahwa keadaannya saat ini sangat terjepit sekali. Dalam keadaan begini, tak mungkin dia mampu menghadapi pemuda itu. Namun sesaat kemudian dia mendekap patung itu di tangannya erat-erat.
"Huh, kau tak akan memperoleh patung ini walau bagaimana pun caranya! Tidak akan! Tidak akan...! Yeaaah...!"
"Ki sanak, jangaaan...!"
"Aaa...!"
Terdengar gema panjang Durgandana ketika tubuhnya melompat dan menceburkan dirinya ke dalam kolam lahar yang dalam dan teramat panas itu. Pendekar Rajawali Sakti coba menangkap. Namun orang itu lebih cepat bertindak. Sehingga dia cuma sempat melihat tubuhnya terbenam per-lahan-lahan ditelan lahar panas yang membara.
"Sudahlah barangkali hal itu lebih baik dari cara apapun. Dia tewas bersama dengan pusaka Ronggo Lawe. Dan tak seorang pun yang berhak mewarisinya..." hibur Ki Bhairawa pelan ketika melihat pemuda itu masih terdiam mematung di bibir kolam lahar itu.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk lirih membenarkan kata-kata orang tua itu.
Tak berapa lama kemudian mereka mening-galkan tempat itu seiring dengan bau amis darah yang membasahi gunung yang tadinya tandus dan gersang itu. Di ufuk Barat mentari mulai tenggelam meninggalkan cahaya menguning ke-merahan. Ada burung malam yang mulai terbang meninggalkan sarangnya!
? TAMAT

Pendekar Rajawali Sakti 121 Rahasia Patung Kencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? ? https://www.facebook.com/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace?
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Mendung Dilangit Kepatihan 3 Dewa Arak 72 Batu Kematian Gelang Kemala 8

Cari Blog Ini