1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan Bagian 4
"Apa jawabmu?" "Aku diam. Segera kututup telepon," jawab Rosa ringan. "Aku yakin setelah itu dia meneleponmu. Benar kan?"
Aku mengangguk. "Tapi dia tak bilang kalau baru saja menghubungimu, tapi kau tak mau menerimanya," jawabku. Aku masih memandang wajah Rosa. "Kukira ia mengadu& ."
"Dugaanmu meleset kali ini," kataku segera. Terdengar ketus. "Dia masih mengharapmu menemaninya?"
"Aku diminta menemani Nina yang berulang tahun. Kebetulan malam Tahun Baru. Aku bicara dengan Nina& ."
"Tapi, yang menghubungimu Sisi kan?"
Aku kembali mengangguk. "Cuma menghubungi dan ia bilang, Nina selalu bertanya padaku. Kalau kau ingin bicara padanya, Nina di sebelahku. Lalu kujawab, biar aku bicara pada Nina. Hanya itu, tidak lebih."
"Hanya itu" Bohong!"
"Kau masih tak percaya" Kamu seperti mengenalku baru kemarin saja!" aku membentak. "Aku tak pernah berlebihan bicara padanya, aku tahu batas. Masih juga kau tak paham?"
"Aku tetap tak mengizinkan kau pergi esok malam. Pokoknya, tidak!" ucap Rosa. Kemudian meninggalkan aku di ruang tengah sendirian. Ia masuk ke kamar tidur. Mengunci dari dalam.
Kuketuk pintu kamar. Sekali dengan pelan, dua kali sedikit keras. Ketika tak ada tanda Rosa akan membuka, kuketuk pintu kamar dengan punggung tanganku. Cukup keras. Namun, Rosa tetap tak membuka.
"Kau memberi izin atau tidak, aku tetap akan pergi. Aku bukan berurusan dengan dia, tapi ingin menemani Nina sebab sebagai papanya aku berkewajiban membahagiakannya!" kataku keras. Aku yakin, Rosa mendengar suaraku. Benar. Ia membuka pintu. Melempar bantal dan guling. "Tidurlah kau di kursi!" lalu kembali menutup pintu kamar.
AKU tak pulang ke rumah. Dari kantor aku makan malam dulu di restoran kesukaan Rosa. Setelah itu menuju rumah Sisi. Nina sudah menantiku di depan rumah dan menyambut kedatangan. Kulihat ia bahagia sekali begitu melihatku turun dari mobil. Kupeluk anakku yang kini sudah remaja itu. Kucium kedua pipinya dan keningnya. Ia juga balas menciumku: pipi dan keningku.
"Sudah siap, sayang?"
Nina mengangguk riang. "Papa belum mandi?" "Kenapa, bau?"
Kembali Nina mengangguk. "Papa mandi dulu ya. Nina siapin handuk, sabun, sikat gigi."
Nina segera menarikku ke kamar mandi yang ada di dalam kamar tidurnya. Setelah itu kuganti pakaian yang sengaja kubawa dari dalam tas. Sisi sudah menunggu di ruang tengah, begitu aku keluar dari kamar Nina.
"Maaf aku numpang mandi di kamar Nina. Aku tadi tidak sempat pulang dulu, dari kantor langsung ke sini," kataku pada Sisi.
"Istrimu tak mengizinkan" Kalau belum makan, baiknya makan dulu. Sudah kusiapkan. Ajak Nina& ."
Tiga pertanyaan Sisi itu kujawab dengan menggelengkan kepala. "Kalau begitu kita pergi sekarang," Nina mencairkan suasana.
"Cemburu itu penting, itulah tanda cinta. Jadi aku tak menyalahi istrimu& ," kata Sisi yang duduk di kursi belakang setelah mobilku berada di jalan utama. "Dan itu yang kulakukan dulu& ."
"Sudahlah, tak usah bicara soal masa silam," ujarku agar suasana romantis dan sentimentil tidak terjadi malam ini. Lalu kualihkan pada Nina, "Ke mana kita malam ini sayang" Mau dirayakan di mana acara ulang tahunmu" Papa siap ke mana pun Nina minta& ."
Nina menunjuk sebuah kafe di Hotel Indra Puri. Aku segera menyetujui meski Sisi setengah mencegah. "Kenapa harus di sana, Nina" Pasti mahal. Lagi pula, kamu kan sudah janji sama mama tak mau membebani papa. Tempat itu juga tidak pas buat kita& ."
"Ah, mama sekali-sekali. Lagian papa tidak keberatan. Iya kan, Pa?" Nina protes pada Sisi.
"Ya, enggak apa sekali-sekali. Tetapi, janji ya, kita hanya sebentar di sana?" "Oke deh, Pa," jawab Nina sambil mencium pipiku. Ternyata Nina sudah memesan tempat. Terbukti begitu kami sampai, sekitar sepuluh orang teman sekolahnya sudah lebih dulu tiba. Duduk di beberapa meja yang di atasnya menyala 13 lilin. Nina disambut dengan nyanyian "Selamat Ulang Tahun" dari teman-temannya. Sejurus kemudian, ia meniup lilin-lilin itu. Prosesnya cepat sekali. Tak lama keluar makanan yang juga telah dipesan Nina.
"Uang dari mana Nina bisa bayar tempat ini?" Ia pun tertawa. "Hiii& papa mau tahu aja!"
"Jelas dong! Dari mana sayang?" aku berbisik di telinganya. "Tabungan Nina. Kemarin Nina ambil di ATM& ." "Kalau begitu, papa ganti."
"Enggak usah Pa& Papa sudah bisa datang saja Nina senang sekali." Dalam hati aku tetap akan mentransfer uang ke tabungannya.
Setelah selesai, kami tinggalkan tempat itu. Kukira seusai perayaan ulang tahun, aku bisa segera pulang, tapi Nina mengajakku menemaninya menghabisi malam Tahun Baru. Aku tak dapat menolak. Aku memang sangat menyayanginya. Ingin menghiburnya.
Dan, mobil pun melaju di jalan utama Kota BL ini. Di simping Tugu Gajah kubeli tiga terompet. Satu untuk Nina, yang lain untukku dan Sisi. Tak dapat kuelak, kenangan masa silam pun kembali kutiti-bahkan dengan sendiri kenangan itu mengurai.
Suara terompet dari dalam mobilku saling bersahutan. Nina meniup, aku menyambut, dan Sisi membalas. Begitu sebaliknya. Terus-menerus. Hingga aku lupa ternyata aku tak mampu mencegah masa lalu agar tak masuk dalam kenanganku. Aku larut ke dalam kenangan yang indah sewaktu aku masih bersama Sisi dan Nina& .
Ah! Mengapa roda kehidupan ini seperti berulang dan datang" Aku berkeras hendak mengubur kenangan itu, tapi sekeras itu pula kenangan itu mendesakku. Kupandangi Nina yang duduk di sebelahku. Ia tampak sekali bahagia. Tak henti-henti, sejak di Hotel Indra Puri tadi, ia mengumbar senyum. Nina memang manis. Cantik.
Dan, sesekali kucuri pandang ke Sisi yang duduk di belakang lewat spion. Ia pun tak kurang riangnya. Terompet selalu berada di antara bibirnya yang dipoles lipstik warna ungu. Dalam hati aku mengagumi kecantikannya yang belum pudar. Cuma aku tak sampai hati bertanya, kenapa ia belum juga menikah lagi" Mungkin ia sudah bertekad hendak membesarkan Nina seorang diri sambil tetap menjadi wanita karier. Oleh karena itu, kembali kulirik Nina. Ia membalasku sambil meniup kencang-kencang terompetnya ke dekat telingaku. Aku pun tak mau kalah. Kuarahkan corong terompetku ke wajah anakku itu dan segera kutiup keras-keras. Dan Sisi membalas, mengarahkan terompetnya ke Nina.
Nina protes. "Ih curang. Nina dikeroyok. Nina dikeroyok. Kalau berani sendirisendiri dong& ." Ia terus protes. Kami tertawa. Berderai.
Malam sudah meninggi. Konvoi kendaraan makin menambah. Suara terompet terdengar di mana-mana dan dari arah mana-mana. Saling bersahut. Balas-membalas. Kami larut, aku terlena. Kami seperti menarik kembali waktu yang telah lenyap di masa silam. Seperti ingin kembali memeluknya. Itu sebabnya, ketika Nina memintaku mengarahkan mobil ke arah timur-ke tepi pantai-aku segera mengangguk. Aku lupa kalau Rosa sekarang mungkin tak bisa tidur di rumah, memainkan perasaan perempuannya. Atau mungkin sudah terlelap di luar kamar"
Aku tak bisa bayangkan, aku tak mampu mengangankan. Hidup memang sulit diduga. Karena itu, aku tak mau menyesali kenapa aku mau menemani anakku dan Sisi kalau sudah dapat kutahu akan berakhir di rumah sakit ini. Kami harus menjalani rawat inap beberapa hari. Aku cuma ingat mobilku tergelincir lantaran ingin menghindari tabrakan dengan bis luar kota. Aku hanya luka-luka di kedua lenganku, keningku karena terkena pecahan kaca. Sementara Sisi, tangannya patah, kepalanya bocor karena benturan atap mobil. Sedang Nina paling parah: kedua kakinya patah dan aku pesimis ia bisa berjalan tanpa kursi roda.
Aku menangis, memeluk tubuh Nina. Berkali-kali aku pingsan di sisi ranjang Nina. Aku baru terbangun ketika Rosa membelai kepalaku. "Kau tak apa-apa" Aku tahu kalian di sini, tadi aku ditelepon dokter& ."
Aku memandang Rosa. Aku mengharap sekali ia mau memaafkan aku. Rosa mengangguk, tersenyum. Kemudian kembali membelai kepalaku. Setelah itu, ia berbalik ke Nina. Mencium anakku (tentu anaknya pula bukan") dengan segenap kasih sayang. Ia leburkan tangannya ke tubuh Nina. "Kau anak baik, Nak. Mama juga mencintaimu& ."
Dalam keadaan terisak, kudengar Rosa membisikkan sesuatu ke telingaku. Kudengar jelas sekali: "Kalau kau masih mencintaiku dan demi Nina& aku ikhlas jadi istri pertamamu.
"*** Lampung, Desember 2004 Gelombang Besar di Kota Itu
Post 01/03/2005 Disimak: 328 kali Cerpen Isbedy Stiawan ZS
Sumber Jawa Pos, Edisi 01/02/2005
MUNGKIN akan banyak yang menaiki perahu itu, kalau saja Khidir tak melubangi lambungnya. Dan perahu akan meluncur saat gelombang besar di kota itu. Ibu memulai kisah malam ini.
Ibu memang juru cerita yang baik, tidak saja aku sebagai anaknya yang mengatakan itu tapi semua orang di kampungku mengakuinya. Sebagai bekas pemain sandiwara rakyat, ibu dikenal sangat piawai saat menarasikan kisah. Banyak orang mengaguminya. Tak sedikit pendengarnya yang terharu (bahkan pernah ada penonton yang menangis histeris) kala ibu membawakan cerita. Keahlian menjadi juru cerita tetap dijaga ibu, bahkan sampai dia beranak lima dan memiliki 15 cucu. Kini usia ibu sudah 80 tahun. Suaranya terdengar lirih jika sedang berkisah.
Ibu lalu mengisahkan tentang perahu yang tertambat di tepi pantai, ketika Khidir membawa "murid"-nya menimba ilmu dari kehidupan ini. Berkali-kali "sang guru" mengajarkan kebijakan, namun terasa janggal dan tak masuk akal bagi si murid. Tetapi, setiap kali sang murid hendak bertanya (mungkin menggugat), setiap kali itu pula Khidir menyatakan: "Jangan banyak bertanya. Lihat saja apa yang kulakukan, kelak kau akan memahami dengan cara arif lagi bijaksana. Hidup ini perlu dilakoni dengan bijaksana!"
Maka karena itu pula, anak-anak dianggap tabu apabila banyak bertanya pada orang dewasa. Entahlah, kata ibu, terkadang pikiran orang dewasa sering sulit dicermati oleh kanak-kanak. "Setelah lambung perahu itu dilubangi, guru dan murid itu membuat perahu lain dari batang pohon. Kayu itu dilubangi hanya pas untuk kedua tubuh itu dalam keadaan berdiri, setelah itu berlayarlah. Sungguh menyiksa!"
Ibu sudah lama tak berkisah. Yang aku ingat terakhir ibu bercerita soal gelombang besar di (sebuah) kota. Kisah ibu, mungkin ini yang terakhir karena sejak itu sudah beberapa tahun ini ibu tak lagi memanggil cucu-cucunya untuk mendengar kisahnya, konon di masa mendatang akan sampai ke kota ini sebuah gelombang amat besar dan dahsyat. Gelombang setinggi lebih dari lima meter itu seperti dimuntahkan oleh lautan mahaluas. Air bah itu akan menghancurkan ribuan bangunan, pohon, kapal, perahu, dan puluhan ribu manusia. Saat itu kota seperti kiamat.
Orang-orang berlarian ketakutan mencari perlindungan. Lebih dari 30 ribu mayat terhampar di setiap sudut kota. Kota menjadi gelap. Alat penerang rusak. Mereka sulit menghubungi saudaranya di lain kota karena alat bicara juga rusak total. Di mana-mana mayat membusuk. Tanah bercampur lumpur menggenangi kota. Pohon tumbang menutupi kota yang dulu amat indah. Ladang tak lagi bertanda. Bahkan kapal besar pun terdampar di jantung kota.
Ke mana para pelaut yang terkenal jagoan itu" Mati. Mereka dihempas gelombang besar hingga beratus-ratus meter terhanyut. Anak-anak nelayan bertelanjang dada di tepi pantai menanti para bapak membawa tangkapan ikan, juga lenyap ditelan gelombang mahadahsyat. Tanah di kota itu retak. Seperti dibalikkan sebagaimana kaum Luth dulu. Kota tak lagi bertanda. Mesti bertahun-tahun untuk dibangun kembali. Menjadi kota baru. Dihuni oleh kaum baru.
*** KOTA itu telah lama menanggung duka. Tak terbilang tahun. Penuh luka. Padahal, sumber daya alamnya amat kaya. Hanya saja hasilnya tak dinikmati oleh warga, tapi diangkut ke lain kota. Kehidupan di sana memprihatinkan. Lapar ditumpukan alam nan kaya. Bagai tikus mati di lumbung padi. Ladang ganja diberangus. Sumur minyak diisap dan dialirkan ke kerajaan. Atau dikorupsi oleh gubernur.
Beberapa kali raja diganti. Nasib rakyat di sana tetap miskin. Rakyat bergolak. Lalu serdadu datang dan memberondong. Bertahun-tahun masyarakat dicekam ketakutan. Tiada berani memandang bintang. Tak lagi ketemu kunang-kunang. Langit pekat setiap saat. Anak-anak tak berani main gobaksodor di bawah bulan. Bahkan untuk sebuah percintaan. Maka bila malam menjelang, rumah-rumah terkunci rapat. Penerang hanya dihidupkan seperlunya. Di ruang tengah atau di kamar tidur. Jika para orang tua hendak bercinta, lebih dalam pelukan gelap. Khawatir diintip, takut diberondong para serdadu.
"Tidak boleh ada keriangan di kota itu," kisah ibu, mungkin inilah cerita terakhir ibu yang kudengar, sebab setelah itu ia tak lagi mengumpulkan kami dan cucu-cucunya.
"Warga mesti hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Maka itu harus selalu disebar teror, wabah, dan segala macam suara dentuman& "
Bertahun-tahun. Ya, warga kota itu tak dapat berbuat banyak demi membangun kota mereka. Ladang-ladang yang terbuka ditutup seketika tanpa batas waktu. Para orang tua tiada boleh keluar rumah di malam hari. Mereka juga dikenakan sanksi jika bercinta. Anak-anak harus dalam awasan para orang tua, setiap waktu. Apabila ketahuan para anak lari dari rumah menuju belantara, maka para orang tua diseret untuk diadili. Anak-anak yang lari dan bersembuyi ke hutan-hutan, pastilah begitu keluar sebagai gerilyawan. Dan, itu akan mengancam pemerintah yang berkuasa.
Oleh sebab itu, kisah ibu, sebelum anak-anak lelaki lari ke hutan-hutan maka para orang tua dibebani untuk mengawasi setiap anaknya. Barangkali lantaran dibebani tugas itulah, para orang tua tidak sempat bercinta lagi. Mereka takut mendapat sanksi, masuk bui jika aparat serdadu memergoki anak-anak lari ke hutan. Setiap anak yang lari dari rumah dan bersembunyi di hutan, begitu keluar akan membawa senjata: kepala diikat selembar sobekan kain, atau wajahnya tertutup hingga yang tampak hanya kedua matanya. Mereka kemudian menyerbu sarang serdadu, menjarah amunisi, atau membuat teror tandingan. Maka kota akan menjadi makin mencekam.
Sebelum atau mencegah kota bergolak, para serdadu mengawasi warga amat ketat. Bergantian dikirim ke kota itu. Tetapi, tidak sedikit para serdadu menghamili perawan, perempuan janda, dan ibu-ibu yang masih keluyuran dekat hutan. Anak-anak jadah pun berlahiran. Perempuan-perempuan di kota itu trauma, bahkan ada yang sampai lupa ingatan. Tawa tak karuan bergema di setiap sudut rumah.
Pusat kota dipenuhi rumah-rumah bordil di mana perempuannya dikirim dari seberang. Untuk mengacaukan kota, melupakan warga pada Tuhannya. Bau alkohol menguar di mana-mana. Asap ganja menyembul dari orang-orang. Ladang ganja sengaja dijaga supaya tidak dihanguskan oleh warga.
Raja berkali-kali berkunjung ke kota itu, tapi hanya mengumbar janji. Bahwa kota dijanjikan akan kembali tenang, keadilan akan diberikan, kesejahteraan akan menjadi kenyataan. Sampai kapan" Tak satu pun warga yang berani menagih kepastian. Selebihnya, hanya dirundung harapan demi harapan. Sia-sia&
Maka para warga frustrasi. Sehingga, jangan disalahkan kalau penghuni asli kota enggan bekerja. Kota dibiarkan tak beraturan. Rumah-rumah ibadah tak selamanya ramai, hanya sesekali waktu didatangi jamaah --tapi cuma beberapa shaf atau kursi.
Sungguh, kota itu seperti tidak digubris lagi oleh Tuhan. Ke mana Tuhan berpaling" Mengapa Tuhan tak pernah mengubah nasib warga itu" Adakah janji Tuhan bahwa Ia tak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tak berusaha mengubahnya sendiri, adalah keniscayaan" Pikiranku selalu menolak, tapi hatiku sebaliknya. Hanya saja, sampai kini tetap tak terpahami.
Aku ingin mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar. Ingin mencari makna di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dengan kenyataan. Terutama apa yang baru saja terjadi menimpa kota ini. Kota yang dulu dipenuhi orangorang suci dan pahlawan. Kota yang masa silam sulit dicengkeram oleh penjajah, meski akhirnya terjajah juga setelah seorang kafir mempelajari kitab Tuhan milik orang-orang suci. Kota itu pun ditaburi tinja, alkohol, anggur, dan perempuan-perempuan cantik nan menantang syahwat.
Sampai suatu ketika, kota itu pun dijamuri oleh rumah-rumah bordil dan perjudian. Hanya untuk mengubur impian sebagian orang-orang suci di sana yang hendak menegakkan syariat-Nya. Kesucian dan kekotoran saling mempengaruhi. Dan, selalu saja, batil ingin menguasai. Demikian pula di kota itu, begitu ibu berkisah yang masih terngiang di telingaku.
Anak-anak kampung sudah menjauhi surau. Sehabis maghrib, surau sepi oleh suara anak-anak mengaji. Para orang tua lebih memilih salat di rumah (padahal Rasulullah amat membenci orang yang tidak salat berjamaah di masjid, sehingga beliau pernah mengamsalkan akan membakar rumah muslim yang tidak berjamaah) daripada memakmurkan masjid. Surau pun lebih sering kosong, isinya melompong. Bahkan ada surau yang tak lagi terurus. Dipenuhi oleh sarang laba-laba. Apek. Tikar pandan sobek dimakan tikus, atau dibawa ke hutan-hutan.
Kota , demikianlah, telah kehilangan nur Ilahi. Orang-orang kota tak lagi bersorban. Para perempuan menanggalkan kerudungnya dan diganti pakaian yang amat minim. Rumah-rumah memang benderang dan dipenuhi suara televisi dan dering telepon, tapi apa artinya kalau tiada cahaya Tuhan di sana "
Seperti kaum Luth yang meninggalkan rumah dan istrinya ataupun istri yang meninggalkan lelakinya, lalu bercinta di bawah gemerlap lelampu dan kelindan asap rokok.
Seperti kaum Nuh yang membangkang. Anak yang mengangkangi nasihat para orang tua. Istri yang berkhianat pada lelakinya sambil menghujat Tuhan. Masyarakat yang menganggap gila bagi orang-orang yang membawa kesucian. Apatah lagi melihat orang yang tengah membikin perahu di tengah kota"
Barangkali, kalau saja Khidir tak melubangi lambung perahu itu, tentulah banyak orang yang akan naik dan selamat berlayar. Tetapi, masa itu sudah lama meninggalkan kita. Kini bukan lagi zamannya. Maka tatkala gelombang amat besar datang ke kota itu, puluhan ribu orang tak mampu diselamatkan. Ribuan mayat bergelimpangan di setiap sudut kota, bahkan sampai membusuk. Pertolongan sulit memasuki kota itu. Bahan makanan dan pakaian yang datang terhambat, karena kota masih dipenuhi sisa air. Bangunan dan pohon yang tumbang menghadang. Adakah kau bisa membayangkan suatu kelak kota itu musnah, tak bernama, dan tak bertanda" Ibu mengakhiri kisahnya dengan pertanyaan.
Pertanyaan itu hingga kini dan mungkin sampai kapan pun, mengusikku. Aku benar-benar kesulitan memahaminya: memaknainya. Saudara, di mana kota yang telah musnah itu" Mereka adalah saudara kita yang tenggelam dan mati oleh gelombang mahadahsyat. Sebuah kota yang bertahun-tahun menderita. Kota yang sesungguhnya amat kita cintai dan kagumi, karena di sana dulu lahir banyak orang suci dan pahlawan& ***
(kenangan pilu bagi Aceh, juga Diana Roswita yang menjadi korban dalam musibah itu --dan Azhari yang tentu kini merasa luka: maskirbi, din saja, dan lain-lain)
Lampung, 31 Desember 2004
Keluarga Ed Post 12/06/2004 Disimak: 187 kali Cerpen Isbedy Stiawan ZS
Sumber Suara Pembaruan, Edisi 12/05/2004
SETIAP pagi, tak lama setelah tuan rumah pergi kerja dengan mobilnya, perempuan muda masuk ke rumah besar itu. Mobil sedan honda putih langsung meluncur ke garasi, dan sejurus kemudian pintunya tertutup. Seperti tak terjadi apa-apa.
Tetanggaku itu memang aneh. Baik suaminya atau istrinya sangat tertutup dengan warga. Kami tak kenal akrab, namanya pun hanya kami ketahui amat singkat: Ed. Karena tak pernah bergaul itulah, kami juga tak tahu apa pekerjaanya. Apakah istrinya juga karir atau cuma ibu rumah tangga. Usia mereka terbilang muda, palingpaling 33-an tahun.
Jika aku berpapasan, Ed akan tersenyum lalu menyapaku "Abang..." sambil memperlambat mobilnya, dan aku selalu menjawab "Ngantor?". Ia hanya tersenyum.
Aku tak tahu jam berapa Ed pulang. Entah apakah aku yang kebetulan tak ada di rumah atau memang Ed pulang dari kantor pada tengah malam, sehingga ku tak pernah melihat kepulangannya. Garasinya selalu tertutup rapat seharian sehingga aku tak tahu di balik tirai garasi itu sudah terparkir mobil Ed atau kenderaan tamu-seorang perempuan muda-yang datang setiap pagi begitu Ed meninggalkan rumahnya.
Aku hanya tahu, ini pun dari tetangga lain, kalau Ed belum punya anak padahal usia perkawinan mereka sudah 9 tahun. Anak lelaki berusia 3 tahun yang sering kulihat di rumahnya, konon anak angkat mereka. "Katanya untuk mancing biar istrinya hamil," kata istriku menirukan mbak Tituk, tetangga sebelah kiri Ed.
ED selalu mengenakan pakaian berwarna putih, pakai dasi biru atau hitam. Licin dan necis. Rambutnya rapi, dicukur pendek walau tak dihabiskan. Dapat kubayangkan, Ed bekerja di perusahaan bonafide. Dan Ed tentu memegang jabatan. Kalau hanya staf biasa, tak mungkin dia mendapat kendaraan dan selalu berdasi. Meski soal dasi ini bisa saja seorang staf memakainya, jika itu memang peraturan kantor. Seperti tetatanggaku lainnya, ia hanyalah wartawan di penerbitan media kecil, tapi ke kantor selalu pakai dasi. Kadang yang membuatku lucu, wartawan berdasi itu ke kantor masih pakai motor dan membawa tas yang kukira sudah sangat buruk.
Ed berbeda. Dia menyetir sendiri mobilnya. Kijang panther berwarna biru itu juga selalu bersih mengkilap. Sepertinya Ed rajin merawat dan mencuci. Meski aku tak tahu di mana dan kapan dia mencuci mobilnya.
Ed tidaklah begitu familiar dengan tetatangga, meski ia juga tak lampau angkuh. Ed jarang mengobrol, bertandang ke rumah tetangga atau santai di gardu ronda. Hanya ia tak pernah lupa menyapa warga setiap berpapasan. Meski Ed tak pernah menawari kami-walau sekadar basa-basi-untuk menumpang mobilnya. Namun ia segera memberi bantuan jika ada warga terkena musibah.
Itu sebabnya kami tak tahu banyak tentang pribadi Ed, misal soal keluarganya: istrinya. Berapa anaknya, dan siapa perempuan muda yang datang setiap pagi setelah beberapa menit Ed meninggalkan garasi mobil, termasuk berapa pembantunya.
Aku hanya faham sekitar jam 7.00 Ed keluar dari rumah, lalu seroang perempuan memasuki garasinya begitu mobil Ed menghilang di ujung jalan. Setelah itu pintu garasi kembali ditutup. Dan seperti hari-hari lalu aku pun ditelikung keanehan.
Aku bukanlah tipe warga yang mau tahu urusan rumah tangga orang lain. Aku juga bukan ingin ikut campur rumah tangga orang. Hanya, sebagai ketua RT, aku ingin tahu dengan keanehan yang kurasakan dari keluarga Ed. Aku mencium keanehan, tapi apa itu"
ISTRI Ed, ia biasa dipanggil dik Lebi oleh ibu-ibu di sini, terbilang cantik. Perawakannya mungil, kulit putih, rambut sebahu, dan selalu tak acuh pada lelaki. Siapa pun pria di sini tentu punya perasaan lain jika melihatnya. Namun, sejauh itu, Leni biasa-biasa saja.
Kalau aku menangkap keganjilan dari keluarga Ed, karena aku tak pernah melihat kedua suami istir itu jalan bersama. Misalnya pada malam atau pagi Minggu. Cuma keanehanku itu dibantah istriku. "Apa yang aneh, keganjilan apa" Memangnya aneh kalau kau tak melihat mereka berjalan berdua" Apa kau sering membawaku jalan?" istriku malah balik menudingku. "Aku pernah melihat mereka keluar dnegan mobilnya. Kau saja yang bangun tidur kesiangan," lanjut istriku.
"Kapan kau lihat?"
"Sebulan lalu. Jam setengah 7 mereka kulihat keluar dengan mobil. Pak Ed sempat tersenyum padaku, melambai..."
Darah dalam tubuhku bergelegak. Kumatikan perasaan itu. "Juga dengan anak angkatnya"' tanyaku selanjutnya. Istriku mengangguk.
"Memangnya kenapa" Sepertinya kau ingin tahu benar dengan tetangga kita itu. Apa karena Leni, istri Ed cantik?" ucap istriku beberapa jenak kemudian. Kurasakan nadanya tak senang.
"Ya tak apa-apa. Aku kan tak masuki urusan rumah tangga mereka, cuma ingin tahu saja karena aku merasakan ada keanehan di sana. Lagipula, wajar kan aku sebagai ketua RT ingin tahu warganya?"
"Kau hanya seorang ketua RT, jangan terlalu jauh masuki rumah tangga orang," potong istriku. Tak senang. "Lagi pula mau aneh atau tidak. Mau jungkirbalik atau runtuh, apa urusannya dengan kita. Kau juga tak punya hak mencampuri," sergahnya lagi. Ia melanjutkan, kali ini lebih panjang. "Mereka kan tak mengganggu rumah tangga kita. Sebagai warga dia sudah melapor padamu sebagai ketua RT. Mas Ed juga tampaknya baik dengan tetangga, seperti katamu, tak lupa menyapa kalau kebetulan berpapasan. Dia cepat membantu kalau ada tetangga di sini yang terkena musibah. Lalu apa yang ganjil dengan mereka" Kukira masih wajar-wajar saja."
"Itu menurutmu. Kenapa sih kau amat membela keluar Ed?" kini aku yang tak senang, tepatnya cemburu.
"Lo, apa tidak boleh aku beda pendapat dan cara pandang tentang tetangga kita itu" Ketika banyak warga di sini mencurigainya, mengendus keanehan di rumah tangga Ed, seperti kau?"
Aku tak langsung merespon. Menarik napas. Menggerakkan letak duduk. "Kau tak merasakan keganjilan" Apa yang ada dalam pikiranmu, setiap hari perempuan muda itu masuki garasi rumah Ed begitu mobilnya membelok di ujung jalan sana" Kenapa hanya dia yang menjadi tamu Leni, apalagi setiap hari" Apa kau masih tak merasa keanehan"!"
"Aku benar-benar tak melihat, aku tak merasakan itu. Kukira wajar orang bertamu mau tiap hari atau setahun sekali. Lagipula apa urusannya buat kita" Apa untungnya memikirkan urusan keluarga orang?" istriku kembali mengingatkan. "Sudah deh mas, kau tak usah ngurusin orang lain. Masalah keluarga sendiri aja banyak dan belum beres."
Sejak itu, aku tak lagi mengajak istriku dialog soal keluarga Ed. Keganjilan rumah tangga Ed kunikmati sendiri. Ternyata ini lebih mengasyikkan. Mendebarkan. Tapi tak harus ada perdebatan. Ada pertengkaran...
Sampai suatu hari, satu jam setelah Ed keluar dari rumahnya kala ini tidak seperti biasa. Ia pulang tanpa dengan mobilnya. Ketika kutanya mana kendaraanya, Ed mengatakan di bengkel. "Servise ringan Bang, sudah lama tak ke bengkel. Tidak ada waktu."
Kemudian ia bergegas masuk dari pintu samping kiri rumahnya. Sejurus kudengar pertengkaran di dalam rumah Ed.
"Pantas kau selalu dingin berhubungan denganku!" kudengar bentakan Ed. "Kau juga tak pernah bergairah!"
"Karena kau tak mampu bangkitkan..." "Aku sudah muak, kau bukan..."
"Kau... dasar lesbi!" kudengar bentakan yang lebih tinggi. "Hei kau, pelacur! Keluar dari rumahku kalau tak ingin kuteriaki maling. Ayo, anjing, pergi kau!"
"Aku ke sini karena istrimu meneleponku. Tanya saja, bukan aku yang mau. Lagipula aku ke sini karena dagang..." kudengar suara perempuan, tapi bukan Leni.
"Dagang... Persetan, aku tak mau tahu! Pokoknya kau keluar sekarang dari rumahku. Anjing!"
"Istrimu..." "Pergi kataku, atau mau kubakar mobilmu!" suara Ed makin menggelegar. "Perempuan murahan, tak laku. Ganggu keluarga orang..."
"Istrimu..." Tak lama, sedan keluar dari garasi rumah itu. Kulihat permepuan muda itu di depan stir. Belok kiri dan melaju.
Ed mengunci garasi, juga pintu samping. Hanya sebentar mereka melanjutkan pertengkaran. Saling memaki, berlomba mencaci. Sayup-sayup kudengar kata mandul, lesbian, anjing bergantian. Setelah itu, rumah Ed senyap...
Bandar Lampung, Agustus-September 2004
Perempuan Sunyi Post 12/21/2004 Disimak: 179 kali Cerpen Isbedy Stiawan ZS
Sumber Nova, Tabloid, Edisi 10/03/2004
waktu semalam bung aku bermimpi
bertemu ular bung besar sekali
AKU merasa didatangi ular. Besar dan panjang sekali. Beberapa malam terakhir ini. Seperti dalam nyata. Tetapi aku tetap yakin bahwa aku bermimpi. Karena itu aku percaya kalau itu cuma kembang tidur.
Aku memang sangat letih. Seharian bekerja tak hanya tenaga yang dikeluarkan, namun juga pikiran. Maka begitu sampai di rumah usai kerja, aku langsung menuju pembaringan. Mula-mula aku hanya menelentangkan tubuh, lalu pikiranku melayang dan itu kunikmati. Setelah benar-benar letih dan mataku seakan perih karena menahan kantuk, barulah aku terlelap. Tak lama dengkurku bertaruh cepat ingin mengalahkan pacunya waktu.
Saat itulah aku mimpi bertemu ular panjang dan besar sekali. Dalam mimpi itu, ular membujukku memasuki taman dan menawari buah yang rasanya tiada bandingan. Awalnya kutolak tawaran itu. Namun karena ia mendesak dan memberi keyakinan padaku bahwa buah tersebut hanya didapat di taman itu, aku pun tergiur.
Aku mengambil sebiji. Hendak memasukkan ke mulutku. Kubayangkan senikmat makanan eskpor yang sulit diperoleh di sini. Buah yang, kata ular itu, jika dimakan akan membawa kita terbang. Benarkah itu"
Maka itu kaucicipi buah ini. Ini buah hanya tumbuh di firdaus. Ular itu makin meyakiniku. Aku mulai tergiur. Percaya sekali dengan rayuannya. Buah entah apa namanya tampak warna-warni, dan aromanya seperti wangi tubuhmu yang tak pernah alpa selalu kucium. Aku benar-benar tergiur, dan ingin sekali mencicipinya.
Ayolah, kapan lagi" Aku makin terpana. Pesona warna ular dan aroma tubuh itu menggiurkan jakunku. Ingin kuambil, tapi tak tergapai sebab tiba badai. Taman ini jadi pikuk. Aku menepi cari perlindungan, dan ular itu kembali ke dalam semak.
Ia datang lagi ketika hujan berhenti. Masih menawarkan buah tadi, dan membuatku terasa kian lapar. Kuambil. Kumasukkan ke mulutku. Betapa nikmat rasanya. Namun, kemudian pandanganku jadi nanar. Aku tak lagi dapat melihat ular itu dengan jelas. Apakah ia berlalu dan lesap ke dalam semak, ataukah menjelma jadi perempuan" Di ranjang sejuk dan beraroma. Menguar sepanjang malam.
Aku khawatir kalau ia menyulap diri jadi perempuan, lalu membawa lari lelakiku. Aku pun disergap cemburu. Ular itu mungkin yang telah merayu dan membawa lari lelakiku. Atau barangkali saja telah mematuknya hingga mati.
Aku perempuan sunyi kini. Kenangan-kenangan hilang. Taman tak lagi menawarkan ketenteraman. Penuh dengan dusta, orang-orang selingkuh. Aku tak lagi ingin mengenang bahwa di taman ini mula bertemu aku dengan lelakiku. Berabad silam. Sebelum kau tiba-tiba hilang dan kami pun dipisahkan oleh waktu.
Lelakiku mendesis. Melata sebagaimana seekor ular. Memburu rawa dan belukar. Kini ia jarang menemaniku sekadar membunuh kesunyianku. Apakah aku di rumah tertawa dan menangis, ia tak peduli lagi.
Aku perempuan sunyi kini, akan mati ditikam sepi!
* * * SEJAK ular itu datang dalam mimpiku, aku menanam cemburu. Kata orang, mimpi adalah kembangnya tidur, tapi ia merupakan pecahan realitas. Hampir persis dengan peristiwa hidup ini. Maka aku mulai percaya. Lelakiku tak kembali. Pergi tanpa kutahu ke belukar mana. Dililit oleh ular apa.
Ke mana saja kau setiap hari pulang larut" kataku begitu kubuka pintu saat lelakiku pulang dini hari. Ia tak terusik dengan pertanyaanku. Masuk menuju kamar tidur. Dari mana kau" Tak ada orang lembur atau rapat sampai pagi. Kecuali kau... lanjutku dengan suara agak keras.
Diam! Lelakiku membentak. Aku capek dan perlu istirahat. Kalau mau bertengkar besok saja setelah aku bangun tidur.
Aku menahan geram. Ingin kulempar asbak ke wajah lelakiku. Ia telah banyak mengecewakan aku. Apakah macam begini nasib perempuan, terpenjara di dalam istana rumah tangga" Menjadi penunggu ranjang. Menyusuri sepi saban waktu.
Kupandang foto perkawinanku di dinding kamar. Di sana kami menebar senyum. Kebahagiaan menguar. Ingin rasanya kukembalikan putaran waktu ke masa lalu. Saat itu lelakiku selalu mengumbar senyum, mengutarakan cintanya. Cintaku padamu tak akan lapuk oleh musim. Kalau warnanya putih, ia tetap putih selamanya. Tak akan berubah jadi hitam, kata lelakiku sepuluh menit jelang pernikahan. Kala itu aku bahagia mendengarnya. Serasa aku terbang.
Tapi apa kenyataannya" Waktu membuktikan, lelakiku berdusta. Kata-katanya menjelang nikah, cuma kaset yang dapat diputar di sembarang waktu. Menjadi tak bermakna.
O lelakiku. Kini aku benar-benar sepi. Aku perempuan sunyi. Dan, benar kata teman-teman di kantor, mimpi tak harus ditafsir sebagai kembangnya orang tidur. Mimpi dapat jadi layar dari kehidupan. Karena itu, tak musykil kenyataannya begitu. Sebagai isyarat, dan itu tak setiap orang diberi kemampuan menafsir mimpi, Suci, teman kantorku berujar.
Kau beruntung Ri diberi kemampuan itu. Bukan apa-apa, aku memang pernah melihat suamimu jalan berdua. Masuk restoran... Marta ikut bersuara. Ia menambahkan, Maaf bukan maksudku mau merusak rumah tanggamu, Ri. Sungguh aku menyayangimu dan aku prihatin pada rumah tanggamu.
Aku mengangguk. Tersenyum. Aku ingin menunjukkan pada mereka kalau aku dapat tegar dan senang menerima masukan. Tak apa-apa kok. Aku malah berterima kasih, kalian masih berkenan memperhatikan aku, kataku kemudian. Kalian bersyukur, perkawinan kalian harmonis. Suami kalian sangat mencintai.
Nasib orang memang berbeda, Ri. Untuk menunjukkan Maha Adilnya Tuhan, ucap Suci lagi.
Lagi-lagi aku cuma mengangguk. Tersenyum. Walau hatiku sesungguhnya teriris, perasaanku perih. Akan tetapi, dalam hati, aku bertanya mengapa Tuhan mencipta kesunyian" Yang kurindukan di dalam perkawinan ini ialah keriangan, cengkerama penuh hiruk. Tertawa sepanjang malam. Bukan seperti ini.
Setiap malam, di tempat ridur, anganku pesiar. Aku membayangkan lelakiku tengah bercengkerama dengan perempuannya yang lain. Memasuki mal, diskotek, mungkin pula bungalow. Sedangkan aku terlelap hanya karena lelah seharian di kantor ditambah lagi menyiapkan makan malam. Meski terlalu sering makanan bersisa dan esok pagi dibuang di bak sampah.
Wahai lelakiku, kau dengar jeritku" Perempuan sunyi. Akan kaumainkan apa bagi dunia perempuan" Bagi sebuah perkawinan" Aku kini berani mengutuk sepi. Protes pada ketakadilan lelaki .
Aku perempuan sunyi. Rindu campur benci tentang mimpi. Kembang tidur yang acap membuat terlena.
* * * waktu semalam bung aku bermimpi
bertemu ular bung besar sekali
Pada mimpi berikutnya ular itu mematukku. Aku pingsan. Lelakiku tak datang menolong. Aku merangkak, menaiki ngarai. Di puncak tebing, kupergoki lelakiku bergumul dengan ular. Apakah ia bertarung, ataukah sedang bercinta" Lelakiku bergumul. Berguling-guling. Ular itu panjang dan besar sekali. Seperti yang kerap muncul dalam mimpiku.
Aku menyaksikan dengan pandangan berkabut. Malam masih pekat. Belum beranjak...
* * * AKU berkemas diri, ini kebiasaanku, menjelang ke peraduan. Lima belas menit aku mematut-matut wajahku di depan cermin. Dari memoles alat pelembap ke wajahku, mengenakan lipstik, alis mata, dan pengharum tubuh. Setelah itu aku menuju ranjang. Jika belum terserang kantuk, aku akan membaca-baca majalah dan tabloid perempuan sampai mataku terpejam. Hampir enam tahun ini aku tertidur tak diantar dengan cerita dan canda menarik dari lelakiku.
Aku akan terbangun jika bel pintu yang kupasang di dalam kamar berdering. Itu pertanda lelakiku datang. Aku sudah hafal saat itu pagi akan menjelang. Kalau tiada dering bel, aku terbangun subuh. Memandang ke sisi kiriku, tempat lelakiku terbujur lelap. Kini sering tak terisi. Bantal dan guling selalu kutemukan tetap rapi.
Di rumah ini aku sering sendiri. Tak pernah kudengar suara anak: suara yang amat kurindu sepanjang perkawinanku. Perutku selalu kempis. Entah siapa yang bermasalah. Siapa yang tak mampu membuahkan janin. Kami tak berani konsultasi ke dokter.
Pernah aku hendak mengambil anak. Tetapi lelakiku berkeras melarangku. Untuk apa adopsi anak, akan menyusahkanmu saja. Ia mewanti-wanti jika aku mengambil anak, ia akan pergi dari rumah ini. Kemudian lelakiku menghibur, suatu kelak kami akan dikaruniai anak. Dari benihnya. Tetapi, sudah sepuluh tahun usia perkawinanku, anak yang didamba tak juga bersemayam di rahimku. Lelakiku bahkan membiarkan aku selalu sunyi. Hidup dalam mendamba.
Lampung, 14-15 Agustus 2004
Meniti Sepi, Menanti yang Pergi
Pos : 12/17/2004 Disimak: 217 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Kompas, Edisi 08/22/2004
KAU tidak juga tersenyum, padahal sudah berulang kubikin lelucon di hadapanmu. Ada apa sebenarnya denganmu" Berbagai cerita bernuansa humoris yang kuingat telah kukisahkan semenarik mungkin. Tapi, kau tetap tak tertawa. Apa yang telah terjadi padamu"
MALAM telah berganti beberapa kali. Siang berulang melepas mantel benderangnya: kembali ke pekat. Tinggal kita di rumah ini. Sepi terasa. Waktu seperti merangkak pergi dan singgah. Sesungguhnya, apa yang kau pikirkan" Tentang anakanak yang meninggalkan rumah ini dan menetap di kota lain" Kawin dan beranak" Hanya surat-suratnya yang kemudian menjumpai kita, katanya, melepas kangen"
Kita sekarang dipanggil Opa dan Oma. Sungguh, panggilan yang dulu amat kita khawatirkan jika datang amat cepat. Dan, ternyata dugaanku benar. Anak perempuan kita yang kedua dipinang, menikah, setelah itu dibawa ke lain kota. Kau menangis waktu itu, tatkala Selvi melambai di depan gerbang. Menaiki mobil yang sekejap kemudian berpacu. Kau sedih. Aku maklum, kau amat terpukul. Tetapi, hukum hidup harus begitu.
Dan, setahun lalu anak lelaki kita diterima bekerja di kota M. Cukup jauh dari rumah ini. Amat melelahkan apabila dengan kendaraan mobil jika ingin menemuinya. Hanya dengan pesawat, itu pun ditempuh dengan perjalanan tiga jam lebih di udara ditambah tak kurang tujuh jam menempuh darat dan selat. Pasti melelahkan. Kau mendesis. Sepertinya, itulah penyebab mengapa kau sedih sekali waktu itu. Berturutturut anak kita ke luar dari rumah ini, menggores kesepian di hati.
Sebenarnya kita berharap mereka bekerja dan berjodoh di kota ini saja, kota kelahirannya. Biar selalu dekat, selalu dengan mudah dapat diawasi. Cuma kita tak bisa menentukan rezeki dan jodoh, juga (jangan lupa!) maut. Sama seperti kenapa aku mengawinimu, mengapa kau mau menjadi istriku. Apa lagi yang menarik dariku" Apa pula yang amat berkesan pada tubuhmu yang membuatku tergila-gila waktu jejaka dulu"
Sudahlah, tak perlu nelangsa. Tersenyumlah untuk segala kesunyian. Tertawalah buat kesedihan dan kesepian. Kau dan aku, bersyukurlah, masih ada. Cinta dan kasih sayang tak akan (pernah) pergi. Lukisan Picasso dan Jeihan masih bisa membunuh lara kita. Perempuan-perempuan Jeihan dengan kedua matanya yang selalu gelap, pelajaran bagus buat kita yang terasa kian menua.
Ah, tidak! Usia kita belum 50 tahun. Kau masih sintal bagiku. Aku "si Kuku Bima" dalam berbagai pertarungan. Terbukti dalam berbagai pergumulan, tak ada yang kalah ataupun menang di antara kita. Selalu saja kita bisa menyelesaikan pertarungan dengan keringat di tubuh layaknya danau. Saat itulah kau mau tersenyum untuk pertarungan kita. Dan, aku terpuasi. Setelahnya, sepi kembali menyergap. Kepiluan bertandang. Kerinduan pada anak-anak (kita hanya punya dua anak dari perkawinan sepanjang 23 tahun) membuat kita tak lagi berkata-kata. Bisu. Ruang tamu diam. Ruang makan berkabut. Kamar tidur berselimut sunyi. Suara televisi yang malam-malam terakhir ini menayangkan diskusi dan debat calon presiden, tak pernah menarik kita agar terhibur. Malah kita dibuat bebal. Janji-janji yang verbal.
"Kenapa" Apa yang terjadi denganmu?" aku tak tahu pertanyaan tersebut sudah berapa kali kuajukan padamu. Kau tak juga bersuara. Hanya meremas-remas jarimu. Atau menutup wajah dengan selimut. Selalu kubayangkan, di balik selimut itu aku seperti menyaksikan tarian maut.
Jangankan tersenyum, bersuara pun kau tak. Apakah kini tanpa anak-anak di sisi kita, kau benar-benar merasa sepi" Bukankah aku bisa menggantikan mereka" Aku senantiasa menghiburmu dengan kisah-kisah humor. Dengan lelucon-leluconku yang saat berpacaran kau bisa senyum, bahkan tak jarang kau terkekeh" Adakah leluconku sekarang tak mampu lagi menarikmu untuk sekadar menyunggingkan bibirmu yang (masih terlihat) ranum"
Kau tidak juga tersenyum, padahal sudah berkali-kali kurangkai lelucon. Kau bahkan berang. Tak mau dekat denganku. Tidur di kamar Selvi. Kau merajuk. Aku selalu membujuk. Tetapi, kau tetap ingin tidur sendiri di kamar sebelah. Bersama boneka dan mainan Selvi yang ditinggalkannya setelah ia dibawa suaminya. Lalu, siapa yang benar-benar merasa sepi semalaman" Akukah" Kaukah itu"
Tiada jawaban yang membuat aku puas. Kenapa di masa senja perkawinan kita, yang kita rangkai adalah pertikaian" Saat cinta di paruh ujung kebersamaan kita dalam satu biduk rumah tangga, perilaku kita menjadi aneh. Kita mengutuk kesepian yang tak mendasar. Perkawinan yang terlalu cepat merebut Selvi dari dekapan kita, itukah yang senantiasa kau sesalkan" Bukankah suatu kelak, waktu akan memisahkan kita dari mereka" Juga perkawinan kita, betapapun sudah sedapat kita untuk mempertahankannya.
Pandanglah lukisan Jeihan di sudut ruang tamu. Sekali-sekali kau amati lagi karya Picasso yang indah itu. Tafsirkan menurut hatimu apa yang ada di balik mata gelap dari perempuan Jeihan tersebut. Tak perlu sungkan salah menafsirkan. Karena demikianlah karya seni: ia menjadi kaya karena ragam pemaknaan tafsir. Kuharap dengan begitu, kau akan mendapati keriangan. Sepimu akan hilang, berganti keramaian. Seperti warna-warna dalam kanvas Picasso. Sebagaimana lorong pekat penuh pengharapan dalam mata perempuan-perempuan Jeihan. Seperti diriku yang selalu mendapatkan itu, setiap kali aku memandangi karya lukis dari seniman besar itu.
Matamu nanar. Penuh basah. Selalu kuinginkan leluconku atau kisah-kisah humorku akan membunuh kesepian yang terpantul dari wajahmu. Biar hari-hari kita, mungkin hanya sisa dari langkah perkawinan kita ini, kembali mendapati matahari. Pagi hari. Saat kedua telapak kakimu membelai sisa embun di pucuk rumput taman di depan rumah. Kau memang suka sekali menyepuh kaki dan betismu dengan sisa embun itu. Sejak muda dulu.
Kau pernah bilang, sisa embun banyak manfaat bagi kulit dan tulang. Namun, menjadi petaka apabila embun yang luruh terkena kepala. Itu sebabnya, katamu, para pelancong malam dan centeng selalu bertopi. Menutup kepalanya dari embun malam.
"Itu sebabnya, mengapa anak-anak balita yang belum juga berjalan pada usia yang mestinya sudah bisa melangkah, orangtuanya akan mengusap kaki anaknya ke rumput berembun." Waktu itu, memang Selvi belum dapat berjalan pada usia hampir dua tahun. Dan benar, mungkin karena memang sudah waktunya, anak kita bisa melangkah dan kemudian jalan. Perasaan kita senang tidak terkira.
Kemudian kau kabarkan pada kedua orangtuamu tentang khasiat embun yang membuat Selvi bisa berjalan. Kau puji ibumu, karena saran dialah agar Selvi dibawa setiap pagi ke rumput yang menyisakan embun supaya cepat jalan. Aku tak bisa menyembunyikan kegiranganku. Meski aku tak terlalu percaya kalau embun dapat mempercepat anak yang lambat berjalan. Tetapi, aku tak hendak menunjukkan ketidakpercayaan itu. Aku tidak ingin melihatmu kecewa. Seperti hari-hari belakangan ini.
Karena itulah, kalau kau mau tahu, supaya kau mau tersenyum aku sering mengobrol dengan tetangga atau teman-temanku di kantor untuk mencari kisah lelucon dan cerita humor. Bahkan aku masuki toko-toko buku, mencari bunga rampai kisah humor dan membacanya di sana. Tentu secara diam-diam, karena pelayan toko akan memamerkan wajah tak sukanya kalau bukunya dibaca atau plastik pembungkusnya disobek. Setelah kudapat, aku akan menuturkan padamu. Tak lain supaya kau terkekeh, setidaknya tersenyum untuk hari-hari kita yang memang terasa sepi. Hanya kau tak pernah terpancing, kau tak juga terpingkal ataupun tersenyum. Ada apa dengamu"
"Aku kangen sekali dengan Selvi& ," suaramu lirih. Pelan. Hampir tak kudengar. Aku nyaris tak percaya ketika kuyakini kau bersuara. Benarkah itu"
"Apa?" Sebenarnya aku ingin kau mengulang ucapanmu. Ya. Aku ingin sekali lagi mendengar suaramu. Kau sudah lama pelit pada kata-kata. Padahal, semasa muda dulu kau paling tangkas berbicara. Itu sebabnya kau menyukai diskusi. Ada saja bahanmu untuk membuka dialog. Di rumah ini, denganku, atau dengan anak-anak kita. Setelah itu, kau kuasai pembicaraan. Mengagumkan.
"Aku rindu Selvi. Ingin ketemu cucu. Lagi apa ya mereka?" kau ngulang, tapi dengan kata-kata yang lain. "Apa Selvi juga kangen dengan kita" Bagaimana dengan Yanto, kenapa dia tak menelepon atau mengirim surat?"
"Benar kau rindu?" aku bertanya. Kuingin sekali lagi kau mau bersuara. Namun, beberapa menit setelah kunanti ternyata kau hanya diam. Membisu" Ah, aku mengkhawatirkan kau akan menutup mulut lagi. Tak bicara. Merajuk. Tidur di kamar sebelah. Mendekap mainan dan boneka Selvi. Seperti biasa.
"Aku yakin Selvi pasti kangen sama kita. Cuma mungkin dia belum punya waktu kemari," lanjutku kemudian setelah tak kutemukan isyarat kau mau berkata. "Mungkin Yanto sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya, makanya tak sempat menelepon ataupun berkirim surat. Tetapi, yakinlah, mereka sehat."
Diam. Kau menunduk. Seperti sedang menyusun kata-kata, sebelum kauucapkan. Kutunggu. Sekejap, dua kejap. Tak juga keluar. Aku kembali gundah. Tentu kau akan mengakhiri percakapan ini. Malam ini. Sebelum kemudian kita lelap. Tidak dilalui dulu dengan bercinta& .
KAU tidak juga tersenyum, meski aku sudah berkali-kali membikin lelucon. Sebenarnya ada apa denganmu" Kugali-gali lagi cerita humor dan kukemas semenarik mungkin. Tapi, tetap saja kau tak terpancing. Pikiran apa yang mengganggu benakmu"
Aku mulai kehabisan sabar untuk segera mungkin melihatmu tersenyum. Ayo sayang, senyumlah untuk usia senja kita. Jangan kau genapkan sepi ini dengan ulah anehmu. Bayangkan bahwa kita baru menikah, bahwa kita sedang menikmati bulan madu. Jadilah merpati, yang muda dan aduhai, demi warnai kembali semangat kuku bimaku. Kepakkan sayapmu untuk perkawinan kita yang mulai masuk ambang.
Lalu kuajak kau memandang perempuan Jeihan. Kuingin kau seperti perempuan dalam lukisan itu, tapi tidak untuk kedua matanya. Bola matamu lebih indah, itu salah satu asalan mengapa dulu aku kesengsem padamu. Ayolah ke ruang depan, sudah lama kita tak menikmati perempuan Jeihan. Aku mengajakmu. Hendak menggandeng tanganmu, seperti dulu kupegang tanganmu tatkala menuju pelaminan seusai akad nikah. Tetapi, kenapa tak juga beranjak dari ranjang itu"
"Aku tak lagi muda, tidak seperti perawan di kanvas itu," katamu. "Sejak Selvi menikah aku merasa bukan lagi muda, dan begitu ia melahirkan aku merasa makin tua. Aku pun menyandang sebutan oma& ."
"Ya. Setiap orang pasti akan menuju tua, itu alami. Seperti siang berubah malam, itulah bukti bahwa hidup ini fana-berjalan. Lalu, mengapa kau gundah dengan perubahan?"
Aku tak gundah. Katamu-tepatnya membantah pendapatku. "Aku cuma menyesali mengapa Selvi begitu cepat meninggalkan kita. Andainya dulu kau, sebagai bapaknya, mau menunda pernikahannya tentu tidak seperti ini jadinya. Aku tak begitu cepat menghadapi kesepian seperti ini," lanjutmu.
"Aku tak bisa menolak jodoh, seperti kita tak mungkin mengingkari usia. Jodoh bagi Selvi sudah datang pada kita, dan aku sebagai bapaknya hanya merestui. Cuma merestui. Dengan begitu, kuharap ia akan bahagia hidup bersama suami dan anakanaknya," jawabku lembut. Aku tak ingin kau tersinggung, kalau aku ikut bersuara keras.
"Kenyataannya?"
"Selvi bahagia sekarang dengan suami dan anaknya. Aku yakin itu& ." "Kenapa ia tak mengabarkan kebahagiaannya, kalau dia benar bahagia?" "Apa kau lupa, ia sering meneleponmu" Dua malam sekali?" "Tapi, hati seorang ibu tak bisa dibohongi. Batinku berkata lain: ia tak bahagia hidup di perantauan. Ia tak pernah jauh dariku& ."
"Sekarang ia harus mulai belajar hidup mandiri. Saatnya dia lepas dari ketiak ibunya. Dan, kau juga mestinya menerima kenyataan ini, seperti busur melepaskan anak panah. Jangan dia kau bebani dengan kekhawatiran-kekhawatiranmu, yang mungkin saja tak begitu benar," kataku kemudian. "Jangan perasaan yang ada dalam dirimu untuk mengukur kebahagiaan orang lain. Aku kok sangat yakin Teuku Ashar Pasa tak menyianyiakan anak kita."
Kau seperti ragu untuk mengangguk. Diam. Kembali menunduk. Ah, sudah lama memang rumah ini sepi. Seakan tiada penghuni. Tak ada tawa dan pertengkaran kakakberadik. Rumah yang kini benar-benar sunyi. Sepi yang memagut setiap waktu.
"Besok pagi aku mau menemui Selvi. Aku sudah benar-benar rindu." Tiba-tiba, seperti lontaran peluru, kau berujar.
Apa" Aku kaget mendengarnya. "Kau pikir, rumah Selvi hanya dua atau tiga kilometer" Kita mesti butuh waktu sekurangnya 12 jam!"
"Tak soal. Yang penting aku bisa temu dia. Juga cucuku."
Kalau kau sudah meminta, sulit aku membujukmu agar menunda. Maka kutelepon Selvi. Malam ini juga. Kuutarakan keinginan ibunya.
"Biar Selvi saja yang pulang. Ibu tunggu saja di rumah, aku yang pergi yang akan pulang. Aceh bukan dekat& ."
"Tapi, ibumu berkeras. Dia yang mau menemuimu."
"Jangan ayah. Biar Selvi yang pulang. Aceh belum bisa menjamin nyawa orang. Di sini kematian sama dekatnya dengan urat leher kita& ," kata Selvi. "Tapi& ."
"Lagi pula, aku sekalian pulang memboyong Upita. Aku tidak tahan hidup di kota yang tak bisa menjamin keselamatan. Teuku Ashar tak mau meninggalkan kampung kelahirannya, meski perang di Aceh belum berhenti. Kata dia, kalau harus memilih ia lebih memilih merawat ibunya daripada bersamaku dan Upita. Ya, itu pilihan dia. Dan, Selvi juga punya pilihan& ."
"Jadi, maksudmu& ."
"Ya. Selvi mau tinggal bersama ibu dan ayah lagi," potongnya. "O iya, mana ibu. Biar Selvi bicara langsung."
"Jangan, Nak. Malah ibu nanti sakit kalau mendengar ceritamu. Ayah saja yang menyampaikan kalau ibu tak usah berangkat, karena kau akan pulang besok dengan pesawat pagi. Kami akan menjemputmu di Bandara Radin Inten. Telepon saja kalau kau sudah sampai di Cengkareng." Lalu pesawat telepon kumatikan.
Sebelum tidur, kusampaikan maksud Selvi. Tapi, tak kuberi tahu kalau ia akan kembali dan tinggal bersama kami seperti dulu. Cukuplah aku dan Selvi yang tahu, bahwa ia akan hidup menjanda. Barangkali juga hingga membesarkan Upita. Entahlah.
Dan, istriku merasa senang mendengar kabar Selvi akan pulang besok. Berulang kali ia tersenyum, tak henti-henti kulihat wajahnya sumringah. Malam ini ia mau menemaniku tidur. Kuharap ia tak lagi menyesali sepi. Perubahan itu yang membuatku sangat berbahagia. Aku seperti kembali muda. Menancapkan kuku bima di bulan limau.
Lampung, 12 Juli 2004; 00.35
Ibu Peri Selalu Datang Post : 06/02/2004 Disimak: 239 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Riau Pos, Edisi 05/30/2004
IBU Peri itu datang lagi. Bocah perempuan berusia 7 tahun itu mengadu. Mendengar cerita Sisi itu lagi, Mama Linda seakan tersengat hewan pengantup. Badannya menggigil.
Dadanya bergoncang, amarahnya mengembang. Lagi-lagi Ibu Peri itu yang dikatakan, gumam Mama Linda. Tetapi, tak urung hatinya berujar, benarkah ada Ibu Peri, benarkah Ibu Peri sering bertandang ke rumah ini"
Kalau benar Ibu Peri sering datang dan selalu ada di rumah ini, alamat apa yang bakal diterima Mama Linda" Akankah posisinya sebagai Ibu Sisi tergeser oleh Ibu Peri" Jangan-jangan semua itu permainan Sisi untuk menyingkirkannya" Ia pandangi dengan amat dalam bocah perempuan yang kini berada di hadapannya. Tetapi, Sisi seakan ingin meyakinkan dirinya, kalau ia baru saja berjumpa Ibu Peri. Hati Mama Linda pun gusar, matanya kian nanar.
Ibu Peri berwajah cantik namun terlihat bengis memang selalu datang untuk menemui Sisi. Seperti kemarin lalu, kemarin malam, atau siang tadi sewaktu ia tidur. Hanya, setiap kali ia ceritakan soal kedatangan Ibu Peri pada Mama Linda, selalu ditepis bahwa Ibu Peri itu tidak ada dan tokoh itu hanya ada di dalam cerita-cerita misteri. Berkali ia yakinkan Mama Linda, setiap kali itu pula ia menuai kecewa.
Setiap datang Ibu Peri selalu berubah-ubah wajah. Sesekali merupai Ibu Anita, guru sekolah yang baik hati. Pada kali lain mirip Fra, sekretaris papa yang cantik namun tampak seram. Dan kesempatan berikutnya, serupa Mama Linda yang cantik dan baik hati. Atau Ibu Peri datang seperti Ida yang manis tapi perangainya menyerupai Nenek Lampir.
"Jadi, kamu jangan percaya ada Ibu Peri di dunia ini," Mama Linda menegaskan. "Kamu masih percaya kalau Ibu Peri yang datang dan selalu datang?" lagi Mama Linda berujar. Ia tak ingin Sisi diracuni cerita-cerita misteri seperti itu.
Bocah perempuan itu seperti hendak mengatakan sejelas-jelasnya bahwa ia selalu didatangi Ibu Peri. Sisi ingin mengatakan kalau ia tidak berbohong atau teracun oleh cerita-cerita misteri dan hantu. Ibu nan cantik namun bengis beberapa kali mendatanginya. Ibu yang secara lihatan lembut dan penyayang, namun seperti hendak mengisap darah waktu ia terlelap.
Dalam hati ia ingin mengatakan, "Sayang Mama Linda enggak bisa lihat Ibu Peri. Ibu Peri juga tak mau dilihat orang dewasa. Padahal, ia selalu datang ke rumah ini. Makan di meja itu. Masuk ke kamar Sisi dan sesekali tidur. Ia sayang sama Sisi, Ibu Peri sering bawakan Sisi permen. Tapi kalau lagi marah Ibu Peri lebih bengis dari ibu tiri..."
Ibi tiri" Bibir Mama Linda bergetar mengulang itu. Cuma segera ia mengontrol dirinya. "Sudah, kamu tidur lagi. Sore bangun dan belajar. Mama Linda mau ke rumah Tante Lis ada pertemuan arisan. Dan, menjelang Magrib Mama Linda baru pulang. Kalau papa datang lebih dulu, katakan saja Mama Linda pergi. Kamu mengerti?"
Sisi mengangguk. Pelan. Sebetulnya ia ingin protes: Mama Linda egois. Tak mau mendengar cerita Sisi. Mama Linda tidak seperti teman-teman Sisi di sekolah. Mira, Rum, Imas, Hesti, Anggi, atau pun Rhe yang selalu mau mendengar cerita Sisi. Bahkan mereka percaya kalau Ibu Peri itu memang ada. Dan, mereka selalu mengingatkan: "Hati-hati sama Ibu Peri, kelihatannya baik tapi sebenarnya jahat!" Hampir bersamaan.
Sisi diam. Ia selalu menyimpan setiap pesan teman-temannya itu. Itu sebabnya, ia tetap curiga dan waspada setiap Ibu Peri mendatanginya saat ia tidur. Sisi tak pernah lengah sekejap pun. Sampai-sampai Ibu Peri heran, lalu membujuknya agar jangan takut.
"Sisi termakan hasutan teman-teman ya" Atau Mama Linda yang cerita kalau Ibu Peri jahat" Percayalah nak, Ibu Peri baik sekali. Bukankah sudah ibu buktikan setiap datang membawa oleh-oleh?" suara Ibu Peri lembut. Aroma yang keluar dari mulutnya harum bagai kesturi. Angin pun di dalam kamar tidurnya menjadi wangi dan sejuk.
Ibu peri menawarkan diri memasakkan untuk Sisi. Makanan yang lezat-lezat. Sisi senang dan lahap memakannya. Ibu Peri juga bawa es krim. Setelah kenyang, Sisi tertidur di paha Ibu Peri. "Kok, Ibu Peri enggak jahat?" Itulah pertanyaan Sisi setiap kali didatangi Ibu Peri.
Terbukti sampai kini Sisi masih baik-baik. Itulah yang membuat temantemannya percaya kalau Ibu Peri tidak jahat seperti dalam cerita-cerita yang mereka dengar. Karena itu, mereka ingin bertemu Ibu Peri yang mendatangi Sisi. Mereka ingin dibuatkan makanan lezat-lezat, es krim yang enak, chiken, Mc Donald, dan sebagainya.
*** "MAMA, kenapa Ibu Peri enggak datang-datang?" tanya Anggi, suatu malam, menjelang tidur. Ini malam sudah sepekan ia berharap didatangi Ibu Peri. Ia ingin dalam tidur bertemu ibu cantik yang baik itu seraya bercengkerama, juga dimasaki, makan bersama, dibawakan es krim seperti Sisi. Ah, betapa indahnya. Ya! betapa senangnya ditemani Ibu Peri ketika mama sibuk arisan dan pertemuan-pertemuan lain dengan ibuibu di kantor papa"
"Mama dengar enggak sih?" bocah itu kembali menegaskan. Kesal. "Husst... Anggi ini omong apa"!" suara mama meninggi tiba-tiba. Anggi kaget. Wajahnya segera menunduk. Mengkerut. Takut. "Ibu Peri hanya akan datang pada anak-anak yang diasuh Ibu Tiri. Apa Anggi mau punya ibu tiri, ha"!" masih dengan nada tinggi.
Anggi mau protes. Mama pasti tak suka dengan Ibu Peri, takut disaingi kalau sering menemui Anggi. Memang ia sering nonton serial Bidadari di televisi yang ada tokoh Ibu Peri, di sana Ibu Peri amat sayang pada anak yang tak lagi punya ibu namun selalu dijahati ibu tiri. Tapi, Ibu Peri yang ini lain. Hanya ia tak berani mengatakan itu pada mama. Melihat wajah mama yang tak bersahabat, ia urungkan niat protesnya.
Ia kembali memejamkan mata. Mama membelai rambut Anggi. Menarik selimut hingga ke bagian atas tubuhnya. Lalu mama keluar dan tidur di kamar sebelah. Setelah suara pintu ditutup, Anggi melepas selimutnya. Duduk menghadap lemari rias. Menghujamkan wajahnya ke cermin. Ia berharap dari wajahnya yang ada di di dalam cermin itu muncul Ibu Peri. Seperti Ibu Peri yang datang pada Sisi. Akan tetapi, sudah beberapa menit ia melangut menghadap cermin itu tak juga Ibu Peri datang.
"Jangan-jangan Ibu Peri sekarang lagi ke rumah Sisi?" ia membatin. "Mungkin mama benar, Ibu Peri tak akan mau datang pada anak yang masih punya ibu kandung."
"Kamu masih percaya kalau Ibu Peri pasti datang?" suara mama yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu kamar. Menggeleng. Menatap Anggi dengan pandangan iba. "Jangan berharap ia tak akan pernah datang."
"Tapi, ma, Sisi kawan Anggi sering didatangi Ibu Peri" Kata dia, Ibu Peri itu baik suka bawa oleh-oleh, suka masakin makanan yang enak, bikin es krim, dan"
"Bohong!" mama setengah berteriak. Anggi tercekat. "Kawanmu itu mengarang. Ibu peri itu rekaan, hanya ada dalam dongeng. Supaya anak-anak takut." "Kok Sisi bilang benar" Dia juga bilang Ibu Peri itu tidak menakutkan?" "Ingat Anggi, sekali lagi kamu cerita Ibu Peri, akan mama bawa kamu tidur dengan bik Inah di belakang. Mau"!" mam mengancam. Anggi makin ketakutan. Ia rebahkan tubuhnya ke ranjang, menarik selimut hingga menutupi seluruh badannya.
Ibu peri tak pernah lagi ia impikan. Mungkin Sisi sering didatangi Ibu Peri karena ia anak tiri. Angin yang diantarkan alat pendingin ruangan ini makin cepat membawanya lelap.
"Aku tidak bohong kalau Ibu Peri benar-benar datang," Sisi selalu meyakinkan teman-temannya agar ceritanya bukan karangan.
*** IBU Peri datang lagi. Kali ini tidak seperti biasa, wajahnya tak ceria. Ada apa gerangan, wahai Ibu Peri" Ia juga tak membawakan oleh-oleh makanan lezat untuk Sisi. Padahal, Sisi amat mengharapkan Ibu Peri membawakan makanan. Soalnya, sejak siang tadi ia tak diberi makan oleh Mama Linda sebagai hukuman, karena ia tetap cerita kalau Ibu Peri selalu datang.
Mama Linda benar-benar marah. Ia sudah menghukum Sisi tidak boleh ke sekolah kalau masih cerita soal Ibu Peri, namun Sisi tetap menceritakan. Ia juga telah dihukum di dalam kamar mandi selama dua jam siang kemarin, tetap saja ia cerita setiap didatangi Ibu Peri. "Hukuman apa lagi buatmu ha"!" Mama Linda mengancam. Lalu ia diancam tidak diberi makan seharian kalau masih cerita soal Ibu Peri.
"Mama Linda selalu enggak percaya sih" Sisi tidak bohong, Ma. Sumpah!" ia memelas agar Mama Linda mau memercayai ceritanya.
"Pokoknya Mama Linda tidak percaya. Titik. Kamu jangan ngarang soal Ibu Peri. Tak ada Ibu Peri itu, hanya dongeng!" tegas Mama Linda. "Awas kamu, kalau papamu pulang akan Mama Linda adukan. Kamu sudah melawan." Ancaman itu tak membuatnya gamang.
Saat mendengar Mama Linda menyebut papa, tiba-tiba ia amat merindukan lelaki berusia 46-an tahun itu yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Hanya dua atau tiga bulan sekali pulang dan itu pun hanya sehari. Setelah itu kembali suntuk dengan pekerjaannya di pabrik gula.
"Ibu peri juga tanya papa. Ia ingin melihat papa. Tapi, setiap papa pulang malah Ibu Peri tak pernah datang," ujar Sisi lagi.
"Karena Ibu Peri itu bohong. Sudah berkali-kali Mama Linda katakan, kalau benar Ibu Peri ada kenapa tak datang pada saat papa ada. Kenapa Mama Linda tidak pernah melihatnya?"
Karena Sisi terus-terusan mendesak agar Mama Linda memercayai ceritanya, akhirnya ia dihukum tidak diberi makan hari itu. Ia sekolah tanpa sarapan pagi. Begitu pulang tiada makanan tersaji di meja. Bik Iyah diancam pecat kalau ketahuan mengasih makan Sisi. Perutnya mulai keroncongan. Perih. Ia tak berani mencuri makan, sebab Mama Linda selalu siaga di ruang tengah. Wajahnya pucat.
"Ibu Peri jahat! Tak bawa makanan buatku. Kenapa tak bawa, Ibu Peri" Aku lapar sekali..." Sisi mengiba. "Kenapa wajah Ibu Peri tak ceria, kenapa?"
Ia mulai percaya omongan Mama Linda, kalau Ibu Peri memang jahat. Hanya tampak luar saja yang manis, lembut, dan cantik. Kini ia membuktikan wajah Ibu Peri bengis; jahat. Sisi hendak menghindar ketika Ibu Peri ingin mendekati dan hendak membelainya. Ia juga tak mau diajak mengobrol kala Ibu Peri mau menggerakkan bibirnya. Ia kian mengingsut ke tepi ranjang. Menepis tubuh Ibu Peri begitu ingin rebah di sisinya.
Sisi meracau. Ia terus-terusan menghardik dan mencaci Ibu Peri. Besok pagi di sekolah, ia berjanji tak akan bercerita tentang pertemuannya dengan Ibu Peri. Tak akan dia katakan bahwa Ibu Peri baik hati. Teman-temannya yang mulai terpengaruh karena ceritanya dan membuat ulah yang sama di rumahnya masing-masing, esok akan ia ceritakan kejahatan Ibu Peri.
Kini tubuh Sisi amat panas. Terdengar meracaunya. Ia mengusir Ibu Peri. Suaranya sampai ke kamar sebelah, kamar tidur Mama Linda. Segera Mama Linda menemui Sisi. Dari ambang pintu Mama Linda menyaksikan Sisi menggerak-gerakkan tangannya, seakan mengusir dan menolak. Tapi, Mama Linda tak melihat sesuatu pun di sana.
"Jangan-jangan ia bermimpi lagi didatangi Ibu Peri," batinnya. Pelan-pelan Mama Linda mendekati Sisi. Memegangi tubuhnya. Anak itu terasa panas. Pucat. Ia segera teringat kalau seharian Sisi belum makan.
"Sisi, bangun. Bangun, nak!" kata Mama Linda. "Bik Iyah, sini cepat ambil sekalian makan di meja!" imbuhnya memanggil pembantu Bik Iyah.
1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bik Iyah datang dengan sepiring nasi, ayam goreng, dan sop semangkuk. "Kasihan Sisi, dia lapar..."
Mama Linda cuma mengangguk.
"Seharian tak makan. Untung tidak pingsan," lanjut Bik Iyah.
Mama Linda kembali mengangguk. Pelan. Ia menyesal telah menghukum Sisi seperti itu. Anak itu pasti tak tahan kelaparan. Tapi, apa boleh buat, hukuman sudah dijatuhkan. "Sudah bik jangan bicara terus. Saya menyesal. Tak akan lagi menghukum Sisi. Saya amat sayang padanya," ucap Mama Linda pada bik Iyah. "Habisnya Sisi macam-macam ceritanya. Sudah saya bilang jangan cerita soal Ibu Peri, tak ada itu. Hanya dalam cerita, tapi Sisi selalu ngomong kalau ia baru didatangi Ibu Peri. Kan jadinya saya kesal..."
Kini Bik Iyah giliran mengangguk. Segera ia menyerahkan makanan ke Mama Linda. Setelah itu menyodorkan air putih ke mulut Sisi.
Sisi memang mesti dihukum agar ia melupakan Ibu Peri yang katanya selalu mendatanginya. Kalau tidak, kasih sayang yang selama ini ia curahkan pada Sisi akan tersaingi oleh kehadiran Ibu Peri di dalam benak anak itu. Tidak. Mama Linda membatin. Biar pun Sisi bukan anak kandungnya, tapi sangat menyayanginya. Meski pun perkawinannya telah memasuki 4 tahun dengan papa Sisi dan ia belum juga dikaruniai anak, namun ketika ia memutuskan menikah dengan Hendrik-papa Sisi yang waktu itu duda-ia siap menerima Sisi sebagai anak sendiri. Ia juga siap dengan resiko apa pun tentang Sisi. Tidak terbersit sedikit pun niat dia untuk melukai hati maupun tubuh Sisi. Sampai menjelang tidur pun ia tak abai mendongeng. Apa saja. Dongeng kancil yang cerdik, raja hutan yang senantiasa dibohongi kancil, hewan berbelalai panjang yang bodoh, atau kisah lembu yang sombong akhirnya perutnya pecah. Juga dongeng Ibu Peri yang jahat.
"Tak benar, kalau ibu tiri selalu jahat. Anak tiri malah ada yang jahat sama ibunya. Anak yang baik tak boleh berbuat dosa pada ibunya, meski ia ibu tiri..." nasihat Mama Linda suatu kesempatan untuk menutup dongengnya.
Dongeng-dongeng yang diberikan Mama Linda itu, boleh jadi, yang terus membekas di benak Sisi. Lalu menjelma jadi keinginan, impian, dan kehendak bahwa Ibu Peri telah dan selalu datang. Setiap dia tidur. Suatu jelmaan Mama Linda" Entahlah.
"Mulai sekarang kamu harus melupakan Ibu Peri. Kau pasti bisa, asalkan punya kemauan" pesan Mama Linda.
"Tapi, Mama Linda" suara itu tercekat. Ia tak mampu melanjutkan ucapannya, karena bila ia teruskan bukan tak mungkin Mama Linda akan marah lagi. Memberi hukuman lebih berat lagi. Dihukum seharian tak diberi makan saja, ia sudah tak mampu. Dan hukuman itu sangat berat, karena ia belum pernah dihukum Mama Linda seberat itu. Dimarahi pun tidak.
Sebenarnya Sisi ingin mengatakan terus terang, kalau beberapa menit lalu ia kembali didatangi Ibu Peri. Tetapi, tidak seperti hari-hari sebelumnya, kehadiran Ibu Peri kali ini tak bersahabat. Wajahnya tampak bengis, rambutnya acak-acakan, pandangannya menyeramkan. Ibu peri juga tak lagi membawa oleh-oleh. Ia pun kecewa. Itulah yang membuatnya meracau, memaki, dan mengusir Ibu Peri. Suara caciannya sampai terdengar ke kamar tidur Mama Linda. Sayangnya, Ibu Peri yang datang kali ini, mirip Mama Linda. Itu sebabnya, Sisi tak mampu membencinya. Mama Linda, meski ibu tiri, amat sayang padanya.
"Kalau Ibu Peri datang lagi dengan wajah cantik. Dan, bawa oleh-oleh, Mama...?"
Entah apa yang ada di benak Mama Linda. Ia menepis jawaban yang hampir meluncur dari bibirnya. Bagaimana pun ia tetaplah ibu tiri bagi Sisi. Sulit menghapus kesan jahat dari dalam hati gadis bocah itu...***
Pembunuh Post : 03/25/2004 Disimak: 239 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Padang Ekspres, Edisi 03/21/2004
AKU baru saja membunuh. Seorang lelaki kekar penuh tato di kedua tangannya hingga pergelangan, kini tak tak bernapas lagi. Ini pertama kali dalam hidupku jadi pembunuh. Kini mayatnya tengah kubawa. Aku belum berpikir apakah jasad lelaki yang kubopong ini akan kuserahkan sekaligus aku menyerahkan diri di Kepolisian. Atau kuserahkan ke petugas UGD rumah sakit di kota ini, dengan alasan korban kutemukan di ilalang dalam genangan lumpur.
Aku melangkah payah menyibak ilalang. Berat mengangkat kakiku dari kubangan lumpur. Ditambah beban tubuh lelaki yang telah menjadi mayat yang kubopong. Langkahku lambat. Keringat mengucur deras di seluruh tubuhku. Dadaku berdegup. Masih kugenggam belati yang penuh darahku dan darah dari korban ini.
Matahari baru menyembul dari balik rimbunan pohon pisang di sebelah Timur. Sebentar lagi orang akan banyak meliwati tempat ini. Aku tak ingin ditanya ini dan itu perihal mayat yang kini ada dalam gendonganku. Orang hanya bisa bertanya, tak pernah memberikan solusi. Malah karena pertanyaan mereka bisa-bisa aku menjadi emosi, lalu membunuh lagi: satu atau dua orang. Hukuman buatku akan menjadi berat.
Pakaianku sudah bercampur darah dan lumpur. Wajahku berpupur tanah becek dan sedikit percikan darah. Sebilah pisau yang kini membeku dalam genggamanku seakan ingin berkata: "Lunas sudah apa yang ditakdirkan padaku, titah tugas kepadaku. Kini tinggal kalian yang menentukan makna sebilah pisau...."
Sekonyong-konyong aku membenci belati di tanganku ini. Kupandangi kilatan tajam di tubuh pisau itu. Pisau yang tanpa mata dan bibir ini telah sukses memengaruhiku, menggodaku untuk menusukkan matanya yang tajam ke perut orang! Mengapa kau diciptakan untuk melukai dan menghabisi nyawa orang" Tidakkah cukup tugasmu hanya untuk mengiris bawang, tomat, kentang, wortel, atau kue ulang tahun" Kini kau telah memerangkapku.
Karena kebencianku, baru saja pisau itu hendak kulempar ke kubangan lumpur. Kemudian kutenggelamkan hingga tak ada yang bisa melihatnya. Terbayang aku pada kelicikkan Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung untuk memperistri Ken Dedes yang cantik. Keris yang tak saja memakan tuannya tetapi juga merebut istri Tunggul Ametung itu, kini menjadi sejarah liciknya Ken Arok.
Mungkin ada kemiripan peristiwa Ken Arok Tunggul Ametung dengan peristiwaku kini. Pisau yang telah menyelesaikan hidup lelaki kekar ini adalah miliknya. Dalam perkelahian seru di pagi buta tadi, aku mampu merebut belati dari tangannya kemudian kuhunjamkan berkali-kali ke perut, dada kiri, leher, dan tepat di kelaminnya.
Setelah pisau itu membuat satu lubang di tanganku. Aku bagai banteng ketaton. Tak hanya menyeruduk dengan berbagai tinju ke tubuh lelaki itu, tapi menendang, ginkang, dan sekali sambar aku berhasil merebut pisau dari tangannya. Lalu bagai elang menyambar ikan di tengah laut, kuhunjamkan belati itu berkali-kali ke tubuhnya. Ia mengerang. Mundur beberapa langkah. Setelah itu rebah. Aku belum puas. Kutancapkan sekali lagi ke batang penisnya.
"Akulah Ken Arok...." aku seperti berteriak. Wajah lelaki licik dalam sejarah kerajaan di Tanah Jawa itu tiba-tiba membayang dekat dalam ingatanku. Aku tak mampu menghapus sejarah yang sudah begitu melekat di otakku sejak aku di bangku sekolah.
Inilah sejarah yang membuat banyak manusia melakukan pengkhianatan kepada raja. Sejarah perebutan tahta dan wanita, yang berakhir dengan kematian dan tercela. Sejarah turun-temurun sejak Kabil dan Habil, manusia pertama yang melakukan pertumpahan darah di muka bumi ini. Dan, sejarah akan terus berulang. Terus berulang....
Teringatlah aku pada Muso, Aidit, dan seterusnya. Para pemberontak, ah tepatnya pengkhianat pada negara itu, telah menghabisi para jenderal dan mayatnya dilempar ke sumur di Lubang Buaya. Lalu masih banyak lagi. Seperti Ken Arok yang menjelma dalam diri orang-orang, hambasahaya, karyawan, atau pun pejabat sendiri. Wahai Ken Arok, telah masuk ruhmu
ke dalam tubuhku di pagi buta ini Ia telah tertanam lama
sejak sejarah mengajarkan kelicikkan dan pengkhianan
TAPI aku bukan Ken Arok. Aku tak membunuh lelaki kekar ini, hanya karena menginginkan isterinya. Tetapi kami memang pernah melakukan perselingkuhan. Hanya sekali. Setahun lalu. Itu pun tak kusengaja. Istrinya yang mulai menggodaku, ketika kami berpapasan di sebuah mal yang baru dibangun di kota kami.
Lalu berkenalan. Saling memberi nomor kontak. Ternyata aku lupa menulis nomor untuk menghubunginya itu di bekas nota pembelian. Sesampai di motor, nota itu kulipat-lkipat dan kubuang bersamaan karcis parkir. Aku tak bisa menghubunginya. Otakku yang tak begitu baik, tak mungkin mudah mengingat nomor yang panjang itu. Perempuan itu menguap bersamaan pikiran-pikiran dan kesibukanku yang lain.
Pada hari keenam, perempuan itu menelepon ke hand phone-ku. Pertama-tama, tentu saja, menanyai kabarku dan memintaku kembali mengingatnya. Aku katakan kabar baikku dan masih ingat saat pertemuan kami di mal. Kemudian ia mengajakku jalan. Makan di sebuah kafe yang biasa dikunjungi para remaja. Kukatakan risih, seperti remaja begitu. Dia bilang ada tempat khusus bagi orang dewasa di kafe itu. ya, kupikir apa salahnya, cuma makan.
Ternya bukan hanya makan. Dia kemudian mengajakku jalan-jalan, sampai sore dan bahkan menjelang malam. Aku khawatir kemalaman, ia akan didamprat suaminya. Tetapi ia tenang menjawab: "Suamiku lagi di luar kota...." Aku serbasalah.
Itulah petaka bagiku. Suaminya tahu entah dari mana, lalu memburuku berharihari hingga berminggu dan berbulan-bulan. Sampailah lelaki kekar itu menemuiku di jalan dan menarikku naik ke mobilnya. Aku dibawa ke pematang ilalang berlumpur ini. Mengajak duel. Mulanya aku menolak. Ingin menyelesaikan masalah ini secara baikbaik dan kekeluargaan. Ia tetap mengajakku duel. Tangan kosong.
Kulayani tantangannya. Kami duel habis-habisan. Di pagi buta itu. Ia terdesak. Dadanya sesak setelah tendanganku mendarat di dadanya. Dia oleng. Segera ia mencabut belati dari balik bajunya. Mengacung-acungkan ke wajahku. Secepatnya aku mengelak. Tak ayal, tanganku terkena. Tertancap ujung pisau yang tajam itu. Aku mengerang. Mulailah banteng ketaton keluar dari kandang. Meradang. Menerjang. Menyambar pisau miliknya, dan sekali bergerak dua tiga hunjaman pisau mengenai tubuhnya. Kini giliran dia yang mengerang. Hingga ia rebah bersimbah darah. Mati di tempat. Baru sadar setelah melihat lelaki itu tak bernyawa lagi, bahwa aku telah menjadi pembunuh. Di pagi buta ini.
Aku diserbu kegusaran. Pikiranku kacau. Suaraku parau. Mataku mulai nanar menatap sekelilingku menjadi samar. Berselimut kabut. Bagai kapas luruh memenuhi pematang berlumpur ini. Segalanya serbaputih. Akan tetapi, hatiku kelam. Semula akan kubiarkan tubuh tak bernyawa lagi itu. Di lumpur itu. Langkahku mulai bergerak. Tibatiba rasa kemanusiaanku timbul. Kuangkat tubuhnya. Kuambil pisau yang tadi telah kutenggelamkan ke dalam lumpur. Ini sejarah, pikirku.
Begitulah, seperti yang telah kuceritakan sebelum ini. Aku membopong tubuh kaku itu. Entah mau ke mana. Belum terpikir. Kantor Polisi masih jauh. Juga rumah sakit terlalu jauh dari tempat ini. Belum ada orang yang mengetahui peristiwa ini. Aku melangkah dengan payah keluar dari kubangan ini, dari ilalang yang menghadang. Langkahku gontai. Pikiranku sangsai.
Cukup lama aku bertarung untuk sampai ke tepi jalan. Jatuh bangun aku supaya bisa keluar dari kubangan lumpur dan jeratan ilalang, untuk sampai ke tepi jalan. Kunaikkan tubuh yang sudah kaku itu ke atas mobil. Kubawa mengeliling kota. Tidak menuju pos kepolisian atau rumah sakit. Tidak pula menuju rumah istrinya. Tiada pula mampir ke rumahku. Sudah bermil-mil perjalananku. Bensin sudah beberapa kali kuisi kembali.
Kubawa tubuh tak bernyawa itu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulanbulan. Aku kehilangan ingatan bagaimana cara mengubur manusia. Habil dan Kabil lesap dari benakku. Dalam buku sejarah pun, tidak dikisahkan bagaimana Ken Arok mengubur Tunggul Ametung dan mengawini Kan Dedes. Sejarah hanya menulis pembunuhan itu dari keris bikinan Empu Sendok. Hanya itu. Guru tak banyak membumbui sejarah itu agar lebih sedap didengar. Para pendidik terlalu takut berakrobatik mengisahkan kembali sejarah dengan cara dan gayanya. Aku maklum. Para guru memang mengajarkan apa yang pernah diajarkan dan diterimanya. Tak berani memberi fantasi baru sejarah yang telah didapatnya.
Aku ingin mengarang kisah pembunuhan ini. Aku harus membuatnya semenarik dan sesedap mungkin. Sehingga kepolisian akan berdecak-decak kagum saat mendengar penuturanku. Pihak rumah sakit pun akan terbata-bata saat aku menuturkan kisah ini, sampai tak terasa dia sudah selesai mengaotopsi mayat lelaki kekar ini.
Aku harus mulai dari mana" Aku mulai mereka-reka bangunan cerita. Membuat anatomi kisah. Apakah dimulai dari pembunuhan, kemudian plashback ke pertemuan awalku dengan perempuan yang kuketahui kemudian adalah istri dari lelaki ini. Atau kumulai dari kehidupan rumah tangga mereka, lalu ke pertemuan dan perselingkuhan kami di sebuah kafe" Ah, aku jadi bingung.
Pengalaman mengarangku di sekolah amat buruk. Nilai pelajaran bahasa Indonesiaku tidak bisa membanggakanku. Aku juga tak terbiasa membaca karya-karya prosa. Bahkan aku tak menyukai karya sastra. Kupikir para sastrawan hanya merangkai kebohongan-kebohongan. Dusta yang diklaim menjadi kebenaran. Bagaimana mungkin airmata bisa jadi menenggelamkan banyak orang" Bagaimana bisa soal kalung yang ditelan pencopet lalu disuruh mengeluarkan dengan memaksa harus berak. Lalu kalung itu keluar dan dengan penuh tahi ditelan kebali. Bukankah itu memamerkan hal-hal yang menjijikkan. Apa mungkin manusia bisa ditanam di tengah hujan, atau lembu ada di dasar laut" Terlalu mengada-ada. Tak bisa diterima oleh pikiranku yang hanya berpikir konvensional ini"
Akhirnya aku gagal membuat karangan, semenarik dan sesedap yang kubayangkan. Berlembar-lembar kertas bahkan sudah tiga rim habis kubuang di sembarang, namun tak juga ada kalimat di sana. Kecuali barisan huruf yang baru menjadi satu kalimat. Selebihnya putih atau coret-coretan.
Kujalani mobil. Entah ke mana. Kutembus malam buta penuh kabut, di lereng puncak yang berliku-liku. Kuikuti arah kehendak perasaan. Lebih dari 100 kelokan sudah kulalui. Seperti tiada batas akhir. Terus mendaki dan mendaki, tapi tak juga kulihat tanda-tanda akhir perjalananku.
Kutengok tubuh tak bernyawa yang sudah sangat kaku, yang kuletakkan di kursi belakang. Seperti orang tertidur karena lelah. Aku berpikir. Lelaki itu sudah jadi pecundang. Wajahnya yang seram, tubuh kekar, penuh tato yang membuat orang ketakutan, kini tak lagi bisa berbuat apa-apa. Akan kubuang di mana pun ia tak bisa lagi menolak. Akan kulempar ke jurang, dia akan pasrah mengikutinya. Kucincang tubuhnya menjadi potongan 13 atau 100, tak juga akan meradang. Dia telah diam. Diam untuk selamanya.
Aku memacu mobil milik lelaki kekar ini. Menyusuri lereng berliku entah berapa kelokan. Sudah sulit kuhitung dengan jari-jariku yang cuma ada 10. Aku hanya bisa menghapal sampai 100 kelokan, setelah itu lupa. Kupegang erat setir agar tak tergelincir masuk jurang yang kedalamannya sangat curam. Kupacu gas mobil ini sekencang mungkin. Aku ingin sampai di batas puncak dari jalan ini. Kuyakini setiap langkah ada ujung, setiap jalan ada batas akhir.
Cuma sampai sejauh ini aku belum menemui rambu-rambu. Mobilku seperti terbang di ketinggian paling tinggi. Melebih puncak Ciloto di Jabar atau kelok 50 menuju Bukittinggi. Ah, aku jadi bimbang. Hatiku gamang. Jangan-jangan aku tak pernah menemui akhir perjalananku ini. Tak memeroleh puncak dari segala puncak yang kulalui ini. Dan, aku terus mendaki. Dengan mobil yang kini mulai menunjukkan bensin yang nyaris habis. Aku menepi untuk mengisi bensin terakhir dari derijen satusatunya yang kubawa. Sehabis ini, dan perjalanan belum sampai, tamatlah pengembaraanku bersama mayat lelaki kekar itu.
Aku kembali memacu mobil biar secepatnya sampai di batas puncak, akhir dari perjalananku berwaktu-waktu. Setelah itu, mungkin akan kulempar mayat lelaki ini ke bawah, ke dalam jurang yang sangat curam itu. Kubayangkan tubuh tak bernyawa itu akan melayang. Seperti gantole atau olahragawan yang terjun ke jurang dengan kedua kakinya terikat. Ia akan melayang-layang hingga kemudian menyentuh air. Ia akan terbang bagai kupu-kupu untuk kemudian singgah dan menyentuh tanah.
Tetapi kapan waktu itu bisa kumulai" Aku masih terus mendaki. Berliku dan entah sudah berapa kelokan lagi telah kutempuh sesudah kuisi bensin tadi. Tak ada kenderaan lain. Tiada kampung di pinggir jalan. Tiada orang yang akan meladang atau pulang. Tiada kutemui satu manusia pun. Juga hewan baik yang melata maupun yang buas. Aku mulai mengantuk. Kubunuh dengan bersiul. Menyenandungkan syair sembarang. Tak juga melenyapkan rasa kantukku. Aku mulai menguap. Berkali-kali. Mataku sudah sulit kubuka. Selalu ingin mengatup setiap kali kulebarkan kelopaknya. Aku bimbang.
Hatiku gamang. Kesadaranku terbang. Kemudiku oleng. Ke kiri. Ke kanan. Pandanganku gelap. Kabut tebal di depanku makin menutup penglihatanku. Aku ingin makan. Tiba-tiba perutku terasa amat lapar. Mana nasi, ikan, atau sekadar daun-daunan untuk mengganjal perut. Tak ada. Aku lupa membawa makanan. Lupa membeli di kota tadi.
Jalan kian menyempit, makin banyak kelokannya. Sudah berapa kaki aku berada di atas ketinggian ini. Aku tak tahu. Aku benar-benar tidak tahu. Tak bisa menghitung, sebab tiada alat penanda di mobil yang kubawa karena tanpa persiapan apa-apa. Kecuali ketakutan. Ketakutan seorang pembunuh.
Keberanianku tiba-tiba juga lenyap. Awalnya kuingin menguburkan mayat ini di lereng bukit tadi, tapi batal karena khawatir dilihat atau dicium orang. Lalu polisi menyidik dan akhirnya tahu kalau pembunuhnya adalah aku. Maka kudaki puncak ini. Siapa tahu di atas ada tempat lebih baik untuk memakamkan mayat ini. Sialnya, aku tak menemu rambu-rambu berapa mil lagi aku akan sampai" Jangan-jangan tiada batas. Mungkinkah, sesungguhnya aku telah sampai di awan" Di langit ke tujuh"
Aku tak bisa memastikan. Hujan deras membuat pandanganku kian terbatas. Kemudi makin oleng. Aku tak mampu lagi mengendalikannya. Mobil menabrak pembatas jalan dari pohon ranggas yang tumbuh di bagian kiri.
Aku tersenyum. Aku seperti menaiki pesawat terbang yang baru hendak mengangkasa. Kulihat semesta di bawah sana bagai terowongan besar yang siap menelan tubuhku. Aku telah sampai membawa mayat ini ke hadapanmu. Juga menyerahkan segala kekhilafanku. ***
Lampung, 2003 Perangkap Post : 03/10/2004 Disimak: 191 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Suara Karya, Edisi 03/05/2004
Ia menyebut percintaannya dengan berpuluh lelaki bagai memasukkan mereka ke dalam perangkap. Dari lelaki pertama hingga yang keduapuluh kemarin, seperti dia membangun perangkap demi perangkap.
"Para lelaki memang begitu maunya. Paling suka terlelap dan lupa di dalam perangkap, istana yang sesungguhnya membuat mereka mati dengan sendirinya." Ia memberi alasan kenapa ia membangun percintaan, tepatnya perangkap, dengan para lelaki. Selama ini. Beberapa tahun terakhir ini.
Ia tak begitu cantik, tapi manis. Beraora. Matanya yang bagai mata elang, tajam dan bercahaya, membuat para lelaki langsung tergila-gila setelah tatapan pertama. Bahkan Dadan yang kutahu pejabat di sebuah departemen di pusat dan tampan, mengaku tergila-gila pada perempuan berusia 21 tahun ini. Aku seperti terhipnotis. Sakit. Gila. Ia bangun perangkap untukku. Aku sulit keluar. Dadan berterus terang. Aku tersenyum-senyum.
Aku berpikir, bukan benar perempuan ini membuat perangkap. Tapi, para lelaki yang suka masuk atau coba-coba memasuki perangkap perempuan. Tak ada perempuan di dunia ini yang mampu memerangkap lelaki, kecuali lelaki yang menghendaki. Sebaliknya, perempuanlah yang acap masuk ke dalam perangkap lelaki.
"Tapi, kalau kau tak percaya boleh coba-coba menggodaku. Kau akan masuk dalam godaanku. Kau akan kuperangkap." Perempuan itu berujar, sedikit mengancam. Jangan-jangan ia menakut-nakuti"
Perempuan ini seorang seniman. Ia penulis cerita pendek yang andal. Beberapa karya sastranya dipublikasi di sejumlah media massa: koran, tabloid, jurnal, ataupun diterbitkan dalam sejumlah buku antologi. Karya-karya sastranya selalu diselesaikan dengan kematian atau percintaan habis-habisan. Atau keduanya, bahkan, bersama-sama dimunculkan dalam satu karyanya.
Aku pernah membaca karya cerita pendeknya. Di sebuah tabloid wanita. Di bawah tulisan ada persembahan kepada seseorang. Aku meyakinkan penujuan itu pastilah nama lelaki yang telah bercinta dengannya. Sialan. Tak sungkan ia mengangguk. Aku tak pernah absen menulis persembahan pada setiap karya. Karena merekalah karya-karyaku lahir. Dia menambahkan.
"Karya-karyaku lahir selalu sehabis bercinta. Sumber inspirasiku para lelaki itu. Mereka memang kerap ingin menjadi objek." Dia tertawa. Sebatang rokok putih kembali ia hidupkan.
Aku terheran-heran. Tapi ia segera mengingatkanku jangan menatapnya dengan keheranan seperti itu. Ia menegaskan, jika aku berada pada posisi sepertinya, tentu tak ada yang harus dirisaukan. Setiap profesi jelas ada pengorbanan dan risiko. Betapa sekecil apa pun.
Sayang aku bukan seniman. Dia mendesis untukku. Lalu apakah karena dia seniman, ia membebaskan segala pandangan, norma, dan segalanya" Aku tak percaya itu. Kalau pun dia ingin bercinta dan selalu berahi, bukan karena dorongan naluri seniman.
"Kau benar. Kuakui itu. Tapi apakah aku salah kalau percintaanku selama ini untuk mendorong kehendak inspirasiku?" Matanya nyalang. Pandangannya terang.
"Kau akan menyesal nanti." Aku menekankan kata-kata itu. "Misalnya, bagaimana karena permainan bercintamu itu, kau hamil?"
"Makanya harus ada aturan. Kesepakatan harus disudahi sebelum orgasme!" Ia lalu tertawa. Kali ini sangat lepas dan lama. Gila. Aku berpikir. Perempuan yang ada di depanku ini benar-benar sakit.
"Kau sakit!" kataku keras. Gigi-gigiku gemeretak. Ingin kujambak rambut perempuan di hadapanku ini. Ia telah menempatkan perempuan sebagai pemuas nafsu., sebagai perangkap bagi para lelaki. Sebagai perempuan aku tersinggung. Sungguh tersinggung.
Ia kembali terbahak. Ia mengajakku bercinta. Lesbian, entakku. Ia tertawa lagi. Biseks. Berbisik di telingaku. Hemm embusan napasnya membuat rambut halusku di sekitar leherku berdiri. Geremang.
Sialan! Perempuan ini keterlaluan. Sudah keliwat batas. Usianya saja baru 21 tahun, tapi permainan bercintanya sangat pengalaman. Aku yang berada enam tahun usia di atasnya, dibuat tak berkutik. Aku mengakui kedahsyatan bercintanya.
Pernah kudengar ia mampu memerangkap sang gurunya di kelas sastra. Lelaki yang sudah beristri, duapuluh tahunan usianya di atas dia, bisa tak berkutik. Sang guru bisa dia perintah dengan cukup melalui kontrol remote. Awalnya sang guru tak mampu menolak setiap ia mengajak bercinta. Lama-kelamaan perempuan ini ketagihan. Ia jatuh cinta, padahal perasaan itu selalu ia tepis dari dalam hatinya. Ia bilang, tiada cinta lagi dalam diriku kecuali ingin senggama. Habis-habisan bercinta.
"Tapi kau pernah jatuh cinta berat kan dengan sang gurumu?"
"Bahkan aku sempat sakit!" Dia menegaskan. "Aku pernah mendesak sang guru untuk menikahiku, tapi ia tak mau. Dia tak berdaya. Punya anak dan istri. Punya jabatan yang bagus di departemennya. Takut akan berdampak pada karier dan keluarganya. Ia, ternyata pengecut!" Gigi-giginya gemeretak. Perempuan di depanku ini menitikkan air matanya.
Aku kasihan padanya. Prihatin. Ia sakit. Punya kesepian akut. Ia senantiasa rindu pelukan lelaki. Maka itu ia menggerayangi jalan demi jalan, kampus demi kampus, tempat pertemuan dan seminar di berbagai kota. Untuk menemukan permainan baru, percintaan yang lain. Ia hendak membikin kelamin lain.
III Entah mengapa aku begitu kesepian. Hanya kesepianku yang mampu membunuh ketegaranku. Bukan badai. Tak kutukan. Aku mampu menggandeng satu lelaki. Aku bisa setia. Hanya aku tak ingin itu. Pernah aku mencintai seseorang lelaki. Kala itu aku baru menginjak kelas dua SMU. Lelaki itu sudah sangat akrab dengan orang tuaku, dan keluargaku sangat menyetujui. Sayangnya ia pergi tak berkabar. Kecewa.
Akhirnya kuputuskan untuk pergi dari kota kelahiranku, setelah aku menamatkan SLTA. Aku tak pernah mendapatkan apa-apa di situ. Kesepianku makin menjadi-jadi. Orang tuaku terlalu sibuk urusan sendiri. Aku diberi apa saja. Yang penting tidak mengusiknya, tidak mengganggunya. Aku kehilangan kasih sayang. Pelukan seorang lelaki. Papa terlalu jauh. Tangan dan belaiannya tak pernah mencapai tubuhku.
Sebagai perempuan kedua di keluarga, aku malah menjadi pelindung kakak perempuanku. Ia penyakitan. Harus diperhatikan. Dilindungi. Itu sebabnya, terkadang aku berperan sebagai kakak bagi dia. Sungguh menyiksa. Siapa yang akan menjadi pelindungku. Kesepianku membutuhkan pelabuhan. Tak papa. Tiada mama. Kedua kakak lelaki asyik dengan keperluannya di lain kota.
Alangkah berat beban psikologiku. Aku kerap melamun. Hasilnya kutuangkan ke dalam berpuluh-puluh lembar kertas polio. Berjam-jam aku menatapi layar komputerku. Berjam pula kuhabisi halaman layarnya dengan kata-kataku. Kisah-kisah bercintaku. Mautku. Persetubuhanku. Cahaya maha cahaya kesepian dan kesedihanku. Tapi kau tak pernah mau tahu diriku. Kau hanya bisa mencibirku. Menertawaiku. Melakukan jarak dariku.
Di kamar sewaanku ini, entah sudah berapa tumpukan kertas kucabik. Di ruang tidurku ini, aku tak bisa membunuh kesepianku dengan rokok. Bersih dari asap rokok. Kalau aku hendak merokok aku harus keluar. Mencari tempat aman. Di pantai. Di tempat-tempat seminar. Di kamar hotel. Dalam pelukan para lelakiku. Lelakiku yang tak pernah sampai mengendap dan berkesan di hatiku. Mereka kuanggap seperti burung. Hinggap sekejap dan kulupakan kemudian bila ia terbang. Kubangun sangkar baru. Kuciptakan perangkap lain. Seterusnya.
Sialan. Aku tak pernah puas. Selalu saja aku gagal membunuh kesepianku. Mungkin sudah dua puluh lelakiku terperangkap. Tapi tak satupun membekas. Tak meninggalkan jejak tanda di tubuhku. Kecewa. Aku sudah habis-habisan bercinta. Habis-habisan menyiapkan diriku di hadapan para lelakiku. Nama-nama para lelakiku selalu kuabadikan di dalam karya-karyaku. Kububuhi di setiap penghabisan kisah. Sekadar mengenangnya. Untuk persembahan bagi lelakiku.
Tak boleh di antara para lelakiku cemburu. Tak setuju. Ah, soal ini pernah terjadi dalam sejarah karya cerita pendekku. Seorang lelakiku menolak nama lelaki lain dibubuhi dalam karyaku. Ia cemburu. Dihapus nama lelaki itu. Aku tak setuju. Marah. Kukatakan padanya, tak satu pun lelaki yang pernah terperangkapku menolak nama lelaki lain dalam karyaku.
"Kalau namamu belum kuabadikan, bukan karena kau tak berkesan bagiku dan bercintaku. Karena belum ada suasana. Inspirasi untuk menuliskannya." Dia diam setelah kujelaskan itu.
Aku tak pernah ambil pusing penilaian para kritikus soal karya-karyaku. Seorang kritikus ternama malah mengaitkan karya cerpenku dengan kenyataan. Dalam kritiknya, kritikus itu mengatakan, kalau karya-karyaku lahir dari perselingkuhan fisik dan psikis dengan sang guruku, lelakiku.
Aku cuma tersenyum. Kritikus murahan. Tak bisa membedakan antara fiksi dan realitas. Kalau benar aku berselingkuh-tepatnya bercinta-dengan sang guruku, apa peduli kritikus itu menarik karya fiksiku ke dalam realitas" "Aku jadi tak percaya dengan kritikus. Sering menempatkan diri sebagai dokter, sementara karya dan pengarangnya adalah pasien. Si pesakit," aku membela dalam sebuah wawancara.
Dendamku. Suatu saat aku akan memerangkap kritikus itu ke dalam inspirasiku. Akan kububuhi namanya di bawah tulisanku. Aku ingin tahu reaksinya. Bagaimana ia memandang karya sastraku. Adakah kritikus itu tetap melihat karyaku sebagaai bagian dari dunia nyataku, percintaanku dengan dia"
Pada sebuah seminar sastra, aku bisa memerangkap kritikus. Ia masuk dalam inspirasi bercintaku. Sepekan kemudian karyaku dimuat sebuah tabloid wanita. Kritikusku meneleponku. Emosi. Memaki-makiku sebagai perempuan sundal, penggoda, sampai mengucapkan pelacur.
Kalau aku pelacur, para lekakiku sudah kukuras isi dompetnya. Tapi tak pernah aku meminta imbalan dari mereka. Cukup mereka bilang menanti di kota anu atau di hotel anu ada seminar, aku akan datang dengan biaya dari sakuku.
Kritikusku tak pernah membicarakan karyaku itu. Ia malah mendudukkan karyaku hasil dari inspirasi dengannya sebagai karya bermutu rendah. "Tak bernilai sastra," tulis dia.
Para pembaca pun menyetujui. Kecewa. Sebab, sejak itu karya-karya sastraku yang kukirim ke tabloid wanita itu ditolak redaksi. Bermacam alasan, yang intinya penolakan. Sebuah tulisanku direkomendasi sang redaktur: "Maaf kami kesulitan ruang untuk karya Saudari berjudul 'Malam Kelambu' maka kami kembalikan karya Anda." Atau begini: "Karya Saudari berjudul 'Ranjang Pengantin yang Membeku' tak bisa kami muat, karena halaman yang terbatas."
Tapi aku tak kehabisan akal. Kukumpulkan karya-karyaku yang ditolak dan yang dikatakan tak bermutu itu. Aku mencari penerbit. Kutawarkan. Lebih dari empat penerbit menolak. Aku tak habis daya. Kuhubungi teman lelakiku yang dekat dengan pimpinan lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan. Kutawarkan karyaku.
Untung pun kuraih. Bukuku diterbitkan 10 ribu eksemplar. Peluncuran dilaksanakana di hotel mewah. Di kota J. Pusatnya negara ini.
Ruang acara padat. Kritikusku diundang sebagai pembicara. Pembanding dari aktivis perempuan. Perdebatan tak terhindari. Seru. Situasi itu menguntungkan aku. Bukuku berjudul Perangkap Lelaki-Lelakiku terjual lebih dari separuh. Sisa bukuku itu kutitipkan di sejumlah toko buku. Tak terbayangkan, kiranya buku pertamaku itu meledak. Beberapa penerbit buku yang tadinya menolak, mengirimkan surat permintaan agar bukuku dicetak ulang oleh penerbitnya. Sebuah penerbit berjanji akan menerbitkan dalam dua bahasa.
"Maaf, saya tak berminat menerbitkan buku saya oleh penerbit yang telah punya kredibel seperti penerbit Anda" Surat itu kukirim ke sejumlah penerbit yang menawarkan padaku.
Bukuku dicetak ulang oleh LSM yang sama. Dicetak sepuluh ribu eksemplar lagi. Royalti dinaikkan menjadi 30 persen. Aku mengeruk keuntungan. Kritikusku makin menjadi-jadi berangnya. Ia buat jumpa pers. Ia galang para pembaca sastra, seniman, dan akademisi. Ia sebut karya-karyaku sebagai penghancuran bagi dunia sastra.
Penghancuran" Aku tak paham dengan jalan pikiran kritikusku. Sang guru juga lelakiku, entah ke mana. Ia, kuduga, pasti takut dengan meledaknya bukuku. Nama dia juga terbubuhi dalam buku itu. Aku dihujani berbagai pertanyaan. Para pembacaku terbelah dua: setuju dan satunya lagi mengutuk.
Aku tetap jalan. Tetap berkarya. Mereka, para pembaca sastraku sudah termakan opini kritikusku. Padahal, banyak ujaran dan pelajaran yang disarankan oleh karyakaryaku. "Cobalah teliti sebelum memaki," kataku mengingatkan. Di sebuah seminar yang digelar sebuah LSM Advokasi Perempuan Anti-Kekerasan.
Kupikir karya-karyaku berimbang. Tak hanya aku membela kaum perempuan. Aku juga mengkritiknya. Aku juga tetap membela kaum lelaki. Meski ada pula mengkritiknya. Sebagai penulis aku masih menjaga kenetralan. Sebab, karya-karyaku bukan tulisan pidato, khotbah agama, slogan, mau pun jargon-jargon.
"Yang salah darimu dan itu tak pernah kausadari, selalu menulis persembahan di setiap tulisanmu. Itu yang membuat karyamu menjadi sempit, sangat spesifik. Sehingga makna menjadi sempit, kehilangan keuniversalan dan misteri," kata sang guruku. Ia meneleponku semalam. Menjelang subuh, sambil beronani
Aku membela diri. Tepatnya mengajukan alasan. "Kuingin nama-nama lelakiku abadi. Kukenang. Setidaknya supaya bisa membunuh kesepianku. Karena kesepianku itu yang merusak ketegaranku untuk hidup!"
Lalu kudengar desahan sang guru. "Ahhhh..."
Ini lelaki kedua puluh. Perempuan di hadapanku berujar. Aku menggeleng sambil berdecak. Apakah aku kagum ataukah melecehkannya. Perempuan itu tak merespon. Terus saja meracau. Desah napasnya kembali mengelus telingaku. Ia ingin bercinta denganku.
Gila. Aku berteriak. Ia tersenyum. Berbisik. Mendesah. "Sekali saja."
"Tak sudi. Disentuhmu pun aku tak hendak."
"Aku ingin permainan baru. Please. Biar karyaku makin mengalir." "Kau pikir kehidupan gilamu itu." Kerongkonganku tercekat. Tangan perempuan di hadapanku sudah merangkulku. Menggumuliku. Menciumi leher dan belakang telingaku. Aku meronta. Kutendang tubuhnya. Perutnya. Payudaranya. Terjerembab dia.
Kutinggalkan dia, si pengarang itu, di kamar sewaanku. Kututup pintu kamar sewaanku. Aku tak tahu apakah perempuan pengarang itu tak bisa lagi bangun dan menulis tentang peristiwa barusan" Tak mau tahu. Aku pindah dari tempat itu.
Mungkin Anda tahu di mana dia sekarang. Apakah masih menulis. Bercinta dengan para lelakinya" Ataukah mati kehabisan daya. Suatu waktu aku mohon dikabari tentang perempuan pengarang aneh itu. Sakit. Gila.
Abang Yun Post : 01/27/2004 Disimak: 418 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Kompas, Edisi 01/25/2004
KEHADIRAN Abang Yun setelah puluhan tahun tidak pulang begitu cepat tersiar. Bahkan sampai kampung tetangga berita kedatangan Abang Yun menjadi perbincangan. Seakan bisa mengalahkan berita kunjungan pejabat dari kota saja. Kabar yang begitu cepat menyebar itu boleh jadi karena Abang Yun sudah dianggap meninggal hanya tak ada kuburannya.
SANGKAAN itu wajar saja. Di kampung kami sangat meyakini bahwa orang yang pergi meninggalkan aib dianggap mati. Orang itu tak akan berani pulang, ia akan lenyap selama-lamanya. Jika ia berjumpa dengan orang kampung di perantauan, kalau tidak dia yang mengingatkan maka sebaliknya yang menemuinya tidak akan bercerita tentang perjumpaannya. Jangan coba-coba melanggar keyakinan ini, kalau tak hendak terkena cemooh orang sekampung.
Sudah sering terjadi yang meninggalkan kampung karena membawa aib tidak kembali-kembali lagi. Padahal di antara mereka justru sukses di perantauan, seperti pengusaha atau pejabat. Kalaupun menjadi penjahat, ah ini hanya pengecualian yang justru paling banyak, maka bukan sembarang penjahat melainkan sebagai pemimpinnya. Kebanyakan penjahat di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, atau di Filipina.
Ketika Abang Yun pulang ke kampung saat Idul Fitri kemarin, sekali lagi, wajar kalau berita itu cepat menyebar. Cuma tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan bahwa kepulangan orang yang meninggalkan kampung karena aib pasti dibunuh di tangan warga lalu jenazahnya saat itu juga dimakamkan. Ini tidak terjadi. Sungguh suatu keajaiban bagi Abang Yun. Sebagai adik satu-satunya, tentunya aku sangat gembira. Kini rumahku dipenuhi tetangga, membuat ibu sangat sibuk menyiapkan makanan dan minuman.
Abang Yun datang bersama perempuan cantik, yang kuketahui kemudian adalah istrinya. Juga seorang anak perempuan berusia 10 tahun, pun tak kalah cantiknya dengan ibunya. Sementara mobil merek Escudo yang dibawa sendiri oleh Abang Yun kini diparkir di halaman rumah kami. Kucuri pandang dari jendela rumah panggung kami, anak-anak kampung mengerubungi mobil berwarna putih metalik itu. Ada yang naik di depan, di dekat pintu, ada yang sekadar mengelus-elus dinding mobil.
Abang Yun juga tidak menampakkan wajah ketakutan tatkala menerima kunjungan tetangga yang bertanya ini dan itu. Lazimnya pemudik lainnya, ia banyak bercerita tentang suksesnya di perantauan sejak ia meninggalkan kampung 15 tahun lalu. Istrinya yang sangat cantik tak beranjak dari sisinya, setia menemani Abang Yun. Mbak Mita, istri Abang Yun, ramah pada keluarga kami. Ia juga ikut terlibat mengobrol dengan para tetangga. Kulihat banyak dari kami di kampung ini, terutama para perempuan, merasa iri dengan kecantikan Mbak Mita.
Masa muda Abang Yun penuh oleh noda hitam. Berulang kali ia masuk penjara karena merampok dan mabuk. Terakhir, sampai ia harus lari dari kampung kami membawa aib, Abang Yun diburu-buru pihak keamanan karena bandar narkoba. Kesalahan yang membuat aib besar Abang Yun di mata orang kampung, beberapa jam sebelum minggat ia membawa lari istri Pak Lurah yang memang tergila-gila dengan Abang Yun. Namun beberapa hari dibawa ke kota, ia tinggalkan perempuan itu di kamar hotel. Abang Yun lari ke Medan, sedangkan istri Pak Lurah kembali ke kampung.
Peristiwa itu membuat berang Pak Lurah. Rumah kami nyaris dibakar oleh orang-orang suruhan Pak Lurah. Untunglah tetangga kami mencegah, dan berjanji akan mendapatkan segera Abang Yun untuk diadili di depan masyarakat. Memang Abang Yun tidak bisa ditemui lagi, namun kemarahan Pak Lurah akhirnya reda. Apalagi, pada pemilihan Lurah enam bulan kemudian, ia tidak terpilih kembali.
"Jadi, bagaimana caranya kau bisa kaya seperti ini" Dapat istri cantik lagi" Wah, wah, kau pasti memiliki ilmu ya" Belajar di mana" Kiai dari Banten ya?" tanya Wak Herman, orang tua yang sangat disegani di kampung kami. Kalau dia saja suka dengan kehadiran Abang Yun, otomatis yang lain akan ikut. Diam-diam aku mengagumi Abang Yun yang mampu menarik hati Wak Herman.
"Gampang Wak, yang penting mau kerja keras," jawab Abang Yun yakin. "Soal istri cantik, saya tak bisa jelaskan. Nanti Wak mau lagi he-he-he& . Ah, enggak Wak, saya enggak punya ilmu kok, apalagi ilmu pelet ataupun ilmu kebal. Kalau Wak enggak percaya sentuh saja kulit saya dengan pisau, pasti berdarah."
Aku tahu Abang Yun bergurau. Aku tak percaya kalau ia tidak memiliki ilmu penangkal, kulihat cincin yang melingkar di beberapa jari tangannya batunya besarbesar. Sore tadi juga, tak sengaja, aku mendapatkan kain hitam kecil di kamar. Aku yakin itu jimat milik Abang Yun.
"Kalau kau kembali ke kota, bisa sekalian bawa anak Wak. Si Iful itu nganggur di sini, lama-lama bisa nyusahin," kata Wak Herman lagi sambil senyum-senyum. "Bagaimanapun dia kan termasuk adikmu juga, apa kau tega melihatnya susah di kampung" Iya, kan, Mar?" ujar Wak Herman lagi. Ia meminta dukunganku.
Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, daripada membantu anak Wak Herman akan lebih baik suamiku yang dibawa Abang Yun untuk bekerja di kota. Tetapi, itu tak mungkin terucapkan. Kulihat Abang Yun hanya mengangguk-angguk, tiada terucap "ya" atau "tidak".
"Bagaimana, Yun?" Wak Herman kembali bertanya. "Kalau kau setuju, bolehlah Wak panggil si Iful sekarang."
"Kan masih ada hari lain, Wak. Sekarang kita ngobrol yang lain saja, soal kampung kita ini yang saya lihat mulai menampakkan kemajuan. Listrik sudah masuk sampai ke pelosok, orang kampung hampir semuanya sudah punya televisi. Bahkan waktu saya masuk pagi tadi, warga di bagian depan kampung sudah ada yang mempunyai parabola. Berarti sudah makmur," ujar Abang Yun untuk mengalihkan percakapan. "Benar ya, panen di sini bagus-bagus" Syukurlah kalau demikian."
"Yang makmur, ya makmur. Tetapi, banyak warga di sini masih melarat. Kau lihat sendiri, masjid kita itu tidak selesai-selesai. Kadang kami malu, shalat di masjid seperti itu. Untunglah kau mau membantu pembangunan masjid itu sampai selesai. Jangan lupa kalau kembali ke kota, uang bantuanmu itu titipkan ke ibumu atau ke Mar." "Ya, Wak, saya tak akan lupa. Jangan khawatir."
Bukan khawatir, Yun, cuma mengingatkan. Wak percaya, kau memang dermawan. Kau telah mencatat sejarah di kampung kita ini, kalau masjid itu bagus. Iya, kan, Fat?" kata Wak Herman kepada ibuku. Ibu tersenyum.
Sampai pukul 21.00, tak ada tanda kalau tamu di rumah kami bakal beranjak, sebaliknya justru bertambah. Kasihan Abang Yun dan keluarganya sampai harus telat makan. Ibu mulai gelisah. Ia panggil Mbak Mita ke dalam, maksudnya menyuruhnya makan. Istri Abang Yun tahu kode ibu, ia segera ke belakang.
"Mestinya mereka tahu kalau Abang Yun belum makan," ucap Mbak Mita kepadaku di dapur.
"Begitulah orang kampung, Mbak, berbeda dengan di kota," jawabku pelan. "Kehadiran perantau seperti aneh bagi mereka, apalagi kalau sukses." "Tapi, yang mudik, kan, bukan hanya Abang Yun?"
Aku mengangguk. "Iya sih. Tapi& entahlah," kataku singkat. Aku khawatir kebanyakan cakap akan membeberkan peristiwa masa lalu Abang Yun, peristiwa yang dianggap aib oleh warga sekampung.
"Mungkin karena Abang sudah bertahun-tahun tidak pulang" Mungkin itu ya, Mar?" Mbak Mita kembali berujar seakan menjawab sendiri pertanyaannya. Aku segera mengangguk. "Ya& ya, mungkin itu sebabnya."
Sehabis makan, Mbak Mita kembali ke ruang tengah. Kali ini ia beranikan diri mengajak Abang Yun untuk makan. "Sekalian ajak yang lain, kalau ada yang belum makan," kata Mbak Mita.
"Wah kebetulan, kalau sudah disiapkan," kata Wak Herman segera mengikuti langkah Abang Yun. "Wak belum makan," imbuhnya. Diikuti tiga tamu lainnya.
"Kau beruntung punya abang kaya di perantauan seperti Abang Yun," bisik Nurhajijah, teman sepermainan kecilku, yang kini menjanda beranak satu ditinggal suaminya menjadi TKI di Arab Saudi.
"Ah, kau seperti tahu banyak abangku saja," kataku dengan maksud tak suka dengan pujian seperti itu. Aku sebagai adiknya saja belum banyak tahu kekayaan Abang Yun. Lagi pula, benarkah abangku di kota sudah kaya, Mbak Mita adalah istri sahnya, dan Maya adalah benar anak mereka" Siapa bisa memastikan kalau Abang Yun sukses di perantauan, sedangkan belasan tahun kami tidak tahu rimbanya" Setiap orang bisa saja bersandiwara, bukankah begitu" Batinku.
Hati Yang Memilih 4 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pemberontakan Taipeng 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama