Ceritasilat Novel Online

Bajingan Gunung Merapi 1

Pendekar Rajawali Sakti 166 Bajingan Gunung Merapi Bagian 1


" 166. Bajingan Gunung Merapi Bag. 1 - 3
January 29, 2015 at 10:09am
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Bajingan Gunung Merapi
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Pagi masih diselimuti kabut, walau matahari mencoba mengusirnya sedikit demi sedikit. Burung-burung bercanda riang, mengisi suasana hari yang tampaknya terasa indah ini, di tepian Hutan Walang.
Dan hari yang indah ini tak dilewati oleh dua gadis yang bercanda riang di atas punggung kuda masing-masing. Sesekali mereka tertawa renyah. Yang seorang berbaju merah. Sedang yang seorang lagi berbaju kuning. Dan mereka sama-sama cantik, di samping terlihat tak bisa dianggap remeh. Pedang di pinggang masing-masing membuktikan kalau mereka adalah orang persilatan.
Entah apa yang dibicarakan, tiba-tiba mereka menghentikan langkah kudanya.
"Kalau begitu, kita berbalap saja sampai di persimpangan jalan di depan sana. Siapa yang menang, boleh mendapatkannya," tantang gadis berbaju merah sambil tersenyum-senyum.
"Kau gila, Lastri!" cetus gadis berbaju kuning dengan wajah memerah menahan malu.
"Kenapa, Dara?" goda gadis berbaju merah yang dipanggil Lastri sambil tertawa." Kalau kau tidak berani, berarti Kang Sanja untukku."
"Terserahmulah...!" desah gadis berbaju kuning yang dipanggil. Dara, seperti tak punya pilihan lain.
Lasrri kembali cekikikan.
"Jadi, kau rela Kang Sanja untukku?" ledek Lastri lagi.
"Aku tidak bilang begitu!"
Lastri kembali tertawa lebar, melihat sikap sa-habatnya.
"Tidak! Pokoknya aku tidak mau dengan cara-cara seperti itu. Memang dia apa, harus diperebutkan segala" Kalau kau mau, ya silakan ambil!" tukas Dara.
"Kau tidak menyesal?" goda Lastri.
"Kenapa mesti menyesal"!"
"Kang Sanja tampan dan banyak disukai gadis cantik..."
"Sudahlah, Lastri. Aku tidak mau membicara-kan soal itu lagi."
"Kau sungguh-sungguh tidak mau ikut memperebutkan Kang Sanja?"
"Tidak "
"Atau, barangkali kau telah punya pilihan?"
"Tidak! Eh, iya!"
"Jangan berbohong, Dara. Kenapa mesti malu mengatakan, kalau kau pun sebenarnya menyukai Kang Sanja?" ujar Lastri, disertai senyum.
"Tidak Aku tidak menyukainya!" tegas Dara, lebih tegas.
"Baiklah. Kalau begitu, aku percaya! Nah! Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, kenapa" Padahal, semua gadis menyukainya. Dia tampan dan baik budi bahasanya. Lalu, kenapa kau tidak tertarik?"
"Apakah mesti ada alasan?" tanya Dara seraya menggebah kudanya perlahan-lahan. Dan Lastri pun mengikutinya
"Kenapa tidak?"
Gadis berbaju kuning itu menarik napas pan-jang, lalu menoleh kepada Lastri sambil tersenyum.
"Yaaah", karena aku tidak suka saja!" desah Dara.
"Cuma itu"'"
Dara mengangguk
"Aku tidak percaya!"
"Syukurlah. Soalnya, aku tidak minta kau percaya...," jawab Dara sekenanya.
"Ayolah, Dara. Jangan membuatku penasaran ..."
"Apa yang harus kukatakan" Kalian mungkin saja suka kepadanya. Tapi, aku tidak. Lalu, kenapa mesti pakai alasan segala?"
"Kalau kami suka padanya, punya alasan jelas. Tapi, apa alasanmu tidak menyukainya?"
"Kenapa kau begitu penasaran?" pancing Dara tersenyum-senyum kecil.
"Aku cuma sekadar ingin tahu
"Baiklah. Karena?"
Dara terdiam dan melirik sahabatnya itu sambil tersenyum.
"Ayo, katakan!" desak Lastri, seraya mencubit pinggang gadis berbaju kuning itu dengan gemas.
"Aduuuh! Aku tidak mau katakana...!" tolak Dara, setelah menjerit kesakitan.
Setelah itu, Dara menggebah kencang kudanya seperti hendak mempermainkan kawannya.
"Heaaa...!"
"Brengsek!" rutuk Lastri.
Dengan gemas gadis berbaju merah itu pun langsung menggebah kudanya, mengejar gadis berbaju kuning.
"Hi hi hi! Kalau kau bisa mengejarku, aku akan katakan alasannya!" teriak Dara.
"Awas kau, Dara! Aku tidak sekadar menagih alasan, tapi akan menjitakmu!"
Dara kembali tertawa renyah. Kudanya terus digebah kencang. Sementara di belakangnya, Lastri mengejar penuh penasaran.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Baru saja mereka berkejar-kejaran dengan kudanya, mendadak berkelebat satu bayangan yang langsung berdiri menghadang. Dara yang berada di depan.
Saat itu juga, gadis berbaju kuning ini cepat menarik tali kekang kudanya. Begitu kuda tung-gangan berhenti, orang yang menghadang telah mendorong kedua telapak tangannya ke muka.
Dara terkesiap, melihat serangkum angin kencang menuju ke arahnya. Maka buru-buru dia melompat dari punggung kuda dengan gerakan indah sekali.
"Hup!' "Kurang ajar!" maki Dara, begitu kakinya men-darat dengan manis di tanah berumput.
"Ada apa, Dara?" tanya Lastri yang baru saja turun dari kudanya.
Di depan mereka kini berdiri seorang laki-laki kurus. Punggungnya sedikit bungkuk. Dia menyeringai. Orang itu mengenakan surjan kuning, memakai blangkon berbunga-bunga coklat dengan dasar kuning. Di pinggang belakangnya terselip sebilah keris.
"Bajingan ini hendak bermain-main dengan kita rupanya," dengus Dara.
"Keparat! Dia boleh coba kalau bisa. Kalau macam-macam, biar kupenggal saja lehernya!" kata Lastri, ikut-ikutan geram.
"He he he...! Dua bidadari berjalan sendiri tanpa pengawal adalah kecerobohan. Hati-hati, banyak orang jahat berkeliaran. Kalau tidak keberatan, bolehkah aku mengawal kalian!" sapa laki-laki bersurjan kuning ini, disertai kekehan memuakkan.
"Bajingan busuk! Lantas, apa maksud tindak-anmu tadi"!" hardik Dara.
"Ah! Rupanya kau masih marah padaku. Per-cayalah.... Aku tidak hanya bermain-main. Tidak ada maksud jahat sedikit pun di hatiku. Sekadar ingin berkenalan saja. Kalau tidak dengan cara itu, lalu cara bagaimana?"
"Apa kau kira kami percaya bualanmu itu" Huh!" dengus Lastri.
"Aku tidak minta kalian percaya?"
"Minggirlah! Kami tidak ada urusan dengan-mu!" sentak Dara, seraya kembali melompat ke punggung kudanya.
"Aku telah berada di sini. Dan aku tidak akan pergi, sebelum keinginanku terpenuhi," sahut laki-laki itu enteng.
"Keparat! Apa sebenarnya yang kau ingin-kan"!" bentak Dara.
"Aku menginginkan kalian berdua"
"Bajingan cabul! Enyahlah kau dari sini, sebelum kami gelap mata dan membunuhmu!" bentak Lastri.
Gadis berbaju merah ini tak kuasa menahan amarah dan kejengkelannya. Tangannya yang su-dah meraba gagang pedang langsung terangkat.
Sring! Saat itu juga Lastri sudah meloloskan pedang-nya yang langsung berkilatan terjilat sinar matahari pagi. Namun melihat gadis di depannya sudah mencabut pedang, laki-laki bersurjan kuning itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dia malah terkekeh seperti mengejek.
"Kau ingin mengancamku dengan pedang itu" He he he...! Tidak ada seorang pun yang bisa me-nyurutkan keinginanku. Apalagi, hanya dua orang gadis seperti kalian."
"Huh! Kata-katamu sudah meremehkan kami berdua, Kisanak! Dan kalau kau memang sudah bosan hidup, aku akan mengabulkannya dengan senang hati! Heaaat...!"
Lastri tidak bisa menahari amarahnya lagi. Tubuhnya langsung melenting, menyerang laki-laki bersurjan kuning ini.
"Uts! Ternyata kau galak juga. Aku suka sekali dengan gadis galak sepertimu!" leceh laki-laki itu seraya berkelit menghindari tebasan senjata Lastri.
Bahkan saat gadis berbaju merah itu memba-batkan pedangnya ke bagian-bagian yang mematikan, laki-laki bersurjan kuning ini begitu mudah menghindar dengan melompat ke belakang sambil berputar seperti gasing.
"Hiiih!"
Sementara Lastri semakin penasaran. Seketika dikejarnya laki-laki itu dengan pedang bergerak semakin cepat. Kali ini dia tidak mau bertindak kepalang tanggung. Segenap kemampuannya be-nar-benar dikerahkan untuk menjatuhkan lawan secepatnya.
Namun sampai sejauh itu, belum ada satu pun serangan Lastri yang mampu menyentuh kulit laki-laki bersurjan kuning ini. Setiap serangannya, selalu saja menebas angin.
"Hm" Apakah kebisaanmu hanya sampai di sini" Kalau begitu, kau perlu belajar sepuluh tahun lagi, Nisanak!"ejek laki laki bersurjan kuning, setelah baru saja menghindari tebasan pedang Lastri yang mengarah kelehernya.
Apa yang dilakukan laki-laki itu memang hebat. Meski serangan datang bertubi-tubi, tapi mampu dihindari dengan hanya meliuk-liukkan tubuhnya dan terkadang hanya melompat-lompat kecil. Bahkan sampai saat ini dia masih bertangan kosong.
"Biar kubantu kau meringkusnya, Lastri!" seru Dara, langsung meluruk dan menyerang laki-laki itu dengan tusukan-tusukan pedangnya.
"He he he...! Kenapa baru sekarang" Bukan-kah seharusnya sejak tadi kau membantunya?" ejek laki-laki bersurjan kuning ini, lagi-lagi sambil berkelit menghindari dengan melompat-lompat kecil ke kiri dan kanan.
"Tidak usah banyak mulut! Lebih baik pikirkan lehermu!" desis gadis berbaju kuning itu, sambil melepaskan sabetan pedang ke leher.
Lastri sama sekali tidak keberatan ketika Dara ikut membantu. Sebab disadari, akan sia-sia saja mendesak lawan seorang diri. Meski telah mengerahkan segala kemampuan, tetap saja laki-laki bersurjan itu tidak terlihat tanda-tanda terdesak, tapi malah bergerak ringan menghindari setiap serangannya.
Begitu juga ketika kedua gadis itu meningkat-kan permainan jurusnya. Walaupun serangan mereka berdua sangat kompak dan memiliki daya serang beragam, tapi itu pun ternyata belum cukup. Apalagi bila melihat kemampuan ilmu meringankan tubuh lawannya memang amat mengagumkan.
"He he he...! Apakah hanya sampai di situ saja kepandaian kalian" Apakah si tua bangka Gandring tidak mengajari kedigdayaan lain?"
"Hei"! Kau mengenal guru kami" Siapa kau sebenarnya"!" tanya Dara terkesiap.
Seketika gadis itu melompat ke belakang, menghentikan serangan. Perbuatannya diikuti Lastri. Keduanya memandang laki-laki kurus berkumis tipis itu dengan seksama.
"Kenapa tidak" Si Gandring sudah kubuat keok beberapa tahun berselang. Dan aku tahu betul kepandaian macam apa yang dimilikinya! Ya! Seperti yang kalian perlihatkan itu! Picisan, dan sangat rendah!"
Keparat!' Dara dan Lastri hampir bersamaan memaki ketika mendengar hinaan yang dilontarkan untuk guru mereka. Bagi mereka itu sudah lebih dari cukup untuk melenyapkan laki-laki bersurjan kuning ini.
Namun sebelum mereka bergerak menyerang....
"Cukup! Kali ini aku yang akan menunjukkan pada kalian, bagaimana caranya menyerang yang baik!"
Baru saja selesai bicaranya, mendadak laki-laki itu melompat menerjang Lastri dan Dara. Serangan pertama ditujukan kepada Lastri. Dan ketika gadis itu coba melompat ke belakang, laki-laki ini telah mendahului dengan ayunan kepalan tangan.
"Hiiih!"
Secepat kilat Lasrri mengayunkan pedangnya, hendak memapas tangan laki-laki bersurjan kuning ini.
Namun, pedang itu hanya menyambar tempat kosong, karena laki-laki bersurjan kuning telah menarik pulang pukulannya. Bahkan seketika itu pula tubuhnya dimiringkan sambil melepaskan totokan ke arah bawah ketiak Lastri. Dan"
Tuk! "Ahhh...!"
? *** ? Lastri kontan ambruk tak berdaya begitu totokan laki-laki bersurjan kuning ini mendarat telak di bawah ketiaknya. Tubuhnya seketika lemas seperti tak bertulang. Dan semua anggota tubuhnya sulit digerakkan.
"Bajingan keparat! Apa yang kau perbuat terhadap kawanku"!" desis Dara geram. Langsung dia melompat menyerang sambil membabatkan pedangnya.
"He he he" ! Kau kira apa" Kau pun akan mengalami nasib yang sama!" sahut laki-laki itu enteng.
Secepat kilat tubuh laki-laki bersurjan mem-bungkuk, sehingga pedang gadis itu hanya mema-pas tempat kosong. Namun begitu, Dara tidak putus asa. Langsung kakinya diayunkan menyodok lambung.
"Uts!"
Laki-laki bersurjan ini berkelit dengan memutar tubuhnya sedikit ke samping. Sehingga, serangan itu luput dan sasaran. Lalu dengan gesit. ditangkapnya pergelangan kaki gadis itu.
Tap! Bukan main gemasnya. Dara melihat keadaan ini. Apalagi ketika lawan coba membetotnya.
"Hih'"
Dengan geram Dara membabatkan pedangnya ke arah tangan yang mencekal kakinya.
"Putus!" bentak Dara.
"Uts!"
Cepat-cepat laki-laki itu melepaskan cekalan-nya. Lalu mendadak tubuhnya berputar langsung melepaskan totokan yang cepat bagai kilat.
Tuk! "Aaah"!"
Dara langsung jatuh lemas tak berdaya, begitu di bagian bawah buah dadanya yang membusung terkena totokan.
"He he he"! Apa kataku. Tidak ada seorang pun yang bisa menahan keinginanku!" ejek laki-laki bersurjan kuning ini.
"Bajingan busuk! Lepaskan totokanmu! Aku masih mampu menghadapimu sampai seratus jurus sekali pun" Lepaskan kataku!" bentak Dara.
"Ooo", ternyata kau pun galak juga! Hm, sungguh menarik! Dua gadis cantik dan galak" Benar-benar membuat hatiku tak tahan!"
Bola mata laki-laki itu jelalatan menghampiri kedua gadis ini dengan seringai mirip serigala lapar. Jakunnya turun naik, menelan liurnya yang hampir menetes oleh hawa nafsu. Dia lantas berjongkok mendekati Dara.
"Ouw"! Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau"!" teriak Dara marah bukan main ketika jari-jari tangan laki-laki itu dengan nakal menggerayangi dadanya yang membusung indah.
"He he he"! Dadamu bagus. sehingga membuatku puyeng! Ah! Aku jadi tidak sabar lagi," kata laki-laki itu Segera diangkatnya tubuh Dara dan dipindahkannya ke balik semak-semak di pinggiran Hutan Walang.
Sebentar saja, laki-laki ini telah kembali, lang-sung membopong Lastri ke balik semak-semak pula. Karuan saja kedua gadis itu berteriak-teriak geram sambil memaki-maki. Tapi percuma saja. Sebab semakin mereka memaki, maka semakin semangat saja tangan-tangan nakal itu menggera-yangi.
"Aaah...! Kau semakin membuatku geram saja!" desis laki-laki itu kelihatan mulai blingsatan menjilati tubuh Dara dengan matanya. Kemudian tangannya bergerak cepat. Dan...
Bret! "Aouw, kurang ajar...! Apa yang kau lakukan"! Bajingan terkutuk! Enyah kau! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" jerit Dara, ketika laki-laki itu mero-bek pakaian di bagian dadanya.
Dan mata laki-laki itu makin liar saja menjilati dada Dara yang membukit indah di depannya. Bahkan liurnya hampir menetes, Kalau tidak cepat-cepat ditelannya.
"He he he...! Benar dugaanku. Kau memiliki dada yang bagus. Hm... Kau tentu tahu, apa yang kuinginkan, bukan" Nah! Untuk apa tunggu lama-lama!"
Tanpa mempedulikan teriakan dan makian gadis itu laki-laki ini melucuti pakaian Dara. Sementara percuma saja gadis itu berteriak-teriak Dalam keadaan tertotok begitu, dia tidak bisa memberikan perlawanan. Apalagi, tempat ini termasuk kawasan sepi yang jarang dilalui orang. Teriakannya hanya tenggelam ditelan kesunyian. Selanjutnya, hanya angin yang tahu apa yang dilakukan laki-laki bersurjan kuning ini, setelah melepaskan pakaiannya sendiri.
? *** ? Laki-laki itu tergelak puas sambil mengenakan pakaiannya.
"He he he...! Tidak kusangka, kalian benar-be-nar hebat! Luar biasa. Kapan-kapan kalau ada waktu, datanglah ke sini lagi. Dan kita ulangi permainan tadi!"
Lastri dan Dara yang telentang tidak begitu ja-uh, hanya menangis sesegukan menyesali nasibnya yang buruk. Tidak ada sesuatu pun yang bisa dilakukan untuk saat ini.
"Ha ha ha...! Tidak usah menangis! Toh, kita sama-sama senang. Nah! Aku pergi dulu! Ingat, bila kalian ingin mengulanginya lagi carilah aku Bajingan Gunung Merapi! Ha ha ha...!" leceh laki-laki itu, segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dan sebentar saja, tubuhnya hilang dari pandangan.
Laki-laki yang menyebut dirinya sebagai Bajingan Gunung Merapi itu agaknya melupakan se-suatu, atau memang disengaja. Sebab kedua gadis itu dibiarkan masih dalam keadaan tertotok, dan tanpa penutup tubuh!
"Ohhh!"
Dara menggeliat. Totokan pada tubuhnya mu-lai hilang. Dengan perlahan-lahan dia bangkit seraya memungut potongan bajunya yang masih bisa dipakai. Tubuhnya masih terasa lemah tak berdaya. Rasa sakit nyeri yang menggigit dirasakan pada bagian di antara kedua pahanya.
"Lastri...," panggil Dara pelan, ketika Lastri terlihat duduk terdiam pada bagian semak-semak yang tidak berapa jauh dan tempatnya.
Tidak ada sahutan. Gadis itu curiga. Perlahan-lahan tubuhnya beringsut mendekati. Dan alangkah kagetnya Dara ketika melihat apa yang diperbuat Lastri. Kaki kanannva buru-buru terayun melakukan tendangan.
Tak! "Hentikan! Apa yang akan kau lakukan"!" bentak Dara.
*** ? 2 ? Lastri hanya melirik sekilas gadis berbaju kuning itu. Lalu tiba-tiba dikejarnya pedang yang tadi terpental karena ditendang Dara. Namun, Dara cepat menghalangi dan menangkap kedua pergelangan tangannya.
"Lepaskan! Biarkan aku...! Lepaskan"!" teriak Lastri sambil berontak, berusaha melepaskan diri.
"Lastri, sadarlah! Apa yang hendak kau laku-kan" Bunuh diri bukan jalan keluar yang baik!" bentak Dara.
"Biarkan aku! Biarkan aku mengakhiri hidupku yang tidak berguna lagi! Lepaskan aku"! Lepaskan!" teriak Lastri, makin kalap.
"Baik! Alasanmu bunuh diri, karena malu hidup menanggung aib! Lalu, akan kau biarkan orang itu berkeliaran dan bebas melakukan perbuatan kejinya kepada gadis-gadis lain! Ayo! Sadarlah, Lastri! Kita punya dendam terhadapnya! Kita harus balas perbuatan terkutuknya ini! Kenapa kau tidak sadar, dan malah mau mengakhiri hidupmu!'! bentak Dara, memperingatkan.?? Cekalan tangannya kini telah dilepaskan.
Lastri terdiam. Bola matanya berkaca-kaca memandang kosong ke depan.
"Aku", aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan...," keluh gadis itu lirih.
"Masih banyak yang bisa kita lakukan!" tandas Dara, penuh dendam berkobar dalam dada.
Perlahan-lahan Lastri menoleh. Maka terlihat beberapa tetes airmatanya jatuh membasahi pipi. Dara tidak kuasa menahan haru. Dihampirinya gadis itu, kemudian dipeluknya erat-erat.
"Aku tahu apa yang kau rasakan, Lastri. Aku pun merasakannya. Ini terlalu menyakitkan bagi kita. Tapi bukan berarti harus mengakhirinya dengan bunuh diri. Percuma saja, sebab tidak akan menyadarkan si bajingan terkutuk! Kita bahkan harus hidup. Mudah-mudahan kita mampu berumur seribu tahun lagi, untuk membalaskan sakit hati ini! Percayalah, Lastri"?? Kita harus hidup!"
"Kau benar. Dara," sahut Lastri mengangguk.
"Jadi..., jangan punya pikiran untuk bunuh diri."
Lastri kembali mengangguk.
"Bagus! Nah, ambillah pedangmu. Dan masukkan ke dalam warangkanya. Ingat! Jangan co-ba-coba bunuh diri. Sia-sia saja. Sebab tiada seorang pun yang bisa membalaskan dendammu ke-pada bajingan itu, selain dirimu sendiri."
"Baiklah...," desah Lastri.
Gadis itu kemudian berjalan beberapa tindak untuk memungut pedangnya. Dimasukkannya pedang itu ke dalam warangka. Kemudian. pakaiannya yang tidak karuan dibetulkan.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan seka-rang?" tanya Lastri, setelah membenahi pakaian-nya.
"Kita kembali lagi ke padepokan!" sahut Dara, mantap.
"Kembali ke padepokan" Tidak! Aku tidak mau ke sana!" bantah Lastri.
"Lastri, dengarlah. Orang yang hendak kita hadapi memiliki kepandaian tinggi. Kalau kita berdua saja yang menghadapinya, maka kejadiannya akan seperti tadi. Kita butuh bantuan. Dan saat ini, yang bisa membantu hanyalah kawan-kawan sepadepokan serta guru kita, Kiai Gandring," jelas Dara, memberikan alasan.
"Bukankah Kiai Gandring pun pernah dikalah-kannya" Jadi, usaha kita tetap percuma saja."
"Itu belum tentu benar. Karena, mungkin hanya untuk mengecewakan kita saja."
'Tapi aku tetap tidak mau ke padepokan. Mau kuletakkan di mana mukaku" Mereka semua akan merendahkan kita!"
"Lastri, mereka adalah saudara-saudara kita sendiri! Bukankah begitu yang diajarkan guru pada kita" Mereka tidak akan sampai hari menuduh kita rendah, meski lewat tatapan. Bukankah guru pernah mengatakan, bahwa seorang murid terluka maka yang lain harus merasa terluka" Dan kita tengah terluka. Maka mereka pun pasti ikut merasa terluka "
Aku malu, Dara . Aku malu!'
'Apa kau kira aku tidak malu menerima semua ini" Kita sama-sama merasakannya. Tapi, bukan berarti bahwa dunia kiamat karena itu. Kita harus bangkit menghadapinya!" tegas Dara.
Lastri terdiam untuk sementara waktu.
"Ayo, kita berangkat sekarang sebelum hari gelap" ajak Dara seraya memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Sementara matahari kian meninggi. Suasana pinggiran Hutan Walang masih tetap sunyi. Sesekali terdengar languhap binatang-binatang penghuni hutan yang kehausan mencari air.
'Mau ditaruh di mana mukaku bila Kang Sanja tahu aku dalam keadaan begini?"" keluh Lastri lirih.
"Kau benar-benar menyukainya"
Lastri mengangguk.
"Dan dia?"
"Entahlah.... Kurasa dia tidak tahu kalau aku menyukainya. Banyak gadis lain yang berusaha menarik perhatiannya."
"Dan itu kau pikirkan betul" Begini saja, Lastri" Kalau benar Kang Sanja mencintaimu, pasti akan menerima segala kekurangan yang kau miliki. Kecuali, kalau memang dia pada dasarnya tidak mencintaimu, jadi jangan salahkan hal itu. Dan, bila kelak dia menaruh perhatian padamu, maka jangan kau anggap dia mencintaimu. Itu bisa saja, karena dia merasa kasihan. Atau, ikut prihatin atas derita yang kita alami," ungkap Dara mengutarakan pendapatnya.
Lastri kembali terdiam. Tapi perlahan-lahan beranjak mendekati kudanya yang masih merumput di dekat mereka. Tindakannya diikuti Dara yang juga menghampiri kudanya.
"Kau setuju kita ke sana?" tanya Dara, seraya naik ke punggung kudanya.
"Kurasa kita memang tidak punya pilihan lain lagi..." jawab Lastri lirih, juga menaiki kudanya.
Kedua gadis itu berada di punggung kuda ma-sing-masing, dan bersiap meninggalkan tempat ini. Tapi baru saja menjalankan kuda sekitar sepuluh tombak....
"Heh"!"
? *** ? Mendadak saja terdengar suara langkah kaki kuda. Begitu Dara dan Lestari mengarahkan pan-dangan ke depan, tampak tiga orang berkuda telah berjarak lebih kurang tujuh tombak lagi di depan mereka. Ketiga laki-laki bertampang seram ini, tampaknya tidak bermaksud baik. Sikap mereka mirip kawanan perampok.
"Hhh...!"
Dara kembali mendengus ketika dari belakang juga telah muncul lima penunggang kuda lain. Kedua gadis ini yakin, kalau kawanan itu telah mengincar sejak tadi.
? *** ? "Ha ha ha...! Sungguh rejeki yang tidak terduga hari ini. Dua ekor kelinci montok akan menemani santap malam kita sebentar lagi!" teriak seorang laki-laki bertampang kasar yang berada di tengah, di antara tiga penunggang kuda di depan kedua gadis itu. Tampaknya, dialah yang mengetuai rombongan berkuda ini.
"Kurang ajar! Tutup mulutmu...!" bentak Dara dengan wajah berang.
"Ha ha ha...! Ternyata kelinci-kelinci yang galak. Sungguh akan membuat malam ini semakin semarak saja!" kata laki-laki itu, sama sekali menganggap remeh.
"Bajingan busuk! Enyahlah kalian! Jangan co-ba-coba menghalangi langkah kami!" bentak Dara lagi.
"Ha ha ha...! Ingin kulihat, apakah kegalakan kalian sepadan dengan pedang yang tersandang!" tantang laki-laki bertampang kasar ini. "Ringkus mereka...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, serentak anak buah laki-laki bertampang kasar ini melompat dari atas punggung kuda masing-masing. Tujuh orang laki-laki kini telah mengepung Lastri dan Dara dari segala arah, siap meringkus dengan senjata terhunus.
Tentu saja, kedua gadis ini tidak sudi menjadi korban kebuasan nafsu laki-laki untuk yang kedua kali. Seketika itu pula, mereka melompat dari atas punggung kuda sambil mencabut pedang masing-masing di pinggang.
Sring! "Yeaaa...!"
Begitu kedua gadis itu menjejakkan kaki di tanah, tujuh laki-laki yang mengepung telah meluruk disertai teriakan mengguntur.
"Ha ha ha"! Coba kalian tangkap mereka dalam waktu singkat. Siapa yang lebih dulu dapat, akan kuberi hadiah besar!" teriak laki-laki bertampang kasar
"Bedebah"!" Dara dan Lastri hanya bisa me-maki dengan mata tajam penuh hawa amarah.
Mendengar kalau dijanjikan hadiah, maka ketujuh laki-laki itu berebutan untuk lebih dulu meringkus kedua gadis ini. Maka sebentar saja, Dara dan Lastri mulai kewalahan. Meski mereka berusaha menghalau dengan kibasan pedang ke sana kemari, namun kawanan itu tidak surut begitu saja. Mereka malah semakin berani merangsek. Malah, kini mereka membagi dua serangan. Kelompok yang berjumlah empat orang, mengurung Dara. Sementara yang berjumlah tiga orang menyerang Lastri.
Setiap kali terjadi benturan senjata, kedua gadis itu mengeluh tertahan. Bahkan beberapa kali pedang mereka hampir terpental. Dan tiba-tiba....
"Aku dapat...!" teriak seorang pengeroyok ketika berhasil meringkus pinggang Dara.
Karuan saja gadis itu jadi kalang kabut. Dan dengan gemas pedangnya hendak dipapaskan ke batok kepala laki-laki itu. Tapi sebelum terjadi, seorang lawan menyentak lewat ayunan tombak. Mau tak mau, Dara harus lebih dulu memapaknya dengan pedang.
Trang! "Ohhh...!"
Betapa terkejutnya Dara, ketika pedangnya terpental setelah berbenturan. Jelas, tenaga dalamnya kalah jauh bila dibanding para pengeroyoknya. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, mendadak salah seorang pengeroyok telah menubruknya.
"Eh...!"
Bruk! Tak ayal lagi, gadis itu terjungkal roboh. Dan ketika beberapa orang lagi menubruknya, Dara semakin tidak berkutik. Bahkan dengan cepat, orang-orang itu mengikat kedua tangan dan kaki seperti hewan buruan.
Di tempat lain pun Lastri mengalami nasib sa-ma. Percuma saja kedua gadis ini berusaha berontak.
"He he he"! Ternyata kalian semua sama cepat. Maka akan kuberi hadiah yang sama banyak!" kata laki-laki bertampang kasar berusia sekitar empat puluh lima tahun itu.
"Mau kita apakan kedua kelinci liar ini, Ki Dampu?" tanya salah seorang anak buah laki-laki yang dipanggil Ki Dampu cengengesan.
"Bodoh sekali kau, Katut! Kau kira apa yang akan kita perbuat kepada dua gadis ini" Suruh mereka menari" Huh! Aku tidak punya waktu!" sahut Ki Dampu, seenaknya.
"He he he ! Ki Dampu tentu lebih mengerti, apa yang seharusnya kita lakukan. Tapi", jangan lupa. Sisakan untuk kami, Ki!' pinta laki laki yang dipanggil Katut dengan jakun turun naik.
"Apa selama ini aku pernah makan sendiri, he"! Ayo, letakkan mereka di balik semak-semak sana! Aku sudah tidak sabar lagi ingin menyantapnya'" ujar laki-laki setengah baya yang menjadi pemimpin gerombolan ini.
"Beres, Ki!"
Seketika anak buah Ki Dampu menggiring kedua gadis itu ke balik semak-semak. Lalu setelah segalanya beres, Ki Dampu melompat dari punggung kudanya. Segera dihampirinya gadis-gadis itu dengan langkah lebar.
"Siapa yang berani mengintip, biji matanya akan kupecahkan!" ancam Ki Dampu garang, ketika mengetahui beberapa anak buahnya coba melirik apa yang akan dilakukannya terhadap kedua gadis itu.
"Eh! Ti... tidak, Ki...!" sahut ketujuh laki-laki ini ketakutan.
Buru-buru mereka menjauh sambil menelan ludah. Wajah mereka kelihatan tegang dengan sikap gelisah Apalagi ketika mendengar jerit serta makian gadis-gadis itu. Entah, apa yang diperbuat Ki Dampu. Namun yang jelas, mereka mengerti nasib apa yang akan menimpa kedua gadis itu nantinya.
Namun mendadak.
"Aaakh...!"
Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan. Dan tahu-tahu tubuh Ki Dampu terpental beberapa langkah dari balik semak-semak.
"Heh"!"


Pendekar Rajawali Sakti 166 Bajingan Gunung Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja tujuh anak buah laki laki setengah baya itu kontan terkejut. Lebih terkejut lagi, ketika melihat kehadiran seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung dengan tenangnya tengah membebaskan kedua gadis itu dari belenggu. Kemudian dengan sekali lompat dia telah berdiri di luar semak semak dengan pandangan tajam ke arah Ki Dampu yang tengah bangkit berdiri.
"Bunuh dia?" bentak Ki Dampu geram.
"Yeaaa...!"
Serentak anak buah Ki Dampu melompat me-nerjang si pemuda yang dianggap sebagai biang pengacau.
"Hup!"
Pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini cepat mengibas-ngibaskan sebuah ranting yang sejak tadi digenggamnya, bersiap menghadapi lawan-lawannya.
Tindakan Rangga tentu saja membuat geli kawanan ini. Menghadapi sekian banyak orang de-ngan berbagai jenis senjata tajam, hanya menggu-nakan sepotong ranting" Kalau tidak sinting pastilah pemuda itu sudah bosan hidup!
Namun mereka baru tercengang ketika pemuda itu bergerak demikian gesit menghindari tebasan-tebasan senjata sambil menyabetkan ranting di tangannya.
"Aaakh...!"
? *** Dua orang kontan memekik kesakitan sambil memegangi punggung ketika sabetan Pendekar Rajawali Sakti menemui sasaran. Kemudian seorang lagi menyusul, ketika ranting itu menghajar perut. Ketika yang lainnya berusaha mendesak Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas dan berputaran beberapa kali begitu tubuhnya meluruk kembali. Dan ranting kayu di tangannya kembali menggebuk
Pletak! Buk"!
"Aaakh?"
Tiga orang kontan menjerit kesakitan terhajar ranting kayu yang telah dialiri tenaga dalam tinggi hampir setengahnya. Kemudian sisanya menyusul dalam waktu singkat. Sehingga dalam beberapa kali gebrakan, tujuh anak buah Ki Dampu dibuat jatuh bangun tak berdaya.
"Pergilah kalian, sebelum kesabaranku habis!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
"Keparat!" desis anak buah Ki Dampu.
Seketika dua orang bergerak bangkit seraya meraih senjata. Dan kembali mereka menyerang pemuda itu dengan hati penasaran.
"Heaaa" !"
Pendekar Rajawali Sakti bergerak gesit seperti tadi, tatkala menghindari tebasan senjata musuh. Dan pada saat yang bersamaan, ranting di tangannya menggebuk dengan keras.
Bak! Buk"!
"Aaakh?"
Rasanya tidak masuk akal bila ranting sebesar jempol tangan itu bisa membuat orang-orang kasar seperti anak buah Ki Dampu menjerit kesakitan. Kalaupun terkena, paling hanya merasa pedih dan sakitnya bisa ditahan. Tapi di tangan pemuda ini ranting itu berubah menjadi alat penggebuk yang berbahaya.
Dua orang yang ternyata baru saja menyerang, telah kembali roboh terhantam ranting di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sudah barang tentu. hal ini membuat Ki Dampu marah setengah mati. Langsung dia melompat hendak membokong Rangga dan belakang.
"Mampus kau!" desis Ki Dampu sambil mem-babatkan pedangnya.
Namun sebagai pendekar papan atas yang sudah sering kali mendapat bokongan, Rangga sudah lebih dulu merasakan desiran halus dari belakangnya.
Maka ketika pedang itu sedikit lagi membabat lehernya. Rangga berkelit ke samping. Sehingga. pedang Ki Dampu hanya memapas angin kosong. Kemudian ranting di tangannya cepat bergerak menghantam.
Tak! Aaakh"! Ki Dampu memekik ketika pergelangan tangannya terhajar ranting di tangan Rangga. Dan belum lagi dia bersiaga, satu tendangan keras telah meluncur cepat.
Des! "Aaakh...!"
Ki Dampu kontan terjungkal beberapa langkah disertai pekikan kesakitan. Sebelum dia berhasil bangkit, sebelah kaki Pendekar Rajawali Sakti telah menginjak dadanya.
"Sekali kutekan, nyawamu akan berpindah ke neraka, Kisanak!" ancam Rangga dingin.
"Oh, ampun! Ampuni aku...!" ratap Ki Dampu gemetar ketakutan.
"Mengampunimu" Sebegitu mudahkah" Hm. Telah berapa orang yang menjadi korbanmu, he"!" desis Rangga, bernada mengancam.
"Aku..., aku tak tahu..."
"Kau tak tahu"! Setelah makan manisnya kau bilang tak tahu?"
Bersamaan dengan itu, Rangga menekan him-pitan kakinya lebih kuat.
Krek! "Ampun, Kisanak! Ampuuun...! Kalau kau be-baskan, aku berjanji akan bertobat dan menjadi orang baik-baik. Aku berjanji!" ratap Ki dampu.
"Jangan mudah berjanji di depanku, Kisanak!" desis Rangga, lagi.
"Aku sungguh-sungguh! Aku bersumpah!"
"Hm... Baiklah. Kali ini kau kumaafkan. Tapikalau kau kutemukan lagi dengan perbuatan yang sama, aku tidak akan tanya-tanya lagi. Nyawamu akan hilang semudah aku membalikkan tangan! Camkan itu...!" bentak pemuda berbaju rompi putih itu seraya melepaskan himpitan kakinya.
Ki Dampu cepat bangkit dan berlutut hormat. Dan ketika melihat anak buahnya masih ragu-ragu.
"Heh"! Kenapa kalian masih diam saja"!"
Dengan serta merta laki-laki setengah baya itu membentak agar mereka pun berlutut. Karena sang pemimpin yang memberi perintah, maka orang-orang itu terpaksa berlutut.
"Aku sebenarnya tidak ingin penghormatan kalian. Tapi yang penting janji kalian yang telah kupegang! Ingat! Aku selalu berkeliaran di maya-pada ini. Sekali kudengar kalian berbuat keonaran, aku akan datang menebas leher kalian semua! Sekarang, pergilah!"
"Eh! Ba... baik. Tapi?"
"Apa lagi?"
"Bolehkah kami tahu namamu. Anak Muda?"
"Aku Rangga. Cukup?"
Ki Dampu menganguk-anggukkan kepalanya.
"Syukurlah Nah, pergilah kalian sekarang!"
"Ba..., baik, Anak Muda." sahut Ki Dampu.
Laki laki setengah baya itu langsung memberi perintah pada anak buahnya. Dalam waktu singkat, mereka telah berlalu meninggalkan tempat ini.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya memandang sekilas. Lalu perhatiannya dialihkan kepada dua gadis yang ditolongnya.
"Nisanak berdua! Kalian tidak apa-apa...?" tanya Rangga, halus.
? *** ? 3 ? "Kami tidak apa apa. Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Tapi kau telah ceroboh!"
Pendekar Rajawali Sakti memandang tajam pada gadis berbaju kuning dengan dahi sedikit berkerut.
"Kecerobohan apa yang kau maksudkan, Nisa-nak?" tanya Rangga.
"Kau telah melepaskan mereka begitu saja! Bajingan seperti mereka sudah seharusnya mati! Mereka pasti tidak akan peduli dengan segala janji dan sumpah. Kau terlalu lugu dan percaya begitu saja..." tandas Dara, penuh tekanan.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum.
"Tidak ada buruknya kalau kita selalu percaya pada orang," sahut Rangga, kalem.
"Itu selalu membawa keburukan! Apalagi, penjahat seperti mereka. Mungkin kau orang baru di dunia persilatan, sehingga tidak kenal seluk-beluk watak manusia!"
"Mungkin juga... Maka jika perbuatanku tadi salah, maafkanlah.? Tapi aku yakin, mereka tidak akan berani macam-macam." ucap Rangga berusaha tetap merendahkan diri.
Kau terlalu sok yakin! cibir Dara.
"Aku selalu yakin dengan apa yang kulakukan. Dan selama ini, selalu terbukti. Cuma satu atau dua saja yang meleset"
Sudahlah. Tidak ada gunanya membicarakan soal itu. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Tapi, maaf. Kami harus melanjutkan perjalanan.
Sementara, hari telah merambat senja. Tanpa terasa, matahari sedikit demi sedikit menenggelamkan diri di ufuk barat. Burung-burung mulai pulang di sarangnya, setelah seharian mencari makan.
Dara kemudian melompat ke punggung kuda nya, diikuti Lastri.
"Hari telah gelap. Dan jalan kalian berada di pinggiran hutan. Apakah tidak lebih baik bermalam di sini"' kata Rangga.
Kedua gadis itu saling berpandangan sesaat, lalu memandang pemuda itu dengan seksama.
"Eh, terima kasih.? Kami harus?? buru-buru. Dara yang menjawab.
"Kalau begitu silakan. Aku tidak bermaksud menghalangi perjalanan kalian." ucap Rangga.
"Eh!? Barangkali kau? punya?? tujuan sama. Dan..., kita bisa pergi bersama-sama...?" ajak gadis berbaju kuning itu menawarkan.
"Terima kasih. Aku saat ini tidak punya tujuan. Jadi telah kuputuskan untuk bermalam di sini saja. Kebetulan, aku telah mendapatkan dua ekor kelinci untuk santap malam. Sebenarnya tadi, aku sedang berburu. Dan ketika kudengar keributan, maka aku menuju ke sini. Kudaku masih kutambat di sana!" tunjuk Pendekar Rajawali Sakti ke satu arah.
Kedua gadis itu diam sejenak, lalu kembali saling berpandangan.
"Kalau begitu, kami pergi dulu, Kisanak."
"Silakan...!"
Lastri yang berbaju merah segera menarik tali kekang kudanya perlahan-lahan. Tindakannya di-ikuti Dara.
Rangga sendiri cuma melirik sebentar, lalu melangkahkan kaki menuju tempat yang ditunjuknya tadi. Sepanjang jalan dipungutnya ranting-ranting kayu. Sehingga begitu tiba di tujuan, ranting kayu yang tadi dikumpulkannya telah banyak. Kemudian dibuatnya perapian. Dan kini dia mulai menguliti dua ekor kelinci buruannya. Sebentar saja mulai tercium aroma harum daging kelinci.
"Hm, lezat sekali! Perutku sangat lapar. Dan rasanya, kelinci-kelinci ini kurang. Tapi jika kalian berdua mau ikut menemani tentu aku akan membagi pada kalian pula!" gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
Entah disengaja atau secara kebetulan, kedua gadis yang tadi telah pergi meninggalkan Rangga kini kembali lagi tanpa kuda. Langsung didekatinya Pendekar Rajawali Sakti dari belakang.
"Duduklah...!" ujar Rangga tanpa menoleh.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti beringsut, memberi tempat pada kedua gadis ini untuk duduk di sampingnya.
"Entah kenapa, kami percaya kau bukan pemuda jahat. Kami memutuskan untuk menemuimu lagi...," jelas Dara.
"Kalian tentu telah mengalami kejadian buruk. Dan dengan begitu, memandang orang lain pun buruk...," sahut Rangga tenang seraya membolak-balikkan daging kelinci panggang.
"Sebenarnya tidak begitu...." elak gadis berbaju kuning
Pemuda itu diam saja
"Eh! Namaku Dara... Dan kawanku Lastri..." Dara mengalihkan pembicaraan.
"Namaku Rangga..."
"Kau pasti pendekar hebat...?"
Rangga tersenyum.
"Aku baru turun gunung, seperti yang kau katakan tadi.
"Maafkan kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu, Rangga".
"Tidak! Aku malah bangga!" sahut Rangga tersenyum.
Dara dan Lastri terdiam. Pemuda ini sedikit aneh. Begitu pikir mereka. Tapi keduanya yakin, Rangga bukan orang jahat.
"Sebenarnya kami perlu pertolonganmu....," jelas Daru ragu-ragu.
"Pertolongan apa, Dara?"
?Pemuda itu menoleh, memandang mereka bergantian. Lalu tatapannya beralih pada daging kelinci panggang.
"Kami lihat kepandaianmu cukup hebat. Dengan sepotong ranting, kau mampu menjungkir balikkan mereka?"
"Lalu?""
"Kami bermaksud membayarmu untuk mengejar seseorang."
Pendekar Rajawali Sakti berhenti membolak-balikkan kelinci panggangnya. Kemudian kembali menoleh pada kedua gadis itu.
"Mengejar seseorang" Siapa?" tanya Rangga.
"Orang itu berjuluk Bajingan Gunung Merapi."
"Baru kudengar julukan itu. Tapi, apa urusan-nya sehingga kalian bermaksud membayarku untuk mengejarnya?"
"Kami hanya ingin kau mengejar lalu menang-kapnya. Kemudian diserahkan pada kami. Untuk itu, kau mendapat bayaran yang cukup pantas, Rangga," jelas Dara Rangga tersenyum.
"Berapa kalian sanggup membayarku?"
? *** ? "Berapa bayaran yang kau inginkan, Rangga?"
Rangga tersenyum, lalu menyerahkan dua po-tong daging pangang kepada Dara dan Lastri.
"Makanlah dulu. Lalu, kita bicarakan persoalan tadi."
"Tapi kau setuju?" tanya Dara, setelah menerima potongan daging panggang.
Rangga mulai mengigit sepotong daging ba-giannya, dan mengunyahnya pelan-pelan.
"Aku mungkin bisa saja menerima tawaran kalian. Tapi, harus tahu dulu persoalannya. Jangan sampai aku kesalahan tangan membunuh orang yang tidak bersalah tukas pemuda ini seke-nanya.
"Kau katakan orang seperti dia tidak bersa-lah"!"
Bola mata Lastri langsung melotot garang. Padahal gadis ini sering banyak diamnya.
Dan tiba-tiba gadis itu menyadari kekeliruannya setelah Dara memberi isyarat.
"Maaf, aku tidak bermaksud kasar padamu, Rangga...," ucap Lastri.
"Tidak apa, Lastri. Aku mengerti. Kalian berdua sepertinya dalam keadaan tertekan," desak Rangga, memancing.
"Rangga! Kedua orangtua kami memiliki sawah serta kekayaan yang cukup untuk membayarmu. Kalau kau berhasil melakukan tugasmu, datanglah ke Desa Gandri. Maka saat itu juga, kami akan membayar berapa saja yang kau minta!" papar Dara, bersemangat.
"Apakah tampangku mirip pemburu hadiah?" Rangga malah bertanya.
"Kami tidak punya pilihan lain Rangga, orang itu memiliki kepandaian hebat. Itulah sebabnya, kami bermaksud membayarmu guna membunuh si Bajingan Gunung Merapi...," jelas Lastri.
"Aku memang biasa membunuh orang Lastri. Tapi dengan alasan, bahwa yang kubunuh adalah para penjahat dan pembuat onar. Dan itu tanpa bayaran sekepeng pun!" tandas Rangga berhati-hati, agar kedua gadis ini tidak tersinggung.
"Apakah kau tidak mempercayai penjelasan kami" Bajingan Gunung Merapi bukanlah orang baik-baik. Dia itu penjahat busuk, sesuai namanya!" tukas Dara.
"Maaf! Aku tidak bisa memenuhi permintaan kalian, Dara. Kelak bila terbukti kalau orang itu memang penjahat, maka kalian tidak perlu repot- repot. Aku akan datang mencari dan membuat perhitungan dengannya. Kalian tidak perlu membayar apa-apa padaku," tegas Rangga lagi.
"Huh! Kau terlalu sombong, Rangga. Tidakkah nalurimu bisa menduga kalau orang itu tidak pantas hidup lebih lama" Akan lebih banyak korban yang ditimbulkannya. Kalau kau mengaku sebagai pendekar, maka cari dia. Dan, hentikan sepak terjangnya!" Timpal Lastri, dengan suara keras.
Gadis itu sejak tadi memang sudah menahan jengkel. Sia-sia saja usaha mereka bicara dengan pemuda ini. Toh, maksud mereka tetap tidak akan tercapai.
Tapi tidak demikian halnya Dara. Sikapnya lebih tenang. Dan dia bisa menahan sabar.
"Kalau memang sudah demikian keputusanmu, rasanya kami sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi kalau kau tidak keberatan, bolehkah kami menyertaimu...?" tanya Dara, tenang.
"Apa maksudmu?"
"Bukankah kau ingin membuktikan, bahwa si Bajingan Gunung Merapi benar-benar bajingan" Maka biarlah aku menyertai perjalananmu untuk mencarinya...
"Aku tidak mau ikut!" tukas Lastri cepat.
"Kalau begitu, biar aku sendiri"
"Dara! Apa-apaan kau ini"! Kita tidak kenal pemuda ini. Dan tiba-tiba saja, kau mau percaya begitu saja padanya!" sentak Lastri.
Dara tersenyum.
"Jangan salah paham, Lastri. Apa yang kau ra-sakan tentang derita yang kita alami, juga meng-himpit diriku. Aku tidak akan berhenti sebelum bajingan itu mati, dan kulihat sendiri bangkainya di depan mataku."
"Tapi, bukankah kau telah sepakat kalau kita akan meminta bantuan guru serta kawan-kawan yang lain?" tukas Lastri lagi, mengingatkan.
"Ya itu pun akan kita lakukan. Kau pergilah ke sana. Dan, ceritakan pada guru duduk persoalannya. Katakan pula aku pergi bersama pemuda ini mencari bajingan itu," sahut Dara tenang.
"Kau..., kau percaya begitu saja pada pemuda ini?"
Lastri terpaku tidak percaya melihat sikap kawannya.
"Percayalah Aku bisa menjaga diriku sendiri...," ujar Dara.
"Aku tak mengerti"
Lastri termangu dan membuang pandang.
"Hm... Kenapa kau begitu yakin kalau aku akan mengajakmu turut serta dalam perjalananku" Aku justru merasa lebih enak, bila melakukan perjalan seorang diri?" gumam Rangga.
"Kau betul-betul tidak mau membantu kami?" tanya Dara dengan wajah bingung.
"Aku tidak berkata begitu.?? "
"Kalau memang ingin membantu kami, maka kau harus mengajakku serta. Kau tidak mengenali si Bajingan Gunung Merapi, tapi sebaliknya aku amat mengenalinya!" tegas Dara. memberikan alasan.
"Kau belum kenal aku. Apakah kau tidak takut aku berbuat jahat" Kawanmu benar. Kau mesti hati-hati pada orang yang baru dikenal seperti aku...."
"Aku percaya, kau bukan sejenis pemuda hi-dung belang."
Rangga tersenyum
"Jangan terlalu yakin pada penilaian sepin-tas... " kata Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Apa pun yang kau katakan, aku akan tetap ikut menyertaimu mencari jahanam itu!" tegas Dara lagi.
"Yaaah... Kalau sudah begitu tekadmu, apa boleh buat! Terserahlah. Sekarang aku mau tidur... Kalian boleh mencari tempat pembaringan yang disukai," desah pemuda itu, enteng saja.
Tanpa mempedulikan kedua gadis itu, Rangga berbaring membelakangi. Sementara Dara dan Lastri mencari tempat yang agak jauh dan terlindung dari semak-semak.
? *** ? "Heh"!"
Begitu terjaga, wajah Dara tampak kaget ketika mengetahui Lastri tak ada di sampingnya. Sementara Rangga telah bangun dan tengah membolak-balikkan daging panggang di perapian.
"Kau lihat kawanku?" tanya Dara.
"Dia pergi meninggalkanmu tadi malam," jelas Rangga.
"Kau tahu, kenapa tidak mencegahnya"!" Dara tampak kurang senang melihat sikap pemuda itu.
"Dia tidak sadar kalau aku mengetahui gerakgeriknya. Tapi kalaupun kularang, tidak ada guna nya. Kawanmu jelas tidak setuju dengan pendapatmu. Tapi, dia tidak mau terus berbantahan. Dan oleh sebab itu, dia memilih pergi meninggalkanmu...," kilah Rangga.
"Malam-malam dia pergi. Oh", bagaimana bila ada sesuatu yang menimpanya" Seharusnya dia kau cegah!"
"Aku tidak punya hak, Dara. Sebab dia lebih berhak memutuskan apa yang akan diperbuatnya."
"Kau..., kau..., sama sekali tidak punya pera-saan!"
Dara menuding gemas dan buru-buru mema-lingkan muka. Lama kepalanya tertunduk lesu. Dan pemuda itu sama sekali tidak bermaksud mengusiknya.
"Tahukah kau, kejadian apa yang telah menimpa kami...?" tanya Dara lirih.
"Kalian belum memberitahukannya...."
"Bajingan laknat itu telah merenggut kehormatan kami secara bergantian!" dengus gadis berbaju kuning itu.
Rangga terdiam. Dipandanginya gadis itu se-jurus lamanya. Dan Dara sendiri seperti tidak peduli, selain menatap kosong ke depan.
"Maaf. Dara.... Aku tidak tahu...."
"Dan kawanan keparat tadi akan berbuat se-rupa kalau saja kau tidak muncul. Nasib kami saat ini sedang buruk. Dan aku amat mencemaskan Lastri. Aku khawatir, dia dicegat orang. Dia hampir saja bunuh diri, setelah Bajingan Gunung Merapi merenggut kegadisannya. Jiwanya sedang terguncang saat ini..." jelas Dara.
"Dia menuju selatan. Kalau kau bermaksud menyusulnya, tentu masih sempat?"
Dara termangu sesaat.
"Dia menuju ke padepokan," duga Dara.
"Dia aman?""
"Mungkin Lastri menuju padepokan. Itu cuma dugaanku?"
"Naiklah ke kudamu. Dan kita berangkat sekarang untuk menyusulnya!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya mematikan perapian. Kemudian dia melompat ke punggung kudanya yang berbulu hitam pekat.
"Kau sungguh-sungguh, Rangga"
Rangga mengangguk
"Baiklah"
Gadis itu kemudian melompat ke punggung kudanya. Wajahnya tampak sedikit cerah. Dipandanginya pemuda itu dengan seksama.
"Kau bersungguh-sungguh?" ulang Dara seperti tak percaya.
"Tidak usah membicarakan hal itu. Kau mengkhawatirkan kawanmu, bukan" Nah, lekaslah!"
Tanpa banyak bicara lagi gadis itu menggebah kuda, menyusul Rangga yang telah lebih dulu me-lesat.
"Kau yakin dia menuju..., ke mana katamu tadi?"
"Padepokan.
"Iya, padepokan!"
"Mungkin saja."
"Di mana padepokan kalian?"
"Tidak jauh dari kaki Gunung Muria.
"Padepokan Sapta Dharma?"
"Ya. Kau pernah ke sana?"
"Belum. Hanya pernah mendengar namanya saja. Itu padepokan yang cukup terkenal. Kalau tidak salah dipimpin Ki Slamet...?"
"Ki Slamet telah meninggal lima tahun lalu. Sekarang padepokan itu dipimpin putra beliau, bernama Ki Gandring."
"Hm. Ki Slamet memang telah berusia lan-jut...," gumam Rangga.
"Kau sendiri berasal dari mana?" tanya Dara.
"Dari suatu tempat yang agak jauh dari sini."
"Di mana tepatnya"
"Karang Setra."
"Karang Setra" Belum pernah nama itu kude-ngar...."
"Ya, mungkin saja memang kurang dikenal."
"Atau barangkali aku yang kurang pengeta-huan. Kuakui, aku memang jarang mengembara. Sehingga tidak banyak mengenal berbagai tempat. Apalagi tokoh-tokoh persilatan."
"Ki Slamet seorang pendeta ternama. Beliau mungkin menurunkan ilmunya kepada Ki Gan-dring. Dan Ki Gandring menurunkannya kepada murid-muridnya. Tata krama dan nilai-nilai kehi-dupan, mungkin menurut beliau lebih penting di-ajarkan ketimbang nama tokoh-tokoh persilatan yang tidak ada artinya...."
"Hm... Kau ternyata tahu banyak tentang kakek guru kami! Atau barangkali kau pernah berguru padanya?" tanya Dara.
Rangga tersenyum.
"Sayang sekali, aku tidak diberi kesempatan untuk berguru kepadanya. Kalau kesempatan itu ada, pasti senang sekali!" sahut Rangga.
"Kenapa tidak belajar dari Ki Gandring?" tanya Dara, yang benar-benar belum menyadari siapa Rangga.
"Mungkin suatu saat akan kupikirkan hal itu...," desah Rangga, disertai senyum manis.
"Pintu padepokan selalu terbuka bagi siapa saja yang mau belajar. Ki Gandring sendiri orang yang arif lagi bijaksana. Beliau ramah, dan lemah lembut tutur bahasanya," jelas Dara, bernada bangga.
'Tentu saja. Aku percaya. Sebab, beliau men-dapat didikan langsung dari Ki Slamet," dukung Pendekar Rajawali Sakti.
"Ya, mungkin juga..."
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 . 166. Bajingan Gunung Merapi Bag. 4 - 6
29. Januar 2015 um 10:14
4 ? Rangga dan Dara tiba di Desa Patik Raja, dalam upaya menyusul Lastri yang menghilang entah ke mana. Sekaligus, mereka akan mencari tokoh berjuluk Bajingan Gunung Merapi. Yang menurut pengakuan Dara telah memperkosa dirinya dan Lastri. Kini mereka melompat turun dari kuda masing-masing, dan menuntunnya begitu memasuki keramaian desa. Dan mereka berniat bertanya pada penduduk yang kebetulan berpapasan.
"Numpang tanya. Ki! Apakah kau melihat seorang gadis berbaju merah menunggang kuda coklat lewat di desa ini?" tanya Dara pada seorang laki-laki setengah baya yang ditemuinya.
"Hm, ya. Dia berada di sini beberapa saat yang lalu," sahut laki laki setengah baya ini.
"Ke arah mana perginya"? tanya Dara lagi.
"Ke utara!" tunjuk laki-laki itu.
"Kau yakin?"
Laki-laki itu mengangguk cepat." Dia malah sempat bertanya pada beberapa penduduk desa?" tambah laki-laki ini.
"Bertanya" Apa yang ditanyakannya?" desah Dara, dengan kening berkerut.
"Apakah kalian pun mencari orang itu?"


Pendekar Rajawali Sakti 166 Bajingan Gunung Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang yang bagaimana?"
"Laki-laki bersurjan kuning dan memakai blangkon kuning?""
"Bajingan itu!' desis Dara geram seraya mengepalkan kedua tangan.
"Kau yakin?" tanya Rangga pada gadis itu.
"Ah, benar kataku! Kau pun mencarinya, Ni-sanak" Hm. Dia memang bajingan. Putri kepala desa ini, semalam ditemukan di kandang kuda seorang penduduk dalam keadaan polos. Dia menangis sesenggukkan. Dan... katanya dia menjadi korban pemerkosaan laki-laki yang tengah kalian cari itu. Tentunya Nisanak pun?" duga laki-laki ini, terputus.
"Terima kasih atas keterangan yang kau beri-kan, Ki!" tukas Dara dengan suara agak keras.
Gadis itu segera mengajak Rangga angkat kaki dari tempat ini.
"Orang tua sialan!" umpat Dara setelah mereka agak jauh.
"Mungkin dia tidak sengaja"," gumam Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Laki-laki seperti itu kok bisa-bisanya cerewet!" dengus Dara kembali. "Kalau kita tidak buru-buru angkat kaki, mungkin mulutnya merancau entah ke mana-mana!"
Rangga tersenyum melihat gadis itu.
"Kau pun mendukung sikapnya"!" semprotDara.
"Oh, maaf..!"
Rangga memperbaiki sikapnya. Disadari dalam keadaan seperti sekarang, Dara mudah sekali ter-singgung. Hal itu bisa dirasakannya. Dara telah kehilangan sesuatu yang penting dari seorang gadis.
"Sekali lagi maaf. Aku tidak bermaksud me-nyinggung perasaanmu"," ulang Rangga.
"Orang sepertiku memang pantas menerima sikap seperti itu."
Rangga diam saja. Sikapnya jadi serba salah dan merasa tidak enak. Memang, tidak seharusnya dia tersenyum menanggapi gadis ini yang kesal akibat ulah laki-laki setengah baya yang tadi ditanyai.
? *** ? Desa Patik Raja telah lama ditinggalkan. Rang-ga serta Dara masih diam membisu di atas punggung kuda. Masing-masing tidak tahu harus bicara apa lagi. Tapi Rangga menyadari, bila terus diam maka gadis ini akan semakin merasa rendah diri di depannya.
"Eh! Akan ke mana tujuan kita sekarang?" tanya Rangga memecah kebisuan.
"Entahlah Aku tidak tahu...," sahut Dara sekenanya.
"Kau tidak lapar" Aku masih membawa daging panggang tadi pagi. Kalau suka, kita bisa berhenti dulu?" usul pemuda ini.
"Aku belum lapar," tolak Dara, singkat saja.
Rangga menarik napas dalam-dalam. Gadis ini kelihatan masih memendam kekesalan akibat ulahnya tadi. Rangga jadi tidak mengerti, apa lagi yang harus diperbuat agar kemarahan Dara bisa cepat reda. Dan baru saja Rangga akan bicara lagi...
"Kejar!"
"Bunuh bajingan keparat itu...!"
Mendadak di depan mereka terlihat keributan. Seseorang berteriak kesakitan sementara beberapa penduduk desa mengejarnya dari belakang sambil mengacung-acungkan berbagai macam senjata.
Dara terkesiap! Laki-laki yang diburu orang orang itu memakai surjan kuning dan blangkon kuning berbunga-bunga coklat.
"Bajingan keparat!" desis Dara, langsung melompat dari kudanya.? Segera dihajarnya laki-laki yang berlari ke arah mereka.
Des! "Aaakh...!"
Laki-laki itu langsung menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan ambruk di tanah. Dari mulutnya tampak meleleh darah segar.
"Hup!"
Dara melompat ke dekat laki-laki itu, dan bermaksud menghabisinya.
"Ampun"! Ampun, Nisanak! Aku sama sekali tidak bersalah. Ampuuun...!" ratap laki-laki ini, seraya bangkit dan menyembah-nyembah di ha-dapan Dara.
"Huh!"
Dara mendengus geram ketika melihat laki-laki itu ternyata bukan orang yang amat dibencinya. Sepintas tadi dari arah yang agak jauh laki-laki ini mirip Bajingan Gunung Merapi. Tapi setelah ditegaskan ternyata bukan.
"Siapa kau"!" bentak Dara.
Belum lagi laki-laki itu menjawab, orang orang yang tadi mengejarnya telah sampai di tempat ini.
"Nisanak! Berikan dia pada kami! Orang ini bajingan terkutuk. Dia penipu, perampok, serta pemerkosa!" teriak salah seorang penduduk.
"Benar! Serahkan orang ini pada kami! Dia harus dihukum!" tambah yang lain.
"Sebelum kuserahkan pada kalian, bolehkah aku tahu, siapa orang ini?" tanya Dara, dengan suara keras.
"Dia laki-laki keparat yang menamakan diri Bajingan Gunung Merapi!" sahut salah seorang penduduk yang memegang golok.
Dara tersenyum mendengar jawaban orang itu.
"Jadi kalian menyangka laki-laki ini Bajingan Gunung Merapi?"
"Ya...!" sahut mereka serentak.
"Kalian salah! Orang ini bukan Bajingan Gunung Merapi...!" teriak gadis itu lantang.
? *** ? Keterangan gadis itu membuat mereka kaget. Untuk sesaat, para penduduk hanya saling pan-dang.
"Dari mana kau tahu bahwa dia bukan Bajingan Gunung Merapi?" tanya seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, ingin membantah.
"Aku tahu persis, sebab aku salah seorang korbannya!" sahut gadis itu, tanpa malu-malu lagi.
Orang orang itu termangu. Mereka memperhatikan Dara dengan seksama. Seakan ada pancaran rasa iba pada pandangan mereka. Tapi Dara sudah tidak peduli lagi apa yang tengah mereka pikirkan saat ini.
Kemudian salah seorang penduduk mendekat.
"Apa Nisanak tidak salah mengenali?" tanya orang itu mencoba meyakini.
"Tidak! Aku tidak akan lupa pada wajah ja-hanam keparat itu!"
Laki-laki ini mengangguk, dan kembali terma-ngu sebelum kembali pada kelompoknya.
"Kalau begitu kita telah salah. Orang ini bukan bajingan keparat itu. Sekarang lebih baik kita pulang!" teriak laki-laki itu.
"Wah, brengsek!" umpat salah seorang.
"Untung belum kubacok kepalanya...!" gerutu yang lain.
"Ayo kita pulang! Pulaaang"!" teriak sese-orang, diikuti kawan-kawannya yang menggerutu kesal.
Rangga dan Dara memperhatikan para penduduk sampai jauh dari tempat ini. Lalu mereka berpaling pada laki-laki kecil bertubuh kurus yang tadi menjadi sasaran kemarahan.
"Siapa namamu" Dan, kenapa kau berpakaian seperti ini?"
Suara gadis ini terdengar keras, dan sama sekali tidak bersahabat.
"Namaku... Tungkul. Pakaian ini diberikan seseorang...," sahut laki-laki kurus yang mengaku bernama Tungkul.
"Seseorang" Siapa dia" Kau kenal orangnya?" desak Dara, memberondong.
Tungkul menggeleng lemah.
"Bagaimana bentuknya" Wajahnya, tubuhnya, atau apa saja ciri-ciri yang kau ingat?" desak Dara lagi.
"Pakaian ini miliknya. Lalu, dia menggantikannya dengan pakaianku. Orangnya sedang. Usianya kira-kira tiga puluh tahun lebih. Dan dia memiliki kumis tipis."
"Ada tahi lalat kecil di mata kirinya"!"
"Entahlah. Aku tidak memperhatikan. Kelihat-annya dia buru-buru. Dia bicara sebentar, dan... Tiba-tiba saja dia memukulku. Ketika sadar, pakaianku telah begini. Dan, kuda tungganganku pun hilang," jelas Tungkul.
"Keparat"!" dengus Dara menggeram. "Ke arah mana perginya?"
"Ke sana!" tunjuk Tungkul ke utara.
"Sudah lama?"
"Kira-kira sepenanakan nasi?"
"Terima kasih!" ujar gadis itu seraya melompat ke punggung kudanya, segera diajaknya Rangga untuk buru-buru angkat kaki dari sini.
"Hm... Kelihatannya kau benar," gumam Rangga, yang sejak tadi tidak turun dari kudanya.
"Soal apa?" tanya Dara.
"Bajingan Gunung Merapi"
Dara tersenyum di antara derap langkah kuda-kuda mereka yang berlari kencang secara berdampingan.
"Lalu, bagaimana niatmu?"
"Kalau sekian banyak orang telah mengatakan bahwa dia jahat, maka jelaslah kalau Bajingan Gunung Merapi memang penjahat"
"Kau rela membantuku?" pancing Dara.
"Selamanya aku paling muak dengan penjahat. Apalagi penjahat cabul seperti ini! Kemana pun dia lari, akan kukejar!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Syukurlah. Dengan begitu, aku merasa lega. Kalau saja banyak orang yang bersikap sepertimu, kurasa jumlah penjahat akan menurun. Mereka akan berpikir seribu kali bila melakukan kejahatan!"
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum mendengar pujian gadis ini.
"Jangan sampai kita terlambat. Kudamu bisaberlari kencang?" tanya Rangga.
"Kau menantang adu balap?" Dara malah me-nantang.
"Kalau kau mampu."
Tanpa menunggu aba-aba lagi, gadis itu menggebah kudanya sambil membentak keras.
?"Heaaa...!"
Kuda tunggangan Dara berlari kencang meninggalkan Rangga. Sebaliknya, Pendekar Rajawali Sakti tenang-tenang saja. Dan setelah jarak di atara mereka mulai jauh, kudanya pun mulai digebah.
"Yeaaa...! Ayo, Dewa Bayu! Tunjukkan keper-kasaanmu...!" ujar Rangga.
Kuda berbulu hitam bernama Dewa Bayu meringkik pendek, lalu melesat kencang. Keempat kakinya yang kokoh dan ramping, melompat jauh dengan cepat. Sehingga dalam waktu singkat, Rangga telah menjajari Dara yang berusaha sekuat tenaga menggebah kudanya.
"Gila! Bukan main hebatnya kudamu itu!" puji Dara ketika telah berdampingan kembali.
"Ah... Ini hanya kuda biasa..." kata Rangga.
Belum juga Rangga meneruskan kata-kata-nya...
"Aaa"!"
Mendadak terdengar suara jeritan.
"Dari arah sana!" tunjuk Dara ke sebelah kanan, seraya membelokkan kudanya dan melesat ke kanan.
? *** ? "Bajingan terkutuk! Akhirnya kita bertemu lagi di sini!" bentak Dara geram, ketika telah tiba di tempat asal suara jeritan tadi.
Di depan Dara berdiri seorang laki-laki berse-ragam kuning dengan blangkon kuning. Dia tadi baru saja keluar dari semak-semak dengan senyum yang lebih mirip seringai kepuasan.
Melihat orang di depannya, Dara langsung melompat dari kudanya seraya mencabut pedang. Lalu diserangnya laki-laki itu secepat kilat.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Siapa kau, Nisanak! Dan kenapa menye-rangku tiba-tiba?" tanya laki-laki bersurjan seraya berkelit dari tebasan pedang.
Gerakan laki-laki ini lincah dan mantap. Sehingga siapa pun tahu kalau dia bukan orang sembarangan.
"Kau mungkin saja lupa padaku. Tapi, jangan harap aku akan melupakanmu. Bangsat! Akan kupancung lehermu untuk menebus perbuatan laknatmu!" geram Dara.
"He he he...! Kau pasti salah seorang dari mereka yang tergila-gila padaku, sehingga sulit melupakan wajahku yang tampan. He he he...! Kenapa mesti main kasar segala" Kalau minta baik-baik, tentu aku tidak menolak. Kita akan mengulangi kemesraan itu sekali lagi," sahut laki-laki bersurjan, bernada menghina.
"Cuih, Keparat! Tutup mulut busukmu itu!"
"Ha ha ha...!"
Bukan main geramnya Dara melihat laki-laki bersurjan yang merupakan musuh bebuyutannya masih bisa tertawa-tawa. Bahkan mengejeknya seperti itu. Kemarahannya tidak terbendung lagi. Kalau menuruti hari, ingin rasanya dia mencabik-cabiknya menjadi serpihan kecil-kecil. Namun sa-yang, hal itu tidak bisa dilakukan. Sebab, meski telah mengerahkan segenap kemampuan untuk mendesak, laki-laki itu masih tetap tenang-tenang saja. Sama sekali tidak merasa terdesak.
? *** ? "Kalau aku tidak mampu membunuhmu, rasanya lebih baik aku mati saja!" dengus Dara. Sambil mengibaskan pedangnya disambarnya leher laki-laki itu, kemudian disusulnya dengan tikaman cepat ke arah jantung.
Laki-laki yang tak lain Bajingan Gunung Merapi meliuk gesit, membuat serangan itu kandas menyapu angin.
"Kau mau mati" Bagaimana caranya" Bunuh diri! Amboi, gadis secantik kau hendak bunuh diri" He he he ! Kenapa kau tidak menyerah baik-baik saja" Kau akan aman dalam pelukanku. Akan ke tagihan setelah merasakan belaian mesra tanganku. Akan?"
"Tutup mulut busukmu, Bangsat!" potong gadis itu memaki geram. Kembali pedangnya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam.
Bet! Wuk! "Uts! Hup"!"
Lagi-lagi Bajingan Gunung Merapi berkelit gesit. Kesabarannya mulai pudar. Dan dengan sedikit geram, dia mulai balas menyerang.
"Heaaa..!"
Dengan sekali bergerak, Bajingan Gunung Merapi menghantam pergelangan tangan gadis itu.
Plak! Dara terkesiap. Nyaris pedangnya lepas dari genggaman.
"Keparat!" desis gadis itu, ketika terjajar mundur dengan tangan terasa kesemutan.
Pertemuan Di Kotaraja 11 Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa Naga Pembunuh 8

Cari Blog Ini