Ceritasilat Novel Online

Bunuh Pendekar Rajawali 2

Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Bagian 2


"Hm, bagus! Ternyata dugaanku tidak salah Ak-hirnya kujumpai juga kalian di sini!" dengus penung-gang kuda yang ternyata seorang wanita tua.
"Nyai Koneng! Apakah kau tidak punya tata kra-ma" Tiba-tiba saja kau muncul dan menggagalkan se-gala apa yang telah terjadi," tegur Nyai Darmi Putri,
bernada sedikit kurang senang.
Orang yang baru muncul memang Nyai Koneng.
Setelah berpisah dengan Ki Pintur Gumelar, dia senga-ja datang ke Padepokan Tapak Merah. Dia memang
menduga, bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan datang
ke sini. Hal itu tidak heran, mengingat berita yang di-dengarnya, bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan mem-bunuh mereka yang sepuluh tahun lalu telah menja-tuhkan Ki Netra Buana. Dan, Nyai Darmi Putri adalah
seorang di antaranya.
"Apa maksudmu" Kedatanganku ke sini untuk
membantumu? menghajar kedua bocah kurang ajar
ini!" sahut Nyai Koneng gusar.
"Tahukah kau, bahwa sebelum kedatanganmu,
kami telah meringkus mereka" Dan kini, kau malah
mengacaukan segalanya!" rungut Nyai Darmi Putri.
"Meringkus mereka katamu" Untuk apa" Mereka
harus dibunuh setelah apa yang mereka lakukan ter-hadap sahabat-sahabat kita!" sahut Nyai Koneng.
Nyai Darmi Putri bermaksud menyahut kembali.
Namun Nyai Koneng yang memang adatnya keras, su-dah langsung memotong.
"Sudahlah! Kalau memang kau tidak senang, biar
aku yang akan menghajar mereka!"
"Tapi, Nyai Koneng."
Wanita berbaju serba kuning itu tidak mempedu-likan ocehan Nyai Darmi Putri. Dan dia langsung me-lompat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaat!"
Melihat lawan menyerangnya, Rangga tidak ting-gal diam dan langsung menyamburnya. Pertarungan
tidak dapat dihindari lagi. Nyai Koneng menyerang pe-nuh semangat, karena hatinya diliputi kemarahan. Se-dangkan pemuda itu agaknya mengikuti irama seran-gan lawan. Melihat wanita tua itu begitu bernafsu un-tuk membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti merasa
dirinya terancam. Sehingga, dia melawan dengan sen-git.
Sementara itu, Nyai Darmi Putri tidak punya pi-lihan. Kalau dia membantu Nyai Koneng, maka wanita
itu akan marah karena merasa tersinggung. Seolah-olah, Nyai Koneng merasa direndahkan karena tak
mampu menundukkan. Maka, ketua padepokan itu
menyuruh murid-muridnya kembali meringkus Sarti.
Tapi, kali ini Sarti cukup cerdik. Disadari kalau
tidak akan unggul menghadapi lawan-lawan-nya gadis
itu bergerak mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Kau harus menghadapi mereka juga!
Lihat, mereka hendak membunuhku, dan juga akan
membunuhmu!" teriak Sarti.
Rangga cepat menghantam murid-murid Nyai
Darmi Putri dengan satu pukulan jarak jauh.
"Heaaa!"
"Awaaas...!" teriak Kembang Mayang pada ka-wan-kawannya, seraya melompat menghindar.
"Yeaaa!"
Nyai Koneng mempergunakan kesempatan itu
untuk menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Namun
Rangga agaknya telah memperhitungkan nya. Tubuh-nya cepat berkelit gesit sambil membungkuk. Lalu di-balasnya serangan itu dengan hantaman pukulan ja-rak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiiih!"
Selarik cahaya merah menyambar Nyai Koneng,
begitu Rangga menghentakkan? tangan kanannya ke
depan. Wanita itu terkejut. Segera dia mencelat ke
samping sambil mencabut sepasang pedang bergagang
perak. Sring! Begitu berhasil menghindari cahaya merah itu,
Nyai Koneng langsung meluruk menerjang Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hiyaaa!"
Si Pendekar Rajawali Sakti agaknya tidak me-ngurungkan niat membunuh, melihat apa yang hen-dak dilakukan wanita itu. Tanpa membuang waktu,
pedang pusakanya dicabut. Langsung dipapaknya ke-lebatan pedang Nyai Koneng.
Tras! "Heh"!"
*** ? Nyai Koneng terkejut bukan main. Ternyata se-rangannya berakibat parah. Akibatnya sungguh fatal,
pedangnya terbabat putus. Kalau saja tubuhnya tak
langsung mencelat ke samping, niscaya ujung pedang
Rangga akan merobek dadanya.
"Heaaa!"
Rangga bertindak tidak kepalang tanggung. Dan
dia sudah terus mengejar dengan kecepatan sulit di-ikuti pandangan mata biasa. Meski Nyai Koneng
menghantam dengan pukulan jarak jauh bertenaga
penuh, namun dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti
mengegoskan tubuh menghindarinya. Malah tubuhnya
terus meluruk dengan kelebatan pedangnya yang amat
dahsyat. Nyai Koneng terdesak, tidak bisa menghindarkan
diri dari serangan Rangga yang bertubi-tubi. Dan jalan
terakhir adalah memapaki senjata Pendekar Rajawali
Sakti dengan pedangnya yang tinggal satu. Dan....
Tras! Seperti? bisa diperhitungkan, pedang bergagang
perak itu putus dibabat senjata Pendekar Raja-wali
Sakti. Nyai Koneng bermaksud menjatuhkan diri, un-tuk menghindari sambaran pedang Rangga. Namun
saat itu juga, satu tendangan keras menghantam ke
arah perut. DukK! "Aaakh...!"
Nyai Koneng melenguh tertahan. Dan belum lagi
wanita itu sempat bersiaga, tebasan pedang Pen-dekar
Rajawali Sakti telah berkelebat bagaikan kilat, sehing-ga tidak mampu dihindarinya. Sehingga...
Cras! Nyai Koneng bahkan tidak sempat berteriak ketika kepalanya menggelinding!
"Heh!"
Semua yang melihat kejadian itu berseru kaget.
"Sadis! Biadab!" maki Nyai Darmi Putri dengan
wajah merah menahan amarah.
"Kakang! Tidak usah banyak bicara lagi Habisi
mereka semua!" teriak Sarti memberi perintah disertai
senyum liciknya.
Rangga langsung melompat menyerang Nyai
Darmi Putri beserta murid-muridnya.
"Heaaat..!"
Dhesss! "Aaa...!"
Tiga orang murid Padepokan Tapak Merah me-mekik setinggi langit, langsung terjungkal bersimbah
darah ketika mencoba memapak serangan Pendekar
Rajawali Sakti. Pedang di tangan pemuda itu agaknya
tidak mengenal ampun. Sehingga, membabat siapa sa-ja yang mendekatinya. Hal ini menimbulkan rasa resah
di antara murid-murid itu.
Meski Nyai Darmi Putri berusaha menahan se-rangan pemuda itu, tetap saja sepak terjangnya tidak
dapat dihalangi. Dan kali ini, mereka tidak bisa men-gulangi siasat seperti tadi. Sebab, Pendekar Rajawali
Sakti tidak memberi kesempatan pada murid-murid
Padepokan Tapak Merah untuk meringkus Sarti. Nya-tanya pemuda itu selalu melindunginya dari serangan.
"Kembang Mayang! Bawa yang lainnya menying-kir! Percuma saja kalian menahan mereka Ayo, bawa
mereka menyingkir. Biar ku tahan pemuda ini!" teriak
Nyai Darmi Putri memperingatkan murid-muridnya.
"Tidak, Guru! Kami akan tetap bersamamu sam-pai tetes darah yang penghabisan!"
"Jangan membantah, Bodoh! Ayo, masih banyak
yang harus kalian lakukan. Cepat pergi kataku! Ce-paaat...!" bentak wanita itu geram, seraya mencabut
pedang dan memperhebat serangan.
Kembang Mayang untuk? sesaat menjadi ragu.
Namun, Sarti tidak memberi kesempatan dan sudah
langsung menerjangnya.
"Kalian kira bisa lolos begitu saja" Terimalah
kematianmu. Yeaaa!"
"Hup!"
Kembang Mayang melompat menghindar. Kemu-dian, dia balas menyerang bersama kawan-kawannya.
"Kembang Mayang! Jangan hiraukan dia! Pergi-lah kalian secepatnya dari sini!" teriak Nyai Darmi Pu-tri.
Baru saja wanita itu menyelesaikan kata-kata-nya Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang Nyai
Darmi Putri terkejut, dan nyaris kepalanya mengge-linding. Untung dia cepat menjatuhkan diri. Namun,
pemuda itu tidak memberi hati. Bahkan langsung
mengayunkan satu tendangan keras.
Duk! "Aaakh!"
Nyai Darmi Putri menjerit kesakitan. Tubuhnya
kontan terjungkal ke belakang dengan darah segar
menyembur dari mulut. Pada saat itu juga, pedang di
tangan Rangga menyambar pinggangnya.
Cras! "Aaakh!"
Wanita tua itu memekik tertahan. Dan tubuhnya
langsung bersimbah darah dengan pinggang nyaris pu-tus!
"Guru...!"
Kembang Mayang terkejut melihat kejadian itu.
Sehingga, dia melupakan Sarti. Kembang Mayang
langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sak-ti dengan amarah meluap.
"Jahanam keparat, kubunuh kau! Yeaaa...!"
Melihat itu, Sarti tidak tinggal diam. Dan pe-dangnya cepat berkelebat mengejar. Kembang Mayang
terkesiap. Dan meski kakinya mampu di-tekuk untuk
menghindari tebasan, namun pedang Sarti langsung
berbalik dengan gerakan meliuk menyambar ping-gangnya.
Cras! "Aaa...!"
Gadis itu terpekik, dan roboh bermandikan da-rah.
"Heh"!"
Murid-murid Padepokan Tapak Merah yang lan
terkejut melihat kejadian itu. Mereka bermaksud me-nuntut balas, namun teringat pesan guru mere-ka.
Maka dengan segera, mereka berkelebat meninggalkan
tempat itu secara bersamaan.
"Hi hi hi...! Ayo, larilah sekencang-kencang-nya
selagi kalian masih mampu! Hi hi hi...! Pengecut pe-ngecut hina! Kalian tidak ada guna-nya hidup, setelah
guru kalian mampus!" Teriak Sarti sambil tertawa
nyaring dan membiarkan saja mereka yang kabur dari
tempat ini. Lalu setelah tidak ada yang tersisa, Sarti segera
mengajak Rangga untuk meninggalkan tempat itu.
*** ? Sosok tubuh mengendalikan kudanya pelan-pelan, dengan wajah tertunduk lesu. Udara yang panas
menyengat, seperti tidak dirasakan oleh-nya Lebih ku-rang dua puluh tombak di depannya, terdapat sebuah
pintu gerbang yang terbuat dari barisan kayu jati sebe-sar betis kaki orang dewasa, setinggi satu tombak. Di
atasnya terdapat sebilah papan panjang dua kali ren-tangan orang dewasa bertuliskan Padepokan Kalong
Wetan. Perlahan sosok itu turun dari kudanya, setelah
tiba di muka pintu gerbang.
"Sampurasun...," ucap sosok itu, memberi salam.
"Siapa gerangan Kisanak" Dan, hendak bertemu
siapa?" Tanya satu suara dari dalam setelah membalas
salam hormat orang itu.
"Aku Ki Pintur Gumelar, hendak bertemu guru-mu, Ki Polong."
Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Dan dua
orang murid padepokan yang menjaga pintu gerbang
menyilakannya masuk. Seorang dari mereka segera
membawakan kudanya ke istal.
Orang tua yang ternyata Ki Pintur Gumelar itu
menunggu barang sesaat di beranda depan, sebelum
muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun memakai baju loreng. Kepalanya hanya sedikit
ditumbuhi rambut yang telah memutih. Tubuhnya
agak pendek, dengan perut besar serta memakai baju
loreng. Wajahnya tampak cerah menyambut tamunya.
"Sahabatku Ki Pintur Gumelar! Ah! Angin apakah
gerangan yang membawamu ke tempatku ini" Ayo, si-lakan masuk ke dalam!" sambut laki-laki berbaju lo-reng itu.
Mereka berpelukan sesaat. Kemudian Ki Pintur
Gumelar mengikuti langkah laki-laki tua itu ke dalam.
Dan kini mereka sampai di sebuah ruangan yang tidak
begitu besar, namun memiliki jendela banyak dan ter-buka lebar. Sehingga, udara sejuk terasa menerpa ku-lit.
"Ki Polong, apakah kedatanganku menggang-gumu...?" Tanya Ki Pintur Gumelar.
"Mengganggu" Ah, sama sekali tidak! Bahkan
aku merasa senang mendapat kunjungan seorang sa-habat lama sepertimu. Nah, silakan dinikmati hidan-gan yang kusediakan. Lalu, ceritakanlah kabarmu se-karang?" sahut laki-laki berbaju loreng yang bernama
Ki Polong. Ki Pintur Gumelar meneguk minuman yang dis-ediakan. Lalu ditariknya napas panjang. Kemudian
perlahan-lahan diceritakannya kunjungannya ke sini.
"Astaga! Jadi benar berita yang kudengar itu"!"
Wajah Ki Polong tampak terkejut ketika Ki Pintur
Gumelar selesai bercerita.
"Begitulah, Sobat. Dua hari lalu, Nyai Koneng
mengajakku untuk menghadapi Pendekar Rajawali
Sakti. Namun, dia salah menduga. Bahkan aku di-tuduh pengecut. Dan...."
Wajah Ki Pintur Gumelar tampak lesu sebelum
melanjutkan kata-katanya.
"Ada apa, Sobat?"
"Kemarin, kudengar dia tewas secara menyedih-kan."
"Astaga" Betulkah itu?"
Ki Pintur Gumelar mengangguk.
"Juga Nyai Darmi Putri...," lanjut Ki Pintur Gu-melar semakin lesu.
Kali ini, Ki Polong tidak bisa menyembunyikan
amarahnya mendengar berita yang dibawa kawan-nya.
Kedua tangannya terkepal, dan wajahnya berkerut
sambil mendengus tajam.
"Kurang ajar! Anak itu agaknya tidak bisa di-diamkan begitu saja. Kita harus menuntut balas atas
kematian mereka!" Desis Ki Polong geram.
"Kita tidak bisa bertindak gegabah, Sobat! Pen-dekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan!"
desah Ki Pintur Gumelar.
"Maksudmu?"
Ki Pintur Gumelar menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Dua orang murid Nyai Darmi Putri datang ke
tempatku. Mereka menceritakan kejadian ini. Mes-tinya, mereka telah berhasil meringkus si Pendekar Ra-jawali Sakti dengan tipu muslihat. Namun, Nyai Ko-neng muncul dan menggagalkan semuanya. Waktu
yang singkat sekali, dipergunakan Pendekar Rajawali
Sakti sebaik-baiknya. Dan berhasil melepaskan ikatan
tambang dari Padepokan Tapak Merah yang terkenal
alot dengan sangat mudah. Lalu dia mengobrak-abrik
mereka, sehingga Nyai Koneng terbunuh dengan kepa-la putus. Sedang Nyai Darmi Putri dengan pinggang
nyaris putus."
"Biadab...!" maki Ki Polong geram.
"Tenanglah, Sobat. Kita tidak bisa bersikap sem-brono. Aku telah memperingatkan, namun Nyai Ko-neng terlalu keras kepala. Kukatakan padanya bahwa
kepandaian Pendekar Rajawali Sakti amat hebat. Dan
kita bukanlah lawan sepadan bagi-nya."
"Lalu, bagaimana rencanamu?"
"Kita harus bersama-sama meringkusnya Kemu-dian memberi hukuman setimpal baginya!" jelas Ki
Pintur Gumelar tandas.
Bersama-sama siapa, jika sebagian besar ka-wan-kawan kita telah binasa?"
"Kau lupa, Sobat" Kita masih mempunyai tiga
orang kawan yang memiliki kepandaian hebat. Mereka
memiliki kepandaian dua tingkat di atas kita. Jika me-reka bersatu dengan kita serta yang lain, apa yang bisa
diperbuat Pendekar Rajawali Sakti" Kita pasti berhasil
meringkus-nya!"
"Ya, ya, aku ingat. Bukankah yang kau maksud-kan adalah Ki Walang Ijo alias si Belalang Sakti, dan Ki
Gempar Persada alias si Tangan Geledek, serta Nyai


Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami yang berjuluk si Sakit Perak?"
"Benar sekali, Sobat!"
"Tapi apakah mereka mau" Kita sudah lama se-kali tidak bertemu. Dan kudengar, mereka kini men-jauhi dunia ramai dan hidup sebagai per-tapa?" Tanya
Ki Polong ragu.
"Percayalah, Sobat. Mereka pasti mau!"
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Bagaimana tidak" Mereka akan mendengar ke-kejaman yang dilakukan si Pendekar Rajawali Sakti.
Lalu mereka menyadari bahwa kepandaian sepuluh
orang seperti kita, belum tentu bisa menandingi pe-muda itu. Apakah itu tidak cukup menjadi alasan un-tuk membantu kita" Lagi pula, bukan hanya kita yang
meminta," kata Ki Pintur Gumelar menjelaskan.
"Maksudmu?"
"Pendekar Rajawali Sakti agaknya bukan hanya
ingin membalas kita yang dulu pernah menjatuhkan si
Netra Buana, tapi lebih dari itu. Dia bisa dipergunakan
si Netra Buana untuk membunuh para tokoh silat go-longan lurus yang lain. Dia ancaman bagi mereka. Dan
itu, akan kita beritahukan pada tokoh-tokoh silat lain-nya.
"Hm, aku mengerti. Dengan begitu, Pendekar Ra-jawali Sakti akan terjepit dan menjadi incaran setiap
tokoh-tokoh persilatan."
"Ki Polong. Sebenarnya, aku tidak tega melaku-kan hal ini padanya. Pendekar Rajawali Sakti adalah
tokoh ternama. Dan selama ini, sepak terjangnya selalu di jalan lurus. Tapi entah apa sebabnya, kini dia be-rubah. Dan jelas, itu merupakan ancaman bagi tokoh-tokoh silat golongan lurus. Kita tidak punya pilihan
lain. Dan barangkali pun tidak punya kesempatan ba-ginya untuk menjelaskan duduk persoalan. Aku telah
banyak mendengar bahwa sebagian tokoh silat, amat
membencinya. Dan mereka telah mendengung-dengungkan pada yang lain untuk bersatu, guna
menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti."
"Akhir kehidupan menggiriskan dari seorang
pendekar yang begitu termashur dan disegani semua
kalangan," gumam Ki Polong.
"Yaaah! Kedengarannya memang begitu. Tapi te-lah kukatakan tadi, bahwa kita tidak punya pilihan
lain." Mereka terdiam beberapa saat, seperti mem-bayangkan apa yang akan terjadi pada Pendekar Raja-wali Sakti. Sepertinya nasibnya telah di-tentukan. Bib
semua tokoh persilatan golongan lurus yang selama ini
amat dihormati, lalu berniat hendak membunuhnya,
siapa yang mampu menahan amukan mereka?"
*** ? 6 Seorang gadis cantik berbaju biru duduk tenang
di pojok sebuah kedai di Desa Sampit. Sesekali mulutnya mengunyah makanan di depan mejanya. Wajahnya
tampak murung. Dan meski perhatiannya kelihatan
terpusat pada makanannya, sesungguhnya telinganya
sedang dipasang lebar-lebar mendengar semua perca-kapan orang-orang di kedai ini. Dan itu semakin membuat hatinya resah bercampur sedih. Bahkan tidak
percaya dan terasa amat menyakitkan!
"Rasanya sulit dipercaya kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai melakukan perbuatan biadab itu!"
kata seorang laki-laki? gemuk bermuka bundar. Dia
duduk tidak jauh dari meja gadis itu. Sejak tadi mu-lutnya terlihat tidak henti-hentinya mengunyah. Se-mentara pandangannya secara seksama tertuju pada
dua orang kawannya.
"He, apa yang kau tahu, Bodong"! Kerjamu ha-nya makan dan tidur!" ejek kawannya yang bertubuh
ceking. Dia memakai ikat kepala berbunga-bunga. Di
desa ini laki-laki berusia sekitar dua puluh enam ta-hun ini dikenal bernama Sumanta.
Mendengar ejekan Sumanta, kawan mereka yang
seorang lagi tampak sedikit tersenyum. Sejak tadi, wa-jah orang itu amat menggebu-gebu menceritakan beri-ta yang belakangan ini amat menghebohkan. Yaitu,
Pendekar Rajawali Sakti yang mengadakan pembunu-han di mana-mana secara biadab.
"Dasar si Bodong...!"
"Kalian berdua hanya bisa mengejek. Aku ber-sungguh-sungguh dan sama sekali tidak mengerti. Ke-napa Pendekar Rajawali Sakti yang selama ini dikenal
sebagai tokoh yang sering memerangi kejahatan, kok
malah membunuh tokoh-tokoh silat golongan lurus?"
sahut si Bodong sambil menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Wajahnya kelihatan bingung.
"Kenapa musti heran. Segala sesuatu di dunia ini
bisa berubah ya, Min?" sahut Sumanta.
"Iya! Apalagi, kalau telah terpengaruh harta atau
wanita." "Jadi, kalian mengira Pendekar Rajawali Sakti
terpengaruh harta atau wanita, sehingga mau berbuat
sekeji itu?" Tanya si Bodong lagi, dengan wajah sema-kin bodoh.
"Yaaah, mungkin dua-duanya," sahut laki-laki
yang bernama Samin tidak acuh.
Si Bodong terdiam, memikirkan kata-kata Samin.
Sementara itu, dari pintu kedai berdiri seorang
laki-laki kurus bermata cekung. Tangannya menggeng-gam sebatang tongkat yang pangkalnya terdapat se-buah rantai besi sepanjang lima jengkal. Di ujung ran-tai besi, tergantung tiga bilah pisau. Bajunya lusuh.
Bahkan mirip gem-bel. Tubuhnya bau, sehingga mem-buat sebagian pengunjung yang tidak tahan oleh aro-ma itu segera menutup hidungnya. Namun laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun itu sama sekali ti-dak mempedulikan pandangan seluruh orang yang be-rada di kedai ini. Dengan tenang, dia mengambil tem-pat agak di tengah. Lalu pandangannya beredar ke se-keliling ruangan, sehingga bertumpu agak lama pada
gadis berbaju biru itu.
"Eh, Kisanak akan pesan apa?" Tanya seorang
pelayan menghampiri laki-laki mirip gembel itu dengan
wajah takut-takut.
Laki-laki ini melirik sekilas dengan tatapan ta-jam. Dan si pelayan yang sejak tadi memang sudah
ngeri melihat wajah pengunjungnya yang berkesan
menggiriskan, sudah semakin bergidik saja bulu ku-duknya.
"Makanan apa saja yang kalian miliki...?" Tanya
laki-laki itu dengan suara serak
Si pelayan menyebutnya satu persatu dengan
suara sedikit gemetar.
"Hm.... Ternyata makanan di kedai ini kurang
lengkap," sahut laki-laki itu setengah bergumam.
"Kisanak! Kedai kami merupakan yang terbesar
dan terlengkap hidangannya di seluruh kadipaten ini.
Karena, kami ingin memberi kepuasan pada pengun-jung. Bila ada sesuatu yang kau sukai, boleh katakan.
Dan, kami akan berusaha menghidangkannya."
"Hm.... Kalau begitu, tolong sediakan daging se-gar Pendekar Rajawali Sakti serta seguci besar darah-nya!" sahut laki-laki itu bernada dingin.
Si pelayan tersedak dan wajahnya tampak kaget.
"Kenapa" Apakah kau tidak mampu menyedia-kan-nya" Bukankah kau katakan tadi, kedai ini beru-saha memberi kepuasan pada pengunjung" Atau, ba-rangkali aku sendiri yang harus menyediakan-nya?"
Tanya laki-laki itu dengan senyum mengejek.
"Kisanak.... Permintaanmu tidak lumrah. Mana
mungkin kami bisa menyediakannya?"
"Kalau begitu, sediakan yang lainnya."
"Apakah gerangan yang Kisanak inginkan?"
"Kalau kau tidak bisa menyediakan daging segar
Pendekar Rajawali Sakti, maka kau boleh menyediakan
kekasihnya sebagai pengganti!"
Kembali wajah si pelayan semakin bingung tidak
mengerti. Dan semua pengunjung yang dan pertama
memandang aneh pada laki-laki ini, sema kin tertarik
saja. "Kisanak...!"
"Hm.... Kau tidak perlu repot-repot Kalau me-mang tidak mampu menyediakannya, setidaknya kau
telah cukup membantu. Sebab, dia berada di ruangan
kedaimu ini."
Kata-kata si pelayan terhenti ketika laki-laki itu
langsung memotongnya.
"Eh, apa maksudmu, Kisanak?" "Maksudku ke-kasih si Pendekar Rajawali Sakti ada dalam ruangan
kedai ini. Dan, biarlah aku yang akan menangkapnya.
Lalu, setelah itu kau masaklah buatku."
Baru saja kata-kata itu selesai, mendadak men-celat sebuah cangkir ke arah gadis berbaju biru yang
sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan laki-laki
itu. Namun mendapat serangan mendadak seperti
itu, terkejut juga hati gadis itu. Tubuhnya cepat sedikit
bergeser, sehingga cangkir itu hancur berantakan
membentur tembok. Sementara tubuh laki-laki kumal
itu telah mencelat ke arahnya sambil menghantamkan
telapak tangan kanannya.
"Hiiih!"
Namun, gadis itu telah lebih dulu melompat,
menghindar. Bruak! "Setan buduk!"
*** ? Meja serta kursi tempat gadis berbaju biru tadi
berada, hancur berantakan. Sementara laki-laki berba-ju gembel itu sama sekali tidak mempedulikan. Dan
dia sudah langsung mengayunkan tongkat menyerang
gadis berbaju biru sambil terkekeh-kekeh.
"He he he...! Tidak bertemu Pendekar Rajawali
Sakti kekasihmu, maka kau pun bisa kujadikan tum-bal. Berhati-hatilah kau. Sebab, bukan aku saja yang
hendak mencincangmu. Tapi semua tokoh persilatan
pun ingin berebut membunuhmu!"
Gadis berbaju biru yang tidak lain Pandan Wangi
alias si Kipas Maut, cepat mencelat untuk menghindari
keributan yang mulai terjadi di dalam kedai. Bersa-maan dengan itu, beberapa tokoh persilatan yang tadi
berada di kedai, ikut keluar di belakang laki-laki berbaju kumal itu. Bahkan mereka sudah mengepung
Pandan Wangi dengan sikap bermusuhan.
"Si Kelelawar Buduk! Jangan serakah kau! Aku
pun punya kepentingan dengannya!" teriak seorang la-ki-laki bertubuh kekar pada lelaki berbaju gembel itu.
Cambang bauk tebal tampak menghiasi wajahnya.
"Ha ha ha...! Kau dengar itu, Kipas Maut" Betul
kataku, bukan?" Ujar laki-laki yang sesungguhnya di-kenal sebagai si Kelelawar Buduk
"Kipas Maut! Kau harus tunjukkan pada kami, di
mana Pendekar Rajawali Sakti"!" teriak seorang yang
lain dengan wajah garang.
"Huh! Kalian salah alamat! Kalau memang kalian
berurusan dengan Pendekar Rajawali Sakti, seharus-nya cari sendirilah. Aku tidak tahu me-nahu di mana
dia berada!" sentak Pandan Wangi.
"Ha ha ha...! Mustahil kau tidak tahu di mana
dia berada. Jangan coba-coba membohongi kami!" sa-hut satu suara gusar.
"Sebaiknya katakan saja, di mana dia? berada.
Maka kau bisa lepas dari tanggung jawab atas perbua-tan biadab yang telah dilakukannya!" timpal si Kelela-war Buduk.
"Kalian boleh percaya atau tidak Yang jelas, aku
tidak tahu di mana dia berada saat ini. Kemunculanku
pun untuk mencarinya!"
"Hm, kasihan sekali," desah si Kelelawar Buduk
sambil tertawa sinis.
Namun paras wajah si Kelelawar Buduk cepat
berubah bengis.
Tapi jangan harap kami bisa percaya begitu saja!
Kau hams memberitahukannya! Atau, kau yang akan
menggantikannya untuk menerima pembalasan kami!"
lanjut si Kelelawar Buduk.
"Si Kelelawar Buduk! Selamanya aku tidak per-nah gentar terhadap orang-orang sepertimu! Kalau kau
memaksa, maka aku terpaksa membela diri!" sahut
Pandan Wangi, tegas.
"Bagus! Nah, kau boleh terima kematianmu!" Si
Kelelawar Buduk langsung mencelat menyerang Pan-dan Wangi dengan mengibaskan tongkatnya. Namun,
tokoh-tokoh silat lainnya agaknya tidak mau ketingga-lan. Dengan dipenuhi amarah dan rasa dendam, lima
orang dari mereka langsung ikut menyerang si Kipas
Maut. "Si Kelelawar Buduk! Jangan serakah kau! Bu-kan hanya kau yang punya urusan dengannya!" Teriak
seseorang. Si Kelelawar Buduk agaknya tidak begitu mem-pedulikannya, apakah mereka mau mengeroyok Pan-dan Wangi atau tidak. Dia tetap menyerang gadis itu
dengan hebat. "Setan alas!" maki Pandan Wangi dengan wajah
geram. Gadis itu cepat melompat ke belakang, lalu
membuat beberapa kali putaran. Dan langsung kedua
senjata andalannya dicabut.
Sret! "Majulah kalian semua kalau hendak memaksa-ku!" desis si Kipas Maut dengan isi? dada dipenuhi
amarah. Kejadian ini bukan sekali atau dua kali ditemui
Pandan Wangi dalam waktu belakangan ini. Sehingga,
tidak membuatnya kaget. Dan dengan tenang, dia be-rusaha menahan serangan-serangan lawan.
Berita buruk yang didengarnya tentang Pen-dekar Rajawali Sakti terasa amat menyakitkan. Semu-la, Pandan Wangi menganggap bahwa itu se-kadar be-rita burung dari orang-orang yang tidak menyukai kekasihnya. Dugaannya, berita itu tidak akan bertahan
lama dan akhirnya hilang be-gitu saja. Namun, ternya-ta dari hari ke hari, malah semakin santer. Bahkan
membuatnya terpaksa harus menyelidiki sendiri kebe-narannya. Dan hatinya semakin perih ketika mengeta-hui Kenyataan kalau berita yang didengarnya hampir
benar. Semua orang menuduh begitu. Dalam hatinya,
gadis itu masih tetap tidak percaya kalau Rangga tega
berbuat telengas. Itulah sebabnya, dia berusaha men-carinya. Dan hal ini yang membuatnya sedikit banyak
sering menemui kesulitan dari tokoh-tokoh persilatan
yang mengetahui kalau dirinya memiliki hubungan de-kat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu, pertarungan berlangsung seru
dan alot. Enam orang pengeroyok Pandan Wangi beru-saha meringkusnya dengan menyerang sangat gencar.
Namun berkat kelincahan serta kepandaian yang dimi-liki si Kipas Maut, agaknya tidak begitu mudah bagi
mereka untuk meringkusnya dalam waktu singkat.
Pandan Wangi bukannya tidak menyadari kea-daannya yang terjepit. Meski saat ini masih mampu
bertahan, namun gadis itu sendiri tidak yakin berapa
lama mampu bertahan. Kalau hal ini berlangsung be-berapa jurus lagi, bukan tidak mungkin dia bisa dija-tuhkan. Berpikir begitu, si Kipas Maut berusaha men-cari kesempatan untuk kabur. Dan ketika kesempatan
itu diperoleh, tubuhnya langsung digenjot dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
sangat tinggi. Sebentar saja tubuhnya telah melesat
cepat, kabur dari tempat ini.
"Setan betina! Kau kira bisa kabur seenaknya"
Huh! Ke mana pun kau pergi, tidak akan selamat dari-ku!" teriak si Kelelawar Buduk seraya terus mengejar-nya diikuti yang lainnya.
? *** Pandan Wangi memiliki ilmu meringankan tubuh
sudah cukup tinggi. Namun si Kelelawar Buduk pun
ternyata tidak kalah hebat. Dan dia mampu menyusul
gadis itu pada jarak cukup dekat di belakangnya. Na-mun begitu, Pandan Wangi tidak ingin berhenti. Dia te-rus berlari kencang ke arah selatan. Lima orang penge-jarnya yang lain kehilangan jejak ketika telah terpaut
beberapa puluh tombak.
Setelah menyadari bahwa mereka tidak mampu
mengejar dan menghilang entah ke mana, Pandan
Wangi menghentikan larinya. Ditunggunya si Kelelawar
Buduk di bawah sebatang pohon rindang.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau menyerah juga, he"!"
Kata si Kelelawar Buduk, begitu tiba di depan Pandan
Wangi. "Huh! Kau kira begitu" Aku justru menunggu ke-sempatan seperti ini. Hanya kita berdua di sini. Dan
dengan begitu aku leluasa merobek mulutmu yang
sombong!" dengus Pandan Wangi berkacak pinggang.
"Ha ha ha...! Mulutmu memang sudah terkenal
gegabah, Kipas Maut. Tapi berhadapan denganku, kau
harus tahu diri!"
"Chuih, tutup mulutmu! Kau boleh buktikan ka-ta-katamu!" sindir gadis itu, seraya melompat menye-rang laki-laki itu dengan kedua senjata terhunus.
Srak! "Yeaaa!"
Si Kelelawar Buduk tidak kalah sigap. Tongkat-nya cepat dikibaskan, menyapu serangan senjata Pan-dan Wangi. Begitu pedangnya membentur tongkat si
Kelelawar Buduk, gadis itu menunduk-kan kepala.
Sementara senjata di tangan kirinya yang berupa se-buah kipas baja yang selama ini membuat namanya
terkenal, menyambar ke arah dada dengan kecepatan
sulit diikuti mata. Si Kelelawar Buduk terkejut dan me-lompat ke belakang.
"Uhhh...!"
"Hiiih!"
Pandan Wangi terns melompat, kini dengan sabe-tan pedangnya. Si Kelelawar Buduk tidak tinggal diam.
Langsung ditangkisnya serangan itu dengan tongkat-nya. Cepat sekali tongkatnya berbalik, sehingga tiga bi-lah pisau yang berada di ujung rantai, mencelat me-nyambar tiga titik kematian di tubuh Pandan Wangi.
Wut! Trak! Pandan Wangi cepat meliukkan tubuh se hingga,
sebilah pisau yang menyambar pinggang luput dari sa-saran. Sementara sebuah lagi yang menyambar ke


Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah jantung, kena ditangkis kipas-nya. Sedangkan pi-sau terakhir dihantam pedangnya, yang terus melibat
ke rantai. Gadis itu bermaksud membetotnya.
Trang! "Heh"!"
Bukan main kagetnya si Kelelawar Buduk. Sebi-lah pisaunya rontok dipapas senjata gadis itu. Bahkan
kipas maut Pandan Wangi cepat menyambar ke arah
leher dan nyaris merobek kulitnya, untung saja dia
mencelat ke belakang dengan membuat beberapa kali
gerakan jungkir balik
"Betina liar! Agaknya hebat juga kepandaian-mu,
he"!" dengus si Kelelawar Buduk.
"Itu belum seberapa. Kau akan melihat lebih dari
itu, setelah kedua tangan dan kakimu ku-buat putus!"
cibir Pandan Wangi kembali melompat menyerang.
"He he he...! Kau kira semudah itu" Coba tahan
pukulanku ini!"
si Kelelawar Buduk menyodokkan telapak tangan
kanannya ke muka. Dan bersamaan dengan itu, me-lesat sekelebatan cahaya ungu menyambar Pandan
Wangi. "Uts, sial!"
Sebuah pohon hancur berantakan terkena han-taman pukulan si Kelelawar Buduk Dan kalau Pandan
Wangi tidak merunduk, nasibnya sama seperti pohon
itu. Pandan Wangi memaki geram dengan hati mang-kel. Dan disertai kemarahan meluap dia kembali me-nyerang laki-laki itu dengan kekuatan penuh.
"Heaaa...!"
Si Kelelawar Buduk terkesiap. Pedang di tangan
gadis itu seperti memancarkan percik-percik bunga api
dalam kelebatan yang sulit diikuti pandangan mata.
Kemudian pedang itu mendekat bagai kilat, dan men-gurungnya dari segala arah.
"Setan!"
Si Kelelawar Buduk seraya melompat kesana
kemari dengan mengerahkan segenap ilmu meringan-kan tubuhnya. Tongkatnya berusaha menangkis senja-ta Pandan Wangi.
Kali ini terlihat bahwa si Kipas Maut berusaha
menghindar dari benturan kedua senjata. Dan dia
hanya mengelak, lalu menyerang secara tidak terduga.
Kalaupun kedua senjata mereka beradu, agaknya hal
itu hanya membuat si Kelelawar Buduk repot saja.
Trak! Bet! "Uhhh...!"
Tongkat si Kelelawar Buduk baru saja menang-kis. Namun Pedang Naga Geni milik si Kipas Maut ber-gerak cepat ke pangkal lengan. Karuan saja, dia cepatcepat menarik lengannya. Tubuhnya langsung berge-rak ke samping, dengan kepala menunduk ketika pe-dang gadis itu berkelebat menyambar leher. Tubuhnya
terus mencelat ke belakang, ketika ujung kipas Pandan
Wangi menyambar ke arah dada. Tapi si Kipas Maut
tidak menyia-nyiakan kesempatan pada jarak dekat
itu. Sambil berbalik mengejar, ujung kaki kirinya
menghantam ke arah pinggang belakang si Kelelawar
Buduk. Duk! "Aduuuh...!"
Si Kelelawar Buduk mengeluh kesakitan, dan
nyaris terjerembab. Untung saja dia bisa menguasai di-ri. Namun Pandan Wangi tidak memberi kesempatan
padanya barang sekejap. Satu sodokan maut cepat di-lepaskannya ke arah dada. si Kelelawar Buduk mengi-baskan tongkat dengan untung-untungan, karena
keadaannya belum siaga betul. Di luar dugaan, gadis
itu bergerak ke samping bawah. Lalu tiba-tiba saja ki-pas di tangannya menyambar ke arah perut.
Bret! "Aaakh!"
Si Kelelawar Buduk menjerit kesakitan, lebih ke-ras ketimbang tadi. Telapak kirinya langsung mende-kap perut yang terluka parah dan terus mengucurkan
darah. Wajahnya berkerut menahan sakit bercampur
dendam. "Hm.... Itulah pelajaran pahit yang kujanjikan
padamu...!" Dengus Pandan Wangi dengan mata me-mandang tajam si Kelelawar Buduk.
"Sial! Huh! Kau kira dengan begini, sudah me-ngalahkanku" Phuih! Jangan harap!"
"Siapa yang inginkan kekalahanmu" Dengan ca-ramu ini, aku malah ingin membunuhmu!" sahut gadis
itu dingin. "Majulah! Kau akan dapat balasan yang setim-pal...!" dengus si Kelelawar Buduk mengancam.
"Chuih! Orang sepertimu memang tidak patut di-kasihani. Kau boleh mampus sekarang juga!"
Pandan Wangi mulai geram dan naik pitam. Na-mun sebelum dia melompat menyerang, mendadak
muncul dua sosok tubuh akan melewati mereka.
Pandan Wangi terkesiap dan si Kelelawar Buduk
pun terkejut begitu melihat seorang gadis belia berwa-jah cantik berbaju merah muda. Dia membawa pedang
di punggungnya. Tapi bukan gadis itu yang menarik
perhatiannya. Melainkan, pemuda tampan berbaju
rompi putih yang berjalan di sebelahnya. Dia tidak bisa
menahan gembira. Dan dengan wajah cerah, Pandan
Wangi berlari kecil menghampiri.
"Kakang Rangga...!"
Pemuda tampan berbaju rompi putih yang me-mang Rangga terkesiap dan menoleh. Demikian juga
gadis berbaju merah muda itu. Bedanya, pemuda itu
memandang Pandan Wangi dengan aneh dan asing,
seperti baru pertama kali bertemu. Sedang gadis di se-belahnya sudah langsung bertindak, langsung melom-pat menghalangi Pandan Wangi.
"Perempuan rendah! Enyahlah kau...!"
Mendengar itu Pandan Wangi terkejut. Kontan
langkahnya dihentikan. Dia seperti menyadari kalau
gadis berbaju merah muda ini dekat dengan pemuda
itu. Padahal dalam kegembiraan hatinya, gadis yang
tak lain Sarti itu seolah-olah tidak terlihat dalam pan-dangannya. Wajahnya tampak bingung bercampur ma-rah. Matanya bergantian memandang mereka berdua.
"Siapa kau..."!" Bentak Pandan Wangi kesal.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 " . 146. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Bag. 7 dan 8 (Selesai)
4. Dezember 2014 um 08:38
7 Dibentak begitu, bukan membuat Sarti kaget
atau takut. Dia malah tersenyum mengejek sambil
berkacak pinggang.
"Heh! Apakah kau tidak tahu malu" Pemuda itu
adalah Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor. Dan aku
adalah kekasihnya. Nah, tidak usah cari penyakit!"
"Hm, begitu?" Sahut Pandan Wangi tidak kalah
sinis. "Coba kau tanya padanya, siapa aku ini."
"Untuk apa aku musti tanya-tanya segala" Dia
tidak berbohong. Kalau dia pernah kenal denganmu
sebelumnya, maka sudah pasti tidak memandangmu
seperti orang asing!" Balas gadis berbaju merah muda
itu dengan sengit.
Mendengar pembicaraan mereka berdua, pemuda
berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali
Sakti semakin bingung dengan wajah bodoh.
"Sarti, apa yang terjadi?" Tanya Rangga.
"Kakang Rangga, gadis ini berkata kalau kau
pernah mengenalnya. Betulkah itu?" Tanya Sarti se-raya menggamit lengan pemuda itu dengan nada man-ja.
Bukan main jengkelnya Pandan Wangi melihat
sikap gadis itu. Matanya melotot garang, lalu sambil
berkacak pinggang telunjuknya menuding pemuda itu.
"Kakang Rangga, jadi benar apa yang kudengar
selama ini" Tiba-tiba saja kau menjadi manusia be-jad"! Kini, mulai aneh dan mencoba untuk tidak men-gingat ku. Bagus betul perbuatanmu?"
Rangga memandang Pandan Wangi dengan mata
seperti tidak berkedip. Namun, raut wajahnya tetap sa-ja bingung dengan dahi berkerut seperti berpikir keras.
Di mana dia pernah mengenal gadis itu"
"Nisanak, si..., siapakah kau sebenarnya" Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya...?" Tanya
Rangga, seperti tak mengenali Pandan Wangi.
Bukan main terkesiapnya Pandan Wangi men-dengar sahutan Rangga. Dia memandang dengan wa-jah tidak percaya. Sementara, Sarti tersenyum menge-jek.
"Kau dengar" Dia tidak mengenalmu. Lebih baik,
lekas enyah dari mukaku sebelum aku naik darah.
Kau akan celaka, Nisanak. Apalagi bila berani menga-ku kalau kau adalah kekasihnya!"
Namun, Pandan Wangi tidak menghiraukan kata-kata gadis itu. Kakinya lantas melangkah lebih dekat
untuk meyakinkan pemuda itu.
"Kakang! Aku Pandan Wangi. Tidak ingatkah kau
padaku" Atau kau benar-benar telah kepincut gadis
ini" Katakanlah, Kakang. Aku rela mendengarnya
meski menyakitkan. Kau tidak seperti yang kukenal.
Apakah gadis ini begitu hebat mempengaruhimu se-hingga kau sampai berbuat telengas" Jawablah, Ka-kang. Ada apa semua ini" Kenapa kau berpura-pura
tidak mengenalku?" cecar Pandan Wangi.
"Eh! Aku..., aku."
Rangga tampak bingung. Hatinya seperti bergon-cang ketika mendengar kata-kata gadis itu. Pancaran
matanya menusuk tajam, dan berusaha keras menge-tahui siapa gadis berbaju biru ini. Seolah olah, hatinya
begitu dekat dengan gadis itu. Namun, dia tidak tahu
kapan dan di mana pernah bertemu. Melihat gelagat
itu, bukan main kesalnya Sarti. Digamitnya lengan
pemuda itu. "Kakang Rangga, jangan dengarkan ocehannya!
Gadis ini coba mempengaruhi mu. Dan jangan-jangan,
dia malah hendak menjebakmu. Lebih baik bereskan
saja dia!" bentak Sarti.
"Aku..., aku...," kata Rangga tergagap.
"Apalagi yang kau tunggu" Ayo, bunuh dia! Dia
berusaha menipu dan membuatmu lengah. Baru sete-lah itu, dia akan membunuhmu. Dia adalah musuh-mu, Kakang. Ayo, lekas bunuh dia!" hardik Sarti me-merintah.
"Sarti.... Aku tidak bisa membunuhnya."
"Tolol! Kau harus mengikuti apa kataku. Ayo,
bunuh dia...!" ulang gadis itu, membentak keras.
Kali ini tidak seperti sebelumnya, Rangga diam
saja. Wajahnya tampak bimbang, dan sama sekali ti-dak beringsut dari tempatnya.
"Huh! Kalau begitu, biar kubereskan dia. Agar ti-dak menjadi penghalang!" dengus Sarti. Segera gadis
itu melompat mencabut pedangnya dan menyerang
Pandan Wangi. Sring! "Kau telah kuperingatkan, namun keras kepala.
Maka kini kau boleh mampus di tanganku!" desis Sar-ti.
"Huh!" dengus Pandan Wangi, sinis.
Perasaan kesal serta sedih di hati gadis itu ber-baur menjadi satu. Dan melihat Sarti menyerangnya,
dia seperti menemukan tempat untuk me-lampiaskannya. Maka dengan cepat, Pandan Wangi
mencabut kipasnya untuk meladeni serangan.
Pertarungan kedua gadis itu tidak dapat dielak-kan lagi. Rangga diam saja memperhatikan dengan wa-jah makin bingung. Sementara, si Kelelawar Buduk
yang sejak kehadiran si Pendekar Rajawali Sakti di
tempat ini, lebih banyak diam sambil memperhatikan
perkembangan. Niat si Kelelawar Buduk yang semula untuk
menghajar si Pendekar Rajawali Sakti, kini berubah setelah dilukai Pandan Wangi.
Selama ini yang diketahuinya, kepandaian si Ki-pas Maut berada di bawah si Pendekar Rajawali Sakti.
Kalau saja dia dapat dikalahkan gadis itu, mana
mungkin punya harapan untuk menjatuhkan Pende-kar Rajawali Sakti" Apalagi dalam keadaan terluka se-perti saat ini. Lebih dari itu, hatinya sedikit trenyuh
melihat apa yang terjadi di depan matanya Si Kelelawar
Buduk sudah sering melihat bahwa si Kipas Maut ada-lah kekasih si Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka
suka mengembara bersama-sama. Dan dia juga bisa
menilai, bahwa Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pe-muda mata ke ranjang, sehingga mudah kepincut ga-dis lain. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti kelihatan betul-betul sulit mengingat di mana pernah mengenal Pan-dan Wangi. Hal itu membuat-nya menjadi aneh dan
menimbulkan tanda tanya besar.
? *** Sementara itu pertarungan antara Pandan Wangi
dan Sarti semakin seru. Sarti menyerang dengan ka-lap. Namun sejauh ini, dia belum mampu menunduk-kan Pandan Wangi. Bahkan perlahan-lahan,? terlihat
dia mulai terdesak hebat oleh serangan balasan yang
dilancarkan si Kipas Maut Apalagi, Pandan Wangi me-mang sedang kalap. Dan di samping itu, kepandaian-nya sangat tinggi. Sehingga ketika Pandan Wangi mulai
mengerahkan jurus-jurus mautnya, Sarti dibuat tidak
berkutik. Gadis itu hanya mampu melompat menghin-dar kesana kemari.
"Hiiih!"
Kipas Maut di tangan Pandan Wangi menyambar
ke arah perut, ketika baru saja menangkis. Sarti terkejut Dan dia cepat mengelak dengan melompat ke bela-kang. Masih terasa desir angin tajam dari senjata Pan-dan Wangi, sehingga membuat jantungnya berdetak
kencang. Apalagi ketika mengetahui kalau gerakan
Pandan Wangi cepat bukan main.
Baru saja Sarti mendaratkan kakinya di tanah,
Pandan Wangi sudah berkelebat cepat, dengan ka-ki
terangkat Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss! "Aaakh!"
Sarti menjerit keras. Tubuhnya kontan terbant-ing saat dadanya terhantam tendangan keras.
"Huh! Kau boleh mampus sekarang juga!" desis
Pandan Wangi dengan amarah meluap, siap melompat
menerjang Sarti. Tapi...
Werrr! "Heh"!"
Pandan Wangi terkesiap. Mendadak saja, serang-kum angin kencang menghalangi niatnya. Dan ketika
mengetahui kalau penyerangnya adalah Pendekar Ra-jawali Sakti, gadis itu semakin terkejut saja.
"Kakang! Apa yang kau lakukan" Kau membela
gadis ini" Apakah dia telah menjadi gendakmu?" Den-gus Pandan Wangi, terkejut setengah mati.
"Eh! Bukan maksudku begitu. Tapi..., kau hen-dak membunuhnya," sahut Rangga merasa bersalah.
"Kakang Rangga! Kau lihat, gadis ini hendak
membunuhku. Ayo, lekas kau hajar dia! Bunuh dia se-belum melukaimu!" Hardik Sarti geram.
"Sarti! Tujuan kita bukan di sini. Lebih baik, kita
lanjutkan perjalanan. Dan, lupakan saja dia."
"Huh! Seenakmu saja bicara! Tidakkah kau lihat
dia berusaha membunuhku" Ayo, hajar dia! Bunuh
gadis tidak tahu diri ini!" Bentak Sarti garang.
Rangga sama sekali tidak bergerak. Wajahnya
semakin bingung saja dengan pikiran bercabang-cabang. Ada niat di hatinya untuk menuruti perintah
Sarti. Namun di sisi lain, hatinya tidak menyetujui. Ka-rena dia merasakan sesuatu yang amat dekat dengan
gadis berbaju biru ini. Hal inilah yang membuatnya
kesal. Maka tanpa mempedulikan keduanya, Pendekar
Rajawali Sakti langsung berbalik dan berkelebat dari
tempat ini. "Kakang, ke mana kau"! He, tunggu! Tunggu...!"
teriak Sarti, langsung mengejar dari belakang.
Sementara, Pandan Wangi mematung dengan ha-ti kosong. Pandangan matanya sayu. Kelopak matanya
terasa hangat dan paras ketika bola matanya berair.
Gadis itu tidak kuat menahan perasaan hatinya yang
tidak menentu. Dan dia hanya bisa mematung tanpa
berbuat apa pun.
"Kakang Rangga, kenapa kau...?" keluh si Kipas
Maut, kecil setengah bergumam.
Lama gadis itu mematung sampai si Kelelawar
Buduk mendekati.
"Memang menyakitkan sekali. Tapi, hal itu agak-nya terjadi dengan tidak wajar," tegur si Kelelawar Bu-duk, turut merasakan apa yang dirasakan gadis itu.
"Apa maksudmu?" Tanya Pandan Wangi, sambil
menyeka air mata. Disadari kalau si Kelelawar Buduk
masih ada di tempat ini.
"Kekasihmu itu.... Pandangan matanya tidak bisa
menipu. Dia dipengaruhi sesuatu," jelas si Kelelawar
Buduk.

Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gadis itukah maksudmu?"
"Dengan tingkat kepandaiannya seperti itu, mana
mungkin dia mampu menguasai kekasihmu."
"Lalu?"
"Seseorang yang begitu hebat tentunya."
"Siapa orang itu?"
"Hm.... Aku tidak bisa menduga secara pasti.
Orang-orang yang terbunuh olehnya, mempunyai
sangkut-paut dengan si Netra Buana. Dan berita yang
kudengar adalah, Pendekar Rajawali Sakti menuntut
balas atas kekalahan si Netra Buana sebelas tahun la-lu oleh tokoh-tokoh yang telah dan akan dibunuhnya,"
jelas si Kelelawar Buduk lagi.
"Netra Buana" Di mana bisa kutemui orang itu?"
Si Kelelawar Buduk tersenyum kecil.
"Tidak mudah menemukannya. Sebab, tidak ada
seorang pun yang tahu di mana dia berada. Kalaupun
bertemu dengannya, apa yang bisa kau lakukan" Me-maksanya untuk mengobati Pendekar Rajawali Sakti"
Hm.... Tidak mungkin, Nisanak. Dan kepandaiannya
belum tentu bisa diimbangi, meski oleh si Pendekar
Rajawali Sakti sekali-pun."
"Huh! Aku tidak peduli meski kepandaiannya
laksana dewa! Dia harus menjelaskan apa yang telah
diperbuatnya terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Kalau
benar dia mempengaruhinya, maka harus mengemba-likannya seperti semula!" Sentak Pandan Wangi ga-rang.
"Hm.... Kurasa itu belum perlu. Kalaupun niatmu
hendak menolong kekasihmu, maka kau harus pergi
ke Padepokan Kalong Wetan."
"Padepokan Kalong Wetan" Ada apa di sana?"
"Ketua padepokan itu adalah saudara seperguru-anku yang tertua. Dan dia salah seorang yang dulu
pernah? menjatuhkan si Netra Buana. Setelah yang
lainnya tewas atau sulit ditemui, maka pilihan Pende-kar Rajawali Sakti pasti jatuh padanya. Dia pasti ke
sana!" jelas si Kelelawar Buduk yakin.
"Percuma saja. Kakang Rangga akan...."
"Nisanak! Kekasihmu dalam bahaya. Tiga orang
tokoh sakti kawan Ki Polong yang menjadi Ketua Pade-pokan Kalong Wetan, telah menantinya di sana. Dan
kudengar, lebih dari tiga belas pendekar telah menan-tinya pula. Pendekar Rajawali Sakti memang tokoh he-bat Namun kecil kemungkinan bisa lolos. Mereka ma-rah dan penuh dendam.? Dan sudah pasti, mereka
akan membunuhnya. Di sinilah kesempatanmu untuk
menolongnya," jelas si Kelelawar Buduk.
Pandan Wangi terdiam. Kemudian kepalanya
mengangguk kecil, membenarkan kata-kata laki-laki
itu. Tapi kemudian dipandangnya si Kelelawar Buduk
sambil tersenyum kecil.
"Hm.... Aku tidak kenal baik denganmu. Dan ba-rusan pun, kau hendak membunuhku. Lalu, Ki Polong
itu adalah saudaramu. Untuk apa kau katakan semua
ini, kalau bukan untuk menjebakku" Huh! Jangan co-ba-coba mengelabui ku!" Desis gadis itu sengit
"Nisanak! Aku memang bukan orang baik. Tapi,
aku bisa membedakan mana yang benar dan buruk.
Kulihat, sikap si Pendekar Rajawali Sakti tidak semes-tinya. Dan itu membuatku percaya kalau dia tengah
dipengaruhi seseorang. Aku menyesal telah menuduh-nya. Juga, menyesal telah berlaku kasar padamu. Dan
untuk menebusnya, maka ku-beritahu keadaan yang
membahayakan kekasihmu. Kalau kau tidak percaya,
itu hakmu. Aku tidak peduli kau mau menolongnya
atau tidak. Selamat tinggal, Nisanak!" sahut si Kelela-war Buduk, langsung berkelebat dari tempat ini.
Pandan Wangi tercenung. Meski tidak yakin, na-mun hari kecilnya mengatakan kalau si Kelelawar Bu-duk berkata jujur. Dia sedikit bimbang, namun kemu-dian perlahan-lahan meninggalkan tem-pat ini. Yang
dituju adalah arah selatan. Arah yang ditempuhnya je-las menuju ke wilayah Padepokan Kalong Wetan!
? *** Bila melihat dari luar, suasana di Padepokan Ka-long Wetan tampak sepi. Hanya ada beberapa murid
yang beristirahat melepas lelah. Pintu gerbang sedikit
terbuka. Dan dari situ, orang luar bisa melihat bangu-nan utama padepokan yang bertingkat tiga, serta ba-rak-barak yang berbaris rapi mengelilingi, membentuk
setengah lingkaran yang kesemuanya menghadap pin-tu gerbang utama. Seluruh bangunan dan halaman
depan yang luas, dipagar deretan kayu jati berukuran
besar dan tinggi.
Keadaan seperti ini sudah biasa. Murid-murid te-lah selesai mengerjakan tugas siang hari. Dan mereka
diperbolehkan istirahat, selama beberapa waktu. Dan
menjelang sore, mereka berlatih kembali.
Dari jauh, terlihat dua orang menghampiri pade-pokan itu. Seorang gadis belia berwajah cantik berbaju
merah muda dan seorang pemuda tampan berbaju
rompi putih. Mereka tidak lain Rangga alias si Pende-kar Rajawali Sakti dan Sarti.
Seorang murid yang menjaga pintu gerbang ter-senyum kecil, manakala mereka telah berada di am-bang pintu.
"Kisanak berdua, ada keperluan apakah sehingga
dengan bersusah payah kalian mendekati Bukit Gem-bang dan mendatangi padepokan kami?" Tanya penja-ga pintu gerbang dengan nada ramah.
"Aku ingin bertemu guru kalian," sahut Sarti.
"Oh! Beliau ada di dalam. Silakan masuk."
"Hm...."
Gadis itu mendengus sinis seraya melangkah ke
dalam, diikuti oleh Rangga.
"Maaf, Bolehkah aku tahu, siapa gerangan Ki-sanak berdua" Agar guruku bisa tahu siapa gerangan
tamu-tamunya?" Tanya murid itu lagi, saat mereka te-lah berada di tengah-tengah hala-man depan.
"Cerewet! Suruh saja dia keluar!" sentak Sarti
kesal. "Eh! Baiklah kalau begitu. Silakan menunggu di
beranda depan."
"Tidak perlu!"
Murid padepokan itu ke dalam, sementara Rang-ga dan Sarti berdiri tegak sambil memperhatikan ke
sekeliling tempat. Dan pertama-tama yang diperhati-kan adalah pintu gerbang yang ditutup.
Sarti mendengus sinis, manakala tujuh orang te-lah berjaga di pintu gerbang depan. Kemudian satu
persatu, terlihat murid-murid padepokan ini keluar da-ri barak masing-masing. Mereka langsung berdiri men-gelilingi sisi pagar, membentuk setengah lingkaran. La-lu lebih dari tiga puluh murid Iain melompat ke atas
pagar, membawa senjata panah serta jala.
"Hm, bagus. Agaknya mereka telah bersiap me-nyambut kita," dengus Sarti melihat gelagat itu.
Rangga terdiam. Namun, pandangan matanya te-rus waspada memperhatikan ke sekelilingnya. Ki-ni
kedua anak muda itu telah terkepung oleh se-luruh
murid padepokan ini. Dan agaknya, jumlah murid
yang banyak itu tidak hanya berasal dari padepokan
ini belaka. Tapi, juga dari beberapa padepokan lain.
Sebab, jumlah mereka terus bertambah. Dan masing-masing, siap dengan senjata berbeda. Tidak kurang
dari seratus orang telah mengepung Rangga dan Sarti
dengan rapat. Sarti mulai tertegun. Dan nyalinya sedikit ciut,
melihat jumlah lawan-lawan mereka yang terus ber-tambah.
"Kakang! Aku mencium gejala yang kurang baik,"
kata gadis itu khawatir.
"Tenanglah."
"Oh! Bagaimana aku bisa tenang" Jumlah me-reka terus bertambah. Tempat ini telah menjadi lautan
manusia. Dan kita terkurung di tengah-tengahnya."
"Kenapa" Apakah kau takut?"
"Siapa yang mampu keluar dari kepungan ini"
Meski seorang yang memiliki kepandaian hebat, belum
tentu bisa keluar dengan selamat"
Rangga tidak menjawab lagi. Dan meski nyalinya
terus menciut, namun melihat sikap si Pendekar Raja-wali Sakti tetap tenang, hatinya sedikit terhibur.
Seorang laki-laki tampak keluar dari pintu depan
bangunan utama padepokan ini. Perutnya gendut dan
kepalanya ditumbuhi sedikit rambut. Orang ini tidak
lain dari Ki Polong, Ketua Padepokan Kalong Wetan.
Berada di sebelah kiri-nya adalah dua orang laki-laki
berusia sekitar tujuh puluh tahun. Yang berpakaian
hijau, bernama Ki Walang Ijo. Dia bergelar si Belalang
Sakti. Di sampingnya, adalah seorang tokoh tua lain
yang namanya pernah menggetarkan dunia persilatan
karena kehebatan ilmu silatnya. Namanya, Ki Gempar
Persada atau dikenal sebagai si Tangan Geledek. Se-dang di sebelahnya lagi, adalah seorang wanita berusia
sekitar enam puluh tahun. Tangannya memegang se-batang tongkat pendek dari rotan. Kalangan persilatan
mengenalnya sebagai si Sabit Perak, sebenarnya, nama
aslinya adalah Nyai Kami. Senjata khasnya adalah se-buah sabit berwarna keperakan yang terselip di ping-gangnya.
Sementara di sebelah kanan Ki Polong tampak
seorang laki-laki setengah baya yang tak lain Ki Pintu
Gumelar. Sedangkan di belakang mereka, terlihat tidak
kurang dari lima belas tokoh persilatan ternama.
"Hm.... Pendekar Rajawali Sakti sungguh tepat
kedatanganmu di sini. Nah! Apakah kau hendak me-mulainya sekarang?" sapa Ki Polong sambil tersenyum
kecil. "Kaukah yang bernama Ki Polong?" Tanya Rang-ga.
"Benar, akulah orangnya."
"Bagus! Kau hams mati di tanganku!" Desis pe-muda itu. Tanpa basa-basi, Rangga langsung me-lompat menyerang Ki Polong.
Orang tua itu tidak tinggal diam. Dengan satu
isyarat tangan, maka regu pemanah langsung menghu-jani pemuda itu dengan puluhan anak panah.
Pendekar Rajawali Sakti cepat membuat gerakan
salto yang indah untuk menghindari hujan anak pa-nah itu. Dan begitu mendarat, kedua kakinya langsung
ditentang lebar. Kedua tangannya cepat terangkut ke
atas kepala, lalu bergerak ke pinggang. Dan....
"Aji "Bayu Bajra'!"
*** ? 8 Maka bersamaan teriakan Rangga, melesat be-berapa buah jala yang terbuat dari bahan yang alot
Tapi saat itu juga bertiup angin kencang laksana badai
topan, menerbangkan jala-jala yang akan meringkus
Rangga dan Sarti. Dan baru saja serangan melalui jalajala itu gagal, kembali melesat puluhan batang anak
panah ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Sarti.
"Hup! Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti melompat kesana kema-ri menghindarinya dengan gerakan gesit Dengan ting-kat kepandaian yang telah tinggi, mudah bagi Rangga
untuk menghindarinya. Tapi tidak bagi gadis berke-pandaian tanggung seperti Sarti. Maka....
Crab! "Aaakh...!"
Sarti menjerit keras. Tiga batang anak panah
menancap di betis, paha kiri dan punggungnya.
"Sarti..."!"
Rangga terkejut, buru-buru hendak memburu
gadis itu. Namun saat itu juga, sepuluh orang tokoh
persilatan yang berada di belakang Ki Po-long bergerak
menyerangnya. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa men-gurungkan niatnya, langsung meladeni mereka. Se-dangkan Sarti yang terluka parah, kena diringkus mu-rid-murid padepokan ini.
"Pendekar Rajawali Sakti, kau lihat! Kawanmu te-lah kena ringkus! Maka sebaiknya menyerah-lah!" te-riak Ki Polong memperingatkan.
Pendekar Rajawali Sakti mundur dua langkah
dengan wajah bingung.
"Tidak, Kakang! Jangan menyerah. Kau harus
membunuh mereka semua! Bunuh mereka semua.
Dan, jangan pedulikan aku...!" Teriak gadis itu lantang.
Wajah si Pendekar Rajawali Sakti tampak be-rubah geram seraya memandang ke arah lawan lawan-nya. Lalu dengan bengis Pedang Pusaka Rajawali Sakti
dicabut dari warangkanya.
Sring! "Siapa yang ingin mati lebih dulu, majulah kalian!" Desis Pendekar Rajawali Sakti garang.
Tantangan Rangga langsung disambut tiga orang
tokoh tua yang berada di samping Ki Polong.
"Pendekar Rajawali Sakti, kami terima tantan-ganmu! Yeaaa...!" teriak Ki Walang Ijo, sambil menca-but pedang pusaka yang terselip di pinggangnya
Ki Gempar Persada pun tidak kalah gesit. Tong-kat baja yang tadi tersembunyi di balik biru dicabut-nya. Tongkat sepanjang lima jengkal itu sesungguhnya
bukan senjata biasa, tapi sebuah warangka pedang ti-pis yang terbuat dari bahan amat kuat.
Sementara itu, Nyai Kami dengan sabit perak-nya
yang membuat namanya tersohor sampai ke delapan
penjuru angin, tak mau ketinggalan.
Bukan tanpa sebab mereka langsung mencabut
senjata. Tapi karena tahu kalau senjata Pendekar Ra-jawali Sakti memiliki pamor hebat. Batang pedang
yang memancarkan cahaya kebiruan, sudah cukup
membuktikan kalau bukan saja pedang itu yang hebat.
Tapi juga tenaga dalam Pendekar Rajawali Sakti yang
sudah sangat tinggi.
"Heaaa...!"
Trang! Benturan hebat terjadi, menimbulkan percikan
bunga api ke segala arah. Rangga melompat ke atas.
Pedangnya dikibaskan, hendak memancing ketiga ke-pala lawannya. Namun sekali lagi, ketiga orang tua itu
dengan gesit mengelak dan memapak senjatanya.
Trang! "Uhhh...!"
Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung ke
belakang. Benturan senjata yang berisi tenaga dalam
kuat, sempat membuatnya sempoyongan ke belakang.
Masing-masing lawan memiliki tenaga dalam kuat. Sehingga bila digabung menjadi satu dan menyerang ber-samaan, akan terciptalah tenaga amat dahsyat. Hal
itulah yang dirasakan si Pendekar Rajawali Sakti.
Namun, pemuda itu tidak kalah cerdik Satu-satunya jalan untuk menjatuhkan lawan-lawannya
adalah memisahkan dan membuyarkan kerjasama se-rangan mereka. Namun ketika hal itu coba dilakukan,
ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah. Bukan saja
karena ketiganya amat kompak, tetapi juga gangguan
yang sengaja diciptakan murid-murid Padepokan Ka-long Wetan.
Ketika Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan
senjata, maka itu dipandang amat berbahaya. Se-hingga, beberapa orang tokoh persilatan lain yang
akan menghadapi pemuda itu langsung digantikan ke-tiga tokoh utama ini. Sedangkan, mereka menyingkir
membuat arena cukup luas dan berjaga-jaga si segala
sudut agar Pendekar Raja-wali Sakti tidak bisa kabur.
Sementara itu, barisan pemanah sesekali melepaskan
anak panah untuk mengacaukan serangan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua
tangannya ke depan melepaskan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' untuk membuyarkan pertahanan keti-ga lawannya. Namun ketiga tokoh tua itu langsung
menggabungkan tenaga, guna memapaki pukulan.
Jderrr! "Aaakh!"
Pendekar Rajawali Sakti memekik keras. Tubuh-nya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan
darah segar. Namun begitu, dia masih mampu berdiri
tegak di atas kedua kakinya. Se-pasang matanya tam-pak nyalang, memandang ketiga lawannya. Meski dadanya terasa sakit akibat hantaman pukulan yang
kuat luar biasa, namun tidak dirasakannya. Bahkan
bersiaga kembali untuk mengadakan serangan beri-kutnya.
Set! Set...! Kali ini datang serangan anak-anak panah yang
meluruk deras ke arah Rangga.
"Huh!"
Pendekar Rajawali Sakti menggeram. Langsung
pusakanya dikibaskan untuk menghalau puluhan
anak panah yang mengurungnya.
"Yeaaa...!"
"Uhhh...!"
? *** Baru saja hujan anak panah berhasil dihalau,
maka saat itu juga serangan ketiga tokoh tua itu telah
cepat datang. Pendekar Rajawali Sakti tercekat Keleba-tan pedang Ki Walang Ijo berhasil ditangkisnya. Se-mentara tongkat Ki Gempar Persada berhasil dielakkan
sambil menundukkan kepala. Kemudian tubuhnya
mencelat ke samping, untuk menangkis senjata Nyai
Kami. Tapi kali ini Ki Walang Ijo telah mengirim seran-gan susu-lan. Dan bersamaan dengan itu, datang se-rangan Ki Gempar Persada melalui satu tendangan ke-ras.
Wuuut! Bet! Rangga cepat menjatuhkan diri dan bergulingan,
sehingga kedua serangan luput dari sasaran. Namun,
Nyai Kami agaknya mengambil kesempatan emas itu.
Senjatanya cepat disambarkan ke punggung Rangga.


Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cras! "Aaakh!"
Kembali Pendekar Rajawali Sakti menjerit ke-ras.
Punggungnya kontan robek dan mengucurkan darah.
Dengan sebisanya dia melompat ke belakang. Tapi, ke-tiga tokoh tua itu tidak mengejar. Karena saat itu juga,
menderu hujan anak panah menyambar Pendekar Ra-jawali Sakti.
Set! Set! "Hiiih!"
Tras! Kembali Rangga mengibaskan pedang sambil
bergerak gesit menghindari hujan anak panah itu. Na-mun, luka dalam yang diderita, serta rasa nyeri di
punggung, membuat gerakannya terganggu. Dan....
Crab! Crab! "Aaakh!"
Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan be
gitu pinggang kirinya tertancap anak panah. Se-mentara sebatang anak panah lainnya menancap di
betis kanan. "Hiiih!"
Sambil berkerut menahan rasa sakit, Rangga
mencabut kedua batang anak panah itu. Darah men-gucur deras dari kedua lukanya. Namun dengan tegar,
Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak sambil meman-dang ketiga tokoh lawannya dengan sorot mata tajam.
"Huh! Kalian kira mudah menjatuhkan aku de-ngan cara seperti ini"!"
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau tidak perlu som-bong. Kematianmu hanya soal waktu. Tidak ada yang
bisa kau lakukan saat ini. Kini, kami tahu bagaimana
harus menaklukkan mu," sahut Ki Walang Ijo tenang.
Apa yang dikatakan Ki Walang Ijo memang be-nar. Cara mereka menghadapi Pendekar Rajawali Sak-ti, kalau diperhatikan secara teliti, memang berbeda
seperti biasanya. Mereka lebih mengutamakan kekom-pakan penyerangan, dan tidak pernah berusaha saling
menonjolkan diri dalam menjatuhkan si Pendekar Ra-jawali Sakti. Sebab, hal itu hanya akan merusak per-tahanan mereka. Sebelum Pendekar Rajawali Sakti ti-ba, itu memang telah disepakati bersama. Bila salah
seorang di antara mereka ada yang ceroboh dan ber-nafsu, maka pertahanan akan rusak. Maka, bisa di-perkirakan korban akan banyak, meskipun akhirnya si
Pendekar Rajawali Sakti masih bisa diringkus.
Ketiga tokoh tua itu juga tidak begitu diburu naf-su dalam menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti sece-patnya, meski melihat ada peluang. Dan kalau diper-hatikan seksama, justru mereka tidak memulai suatu
serangan. Melainkan, menunggu pemuda itu untuk
menyerang lebih dulu. Mereka terus memberi kesem-patan, jika pemuda itu terlihat mulai keteter.
"Ketahuilah, Pendekar Rajawali Sakti. Di atas
langit masih ada langit Begitu juga dengan kehebatan.
Tidak ada sesuatu yang hebat di kolong jagad ini. Jika
mereka berbuat kejahatan dan menyebar malapetaka,
maka mereka akan hancur dengan sendirinya," timpal
Ki Gempar Persada.
"Sayang sekali. Seorang pendekar hebat yang
namanya selalu disamakan dengan malaikat kebena-ran, bisa berbuat telengas. Apa yang kau tuju dan apa
yang kau inginkan" Apakah kau terperosok dalam ke-kayaan atau wanita" Huh! Segalanya sudah terlambat
Kini kau akan mengalami hukuman seumur hidup-mu!" Desis Nyai Kami.
"Huh! Apa pun yang kalian ocehkan, jangan ha-rap akan menyurutkan niatku! Kalian harus mati!"
Ujar pemuda itu menggeram.
Kemudian terlihat Pendekar Rajawali Sakti memusatkan pikiran dengan batang pedang melintang ke
wajah sampai dada. Kemudian tubuhnya berputar ce-pat bagai gasing. Dan....
"Hiyaaa!"
Tubuh Rangga mencelat ringan bagaikan kilat
menyambar ketiga lawan. Agaknya, pemuda itu tengah
mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' pada
tingkat tertinggi untuk membuyarkan pertahanan la-wan.
"Awas! Jangan sampai terpecah! Ingat! Apa pun
yang terjadi, kita tidak boleh berpencar!" teriak Ki Wa-lang Ijo, memperingatkan kedua kawan-nya.
Trang! "Heaaa!"
Pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke
arah Ki Walang Ijo sambil menghindari kedua senjata
Nyai Kami dan Ki Gempar Persada. Serangan Rangga
terpusat pada orang tua itu. Dan ketika melihat Ki Wa-lang Ijo mulai terdesak, mendadak dia merubah seran-gan. Dan kali ini, sasarannya pada Nyai Kami. Wanita
itu menjadi kaget, sungguh tidak disangka kalau di-rinya akan diserang secara bertubi-tubi. Bahkan le-hernya nyaris putus dibabat pedang pemuda itu, kalau
saja tidak mencelat jauh ke belakang. Namun, Pende-kar Rajawali Sakti terus mengejarnya.
Apa yang dilakukan Rangga memang suatu ge-brakan hebat. Serangannya dipusatkan pada satu
orang, tanpa melupakan untuk menghindari serangan
kedua lawannya. Lalu ketika lawan mulai terdesak, ti-ba-tiba lawan yang lain diserang. Begitu seterusnya,
tanpa beraturan. Sehingga, ketiga lawannya menjadi
bingung. Dan mereka takut-takut untuk balas menye-rang, karena tidak tahu siapa berikutnya yang akan
diserang Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan pemuda itu
masih terlihat gesit. Dan salah sedikit saja mengelak,
maka ujung pedangnya akan menyambar tanpa am-pun. Sehingga, terlihat dalam beberapa jurus saja, ke-tiganya mulai keteter.
"Munduuur...!" teriak Ki Walang Ijo memberi pe-rintah pada kedua kawannya.
Dengan gerakan gesit, ketiga tokoh tua itu men-celat bersamaan ke belakang untuk mengatur jarak,
sekaligus memberi kesempatan pada barisan pemanah
untuk melepaskan anak panahnya.
"Seraaang!" teriak Ki Polong memberi perintah.
"Yeaaa!"
Set! Set! Trak! Tras! "Kurang ajar!"
Pendekar Rajawali Sakti menggeram hebat, se-raya menghindari hujan anak panah.
"Aaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti menjerit keras. Tubuh-nya langsung tersungkur ketika beberapa batang anak
panah menancap di tubuhnya. Pada saat itu juga, ke-tiga tokoh tua yang menjadi lawannya telah mencelat
dan siap menghabisinya.
"Yeaaa...!"
? *** "Kebakaran...! Kebakaran...!" Terdengar teriakan
beberapa orang ketika terlihat kobaran api tiba-tiba sa-ja menyala dan menjalar cepat, membakar barak-barak
tempat tinggal para murid. Dan api pun menjalar cepat
ke bangunan utama.
Semua orang yang berada di tempat itu terkejut.
Dan yang lainnya langsung bergerak hendak memadamkan api, meski belum ada perintah dari Ki Polong.
Sementara yang lain sibuk mengamankan barang-barangnya.
Set! Pada saat itu sekelebat benda-benda tajam me-nyambar ke arah Ki Walang Ijo, Ki Gempar Persada
dan Nyai Kami. Dengan kalang kabut ketiga tokoh tua
itu berusaha menghindarinya dengan bergulingan di
tanah. Sesosok bayangan itu menyerang dengan hebat.
Dan baru saja mereka bangkit bayangan itu telah le-nyap bersama tubuh si Pendekar Rajawali Sakti! Maka
kekagetan me-reka pun semakin bertambah.
"Kurang ajar! Siapa yang melakukan perbuatan
ini"!" desis Ki Walang Ijo geram.
Dua orang Ki Walang Ijo segera melompat keluar
dari halaman padepokan. Dan mereka melihat dari ke-jauhan, seseorang berlari kencang ke barat sambil
membopong tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa orang itu?" Tanya Ki Walang Ijo, ketika
kedua kawannya telah melompat ke dekatnya.
"Entahlah. Dia telah berlari jauh. Percuma bila
kita mengejarnya," sahut Ki Gempar Persada.
"Kepandaiannya tidak terlalu hebat. Namun, dia
cukup cerdik untuk membuat kekacauan," timpal Nyai
Kami. Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar serta yang lain
mendekati ketiga tokoh itu.
"Bagaimana...?" Tanya Ki Polong.
"Seseorang telah menyelamatkan Pendekar Raja-wali Sakti," sahut Ki Walang Ijo.
"Siapa" Apakah Kisanak bertiga mengetahui-nya?"
"Entahlah.... Kami tidak sempat memperhati-kan."
"Apakah si Netra Buana sendiri yang menyela-matkannya?" kata Ki Pintur Gumelar, seperti bertanya
pada diri sendiri.
"Mungkin saja," sahut Nyai Kami.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Tanya Ki Polong.
"Bila si Netra Buana yang menyelamatkannya,
maka bencana ini belum berakhir. Sewaktu-waktu, dia
akan muncul kembali dan membuat bencana yang le-bih hebat," gumam Ki Pintur Gumelar.
"Hm, kenapa musti khawatir" Kita segera menye-lesaikannya," sahut Ki Walang Ijo.
"Bagaimana caranya, Ki?" tanya Ki Polong
"Gadis yang bersama si Pendekar Rajawali Sakti
itu kuncinya. Dia harus membawa kita pada si Netra
Buana. Bagaimanapun caranya!"
"Betul! Kali ini si Netra Buana jangan lagi diberi
ampun. Orang itu harus binasa!" desis Ki Gempar Per-sada geram,
"Kapan kita melakukannya?" Tanya Ki Pintur
Gumelar. "Jangan terburu nafsu, Ki Pintur. Kita selesaikan
dulu urusan di sini. Kemudian, kita susun rencana
yang matang," sahut Ki Walang Ijo.
"Betul. Kini ada baiknya kita bantu mereka me-madamkam api," timpal Ki Gempar Persada, seraya
mengajak yang lainnya bubar.
Siapakah yang menyelamatkan Pendekar Raja-wali Sakti" Apakah Pendekar Rajawali Sakti akan men-jadi ancaman kembali, bila si Netra Buana yang me-nyelamatkannya" Di manakah si Netra Buana itu. Sia-pa dia sesungguhnya" Akankah aji sirep 'Pelumpuh
Sukma' yang merasuki jiwa dan pikiran Pendekar Rajawali Sakti akan lenyap" Bagaimana Rangga menyele-saikan persoalan ini" Untuk jawabannya, silakan
tunggu episode berikutnya:
TONGKAT SIHIR DEWA API
? SELESAI ? Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Dedig
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Pendekar Latah 16 Pendekar Cambuk Naga 4 Gerhana Tebing Neraka Malaikat Peti Mati 1

Cari Blog Ini