Ceritasilat Novel Online

Istana Goa Darah 1

Pendekar Rajawali Sakti 152 Istana Goa Darah Bagian 1


" . 152. Istana Goa Darah Bag. 1 dan 2
25. Dezember 2014 um 07:39
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Istana Goa Darah
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Hampir seharian penuh, tiga orang penunggang kuda berbulu putih menempuh perjalanan. Ketiga kuda itu tampaknya sudah sangat letih. Air liurnya tampak menetes dari mulut yang terbuka. Tapi para penunggangnya yang berbaju hitam dan rata-rata berumur sekitar tiga puluh tahun, tampaknya tidak peduli. Mereka terus menggebah kuda tunggangan yang sudah sangat kelelahan. Beberapa kali terdengar ringkikan lemah. Sementara ke empat kaki kuda yang semula kokoh, sudah mulai terseok-seok. Tak lama, kuda putih yang berada di depan tersungkur roboh. Namun dengan gesit penunggangnya melenting ke udara dan bersalto. Lalu dengan gerakan sangat manis, kedua kakinya menjejak tanah tiga tombak di depan kuda yang tersungkur tadi.
"Sial...!" gerutu laki-laki bercambang lebat itu sambil memeriksa kudanya yang roboh dalam ke-adaan sekarat.
Dua penunggang kuda yang berada di bela-kang laki-laki itu segera menarik tali kekang tunggangan masing-masing. Seketika kuda-kuda itu berhenti disertai ringkikan sangat keras. Mereka segera menghampiri laki-laki bercambang lebat itu.
"Ada apa, Kakang Durupaksi!" tanya laki-laki jangkung.
"Kita terlalu memaksa kehendak Duruwisa. Kudaku tampaknya kelelahan, sehingga tidak dapat meneruskan perjalanan," kata laki-laki bercambang bauk yang dipanggil Durupaksi, Nada suaranya terdengar menyesal.
"Bagaimana, Kakang Duruseta?"
Duruwisa, laki-laki berbadan jangkung dan kurus mengalihkan perhatiannya pada laki-laki berkumis tipis di sebelahnya, yang dipanggil Duruseta.
Duruseta mengangkat wajahnya. Sebentar ma-tanya memandang ke ufuk barat sambil mengge-leng-geleng. Tatapannya pun beralih pada saudara seperguruannya yang paling tua, Durupaksi.
"Kakang Durupaksi... Sebaiknya kita berma-lam saja di sekitar sini! Untuk sampai ke Goa Darah, masih memerlukan waktu kurang lebih dua hari perjalanan berkuda," usul Duruseta pelan.
Durupaksi tampak ragu-ragu. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatinya menjadi bimbang. Matanya kembali merayapi kudanya yang terkapar dengan mulut berbusa.
"lnilah perjalanan yang paling sial! Guru bisa marah pada kita, jika sampai terlambat menyelesaikan tugas ini!" kata Duruseta, agak kesal.
"Tapi kita juga perlu istirahat setelah sehari penuh menunggang kuda," selak Duruwisa.
"Ya! Kita sangat memerlukannya," dukung Duruseta.
"Sebaiknya kita cari tempat yang aman dekat pohon sana."
Durupaksi terpaksa mengalah. Dan memang patut diakui, tubuhnya sendiri terasa lelah bukan main. Mungkin setelah bermalam di pinggir Hutan Jati Barang ini, keesokan paginya dapat melanjutkan perjalanan kembali, menuju Goa Darah yang masih cukup jauh.
Setelah menambatkan kudanya disebuah tempat yang cukup aman, Duruseta dan Duruwisa langsung menyusul Durupaksi yang mempersiapkan tempat bermalam.
Matahari sudah tidak kelihatan lagi di ufuk barat. Suasana di pinggiran Hutan Jati Barang sudah mulai diselimuti kegelapan. Entah mengapa, kegelisahan di hati Durupaksi semakin menjadi-jadi. Matanya melirik ke arah dua saudara seperguruannya yang sudah mulai merebahkan diri di atas tumpukan daun kering, begitu mendengar suara mendesir tidak jauh di samping kanan.
"Seperti ada orang mengintai tempat kita!" bisik Durupaksi, curiga.
Serentak Duruseta dan Duruwisa bangkit berdiri. Mata mereka merayapi kegelapan di sekitarnya. Tidak ada apa-apa yang terlihat, kecuali kegelapan.
"Awaaas...!" Duruseta tiba-tiba berteriak mem-peringatkan.
Belum habis gema teriakan Duruseta, mendadak melesat beberapa benda putih berbentuk bintang segi empat, ke arah mereka. Namun dengan gerakan cepat sekali, ketiga saudara seperguruan ini menggenjot tubuhnya. sehingga melesat ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, mereka menjejak di atas dahan sebuah pohon yang cukup besar.
Benda-benda keperakan berbentuk bintang segi empat itu menancap dalam di batang pohon yang dihinggapi tiga bersaudara itu. Durupaksi, Duruseta, dan Duruwisa saling berpandangan. Wajah mereka jelas-jelas tidak mampu menyembunyikan keterkejutan.
"Goa Darah masih jauh jaraknya dari Hutan Jati Barang ini. Tapi kedatangan kita sudah diketahui!" gumam Durupaksi heran.
"Mungkin bukan kelompok manusia buas darah itu yang melakukannya. Kakang?" agak bergetar suara Duruwisa.
"Lalu, siapa lagi yang menyerang kita" Senjata rahasia yang menyerang kita tadi, jelas bintang persegi empat. Dan itu adalah senjata rahasia tiap anggota Istana Goa Darah...!" rungut Durupaksi yang memiliki pengalaman jauh lebih baik.
Suasana di atas pohon sepi mencekam. Ketiga saudara seperguruan itu saling diam, sambil menantikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi dengan sikap waspada.
"Kurasa orang yang menyerang kita telah pergi," desah Duruseta. Suaranya pelan tercekat.
"Jangan gegabah. Orang-orang Goa Darah da-tang dan pergi seperti setan. Kita tidak tahu, apakah iblis-iblis itu telah meninggalkan kita, atau malah menunggu sampai mati berdiri di sini!" gerutu Durupaksi sambil memegang hulu pedangnya erat-erat.
Dan sebelum ada yang berusaha kembali, mendadak...
"Kepada tiga ekor monyet di atas pohon! Hen-daknya kalian jangan kasak-kusuk di situ! Lekas tunjukkan diri, sebelum habis kesabaranku...!"
Tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari te-ngah tengah kegelapan. Suaranya pelan saja, namun mengandung satu kekuatan aneh. Sehingga, membuat tiga saudara seperguruan itu menjadi bergetar. Diam-diam, mereka mengerahkan tenaga dalam untuk menghilangkan pengaruh suara orang yang sama sekali tidak dikenal.
Tanpa berpikir panjang lagi, setelah memper-hitungkan segala sesuatunya, maka ketiga saudara seperguruan itu melompat turun dengan gerakan ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Dari sini bisa terlihat kalau ketiganya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf hampir sempurna.
Dan baru saja mereka menginjakkan kaki di atas tanah...
"Hanya orang-orang yang ingin mencari mam-pus saja yang berani datang ke Istana Goa Darah. Cepat katakan, dari padepokan mana kalian"! Biar agak mudah kami mencatatnya?"
Kembali terdengar suara aneh.
"Kami dari Padepokan Pedang Bayangan...!" jawab Durupaksi kalem.
"Hm! Mengapa Ki Subrata tidak datang sendiri ke istana kami?"
Nada bicara orang dalam kegelapan itu terdengar mendengus. Suaranya jelas-jelas meremehkan. Sehingga, membuat tiga murid Padepokan Pedang Bayangan menjadi marah.
"Untuk membasmi iblis-iblis penculik seperti penghuni Istana Goa Darah, cukup kami bertiga yang maju!" sentak Duruseta geram.
"Oh, begitu" Baiklah...!"
Baru saja suara menggeram di kegelapan sana menghilang, mendadak bertiup angin sedingin es, menerpa wajah mereka. Seketika, tiga orang murid pilihan dari Padepokan Pedang Bayangan ini mencium bau amis darah yang demikian menusuk.
Durupaksi segera memberi isyarat pada kedua adik seperguruannya. Bersamaan dengan itu, dari arah kegelapan di depan tampak berkelebat bayangan putih ke arah mereka.
? *** ? Dalam waktu yang demikian singkat, tahu-tahu seorang laki-laki berwajah angker telah berdiri satu tombak di depan Durupaksi. Dalam keremangan malam yang hanya diterangi cahaya bulan, dapat terlihat kalau baju putih orang itu penuh bercak-bercak darah. Sebagian wajahnya juga dipenuhi darah yang telah mongering. Sehingga, sepintas lalu dia hanya memiliki sebelah wajah saja.
"Kulihat dua di antara kalian memiliki tubuh meyakinkan! Karena telanjur kalian memasuki daerah ini, aku harus meringkus kalian berdua. Sedangkan yang kurus kerempeng harus kubunuh!" sentak laki-laki bertampang angker ini.
"Siapakah, Kisanak?" tanya Duruseta sudah tidak sabar lagi.
"Siapa aku" Nanti kau bisa menanyakannyapada ratu! Sekarang, kalian tidak berhak bertanya padaku!" dengus laki-laki berlumur darah itu ketus.
Durupaksi, Duruseta, dan Duruwisa marah bukan main mendengar ucapan orang berbaju putih ini. Tanpa bicara apa-apa lagi, Durpaksi menerjang ke depan sambil menghantamkan kedua tangannya ke bagian dada dan perut orang itu.
Namun sejengkal sebelum kepalan tangan Durupaksi mencapai sasaran, sosok yang ternyata anggota Istana Goa Darah ini mendengus. Lalu dengan gerakan yang sangat manis, tubuhnya meliuk sambil menepis tinju Durupaksi.
Duk! "Ufh" !"
Durupaksi mengeluh tertahan. Tubuhnya kontan bergetar dan sempat terhuyung dua langkah ke belakang. Tangannya yang membentur tangan sosok itu terasa panas sekali. Tapi tenaga dalamnya segera dihimpun. Dan laksana kilat sambil memberi isyarat pada dua saudara seperguruannya, segera dilancarkannya serangan kembali ke arah sosok itu.
Sementara itu dari dua arah lainnya, datang pula serangan yang tidak kalah hebat menuju sosok itu. Dan kenyataannya tiga saudara seperguruan ini memang tidak dapat dianggap enteng. Terlebih-lebih setelah mereka melancarkan serangan bersama-sama.
Namun lawan yang dihadapi ternyata tidak bisa dianggap sembarangan. Laki-laki berbaju putih dan berselimut darah ini merupakan orang ketiga setelah Ratu Goa Darah. Dalam menghadapi setiap serangan yang semakin menghebat, dia tidak menjadi gugup. Sebaliknya dengan sikap tenang dia berhasil menghindari serangan tangan kosong murid-murid Padepokan Pedang Bayangan itu.
"Hiya...!"
Tiba-tiba saja, laki-laki itu melenting ke udara. Tangan kanannya mengebut ke arah lawan-lawannya tiga kali berturut-turut. Maka seketika tiga buah benda berwarna keperakan melesat cepat bagaikan kilat ke arah ketiga lawannya.
Durupaksi yang sempat melihat dan merasakan sambaran angin yang memancarkan sinar putih, segera berteriak memberi aba-aba pada kawannya.
"Awas! Cabut senjata kalian!"
Sret! Di tangan masing-masing ketiga murid Padepokan Pedang Bayangan, tergenggam sebilah pe-dang berwarna putih mengkilat. Ketika pedang itu diputar membentuk perisai diri, maka terdengar suara mendengung yang disertai berkelebatnya sinar putih menyilaukan mata. Tidak salah lagi. itulah jurus 'Pedang Bayang-Bayang' yang sangat ampuh dan disegani lawan.
Trang! Seketika terjadi benturan tiga kali berturut-turut. Bola api berpijaran dan memercik ke segala penjuru ketika senjata rahasia berbentuk bintang segi empat itu membentuk ujung pedang.
Ketiga saudara seperguruan ini melompat mundur sejauh tiga langkah. Wajah mereka kini berubah pucat pasi. Telapak tangan terasa sakit berdenyut-denyut. Walau dada terasa nyeri bukan main, namun mereka segera menyerang kembali mempergunakan jurus-jurus pedang yang lebih berbahaya.
Laki-laki berbaju putih bersimbah darah ini, walaupun telah mengetahui kehebatan lawan-lawannya tidak merasa gentar sedikit pun. Sebagai tokoh nomor tiga dalam Istana Goa Darah, kecerdikannya sangat hebat. Sejak tadi, dia memang menghindari serangan lawan. Namun, matanya terus memperhatikan setiap gerak dan jurus-jurus yang dimainkan ketiga saudara seperguruan itu.
Sekarang, setidak-tidaknya walau dia tidak dapat melumpuhkan dengan mempergunakan senjata rahasia, tapi sudah dapat mengetahui titik kelemahan jurus-jurus yang dimainkan lawannya.
"Mampuslah kau kali ini! Hiyaaat...!" teriak laki-laki berbaju putih bersimbah darah kering ini.
Bagaikan kilat, tokoh nomor tiga Istana Doa Darah ini melompat ke depan sambil mengibaskan toya pendek di tangannya ke arah Durupaksi. Begitu cepatnya serangannya, sehingga membuat Durupaksi tidak sempat lagi mengibaskan pedangnya. Namun dia masih juga berusaha melepaskan satu pukulan, sambil berkelit menghindar. Sayang, pukulan yang dilepaskannya berhasil dihalau. Bahkan toya pendek di tangan tokoh Istana Goa Darah ini terus melaju, dan menghantam urat gerak Durupaksi.
Tak! "Aaakh...!"
Durupaksi mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung kaku, sulit digerakkan mesti dalam keadaan berdiri. Duruseta dan Duruwisa tersentak kaget melihat kejadian berlangsung sangat cepat ini. Tidak ada jalan lain untuk membebaskan Durupaksi, selain merobohkan lawan terlebih dulu. Merasa tak ada jalan lain, maka mereka secara bersama-sama segera menggempur tokoh nomor tiga dari Istana Goa Darah.
"Percuma saja melawan kekuasaan ratu! Kalian akan menyesal sampai di neraka nanti! dengus laki-laki berbaju putih itu dingin menggidikkan.
Namun, baik Duruseta dan Duruwisa sudah tidak menghiraukannya lagi. Mereka segera membuka jurus 'Pedang Bersatu Padu', yang membuat terkesiap tokoh nomor tiga di Istana Goa Darah itu.
Terutama ketika melihat pedang di tangan Duruseta dan Duruwisa yang seakan-akan berubah menjadi puluhan.
Laki-laki berbaju putih itu terpaksa bergerak mundur sambil menghindari serangan-serangan murid-murid Padepokan Pedang Bayangan yang semakin bertambah cepat ini. Merasa terdesak secara terus-menerus, maka laki-laki berwajah angker ini terpaksa mempergunakan toyanya.
Bet! Bagaikan kilat, toya berwarna hitam menderu dan menebarkan bau amis yang demikian menusuk. Mata Duruseta dan Duruwisa terbelalak ketika melihat toya yang menderu deras menusuk kebagian-bagian tertentu di tubuh mereka.
Dari samping kiri Duruwisa yang berbadan kurus kerempeng datang memberi bantuan sambil menusukkan pedangnya ke perut lawan.
"Uts...!"
Laki-laki berbaju putih bersimbah darah itu melompat ke samping kiri sambil melepaskan tendangan menggeledek ke bagian kaki Duruwisa. Sementara, tangan kanannya yang memegang toya menusuk ke bagian urat gerak Duruseta.
Buk! "Akh...!"
Duruwisa berteriak kesakitan. Tubuhnya kontan terpelanting sejauh tiga batang tombak. Tulang kaki kanannya patah.
Tokoh nomor tiga dari Istana Goa Darah ter-senyum penuh kemenangan. Belum habis senyumnya, tangannya dikebutkan ke arah Duruwisa yang sudah tidak mampu berdiri. Seketika, dari telapak tangannya melesat senjata rahasia berbentuk bintang segi empat, mengancam keselamatan Duruwisa.
Sementara Duruseta yang sempat luput dari totokan toya, segera menerjang ke depan untuk meruntuhkan senjata rahasia yang dikibaskan la-wannya.
Rupanya laki-laki berbaju putih melihat gelagat yang tidak baik ini. Laksana kilat, tubuhnya melesat ke arah Duruseta sambil berguling-guling sebanyak tiga kali. Bukan main cepat gerakannya. Sehingga Duruseta yang mengkhawatirkan keselamatan adik seperguruannya, sudah tidak sempat lagi menghindari totokan toya.
"Hugh...!" Duruseta mengeluh pendek.
Tubuh laki-laki berbaju hitam ini kontan tergelimpang roboh dalam keadaan tertotok. Pada saat yang bersamaan, Duruwisa sendiri sambil terus berguling-guling, mengibaskan pedang di tangannya membentuk perisai yang sangat kuat.
Trang! Trang! Seketika tercipta pijaran bola api begitu senjata rahasia itu membentur ujung pedang di tangan Duruwisa. Namun tubuh Duruwisa bergetar hebat. Bahkan tangannya terasa panas bukan main.
"Mampuslah kau kali ini!" teriak laki-laki berbaju putih itu.
Saat itu juga, tubuh laki-laki itu melesat ke depan laksana kilat. Duruwisa yang tidak mampu berdiri sempurna, langsung menangkis ketika toya di tangan laki-laki berbaju putih itu menusuk ke bagian perutnya.
"Yeaaah...!" Duruwisa berteriak nyaring.
Trak! "Hih...!"
Pedang di tangan Duruwisa kontan patah jadi dua ketika membentur toya di tangan lawannya. Pada saat yang sama, lelaki berbaju putih lawannya langsung menghantam kepala Duruwisa.
Prak! "Aaa...!"
Duruwisa menjerit setinggi langit. Darah dan otaknya menyembur dari batok kepala yang hancur terhantam toya. Tubuhnya kontan ambruk dan berkelojotan sebentar. Tak lama, tubuhnya terdiam untuk selama-lamanya dengan mata melotot.
"Duruwisa...!" teriak Durupaksi dan Duruseta hampir bersamaan.
Mereka menjerit-jerit seperti orang yang kesu-rupan melihat saudara seperguruannya yang tewas dalam keadaan mengenaskan.
"Ha ha ha! Biarkan saudara kalian yang tidak berguna itu mati. Sudah waktunya bagi kalian untuk mengikutiku menghadap sang ratu...!" ujar tokoh nomor tiga Istana Goa Darah, tersenyum sinis.
Laki-laki berbaju putih itu kemudian menge-luarkan seutas tali terbuat dari sejenis oyot kayu. Sementara, Durupaksi dan Duruseta hanya dapat memaki-maki ketika tubuh mereka diikat lawannya.
"Kalau nasib kalian bagus, akan mendapat kesenangan di sana. Tapi kalau jelek, begitu datang langsung dipenggal! Darah kalian akan digunakan untuk berendam bagi sang ratu kami!" dingin suara laki-laki berbaju putih itu.
Sambil memanggul tubuh Durupaksi dan Duruseta, tokoh dari Istana Goa Darah ini langsung memutar langkah dan dia segera meninggalkan Hutan Jati Barang.
? *** ? 2 ? Untuk dapat sampai di Istana Goa Darah, seseorang harus melewati sebuah lembah yang membentang di depannya. Namun sayang, tidak setiap orang dapat pergi ke sana. Bukan saja karena lembah di depan goa itu dihuni beberapa jenis binatang berbisa, tapi juga menyimpan rahasia yang setiap saat mengintai. Makanya, tanpa mengetahui jalan rahasia, hanyalah mati konyol jika memaksa ingin datang ke lembah itu.
Matahan pagi mulai memancarkan sinarnya di ufuk timur. Suasana di sekeliling Istana Goa Darah yang berbentuk kubah, tampak sepi menyeramkan. Bagian depan pintu goa yang menghubungkan ke lorong-lorong ke berbagai ruangan, berwarna merah darah. Sesungguhnya bahan yang dipergunakan untuk mewarnai pintu dan sepanjang lorong, berasal dari darah maupun daging yang telah manbusuk. Tidak heran jika dari jarak seratus batang tombak, telah tercium bau busuk yang sangat menyesakkan.
Dalam kesunyian pagi ini, dari arah timur Hutan Jati Barang terlihat sebuah kereta kuda yang terus melaju ke arah Istana Goa Darah. Di depannya, duduk seorang laki-laki bertampang angker. Bajunya yang berwarna putih, tampak coreng-moreng bekas olesan darah yang telah mengering. Sebagian wajahnya tampak memerah. Sedangkan bagian lainnya berwarna putih pucat.
Di dalam kereta kuda, tampak tergeletak dua orang laki-laki berbaju hitam dalam keadaan tertotok dengan kedua kaki dan tangan terikat.
"Hiyaaa...!"
Laki-laki bertampang dingin itu tak lain adalah tokoh nomor tiga di Istana Goa Darah ini. Dia menggebah kudanya tanpa henti. Kuda tunggangan ini meringkik keras, dan terus berlari bagai dikejar-kejar setan.
"Hooop...!"
Begitu sampai di depan bibir lembah, laki-laki bertampang angker itu langsung menarik tali ke-kang. Sehingga kedua ekor kuda penarik kereta berhenti seketika.
Sepasang mata tokoh ketiga Istana Goa Darah memandang tajam ke arah pintu goa yang berwarna merah kehitaman dan dalam keadaan tertutup. Lalu...
"Para penjaga gerbang Istana Goa Darah! Aku membutuhkan Jembatan Penghubung Sukma...!" Sesaat, hanya kesunyian saja yang ada. Namun tidak lama, pintu batu Istana Goa Darah terbuka disertai suara menggemuruh seperti gempa. Tidak seorang pun terlihat di depan pintu yang terbuka itu.
Sret! Bahkan dari pintu Istana Goa Darah melesat dua leret sinar berwarna merah darah. Sinar itu memipih dan terus melebar, sehingga membentuk sebuah jalan yang menghubungkan bibir lembah dengan pintu goa.
Dengan gerakan sangat ringan, tokoh ketiga Istana Goa Darah menghampiri kereta kuda. Dita-riknya dua sosok tubuh yang tak lain Durupaksi dan Duruseta. Lalu, dipanggulnya dua murid Padepokan Pedang Bayangan ini.
"Hup!"
Tanpa merasa canggung lagi, laki-laki berwajah angker ini langsung melewati Jembatan Penghubung Sukma yang membentang di depannya.
Jembatan yang dilalui sedikit pun tidak bergo-yang, walau tokoh ini membawa beban yang cukup berat. Ketika sampai di pintu goa, maka dengan sendirinya jembatan gaib itu lenyap begitu saja.
Duruseta dan Durupaksi yang sempat melihat kejadian ini membelalakkan mata. Sekarang mereka baru tahu, mengapa orang-orang persilatan yang berusaha menyerbu Istana Goa Darah hanya menemui ajal secara sia-sia. Rupanya, untuk mencapai mulut goa harus mempergunakan alat khusus.
Pintu batu goa itu kemudian menutup dengan sendirinya. Dua orang pengawal bertampang aneh dengan baju putih menjura hormat pada lelaki ini.
Tanpa menghiraukan pengawal tadi, laki-laki ini terus melangkah menuju ke sebuah ruangan yang juga bercat merah darah, bercampur serpihan-serpihan daging membusuk. Bau busuk di ruangan itu sama busuknya dengan lorong-lorong lainnya.
Tengkuk Durupaksi kontan meremang berdiri. Terlebih-lebih, setelah melihat lebih dan sepuluh mayat yang telah diawetkan dijejer di samping ka-nan mereka. Wajah mayat-mayat yang telah diawetkan ini agaknya adalah orang-orang yang telah berusia lanjut. Paling tidak mencapai tujuh puluhan. Pada setiap mayat, terdapat sebuah luka menganga di dada.
"Apa yang terjadi di sini?" kata batin Durupaksi.
"Jangan berpikir macam-macam!" dengus tokoh ketiga Istana Darah, seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Durupaksi.
Durupaksi terdiam. Wajahnya semakin bertambah pucat, ketika mereka sampai di ruangan lain yang berhawa dingin berbau busuk luar biasa.
Tokoh ke tiga Istana Goa Darah menghentikan langkahnya. Tubuh Durupaksi dan Duruseta dihempaskan begitu saja. Sehingga kedua murid Padepokan Pedang Bayangan yang dalam keadaan tertotok, jatuh terguling-guling tanpa mampu berbuat apa apa.
Begitu tubuh mereka menyentuh lantai yang berwarna merah dan becek, ratusan ulat pemakan bangkai langsung mengerubuti.
Durupaksi dan Duruseta berteriak-teriak kegelian. Tapi teriakan mereka hanya sampai sebatas tenggorokan saja. Karena, laki-laki berbaju putih itu telah menotok urat suara mereka.
"Haram jadah! Neraka macam apa ini?" dengus Duruseta dalam hati tanpa daya sarna sekali.
? *** ? Tokoh ke tiga Istana Goa Darah sekarang menghadap ke arah sebuah ruangan yang tertutup kain berwarna merah, menebarkan bau semakin busuk. Tubuhnya menjura dalam-dalam, setelah melihat kain merah yang menutupi ruangan tidak seberapa besar itu berkibar-kibar.
"Hamba datang menghadap, Gusti Ratu...!" kata laki-laki berwajah angker ini dengan suara pelan namun cukup jelas terdengar.
Durupaksi dan Duruseta saling pandang. Mereka merasa heran melihat keganjilan demi keganjilan yang ada di Istana Goa Darah.
"Gila barangkali orang ini" Dia bicara pada kain merah yang tidak bisa berbuat apa-apa?" gerutu Durupaksi, dalam hati.
"Kau membawa dua tawanan lagi, Iblis Wajah Sebelah" Apakah mereka seorang tokoh atau ha-nya penambah pajangan patung-patung mayat di ruangan sebelah itu?"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara menyahuti, dari balik tirai ruangan.
"Maafkan hamba, Gusti Ratu," ucap laki-laki berwajah angker yang ternyata berjuluk Iblis Wajah Sebelah. "Hamba hanya membawa dua orang murid Padepokan Pedang Bayangan. Tapi... hamba yakin Gusti Ratu pasti menyukainya."
"Hm, begitu?"
Ada kemarahan dalam nada ucapan orang yang duduk di balik tirai berwarna merah. Sehingga, kain berwarna merah itu berkibar-kibar lebih keras. Bau di ruangan semakin bertambah busuk. Sementara, Durupaksi dan Duruseta berusaha keras agar tidak sampai muntah.
"Hamba yakin begitu, Gusti Ratu!"
"Iblis Wajah Sebelah! Tikus-tikus seperti itu hanya membuatku bosan. Yang kuinginkan, kau dan Hantu Pencabut Nyawa sebagai orang kepercayaanku di sini, segera meringkus tokoh-tokoh persilatan golongan putih! Apakah kau masih ingat, siapa-siapa saja orangnya?" tanya suara dari balik tirai, yang merupakan, Penguasa Istana Goa Darah.
"Ham..., hamba masih ingat, Gusti! Pertama-tama adalah Pendekar Rajawali Sakti dari Karang Setra. Kedua, Ki Subrata dari Padepokan Pedang Bayangan. Sedangkan yang ketiga dan keempat, masing-masing adalah Raja Pembual dari Gunung Bromo dan Bayangan Malaikat dari Gunung Di eng!" jawab Iblis Wajah Sebelah, menyebutkan nama-nama tokoh yang harus dibunuhnya.
"Bagus! Mereka itulah orang-orang yang pantas mati demi kejayaan Istana Goa Darah. Juga, demi menghormati para iblis yang telah mendukung semua usaha kita."
Iblis Wajah Sebelah menganggukkan kepala.
"Cepat atau lambat, mereka akan mati juga di tangan kita, Gusti Ratu. Hamba telah membuat beberapa pengumuman untuk memancing kedatangan mereka ke Lembah Putus Nyawa di depan istana ini," jelas laki-laki berwajah angker itu.
"Hm. Mengenai empat tokoh lainnya, aku tidak begitu memikirkan. Tapi pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, perlu mendapat perhatian khusus dariku...!"
"Betapapun hebat kesaktiannya, kita tidak perlu merasa takut, Gusti Ratu. Kita pasti dapat mengatasinya!" tandas Iblis Wajah Sebelah penuh keyakinan.
Sementara itu, Durupaksi dan Duruseta yang dapat mendengar pembicaraan Penguasa Istana Goa Darah tampak terkesiap. Mata mereka melotot dengan wajah berubah pucat seperti mayat. Sama sekali tidak dikira kalau para iblis Istana Goa Darah memiliki rencana yang sangat keji.
Selama ini, yang mereka ketahui adalah, peng-huni Istana Goa Darah hanya menculik orang-orang tertentu untuk dijadikan tumbal. Namun tak disangka kalau mereka mempunyai niat yang sangat besar untuk menaklukkan tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
"Guru harus diberitahu mengenai rencana gila mereka! Tapi, bagaimana caranya agar dapat meloloskan diri dari neraka ini?" kata Durupaksi dalam hati, sambil terus menahan geli akibat gerayangan ulat-ulat di tubuh.
"Dua ekor tikus ini kalau perlu masukkan ke dalam perangkap, agar hatinya tidak berkicau terus!" dengus Gusti Ratu.
Untuk yang kedua kalinya, Durupaksi terkejut. Sama sekali tidak disangka kalau Penguasa Istana Goa Darah juga dapat membaca hati orang lain.
"Tapi, Gusti Ratu! Apakah Gusti tidak memer-lukannya?" tanya Iblis Wajah Sebelah, hati-hati sekali.
'Tentu! Tapi nanti...!" sahutnya dingin.
"Hamba mohon diri, Gusti Ratu...!"
Iblis Wajah Sebelah menjura penuh hormat. Kemudian tubuhnya berbalik, menghampiri Durupaksi dan Duruseta. Seketika kedua pemuda murid Ki Subrata itu diseretnya memasuki sebuah ruangan lain, membuat ulat-ulat yang mengerubungi berjatuhan. Setelah melewati ruangan yang berbentuk seperti istana kecil, mereka menyeberangi sebuah jembatan yang terbuat dari tulang-belulang manusia. Durupaksi maupun Duruseta sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, karena masih dalam keadaan tertotok.
Sampai di sebuah ruangan yang di tengah-te-ngahnya terdapat sebuah kolam berwarna merah darah, Iblis Wajah Sebelah menghentikan langkahnya. Diangkatnya Duruseta dan Durupaksi dalam keadaan berdiri. Kemudian tangan dan kaki kedua pemuda itu dirantai satu sama lain, menghadap ke tengah-tengah kolam. Sehingga dengan jelas mereka dapat melihat kolam darah yang dalam keadaan menggelegak seperti mendidih.
"Jika Gusti Ratu berkenan hati, beliau akan membawa kalian ke surga. Begitu menjadi tua setelah sari kehidupan kalian diisap, maka darah di tubuh kalian akan dijadikan pengisi kolam darah itu!"
"Keparat terkutuk...!" maki Durupaksi dalam hati, marah bukan main.
? *** ? Di pinggiran Hutan Kemusuk, sebuah bayangan berkelebat dari satu pohon ke pohon lainnya. Gerakannya cepat luar biasa, pertanda bahwa bayangan putih ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf sempurna.
Tak lama, langkahnya terhenti. Tatapan mata-nya memandang lurus ke batang pohon. Tampak selembar daun lontar yang menempel pada batang pohon menjadi pusat perhatiannya. Rupanya sosok yang ternyata pemuda tampan berbaju rompi putih ini merasa tertarik untuk mengetahui isi tulisan yang tertera di atas daun lontar tersebut.
Tanpa merasa curiga pemuda itu menghampiri. Dibacanya beberapa baris kalimat yang ditulis dengan tinta darah.
? Ini adalah undangan untuk para tokoh yang terhormat. Karena itu, datanglah ke Hutan Jati Barang untuk melihat sebuah pertunjukan menarik yang Kisanak semua seumur hidup pasti tidak akan dapat melupakannya!
????????????????????????????????????????????? Tertanda
Orang-orang gagah
? "Undangan gila!" rutuk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. "Orang yang menulis di daun lontar ini sama sekali tidak menyebut, apa tujuannya mengundang para tokoh persilatan, tokoh mana yang dimaksudkan. Tokoh aliran putih atau aliran hitam?"
Seingatnya, sekarang ini Rangga telah berada di daerah Hutan Kemusuk. Untuk sampai di Hutan Jati Barang, sudah tidak jauh lagi jaraknya dari hutan ini. Rangga berpikir keras. Jauh-jauh datang dari Karang Setra, semata-mata karena mendengar adanya kabar burung tentang penculikan yang dilakukan segelintir orang terhadap para tokoh golongan putih.
Masih belum jelas, siapa yang melakukan penculikan. Pendekar Rajawali Sakti masih melakukan penyelidikan. Beberapa tokoh yang dikenalnya dengan baik, ternyata juga lenyap dari tempat tinggalnya. Sekarang, Rangga dihadapkan pada satu masalah lain. Undangan yang tertulis di atas daun lontar ini bisa saja berupa jebakan yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan dirinya.
Namun. Pendekar Rajawali Sakti pun merasa tidak ada salahnya jika melihat apa yang sedang terjadi di Hutan Jati Barang. Tanpa berpikir panjang lagi, segera langkahnya diputar menuju Hutan Jati Barang yang memang tidak jauh lagi jaraknya.
? *** ? Pada waktu yang bersamaan, di pinggir Hutan Jati Barang seorang laki-laki tua berbaju hitam dengan senjata pedang tampak sedang memeriksa sosok mayat yang tergeletak di tanah. Laki-laki tua berjenggot pubh itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dalam-dalam, ketika mengenali siapa mayat yang kepalanya hancur itu.
"Begini singkat hidupmu, Duruwisa" Sama sekali tidak kuduga kalau umurmu sependek ini...!" desis laki-laki tua berbaju hitam ini dengan perasaan sedih. Matanya memandangi mayat yang tak lain dari jasad Duruwisa sambil memperhatikan setiap lekuk yang ada. Sampai akhirnya, matanya melihat sebuah benda bersegi empat berwarna putih seperti perak.
Dengan sangat hati-hati sekali, orang tua itu mencabut senjata rahasia yang terbenam di dada Duruwisa. Benda berbentuk bintang segi empat itu diperhatikannya dengan cermat.
"Hm...!" gumam orang tua itu, guru dari Duruwisa.
Laki-laki yang tak lain dari Ki Subrata ini memperhatikan bekas luka di dada mayat muridnya yang jelas berwarna hitam. Jadi, senjata rahasia berbentuk bintang segi empat itu mengandung racun sangat jahat.
"Aku yakin, semua ini pasti perbuatan orang-orang Istana Goa Darah!" geram Ki Subrata dengan tangan terkepal. "Tapi, apakah dua muridku yang lain masih selamat hingga saat ini" Aku tidak tahu, apa yang bakal terjadi pada mereka. Tapi naluriku mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres di Istana Goa Darah."
Laki-laki tua berjenggot putih ini bangkit berdiri. Matanya beredar ke segenap penjuru, di mana mayat-mayat yang tidak dikenal bergeletakan saling tumpang tindih. Ditimangnya benda persegi empat di tangan. Dan mendadak saja dia terkesiap begitu pendengarannya yang cukup tajam menangkap suara berdesir dari samping kanan.
Seketika itu pula, Ki Subrata berpaling. Wajahnya yang selalu tenang tiba-tiba saja terkesiap. Dalam suasana panas terik itu, dia melihat tiga buah benda berwarna putih keperakan menderu ke arahnya. Dengan sigap, senjata rahasia yang ada dalam genggamannya disambitkan.
"Hih!"
Dan dengan gerakan yang sangat indah pula, Ki Subrata indenting ke udara.
Tring! Salah satu senjata rahasia langsung jatuh ke tanah, ketika membentur senjata yang disambitkan Ki Subrata. Sedangkan dua lainnya terus berkelebat dua jengkal di bawah telapak kakinya.
Crap! Crap! Senjata rahasia yang dilepaskan pembokong menembus salah satu pohon di belakang Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu.
"Heps!"
Dengan gerakan sangat manis, Ki Subrata menjejakkan kedua kakinya kembali ke atas tanah. Lalu dijelajahinya tempat di mana serangan tadi berasal.
"Pembokong licik! Tunjukkan tampangmu. Jangan bertindak pengecut seperti banci...!" teriak Ketua Padepokan Pedang Bayangan dengan suara lantang.
Beberapa saat setelah gema suara Ki Subrata menghilang, suasana berubah sepi mencekam. Udara di siang hari terasa sangat panas menyengat. Namun kesunyian tidak berlangsung lama, langsung terobek oleh terdengarnya suara tawa serak seseorang yang terasa menyakitkan gendang telinga.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 152. Istana Goa Darah Bag. 3 dan 4
25. Dezember 2014 um 07:41
3 ? Ki Subrata terkesiap. Segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk menghilangkan pengaruh suara tawa orang yang tadi menyerangnya dengan senjata rahasia.
Belum juga keterkejutannya hilang, sesosok tubuh tiba-tiba berkelebat ke arah Ki Subrata.
"Hup...!"
Dengan gerakan ringan sekali, sosok itu menjejakkan kedua kakinya persis di depan Ki Subrata. Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini memandang tajam pada laki-laki berpakaian putih bersimbah darah yang telah mengering. Wajah laki-laki itu tertutup darah yang telah berubah menghitam, dengan bau busuk yang menyengat hidung.
Sekarang, sadarlah Ki Subrata. Dengan siapa dia berhadapan kini. Sementara, laki-laki berwajah seperti hantu ini tersenyum lebar ketika mengenali Ki Subrata.
"Hm... Tidak susah-susah aku harus menjem-putmu di Padepokan Pedang Bayangan, Ki Subrata!" kata laki-laki berbadan tinggi jangkung dengan ikat kepala warna merah darah ini.
"Kau pasti salah seorang begundal dari Istana Goa Darah. Melihat tampangmu, kau pasti yang berjuluk Hantu Pencabut Nyawa," balas Ki Subra ta, sinis.
Laki laki berwajah angker seperti setan tampak terkejut. Dia tadi heran, bagaimana mungkin Ketua Padepokan Pedang Bayangan yang termasuk dalam daftar korban mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.
"Tidak usah terkejut, Hantu Pencabut Nyawa! Aku hampir dapat menyingkap teka-teki di Istana Goa Darah. Termasuk, siapa-siapa saja yang harus kuperhitungkan. Sayang, aku tidak kenal ratumu!"
Hantu Pencabut Nyawa tersenyum mengejek.
"Apa yang bisa kau lakukan?" ejek Hantu Pencabut Nyawa, meremehkan. Suaranya keras penuh permusuhan.


Pendekar Rajawali Sakti 152 Istana Goa Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Melihat senjata rahasia yang menancap di dada salah seorang muridku, aku yakin orang-orang Istana Goa Darah telah membunuhnya. Sekarang, kau harus mengakui. Di mana dua orang muridku yang kalian bawa"!" bentak Ki Subrata.
Rupanya, walaupun Ki Subrata sadar kalau kepandaian Hantu Pencabut Nyawa tidak dapat di pandang rendah, namun mengingat keselamatan dua muridnya yang lain, dia sudah tidak dapat lagi menahan amarahnya.
"Kau menghendaki muridmu kembali?" tanya Hantu Pencabut Nyawa.
"Kau jangan coba-coba mempermainkan aku, Manusia Keparat!" dengus Ki Subrata semakin marah.
Hantu Pencabut Nyawa tersenyum.
"Muridmu dapat kukembalikan, asal saja kau mau menyerah secara baik-baik...!" ujar Hantu Pencabut Nyawa mengajukan persyaratan.
Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini jelas tahu akal licik laki-laki berbaju putih itu. Dan dia hanya tersenyum sinis.
Siapa sudi menyerah pada manusia iblis sepertimu! Lebih baik kita bertarung sampai salah seorang ada yang mampus!" desis Ki Subrata tegas.
Mata Hantu Pencabut Nyawa membulat lebar. Tatapan matanya yang berkilat memandang tajam pada Ki Subrata. seperti hendak menelan lewat tatapannya. Tiba-tiba, dia melompat ke depan sambil mendorong kedua tangannya ke arah Ketua Padepokan Pedang Bayangan. Seketika melesat sinar kehitaman dari tangan Hantu Pencabut Nyawa.
Sementara Ki Subrata merasakan hantaman angin dingin menerpa tubuhnya, sebelum serangan yang sesungguhnya datang. Sadar Hantu Pencabut Nyawa bermaksud mencelakainya, segera laki-laki tua itu melompat ke samping kiri sejauh dua langkah.
"Hoooup...!"
Sambaran sinar kehitaman berhawa dingin itu luput dari sasaran. Namun Hantu Pencabut Nyawa mengebutkan tangannya. Sehingga saat itu juga terlihat empat benda bersinar keperakan menderu ke arah Ki Subrata.
Ki Subrata segera menyadari kalau Hantu Pencabut Nyawa telah melemparkan senjata berbentuk bintang segi empat ke arahnya.
Sret! "Hiyaaa...!"
Laksana kilat, Ki Subrata mencabut pedang dari warangkanya. Sambil berteriak melengking, pedang di tangannya dikibaskan ke depan, menyongsong senjata rahasia Hantu Pencabut Nyawa.
Trang! Trang! Slap! "Uts...!"
Senjata rahasia berupa bintang segi empat itu runtuh. Namun satu di antaranya ada yang sempat lolos, dan menyerempet bahu kiri Ki Subrata.
Tubuh kakek tua ini bergetar hebat. Tangannya yang memegang gagang pedang terasa mendenyut. Tapi setelah mengerahkan tenaga dalam, rasa sakitnya hilang sama sekali.
"Kali ini kau benar-benar akan kubuat mam-pus, Subrata!" bentak Hantu Pencabut Nyawa ketika menyadari serangan senjata rahasianya gagal mencapai sasaran.
Diawali satu bentakan keras, tubuh Hantu Pencabut Nyawa berkelebat. Angin sedingin es menderu-deru menyertai kelebatan tubuhnya. Udara di sekitarnya semakin busuk, mengganggu pernapasan.
Kenyataannya, saat ini Hantu Pencabut Nyawa memang telah mengerahkan jurus 'Menipu Jarak Menyambar Bangkai', salah satu jurus andalan Istana Goa Darah. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, pertarungan seru telah berlangsung dua puluh jurus. Dalam serangan-serangan selanjutnya, tampak jelas Ki Subrata mulai terdesak.
Laki-laki tua ini dengan cepat merubah jurus pedangnya. Gerakan kaki dan tangannya juga mulai berubah. Tubuhnya meliuk-liuk, sehingga pukulan tangan kosong yang dilepaskan Hantu Pencabut Nyawa selalu mengenai tempat kosong.
Menyadari serangan ganasnya selalu dapat di-hindari, tokoh kedua dari Istana Goa Darah ini menjadi sangat marah.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan melengking tinggi, tangan Hantu Pencabut Nyawa terpentang menyambar ke dada Ki Subrata. Sementara, kaki kanannya men-deru ke bagian perut.
Bet! Ki Subrata yang sudah kenyang makan asam garam dalam dunia persilatan, langsung mengibaskan pedangnya secara berturut-turut ke bagian tangan Hantu Pencabut Nyawa yang terjulur.
Dengan gugup dan sambil memaki, Hantu Pencabut Nyawa menarik balik tangannya. Namun, dia tiba-tiba melesat dengan tendangan kaki ke perut Ki Subrata. Begitu cepat gerakannya, sehingga kakek tua itu tidak mungkin dapat menghindarinya. Maka...
Buk! "Hugkh...!"
Ki Subrata terhuyung-huyung, begitu perutnya terhantam telak tendangan Hantu Pencabut Nyawa. Bagian perutnya terasa seperti remuk. Napasnya langsung menyesak. Wajah Ki Subrata langsung berubah pucat.
Dengan cepat, laki-laki tua itu mengerahkan hawa murni untuk menghilangkan rasa sakit yang sangat menyiksa.
Melihat apa yang dialami Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu, Hantu Pencabut Nyawa tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Langsung pedang pendek berwarna merah darah miliknya dicabut.
Sret! Seketika bau busuk terasa menyengat begitu pedang berwarna merah darah itu berkelebat ke arah Ki Subrata. Laki-laki tua ini sadar betul kalau senjata di tangan lawannya mengandung racun ganas. Maka dengan penuh perhitungan hendak disongsongnya serangan Hantu Pencabut Nyawa. Pedang di tangannya cepat dikibaskan membentuk perisai diri.
"Hiyaaa...!"
Dan tiba-tiba tubuh Ki Subrata melesat ke arah Hantu Pencabut Nyawa dengan gerakan sangat sulit diikuti mata biasa. Pedang di tangannya dikibaskan dua kali berturut-turut, menciptakan sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata.
Hantu Pencabut Nyawa terkesiap melihat serangan yang datangnya secepat kilat ini. Maka pe-dang pendek di tangannya cepat diangsurkan untuk menahan ujung pedang yang menyodok ke bagian perutnya.
Trang! "Akh!"
Hantu Pencabut Nyawa mengeluh tertahan sambil melompat mundur sejauh tiga langkah, begitu pedang pendeknya berbenturan. Sedangkan Ki Subrata sendiri tampak terhuyung-huyung. Tangannya terasa seperti lumpuh. Sekarang baru disadari kalau Hantu Pencabut Nyawa memiliki tenaga dalam lebih tanggi setingkat di atasnya.
Tidak ada kesempatan lagi bagi Ki Subrata untuk berpikir lebih lama. Karena, Hantu Pencabut Nyawa telah menyerangnya kembali dengan satu sodokan pedang, disertai satu tendangan mengge-ledek. Terpaksa Ki Subrata mengebutkan pedangnya ke samping kanan.
Tring! Kali ini Ki Subrata yang terpekjk kaget. Dalam keadaan terhuyung-huyung, tiba-tiba Hantu Pencabut Nyawa menghentakkan tangan kirinya ke depan. Seketika seleret sinar berwarna hitam pekat berhawa dingin menderu ke arah Ki Subrata.
Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini terkesiap. Tapi dia segera bersiap-siap, melepaskan pukulan 'Bayang-Bayang Malam'. Maka begitu sinar hitam itu hampir mendekat. Ki Subrata menghentakkan tangan kanannya. Saat itu pula dari telapak tangan Ki Subrata melesat cepat sinar biru berhawa panas luar biasa. Dan...
Glar! "Akh...!"
Kedua pukulan sakrj itu sama-sama menerjang dan bertemu di udara. Ki Subrata berteriak kesakitan. Tubuhnya terbanting sejauh tiga batang tombak ke belakang. Sedangkan Hantu Pencabut Nyawa tampak bergetar hebat dengan mata terpejam.
? *** ? Dari mulut Hantu Pencabut Nyawa mengucur darah segar. Namun, segera ditelannya dua buah obat pulung berwarna merah dan kuning. Sedangkan Ki Subrata sendiri ternyata mengalami luka dalam yang sangat parah. Walaupun pedang masih tergenggam di tangannya tapi merasa kesulitan untuk bangkit berdiri. Dari lubang hidung dan sudut-sudut bibirnya mengalir darah kental.
Melihat keadaan lawannya, Hantu Pencabut Nyawa tampak tersenyum sinis. Bahkan tangannya cepat disilangkan ke depan dada. Kemudian mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan.
Tidak ada lagi kesempatan bagimu untuk meloloskan diri! Mampuslah...!" bentak Hantu Pencabut Nyawa, garang.
Dalam keadaan demikian rupa, jelas tidak ada kesempatan bagi Ki Subrata untuk menghindari dari maut. Terlebih-lebih, setelah Hantu Pencabut Nyawa mengibaskan tangan ke arahnya.
Tampak seleret sinar berwarna hitam pekat yang menebarkan hawa dingin membekukan tulang, menderu dahsyat ke arah Ketua PadepokanPedang Bayangan ini. Ki Subrata berusaha bergulingan ke samping. Tapi, sekujur tubuhnya sangat sulit digerakkan.
Dalam keadaan yang sangat gawat, mendadak dari arah lain melesat sinar merah yang memapak sinar hitam ciptaan Hantu Pencabut Nyawa.
Glar! Glar! Sungguh dahsyat hasil benturan dua sinar tadi, membuat Hantu Pencabut Nyawa terbanting roboh. Sementara dari arah datangnya sinar merah, melesat sosok bayangan putih. Gerakannya cepat bukan main. Dan tahu-tahu seorang pemuda tampan berompi putih telah berdiri di samping Ki Subrata yang masih terduduk lemah.
"Bangkitlah, Ki...!" ujar pemuda itu seraya mengulurkan tangannya pada Ki Subrata.
Pada saat itu, Hantu Pencabut Nyawa yang sekujur tubuhnya terasa panas seperti terbakar sudah bangkit berdiri. Walau tubuhnya terhuyung-huyung, matanya jadi terbelalak lebar-lebar ketika melihat kehadiran pemuda yang ciri-cirinya pernah disebutkan Gust Ratunya.
"Kkka"?? kau...! Siapa kau, Kisanak?"
"Namaku Rangga!" sahut pemuda berompi putih di sebelah Ki Subrata, yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Hantu Pencabut Nyawa merayapi pemuda be-rompi putih di depannya dengan pandangan seakan tidak percaya.
"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya tokoh kedua Istana Goa Darah, penuh menyelidik.
"Begitulah orang menjuluki aku," sahut Rangga, kalem.
Bukan Hantu Pencabut Nyawa saja yang terkejut. Tapi, Ki Subrata Ketua Padepokan Pedang Bayangan juga sempat tersentak kaget. Namun tiba-tiba, tokoh kedua Istana Goa Darah tertawa lebar. Wajahnya yang bersimbah darah yang telah mengering, jelas memancarkan rasa suka yang tidak terlukiskan.
"Rupanya, kaulah orang yang dimaksudkan ratu kami!" kata Hantu Pencabut Nyawa.
"Ada urusan apa ratumu mencariku?" tanya Rangga, penuh selidik.
"Kau termasuk dalam daftar kematian Istana Goa Darah, Rangga!" timpal Ki Subrata, pelan.
"Jika kau sudi datang ke Istana Goa Darah, Ratu kami akan memberikan sesuatu yang tidak dapat kau lupakan, Pendekar Rajawali Sakti...!" kata Hantu Pencabut Nyawa, dengan suara ber-sahabat.
"Hm, begitu...?" gumam Rangga.
"Begitulah yang diperintahkan Gusti Ratu padaku!" sahut tokoh kedua Istana Goa Darah sambil tersenyum.
"Hugkh...!"
Tiba-tiba Ki Subrata yang telah berdiri di samping Rangga mengeluh sambil mendekap dadanya. Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat wajah Ki Subrata yang telah berubah pucat seperti tidak berdarah.
"Kita harus menyingkir dari tempat ini, Ki...!" bisik Rangga.
Tanpa bicara apa-apa lagi, Rangga segera me-manggul tubuh Ki Subrata. Sementara, Hantu Pencabut Nyawa yang melihat gelagat kurang menguntungkan, segera menghadang.
"Menyingkiriah sebelum kesabaranku benar-benar habis!" ancam Rangga, dingin.
"Apakah kau tidak tertarik penawaranku tadi. Pendekar Rajawali Sakti?"
"Nyawa orang lain bagiku lebih penting dari-pada segala macam hadiah busuk!" tandas pemuda berompi putih ini, ketus.
Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti membuat Hantu Pencabut Nyawa kehilangan kendali. Maka tanpa diduga-duga, pedang pendeknya yang berwarna merah darah dicabut.
Rangga sadar betul kalau keadaan Ki Subrata semakin bertambah parah saja jika tidak cepat di-beri pertolongan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung menghen-takkan tangannya yang telah berubah menjadi merah membara ke arah Hantu Pencabut Nyawa. Jelas saat itu Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerahkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat menengah.
Seketika dari tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur sinar merah membara ke arah Hantu Pencabut Nyawa yang hendak menerjang. Dan...
Glarrr...! "Akh...!"
Hantu Pencabut Nyawa berteriak kesakitan. Tubuhnya terpelanting roboh dengan wajah ber-lumur darah, terkena hantaman Rangga yang mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat menengah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat, tubuhnya berbalik dan langsung meninggalkan pinggiran Hutan Jati Barang sambil membawa Ki Subrata yang terus mengerang-ngerang.
"Bangsat! Aku tertipu!" teriak Hantu Pencabut Nyawa.
Sambil mengurut-urut dadanya yang terasa menyesak, Hantu Pencabut Nyawa merayapi se-luruh tempat di sekitarnya. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangannya. Lebih menyakitkan lagi, pemuda itu telah melarikan Ki Subrata, orang yang hampir dapat dibunuhnya.
"Seumur hidup menjalankan tugas, baru kali ini aku gagal," geram Hantu Pencabut Nyawa." Pe-muda itu ternyata sakti bukan main. Pantas, Gusti Ratu meletakkannya dalam urutan musuh yang paling bsrbahaya. Sekarang, aku harus melapor pada Gusti Ratu...!"
Dengan langkah tersaruk-saruk, Hantu Pencabut Nyawa menghampiri kuda tunggangannya yang ditambatkan pada sebuah tempat yang tersembunyi. Tidak lama kemudian, kuda berbulu putih itu telah digebahnya meninggalkan Hutan Jab Barang.
? *** ? Rangga mendudukkan Ki Subrata di bawah pohon beringin putih yang sangat teduh. Saat ini, mereka memang sudah berada jauh di luar Hutan Jati Barang. Tidak mungkin Hantu Pencabut Nyawa berani mencari mereka di luar kekuasaan Istana Goa Darah. Lagi pula, paling tidak tokoh kedua Istana Goa Darah ini pasti tengah terluka parah akibat terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Kalau Hantu Pencabut Nyawa dapat bertahan hidup, berarti Rangga pantas memujinya. Karena selama ini, hanya orang bertenaga dalam tinggi saja yang dapat lolos dari kematian, bila telah terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Sekarang, Pendekar Rajawali Sakti telah me-nyingkapkan baju hitam Ki Subrata. Tidak lama kemudian, dia duduk di belakang orang tua ini yang terus merintih-rintih. Kedua tangannya ditempelkan pada bagian punggung Ketua Padepokan Pedang Bayangan itu.
"Tarik napas dalam dalam, Ki! Aku akan ber-usaha mengobati luka dalammu, sekaligus mengusir pengaruh racun yang mengeram di tubuhmu...!" ujar Rangga, pelan.
Dengan penuh rasa terima kasih yang tidak terucapkan, Ki Subrata mengangguk. Rangga kini memejamkan mata. Kini, hawa murni telah mulai dikerahkan ke bagian telapak tangan yang menempel erat di punggung Ki Subrata.
Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini segera merasakan adanya hawa hangat mulai mengalir ke sekujur tubuhnya yang terasa membeku. Peredaran darah di tubuhnya perlahan-lahan berangsur pulih. Dadanya yang terasa sesak, kini mulai terasa ringan.
"Hoekh...!"
Ki Subrata memuntahkan darah kental berwarna hitam.
"Muntahkan terus, Ki...!" perintah Rangga sambil tetap memejamkan matanya.
Ki Subrata terus memuntahkan darah kental, sampai napasnya terengah-engah. Dan Rangga segera melepaskan tangannya dan punggung orang tua itu. Disekanya keringat yang mengucur di wajah. Setelah mengatur jalan napas hingga menjadi seperti biasa, barulah Rangga membuka matanya. Sekarang dia duduk menghadap Ki Subrata. Wajah laki-laki tua itu tampak sudah tidak pucat lagi. Dan ini membuat Rangga merasa lega.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau beri-kan padaku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Ki Subrata dengan perasaan kagum.
"Lupakanlah, Ki! Aku telah mengetahui semua persoalan yang sedang kau hadapi. Tapi ada be-berapa hal yang tidak kuketahui tentang para penculik yang telah membunuh beberapa tokoh persilatan. Apakah kau dapat menjelaskannya?" pinta Rangga, langsung pada titik persoalan.
? *** ? 4 ? Ki Subrata menarik napas dalam-dalam. Matanya merayapi pemuda di depannya penuh rasa kagum.
"Aku merasa bersyukur bertemu denganmu, Rangga!" ucap Ki Subrata pelan. "Hantu Pencabut Nyawa yang hampir membunuhku, adalah tokoh kedua di Istana Goa Darah. Sedang tokoh ketiga Iblis Wajah Sebelah. Kedua orang inilah yang melakukan penculikan, dan menyeret orang-orang rimba persilatan ke istana mereka. Menurut hasil penyelidikanku selama ini, Istana Goa Darah tidak mungkin dapat dijarah oleh siapa pun. Karena, tempat itu mengandung jebakan-jebakan gaib yang dapat mencelakakan. Itulah sebabnya, banyak padepokan maupun ketua padepokan yang mati sia-sia di tempat itu...!"
"Ki...!" potong Rangga. "Istana Goa Darah adalah tempat yang sangat asing dan begitu menyeramkan. Apakah sebenarnya yang terjadi di sana?" tanya pemuda berompi pubh ini, penuh rasa ingin tahu.
Wajah Ki Subrata berubah murung. Sinar matanya tampak meredup, seakan telah kehilangan gairah hidup. Semua ini jelas-jelas dilihat Rangga.
"Jika kau merasa keberatan untuk mengata-kannya padaku, lebih baik tidak usah kau kata-kan...!" desah Rangga, merasa tidak enak.
"Oh...! Ee"!" Ketua Padepokan Pedang Bayangan tergagap. "Bukan begitu, Rangga. Jika aku tidak mengatakannya padamu, sama artinya menutupi aibku sendiri."
"Maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Begini, Rangga. Aku hanya dapat memper-kirakan kalau Penguasa Istana Goa Darah tidak lain adalah bekas istriku yang sudah telanjur sesat. Aku tidak tahu, pada siapa dia berguru. Tapi aku melihat, kesaktiannya sangat luar biasa. Dia mempunyai keinginan sangat besar untuk menguasai seluruh rimba persilatan. Siapa yang melawan, pasti dibunuhnya!" rungut Ki Subrata.
"Tapi kudengar, dia juga menculik murid-murid padepokan. Termasuk, dua orang muridmu."
Ki Subrata tersentak kaget.
"Dari mana kau tahu?"
"Aku sempat mendengar perdebatan Hantu Pencabut Nyawa denganmu, Ki...!" tegas Rangga.
"Memang! Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah telah menculik dua orang muridku," desah Ki Subrata. Wajahnya seketika berubah merah. "Biadabnya bekas istriku yang telah menyimpang ke jalan sesat itu adalah, memanfaatkan setiap laki-laki muda untuk memelihara kecantikan tubuhnya!"
"Maksudmu" ?"
"Dia akan menghisap sari kehidupan setiap laki-laki, melalui hubungan badan. Siapa pun yang terjebak dalam perangkapnya, maka tubuhnya akan menjadi tua, tiga kali lipat dari usia yang sesungguhnya!"
"Sungguh keji!" desis Rangga tanpa sadar.
"Memang! Itulah sebabnya, tokoh-tokoh golongan putih yang telah mengetahui kekejian Ratu Istana Goa Darah, datang menyerang ke sana. Tapi setelah sampai di sana, mereka baru sadar. Ternyata tidak mudah untuk menyerbu ke Istana Goa Darah. Karena, mereka harus menyeberangi sebuah lembah yang cukup luas yang di dalamnya terdapat berbagai jenis ular berbisa dan jebakan-jebakan maut yang sangat berbahaya."
"Apakah tidak ada sebuah jembatan yang menghubungkan antara bibir lembah dengan pintu goa istana itu, Ki?" tanya Rangga lebih seksama.
Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti merasa semakin tertarik mendengar penjelasan Ki Subrata. Tanpa mau mengungkit-ungkit persoalan antara Ki Subrata dengan bekas istrinnya. Rangga berusaha mencari cara agar dapat masuk ke dalam Istana Goa Darah.
"Jalan untuk sampai ke istana itu melalui jembatan gaib yang diberi nama Jembatan Penghubung Sukma. Jembatan seperti itu hanya sementara saja sifatnya. Dan bila telah dipergunakan oleh salah seorang anggota istana, maka akan lenyap kembali!" jelas Ki Subrata, panjang lebar.
Rangga menggaruk-garuk kepalanya. Kalau sudah begitu keadaannya memang rasanya sangat sulit untuk dapat memasuki Istana Goa Darah. Apa lagi, menghancurkannya.
"Ada satu hal yang tidak diketahui orang lain...," gumam Ketua Padepokan Pedang Bayangan tampak jengkel.
"Apa itu, Ki?" potong Rangga, penasaran.
"Kalaupun kita dapat menyerbu ke dalam istana, belum tentu dapat keluar dari istana itu hidup-hidup. Ratu keparat itu tidak dapat dibunuh bila berada dalam istananya."
"Jadi, jalan satu-satunya harus memancingnya keluar?" duga Rangga.
Pemuda itu menggeleng-geleng seakan tidak percaya mendengar penjelasan Ki Subrata.
"Memang begitulah kenyataannya. Jika kita telah dapat memancingnya keluar, maka harus dapat merampas tusuk konde emas...!"
"Ada apa dengan tusuk konde itu, Ki...?" po-tong Rangga, semakin penasaran saja.
Rasa penasaran Rangga membuat Ki Subrata jadi tersenyum kecut.
"Tusuk konde Dewi Kemuning merupakan sumber kekuatan gaib di Istana Goa Darah. Jika dapat diambil, berarti punahlah kekuatan yang dimilikinya," jelas Ki Subrata, disertai tarikan napas berulang-ulang.
"Tapi untuk memancing keluar Dewi Kemuning, adalah pekerjaan yang tidak gampang..!" keluh Rangga.
Ketua Padepokan Pedang Bayangan menarik napas pendek. Apa yang dikatakan pemuda berompi putih ini memang benar. Tidak mudah memancing Dewi Kemuning dari istananya, karena paling tidak harus membunuh Hantu Pencabut Nyawa dan juga Iblis Wajah Sebelah lebih dulu. Apalagi mereka bukan merupakan lawan berkepandaian rendah.
"Apa yang kau katakan dapat kumengerti, Rangga. Apalagi jika kita tidak melenyapkan para begundal Ratu Istana Goa Darah. Namun, aku yakin bukan kita saja yang akan menghadapi mereka. Masih banyak tokoh persilatan lain yang merasa tertarik dengan undangan daun lontar itu. Mereka pasti datang ke sana...," jelas Ki Subrata.
Rangga tiba-tiba mengeluarkan daun lontar yang didapat di daerah Hutan Kemusuk. Setelah itu. diperlihatkannya pada Ketua Padepokan Pedang Bayangan ini.
Mata orang tua itu langsung terbelalak lebar. Diperhatikannya daun lontar yang berada dalam genggaman Rangga.
"Kau telah memperoleh undangan ini. Dan itu sama artinya bahwa kau masuk dalam daftar ke-matian Istana Goa Darah...!" desah Ki Subrata sambil menggeleng.
"Bagaimana mungkin Ratu Istana Goa Darah dapat mengenaliku?" selak Pendekar Rajawali Sakti seakan tidak percaya.
"Namamu telah dikenal di delapan penjuru rimba persilatan, Rangga. Tentu, Dewi Kemuning menganggapmu sebagai orang yang dapat membahayakan keselamatan kerajaannya."
Rangga mengangguk-angguk.
"Sebaiknya, kita hubungi tokoh-tokoh persilatan yang mungkin masuk dalam daftar kematian di Istana Goa Darah, Ki. Siapa tahu, kita belum terlambat mencegah mereka," saran pemuda berompi putih.
"Mari...!"
Ki Subrata bangkit berdiri. Sementara tiba-tiba Rangga bersuit nyaring. Sebentar kemudian, di kejauhan terdengar suara ringkik kuda yang disusul derap langkah kakinya. Semakin lama, suara-suara itu semakin bertambah mendekat. Lalu, dari semak belukar muncul seekor kuda berbulu hitam yang langsung menghampiri Rangga.
Pemuda berompi putih menepuk-nepuk bahu kuda berbulu hitam yang bernama Dewa Bayu.
"Naiklah, Ki! Luka-lukamu belum sembuh be-nar! Perjalanan yang kita tempuh masih jauh...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, seraya menaiki punggung Dewa Bayu.
"Tap..., tapi, kuda ini kuda siapa" Sejak tadi, tidak kulihat kau membawa-bawa kuda?" tanya Ki Subrata terkagum-kagum.
"Ini kudaku, Ki. Sudahlah.... Ayo naik...!" seru Rangga.
Rangga tak ingin menjelaskan kalau kudanya bukan tunggangan sembarangan. Seekor kuda berbulu hitam pekat, yang selalu mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari jarak yang tidak terlalu jauh, jika tidak sedang dipergunakan.
Tanpa mampu menolak lagi, Ki Subrata langsung melompat ke punggung Dewa Bayu di bela-kang Pendekar Rajawali Sakti. Selanjutnya, mereka bergerak ke arah timur.
? *** ? Bila melihat kolam darah, di Istana Goa Darah, maka tampaklah tubuh putih mulus yang tanpa benang sehelai pun berenang kian kemari di dalam air yang berwarna merah darah. Air bercampur darah itu tidak lagi menebar bau yang sangat busuk, tapi aroma wangi yang tercium ke mana-mana.
Setelah puas berenang kian kemari, sosok perempuan cantik berambut disanggul ini bangkit berdiri. Rupanya, air kolam darah hanya sebatas dadanya saja.
Tatapan mata wanita cantik yang selalu me-mancarkan gairah nafsu berkobar-kobar itu me-mandang mayat-mayat renta yang berjejer di seputar kolam. Kemudian, dia naik ke bibir kolam. Setelah membersihkan tubuhnya yang berlumuran darah dengan kain yang juga berwarna merah darah, dia memakai pakaiannya kembali. Sebentar saja, pakaian ketat berwarna putih dan bersimbah darah mengering itu telah membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Sehingga, membuat setiap lelaki yang memandang menjadi terpesona.
Cring! Cring! Wanita yang ternyata Penguasa Istana Goa Darah ini menggerakkan lonceng kecil yang selalu dibawanya ke mana pun pergi. Dari sebelah kanan tampak sebuah pintu batu yang menghubungkan ke ruangan peraduan terbuka lebar.
Dua orang laki-laki tegap berpakaian hulu-balang kerajaan tampak keluar dari dalamnya. Mereka menyeret tubuh tua tanpa nyawa yang telah diawetkan. Dari rongga dada mayat laki-laki renta itu, masih meneteskan darah segar. Agaknya, kematiannya belum lama.
Kedua laki-laki ini meletakkan mayat itu. Kemudian, mereka menjura hormat pada perempuan muda yang sebenarnya telah berusia enam puluh tahun ini.
"Maafkan kami, Gusti Ratu Dewi Kemuning! Apakah mayat Durupaksi ini harus dijejer di kolam ini juga?" tanya salah seorang laki-laki tegap dengan suara pelan tapi jelas.
Perempuan berbaju putih seperti permaisuri seorang raja ini tertawa mengikik.
"Durupaksi yang sepekan sebelumnya masih begitu muda, sekarang telah menjadi kakek jompo tanpa nyawa. Mereka yang dipajang di sekeliling kolam darah ini, adalah para penyumbang saripati yang membuatku tetap awet muda! Letakkan dia di sudut sana!" perintah wanita bernama Dewi Kemuning itu, tegas.
"Segera, Gusti Ratu!" sahut kedua laki-laki itu sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Mayat Durupaksi yang telah berubah menjadi jasad seorang kakek tua diseret ke sudut ruangan.
Kemudian mayat itu didirikan, tidak jauh beda dengan sebuah partung. Setelah menjalankan tugas, dengan terbungkuk-bungkuk kedua laki-laki itu berlalu.
Dewi Kemuning tersenyum puas. Otaknya yang kotor teringat saat-saat berdua bersama Durupaksi, yang telah memakan racun Penghilang Ingatan ketika berada dalam kamarnya.
Laki-laki muda itu selain sangat perkasa juga memiliki daya tahan yang sangat luar biasa. Dia tidak jauh beda dengan kuda binal yang memiliki kekuatan berlipat ganda. Sehari dua hari, sampai seminggu kemudian, wajah Durupaksi yang telah tersedot sari kehidupannya, berubah menjadi ke-riput dan layu. Tubuh dan wajahnya tidak ubahnya seorang kakek berumur delapan puluh tahun.
Sebagaimana para pendahulunya, Durupaksi pun akhirnya menerima nasib sama. Dia dibunuh secara kejam. Bahkan tubuhnya diawetkan dan dipajang seperti patung. Sedangkan darahnya di-masukkan ke dalam kolam darah.
Sekarang Dewi Kemuning yang memiliki kekuatan gaib dan tetap awet muda ini, memperhatikan mayat Durupaksi yang tegak kaku dan dalam keadaan telanjang. Tiba tiba, mulutnya menyeringai.
"Masih ada adik seperguruanmu yang segeraakan menyusul! Tidak perlu merasa cemburu, Durupaksi! Sekarang, jangankan gurumu. Pacarmu sendiri sudah tidak dapat mengenalimu lagi. Kau sudah menjadi seorang kakek yang sudah tidak berguna sama sekali!" dengus Penguasa Istana Goa Darah sambil melangkah menuju ke peraduannya.
Di dalam peraduan Dewi Kemuning, Duruseta yang telah meminum racun Penghilang Ingatan tampak tergeletak tanpa daya. Sekujur tubuhnya telah bersimbah keringat. Sekujur urat-uratnya telah menegang. Ada satu rangsangan hebat yang terjadi di bawah perutnya.
Duruseta mengerang-ngerang seperti orang kehausan. Matanya yang telah berubah merah, memperhatikan suasana sekelilingnya. Sampai di depan pintu, matanya terpaku pada seorang perempuan berwajah cantik yang berdiri tegak sambil menyunggingkan seulas senyum padanya.
Duruseta merasakan darahnya seperti berhenti mengalir. Sementara, pandangan matanya tidak pernah beralih dari perempuan yang memakai mahkota berwarna kuning di kepala yang tak lain Dewi Kemuning.
"Hi hi hi!"
Dewi Kemuning tertawa lebar. Langkahnya yang lemah gemulai semakin membuat Duruseta yang telah berada di bawah pengaruh racun Penghilang Ingatan, semakin tidak sabar menunggu.
"Akhirnya kau dapat melihat sendiri, betapa aku sangat pantas tidur denganmu! Apakah kau merasa senang melihat keindahan tubuhku, Duruseta!" tanya Dewi Kemuning.
Pelan-pelan Dewi Kemuning mulai melepaskan pakaian yang membalut tubuhnya. Sementara Duruseta mengangguk-angguk sambil memperhatikan tubuh Dewi Kemuning yang telah telanjang.
"Seminggu kita akan bersenang-senang, Duruseta! Ingat-ingatlah kenangan-kenangan yang tidak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu. Dan semuanya akan kuberikan cuma-cuma!" desis Penguasa Istana Goa Darah sambil meliuk-liukkan tubuhnya yang dalam keadaan polos menantang.
Beberapa kali Duruseta menelan ludah. Teng-gorokannya turun naik seperti orang kehausan. Terlebih-lebih, setelah Dewi Kemuning naik di atas peraduannya. Murid Padepokan Pedang Bayangan yang telah kehilangan kesadaran ini langsung menerkam Dewi Kemuning dengan beringas!
Selanjutnya hanya cicak-cicak di ruangan ini yang tahu, apa yang dilakukan dua insan berbeda jenis itu.
? *** ? "Jangan ke mana-mana, Duruseta kekasihku! Setelah urusanku dengan para pembantu selesai, aku segera kembali lagi menemuimu!"
Suara Dewi Kemuning yang pelan, terdengar merdu di telinga Duruseta. Pemuda itu mengang-gukkan kepala. Sementara Ratu Istana Goa Darah segera meninggalkan ruangan yang berbau harum semerbak.
Kini Dewi Kemuning telah berada di sebuah ruangan khusus pertemuan. Di situ, Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah telah menunggu kehadirannya dengan sikap was-was.
Kedua laki-laki bertampang angker ini langsung menjura hormat, ketika melihat kain merah berlumur darah busuk di depan mereka tampak bergerak-gerak.
"Kami datang ingin menghadap, Gusti Ratu!" kata kedua manusia aneh ini sambil membungkuk dalam-dalam.
"Bagaimana usahamu, Tokoh Ketiga?" tanya sebuah suara yang terdengar begitu merdu, tapi berwibawa.
"Hamba telah melakukan tugas. Tapi sampai sejauh ini. belum ada tanda-tanda ada orang hadir lagi di tempat ini," lapor Iblis Wajah Sebelah dengan tenang.
"Hm...!"
Orang di balik tirai kain merah yang memang Dewi Kemuning itu menggumam tidak jelas. "Ba-gaimana denganmu, Hantu Pencabut Nyawa?"
Laki-laki yang seluruh wajahnya dilumuri darah mengering ini menjura dalam-dalam.
"Ampun seribu ampun, Gusti Ratu. Di Hutan Jati Barang yang masih wilayah kekuasaan kita, sebenarnya hamba hampir berhasil membunuh Ki Subrata, Ketua Padepokan Pedang Bayangan. Tapi tanpa terduga, seorang pemuda berompi putih telah menyelamatkannya...!"
"Apakah pemuda itu yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" potong suara di balik tirai kain berlumur darah.
"Benar!" sahut Hantu Pencabut Nyawa.
"Pendekar Rajawali Sakti adalah salah satu pendekar yang masuk dalam daftar kematian di Istana Goa Darah ini. Apakah kau belum paham juga?" sentak Gusti Ratu Dewi Kemuning. Se-hingga, membuat Hantu Pencabut Nyawa jadi ciut. Dia memiliki ilmu yang sangat tinggi Gusti Ratu. Hamba bahkan hampir celaka di tangannya," jelas Hantu Pencabut Nyawa.
Suasana di dalam ruangan pertemuan yang berbau busuk itu berubah menjadi hening. Gusti Ratu Dewi Kemuning rupanya juga menyadari, apa yang dikatakan pembantunya memang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Tapi dia yakin. Bagaimanapun, cepat atau lambat Pendekar Rajawali Sakti serta tokoh-tokoh lainnya yang telah masuk dalam daftar kematian pasti akan muncul juga.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 152. Istana Goa Darah Bag. 5 dan 6
25. Dezember 2014 um 07:43
5 ? Hantu Pencabut Nyawa dan Iblis Wajah Sebelah termangu-mangu dengan sikap tidak sabar bercampur rasa cemas.
"Sebaiknya, mulai sekarang kalian bersatu untuk menghadapi orang-orang persilatan yang da-tang ke tempat ini,'" ujar Dewi Kemuning memutuskan.
"Apakah kami harus kembali ke Hutan Jati Barang, Gusti Ratu?" tanya Hantu Pencabut Nyawa.
"Mengapa harus kembali ke sana! Kalian bisa menunggu kedatangan mereka di pinggir Lembah Putus Nyawa," jelas Penguasa Istana Goa Darah.
"Kalau begitu kami mohon diri, Gusti Ratu!" pamit kedua laki-laki bertampang angker ini sambil bangkit berdiri dan melangkah.
"Tunggu!"
Langkah mereka terhenti. Dan cepat mereka berbalik sambil menjura penuh rasa hormat.
"Ada apa lagi, Gusti Ratu?" pelan suara Iblis Wajah Sebelah.
"Kalian harus membawa, paling tidak lima orang pengawal untuk menjaga kemungkinan kemungkinan yang tidak terduga...!" tegas Devi Kemuning.
Keduanya sama-sama mengangguk. Tidak lama kemudian, mereka menelusuri lorong demi lorong sambil menghubungi para pengawal pilihan yang akan menyertai.
Sementara itu, tidak jauh dari Lembah Putus Nyawa, tampak seorang laki-laki bertampang tolol sedang duduk ongkang-ongkang di atas sebuah cabang pohon. Pakaiannya yang berwarna putih lusuh dikipas-kipaskan ke bagian wajah. Sedangkan tongkat bututnya diketuk-ketukkan ke cabang pohon berulang-ulang, sehingga menimbulkan suara bunyi yang tidak teratur.
"Istana Goa Darah sebenarnya sudah berada di depan mata. Tapi, tidak ada jembatan yang menghubungkan ke pintu goa. Tampaknya orang-orang di dalam sana enggan menerima tamu se-pertiku. Huh...! Siapa sudi menerima Raja Pembual!" dengus kakek berjenggot putih dan berkumis putih yang mengaku sebagai Raja Pembual sambil terus mengetuk-ngetuk tongkat di tangannya.
Naga Pamungkas 3 Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua Kisah Membunuh Naga 16

Cari Blog Ini