Ceritasilat Novel Online

Istana Tulang Emas 1

Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas Bagian 1


. 164. Istana Tulang Emas Bag. 1-3
22. Januar 2015 um 06:16
1 ? Pulau Perawan sebenarnya tidak terlalu jauh dari pantai barat Tanah Jawadwipa ini. Kalau diperkirakan, mungkin jaraknya kurang dari lima puluh tombak sebelah selatan. Namun begitu jarang sekali ada yang menginjakkan kakinya di sana. Agaknya itu tidak mengherankan, sebab pantainya hanya hutan lebat yang terdiri dari pohon bakau, api-api, sampai pepohonan besar agak jauh ke daratan. Bahkan seorang pemburu sekalipun, jarang tersesat sampai di tempat ini. Padahal pulau itu banyak didiami binatang buruan.
Sementara di Tanah Jawadwipa, seorang laki-laki berbaju hitam berusia sekitar tigapuluh tahun, tepatnya di pesisir pantai bagian barat, tampak berlari-lari menerobos semak belukar. Baju yang dikenakannya telah robek di sana-sini. Demikian pula celana yang dikenakannya. Tubuhnya telah dipenuhi goresan ranting dan duri-duri. Sebagian dari lukanya sedikit mengering. Tapi beberapa di antaranya terlihat masih baru.
Laki-laki bertubuh sedang dengan ikat kepala merah ini berhenti di dekat sebuah batu besar. Napasnya terengah-engah seperti mau putus. Beberapa saat kemudian, matanya memandang ke sekeliling tempat ini.
"Badar...!" panggil laki-laki itu dengan suara agak dipelankan.
Tidak ada sahutan. Mata laki-laki ini merayapi sekitarnya sambil mengendap-endap. Mendadak, dia melihat dua sosok tubuh tengah berjalan. Dua sosok gadis berpakaian ala kadarnya. Bagian dada dan bawah perut hanya ditutupi pakaian dari kulit binatang. Tak urung, bagian-bagian tubuhnya yang mengundang masih juga terlihat. Sehingga, membuat mata laki-laki itu kian liar menjilatinya dengan jakun turun naik.
"Astaga! Apa aku tidak salah lihat" Siapa mereka" Dewi Penunggu tempat inikah?" batin laki-laki ini.
Dengan benak dipenuhi tanda tanya, dia mulai membuat rencana. Sementara, matanya terus melotot seperti tidak berkedip, mengawasi dua gadis cantik itu.
"Mereka hanya dua orang dan bersenjata tombak. Hm... dia kalau kuringkus..., lalu yang seorang kuserahkan Ki Seta, tentu dia senang dan bersedia mengampuniku," gumam laki-laki berbaju hitam ini.
Ketika semangatnya telah terkumpul, laki-laki itu mencelat, langsung menghadang kedua gadis yang berjalan pelan tidak jauh di depannya.
"Ha! Jangan takut dengan Kakang Kaliki, Adik-adik Manis. Aku tidak galak, kok!" ujar laki-laki yang ternyata bernama Kaliki ini.
Belum sempat gadis itu berkata-kata, Kaliki langsung menyambar tombak di tangan kedua gadis itu.
Kedua gadis itu kaget. Tapi langsung menyodorkan ujung tombak ke arah Kaliki dengan kecepatan dahsyat. Dan ini di luar dugaan laki-laki ini.
"Uts!"
Baru saja Kaliki melompat ke belakang menghindari sodokan tombak, gadis yang seorang lagi telah menyabetkan tombaknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Cras! "Akh...!"
Kaliki menjerit kesakitan, begitu tombak itu menggores pinggangnya. Darah tampak langsung mengucur dari lukanya yang memanjang. Dan baru saja dia hendak melompat ke belakang, gadis-gadis yang ternyata gesit ini cepat berkelebat. Tahu-tahu saja salah satu ujung tombak mereka menempel di lehernya.
Kaliki terkesiap dan tidak bisa berkutik. Lebih-lebih, ketika ujung tombak yang satu lagi menempel di dada kiri mengancam jantungnya.
"Aku..., aku tidak bermaksud mengganggu. Percayalah," kilah Kaliki, seraya tersenyum lebar.
Tapi, tanpa banyak bicara kedua gadis itu cepat meringkus Kaliki dengan mengikat kedua tangan dan kakinya. Lalu seperti mengangkat hewan buruan, mereka menyongketnya dengan tombak. Kemudian dibawanya laki-laki itu pergi dari tempat ini.
"Tolong...! Badar! Keluarlah kau! Tolong aku...!"
Kaliki berteriak-teriak memanggil kawannya yang diyakini berada di sekitar tempat itu.
Kedua gadis itu merasa terusik. Kemudian salah seorang cepat bertindak, menyumpal mulut Kaliki dengan dedaunan kering. Karuan saja, laki-laki itu berusaha berontak. Tapi, gadis itu terus memaksanya. Sehingga, Kaliki tidak berkutik dan hanya bisa menyumpah-nyumpah di hati.
Sementara itu di tempat yang tersembunyi, seorang laki-laki berusia dua puluh delapan tahun tengah memperhatikan kejadian ini. Semula dia hendak membantu. Tapi begitu melihat ketangkasan kedua gadis itu, niatnya surut. Dan dia hanya bisa memandangi kawannya yang dibawa seperti hewan buruan.
Namun begitu, hati laki-laki yang sebenarnya bernama Badar masih penasaran. Sehingga dari tempat bersembunyi, dia membuntuti dengan mengendap-endap. Sayang, dia tidak bisa terus membuntuti. Karena kedua gadis itu segera menaiki perahu kecil. Lalu, mereka mendayungnya menuju pulau di ujung sana, yang masih terlihat dalam pandangan mata.
Setelah merasa yakin mereka menuju pulau itu, Badar segera berlari kencang meninggalkan tempat ini.
*** Matahari telah sejak tadi tenggelam di ufuk barat di pinggiran Desa Jember. Bulan sepotong yang muncul, sebenarnya tak kuasa menerangi mayapada ini. Namun, kegelapan itu tertolong oleh sinar-sinar obor yang ditancapkan di sudut-sudut sebuah rumah besar yang dijaga beberapa orang berpakaian serba hitam.
Di dalam ruang tengah rumah besar ini, tampak duduk di kursi berukir seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan perutnya yang buncit seperti gentong. Kursi yang didudukinya bergoyang-goyang, karena laki-laki berusia empat puluh lima tahun itu seperti tidak bisa tenang. Tangan kanannya memegang sekerat daging. Kedua pipinya mengembung, dengan mulut mengunyah tidak berhenti. Tangan kirinya melingkar pada leher seorang wanita yang duduk dalam pangkuannya. Wanita yang selalu tertawa genit itu sesekali menggelitikinya. Sementara, di depannya duduk bersila di lantai beberapa orang bertampang sangar. Mereka ikut melahap hidangan masing-masing, sambil tertawa mengekeh.
"Diam kalian, Tolol! Kenapa malah ikut tertawa"!" bentak laki-laki gemuk itu.
Seketika, semua orang yang berada di ruangan ini terdiam dengan kepala tertunduk. Sedangkan, dengan sapuan matanya laki-laki gemuk itu menatap satu-persatu orang-orang yang ada di hadapannya.
"Pikiranku belum tenang, meski kalian adakan pesta ini untuk menghiburku! Aku menginginkan kedua keparat itu! Kalau mereka telah tertangkap, baru puas hatiku!" lanjut laki-laki gemuk ini dengan suara menggelegar.
"Tapi mereka tengah berusaha mencarinya, Ki Seta. Sebentar lagi pasti berhasil," sahut seorang laki-laki berkumis lebat.
"Tutup mulutmu, Kaslan! Kau hanya pandai bicara saja! Sudah berapa lama, he"! Dan mana dua orang yang kau janjikan itu"!" hardik laki-laki gemuk yang dipanggil Ki Seta, geram.
Kaslan tidak bisa menjawab. Dia hanya diam dengan kepala tertunduk.
"Huh! Kalau saja tertangkap, akan kuremukkan kepala mereka berdua!" lanjut Ki Seta.
Krek! Bersamaan dengan itu Ki Seta mengepalkan tangan kanannya erat-erat. Sehingga daging di tangan yang kini tinggal tulang, remuk dalam genggaman. Wajahnya berkerut. Jelas ini menyiratkan hatinya yang tengah marah besar.
"Kenapa kalian bisa teledor membiarkan mereka menyembunyikan harta rampasan itu"!" bentak Ki Seta.
"Maafkan kami, Ki. Tapi, bukankah mereka telah mengembalikannya...?" sahut Kaslan, kembali memberanikan diri.
"Setan! Apa kau kira itu cukup, he"! Aku inginkan kepatuhan serta kesetiaan kalian! Tak seorang pun boleh menipuku. Apalagi coba mempermainkanku!" dengus Ki Seta.
Kembali Kaslan tutup mulut. Demikian pula yang lainnya. Mereka mengerti, bila Ki Seta marah jangan coba-coba membantah. Tapi kalau pertanyaannya tidak dijawab, dia malah lebih marah. Sehingga, mereka jadi serba salah.
"Huh!"
Ki Seta melirik sinis. Lalu kembali diraupnya sekerat daging sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Wanita yang tadi di dekatnya kembali mengelus-elusnya, setelah terdiam dan tak tahu harus berbuat apa.
Dan sebelum ada yang bersuara, tiba-tiba masuk seorang pemuda ke dalam ruangan ini dan terus berlutut.
"Maaf, Ki...!" ucap pemuda ini.
"Ada apa"!" tanya Ki Seta.
"Kami membawa Badar."
"Apa" Bagus!" sambut Ki Seta terlonjak girang mendengar berita itu. "Bawa dia ke sini!"
"Baik, Ki!"
Pemuda itu kemudian berbalik, dan melangkah meninggalkan ruangan ini. Tak lama Ki Seta menunggu, sebentar saja dari pintu masuk ruangan ini telah muncul tiga anak buahnya yang menggiring seseorang dalam keadaan terikat. Salah seorang dari mereka mendorong hingga keras. Maka tawanan yang kedua tangannya terikat itu nyaris tersungkur di ujung kaki Ki Seta.
"Hih!"
Ki Seta cepat mengangkat kaki kanan, dan menempelkannya di leher orang itu.
"Akh...! Ampun, Ki...! Ampuuun...!"
"Kau kira bisa lari dariku, Badar!" geram Ki Seta.
"Aduh! Ampun, Ki! Aku... aku sengaja datang menyerahkan diri...!" ratap laki-laki yang dipanggil Badar ini.
"Menyerahkan diri" Huh! Kau mau menghinaku" Jangan coba berdalih, bahwa kau hebat dan mereka tidak bisa menangkapmu!" dengus Ki Seta sambil menunjuk Badar.
"Benar, Ki! Aku tidak bohong. Tanyakan saja pada mereka...!" kata Badar, berusaha meyakinkan Ki Seta.
Ki Seta memandang ketiga anak buahnya yang meringkus Badar.
"Benar katanya?"
"Benar, Ki! Dia mencari kami, lalu menyerahkan diri," sahut salah seorang dari ketiga anak buah Ki Seta.
"Hmh...!"
Diiringi satu gumaman tak jelas, Ki Seta melepaskan satu pijakan kakinya. Tapi tawanan bernama Badar ini belum berani mengangkat kepalanya, sebelum laki-laki bertubuh gemuk itu memberi perintah.
"Terima kasih, Ki," ujar Badar, ketika Ki Seta mengizinkannya.
"Pergilah kalian!" perintah Ki Seta, pada ketiga anak buahnya yang tadi membawa Badar.
"Baik, Ki!"
Setelah menjura memberi hormat, tiga orang itu berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan ini.
"Apa alasanmu menyerahkan diri" Kau tahu, kalau aku pasti akan memberi hukuman berat padamu?" tanya Ki Seta setelah ketiga anak buahnya lenyap di balik pintu.
"Ada berita baik, Ki," sahut Badar.
"Berita apa" Lekas katakan!"
"Tapi, apakah setelah itu Ki Seta bersedia mengampuniku?"
"Sial kau! Aku yang menentukan, apakah kau akan kuhukum atau tidak. Dan, jangan coba-coba mengaturku!" bentak laki-laki tambun berusia seikat empat puluh lima tahun itu.
"Eh! Ba..., baiklah," sahut Badar, gemetar.
Kemudian Badar menceritakan peristiwa yang dilihatnya tadi siang di tepi pantai, disertai tambahan bumbu agar terdengar menarik di telinga Ki Seta.
"Hei" Bagus juga ceritamu! Kau yakin pulau itu penuh emas serta wanita cantik?" tanya Ki Seta, begitu Badar selesai bercerita.
"Tentu saja, Ki! Aku melihat sendiri wanita itu mengenakan perhiasan emas di seluruh tubuhnya. Untuk apa mereka membawa Kaliki ke sana" Pulau itu pasti penuh wanita serta emas. Kalau kita serbu, maka kita akan menguasai keduanya!" sahut Badar, bersemangat.
"Pintar juga kau! Tapi, tetap saja kau telah melakukan kesalahan!"
"Eh! Jadi..., jadi Ki Seta tidak memaafkan kesalahanku...?" tanya Badar dengan muka kecut.
"Kau telah menambah kesalahan lagi," kata Ki Seta, enteng.
"Ma..., maksud Ki Seta?"
"Kaliki mereka ringkus, tapi kau tidak membantu. Bahkan malah mendiamkan saja!"
"Kalau aku membantunya, mana mungkin berita ini bisa kusampaikan pada Ki Seta. Lagi pula, keduanya memiliki kepandaian hebat, Ki!"
"Diam kau! Apa kau kira bisa menakut-nakutiku"!" sentak Ki Seta geram.
"Tentu saja tidak, Ki! Mana mungkin aku merendahkan Ki Seta! Justru aku merasa yakin, kalau di bawah pimpinan Ki Seta mereka dapat diringkus. Kita raup semua harta berharga yang mereka miliki, dan kita nikmati wanita-wanita cantik itu!" sergah Badar, bersemangat.
"Ha ha ha...! Pintar kau, Badar. Baiklah, kau kuampuni! Besok pagi, siapkan orang-orang kita. Dipimpin Ki Mangun, kau tunjukkan di mana pulau itu berada. Bawa ke sini wanita-wanita cantik dan emas serta barang berharga yang kau katakan!" ujar Ki Seta.
"Baik, Ki! Akan kukerjakan semua perintahmu dengan baik. Dan, terima kasih atas kebaikan hatimu!" ucap Badar sambil menjura hormat berkali-kali, sebelum pergi dari ruangan ini.
*** Sementara itu, di Pulau Perawan, matahari baru saja menyinari dengan cahayanya yang lembut. Dan cahaya itu terus menerobos sebuah jendela yang terbuka lebar, dari sebuah ruangan besar dan indah. Duduk di kursi yang berukir indah, seorang wanita cantik. Sepasang matanya bulat dan jernih dengan bulu mata lentik. Sepasang alisnya tebal dan hampir bertaut. Bentuk mukanya agak lonjong dengan hidung kecil agak mancung. Bibirnya tipis, kulitnya halus-kuning langsat.
Tangan kanan wanita itu menggenggam sebuah tongkat yang ujungnya berbentuk bunga, dengan dua buah tangkai berbentuk kaki ayam jantan yang memiliki taji panjang dan tajam. Di kepalanya melingkar sebuah mahkota emas yang bertahtakan batu-batu permata beraneka warna. Pakaian yang dikenakannya sangat indah, meski pada bagian-bagian tertentu tampak tembus pandang. Penutup dada terbuat dari kain hitam bersulam emas. Demikian pula penutup bagian bawah perut.
Sementara itu tidak jauh di sebelah kiri, duduk seorang wanita tua berhidung panjang dan sedikit bengkok. Rambutnya yang panjang dan sebagian memutih, disanggul. Tampak lima buah arnel emas menghiasi sanggulnya.
Sementara di sebelah kanan, duduk seorang wanita bertubuh besar. Wajahnya manis. Tapi karena jarang tersenyum, sehingga terkesan angker.
"Mimpi itu mengerikan! Seolah Istana Tulang Emas ini terbakar. Orang-orang berlarian ke sana-kemari! Ini bencana besar, Tuanku Kembang Taji...," tutur wanita tua berhidung bengkok, yang ternyata baru mengakhiri ceritanya.
"Nenek Kampar Ilir! Kau adalah dukun terbesar di negeri ini, sekaligus orang kepercayaanku. Selama ini perkataan dan ramalanmu benar. Dan aku mempercayainya. Tapi apakah kali ini hal itu tidak berlebihan" Bencana" Dari mana datangnya bencana itu" Apakah ada rakyat yang hendak berontak padaku?" tanya wanita cantik yang dipanggil Kembang Taji seraya tersenyum tipis.
"Kalau ada yang berani berontak dan melawan kekuasaan Tuanku, akan kuhukum orang-orang itu!" sahut wanita bertubuh besar itu sambil mendengus geram.
"Bukan pemberontakan dari dalam. Tuanku Kembang Taji...!" sahut wanita tua yang bernama Nenek Kampar Ilir.
"Lalu apa, Nek?" tanya Kembang Taji.
"Sesuatu yang datangnya dari luar!" jelas Nenek Kampar Ilir dengan suara agak tinggi.
"Dari luar apa yang kau maksudkan?"
"Sabarlah, Kijang Merah...!" sahut Nenek Kampar Ilir pada wanita bertubuh besar.
Nenek yang merupakan dukun sekaligus orang kepercayaan Kembang Taji itu kemudian terdiam. Kedua matanya terpejam. Lalu kedua telapak tangannya bertumpu pada ujung tongkat yang sejak tadi dipegangnya. Tongkat itu sendiri aneh, sebab terbuat dari kayu hitam. Seluruhnya terdapat urat-urat kayu yang memanjang. Pangkalnya berbentuk mulut seekor ular yang tengah terbuka.
"Ya! Dari luar...!" seru Nenek Kampar Ilir kemudian setelah membuka kelopak matanya kembali.
"Dari luar bagaimana yang kau maksudkan, Nek...?" desak Kembang Taji.
"Orang asing yang akan datang ke sini, Tuanku."
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Orang asing. Seorang laki-laki!"
"Seorang laki-laki" Tidak mungkin! Semua tahu, bahwa di Kerajaan Tulang Emas ini lelaki tidak punya kekuasaan apa pun. Tugas mereka hanya memberi keturunan pada kita. Tidak mungkin mereka membuat bencana!" bantah Kembang Taji.
"Tuanku! Hamba berkata yang sesungguhnya. Tidak lama lagi, akan datang seorang laki-laki ke tempat kita ini. Dan dari dia, bencana itu akan datang menimpa seluruh kerajaan ini," sahut Nenek Kampar Ilir yakin.
"Kalau begitu awasi setiap penjuru pulau ini. Tangkap siapa pun orang asing yang coba-coba ingin mengacau di kerajaan ini!" perintah Kembang Taji.
"Jangan khawatir, Tuanku! Segala titah akan hamba kerjakan dengan sebaiknya!" sahut wanita gemuk bernama Kijang Merah, mantap.
"Jangan lupa! Bunuh laki-laki mana pun. Baik orang asing, maupun orang-orang kita yang coba membuat ulah!" lanjut Kembang Taji yang ternyata adalah seorang raja di Kerajaan Tulang Emas.
"Baik, Tuanku!"
Setelah menyembah hormat. Kijang Merah segera beranjak dan berlalu dari ruangan ini.
"Bagaimana menurutmu, Nek" Apakah kau kira masih ada lagi bencana di kerajaan kita ini?" tanya Kembang Taji, ketika Kijang Merah sudah tak terlihat lagi.
Nenek Kampar Ilir menggeleng lemah sambil mendesah pelan. Ditariknya napas panjang, sebelum menjawab.
"Maafkan hamba. Tuanku.... Sepertinya bencana itu akan tetap datang, meski apa pun yang akan kita kerjakan."
Kembang Taji agak gusar mendengar jawaban ini. Ditatapnya wanita tua itu tajam-tajam.
"Kalau begitu lakukan sesuatu! Tolak bencana itu dari kerajaan ini!" seru Kembang Taji lantang.
"Hamba akan kerjakan sebaik mungkin, Tuanku...!"
Pada saat itu juga Kijang Merah telah kembali ke ruangan ini.
"Maaf, Tuanku. Hamba kembali mengganggu! Ada berita yang harus hamba sampaikan secepatnya!" ucap Kijang Merah setelah menjura hormat.
"Berita apa yang kau bawa?"
"Dua orang prajurit kita membawa seorang tawanan... laki-laki."
"Laki-laki"!"
*** 2 ? Kembang Taji terkejut. Dipandangnya Nenek Kampar Ilir beberapa saat, lalu menatap tajam ke arah Kijang Merah.
"Bawa ke sini!"
"Baik, Tuanku!" sahut Kijang Merah cepat, bergegas keluar dari ruangan ini.
Tidak ada sepuluh helaan napas, Kijang Merah telah kembali bersama seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun di bahunya. Kedua tangan dan kaki laki-laki itu terikat. Sedang mulutnya disumpal dedaunan kering.
Dengan gerakan cepat. Kijang merah melemparkan laki-laki di bahunya ke hadapan junjungannya, Dan....
"Berlutut...!" hardik Kijang Merah, menggelegar.
"Hhh...!"
Laki-laki tawanan itu agaknya bermaksud bangkit. Tapi wanita bertubuh tegap itu sudah lebih dulu menggerakkan tangannya yang menggenggam tombak. Dan....
Tak! "Akh!"
Telak sekali pangkal tombak itu menghantam tengkuk si tawanan, hingga mengeluh tak jelas.
"Jangan coba-coba kurang ajar! Kau berada di Istana Tulang Emas. Berlututlah pada ratu kami!" desis Kijang Merah geram, memerintahkan.
Dengan bersungut-sungut tawanan itu berlutut Tapi Kijang merah yang keburu marah langsung menekan tombaknya ke tengkuk. Sehingga, tawanan itu jadi bersikap sujud persis di dekat kaki Kembang Taji.
"Bangunlah," ujar Kembang Taji.
"Ohhh."
Wanita cantik itu memberi isyarat agar salah seorang anak buahnya membuang sumpal yang menutupi mulut tawanan ini.
"Fruh!"
Baru saja sumpal mulut itu dibuka, tawanan itu meludah ke lantai. Dan akibatnya....
Des! "Aaakh...!"
Kijang Merah tidak tanggung-tanggung, langsung menghajar tawanan sampai jungkir balik.
Begitu tubuh tawanan ini terjungkal ke samping, maka dua orang pengawal yang berada di dekatnya kembali menghajar dengan tendangan-tendangan telak.
Duk! Digh! "Aaah...!"
Tawanan itu kembali memekik kesakitan, dengan tubuh terpental balik.
"Jangan kurang ajar di hadapan ratu kami! Jaga kesopananmu! Atau, kau akan mampus sekarang juga!" hardik Kijang Merah.
"Oh...."
Tawanan itu mengeluh kesakitan ketika bangkit kembali dengan susah payah, karena kedua kaki dan tangannya terikat.
"Siapa namamu?" tanya Kembang Taji datar.
"Kaliki," sahut tawanan, yang ternyata Kaliki.
"Kaliki" Dari mana asalmu?"
"Pulau Jawadwipa. Tapi, aku ditangkap di Hutan Damar Setan."
"Di mana hutan itu?" tanya Kembang Taji dengan dahi berkerut.
"Seberang pulau ini lalu ke utara. Di sanalah hutan itu," jelas Kaliki.
"O..., kami menyebutnya Hutan Mati. Tapi tidak ada kehidupan di situ, sebab para prajuritku sering berburu sampai ke sana selama puluhan tahun. Dan kami tidak pernah menjumpai kehidupan seorang pun. Katakan yang benar, dari mana asalmu"!"
"Sebenarnya aku lari dari kawan-kawanku. Mereka hendak membunuhku. Lalu kami sampai di pinggiran hutan sebelah utara," sahut Kaliki, kembali menjelaskan.
"Kau sendiri atau berdua?"
"Berdua."
"Ke mana kawanmu yang seorang lagi?" desak Kembang Taji.
"Entahlah.... Kami berpencar karena kawan-kawanku yang lain terus mengejar untuk membunuh kami."
"Siapa pemimpinmu di sana?"
"Orangnya gemuk dan besar. Dia amat kejam. Kami memanggilnya Ki Seta," sahut Kaliki jujur.
Kembang Taji terdiam beberapa saat, seraya memperhatikan tawanan itu. Caranya bertutur, dan nama-nama yang disebutkannya berbeda dengan keadaan mereka di sini. Sehingga, dia yakin kalau laki-laki ini adalah orang asing.
"Nenek Kampar Ilir! Inikah laki-laki asing yang kau katakan tadi akan membuat bencana bagi kita?" tanya Kembang Taji seraya menoleh kepada wanita tua bermuka buruk itu.
"Ya! Dialah penyebab bencana itu, Tuanku! Meski Tuanku memberinya hukuman mati, namun segalanya telah terlambat. Hamba yakin kawannya yang seorang lagi akan kembali bersama kawan-kawannya, kemudian bencana itu akan dimulai," sahut Nenek Kampar Ilir dengan suara lantang dan bola mata mendelik tajam kepada Kaliki.
"Kalau begitu, dia memang tidak berguna!" ujar Kembang Taji, dingin.
"Oh.... Apa maksud kalian..."!" tanya Kaliki terperangah memandang wanita tua itu dan Kembang Taji bergantian.
"Artinya kau harus menjalani hukuman mati!" desis Kijang Merah.
"Oh, tidak! Tidaaak...!" teriak Kaliki.
Laki-laki itu berontak, berusaha melepaskan diri dari ikatan di kedua tangan dan kakinya. Tapi dengan sigap dua orang pengawal langsung meringkus dan membawanya keluar dari tempat itu. Masih sempat terdengar teriakannya yang panjang, namun sesaat kemudian terhenti. Kedua pengawal itu mengetahui kalau ratu mereka tidak suka keributan. Maka salah seorang kembali menyumpal mulut Kaliki!
*** Hutan Damar Setan bukanlah hutan biasa. Selama ini, mereka mengetahui kalau semakin masuk ke dalam wilayah utara, maka segala binatang buas akan mereka temui. Biasanya hewan siang yang ditakuti manusia. Sehingga tidak heran bila ada orang yang memasukinya, harus bergerak malam hari. Dengan demikian hewan buas yang berkeliaran di siang hari tidak akan berani mengganggu mereka.
"Apakah aku harus selalu jalan di depan...?" keluh seorang laki-laki sambil berkali-kali menoleh ke belakang.
"Tidak usah membantah, Badar!" dengus laki-laki berbadan besar.
Memang, mereka adalah rombongan anak buah Ki Seta yang hendak menuju Pulau Perawan yang merupakan letak dari Istana Tulang Emas. Menurut Badar yang menjadi penunjuk jalan, di pulau itu banyak terdapat emas berlian dan wanita-wanita cantik.
Jumlah mereka sekitar lima puluh orang dengan dua buah senjata di tangan masing-masing. Sedangkan sebagian lagi membawa obor sebagai penerangan.
Sementara itu, laki-laki yang bernama Badar bersungut-sungut kesal. Pikirannya mulai bercabang merasakan keadaan ini. Ki Seta memang mengampuninya. Tapi, sikapnya tetap sinis. Dia sama sekali tidak dihargai, meski telah menceritakan hal yang menarik hati. Dan kini laki-laki berbadan besar yang bernama Ki Mangun seenaknya saja membentak dan menghardiknya sejak tadi.
Saat ini Badar malah memikirkan, bagaimana caranya bisa kabur dari mereka. Soalnya kalau mereka berhasil mencapai pulau itu, dan ternyata di sana tidak ada emas seperti yang diceritakannya, maka habislah riwayatnya. Ki Seta yang kali ini diwakili Ki Mangun, pasti akan menebas lehernya!
"Berapa lama lagi kita akan sampai?" tanya Ki Mangun.
"Eh, apa" Oh, tidak lama lagi! Sebentar lagi kita sampai," sahut Badar.
"Jangan main-main kau, Badar! Sudah berapa lama kita berjalan" Sudah mau patah kakiku ini!" bentak Ki Mangun.
"Tidak lama lagi, Ki! Apakah kau tidak merasakan angin laut" Itu berarti kita akan sampai," sahut Badar, berusaha meyakinkan.
Apa yang dikatakan Badar memang benar. Tidak berapa lama, mereka tiba di tepi pantai. Tempat ini memang sangat asing bagi mereka, sebab tidak seorang pun yang pernah ke sini.
"Itukah pulau yang kau maksud?" tanya Ki Mangun, menunjuk ke utara.
Badar mengangguk.
"Kelihatannya tidak seberapa jauh. Tapi kita harus membuat rakit untuk tiba di sana."
"Mereka sudah letih. Sebaiknya, kita istirahat sambil menyantap bekal yang dibawa. Baru setelah itu, kita buat rakit untuk menyeberang ke sana. Kita serang mereka menjelang dini hari," usul Badar.
"Ya, usul yang baik. Baiklah! Kita istirahat sambil mengamati keadaan di tempat ini. Tapi harus waspada! Beberapa orang mesti berjaga," sahut Ki Mangun.
Namun baru saja mereka akan membuka bekal untuk bersantap....
"Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan dari salah seorang. Serentak mereka terkejut dan menoleh ke arah jerit tadi.
"Heh"!"
"Kurang ajar...!"
Ternyata seekor ular sebesar lengan membelit kaki salah satu anggota rombongan. Orang itu terus berteriak kesakitan, dan berusaha melepaskan diri. Tapi percuma saja. Sebab bisa ular itu bekerja amat cepat. Dalam waktu singkat, orang itu ambruk dan tewas seketika dengan tubuh membiru.
Sementara orang-orang yang berada di dekat si korban baru tersadar setelah melihat orang itu tewas. Salah seorang menggeram, dan segera mencabut golok untuk menebas ular itu. Tapi belum lagi hal itu dilakukannya....
"Aaa...!"
Mendadak kembali terdengar jeritan yang saling susul.
Dua orang tampak ambruk dipatuk ular-ular kecil yang amat berbisa. Mereka langsung tewas dengan tubuh membiru. Hal ini menimbulkan kekalutan di antara mereka.
"Tenang! Kalian harus tenang dan selalu waspada. Jangan sampai kecerobohan seperti tadi terulang lagi!" teriak Ki Mangun lantang.
Tapi dalam keadaan itu tidak seorang pun yang mau mendengar kata-katanya. Mereka sibuk menyelamatkan diri sendiri. Dan setiap mata selalu melihat ke bawah, serta berkumpul di satu tempat terbuka yang jauh dari semak-semak serta ranting-ranting pohon.
"Auuung...!"
"Heh"!"
"Lolongan serigala" Sial! Kita terjepit di tempat ini!" seru salah seorang anggota rombongan terkejut mendengar lolongan itu.
"Jangan kalut! Kita harus bisa menguasai diri!" teriak Ki Mangun berulang-ulang.
Namun mereka sudah tidak mempedulikan lagi teriakan Ki Mangun. Mereka mulai gelisah membayangkan nasib buruk yang akan menimpa.
"Auuung...!"
Kembali terdengar lolongan serigala bersahut-sahutan, dan terasa amat dekat. Kegelisahan semakin mencekam. Dan kantuk serta lelah yang tadi mulai dirasakan, tiba-tiba saja sirna. Berganti ketakutan yang semakin memuncak!
"Grrr...!"
"Oh!"
Hampir saja salah seorang dari mereka melompat kaget ketika terdengar raungan di dekatnya. Ketika dia melihat ke arah sumber suara, tampak sepasang mata nyalang memandangnya dari kegelapan. Ketika pandangannya dipertegas maka terlihat beberapa pasang mata lagi yang mengawasi.
"Kawanan serigala!" seru orang itu penuh ketakutan.
"Celaka! Kita terkepung. Serigala-serigala itu telah menutup semua jalan keluar. Tidak ada jalan lain. Kita harus menghalau mereka atau lari menyeberangi pantai ini!" teriak salah seorang, mulai resah.
Tapi sebelum mereka memikirkan cara untuk menyelamatkan diri, dua ekor serigala melompat menerkam disertai raungan keras.
"Graungrrr...!"
Tindakan itu seketika diikuti serigala-serigala yang lainnya. Hingga dalam waktu singkat, terjadi kehebohan. Tiga orang dari mereka tewas diterkam kawanan serigala yang berjumlah lebih dari dua puluh lima ekor. Sementara lainnya masih sempat mencabut senjata dan berusaha menghalau serangan.
"Hus! Hus...!"
Bret! "Graungr...!"
Beberapa ekor serigala pun mati tertebas senjata. Bau darah manusia bercampur bau darah hewan buas itu langsung menyeruak menusuk hidung. Dan itu semakin membuat kawanan serigala bernafsu menerkam mangsanya. Mereka semakin liar dan buas. Binatang-binatang itu menerkam, lalu merobek-robek mangsanya tanpa kenal ampun sampai tidak berbentuk lagi.
Semangat kawanan serigala itu membuat nyali mereka ciut. Sementara Ki Mangun mengajak anak buahnya untuk mundur lewat jalan pantai, setelah korban di pihak mereka semakin banyak berjatuhan.
"Ayo cepat! Kawanan serigala itu tidak akan berani menyerang di dalam air!" teriak Ki Mangun lantang.
Pada mulanya kawanan serigala itu masih juga mengejar. Padahal Ki Mangun dan anak buahnya terus mundur sampai air laut telah setinggi perut. Tapi karena merasa tidak bisa berbuat banyak, akhirnya satu-persatu kawanan serigala itu berkumpul. Namun begitu, mereka masih juga menyusuri pantai mengikuti mangsanya yang berusaha kabur.
*** "Apa"!"
Ki Seta sampai terlonjak berdiri dari kursinya, begitu menerima laporan dari salah seorang anak buahnya tentang kegagalan mereka dalam menjarah ke Pulau Perawan.
Sepasang mata laki-laki bertubuh besar ini melotot lebar. Gerahamnya saling berkerotokan. Dilemparkannya buah-buah yang berada dalam cengkeraman tangannya penuh kegeraman.
Sementara itu, beberapa anak buah Ki Seta yang berada di ruangan ini hanya duduk bersila dengan kepala tertunduk. Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajahnya. Tampang mereka lusuh dengan tubuh berkeringat serta bau darah dari luka-luka cakar yang diderita. Baju-baju yang dikenakan robek di sana-sini tidak karuan.
"Mangun, sini kau!"
Orang yang dipanggil Mangun bangkit berdiri. Segera dihampirinya Ki Seta dengan kepala tertunduk.
"Iya, Ki...."
Saat itu juga Ki Seta melayangkan tamparan keras ke wajah Ki Mangun.
Plaaak! "Akh!"
Telak sekali tangan kanan Ki Seta mendarat di pipi Ki Mangun. Seketika laki-laki bertubuh besar itu mengeluh tertahan dan sedikit terhuyung-huyung ke kanan. Pipi kirinya terasa kebas dan gigi-giginya seperti mau tanggal.
"Kau kupercaya ke sana bukan untuk melaporkan kegagalan, Setan! Tapi apa yang kau bawa" Lima puluh orang kupercaya di bawah pimpinanmu. Dan sekarang, yang kembali kurang dari dua puluh lima! Di mana otakmu"! Apakah hanya dengan kawanan serigala kau takut, lalu mesti kalah"!" bentak Ki Seta.
Mata Ki Seta melotot lebar, seperti hendak keluar dari sarangnya ketika mukanya didekatkan pada Ki Mangun.
"Tapi, Ki.... Jumlah mereka banyak. Dan kawanan serigala itu liar serta...."


Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum habis kata-kata Ki Mangun, tangan Ki Seta sudah melayang kembali. Dan....
Plaaak! "Aku tidak suruh kau menjawab. Tolol!" bentak Ki Seta garang.
Sementara Ki Mangun hanya mengeluh tertahan. Kembali tubuhnya terhuyung-huyung sambil mengelus-elus pipinya yang sakit. Namun begitu, kembali dia menghadap Ki Seta seraya mengusap darah yang menetes dari bibirnya yang pecah.
"Aku tidak sudi mendengar kalau anak buahku dikalahkan, apalagi hanya dengan hewan!" lanjut Ki Seta menggeram.
Kali ini Ki Mangun tidak menjawab.
"Kau dengar ini, Mangun"!"
"De..., dengar, Ki...!"
"Lalu kenapa kau lakukan"!"
"Aku..., aku mengaku salah, Ki. Aku janji pasti tidak akan terulang lagi!" sahut Ki Mangun, mantap.
"Kalau terulang?"
"Ki Seta boleh memberi hukuman padaku!"
"Kau sendiri yang berkata begitu, bukan" Aku akan menghukummu dengan hukuman paling berat, yaitu memancung kepalamu. Lalu, kuserahkan pada kawanan serigala itu agar mereka mencincangnya!"
Ki Mangun bergidik ngeri membayangkan hukuman yang akan dijatuhkan Ki Seta.
"Kau dengar itu"!" hardik Ki Seta.
"De... dengar, Ki!"
"Bagus! Karena si Badar mampus juga, maka kau yang akan kutunjuk untuk memimpin perjalanan ke sana!"
"Maksud Ki Seta, kami..., kami akan ke sana lagi?" tanya Ki Mangun, seperti ingin menegaskan.
"Tentu saja, Goblok! Semua keinginanku harus terpenuhi, apa pun tantangannya!"
"Eh! Ba..., baik, Ki. Tapi...."
"Tapi apa"!"
"Jalan ke sana cukup jauh. Dan lagi, kita harus memiliki perahu untuk sampai ke pulau itu. Jangan sampai kejadian yang menimpa kami terulang lagi...."
"Tentu saja aku telah memikirkan hal itu, Tolol!"
"Maksud Ki Seta...?"
"Aku akan meminta bantuan saudaraku yang menguasai laut di sebelah barat sana!"
"Ki Jalidar?"
"Ya! Jalidar alias si Hiu Perak. Dia gembong perampok yang menguasai daerah barat sana. Anak buahnya cukup banyak. Aku akan minta bantuannya untuk menyerang pulau itu dan menguasainya."
"Itu usul yang bagus, Ki!" seru Ki Mangun girang.
"Tentu saja, Goblok!"
Ki Mangun mengkeret mendengar semprotan itu. Bibirnya yang mulai menyungging senyum, kembali terlipat lagi dengan kepala tertunduk.
"Sebagian hukuman, kau beserta semua anak buahku ikut kembali ke sana! Kalian akan dipimpin Muwangkoro beserta anak buahnya sebagai tambahan!" lanjut Ki Seta.
"Baik, Ki," sahut Ki Mangun lesu.
Orang yang bernama Ki Muwangkoro adalah orang kepercayaan Ki Seta. Badannya besar. Tampangnya seram, serta jarang tersenyum. Senjatanya adalah sepasang kapak besar yang terselip di pinggang kiri dan kanan.
"Muwangkoro, ke sini kau!"
Ki Muwangkoro yang sejak tadi berada di ruangan itu segera menghampiri Ki Seta seraya menjura hormat.
"Kau dengar tadi?"
"Dengar, Ki!"
"Pergilah sekarang juga ke pantai barat. Temui si Hiu Perak! Katakan padanya aku butuh bantuan. Dan, ajaklah dia ke pulau itu!"
"Baik, Ki!" sahut Ki Muwangkoro.
*** 3 ? Kedatangan anak buah Ki Seta yang bernama Ki Muwangkoro disambut oleh Ki Jalidar yang berjuluk si Hiu Perak penuh rasa gembira. Laki-laki berbadan besar dengan usia sekitar empat puluh tahun itu memang kawan lama Ki Seta. Dia malang-melintang di lautan. Dan selama ini, dikenal sebagai perampok yang ditakuti. Kedua kakinya buntung sebatas lutut dan disambung kaki besi yang berujung runcing. Namun begitu, tetap saja tidak ada yang berani coba-coba untuk melawannya. Anak buahnya yang berjumlah sekitar seratus orang sangat patuh dan takut padanya. Si Hiu Perak memang memerintah anak buahnya dengan tangan besi. Dia tidak segan-segan membunuh anak buahnya yang bersalah!
Mendengar keinginan sobatnya yang meminta bantuan untuk menaklukkan sebuah pulau yang berada di sebelah timur dari tempatnya, si Hiu Perak begitu gembira. Tapi sebenarnya yang membuatnya gembira adalah membayangkan sebuah pulau berisi harta benda berlimpah serta wanita-wanita cantik di dalamnya.
Maka tanpa buang-buang waktu lagi, Ki Jalidar segera memberi perintah pada anak buahnya untuk menyiapkan sebuah perahu besar yang cukup menampung sekian banyak orang. Juga disiapkannya sekitar lima puluh anak buahnya. Sedang rombongan Ki Muwangkoro sebanyak lima puluh orang pula. Sehingga jumlah mereka seratus orang.
"Untuk apa mengerahkan orang-orang kita sebanyak itu, Ki" Kita hanya akan merebut sebuah pulau yang tidak seberapa besar. Dan lagi, belum diketahui kekuatannya. Siapa tahu di sana hanya ada dua atau tiga keluarga!" ujar seorang anak buah Ki Jalidar, ketika Ki Muwangkoro dan anak buahnya tengah beristirahat sambil bersantap di ruangan lain.
Ki Jalidar tersenyum mendengarnya.
"Apakah kau kira aku akan sia-sia menyertakanmu di dalamnya, Gagas Kelana?"
"Aku belum mengerti, Ki," sahut laki-laki yang dipanggil Gagas Kelana.
Gagas Kelana memang tangan kanan Ki Jalidar yang amat dipercaya. Bukan saja karena kesaktian dan ilmu olah kanuragannya yang hebat, tetapi juga karena cerdas dan cepat tanggap dalam keadaan apa pun. Padahal, usianya masih tergolong muda. Baru dua puluh enam tahun.
Si Hiu Perak yang saat ini tengah mengawasi persiapan anak buahnya, memandang tajam ke sekelilingnya. Dan dia hanya ditemani Gagas Kelana.
Melihat gelagat itu Gagas Kelana menyadari kalau Ki Jalidar ini hendak bicara hal yang rahasia.
"Bila keterangan itu benar, maka aku tidak akan sudi membaginya dengan orang lain!" bisik si Hiu Perak.
"Akan kita kuasai, Ki"!" tanya Gagas Kelana, menuntut jawaban.
"Ya!"
"Tapi..., bukankah Ki Seta kawan dekatmu?"
"He he he...! Dia memang kawan dekatku. Tapi harta dan wanita tidak mengenal kawan. Dia pun akan berpikir begitu kalau jadi aku."
"Lalu, bagaimana dengan anak buahnya?"
"Apakan kau tidak bisa berpikir, untuk apa kuperintahkan kau membawa anak buah sebanyak itu?" Ki Jalidar malah balik bertanya.
"Kami harus membinasakan mereka, kalau ternyata cerita itu benar terbukti?" tanya Gagas Kelana minta kepastian.
"Kau makin pintar. Gagas!" puji Ki Jalidar sambil ketawa terkekeh.
Dipuji begitu, hidung Gagas Kelana jadi kembang-kempis sambil mesem-mesem.
"Tapi, Ki.... Berarti kita menciptakan permusuhan dengan Ki Seta!" kata pemuda ini dengan wajah sungguh-sungguh ketika hal itu terlintas dalam benaknya.
"Binasakan mereka jangan sampai ada yang lolos. Terserahmu, bagaimana caranya! Kalau di darat mereka boleh hebat Tapi jika di laut kalian sampai kalah, maka tidak usah kembali. Sebab, aku tidak akan segan-segan memancung kalian!" dengus Ki Jalidar, keras.
Gagas Kelana bergidik ngeri membayangkan ancaman pimpinannya itu.
"Kalau pun ada sempat yang lolos, tidak mengapa. Kita tunggu, apakah si Seta berani macam-macam denganku. Kalau dia punya nyali dan datang ke sini, maka kita habisi sekalian!" lanjut si Hiu Perak.
"Kalau begitu perintahmu, maka akan kukerjakan sebaik mungkin dan serapi mungkin."
"Harus begitu! Sebab kalau tidak, maka akan kupancung leher kalian!"
Gagas Kelana sebenarnya sering mendengar ancaman seperti itu. Tapi tetap saja hatinya bergidik ngeri, setiap kali mendengarnya. Tubuhnya gemetar dan panas dingin. Seolah-olah hukuman itu benar-benar telah dijatuhkan padanya. Memang sukar dipercaya, Gagas Kelana yang selalu galak dan kasar, di hadapan Ki Jalidar betul-betul bertekuk lutut Dan memang dia tahu bahwa si Hiu Perak tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Sekali berkata hitam, maka akan tetap hitam.
"Nah, pergilah kau! Temani mereka. Dan jangan sampai membuat mereka curiga. Kerjakan serapi mungkin!" ujar Ki Jalidar.
"Baik, Ki!" sahut Gagas Kelana.
Pemuda itu segera menjura hormat, dan berlalu.
Si Hiu Perak memperhatikannya. Bibirnya menyungging senyum sambil mengusap-usap dagunya.
*** Kembang Taji bangkit perlahan-lahan mendekati jendela. Dari situ matanya menatap kosong pada pohon rimbun yang bercampur kembang di kebun istananya. Wajahnya yang cantik kelihatan gelisah. Beberapa kali dia menarik napas panjang.
"Sudahlah, Tuanku. Tidak ada yang perlu digelisahkan. Hamba akan menjaga istana ini sebaik mungkin. Semua prajurit kita siap mempertahankan serangan dari luar," hibur Kijang Merah.
Meski suaranya berusaha dilembutkan, tetap saja yang keluar adalah suara serak yang kaku. Kijang Merah memang tidak biasa berhalus-halus kata. Wanita satu ini selalu tegas, dan tidak mau bertele-tele. Sehingga tidak heran kalau Kembang Taji mempercayakan jabatan panglima perang utama kepadanya.
"Yang terjadi akan terjadi. Dan tidak perlu dirisaukan, Tuanku...!" tambah Nenek Kampar Ilir. Tapi suaranya mirip gumaman orang yang putus asa. Dan itu membuat perasaan Kembang Taji semakin gelisah saja.
Sebenarnya Kijang Merah tidak menyukai sikap seperti itu. Tapi tidak ada alasan baginya untuk menyangkal kata-kata Nenek Kampar Ilir. Karena selama ini, apa yang keluar dari mulut perempuan tua itu selalu dipercaya. Bukan saja oleh ratu mereka, tapi juga seluruh rakyat di negeri ini. Dan kalau saja dia berani membantah, meski niatnya baik untuk membuat Kembang Taji tidak gelisah dan cemas, bukan tidak mungkin akan dikatakan pembangkang. Dan hukuman pembangkang di negeri ini cukup berat!
"Aku ingin tidur dulu...!" ujar Kembang Taji.
"Oh! Hamba akan memeriksa keamanan Tuanku sekali lagi!" ujar Kijang Merah.
"Bukankah keamanan yang kau siapkan telah berjalan baik?" tanya wanita cantik itu.
"Hamba ingin meyakinkan, bahwa segala sesuatunya belaian baik!" sahut Kijang Merah.
"Baiklah," sahut Kembang Taji.
Wanita itu melangkah ke kamarnya. Dan Kijang Merah mengikuti dari belakang. Sementara, Nenek Kampar Ilir mengikuti keduanya dengan pandangan matanya.
*** "Tuanku, maafkan hamba," ujar Kijang Merah, setelah mereka hilang dari pandangan Nenek Kampar Ilir.
"Hm, ada apa?"
Kijang Merah menutup pintu kamar, lalu menarik napas panjang.
"Tuanku tidak perlu khawatir dan cemas. Hamba bukan bermaksud membangkang. Tapi, sekadar menenangkan hati Tuanku. Tidak perlu seluruh keterangan Nenek Kampar Ilir didengar...."
"Kijang Merah! Kau tahu apa artinya itu" Dia dukun ampuh dan terpercaya yang diangkat Guru Suci serta Guru-guru Tua, sebagai penasihatku. Semua yang dikatakannya selalu terbukti. Dan telah menjadi ketentuan bahwa kita tidak boleh membantahnya!" sahut Kembang Taji, sedikit marah.
"Ampun atas kelancangan hamba, Tuanku! Kalau hamba bersalah, memang pantas menerima hukuman. Tapi, percayalah.... Seluruh jiwa raga hamba dipersembahkan bagi negeri ini. Dan kesetiaan hamba selalu untuk Tuanku! Tidak ada niat di hati hamba untuk menghasut...!" ucap Kijang Merah, sedikit lantang.
"Lalu, apa maksudmu?"
"Maksud hamba, Tuanku tidak perlu terlalu gelisah terhadap bencana yang dikatakan Nenek Kampar Ilir. Hamba telah menyiapkan segalanya bagi keselamatan Tuanku!"
Kembang Taji terdiam. Dipandanginya Kijang Merah sejurus lamanya. Kemudian wanita berwajah cantik itu menghela napas pendek.
"Aku yakin akan kesetiaanmu, Kijang Merah. Dan itulah yang membuatku yakin bahwa kau bukanlah sebagai pembangkang. Aku juga percaya kesigapan serta rencana-rencanamu bagi keselamatanku. Tapi, tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?"
Kijang Merah terdiam. Ditunggunya Kembang Taji untuk meneruskan kata-katanya.
"Sekian ratus tahun kita hidup tenang di negeri ini dan jauh dari keramaian dunia luar. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana kehidupan di dunia luar sana. Dan kita semua sepakat untuk tidak mau mengetahuinya. Kita cukup aman dan tenteram di sini. Lagi pula menurut cerita Guru Suci, di dunia luar sana penuh kekejaman dan segala bentuk kejahatan. Terutama, kejahatan yang dilakukan oleh para laki-laki. Tapi..., segalanya kini mulai terganggu."
Keduanya terdiam. Kata-kata sang Ratu cukup meresap di hati, membuat Kijang Merah trenyuh. Dirasakannya bentuk kegelisahan Kembang Taji yang mendalam.
"Negeri ini dilanda bencana. Dan kehidupan kita kacau! Rakyat diperbudak, dan kita semua menjadi budak...!" desis Kembang Taji.
"Tuanku.... Tidak akan kubiarkan negeri ini menjadi begitu!" tandas Kijang Merah lantang.
Kembang Taji tersenyum kecut seraya berbalik. Dari situ dia berusaha mengintip lewat celah jendela. Langit terlihat diterangi cahaya rembulan. Dan di sekitar istananya, berdiri tegak puluhan prajurit yang mengawalnya amat ketat.
Namun tak lama keduanya dikejutkan suara dari dalam ruangan ini. Rupanya ada seorang prajurit wanita yang meminta izin masuk ke dalam.
"Ada apa" Ratu sedang sibuk tidak boleh diganggu!" sahut Kijang Merah.
"Maafkan hamba. Panglima! Kita diserang musuh dari lautan...!" jelas prajurit wanita itu, dari balik pintu.
"Apa"!"
*** Bukan hanya Panglima Kijang Merah saja yang kaget. Tapi Kembang Taji pun ikut terkesiap. Secepat itu pula, Kijang Merah membuka pintu.
"Ceritakan cepat...!" sentak Kijang Merah.
Prajurit itu segera berlutut menghormat.
"Sebuah kapal besar mendarat. Dan dari dalamnya meluncur beberapa buah perahu yang mengitari pulau ini. Prajurit-prajurit kita tengah bertempur mati-matian melawan mereka!" jelas prajurit wanita ini.
"Kurang ajar!" dengus Kijang Merah geram.
Kalau tidak ingat janjinya melindungi Ratu Kembang Taji, ingin rasanya dia melompat sekarang juga dan ikut bertempur menghalau musuh.
"Perintahkan prajurit-prajurit untuk memperketat penjagaan di istana. Kirim beberapa orang untuk menjemput Guru Suci dan Guru-guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir. Temui kami di pintu gerbang sebelah timur!" perintah wanita perkasa itu.
"Baik, Panglima!" sahut prajurit wanita ini seraya menjura memberi hormat.
Begitu prajurit ini keluar. Kijang Merah segera membawa Ratu Kembang Taji keluar dari kamarnya.
"Ke mana aku akan kau bawa. Kijang Merah?" tanya Kembang Taji.
"Kita akan mengungsi. Tuanku!"
"Bukankah sebaiknya kita berperang melawan mereka?"
"Maaf, Tuanku! Ratu tidak boleh tertawan musuh. Sebab, itu akan menjatuhkan derajat bangsa kita. Begitulah yang diajarkan Guru-guru Tua pada hamba...!"
Kembang Taji tidak banyak bicara lagi. Maka segera diikutinya langkah panglimanya itu. Kepergian mereka diikuti dua orang pengawal kerajaan yang tadi berjaga di pintu.
*** Kijang Merah merasa gelisah, ketika teriakan-teriakan pertempuran mulai terdengar dari segala penjuru.
"Musuh telah semakin dekat...!" keluh Kijang Merah dengan hati geram.
"Para prajurit kita tidak mampu menahan mereka, bukan?" gumam Kembang Taji dengan hati cemas.
Tapi panglima itu tidak banyak bicara lagi sampai mereka tiba di gerbang timur. Mereka menunggu beberapa saat sampai muncul beberapa orang yang tergopoh-gopoh menghampiri.
"Ibunda...!" seru Kembang Taji, langsung bersimpuh di kaki seorang wanita setengah baya yang baru muncul di antara yang lainnya.
"Bangunlah, Anakku! Aku tahu apa yang menggelisahkan hatimu," ujar wanita setengah baya ini, yang ternyata ibu kandung Kembang Taji.
"Hamba tidak mampu berbuat apa-apa dalam hal ini," keluh Kembang Taji pelan, seraya bangkit berdiri.
"Kami tidak menyalahkanmu. Nak. Mungkin sudah tiba saatnya negeri kita hancur...."
"Guru Suci, para Guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir, kita tidak bisa berlama-lama di sini. Hamba harus menyelamatkan Ratu Kembang Taji melalui lorong rahasia!" seru Kijang Merah.
"Ya, pergilah kalian! Doa kami senantiasa bersama kalian. Bawalah beberapa orang prajurit sebagai pendamping," sahut Guru Suci, wanita yang tadi dipanggil ibunda oleh Ratu Kembang Taji.
"Maksud hamba kita semua harus menyelamatkan diri. Guru Suci...!"
Wanita setengah baya yang berpakaian serba putih itu tersenyum tipis sambil menggeleng pelan.
"Tidak, Anakku Kijang Merah! Pergilah kalian semua. Aku serta para Guru Tua dan Nenek Kampar Ilir akan bertahan di sini!" sahut Guru Suci.
"Guru Suci! Musuh berjumlah banyak dan terlalu kuat! Kita tidak bisa bertahan di sini!" seru seorang prajurit, mengingatkan.
"Kerajaan Tulang Emas telah memiliki seorang ratu. Dan kalian wajib mempertahankannya. Kalau pun kita kalah, maka kalianlah penerus kami. Pikirkan cara untuk menghalau mereka!"
"Tapi, Ibunda...!"
Kembang Taji hendak berlutut, namun buru-buru Guru Suci menangkap dan mencegahnya.
"Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, Anakku. Pergilah dengan tenang...," ujar Guru Suci sambil tersenyum kecil.
Kembang Taji hendak bicara lagi, tapi saat itu terdengar teriakan-teriakan nyaring tidak jauh dari situ. Bahkan mereka bisa melihat musuh yang mulai menyerbu istana kerajaan. Wajah wanita itu semakin gelisah dan tidak tenang.
"Pergilah, Nak! Pergilah...!" desak Guru Suci, khawatir.
"Tapi, Ibunda...."
"Tidak ada yang mesti dipikirkan lagi!" tukas Guru Suci cepat. "Pergilah kalian! Selamatkan dirimu. Bila segalanya bisa kami atasi, maka secepatnya kami akan menghubungimu!"
Kembang Taji memandang mereka satu per satu. Berat rasanya mengalami hal seperti ini. Tapi, ini harus dilakukan demi keselamatannya yang akan memegang kelangsungan bangsa mereka kelak.
"Tuanku... silakan!" ujar Kijang Merah, langsung menghampiri sebuah batu yang menempel di tebing gunung karang, dekat tembok istana.
Terlihat sebuah mulut gua yang gelap. Sehingga tidak bisa diperkirakan, berapa jauh ke dalam dan tembus ke mana gua itu. Kembang Taji melirik sekilas. Seumur hidupnya, dia belum tahu kalau di tempat itu terdapat sebuah gua rahasia. Banyak pertanyaan yang mengganjal di kepala. Tapi, seperti tidak berarti pada saat seperti ini. Kesedihan serta kegalauan hatinya menyelimuti seluruh hati dan pikirannya.
"Ibunda, Ananda pamit dulu...," ucap Kembang Taji dengan bibir gemetar.
Kembang Taji segera mengikuti Kijang Merah ke dalam. Sementara lima prajurit menyertai mereka dalam perjalanan ini.
Kijang Merah tahu apa yang harus dilakukannya. Segera ditutupnya pintu gua itu secepatnya. Lalu dinyalakannya obor yang berada di dinding ruangan! Tampak Ratu Kembang Taji masih termenung dengan wajah muram.
"Tuanku, kita mesti bergegas...!" ujar Kijang Merah pelan.
Kembang Taji menatap sekilas, kemudian menarik napas panjang. Lalu kepalanya mengangguk pelan.
"Akan kau bawa ke mana aku?"
"Ke Pulau Penyu. Di sana, ada ruangan rahasia di bawah tanah. Dan tak seorang pun yang mengetahui, selain aku!"
"Dari mana kau bisa tahu semua hal-hal rahasia" Padahal, aku sendiri tidak mengetahuinya?"
"Maafkan hamba, Tuanku. Seperti diketahui, Tuanku dididik oleh Tuan Suci. Sedang hamba dididik oleh para Guru Tua. Salah seorang adalah bekas panglima kerajaan, ketika Guru Suci masih menjadi ratu. Maka rahasia kerajaan diberitahukan pada hamba. Semua itu untuk menunjang tugas hamba, melindungi kerajaan. Khususnya, melindungi Tuanku," jelas Kijang Merah.
Kembang Taji mengangguk pelan.
Kalau saja tidak dalam keadaan galau begini, mungkin keterangan Kijang Merah membuat hati Kembang Taji terperangah. Dan ingin rasanya dia mengetahui hal-hal lain yang mungkin belum diketahuinya. Tapi saat ini, wanita cantik itu banyak berdiam diri. Pikirannya kacau oleh kejadian yang menimpa negerinya. Dan hatinya gelisah memikirkan nasib rakyatnya. Apa yang tengah menimpa mereka saat ini"
"Hamba akan melihat-lihat apa yang menimpa negeri kita, Tuanku! Tapi, hamba harus yakinkan bahwa Tuanku selamat lebih dulu di Pulau Penyu," ujar Kijang Merah, seperti mengerti apa yang tengah dipikirkan ratunya saat ini.
Kembang Taji tidak menjawab. Mereka terus menyusuri terowongan yang cukup panjang. Di ujung sana, mereka akan bertemu dengan sebuah pantai yang agak tersembunyi. Persis di mulut terowongan ini, tertambat sebuah perahu kecil yang cukup untuk membawa mereka menuju ke Pulau Penyu.
*** ? Bersambung ke Bagian 4-6
? Istana Tulang Emas
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 164. Istana Tulang Emas Bag. 4-6
22. Januar 2015 um 06:17
4 ? Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di atas sebuah bukit sambil menengadahkan kepalanya ke langit. Matahari bersinar tidak terlalu garang. Bahkan sekumpulan awan kelabu menghalangi. Angin yang bertiup perlahan mengibar-ngibarkan rambutnya. Sementara tidak jauh di dekatnya, seekor kuda berbulu hitam tengah merumput dengan tenang.
"Suiiit...!"
Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung itu bersuit nyaring, membuat kuda hitam itu terkejut sesaat. Tapi kemudian, binatang perkasa ini kembali merumput dengan tenang.
"Apakah jarak yang terlalu jauh, sehingga Rajawali Putih tidak mendengar?" gumam pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Di dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sementara kuda yang merumput di dekatnya sudah pasti Dewa Bayu.
Untuk yang ketiga kalinya Pendekar Rajawali Sakti bersuit. Kali ini lebih keras dan nyaring. Waktunya pun sedikit lebih lama, dibanding suitan yang pertama dan kedua. Tapi, yang ditunggu-tunggunya ternyata belum juga muncul. Wajahnya tampak kecewa, ketika pandangan matanya yang menyorot ke angkasa luas belum menemukan tanda-tanda sosok burung rajawali raksasa, yang biasa menjadi tunggangannya. Seekor burung raksasa yang juga guru, sahabat, bahkan orangtua angkatnya semasa di Lembah Bangkai. Sejak kecil, Rangga memang diasuh oleh burung rajawali raksasa yang diberi nama Rajawali Putih.
"Mungkin dia tidak mendengar panggilanku," gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil menurunkan wajahnya.
"Hieee...!"
Kuda hitam bernama Dewa Bayu meringkik halus. Pendekar Rajawali Sakti segera menoleh disertai senyum manisnya. Lalu didekatinya dan diusap-usapnya leher Dewa Bayu. Baru saja Rangga hendak melompat ke punggung kudanya, mendadak....
"Kraaagkh...!"
"Hei"!"
Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar di angkasa. Saat itu juga, kepalanya mendongak ke angkasa. Dan bibirnya langsung tersenyum kembali, ketika di angkasa terlihat satu titik benda putih keperakan tengah melayang-layang dengan kecepatan dahsyat.
"Ah! Ternyata Rajawali Putih mendengar panggilanku!" seru Rangga girang. "Ke sini Rajawali Putih!"
Rangga berteriak sambil memberi isyarat dengan tangannya.
"Kraaagkh...!"
Dengan kecepatan dahsyat, burung besar itu mengepak-ngepakkan sayapnya, lalu menukik ke bawah. Makin lama, bentuk asli burung itu makin jelas. Sampai akhirnya, tampak seekor burung rajawali raksasa yang besarnya hampir menyamai sebuah bukit!
"Kaaakgkh...!"
Pemuda itu tersenyum, begitu Rajawali Putih mendarat di depannya sambil menggerak-gerakkan lehernya. Pelan-pelan dihampirinya burung raksasa itu.
"Telah lama kita tidak bertemu. Rajawali! Mudah-mudahan kau baik-baik saja...!" kata Pendekar Rajawali Sakti sambil mengusap-usap leher hewan raksasa itu.
"Kragh...!"
Rajawali Putih memberi isyarat dengan suaranya. Dan, sepertinya Rangga mengerti betul apa yang dikatakan burung raksasa itu.
"Kau ingin mengatakan sesuatu?"
Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut, mendengar suara rajawali raksasa ini.
"Kaaagkh...!"
"Apa yang hendak kau tunjukkan padaku, Rajawali Putih?"
"Kagkh...!"
Rajawali Putih memekik nyaring, siap hendak terbang.
"Baiklah, baiklah...! Aku akan ikut denganmu...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga berpaling pada Dewa Bayu tunggangannya. Segera dihampirinya kuda berbulu hitam mengkilat itu. Beberapa saat dielus-elusnya leher Dewa Bayu. Kuda hitam itu meringkik halus, kemudian berbalik. Dan dengan kecepatan kilat, binatang ini pergi meninggalkan bukit.
"Ayo, kita berangkat sekarang! Tunjukkan padaku apa yang hendak kau perlihatkan!" ujar Rangga, begitu Dewa? Bayu tidak terlihat lagi.
"Kakg...!"
"Hup!"
Dengan gerakan manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti melenting dan mendarat tepat di leher Rajawali Putih. Begitu indah gerakannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun ketika hinggap.
Rajawali Putih segera merentangkan kedua sayapnya. Dan ketika sayapnya dikepakkan, saat itu juga mereka melesat ke atas. Burung raksasa itu berputar sekali, lalu melesat ke arah tenggara!
Rajawali Putih memang bukan burung biasa. Dia seperti burung penjelmaan dewa yang sengaja turun hendak membimbing Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau kemudian Rangga di bawah asuhannya berubah menjadi pendekar yang pilih tanding. Bahkan namanya telah terukir sebagai pendekar pujaan atas yang memerangi keangkaramurkaan.
"Kaaakgkh...!"
Burung raksasa itu berteriak nyaring, ketika hampir sampai di tujuan.
"Ya.... Aku juga melihatnya, Rajawali. Cepatlah menuju ke sana!" ujar Pendekar Rajawali Sakti. "Hm.... Apa yang terjadi di sana" Cepat, Rajawali. Rendahkan terbangmu!"
Burung raksasa itu pun merendahkan terbangnya.
"Astaga!" seru Rangga kaget, begitu melihat pemandangan yang menggiriskan di bawah sana.
*** Ternyata Rajawali Putih membawa Pendekar Rajawali Sakti ke permukaan laut di dekat gugusan pulau sebelah barat Pulau Jawadwipa. Dan tepat di dekat Pulau Perawan, terlihat mayat-mayat mengambang, dipermainkan ombak. Sebagian mayat-mayat itu merapat ke pantai. Tapi yang lainnya hanyut makin ke tengah.
"Seperti pembantaian...!" gumam Rangga, seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. "Inikah yang kau maksud?"
"Kaaakgkh...!"
"Baiklah. Akan kita selidiki, apa yang terjadi di bawah sana. Bawa aku ke salah satu pulau kecil!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, langsung menunjuk ke satu arah.
Rajawali Putih langsung menukik ke pulau yang ditunjuk Rangga.
"Begitu aku melompat, terbanglah kembali, Rajawali Putih! Tunggulah aku di atas sana. Awasi aku!" teriak Rangga, berusaha mengalahkan deru angin ketika Rajawali Putih menukik ke bawah. "Hup!"
Rangga cepat melompat dan mendarat di tanah, sementara rajawali raksasa itu kembali melesat. Segera dihampirinya beberapa sosok tubuh yang terdampar di pantai pulau ini.
"Hm.... Orang-orang ini sudah mati. Tubuhnya menggembung karena terkena air laut. Penuh luka senjata tajam," gumam Rangga pelan, sambil mengamati keadaan mayat-mayat itu.
Kini Rangga segera menyusuri pantai. Beberapa sosok tubuh lagi ditemuinya. Kebanyakan dari mereka adalah wanita berusia muda. Dan melihat dari wajahnya, rata-rata cukup cantik.
"Hm.... Cukup banyak juga jumlah mereka. Dari mana asalnya" Dan apa yang telah menimpa mereka?" gumam Rangga pendek, seraya melompat ke atas sebuah batu karang.
Begitu hinggap di atas batu karang, Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
"Sulit menentukan, dari mana asal mereka. Mayat-mayat ini agaknya telah lama di air. Paling tidak sejak tadi malam," lanjut Rangga lirih. "Tapi rasanya tidak berasal dari tempat jauh. Mungkin..., pulau besar itu!"
Rangga memandang tajam pada sebuah pulau yang paling besar, di antara sekian banyak gugusan pulau yang berada di sekitar wilayah ini. Jarak pulau besar itu dari tempatnya berpijak, dihalangi dua pulau kecil lainnya. Namun begitu, matanya masih melihat bagian lain dari pulau itu. Terlalu jauh untuk melihat, apa yang terjadi. Sebab hanya pepohonan belaka yang terlihat.
Rangga kembali melompat turun, dan kembali menyusuri pantai, sambil mengedarkan pandangannya. Baru saja kakinya melangkah beberapa tindak...
"Haaa...!"
"Hei"!"
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut, namun cepat berbalik begitu terdengar sebuah suara dari belakangnya. Tahu-tahu dari balik semak-semak melompat seseorang mengayunkan sebilah golok.
Wut! Wuttt! "Uts!"
Dua kali sambaran ke leher dan pinggang, mudah sekali dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Saat gadis itu hendak menikam jantungnya, Rangga berkelit ke kanan. Tiba-tiba ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu lalu ditekuknya. Sementara tangan kanannya menotok ke tubuh gadis ini.
Tuk! "Aaah...!"
Saat itu juga, gadis dalam telikungan Pendekar Rajawali Sakti terkulai. Golok dalam genggamannya langsung terlepas.
"Nisanak, maafkan. Aku tidak bermaksud buruk kepadamu...," ujar Rangga, halus.
Tapi tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti terkejut ketika melihat perut gadis ini meneteskan darah segar. Barulah disadari kalau gadis itu telah terluka sejak tadi. Ketika bergerak, balutan lukanya terlepas. Dan luka yang mulai mengering kembali berdarah.
"Mari kubantu, Nisanak...!"
Rangga cepat menotok beberapa bagian di sekitar lukanya untuk menghentikan pendarahan. Mula-mula gadis itu melotot marah. Tapi ketika tahu kalau pemuda itu hendak menolong, dia diam saja.
"Apa yang terjadi denganmu" Dan, mayat-mayat siapa itu?"
"Apa gunanya kau tanyakan" Kau adalah bagian dari mereka! Dan lebih tahu, apa yang kau lakukan terhadap kami!" sahut gadis itu, ketus.


Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nisanak! Aku tidak mengerti bicaramu...."
"Tidak perlu berpura-pura. Kau mungkin saja menolongku. Tapi, aku tidak butuh pertolonganmu!" tukas gadis ini, masih dengan nada garang.
Rangga menghela napas pendek.
"Kau dalam keadaan terluka parah, Nisanak! Sebaiknya, singkirkan pikiran burukmu terhadapku!" ujar Rangga, kalem.
Gadis itu tidak menjawab. Sedikit pun matanya tak memandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf kalau terpaksa aku menotokmu. Kalau kau berjanji tidak menyerangku lagi, maka akan kubebaskan totokanmu. Aku bukan musuhmu. Percayalah!" kata Rangga, sambil tersenyum.
Tapi gadis itu tidak menoleh. Apalagi menyahut!
Kembali tangan Rangga bergerak cepat. Dan....
Tuk! Rangga melepaskan totokan. Namun gadis ini masih tetap tidak bergerak sedikit pun.
"Nisanak! Apa yang telah terjadi di sini" Siapakah kau" Dan, siapa pula mayat-mayat itu?" tanya Rangga.
"Kau ingin tahu apa yang terjadi di sini" Hm.... Sebuah mala petaka. Aku bernama Mardani, salah satu penghuni pulau ini. Dan aku adalah korban mala petaka yang terjadi, di samping mayat-mayat itu!" jelas gadis bernama Mardani, sambil menunjuk ke arah mayat-mayat itu.
"Jadi mayat-mayat itu kawan-kawanmu" Apa yang terjadi dengan kalian?"
Gadis itu menoleh kepada Rangga dengan tatapan tajam.
"Siapa kau" Dan, apa urusanmu dengan kami?" Mardani malah balik bertanya.
Nada suara gadis itu terdengar angkuh dan tidak bersahabat. Bahkan dengan raut mukanya, tampak sangat memandang rendah kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Namaku Rangga...," sahut pemuda itu ramah. "Aku memang tidak punya kepentingan pribadi."
"Kalau begitu pergilah. Dan, tidak usah campuri urusan kami!"
*** Nada bicara Mardani betul-betul ketus. Dan sepertinya tidak mau bersahabat sedikit pun! Rangga hanya menarik napas panjang seraya bangkit berdiri.
"Baiklah, kalau memang demikian kehendakmu. Agaknya aku memang tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Aku mohon pamit...!" desah Pendekar Rajawali Sakti seraya melangkah.
Tapi baru saja beberapa langkah, mendadak Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah perahu kecil menuju ke arah mereka, dari pulau yang paling dekat dengan pulau ini. Gadis itu tampak geram. Tapi, buru-buru dia bersembunyi. Melihat itu, Rangga pun ikut bersembunyi tidak jauh darinya.
Perahu itu memang mendarat di pulau ini. Dari dalamnya, turun lima lelaki bertampang kasar yang masing-masing memegang sebilah golok panjang.
"Kurang ajar! Ke mana lagi harus kita cari mereka"!" desis salah seorang yang wajahnya dipenuhi bulu. Sejak turun dari perahu dia terus memaki-maki tak karuan.
"Diam, Panjalu. Tidak usah banyak ribut!" sentak seorang laki-laki bertampang penuh bopeng.
"Hei"! Kau tidak perlu membentak begitu, Sindu! Kau bukan majikanku!" balas orang yang dipanggil Panjalu dengan nada tidak senang.
"Yang menjadi pimpinan adalah Gagas Kelana. Dan dia adalah pimpinan kami! Apa mau kalian"!" balas Sindu tak mau kalah.
Panjalu dan Sindu terus bersitegang. Dan anehnya, kawan-kawan mereka sama sekali tidak melerai.
"He, jadi kau kira begitu"! Kau mengecilkan kehadiran Ki Muwangkoro"!" dengus Panjalu, geram.
"Tidak usah banyak mulut! Kalian sama-sama tahu, Ki Gagas yang memimpin penyerangan ini. Maka, dialah yang menjadi pimpinan semua!" tukas Sindu.
"Brengsek! Apa maumu bicara soal pemimpin segala" Apa kau kira dengan begitu bisa berbuat seenaknya pada kami"!"
"He he he...! Kawanan kalian hanya sekumpulan tikus yang coba-coba mengaum di depan kawanan serigala!" ejek Sindu, lebih keras lagi.
"Jaga bicaramu. Keparat! Tidakkah kau sadar kalau aku bisa gelap mata dan membunuhmu"!" sentak Panjalu.
"Kau ingin membunuhku" He he he...! Meski kalian bertiga, belum tentu bisa membunuhku," sahut Sindu dengan sikap merendahkan.
Mendengar itu bukan main geramnya Panjalu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi. Apalagi, saat kedua kawannya mulai memanas-manasi.
"Sikat saja mereka! Biar orang-orang ini tahu, siapa kita!"
"Betul, Panjalu. Bereskan saja. Lalu katakan, bahwa mereka disergap musuh!" timpal yang seorang lagi.
Maka tanpa pikir panjang lagi, Panjalu langsung menghunus golok. Seketika tangannya cepat mengibaskan golok ke arah Sindu.
"Hih!"
"Uts!"
Dengan mudah Sindu berkelit ke samping. Lalu kakinya terayun, melepaskan tendangan menggeledek.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Namun Panjalu cepat melompat ke belakang, sehingga serangan Sindu luput dari sasaran. Sebelum Sindu mengejar, dua kawan Panjalu telah melompat lebih dulu untuk membantu.
"Jangan khawatir, Panjalu. Kita bereskan mereka secepatnya!" kata salah seorang kawan Panjalu.
Melihat pertarungan yang tidak seimbang, kawan Sindu juga tidak tinggal diam. Dia langsung melompat menghadang kedua orang itu.
"Biar kuhadapi Panjalu dan Gandung ini, Setiaji! Kau bereskan saja si Reksa," ujar Sindu.
"Beres!" sahut laki-laki yang dipanggil Setiaji.
Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Tapi meski dikeroyok dua, Sindu agaknya mampu mengatasi. Bahkan pelan-pelan mulai mendesak Panjalu dan Gandung.
"Yeaaa...!"
Pada satu kesempatan, Sindu meluncur sambil membabatkan goloknya. Pada saat yang sama, Gandung juga melesat disertai sabetan golok panjangnya. Dan....
Rahasia Kampung Garuda 5 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Seruling Perak Sepasang Walet 13

Cari Blog Ini