Ceritasilat Novel Online

Keris Iblis 1

Pendekar Rajawali Sakti 160 Keris Iblis Bagian 1


. 160. Keris Iblis Bag. 1, 2, 3 dan 4
11. Januar 2015 um 09:03
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Keris Iblis Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Desa Kahuripan terletak persis di bawah kaki Gunung Tambur, dengan sebuah sungai lebar di sebelah selatannya. Tempat itu memiliki suasana yang damai dan tentram, hingga tak heran bila selama ini tak pernah ada kekacauan sedikit pun. Konon itu berkat kepala desanya yang cakap dan trampil bernama Suteja. Sebagian besar penduduk mengetahui bahwa beberapa belas tahun silam kepala desa itu adalah seorang tokoh terkenal di dunia persilatan. Ilmu olah kanuragannya cukup lumayan. Sampai akhirnya beliau mengundurkan diri setelah mempersunting seorang gadis penduduk asli desa ini dan memilih menetap di Kahuripan sampai sekarang.
Pagi ini suasana desa tampak mendung. Ayam jantan telah berkokok bersahutan. Biasanya fajar telah merekah di ufuk timur, namun kabut seperti tak tersibak sehingga membuat malam terasa lebih panjang.
Badar tampak duduk di bale-bale depan rumah sambil memandang jauh ke depan. Cangkulnya masih juga tetap dibiarkan berada di dekatnya tanpa disentuh. Kopinya telah habis dihirup, namun tampaknya dia masih enggan untuk buru-buru berangkat ke sawah.
"Kenapa belum berangkat juga, Pak?" tanya istrinya sambil duduk mendekat.
Badar cuma menoleh sekilas pada perempuan setengah baya yang selama ini telah mendampingi hidupnya dengan setia, kemudian kembali memandang jauh ke depan sambil berkata pelan.
"Entahlah... hari ini rasanya malas sekali pergi ke sawah. Layang Seta sudah bangun?"
Perempuan itu bangkit dan menuju ke dalam sambil berkata dengan setengah kesal.
"Biar kubangunkan. Anak itu memang pemalas sekali. Kalau memang Bapak sedang tak enak badan, si Layang Seta saja yang ke sawah."
"Hhhh...."
Badar menghela nafas. Sesaat kemudian terdengar istrinya mengomel-ngomel tak karuan yang disusul oleh suara gerutuan anak satu-satunya yang berjalan ke depan sambil menutupi sebagian tubuhnya dengan kain sarung.
Tubuh pemuda itu kurus dan rambutnya agak gondrong. Usianya sekitar enam belas tahun. Badar melihatnya sekilas, dan pemuda bernama Layang Seta itu tampak tak acuh sambil membaringkan tubuhnya di atas bale depan bapaknya itu.
"Dasar pemalas! Apa kerjamu tiap hari. Layang Seta"! Ayo bangun dan cuci mukamu, kemudian berangkat ke sawah. Hari ini bapakmu sedang tak enak badan!" teriak perempuan setengah baya tadi sambil mengomel dan menarik tangan anaknya.
"Sebentar... masih mengantuk...."
"Eeee, apa tak puas kau tidur semalaman"! Mau jadi apa kau kelak kalau kerjamu cuma tidur saja"!"
"Sudahlah, Bu. Aku bukan tak enak badan, cuma sedang tak tenang," ujar Badar menyabarkan istrinya.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu kemudian meraih cangkulnya dan mulai melangkah ke depan. Tapi baru berjalan beberapa tindak dia balik lagi dan masuk ke dalam sambil meraih golok yang tergantung di dinding kamarnya. Kemudian dia mematung beberapa saat lamanya di depan pintu.
"Jangan dipaksakan kalau kau sedang tidak enak badan. Pak. Nanti kau sakit!" larang istrinya.
"Hoaaaah...!"
Layang Seta menguap beberapa kali sambil duduk bersandar pada dinding, kemudian memandang pada kedua orangtuanya.
"Ya sudah... biar aku saja yang ke sawah kalau bapak sedang tak enak badan," katanya sambil berlalu ke belakang.
Badar cuma diam dan kembali duduk di bale-bale. Istrinya mendampingi di sebelahnya. Dipandanginya laki-laki itu beberapa lama saatnya, kemudian bertanya dengan suara hati-hati.
"Apa yang sedang kau pikirkan. Pak?"
"Tak ada...."
"Hmm... jangan berbohong. Apakah kau tidak percaya lagi pada istrimu?"
Badar menoleh dan memandang wajah perempuan itu agak lama. Kemudian terdengar hela nafasnya yang berat sambil kembali memandang lurus ke depan.
"Sudah tiga hari ini aku mimpi aneh...."
"Mimpi?"
Badar mengangguk.
"Mimpi apa?"
"Mimpi inilah yang sangat mengganggu pikiranku. Sampai-sampai aku beranggapan bahwa itu bukan sekedar mimpi tapi akan menjadi kenyataan...."
Perempuan itu memegang tangan suaminya.
"Pak, mimpi kata orang-orang adalah bunga tidur. Kita tak musti mempercayainya. Lagipula mimpi apa yang membuat kau merasa yakin bahwa itu akan menjadi kenyataan?"
"Tapi mimpiku sekali ini sangat aneh. Aku melihat desa kita ini dilalap api, kemudian puluhan orang berlari-lari menyelamatkan diri sambil berteriak-teriak ketakutan. Kemudian juga kulihat anak kita Layang Seta menangis sambil berlari ke suatu tempat...." Perempuan itu terperangah beberapa saat begitu mendengar suaminya menceritakan perihal mimpi yang dialaminya.
"Itulah yang mengganggu pikiranku. Kalau saja mimpi itu datangnya hanya sekali barangkali aku beranggapan sama denganmu. Mimpi cuma sekedar bunga tidur, tapi yang ini sangat lain!" lanjut Badar kembali.
"Kau yakin bahwa ini suatu pertanda buat kita?" tanya istrinya hati-hati.
Badar melingkarkan tangan ke punggung istrinya. Kemudian katanya dengan suara menghibur.
"Aku berharap bahwa itu bukan pertanda buruk, tapi entah kenapa hatiku jadi tak tenang...."
"Hhhh... kita berdoa saja pada Gusti Allah, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa," sahut istrinya sambil menghela nafas.
"Aku akan berangkat ke sawah!" kata Badar kembali berdiri.
"Biar Layang Seta menyertaimu...."
"Aku ikut. Pak!".seru Layang Seta yang tiba-tiba muncul.
"Sebaiknya kaujaga ibumu di rumah...."
"Tidak, aku ikut bapak. Pulangnya biar sekalian mencari kayu bakar di hutan. Kebetulan kayu bakar kita sudah hampir habis," bantah pemuda itu.
"Baiklah. Kalau begitu kau boleh ikut. Kebetulan nanti bapak akan memperbaiki tanggul yang jebol...."
"Jangan lupa makan siangnya diantar tepat waktu, Bu!" teriak Badar.
Istrinya tersenyum sambil memandangi bapak dan anak yang berjalan beriringan.
Keduanya berjalan pelan. Layang Seta masih mendekap tubuh sambil memakai sarung. Badar tersenyum kecil memperhatikan tingkah laku putranya itu.
"Masih dingin?"
"Dingin sekali. Rasanya orang-orang pun enggan keluar rumah pagi ini. Pak," sahut pemuda itu dengan suara bergetar menahan dingin.
"Udara dingin harus dilawan sebab kalau tidak akan membuat orang menjadi pemalas...."
Layang Seta menganggukkan kepala. Pandangannya berputar ke sekeliling tempat. Rumah-rumah yang mereka lewati masih sepi dan baru satu dua orang yang terlihat. Sesekali mereka bertegur sapa.
"Hiyaa...!"
? *** ? "Hei"!"
Keduanya tersentak kaget. Begitu juga dengan beberapa orang yang berada di dekat mereka. Tiba-tiba saja terlihat api menyala di salah satu rumah. Disusul dengan teriakan-teriakan yang gegap gempita.
"Toloooong...! Toloooong...!"
"Ada apa?" tanya Layang Seta.
"Cepat kita kembali ke rumah!" teriak bapaknya sambil berlari kecil.
Layang Seta mengikuti dari belakang. Namun baru mereka berlari kira-kira sepuluh langkah, terdengar bentakan-bentakan nyaring.
"Ayo, hancur-leburkan tempat ini!"
"Sikaaat...!"
"Aaa...!"
"Hei"!"
Langkah keduanya menjadi bimbang. Teriak kematian beberapa orang penduduk begitu menyayat hati. Jantung Badar berdegup kencang. Begitu juga dengan Layang Seta. Sejenak mereka saling pandang sebelum kembali berlari pulang.
"Siapa mereka. Pak?"
"Mana bapak tahu. Tapi mungkin para perampok yang biasa berkeliaran di desa-desa."
"Perampok?" Dahi Layang Seta berkernyit.
"Belakangan ini banyak desa yang dibakar dan harta benda mereka dirampok oleh sekumpulan begal yang bernama Golok Setan. Orang-orang itu khabarnya kejam dan tak berperikemanusiaan," jelas bapaknya.
Wajah Layang Seta tampak pucat. Dia jadi mengerti akan kekhawatiran yang terbayang di wajah bapaknya itu. Tanpa sadar langkah mereka semakin cepat. Dan begitu tiba di pintu pagar. Badar telah berteriak pada istrinya.
"Ningsih, cepat kemasi barang-barang!"
Perempuan berusia setengah baya itu gelagapan menyambut mereka di luar.
"Ada apa. Pak?" tanyanya dengan wajah cemas.
"Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Cepat kemasi barang-barang dan kita pergi dari sini!"
Pada mulanya perempuan itu terlihat semakin tak mengerti. Tapi begitu melihat nyala api yang merambat cepat dari rumah ke rumah dan teriakan-teriakan yang gegap gempita bercampur pekik kematian, wajahnya berubah ketakutan.
"Pak...!"
"Jangan diam! Ayo, cepat kemasi barang-barang!" bentak Badar sambil membungkus semua garang yang bisa mereka bawa.
Namun belum lagi mereka selesai mengemasi barang-barang, sebuah suara ketawa keras terdengar dari arah luar.
"Ha-ha-ha...! Mau lari ke mana kalian"! Serahkan barang-barang itu berikut kepala kalian semua!"
"Heh"!"
Badar tersentak kaget. Dengan cepat dia mencabut golok dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara istri dan anaknya saling berpandangan dengan wajah semakin ketakutan.
Di luar terlihat dua orang bertubuh besar dengan baju di bagian dada terbuka. Keduanya menunggang kuda berwarna coklat. Dari wajah mereka yang seram agaknya dua orang ini bukanlah orang baik-baik. Dengan hati-hati Badar menyambut mereka.
"Siapa kalian, dan apa yang kalian inginkan dari kami"!" bentaknya.
"Ha-ha-ha...! Kau lihat Cangklong, tikus ini agaknya bernyali macan juga. Rupanya dia belum tahu siapa kita!" kata salah seorang yang memakai ikat kepala hijau pada kawannya.
"Sudahlah, Kimun. Jangan banyak bicara. Lekas kita bereskan mereka!" sahut Cangklong sambil mendengus sinis.
"Hmm... rupanya kalian sebangsa perampok picisan! Jangan harap kalian bisa berbuat seenaknya di sini. Langkahi mayatku lebih dulu baru kalian bisa leluasa!" dengus Badar.
"Huh! Segala tikus kampung ingin berlagak di depan orang-orang Golok Setan! Mampuslah bagianmu!"
Setelah berkata begitu Kimun langsung turun dari kudanya dan menerjang ke arah Badar.
"Hiyaaat...!"
Badar langsung bergerak menghindar sambil menyabetkan goloknya. Tapi dengan gerakan yang gesit orang itu berkelit dan mengayunkan kaki kanannya.
"Des!"
"Akh...!"
Badar terjungkal beberapa tindak dengan tubuh terjerembab.
"Pak...!"
"Ningsih, jangan ke mari! Cepat tinggalkan tempat ini! Bawa Layang Seta bersamamu!" teriak Badar cemas ketika melihat istrinya keluar dan tergopoh-gopoh menghampirinya.
Tapi malang, sebelum perempuan itu berhasil mendekati suaminya, salah seorang dari dua penunggang kuda itu telah mencekal pergelangan tangannya.
"He-he-he...! Perempuan ini manis juga. Kau uruslah laki-laki itu biar perempuan ini bagianku!" kata Cangklong.
"Tapi sisakan sedikit untukku!" sahut Kimun sambil terkekeh.
Sementara perempuan bernama Ningsih itu berusaha berontak dengan sekuat tenaga.
"Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan...!"
"Bedebah laknat! Lepaskan istriku!" teriak Badar marah.
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya dia langsung menerjang ke arah Cangklong sambil menyabetkan golok.
"Yeaaa...!"
"Sial! Kalau kau ingin mampus terimalah bagianmu!" geram Kimun sambil mencabut golok dan memapaki serangan Badar.
"Trak!"
"Cras!"
"Aaa...!"
Badar memekik nyaring ketika goloknya terpental dihantam senjata lawan. Belum lagi dia sempat menyadari apa yang terjadi tiba-tiba saja ujung golong lawan telah merobek perutnya. Tubuhnya langsung ambruk dengan isi perut terburai ke luar.
"Paaak...!"
Ningsih menjerit keras. Bersamaan dengan itu dari arah dalam terdengar jeritan yang sama. Layang Seta telah menyerbu keluar sambil memegang golok di tangannya.
"Bajingan-bajingan keparat! Kubunuh kalian! Kubunuh kalian...!" teriak Layang Seta kalap sambil mengayunkan goloknya.
"He-he-he...! Bocah celaka, rupanya kau ingin menyusul orangtuamu" Nih, makan bagianmu!" dengus Kimun sambil mengayunkan goloknya pula.
Layang Seta bukanlah pemuda yang memiliki kepandaian olah kanuragan. Tapi melihat kedua orangtuanya tewas, rasa takutnya yang tadi begitu dalam berubah menjadi kemarahan yang meluap.
Begitu goloknya terayun, Kimun langsung menghantamnya.
"Trak!"
"Yeaaa...!"
Golok di tangan pemuda itu terpental, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata pemuda itu, golok lawan terus menerpa ke arah perutnya. Bisa dipastikan Layang Seta akan tewas saat itu juga. Tapi pada saat yang kritis itu tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang langsung menghadang serangan Kimun.
"Hiyaaat...!"
? *** ? "Trak!"
"Des!"
"Akh...!"
Kimun terpental ketika dadanya terasa nyeri dihantam suatu pukulan yang sulit dihindarinya.
Pada saat itu telah berdiri sesosok tubuh pada jarak dua langkah di depan Layang Seta.
"Pak Kepala Desa...!" panggil Layang Seta dengan suara lirih.
"Huh! Rupanya ada juga orang yang berisi di kampung ini!" dengus Cangklong sambil melepaskan tubuh Ningsih yang tadi didekapnya.
Dengan langkah ringan dia mendekat pada laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan berbadan tegap itu. Wajahnya tampak memandang rendah sekali.
"Perampok keparat! Pergilah kalian dari kampung ini sebelum kuusir seperti anjing buduk!" bentak laki-laki itu yang tak lain dari Kepala Desa Kahuripan ini yang bernama Suteja.
"Ha-ha-ha...! Sungguh lucu. Seekor kecoa busuk sepertimu berani bicara seperti itu pada orang-orang Golok Setan. Hmm... rupanya kau bernyali macan juga. Tapi sayang, hari ini kau musti mampus!" sahut Cangklong sambil bersiap memasang kuda-kuda.
Walaupun dia berkata begitu namun dalam hatinya terbersit juga perasaan was-was. Kepandaian olah kanuragan yang dimiliki Kimun tidak berada di bawahnya. Tapi dengan sekali serang kawannya itu dapat dijatuhkan dengan mudah. Tentulah orang ini bukan sembarangan.
"Yeaaaa...!"
Cangklong membentak nyaring. Tubuhnya melesat cepat sambil menghantamkan golok ke leher lawan. Tapi dengan memiringkan sedikit tubuh. Kepala Desa Kahuripan itu dapat menghindarinya dengan manis. Kepalan tangan kirinya dengan cepat menghantam dada kanan lawan.
"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Tubuh Cangklong bergerak ke kiri sambil menebaskan goloknya ke perut lawan. Tapi kali ini Kepala Desa Kahuripan yang bernama Suteja itu lebih cepat lagi bergerak. Sebelum lawan menebaskan golok, kaki kirinya telah lebih dulu menendang ke arah perut.
"Des!"
"Akh...!"
Tak ampun lagi. Tubuh Cangklong terjerembab sejauh dua tombak. Isi perutnya seperti diaduk-aduk tak karuan. Kali ini agaknya Suteja betul-betul geram. Amarahnya telah meluap, maka tanpa berpikir panjang diraihnya sebilah golok yang terletak di tanah kemudian dengan cepat tubuhnya melesat ke arah Cangklong.
"Mampuslah kalian! Yeaaa...!"
*** ? 2 ? Namun sesaat lagi ujung golok itu akan menebas leher lawan, pada saat itu muncul sesosok bayangan yang bergerak cepat menyambar ke arah kepala desa itu. Suteja bukanlah orang sembarangan. Sekilas saja dia bisa mengetahui bahwa seseorang yang baru datang berkepandaian tak rendah. Dengan tiba-tiba goloknya berputar dan menyambar bayangan yang baru datang itu.
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Hup!"
Dengan gerakan manis sesosok bayangan itu melompat ke atas menghindar dari serangan golok lawan. Suteja merasa tubuhnya bergoyang ketika suatu sambaran angin menerpa dirinya.
"Huh!"
"Hiyaaa...!"
Belum lagi dia sempat menegaskan siapa orang yang baru datang itu, sosok bayangan tadi telah bergerak kembali sambil berteriak nyaring.
"Uts!"
"Trang!"
Darah Suteja tersirap melihat serangan lawan. Baru saja dia lolos dari maut ketika ujung kulitnya terasa perih terkena angin sambaran senjata lawan. Ketika goloknya bergerak menebas, lawan telah menangkis. Tangannya terasa kesemutan luar biasa bercampur perih. Suteja jungkir balik menghindari serangan susulan yang begitu cepat. Tubuhnya bersalto beberapa kali ke belakang. Kemudian tegak berdiri memperhatikan sesosok tubuh yang tidak lagi mengejarnya itu.
"Ha-ha-ha...! Hebat juga kau punya kepandaian orang tua. Tapi mencoba untuk melawan orang-orang Golok Setan kau akan mampus sendiri!" ujar seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata agak sipit.
"Siapa kau"!" bentak Suteja garang.
"Hmm... rupanya kau belum kenal padaku" Baiklah, buka telingamu lebar-lebar. Aku adalah pemimpin dari orang-orang Golok Setan. Nah, kini kau kenal denganku bukan?"
"Keparat! Jadi kau yang bernama Kolo Menjing?"
"Rupanya ingatanmu belum lamur, Suteja!"
"Hmm... rupanya kaupun kenal namaku. Bagus! Nah, Kisanak suruh orang-orangmu untuk menyingkir dari desaku ini!"
"Ha-ha-ha...! Suteja, dulu namamu amat ditakuti oleh sebagian orang. Menurut kabar kau memiliki ilmu silat tinggi. Tapi jangan harap kau bisa menakut-nakuti Kolo Menjing. Kalau aku telah berniat menghancurkan desa ini tak seorang pun boleh menghalangi," sahut Kolo Menjing sambil tertawa keras.
"Kolo Menjing, diantara kita tak ada permusuhan apa-apa. Kenapa kau berniat menghancurkan desa ini?"
"Aku tak musti bermusuhan dengan seseorang bila ingin menghancurkan dan merampok harta benda kalian."
"Jahanam! Kau lebih terkutuk dari iblis!" desis Suteja sambil mengayunkan goloknya.
"He-he-he...! Percuma saja kau melawanku, Suteja. Lebih baik kau sarungkan golok itu dan berlututlah minta ampun, siapa tahu aku sudi mengampunimu," sahut Kolo Menjing dengan suara yang amat merendahkan kepala Desa Kahuripan itu.
"Keparat!" dengus Suteja geram.
Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung menyerang lawan sambil menyabetkan golok.
"Hiyaaat...!"
"Hmm... bandel!"
Kolo Menjing cuma menggeser sedikit tubuhnya. Kaki kanannya bergerak menyapu pinggang lawan. Tapi dengan gerakan meliuk tubuh Suteja menghindarinya sambil melompat ke atas dan menebas leher Kolo Menjing dengan cepat.
"Trang!"
"Des!"
"Bet!"
"Akh...!"
Suteja mengeluh kesakitan ketika satu tendangan menghantam dadanya. Masih untung dia bisa menghindar sambil bergulingan ketika satu tebasan golok lawan menderu deras menghantam perutnya. Tapi tangannya sendiri terasa perih ketika golok mereka beradu.
Sementara itu melihat bahwa ketua mereka telah ikut campur, Kimun dan Cangklong lebih leluasa meneruskan niatnya tadi. Dengan sekali sentak Ningsih telah kembali dalam dekapan Cangklong. Perempuan itu berteriak-teriak ketakutan bercampur marah.
"Lepaskan aku! Lepaskaaaan...!"
"Bajingan keparat! Lepaskan ibuku, atau kubunuh kalian!" teriak Layang Seta kalap sambil mengayunkan goloknya.
"Yeaaa...!"
"Budak keparat! Mampuslah kau sekarang!" desis Kimun geram sambil mengayunkan goloknya.
"Jangan bunuh anakku!" teriak Ningsih cemas.
"Akh...!" Cangklong menjerit ketika tangannya digigit perempuan itu.
Cekalan tangannya mengendur, dan hal itu dimanfaatkan oleh perempuan itu untuk melepaskan diri sambil menubruk anaknya. Namun pada saat yang bersamaan golok Kimun tak tertahan lagi dan dengan cepat menebas leher perempuan itu. Ningsih tak sempat menjerit ketika lehernya nyaris putus.
"Ibu...!" teriak Layang Seta terkejut sambil menubruk tubuh perempuan itu yang ambruk ke tanah.
"Brengsek kau, Kimun!" dengus Cangklong marah.
"Maaf, Cangklong. Aku tak sengaja...."
"Sudahlah. Bereskan anak celaka ini secepatnya!"
*** Namun sebelum Kimun bertindak, terdengar bentakan nyaring yang mengingatkan Layang Seta.
"Layang Seta, cepat tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu!"
"Heh"!"
"Yeaaa...!"
Pemuda itu terkejut. Dengan tiba-tiba saja tubuh Suteja melesat ke arahnya dengan maksud melindungi dari serangan Kimun.
"Hiyaaat...!"
"Cras!"
"Aaaa...!"
"Hei"!"
Layang Seta terkejut mendengar jerit kematian Kepala Desa Kahuripan, karena pada saat tubuhnya bergerak, tubuh Kolo Menjing pun melesat sambil menyabetkan golok ke punggung lawan.
"Lari Layang Seta! Larii...!"
"Huh! Mampuslah kau!" geram Cangklong sambil menyabetkan goloknya ke tubuh Suteja.
Kepala Desa Kahuripan itu cuma mengeluh pendek. Nyawanya langsung lepas dari tubuh ketika lehernya putus. Layang Seta semakin bimbang bercampur geram. Namun ketika saat itu terlihat beberapa orang penduduk desa lari serabutan menyelamatkan diri, pemuda itu pun ikut-ikutan walaupun hatinya terasa berat.
"Yeaaa...!"
"Cangklong! Biarkan bocah itu kabur. Bisa berbuat apa dia dengan kita!" bentak Kolo Menjing melarang ketika anak buahnya itu hendak melompat mengejar Layang Seta.
"Tapi...."
"Kataku biarkan dia kabur! Sekarang angkut semua barang-barang yang ada di rumah ini. Kumpulkan semua lalu berangkat!" potong Kolo Menjing dengan suara keras.
Cangklong tak bisa membantah lagi mendengar perintah ketuanya itu. Segera dia memerintahkan beberapa orang kawan-kawannya untuk menguras seluruh harta benda berharga yang ditinggalkan oleh penduduknya yang tewas dan melarikan diri.
Dalam sekejapan desa itu terlihat sepi dan rumah-rumah ambruk dimakan api tak karuan. Gerombolan Golok Setan telah meninggalkannya sambil mengangkut semua harta benda penduduk yang berharga.
Sementara itu Layang Seta terus melarikan diri ke mana saja kakinya melangkah. Hatinya penuh dendam bercampur cemas karena tak berdaya menolong kedua orangtuanya yang tewas. Tanpa sadar dia terus berlari ke arah gunung. Barulah ketika kakinya tersandung batu dan tubuhnya terjerembab, pemuda itu menghentikan langkah sambil mengeluh kesakitan.
"Hhhh... perampok biadab! Aku bersumpah akan menuntut balas pada kalian! Akan kucincang tubuh kalian satu persatu! Terutama kau Cangklong, Kimun, dan Kolo Menjing!" dengus pemuda itu sambil mendengus dengan nafas terengah-engah.
Sepasang matanya tampak menatap tajam pada desa tempat kelahirannya yang kini telah porak poranda. Masih terlihat asap mengepul perlahan yang kemudian pudar tersapu angin dan berganti dengan kabut tipis di lereng gunung ini menghalangi pandangannya. Layang Seta terduduk pada sebuah akar kayu sambil merenungi nasibnya yang malang.
"Bapak... ibu... maafkan anakmu yang tak berguna ini. Ketika kalian masih hidup aku jarang membantu, dan sampai ajal kalian di ujung mata bahkan aku tak mampu membantu juga. Tapi percayalah, aku melarikan diri bukan karena pengecut. Kalau aku mati siapa kelak yang akan membalaskan sakit hati kalian?" ucap pemuda itu pada dirinya sendiri dengan nada sendu.
Tanpa terasa air matanya merembang di kelopak mata. Pandangannya mengabur, dan satu persatu setitik air bening meluncur dari kedua belah pipinya. Lama sekali pemuda itu menundukkan kepala ketika hawa dingin mulai terasa merasuk tulang sum-sum. Dia mengangkat wajah dan melihat suatu benda yang berada tak jauh di dekatnya. Mulanya pemuda itu sama sekali tak tertarik, namun benda itu seperti membetot sukmanya agar mendekat.
"Benda apa itu?" tanya batinnya ragu sambil mendekat.
Dengan hati-hati dia mengamati. Sepasang alisnya berkerut ketika mengetahui bahwa benda itu adalah sebilah keris yang tertancap separuh ke dalam tanah dengan gagang di atas.
"Sebilah keris" Kepunyaan siapakah ini" Tampaknya sudah tua dan tak terurus. Keadaannya pun telah hampir keropos," ujar Layang Seta sambil mencabut senjata itu dari tanah.
Diamat-amatinya barang sesaat. Kiranya di batang keris yang telanjang itu terdapat beberapa baris kalimat pada tiap sisinya. Namun belum lagi Layang Seta membaca dan meresapi, tiba-tiba terjadi suatu perubahan di dalam tubuhnya. Wajah pemuda itu berkerut seperti menahan rasa sakit.
"Astaga! Kenapa tubuhku tiba-tiba terasa panas"!" desis pemuda itu sambil merintih-rintih kesakitan.
Layang Seta berusaha membuka baju sambil mengipas-ngipaskan ke tubuhnya. Namun pemuda itu kaget sendiri ketika dia berusaha melepaskan keris di tangan kanannya untuk dipindahkan ke tangan kiri. Batang keris itu seperti menyatu dengan telapak tangannya.
"Lho, kenapa ini" Apa yang terjadi dengan keris ini" Uuuh...!"
Dicobanya berkali-kali, namun tetap saja batang keris itu seperti tak mau lepas dari telapak tangannya. Jangankan lepas, untuk membuka genggamannya saja dia merasa tak mampu.
Layang Seta berusaha menancapkan keris itu kembali ke tempat semula dengan harapan bahwa senjata itu akan terlepas dari genggamannya. Tapi hal itu tak berhasil juga. Sementara rasa panas di tubuhnya semakin menjadi-jadi dan tak tertahankan lagi olehnya. Pemuda itu menjerit-jerit kesakitan sambil berteriak-teriak bingung. Dia berlarian ke sana ke mari untuk mencari air.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Namun belum lagi dia berlari jauh rasa sakit yang hebat membuat sekujur tubuhnya tak tertahankan lagi. Layang Seta menggelepar-gelepar sambil terus berteriak-teriak. Tiba-tiba saja keanehan terjadi pada dirinya. Kulit tubuhnya di berbagai tempat tiba-tiba menggembung sebesar jempol kaki, yang makin lama semakin membesar untuk kemudian pecah mengeluarkan nanah dan darah.
"Aaaakh...!"
Layang Seta terus menjerit-jerit sambil berguling-gulingan di tanah. Keris di tangannya yang tetap tak mau lepas ditancapkannya ke mana-mana namun tak kunjung juga mau terlepas. Pemuda itu tampak putus asa dan merasa bahwa-ajalnya hanya sampai di sini.
"Tolong...! Tolooong...!" teriaknya tak henti-henti.
Suaranya terasa serak namun rasa sakit itu semakin hebat menyerang seperti tiada berkurang sedikit pun.
Saat itulah tiba-tiba lewat salah seorang penduduk Desa Kahuripan yang tadi sempat kabur ketika kerusuhan terjadi di desanya. Kebetulan orang itu mengenali Layang Seta. Melihat keadaan pemuda itu dia menjadi heran dan berusaha mencekal bahu Layang Seta untuk menyadarkannya.
*** "Layang Seta! Kenapa kau"!"
"Aaaaakh...!"
"Layang Seta, sadarlah! Astaga, apa yang terjadi padamu" Kenapa kulit tubuhmu seperti melepuh begini"!" sentak orang itu kaget.
"Pergi! Pergiii...!"


Pendekar Rajawali Sakti 160 Keris Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Layang Seta, aku Pak Kromo...." jelas orang itu sambil mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu.
"Aaa...!"
"Blesss!"
"Akh...!"
Layang Seta terus memberontak dari cengkeraman laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Pada dasarnya dia ingin melepaskan diri dari keris yang terus melekat di telapak tangannya. Juga dalam keadaan seperti itu kesadarannya telah hilang sejak tadi. Nalurinya cuma terpaku pada satu tujuan, maka ketika merasakan dirinya terganggu oleh guncangan laki-laki yang menyebut dirinya sebagai Pak Kromo, Layang Seta sudah langsung menghunjamkan keris itu ke perut Pak Kromo.
Laki-laki itu terpekik kesakitan, dan berusaha melepaskan diri tapi keris di tangan Layang Seta yang nyaris menembus pinggang belakangnya tak mau lepas. Bahkan terjadi keanehan yang amat mengerikan. Pak Kromo menjerit kesakitan dengan suara melengking. Tubuhnya perlahan pucat dengan kulit tubuh keriput. Darahnya seperti terhisap ke dalam keris itu.
Layang Seta bukannya tak menyadari hal itu. Tapi rasa sakitnya perlahan-lahan berkurang ketika dari gagang kering itu seperti mengalir suatu hawa sejuk yang membuat pembuluh darahnya mengalir dengan lancar. Keanehan lain pun terjadi. Perlahan-lahan gelembung-gelembung berisi nanah dan darah di tubuhnya mengempis. Sedangkan yang tadi sempat pecah perlahan-lahan lukanya mengecil dan kemudian hilang sama sekali.
Layang Seta terkejut serta terpana beberapa saat kemudian sambil memperhatikan sesosok tubuh yang ambruk di depannya.
"Pak Kromo...!" desisnya heran.
Tubuh laki-laki di depannya itu kering keriput dengan kulit pucat. Darahnya seperti terhisap habis. Sepasang alis Layang Seta berkerut. Samar-samar dia menyadari bahwa hal itu terjadi karena perbuatannya. Dipandanginya keris yang menjadi malapetaka itu.
"Hmmm... agaknya keris inilah yang menjadi malapetaka. Keris apakah ini" Agaknya keris ini bukan sembarang keris. Hei"! Aku lupa, tulisan apa yang tertera di badan keris ini," gumam Layang Seta sambil memperhatikan batang keris itu.
Lama dia mengamat-amati dengan seksama sambil memeras otak. Kemudian sambil tersenyum kecil dia mulai menduga.
"Hmmm... di keris ini tertera tulisan unik, Kyai Pugel. Apa artinya" Apakah itu nama si pemilik keris ini ataukah nama keris ini sendiri" Ah, tapi aku yakin bahwa itu adalah nama keris ini. Kalau begitu nama keris ini Kyai Pugel. Tapi tiga baris tulisan yang lainnya seperti perintah tentang ilmu silat. Akan kucoba!"
Layang Seta mulai mengikuti gerakan-gerakan yang diperintah oleh tulisan yang berada di batang keris itu. Mula-mula memang terasa susah. Selain tulisan-tulisan itu sulit dicerna, itu pun menggunakan kata-kata sandi. Tapi ada keanehan lain yang dirasakannya. Tubuhnya terasa enteng dan gerakannya seperti orang yang sudah bertahun-tahun saja belajar ilmu silat.
Tapi bukan hanya karena pengaruh keris itu sendiri, tetapi Layang Seta memang seorang pemuda yang berotak cerdas. Perlahan-lahan dia mengerti isi tulisan itu seluruhnya.
"Hmmm... kalau tak salah memang betul tulisan ini pelajaran tentang ilmu silat. Tapi hanya tiga jurus. Apakah ini akan menjadi hebat" Rasanya terlalu sedikit," gumamnya putus asa.
Pemuda itu seperti melupakan peristiwa yang baru saja terjadi. Pikirannya mulai dibelenggu oleh kehebatan serta keunikan keris yang ditemukannya itu. Dia yakin betul bahwa keris itu bertuah. Dan otaknya cerdas cepat menangkap sesuatu yang ganjil. Pada saat tubuhnya kesakitan akibat pengaruh keris itu yang tak mau terlepas dari genggaman, tapi ketika keris itu meminta korban rasa sakit itu perlahan-lahan hilang. Bahkan tubuhnya terasa lebih segar dari semula, dan gagang keris itu begitu mudah lepas dari genggamannya.
"Apapun yang terjadi aku tak akan melepaskan keris ini. Dendamku harus terbalas! Aku tak peduli dengan sifat jahat keris ini. Siapa yang peduli kalau aku mengalami kesusahan" Siapa yang akan membantu" Hmm.... Kalau bukan dengan tanganku sendiri, tak mungkin ada orang lain yang sudi menolong. Rasakan nanti pembalasanku hai orang-orang Golok Setan!" dengus Layang Seta sambil berteriak-teriak penuh kemarahan dan dendam.
Begitulah kemudian. Selama berhari-hari Layang Seta berlatih dengan semangat tinggi dan tanpa kenal lelah. Ilmu silat yang tertulis di batang keris itu telah dikuasainya dengan baik dan mantap. Tapi bukan berarti dia bisa lepas begitu saja dari pengaruh jahat keris itu karena sewaktu-waktu tubuhnya kembali terasa sakit luar biasa yang kemudian disusul dengan timbulnya gelembung-gelembung berisi nanah dan darah. Kalau sudah begitu dia akan kalang kabut mencari korban. Barulah setelah keris itu mendapatkan korbannya, tubuh Layang Seta kembali normal, dan keanehan lain pun menyusul. Tubuhnya terasa segar dan tenaganya seperti berlipat ganda.
Dalam waktu singkat saja kegemparan melanda di mana-mana. Seorang tokoh misterius yang berkepandaian tinggi selalu mencari korban tanpa pilih bulu, dan korbannya selalu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Pernah beberapa orang yang berkepandaian lumayan mencoba menghadang dan bermaksud membunuh tokoh yang selalu mengenakan selubung hitam dari kepala hingga kaki itu, namun mereka semua tewas di tangannya.
Beberapa orang yang selamat kemudian melarikan diri dan menyebarkan cerita itu. Tak pelak lagi, banyak orang yang mencari tokoh misterius itu untuk diminta pertanggungjawabannya.
*** ? 3 ? Pemuda tampan berambut terurai itu agak terkejut melihat kerumunan orang di depannya saat dia baru saja memasuki mulut sebuah desa. Sepasang alisnya berkerut, dan dengan mengintip dia mencoba melihat apa yang membuat orang-orang itu berkerumun.
"Biadab!"
Terdengar makian berkali-kali. Semua orang menunjukkan wajah geram. Pemuda berompi putih itu terkejut sekali melihat pemandangan di depan matanya. Seorang pemuda tampak terkapar dengan tubuh keriput. Kulitnya pucat seperti darahnya terhisap habis. Pada bagian perut tampak sebuah luka kecil seperti bekas tusukan senjata tajam.
"Siapa orang itu. Pak?" tanyanya pada seorang laki-laki setengah baya yang berdiri di sebelahnya.
"Si Gendon, jagoan desa ini."
"Hmm... kenapa dia sampai begitu?"
"Pasti menjadi korban orang misterius itu!"
"Orang misterius?" Pemuda berompi putih yang tak lain dari Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti itu semakin heran.
Laki-laki setengah baya itu memperhatikan wajah Rangga sekilas.
"Hmm... agaknya kisanak orang baru di sini," katanya menduga.
Rangga mengangguk.
"Siapa orang misterius itu?"
"Orang yang suka membunuh korbannya dengan cara keji!"
"Cara keji" Cara keji bagaimana?"
"Dia menghisap darah korbannya sampai habis!"
"Menghisap darah korban?"
Rangga semakin heran saja mendengar cerita laki-laki itu.
"Maksud bapak orang itu seperti drakula?"
"Entahlah, mungkin seperti itu. Tapi belakangan ini telah banyak orang yang menjadi korbannya."
"Di mana orang itu bertempat tinggal?"
"Tak seorang pun yang mengetahuinya. Dia datang dan pergi tanpa ada yang mengetahuinya. Khabarnya kepandaian orang itu hebat tiada tara. Tak seorang pun yang bisa menghalanginya."
Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita laki-laki itu.
"Siapa saja yang menjadi korbannya?"
"Orang itu tak pernah pilih-pilih korban. Siapa pun akan dibunuh jika tak disukainya."
"Hmm... apakah sebelumnya dia bermusuhan dengan pemuda bernama Gendon itu?"
"Entahlah. Tapi menurut beberapa orang Gendon pernah bermusuhan dengan salah seorang tokoh persilatan dari Timur. Tapi semua orang yakin bahwa si pembunuh bukan musuhnya itu melainkan tokoh misterius yang sampai saat ini tak seorang pun mengetahuinya," jelas laki-laki itu.
Rangga kembali menganggukkan kepala.
Sementara itu satu persatu orang yang berkumpul di situ bubar ketika tubuh pemuda itu telah digotong oleh sanak familinya. Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti berjalan pelan memasuki sebuah kedai. Pandangannya menyapu sekilas orang-orang yang berada di kedai itu. Tak terlalu ramai, hanya ada sekitar sepuluh orang. Namun di antaranya terlihat mereka yang agaknya berasal dari orang-orang persilatan.
"Hmm... kalau ketemu dengan orang itu akan kupatahkan batang lehernya!" kata seorang laki-laki bertubuh gemuk pendek dengan wajah geram.
"Kalau aku akan kucincang dia sampai tak berbentuk. Kemudian dagingnya akan kubagikan pada anjing-anjing kurap!" timpal kawannya yang bertubuh kurus sambil mendengus.
"Khabarnya dia berkepandaian tinggi!" cetus orang ketiga yang matanya seperti orang mengantuk.
"Apakah kau takut padanya, Wliyeng"!" tanya si gemuk pendek sinis.
"Jangan seenaknya kau berkata, Palangkan! Biarpun kepandaianku tak seberapa tapi dia telah membunuh adikku. Meski ilmunya seperti setan jangan harap aku takut padanya!" geram si mata ngantuk yang dipanggil Wliyeng.
"He-he-he...! Jangan-jangan nanti kau akan dibuat seperti mayat hidup!" ejek si tubuh kurus.
"Sial kau, Wongko! Apa kau punya nyali berhadapan dengannya"!" balas Wliyeng kesal.
"Hmm... siapa yang tak punya nyali bertemu denganku" Kalau dia berani muncul akan kupecahkan batok kepalanya!" sahut Wongko dengan nada sombong.
"Buktinya sampai saat ini dia tak berani berhadapan denganku. Dia cuma berani dengan orang-orang lemah!" sambung Palangkan.
Ketiga orang itu terkekeh-kekeh sambil menenggak bumbung arak di tangannya.
"Tikus-tikus buduk memang selalu banyak bacot. Tapi bila sudah bertemu dengan harimau mereka akan langsung lari terbirit-birit!"
"Hei"!"
? *** Ketiga orang itu langsung menoleh ketika terdengar suatu suara menyindir. Seorang gadis berwajah cantik acuh tak acuh mengunyah makanan di mejanya. Di pinggangnya tampak terselip sebatang pedang pendek. Melihat dari caranya berpakaian pastilah dia bukan gadis sembarangan. Paling tidak gadis itu mengerti sedikit ilmu silat.
Palangkan yang lekas naik darah langsung menghampiri ke mejanya. Sambil bertolak pinggang dengan mata melotot dia menghardik gadis itu.
"Nisanak, siapa yang kau maksud dengan tikus buduk"!"
"Hmm... siapa lagi kalau bukan orang-orang yang banyak bacot," sahut gadis itu masih tetap tak acuh dan tak menoleh sedikit pun ke arah laki-laki berperawakan gemuk pendek itu.
"Nisanak, hati-hati dengan ucapanmu. Lidah memang tak bertulang tapi kalau kau bermaksud menghina orang tanganku pun tak bermata untuk menamparmu!"
"He-he-he...! Lucu. Kenapa kau musti marah, dan kenapa pula aku harus takut padamu. Bahkan aku kasihan melihat tampangmu yang rusak begitu," ejek si gadis sambil terkekeh kecil.
"Kurang ajar!"
"Brak!"
Meja di depan gadis itu hancur berantakan dihantam Palangkan. Tapi jangankan terkejut, gadis itu seperti tak bereaksi dan tetap duduk di bangkunya semula.
"Kisanak, kalau kau bermaksud memukul orang, pukullah pada orang yang mampu melawan. Kalau kau menghajar meja ini sama artinya kau menunjukkan kepengecutanmu," ujar gadis itu dengan nada menusuk.
"Hmm... kulihat kau membawa-bawa pedang, pastilah sedikit banyak kau mengenal ilmu silat. Nah, keluarlah. Kuberi kesempatan tiga jurus untuk menyerangku sebelum mukamu kutampar!" dengus Palangkan semakin gusar saja.
"Kenapa musti keluar" Apakah kau takut menghadapiku di sini" Kalau memang kau takut, tak apa. Aku memang maklum, orang yang banyak omong biasanya berjiwa pengecut."
"Kurang ajar!" maki Palangkan sambil melayangkan tangan ke wajah gadis itu.
Tapi dengan sedikit memiringkan kepala, tamparan Palangkan lewat beberapa jari dari wajahnya. Kaki gadis itu dengan cepat terayun menghantam tulang kering laki-laki gemuk pendek itu.
"Tak!"
"Akh...!"
Palangkan menjerit keras ketika sebelah kakinya terasa ngilu dan nyeri.
"Hi-hi-hi...! Baru punya kepandaian setahi kuku sudah mau sok jago! Sebaiknya kau berguru sepuluh tahun lagi baru boleh pentang bacot lebar-lebar!" ejek gadis itu.
"Sial!" maki Palangkan geram.
Sambil mendengus sinis dia kembali mengayunkan kepalan tangan. Kali ini tak tanggung-tanggung dia mengerahkan seperempat tenaga dalamnya dengan sikap berjaga-jaga terhadap serangan yang akan dilancarkan gadis itu. Paling tidak kali ini gadis itu akan terluka, pikirnya di hati.
"Hiyaaat...!"
"Uts! Tidak kena, tikus busuk!"
"Haram jadah!"
"Yeaaa...!"
"Brak!"
Bangku yang diduduki gadis itu hancur berantakan ketika kaki Palangkan terayun menghantam bagian bawah tubuh gadis itu. Pada serangan pertama dilihatnya gadis itu masih tetap tenang mengelak tanpa merubah posisi duduknya. Tentu saja hal itu semakin membuat geram Palangkan. Tanpa berpikir panjang lagi dia menyerang gadis itu habis-habisan.
"Palangkan, bagaimana mungkin kau bisa menghadapi lawan yang lebih tangguh bila menghadapi anak ingusan itu saja kau dibuat kelabakan!" teriak sobatnya yang bernama Wliyeng sambil tertawa kecil.
"Diam kau Wliyeng! Kalau perlu mulutmupun akan kurobek!" bentak Palangkan garang.
"He-he-he...! Palangkan, kenapa kau musti marah-marah begitu" Benar apa yang dikatakan Wliyeng, bagaimana kau bisa menghadapi orang misterius itu kalau menghadapi perempuan lemah seperti dia saja kau tak mampu!" sahut Wongko menimpali.
"Keparat kalian! Setelah gadis ini kuhajar kalian pun akan mendapat giliran nantinya!" geram Palangkan semakin memuncak.
"Lagakmu seperti yakin saja bisa menghajarku. Meski kalian bertiga belum tentu mampu. Boleh coba kalau ingin kujitak satu persatu!" dengus gadis itu sinis.
"Hei"!"
Wliyeng dan Wongko tersinggung mendengar ucapan gadis itu. Sejenak mereka saling berpandangan sebelum Wongko bangkit dengan sikap garang.
"Nisanak, kalau kau memang minta dihajar biarlah aku akan mengabulkan permintaanmu!" katanya sambil melompat menyerang gadis itu dengan penuh nafsu.
"Huh! Apakah telingamu sudah tuli" Kalian majulah bertiga biar lebih mudah aku menampar kalian bersamaan!"
"Sial!" dengus Wliyeng mulai ikut-ikutan marah.
"Jangan banyak bacot! Majulah kau juga!" bentak gadis itu.
Mendengar itu bukan main kesalnya Wliyeng. Tanpa memikirkan rasa malu dia pun ikut-ikutan mengeroyok gadis itu.
"Kisanak semua, tolonglah jangan berkelahi di kedaiku ini. Bukankah sebaiknya kalian menyelesaikan urusan di luar sana" Aduuuuh, hancurlah kedaiku ini!" teriak si pemilik kedai dengan wajah cemas.
"Pak Tua, tenanglah kau! Ketiga tikus busuk ini pasti dengan sukarela akan membayar semua kerusakan yang mereka perbuat!" sahut gadis itu sambil bergerak ke sana ke mari dengan lincah bagai orang sedang menari.
"Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Kalau mereka tak mau membayarnya akan kupaksa, mereka. Kalau perlu kedua biji mata mereka sebagai jaminannya!"
"Gadis liar! Kau pikir bisa berbuat apa pada kami!" sentak Wongko gusar.
"Bisa berbuat apa katamu" Aku bahkan bisa memotes kepala kalian dengan mudah!" ejek si gadis.
"Keparat!" geram Palangkan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaaat...!"
"Plak!"
Dalam suatu serangan kilat, Wongko dan Palang kan berhasil mendesak gadis itu ke sudut ruangan. Sementara Wliyeng langsung menyodokkan pukulan ke dada lawan. Tapi dengan gerakan yang tak terduga sebelumnya, tubuh gadis itu mencelat ke atas sambil bersalto beberapa kali setelah menangkis dua serangan lawan. Dengan gerakan menyilang kedua kakinya terbuka lebar menghantam punggung lawan.
"Des! Des!"
"Akh...!"
Ketiga orang itu tersungkur dan menghantam dinding kedai hingga jebol. Belum lagi mereka menguasai diri, tubuh gadis itu telah menyusul keluar sambil mengirim serangan susulan.
"Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Aaakh...!"
Kembali ketiga orang itu terpental beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dada dan punggung mereka terasa nyeri. Namun sebagai orang persilatan mereka cepat kembali bangkit tanpa mempedulikan rasa sakit. Ketiganya mendengus garang dan dengan cepat mencabut senjata. Tapi alangkah herannya mereka ketika senjata-senjata itu telah hilang dari tempatnya.
"Apakah kalian mencari ini?" tanya si gadis sambil mengacungkan dua buah golok dan sepasang trisula.
Ketiganya saling berpandangan sejenak. Kalau saja gadis itu mampu berbuat demikian tanpa disadari sedikit pun, tentulah dia bukan orang sembarangan, pikir mereka. Tak mudah mengambil senjata lawan tanpa diketahui kalau orang itu tidak memiliki kecepatan yang hebat.
"Apakah sekarang kalian masih ngotot juga"! Atau ingin kugebuk sekali lagi"!" bentak gadis itu garang ketika memperhatikan wajah ketiganya yang loyo.
"Maaf Nisanak, kami tak tahu kalau kau murid seorang yang sakti. Maafkanlah atas segala kelancangan kami...." sahut mereka yang diwakili Wliyeng dengan nada lirih.
Gadis itu cuma mendengus sinis sambil melempar senjata mereka kembali. Dia sendiri kemudian membalikkan tubuh dan melangkah ke dalam kedai sambil berkata dengan suara di hidung.
"Kalian ganti kerusakan itu semuanya!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti yang melihat kelakuan gadis itu cuma tersenyum kecil. Diliriknya gadis itu sekilas, kemudian kembali meneruskan santapannya yang tertunda karena menonton pertunjukan gratis tadi. Gadis itu pun sempat menoleh kepadanya ketika mencari meja lain yang kosong. Tapi kemudian cepat mengalihkan perhatian sambil memesan hidangan baru pada pemilik kedai. Tampaknya angkuh sekali wajahnya.
Sementara itu dengan langkah tertatih-tatih ketiga orang tadi masuk ke dalam kedai dan mengganti kerusakan akibat perkelahian mereka. Kemudian mereka buru-buru meninggalkan tempat itu sambil melirik sekilas pada gadis itu. Si gadis sendiri pura-pura acuh sambil membuang pandang ke lain tempat.
Tanpa sadar Rangga menggelengkan kepala sambil tersenyum-senyum kecil. Gadis itu memang cantik, namun raut wajahnya tampak galak. Padahal usianya kalau ditaksir belum ada tujuh belas tahun. Tapi lagaknya seperti orang dewasa saja.
"Kenapa kau tersenyum"! Apa kau ingin kuhajar seperti mereka"!"
"Hei"!"
"Huh! Berpura-pura bodoh!" dengus gadis itu.
Rangga kembali tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Gadis itu memang berada di meja sebelahnya, dan tak terpikir sedikit pun olehnya bahwa gadis itu sempat memperhatikannya tersenyum-senyum.
"Nisanak, siapa orang yang kau ajak bicara" Apakah aku?" tanya Rangga berlagak pilon.
Gadis itu cuma mendengus sinis.
"Hmm... maaf, aku sama sekali tak tahu kalau kau mengajak bicara padaku."
"Pemuda ceriwis seperti kau memang patut dihajar!"
Dengan tiba-tiba gadis itu menyentil cangkir di mejanya ke arahnya Rangga. Sentilan itu kelihatannya biasa saja, namun sesungguhnya hal itu dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam hebat karena dengan tiba-tiba benda itu melesat cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Set!"
Rangga menyambutnya dengan jari telunjuk yang diacungkan pada bagian bawah cangkir itu hingga berputar sesaat sebelum kembali pada pemiliknya.
"Nisanak, maaf aku menolak kebaikanmu. Aku sendiri masih memiliki uang untuk membeli minuman ini!"
"Paling tidak untuk mencuci tampangmu yang memuakkan!" balas si gadis sambil menyorongkan telapak tangannya sebelum cangkir itu kembali menghantam dirinya.
"Ah, kata siapa tampangku memuakkan" Buktinya masih ada orang sudi mengajakku bercanda bahkan berbaik hati menawarkan minuman. Tapi sekali lagi maaf, aku betul-betul sulit menerima kebaikanmu, karena aku sendiri masih mempunyai minuman yang berlebih," sahut si Pendekar Rajawali.
Cangkir yang dilemparkannya tadi dengan mudah dihalau gadis itu dengan pukulan jarak jauh. Sungguh hebat pukulannya karena isi cangkir itu sama sekali tak tertumpah. Tapi Rangga membalasnya dengan satu kebutan ringan seperti tangannya mengusir lalat. Cangkir itu kembali melayang ke arah pemiliknya. Bersamaan dengan itu sebuah cangkir yang berada di meja Rangga ikut melayang pula di belakang cangkir pertama tadi dengan kecepatan tinggi.
Agaknya gadis itu kali ini betul-betul naik darah. Dengan gemas dia bangkit dan bermaksud menghajar kedua cangkir itu dengan sekali pukul. Tapi sebelum hal itu terjadi, terdengar suara pelan dari arah samping.
"Hmm... sayang sekali kalau kedua cangkir itu hancur. Tentu si pemilik kedai akan semakin rugi. Kalau begitu biarlah kusimpan baik-baik!"
Tiba-tiba kedua cangkir itu melesat ke satu arah. Tapi sebelum terlanjur jauh. Rangga telah menyela sambil melambaikan tangan kirinya.
"Maaf Kisanak, sebuah cangkir itu bukan kutujukan padamu!" katanya santai.
Bukan hanya sebuah cangkir saja yang terhenti, namun kedua cangkir itu seperti mengapung di antara meja-meja di dalam kedai itu. Semua mata yang menyaksikan hal itu sama-sama takjub. Kalau tadi mereka dibuat takjub dengan cangkir-cangkir yang melayang, kini kejadiannya lebih ajaib lagi. Sebentar cangkir itu bergeser ke kiri, sebentar lagi ke kanan. Tapi kemudian diam di tempatnya semula ketika seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun tertawa terkekeh-kekeh.
"Agaknya kau betul-betul tak rela berbaik hati padaku. Kalau begitu biarlah aku mengalah," katanya.
Rangga merasakan tarikan tenaga dalam orang itu mengendur, tapi tiba-tiba dia tersentak kaget ketika pemuda itu memutar pergelangan tangannya sedikit. Tenaga tarikannya semakin keras menyentak. Cangkir itu sempat bergeser tiga jengkal ke arahnya. Tentu saja Rangga tak mau membiarkan hal itu begitu saja. Dia pun langsung menekan dan mengempos tenaganya lebih kuat. Cangkir itu kembali bergeser perlahan-lahan.
Tarik menarik antara keduanya terus berlangsung beberapa saat sampai kemudian berakhir ketika kedua cangkir itu hancur berantakan.
"Praaaak!"
? *** ? 4 ? Gadis yang tadi membentak pada Rangga cuma mendengus sinis dengan sikap merendahkan.
"Hmm... baru punya kepandaian rendah saja sombongnya bukan main. Segala mainan anak kecil dipamerkan!"
"Ha-ha-ha...! Nisanak, kalau kau memang tak suka kenapa memulainya lebih dulu?" tanya pemuda bertubuh sedang dengan sikap mengejek.
Gadis itu mendengus sinis. Sepasang matanya yang bulat dan indah tampak menyipit seperti menyatakan ketidak-sukaannya pada pemuda yang dianggapnya memuakkan itu.
"Bocah, jangan sembarangan kau bicara! Jangankan cuma kau, bapak moyangmu sendiri tak berani bicara begitu padaku!"
"Kenapa musti bawa-bawa bapak moyangku segala" Apakah kau takut bila menamparku sendiri?"
"Huh"! Keluar kau!" bentak gadis itu sambil mencabut pedang pendeknya dan berjalan gusar keluar kedai itu.
Tapi pemuda itu tampaknya masih tenang-tenang saja menenggak bumbung arak di hadapannya. Sepertinya dia pura-pura tak tahu bahwa gadis itu tengah menantangnya.
Rangga sendiri yang melihat bahwa kemarahan gadis itu telah tertumpah pada orang lain, tak lagi mau ikut campur selain cengar-cengir sambil menggelengkan kepala.
"Dasar gadis bandel keras kepala. Seorang saja berkawan dengan orang sepertinya bisa pusing kepala...." kata Pendekar Rajawali Sakti pelan.
"Keluar kau bocah! Atau musti kuseret"!" bentak gadis itu dari luar kedai.
"Siapa yang perlu denganku dialah yang musti menghampiriku. Karena kau yang perlu maka kaulah yang semestinya mendatangiku ke sini," sahut pemuda yang tampangnya lumayan tampan itu tak peduli.
"Kurang ajar!" maki gadis itu.
Dengan langkah ringan dan wajah gusar dia kembali masuk ke dalam kedai dan menghampiri pemuda itu. kemudian menudingkan ujung pedangnya ke leher si pemuda.
"Sekali kutekan pedang ini lehermu akan putus!" dengus gadis itu semakin kesal karena pemuda itu sama sekali tak memberikan reaksi.
"Tentu saja kalau aku tak menghindar."
"Keparat!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Dengan geram gadis itu menarik pedangnya dan kembali mengayunkannya dengan cepat ke leher pemuda itu. Tapi pemuda yang berpakaian merah itu memiringkan sedikit kepalanya. Pedang si gadis lewat beberapa mili dari lehernya. Melihat serangannya luput, gadis itu cepat mengirim satu tendangan keras. Tapi tubuh pemuda itu telah melesat ke belakang dan dengan jungkir balik dia telah berada di luar kedai itu.
"Nisanak, kalau kau bermaksud bermain-main denganku, apa boleh buat. Mana bisa aku menolak permintaan gadis secantikmu!" kata pemuda itu sambil terkekeh-kekeh.
"Huh!"
Gadis itu cuma mendengus sinis sambil terus mencelat keluar dengan satu serangan hebat.
Pertarungan antara keduanya tak bisa dihindari lagi. Bedanya kali ini gadis itu betul-betul kalap dan bermaksud menghajar lawannya sampai babak belur. Sebaliknya pemuda itu hanya menghindar dan sedikit pun belum membalas serangan si gadis. Namun walaupun demikian terlihat bahwa gadis itu tak mampu mendesak lawannya. Bahkan pemuda itu sekali-kali mempermainkannya dengan sikap pura-pura akan membalas serangan lawan.
Pendekar Rajawali Sakti melihat pertarungan itu sudah bisa menduga. Kalau saja pemuda itu bermaksud mencelakai lawan tentu dengan mudah gadis itu akan dihajarnya. Kepandaian gadis itu tampak terpaut jauh. Tapi pemuda itu sendiri agaknya senang sekali mempermainkan lawan. Bahkan walau diserang dengan bertubi-tubi, dia masih mampu mencolek tubuh gadis itu sambil terkekeh-kekeh.
Tentu saja hal itu semakin membuat si gadis geram bukan main. Dia langsung mengerahkan segenap kepandaiannya untuk menghajar pemuda itu. Gerakannya semakin gesit seperti burung walet terbang, dan ujung pedangnya menyambar-nyambar dengan ganas. Sedikit saja lawan lengah tentu tubuhnya akan terpotong-potong menjadi beberapa bagian.
"Pemuda sialan! Apakah kebisaanmu cuma menghindar saja" Ayo, balaslah seranganku!" bentak gadis itu semakin berang.
"Kenapa aku harus membalas" Bukankah kita sedang bermain-main sambil bersenang-senang" Kaulah yang boleh menyerangku habis-habisan sepuas hatimu," sahut si pemuda santai.
"Huh! Jangan salahkan kalau kau sampai mampus di tanganku!" dengus gadis itu garang.
"Hmm... cobalah kalau kau bisa. Asalkan nanti ada imbalannya buatku. Paling tidak kau mau mengawaniku tidur bersama."
"Cuih! Tutup mulut kotormu itu!"
"Ha-ha-ha...!"
"Hiyaaaat...!"
"Uts!"
Pertarungan mereka kembali berjalan hingga telah menghabiskan beberapa jurus. Namun sampai sejauh itu si gadis belum juga mampu menghajar lawannya. Gerakan pemuda itu sungguh ringan dan sulit diterka. Padahal bila dilihat dia santai-santai saja menghadapi gadis itu. Bahkan tampak seperti menghadapi orang yang sedang belajar ilmu silat saja.
Sementara itu beberapa orang yang lalu lalang dan pengunjung kedai itu keluar memperhatikan pertarungan tersebut. Sebagian malah bersorak-sorak gembira kegirangan. Tontonan itu betul-betul mengasyikkan. Karena gadis itu menyerang habis-habisan dengan penuh nafsu dan memaki-maki tak karuan, sebaliknya si pemuda santai saja sambil sesekali terkekeh ketika berhasil mencolek beberapa bagian tubuh lawan.
"Kali ini gadis itu ke.na batunya!" ujar salah seorang.
"Biar dia rasakan! Gadis galak yang sombong. Dia pikir kepandaiannya tiada yang menandingi!" sahut salah seorang kawannya.
"He-he-he...! Hajar terus!"
"Sudah, Bang! Kepit terus!"
Bukan main meledaknya marah gadis itu mendengar teriakan-teriakan orang-orang yang menyaksikan pertarungan mereka. Saking kesalnya karena tak mampu berbuat apa-apa, gadis itu merah wajahnya dan terlihat kelopak matanya mulai merembang. Baru kali ini dia merasa dipermalukan di depan orang banyak.
"Minggir! Minggiiir...!"
"Awasss...!"
? *** Pada saat itu melintas rombongan prajurit kerajaan yang berkuda sambil mengiringi sebuah kereta yang tampak indah. Semua orang-orang langsung menyingkir sambil membungkukkan tubuh. Perkelahian itu sendiri terhenti. Dan si gadis buru-buru meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan keadaan.
Melihat keramaian itu Rangga buru-buru keluar. Dan bertanya pada salah seorang yang berada di sebelahnya.
"Siapa orang yang berada dalam kereta itu, Kisanak?"
"Oh, itu Putri Raja. Kau harus membungkukkan badan untuk memberi hormat padanya."
Rangga cuma sedikit membungkukkan badan ketika kereta itu melintas di depan kedai. Namun sepasang matanya menengadah dan mencoba menembus tirai yang menyelubung isi kereta kencana itu dengan menggunakan ilmu Tatar Netra.
"Hmm... cantik sekali gadis itu," gumamnya pelan.
"Kisanak, berani-beraninya kau memandang ke dalam kereta itu. Cepat tundukkan kepalamu, kalau tidak kau akan celaka!" ujar laki-laki yang ditanyanya tadi memperingatkan.
Rangga pada dasarnya tak mau mencari persoalan. Buru-buru dia menundukkan kepala mengikuti apa yang dikatakan laki-laki itu. Tapi dalam hati dia tak henti-henti memuji kecantikan gadis yang berada dalam kereta itu.
Rombongan prajurit kerajaan telah berlalu, dan orang-orang telah bubar meski satu dua orang masih berdiri mematung sambil memperhatikan rombongan itu yang semakin menjauh.
"Kalau aku punya kekasih seperti itu, wah beruntung sekali!" gumam Rangga seperti pada dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melangkah pelan menuju sebuah rumah penginapan yang bangunannya bertingkat dua. Kelihatannya besar dan luas sekali. Ruang depannya penuh ditumbuhi bunga-bunga yang beraneka macam, serta sebuah kolam kecil yang dipenuhi oleh ikan-ikan yang berwarna indah. Rumah penginapan itu sendiri memiliki rumah makan yang banyak dikunjungi orang. Dibandingkan dengan rumah makan yang dikunjunginya tadi, rumah makan di sini berkesan lebih mewah.
Rangga tak punya pilihan lagi. Menurut penjelasan beberapa orang di desa itu, hanya di tempat itulah rumah penginapan satu-satunya di desa ini, meski harganya memang lumayan mahal. Pemuda itu bisa memaklumi melihat gedungnya yang indah dan mewah. Tak terlalu mengherankan bila di desa ini keadaannya nyaris mirip dengan kota raja. Selain dekat dengan ibu kota kerajaan, dahulunya desa inilah yang pernah dijadikan ibukota kerajaan sebelum digantikan oleh pemerintahan yang baru.
Pendekar Rajawali Sakti melirik sekilas. Dilihatnya pemuda yang tadi sedang bertarung dengan gadis di kedai itu akan bermalam pula di sini. Dua orang perempuan yang berbedak tebal serta bergincu merah bergelayutan di kanan kirinya. Mereka kemudian menghilang di balik sebuah kamar yang berada ditingkat bawah.
"Hmm... pemuda tampan. Agaknya kau pendatang baru di tempat ini. Kau pasti kawan bukan?" sapa seorang perempuan sambil mengusap bahunya dengan sikap genit.
"Heh"!"
"Selain tampan kaupun rupanya pemalu. Tapi jangan takut nanti pun akan terbiasa...."
"Apakah kau pemilik tempat ini?"
"Bisa dikatakan begitu...."
"Ng... aku bermaksud menginap semalaman."
"Kenapa tidak" Ikutlah denganku...." sahut gadis itu.
Rangga mengikutinya dari belakang. Gadis itu mengantarkannya pada seorang laki-laki berperut buncit dengan sepasang mata sipit. Setelah mengutarakan maksudnya, laki-laki itu menunjukkan kamar untuknya. Sementara gadis yang tadi masih terus berjalan di sebelahnya. Bahkan sampai Rangga telah berada dalam sebuah kamar, gadis itu seperti tak mau beranjak dari sisinya.
"Terima kasih. Kalau tak keberatan, aku ingin istirahat barang sejenak..." katanya bermaksud mengusir gadis itu.
"Kenapa tidak" Istirahatlah, aku akan memijiti tubuhmu. Kau pasti lelah setelah melakukan perjalanan yang jauh," sahut gadis itu sambil memijiti seluruh tubuh Rangga.
Pemuda itu agak risih diperlakukan begitu. Lebih-lebih ketika dilihatnya gadis itu bertingkah laku genit dan mulai memamerkan anggota tubuhnya yang terlarang sedikit demi sedikit.
Rangga mulai salah tingkah. Urat syarafnya menegang melihat pemandangan itu. Sesaat matanya seperti tak berkedip ketika gadis itu membuka pakaiannya hingga terlihat tubuhnya yang mulus menggairahkan tanpa sehelai benang pun melekat.
"Berbaringlah, aku akan memijiti tubuhmu...." kata gadis itu lirih sambil merebahkan tubuh Rangga dan melucuti pakaiannya perlahan-lahan.
"Ng...aku... aku...."
"Sssst! Diamlah, kenapa musti banyak mulut segala" Apakah kau belum pernah melakukan hal ini sebelumnya?" ujar gadis itu sambil menempelkan telunjuknya di bibir Rangga.
"Bukan begitu... maksudku...."
Rangga tak mampu meneruskan ucapannya ketika bibirnya dilumat gadis itu dengan ketat. Pemuda itu seperti sulit bernafas ketika bibir kenyal itu terus menghimpit tubuhnya. Otaknya semakin panas dan aliran darahnya mengalir tak beraturan.
Di luar senja nyaris berlalu ketika angin bertiup sepoi-sepoi menghanyutkan suasana. Dingin mulai merambat perlahan. Namun di kamar itu ruangan terasa hangat bercampur keringat yang membanjir.
Rangga semakin hilang kesadarannya dan hanyut dalam gejolak nafsu liar dari gadis yang semakin garang saja mencumbuinya. Gadis itu betul-betul berpengalaman untuk menghanyutkan pemuda itu ke alam lain yang mampu sesaat melupakan segala keruwetan pikiran. Namun sebelum pemuda itu betul-betul hilang kesadarannya, sekonyong-konyong terdengar pekikan nyaring dalam sebuah kamar di rumah penginapan itu.
"Hei"!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Buru-buru dia bangkit sambil menyambar bajunya.
"Mau ke mana" Biarkan saja mereka. Paling-paling ada seorang yang mabuk," ujar si gadis mencoba menahannya.
"Tidak. Itu bukan orang yang sedang ketakutan, tapi jerit seseorang yang kesakitan! Aku harus pergi!"
"Tunggu dulu. Kenapa harus buru-buru. Persoalan kita belum lagi selesai..." kata gadis itu mencoba menahan.
Tapi dalam keadaan kesadarannya pulih seperti sekarang, Rangga tak mempedulikan rayuan gadis itu segala. Tubuhnya langsung mencelat ke bawah lewat jendela yang terbuka.
"Awas, kepalamu akan pecah setibanya di bawah!" seru gadis itu khawatir.
Buru-buru dia melihat ke bawah lewat jendela itu, namun sesaat kemudian terlihat gadis itu terpana takjub. Tubuh pemuda itu dengan ringan melayang dan melesat cepat di antara kegelapan.


Pendekar Rajawali Sakti 160 Keris Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Astaga, apakah tadi aku sedang berhadapan dengan setan" Gerakannya ringan seperti kapas. Mustahil manusia biasa mampu melakukan hal seperti itu!" desis si gadis heran dengan wajah hampir pucat.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu Pembeda Gerak dan Suara untuk mempertajam pendengarannya. Baru saja dia berusaha masuk lewat jendela ke arah suara yang diyakininya sumber dari jeritan tadi, ketika sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan dari arah dalam mengejar sesuatu bayangan yang lebih dulu melintas di antara keremangan lampu-lampu rumah penginapan itu.
"Hei"!"
Sesaat Rangga agak bingung. Apa yang terjadi di dalam kamar itu" Dia melirik sekilas, dan menemukan sesosok tubuh perempuan dalam keadaan tanpa sehelai benang pun tergeletak tak bernyawa lagi.
"Astaga! Kulit tubuhnya keriput persis seperti pemuda yang tadi tewas. Pasti...."
"Itu dia orangnya!"
"Kejar!"
"Jangan biarkan lolos!"
"Sial!"
Pendekar Rajawali Sakit belum sempat melanjutkan dugaannya ketika tiba-tiba sekitar belasan orang menyerbu ke arahnya dengan senjata terhunus. Beberapa orang tampak melompat dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan. Tak ada waktu bagi dirinya untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Sudah pasti mereka menuduhnya sebagai si pembunuh gadis itu. Maka sambil berteriak nyaring, tubuhnya melesat dari tempat itu dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.
Patung Emas Kaki Tunggal 4 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Pendekar Penyebar Maut 28

Cari Blog Ini