Love Latte Karya Amel Fernandess Bagian 1
LOVE LATTE Karya : Amel fernandess Sinopis Cinta Neska seperti kopi latte. Tantangan ditinggalkan Jo tanpa alasan, dan berkorban menunggu cowok itu
kembali. Tapi Jo terlanjur menghilang, menciptakan bimbang dihati Neska saat Josh datang dalam hidupnya.
Neska tak mau jatuh cinta lagi, sebelum tahu alasan Jo meninggalkannya. Ia terus mencoba lari dari pesona
Josh. Bisakah" Nesaka tak tahu jawabanya senelum ia bertemu Nat, kakak Josh yang sakit parah dan melupakan banyak hal di
masa lalunya, termasuk gadis yang dicintainya. Nat yang tanpa sadar merelakan gadis yang paling dicintainya
untuk adiknya. Neska tahu, cintanya kembali ke tempat semula, di hati Jo. Jo yang ditemukanya pada saat yang tidak tepat dan
tak mungkin lagi bergandengan tangan dengannya seperti yang selau ia sebut dalam doa. Tapi Neska yakin ia
tak akn menyesal, karena ia tahu, cita harus mengalami banyak hal untuk menjadi sempurna, seperti kopi latte:
pemanasan, mengembang, dan akhirnya menguap...
Part 1 O-em-ji! Hanya kata itu yang bisa kuucapkan saat aku menginjakan kaki pertama kali disekolah baruku.
SMA Saga. Aku nggak menyangka kalau bangunan kecil kayak gini bisa juga dinamakan
sekolah. Bayangin!! Sekolah ini mungkin cuma seluas lapangan bola. Lapanganya pun cuma
basket dan voli. Menjebatani bangunan yang membentuk persegi tapi nggak jadi. Nggak ada
lapangan basket indoor lagi. Bahkan aula untuk ruang pertemuan juga nggak ada. Duhhh,,,
minimalis banget nih sekolah. Terkena dampak urban kali ya.
Kekecewaanku ternyata tidak diizinka berhenti disitu. Paling menyebalkan saat aku iseng
membaca sederet kalimat di buku mungil warna ungu. Mereknya : Buku Peraturan SMA Saga.
Isinya terlalu berlebihan dan bisa masuk ke dalam kata "Konyol Kuadrat" dalam kamus
kehidupanku! Bahkan tergolong peraturan paling menyebalkan dan benar-benar tidak masuk di
akal. Hua... Aku berlebihan lagi nggak ya.
Hate it so much Dari ujung kaki sampai ujung rambut, semuanya diatur sedemikian ketat oleh buku mungil itu.
Bahkan kabarnya, serentetan peraturan aneh bin konyol ini diawasi super ketat oleh seorang
guru BP,Pak Widodo. Guru yang menurutku paling nggak punya kerjaan. Setiap pagi kerjanya
cuma mangkal di dekat gerbang sekolahan. Tepatnya, di pos satpam. Mungkin side job-nya juga
sebagai satpam kali ya. Para siswa sini paling anti dengan peluit Pak Widodo. Begitu peluit terdengar pasti siswa
disekitarnya sport jantung. Takut dirinya sumber masalah dan siap-siap phus up atau scot jump.
Nggak peduli cewek atau cowok. Entah ya kalau waria...
Hm... Aku beri sedikit gambaran peraturannya. Biar kalian bisa ikut merasakan derita pecinta
kebebasan seperti aku, harus dikekang peraturan aneh bin konyol ini.
Aku mulai dari yang paling atas. Rambut harus selalu rapi. Nggak boleh dicat pirang, biru, merah,
pink apalagi gaya Agnes Monica yang Japan style itu loh. Kayak burung merak, komentar salah
satu guru di SMA Saga. Pokoknya setiap helai rambut harus natural. Terpaksa nanti aku
mengecat hitam lagi rambutku yang ku high-light merah saat liburan.
Panjang rambut cowok harus tidak menutupi alis dan telinga. Kalau bisa cepak model tentara.
Untungnya cuma sebatas 'kalau bisa'. Kalau 'harus' juga, berarti nggak ada lagi deh
pemandangan cowok cakep di SMA Saga.
Rambut cewek tentu boleh panjang. Kalau nggak kan berarti merusak citra wanita
sesungguhnya. Tapi, ada tapinya ini yang membosankan, rambut yang lebih panjang dari bahu
harus diikat. Bahkan rambutku yang pas sebahu juga harus diikat. Katanya sih, biar nggak
mengganggu konsentrasi belajar. Apa hubungannya coba" Maksa banget deh ini peraturan.
Seragam nggak boleh ketat. Apalagi junkies. Rok nggak boleh diatas lutut. Harus pakai tali
pinggang yang terlihat. Alasannya, buat apa pake tali pinggang kalau nggak kelihatan. Duh...
Kelihatan culun banget. Kaos kaki harus putih polos. Perlu diingat: POLOS! Dan itu berarti tanpa embel-embel tulisan
apalagi gambar. Panjangnya pun harus diatas sepatu yang mutlak hitam. Tanpa warna lain.
Bahkan kata Ghost putih mungil yang ada di sepatuku pun harus dihitamkan.
Masih banyak peraturan lain. Tentang kuku tidak boleh panjang dan hal nggak penting lainya.
Aku malas baca. Mood-ku keburu hilang saat aku membaca lembar awal buku. Apalagi harus
baca habis isi buku itu. Nggak tau deh apa efeknya. Aku sempat berpikir, ini SMA atau
kindergarten sih" Semuanya serba diatur. Namun anehnya,SMA Saga tetap banyak peminatnya,
entah karena lokasinya yang strategis atau karena kedisiplinannya. Atau karena... Ya gitu deh!
Aku sampai lupa memperkenalkan diriku pada kalian. Eh, penting nggak sih" Namun, demi
menjunjung istilah "Tak kenal maka tak sayang", lebih baik aku memperkenalkan diriku pada
kalian. Namaku Neriska Adisthie Prasetyo. Panggil Neska saja. Please, jangan panggil namaku lengkap
selengkap-lengkapnya. Bukan karena aku tidak mensyukuri namaku, hanya saja aku tidak suka.
Kepanjangan. Aku sedikit cuek. Erm...bukan cuma sedikit sih. Aku ini sangat cuek. Tapi jangan kira aku ini
benar-benar cuek. Jika kalian selalu mendengarkan pelajaran Bahasa Indonesia dengan
seksama, "sangat" dan "benar-benar" itu beda jauh lhohh. Soalnya kalau aku lagi perhatian sama
seseorang, aku bisa over protected, kayak lagunya Britney Spears. Apalagi sama ehem...
pacarku. Ralat! Mantan pacarku, siapa lagi kalau bukan "dia".
Sekilas tentang keluargaku.
Aku dulu tinggal di Jakarta. Bersama papa Tian dan mama Desty tercinta. Tapi seiring majunya
bisnis mereka, aku merasa mereka tidak lagi menyayangiku. Mereka memilih makan malam
dengan rekan bisnis dibanding duduk semeja denganku. Membuatku merasa kesepian walaupun
aku selalu menutupinya. Sampai akhirnya, ketegangan mereka memuncak dan berakhir pada
perceraian. Karena usiaku sudah cukup dewasa, aku berhak memutuskan sendiri pilihan perwalian,
setidaknya kasus perceraian yang berakhir perebutan hak perwalian anak seperti yang sering
kulihat di infotainment itu nggak terjadi padaku.
Akhirnya aku memilih tinggal di Bandung. Jauh dari keduanya. Aku tidak bisa memilih salah satu.
Sangat berat. Kalau aku benar boleh memilih, aku ingin tinggal bersma keduanya. Meski tiap
malam aku harus menutup telinga karena pertengkaran mereka. Kalu kalian jadi aku, tentu kalian
juga memikirkan alternatif ini,bukan"
Papa Tian dan mama Desty awalnya memang berat membiarkan aku hidup sendiri dikota asing
ini. Tapi itu sudah menjadi keputusanku. Aku sedikit berharap dengan kehilangan, mereka bisa
menhargai arti kebersamaan-rasa saling membutuhkan di antara kami.
Papa Tian memang punya rumah pribadi di Bandung. Hanya saja, dia menitipkanku di keluarga
Om Tommy-kakak Papa Tian. Untungnya, mereka sangat welcome akan kehadiranku. Bahkan
mereka sangat baik. Apalagi Tante Rika, istri Om Tommy. Anaknya cuma satu, Seto.
Tante Rika memang sudah lama mendambakan kehadiran anak gadis. Seseorang yang bisa
membantunya memasak di dapur. Menemaninya mencoba resep baru dari majalah dan
berbelanja kebutuhan sehari-hari. Om Tommy membutuhkan anak gadis yang bisa
menyambutnya pulang dengan segelas kopi hangat dan senyuman.
Anak cowok tidk mungkin melakukan hal itu bukan"
Sedangkan aku,,, mendambakan keluarga yang hangat. Waktu makan malam di meja makam
rumah, bukan sekedar uang untuk makan di restoran mahal.
Kini, jadilah aku sekarang. Tidak lagi merasa kesepian karena keluarga ini menawarkan semua
hal yang aku dambakan. Walau aku masih saja mendambakan keutuhan keluargaku yang
sebenarnya lagi. Bersama Papa Tian dan Mama Desty di Jakarta.
Oh ya. Ada lagi si Seto, sepupu slebor kebanggaanku. Hampir saja ketinggalan untuk
diperkenalkan. Walaupun aneh dan norak, Seto adalah orang yang paling aku percya sebagai
pos pengaduan. Ya, kalu nggak mau dibilang 'kotak sampah'.
Setiap kali sedih, aku selalu mengandalkan Seto untuk membuang kesedihan itu. Dia selalu
mengajarkanku untuk selalu berpikir positid dan lebih realistis. Dia sangat baik, bijak sana, dan
pengertian. Wajar kalau dia bisa terpilih menjadi ketua OSIS di SMA Saga.
Satu hal penting. Dia lagi jomblo lohh. Hampir saja aku masukin Seto jadi High Quality Jomlo
dalam acara Katakan Cinta. Sayang, Seto nggak mau. Takut dicap nggak laku, katanya.
Padahal, dia emang nggak laku. Hehe.. Tapi nggak juga ding. Seto itu termasuk pria populer loh
disekolah. Kalo pas Valentine, dia banyak dapet cokelat. Berhubung dia nggak mau, jadi
cokelatnya dikasih ke aku, cihuy..
So, bagi siapa saja yang mau kenalan silahkan hubungi 08136771xxxx. Beep.. Sensor! Ntar kena
marah Seto. Kalo mau kenalan, kalian hubungi aku langsung saja.
Balik lagi ke situasi sekolah.
Aku syok sesyok-syoknya saat bertamu dikelas baru. Double O-em-ji!!.
Aku mengalihkan situation attack ini dengan geleng-geleng kepala. Mungkin terlihat seperti
tripping. But, I don't care. Setidaknya, itu bisa membuatku tenang.
Gelengan kepalaku harus terhenti saat seorang dibelakangku -whatever his name, mau lewat.
Tanpa sadar, aku masih berada di mulut pintu yang hanya bisa dilewati satu orang. Dan mulutku
masih ternganga saking syoknya. Ugh..jadi nyingkir deh!.
Kelas 1A mungkin adalah kelas tersempit nan termungil di SMA Saga. Istilah kasarnya: Kelas
Buangan! Mungkin ruangan ini bukan kelas. Namun karena lokasi yang kurang, sekolah
memaksa ruangan ini jadi kelas.
Meja kursi kelas ini juga ditat serba rapat dan sangat... Sangat minimalis. Manusia dengan postur
tubuh Miss Impian mungkin akan sulit untuk lewat. Atau bahkan nggak bisa sama sekali.
See! Bener-bener nggak seperti kelas kan"
Rasanya aku ingin ngomelin Dina, sahabatku dari Jakarta. Masuk SMA Saga ini adalah idenya.
Kebetulan, keluarganya juga pindah ke Bandung karena ayahnya pindah dinas. Jadi kami masih
tetap berteman dlam kota yang sama. Dan demi menghargai pertemanan kami, kami
memutuskan masuk SMA yang sama. Pilihan itu jatuh pada SMA Saga. Aku sih setujuKsetuju
aja, berhubung satu sekolah dengan Seto sehingga aku tidak perlu khawatir menunggu angkot
setiap pagi. Dina memilih SMA Saga karena katanya jarak dari rumahnya sangat dekat. Jalan kaki sebentar
sudah sampe. Jadi ayah Dina nggak repot lagi mengantar anaknya. Tapi setelat diusut nan
diselidiki, aku juga mendapat fakta lain mengapa Dina memilih sekolah ini. Alasanya itu adalah
Richard, tetangga sekaligus gebetan baru Dina.
Aku baru sadar ketika Dina mengenalkan Richard padaki. Richard juga baru mau masuk SMA
Saga. Bahkan Dina lagi hepi-hepinya karena bisa sekelas denga Richard. Lalu aku... Terlupakan.
Huff..!! Aku meletakan tas di meja belakang yang terpojok di dekat ventilasi.asal saja memilih
meja. Akubahkan tidak tahu teman sebangkuku nanti. Dan siapa pun dia, aku harap kami bisa
menjalin hubungan baik.. Setidaknya karena dia bakalan jadi teman pertamaku dikota ini.
Aku duduk sambil mengamati satu persatu teman baruky, semua terlihat sombong. Aku malas
mendekatkan diri dengan salah satu di antara mereka. Biasa... Tipe manusia yang cuek. Malas
bertanya kalau nggak ditanya duluan.
Setelah bosan, aku memilih untuk melangkah keluar. Menuju beranda kelas, mencari udara
segar sekaligus cuci mata, lapangan mungil ini sudah dipadati dengas siswa yang menyemut.
Beberapa siswa bergerombol di depan papn pengumuman mencari lokasi kelas baru mereka.
Selebihnya, sibuk menyetrika lapangan. Abis kusut banget sih. Nggak ada pemandangan cowokcowk kerennya sama sekali.
Sesaat sebelum aku melangkah kembali menuju kelas aku sempat menangkap sesosok pria
yang sekilas mirip dengan..."dia".
"woiii....!!" Seti berteriak pelan namun tepat ditelingaku.
Spontan aku menjauhkan telinga dari asal suara. Membuat perhatianku beralih dari sosok yang
dari tadi kuperhatika. Menoleh ke samping dan mendapati Seta sedang tertawa terkekh.
"Setan lo ye"! Pagi-pagi udah nganggetun orang", seruku kesal.
"Siapa suruh pagi-pagi melamun", sahut Seti, masih terkekeh.
Tanpa perlu mnjawab pertanyaan Seti aku kembali ke arah lapangan. Berharap "sesosok pria" itu
masih ada disana. Sekaligus berharap kalau "sesosok pria" itu bukan hanya mirip dia. Tapi
memang "dia". Dan harapan itu ternyata terlalu tinggi. Aku terbanting oleh kenyataan kalau
"sesosok pria" itu mungkin saja hanya fatamirganaku. Saking kangennya aku sama "dia".
"Gimana kelas baru lo?", tanya Seto, mengalihkan perhatianku.
Aku menghela napas panjang."Too bad," jawabku lemas.
Seto melongo, menatap kelasku. Dahinya berkerut. "Perasaan lo aja kali. Makanya bersosialisasi
dong, Non!" ucapnya dengan alis bertaut.
Tangan Seto sudah menggapai udara. Bersiap mengacak rambutku. Tapi dengan satu jurus
aikido yang aku iseng-iseng pelajari dari Bryan, temanku SMP, aku berhasil menepisnya. "Lo
mau ngerusak dandanan gue?" seruku kesal sambil merapikan kembali rambut yang sedikit
berantakan dengan kelima jariku yang ku funsikan sebagai sisir jari. Seto hanya pura-pura tidak
mendengar ocehanku. Tetttt.... Tetttt... "gue balik kelas dulu. Ntar pulang tunggu gue diparkiran motor," pamit Seti sambil sukses
mengacak rambutku saat aku lengah.
"Awas lo nanti," keluhku yang hanya memandangi Seto yang suskes kabur sambil tertawa.
Part 2 Aku bertambah kesal saat masuk dan mendapati kursi sebelah tasku sudah ditempati seorang
cowok. Nggak nanya-nanya dulu kek, aku butuh tempat itu atau enggak. Aku mau duduk di
sebalah kiri atau kanan. Setidaknya basa-basi lah.
"heh!" bentakku es-mosi. Cowok itu mengangkat wajah sekilas dari topangan dagunya. Menatap
datar suara. "Ini kursi gue." aku menegaskan.
"Oh..." gumamnya pelan.
Hanya "Oh.."!" O-em-ji ketiga untuk hari ini. Naluri lelaki-nya bener-bener nggak jalan apa"
Nggak bisa nangkep istilah halus "Minggir dong!".
Cowok itu menjulangkan tubuh jangkungnya di depanku. Parasnya lumayan keren. Mirip Samuel
Rizal gitu. Sayangnya, 'Samuel Rizal' ini nggak botak tapi spike.
Hm.. Tetep keren kok. Ck.. ck.. ck.. Keren-keren tapi nggak punya sense of a gentlemen- naluri
lelaki gitu loh. Aku mengalah. Berjalan masuk lalu duduk manis di kursiku. Berhubung ada guru yang masuk ke
kelas. Cowok itu kembali duduk di kursinya. Diam! Dan lagi-lagi menopang dagu. Kayak lagi
menampun sekilo masalah. Aku mengalihkan perhatianku ke depan kelas. Lebih baik aku memperhatikan apa yang
disampaikan oleh guru yang tadi masuk kelas.
Pak Hartono kalo nggak salah denger sih ini namanya, benar-benar aneh. Cowok tambun ini
baru tigapuluh tahun. Belum married lagi. Soalnya dia tadi sempat promosi status singlenya
didepan kelas. Siapa yang mengira dia masih single kalau dia nggak menyemir rambutnya
yang... whoa! Ngalah-ngalahin profesor gitu. Full uban. Rambutnya itu asli dari sononya atau
dicat putih demi nyaingin Taylor Hicks sih.
Kalo guru nih ngajar fisika sih wajar. Fisika itu bukan hanya mengubankan rambut, tapi juga bisa
menarik ramabut sampai ke akarnya. Namun, guru ini cuma ngajar Sejarah. Apa Sejarah itu kini
sebegitu susahnya sehingga bisa mengubah pigmen rambut" Emang sih banyak sejarah yang
direvisi karena ada banyak fakta baru yang terungkap. Membuat pusing saja. Padahal aku dulu
mengira, Sejarah adalah satu-satunya pelajaran yang paling konstan, tapi sekarang.. entahlah!
Ternyata tanpa mesin waktu pun, kita bisa mengubah sejarah.
Lupakan! Yang pasti guru itu nggak cakep. Pantesan statusnya nggak berubah, single melulu.
Sekarang yang paling penting, searching for cowok cakep dikelas ini. Ya, sapa tau ada yang
kecantol. Aku memandang berkeliling. Huff.... Nggak ada yang cakep, kecuali manusia tinggi, kurus dan
nggak punya naluri lelaki yang lagi menghitung masalah disebelahku.
Kemanakah kalian wahai para cowok cakep"
"Siapa nama lo?" Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari cowok di sebelahku. Sopan banget tanyanya. Nggak pakai 'Hai' atau 'halo' dulu. Nggak pernah belajar bahasa Indonesia yang baik dan
benar banget sih. "Neriska Adisthie Prasetyo. Panggil saja Neska," jawabku tak kalah cuek.
"Joshua Satrio. Josh," sahutnya sambil mengulurkan tangan.
Sambil nahan tawa, aku menjabat tangannya. Kampungan banget deh. Jaman sekarang nih ya,
anak muda kenalan cuma saling tersenyum tipis alias senyum malu-malu doang. Nggak perlu
sambil repot-repot menjabat tangan. Kayak ketemu Bapak Menteri saja.
Sejenak kemudian, masih dengan tiba-tiba, Josh berdiri. "Neriska Adhistie Prasetyo. Dipanggil
Neska. Anaknya hemmm....," Josh memandang aku sejenak. Aku hanya mengendikkan bahu,
"jutek banget ," sambungnya ditengah keheningan. Kemudian, dia kembali duduk dengan tenang.
Diiringi tawa terkekeh dari kelas.
Saking asyiknya melamun, aku sampe nggak sadar ternyata ada acara perkenalan. Saling
mengenalkan teman sebangku lagi. Duh! Konyol bin kampungan banget sih.
"Tenang!" seru pak Hartono nge-bass. "Kini giliran kamu cewek jutek, eitss... Siapa namanya
tadi?" tanya Pak Hartono sambil memegangi rambut full ubanya.
"Neska, pak...," seru sebagian anak 1A hampir berbarengan. Ternyata guru ini pikun juga. Aneh
banget kalau dia bisa dipercayai mengajar Sejarah yang terkenal dengan hapalannya yang
memabukan itu. Dengan jutenya aku berdiri. Berusaha mengikuti jalan permainan kelas yang aneh ini. "Joshua
Satrio, Tinggi, kurus, dan... " Sengaja aku menggantung kalimatku. Menatap Josh yang juga
sedang menunggu lanjutanya, "Nggak punya otak!" sambungku mantap.
Ya, kalimat itu paling tepat.
Kontan kelas kembali gempar. Pak Hartono ikut menyunggingkan senyum ketika mendengar
akhir pernyataanku. Aku tertawa dalam hati. Pembalasan atas cap "jutek" sudah ku balas
sempurna. Siapa suruh dia bermain api denganku, laen kali main air aja. Biar lebih asyik.
Aku melampiaskan senyum kemenangan pada Josh yang kini sedang memelototiku kesal.
Sekarang, aku bisa duduk tenang.
Hari-hari kata mereka penuh penderitaan bagi siswa baru, dimulai. Masa Orientasi Sekolah.
Selama lima hari, SMA Saga dipenuhi oleh penataran ini dan itu. Sosialisasi peraturan sekolah,
katanya. Tujuanya supaya para siswa menerima peraturan-yang-ketatnya-buakan-main itu tidak
sebagai keharusan, tapi denga cinta. Nggak mungkin banget kan"
Namun, aku benar-benar menikmati hari-hari orientasi. Setidaknya aku senang karena aku tidak
perlu belajar untuk beberapa hari ini. Lumayan bored juga sih karena harus pulang lebih sore.
Apalagi demi mendengar ceramah dari senior dan guru. Menyebalkan.
Satu-satunya kegiatan paling menghibur adalah acara pencarian tanda tangan. Lucu-lucu banget
deh permintaan-permintaan para senior. Minta dibuatin surat cinta lah, minta nomer ponsel adik
kelas yang mereka incarlah. Ngerayu ceweklah. Pokoknya semua benar-benar nggak ada
hubunganya denga kedisiplinan sekolah.
Apa orientasi semacam ini yang disebut demi mensosialisasikan peraturan sekolah"
Setidaknya, ini merupakan tontonan menarik buatku. Gratis dan live pula. Seakan menonton
opera dari bawah pohon rindang dekat bangunan perpustakaan , duduk santai diatas rumput
beralaskan koran. Plus ditemani sebungkus Taro kesukaanku. Nyamanya dunia!
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tugas mencari tanda tanganku!. Ho ho... Sudah beres dari hari pertama. Sebelum hari pertama,
malah. Aku tidak perlu capek nan repot demi memohon segoret tanda tangan para senior. Buat
apa punya sepupu keren yang juga ketua OSIS. Itulah untungnya aku mempunyai Seto sebagai
sepupuku. "Hei..." Suara berat disertai tepukan pelan dipundak mengaggetkanku.
Sopan banget nih orang. Aku sudah bersiap mengeluarkan kata umpatan untuk orang paling sopan ini. Namun, saat aku
menoleh aku segera menelan kata-kata itu sebelum sempat terlontar. Saking buriu-burunya, aku
sampai tersedak. Pak Widodo! Spontan aku berdiri. Berpikir cepat apa yang harus aku katakan. Menyapanya basa-basi dengan
"Siang Pak!" Ugh, nggak Neska banget. Harus ada kata yang terucap. Lalu kata yang lolos
seleksi otakku adalah... "Bapak mau?" tanyaku spontan sambil menyodorkan isi kantong Taroku yang masih banyak
tersisa. Gosh! Apa-apaan otakku ini. Kenapa yang keluar malahan pertanyaan yang nggak
penting seperti ini sih. Nggak ada kata yang lebih keren apa" Dasar otakku yang bodoh.
Pak Widodo tersenyum sambil menggeleng "Kok malah duduk santai?" tanya Pak Widodo,
ramah. Untung dia tidak menganggapku kurang ajar. Aku hanya spontan memecahkan kebisuan
tadi. Sungguh!. "Kan lagi jam istirahat, pak," jawabku tak kalah ramah. Setidaknya aku tisak mau dicap buruk dan
mencari masalah dengan guru. Apalagi dihari pertama dan dengan seorang guru --yang lagi-lagi
katanya-- paling killer disekolah ini.
"Tugas tanda tangannya?" Pak Widodo kembali bertanya.
Mati aku! Kalau samapai Pak Widodo tau tugas tanda tanganku sudah lengkap pada hari
pertama, Seto bisa marah-marah kepadaku.
"Saya istirahat dulu, Pak." aku memberi alasan.
"Kalau sudah selesai istirahatnya, segera lanjutkan acara cari tanda tangannya ya!" sarannya
sebelum berjalan menjauh dan melanjutkan inspeksi. Aku melempar senyuman ter-innocent-ku
demi mengantar punggungnya yang semakin menjauh.
Fiuhh,. Untunglah! Ternyata Pak Widodo tak se-killer seperti gambaranku dan seperti yang
mereka bilang. Belum selesai aku bernapas lega, seseorang kembali mengagetkanku."Darr!!"
Aku tersentak . Mengelus-ngelus dada agar jantungku tetap save pada posisi semula. Tanpa
perlu berbalik aku mendapati Seto sudah duduk disampingku.
"Setan lo ye," keluhku kesal.
Seto hanya terkekeh nggak jelas. Seto ini mungkin setan spesialisasi jelangkung. Datang tal
dijemput, pulang tak diantar. Hii.. serem! Aku ralat deh. Setan berwujud cowok cakep aja. Biar
kalo wajah asli nya keliatan, Seto masih saja cakep seperti ini. Amit-amit dah kalo ketemu
jelangkung beneran. "Nggak ngurusin kerjaan elo?" tanyaku kemudian.
"Sekarang lagi enggak ada," jawab Seto cuek.
Tangannya sibuk merogoh kantong Taro yang aku pegang. "Ngapain elo piknik disini?" tanyanya
kemudian. Aku melengos."Piknik" Pale lo pitak! Gue nih lagi nunggu bel. Lama banget sih!" keluhku. Saat
ini aku sangat berharap jam si tukang bel bisa kecepatan satu jam. Biar bisa cepat-cepat pulang.
"Sabar!" seru Seto sambil sukses mengacak rambutku. " Tau nggak kalo orang sabar itu
pantatnya lebar". Seto terkekeh dengan tawa khasnya yang menurutku aneh itu. Aku rasa dia
perlu memperbaiki cara tertawanya deh. Ikut kelas kepribadian spesialisasi memperbaiki tawa.
Aku mengeluh kesal. Lalu mendaratkan bogem mentah dilengan Seto. Pertengkaran sengit pun
dimulai. Beginilah aku kalau sudah bertemu Seto. Kayak kucing berantem.
"Permisi, senior," ucap seorang siswi berkacamata yang masih berseragam SMP sepertiku.
Dibelakangnya, tampak seorang siswi lain yang berkuncir kuda, sedang mendorong-dorong siswi
yang bebicara tadi. Mereka sepertinya berasal dari kelasku. Lihat saja kartu pengenal mereka.
Berwarna sama seperti yang tergantung di depan dadaku.
Part 3 seto menghentikan serangan mengacak-acak rambutku. "Ada apa?" tanyanya. Gayanya jadi
berubah 100 derajat. Cool abis. Ada wibawa dalam suaranya.
Siswi di depan menyodorkan dua buku dan penanya pada Seto. "Mau minta tanda tangan,"
ucapnya sopan. Seto menerimanya. Mengamati serius kedua buku itu dan membolak-baliknya. Kedua gadis itu
berharap-harap cemas sambil terus menatap wajah Seto. Mungkin mereka sedang menjerit
dalam hati, " Ganteng banget senior satu ini!" Terlihat sekali dalam eksprese matanya menatap
Seto. Seto segera menandatangani lembar yang tertera namanya. Dikembalikannya buku mereka
ditambah bonus senyuman manis dari sang ketua OSIS. Tanpa menyuruh mereka melakukan hal
konyol apapun. "Makasih senior," ucap kedua gadis itu senang lalu berjalan mencari tanda tangan lainnya.
Keduanya bercakap-cakap. Samar, pembicaraan mereka tertangkap oleh telingaku.
"Itu toh ketua OSIS kita?", ucap seorang gadis berkucir dua yang tadi ngumpet di belakang
temannya. "ganteng banget!" sambungnya kemudian tanpa perlu mendapat jawaban dari temannya.
Si kacamata menoleh sejenak ke belakang. Mengamati Seto sekilas. "iya. Cakep abis! Baik lagi.
Jadi cintrong gua," jawab si kacamata.
Si kuncir mengangguk, "Tapi siapa sih cewek yang duduk disebelahnya?" Si kuncir itu bertanya
lagi. "Ceweknya?" tebaknya, asal.
Si kacamata menoleh lagi. Kali ini perhatiannya ditujukan padaku. Si kuncir jadi melakukan hal
yang sama. "Nggak tau. Tapi kayaknya itu Neska dari kelas kita deh. "Si kacamata menjawab.
Si kuncir kembali menoleh. Kali ini memicingkan matanya. Menatapku. " Neska yang duduk di
sebelah si cakep, Josh?" tanya si kuncir.
Si kacamata mengangguk. "Ngapain Neska di sana?" tanya si kuncir lagi.
Si kacamata mengendikkan bahu. " Mana gua tahu."
hanya itu batas percakapan yang sampai pada pendengaranku. Karena sesudah itu mereka
berjalan menjauh dalam diam. Hhhh... Pantes aku nggak dengar apa-apa lagi.
Perhatianku beralih pada Seto dengan tatapan nggak percaya. Ya harus ku akui kalau Seto itu
cakep. Aku saja nggak menyangka Seto bisa berubah seganteng ini. Tapi sikapnya tadi... Haha..
beda banget dengan Seto yang biasa ku kenal.
"napa lo, Nes" Kesurupan ya" Setan yang tadi nempel di badan gue, sudah pindah ke badan lo
ya?" tanya Seto yang baru sadar kalau aku perhatikan.
"Aneh!" Cuma itu kata yang terucap dari mulutku.
Seto mengernyitkan dahi. "Aneh?" tanya Seto bingung. "Apanya yang aneh?"
"What that my Seto?" Aku menahan tawa yang hampir meledak.
"Heh! Emang tadi gue jadi superman?" Seto menaruh jari telunjuknya di keningku lalu
mendorongya perlahan. Aku tidak tahan lagi untuk menahan tawaku. "Bukan superman. Tapi sup campur permen.
Lembek-lembek kayak bebek," ucapku disela tawaku.
"Nggak nyambung deh. Lagian bebek itu nggak lembek, tau!" protes Seto.
"Aniwei, jaim banget lo! Mau jadi adiknya si Baim ya?" sindirku.
"Gue kan ketua OSIS. Harus jaga wibawa dong," sahut Seto sambil mengangkat kerah kemeja
seragamnya. "Gimana" Keren nggak?"
"Keren apanya" Jadi aneh, tau!" protesku. Aku jadi tak bisa menghentikan tawaku. Norak abis,
ikh. "Itu namanya dewasa, tau!" sahut Seto dengan mengikuti intonasiku.
Aku menyipitkan mata. Memperhatikan Seto tajam.
"Seto yang gue kenal sejak ingusan kini sudah dewasa?" tanyaku dengan tampang tidak
percaya. "Iya lah! Masa ingusan terus?" sahutnya. Membuatku tertawa lagi setelah tadi tawaku lumayan
reda. Seto segera menyadari kejanggalan kata-katanya barusan.
"Eh, gue nggak pernah ingusan ya! Kecuali kalo lagi pilek," ralatnya kemudian.
"Gini nih namanya dewasa?" sindirku. "Orang dewasa itu nggak perlu ngaku-ngaku dirinya
dewasa tau. Dewasa itu cuma butuh pertanggungjawaban," ucapku bijak. Wah... Nggak nyangka
juga. Neska yang childish kini bisa berkata seperti ini.
Seto kepalaku. "Sok dewasa lo," protes Seto.
"Lo sendiri yang bilang gue dewasa. Gue nggak pernah ngaku-ngaku kok. Eh, berarti, gue sudah
dewasa don?" Aku kembali tertawa terkekeh.
"Huh!" Seto bangkit berdiri. "Payah. Ngomong sama orang sableng kayak lo. Nggak bakalan
pernah menang." Seto mengacak-acak rambutku.
Aku tertawa puas demi melihat Seto kalah kata didepanku. "Mau kemana lo?" tanyaku saat Seto
kabur merampas kantong Taro yang masih tersisa sedikit.
Seto menoleh sejenak dan mencibirkan bibirnya.
" Mau menjauh dari elo," seru Seto kemudian.
Masa orientasi sudah selesai. Aku mulai sibuk dengan kegiatan baru yang sebenarnya tidak ingin
aku lakoni. Sekretaris kelas. Dan ketua kelasnya... Manusia nggak punya otak.
Sejak kejadian saling memperlakukan waktu perkenalan dulu, namaku dan Josh jadi nama yang
paling diingat oleh warga 1A. Hampir seluruh cowok memberi vote-nya untukku, termasuk Josh.
Sedangkan seluruh cewek di kelas memilih Josh termasuk aku.
Awalnya, aku tidak ingin memilih Josh. Lebih baik aku memilih Rio si cupu yang duduk di pojokan
itu daripada memilih pria sengak-sok-hebat-tanpa-naluri-lelaki yang duduk disampingku ini.
Walau konsekuensinya, aku bakalan dikira naksir si cupu itu. Namun, berhubung hanya ada dua
nama calon ketua kelas, aku terpaksa memilihnya. Ya, seenggaknya aku bakalan bebas dari
tugas sebagai ketua kelas. Terserah dia nanti mau milih siapa sebagai sekretaris dan bendahara
kela. Ugh, bagai menelan buah simalakama. Tersedak lagi. Apalagi saat Josh memilihku jadi
sekretarisnya. Dan ternyata... Josh itu orangya tega. Seluruh perangkat kelas diserahkan semua
pengaturannya kepadaku. Sementara Josh hanya bertugas menyiapkan segala yang kuperlukan.
"Tugas sekretaris kan cuma nulis. Masa itu juga diserahkan ke gue?" Alasan Josh tadi sebelum
dia meninggalkanku sendiri di kelas.
Alhasil, semua daftar menjengkelkan ini harus segera kuselesaikan sendirian. Makanya, dengan
sangat terpaksa, aku bertapa di kelas walau bel pulang telah berbunyi.
Part 4 "Darr!!" Aku tersentak. Buku absen yang tadi kutulis kini terukir satu goretan panjang. Aku menoleh ke
belakang. Seto sedang tertawa terkekeh. Jarinya membentuk 'V'.
"Ngapain lo ke kelas gue?" protesku kesal. Tadi aku sempat SMS ke Seto agar pulang duluan
tanpa menungguku. Palingan dia datang mentertawaiku.
"Mau balik nggak, Non Neska?" Seto balik bertanya. "Dari tadi gue tunggu di parkiran, lo malah
asyik nongkrong disini." Seto duduk di kursi sebelahku. Memandangiku sedang melakukan ritual
yang paling aku nggak suka. Menulis.
Huff.. Bukan mauku kalau aku masih memaku diri pada kursi menyebalkan ini. Namun, aku lagi
malas menanggapi ucapan Seto. Lebih baik, aku menyelesaikan kegiatanku. Lebih cepat, lebih
baik. Aku paling benci menunda-nunda pekerjaan.
"Lagi ngapain?" tanya Seto lagi.
"Lo nggak liat?" Aku menunjuk tumpukan buku yang siap diisi bergiliran dengan sudut mataku.
Dasar manusia paling reseh! Sudah tahu lagi sibuk nulis. Pake nanya lagi.
"Lo jadi sekretaris?" tanya Seto menahan tawa. Jelas kalau sebentar lagi tawa terkekeh jelek
Seto akan meledak. Hitung saja sampai lima. "Adik gue yang pemalas kayak gini bisa jadi
sekretaris" Catetan sendiri aja malas ditulis. Sekarang lo..." Seto tertawa terkekeh. Tuh kan! Aku
paling benci tawa jelek itu.
Aku mencoba menabahkan diri dari segenap cobaan ini. Aku mengambil tip-ex dari kotak pensil
Elmo merahku. Kuhapus coretan panjang hasil karya keterkejutan tadi. Lalu kembali
menyelesaikannya. Tawa jelek itu mereda dengan sendirinya. Seto masih duduk dan memandangi kelasku. Tapi, it's
better lah! Berarti Seto yang mengantarku pulang, aku tidak harus menunggu angkot berlamalama.
"Bawa pulang aja," saran Seto. Mungkin karena dia sudah bosan menungguku.
Aku kali ini menatap Seto. "Emang boleh?" tanyaku lugu.
"Tentu saja boleh," jawab Seto. "Emangnya lo mau begadang disini?"
"Ngobrol dong dari tadi?" tanyaku kesal. Seto ini kalo ngasih tahu, pasti telat. Aku menutup buku
absen. Memasukkan segala peralatan menulisku ke dalam kotak pensil Elmo merahku dan
menyimpannya rapi ke dalam tas. Aku melirik buku-buku yang menumpuk diatas meja. Beratnya
pasti setara dengan dua kamus kedokteran.
Sambil mengetukkan jari di depan bibir tipisku, aku melirik Seto yang sedang asyik bersiul sambil
memukul meja. Satu ide muncul di benakku. Segera aku merapikan buku-buku menyebalkan ini
menjadi satu tumpukan, tumpukan buku itu kuangkat lalu kupindahtangankan ke tangan Seto
plus senyumku yang paling manis.
"Ngerepotin elo, Set!" ucapku santai lalu berjalan keluar. Sedikit berlari, meninggalkan Seto yang
menggerutu tidak jelas. "Dasar sepupu yang merepotkan!" gerutu Seto.
BRAKK?" Dimulut pintu yang kecil nan mungil itu, aku menabrak seseorang. Sialnya lagi, dua gelas plastik
yang berisi jus jeruk yang dibawanya jatuh. Seluruh airnya tumpah menggenangi... ;Oh, no.
Seragam baruku. Nih orang jalan nggk pake mata, apa. Tapi sebenarnya aku juga sih yang salah. Jalan nggak liatliat. "Sori," kataku pada orang yang kutabrak. Perlahan, aku mengangkat wajahku. Setelah aku
tau siapa yang kutabrak, aku jadi menyesal mengucap sepotong kata sori tadi.
Josh berdiri tepat didepanku. Kemudian dia membuka jaket hitam yang dipakainya. "Jus tadi
sebenernya buat lo," ucap Josh sambil menyampirkan jaket hitamnya ke bahuku lalu
menghambur pergi. Tanpa berbicara apapun lagi.
Huh! Emangnya dengan segelas jus jeruk bisa mendinginkan perasaan kesalku. Mana
ditumpahin ke seragam baruku lagi. Josh benar-benar menyebalkan.
"Siapa tuh!" tanya Seto sambil membawa setumpuk buku ditangannya.
"Manusia nggak punya otak," jawabku refleks.
"Akhirnya..." Aku bisa bernafas lega. Seluruh daftar tugas memuakan ini tinggal menunggu
diprint. "Setan, tolong tungguin," kataku pada Seto yang sedang duduk membaca majalah
komputer disofa kamarku. Seto berjalan menghampiri kursiku. "Sialan! Lo harusnya panggil gue kakak, tau!" ucap Seto
sambil menggulung majalah. Memukulkanya perlahan dikepalaku. Sesaat kemudian,
dilemparkannya majalah itu ke antara tumpukan majalah di keranjang majalah.
"Gue nggak pinjemin komputer," ancamku. Komputer Seto kan lagi rusak dan sedang direparasi.
Makanya Seto kesal karena aku lama banget memakai komputer.
"Gue nggak bakal tungguin tugas-tugas elo di-print." Seto balas mengancam. Jitu juga
ancamannya kali ini. Seto kan tau sejak pulang sekolah aku belum makan. Dan sesegera
mungkin, aku memerlukan diri mencari pengganjal perut sambil menunggu Om Tommy pulang
kantor dan menyantap makan malam bersama.
Aku melengos kesal. "Awas kalau kurang. Gue keluar sebentar." Aku segera berbalik dari kursi
kerjaku ke arah pintu. "Mau kemana ?" tanya Seto.
"Ke teras, cari angin," jawabku kesal. Sudah tau mau cari makan, masih saja nanya.
Aku mencari-cari makanan di kulkas. Hanya ada apel dan jeruk. Ini mah nggak cukup
mendiamkan cacing-cacing yang sedang demo di perutku. Sisanya sayuran hijau dan daging
mentah yang siap menunggu untuk dimasak. Tante rika sepertinya belum pulang dari rumah
temannya. Biasa, sibuk arisan-hobi yang paling disukainya.
Aku beralih pada lemari kering. Berharap masih ada sisa brownies yang aku simpan kemarin.
Kosong! Hu-uh! Pasti Seto yang ngabisin. Hanya ada tersimpan roti cokelat yang aku nggak
suka. Tapi, apa boleh buat! Roti kan mengandung karbohidrat. Sama seperti nasi. Jadi,
setidaknya roti ini bisa menggantikan makan siangku yang gagal.
Aku berjalan menuju teras. Memilih untuk menghabiskan roti cokelat itu sambil menikmati sore
Bandung. Udara disini terasa sejuk. Dari sini masih terlihat burung-burung terbang beriringan.
Bersiap kembali ke sarang. Matahari memerah turun ke peraduannya. Cuaca sore yang cerah
tanpa awan mendung karena polusi kendaraan. Hemm... Satu Pemandangan yang mungkin tidak
bisa ku temukan di Jakarta.
Akh, Jakarta. Aku jadi merindukan kotaku itu. Merindukkan rumah besarku yang selalu kosong.
Seolah kehilangan sentuhan hangat pemiliknya, kecuali aku dan Mbok Nia.
Papa Tian dan Mama Desty saat ini pasti sedang menghadiri rapat atau pesta. Atau, Papa Tian
masih sibuk dikantor dan Mama Desty sibuk mendesain baju dibutik. Sudah lama mereka tidak
meneleponku. Apa mereka kini sudah lupa kalau mereka masih mempunyai seorang anak yang
masih butuh kasih sayang dan belaian lembut mereka. Daripada mereka selalu menjamah
kesibukan mereka dengan mesra.
Aku juga merindukan SMP Pelita. Teman-teman gengku mungkin sudah dapat teman baru di
SMA Pelita. SMA borjuis tujuan kami bersama dulu. Mungkin mereka sudah menambah angota
geng yang para anggota lamanya kini sudah berpencar. Atau mereka membuat geng-geng baru.
Sudah lama aku tidak menelepon salah satu dari mereka. Apa mereka lupa dengan motto "All for
one, one for all." Sesuatu yang kami anggap sebagai sesuatu yang tidak terlupakan.
Akh! Ternyata ada banyak hal yang bisa diubah oleh Sang Waktu.
Dan aku kembali merindukan seorang "dia" yang seharusnya tidak kurindukan. Pria yang
menyebalkan-pengecut-dan-jahat yang pernah aku temui. Sekaligus paling kubenci karena
sampai dia men-jahat-iku pun, aku tidak bisa membencinya. Aku malah benci pada diriku yang
saat ini-dengan bodohnya-masih mengingatnya.
Jo, nama pria itu. Sesosok hebat yang pernah mengisi hari-hari sepiku. Sahabat, kakak sekaligus
cinta pertama. Sementara Seto cuma menganggapnya sebatas cinta monyetku. Namun, jika Jo
itu sebatas cinta monyet, mengapa tidak pernah sedetik pun, Jo hilang dari ingatanku. Padahal
aku pelupa kelas berat. Jo... Entah dimana pria itu kini. Aku tidak pernah mendapat beritanya. Kabar terakhir dari Nana,
dia pernah bertemu dengan Jo di Jakarta. Apa Jo nggak jadi kuliah di Aussie, seperti alasannya
memilih putus denganku. Alasan yang sebenarnya sungguh tidak bisa aku terima. Tapi, tetap
saja aku harus menghargai keputusan Jo.
Cinta adalah kesepakatan antara dua orang. Dimana saat satu pihak sudah memutuskan
melepaskan ikatannya, tentu saja ikatan lain otomatis turut terlepas. Dan tidak bisa diikat lagi
sebelum ada ikatan lain yang mengulurkan untuk diikat.
Part 5 Honda Jazz biru terhenti tepat didepan teras rumah. Membuyarkan rindu dalam khayalku. Dan
aku terkesiap saat melihat siapa yang turun dari mobil itu. Pria itu berjalan melewati pagar
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setinggi anak umur tujuh tahun yang sedang terbuka lebar.
"Josh"!" seruku nggak percaya.
"Gue mau ngajak elo pergi, Nes," ucapnya tanpa basa-basi.
Aku mengernyitkan dahi, heran. "Kemana?" tanyaku heran. Aku harus tahu tujuan Josh. Aku kan
belum mengenal seluk beluk kota ini. Kalau Josh membawaku ke suatu tempat dan berbuat hal
aneh, gimana" Apalagi ini kan malam minggu. Apa Josh tidak pergi dengan ceweknya.
"Beli perangkat kelas," jawab Josh singkat.
Aku mengangkat sebelah alisku. Malam-malam begini, Josh datang ke rumahku hanya untuk
mengajakku pergi beli perangkat kelas. Sedikit tidak bisa aku percaya. "Nggak bisa besok?"
tanyaku lagi. "Besok gue ada urusan di Jakarta?" jawab Josh.
Aku menimbang keputusanku. Sebenarnya aku lagi malas keluar. Agak lelah karena tugas dari
cowok menyebalkan ini seabrek-abrek banyaknya. Apalagi melihat langit mulai gelap dan perut
yang hanya di ganjal roti cokelat sejak pagi.
"Okelah!" jawabku setengah enggan.
*** "Mau kemana?" tanya Seto yang bingung karena kuusir paksa dari kamarku.
Aku menjawab pertanyaan itu dengan pintu ditutup dan di kunci dari dalam. Aku melanjutkan
tujuan utamaku ke kamar. Berganti pakaian. Bagusnya pake baju apa ya" Aku mengetukngetukkan jemari didagu, gaya khas seorang Neska pas lagi bingung. Tadi Josh pake kaos biru
dan sepan jins gelap. Kalau gitu... Hm.. Sabrina putih dan sepan jins. Aku mematut diri di cermin.
Oke juga. Tinggal memoles bedak dan lip gloss. Duh... Kok aku jadi mikirin penampilan sih. Ini
kan hanya menemani Josh membeli perangkat kelas doang.
It's not a date, Nes. Aku meraih tas putih mungil yang akan kubawa untuk menemaniku nanti. Kuedarkan pandangan
ke sekeliling. Mencari-cari sesuatu yang harus aku kembalikan pada Josh. Apa ya... Layar
monitor masih menyala. Windows word menampilkan ketikan Seto yang masih belum selesai.
Baru dimulai tepatnya. Hasil print tertumpuk rapi didekatnya.
Ah, itu. Kertas-kertas menyebalkan itu. Lebih baik aku mengembalikannya sekarang daripada
aku lupa bawa Senin nati. Sementara, jaket Josh yang tadi dia pinjamkan masih basah karena
baru dicuci. Jadi, senin nati baru bisa aku kembalikan. Dengan catatan: kalau aku nggak lupa.
Diruang tamu, Josh sedang mengobrol dengan Seto dan Tante Rika yang baru pulang arisan.
Entah apa yang mereka bicarakan. Aku segera menghambur diantara mereka.
"Tante, Neska pergi dulu ya," pamitku.
"Nggak makan dulu, Nes" Temannya diajak juga?" Tante rika menawarkan. "Tante sudah beli
sayur jadi nih." Duh. Tante RikaKu yang baik hati. Tante kan belum kenal Josh. Ngapain juga
pake repot-repot mengajaknya makan malam.
Aku menggeleng." Nanti aja deh tante. Om Tommy kan juga belum pulang. Neska pergi dulu.
Nanti kemaleman lagi," tolakku.
"Ya udah. Hati-hati ya," ucap Tante Rika.
"Beres, Tante." jawabku sambil mencium pipi Tante Rika. Dan Seto yang meminta jatah ku beri
sentuhan kelima jariku lembut dipipinya.
Josh turut berpamitan dengan sopan.
"Kalau Neska belum pulang, Om dan Tante makan saja duluan. Ntar Neska bisa makan sendiri,"
ucapku sebelum mengikuti langkah Josh ke Honda Jazz.
*** Aku mengikuti Josh melangkah masuk ke dalam Honda Jazz birunya. Tanpa banyak suara, Josh
segera menstarter mesin mobilnya. Aku menyodorkan kertas yang ku pegang sebelum mobil
berjalan. "Tugas tadi," jelasku.
Josh menaruhnya di jok belakang. Kemudian menjalankan Honda Jazznya menjauhi kompleks
rumahku. Dalam keheningan perjalanan, aku mengamati sekeliling Honda Jazz. Mobil ini sangat sepi tanpa
ornamen yang menghiasinya. Tidak seperti sedan hitam sport Jo yang penuh mainan-mainan
mungil yang bergoyang-goyang diatas dashboard. Dari ornamen Doraemon sampai dengan
Naruto berjajar di meja dashboard.
Ugh! Stop it. Aku nggak boleh mikirin dia lagi.
"Lo belum makan?" tanya Josh memecah keheningan yang sedari tadi meraja.
Aku menggeleng." Nanti habis pulang," sahutku singkat.
"Nanti kalau elo kelaperan..."
"I can handle it by myself," potongku. Aku benci terlalu diperhatikan seperti aku tidak bisa
mengurus diri sendiri. Apalagi oleh seorang asing yang mengakrabkan diri.
*** "Mana daftar yang mau dibeli?" tanyaku saat mobil Josh sudah bertengger dengan manis di
salah satu sudut parkiran mal.
Josh merogoh saku jaketnya. Seketika aku meraih mimik cemas diwajahnya. Ugh! Pertanda
buruk. "Gawat! Ketinggalan di jaket tadi siang," kata Josh sesuai dugaanku.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kertas kecil itu kini pasti sudah hancur akibat air dan
gilasan mesin cuci. Salahku juga sih karena aku lupa mengecek isi saku jaket sebelum
dimasukkan ke mesin cuci. Tapi aku sudah bisa memaklumi 'lupa'-ku. Nggak aneh kalau dalam
sehari ada yang aku nggak lupa.
Satu persatu barang yang kukira perlu segera dipilih dengan cepat. Tidak ingin lebih lama berada
di dalam mal yang dingin seperti ini. Perutku jadi tambah laper dan cacing di perutku sudah
mengganti demonya menjadi orasi meminta makanan.
Acara belanja kali ini diperlambat dengan debat di toko D'Florist. Apalagi kalau bukan karena
bunga yang akan menjadi penghias meja guru di kelasku.
"Mawar putih!" Aku tetap bersikukuh dengan bunga kesukaanku.
"Mawar putih itu bunga asli. Mahal lagi!" debat Josh. "Apa lo mau gonta-ganti airnya setiap pagi?"
Josh memberi alasan yang mendukung argumennya.
Huff... Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Konon, ini adalah cara
kuno paling ampuh meredakan emosi. Tapi nyatanya, "Terserah elo deh!" Aku tetap kesal. Lalu
menghambur keluar dan menunggu Josh didepan etalase.
Aku bertambah kesal saat melihat Josh keluar dengan seiikat krisan putih. Bunga plastik itu
menyembul dari satu kantong karton D'Florist sehingga terlihat mencolok.
Aku menghambur ke parkiran. Berjalan cepat. Tanpa mau menunggu Josh yang jauh tertinggal
dibelakang. Tanpa mau sibuk memikirkan barang apalagi yang diperlukan kelas anehku. Apalagi
jarum jam kini sudah menujukkan pukul tujuh lewat. Semua pasti sudah menyantap makan
malam. Berarti aku harus makan sendirian gara-gara 'manusia nggak punya otak'.
Part 6 Perjalanan kembali hening. Kali ini, aku lagi mogok ngomong. Aku kecewa karena bukan mawar
putih yang jadi penghias meja guru kelasku. Kalau mawar putih kan, aku bisa memandanginya
setiap hari. Mawar putih yang selalu mengingatkanku pada Jo yang bila ditambah janji-janjinya sama dengan
rayuan pulau kelapa. Akh, sepertinya ada untungnya Josh tidak membeli mawar putih. Aku kan lagi berusaha
melupakan Jo. Kok malahan jadi ingin mengingatnya. Mengingat seluruh kenangan manis antara
aku dan dia. Aku memukul pelan kepalaku. Bodoh! Makiku pada diri sendiri, dalam hati tentunya.
Josh menoleh. "Kenapa lo?" tanya Josh heran.
"Ah, nggak pa-pa," jawabku singkat. Ah, aku juga lupa kalau aku sedang mogok ngomong
didepan Josh. "Kalo gitu jangan cemberut terus. Jelek tau!" ejek Josh.
Aku hanya diam dengan menambah kadar cemberutku. Menjengkelkan. Kenapa sih cowok tuh
nggak pernah tau kalo cowok itu perlu dipuji kalo lagi kesel. Bukannya diejek seperti ini. Eh, tapi
kayaknya cuma Josh deh yang seperti ini. Dia kan nggak punya naluri lelaki.
"Nanti gue mesti bilang apa sama Tante Rika kalau nganter keponakannya dalam kondisi
cemberut seperti ini," ucapnya lagi.
Nih orang reseh juga ya! "Josh! Just shut up!" pintaku tegas.
Josh menghela napas panjang. Sesaat kemudian, Josh tidak lagi angkat suara. Sebagai
gantinya, Josh membelokkan kemudi ke sisi jalan yang sepi dari lintas kendaraan. Lalu parkir di
satu tepian sisinya. "Ngapain berhenti disini?" tanyaku antara bingung dan takut.
Josh diam dan mengambil dua kantong kecil di jok belakang. Sejenak tubuhnya begitu dekat
denganku. Sampai-sampai aku bisa mencium wangi CK summer dari bajunya. Setelah dia duduk
kembali ke kursinya, Josh menyodorkan satu bungkusan padaku dan memangku bungkusan lain.
"Apa nih?" tanyaku heran.
"Buat lo. Buka aja!" kata Josh.
Aku mengambilnya dengan heran. Didalamnya Chicken fillet kesukaanku dan gelas plastik
tersimpan rapi. "Ngapain lo kasih gue makanan?" tanyaku heran.
Josh mulai membuka bungkusan makanannya sendiri. Lalu mengambil cheese burgernya."Temani gue makan malam," jawab Josh singkat.
Aku menatap bungkusan itu. Erm... Nggak pa-pa deh. Hitung-hitung berbaik hati dengan teman
baru. Perlahan aku menyeruput minuman dalam gelas plastikku.
"Erm, ice coffe latte," seruku senang.
Josh tertawa pelan. Mungkin reaksiku ini berlebihan. Tapi aku sangat kangen dengan minuman
kesukaanku ini. Sudah lama aku tidak menikmatinya sejak tinggal di Bandung. Terakhir kali, aku
menikmatinya saat makan malam bersama dengan teman-temanku di Jakarta.
Sebelum mengunyah chicken fillet itu, aku menatap Josh yang sudah terlebih dahulu mengunyah
cheese burger-nya. "Makasih ya, Josh," ucapku.
"Sama-sama," katanya setelah mengunyah habis cheese burger dimulutnya.
"Kenapa lo nggak makan dirumah?" tanyaku hati-hati. Atau dengan cewek lo mungkin.
Pertanyaan satu itu ku telan. Itu sedikit pribadi.
Josh menghela napas panjang. "Nggak ada yang nemenin."
"Nggak ada?" Aku mencerna kata-kata Josh barusan. Sama seperti nasibku dulu di Jakarta.
Mungkin orangtuanya sibuk bekerja atau sudah cerai. Entahlah. Aku malas bertanya. Lagipula
aku tidak dekat denganya. Dan tidak ingin terlalu dekat.
Josh mengangguk. "Bokap nyokap gue di Jakarta."
"Kok lo tinggal di Bandung?" tanyaku lagi. Pertanyan ini tidak terlalu pribadi kan" Kalau dijawab
syukur, nggak dijawab juga nggak pa-pa. Bahkan jika Josh ingin menceritakan sedikit
masalahnya, aku tidak keberatan mendengarkan.
Josh menghela napas sejenak. "Kenapa lo ingin tahu banget?" tanyanya sambil menatapku.
"Sekedar ngisi pembicaraan," jawabku singkat.
Josh hanya ber ohh ria. Dia kembali sibuk mengunyah makanannya. "Karena gue suka di sini,"
jawab Josh habis mengunyah cheese burgernya.
Sepertinya Josh mempunyai masalah pribadi. Masalah yang tentu saja tidak bisa diberi
tahukannya padaku yang baru dikenalnya. Aku mencoba mengerti. Aku kembali diam. Menikmati
keheningan yang lagi-lagi meraja.
*** Aku baru saja hendak memejamkan mata saat adegan di teras tadi kembali terlintas di pelupuk
mataku. Hanya sebentar, namun membuatku bisa tersenyum sebelum tidur...
"Buat lo," kata Josh tanpa ada nada lembutnya sama sekali. Tapi benda di tangannya, seolah
mewakili rasa romantisnya. Josh mengulurkan setangkai mawar putih padaku. Kejadian yang
tidak aku duga sebelumnya.
Aku menyentuh tangkai mawar putih itu dengan ujung jariku. Meraihnya dari pegangan Josh.
Mawar yang indah. Aku tidak tahu apa maksudnya. Mungkin karena rasa bersalah dengan
sikapnya tadi. Atau entahlah... Aku malas menduganya.
Aku tersenyum tipis sambil berujar," Makasih, Josh!"
Di bawah remang lampu teras, aku bisa menangkap balasan dari senyumanku itu. Josh
tersenyum manis. Menambah elok parasnya.
Mawar putih itu sebenarnya bukanlah bunga kesukaanku. Mawar putih jadi yang istimewa bagiku
karena dulu setiap malam minggu Jo selalu memberiku setangkai mawar putih.
Dan kini setangkai kudapati lagi. Bukan dari Jo. Tetapi dari Josh.
Semua tentang Jo dan mawar putih kini hanya kenangan. Entah itu kenangan manis atau pahit.
Karena terkadang aku bisa menangis sambil tertawa bila mengenang kisah bersama Jo. Atau
malah bisa tertawa hingga menangis karena begitu lucu alasan Jo saat memilih untuk
meninggalkanku. Dan kenangan itu terputar lagi.
"Kenapa sih Jo selalu ngasih Echa mawar putih?" tanyaku pada suatu malam minggu. Echa itu
panggilan sayangku dari Jo.
Jo tersenyum. Memandangiku yang masih menunggu jawabannya. "Mmhh... Rahasia," jawabnya
kemudian. "Gitu ya?" Aku mulai memasang tampang cemberut.
"Sekarang mulai ada rahasia-rahasiaan sama Echa," sambungku masih dengan ekspresi
cemberut. Jo menghampiri duduku. " Duh, ngambek."
"Habisnya Jo nggak mau kasih tau sih," rengekku.
"Mmhh.. Mungkin karena Jo sukanya sama mawar putih," jawab Jo akhirnya. Aku
memandanginya tajam. "Iya. Tapi kenapa Jo lebih suka mawar putih. Bukan mawar merah
misalnya?" tanyaku lagi.
"Mawar putih itu lambang cinta yang tulus," ucap Jo.
Cinta yang tulus" Itukah yang diberikan Jo" Mengapa Jo tega meninggalkanku tepat pada saat
paling sulit di kehidupanku. Saat aku membutuhkan Jo untuk tegar. Mengapa Jo malah
membuatku bertambah kesepian karena perlahan aku kehilangan semua orang yang paling aku
sayangi. Setitik air mata kini bergulir menggenangi wajahku. Air mata itu kuhapus saat kudengar kenop
pintu kamarku berderit. Tanpa menghidupkan lampu, orang itu berjalan menuju meja komputer.
Aku langsung mengenalinya. Siapa lagi kalo bukan Seto, sepupu yang selalu masuk tanpa perlu
mengetuk pintu terlebih dahulu.
Samar kulihat Seto berjalan menghampiri meja komputer. Mengambil laporan yang tertinggal.
Sebelum berbalik, sekilas Seto melihat benda yang tadi tidak dia lihat. Vas bunga yang berdiri
gagah Setangkai... mawar putih.
"Sudah balik, Non?" tanya Seto saat melihatku sedang duduk bersandar diatas ranjang. Hening
tanpa suara. Mengecek indra perasaan bersalahnya.
"Laen kali kalau masuk ngetuk pintu dulu donk!" protesku kesal.
"Sori... Kebiasaan," ucap seto sambil menyentuh tudung lampu tidur di meja samping ranjangku.
Lampu menyala remang. Kemudian Seto duduk ditepian ranjang. Dengan volume suara
mengecil, Seto bertanya ragu, "Erm,,, tadi ada Jo?"
"Jo?" Aku tidak menduga kalau kami akan membahas soal Jo. Seto sendiri bilang kalau kisahku
dan Jo sudah the end. Tidak perlu dibahas lagi. Entah kalau aku nanti bertemu lagi dengan Jo,
apakah kami bisa bersahabat seperti dulu lagi.
"Nggak ada," jawabku atas pertanyaan Seto tadi.
"Mawar..putih.." Tanyany hati-hati.
"Oh... dari Josh," jawabku. Ternyata bukan hanya aku yang mengidentikkan mawar putih itu
dengan Jo. Seto juga berpendapat serupa.
Seto tertawa. "Manusia nggak punya otak tadi?" candanya.
Aku ikut tertawa pelan sambil menganggukkan kepala. Sepertinya julukan itu akan tetap melekat
pada Josh. Seperti Jo dengan mawar putihnya.
Seto mengelus lembut rambutku. "Kayaknya gue datang pada saat yang tepat deh," ucap Seto
dengan pedenya. Aku tersenyum tipis. Seto memang selalu ada saat ada memerlukannya. Selalu mendengar
ceritaku, keluhanku, dan kegembiraanku dengan sabar. Menemaniku dengan setia. Mungkin
telinganya kini sudah terbiasa.
Lucky me! Seto memang kriteria kakak idaman. Dia sangat menyayangiku. Mungkin karena dia
tidak punya saudara. Sama seperti aku. Aku sangat menyayanginya seperti kakak kandungku.
Cewek yang menjadi pacarnya pasti akan sangat beruntung.
Aku menceritakan perjalananku dengan Josh tadi. Termasuk kejadian di teras. Tapi baru
sebentar Seto berbicara, aku mulai ngantuk. Aku benar-benar lelah hari ini.
Zzzz.... Part 7 Aku terpekur di kursiku walaupun bel tanda istirahat sudah lama terdengar. Sambil ngemil
brownies yang aku bawa, aku menatap selembar kertas terhampar diatas meja. Tertulis dengan
cetakan tebal: Pendaftaran Ekstrakulikuler Sekolah.
Siswa kelas 1 di wajibkan untuk memilih salah satu eks skul. Sementara tidak ada satu pun yang
kusuka, seperti berenang dan tenis. Yang ada hanyalah eks skul basket, voli,
majalah,PMR,cheerleaders dan eks skul yang STD.
Hari ini batas akhir pengembalian formulir. Sebelum bel tanda usai pelajaran berbunyi. Namun
sampai detik ini, aku benar-benar tidak tau harus memilih kegiatan pa. Hanya nama kerenku dan
asal kelas anehku yang baru ku isi dalam lembar ini.
Sempat terpikir untuk memilih majalah sekolah. Seperti usul Seto. Namun, mengingat aku kurang
ahli dalam bidang jurnalistik, niat itu segera kubatalkan.
"hai," sapa seorang cewek berkacamata."Lo Neska kan!"
"Yup," jawabku singkat. Aku sama sekali tidak mengenal cewek ini. Mungkin dia teman sekelasku
karena rasanya aku pernah melihatnya. Beginilah resikonya jadi orang ngetop.
Cewek berkacamata itu lalu duduk di kursi Josh, yang pemilik aslinya entah kemana. Cewek
berkuncir kuda yang mengikutinya memilih duduk di kursi depanku. Aku memperhatikan mereka
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rasanya aku pernah memperhatikan mereka. Tapi dimana,
aku lupa. "Elo?" tanyaku kemudian.
"Gue dewi," ucapnya. "Dan ini Feyla." Dia menunjuk cewek berkuncir di depan kami. Dia hanya
tersenyum tipis. Aku membalas senyuman itu dengah setengah enggan. Kusodorkan browniesku pada mereka.
Keduanya menggeleng. Segera kutarik kembali browniesku. Kemudian kembali menatap kertas
yang terbentang diatas meja.
"Bingung milih eks skul?" tanya Fey.
Aku mengangguk lemah. "Eh, Joshua milih eks skul apa?" tanya Dewi.
Aku mengedikkan bahu. "Mana gue tau," jawabku kesal. Lagian ngapain juga pake nanya-nanya
cowok itu sama gue. Emang aku siapanya Josh.
"Tanya dong, lo kan temen sebangkunya," desak Fey seolah tau apa yang ingin aku tanyakan
padanya. "Kenapa nggak tanya sendiri ke orangnya?" tanyaku bingung.
Feyla menghela napas sejenak. "Kalau gue yang nanya pasti nggak di jawab," jawab Fey.
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Didukung anggukan kepala Dewi.
"So, what's wrong with me?" Aku tambah bingung. Jadi dia nyuruh aku nanya biar kalau nggak
dijawab aku yang malu. Whatta hell!
"Kalau lo nanya mungkin, Joshua bakalan jawab," jawab Dewi.
Fey mengangguk."Apa lo nggak ngerasa Joshua agak beda sama elo?" tanyanya dengan
menekankan kata 'agak beda' itu dengan terlalu tajam.
Aku mencoba untuk tidak mengartikannya terlalu jauh. Bersikap santai dan setenang mungkin.
"Agak beda gimana?" tanyaku heran.
Keduanya terdiam. Namun pandangan mata mereka mewakili jawaban yang terucap. Aku
terperangah. Mereka membenarkan apa yang kuduga tadi.
Nggak mungkin. Aku baru mengenal Josh nggak lebih dari seminggu. Itu pun jarang-jarang aku
mengobrol dengannya selain hal-hal yang memang perlu. Nggak mungkin dia menyukaiku yang
selalu membuatnya kesal. "Jangan-jangan Josh.." Fey membuat intonasi yang membuatku penasaran.,"suka sama elo,"
sambungnya. Seperti persis apa yang aku duga.
"Hah" Manusia nggak punya otak itu?" dengusku kesal.
"Manusia nggak punya otak?" seru Fey dan Dewi hampir bersamaan.
"Kenapa sih lo bilang dia manusia nggak punya otak, Nes?" tanya Fey heran. Lebih terkesan
tidak setuju. "Iya." Dewi mendukung argumen Fey.
"Lo seharusnya bangga. Josh itu kan salah satu spesies langka yang harus dilestarikan,"
sambung Dewi lagi. "Bangga" Dari sudut mana?" Aku menahan tawa. Kasihan juga Josh disamain dengan spesies
langka sejenis anoa dan burung kasuari. Sekalian ja satu spesies sama orang utan yang semakin
langka di Sumatera. Fey menepuk pelan pundakku. "Coba deh lo perhatiin lagi," katanya dengan nada membujuk.
Sedikit menggurui. "Josh itu cakep,cool,keren,funky. Whoa!" Dewi membanggakan. Terkesan sangat berlebihan
dengan kata-kata yang berlebihan mengandung maksud sama.
"Lagian denger-denger dia tajir banget loh, Nes." Feyla menambahkan.
"Kalo dia tajir, so what?" tanyaku sedikit tersinggung. Emang aku cewek matre.
"Bukannya mau matre, Nes. Tapi kan kita sebagai cewek juga perlu memikirkan masa depan
kita. Mau dikasih makan apa anak kita kalau kita milih suami pas-pasan. Kita perlu jaminan yang
pasti." ucap Dewi. Feyla mengangguk-angguk setuju."Anyway, mungkin Joshua bisa menyamakan pamor Seto jadi
cowok idola," dukung Fey.
"Seto?" Aku terkejut untuk yang kedua kalinya. Nggak nyangka sepupu sleborku pun ikut
terbawa-bawa. "Iya. Ketua OSIS itu lho." Fey menyakinkan dugaanku.
"Tapi menurut gua, Seto itu te-o-pe abis. Masih unrejectable," bantah Dewi.
"Gimana sih lo"! Tadi dukung Joshua, sekarang malah ngedukung Seto. Nggak konsisten
banget," protes Fey, tidak setuju.
"Biarin," sahut Dewi nggak mau kalah. "Dua-duanya kan sama-sama keren."
Aku tersenyum tipis menanggapi obrolan dua teman baruku. Mereka memang tidak membantu
banyak. Tapi setidaknya mereka bisa menjadi intermezo. Intermezo yang jadi beban pikiranku
dengan percakapan yang tidak masuk akal.
"Lo pilih eks skul apa, Fey?" tanyaku mencoba mengembalikan topik yang sudah melenceng jauh
dari topik utama. "Gua ikut cheers", jawab Fey yang bodi mungilnya itu memang mendukung minatnya mengikuti
eks skul cheers. "Kalau elu, Dew?" interogasiku lagi.
"Gua sih pengennya masuk majalah sekolah. Katanya senior disana cakep abis," ucap Dewi
berbinar. "Tapi ada seleksi. Bakal banyak yang tereliminasi."
Bel tanda usai istirahat berbunyi. Memaksaku segera membuat keputusan. Aku menatap lagi
kertas di depanku. Aku akhirnya memutuskan. Keputusan itu yang kutuangkan dalam goretan
tinta dikertas formulir pendaftaran eks kul.
"Ntar sama-sama Dew," ucapku dan dijawab lambang ok dari tangan Dewi.
*** Ruang perpustakaan penuh sesak dengan peminat eks skul majalah sekolah. Ruangan yang
seharusnya hanya bisa menampung tiga puluh orang ini, kali ini menampung lebih dari lima puluh
orang. Membuat semua berdesakan dan udara terasa panas karena semua orang berebutan
mendapat oksigen. Kebanyakan dari mereka adalah para siswi. Hanya sebagian kecil cowok berminat mengikuti
ekskul ini. Pun semuanya berkacamata. Style cowok kutu buku abis. Mungkin mereka hanya
berminat dalam bagian design layout majalah sekolah.
Saking penuhnya, sebagian tidak mendapatkan kursi untuk duduk. Harus rela berdesakan
dibelakang kursi yang sudah penuh.
Salah dua diantara mereka adalah aku dan Dewi.
"Lo sih, Dew! Pake acara ke WC segala," protesku.
Kakiku mulai pegal karena berdiri sambil mendengarkan Pak Bambang, guru yang sedang
ceramah didepan ruangan. "Sori deh!" sahut Dewi dengan nada menyesal.
Aku hanya mendengus kesal. Kemudian kembali mencoba memfokuskan diri pada sesuatu yang
berbicara di depan. Ternyata masih pengarahan Pak Bambang. Huh, benar-benar bertele-tele.
Dengan kalimat bahasa Indonesia yang super rapi, seakan Pak Bambang berada ditengah kelas
dan mengajar pelajaran bahasa Indonesia baku.
Para siswa sudah banyak yang mengeluh. Mereka sudah menangkap inti dari penjelasan Pak
Bambang, "karena peminatnya cukup banyak, maka diadakan seleksi." Cuma itu. Pake muter ke
cerita perkembangan majalah dan tugas wartawan, itukan nggak penting-penting banget.
Angin AC perpustakaan kini tidak terasakan lagi. Buku kecil ditanganku pun ikut remuk tak
berbentuk. Rencananya sih buku itu kubawa untuk mencatat hal-hal yang penting. Namun, tak
ada yang lebih penting dibanding waktu pengadaan seleksi. Itu pun sudah terhapal saking
seringnya Pak Bambang mengulanginya.
"Lama banget nih guru ngomelnya!" omel Dewi pelan.
"Bangett!" dukungku yang sudah pasrah berdiri sambil berlipat tangan. "Btw, mana sih senior
cakep kata lo itu?" tanyaku mencari bahan pembicaraan agar tidak kebosanan di didalam sini.
Dewi mengalihkan lagi perhatiannya kedepan. Bukan ke Pak Bambang. Tapi orang yang duduk
disebelahnya. "Ituu," ucap Dewi setengah berbisik.
"Yang mana?" tanyaku. Aku ikut melongo memperhatikan beberapa senior yang berdiri di
belakang. Sibuk ngobrol sendiri.
"Yang duduk di sebelah Pak Bambang." Dewi kini sedang sibuk mengirim senyum pada pria
yang dia maksud karena pria itu juga sedang tersenyum ke arahnya.
"Yang mana?" Aku bertanya lagi. Tak ada cowok yang bisa dikatakan cakep. Di samping Pak
Bambang ada enam siswa. Tiga di kanan: cowok culun berkacamata. Cewek manis berponi.
Seto. Tiga kiri: cewek cantik ala model. Cowok peraturan sekolah banget. Cowok yang tidak bisa
dikatakan cakep atau enggak. STD lah istilahnya.
Dewi menghela napas panjang. "Yan g persis disebelah Pak Bambang," Dewi memberi
penekanan dikata persis. Mempersempit kemungkinan jawabannya. "Dia sekarang ngeliatin kita
lagi," sambungnya kemudian.
Kemudian aku mengetahui siapa yang dimaksud Dewi, aku hanya bisa kecewa. Kalau buat
ngeliatin dia sih, nggak perlu repot-repot aku ikut eks skul ini.
"Katanya sih..." Kata-kata standar para bigos dikeluarkan untuk memulai penyebaran gosip. "
Seto itu belum punya pacar," sambung Dewi masih dengan suara setengah berbisik.
Aku tersenyum tipis. Jelas Seto belum punya pacar. Orangya terlalu pemilih sih. Pernah aku
jodohkan dengan beberapa temanku di Jakarta. Tetep aja Seto nggak mau. Entah bagaimana
selera sepupuku satu itu.
"Tapi masa sih! Orang secakep dan sepopuler Seto belum ada gandengan," kata Dewi lagi.
Menyanggah dugaanya sendiri.
Aku mendesah pelan. "Seto emang nggak ada cewek kok," ucapku menyakinkan.
Dewi menatapku. "Darimana lo tau?" tanyanya dengan nada menyelidik.
Aku melirik pada Seto yang kini sedang tertawa melihatku. "Karena gue belum pernah lihat dia
pergi ngajak cewek pas malam minggu," kataku santai.
Dewi kelihatan terkejut. "Emang lo sudah nyelidikin?" tanya Dewi penuh curiga."Gua nggak
nyangka, Nes. Gerak lo lebih cepat dari yang gua kira."
Aku menahan tawa. "Lo dateng aja malem minggu kerumah gue."
Dewi tercekat. "Maksud elo," Volume suara Dewi kemudian meninggi tanpa bisa dicegahnya,
"Tiap malem minggu Seto ngapelin elo?"
Semua pasang mata kini menoleh kearahku dan Dewi. Membuat Pak Bambang ikut
menghentikan ceramahnya. Sedetik kemudian, meledaklah bisik-bisik tetangga sambil menatap
kami tajam. Bahkan anak basket yang sedang mendengar pengarahan di luar perpustakaan pun
ikut tertarik mencari tahu apa yang terjadi di dalam.
Kulihat Seto hanya tertawa. Bahkan segala pertanyaan yang ditujukan teman-temannya hanya
dijawab dalam diam. Sementara aku jangan ditanya lagi. Benar-benar malu. Aku blushing
dengan rona wajah seperti kepiting rebus.
Dengan suara sekeras loudspeaker, aku berucap, "Seto itu sepupu gue. Cuma sepupu." Aku lalu
berjalan keluar. Meninggalkan rapat yang sangat membosankan ini. Aku menyeruak di antara
pemain basket yang menghadang mulut pintu. Menabrak sosok tinggi kurus yang juga
menghadang langkahku. "Sori," ucapku tanpa peduli mengangkat mukaku. Aku terus berjalan. Sejauh mungkin pergi dari
sekolah yang membuat kepalaku pusing sampai mau pecah.
*** Aku mengetuk pintu kamar Seto berkali-kali. Namun masih tak ada jawaban dari dalam. Perlahan
aku meraih kenop pintu itu dan menariknya perlahan.
Seto sedang duduk diatas ranjang. Kertas-kertas bertebaran dimana-mana. Entah karena tidak
menyadari kehadiranku atau sedang marah, Seti terus saja diam. Sibuk mengamati tiap lembar
yang ada di tangannya. "Ehem..." Aku berdehem pelan. Menyuarakan kehadiranku dikamar Seto.
Seto masih diam. "Ehem..." Aku mengulanginya sekali lagi. Lebih keras dari sebelumnya.
Seto akhirnya mengangkat dagu. Membenarkan posisi kacamata bacanya yang sedikit melorot
ke bawah. Menatap asal suara yang diam terpekur di balik pintu kamar yang tertutup. "Elo, Nes."
hanya itu yang diucapkan Seto. Terlalu irit untuk ukuran Seto.
Aku berjalan mendekati satu sisi ranjang Seto.
Mengamati Seto yang masih tenggelam dalam kesibukannya. "Lagi ngapain?" tanyaku.
"Biasa." Seto masih terus sibuk dalam kertas-kertasnya.
Gosh! Seto benar-benar marah. Kebiasaan buruk Seto kalau marah adalah diam. Tanpa mencari
alasan dan membereskannya. Ataupun mau mendengar penjelasan basa-basi. Dan itu yang
paling tidak aku suka. Part 8 "Apa ini?" aku mencoba mengalihkan topik pembicaraannya. Mengambil kertas yang masih ada
dalam jangkauanku. "Laporan orientasi kemaren," jawab Seto dengan dinginnya.
"Oh..." Aku menarik napas panjang. Mengamati mimik serius Seto. Kalau lagi serius, Seto
ternyata cakep cakep juga. Apalagi ditambah dengan kacamata. Tampangnya seperti seorang
jenius muda. Seto merapikan berkasnya. Diam mengamatiku. Sesaat pendangan kami beradu. Membuatku
tidak tau darimana harus membuka mulut.
Perlahan aku mencoba membuka kalimat. "Set, lo marah?" tanyaku hati-hati.
Seto hanya diam. Membalas pertanyaanku itu dengan tampang juteknya.
"Sori deh!" Aku nggak menyangka kalau akibatnya bisa separah ini. "Tapi gue nggak bilang kok
kalau elo pacar gue. Bener!" Aku membentuk huruf 'V' dengan telunjuk dan jari tengahku. "Dewi
cuma salah paham," sambungku.
Seto mengangkat sebelah alis. "Lo ngomong apa sama dia?" tanyanya sinis.
"Gue bilang kalau dia nggak percaya lo belum punya pacar, dia boleh datang ke rumah gue,"
jawabke. Seto masih diam. "Iya. Sori. Seharusnya gue bilang ke rumah ini," koreksiku.
Lama Seto menatap aku. Membuatku merasa bersalah ditatap seperti itu. "Elo mau gue nggak
marah?" tanya Seto dengan mimik serius.
"Ya." Aku mengangguk mantap. "Kalau nggak ada lo, gue ke sekolah sama siapa." Aku mulai
memasang tampang sweet bin polos. Wajah memelas dan penuh harap agar dia tidak marah
lagi, bercampur jadi satu.
"Okke. Gue nggak marah lagi," ucap Seto sambil tersenyum.
"Bener?" aku mencoba memastikan.
Seto menjawabnya dengan senyuman dan anggukan lemah. Aku memeluk Seto saking
senangnya. "Lo memang the best, bro!" seruku.
"Asal!.." Seto menggantung kalimatnya. Aku segera merenggangkan pelukan dan kembali ke
posisi awal. Seto tidak langsung menyambung kalimatnya.
"Asal apa?" tanyaku.
Seto melemparkan tumpukan kertas yang tadi dibacanya padaku. Aku mebolak-balik isinya.
Sepuluh lembar. Penuh dengan perbaikan. Aku masih menatap Seto bingung.
"Tolong ya," ucap Seto sambil mengacak-acak rambutku.
Aku tersentak. "Lo nyuruh gue ngetik sebanyak ini, Set?"
"Gue nggak nyuruh elo kok," protes Seto. "Gue cuma bilang kalo lo mau."
"Tapi..." aku coba menawar.
"Kalo lo nggak mau juga nggak pa-pa." Seto menarik kertas-kertasnya. Namun tertahan oleh
lenganku yang menaruh proposal dibelakang badan.
"Iya deh! Gue kerjain," sahutku malas.
"Gitu dong." Seto tersenyum penuh kemenangan. Sementara aku hanya manyun kesal. "Selamat
mengerjakan my lil sista." Seto mengantarku tepat di depan meja komputer. "Oh, ya. Besok
penyerahannya," warning Seto. Membuatku tambah syok.
*** Gawat! Sudah jam 6 lewat 15 menit. Aku mengucek mataku tiga kali sebelum melihat jam beker
di meja samping ranjang. Di kucekan ketiga, barulah aku yakin kalau aku nggak salah liat.
Alhasil, terjadilah keriuhan kecil di kamarku.
"Woi, ngapain lo?" tanya Seto sambil menggedor pintu kamarku.
Aku buru-buru merapikan ranjang dan menarik handuk. Ketika aku hendak keluar dari kamar...
Bruk!! Aku membentur Seto yang sedang berjalan ke kamarnya.
"Duh. Ngapain lo de depan kamar gue?" Aku mengusap kepalaku.
"Lo belum mandi?" tanya Seto. Dia tampaknya baru keluar dari kamar mandi.
Oh, iya. Aku sampai lupa kalau tujuan utamaku adalah kamar mandi. Aku langsung kabur tanpa
disuruh dua kali. Cepat-cepat mengguyur tubuh dengan cantingan air. Gosok dengan sabun
seadanya. Biar nanti cologne aja dibanyakin.
"Neska, kamu kenapa?" tanya Tante Rika cemas dari bawah.
"Nggak pa-pa," ucapku pelan dan jelas. Aku buru-buru memoles bedak seadanya. Jam
dikamarku sudah lewat pukul setengah tujuh. Bisa-bisa telat nih. Saat memasukan buku ke
dalam tas, aku mendadak teringat sesuatu. Laporan Seto. Belum selesai kuketik. Aku ketiduran.
Double gawat nehh. Duh,, dimana lagi tumpukan kertas menyebalkan itu.
"Nes, buruan!" seru Seto yang seudah invisible di ruang makan.
"Iya..." nggak ada waktu lagi. Aku harus buru-buru turun. Karena menelusuri tangga dengan
cepat, kakiku jadi sedikit keseleo. Aduh! Sial banget hari ini. Aku pamitan pada Om Tommy dan
Tante Rika sambil menyomot roti keju kesukaanku. Tidak ada waktu berleha-leha makan dimeja
makan. Untung ada roti bungkusan.
"Nes, minum dulu." Om Tommy menghentikan kesibukannya membaca koran pagi.
Memperingatkanku yang baru selesai mengikat sepatu. Tante Rika menyodorkan segelas susu
yang memang menjadi jatahku. Keluarga ini perhatian banget. Duh... Jadi terharu.
"Lama banget sih!" keluh Seto.
Aku menundukkan kepala,. Ngomong atau nggak. Aku jadi ragu memberitahu soal laporannya
yang belum selesai. Kan hari ini penyerahannya.
"Kok malah bengong?" Seto menyodorkan satu helm padaku. "Buruan!"
Aku mengambil helm dengan slow motion. "Set.." Aku memulai pembicaraan ini dengan sangat
ragu. Kan Seto nggak nagih. Tapi aku berniat membatalkan niatku untuk menutupinya. Kejujuran
pasti akan lebih dihargai.
"Napa?" tanya Seto ikut-ikutan mendramatisir situasi.
"Anu.. Itu.. Erm..." Pake kata apa yah yang pas" Seto masih diam. Menunggu maksud bahasa
planetku. "Erm.. Soal.. Hm.."
"Lo abis belajar bahasa planet ya. Berhubung lo nggak ngajarin gue, sori, nggak ngerti," kata
Seto sambil mengernyitkan dahiya.
"Soal.. Laporan..." kataku akhirnya.
"Oh.. Sudah beres ko!" ucapnya santai. Dia selalu memasukkan helm yang ku pegang ke
kepalaku. "Buruan, lo ngabisin waktu banget."
Aku segera duduk di jok belakang. Dengan cepat, kami membelah jalanan pagi. Perlahan
menyelinap di antara angkot-angkot hijau yang berhenti semuanya.
Coba pemerintah mengurangi jatah angkot yang berkeliaran. Pasti jalanan akan lebih teratur.
Aku bertanya lagi pada Seto setibanya diparkiran motor. "Beneran sudah selesai?" Kami tiba
pada menit-menit terakhir menjelang bel.
Seto mengangguk."Beres. Bukan kayak elu. Baru dua kerja lembar, sudah ketiduran.
"So, lo masih marah dong sama gue?" tanyaku dengan gaya Dulce Maria.
"Yah..." Seto menggantung kalimatnya lama banget. Membuatku penasaran. Namun, segurat
senyum membuyarkan kecemasanku. "Ya,,, enggaklah," sambung Seto sambil sukses
mengacak rambutku. Aku manyun kesal lalu merapikan rambutku lagi dengan sisir jari.
"Duh. Pagi-pagi udah mesra," seru seorang cowok alien nggak dikenal yang melintasi kami di
depan parkiran motor. Sepertinya dia ini teman Seto. Dia menepuk pundak Seto sambil
tersenyum kecil melirikku.
"Heh! Dia sepupu gue, " bentakku kesal.
"Sepupu ato sepupu" sindirnya nakal sebelum benar-benar menjauh dari sini.
Aku benar-benar kesal saat melihat Seto hanya tertawa pelan. Sama sekali tidak menyangkal
kabar miring itu."Set, sangkalin juga ding. Jangan cuma gue."
"Siapa yang buat masalah?" tanya Seto dengan polosnya.
Aku mendesah."Gue," gumanku pelan.
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau gitu, selesaiin sendiri dong. Lo kan sudah gede," balasnya. Kemudian berjalan menuju
kelasny. Ukh! Nyebelin. Kok Seto jadi nggak punya perasaan banget gini sih. Tak terasa aku hanya berdiri
mematung sambil manyun kesal sampe bel berbunyi.
"Mau sampe kapan disitu?" tanya seorang cowok melewatiku.
Aku hanya balas ber-ohh ria. Cowok tinggi kurus yang tadi menyapaku sudah lebih dulu berjalan.
Tubuhnya yang kekar menghalangiku dari sengatan sinar matahari pagi. Dan aku baru tersadar
kalau kami menuju kelas yang sama dan duduk bersebelahan.
Part 9 Gosip tentang kejadian di rapat perpustakaan kemarin menyebar dengan cepat dari mulut ke
mulut. Apalagi gosip mengenai kisah percintaan idola SMA Saga sekaligus ketua OSIS-nya.
Orang paling terkenal d antara siswa dan juga guru. Seto Nugraha. Gosip itu pun jadi berita lokal
dan segera masuk top rangking gosip di majalah sekolah.
Imbasnya, aku nggak hanya ngetop di kelas. Tapi seantero sekolah. Selebriti lokal dadakan.
Kemanapun dan kapanpun melangkah, selalu jadi tontonan. Bukannya bangga. Aku malah jadi
malu. Eh, Seto malah tenang-tenang saja. Sepertinya hal itu bukan masalah besar dan tidak
perlu dipermasalahkan. Setiap kali melangkah, tatapan para siswi padaku tidak kalah tajam dari silet. Sementara para
siswa dengan suit-suit nakalnya. Gerak-geriku pun selalu diawasi sehingga aku tidak leluasa
bertindak. Salah-salah namaku jadi lebih buruk.
Mereka sangat tidak peduli dengan konfirmasi, 'CUMA SEPUPU' Sudah bosan aku
mengucapkannya pada mereka yang sedang berbisik-bisik saat melihatku lewat. Para manusia
SMA Saga ini jarang mendengarkan klarifikasi dari orang yang bersangkutan. Hanya melulu
menyalahkan dari berita miring yang diengarnya.
Tapi mereka tidak berani berkomentar apa-apa didepanku. Aku tergolong cantik diantara para
siswi disini. Aku memang tidak terlalu mirip dengan Seto. Tapi, aku sangat mirip dengan ibuku.
Seto kan sepupu dari pihak ayah, ingat!
Lain orang, lain pula pendapat. Ada satu rombongan cewek centil kelas 3IPS yang sangat tidak
suka kalo idolanya mempunyai gandengan. Siapapun itu! Atau secantik apapun dia.
Bersama rombongan, seorang cewek manis tapi galak menghadang langkahku yang akan
kembali ke kelas. Yang paling depan dan aku kira dialah sang ketua rombongan bernama Fenny.
Kulirik sebentar pada bed namanya.
Kabarnya, Fenny menyukai Seto. Semua orang tau. Apalagi Seto. Tapi Seto tetap tidak
menanggapi perhatian Fenny. Bahkan gosipnya lagi, Fenny pernah menembak Seto tiga kalo
dan terus ditolak. Pantang mundur juga tuh Fenny.
"Lo pacarnya Seto?" tanya Fenny. Dia mengamatiku yang sedang membaw tumpukan buku.
Seperti pandangan Pak Widodo. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi dengan pandangan
merendahkan. "Bukan!" jawabku lantang. Tidak ada sedikit takut pun dalam benakku.
"So, buat apa dong elo ngaku-ngaku jadi pacarnya?" tanya Fenny lagi. Kali ini dia sedang
berjalan mengitariku dengan gaya sok berkuasa. Yucks.
"Gue nggak ngaku-ngaku!"protesku.
"Enggak ngaku?" Fenny tertawa kenes. "Tapi cuma bilang kalo Seto tiap malem minggu ngapelin
lo?" ucapnya tepat ditelingaku.
Emosiku memuncak. Apa haknya untuk mengatur ucapanku. Toh, itu memang kenyataanya kok.
"Bukan hanya tiap malem minggu. Tapi tiap hari!" seruku kesal.
Fenny terbelalak. Mungkin tidak mengira kalau akan mendapat pukulan telak dari seorang
Neska. Siapa suruh dia main-main denganku.
Fenny lalu menarik tangan dan melayangkannya di udara. Dasar manusia kampungan.
Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Fenny batal menjalankan niatnya.
Mungkin karena mengingat kami dalam keramaian dan akan bermasalah dengan peluit Pak
Widodo. Sebagai gantinya, Fenny mendorong tubuhku kasar. Lalu kabur bersama
rombongannya. Buku yang kupegang jatuh berserakan. Aku sendiri hampir terjatuh limbung kalau tangan kekar
ini tidak menahanku.. "Thanks," ucapku sambil membenarkan posisi berdiriku.
"Nggak pa-pa?" tanya cowok yang berdiri tepat didepanku.
Aku mengangguk. Cowok itu ternyata Josh. Entah sejak kapan dia berdiri di sini. Aku segera
memunguti satu persatu yang berserakan. Josh ikut membantu.
"Neska..." panggil Seto dari kejauhan. Kulihat dia segera berlari cemas menghampiriku. "Lo
nggak pa-pa?" tanyanya cemas saat sudah berada didepanku.
"Menurut lo?" aku balas bertanya. Aku benar-benar kesal. Apa salahnya sih kalo Seto berucap
kalo aku sepupunya. Membantah gosip dengan kenyataan yang sudah aku perjuangkan.
*** Hari ini aku memberanikan diri pulang sendirian. Seto masih sibuk dengan rapat OSIS-nya.
Kayaknya, kata-kata Seto bener. Aku harus memulai menyelesaikannya sendiri. Tanpa bantuan
Seto. Dan sekarang disinilah aku berdiri. Di bawah terik udara siang yang panas, aku mencoba
menjejalkan diri ke dalam salah satu angkot tujuan ke arah rumah Om Tommy. Tapi, nyaliku jadi
ciut saat melihat setiap angkot yang kumaksud sangat banyak penggemarnya. Padahal aku tadi
berharap jumlah angkot dikurangi. Sekarang aku harus meralatnya. Huh!.
Aku berharap ada satu mobil yang berhenti di depanku. Nggak harus limosin deh. Sedan juga
jadi. Seenggaknya, hm... Mobil biru itu aja deh. Ternyata Tuhan mendengar doaku. Segera
diturunkannya mobil biru itu untuk berhenti didepanku.
Aku nggak mau ke-gr-an. Kali aja mobil ini berhenti bukan untukku. Tapi untuk abang koran yang
sedang menanti pelanggan didekatku.
Kaca mobil itu perlahan diturunkan. Dan seraut wajah tak asing terlihat didalam mobil. "Mau
sampe kapan disitu?" tanya Josh dengan intonasi yang sama seperti tadi pagi. Aku pura-pura
cuek. "Masuk." Josh membuka pintu mobilnya.
"Nggak perlu, ngerepotin, " balasku singkat. Orang ini kayaknya beneran nggak punya sopan
santun. Bukannya nanya dulu. Eh, maen perintah gitu aja.
Josh menghela napas sejenak. "Lo mau nunggu sampe kapan" Dari tadi gue lihat udah sepuluh
angkot yang lo lewatin gitu aja."
"Terserah gue dong." Eits, tadi dia bilang apa" Dari tadi. Nggak salah denger" Dari tadi ngeliatin
aku. Nggak salah" Kayak nggak ada kerjaan aja.
Tanpa banyak debat Josh turun dari mobil dan menarik tanganku masuk kedalam mobil.
Walaupun tanganku sedikit sakit, tapi entah kenapa hatiku jadi bersorak kesenangan.
Setidaknya, aku nggak harus berpanas-panas ria di dalam angkot.
*** "Lo beneran jadian sama Seto?" tanya Josh tiba-tiba saat mobil sudah melaju menuju arah jalan
raya. "Enggaklah. Dia kan sepupu gue," jawabku singkat. Gosh! Sampe kapan aku harus nerangin kalo
Seto itu sepupu gue. Cuman sepupu.
Walaupun Seto keren, pinter dan punya semua kriteria yang cewek suka, kami nggak akan
mungkin bisa pacaran. Kami sepupu dari pihak ayah. Lagipula, aku sudah nyaman bersama Seto
hanya sebatas kakak dan adik. Seto dan Neska gitu loh.
"Untunglah," gumam Josh pelan.
"Apa?" samar aku bisa mendengar gumaman Josh. Tapi sangat tidak jelas.
"Apanya?" Josh berlagak pilon.
"Nggak usah dibahas deh." Aku malas bertanya ulang. Nggak Neska banget gitu loh.
Kruyuuuukk.. Duhh. Cacing diperutku sudah memulai aksi demo lagi. Gara-gara si Fenny kunyuk
itu, aku jadi kehilangan nafsu makan siang tadi. Padahal tadi aku harus menjalani tes untuk
seleksi masuk anggota redaksi majalah sekolah sampai jam tiga. Kalau mau pulang, aku harus
nunggu makan malam. Atau hanya bakalan makan mie goreng.
"Josh. Bisa berhenti di salah satu resto nggak?" tanyaku. Cacing diperutku kini sudah memulai
membuat aksi demo dengan kekerasan. Aku harus makan sebelum penyakit lambungku kambuh
lagi. "Ngapain?" tanya Josh.
Dasar aneh, ngapain ke resto. Selain untuk makan. "Gue laper banget nih. Gue traktir elo deh,"
kataku. "Hitung-hitung balasan chicken fillet dan latte waktu itu."
"Pas istirahat elo nggak makan?" tanya Josh lagi. Cowok ini cerewet juga.
"Nggak liat apa! Si kunyuk itu ngerusak napsu makan gue?" protesku kesal.
Josh menghentikan mobil di parkiran salah satu resto. Minnie's resto. Gitu nama restonya.
Pepohonan asri jadi pagar natural. Desainnya unik.
"Yuk, masuk," ajak Josh sambil mengamit tanganku. Aku jadi merasa risih. Tapi entah mengapa,
aku tidak melepaskannya. "Mahal nggak?", tanyaku ragu. Mana aku tadi sudah janji traktir lagi.
"Tenang aja. Disini ada buryam favorit lo," jawab Josh.
"Boleh deh," jawabku akhirnya. Mendadak aku menangkap sesuatu yang aneh dalam kalimatnya.
"Eh, darimana lo tau gue suka makan bubur ayam sore-sore begini?"
Josh sedikit gelagapan. "Gue tadi cuma bilang ada buryam favorit kok. Nama menunya."
Aku menganggukan kepala sambil ber-ohh ria. Lalu mengikuti langkah Josh memasuki resto.
Sesuai namanya, ruang resto ini emang kecil. Namun gaya penataan ruang yang minimalis.
Menjadikan restoran ini sangat nyaman dan cozy.
"Dua bubur ayam favorit dan dua latte hangat," ucap Josh. Dia menarik buku menu yang belum
selesai ku baca. Lalu menyerahkannya pada pelayan.
Aku menghela napas kecewa. Ini orang. Aku yang traktir, eh malah dia yang milih menu. Hm..
Tapi ya nggak pa-pa lah. Aku juga lama nggak makan bubur ayam.
"Lo suka tempat ini?" tanya Josh.
Aku berdecak. Mengamati suasana di seklilingku."Biasa aja," sahutku. "Yang penting saat ini gue
laper. Dan di sini ada yang gue butuhin."
Josh tertawa kecil. Barisan gigi putihnya membuat dia kompeten untuk menjadi model iklan pasta
gigi. Saat makanan tiba, aku buru-buru melahapnya. Bubur ayam di sini memang enak. Aku jadi
sedikit melupakan kesialanku hari ini. Kesiangan, keseleo, kelaperan. Huh! Sampe rumah, harus
mandi bersih-bersih. Kasih kembang tujuh rupa juga.
Aku menghentikan acara makanku saat sadar Josh memperhatikanku. Dia makan dengan sangat
pelan. Terlalu pelan malah.
"Ada yang salah?" tanyaku heran.
Josh tersenyum kecil." Gaya makan lo lucu. Santai dan sangat menikmati."
"Ya, iyalah," seruku cepat. "Makanan kan harus dinikmati. Harus disyukuri. Bukan cuma
dipelototin." Josh tertawa lagi. Emang gaya makanku lucu banget ya. Atau aku berbakat jadi badut. Tiap kali
bersama Josh, tiap kali aku melihat tawanya karena gayaku.
Josh ini sulit ditebak. Terlalu sulit. Seperti diary yang terkunci rapat. Ucapan Fey kembali
terngiang. Nggak mungkin Josh menyukaiku. Kami baru kenal sebulan. Lagian, sebelum pindah
ke Bandung, aku sudah bertekad untuk melupakan sejenak urusan cinta. Love is a sucks!!
Jangan sampai aku jatuh cinta dengan cowok ini.
"Gue ke toilet dulu," pamit Josh. Bubur ayamnya sudah ludes. Sementara, latte-nya masih tersisa
setengah. Cepet banget nih cowok makannya. Atau kecepatan makanku berkurang gara-gara
mikirin dia. Aku mengangguk. Sesudah menyelesaikan sisa makanku, aku memanggil cowok yang tadi
berdiri di dekat mejaku. Waktunya membayar tagihan.
"Sudah dibayar. Terima kasih atas kunjungannya." ucap pelayan itu formal lalu mengangguk
hormat dan segera berlalu.
Part 10 "Berapa?" tanyaku saat sudah berada di dalam mobil. Josh sibuk memasang sabuk
pengamannya. " Sudah beres kok".
"Tadi kan gue bilang, gue yang traktir elo," kataku tegas.
"Jangan kira, gue nggak sanggup traktir." Aku memasang tampang bete, "Berapa?" tanyaku lagi.
"Lo bener mau bayar?" Josh balik bertanya.
Aku mengangguk mantap. Josh tidak menjawab. Dia menstarter mobil dan mengeluarkannya dari tempat parkiran.
Melajukan mobilnya ke arah yang aku tidak tahu tujuannya.
"Kita mau kemana?" tanyaku cemas. Jalanan ini kan bukan ke arah rumahku.
Josh masih tetap melajukan mobilnya dalam diam. Beberapa saat kemudian, dia menghentikan
mobilnya di halaman salah satu rumah gedung yang sangat megah. Disana terdapat taman
bunga mawar putih yang sangat indah.
"Ini dimana?" tanyaku antara kagum dan takut.
"Rumah gue." Josh melangkah keluar dari mobil. Tapi dia tidak melangkah sedikitpun untuk
masuk ke dalam rumah. "Buat apa lo ngajak gue ke sini?" tanyaku heran. "Jangan-jangan.."
"Lo mau bayar duit makan tadi kan?" tanya Josh.
Aku mengangguk. "Kalau gitu, lo cukup membayarnya dengan menjawab pertanyaan gue."
"Pertanyaan apa?" tanyaku sedikit heran.
Josh duduk dikursi taman. Sekilas, dia menghela napas panjang. Menatap langit yang mulai
memerah tanda petang mulai akan tiba. Lirih, kudengar suaranya.
Seakan hendak melampiaskan segenap masalah.
"Seandainya...elo nggak bisa berbuat apapun untuk orang yang lo sayang, lo bakal gimana?"
tanyanya dengan suara pelan. Nyaris tidak terdengar apalagi bila suasana hening tidak
menyelimuti kami. Aku menatap Josh. Matanya menyipit, menatapku dalam. Disana aku seakan menemukan
kesedihan mendalam. Pertanyaan ini mungkin adalah pertanyaan yang nggak bisa dijawabnya
sendiri. Pertanyaan mengenai sisi kehidupannya yang kelam dan disimpannya rapat.
Aku memutar otakku. Tanpa sadar, aku mengucapkan sesuatu. Kata yang berasal dari lubuk
hatiku. "Gue akan biarin dia berbuat yang terbaik untuk dirinya."
Seulas senyum teruntai di wajah Josh. Kegantengannya lebih terpancar keluar. Lebih istimewa
dari biasanya. Deg! Jantungku. Aku nggak mungkin suka sama Josh. Aku bukan orang yang
mudah jatuh cinta. Rasa di dalam ini masih kepunyaan yang lama. Tidak mungkin ada dua cinta
bersemayam didalamnya. Lagian aku juga pernah bertekad. Aku harus tau alasan Jo
meninggalkanku. Baru aku akan membuka kisah baru.
"Thanks," ucap Josh. Binar matanya mulai terpancar.
"Jadi berapa?" tanyaku sambil berusaha mengatur irama lompatan jantungku.
"Kan sudah lunas. Jangan dibahas lagi."
*** Masalah satu belum selesai, muncul masalah baru. Aku nggak tahu harus gimana lagi
menaggapi gosip yang menimpaku. Kan nggak enak terus-terusan dipelototin semua warga
sekolah. Mana si Fenny centil itu bakal terus-terusan menggangguku. Sekarang masalah hatiku.
Aku berusaha nggak suka sama Josh, tapi harus kuakui, perlahan, aku jadi sangat menyukai
kebersamaan kami. Padahal aku belum terlalu dekat mengenalnya. Yang aku tau, Josh teman
sekelasku. Dan inilah rumahnya.
"Apa yang lo pikirin?" tanya Josh.
Aku menghela napas dalam. Tidak menjawab pertanyan Josh. Josh mengamati wajahku dalam.
Seolah sedang membaca apa yang sedang aku pikirkan.
"Soal Seto?" tebaknya.
Aku mengangguk. Dan juga kamu, Josh! Sambungku dalam hati.
"Mau denger pendapat gue?" Josh menawarkan.
Aku menaikkan alisku. Menunggu lanjutan kalimatnya. Mungkin pendapatnya bisa sedikit
membantuku. Tidak ada salahnya toh didengarnya.
Josh menatapku ragu. "Gimana lo cari pacar. Biar lo bisa ngebuktiin kalo lo bukan pacar Seto.
Dahiku keriting. Didalamnya, otakku sedang berusaha keras mencerna idenya. Ide yang
lumayan. Tapi..."Gimana bisa cari pacar dalam waktu singkat?" tanyaku.
"Pura-pura aja. Minta tolong temen elo. Siapa kek," sahutnya.
Aku menghela napas panjang lagi. "Josh.. Di Bandung, gue cuma kenal keluarga Seto, Dina dan
temen-temen sekelas. Itu aja nggak gue kenal semua. Gue minta tolong siapa?" tanyaku heran.
Josh manggut-manggut setuju.
Tiba-tiba ide itu memunculkan satu nama dalam benakku. "Gimana lo aja?"
"Gue?" tanyanya tidak yakin dengan permintaanku.
Aku mengangguk."Please. Cuma pura-pura juga."
Josh mengernyitkan dahinya." So, apa untungnya buat gue?" tanya josh.
"Erm...nggak ada sih." aku memikirkan satu solusi baru yang lebih baik. "Gimana kalo saat lo
butuh bantuan gue, lo bisa ngandalin gue?" Simbiosis mutualisme gitu deh. Aku rasa ini bukan
ide yang buruk. Setidaknya, aku yakin kalau Josh orang yang baik. Dia tidak meminta hal yang
aneh-aneh. Josh diam. Tampak berpikir. "Okelah. Jika gue butuh, lo harus nolongin gue."
"No love, oke" Just a simple drama?" aku mengajukan syarat. Kalau ini hanya sebatas drama.
Dan tidak boleh ada cinta.
Josh tertawa."Gue pasti bakalan suka sama lo, kok."
Aku mengernyitkan dahi. Mataku menyipit, memperhatikannya. "Lo gay ya" Jadi nggak bakalan
suka sama gue?" Gini-gini aku kan cewek cantik juga. Sialan!
Josh tertawa lagi. "Bukan gue cowok lesbians. Jadi suka sama cewek lesbians. Lo bukan lesbian
kan?" candanya. "Sialan, lo!" Aku ikut tertawa.
"Kalo gitu, kalo si kunyuk itu nanya, kapan kita mulai pacaran,,," aku mulai merancang sebuah
drama yang disepakati juga oleh Josh. Supaya Kompak. Berjaga-jaga bila nanti ada yang
mempertanyakannya. Dimulai dengan memikirkan hari baik kami mulai pacaran.
"Gimana kalau hari ini?" usul Josh. "Rumah gue romantis juga kan?"
Aku menatap sekelilingku. Mawar putih yang aku suka. Halaman yang sangat cantik. Kolam ikan
membuat suasana lebih hidup. Dan juga seorang cowok yang...
"Maukah kamu jadi pacar aku, Nes?" Josh menunduk dengan gaya setengah berlutut.
Menyerahkan setangkai bunga putih. Ini beneran. Bukan rekayasa pikiranku.
Aku tersenyum. "Nggak usah dipraktekin beneran."
Ketika mengambil tangkai bunga mawar itu, sekilas peristiwa itu kembali terlintas di benakku.
Peristiwa yang terjadi setahun lalu.
"Echa, Jo sayang Echa," kata Jo saat itu. Mengalahkan bisik gerimis yang turun. Dia berada di
balik pagar besi rumahku yang di Jakarta. Berdiri dengan serangkai mawar merah dan setangkai
mawar putih. "Mungkin mawar merah ini lebih menarik. Tapi mawar putih ini lambang hati Jo yang akan Jo
kasih ke Echa".
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau aku nggak suka cowok itu, aku pasti akan muntah mendengarnya. Tapi cowok itu Jo.
Sahabat yang diam-diam kutaksir. Dan ternyata, Jo juga...
Aku mengambil serangkai mawar merah. Jo terlihat kecewa. Aku tersenyum kecil sambil
menghampiri kotak sampah dan kubuang serangkai mawar itu ke dalamnya. Sesaat kemudian,
aku mengambil Setangkai mawar putih di genggaman Jo.
"Kok dibuang" Kan mahal."
"Siapa suruh Jo beli mawar merah?" Aku mengerling jenaka.
Itulah awal kisah kami yang kini sudah hancur. Kisah yang sampai saat ini belum mampu aku
hapus dari ingatan. Kisah yang sangat indah. Dan sudah berakhir...
"Nes," panggil Josh. Menyadarkanaku dari alam bersama kenangan.
*** Josh mengantarku pulang. Sekarang sudah hampir pukul enam. Tante Rika pasti sedang
menyiapkan makan malam. Dan aku harus segera membantu. Saat tiba dirumah, ku lihat Seto
sedang duduk menungguku dikursi teras.
"Nes, sori ya," ucap Josh sebelum kami keluar mobil.
"Sori kenapa?" tanyaku heran.
"Tadi gue nggak ngajak lo masuk rumah gue. Gue nggak pengen lo terkejut."
"Nggak pa-pa," jawabku singkat. Kalau diajak masuk. Malah aku yang takut. Lagipula, mengapa
harus terkejut. Rumahku yang di Jakarta sama besarnya dengan rumah itu. Isinya juga pasti
nggak kalah mewah. "Lo mau ngasih tau rencana kita sama Seto?" tanya Josh.
Aku menatap Seto yang baru sadar aku sudah pulang. "Nggak perlu," ucapku mantap. Ini adalah
satu-satunya rahasiaku dari Seto. Siapa suruh dia nggak mau membantuku. "Dan jangan kasih
tau siapapun. Janji?"
Setelah melihat Josh mengangguk, baru aku tenang melangkah turun dari mobil. Josh
menggandeng tanganku. Deg! Tenang. Ini hanya sandiwara.
"Kemana lo ajak adik gue pergi sampai malem begini?" tanya Seto sedikit membentak.
"Set, apan sih lo." Aku menengahi mereka.
"Diem lo, Nes!" bentak Seto. Aku jadi terdiam melihatnya. Tidak pernah kudengar Seto berbicara
sekeras itu padaku sebelumya.
Josh menepuki punggung tanganku. Mencoba memberi sedikit ketenangan dengan
membiarkanku berdiri dibelakangnya. "Sori. Tadi gue ada perlu sama Neska," jawab Josh,
tenang. Seto melirik Josh dengan ekspresi muka tidak senang."Ada perlu apa lo sama adik gue?" tanya
Seto, ketus. "Tentu saja gue ada perlu," Josh berbicara dengan tengan. "Sama cewek gue."
Nada suara Seto sedikit menurun. "Cewek elo?" Alis mata Seto terangkat sebelah. Sementara
matanya menyipit. "Gue baru jadian sama Josh," aku bantu menjawab. Menegaskan keraguan Seto.
Seto terkejut. Terlihat jelas pada ekspresinya. Seto melirik Josh dengan tajam. "Laen kali kasih
kabar," ucap Seto sebagai peringatan untukku. "Masuk, Nes!"
"Oh,ya.. Mulai besok, gue yang anter dan jemput Neska," ucap Josh. Membuat Seto
menghentikan langkahnya sejenak.
"Terserah!" sahutnya tanpa memalingkan muka untuk menoleh.
part 11 Aku dan Josh tiba di gerbang SMA Saga disertai beribu ekspresi sekeliling. Heran, surprised,
sinis dan beribu ekspresi lain yang nggak bisa aku perhatiin satu persatu. Tadi, saat aku hendak
memakai helm, mobil Josh sudah terparkir dihalaman. Awalnya, aku bingung akan tujuan
kedatangannya. Aku pikir ucapannya kemarin hanya sekadar bas-basi.
Karena status Josh sekarang, dia akan mengantar jemput aku ke sekolah atau kemanapun aku
ingin pergi. Aku sudah menolaknya. Tapi, demi keamanan rahasia kami, aku akhirnya menerima
maksud baiknya. Kami juga saling memberi tahu nomer ponsel demi kelancaran komunikasi
'pacaran' kami. Aku menyapa Pak Widodo dengan hormat saat melewati pintu gerbang. Pak widodo nggak
merhatiin aku dari jung rambut sampai ujung kaki. Tapi lebih merhatiin genggaman tanganku dan
Josh. Berlebih" Mungkin ini gaya Josh pacaran. Banyak orang memerhatikan kami duduk berdua
di kelas. Josh nggak beranjak kecuali ada sesuatu penting seperti saat ini. Pak Dadang
memanggil ketua kelas. Begitu Josh pergi, dua makhluk yang sudah lumayan akrab denganku
kini, tidak melewatkan kesempatan untuk menghampiri mejaku.
"Nes, gua denger lo jadian ya sama Josh" Kapan jadiannya?" cerocos Dewi.
"Tadi pagi, katanya lo dianter Josh?" sambung Fey.
"Kok nggak kasih tau kami. Seto gimana?" lanjut Dewi.
"Seto itu cerita basi, tau! Benerkan hipotesis gue," Fey membantu menjawab.
"Hey!" potongku. "Kalian mau nanya ato ngomong berdua?"
Fey dan Dewi jadi diam. Aku menyodorkan brownies yang aku bawa. Fey dan Dewi sama-sama
menggeleng. Mereka lebih tertarik pada jawabanku atas pertanyaan mereka bila dibandingkan
brownies ini. Padahal brownies ini kan enak. Hm..yummy.
"Jadi gimana" Bener?" tanya Dewi.
Aku mengangguk. "Gila lo! Gosip satu belum kelar, sudah buat gosip baru," seru Dewi. "Tau nggak" Lo udah kayak
seleb disini. Tadi pas gue ke WC, para cewek nyebut-nyebut nama lo," sambung Dewi.
Telinganya memang peka kalo denger gosip. Apalagi di WC. WC kan salah satu tempat yang
paling kompeten untuk berbagi gosip.
"Tapi, lo better watch out sama Dania," ucap Fey.
"Dania?" Aku mengerutkan kening. "Aku nggak kenal. Dengar aja sekali."
"Anak kelas 1G. Katanya pernah pacaran sama Josh," jelas Fey.
"Tau dari mana lo?" tanya Dewi. Mungkin sama di sama bingungnya.
"Gua kan satu SMP sama mereka," jawab Fey.
Aku menghentikan kesibukanku mengunyah brownies. "Dania yang mana sih?" tanyaku
penasaran. Aku tak ingin Josh atau aku bermasalah dengan Dania. Apalagi aku harus bertengkar
dengan Dania karena Josh. Nggak banget.
"Anak cheers itu loh. Putih, manis, dan imut. Orangnya juga kalem. Feminim abis." Fey mencoba
menerangkan. Aku mengerutkan dahi. Aku memang jarang memperhatikan makhluk di sini. Aku aja jadi bahan
perhatian. Gimana mau perhatiin orang lain.
"Sudah! Kalau dijelaskan juga, Neska nggak bakal tau," kata Dewi.
"Ehem!" suara cowok berdehem terdengar dari belakang. Josh. Kontan Fey dan Dewi memilih
menyingkir dari kursi yang mereka duduki.
"Nes, ntar balik tunggu gue diparkiran," kata Josh saat sudah save di kursinya.
"Kalau lo ada urusan, gue bisa balik sendiri," jawabku.
"Cuma sebentar." Josh menyodorkan kunci.
*** Bel akhir pelajaran berbunyi. Sorak gembira terlihat dalam binar setiap mata siswa. Apalagi
warga kelasku yang ngantuk karena nina bobok Pak Bambang. Josh segera bangkit dari tempat
duduknya. Meninggalkan kelas tanpa menjelaskan kemana pergi.
Aku mencari-cari sosok Josh dari beranda kelas. Tidak ada! Setelah bosan, aku menghambur ke
parkiran. Mungkin Josh sudah disana. Belum sempat aku masuk ke mobil, aku melihat seorang
cewek cantik dengan seragam sepertiku sedang digoda beberapa preman di dekat pintu
gerbang. Kemana Pak Anto, satpam aneh itu.
"Hei, lo dicariin Pak Widodo," ucapku dari dekat mobil Josh.
Preman itu jadi ciut begitu mendengar nama Pak Widodo. Ampuh juga nama Bapak satu itu.
Cewek itu malah bengong. Aku segera menghampirinya dan menariknya masuk ke arah
parkiran. Tempat mobil Josh berdiam.
"Thanks ya," ucap cewek itu saat sudah bersandar di mobil Josh.
Aku mengangguk. " Masuk dulu. Ntar preman-premannya balik lagi." Aku membuka pintu
belakang untuknya. Cewek itu mengangguk. Kemudian kami berdua duduk di jok belakang.
"Sekali lagi thanks ya," katanya, sopan.
Aku tersenyum. "Gue Neska. Lo?"
"Dania. Dania lestari," sahutnya. Anaknya kalem banget. Pantesan digodain preman. Tunggu!
Dania. Putih, manis dan juga imut. Apa ini mantannya Josh. Cantik banget. Dasar Josh nggak
punya otak. Masa cewek cantik kayak gini disia-siain.
"Lo mantannya Josh?" tanyaku hati-hati.
Dania menggeleng. "Bukannya kamu pacar Josh sekarang?" Dania balik bertanya.
Aku mengangguk. Ternyata, gosip sangat cepat menyebar. Dania yang kalem begini pun sudah
tau. Padahal baru sehari aku dan Josh bersama.
"Kamu beruntung banget," gumamnya. Samar binar matanya meredup.
"Beruntung" Kenapa?" tanyaku heran. Apa Josh keren banget" Sampe-sampe cewek cantik
layak Dania menyukainya. Perasaan nggak juga deh. Biasa aja.
Dania batal menjawan karena terdengar suara ketukan kaca dari luar. Aku segera keluar dan
duduk di kursi depan. Josh pun duduk di kursi depan kemudi.
"Sori," ucap Josh sambil menaruh tasnya di belakang. Dan dia baru sadar ada Dania. "Sudah
lama?" Josh bertanya padaku dan hanya tersenyum sekilas pada Dania.
"Nggak kok. Untung ada Dania," jawabku sambil memperhatikan perubahan muka Josh. Namun
wajahnya masih tenang seperti biasa. "Lo sudah kenalkan sama dia?" tanyaku lagi.
"Kalau gitu, gue duluan yah," potong Dania bersiap keluar dari mobil.
Budi Kesatria 19 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Pendekar Bayangan Setan 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama