Aku melirik pada Josh. Berharap dia mengucapkan sesuatu yang bisa menahan Dania.
Sepertinya, Dania asyik dijadikan teman dan aku berharap bisa mengetahui sesuatu tentang
Josh dari cewek ini. "Gue anter pulang," ucap Josh mengerti.
*** Perjalanan hening. Aku sebernya membiarkan mereka berdua mengucapkan satu dua patah
kata. Mereka kan teman satu SMP. Mungkin dalam percakapan mereka, aku mendapat suatu
info tentang Josh. Sesuatu yang tidak bisa kutanyakan langsung, tapi tidak ada. Mereka hanya
diam membisu. Akhirnya aku membuka dashboard dan mencari kaset yang bisa menemani keheningan ini. Di
dashboard itu tersimpan banyak kaset-kaset artis luar negeri. J-Lo, Linkin Park, Michael Learns
to Rock. Semuanya lagu luar negeri. Nggak indonesia banget. Padahal kan sebagai anak negeri,
kita harus mencintai produk dalam negeri. Nggak cuma logo-logo atau basa-basi doang.
Aku menyetel radio. Tanpa perlu mencari saluran yang pas, terlantun lagu Cinta tak pernah
terlambat-nya Fredo yang sangat merdu. Lagu yang akhir-akhir ini aku gilai. "Whoa! Lagu ini,"
seruku senang. "Kamu suka lagunya?" tanya Josh.
"Banget." Aku mengangguk cepat. "Dan, lo suka lagi Indo nggak?" tanyaku sambil menoleh ke
belakang. "Nggak terlalu sih," jawab Dania. "Emang kenapa?"
"Albumnya Fredo kira-kira sudah ada di Bandung belum yah?"
"Album Kisah Cinta?" tanya Dania.
Aku mengangguk. "Kayaknya sudah ada," jawabnya ragu.
Aku tersenyum senang. "Ntar malem., gue mau beli kaset ni."
"Jam tujuh aku jemput," kata Josh. Sedikit mengagetkanku. Aku tidak punya maksud
mengajaknya. Dan.. Hah.. Josh ber-aku kamu. Tumben. Oh, iya.ada Dania. Hampir saja aku lupa
dengan drama kami. "Nggak perlu. Aku bisa pergi sama Seto." Aku mencoba mengikuti bahasanya. "Aku lagi pengen
naik motor malem-malem sama Seto." Ukh. Sulit juga untuk ber-aku kamu. Waktu pacaran sama
Jo dulu, aku nggak perlu ber-aku kamu. Kami lebih suka menyebut nama. Terlihat manja
memang. "Kalau gitu, ntar malem aku bawa motor aja," ucap Josh. Membuatku tambah heran.
Sesudah Dania turun, aku kembali normal. 'Gue dan elo' muncul lagi. Aku nggak perlu
bersandiwara. "Lo begitu karena Dania kan?" tanyaku akhirnya.
"Gue ikhlas kok nemenin lo," ucap Josh. Josh pun sudah kembali ke asalnya. "Bukan cuma
karena ada Dania. Lagian, gue juga lagi nggak ada kerjaan. Sekalian lo bisa menemani gue
makan malam." Mataku menyipit. Aku berpikir mungkin karena Dania pernah pacaran dengan Josh, maka Josh
bersikap lebih mesra padaku. Sedikit pertunjukkan kalau dia sudah punya pacar baru gitu loh.
Aku menduga-duga. "Lo dulu pernah pacaran kan sama Dania?" tanyaku memastikan.
"Kami cuma pernah deket," jawab Josh singkat. Raut mukanya datar dan dingin. "Pokoknya jam
tujuh, lo siap-siap" ucap Josh tegas.
Part 12 Jam tujuh tepat. Josh muncul di depan rumah. Tampak kasual dengan kaos bilabong biru muda
bertuliskan 'Watz up' warna yang terelindung dalam jaket gelap dan sepan jeans warna senada.
Josh benar-benar menepati janjinya. Dia membawa motor Tiger silver sebagai ganti Honda Jazz
bisu yang selalu menemaninya.
"Hai!" Josh muncul dari balik pintu didampingi setangkai mawar putih.
Aku tersenyum. Antara bingung dan senang, aku mengambil setangkai mawar putih yang
disodorkan Josh. Wangi dan masih segar. Mungkin dia tinggal memetik dihalaman rumahnya
yang penuh mawar putih itu.
"Kayak pacaran beneran," ucapku singkat.
Kali ini giliran Josh yang tersenyum. "Jadi kan?" tanyanya.
Aku menggangguk. Tinggal mengambil jaket. Setelah kami berpamitan pada Om Tommy dan
Tante Rika, kami sama-sama naik diatas motor gede Josh. Bersiap melaju membelah kota
Bandung. *** Tiger silver Josh meraung. Memecah keheningan malam. Melesat meninggalkan rumah Om
Tommy jauh di belakang. Sesaat kemudian, motor melaju di jalan besar.
Josh menambah kecepatan. Menyalib beberapa kendaraan yang menghalangi jalan. Jalanan
macet karena bertepatan jam makan malam pun tidak terasakan lagi. Cemas. Hanya itu yang
aku rasakan. Tak pernah aku dibonceng motor segila ini. Tidak Seto yang biasa membawa
motor. Pun Jo yang hobi balapan.
Aku diam memeluk erat pinggang cowok di depanku. Sambil meringkuk rapat-rapat di
punggungya, aku hanya berdoa dalam diam. Semoga kami tiba di tempat yang dituju dengan
selamat. Entah kemana roda ini akan berhenti. Sialnya, aku lupa bertanya.
Josh menepuk pelan lenganku yang masih melingkari pinggangnya. Roda sudah berhenti. Aku
perlahan tersadar. Perlahan pun aku membuka mata.
Fiuh.. Didepanku terlihat sebuah cafe mungil berpapan elektrik. "Genie Cafe". Aku buru-buru
mengendurkan pelukan pada pinggang Josh. Lalu meloncat dari dari motor besar yang
membuatku benar-benar ketakutan.
"Gila!" seruku setengah berteriak. "Lo bener-bener gila, Josh."
"Kan lo mau bermotor malem-malem?" tanya Josh dengan cueknya.
"Tapi bukan begini caranya," sewotku kesal.
"So, gimana dong?" tanya Josh lagi dengan innocentnya.
"Huh!" Aku manyun kesal. Aku menatap papan elektrik didepanku berulang kali. Barulah yakin
Josh mengajak ke resto. Bukan ke toko kaset seperti tujuan awal.
"Ngapain ke resto?" emang sih aku belum makan malam. Rencananya tadi hanya pergi sebentar.
Dan pulang sebelum keluarganya makan malam.
"Ini cafe bukan resto," jawab Josh dengan cueknya.
"Whatever!" sahutku. Aku malas berdebat. "Emang disini jual kaset?"
"Makan," jawab Josh singkat.
"Rencananya gue mau beli kaset. Bukan mau makan!" protesku.
"Kan lo setuju menemani gue makan malam hari ini." Josh melangkah turun dari motor besarnya.
"Gue bosen makan malam sendirian dirumah."
"Tapi kasetnya..."
Belum selesai kalimatku, tangan Josh menarik tanganku. Membimbingku masuk ke dalam resto..
Oupss salah.. Kedalam cafe.
*** Cafe ini sangat cozy untuk pasangan muda. Suasananya santai. Sedikit remang dengan lampu
yang menurutku lebih cocok untuk tidur. Namun membuat cafe ini terkesan romantis. Apalagi di
atas tiap meja terhias mawar merah dan lilin. Kecuali meja yang dipilih Josh. Berhias mawar
putih. Mungkin Josh sudah memesannya.
Ada panggung untuk live band di pojok. Belum terlihat seorang pun yang disana walau segala
peralatan siap dibunyikan. Mungkin acara bandnya belum dimulai.
Seorang cowok berseragam pelayan akhirnya datang. Tubuhnya sedikit oversize. Tapi
senyumnya sangat ramah. Aku balas tersenyum saat dia melihatku.
"Gebetan baru?" tanya pelayan itu pada Josh. Tampaknya mereka sudah kenal.
"Bukan," sahut Josh. "Dia cewek gue." Sebuah senyum kebanggaan terhias diwajah gantengnya.
Aku tersentak. Senyumanku berganti pelototan pada Josh yang saat itu tengah menatapku
sambil tersenyum. Mulut pelayan itu membentuk huruf 'o'. Senada bentuk pipinya yang bulat dan chubby. "Congrat
ya. Akhirnya ada juga cewek hebat yang bisa memikat hati lo."
"Thanks, Bom!" ucapnya pada pelayan tambun yang ternyata bernama Bombom. Josh benarbenar tidak memperhatikan raut mukaku yang berubah jutek.
"Ehem..." Aku mencoba mengingatkan kehadiranku ditempat ini.
"Mau pesan latte, Nes" Latte disini enak loh." tanya Josh.
Aku mengangguk lemah. "Pake liquor apa?" tanya Bombom.
Aku membolak-balik buku menu pada bagian jenis-jenis latte. "Erm.. Grappa aja deh" jawabku
malas. "Oke." Bombom mencatat pesananku. "Lo?" tanya Bombom pada Josh.
"Biasa," jawab Josh singkat.
"Latte plus grand marnier?" tanya Bombom.
Josh mengangguk. "Beres. Nggak pesan makanan?" tanyanya kemudian.
"Nanti saja," sahut Josh.
Saat Bombom meninggalkan meja kami, barulah aku bereaksi. "Apaan sih lo!" sewotku. Lo mau
kasih tau ke semua orang kalau kita pacaran?" tanyaku berbisik.
"Kelihatanya ya?" tanya Josh cuek. "Tapi, kenyataannya emang begitu kan?" sambungnya lagi.
"So, buat apa lo ngajak gue kesini?" Josh minta aku menemaninya makan. Sampai sini, Josh
hanya pesen minuman. Aku bener-bener nggak habis pikir, apa maunya. "Emangnya di cafe ada
yang jual kaset?" Aku menyambung pertanyaan. Rasa kekesalan sudah mulai meluap. Eh, Josh
cuma cengar-cengir. Gerutuanku tertunda saat Bombom datang membawa dua gelas tinggi berisi latte dan dua cup
kecil liqour dengan warna berbeda.
"Sudah beres, Bom?" tanya Josh sambil menuangkan liquor dalam gelas latte.
"Sip." Bombom membuat isyarat 'oke' dengan tangannya.
"Thanks!" sahut Josh kemudian.
Aku tidak mengerti dialog Josh dan Bombom. Dan aku malas bertanya. Aku sibuk dengan latteku. Latte ini memang enak. Liquornya tidak terlalu manis. Rasa kopinya pun sangat terasa.
Bercampur sempurna dengan susu dan juga liquor grappa kesukaanku.
Live band sudah dimulai. Suara bariton sang vokalis terdengar merdu. Menyanyikan lagu entah
apa judulnya. Mungkin itu lagu kreasi mereka sendiri dan belum ada label yang melirik mereka.
Setelah menyanyikan lagu mereka, mereka pamit mundur. Kabarnya hari ini mereka akan
menampilkan penyanyi spesial.
Akh, aku tidak terlalu memperhatikannya. Aku malah sibuk dengan keypad ponselku.
Mengucapkan selamat pada Dina dan Rhicard yang akhirnya jadian juga. Namun, suara
penyanyi yang baru naik itu memaksaku menyimpan kembali ponselku kedalam saku jeans.
Suara itu.... Aku pernah mendengarnya. Lagu Fredo. Aku langsung menoleh ke arah panggung.
Mengamati Fredo didepan mic sedang mengerling mata ke arah mejaku. Entah padaku atau
bukan. *** Setelah bernyanyi, Fredo masih diam dipanggung. Dan dia mulai angkat suara. Sepertinya, dia
akan menyapa pengunjung sebelum turun. Ada acara apa ya disini"
"Selamat malam semuanya," ucap Fredo yang masih di atas panggung.
"Malam." aku membalas sapaannya bersamaan pengunjung setempat.
"Hari ini Fredo di mintra tampil oleh seorang cowok karena ceweknya akan berulang tahun," ucap
Fredo. Suara berat membuatnya lebih macho.
"Romantis banget," kataku pada Josh setengah berbisik.
"Sebenernya sih ulang tahunya besok. Tapi karena Fredo besok ada show ditempat lain, jadi
acara surprisenya sekarang." Fredo mengisyaratkan sesuatu dengan jentikan tangannya. Karena
bersamaan dengan itu seluruh lampu dimatikan. Suasana seketika jadi hening. Hanya nyala lilin
memenuhi ruangan. Aku terkejut buru-buru menggenggam tangan Josh. Sekadar menyakinkan
diri kalau aku tidak sendirian. Josh menggenggam tanganku dan menenangkannya.
"Happy birthday to you," senandung Fredo pelan. Seketika lampu disorot menerangi panggung.
Lama Fredo terdiam. Menatap seluruh sudut ruangan. "Happy birth day to you," sambungya
kemudian. Fredo menuruni panggung dan menghampiri pengunjung. Dia menghampiri meja yang didorong
Bombom. Di atas meja itu terlihat lemoncake dalam size besar dan sebuket mawar putih yang
sangat cantik. Fredo mengambil buket mawar putih itu. Sementara Bombom masih mengekor dibelakangya.
Mereka berjalan menghampiri arah mejaku. Gosh! Fredo berhenti tepat didepan mejaku. Aku
benar-benar terkejut. Apalagi saat Fredo menghampiriku dan membantuku berdiri. Apa dia nggak
salah orang". "Happy birthday, dear Neska." senandung Fredo mematahkan dugaanku.
Tidak. Dia tidak salah orang. Dia menyebut namaku. Fredo menyerahkan buket mawar putih itu
tepat di pelukanku. Oh iya... Besok aku berulang tahun. Aku benar-benar melupakannya.
"Happy birthday to you." Fredo mengakhiri lagunya diiringi dentingan yang ditabuh perlahan dari
simbal drummer. "Happy birthday, Nes!" ucap Josh perlahan. Tepat ditelingaku.
Aku hampir tidak percaya. Fredo menyanyi khusus mengucapkan happy birthday live. Biasanya
yang ingat ulang tahunku hanya Seto dan Jo. Papa Tian dan Mama Desty hanya menyempatkan
mencium keningku sebelum berangkat kerja. Dan mengizinkan aku mengadakan pesta
dimanapun aku suka. Tapi aku selalu menolaknya. Karena aku akan kecewa saat Papa Tian dan
Mama Desty nggak datang. Lebih baik nggak ada pesta.
Suasana pesta pun dimulai. Diawali dengan hentakan bersemangat drum dan irama pesta dari
keyboard. Semua pengunjung dikomandoi Fredo bersama-sama menyanyikan lagu Happy birth
day dengan ceria. Dilanjutkan lagu Tiup lilinnya.
"Make a wish," saran Josh.
Aku menutup mata. Semoga aku hidup dengan sederhana dan tenang. Tanpa gosip dan
berkumpul bersama orang yang menjadi sumber kebahagiaanku. Papa Tian dan Mama Desty.
Seto, Om Tommy, Tante Rika. Dan juga cowok gadunganku. Josh.
*** Aku dan Josh menikmati makan malam bersama Fredo. Kebetulan hari ini Fredo ada konser
amal di Bandung. Begitu Josh, yang juga sepupu manajer Fredo meminta bantuan, dengan
senang hati Fredo menyanggupinya.
"Dari Fredo. Happy birth day." Fredo menyodorkan kotak kado yang dibungkus dengan sangat
cantiknya. "Boleh dibuka?" tanyaku ragu. Grogi juga duduk bersama cowok cakep yang ngetop seperti
Fredo. Serasa jadi cewek paling beruntung. Setidaknya di antara pengunjung cafe ini.
Fredo tersenyum. Manis banget. Dua buah lesung pipi menghias di pipi chubby-nya. "Tentu,"
ucapnya kemudian. Aku buka dengan sangat hati-hati. Isinya..kaset CD terbaru Fredo. Lengkap dengan tanda
tangannya."Wah... Makasih ya," seruku senang.
"Disini ada yang jual kaset juga kan?" sindir Josh.
"Makasih ya Josh." Malam ini, aku bahagia. Makan malam bersama Josh dan seniman sableng
dari IKJ ini. Apalagi bisa berfoto bareng bersama Fredo. Dan berdua dengan Josh tentunya.
*** "Makasih ya, Josh!" ucapku setelah raung motor besar Jos berhenti di depan rumah. Aku tidak
tau harus mengucapkan apalagi. Josh sudah berbuat banyak untukku. Terlalu banya. Bahkan
lebih dari dugaanku sebagai pacar gadungan.
Josh tersenyum tipis lalu mencari-cari sesuatu di saku jaketnya. Sebuah kotak biru kecil keluar
dari dalam dan disodorkan padaku. "Happy birthday."
"Kado ini lebih dari cukup, Josh." aku mengangkat kaset CD Fredo.
"Itu dari Fredo. Ini dari gue. Masa ditolak?" ucapnya kecewa.
Aku terpaksa mengambil kotak itu. "Makasih," ucapku untuk kesekian kalinya. Perlahan aku
membukannya. Sebuah kalung perak dengan buah kalung bentuk hati tersimpan rapi.
Kemilaunya begitu terang di kegelapan malam.
Aku menutup kotak itu dan menyodorkannya kembali pada Josh. "Josh.. Gue nggak bisa terima
barang semahal ini."
"Ini kado ulang tahun, Nes."
"But it's too high for a friend's birthday."
"Siapa bilang ini buat temen. Ini buat cewek gue."
"Tapi..." "Sini gue bantu pasangin," Josh mengambil kalung dalam kotak biru itu dan menyampirkannya
dileherku. Aku memandang kalung itu lama. Begitu cantik. Agak tidak cocok pada baju kasual
yang ku pakai. Seharusnya tadi pake baju girly.
"Josh. Makasih ya. Gue berhutang banyak sama elo."
Josh tersenyum. "Nggak pa-pa. Nanti gue akan lebih membutuhkan elo, Nes."
"Maksudnya?" Aku menangkap konotasi ganjil tersimpan dalam kata-kata tadi. Sepertinya
memang ada pertolongan yang dibutuhkan Josh dariku. Dan hanya aku yang bisa menolongnya.
Entah apa itu, Josh sepertinya sangat merahasiakannya.
"Nanti lo akan tau," ucap Josh.
Aku bingung. Tapi aku tidak memperpanjang percakapan. Tampaknya Josh juga tidak ingin lagi
membahasnya. Aku memilih diam.
*** Sambil menenteng CD kaset Fredo dan kotak kalung dari Josh, aku melangkah masuk setelah
motor Josh menghilang meninggalkan komplek perumahan. Saat hendak berjalan menuju kamar,
lampu ruang tamu yang tadinya padam tiba-tiba menyala. Tampak Seto sedang berdiri di
depanku. "Darimana?" tanya Seto
Aku diam. Tak berani mengangkat wajah apalagi menatap mata Seto. Aku lupa memberitahu
kalau enggak makan malam dirumah gara-gara kesenangan ketemu Fredo. Sekarang sudah
lewat pukul sepuluh malam. Bahkan hampir jam sebelas. Seto pasti marah. Apalagi sejak aku
'pacaran', hubunganku dengan Seto merenggang.
"Gue tanya darimana?" bentak Seto.
"Genie cafe." "Sampe malam begini" Sama Josh?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. "Kenapa pas gue telepon ponsel lo, lo nggak angkat" Padahal dari tadi, Papa dan Mama cemas
nungguin lo pulang. Mereka sudah pergi dulu, dan nyuruh kita nyusul."
Aku mengernyitkan dahi, bingung. "Nyusul kemana?" tanyaku. Apa aku hari ini sudah punya janji
untuk pergi bareng keluarga Seto. Sepertinya enggak ada deh.
"Rumah sakit Jakarta," jawab Seto.
Aku mulai bingung dan cemas. Rumah sakit Jakarta. "Siapa yang sakit?"
"Tante Desty." aku terkejut. Segera aku menghampiri Seto dan menggoncangkan tubuhnya. "Mama kenapa?"
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tante Desty kecelakaan."
Part 13 Ruangan itu serba putih. Tenang dan sepi. Hanya sedikit orang yang berkeliaran. Mungkin
karena saat ini bukan waktu untuk besuk. Tapi aku berusaha masuk. Seto mencoba
menenangkanku. Juga berusaha membujuk perawat jaga agar aku boleh masuk. Akhirnya cuma
aku yang diijinkan masuk. Seto mengantar Om Tommy dan Tante Rika pulang kerumahku di
Jakarta untuk beristirahat.
Dengan cepat aku berjalan menuju nomor kamar yang disebutkan perawat jaga yang bawel tadi.
Masa seorang anak tidak diijinkan untuk menjenguk ibunya sendiri.
"Mama," Aku memeluk Mama Desty yang sedang berbaring di ranjang.
"Happy birthday Neska," bisik Mama Desty sambil menenangkanku.
"Makasih Mama." Aku sambil mencari posisi ternyaman duduk ditepi ranjang Mama Desty.
"Mama nggak pa-pa?" tanyaku cemas.
"See" Mama nggak pa-pa sayang." Mama Desty kayaknya memang nggak apa-apa. Hanya ada
perban di kepalanya. Itu aja nggak ada noda merah.
"Mama ngapain ke Bandung malam-malam?"
"Malam kangen sama Neska sayang." Mama Desty tersenyum sambil meraih tanganku dalam
genggamannya. Tangan yang hangat. Dari tangan ini lahir banyak sekali model baju yang simple
dan benar-benar aku suka.
"Neska juga kangen sama Mama." aku meraih tangan yang selalu menjagaku itu ke pipiku.
Mengusapnya perlahan. "Papa sudah tau?" Ugh! Pertanyaan bodoh.
"I don't think so." Binar di mata Mama Desty meredup.
Dari arah pintu, terdengar suara kenop pintu dibuka perlahan. Muncul seorang pria berpakaian
eksekutif sambil membawa sekeranjang buah-buahan. Usianya mungkin sama dengan usia
Mama Desty. "Hei, Hen," sapa Mama Desty pada pria itu.
"Kayaknya aku datang di saat yang nggak pas ya?" tanya pria itu. Aku membantunya menaruh
keranjang buah-buahan di meja samping ranjang.
"Nggak lah! Pas banget malahan," sahut Mama Desty. "Kenalin. Ini Neska. Nes, ini Om Hendry."
Om Hendri balas tersenyum. "Sekarang sudah gede ya! Dulu masih sering ngompol waktu Papi
gendong," kata pria yang dipanggil Mama Desty dengan sebutan Hendri itu. Duhh... Malu-maluin
banget kalau cerita waktu kecil. Semua orang seperti itu kan. Lagian siapa sebenarnya Hendri
sampe tadi dia mengaku diri Papi.
"Mana ingat, Hen." potong Mama Desty. "Itukan waktu dia kecil banget."
"Can I have an explain, Mam?" tanyaku karena tidak diacuhkan. Hiks.
"Hendri ini dulu tetangganya Mama. Dulu kamu sering memanggilnya Papi. Om Hendri ini pinter
loh. Dia pernah dapat beasiswa ke Jepang."
"Neska masih boleh kok memanggil Papi," ucap Papi Hendri.
"Kemarin kebetulan Hendri lagi on the phone sama Mama. Jadi dia yang segera datang dan
membawa Mama ke rumah sakit."
Aku hanya bisa ber-ohh ria. "Makasih ya Papi," ucapku kemudian. Mencoba sopan pada pria
yang sudah menyelamatkan Mama Desty.
Papi Hendri tersenyum. Lalu Hendri mengambil sesuatu dari saku jasnya. Menyodorkan sebuah
kotak kecil berbungkus rapi padaku. "Happy birthday, honey."
Aku mengambilnya. Entah apa isinya. Aku malas membukanya sekarang. "Makasih Papi,"
ucapku basa-basi. "Kamu masih ingat Hen?" tanya Mama Desty.
"Tentu aja dong. Neska kan anak kita." Seketika Hendri menutup mulutnya rapat-rapat. Sadar
akan ada kata yang salah keluar keluar dari bibirnya tadi.
Aku tersentak. Apa yang kudengar tadi. Anak kita" Aku anak siapa" Kita" Papi Hendri dan Mama
Desty. "Pardon?" pintaku.
Papi Hendri tidak menjawab. Dia bangkit berdiri dari kursinya. Berpura-pura mengamati jam
perak ditangannya. Sementara raut muka Mama Desty pun berubah.
"Aku pulang dulu, Ty. Mau ke kantor. Sampai nanti, Nes," pamit Papi Hendri.
Mama Desty menahannya. Membuatku tenggelam dalam heran dan prasangka buruk.
Only loser escape from his problem.
"Ini nggak bisa di rahasiakan lagi," ucap Mama Desty. Membuat duniaku seketika runtuh di
tempat. *** Aku menghambur keluar dari kamar rawat inap Mama Desty. Sama seperti tadi. Aku berjalan
dengan cepat sekadar ingin menjauh dari tempat ini. Kalimat pertama yang dibuka Mama Desty
sudah cukup mewakili inti kisah yang tidak inin kudengar.
"Hendri ini ayah kandung kamu," ucap Mama Desty.
Tanpa tujuan yang jelas, aku berjalan dan terus berjalan. Pikiranku kacau. Kata-kata Mama
Desty terngiang di telinga. This is a special nightmare in my birthday.
Di pintu utama aku menabrak seseorang. Tubuhku yang lemas karena belum tidur semalam,
membuatku langsung terjatuh. Aku segera menghapus air mataku. Mencoba untuk bangkit
berdiri. Namun rasanya kaki ini sudah tidak sanggup berdiri.
"Maaf," kataku sopan pada orang yang kutabrak. Aku masih mengumpulkan segenap tenaga
untuk bangkit berdiri. Aku harus pergi dari sini. Meninggalkan tempat yang memberikan aku kado
paling mengerikan. "Neska?" panggil orang itu tertahan. Suara itu... Aku mengangkat dagu. Josh mengulurkan
tangannya. Aku lalu bangkit berdiri dengan bantuan Josh.
"Ada apa?" tanya Josh.
Air mata menetes tanpa henti. Josh menenangkanku dalam pelukannya. Saat ini, aku memang
butuh seseorang. Dan Tuhan mengirimkan Josh.
*** "Minum dulu, Nes." Josh mengajakku ke kafetaria rumah sakit. Menyodorkan segelas teh hangat
di atas meja. "Siapa yang sakit?"
Aku mencoba menahan isak tangisku yang masih tersisa. "Mama."
Josh memperhatikan aku dalam. "Parah?" tanya Josh hati-hati.
Aku menggeleng. "Nggak."
"Jadi kenapa lo nangis?"
Mataku kembali memerah. Setitik air mata kembali jatuh menggenangi wajahku. Josh menarik
tisu yang ada di atas meja dan menyodorkannya padaku.
"Kalau lo nggak mau cerita, nggak pa-pa kok."
"Gue lagi sedih." Aku mencoba menahan isak tangisku. "Mereka yang selama ini gue kenal
sebagai keluarga ternyata bukan keluarga gue. Papa Tian. Om Tommy. Tante Rika. Juga Seto.
Mereka bukan keluarga gue." Aku menghapus air mata yang perlahan jatuh. "Papa Mama mau
cerai. Mungkin Mama mau balikan sama Papa kandung gue. Gue harus gimana Josh?" tanyaku.
Suaraku bergetar dengan hebat.
Josh menghela napas. "Nes.. Hidup terkadang tidak seperti yang kita inginkan. Kadang kita
harus menyelami pahitnya kehidupan. Tapi coba deh lo rasakan lagi. Ada raa istimewa yang
tersembunyi didalamnya," ucap Josh bijak.
Aku melenguh. "Tapi kenapa saat ulang tahun gue. Gue baru 16 tahun."
"Mungkin Mama lo pikir, lo udah dewasa untuk menerima kenyataan."
Aku diam, meresapi kata-kata Josh dalam keheningan. Josh benar. Lambat laun, aku pasti tahu.
Apa bedanya. Kalau aku bukan anak Papa Tian, apa yang bisa aku lakukan. Kenyataan ini tidak
bisa dirubah. Bukankah manusia tidak bisa memilih dimana dia dilahirkan, buat apa
menyesalinya. Lebih baik hiduplah baik dengan hidup kita. Berdamai dengan nasib.
"Makasih Josh," ucapku setelah perasaanku sedikit membaik. Perlahan aku menyadari sesuatu.
"Kayaknya sudah banyak banget gue say thanks sama elo. Kalau lo ada masalah. Lo bisa
ngandalin gue," kataku sambil tersenyum.
Josh balas tersenyum. "Tentu. Gue akan sangat membutuhkan lo."
"Btw, lo ngapain ke sini?" tanyaku.
Josh menghela napas panjang. "Kakak gue dirawat di rumah sakit ini."
"Sakit?" tanyaku hati-hati.
Josh mengangguk. "Tumor otak."
"Sori," ucapku dengan nada menyesal. Aku sungguh tidak tau kalau kakak Josh punya penyakit
separah itu. Pembicaraan kami harus terhenti ketika mendengar ada suara menyerukan namaku.
Aku mencari-cari asal suara. Pintu masuk kafetaria, Seto sedang berjalan menghampiri kami.
"Dicariin, eh malah asyik pacaran di disini." Seto meraih kursi di depanku.
"Tadi nggak sengaja ketemu Josh," jawabku. Aku malas bertengkar dengan Seto. Apalagi sejak
perselisihan kami semalam.
"Nes, gue masuk dulu ya," pamit Josh.
Aku mengangguk. "Set, anterin gue pulang ke Bandung," ucapku saat Josh sudah pergi.
"Emangnya ada apa sih?" tanya Seto bingung.
"Nanti aku ceritain di Bandung."
*** Sejak kejadian yang sangat mengguncang hidupku itu, aku lebih banyak bengong. Meratapi
nasib. Heran, kenapa Papa Tian dan Mama Desty bisa menutup rapat rahasia ini lebih dari enam
belas tahun. Sampai aku sudah sebesar ini.
Ditengah pelajaran bahasa inggris yang membosankan dari Miss Kristin, aku memilih melamun.
English is fun. Apalagi buatku yang menggemarinya. Namun saat Miss Kristin yang ngajar,
English is not fun anymore. Berganti dengan sweet lullaby.
Miss Kristin cantik dan pintar. Vocabulary-nya luas dan pronounciation-nya bagus. Tapi sayang,
suaranya sangat lembut. Nyaris tak terdengar. Aku jadi malas menambah energi untuk
berkonsentrasi ekstra pada pelajarannya. Hanya satu yang aku suka darinya, Miss Kristin sangat
perhatian. Kembali dalam pikiranku. Dalam benakku kini muncul satu pertanyaan besar. Kalau
aku bukan anak Papa Tian, untuk apa Papa tian menikahi Mama Desty. Pertanyaan ini mungkin
hanya bisa dijawab oleh Papa Tian.
"Neska," ucap Miss Kristin dengan suara lembutnya. Tentu saja, aku tidak sadar karena asik
melamun. Sampe Josh menyenggol lenganku dengan sikunya.
"Neska, all you alright?"tanya Miss Kristin. "You look so pale. Do yo need to take a rest in home?"
"May I?" tanyaku dengan mimik memelas.
"Of course, you are," Miss Kristin tersenyum. "Who's the captain?"
"I'am Miss." Josh bangkit dari kursinya.
"Can you send her to her home?"
"Huuu.....," seru beberapa gerombolan cowok di belakang.
Kelas yang tadinya tenang karena para penduduknya sedang sibuk dengan kegiatan sunyinyaalias tidur- kini menjadi riuh.
"Maunya Miss..."celetuk Nicky dari barisan ujung.
*** Honda Jazz biru Josh akhirnya melewati pintu gerbang sekolah. Setelah merasa cukup jauh, aku
meminta Josh berhenti di halte terdekat.
"Gue anterin lo pulang. Lo kan lagi sakit," sahut Josh, tetap mengemudikan Honda Jazz menuju
rumahku. "Gue nggak sakit kok."
Josh menoleh ke arahku, sambil sesekali memperhatikan kemudinya.
"Lo emangnya mau kemana?" tanya Josh.
"Tempat Papa," jawabku mantap.
"Jakarta?" tanya Josh.
Aku mengangguk. "Gue anter." "Nggak perlu." "Gue anter atau kita balik lagi kesekolah?" ancam Josh.
Terpaksalah aku duduk diam disebelah Josh.
"SMS Seto dulu," saran Josh. "Kabarin lo bakalan pulang telat. Jangan sampe kayak waktu itu."
Aku mengambil ponsel dalam tas. Saat aku mencoba mengaktifkannya, ponselku nggak bisa
aktif. Aku lupa men-charge-nya kemarin. Gara-gara mikirin terrible birthday.
"Gawat. Habis batere".
"Pake punya aku aja. Ambil di dashboard."
"Ngerepotin lo lagi, Josh."
Josh tersenyum tipis. Menatap lurus pada kemudinya. Sementara aku sibuk memencet-mencet
keypad ponsel Josh. To: 0813677xxxxx Set, gue pulang telat. Neska.
Sesaat sebelum, aku menaruh ponsel itu pada tempatnya, aku terkesima melihat gambar yang
di-set sebagai wallpaper. Dua anak cowok yang berusia kira-kira tiga atau empat tahun.
Keduanya sangat mirip. Mungkin kembar.
"Siapa ini" Adik-adik lo?" tanyaku sambil menyodorkan ponselnya.
"Gue sama kakak gue," jawab Josh. Baru saja Josh hendak memasukkan ponsel itu ke
dashboard, benda mungil itu bergetar. Josh membuka pesan masuk. Tanpa menunggu dua detik,
segera disodorkannya padaku.
Lo dimana" Tadi pas gue ke kelas lo. Katanya lo sudah balik.
Sender : +628136777xxxx "Gue harus bilang dimana nih?" tanyaku cemas.
"Bilang lo pergi sama gue."
Aku berfikir sejenak kemudian menggeleng.
"Sekali-sekali pengen bolos."
Aku menghela napas panjang. "Cari yang masuk akal."
"Ngomong yang sebenarnya aja," usul Josh. Ya, mungkin itu ide yang baik.
To: 08136777xxxx Gue pergi ke Jkt. Mo ketemu Papa. Kangen berat.
Part 14 Honda Jazz berhenti di depan bangunan megah. Tempat Papa Tian bekerja. Menghabiskab
waktu sampai lupa pada keluarga. Aku menghela napas panjang sebelum memberanikan diri
turun dari mobil biru ini.
"Nes, kalau sudah mau pulang, telepon gue," ucap Josh sebelum aku turun dari mobilnya.
"Ntar gue pulang sama sopir Papa aja deh," jawabku.
"Lo tega biarin gue pulang sendirian?" tanya Josh.
Aku mengeluh kesal. Nih anak. Aku kan nggak ngajak dia pergi. Maunya ikut sendiri, eh
pulangnya juga minta ditemenin. Ngerepotin amat sih. Tak ayal, aku akhirnya mengangguk.
Aku masuk dengan disambut senyum khas Pak Beno satpam utama gedung ini. Pak Beno
adalah salah satu satpam kepercayaan Papa Tian. Selain bertugas di sini terkadang Pak Beno
juga bertugas menjaga rumah kami di Jakarta.
"Papa ada nggak, Pak?" tanyaku saat berpapasan dengannya.
"Ada, Non. Tapi kayaknya lagi rapat." Pak Beno menjawab dengan sopan.
"Oh. Makasih ya, Pak. Biar Neska tunggu di atas," jawabku sekenanya.
Setelah mendapat anggukan dari Pak Beno, aku melangkah menuju lift. Ruang kotak yang akan
mengantarkan aku ke lantai tujuh, tempat santai Papa Tian.
Mencoba menghibur diri dengan televisi lengkap dengan home theathre di dalamnya. Semoga
saja benda-benda itu bisa menghiburku dari pekerjaan paling membosankan. Menunggu.
Setelah Papa Tian selesai rapat, Papa Tian mengajak ku ke restoran dekat kantor. Restoran
yang dulu sering aku datangi saat Papa Tian masih bersama Mama Desty.
"Papa sibuk ya?" tanyaku sambil mengelanyut manja de lengan kekarnya.
"Demi anak Papa tersayang, Papa pasti ada waktu," Papa Tian mengelus perlahan rambutku.
"Ada apa Neska kesini?" tanyanya kemudian.
"Neska kangen sama Papa," ucapku manja.
Papa Tian mengusap kepalaku lagi dengan sangat lembut. Tangan kekar ini dulu sering
menggendongku ke kamar saat aku tertidur di ruang keluarga. Saat mengobrol dengan Mama
Desty. Akh! Aku benar-benar kangen saat itu. Entah apa saat seperti itu bisa kembali lagi.
Apalagi tangan ini seharusnya bukan milikku.
Aku bermaksud mengutarakan maksud kedatanganku ke sini setelah kami melahap habis makan
siang. Tapi, aku bingung bagaimana cara membuka pembicaraan. Untunglah Papa Tian
mengerti. Dia bertanya duluan.
"Neska kesini bukan hanya kangen sama Papa kan?" ucap Papa Tian.
Aku mengangguk. "Kenapa uang jajannya sudah habis?" sindir Papa Tian.
Aku menggeleng. Ekspresiku kubuat seserius mungkin. Mencoba menandakan kalau sekarang
waktunya berserius ria. "Ada apa sih" Kok serius amat?" tanya Papa Tian lagi.
"Ada yang mau Neska tanyain sama Papa," ucapku serius. "Papa kenal Om Hendri?" tanyaku.
Papa Tian terkejut. Terlihat jelas di ekspresi wajahnya.
"Neska sudah tau?"
Aku mengangguk. "Boleh Neska tau ceritanya?"
Papa menghirup kopinya sebelum memulai cerita. Baru saja dia ingin membuka kalimat, dia
menghela napas panjang. Tanda dia benar-benar tidak ingin mengungkit kisah lama yang
mungkin kembali menguak luka lamanya.
"Papa dan Hendri dulu adalah sahabat baik. Sewaktu kami masih kuliah, Hendri berpacaran
dengan Desty. Sampai akhirnya, Desty hamil, tapi dia tidak mau memberitahu Hendri. Karena
saat itu Hendri memutuskan menerima beasiswa dari Jepang. Desty tidak ingin mengacaukan
rencana Hendri yang sudah disusunnya dengan matang."
Papa Tian kembali meneguk kopinya. Aku semakin tertarik mendengar cerita tentang asal mula
hadirnya aku. "Kehamilan Desty tentu harus ditutupi. Dan saat itu, Papa bersedia menikahinya,"
sambung Papa Tian. "Kenapa papa menikahi Mama?" tanyaku lagi.
Papa Tian terdiam sejenak. "Karena Papa mencintai mamamu. Papa bersedia menerimanya apa
adanya." "Papi Hendri?" "Dia masih mengira Desty tetap menunggunya. Lima tahun kemudian, Hendri pulang ke
Bandung. Dia sangat marah saat tau kami sudah menikah bahkan punya anak. Tapi, Desty
masih merahasiakan kalau anak itu adalah anak Hendri."
"Bagaimana Papi Hendri bisa tau?"
"Hendri ahli urusan matematika. Dan dia menghitung semua keganjila kami. Hendri sempat
meminta Desty dari Papa. Sebenarnya, Papa rela bila Desty kembali ke Hendri. Apalagi,
karena.... Karena Papa tidak bisa memberimu adik."
"Kenapa?" "Testicular blunt trauma. Papa steril,Nes." raut wajah Papa Tian terlihat sedih. Aku
menggenggam tangan Papa Tian. Mencoba memberinya kekuatan. "Tapi Papa bahagia memiliki
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Neska." "Tapi, kenapa Papa dan Mama masih bersama?" tanyaku heran.
"Karena saat itu Desty memilih Papa. Bahkan saat itu, dia berusaha membangun cintanya untuk
Papa. Kami pindah ke Jakarta. Membangun dunia kami yang baru.
"Mama kan sudah memilih Papa. Kenapa Papa sekarang malah memutuskan untuk cerai?"
tanyaku penasaran. Papa menghela napas panjang. "Papa merasa bersalah merebut kebahagiaan mereka. Hendri
masih mencintai Desty. Begitu pun Desty. Sudah saatnya, Papa mengembalikan kebahagiaan
mereka." Aku tersenyum. "Papa benar-benar baik. Neska bangga".
Papa Tian ikutan tertular untuk tersenyum. "Walau pun Neska bukan anak Papa, percayalah
Papa sangat menyayangi Neska." Papa Tian membelai rambutku dengan penuh kelembutan.
Sudah lama sekali aku tidak merasakannya. Sejak dia membenamkan diri sendirian dari semua
kesedihannya. Ternyata dia menyimpan duka yang mendalam.
Aku mengangguk. "Neska percaya sama Papa."
"Sama siapa tadi datang ke Jakarta?" Papa Tian mengalihkan topik pembicaraan.
Aku menepuk dahiku. Hampir saja aku melupakan Josh. "Pa, Neska pinjem handphone dong.
Mau telepon temen yang tadi datang sama Neska," ucapku.
Papa Tian segera mengeluarkan handphone dari sakunya.
"Emang handphone Neska kemana?" tanya Papa Tian.
"Habis pulsa?" tebaknya.
Aku menggeleng. "Habis batere," jawabku dengan menyampirkan cengir.
Papa Tian hanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu menunggu aku sibuk menelepon. Josh
mengiyakan menjemput aku. Beberapa saat kemudian, dia muncul. Kali ini seragamnya sudah
berganti dengan kaos biru.
"Kenalin Pa. Ini Josh. Temen Neska," ucapku.
Josh mengulurkan tangan dan Papa Tian menyambutnya erat. "Joshua, Om," ucapnya sopan.
"Hanya sebatas teman?" tanya Papa Tian melempar senyum nakal kepadaku. Aku
memelototinya kejam. Membuat Papa Tian tertawa.
"Seperti yang anak anda bilang," jawab Josh. Tidak coba menyangkal.
Papa Tian tertawa. Sepertinya menyukai sosok Josh.
"Kami pulang dulu, Pa." aku mencoba masuk ke dalam pembicaraan mereka. Kemudian meciumi
kedua belah pipi Papa Tian.
"Jangan ajari anak orang bolos lagi, Nes," bisiknya pelan.
Aku hanya tersenyum tipis.
*** Sepanjang perjalanan, aku merenungi betapa hebatnya cinta Papa Tian. Kisah cinta yang sangat
tulus dan tanpa syarat. Mama Desty sungguh beruntung. Dicintai dua orang pria sekaligus.
Josh melewati tempat yang penuh dengan rimbunan pohon. Berdiri kokoh menjaga teduhnya
kota. Mengalirkan udara bersih yang sudah dikotori oleh knalpot kendaraan. Mendadak aku
teringat tempat ini. "Josh stop sebentar," ucapku. Aku segera menelusup ke dalam pepohonan iti. Menghampiri satu
batang pohon yang lebih besar dari yang lainnya. Ada batu besar di bawah pohon itu yang
menyebabkan aku mudah mengenalinya.
JoYNeska. Ukiran ini masih tetap ada.
"Jo?" tanya Josh yang berdiri dibelakangku.
"Hanya sepenggal kisah masa lalu," ucapku singkat. Lalu kembali melangkah ke arah Honda
Jazz Josh berdiam. Tapi tangan Josh menghentikan langkahku. Aku menoleh menatapnya. Josh
menarik napas panjang sesaat sebelum mulai membuka pembicaraan.
"Menurut lo. Apa itu cinta?" tanya Josh.
Aku mengernyitkan dahi. Tak menduga mendapat pertanyaan ini dari Josh. Simple tapi aku tidak
pernah menemukan jawabannya.
"Menurut lo?" aku balik bertanya.
"Latte," jawabnya singkat. "Seperti secangkir latte kesukaan lo."
Aku mengernyitkan dahi. "Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Latte itu mengalami pemanasan, mengembang akhirnya menguap. Menurut gue, cinta seperti
itu. Banyak tantangan dan butuh pengorbanan," jawab Josh.
Aku mengeryitkan dahi. Tidak mengerti kenapa Josh menanyakan kalimat ini ditempat seperti ini
pula. Aku tidak mencoba berpikiran jauh.
"Mungkin lo bener," jawabku akhirnya. "Tapi bagi gue saat ini, cinta hanya sebuah kata.
Diucapkan, dirasakan lalu hilang."
"Lo masih sayang sama dia?" tanya Josh.
Aku terdiam. Berpikir dalam hati. Apa aku masih sayang sama Jo" Itu tidak bisa dipastikan. Aku
sudah melewati ratusan hari tanpa Jo. Aku masih bisa hidup. Walau sedikit terseok jalannya. Aku
masih saja merindukkan hadirnya seorang Jo.
"Dia pasti sangat bahagia," ucap Josh sebelum aku menjawab pertanyaannya. Mungkin Josh
menyimpulkan keheninganku.
Perlahan aku tersenyum. Aku seakan mendapatkan kembali seseorang yang mengerti aku.
Mungkinkah Josh orangnya. Seseorang yang bisa menggantikan Jo. Seperti ucapan Jo saat
terakhir kali kami bertemu.
"Josh, boleh gue tanya sesuatu?" tanyaku kemudian.
Josh mengangguk. "Kenapa lo baik banget sama gue" Gue cuma ngerepotin lo."
Josh mendesah. "Gue butuh lo, Nes. Cuma lo yang bisa nolong gue!"
"Nolong apa?" tanyaku penasaran.
"Suatu saat lo akan tau, Nes. Tapi bukan sekarang."
Part 15 Kantin sekolah agak sepi. Bel istirahat memang belum berbunyi. Tapi karena jam olah raga kami
sudah selesai, kelasku boleh beristirahat duluan. Beberapa siswa tampak kembali ke kelas. Tapi
aku memilih duduk di kantin. Menyendiri.
Kata-kata Josh kembali terulang dibenakku. "Gue butuh lo. Cuma lo yang bisa nolong gue." Apa
maksudnya. Cuma kau yang bisa nolong. Tapi nggak sekarang. Sangat membingungkan.
Semakin keras aku berfikir, semakin samar aku mengartikan ucapan Josh. Sangat misterius. Aku
bahkan tidak tau apapun tentang Josh. Samar aku melihat dia hanya kesepian. Tinggal sendiri
dan sangat menyanyangi kakaknya yang penyakitan. Bahkan nama kakaknya pun aku tidak tahu.
"Hei, ngelamun aja," seru Dania. Mengagetkanku. Dania lalu mencari posisi duduk yang nyaman
didepanku. Bel istirahat ternyata sudah berbunyi.
"Ngelamunin apa?" tanyanya kemudian. "Josh?"
Aku yang sedang menyeruput teh botol, jadi tersedak. "Siapa yang ngelamunin dia?" ucapku
sewot. "Wajarkan kalau cewek ngelamunin pasarnya."
"Kan nggak setiap kali.." Ouups... Hampir saja ketahuan. Tiba-tiba satu ide terlintas dikepalaku.
Aku harus mengetahui sesuatu tentang Josh walaupun sedikit. Bukan berasal dari mulut Josh
sendiri. Dan Dania adalah orang yang punya info itu.
"Dan, lo dulu satu SMP kan sama Josh?"
Dania mengangguk. "Dulu pas SMP, pacarnya siapa sih?" tanyaku dengan ekspresi datar.
Muka Dania mendadak blushing. Sepertinya, Dania pernah pacaran sama Josh. Apalagi Josh
pernah bilang kalau dia pernah dekat dengan Dania.
"Kok lo jadi blushing gitu" Lo pernah pacaran sama dia" Bilang aja. Gue nggak bakal marah kok
sama lo," ucapku. Tentu saja, aku tidak punya hak untuk marah. Apalagi cemburu. Hubungan
kami hanya sebatas simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan.
"Sebenarnya..." Dania mngambil jeda yang sangat lama. Membuatku sangat penasaran.
"Dulu...dulu aku pernah suka sama Josh. Tapi... Dia..dia nolak aku."
"Hah" Dia nolak lo" Serius?" tanyaku, sangat terkejut. Bodoh banget Josh sampe pernah nolka
Dania. Josh memang bener-bener nggak punya otak.
"Josh nggak pernah cerita?" tanya Dania.
Aku menggeleng. Walaupun aku nggak ngerti Dania menanyakan cerita mana. Tapi, cerita Dania
bisa membuatku mengenal Josh yang hanya bisa ku jamah samar.
"Josh menyukai pacar Nat."
Aku membeo. "Nat?"
"Masa kau tidak tahu Josh punya kakak?" tanya Dania heran.
Aku gelagapan. "Ehm..aku tau kok. Nat yang sakit..di Jakarta itu kan?" Aku menebak asal. Atau
Josh punya kakak lain. Entahlah.
Dania mengangguk. "Dan lebih gila lagi... Josh sebenarnya belum pernah bertemu dengan pacar
Nat itu. Hanya menyukainya lewat foto dan cerita Nat."
Aku jadi bingung. Suka tapi belum pernah bertemu" Emangya ini jaman dongeng. Cerita
Pangeran Khusraw dari Persia dan Putri Syirin dari Armenia." Please deh! Ini sudah abad 21.
Zaman canggih. "Dulu aku sobatan aja sama dia. Dia pernah cerita kalau mau ngejar pacar kakaknya di Jakarta.
Tapi aku jadi bingung. Kenapa dia masih sekolah di Bandung dan malah pacaran sama kamu.
Apa dia sudah melupakan pacar Nat itu."
"Ya mungkin karena dia tidak mau merebut kebahagiaan kakaknya," sahutku.
"Makanya aku pernah bilang kamu itu hebat banget. Sampai bisa membuat Josh melupakan
cewek itu." Aku hanya tertawa pelan. Menutupi bahwa acara kami jadian hanya sebatas rasa saling
membutuhkan di antara kami. Tiba-tiba aku jadi merasa kalau aku hanya menjadi topeng bagi
Josh. Dan itulah yang dimaksudkannya sebagai: Membutuhkan aku. Dia sedang berusaha
melupakan pacar Nat itu. Josh belum mau membuka diri pada semua cewek yang mungkin antri mendekatinya. Karena dia
masih menyukai pacar Nat itu... Seorang cewek yang hanya dia kenal lewat foto dan cerita
kakaknya. *** Cerita Dania dan perkataan Josh membuatku jadi bingung. Perlahan aku mendapatkan beberapa
puzzle mengenai sosok Josh. Tapi, aku belum merangkainya jadi seorang Josh yang utuh.
Semuanya jadi lebih samar. Mungkin masih ada puzzle yang hilang.
Dampaknya beberapa hari ini aku jadi lebih memperhatikan Josh. Mencoba mengenal Josh dari
dekat. Tiap saat kami jalan bersama. Seperti saat ini. Saat aku sedang menemaninya makan
malam. "Kenapa sih lo akhir-akhir ini merhatiin gue?" tanya Josh to the point.
"Siapa yang merhatiin lo" Ge-er banget sih." Aku kembali menyendok banana splitku.
"So, kenapa tadi pas gue tersedak, lo langsung nyodorin gelas dan tisu."
"Itu..itu" Duh! Mati aku. Aku harus bilang apa nih. "Cuma pengen tau kenapa lo suka latte disini,"
tanyaku asal. Josh mengernyitkan kening. Tampak sekali dia tidak percaya dengan jawabanku. Tetapi tetap
saja dia menjawab pertanyaanku, simpel. "Karena cuma disini yang punya liquor lengkap," jelas
Josh. "Cuma itu?" tanya Josh menyelidik.
Aku menarik napas panjang. Mengumpulkan segenap tenaga untuk memulai untuk memulai kata
yang bisa membuatku lebih mengenal Josh. Kalau tidak sekarang, kapan lagi bisa mulai.
Perubahan selalu membutuhkan keberanian bukan"
"Boleh nanya nggak?" tanyaku.
Josh mengangguk. "Lo pernah punya pacar?"
Josh mengangguk lagi. "Siapa?" tanyaku. Bukankah menurut Dania Josh tidak pernah pacaran.
"Elo." Aku menghela napas panjang. "Kita kan pacaran bohongan?"
"Tapi tetap pacaran toh."
"Sampe kapan kita akan pacaran kayak gini?" tanyaku meminta batas waktu yang tegas akan
hubungan kami. Mungkin, aku harus mengakhirinya sebelum aku mulai benar-benar menyukai
Josh. Buktinya, aku saat ini mulai merasa nggak rela kalau hubungan kami ini berakhir.
"Mungkin.." ucap Josh lirih. "Sampe gue membutuhkan bantuan lo. Dan sampe lo ketemu orang
yang lo suka, gue akan ngerelain lo, Nes."
Part 16 Entah aku harus sedih atau senang. Aku nggak tau apa Josh menyukaiku. Atau dia memikirkan
cewek Nat itu. Aku kini tidak bisa memungkiri, aku mulai menyukainya. Sangat menyukainya. Daya pikatnya
benar-benar kuat. Membuat aku harus menyerah kalau di depannya.
Bahkan aku sedikit sedih saat tau kalau Josh menyukai seseorang. Pacar kakaknya. Nat. Itu kah
nama kakaknya" Apa nama lengkap Nat dan siapa pacar Nat. Wanita yang disukai oleh Josh.
Aku tidak bisa bertanya pada Josh. Apalagi bertanya pada Dania. Aku tidak ingin merasa bodoh
didepan mereka berdua. Jo dan Josh memang sosok yang berbeda. Jo lembut dan perhatian. Sementara Josh tegar dan
selalu ada untukku. Menjagaku setiap kali aku membutuhkannya. Tapi keduanya, membuatku
nyaman bersama mereka. Merasa terjaga.
Tiba-tiba melodi Someday-nya Britney Spears menghentikan lamunanku. Tampak nama Josh
tertera di LCD ponsel. Aku menekan tombol hijau pada ponselku untuk memulai pembicaraan.
"Ada apa Josh?" tanyaku cepat.
"Buku PR Matik gue ada ditempat lo nggak?" tanya Josh.
"Mana gue tau." aku menjawab asal.
"Makanya cek dulu dong di tas lo." Josh mendengus kesal.
Dengan malas aku menghampiri meja belajarku. Tempat tasku berbaring. Aku memeriksanya
sejenak dan mendapati buku Josh disana. "Ada."
"Baguslah. Gue kesana bentar lagi," sahut Josh.
Aku melirik jam dinding di kamarku. "Sudah jam delapan. Besok aja."
"Ada PR yang dikumpul besok," jawabnya.
"Oh,iya." aku menepuk dahiku pelan. "Gawat. Gara-gara asyik ngelamun gue sampe lupa ada
PR." "Jangan ngelamunin gue. Gue tau lo uda kangen berat sama gue," jawab Josh dengan pedenya.
Aku mendengus. " Enakan gue mikirin PR gue," jawabku.
Josh menjawab santai. " Tenang aja cuma dua soal kok."
"Soalnya sih cuma dua, tapi jawabanya dua lembar," keluhku kesal.
Aku paling anti matematika. Hanya kumpulan huruf dan angka tidak beraturan buatku.
"Ya, udah. Gue siap-siap kesana. Bye."
*** Aku menaruh ponsel di atas meja. Lalu mencari buku PR-ku. Kemana sih buku PR gue
ngumpet" Dering someday kembali menghentak.
Duh... Kenapa lagi si Josh.
"Ada apa lagi, Josh," jawabku tanpa harus melihat nama yang tertera di LCD.
"Neska, ini Papa." suara diseberang, menjawab. Suara itu lebih berat. Suara milik Papa Tian.
"Papa..." jeritku senang. "Masih inget sama Neska?"
Papa Tian tertawa kecil. "Inget dong. Dasar Neska-nya aja yang inget sama Josh melulu,"
sahutnya. Membuatku tak enak hati.
"Akh, Papa. Ada apa malam-malam telepon?" aku mencoba mengembalikan topik pembicaraan.
"Emangnya Papa nggak boleh telepon malem-malem. Atau anak Papa lagi nungguin telepon
Josh nih?" Papa Tian menyindirku.
"Papa! Mau ngomong ato Neska matiin?" ancamku.
"Duh,,, jangan galak-galak gitu dong," sahutnya.
Aku mencoba mempercepat tempo pembicaraan. Aku harus segera mencari buku PR-ku. "Iya.
Ada apa Papaku yang ganteng?"
"Nah... Gitu dong."
"Papa lagi happy banget ya?"
"Kok tau?" tanya Papa Tian. Disusul tawa renyahnya.
"Papa mau nyirikin?"
"Dua-duanya." "Pa, cepetan ngomongnya, Neska lagi nyari buku PR Matik nih," sahutku. Aku masih belum bisa
menemukan dimana letak buku itu. Hanya ada buku PR milik Josh yang kutemukan.
"Oke. Oke. Coba tebak. Papa lagi sama siapa?"
"Cewek baru Papa?" tebakku asal.
"Ya..." jawab Papa Tian, pelan. Namun aku berani bertaruh, aku mendengarnya mengatakan iya.
Tiddak seperti dugaanku. Aku jadi penasaran. "HAH" Siapa?"
"Duh. Jangan teriak-teriak gitu dong. Coba Neska tebak dulu."
Aku terdiam sebentar. Memikirkan beberapa nama yang mungkin. "Tante Irma, Mbak Santi, ato
Tante Devi?" aku menyebutnya satu persatu.
"Salah!" "So, siapa dong?" aku jadi semakin antusias.
"Terserah Papa deh." aku menjawabnya. Terdengar suara ponsel berpindah tangan. Samar, aku
mendengar suara yang tidak asing lagi.
"Halo... Neska sayang," sapa suara di seberang. Bukan suara Papa Tian. Suara cewek. Lembut
dan sangat akrab ditelingaku.
Suara ini..."Mama... Mama baikkan lagi sama Papa?" tanyaku senang.
"Menurut kamu bagusnya gimana?" Mama Desty balik bertanya.
"Ya, kayak gini dong." aku menjawab mantap.
Mama Desty tertawa. Diikuti tawa Papa Tian. Sepertinya mereka sedang pake loudspeaker." Lagi
ngapain Nes?" tanya Mama. Mengingatkan ritual mencari buku PR-ku.
"Duh Ma.... Neska lagi cari buku PR Matik. Udahan dulu ya."
"Eit, tunggu-tunggu. Papa mau ngomong lagi."
Mama Desty berkata saat aku hendak menutup pembicaraan.
"Selamet ya, Pa."ucapku.
"Thanks ya, Nes. Papa sayang Neska."
"Neska juga, Pa." aku menjawabnya, senang.
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka. Muncul Seto yang berkata. "Ada Josh." dengan raut muka
masam. Secepat kilat, dia menutup pintu itu.
"Udahan dulu, Pa. Ada temen Neska datang."
"Teman ato teman. Malam-malam kayak gini."
"Itu Josh, Pa. Bukunya tertinggal di tempat Neska."
"Ya udah. Belajar yang bener ya. Sampein salam Papa buat Josh."
Aku mendengus. "Sampein sendiri. Emangnya Neska tukang pos salam. Hehe. Bye, Pa. Neska
matiin.
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Klik! Aku menutup pembicaraan.
Part 17 "Nih, buku lo." aku menyodorkan buku PR matematika Josh.
Josh mengambilnya dan menaruh di atas meja. Dan dia mengambil buku lain yang ada di atas
meja tamu. Aku segera meraihnya. "Buku PR gue. Gue cari kemana-mana."
Josh tertawa kecil. "Palingan cuma dikamar lo."
"Ya, iyalah. Emangnya gue harus dikamar lo?" tanyaku, sebal.
Josh mengangguk." Buktinya ada dikamar gue."
Aku hanya geleng-geleng kepala. Dasar manusia nggak punya otak bin sableng. Itukan namanya
buku PR kita tertukar. Aku mengambil buku itu lalu mengecek halaman terakhirnya. PR yang
ditugaskan Pak Anwar sudah lengkap dengan isiannya.
"Makasih ya, Josh."
Josh tersenyum kecil. "Lo hobi banget ngomong makasih."
"Habis..lo baik banget sama gue. Padahal gue belum pernah sekalipun nolong elo," kataku.
"Apapun yang elo butuhin dari gue, gue akan berusaha bantu."
Josh tersenyum tipis. "Gue pasti butuh lo."
Aku menatap Josh dalam. Raut yang tampan. Sosok yang dingin di luar tapi menyimpan sejuta
kehangatan. Pria yang sangat menarik. Unik dan sangat tidak bisa di tebak. Membuat banyak
tanda tanya untuk lebih berusaha mengenalnya.
"Josh, sebenarnya gue tau satu rahasia lo," ucapku antara sadar dan tidak.
"Rahasia yang mana?" tanya Josh seakan dia mempunyai banyak sekali rahasia.
"Rahasia kalo lo suka sama pacar kakak elo. Lo bisa cerita kok ke ge."
Josh menghela napas panjang sebelum dia mulai bercerita." Gue suka sama dia. Tapi dia nggak
tau. Dia mungkin malah nggak tau siapa gue. Lagian, dia pacar kakak gue. Nggak semestinya
gue merebutnya dari Nat yang sedang melawan penyakitnya."
"Dia sama Nat?" tanyaku hati-hati. Josh membuatku penasaran akan siapa 'dia' yang dimaksud
dalam bahasa Josh tadi. "Mereka sudah putus." Josh memandangku lirih.
"Tega banget dia mutusin kakak lo cuma karena dia sakit."
"Dia nggak salah," bela Josh. "Dia nggak tau. Mungkin orang yang paling sakit hatinya adalah
cewek itu." "Sori," ucapku, spontan. Josh tersenyum, tipis. "Apa rencana lo sama cewek itu?" tanyaku
kemudian. "Gue...gue akan diam-diam menjaganya. Setidaknya, buat kakak gue."
*** Aku nggak mau pusing lagi. Mengenai semua tentang Josh, juga segala kemiteriusannya. Biarlah
semua itu jadi tanda tanya tersendiri. Hanya waktu yang akan menjawabnya. Nanti bila 'nanti'
yang dimaksud Josh sudah tiba, aku yakin dia sendiri yang akan membuyarkan benteng rahasia
yang dibangunnya. Aku sudah cukup bahagia sekarang. Papa Tian dan Mama Desty kini sudah baikan. Semua
hanya kesalahpahaman masa lalu. Papi Hendri masih seorang sahabat bagi Papa Tian dan
Mama Desty. Pun seorang Papi bagiku.
Namun, akhir-akhir ini aku mendapati sesuatu yang aneh dalam diri Josh. Dia selalu aneh
memang. Tapi kini lebih misterius dari biasanya. Lebih diam. Dan kalau kacamataku nggak salah,
Josh terlihat gelisah. Entah masalah apa yang jadi beban pikirannya.
"Josh," panggilku. Aku menhentikan sejenak kesibukan mengisi buku absen. Tanpa sengaja, aku
menyenggol tangannya.Josh berkeringat dingin. Padahal cuaca lagi panas karena hujan belum
pernah turun dalam minggu ini. Tapi tentu tidak sepanas Jakarta.
Josh diam bertopang dagu. Diamnya ini sudah memasuki tingkat tidak wajar. Josh jadi lebih tidak
peka terhadap lingkungan. Bahkan lebih cuek dariku.
"Josh." aku memanggilnya sekali lagi. Berharap dia menoleh walau dengan ekspresi datar atau
sedikit melirik. Setidaknya, aku tau Josh masih sadar.
Namun, Josh tetap diam. "Josh!" aku memanggilnya lagi beriringan dengan senggolan pada tangan yang menopang
dagunya. Membuat topangan itu goyah dan otomatis Josh menoleh padaku.
"Kenapa?" tanya Josh dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Seharusnya aku yang tanya. Lo kenapa sih?" tanyaku sedikit sewot.
Josh hanya menghela napas panjang.
"Lo sakit?" tanyaku sedikit cemas. Oke. Aku sangat cemas.
Kulihat Josh hanya menggeleng lemah. "Gue ke kantin dulu," pamitnya.
*** Hari minggu pagi yang cerah. Aku berkunjung ke Jakarta. Hari ini, aku dan Papa Tian menemani
Mama Desty untuk menjalani medical check up di rumah sakit yang sama seperti Mama Desty
dirawat dulu. Aku jadi teringat pada Josh. Apakah dia datang lagi untuk menjenguk kakaknya hari ini. Nat.
Seperti apa rupanya. Aku jadi penasaran.
Sementara Papa Tian menemani Mama Desty diperiksa, aku memilih untuk mencari udara segar
di taman. Mungkin hanya dipojok taman ini, Jakarta terasa sejuk. Pohon-pohon sejuk
menyegarkan suasana. Pandanganku kemudian beralih pada seseorang yang sedang duduk di atas kursi taman. Pria itu
memakai seragam khusus pasien rumah sakit. Aku memfokuskan perhatianku pada pria itu.
Tidak mungkin!!!.. Benarkah pria itu Jo. Pria yang dulu sering mengisi seluruh ruang dalam
hariku. Tubuhnya kini tampak lebih kurus. Beginikah Jo yang sekarang. Sedang apa dia disini.
Sakit apa dia. Ribuan pertanyaan lain berdesakan masuk ke otakku. Namun, aku hanya bisa
melangkahkan kakiku mendekati pria itu.
Aku berdiri didepannya, tapi dia tidak melihatku. Pandangannya tertuju pada beberapa anak kecil
yang sedang asik bermain. Beberapa suster tampak disekitar, menjaga mereka.
"Jo..." panggilku pelan.
Pria itu tidak menoleh. Ya, tidak mungkin salah lagi. Dia Jo. Jo yang pernah hilang dari hidupku.
"Kamu Jo?" tanyaku.
Pria itu mengernyitkan dahinya."Nat. Semua suster di sini memanggilku Nat,"jawabnya. "Maaf
apa aku mengenalmu?"
Aku mundur beberapa langkah setelah mendengar jawabannya. Dia bukan Jo. Jo tidak mungkin
melupakanku. Pria ini hanya orang yang mirip Jo. Atau mungkin aku yang terlalu sibuk dengan
pemikiranku. Beranggapan kalau Jo yang sudah pergi ke Australia itu masih bersembunyi di
Jakarta. Dan menemukan sosoknya yang mirip dalam pria ini.
Dibelakang pria ini, aku melihat sesosok pria lain sedang menghampiri kami. Membawa dua
gelas berisi teh hangat. Tak asing lagi. Dia......Josh.
Part 18 Kafetaria ini penuh pengunjung. Wajar saja, sekarang adalah jam makan siang. Di pojok
ruangan, aku dan Josh sedang duduk berdua. Membisu sampai kopi hangat yang kami pesan
sudah mulai dingin, sama seperti situasi saat ini.
"Dia Jo?" tanyaku akhirnya. Memecah kebisuan.
Josh hanya mengangguk pelan.
"Dia benar-benar Jo. Jo-nya gue?" tanyaku sekali lagi.
Josh mengangguk lagi. Aku mencona menahan sedih yang perlahan menyeruak. "Jawab Josh. Gue nggak mau lo cuma
mengangguk." Josh hanya diam. Membuatku sadar, kalau pria itu benar-benar Jo. Benar-benar orang yang
pernah sangat aku cintai.
"Lo bilang dia cuma sakit tumor otak. Kenapa dia sampe tega ngelupain gue?" tanyaku kesal.
Atau Jo hanya berpura-pura tidak mengenalku. Menyebalkan. Kenapa Jo setega itu padaku.
"Karena penyakit itu, dia jadi ngelupain beberapa memori di otaknya. "Josh memegangi
pegangan cangkirnya. Menyelami isi air cokelat itu. "Perlahan dia akan melupakan lingkungan di
sekitarnya. Termasuk lo dan gue."
Perlahan air mataku menetes. Separah itukah kondisi Jo sekarang. Kenapa dia tidak mau
memberitahuku. Kenapa aku membiarkan dia sendirian dengan kondisi separah itu. Aku merasa
diri benar-benar jahat. "Nes.." suara itu menyentakku. Suara Josh.
"Kenapa lo nggak bilang dari dulu sih?" tanyaku lirih.
"Dulu, gue pengen kasih tau lo. Sebelum kita jadian. Tapi lo pernah bilang, biar Nat berbuat apa
yang dia suka. Dan kita hanya bisa mendukungnya. Nat nggak pengen lo sedih karena masalah
ini, Nes." "Tapi, bukankah begini, gue akan lebih sedih?" tanyaku kesal.
"Maaf, Nes." Josh merasa benar-benar bersalah.
Aku sadar, Josh tidak sepenuhnya salah. Mungkin dia sudah berbuat sesuatu yang terbaik untuk
kami. "Sekarang, apa yang bisa gue lakuin?" tanyaku kemudian.
Josh menghela napas panjang. "Tolong bujuk Nat agar mau di operasi. Tumornya harus
diangkat. Itu salah satu cara untuk membuatnya lebih lama hidup di dunia ini".
*** Aku menghubungi Mama Desty agar dia tidak perlu cemas dengan keadaanku. Aku juga
memberitahunya kalau sedang menjenguk Jo. Mama turut perihatin atas kondisinya.
Sesaat kemudian, aku melangkahkan kakiku menuju kamar yang disebutkan Josh. Kamar Jo.
Dengan ragu, aku membuka kenop pintu. Tampak Jo sedang duduk di atas ranjangnya. Asik
membaca buku. "Hai," sapaku. Aneh. Tidak pernah kami basa-basi seperti ini dulu.
"Ah, hai," ucapnya saat menyadari kedatanganku.
"Apa kau ingat aku?" tanyaku. Aku merasa asing dengan kondisi ini. Saat berpura-pura tidak
mengenal Jo. Jo mengernyitkan dahinya. "Ehm..bukannya kau tadi orang yang menyapaku di taman. Dimana
pria yang tadi bersamamu" Dia pacarmu ya?" tanya Jo.
"Bukan. Kami teman satu sekolah,"
"Oh." "Buku apa yang sedang kamu baca?" tanyaku seolah benar-benar kehilangan kata-kata untuk
diucapkan. "Oh, cuma diari lamaku. Aku senang membacanya. Tapi aku tidak bisa ingat kalau kejadian ini
pernah terjadi dalam hidupku. Bodohnya aku." Jo tersenyum.
"Aku pikir cowok nggak suka nulis diari," kataku sambil berjalan menuju kursi di samping
ranjangnya. "Entahlah. Sepertinya ,aku mulai menulis diari setelah satu penyakit menyerangku. Dan buku ini
di penuhi dengan nama Echa. Gadis itu pasti sangat cantik sehingga dulu aku begitu
memujanya." Aku mencoba menahan isak tangis yang keluar dari mulutku. Tapi ternyata, air mata ini mengalir
nggak bisa ditahan. Mendengae Jo memanggil Echa, panggilan sayangnya padaku. Rasanya
sudah lama sekali. Bahkan aku hampir melupakan itu.
"Kenapa kamu menangis" Apa aku membuatmu sedih?" tanya Jo.
Aku mencoba tersenyum. Tapi tidak bisa.
"Kamu bisa kok cerita tentang masalahmu sama aku. Tenang saja, aku nggak akan pernah
membocorkannya. Karena sebelum matahari terbit besok. Aku pasti melupakannya."
kemudian, aku duduk disana lama. Bercerita bersama Jo seperti kami ini teman yang baru saling
mengenal. Pembicaraan kami terhenti saat Ayah dan Ibu Jo datang. Akh, aku ingat. Aku pernah
bertemu dengan Ibu Jo sekali. Saat aku berkunjung ke butiknya. Ibu Jo juga masih mengenaliku.
"Akh, aku ampai lupa bertanya siapa namamu?" tanya Jo sebelum aku keluar meninggalkan
kamar Jo dirawat. "Neska. Namaku Neska, besok aku akan mengunjunimu lagi. Jangan sampai melupakannya ya."
Aku mencoba tersenyum padanya.
"Aku nggak bisa janji. Maaf," jawab Jo lirih.
Tanganku bergetar saat meninggalkan ruangan itu. Setelah berpamitan dengan ayah dan Ibu Jo,
aku segera menghambur keluar. Jauh meninggalkan tempat melewati Josh yang dari tadi berdiri
menyandar pada dinding tanpa mengucapkan kata perpisahan.
*** Besoknya, aku datang kembali kerumah sakit itu setelah pulang sekolah. Dengan diantar Josh,
tentunya. Tak lupa aku membawakannya sebuket mawar putih. Berharap Jo masih mengingat
sedikit kenangan di masa lalunya.
"Hai," sapaku setelah masuk ke kamar rawat inap Jo. Josh menyusul di belakang.
"Ah, kalian benar-benat datang lagi," sahut Jo sambil menutup buku yang sedang dibacanya.
Aku meletakan bunga mawar putih itu di buffet. Lalu meraih kursi untuk duduk. Josh hanya berdiri
sambil menuangkan gelas berisi teh hangat untuknya. Huh! Apa dia lupa kalau aku juga tamu
yang datang menjenguk. "Cantik kan?" tanyaku pada Jo.
Jo hanya mengangguk kecil. "Tapi daripada kalian membawakan aku bunga, bukankah lebih baik
kalian membawakan aku semangkuk bakso."
"Lo kan nggak boleh makan bakso?" Josh angkat suara.
"Sampe kapan sih aku makan bubur rumah sakit, aku kan nggak sakit apa-apa. Buktinya aku
bisa berjalan kemana-mana tanpa dikawal."
"Itu kan cuma boleh di rumah sakit." Josh menjawab.
"Aku kan sudah benar-benar bosan," sahut Jo ketus.
Raut muka Jo benar-benar memelas. Seakan dia terkekanh hidup di penjara serba putih. Bahkan
untuk urusan makan saja, dia merasa diatasi. Aku benar-benar sedih melihatnya,. Tiba-satu ide
muncul di kepalaku. "Gimana kalo kita kabur aja?" usulku.
Raut muka Jo berubah. Tampak sangat senang dengan usulku. Lain dengan Josh. Dia
jelasKjelas menentang ide itu.
"Nggak bisa. Kita harus keluar dengan izin dokter," ucap Josh, tegas.
"Ayolah. Cuma sehari," pintaa Jo.
"Iya. Cuma sehari," aku meng-echo. "Sehabis matahari terbenam, kita kembali ke rumah sakit.
Bagaimana?" "Gue tetep nggak setuju." Josh menegaskan.
"Please?" raut muka Jo penuh harap. Membuat Josh akhirnya iba.
"Baiklah. Cuma sehari. Bila terjadi sesuatu, kita harus kembali ke rumah sakit."
Jo mengangguk senang. *** Jo berhasil keluar tanpa dikenali para suster dengan memakai baju ganti Josh. Sementara aku
dan Josh masih tetap berseragam. Kami sekarang sudah duduk dengan nyaman di dalam Honda
Jzz Josh. Aku duduk dibagian belakang. Membiarkan Jo menikmati kebebasan speuasnya
dikursi depan. "Mau kemana?" tanya Josh setelah kami keluar parkiran rumah sakit.
"Kapel Karmel." Jo mengucapkan sesuatu. "Aku ingin sekali kesana."
"Lembang?" aku memastikan. Aku ragu Josh mengizinkan Jo pergi sejauh itu. Bahkan untuk
keluar kamar rumah sakit pun, susah setengah mati membujuknya.
"Kapel Karmel di Lembang" Jauh" Tanya Jo, menoleh menatapku.
"Ya. Mungkin butuh tiga jam perjalanan dari sini,"
jawabku. "Tiba-tiba saja aku ingin ke sana," ucap Jo.
Aku hanya bisa menjawab ucapan Jo dengan menoleh ke arah manusia yang mengemudikan
mobil. Josh sedari tadi diam saja.
"Gimana?" tanya Jo, secara tidak langsung kepada Josh.
Josh tidak menjawab. Namun, sebagaii gantinya, Josh mengarahkan kemudi menuju ke arah
jalan tol menuju Bandung.
Part 19 Kapel Karmel. Dulu aku dan Jo pernah datang ke sini. Tepat sehari setelah kami jadian. Berharap agar kami
bisa selamanya saling mencintai. Tidak terpisahkan. Selamanya berjalan berdua. Bergandngan
tangan. Dulu aku mengira, doa itu tidak terkabul. Saat aku jauh berpisah dengan Jo. Saat sakit itu
menyiksa kesunyian. Namun, kini aku tahu Tuhan punya caranya sendiri menjawab doa kami.
Setelah sekian lama berpisah dengan Jo, aku yakin kalau kami masih saling mengasihi satu
sama lain. Demi waktu yang terus berjalan, masih ada cinta di antara kami. Selamanya. Tidak
terlupakan. Walau kami kini tidak lagi bisa bergandengan tangan.
Karmel, sekali lagi kami datang. Mencoba menumpuk sedikit harapan. Agar belum saatnya kami
berucap kata pisah. Meminta agar kami membuat kenangan lebih banyak lagi. Tapi sekali lagim
kami menyerahkan semua kepadaNya. Kami yakin, Dia sudah menyiapkan rencana yang sangat
indah bagi kami. Aku mengakhiri doaku dengan setitik air mata yang jatuh diatas lipatan tanganku. Sesaat ketika
aku menoleh. Aku mendapati Jo masih dalam posisi khusyuknya. Terlihat jelas lentik bulu
matanya itu lebih cocok untuk seorang cewek. Pun senyum yang perlahan meghias di wajahnya.
Perlahan, Jo membuka mata dan tersenyum.
"Tadi aku berdoa buat kamu dan Josh," ucapnya tanpa aku tanya.
"Apa isi doanya?" tanyaku sedikit penasaran.
"Agar kalian bisa menjadi pasangan serasi." Jo mengatakannya tanpa beban. Tanpa sadar kalau
dia akan melepaskan Echa-nya itu untuk adiknya sendiri.
Aku tersenyum. Entah karena kecewa atau sedih. Sesaat aku bangkit berdiri. Melangkahkan kaki
mengikuti langkah Jo keluar dari kapel kecil ini. Menemui Josh yang hanya mau menunggu di
mobil. *** Honda Jazz biru Josh berjalan melewati rimbunnya pohon di kawasan Tangkuban Perahu.
Membuat kenangan saat dulu pernah camping bersama teman SMPku disini kembali menyeruak
di kolam ingatanku. Saat Jo jadi senior kami.
Aku menoleh sekilas pada Jo. Berharap dia juga ingat kenangan kami itu. Lama kuperhatijan
ekspresinya. Akh, Jo tidak mungkin mengingatnya.
"Mau makan sate kelinci?" Josh menawarkan.
"Emang ada gitu?" Jo balik bertanya. Sama seperti ekspresiku saat pertama kali tahu kalau ada
yang tega menyembelih binatang imut itu. Bahkan mengirisnya tipis-tipis untuk dijadikan sate.
Josh mengangguk. "Boleh?" Jo balik bertanya, ragu. Mewakili pertanyaan serupa yang ingin aku ajukan. Namun,
jelas sekali wajah kegirangan terlukis disana.
Josh sekali lagi mengangguk. "Mau makan dimana?" tanya Josh, memperlambat laju
kendaraannya. Kami sudah tiba di barisan toko penjual sate kelinci.
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dimana aja. Yang penting enak," sahut Jo.
"Kasih saran dong, Nes," ucap Josh. Mengingatkan kalau aku ada ditengah mereka. Sekaligus
dianggap hadir sekarang. Aku memandangi barisan toko penjual sate kelinci. "Yang itu saja." aku menunjuk pada sebuah
toko yang benar-benar dipadati oleh pembeli.
"Kenapa yang itu?" tanya Jo. "Disana kan rame pengunjung. Ntar kemaleman lagi kita nyampe
Jakarta." "Soalnya tempat yang biasanya banyak dikunjungi pembeli itu paling enak," jawab Josh, mewakili
ucapanku. Jo hanya balas dengan ooh yang panjang.
Josh memarkirkan mobilnya di depan salah satu kios yang dipadati pengunjung. Ternyata
walaupun sekarang bukan musim liburan, masih saja banyak yang datang berkunjung ke tempat
ini. Sekadar untuk menikmati sate kelinci ditengah dinginnya udara Lembang.
Kami mengambil meja lesehan paling pojok. Tinggal meja ini yang kosong. Baru saja kani duduk
ponsel Josh berbunyi. Tanda panggilan masuk. Josh meminta waktu sejenak untuk menerima
telepon. Memilih di dalam mobil sebagai tempat paling aman.
Telepon dari siapa itu" Aku jadi penasaran.
"Lagi ngelamunin apa?" tanya Jo. Mengalihkan perhatianku.
Aku hanya menghela napas panjang. Ngapain aku mikirin Josh, padahal aku lagi sama Jo. Aku
jadi bimbang dengan perasaanku. Jo hanya tersenyu, tipis. Ikut memperhatikan arah
pandanganku. Aku mencoba berkonsentrasi pada Jo. Mencoba membujuk Jo untuk operasi. Seperti apa yang
disarankan Josh. "Jo, apa lo nggak pengen sembuh?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Aku nggak sakit kok." Jo menegaskan.
"Lo sakit Jo, mereke bilang lo..."
"Operasi?" Jo menebak.
Aku menganggul. Sesaat kami terdiam. Seorang bapak tua membawakan tiga piring sate kelinci. Menatanya rapi di
atas meja, lalu mempersilahkan kami makan. Kami balas mengangguk sopan.
Sementara itu Jo sedang sibuk memikirkan kata yang terus disarankan dokter, ibu, ayah dan
Josh. Berulang-ulang sampai dia hapal sendiri kata itu. OPERASI. Kata yang mungkin menjadi
akhir perjuangan melawan rasa sakitnya.
"You want me to do?" tanya Jo.
Aku mencoba mempertaruhkan harapan yang kuberikan itu di atas meja operasi.
"Makasih Jo." ucapku lirih.
Jo tersenyum tipis. Senyum paling menawan yang memikat hatiku. Paling tulus walau hanya
sekilas. Karea sedetik kemudian, Jo mengernyitkan keningnya. Jo merasakan badanya lemas.
Limbung seketika. "Josh!!!!!" teriakku sambil memegangi tubuh Jo yang lemas.
*** aku dan Josh menunggu dengan cemas dibalik pintu ruangan UGD. Tapi tirai hijau menghalangi
pemandangan. Segenap perasaan cemas melingkupiku. Pun rasa bersalah karena aku sudah
mengucapkan ide bodoh untuk kabur dari rumah sakit.
Josh menggenggam tanganku. Tangan itu ternyata kini sama dinginnya dengan tanganku. Tapi
Josh tetap mencoba memberi kekuatab lewat tangan itu. Beberapa saat kemudian Om dan Tante
Satrio muncul. Dibarengi pintu UGD perlahan terbuka.
"Gimana keadaan anak saya,Dok?" tanya Tante Satrio.
"Saya belum dapat memastikannya," ucap dokter itu lemah.
"Maksud dokter?" tanya Om Satrio.
"Keadaanya sangat buruk. Mungkin malam ini mas kritisnya lagi."
Aku jatih terduduk di kursi. Lemas. Kakiku tidak kuat menahan berat tubuhku. Perlahan air mata
jatuh tak terbendung. Air mata yang ingin keluas sejak melihat Jo jatuh di pelukanku. Seharusnya
tadi, aku tidak memnuhi permintaan Jo ke Karmel.
"Apa tidak ada jalan lain" Operasi misalnya?" tanya Tante Satrio.
"Doj, Jo sudah bersedia di operasi," jataku setelah sekian lama mematung. Semangatku muncul
lagi. Selagi masih ada harapan, apa salahnya dicoba"
"Dok, biaya adminixtrasi bisa diatur," Sambung Om Satrio.
"Sekarang buakn masalh administrasi," ucap dokter itu lemah. Dia sepertinya sudah mengetahui
kalau Om Satrio orang berada. Sangat berada. "Tapi..."
"Tapi apa dok?" tanya Tante Satrio cemas.
Dokter itu mendesah. "Spertinya tumornya mulai mengganas. Apalagi dia nggak mau
dikemoterapi. Sekarang kemungkinannya fifty-fifty."
fifty-fifty. Itu tandanya batas hidup dan mati. Gosh! Bagaimana Jo jadi separah ini. Bukankah
katanya tumor ini bisa disembuhkan. Operasi.. Masih bisakah operasi menolong Jo.
Membiarkanya lebih lama disini.
Lamunanku terhenti saat Josh menyodorkanku satu kantong. Sepertinya berisi makanan . Padahl
Josh pasti tahu aku tidak berselera makan.
"Makanlah! Jangan sampai elo sakit juga," saran Josh.
Aku membuka isinya. Roti keju yanh kusuka.
Mendadak aku teringat ucapan Jo. "Josh tau semua yang gue tau tentang Neska." pikiranku
menerawang pada bubur ayam favorit, ulang tahun yang menyebalkan dan semua yang ku suka.
Akh, Jo.. Benarkah elo haris pergi"
*** " Neska, elo harus bahagia," pesan Jo.
Perlahan Jo berbalik. Meninggalkanku walau aku memanggilnya berulang kali. "Jangan pergi,
Jo!" teriakku sekuat mungkin.
Gosh! Ini kan hanya mimpi. Aku menatap ruangan gelap ini. Kamarku. Teddy bear pemberian Jo
sedang terduduk di dekat bantal. Segera kupeluk boneka itu erat-erat. Kenapa aku disini,
bukankag tadi aku ada dirumah sakit. Siapa yang membawaku pulang. Perlahan, pintu kamar
terbuka. Seseorang berjalan mendekati ranjangku. Aku masih belum mengenali orang itu sampai
dia menyentuh stop kontak lampu. Tuangan menjadi terang menyala.
"Seto?" panggilku perlahan.
Seto tersenyum."Gue udah tau semuanya dari Tante Desty."
"Bagaimane elo disini@
"sekolah elo?" "Gue sudah minta izin. Menemani elo di sini. Lo yang tabah ya.."
"Makasih ya, Set"
"Apaan sih" Kok jadi melankolis gini adik gue."
aku tertawa perlahan. Sudah lama kami tidak bercanda seperti ini. Terutama sejak aku 'jadian'
dengan Josh. "Set, kenapa gue di sini?" tanyaku heran. "Perasaan gue tadi masih ada di rumah
sakit." "Josh tadi nganter elo kesini. Dia cemas banget saat elo pingsan."
Aku kemudian segera bangkit berdiri dari ranjangku. "Gue harus balik ke rumah sakit," ucapku
tegas. Seto mencoba menenangkanku. "Lo harus tidur malem ini. Kata Josh sudah beberapa hari ini elo
kurang tisur," sahut Seto.
"Tapi.." "Nggak ada tapi-tapi. Malam ini ayah dan ibu Josh yang menjaga Jo. Josh juga mungkin sedang
istirahat di rumah."
"Nggak. Gue harus menemani Jo."
"Nes! Kalau elo sakit kan Jo juaga yang sedih. Semua sedih."
Aku terdiam. "Besok gue anterin ke rumah sakit."
*** Kondisi Jo mulai membaik. Setidaknya Jo sudah bisa membuka mata. Dokter memutuskan
mengoperasi Jo. Mengambil harapan mempertaruhkan nyawa Jo.
"Ma.., Pa" panggil Jo lirih. Dia sedang terbaring lemah pada ranjang dorong yang membawany ke
meja operasi. Menatap Tante Satrio yang sedang menahan tangis. Didampingi sang ayah yang
mencoba tegar. Jo menatap mereka bergantian.
"Jangan nagis...." ucap Jo lirih dengan sisa kekuatannya.
"Mama nggak nangis," Tante Satrio segera mengusap air mata yang tak kuasa jatuh mengenangi
wajahnya. Sesampainya di pintu ruang operasi, aku ku harus melepas genggamanku.
Membiarkan Jo berjuang sendiri melawan penyakitnya.
Jo kemudian menoleh menatapku. Aku mencoba tersenyum meski tidak bisa menutupi rasa
cemasku. Tanganku menggengam tangan Jo seakan memberi kekuatan padanya. Dibelakangku
Josh dan Seto mendampingiku.
"Echa... Jo sayang Echa," ucapnya sambil tersenyum kepadaku.
Aku sedikit terkejut. Jo mengenaliku sebagai Echa. Baru saja aku hendak menjawab ucapannya,
langkahku sudah ditahan oleh beberapa suster. Ranjang dorong Jo sudah dibawa masuk ke
dalam kamar operasi. Aku hanya menyaksikan Jo tersenyu sebelim dia berjuang sendiri didalam.
"Jo, Echa juga sayang Jo," sahutku sedikit berteriak. Kulihat Jo tersenyum lebih manis. Sebelu
pintu ruang operasi menghalangi pandanganku.
Pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Dokter muncul dengan bebrapa suster. Semua yang duduk
bergegas menghampiri dokter itu.
"Sel tumornya sudah kami angkat," ucap dokter itu.
"bagaimana keadaanya sekarang, Dok?" tanya ibu Jo.
"Dia belum siuman. Kondisinya santa lemah. Untuk sementara kalian jangan masuk dulu.
Biarkan dia tenag," ucap dokter itu. Fiuhh... Semuanya menjadi lega.
"Dokter, detak jantung pasien melemah," ucap susuter yang tiba-tiba muncul dati dalam ruangan
operasi. Mengagetkan kami semua. Dokter itu segera masuk disertai pintu operasi yang ditutup.
Setelah beberapa saat, dokter itu akhirnya keluar. Kali ini kepalanya tertunduk. Dia hanya diam
menaggapi pertanyaan yang dihaapinya bertubi-tubi.
Dokter itu menghela napas dan menatap om Satrio dalam-dalam. "Maaf." kata standar untuk
memulai memberitahukan bahwa...
"Jo sudah tidak merasakan sakit lagi."
*** Gerimis di perkuburan. Suasana mendung menaungi beberapa insan yang menatap sebilah salib
terukir nama Jonathan Jeremie Satrio. Rest in Peace. Perlahan pengunjung sudah mulai
berkurang. Hanya keluarga Satrio dan keluargaku disana.
Aku berusaha tidak cengeng. Aku sudah janji untuk tidak menagis. Aku hanya menatap
gundukkan tanah merah yang sedikit basah dengan ekspresi datar. Disitulah Jo berbaring untuk
selamanya. Tidak merasakan sakit lagi seperti yang mereka bilang.
Aku menunduk demi meletakkan bunga terakhir. Setangkai mawar putih. Lambang cinta tulus
untuk Jo terakhir kali. "Lo harus bahagia,Jo," gumamku lirih pada salib itu.
Seto membantuku berdiri. "Ayo kita pulang," ajaknya.
Aku menuruti kemauannya,. Menelusuri jalan setapak menuju mobil Papa Tian. Meninggalkan Jo
yang mungkin akan kesepian sendirian di sini.
"Makasih, Nes," ucap Tante Satrio saat aku melintas didepannya.
Aku tersenyum. Kemudian Tant Satrio masuk ke dalam mobil. Josh yang sedari tadi berdiri
disampingnya menatapku datar. Ada semburat kesedihan yang mendalam di dalam matanya.
Kami saling berpandangan tanpa berkata apa-apa.
Namun, saat aku hendak masuk ke dalam sedan Papa Tian,, Josh memanggilku. Menyodorkan
buku harian Jo. "Lo yang berhak memegangnya," ucapnya singkat.
Part 20 Aku sedang menikmati indahnya langit malam. Jendela kamar kubiarkan terbuka agar lebih jelas
menikmati indahnya malam. Mencari-cari dimana bintang Jo.
Aku teringan pada malam kami jadian. Kami juga asik menatap langit malam. Dipekarangan
rumah ini. Jo dan aku. Hanya duduk berdua. Menikmati indahnya malam kota Jakarta.
"Echa tau nanti kalau orang yang meninggal akan jadi bintang?" tanya Jo.
"Erm... Tau. Tapi Echa nggak percaya."
"Terkadang, sesuatu yang tidak kita percaya... Justru adalah kenyataan."
Yah... Terkadang aku tidak percaya kalau Jo sudah benar-benar pergi. Jo yang selalu ceria,
menemani dan menjaga seorang Neska. Jo yang luar biasa sabar dan dewasa menghadapi
keegoisan Neska. Jo yang meminta maaf duluan waktu kesalahan itu bukan dibuatnya. Jo-nya
Neska yang luar biasa. Air mata yang tadi siang diwakili gerimis akhirnya jatih menitik. Maaf, Jo. Biar malam ini Neska
menangis. Untuk terakhir kali. Mengenang Jo. Hanya malam ini.
Tiba-tiba bunyi pintu berderit. Segera aku menghapus air mata yang jatuh. Tanpa perlu menoleh,
aku tau siapa yang datang.
"Set, laen kali ketuk dulu," ucapku pelan.
Seto tersenyum. Perlahan dia menutp pintu kamarku. "Sori, kebiasaan."
Aku diam saja. Tidak berbalik dari kursi malasku. Apaladi sekedar menoleh menatap Seto yang
berdiri di belakang. "Nes.. Gue tau elo sedih," ucap Seto. "Apa yang bisa gue lakuin biar elo nggak sedih?" tanyanya
dengan nada serius. Aku menoleh. Menatap Seto yang duduk dikursi komputer yang ditarik tepat dibelakangku. "Lo
sudah buat gue happy duduk di sini menemani gue, Set."
Seto tersenyum sambil mengusap rambutku.
"Set, mungkin nggak sih kita jatuh cinta pada dua orang pada saat yang sama?" tanyaku,
penasaran. Masih ragu dengan perasaan yang mengganjal setiap kali aku bersama dengan
Josh. "Mmmh.." seto tampak berpikir keras. Dahinya mengernyit, namun, pandagannya menyelidiku
tajam. "Mungkin aja kali. Lagian cinta itu selalu punya kejutan."
aku tertawa. Sepertinya Seto sudah berpengalaman soal pacaran. Tapi sekali pacaran aja belum
pernah. Seto ikut tertawa. "Udah lama banget lo nggak ketawa, Nes," ucapnya pelan.
Aku mendelik. "Masa sih" Tapi tetep cantik kan?" tanyaku asal.
Seto tertawa lagi. Mendengar tawa jeleknya itu, aku ikutan tersenyum. "Gue sayang sama elo,
Nes." Seto mengatakannya sambil memelukku tiba-tiba.
Aku balas tersenyum. "Untung gue punya kakak yang sayang sama gue." aku balas memluknya
hangat. Seto melepaskan pelukannya dengan segera. Menatapku nanar.
"Gue.... gue sayang sama elo bukan hanya sebagai kakak, Nes," ucap Seto sedikit terbata.
Bahkan terdengar bergetar. Tidak ada lagi ketenangan seorang ketua OSIS. Seorang kakak yang
selalu bercanda. Sekarang hanya ada seorang Seto yang tegang mengutarakan kata hatinya.
Aku tersentak. Diam. Gosh! Apa aku nggak salah denger"
"Gue sayang banget sama elo,Nes," ucap Seto lirih.
"Dulu gue berharap kita itu bukan sepupu. Dan semua itu terwujud. Gue tau itu bukan waktu
yang tepat untuk ngomong kayak gini. Tapi kalo nggak ngomong sekarang, gue takut kehilangan
elo." "Set.." akhirnya aku bersuara. Kali ini dengan nada yang sedikit dewasa. "Lo mau masalah gue
nambah lagi?" Seto menggeleng. "Gue sayang elo. Tapi gue terlanjur ngebiasaain rasa sayang itu sebagai kakak. Lagi pula elo tau
ini bukan saatnya ngomong kayak gitu. Gue mau hati gue pulih lagi. Dari Jo ataupun dari Josh."
Seto tersenyum. Sangat dipaksakan.
"There's another perfect woman for you.."
*** Pembicaraan kami terhenti sejenak saat pintu kamar diketuk bertubi-tubi.
"Non Neska.." suara wanita paruh baya yang sangat ku kenal.
"Masuk, Mbok Sari."
Perlahan wanita paruh baya itu masuk. "Ada buku ketinggalan di jaket Non," ucap wanita itu
sambil menyodorkan buku kecil bersampul biru.
"Makasih ya Mbok." Mbok sari mengangguk. Seto ikut berpamitan. Tidak ingin mengganggu aku
membaca buku itu, katanya.
Perlahan aku membuka buku itu. Nama Echa selalu memnuhi lembar setiap buku itu. Juga
terkadang Jo mengguratkan sketsa wajahku disana. Aku tersenyum melihat ribuan ekspresiku
disana. Kemudian aku terpaku pada lembar terakhir. Tertulis tanggal sebelum operasi Jo.
Aku mencintaimu...bukan hanya demi adamu
Tapi juga demi adaku...saat aku bersamamu
Aku mencintaimu...bukan hanya karena apa yang kau buat demi diriku
Tapi juga karena apa yang kau lakukan demi dirimu
Aku mencintaimu...karena bagian diriku yang telah kau tarik keluar
Dan dunia melihatnya sebagai seni yang indah
Aku mencintaimu...karena meletakkan tanganmu dihatiku
Yang tertimbu-timbun dengan kelebihanmu yang istimewa
Mengabaikan segala bodoh, lelah dan hina
Yang terpaksa kau lihat samar-samar di sana.
Dan karena usahamu yang tak kenal lelah
Membawaku kedalam cahaya semua milik yang indah
Tak terlihat oleh siapapun dan amat jauh ditemukan
Aku mencintaimu...karena kau telah membantuku
Untuk membuat dari susah payah hidupku, pekerjaan dan sehari-hariku
Bukan menjadi kedai minuman tapi menjadi sebuah kuil yang indah
Bukan dengan teguran..melainkan diiringi nyanyian
Aku mencintaimu..karena kau telah berbuat melebihi apapun
Untuk membuatku lebih baik
Melebihi nasib apapun dan telah membuatku bahagia
Love... Jonathan -Love by Roy CroftAirmata jatuh membasahi buku itu. Benarkah elo sudah bahagia,Jo" Terkadang aku masih ingin
menamani Jo berhari-hari di rumah sakit. Aku rela asalkan masih bisa melihat Jo. Tapi kini aku
sadar. Jo lebih baik tidak merasakan sakit itu. Lebih baik Jo menjadi bintang. Menemani para
malaikat yang sedang bernyanyi riang diatas sana.
Istirahat tenag, Jo...Jo tidak akan hilang dari hati Echa.
*** Pagi yang cerah di Bandung...
Love Latte Karya Amel Fernandess di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Set, buruan dong..." Aku sudah bertangger dengan manis di dekat motor Seto. Hari ini aku
kembali bersekolah sejak dua minggi berada di Jakarta.
Mulai hari ini entah Josh akan menjemputku lagi atau tidak. Entah seperti apa hubungan kami
sekarang. Status 'pacar' itu pastinya sudah tidak melekat lagi. Isi perjanjian kami sudah digenapi.
Berarti, hubungan itu sudah selesai.
Sementara, gosip aku dan Seto sudah mulai luntur. Dan SMA Saga benar-benar mengira kami
adalah sepupu. Padahal, kami bukan sepupu lagi. Lucu memang.
Seto muncul dengan mulut penuh makanan.
"Lo disamber setan apa sih" Sudah muali cinta sekolah?" sindirnya
Memang sangat tidak biasa kalau aku bersemangat pergi ke sekolah. Tapi, apa salahnya aku
mulai mencintai SMA Saga. Sesuatu yang dijalani penuh cinta pasti terasa lebih menyenangkan,
bukan" "Enak aja," sahutku. "Buruan"
"Iya.." Seto mengeluarkan motor dari pekarangan rumah. Segera setelah aku duduk mantap di
belakang boncengan, Seto melesatkan motornya ke sekolah.
Hari ini adalah hari baru. Lihat Jo. Neska akan kembali memulai hidup dengan penuh keceriaan.
Neska tau Jo akan selalu menemani Neska. Menjaga Neska seperti dulu. Dari langit biru sana....
Part 21 Hari ini aku sudah lebih dahulu nangkring dikursiku. Bangku sebelahku masih kosong. Aku jadi
teringat hari sebelum aku bertemu Jo. Biasanya, aku dan Jo selalu pergi kesekolah bersama.
Dan itu membawa tanda tanya besar bagi dua sahabat bigosku.
"Nes, lo kemana saja dua minggu ini?" tanya Fey.
"Kok, bisa sama-sama Josh nggak masuk sih?" sambung Dewi. "Sekarang kok nggak bareng
Josh lagi?" Meraka sama seperti dulu. Masih suka mengeluarkan pertanyaan bertubi-tubi. Dan masih suka
mencampuri urusan orang lain. Akh! Bukan mencampuri. Mereka itu memperhatikanku. Sama
seperti sahabat memperhatikan sahabat lainnya.
"Aku ada urusan di Jakarta. Bareng Josh," jawabku sambil tersenyum.
"Urusan" Urusan apa?" tanya Fey.
"Ada deh! Mau tau aja, lo," jawabku sambil mengerling jenaka. "Oh, ya. Hari ini ada pe-er
nggak?" tanyaku lagi.
"Nggak ada. Tapi bebrapa hari ini banyak ulangan. Lo siap-siap aja ulangan susulan bersama
Josh," jawab Dewi. "Ntar gue pinjemin catetan," sambung Fey.
"Thanks," sahutku singkat.
"Ehem..." Josh datang pada saat yang tepat. Kontan Dewi dan Fey memilih menyingkir ke kursi
mereka masing-masing. Sebelum pergi, Dewi masih berbicara berbisik padaku, "Ntar ceritain
ditelepon!" Aku hanya balas mengangguk.
*** Aku bingung, sepertinya sepanjang hari, semua mata melihatku dari atas sampe ke bawah.
Entah masalah apa lagi. Bukankah masalah Seto udah clear. Perasaan nggak ada lagi masalah
yang kubuat. Apalagi dua minggu ini. Aku tidak berada di sekolah.
Aku sedang berjalan dikoridor kelas tiga. Mencari Seto dan mengajaknya pulang bareng. Tapi
belum sampe aku di kelas 3 IPA2..
"Heh!" labrak Fenny. Si kunyuk ini masih suka cari masalah denganku. Tentu saja dikawal para
pengikut setianya. Kalau sendirian, mana mungkin berani.
"Ada apa?" aku mencoba sopan. Lagi pula aku penasaran akan sikap semua orang. Apa aku
sebegitu ngetopnya samapi gosip selalu menerpa.
"Apa benar gosip terbaru itu?" tanya Fenny sok berkuasa.
"Gosip yang mana lagi nih?" tanyaku penasaran. Fenny mengitariku. "Gosip lo aborsi di
Jakarta?" tanyanya dengan tatapan jijik. "Anak siapa tuh" Seto"Josh" Atau cowok laen?" tanya
Fenny lagi. Aborrsi" Whatta hell. Siapa yang buat gosip sekejam itu" Baru aku mengucap sepatah kata,
Wina memotongku,"Pura-pura alim. Nggak taunya..."
Nova ikut-ikutan meledek. "Atau jangan-jangan dia nggak tau siapa ayah anaknya sendiri."
mereka lalu tertawa bersama.
"Denger-denger Seto bukan sepupu elo?" tanya Fenny. "Salah! Harusnya gue bilang. Elo bukan
siapa-siapa Seto," sambungnya sambil mendorong tubuhku.
Aku panas hati. Baru saja aku mau melabrak Fenny dan kawannya, tapi...
"Nggak malu apa main keroyokan?" tanya Josh. Dia menyandarkan tuduhnya di dinding dengan
tangan terlipat. Tampaknya Josh sudah lama diam berdiri di sana.
"Oupss... Daddy datang" celetuk Wina.
Josh menegakkan tubuhnya dan berjalan mengelilingi Wina. Josh berhenti dibelakang punggung
Wina. Sambil menunduk menyejajarkan kepalanya, Josh berucap. "Apa gue harus bongkar
ahasia elo, senior?" tanya Josh pelan.
"Wina tersentak." Rahasia" Rahasia apa?" tanyanya sedikit gugup.
"Tentang..." Josh mengecilkan volume suaranya. "Gue....Bobby."
Fenny yang mendengar nama pacarnya disebut-sebut, jadi turut penasaran. "Lo ngapain sama
Bobby?" "Gua...gua..." Wina tak berani menatap sahabatnya itu.
"Oke,, . Urus bisnis kalian. Dan ingat! Neska bukan cewek yang seperti elo-elo pada omongin."
Josh menarik tanganku. Sementara dibalik tiang, aku melihat Seto menatap kepergian kami
sambil tersenyum. *** sepanjang perjalanan, Josh diam. Matanya lurus mengamati kemudi tanpa sedikitpun menoleh
atau melirik kepadaku. Aku yang duduk di sebelahnya pun ikutan diam. Lama-lama aku jadi kesal
dicuekin. "Sepi banget," ujarku sambil menyalakan radio. Suara ceria penyiar mengisi keheningan kami.
Josh tetap diam. Tetap memfokuskan pandangan pada kemudinya. Aku akhirnya mengalah
mencoba membunuh kebosanan yang sedari tadi menyergap kami.
"Josh" panggilku.
Josh diam. Tidak menoleh sedikitpun. Mulai budek kali nih anak, makiku dalam hati. Josh
membelokkan mobil ke sisi kiri. Area yang lebih sepi dari lalu lalang kendaraan. Tampak
pepohonan asri menjulang menjaga keteduhan. Mobil berhenti salah satu sisinya. Tanpa
memberi penjelasan apa-apa, Josh menghambur keluar. Aku pun turut berjalan dibelakangnya.
"Josh elo kenapa?" tanyaku.
Pertanyan itu membuat Josh menhentikkan langkah. Dia berbalik kemudian memelukku . Erat
sekali dan sangat lama. Seakan tidak may melepaskan.
"Josh, lo kenapa?" aku mengulang pertanyaankusekali lagi. Dipelukan Josh.
"Gue sayang elo, Nes," ucap Josh lirih.
"Gue tau." "Lo nggak tau," sahut Josh. Josh mendadak melepaskan pelukannya. Sebagai gantinya Josh
memegang kedua lenganku erat. Aku sampai mengerang kesakitan. Josh Menyadari
kesalahannya dan melepaskan genggaman itu.
"Maaf," ucap Josh tertahan. Dia memilih masuk ke dalam rimbunnya pohon, dan duduk di satu
batu besar dibawah pohon.
"Gue emang jahat Nes. Jujur gue emang suka sama elo sebelum gue kenal sama elo. Dari cerita
Nat, lo tuh sempurna banget. Baik lucu, sabar, selalu memberi dorongan." Josh menceritakannya
dengan mata berbinar. "Sampe gue tau kalo Nat sakit dan dia.. Dia berencana ninggalin elo. Ditambah Nat nggak mau
menceritakan semuanya. Gue sempet berpikir mengejar elo ke Jakarta." Josh menundukkan
kepala. "Tapi lo masih sayang kan sama Jo," sambungku.
Josh mengangguk. "Gue nggak nyangka lo sendiri ke Bandung. Ke SMA Saga. Gue bahkan
sangat terkejut saat lo sekelas sama gue. Duduk di sebelah gue. Apalagi saat lo minta tolong gue
jadi pacar elo. Gue seneng banget. Dengan begitu, gue bisa punya lebih banyak kesempatan
untuk mengenal elo. Tapi gue inget Nat... Inget seberapa susah dia berjuang melawan sakitnya
demi elo." Aku tersenyum. "elo tu baik, Josh."
"Gue tu jahat, Nes! Sampai saat ini pu gue masih berharap elo.." volume suara Josh mengecil.
"bisa bersama gue," sambungya.
"Itu malah harapan Jo."
Josh sedikit tersentak. "Maksudnya?"
"Gue enggak se-perfect apa yang elo bilang kok Josh. Gue tu childish, selfish, egois, keras
kepala. Bahkan Jo-lah yang bisa dikatakan perfect. Dia nggak ngeluh saat gue lagi bad mood lalu
marah-marah sendiri. Dengan sabarnya dia mendengar omelan gue dan buat gue tertawa lagi."
"Jo sengaja bialang gue se-perfect itu agar lo suka sama gue. Jo tau betul sifat elo. Segala yang
baik untuknya pasti akan elo anggap sangat baik. Jadi.. Pas Jo nitip gue sama elo, dia sudah tau
kalau sebenernya elo suka sama gue."
"Nat sudah tau?" tanya Josh sedikit terkejut.
Aku mengangguk. "Setelah lo kenal gue, lo tau sifat gue yang sebenernya. Sifat jelek gue.
Kejutekan gue," ucapku sambil mengenang saat pertama bertemu.
Josh menghela napas panjang. "Yup! Jo salah." aku tersenyum. Josh kemudian menatapku
dalam. "Elo jauh lebih hebat dari itu, Nes."
"Kenapa elo bilang gue seperti itu?"
"Gue nggak tau juga. Sejak orangtua gue cerai, gue dingin sama cewek. Menganggap mereka itu
makhluk yang selalu menuntut. Apalagi kebanyakan dari mereka sangat matrealistis. Entah
mengapa saat gue sama elo. Gue merasa beda."
"Beda?" aku meng-echo kata terakhir Jo.
"Mungkin benat, awalnua gue terpengaruh ucapan Nat. Nat sering bilang kalo ngobrol sama elo
asik banget. Sampe gue terbiasa kalau ngobrol sama elo."
"Intinya doang," sindirku.
Josh mengangkat sebelah alisnya. Tamaak heran.
"Lo nggak sadar. Selama ini lo ngomong sama gue cuma intinya doang. Kayak baca koran, cuma
headline-nya," ucapku kesal.
"Masa sih?" Josh seperti tidak setuju dengan pendapatku.
"Ya, iyalah! Lo cuma bilang 'gue butuh elo','gue dulu sempet deket sama Dania'. Cuma itu doang.
Tanpa embel'embel lainnya. Lo nggak cerita butuhnya apa. Deketnya sampe giman."
"Emang itu perlu?" tanya Josh.
"Ya, perlulah!" aku tertawa kecil. "Btw, gue hargai kemajuan lo." aku menepuk pundak Josh
pelan. Membuat tawa kami pecah bersamaan.
*** Sesaat kemudian, Josh berdiri. Menggerakan badannya seperti sedang senam. Aku turut berdiri.
Mengamati poho bringi di belakang Josh. Terukir kalimat JoNeska. Perlahan aku menyentuh
ukiran itu. "Di sini.."
Josh berdiri. "Lo nggak sadar gue bawa sampe sejauh ini?" Aku mengangguk, "Makanya jangan
terlalu cuek, Non," ucap Josh mengusap rambutku.
"Gaya lo sama kayak Seto," ucapku spontan.
Josh mengernyitkan dahinya. "Sekarang gimana perasaan lo ke Seto" Dia bukan sepupu lo?"
tanya Josh setengah berbisik.
Aku menatap Josh. Kini, aku bisa menenak maksud pertanyyan Josh dengan mudah. Dia
cemburu... "Kemarin Seto minta gue nggak lagi sebagai adiknya. Tapi sebagai pacar.
"Lo terima" tanya Josh. Tuh... Benerkan Josh cemburu.
Aku menggeleng. "Gue bilang kalau gue susah mengubah rasa sayang gue sebagai kakak untuk
jadi pacar. Gue juga bilang, hati gue bukan milik gue lagi."
"Maksudnya?" tanya Josh penasaran.
"Maksudnya gue suka sama orang lain." aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Tidak ada
makhluk lain yang kutemui selai Josh dan semut-semut merah berbaris merayap di pohon.
"Siapa?" tanya Josh.
"Erm.. Ada deh! Mau tau aja lo," ucapku sambil tersenyum rahasia.
"temen kelan kita" Temen Seto" Atau temen lo di Jakarta?"
Aku tertawa pelan." hellooo.. Jangan nyecer gitu dong tanyanya?"
"So, siapa dong?" tanya Josh lagi.
Aku memulai jawabanku pelan. "Anaknya tinggi, kurus dan..." Josh mengangkat sebelah alisnya.
Tampak menunggu pernyataanku. "Nggak punya otak," sambungku sambil tertawa.
Josh jadi ikutan tertawa. "Lo demen bangt panggil gue, nggak punya otak."
"Habisnya emang iya kan"q tanyaku. "Cowok yang selama ini dekat sama gue ya cuma elo.
Pake muter-muter ke Jakarta segala."
"Iya juga sih." Josh menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal.
"Gue tibaKtiba inga ucapan elo dulu Josh," kataku mengganti topik.
"Ucapan yang mana?"
"Ucapan waktu kita nggak sengaja lewat ke sini dulu."
"Waktu itu gue sengaja ngajak elo kok."
Aku mengangkat sebelah alis. Tampak tertarik dengn pernyataan Josh.
"Cinta itu kayak secangkir latte yang mengalami pemanasan dalam suhu tinggi, mengembang
sampai akhirnya menguap. Cinta seperti itu. Banyak tantangan dan butuh pengorbanan. Tapi
hasilnya, sempurna...Itu kata-kata Jo."
"Mungkin cinta gue sama Jo nggak bisa melewati semua itu. Hubungan gue sama Jo berjalan
mulaus. Jo selalu baik. Selalu mengalah. Sehingga saat tantangan itu datang, cinta gue jadi
sangat lemah. Tidak bisa mengembang. Karena kami tidak bisa berkorban."
"Rasa cinta kalian sudah melewati semua tahap itu. Lo sudah meneguk rasa dari latte cinta itu
bersama Jo. Dan Jo akan diam dalam hati elo selamanya."
Aku mengangguk tanda mengerti.
"Lo masih sayang sama Nat?" Tanya Josh.
"Masih dan akan selamanya begitu."
Josh tersenyum. "Kita mencintai orang yang sama."
senyuman Josh mengingatkanku pada Jo. Kalau diperhatikan mereka memang mirip. Dan
mungkin orang yang kuduga Jo dihari pertama sekolah adalah Josh... Aku tidak bisa bersama
Josh dengan bayangan Jo terus menerus.
Josh kemudian menghela napas sejenak. Dalam tatapanya, aku dapat melihat ada berita besar
yang akan disampaikannya padaku.
"Nes, gue mau ke Aussie," ucapnya singkat. Aku tertegun. "Memang sudah lama papa mau
nyekolahin gue sama Nat ke Aussie. Tapi batal karena penyakit Nat. Sekarang gue rasa waktu
yang tepat untuk gue pergi."
"Lo bakal balik lagi?" tanyaku.
Josh hanya mengendikkan bahu.
*** 3 tahun berlalu.... From :Joshua Satrio
To:Neriska Prasetyo
Subject: How's life, girl"
Hi, there.. Sudah tiga tahuh nggak ketemu.. How's life" Masih suka latte, Nes?"
Inget nggak pembicaraan kita soal latte"
Cinta kayak secangkir latte yang mengalami pemanasan dalam suhu tinggi, mengembang
sampai akhirnya menguap. Cinta seperti itu. Banyak tantangan dan butuh pengorbanan. Tapi
hasilnya, sempurna.. Gue merasa 'cinta tak harus memiliki' itu cocok banget buat gue. Kalo lo bilang itu kalimat buat
cowok pengecut. Menurut gue, itu yang namanya pengorbanan.
Kadang membiarkan orang yang gue cintai bahagia, walau gue nggak ikut andil di dalamnya,
sudah merupakan kebahagiaan terbesar di hati gue. Walaupun negelupain lo adalah hal nggal
mungkin. Lo selalu dihati gue, Nes. Tapi gue lebih seneng ngeliat lo bahagia dengan hidup lo
sekarang. Gue pernah berfikir... Seandainya aja gue yang ikut Papi Jo yang ikut Mami. Seandainya saja,
gue kenal lo lebih dulu sebelum Jo kenal lo. Seandainya, Nes. Sayang gue terlamabat. Tapi,
mengenal lo adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup gue.
Thank's udah pernah menjadi latte dalam hidup gue, Nes.
Send me message, written you are happy inside.
Blessed be, Josh *** Aku meneguk latteku sambil tersenyum setelah membaca email dari Josh. Aku sign out dari layar
emailku tanpa membalas email pertama dari Josh itu. Senyumanku semakin melebar saat aku
melirik selembar tiket menuju ke Perth untuk keesokan hari, terbentang didekat komputerku.
Aku berdiri dari kursiku. Berjalan menuju menghampiri jendela. Kubuka bingkai jendela,
membiarkan angin malam masuk ke dalam kamarku. Aku melipat tangan didede. Membuat diriku
merasa hangat dibalik jaket hitam punya Josh. Jaket yang dulu lupa aku kembalikan.
Pandanganku menerawang pada hitamnya langit malam. Mencoba menyampaikan telepati katakata pada seseorang yang kuharap bisa mendengarkannya.
Cinta itu memang butuh pengorbanan, Josh. Tapi cinta itu lebih butuh perjuangan. Dan nggak
bakalan pernah ada kata terlambat untuk mengejar cinta.
Tunggu aku ya, Josh! ~THE END~ Macan Tutul Lembah Daru 1 Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie Tongkat Rantai Kumala 7