Metropolis Karya Windry Ramadhina Bagian 1
Kematian Leo Saada ari ini Leo Saada dikembalikan ke bumi. Jasadnya yang di"
gosongkan api disembunyikan di dalam peti kayu, lalu diarak
dari sebuah gereja kecil di daerah pinggiran Jakarta ke permakaman
pribadi milik keluarga Saada. Pemakaman Leo dipimpin oleh
seorang pastor tua yang pantas dikuburkan lebih dahulu. Seluruh
keluarganya yang tamak menyaksikan, begitu pula teman-teman
terdekatnya yang gemar berutang, relasi-relasi bisnis, dan anggota
geng yang Leo pimpin sebelum mati.
Di sekitar lokasi pemakaman, berjaga sejumlah polisi. Mobilmobil mereka berbaris di pinggir tanah luas yang dipagari kemboja
kuning dan tersaput rumput hijau yang terpangkas rapi. Bram yang
memimpin polisi-polisi tersebut. Dia berdiri bersandar pada mobil
dinasnya. Matanya memperhatikan kumpulan orang berpakai"
an serba hitam yang sedang berdoa di tengah permakaman. Di
tengah-tengah kumpulan itu, dia mengenali Ferry, anak tunggal
Metropolis.indd 1 Leo. Ferry berdiri paling dekat dengan peti mati ayahnya dan lelaki
muda berdarah Sulawesi itu tampak sangat terpukul.
"Aku tidak pernah melihat pemakaman. Ini yang pertama."
Suara lirih Erik terdengar tiba-tiba, membuat perhatian Bram
teralih. Polisi wanita yang memiliki nama maskulin berkat keeksentrikan orang tuanya itu berdiri di sebelah Bram sambil menunjukkan
raut sedih dengan cara feminin. Mata Erik menatap pemandangan
yang sama dengan yang dilihat Bram barusan. Bram tidak heran
jika apa yang dikatakan oleh Erik itu benar. Erik terhitung baru
di kesatuan mereka dan sebelum ini polwan itu lebih banyak me"
ngerjakan tugas administratif.
"Kalau begitu, kau beruntung," Bram memberi tanggapan
seraya mengeluarkan sebungkus sahabat dari saku, "karena ini
bukan pemakaman biasa. Ini pemakaman Leo Saada, penguasa
wilayah 10." Dia menyulut satu batang rokok. Orang-orang di tengah
permakaman masih sibuk berpura-pura khusyuk dengan wajah
tertunduk dan tangan menghapus air mata buatan. Mereka bisa
menipu Ferry dengan cara seperti itu. Terkadang Ferry bisa menjadi
sangat naif. Tetapi Bram seorang polisi. Dia dilatih untuk selalu
berprasangka buruk, termasuk mencurigai alasan orang-orang
tersebut menghadiri pemakaman Leo. Dan, percayalah, dia sangat
terlatih. Saat ditemukan meninggal, usia Leo Saada tidak jauh dari 57
tahun. Sebagai salah satu pemimpin mafia narkotika di Jakarta,
Leo sangat diperhitungkan. Wilayah yang dia miliki adalah wilayah
terbesar dan terbaik. Bisnis yang dia kelola selama dua puluh tahun
Metropolis.indd 2 ini berkembang menjadi sangat besar. Leo memiliki jaringan yang
luas: Bangkok, Hong Kong, dan Laos. Selain itu, organisasinya
didukung oleh sistem pengelolaan keuangan yang rapi, tepercaya,
dan tidak terlacak. "Orang-orang itu, Erik, mereka datang bukan untuk menghadiri pemakaman."
"Bukan untuk menghadiri pemakaman?"
Bram mengangguk. "Begitulah kira-kira," jawabnya.
Dia mengisap rokok di tangannya. Tidak sengaja, matanya
menangkap sosok perempuan di kejauhan yang berdiri terpisah
dari Geng Saada. Perempuan itu bertubuh tinggi, kurus, dan ber"
kulit agak gelap seperti warna kulit yang terlalu sering menantang
matahari. Wajahnya cukup cantik, tetapi bukan itu yang membuat
Bram tertarik. Perempuan itu sedang ikut memperhatikan pemakaman Leo dengan sikap sembunyi-sembunyi.
Bram mengerutkan alis. Dia tidak mengenali perempuan itu.
"Bram," Erik memanggilnya sambil menunjuk ke arah dua
mobil kapsul yang berhenti di tepi permakaman.
Bram melihat sejumlah orang keluar dari mobil-mobil ter"
sebut, sekitar tujuh atau delapan orang. Dia mengenali mereka.
Mereka orang-orang dari Geng Gilli. Dan, dia sadar, harus ada
yang men"cegah mereka memasuki permakaman atau akan terjadi
pertumpahan darah. Geng Gilli, atau biasa dikenal sebagai geng wilayah 11, sama
seperti Geng Saada. Mereka baru saja kehilangan pemimpin.
Maulana Gilli mati dibunuh penembak misterius satu bulan yang lalu.
Kepalanya pecah dan pelaku penembakan itu belum tertangkap.
Metropolis.indd 3 Buruknya hubungan antara kedua geng menimbulkan kecurigaan
di masing-masing kubu. Rumor beredar, Geng Saada terlibat dalam
penembakan Maulana Gilli, dan kini rumor itu berbalik saat Leo
Saada mati terpanggang dalam sebuah kecelakaan mobil.
"Mundur, Gilli! Sedang ada pemakaman di sini."
Bram menghadang gerombolan yang baru datang itu sebelum
mereka memasuki tanah milik Keluarga Saada. Pasukan kecil polisi
yang dia pimpin berjaga tidak jauh darinya.
Pemimpin baru Gilli tertawa. Suaranya serak seperti orang yang
sedang sakit tenggorokan. Lelaki itu berperawakan kurus kering.
Penampilannya seperti aktor-aktor dalam film Mandarin keluaran
tahun 90-an; necis dengan kemeja warna mencolok dan celana
berbahan licin, klimis oleh minyak rambut, serta sanggup membuat
orang menolak bernapas berkat wangi parfumnya. Kroco-kroco
yang mengekor di belakangnya berpenampilan serupa sehingga
mereka seperti gerombolan penggemar berat Andy Lau yang sedang melakukan pesta kostum.
"Oh ya, aku tahu. Justru untuk itu aku datang," kata Gilli, "tapi
jangan khawatir, Pak Polisi. Aku tidak akan bikin keributan."
Bram mendengus. Omong kosong, pikirnya. Terakhir kali Geng
Gilli dan Geng Saada bertemu, terjadi baku hantam yang menjatuh"
kan banyak korban dari masing-masing kubu. Geng Saada harus
menyewa pikap untuk mengangkut saudara-saudara mereka yang
mati, lalu mereka membunuh sekalian orang yang menyewakan
pikap itu agar tidak ada yang bicara. Geng Gilli lebih berengsek lagi.
Mayat orang-orang mereka malah dibiarkan begitu saja di jalanan
sementara mereka kabur sehingga pada akhirnya polisi yang harus
membereskan itu semua. Metropolis.indd 4 Sebenarnya sudah terlambat untuk meminta Gilli angkat kaki
dari pemakaman itu. Ferry Saada telanjur mengetahui keberadaan
Gilli dan kini anak satu-satunya Leo itu menghampiri tamu tak di"
undangnya bersama empat orang anggota Geng Saada yang bertubuh besar dan tegap. Mereka seperti petinju yang siap naik ring,
tangan terkepal dan mata menatap tajam ke arah lawan.
"Mau apa kau?" Ferry menghardik Gilli begitu mereka bertemu.
Gilli tersenyum menyambut kedatangan Ferry. "Tenang, Ferry.
Aku datang untuk berkabung, balasan atas kunjunganmu pada
pemakaman kakakku bulan lalu," ejeknya.
"Puki!" Ferry menatap curiga lawan bicaranya. "Katakan
dengan jelas! Apa kalian yang bertanggung jawab atas kematian
ayahku?" tanyanya. Gilli menjawab, "Sekarang skor kita satu sama."
Wajah Ferry berubah merah padam. Lelaki itu mengeluarkan
pistol dari balik baju. Dia menodongkan senjata itu ke muka Gilli, lalu
dengan sigap orang-orang di belakang Gilli balas mengacungkan
senjata, begitu juga dengan kelompoknya sendiri. Sejurus kemudian, suasana di tepi pemakaman itu berubah tegang. Kedua geng
siap baku tembak, tetapi mereka masih menahan diri agar tidak
menarik picu pistol mereka.
Ada Bram dan pasukan kecil polisi di sekeliling mereka.
"Turunkan senjata kalian!"
Ferry dan Gilli mengalihkan perhatian kepada Bram. Sesaat,
keduanya terlihat ragu, tetapi kemudian mereka menuruti perintah
Bram. Anak buah mereka mengikuti.
Metropolis.indd 5 "Seperti biasa, kau tidak suka melihat keributan, Pak Polisi?"
ledek Gilli. "Pulanglah dan bawa gerombolanmu, Gilli, atau kubuat kau
menginap di Polda malam ini," ancam Bram.
Gilli menurut walau sambil berlagak. Sebagai polisi yang me"
nyimpan banyak kartu as, Bram memang ditakuti oleh banyak mafia
narkotika, termasuk Gilli dan Saada. "Yah, aku juga sudah cukup
berkabung," kata Gilli. Lalu, lelaki itu beranjak pergi dari lokasi
pemakaman Leo Saada bersama semua anak buahnya.
Sepeninggal Gilli, Bram berkata kepada Ferry, "Aku yang ta"
ngani kasus ayahmu. Kurasa, Gilli tidak terlibat dalam masalah
ini." Ferry menolak ide itu mentah-mentah. "Omong kosong,
Bram! Kalau ada yang diuntungkan dengan kematian ayahku, itu
pasti Gilli." Bram mengenal Ferry bukan baru satu atau dua hari. Dia
me"ngenal Ferry hampir selama masa bertugasnya di Sat Reserse
Narkotika. Dia hafal sifat lelaki itu dan tahu tidak ada gunanya
berdebat saat penyakit keras kepala Ferry sedang kambuh. "Pemakaman ayahmu belum selesai. Lanjutkan sana," kata Bram.
Dia menambahkan, "Oh ya. Aku menemukan petunjuk tentang
penyelundupan yang kau lakukan di pelabuhan. Kali ini kau tidak
akan lolos." Ferry tampak terkejut saat mendengar ucapan Bram yang
terakhir, tetapi tidak berkata apa-apa untuk menanggapi itu.
Lelaki itu hanya menepuk bahu Bram, lalu pergi untuk meneruskan
pemakaman ayahnya. Metropolis.indd 6 Bram kerap merasa aneh saat menilai sendiri hubungannya
dengan Ferry. Dia tidak tahu apakah Ferry kawan atau lawan,
tetapi dia paling senang berurusan dengan orang-orang Saada.
Tidak seperti pengedar-pengedar narkotika yang lain, orang-orang
Saada tidak suka menggunakan cara licik. Mereka berperang secara
terbuka, dan Bram menghargai itu.
Pemakaman Leo dilanjutkan dan berakhir tidak lama kemudian. Selain keributan kecil yang ditimbulkan Geng Gilli, hanya
batuk berkepanjangan sang pastor yang sempat mengganggu
jalannya pemakaman tersebut. Sebelum Bram meninggalkan lokasi,
dia sempat mencari-cari perempuan cantik berkulit gelap yang
dilihatnya tadi. Perempuan misterius itu sudah pergi dan untuk
sementara Bram tidak ingin ambil pusing. Dia masuk ke mobilnya,
lalu me"minta kepada Erik yang sudah siap di balik kemudi untuk
membawa mereka kembali ke kantor.
Ajun Komisaris Besar Polisi Moris Greand pensiun pada hari yang
sama. Bram baru ingat saat dia tiba di rumah malam itu dan me"
nerima pesan suara yang Moris tinggalkan lewat telepon. Dalam
pesannya Moris berkata, "Bagaimana pemakaman Leo" Terjadi
sesuatu" Curut itu hidup lagi atau semacamnya" Hahaha. Aku tunggu
sampai siang, tapi kau tidak juga kembali ke kantor. Hari ini aku
pensiun, Anak Muda."
Bram tersenyum mendengar pesan Moris. Moris adalah
atasannya di Sat Reserse Narkotika selama enam tahun dan sudah
seperti ayahnya sendiri. Lelaki itulah yang membimbingnya serta
Metropolis.indd 7 mendukung kariernya di kepolisian sampai dia menjadi seperti
sekarang. Bram sangat menyayangkan Moris harus pensiun,
tetapi Moris memang sudah tua dan mulai besok dia tidak akan
menemukan lelaki itu lagi di kantor mereka.
"Oh ya. Aku punya berita buruk untukmu. Penggantiku nanti
adalah Burhan dari Reskrimsus." Moris melepaskan tawa lagi.
"Siap-siap saja, Anak Muda. Dia akan membuat perjalanan kariermu
ke depan lebih berat. Dan satu lagi, cepat kau bereskan kasus penyelundupan yang dilakukan Ferry. Sampai kapan kau akan menahan
bukti itu?" Setelah itu, pesan Moris berakhir.
Bram meninggalkan pesawat telepon. Dia melangkah menuju
dapur untuk mengambil satu botol air mineral dari dalam kulkas.
Ditenggaknya air itu, sementara dia memikirkan perkataan
Moris. Bram bukan tidak ingin menangkap Ferry, tetapi dia yakin
bahwa kartu as yang sedang disimpannya ini akan berguna saat
dibutuhkan. Selama ini, Ferry telah menjadi lawan transaksi yang
menguntungkan baginya. Lelaki itu sering menawarkan informasi
berharga kepadanya, dan Bram harus selalu siap dengan sesuatu
di genggaman untuk ditukar.
Ferry sangat dikenal di kalangan pelaku bisnis gelap Jakarta.
Di dunia mafia Eropa, orang seperti Ferry biasa dijuluki ginnetti,
lelaki flamboyan dengan koneksi tersebar luas. Ferry menjalani
gaya hidup tinggi; memakai pakaian mahal dan mengendarai mobil
mewah, beredar dari satu kelab malam ke kelab malam lainnya,
dikelilingi perempuan-perempuan cantik; dan mengenal banyak
orang. Akan tetapi, Ferry tidak bisa berbisnis sebaik Leo dan itu
sangat disayangkan oleh banyak pihak di kalangan mafia.
Metropolis.indd 8 Leo mengalami kecelakaan mobil di salah satu tol dalam
kota. Mobilnya terbakar habis. Leo mati di tempat bersama sopir
dan dua orang anggota kelompoknya. Tim forensik kepolisian menemukan peluru di sekitar lokasi kejadian, maka dengan mudah
Bram mengambil kesimpulan: kematian Leo bukan kecelakaan.
Tidak ada keraguan mengenai hal itu. Awalnya, Bram menyangka
kematian Leo adalah dampak dari perseteruan yang biasa terjadi
antarmafia narkotika, tetapi kemudian dia mendapati fakta bahwa
ada lima orang pemimpin geng lain"selain Saada dan Gilli"yang
mati dalam satu tahun belakangan ini. Jumlah itu terlalu besar bagi
Bram, maka dia mulai menduga kasus yang sedang ditanganinya
ini tidak sesederhana yang dia pikirkan.
Bram kembali ke ruang tengah setelah selesai dengan satu
botol air mineralnya. Dia membuka jendela di salah satu sisi ruangan
dan membiarkan udara malam yang dingin masuk bersama suara
kendaraan yang terdengar lamat-lamat. Diambilnya asbak dari atas
meja, lalu dia duduk di bibir jendela, menyulut sebatang rokok, dan
membiarkan dirinya larut dalam lamunan.
Dia teringat kembali kepada perempuan misterius di
permakaman. Siapa perempuan itu"
Metropolis.indd 9 Bram urhan D. Saputra punya kebiasaan mengusap bibirnya dengan
ibu jari. Oleh orang-orang yang mengerti bahasa tubuh manusia, aksi mengusap bibir bisa diartikan lebih dari sekadar kebiasaan.
Sama artinya seperti saat seseorang menyembunyikan tangan ke
dalam saku atau berbicara sambil berusaha menghindari tatap mata
dengan lawannya. Bram memperhatikan sejak tadi. Tidak terhitung
berapa kali Burhan melakukan gerakan kecil itu sepanjang acara
perkenalan Kasat Reserse Narkotika baru. Bukan berarti polisi itu
menyembunyikan sesuatu sepanjang waktu. Tetapi jika gerakan itu
sudah menjadi kebiasaan, maka hanya Tuhan yang tahu sebanyak
apa Burhan mengusap bibirnya dengan ibu jari selama ini.
Bram masih ingat saat dia pertama kali mengenal Burhan. Kala
itu, Burhan mengambil alih sebuah kasus narkotika yang sedang
diusut oleh Bram. Alasan Burhan, kasus itu bukan lagi kasus obat
terlarang, melainkan kasus penyelundupan yang notabene masuk
Metropolis.indd 10 dalam wilayah kerja kesatuan pimpinan Burhan. Bram melepaskan
kasus itu karena perbedaan pangkat dan kalah dukungan. Tetapi,
dasar curut! Tersangka yang susah payah dia bekuk bersama timnya
dibebaskan begitu saja oleh Burhan. Tidak cukup bukti, dalih curut
itu. Omong kosong! Bram tahu polisi macam apa Burhan itu.
"Ah, Agusta Bram."
Suara berat Burhan terdengar dari ujung ruangan. Polisi bertubuh gempal dan berwajah bulat itu memberinya senyum lebar
yang dirasa Bram sangat janggal. Bram duduk di barisan kursi paling
belakang. Di depannya, ada sekitar tiga puluh reserse yang kini ikut
memandang ke arahnya. Dia mendengar Burhan berkata, "Sejak
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih berada di Reskrimsus, saya sudah mengagumi prestasi anak
muda ini. Sat Reserse Narkotika beruntung punya Agusta Bram dan
suatu kesenangan tersendiri bagi saya bisa bekerja dalam kesatuan
yang sama dengannya."
Bram tersenyum sinis menanggapi pujian Burhan. Basa-basi,
pikir Bram. Basa-basi yang membuatnya ingin muntah di seragam
polisi itu. Bukan kata-kata seperti itu yang biasa keluar dari mulut
Burhan jika mereka berdua bertemu di kolong jalan layang. Dia
dan Burhan tidak beramah-tamah. Mereka tidak duduk satu meja,
merokok berdua, atau main kartu sambil mengobrol tentang nenek
mereka yang berumur panjang. Mereka adalah musuh bebuyutan.
Tetapi sialnya, kini polisi curut itu menjadi atasannya di kesatuan.
Bisa dipastikan, beberapa tahun ke depan akan menjadi
masa-masa yang berat dalam perjalanan karier Bram. Burhan akan
menjadi tantangan tersendiri baginya. Dan, benar saja. Segera
setelah acara perkenalan mereka selesai, dia diminta menghadap.
Metropolis.indd 11 Bram bisa menduga apa yang ingin Burhan bicarakan dengannya.
Karena itu, langkahnya terasa berat menuju ruang kerja Kasat
Reserse Narkotika. Dia masih ingat pertama kali dirinya memasuki ruangan itu.
Moris yang menunggunya di dalam. Kala itu, dia masih berusia 22
tahun dan baru memulai kariernya di kepolisian.
"Siapa tadi namamu, Anak Muda?"
"Agusta Bram, Pak," Bram menjawab dengan sigap. Dia berdiri
tegap di hadapan Ajun Komisaris Besar Polisi Moris Greand, lelaki
yang memimpin Sat Reserse Narkotika Polda Metro Jaya, kesatuan
di mana dia akan bertugas mulai hari ini.
Moris Greand bertubuh besar. Kursi yang lelaki itu duduki
terlihat kecil. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke depan sambil
mengusap-usap dagunya yang kotak. Sikunya bertumpu pada meja
di hadapannya. Tulang matanya dalam seperti mata elang dan dia
menatap ke arah Bram penuh selidik.
"Bram," panggil Moris, "usiamu dua puluh dua tahun?"
"Ya, Pak." "Kudengar kau sendiri yang minta ditugaskan dalam
kesatuanku." "Ya, Pak." "Ada alasan khusus?"
Bram tidak langsung menjawab. Ya, ada satu alasan kuat
kenapa dia memutuskan untuk bergabung dengan Sat Reserse
Narkotika, tetapi itu tidak bisa dia jelaskan. Maka, dia memberi
jawaban sekadarnya atas pertanyaan Moris.
Metropolis.indd 12 "Saya ingin membasmi pengedar narkotika di Jakarta, Pak,"
katanya. Moris tertawa mendengar itu. Suara berat Moris memenuhi
ruangan. Tubuh besarnya terguncang-guncang dan kursi yang
diduduki oleh lelaki itu berderit-derit.
Sikap Bram berubah kikuk. Dia bertanya dengan bingung,
"Maaf, Pak?" Atasannya berkata mengejek, "Klise, Anak Muda. Kalau ingin
bohong, lebih pintar sedikit."
Wajah Bram segera memerah, tetapi kemudian dia melihat
senyum Moris berubah hangat.
"Alasan pribadi?" lelaki itu bertanya dengan suara yang
dipelankan sambil kembali menatapnya. "Tidak apa-apa. Simpan
saja untuk dirimu sendiri. Untukku, yang penting kau mengerjakan
tugasmu dengan baik."
Untuk pertama kalinya selama belasan tahun, dada Bram
terasa hangat. Sebuah emosi yang hampir tidak dia kenali lagi
menyusup tiba-tiba. Mirip seperti emosi yang dahulu sering dia
rasakan saat masih hidup bersama kedua orang tuanya. Selama
ini, dia mengira emosi itu sudah hilang, tetapi entah kenapa Moris
membuatnya teringat kembali.
Bram membalas senyum atasannya itu, lalu mengangguk.
"Siap, Pak," jawabnya.
"Moris. Cukup panggil aku Moris."
Ruangan yang pernah dipakai oleh Moris berubah sehingga Bram
merasakan kejanggalan ketika masuk ke sana. Beberapa perabot
berganti posisi dan segala sesuatunya menjadi lebih rapi. Tumpukan
Metropolis.indd 13 kertas yang selama ini menimbun meja kerja Moris sudah tidak ada.
Begitu pula pigura-pigura kayu di keempat din"ding ruangan dan
sejumlah hiasan tidak berguna dari porselen yang kerap Moris beli
sepulang bertugas di luar kota.
Akan tetapi, hal yang paling janggal dibandingkan dengan
semua itu adalah keberadaan Burhan di ruangan tersebut.
Burhan tampak santai di kursi yang biasa diduduki oleh Moris.
Tubuh Burhan tidak sebesar Moris, tetapi pantatnya lebih lebar, sehingga kursi yang sedang diduduki bernasib sama walau sudah berganti majikan. Setiap pemakainya bergerak, kursi itu akan berderit.
Burhan menyandarkan diri ke punggung kursi sambil mengunyah
sesuatu. Mata polisi itu menyambut kedatangannya.
"Duduk, Bram," perintah Burhan.
Bram menurut. Dia duduk di hadapan atasannya yang baru,
tetapi sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan polisi itu.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya.
"Ini tentang kasus Leo Saada yang sedang kau selidiki," kata
Burhan, "sudah saatnya kasus itu dialihkan ke kesatuan lain. Leo
memang bajingan narkotika, tapi bukan berarti kita yang harus
mengusut kematiannya. Itu bukan urusan kita."
Bram tersenyum sinis. Dugaannya benar. Dia segera menjawab, "Ini kasusku."
Burhan tertawa seolah-olah tahu ia akan menolak. "Bram.
Bram. Dengar, Bram," ujar atasannya itu. "Bukan kau yang menentukan itu walaupun kau polisi kebanggaan kami. Dulu, saat Moris
masih jadi kepala kesatuan kalian, sah-sah saja kau bersikap seenak
dengkulmu seperti barusan. Moris memang lembek, tapi sekarang
aku yang memimpin di sini dan aku punya aturan main sendiri."
Metropolis.indd 14 Giliran Bram yang tertawa. Dia tahu, walau perdebatan itu
diteruskan sampai kiamat, mereka berdua tidak akan pernah
mencapai kata sepakat. Jadi, lebih baik dia keluar dari ruangan
itu sekarang sebelum situasi memanas dan mereka mulai saling
membunuh. "Aku sudah dekat dengan petunjuk dan kau tahu itu
jadi sia-sia kalau kasus ini berpindah tangan! Jadi, Burhan, kalau
kau berikan kasus ini kepada kesatuan lain, aku akan berasumsi
kau tidak ingin orang di balik kasus ini terungkap!" gertaknya. Dia
bangkit dari tempat duduknya dan buru-buru menarik diri dari
hadapan Burhan. Erik sudah menunggunya di luar ruangan. Polwan itu berbisik,
"Kalian bertengkar?"
Bram hanya menyeringai untuk menanggapi Erik. "Ada
petunjuk baru?" tanyanya dan Erik mengangguk.
"Saksi penyelundupan yang dilakukan Ferry di pelabuhan ada
di ruang interogasi," kata Erik.
Mereka berdua bergegas menghampiri ruangan yang
dimaksud di sayap lain bangunan. Di ruangan itu, seorang lelaki
usia 30-an tahun duduk di salah satu kursi, di hadapan sebuah meja.
Penampilan lelaki itu berantakan. Dia mengenakan sepasang celana
dan kemeja kumal. Tubuhnya gemetaran seperti menggigil, rona
wajahnya pucat, matanya sayu, dan hidungnya basah. Seorang
pecandu. Bram menebak dengan mudah.
Dia terlalu kenal kondisi semacam itu. Bahkan, sejak dia masih
kecil. Kondisi itu selalu dilihatnya setiap hari. Hampir setiap saat.
Metropolis.indd 15 "Opi...." Ayahnya bergumam. Bram baru saja pulang dari sekolah dan
masih mengenakan seragamnya yang putih-merah. Dia menghampiri lelaki kurus yang terduduk lemah di sudut rumah kontrakan mereka. Mata lelaki itu berair. Hidungnya ingusan. Wajahnya
pucat"sepucat mayat"tetapi mulut lebarnya yang mengiler masih
bergerak, mencoba mengeluarkan kata-kata dengan berat.
"Opi...," gumam ayahnya lagi.
Bram mengamati ayahnya. Tubuh ayahnya menggigil seperti
kedinginan, padahal udara siang yang terperangkap di dalam rumah
mereka yang sumpek dirasanya sendiri sangat panas. Sejumlah
jarum suntik habis pakai berserakan di sekitar kaki ayahnya dan itu
men"jelaskan kondisi buruk lelaki itu. Bukan pertama kalinya Bram
melihat ayahnya dalam kondisi seperti ini. Sudah kelewat sering malah, sehingga dia terbiasa. Bahkan, sebenarnya dia nyaris bosan.
Ayahnya adalah seorang pecandu. Pecandu berat. Semua uang
hasil kerja ibunya selama ini dihabiskan untuk membeli jarum-jarum
suntik. Jika tidak diberi, ayahnya akan mengamuk, kadang-kadang
main pukul. Sampai dua bulan lalu, ibunya masih bertahan, tetapi
akhirnya kesabaran perempuan itu sampai juga pada batasnya.
Mungkin ibunya tidak ingin terus-menerus melalui hidup dengan
sia-sia, maka perempuan itu pergi dan meninggalkan dirinya hanya
berdua dengan sang ayah. Bram menyimpan tas sekolahnya di dalam satu-satunya lemari yang mereka punya. Dia mengambil beberapa lembar uang
ribuan dari dalam laci yang sebelumnya dia kunci. Bram ingat, saat
ayahnya dalam kondisi seperti sekarang, ibunya kerap membelikan
Metropolis.indd 16 sebungkus rokok dari warung. Rokok itu dijadikan penawar, sekadar
membuat ayahnya bertahan sampai lelaki itu memiliki uang untuk
membeli barang candu lagi.
Bram berlari kecil keluar rumah, mengunjungi toko kelontong
yang hanya berjarak dua puluh meter.
"Beli apa, Bram?"
"Rokok, Koh," dia menjawab sambil menyodorkan uang.
"Bapakmu sakau lagi?"
Sakau atau apa pun itu namanya, Bram mengerti maksud
pertanyaan itu. Dia mengangguk dan memaksakan diri tersenyum
lebar. "Biasa, Koh," ujarnya. Dia melirik ke arah rumahnya sewaktu
menunggu penjaga toko mengambilkan rokok. Dilihatnya seorang
lelaki berpakaian gelap keluar dari dalam. Hanya punggung orang
itu yang tertangkap oleh mata Bram. Dia berpikir, ada tamu yang
datang rupanya. Tetapi kapan tamu itu masuk" Dan, kenapa orang
itu pergi begitu cepat"
Setelah mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh ayahnya,
Bram pulang dengan kembali berlari kecil. Pintu depan rumah
mereka terbuka lebar. Sosok ayahnya masih ada di sudut ruangan
kala Bram melangkah masuk. Posisi lelaki itu sedikit berubah. Jika
tadi terduduk, sekarang ayahnya terbaring telungkup dan tubuh
lelaki itu sudah berhenti menggigil.
Rokok di tangan Bram jatuh ke lantai. Dia menahan napas.
Kedua matanya terbelalak karena ngeri. Dia melihat cairan kental
berwarna merah menggenang di sekitar kepala ayahnya.
Metropolis.indd 17 "Ada tambahan, Bram?"
Suara Erik membuyarkan lamunannya. Bram memberikan
perhatian kepada Erik dan dilihatnya polwan itu menunggu dirinya
mengatakan sesuatu. Mereka masih berada di ruang interogasi Dit
Narkoba Polda Metro Jaya, duduk berhadapan dengan seorang saksi
penting. Selama lebih dari setengah jam, Erik mengajukan sejumlah
pertanyaan kepada saksi itu, tetapi Bram tidak terlalu menyimak
jalannya interogasi barusan.
"Tidak," jawabnya. Dia akui, konsentrasinya terganggu oleh
kenangan. Sebenarnya, sudah lama dia tidak teringat kepada ayahnya.
Dia cukup terkejut saat kenangan tentang lelaki itu muncul tiba-tiba
dan dia menduga sosok kotor di hadapannya itulah yang menjadi
pemicu. Tidak seorang pun tahu. Tidak Moris, tidak juga Erik. Dia
menyimpan rapat-rapat bagian gelap dalam hidupnya itu hanya
untuk dirinya sendiri. Dia anak seorang pecandu yang mati dibunuh
pengedar karena tidak sanggup membayar utang. Dirinya bernama
Agusta Bram, Inspektur Polisi Satu Sat Reserse Narkotika.
Metropolis.indd 18 okain dinamai happy dust oleh banyak orang bukan tanpa
alasan. Bubuk kristal tersebut mampu membuat orang yang
menghirupnya bahagia bukan kepalang, seperti anak yatim miskin
naik komidi putar di pasar malam sambil mengulum lollipop bentuk kembang. Karena alasan serupa, penguasa wilayah 4, Markus
Haulussy, mendapat julukan Ambon Hepi. Dia dan gengnya memasok kokain dari Malaysia, mengedarkannya ke seluruh pelosok
Jakarta, dan membuat ribuan remaja depresi larut dalam ekstasi.
Markus tinggal di Kompleks Ambon bersama saudara-saudara
sekampungnya. Perumahan yang terletak di daerah Cengkareng itu
kerap digerebek polisi karena biasa dijadikan gudang penyimpanan
narkotika. Beberapa kali Markus dan anak buahnya tertangkap,
tetapi dia tidak juga jera. Bisnisnya terus berjalan dan dia tidak
pernah punya niat pindah dari perumahan yang masuk daftar hitam
tersebut. Metropolis.indd 19 Malam ini, seorang lelaki Tionghoa berpenampilan biasabiasa saja datang kepadanya, menawarkan lima kilogram kokain.
Dia katakan biasa-biasa saja karena memang tidak ada sesuatu yang
spesial, yang bisa digunakan untuk identifikasi seperti bibir dower
atau kepala peang, dari penampilan fisik lelaki berkulit kuning itu.
Dia dan tamunya bicara empat mata di dalam kamar, sementara
tiga orang anak buahnya berjaga di luar, di balik pintu.
Markus mengambil sejumput kokain bawaan tamunya. Dia
taburkan kokain itu di atas meja kaca dengan sedemikian rupa agar
bubuk itu membentuk garis. Dilintingnya selembar uang kertas,
kemudian dimasukkannya salah satu ujung lintingan itu ke lubang
hidungnya. Dia membawa wajahnya mendekati permukaan meja,
lalu menghirup bubuk kristal tersebut dengan satu tarikan napas.
Matanya terpejam dan alisnya berkerut. Sesaat, rasa pahit bubuk
itu membuatnya tersentak, tetapi kemudian dia tersenyum puas.
"Bagaimana" Barang bagus, "kan?"
Markus tidak langsung menjawab. Dia membuka matanya
perlahan, menatap lawan bicaranya di seberang meja. "Berapa?"
tanyanya. "Delapan." Barang yang baru saja dia cicipi benar-benar bagus. Karena
itu, Markus tidak menawar. Dia bangkit dari kursi yang sedang
didudukinya, lalu melangkah menghampiri lemari di salah satu
sudut kamar untuk mengambil uang. Jarang-jarang dia bisa me"
nemukan kokain sebagus ini. Apalagi satu tahun belakangan, sejak
beberapa pemimpin Sindikat 12 meninggal, distribusi narkotika dari
luar negeri agak terhambat.
Metropolis.indd 20 Dia dengar kali kemarin Leo Saada yang dihabisi. Pikirnya,
orang nekat mana yang berani mengusik Geng Saada" Gilli, barangkali. Kedua geng itu memang tidak pernah akur. Kalau dia punya
nyali, pasti dia juga akan menghabisi Leo. Bisnis Leo memang
menggiurkan. Siapa yang tidak ingin memiliki jaringan seluas milik
lelaki itu" "Hitung dulu." Markus memberikan segepok uang kepada
tamunya. "Kalau punya barang bagus lagi, bawa sini! Kau nggak
bakalan rugi transaksi sama Ambon Hepi," katanya.
Tamunya tersenyum, tetapi tidak menjawab. Lelaki Tionghoa
itu menatapnya dengan mata sipit yang hampir tidak kelihatan
bijinya, lalu bergerak maju ke arahnya dengan tiba-tiba dan mencengkeram wajahnya. Markus membelalakkan mata. Mulutnya
dibekap, sehingga dia tidak bisa mengeluarkan suara.
"Maaf, Ambon Hepi. Rasanya, tidak ada lain kali."
Bel pintu rumah Bram berbunyi berulang kali, terus-menerus, dan
semakin lama semakin mengganggu. Bram pernah bersumpah akan
mencabut bel tersebut dan memang sempat dilakukannya. Rumah
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kontrakannya berada di Jalan Lamandau, dekat Barito, di bagian
selatan Jakarta. Di ujung jalan itu, ada sebuah sekolah menengah.
Murid-murid sekolah tersebut kerap bermain-main dengan bel
rumahnya pada pagi hari, membuat Bram terpaksa bangun
sebelum jam beker di sebelah tempat tidurnya berbunyi. Bram tidak
membutuhkan dua jam beker, maka dicabutnya bel rumahnya.
Tidak lama setelah dia mencabut bel tersebut, satu per satu
tetangganya protes. Ada yang berkata bahwa dirinya antisosial. Ada
Metropolis.indd 21 pula yang menudingnya sengaja mempersulit orang-orang yang
ingin bertamu ke rumahnya. Tetapi kebanyakan menyalahkannya
sekadar mencari gara-gara. Mulut nyinyir tetangga-tetangganya
lebih mengganggu ketimbang keusilan murid-murid sekolah, maka
Bram memilih memasang bel rumahnya kembali dan belajar untuk
terbiasa memiliki jam beker tambahan.
Biasanya, Bram tidak akan memedulikan gangguan bel
seperti yang sedang dia alami sekarang, tetapi ini hari Sabtu dan
sekolah libur. Saat bunyi jam beker tambahan miliknya tidak juga
berhenti, dia memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur,
lalu melangkah limbung menuju pintu depan. Kepalanya pening,
lantaran kurang istirahat.
"Pagi, Inspektur!"
Moris menyambutnya dengan wajah segar dan senyum lebar
begitu dia membuka pintu. Lelaki tua itu memakai kaus oblong
dan celana olahraga plus sehelai handuk kecil yang disampirkan di
pundak. Moris memang tidak pernah absen lari pagi dan ini bukan
pertama kalinya Bram dibangunkan sebelum matahari muncul.
Bram tidak menjawab sapaan Moris. Dia mengambil koran
pagi yang tergeletak di dekat kaki bekas atasannya itu, kemudian
masuk kembali ke rumah. Dibiarkannya pintu tetap terbuka agar
Moris bisa masuk. "Bagaimana hari-hari pensiunmu?" dia bertanya kepada Moris
dengan suara parau. "Lumayan. Aku bisa menambah jam lari pagi, lalu makan
bubur ayam di Bulungan," jawab Moris. "Kau kelihatan kacau,
Anak Muda." Metropolis.indd 22 Komentar Moris membuatnya melepaskan tawa hambar.
"Biasa, tidak bisa tidur."
"Karena kasus?"
Bram mengiyakan dengan anggukan. Dia mengambil dua
botol air mineral dari dapur. Satu untuknya dan satu untuk Moris.
"Tinggal lima," kata Bram.
"Lima?" "Dari dua belas, sekarang tinggal lima," dia berkata lagi, "aku
baru sadar semalam, sudah tujuh orang pemimpin Sindikat 12
terbunuh." "Ah... kita sedang membicarakan kasus Leo?" Akhirnya, Moris
menangkap maksud racauan Bram.
"Ini bukan kasus tunggal, Moris. Ini pembunuhan berantai,"
Bram memberi kesimpulan. Moris segera menyanggah, "Bukan kasus tunggal, aku setuju.
Tapi pembunuhan berantai" Anak Muda, ini hanya perseteruan yang
biasa terjadi antargeng. Kau perhatikan harga sabu belakangan ini"
Melangit! Ini bisnis, Bram. Mereka menyingkirkan pesaing untuk
menaikkan harga barang. Lagi pula, tidak semua tujuh orang itu
terbunuh. Beberapa meninggal secara wajar."
"Mungkin," jawab Bram, "tapi aku tetap dengan hipotesisku."
Moris terkekeh. "Kalau hipotesismu benar, maka ini bukan
kasus narkotika lagi dan kau harus melepaskannya."
Bram tidak menjawab. Dia tidak berminat memberikan kasus
ini kepada kesatuan lain. Dia tidak suka penyelidikannya diinterupsi.
Terlebih lagi, dia tidak percaya kesatuan lain akan menangani kasus
ini dengan benar. Metropolis.indd 23 Dering telepon rumah Bram memutus pembicaraan mereka.
Bram segera menjawab panggilan tersebut. "Bram!" Rupanya, Erik
yang menelepon. "Ambon Hepi ditemukan mati!"
Rumah Markus Haulussy diisolasi. Hanya polisi dan petugas forensik
yang boleh memasuki TKP pembunuhan tersebut. Orang-orang
yang tidak berkepentingan terpaksa memuaskan rasa ingin tahu
mereka dengan sebatas melihat-lihat dari luar pagar sambil menggunjingkan cerita versi mereka sendiri.
Erik tiba di tempat itu lebih dahulu daripada Bram. Dia masih
sempat memeriksa tubuh Markus sebelum jasad itu dimasukkan
oleh petugas forensik ke ambulans. Ada luka robek yang besar
melintang di leher lelaki Ambon itu, mirip cabikan yang disebabkan
oleh benda yang tidak terlalu tajam. Darah yang keluar dari luka
tersebut membasahi sebagian besar tubuh bagian atas Markus,
tetapi kini darah itu sudah mengering. Erik juga mendapati lebam
di wajah Markus, tepat di bawah tulang pipi. Selain dua hal tersebut,
dia tidak melihat luka lain.
"Senjata apa yang dipakai?" tanya Erik.
Salah seorang petugas forensik menjawab, "Garpu makan."
"Garpu?" Erik bergidik membayangkan bagaimana alat makan
itu digunakan untuk mencabik leher orang. Dia menelan ludah dan
tanpa sadar menyeringai. Dibiarkannya petugas forensik membawa
pergi tubuh Markus dengan ambulans. Sejurus kemudian, Bram
datang. Inspektur polisi itu setengah berlari menghampiri Erik di
depan rumah Markus. Metropolis.indd 24 "Itu Ambon Hepi?" Bram bertanya sambil memperhatikan
ambulans yang baru saja berlalu.
Erik mengangguk. "Lehernya dirobek pakai garpu," dia menjawab dengan suara lemas.
Bram mengernyit saat mendengar informasi itu, tetapi tidak
berkomentar apa-apa. Mereka memasuki rumah tipe 55 milik
Markus. Rumah itu memiliki satu ruang keluarga, dua kamar tidur,
dan satu kamar mandi. Ruangan-ruangan tersebut diisi oleh perabot
seadanya dan dinding-dinding yang menjadi batas antara ruangan
satu dengan ruangan yang lain dikotori coretan-coretan tangan.
Tubuh Markus ditemukan di kamar tidur yang berada di sebelah
kanan belakang ruang keluarga. Bau amis segera tercium begitu
mereka memasuki kamar itu. Di salah satu sisi ruangan, sisi yang
berseberangan dengan letak pintu, terdapat jendela dua daun
yang setengah terbuka. Darah mengotori kaca jendela, dinding,
kursi, serta meja pendek yang terletak di dekat jendela; dan menggenang di permukaan lantai keramik di sekitar meja. Di kolong
meja, ter"dapat sebuah piring kotor dan sebuah sendok. Garpu yang
seharus"nya menemani piring dan sendok itu sudah dibawa pergi
oleh petugas forensik. Di salah satu sudut kamar, di sebelah tempat
tidur untuk satu orang, sebuah lemari pakaian terbuka. Sebagian
isinya terserak di lantai dan di atas tempat tidur.
"Siapa yang menemukan tubuh Ambon Hepi?" tiba-tiba Bram
bertanya kepada Erik. Erik menjawab, "Seorang tetangga melewati halaman belakang rumah Ambon Hepi dan melihat bercak darah di jendela.
Dia melapor kepada petugas RT, lalu polisi datang bersama ambulans."
Metropolis.indd 25 "Apa rumah ini kosong saat polisi datang?"
"Kosong." Bram mengangguk, lalu menghampiri meja pendek di dekat
jendela yang diapit dua kursi semi sofa. Polisi itu meraba permukaan
meja dan mendapati serbuk putih di antara debu di jari-jarinya.
"Kokain," Bram berkata setelah membaui dan mencicipi serbuk
tersebut. Erik menirukan apa yang Bram lakukan, kemudian mencatat
penemuan atasannya itu. Dia memperhatikan Bram memeriksa
jendela, melihat keluar lewat celah itu, kemudian mencermati
lemari di sudut ruangan, dan menghafal posisi perabot-perabot
yang lain. Walaupun Erik tahu petugas forensik sudah mencatat dan
bahkan memotret setiap detail yang ada di TKP, dia tetap bersabar
menemani Bram melakukan pemeriksaan ulang. Sering kali, Bram
menemukan detail-detail yang terlewat oleh petugas forensik.
"Bagaimana menurutmu, Erik?" Bram bertanya lagi kepada
Erik. Gaya polisi itu seperti guru yang sedang mengetes muridnya.
Erik memang terbilang hijau di Sat Reserse Narkotika. Sebelum
dipindahtugaskan, dia lebih banyak bekerja di balik meja; mengetik
laporan para penyidik, mencatat jalannya interogasi, merapikan
berkas-berkas, dan tugas-tugas administratif lainnya. Menghadapi
pengedar di lapangan dan memeriksa kokain di TKP masih menjadi
hal baru bagi Erik. Dengan ragu-ragu dan sambil mengingat-ingat isi buku teks
panduan penyelidikan, Erik menjawab pertanyaan Bram, "Kurasa...
Ambon Hepi dibunuh saat melakukan transaksi. Barang dibawa
pergi dan uang dicuri."
Metropolis.indd 26 "Dia melakukan transaksi sendiri?"
"Ya, kurasa. Cuma ada mayat Ambon Hepi di TKP."
"Lalu, bagaimana kau menjelaskan kartu remi di meja?"
Erik menatap Bram dengan bingung. "Kartu remi?"
"Ya," jawab Bram dengan ringan, "di ruang keluarga."
Erik tidak memperhatikan ruang keluarga dengan saksama
tadi, sehingga dia tidak sadar ada kartu remi di atas meja seperti
yang dikatakan oleh Bram baru saja. Jika dipikirkan ulang, pengedar
sekelas Ambon Hepi tidak mungkin melakukan transaksi tanpa
penjagaan, apalagi itu berlangsung di rumahnya sendiri. Seharihari pun pastilah Ambon Hepi selalu berada dalam pengawalan
bawahan-bawahannya. "Apa itu berarti Ambon Hepi dibunuh anak buahnya sendiri?"
"Kalau memang benar begitu, siapa yang mendobrak pintu?"
tanya Bram lagi. "Pintu?" Bram menunjuk pintu kamar di belakang mereka. Pintu itu
rusak karena dibuka secara paksa. Erik baru menyadari hal tersebut.
"Nanti kuperiksa laporan polisi yang datang pertama kali di TKP,"
dia berkata sambil kembali mencatat.
"Kunci jendela tidak rusak. Catat itu juga. Darah mengotori
daun jendela, tapi tidak berceceran di tanah di luar ruangan. Berarti
jendela ini tertutup saat pembunuhan terjadi, baru kemudian
dibuka, mungkin untuk melarikan diri."
Erik mengangguk. Dia mengikuti Bram keluar dari TKP. Sekitar
rumah Markus semakin ramai oleh orang, termasuk wartawan dari
Metropolis.indd 27 berbagai media massa yang mulai berdatangan. Bram sempat terpaku di hadapan kerumunan itu. Perhatian polisi itu tertuju kepada
sesuatu di antara kumpulan orang. Dengan bingung, Erik mengikuti
arah pandang Bram. "Ada apa, Bram?" tanyanya.
Pertanyaan itu tidak dijawab. Bram malah memberi instruksi
kepada Erik, "Tolong kau siapkan semua hasil forensik yang bisa kita
dapatkan malam ini. Aku juga butuh data Sindikat 12, selengkap
yang bisa kau dapatkan." Setelah itu, mereka meninggalkan TKP.
"Hei, Ferry!" Suara Gilli yang terdengar lewat pesawat telepon membuat
Ferry sewot. Ferry hampir saja membanting gagang telepon di
genggamannya kalau saja Gilli tidak buru-buru berkata, "Ambon
Hepi dibunuh semalam."
Berita itu membuat Ferry terdiam beberapa saat. Dia melihat
kalender yang tergantung di salah satu dinding ruangan tempat
dirinya berada. Hari ini tanggal 21 Juni, dua minggu setelah hari
pemakaman ayahnya. Gilli berkata lagi kepadanya, "Bukan aku yang membunuh Leo,
Ferry. Dan aku percaya, bukan kau yang menembak kakakku."
"Aku tidak percaya."
Gilli tertawa. "Keras kepala boleh, Kawan. Semua Saada memang begitu. Aku maklum, tapi jangan lalu kau jadi bodoh! Sudah
delapan pemimpin mati. Kau kira ini perseteruan biasa?"
Metropolis.indd 28 Perkataan Gilli membuat Ferry berpikir ulang. Sejak lama, dia
memang merasa janggal dengan kematian beruntun para pemimpin
Sindikat 12, tetapi dia seakan dibutakan oleh kebenciannya ter"
hadap Geng Gilli hingga mengabaikan kecurigaannya itu.
"Hubungi Blur. Minta dia kumpulkan Sindikat 12," kata Gilli
lagi. Sampai satu tahun yang lalu, selama lebih dari lima belas tahun,
Sindikat 12 adalah momok bagi polisi-polisi Sat Reserse Narkotika.
Sindikat ini sangat kuat, terorganisasi, dan nyaris tidak tersentuh
oleh hukum. Mereka membagi wilayah operasi mereka menjadi
dua belas, masing-masing dikuasai oleh satu geng tertentu, dan
mereka memiliki semacam kode etik yang melarang trespassing.
Selama belasan tahun, kode etik itu dipatuhi. Tetapi pada saat
bisnis di dua belas wilayah itu tidak berkembang secara merata,
persaingan antargeng dalam Sindikat 12 mulai bermunculan dan
perlahan-lahan kekuatan sindikat ini melemah.
"Ini daftar orang yang tergabung dalam Sindikat 12," Erik
berkata sambil menunjukkan secarik kertas kepada Bram.
Saat ini hampir tengah malam, tetapi Bram dan Erik masih
berada di ruang kesatuan mereka di Polda Metro Jaya. Mereka hanya
berdua di ruangan itu, menghadapi berbagai berkas kepolisian yang
mereka kumpulkan selama beberapa bulan belakangan ini, ditemani
bercangkir-cangkir kopi yang tidak enak. Erik memperlihatkan
temuannya kepada Bram. Daftar orang yang dimaksud oleh Erik
adalah ini: Metropolis.indd 29 penguasa wilayah 1 : Muslih
penguasa wilayah 2 : A. Zuhdi
penguasa wilayah 3 : Maria
penguasa wilayah 4 : Ambon Hepi (Markus Haulussy)
penguasa wilayah 5 : Bung Kelinci/ BK (Toni Brata)
penguasa wilayah 6 : Blur (identitas asli tidak diketahui)
penguasa wilayah 7 : Shox (Reymon Dilak)
penguasa wilayah 8 : BW (identitas asli tidak diketahui)
penguasa wilayah 9 : Soko Galih
penguasa wilayah 10 : Leo Saada
penguasa wilayah 11 : Maulana Gilli
penguasa wilayah 12 : Red
Setelah memperhatikan daftar itu sejenak, Bram mengambil
kertas lain untuk disandingkan dengan daftar buatan Erik. Kertas
tersebut berisi catatan waktu kematian para pemimpin Sindikat 12
yang dia buat sendiri. -/2/2006 Maria wilayah 3 penyebab kematian tidak diketahui
18/6/2006 Muslih wilayah 1 12/7/2006 Red wilayah 12 luka karena benda tumpul
-/8/2006 A. Zuhdi wilayah 2 luka karena benda tajam
-/1/2007 BW wilayah 8 overdosis overdosis 3/5/2007 Maulana Gilli wilayah 11 luka tembak jarak jauh
6/6/2007 Leo Saada wilayah 10 kecelakaan mobil
21/6/2007 Ambon Hepi wilayah 4 luka karena benda tajam
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bram berharap menemukan sebuah pola dari pembandingan
kedua daftar tersebut. Selalu ada pola dalam sebuah pembunuhan
berantai, meskipun tidak semua pelaku pembunuhan mampu
Metropolis.indd 30 konsisten dengan pola yang mereka ciptakan. Tentu saja, sebelum
Bram berpendapat seperti itu, terlebih dahulu dia harus yakin
bahwa apa yang sedang diselidikinya saat ini memang benar adalah
pembunuhan berantai. Jika ternyata hipotesisnya salah, dia sulit
untuk kembali ke titik di mana dia berada kini. Kalaupun berhasil
kembali, saat itu dia sudah terlambat. Dia sudah memeriksa ulang
semua catatan kematian para pemimpin Sindikat 12 yang dimiliki
oleh kepolisian. Dia melakukan itu dengan hati-hati sekali, sebisa
mungkin tidak terburu-buru menarik kesimpulan. Pada akhirnya,
dia berpendapat seperti apa yang dia kemukakan kepada Moris
tadi pagi di rumahnya. Penyebab paling sederhana timbulnya pola dalam pembunuhan berantai adalah si pelaku harus memilih korbannya. Dalam
banyak kasus, pelaku pembunuhan berantai memilih korbannya
berdasarkan usia, jenis kelamin, ciri-ciri fisik, atau perilaku tertentu.
Tetapi dalam kasus Sindikat 12, si pelaku tidak memilih korban
karena sasarannya sudah jelas. Dia hanya perlu membuat urutan
korban, siapa yang dibunuh lebih dahulu dan siapa yang beruntung
setelah itu. Pada secarik kertas kosong, Bram menuliskan urutan kematian
berdasarkan nomor wilayah yang dikuasai oleh para korban: 3-1-122-8-11-10-4. Itu cara yang paling masuk di akal walaupun dia belum
menemukan pola dalam urutan tersebut. Bram tidak menemukan
adanya kemungkinan pembuatan urutan berdasarkan nama karena
nama mudah diubah. Pola yang paling jelas terlihat justru dalam
urutan nomor wilayah pemimpin-pemimpin yang masih hidup:
5, 6, 7, dan 9. Jika nomor wilayah 1 sampai 12 dianggap sebagai
Metropolis.indd 31 sebuah barisan, seperti barisan di dalam pelajaran Matematika,
maka nomor wilayah pemimpin-pemimpin yang masih hidup itu
berada di tengah-tengah. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sayangnya, pola itu rusak dengan adanya angka 9.
"Aku tidak melihat pola," komentar Erik.
"Pasti ada pola," Bram bersikeras.
Cepat atau lambat, satu dari empat pemimpin yang tersisa
akan dibunuh. Pertanyaannya: kapan dan siapa" Akan tetapi, pertanyaan terbesar yang harus mereka jawab lebih dahulu adalah
kenapa Sindikat 12" Jawaban dari pertanyaan itulah yang akan
mengarahkan mereka kepada si pelaku. Dan untuk menjawab itu,
mereka butuh informasi lebih banyak.
"Kita perlu tahu riwayat orang-orang ini, Erik, sebelum me"
reka tergabung dalam Sindikat 12," katanya. Dia juga bertanya,
"Bagaimana hasil forensik?"
"Aku bawa denah TKP, foto-foto forensik, dan laporan dari
para saksi." Erik memberikan sejumlah berkas kepadanya. "Aku
juga sudah tanya kepada polisi yang tiba pertama kali di TKP. Dia
melapor, pintu kamar Ambon Hepi tidak terkunci saat dia datang,
tapi dia tidak ingat apakah pintu itu rusak atau tidak."
"Mungkin pintu itu sudah lama rusak."
"Tidak," sanggah Erik, "petugas forensik memastikan kerusakan itu baru terjadi."
Lalu, Erik melanjutkan, "Tetangga-tetangga berkata, Ambon
Hepi tidak tinggal sendiri. Biasanya dia ditemani tiga sampai empat
orang anak buahnya. Pada malam sebelum Ambon Hepi meninggal,
Metropolis.indd 32 mereka mengaku melihat tiga orang lelaki menemani Ambon Hepi.
Saat itu sekitar pukul delapan sampai dengan pukul sepuluh."
Metropolis.indd 33 Bram memperhatikan denah TKP dan foto-foto yang diberikan
oleh Erik. Gambar-gambar itu memperlihatkan detail-detail di TKP
dan posisi tubuh korban. Akan lebih mudah membuat kesimpulan
bahwa Markus dirampok sekaligus dibunuh oleh ketiga anak buahnya, kalau saja Bram tidak menemukan beberapa detail penting:
pintu kamar yang rusak, garpu yang digunakan untuk membunuh,
dan lebam-lebam di wajah Markus.
Jika memang Markus dibunuh oleh ketiga anak buahnya,
pertanyaan pertama, kenapa mereka menggunakan garpu" Dan
yang lebih penting lagi, pertanyaan kedua, kenapa di leher" Kalau
memang ada tiga orang pelaku, cara yang paling mudah adalah
membacok Markus beramai-ramai. Toh Markus tidak akan bisa
melawan. Ketiga orang itu tidak akan menggunakan garpu dan polisi
akan menemukan luka yang jauh lebih banyak di tubuh Markus. Ada
beberapa alasan kenapa seorang pelaku pembunuhan mengerat
leher korbannya. Pertama, si pelaku ingin korbannya cepat mati.
Kedua, si pelaku tidak ingin korbannya bersuara. Alasan yang kedua
ini didukung oleh lebam-lebam di wajah Markus.
Maka, seperti inilah pemikiran Bram. Si pelaku datang me"
nemui Markus dengan kedok penjual atau pembeli kokain. Mereka
bertransaksi di dalam kamar, lalu Markus dibunuh saat dia lengah.
Si pelaku harus melakukan pembunuhan itu dengan hati-hati, tanpa
menimbulkan suara, karena ketiga anak buah Markus berjaga di
luar kamar. Dia membekap mulut Markus dan mengerat leher lelaki
Ambon itu menggunakan garpu. Pastilah dia tidak diperbolehkan
membawa masuk senjata. Setelah pekerjaannya selesai, dia kabur
lewat jendela, lalu ketiga anak buah Markus mendobrak pintu saat
Metropolis.indd 34 mereka tidak mendengar ada tanda-tanda kehidupan dari dalam.
Mereka menemukan bos mereka meninggal, kemudian memutuskan untuk kabur juga karena takut dicurigai sebagai pelaku
pembunuhan. "Pelakunya satu orang," Bram menyimpulkan, "kalau kita
memeriksa ulang hasil forensik pembunuhan-pembunuhan sebe"
lumnya, kita akan menemukan kesimpulan serupa."
Erik mengangguk mengerti. Dia sibuk mencatat hipotesis yang
baru dikemukakan oleh Bram.
Bram mengembalikan perhatiannya kepada kumpulan foto di
hadapan mereka. Kedua matanya terbelalak saat sebuah foto menarik perhatiannya. "Erik...." Ditunjukkannya foto itu kepada Erik.
Foto tersebut menggambarkan situasi di sekitar rumah Markus.
Kerumunan orang terlihat di sudut kiri foto dan jari Bram menunjuk
seseorang di antara kerumunan tersebut, perempuan misterius yang
dia lihat saat pemakaman Leo Saada.
"Cari tahu siapa perempuan ini!"
Ternyata perasaannya tadi tidak salah. Dia memang melihat
perempuan itu di TKP. Metropolis.indd 35 Empat Orang yang Tersisa i dalam kantong kertas yang dikirimkan oleh Blur, Ferry menemukan sejumlah cokelat batangan murah buatan lokal.
Beberapa hari yang lalu, dia menghubungi Blur untuk meminta
penguasa wilayah 6 itu mengumpulkan para pemimpin Sindikat 12.
Blur menyanggupi dan berjanji akan segera mengirimkan undangan.
Hari ini, apa yang dijanjikan oleh Blur tiba dan cokelat-cokelat itulah
yang dia dapatkan. Blur memang terkenal eksentrik. Kali sebelumnya, lelaki itu
mengirimkan dua lusin pensil kayu yang berbeda-beda panjang,
satu kotak minuman botol yang tidak semuanya terisi, dan beberapa
gram paku besi. Itu semua menunjukkan waktu dan tempat secara
tersirat. Ferry menghitung jumlah cokelat yang didapatkannya. Ada
tiga belas batang dan salah satunya berbeda kemasan. Pukul
13.00, satu hari setelah pesan tersebut disebar, Sindikat 12 akan
Metropolis.indd 36 berkumpul. Lokasi yang dipilih oleh Blur kali ini adalah sebuah
gudang bekas pabrik cokelat di daerah Penjaringan.
Terakhir kali pertemuan serupa diadakan, Sindikat 12 masih
lengkap dan solid. Ayahnya, Maulana Gilli, dan sejumlah pemimpin
geng yang lain"termasuk Markus Haulussy"masih hidup. Banyak hal
terjadi kemudian, sedikit yang tersisa kini. Ferry bisa meramalkan
tidak semua pemimpin Sindikat 12 akan hadir besok. Tidak semua
geng memilih pemimpin baru setelah pemimpin lama mereka
meninggal, hanya gengnya dan Geng Gilli. Akan tetapi, hal tersebut
tidak menjadi masalah karena empat orang yang tersisa itulah yang
sesungguhnya ingin dia temui.
Di hadapan Bram saat ini terpampang empat lembar kertas notes.
Kertas-kertas itu dia tempel di sebuah papan tulis kecil yang tergantung di dekat meja kerjanya, sebagian dilengkapi foto dan satu
di antaranya hanya berupa kumpulan coretan tangan. Dia berdiri
memperhatikan kertas-kertas tersebut, masing-masing menjelaskan satu nama.
Nama pertama: Toni Brata. Penguasa wilayah 5. Nama lainnya
adalah Bung Kelinci atau akrab dengan panggilan BK. BK banyak
memasok sabu-sabu dari RRC. Omzet yang dihasilkan organisasi
miliknya besar walaupun konsumennya terbatas. Barang yang
dia edarkan berkualitas tinggi, sehingga hanya orang-orang dari
kelas ekonomi atas yang sanggup beli. Daerah operasi BK adalah
Menteng dan beberapa daerah elite di Jakarta Selatan. Selain bisnis
narkotika, BK membuka sejumlah kelab malam yang dicurigai polisi
Metropolis.indd 37 kerap digunakan untuk transaksi gelap atau bahkan menyimpan
narkotika. Nama kedua: Blur. Nama sebenarnya tidak diketahui. Data
mengenai penguasa wilayah 6 ini paling sulit dicari karena Blur
jarang memperlihatkan diri. Selama belasan tahun, pemimpinpemimpin Sindikat 12 yang lain tidak memiliki banyak kesempatan
untuk bertemu dengan Blur. Sebagian dari mereka, bahkan, tidak
pernah berhubungan dengan Blur sama sekali. Bisnis Blur tidak
sebagus bisnis Leo Saada, tetapi kabarnya sosok yang satu ini pa"
ling ditakuti. Nama ketiga: Reymon Dilak, atau biasa dipanggil Shox. Ma"
yoritas daerah operasinya berada di Jakarta Timur. Shox distributor
putau terbesar di Jakarta. Sebagian besar barang yang dia edarkan
diambil dari Pakistan. Penguasa wilayah 7 ini terkenal sangat licin.
Shox selalu bermain cantik dan hampir tidak pernah membuat
celah. Shox juga mengelola sejumlah bisnis properti yang mungkin
hanya kedok untuk mencuci uang hasil bisnis gelapnya.
Nama terakhir: Soko Galih. Penguasa wilayah 9. Akhir-akhir
ini, pergerakannya tidak terlalu besar. Menurut informasi yang
beredar, Soko Galih tidak terlalu pintar bertransaksi dan sering
kali justru dirugikan oleh distributor asing. Dia juga tidak memiliki
sistem pengelolaan keuangan yang baik. Sampai saat ini, geng
yang dipimpinnya masih bertahan karena dia banyak menyerobot
bisnis geng lain. Hubungan Soko Galih dengan pemimpin Sindikat
12 yang lain juga tidak terlalu baik.
Empat orang inilah yang tersisa dari Sindikat 12. Kemungkinan
besar, mereka tidak akan tinggal diam setelah Markus Haulussy
Metropolis.indd 38 dibunuh. Apalagi, mereka kehilangan Leo Saada dan Maulana Gilli,
dua anggota penting Sindikat 12. Keempat orang ini seharusnya
sudah menyadari adanya keterlibatan pihak luar dan pasti mereka
tahu siapa orang yang ingin menyingkirkan mereka. Mereka adalah
kunci penyelidikannya, begitu pikir Bram. Jika dia bisa mendapatkan informasi dari empat orang ini, dia bisa menyamakan langkah
dengan si pembunuh. "Bram!" Sekretaris kesatuan memanggil Bram dari kejauhan di selasela riuh ruang kerja mereka. "Telepon untukmu di saluran 3," kata
sekretaris itu. Bram meraih pesawat telepon di atas meja kerjanya. Ternyata
Ferry Saada. "Ada apa" Kau mau memohon kulepaskan?" sapa Bram
kepada lelaki itu. Ferry tertawa, lalu membalas, "Tidak, Bram. Aku punya tawaran
untukmu. Kau pasti tertarik."
Sebuah senyum terulas di wajah Bram segera setelah dia
mendengar ucapan Ferry itu. Ini yang dia tunggu-tunggu. "Oke.
Aku mendengarkan." "Aku minta bukti penyelundupan di pelabuhan. Deal di awal,"
kata Ferry. Bram sudah bisa menebak itu. Dia membalas, "Penyelundupan
di pelabuhan itu bukan perkara kecil. Kau punya informasi apa?"
"Deal dulu, Bram. Atau tidak sama sekali," Ferry bersikeras, "kau
tahu aku tidak akan menawarkan sesuatu yang tidak sebanding."
Bram menimbang sejenak, kemudian menyanggupi per"
mintaan Ferry. Metropolis.indd 39 Ferry berkata dengan sejelas-jelasnya, "Enam dari dua belas
akan bertemu. Besok, pukul 13.00, di gudang bekas pabrik cokelat di
Penjaringan. Datang sendiri, tanpa alat perekam, dan akan kubiarkan
kau masuk." Apa yang ditawarkan oleh Ferry memang benar-benar menarik
dan Bram tergiur mendengarnya. Hanya saja, mereka sedang membicarakan dirinya memasuki lingkungan Sindikat 12 sendiri. Nyawa
taruhannya. "Menarik. Tapi siapa yang akan jamin aku keluar dalam
keadaan hidup?" "Aku, tentu saja," jawab Ferry segera, "atau kau tidak percaya
kepadaku?" Bram tertawa kecil. Dia tahu Ferry Saada tidak akan bermain
kotor. Jika lelaki itu berani menjamin kepalanya, maka itu bukan
sekadar omong kosong. "Oke," jawabnya kemudian, "tapi kalau
sampai terjadi apa-apa denganku, kau tidak akan lolos."
"Beres, Bram," balas Ferry. Lelaki itu ikut tertawa.
Lima tahun yang lalu, sebuah pabrik di daerah Penjaringan terbakar.
Aktivitas pembuatan cokelat merek lokal yang semula bertempat
di pabrik tersebut dipindahkan, namun bangunan lebar berstruktur
baja itu tidak juga diperbaiki. Bahkan, sampai sekarang. Pemiliknya
tidak lagi menggunakan bangunan itu untuk memproduksi cokelat,
melainkan untuk menyimpan kargo-kargo tidak terpakai, dan kini
hanya hewan liar serta sekelompok pemasar gelap yang kerap
menggunakan bangunan itu.
Dengan ujung sepatu yang dia kenakan, Bram mematikan api
rokoknya. Dia berdiri bersandar pada pagar beton yang membatasi
Metropolis.indd 40 lingkungan pabrik, tanah gersang yang hampir seluruh wilayahnya
tertutup aspal, sementara mulutnya melepaskan asap beraroma
tembakau ke udara. Diliriknya jam di pergelangan tangan. Saat ini
pukul 12.30, udara sedang panas-panasnya. Dia datang tiga puluh
menit terlalu awal dan bangunan kusam di hadapannya masih
kosong. Sebuah mobil sedan Eropa keluaran terbaru memasuki pelataran parkir tidak lama kemudian, disertai suara mesin yang halus.
Mobil itu berhenti tidak jauh dari tempat Bram berdiri, lalu Ferry
Saada dan dua orang anak buahnya keluar dari dalam mobil itu.
Ferry menghampirinya sambil melambaikan tangan dan mengulas
senyum lebar. Orang lain akan mengira mereka adalah teman baik
yang bertemu untuk kemudian pergi minum dua gelas es kopi.
"Cuma bawa dua orang?" tanya Bram.
"Kesepakatan," kata Ferry, "sudah sejak dulu berlaku kalau
kami bertemu. Salah satu melanggar, pertemuan batal. Di mana
kau parkir mobilmu" Jangan sampai Shox atau yang lainnya melihat
dan mengetahui keberadaanmu. Bisa ikut celaka aku nanti."
Alih-alih menjawab pertanyaan Ferry, Bram mengeluarkan
selembar foto dari saku celananya, gambar TKP pembunuhan
Markus Haulussy dan kerumunan orang di sekitar TKP tersebut.
Ditunjukkannya foto itu kepada Ferry. "Coba kau lihat perempuan
yang kulingkari di foto ini. Kau kenal?" tanyanya.
Ferry memperhatikan foto itu sejenak, lalu menggelengkan
kepala. "Tidak. Tapi bisa kucari tahu. Tidak cuma-cuma, tentu saja,"
jawab Ferry yang tersenyum penuh arti.
Metropolis.indd 41
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bram balas tersenyum, tetapi sinis. Dengan cara seperti inilah
Ferry meloloskan diri dari cidukan polisi selama ini. Dia sendiri termasuk jenis polisi yang bisa diajak kompromi demi mendapatkan
informasi penting, polisi kotor"kalau kata orang-orang. Tetapi Bram
tidak peduli. Ada banyak hal yang lebih besar yang harus diungkap,
dan itu lebih penting dari sekadar memasukkan curut semacam
Ferry ke penjara. Kalaupun dia menangkap Ferry saat ini juga, lelaki
flamboyan itu akan keluar dari sel dalam hitungan jam karena masih
banyak polisi kotor selain dirinya yang siap dimanfaatkan.
Bram menyimpan kembali foto yang dia perlihatkan kepada
Ferry. "Kita bicarakan setelah pertemuan nanti," katanya.
Jari-jari tangan Erik sibuk menekan tuts keyboard. Gambar-gambar
di monitor di hadapannya silih berganti seiring dengan itu, tetapi
Erik tidak menyimak. Matanya justru berulang kali melirik jam
dinding yang tergantung di ujung ruangan. Jam itu menunjukkan
pukul 13.30. Erik menghela napas, menggigit bibir, meremas tangan, lalu
menghela napas lagi. Seharusnya, pertemuan Sindikat 12 yang
diadakan di daerah Penjaringan sudah dimulai sekarang. Saat
meninggalkan kantor tadi pagi, Bram tidak berkata apa-apa kepadanya selain berpesan agar dia membongkar penyelundupan
Geng Saada kalau Bram tidak kembali dalam waktu dua hari. Ya,
bukti penyelundupan di pelabuhan itu adalah satu-satunya jaminan
keselamatan Bram. Tetapi bagaimana kalau Bram benar-benar tidak
kembali dalam waktu yang disebutkan"
Metropolis.indd 42 Sejak tadi Erik mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa
Bram akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dia khawatirkan
karena lelaki itu adalah polisi terlatih yang siap menghadapi situasi
segenting apa pun. Lagi pula, Erik bukannya tidak punya hal lain
yang perlu dia khawatirkan. Sudah beberapa hari berlalu sejak Bram
memintanya menyelidiki identitas perempuan misterius dalam foto
TKP kematian Markus Haulussy, tetapi dia belum berhasil. Perempuan itu tidak tercantum dalam data kepolisian dan itu berarti Erik
harus mulai menyelidikinya di luar.
Diliriknya foto TKP yang dia salin dari Bram. Entah kenapa,
dia merasa pernah melihat perempuan itu. Tetapi kapan dan di
mana" "Bintara Erik!"
Panggilan itu membuatnya terperanjat. Erik mengalihkan
perhatiannya segera. Dia mendapati Burhan berdiri tidak jauh dari
meja kerjanya. Buru-buru dia bangkit dari tempat duduk. "Ya, Pak!"
jawabnya. "Kau lihat Bram?"
"Ins... Inspektur Bram sedang tugas keluar, Pak."
"Ke mana?" "Saya tidak tahu."
Burhan mengerutkan alis, terlihat berpikir sejenak, kemudian berlalu setelah berpesan, "Suruh dia menemuiku begitu
kembali." Erik mengiyakan perintah itu. Matanya tidak lepas memper"
hatikan atasan barunya sampai sosok gempal lelaki itu masuk
Metropolis.indd 43 kembali ke ruang kerja. Dia menghela napas sambil mengusap dada,
lalu kembali duduk di kursinya. Aman, pikirnya.
Bram bersembunyi di antara kargo tua berkarat yang memenuhi
gudang. Udara di dalam ruangan panas dan lembap, serta
menebarkan bau karbon. Di dekat pintu masuk, ada sedikit ruang
kosong yang cukup luas untuk memuat lima belas orang. Ferry
dan Gilli berdiri di sana, saling membelakangi. Berulang kali Ferry
menghampiri pintu, melongok keluar, dan memeriksa jam di
pergelangan tangannya. Sementara itu, Gilli tidak beranjak dari
tempatnya berdiri. Lelaki itu asyik merokok sambil minum sekaleng
bir. Setelah setengah jam mereka menunggu, Soko Galih muncul.
Lelaki Jawa itu terlihat seperti orang yang akan mati tidak lama
lagi. Tubuhnya jauh lebih kurus sejak terakhir kali Bram melihatnya
di kantor Polda Metro Jaya beberapa bulan yang lalu. Kegusaran
terpancar di wajahnya yang berkeriput, sementara mulutnya tidak
berhenti menggumamkan sesuatu, misuh-misuh barangkali.
Tidak lama kemudian, Bung Kelinci menyusul. Berbeda
dengan Soko Galih, Bung Kelinci terlihat segar. Wajahnya cerah
dan dia tidak berhenti memamerkan giginya yang rata dan putih.
Pemimpin geng yang satu itu memiliki postur pendek dan berisi.
Kepalanya setengah botak. Dia mengenakan kaus abu-abu lengan
pendek, celana safari, dan sepasang perhiasan emas di leher serta
pergelangan tangan. Sejak memasuki ruangan, Bung Kelinci tidak
berhenti berbicara lewat ponselnya.
Metropolis.indd 44 Shox datang hampir bersamaan dengan Bung Kelinci. Tubuh
besar dan tegap Shox melenggang mantap memasuki gudang,
membuat Bram lupa sesaat akan umur lelaki setengah baya itu.
Dia seperti mantan atlet tinju yang masih sanggup bertanding.
Selain itu, rambutnya masih lebat. Bahkan, janggut tipis menghiasi
dagunya yang lebar. "Ada apa ini, Ferry, Gilli?" Shox bertanya dengan suaranya yang
serak, "kenapa kita berkumpul?"
"Jadi benar?" Soko Galih menimpali pertanyaan Shox sambil
melirik ke arah Ferry dan Gilli. "Dua bocah ini yang minta Blur
mengumpulkan kita." Lelaki itu mendengus. "Kuharap ini penting.
Berapa jam tadi perjalananku" Gudang keparat!"
Gilli menjawab dengan tenang, "Tunggu Blur datang, baru
kita mulai." "Kalau begitu, mari kita mulai."
Kelima pemimpin Sindikat 12 itu menoleh ke arah pintu masuk.
Bukan salah satu di antara mereka yang berbicara barusan, melainkan seorang lelaki berambut putih yang kini berdiri di ambang
pintu. Lelaki itu berpenampilan sederhana seperti seorang pemilik
toko bahan bangunan. Dia mengenakan kaus singlet di balik kemeja
lengan pendeknya yang tidak terkancing, celana bahan model baggy
warna cerah, serta kacamata tebal di wajah lonjongnya yang dihiasi
senyum. Bung Kelinci buru-buru mematikan ponselnya setelah meng"
akhiri pembicaraan begitu saja. Sikap Soko Galih berubah menjadi
kikuk, tiba-tiba dia sibuk menggaruk-garuk kepalanya. Shox ber"
deham seakan-akan ada riak di tenggorokannya. Gilli segera me45
Metropolis.indd 45 matikan rokoknya dan membuang minuman kalengnya. Sementara
itu, Ferry memberi isyarat mata kepada Bram.
Bram menahan napas begitu menyadari sesuatu. Hanya satu
orang yang bisa membuat pemimpin-pemimpin Sindikat 12 bersikap seperti itu: Blur, penguasa wilayah 6. Ini kali pertama Bram
melihat Blur dan dia bisa merasakan jantungnya berpacu cepat.
"Lama tidak melihatmu, Blur," Shox menyapa dengan ramah.
Blur menghampiri rekan-rekannya. Dia membalas Shox,
"Banyak yang harus kuurus akhir-akhir ini, Reymon. Harga-harga
naik, bisnis jadi sepi. Kemarin kau tanya apa kepadaku" Keramik
lantai, kalau tidak salah" Jangan beli barang Cina, Reymon. Murah
memang, tapi gampang pecah."
Shox tertawa. "Harga ubin Italia selangit, Blur."
"Nanti kuurus. Kau tenang saja," jawab Blur. Dia memperhatikan empat rekannya yang lain satu per satu.
Kepada Soko Galih, dia meminta maaf karena memilih daerah
Penjaringan untuk tempat berkumpul mereka. Dalihnya, "Aku ingat
cucuku saat membuat undangan untuk kalian. Dia merengek minta
cokelat." Soko Galih tidak menjawab. Lelaki kurus itu hanya meng"
angguk-angguk sambil terus berusaha menghindari kontak mata
dengan Blur. Kepada Bung Kelinci, Blur menanyakan kabar restoran baru
milik geng wilayah 5 di daerah Kemang. "Kalian punya bar sushi di
sana" Anakku sedang gandrung makan ikan mentah. Heran. Kadang
aku tidak habis pikir dengan selera zaman sekarang." Dan, Bung
Kelinci buru-buru mencatat hal itu dengan ponselnya.
Metropolis.indd 46 Blur tidak berkata apa-apa kepada Gilli. Dia hanya menepuk
bahu Gilli sambil memberi senyum prihatin, lalu tatapannya tertaut
kepada Ferry. "Rupanya kau yang menggantikan Leo. Ah! Apa yang
kupikirkan" Tentu saja kau yang menggantikan Leo. Dia cuma punya
kau. Semoga kau bisa berbisnis sebaik ayahmu, Ferry. Kalau tidak,
ayahmu akan menyesal membiarkan dirinya mati," kata Blur diikuti
tawa. "Nah, hal penting apa yang akan kita bicarakan?"
Ferry dan Gilli bertukar pandangan, lalu Ferry membuka per"
temuan mereka. "Terima kasih kalian sudah datang. Kita semua
tahu, Ambon Hepi mati terbunuh beberapa hari yang lalu."
"Ya, ya, ya," jawab Bung Kelinci. "Dirampok, lalu dibunuh anak
buahnya sendiri kalau tidak salah. Lalu, kenapa?"
"Bukan hanya Ambon Hepi. Dua minggu sebelumnya, ayahku
mengalami kecelakaan. Dan, sebulan sebelum itu, seseorang menembak Maulana Gilli."
"Ferry," Shox menyela dengan tidak sabar, "sebenarnya apa
yang ingin kau katakan?"
Ferry menatap lawan bicaranya satu per satu. Dia bertanya
dengan hati-hati, "Apa kalian tahu sesuatu tentang kematian
ayahku dan tujuh pemimpin geng yang lain?"
Shox melepaskan tawa keras. "Kau mengumpulkan kami
semua cuma karena masalah ini?" ejeknya. "Tentang kematian
ayahmu, sebaiknya kau tanya Gilli." Dia menuding lelaki yang dimaksud. "Tentang kematian Ambon Hepi dan yang lain, apa yang
membuatmu berpikir kami tahu sesuatu?"
Bung Kelinci ikut menanggapi, "Benar itu. Benar. Kalian berdua yang suka ribut, lalu buat apa bawa-bawa masalah ini kepada
kami?" Metropolis.indd 47 "Jangan asal tuduh, Kawan! Geng Gilli tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Leo," protes Gilli. Dia menatap tajam lawan
bicaranya, lalu berkata, "Ayolah. Sudah delapan pemimpin yang
mati. Jangan pura-pura tidak tahu apa-apa."
Perkataan itu membuat Soko Galih mendengus. "Bocah ingusan! Apa maksud ucapanmu" Salah satu dari kami bertanggung
jawab atas kematian keparat-keparat itu?"
"Siapa yang kau maksud keparat?" Ferry naik pitam. Anak Leo
itu hampir mematahkan hidung Soko Galih, tetapi Gilli buru-buru
menenangkannya. Soko Galih memang cuma bisa memaki, maka
tidak ada gunanya menanggapi penguasa wilayah 9 itu dengan
emosional. Gilli mengungkapkan pemikirannya, "Ada orang yang ingin
menyingkirkan sindikat kita. Entah siapa. Tapi kalian pasti tahu
sesuatu." "Jika kami tahu sesuatu, lalu kenapa?" Blur angkat bicara.
Suaranya begitu tenang. Lelaki itu melepas kacamata yang dia
kenakan, lalu membersihkan sepasang lensa tebal yang membantu
penglihatannya itu dengan sehelai saputangan.
"Kau... kau tahu siapa pelakunya?" Ferry bertanya penuh
nafsu. Blur tersenyum lebar dan menjawab, "Mungkin, tapi kita tidak
bisa membicarakan ini sekarang."
"Kenapa?" Blur mengenakan kembali kacamatanya. Katanya lagi, "Karena
kau sudah melanggar kesepakatan kita, Ferry." Ucapan itu membuat
yang lain terkejut, termasuk Bram yang mengikuti perbincangan
itu secara diam-diam. Metropolis.indd 48 Shox yang pertama memahami maksud ucapan Blur tersebut.
Sepasang mata lelaki itu menatap Ferry sambil melotot. "Kau bawa
orang luar masuk ke pertemuan kita?"
"Apa?" Soko Galih berseru. Dia ikut menatap Ferry, begitu juga
Gilli dan Bung Kelinci. Wajah Ferry berubah pucat. "Bisa kujelaskan," katanya dengan
gagap, tetapi Blur tidak memberinya kesempatan bicara lebih
banyak lagi. Tanpa berkata apa-apa, Blur berbalik dan melangkah
pergi menuju pintu keluar.
Bram tidak akan membiarkan petunjuk yang sudah ada di
depan hidungnya lepas begitu saja, maka dia keluar dari persembunyiannya, melupakan risiko yang mungkin menimpa dirinya
karena melakukan itu. "Hanya tersisa empat dari dua belas, Blur!" Bram berkata
dengan lantang, "waktu kalian tidak banyak!"
Langkah Blur terhenti di ambang pintu, tetapi lelaki itu tidak
menoleh. Sebaliknya, perhatian pemimpin-pemimpin geng yang
lain segera tertuju kepada Bram. Mata mereka seperti mata sege"
rombolan kanibal yang siap memakan Bram hidup-hidup. Bram
menelan ludah untuk mengusir rasa gentar. Ketika itu, barulah Blur
menengok ke arahnya, lalu tersenyum lebar.
Metropolis.indd 49 Petunjuk eberapa tahun yang lalu, Bram pernah membantu tim forensik
mengumpulkan potongan-potongan tubuh seorang reserse di
sebuah ruko tua yang sudah tidak berpenghuni. Satu hari sebelumnya, ruko itu dijadikan tempat pertemuan rahasia Sindikat 12 dan
reserse tersebut mati karena kepergok mencuri dengar. Bram teringat akan peristiwa itu saat Shox mencengkeram lehernya seperti
seorang tukang jagal yang siap memotong ayam.
"Agusta Bram. Nah, Polisi, coba kau katakan! Apa yang bisa
mencegahku mematahkan lehermu?" Shox bertanya kepada Bram
dengan enteng, sementara pemimpin-pemimpin Sindikat 12 yang
lain menunggu tontonan seru terjadi di gudang bekas pabrik cokelat
tempat mereka berkumpul. Bram tertawa walau dengan susah payah. Jari-jari tangan
Shox menekan tenggorokannya, sehingga dia sulit bernapas. Ada
dua alasan kenapa dia tidak akan bernasib sama seperti reserse
Metropolis.indd 50 yang terpotong menjadi dua belas bagian di ruko tua itu, yakni janji
seorang Ferry Saada"meski dia sempat ragu saat melihat wajah
penjaminnya itu sepucat mayat di ruang forensik"dan kode etik
yang dimiliki Sindikat 12 selama belasan tahun.
Dia membela diri, "Ferry menjamin kepalaku."
Lelaki yang disebut namanya menelan ludah, lalu mengiyakan
perkataan itu dengan gugup. "Lepaskan dia, Shox. Dia bersamaku,"
kata Ferry. Giliran Shox yang tertawa. "Sudah kuduga ini perjanjian kecil
kalian seperti biasa. Kau"Ferry"dan polisi kotor ini," Shox mengejek
sambil melepaskan Bram. Bram mengusap-usap lehernya. Dia merasakan tengkuknya
basah oleh keringat dinginnya sendiri. Sesungguhnya dia sempat
jeri juga. Enam orang pemimpin Sindikat 12 yang berdiri di
hadapannya tidak bersenjata, tetapi lelaki dengan tubuh sebesar
Shox tidak butuh bantuan senjata untuk mematahkan leher
seseorang. "Aku selalu punya kartu bagus, Shox. Seperti biasa,"
Bram menanggapi, lalu mengalihkan perhatiannya kepada lelaki
berkacamata yang berdiri di dekat pintu. "Jadi, Blur, apa yang kau
ketahui?" tanyanya. Blur justru balik bertanya, "Kau tidak sungguh berpikir aku
akan buka mulut, "kan" Kau kira aku akan membiarkan polisi campur
tangan masalah kami?"
"Kenapa tidak" Kita menginginkan pelaku yang sama."
Tawa Blur pecah mengisi ruangan. "Nak, kau pernah ke pasar?"
tanya Blur. "Terakhir kali ke sana, aku menemani istriku beli ayam
hidup. Aku lihat ada peternak ingin beli ayam yang sama. Tapi Nak,
Metropolis.indd 51 peternak itu kan tidak datang ke pasar dan cari ayam karena mau
bikin sup seperti istriku. Kau paham maksudku" Kau mungkin ingin
menangkap pembunuh itu, lalu memasukkannya ke penjara, tapi
aku?" Blur menghentikan ucapannya sejenak. Segaris senyum yang
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu membuat banyak orang bergidik menghiasi wajah lonjongnya. Bos mafia itu menatap tajam ke arah Bram, lalu menambahkan,
"Aku lebih suka mengirim dia ke tempat Leo supaya mereka bisa
minum bir berdua sambil bikin daging panggang di sana," kemudian
dia kembali tertawa. Blur pergi meninggalkan gudang bekas pabrik cokelat itu tanpa
berkata apa-apa lagi. Satu per satu rekan-rekannya mengikuti,
membawa serta petunjuk bersama kebungkaman mereka. Sebenarnya, sejak awal Bram sudah tahu bahwa empat orang yang tersisa itu tidak akan buka mulut, pun kepada Ferry dan Gilli. Kematian
ber"untun sejumlah pemimpin Sindikat 12 adalah masalah mereka
dan mereka sendiri yang akan menyelesaikannya tanpa campur
tangan pihak lain. Itu yang terbaca melalui sikap mereka barusan.
Kini hanya ada dirinya, Ferry, dan Gilli di dalam gudang. Untuk
beberapa saat mereka bertiga terdiam, hanyut dalam kegelisahan
masing-masing, sampai kemudian Gilli memecah keheningan itu
dengan tawa sinis dan berkata, "Kalian berdua memang berengsek!"
Mata Gilli menatap Bram dan Ferry secara bergantian. "Tidak
gampang mengumpulkan mereka dan sekarang kita tidak dapat
apa-apa." Metropolis.indd 52 Ferry tidak menjawab. Bram menanggapi dengan tenang,
"Sejak awal mereka memang tidak ada niat bicara. Lagi pula...," dia
menghentikan ucapannya, membiarkan kalimat itu tidak selesai.
Di pikirannya, kembali terlintas nama Blur.
Penguasa wilayah 6 itu memang hebat. Blur bisa mengetahui
keberadaan seorang penyusup di tempat itu, sementara rekanrekannya tidak sadar sama sekali. Mungkin anak buah Blur
menemukan mobil yang Bram sembunyikan di belakang gudang,
kemudian memberi tahu bos mereka. Akan tetapi, sepanjang
pertemuan tadi tidak ada satu orang pun selain pemimpin Sindikat
12 yang memasuki ruangan. Blur juga tidak menerima telepon atau
pesan lewat alat komunikasi apa pun. Lalu, apakah itu berarti Blur
sudah tahu sejak awal"
Kalau memang benar begitu, maka keberadaan Blur tadi
menjadi janggal. Selama ini, Blur tidak pernah menampakkan diri
kecuali kepada rekan-rekan terdekatnya, orang-orang yang bisa
dia percaya, begitu yang Bram dengar dari sejumlah informan. Bagi
Ferry dan Gilli, ini juga kali pertama mereka melihat Blur. Bram percaya Blur tidak akan bertindak gegabah, tetapi dia tidak habis pikir
kenapa hari ini lelaki itu tetap muncul walau tahu sedang diawasi.
"Ferry." Mulut Bram menarik senyum simpul. Bram berkata, "Berikan
informasi yang bagus tentang perempuan di foto tadi, baru kau
bisa dapatkan bukti penyelundupan yang kau mau." Lalu, dia pergi
meninggalkan tempat itu. Metropolis.indd 53 "Kudengar, Ferry bawa masuk polisi."
Seusai pertemuan di Penjaringan, di dalam mobil yang sedang
melaju ke arah Kota, Shox berbicara dengan seseorang lewat telepon, lelaki seusianya yang memiliki suara berat. Shox tertawa sinis
menanggapi perkataan lelaki tersebut. Jawabnya, "Saada yang satu
itu memang perlu diberi pelajaran. Dia terlalu banyak berurusan
dengan polisi." Lawan bicaranya ikut tertawa, lalu berkata, "Kalau saja Leo
punya anak lain, gampang saja kita menghabisi Ferry."
"Tapi kenyataannya tidak begitu. Dulu, waktu istri Leo bilang
tidak mau beranak lagi, aku sudah dapat firasat buruk. Sekarang itu
terbukti. Anak mereka tidak bisa apa-apa, selain main perempuan
dan jadi anjing polisi. Bisa-bisa bisnis Saada hancur di tangannya,"
kata Shox. Sindikat 12 bisa mendapat masalah serius jika bisnis wilayah
10 berantakan. Mereka boleh kehilangan Ambon Hepi, Soko Galih,
atau bahkan BK, tetapi tidak Saada. Selama ini, Geng Saada adalah
urat nadi distribusi mereka. Melalui geng itu, mereka berhubungan
dengan sejumlah mafia besar di Asia dan Kanada. Tanpa Geng
Saada, hubungan mereka dengan mafia-mafia itu bisa terputus dan
sebagian besar pasokan narkotika mereka terhenti.
"Kita akan bereskan itu, tapi tidak sekarang," kata lelaki di ujung
lain sambungan telepon, "tentang pembicaraan kita yang terakhir,
Reymon. Kukira dulu kau sudah membereskan semuanya."
"Orang itu sudah mati. Aku sendiri yang menghabisinya," ujar
Shox membela diri. Metropolis.indd 54 Lawan bicaranya menanggapi dengan cepat, "Aku tidak
meragukan itu, tapi seharusnya tidak ada yang tersisa. Orangku sudah
menyelidiki. Dia punya jaringan di Kanada. Tidak besar, tapi ada."
"Jadi, menurutmu...," Shox tidak sempat menyelesaikan
ucapannya. Lawan bicaranya menyela, "Ya, Reymon. Dan, sekarang mereka
mengejar kita satu per satu."
Soko Galih menuang bir ke dalam gelas di hadapannya. Tangannya
gemetar. Cairan alkohol yang keluar dari mulut botol itu bertum"
pahan ke permukaan meja, tempat dia meletakkan gelasnya. Dia
baru saja tiba di kediaman miliknya di daerah Rawasari. Sekujur
tubuhnya bersimbah keringat dingin saat dia memasuki kamar
tidurnya. "Keparat!" makinya. "Dia sudah tahu. Dia tahu, makanya tidak
muncul. Lelaki licik!"
Dia meminum habis bir di dalam gelas, berharap minuman
itu bisa mengusir rasa takut. Ya, dia sedang ketakutan. Ketakutan
setengah mati. Hasil pertemuan di Penjaringan tadi siang membenarkan dugaannya. Seseorang dari masa lalu memburu mereka
satu per satu. Pertama Maulana Gilli, kemudian Leo Saada, dan
baru-baru ini Ambon Hepi. Lalu, selanjutnya....
"Aaargh!" Teriakannya memenuhi ruangan. Dia tidak sanggup memikirkan itu lebih jauh. Dilemparnya gelas yang ada di tangannya ke
dinding dan benda itu pecah menjadi serpihan kaca. Mulut Soko
Galih tidak berhenti memaki. Dia mulai mencari kambing hitam.
Metropolis.indd 55 "Shox! Keparat itu pasti gagal bikin koit orang itu. Ya! Dia pasti
gagal. Siapa lagi pelaku semua ini kalau bukan orang itu?"
Soko Galih menyeberangi kamarnya yang gelap, menghampiri
jendela kaca yang lebar di salah satu sisi. Disibaknya tirai yang
menutupi jendela itu, lalu matanya menatap awas ke luar bangunan,
memperhatikan suasana malam jalanan di depan rumahnya. Nyaris
tidak terlihat apa pun di luar sana, kecuali sebuah gerobak penjual
nasi goreng keliling yang sedang mangkal. Pengurus RT yang
keparat belum juga memperbaiki lampu jalan yang sudah sebulan
mati, sementara bangunan-bangunan lain di sekitar rumahnya tidak
berpenghuni pada waktu malam dan pemilik bangunan-bangunan
itu terlalu pelit untuk memasang lampu beranda. Selain lampu di
teras rumahnya sendiri dan lampu minyak milik penjual nasi goreng,
hampir tidak ada penerangan lain yang berarti. Jalanan itu juga sepi.
Sesekali saja ada orang lewat atau kendaraan melintas memberi
sedikit tanda-tanda kehidupan. Lain dari itu hanyalah sunyi.
Bisa saja aku yang selanjutnya.
Tiba-tiba hal itu tercetus di kepala Soko Galih. Tidak mustahil
jika kini pembunuh rekan-rekannya sedang bersembunyi dalam
kegelapan di luar sana, siap menyerang saat dia lengah. Dia bergidik.
Buru-buru dirapatkannya kembali tirai, lalu dia melangkah menjauhi
jendela. Dia sudah menambah orang untuk mengamankan tempat
tinggalnya, namun itu tidak membuatnya tenang. Semua orang
tahu pertahanan Geng Saada paling kuat di antara geng lain dalam
Sindikat 12, tetapi Leo tetap saja terbunuh.
"Keparat!" umpatnya lagi.
Metropolis.indd 56 Tahu begini, dia akan membiarkan polisi bernama Agusta Bram
itu tahu segalanya. Namun, Bram telanjur kembali ke kantor Polda Metro Jaya dengan
tangan kosong. Dia tiba saat hari sudah gelap. Di dalam ruang
kesatuannya, hanya tersisa Erik bersama beberapa orang reserse
yang sedang berjaga malam. Erik menyambutnya dengan ekspresi
lega yang menurutnya berlebihan, seolah-olah dia baru kembali
dari perang melawan GAM atau semacamnya. Polwan itu meng"
hampirinya cepat-cepat, lalu berbisik kepadanya, "Kukira terjadi
sesuatu padamu." Bram tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia tersenyum kecut.
Tanyanya, "Ada yang tahu aku pergi?"
Erik menggeleng. Polwan itu balik bertanya, "Bagaimana tadi
di Penjaringan?" "Tidak ada apa-apa," jawab Bram. Dia tidak memberi pen"
jelasan lebih banyak dan membiarkan Erik kebingungan sendiri. Mereka menghampiri meja kerja mereka. Banyak berkas menumpuk di
sana. Tampaknya, Erik melakukan banyak hal selama Bram pergi.
Bram menarik sebuah kursi, lalu duduk menghadapi berkas-berkas
itu. Dia bertanya, "Apa yang kau dapatkan?"
Lalu, Erik mulai menceritakan temuannya. Polwan itu berkata
bahwa hasil autopsi Markus Haulussy keluar hari ini dan Bram benar, memar di wajah Markus disebabkan oleh tangan pelaku yang
mencoba membungkam Markus. Selagi pelaku melakukan itu, dia
mengerat leher Markus dengan garpu makan. Tidak ada sidik jari
Metropolis.indd 57 di garpu tersebut. Kuku-kuku jari tangan Markus juga bersih, tidak
ditemukan sobekan kulit atau potongan rambut. Sepertinya Markus
tidak sempat melakukan perlawanan.
"Berapa tinggi Ambon Hepi" 180?" tanya Bram.
"183. Berat 80 kg."
"Berarti, sebesar apa orang yang menyerangnya ini?" tanya
Bram lagi. Erik menjawab segera, "Mungkin justru sama sekali tidak
besar. Lebar jendela di kamar Ambon Hepi 50 cm. Tingginya dua
kali itu. Kalau benar pembunuh Ambon Hepi menggunakan jendela
itu untuk kabur, dia harus berbadan kecil atau setidaknya cukup
ramping. Lagi pula, ukuran sepatunya 42."
"Kalian menemukan jejak kaki?"
"Tepat di bawah jendela dan di sepanjang jalan setapak yang
melintasi halaman belakang rumah Ambon Hepi. Aku juga sempat
bingung, tapi hasil autopsi mengatakan Ambon Hepi sedang teler.
Mereka menemukan kokain di rongga hidungnya. Pasti karena itu
Ambon Hepi mudah diserang."
Bukti-bukti membenarkan hipotesis Bram selama ini. Bahkan,
kokain dalam hidung Markus Haulussy menjelaskan modus
operandi pelaku pembunuhan itu: dia mendekati korbannya dengan
berpura-pura menjadi penjual kokain. Tidak sembarang orang bisa
melakukan hal itu. Dibutuhkan kokain dalam jumlah yang cukup
besar untuk memancing ikan kakap seperti Markus Haulussy. Orang
tidak bisa menemui bos mafia yang menguasai seperdua belas bisnis
narkotika di Jakarta dengan satu atau dua kilogram kokain. Paling
tidak, orang tersebut butuh lima kilogram dan tentu saja itu tidak
murah, butuh modal besar.
Metropolis.indd 58 "Apa lagi?" tanya Bram.
"Itu saja. Perempuan dalam foto yang kau tunjukkan tidak
ada dalam catatan kepolisian. Dia bersih. Jadi, kita harus mencari
informasi keluar," jawab Erik.
"Sudah periksa catatan SIM?"
"Baru akan kulakukan besok."
"Lalu, bagaimana dengan daftar riwayat pemimpin-pemimpin
Sindikat 12?" Erik menggeleng. Bram sudah menduga kepolisian tidak memiliki catatan yang
dia inginkan. Ferry Saada pasti bisa membantunya. Lelaki itu
mengenal banyak orang dan satu di antaranya pasti mengetahui
banyak hal. Akan tetapi, saat ini Bram sedang kehabisan kartu as
maka dia terpaksa mencari opsi lain. "Moris mungkin tahu sesuatu,"
ujarnya. Pembicaraan mereka terputus saat seorang reserse yang juga
berada di ruang kesatuan itu memanggil mereka. "Ada faks masuk,
Inspektur. Untuk Anda."
Reserse itu menghampiri Bram untuk menyerahkan selembar kertas faks yang masih hangat. Di permukaan kertas itu,
Bram mendapati"kemungkinan besar"sebuah kata yang ditulis
besar-besar, yang terpotong secara horizontal, sehingga setengah
bagiannya"bagian bawah"menghilang.
"Pengirimnya memutus sambungan di tengah-tengah," kata
reserse yang memberikan kertas itu, menjelaskan kenapa faks
tersebut tidak tercetak secara utuh.
Metropolis.indd 59 Bram mengernyit. Jarinya menunjuk nomor telepon pengirim
faks yang tertera di bibir kertas, yang selalu ikut tercetak secara
otomatis. "Kepala 42, daerah mana itu?" tanyanya.
"Hemm... Jakarta Timur," Erik yang menjawab kemudian.
Faks itu dikirim dari sebuah bangunan di daerah Rawasari,
sebuah ruko berlantai tiga yang dimiliki oleh Soko Galih, salah
satu pemimpin Sindikat 12. Bram dan Erik segera mendatangi
ruko tersebut begitu tahu. Mereka berjaga di sekitar bangunan
itu semalaman, mengawasi properti milik Soko Galih dari dalam
mobil mereka, sampai pagi datang dan orang-orang keluar dari
Metropolis.indd 60 ruko-ruko yang berderet di sepanjang jalan"menyapu halaman
depan ba"ngunan mereka atau pergi bekerja ke tempat lain. Seiring
dengan itu, terlihat satu atau dua mobil melintas, juga sejumlah
sepeda motor dan pedagang makanan yang mendorong gerobak,
sehingga daerah yang kerap dijadikan tempat jual-beli berbagai
macam barang bekas itu mulai ramai.
Bram membuang puntung rokoknya ke luar mobil melalui jendela. Dia melirik jam di pergelangan tangannya sekilas. Terhitung
sejak dirinya dan Erik tiba di tempat itu, sudah lebih dari lima jam
mereka mengawasi ruko tua milik Soko Galih yang catnya sudah
mengelupas. Selama itu, dia tidak menemukan adanya kejanggalan yang menandakan sesuatu telah terjadi di dalam bangunan
tersebut. Semua tampak baik-baik saja. Orang-orang bertampang
sangar yang berjaga di depan bangunan bermain gaple sambil
terkantuk-kantuk. Mungkin Soko Galih berada di dalam ruko itu.
Mungkin juga saat ini lelaki itu sedang memimpikan curut yang bisa
membuat dia kaya raya. Akan tetapi, itu tidak lantas menghapus
kenyataan bahwa lelaki itu mengirim faks kepadanya semalam dan
Bram sempat berpikir seseorang membungkam Soko Galih secara
paksa sehingga faks itu terputus.
"Sampai kapan kita di sini, Bram?" Erik bertanya, memecah
keheningan dengan suara serak yang disebabkan oleh udara dingin.
Polwan itu kelihatan lelah dan butuh tidur. Berkali-kali dia menepuk
kedua pipinya sendiri agar tetap terjaga.
Bram akan menjawab, tetapi ponsel di sakunya tiba-tiba
berbunyi. Metropolis.indd 61 Ferry yang meneleponnya. Tanpa basa-basi, lelaki flamboyan
itu berkata, "Aku punya sedikit informasi. Tentang perempuan dalam
foto yang sedang kau cari-cari itu."
Bram terkesiap mendengar itu. Dia segera menegakkan posisi
duduknya. "Apa yang kau dapatkan?" tanyanya dengan nada memburu. Dia mendengar Ferry berkata lagi, "Perempuan itu bernama
Miaa. Dia mantan polisi."
Tepat setelah Ferry menyelesaikan ucapannya, kaca jendela di
lantai ketiga ruko Soko Galih pecah. Suara gaduh itu mengalihkan
perhatian Bram. Dia melihat tubuh seseorang terlempar keluar dari
dalam bangunan, mengoyak rangka kayu yang semula membingkai
kaca tersebut, lalu jatuh terhempas ke permukaan jalan aspal di
depan bangunan bersama serpihan kaca dan potongan kayu.
Orang-orang yang sedang berada di sekitar ruko itu ribut,
sebagian berlarian menjauh sambil berteriak ngeri, sebagian justru
sebaliknya. Bram cepat-cepat mematikan ponsel di tangannya. Dia
Metropolis Karya Windry Ramadhina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberi perintah kepada Erik untuk memanggil bantuan dari Polda
Metro Jaya. Setelah itu, dia keluar dari mobil dan berlari menghampiri tubuh yang kini teronggok di jalanan.
Dia mengenali wajah orang yang baru saja terlempar itu.
Soko Galih. Penguasa wilayah 9 itu tidak bernyawa lagi saat Bram
memeriksa denyut nadinya. Anak buah Soko Galih berdatangan
setelah dirinya. Saat kumpulan orang bertampang sangar itu sibuk
me"ngerumuni tubuh bos mereka, mata Bram menangkap gerak
seseorang menyelinap keluar dari tangga monyet yang ada di
samping ruko Soko Galih. Orang itu kemudian melesat memasuki
sebuah gang kecil yang terdapat di belakang bangunan.
Metropolis.indd 62 Bram berlari mengikuti arah kepergian orang tersebut dengan
revolver siap di tangan. Menelusuri gang sempit yang diimpit
rumah-rumah kumuh berpagar bambu atau besi berkarat. Jalanan
bermuka semen yang dia pijak tidak terlalu lebar, tidak bisa dilalui
mobil, dan kedua sisinya diapit selokan basah yang menguarkan
bau tidak sedap. Dalam gang sempit itu, orang-orang berlalu-lalang
memakai baju tidur, motor terparkir di sana-sini, dan gerobak sayur
mangkal, membuat ruang gerak semakin berkurang.
Dia mencoba menyusul lelaki berpakaian serba hitam yang
berlari kurang lebih lima meter di depannya. Langkah lelaki itu
sangat cepat. Lelaki itu begitu gesit menaklukkan jalanan yang
berliku, sementara Bram harus mengerahkan seluruh kemampuan
geraknya agar tidak kehilangan jejak. Dia sempat berseru
kepada kejarannya. Suaranya berbaur dengan musik dangdut
yang terdengar di sana-sini, menarik perhatian orang-orang.
Dia mengancam akan melepaskan peluru, tetapi lawannya tidak
berhenti. Lelaki itu tahu dirinya tidak akan berani melepaskan
tembakan di tengah keramaian gang tersebut.
Mereka tiba di sebuah persimpangan tiga arah. Saat itu,
jarak di antara mereka semakin lebar. Lelaki itu berbelok ke kiri,
kemudian tiba-tiba saja ada orang ketiga bergabung dari belokan
satunya di sebelah kanan dan mengejar sasaran yang sama. Kini,
seorang perempuan berada di antara dirinya dan lelaki tadi. Bukan
Erik. Perempuan itu memiliki tubuh terlatih yang bergerak dengan
cukup gesit. Ujung gang yang mereka lalui sudah terlihat di depan. Cahaya
terang menyambut mereka saat gang itu bermuara di tepi sebuah
Metropolis.indd 63 jalan raya yang lebar. Lelaki yang mereka kejar telah berada di sisi
lain jalan raya, terpisah dari mereka oleh lalu-lalang kendaraankendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Seraut wajah Tionghoa milik lelaki itu menatap Bram sekilas.
Sebuah senyum terulas lebar untuk mengejek dirinya. Lelaki itu
dijemput oleh seorang pengendara sepeda motor sejurus kemudian
dan pengejaran itu pun terpaksa berakhir.
"Ah!" Bram melepaskan teriakan kesal. Matanya mengikuti
arah kepergiaan motor itu sampai kendaraan tersebut menghilang
di kejauhan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan
lelaki misterius itu lolos.
Masih dengan napas memburu, Bram mengalihkan perhatian
kepada perempuan yang kini berdiri tidak jauh dari dirinya, sosok
yang tadi juga terlibat dalam pengejaran. Perempuan itu balas
menatap ke arahnya dan Bram segera mengenali wajah perempuan
itu. Dia melihat wajah itu saat pemakaman Leo Saada, juga dalam
salah satu foto TKP kematian Markus Haulussy.
Miaa. Metropolis.indd 64 Miaa iaa berlari menembus hujan secepat yang sanggup dia lakukan. Kaki-kakinya yang kecil dan pendek memelesat menuju
rumah, meninggalkan jejak di sepanjang jalan becek yang dia lewati. Tubuhnya basah kuyup. Seragam sekolah yang dia kenakan
penuh tanah merah. Wajah dan sepasang tangannya lebam-lebam.
Dia tidak bisa melihat pemandangan di hadapannya dengan jelas.
Kedua matanya basah, bukan karena air hujan, melainkan karena
tangisannya sendiri. Saat dirinya menghambur masuk, pintu rumah tidak terkunci.
Dia tidak repot-repot membuka sepatunya lebih dahulu. Dibawanya
serta tanah basah yang menempel di kedua alas kakinya ke dapur.
Di sana, dia menemukan ibunya. Dengan didahului raungan, dia
memeluk sang ibu dan membenamkan wajahnya di pinggang
perempuan itu, kemudian menangis sejadi-jadinya.
"Miaa" Ada apa, Nduk?"
Metropolis.indd 65 Miaa tidak menjawab. Tangisannya mengeras dan pelukannya
bertambah erat. Dia merasakan tangan ibunya mengusap kepalanya
dengan gemetar. Ibunya membungkukkan tubuh, membalas
pelukannya, tetapi tidak berkata apa-apa untuk menanyakan apa
yang terjadi. Sudah berulang kali Miaa mengalami hal yang sama,
sudah terlalu sering. Dan, yang bisa mereka lakukan hanyalah menangis berdua
seperti sebelum-sebelumnya.
"Dek Miaa." Lamat-lamat, di antara suara detak jam dinding yang monoton, Miaa mendengar seseorang memanggilnya. Suara orang
itu dibarengi gedoran pintu yang"kalau saja dilakukan oleh orang
utan"mungkin bisa merobohkan papan kayu tersebut. Dia membuka kedua kelopak matanya, mendapati dirinya sedang duduk di
atas kasur keras, satu-satunya perabotan yang ada dalam kamar
di rumah kosnya. Punggungnya bersandar pada dinding yang menempel dengan salah satu ujung kasur tersebut. Dia menghadapi
sebuah laptop yang masih menyala. Kamarnya sempit dan nyaris
gelap. Seberkas cahaya masuk melalui sela-sela tirai jendela yang
sedikit tersingkap, tetapi tidak mampu berbuat banyak untuk menerangi ruangan tersebut.
"Dek Miaa!" Panggilan itu berulang, kali ini lebih keras dan bernada kasar.
Miaa menghela napas. Dia mengenali suara itu dan tahu bahwa
pemilik suara tersebut tidak akan berhenti mengganggunya sampai
Metropolis.indd 66 dia keluar. Dia memaksakan diri untuk bangkit meski dengan mata
setengah tertutup. Langkahnya terhuyung-huyung saat dia beranjak dari kamar dan melintasi ruang tengah. Dibukanya pintu depan,
kemudian disambutnya ibu kosnya. Perempuan itu berdiri di bawah
amukan matahari, berwajah kusut, dan mengenakan daster warna
mencolok serta setengah lusin rol rambut di kepalanya.
"Ya?" Miaa menjawab dengan enggan sambil memicingkan
mata saat cahaya dari luar rumah menyerbu dirinya.
"Jam segini kok baru bangun"! Nih, simpan koran dan suratsuratmu! Gerimis." Ibu kosnya menyodorkan satu bundel koran dan
beberapa amplop surat. Miaa tidak menjawab. Dia mengambil koran dan amplopamplop tersebut, lalu mendongak. Saat ini memang gerimis dan
udara sangat lembap, tetapi entah kenapa matahari justru bersinar
terik. "Sakit kamu?" tanya ibu kosnya. "Tampangmu kayak cucur."
"Kurang tidur," jawab Miaa.
Dia diceramahi. Suara ibu kosnya terdengar melengking se"
perti suara tupai-tupai dalam film kartun Amerika. Saat mengomel,
perempuan itu menggerenyotkan mulut sedemikian rupa sampai
wajahnya menjadi semakin tidak sedap dipandang. "Tuh, kan!
Makanya, jangan sering pulang pagi. Emang apa sih yang kamu
kerjakan di luar setiap hari" Perempuan baik-baik tidak keluyuran
malam-malam seperti kamu!" begitu omelan ibu kosnya.
Miaa malah menjawab dengan tenang, "Siapa bilang saya
perempuan baik-baik?"
Metropolis.indd 67 Ibu kosnya membelalakkan mata mendengar kalimat yang
terlontar dari Miaa. Wajah perempuan itu berubah merah padam.
Miaa membalas tatapan ibu kosnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Tanpa memberikan kesempatan kepada ibu kosnya untuk
bereaksi, dia masuk kembali ke rumahnya dan menutup pintu. Tidak
lama kemudian, dia mendengar ibu kosnya menggerutu.
"Ditanya baik-baik malah kurang ajar! Tampang sih cantik, tapi
kelakuan kayak preman kolong."
Sudah sering Miaa mendapat makian semacam itu, tetapi dia
maklum saja karena ibu kosnya memang tidak bisa hidup kalau
tidak mengomeli orang barang sehari sekali. Sebelum mendengar
lebih banyak lagi, dia melangkah menjauhi pintu depan rumah
dan memasuki kamar tidur. Ditekannya tombol lampu yang ada di
dinding, kemudian ruangan itu menjadi terang.
Dari arah luar terdengar lagi omelan ibu kosnya, "Siang-siang
jangan nyalain lampu! Boros listrik, tahu" Buka tuh tirai jendela
kamarmu!" Tetapi Miaa tidak peduli. Dia malah tertawa diam-diam.
Jangankan omelan, udara pengap dan lembap di dalam kamarnya
saja tidak pernah dia ambil pusing. Dia punya alasan kenapa dirinya
membiarkan kamar tidurnya selalu tertutup rapat.
Di salah satu dinding, dia menempel banyak kertas berupa
catatan penting, potongan-potongan koran, dan sejumlah foto; semua berhubungan dengan narkotika, geng-geng pengedar, wilayah
operasi mereka, Sindikat 12, dan kematian beberapa pemimpin
sindikat tersebut dalam satu tahun belakangan ini.
Miaa berjongkok. Di bagian bawah dinding yang sama, dia
menyandarkan sebuah papan tulis kecil putih. Permukaan licin
Metropolis.indd 68 papan tulis itu dipenuhi coretan-coretan tangan yang hanya bisa
dimengerti oleh dirinya sendiri. Ada sejumlah nama di sana, di"
susun dalam satu tabel. Tujuh di antaranya dicoret dan dilengkapi
ke"terangan waktu di sebelah kanan. Ada juga rangkaian angka yang
sekilas terlihat acak. Angka-angka itu diikuti tanda panah yang
merujuk ke nama-nama dalam tabel tadi.
Dia mengambil sebuah spidol yang tergeletak di lantai, lalu
mencoret sebuah nama lainnya: Markus Haulussy. Diberinya
keterangan waktu: 21-6-07. Dan, dibuatnya tanda panah untuk
menghubungkan nama tersebut dengan angka 4. Dia meletakkan
kembali spidolnya, kemudian menatap papan tulis di hadapannya
lekat-lekat sambil mengerutkan alis. Kini, hanya ada empat nama
yang belum dicoret di dalam tabel itu dan waktu yang dia miliki
mungkin tidak banyak lagi. Dia harus bergerak lebih cepat.
Metropolis.indd 69 Mendadak, dia mendengar laptopnya berbunyi memberikan
tanda. Ada pesan untuknya yang dikirim lewat internet. Buru-buru
Miaa menghampiri laptopnya. Dia memang sedang menunggu
pesan dari seseorang. Pesan itu berbunyi:
frank_sinatra13: terkirim
frank_sinatra13: ada di ibumu
Ibunya adalah orang tua tunggal, wanita yang tidak bersuami. Di
lingkungan tempat mereka tinggal, sebuah kampung kecil di daerah
Kaliurang di Yogyakarta, dia dan ibunya dituding sebagai pelacur.
Perempuan-perempuan di kampung itu memalingkan muka saat
berpapasan dengan mereka di jalan. Lelaki-lelaki di angkringan
memandang mereka seperti kucing kurus yang mengintai ikan asin.
Dan, anak-anak seusianya menolak bergaul dengan mereka.
Sejak kecil, Miaa sudah terbiasa menerima perlakuan buruk
teman-temannya. Sering dia pulang ke rumah dengan pakaian
penuh tanah dan tubuh lebam-lebam. Biasanya, dia dikerjai oleh
teman-temannya seusai jam pelajaran di sekolah. Mereka membawanya ke lapangan, mendorongnya sampai jatuh, melemparinya
dengan tanah, lalu memukulinya dengan botol minuman mereka.
Aksi-aksi kekerasan itu berkurang seiring dirinya beranjak dewasa,
tetapi ejekan-ejekan mereka tidak kunjung berhenti.
"Makin ayu anak ini. Persis mbok e," kata seorang lelaki tua
di sebuah angkringan yang dilewati oleh Miaa sepulang sekolah.
"Awas kamu, Nduk! Jangan ikut melacur."
Miaa tidak menjawab. Dia cepat-cepat pergi dari tempat itu
sebelum celaan lelaki tua tersebut menjadi panjang. Dia menunduk
Metropolis.indd 70 dalam-dalam sambil mendekap tas sekolahnya di dada. Sengaja dia
membiarkan rambut panjangnya yang lurus jatuh menutupi wajah,
bukan karena malu, melainkan karena dia sedang menahan amarah
yang meluap di hatinya. Saat memasuki rumah, dirinya disambut oleh alunan musik
lama yang tersendat-sendat, musik kesukaan ibunya yang kerap
memenuhi setiap sudut rumah mereka sehari-hari. Dia menemukan
ibunya di kamar tidur. Perempuan itu duduk di tepi jendela ruangan
yang terbuka lebar, ditemani sebuah pemutar kaset tua, dan sepasang matanya memandang ke luar melalui jendela.
Ibunya memiliki paras yang mampu membuat lelaki mana pun
di kampung mereka menjatuhkan pandangan saat dia melintas.
Usia ibunya sudah tidak muda lagi, tetapi kulitnya masih kencang
tanpa kerut dan tubuhnya seperti tidak terpengaruh oleh waktu.
Kata Pak Bambang, juragan konveksi yang sering memberi ibunya
pekerjaan menjahit, dirinya mirip sekali dengan sang ibu. Semakin
dewasa, semakin dia mirip dengan perempuan itu. Hal ini dia sadari
setiap kali dirinya bercermin.
Ibunya menoleh saat menyadari kehadirannya di ambang pintu
ruangan. Senyum tipis terulas, tetapi wajah perempuan itu tidak
menunjukkan emosi apa pun. "Kamu sudah pulang, Nduk?" tanya
ibunya. "Ibu sudah siapkan sayur bening kesukaanmu."
Miaa mengiyakan dengan anggukan, lalu membiarkan ibunya
kembali hanyut dalam lamunan.
Ibunya bukan seorang pelacur. Miaa tahu itu karena ibunya
selalu menangis setiap kali dia mengadukan perlakuan buruk orangorang di kampung mereka. Dahulu, saat masih kecil, dia memang
Metropolis.indd 71 kerap bertanya kepada ibunya ke mana ayahnya pergi dan apakah
ayahnya sama seperti ayah salah seorang temannya yang tidak
pernah ada di rumah karena berlayar. Ibunya tidak pernah menjawab. Perlahan-lahan, Miaa pun sadar pertanyaannya itu menyakiti
ibunya, maka dia berhenti bertanya.
Seiring dengan berjalannya waktu, ibunya berubah menjadi
sangat pendiam dan suka melamun sendiri. Pak Bambang pernah
berkata kepadanya, "Bawa ibumu ke dokter, Nduk. Pakde khawatir
melihat keadaan ibumu." Tetapi Miaa terlalu takut untuk melakukan itu.
Dia masih membutuhkan kehadiran sang ibu walaupun jiwa
perempuan itu tidak sehat.
"Tidak ada perubahan yang berarti selama dua bulan ini, Miaa.
Ibumu masih belum mau bicara. Terakhir ibumu sempat berteriak
histeris, tapi tidak ada kata-kata yang keluar," kata dokter spesialis
yang merawat ibunya di sebuah pusat rehabilitasi jiwa.
Miaa mengikuti dokter itu melewati koridor yang dipenuhi
sinar matahari sore. Belasan pintu kamar berbaris di sebelah kiri
mereka, sementara sebelah kanan koridor itu terbuka dan menghadap ke arah sebuah taman buatan yang memberi suasana sejuk.
Pasien-pasien duduk ditemani keluarga mereka di tepi koridor atau
di bangku-bangku taman. Obrolan santai mereka terdengar sesekali
olehnya, diselingi derai tawa atau isakan tangis bernada khas yang
Perjalanan Ke Alam Baka 2 Wiro Sableng 073 Guci Setan Gajahmada 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama