Merantau Ke Deli Karya Hamka Bagian 1
01. Malam Gajian Ramai dan riuh rendah orang di kebun. Hari sekarang malam satu, malam tanggal bulan yang baru, orang-orang kontrak berlarian dari dalam kantor setelah menerima gajinya masing-masing, gaji yang diharapkan dari awal ke ujung bulan, yang menyebabkan setiap hari mereka memeras keringat dengan tiada mengingat payah dan lelah. Yang harus meraka terima 30 x 45 sen, telah dipotong pula pinjaman tanggal 15 dan telah dipotong blasting, sisanya itulah sekarang yang masuk ke dalam saku mereka, namun wajah mereka masing-masing kelihatan juga berseri-seri.
Sebelum menerima uang itu mereka cerdik, banyak yang teringat, banyak yang perlu dan banyak yang kurang. Tetapi setelah ada dalam tangan, mereka bingung, mereka lupa apakah gerangan yang akan dibeli. Dalam kebingungan itu hari sudah malam juga, di kiri kanan jalan yang mereka lalui menuju pondok, kedengaran riuh rendah orang yang menyorakkan jualannya, pejual kain, nasi, mie, sirup dan obat. Disela-sela pedagang-pedagang itu kelihatan pula beberapa orang juara judi mengembangkan tikarnya judinya, memutar dadu. Maka ratusan kuli kontrak yang keluar dari kantor itupun sebagai orang kebingunganlah, ada yang pergi kekedai kain, ada yang pergi membeslah mie sepinggan, sebab telah berhari-hari lamanya dia telah berdendam dengan mie itu. Ada pula yang sudah ketangihan judi, terus saja menerobos ke tikar yang sedang dibentangkan itu, duduk di sana mempermainkan uang yang baru saja diterimanya. Akhirnya ada yang tegak kembali dengan muka jernih berseri-seri, sebab dia menang, ada pula yang hanya menepuk-nepuk tangannya ke pinggulnya, sebab uang yang baru saja diterimanya pukul lima tadi, pukul tujuh malam telah musnah semuanya.
Kira-kira pukul enam sangatlah ramainya pedagang-pedagang itu meladeni pembeli. Banyak kuli-kuli tersadai dan tersangkut saja di situ, tidak sanggup pulang lagi. Tukang-tukang jual kain obral sangat lucunya, mulut mereka bersoraksorak memanggil kuli-kuli perempuan, sudut mata mereka bermain amat cepatnya : Sini dik, sini yang halus barangnya dan murah harganya, kalau tak murah uang kembali .
Kuli-kuli perempuan itupun lebih pula bingungnya daripada yang laki-laki. Baru saja dipuji sedikit, dikatakan dia cantik, kalau bersuami dikatakan bahwa suaminya lebih muda dari padanya, maulah dia rasanya mencurahkan uang pendapatannya tadi sama sekali ke tukang-tukang pedagang kain itu. Biasanya paling ramai ialah sejak pukul lima, ketika kuli-kuli mula-mula keluar dari gudang tempat mereka menerima gaji, dan habisnya paling lambat pukul dekapan. Setelah lepas pukul delapan, lenganglah tempat itu, tetapi mereka menunggu sampai pukul 12 atau pukul satu malam. Sebab permainan judipun lebih ramai dari pada tadi, apalagi pada pukul sepuluh malam, gamelan dibunyikan oleh kuli-kuli yang tua, yang memang sengaja mereka bawa dari tanah Jawa, dan dapat izin dari mandur besar. Di samping gamelan itu keluar pula perempuan ronggeng membawa tarinya yang halus, yang diringi oleh suara gamelan.
Bertambah larut hari bertambah asyiklah orang berjudi, mana yang menang keluar dari medan permainan, lalu pergi ketempat orang berjualan. Dan itulah yang diharapkan oleh pedagang-pedagang tadi.
Dan mana yang kalah ada membuka bajunya yang baru tadi dibelinya, bahkan ada yang membuka ringgit paunnya. Dan yang asyik menonton ronggeng itupun, bila sudah sangat asyiknya, ada yang telah tampil kemuka, sama-sama menari dengan sehelai selendang bersama perempuan ronggeng itu, sama berbalas-balasan pantun, dan dari luar dimasukkan juga minyak tanah bertambah nyala.
Demikianlah kehidupan dalam perkebunan, kehidupan dalam lingkungan Poenale Sanctie , tidak ada kesusahan hati, walaupun dia kalah bermain. Sebab besok hari prei dan lusa telah bekerja pula kembali. Tidak ada lagi niatan buat keluar dari lingkungan itu, misalnya kontraknya sudah habis tiga tahun, bahkan baru saja kontraknya habis, pada hari itu juga mereka teken kembali, sebab akan dapat pula voorschot lebih banyak dari gaji setiap bulan, yang dapat dibayarkan kepada hutang-hutang lama dan lebihnya dibawa ke meja judi. Mereka telah merasa beruntung di dalam keadaan yang demikian. Ada pula yang sengaja pulang perlop ke tanah Jawa, tuan kebun menyuruhnya membeli koper zink, dan kalau boleh hendaklah kereta anginnya yang dibelinya dengan mindering itu dibawanya juga serta, supaya dapat dilihat orang sedesanya bahwa hidupnya menjadi kontrak itu sangat beruntung.
Kuli-kuli itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang bersuami isteri dan ada datangnya tidak beristeri, tidak bersuami, datang oleh karena ditipu oleh tengkulak-tengkulak pencari kuli, yang dinamai wervers. Mereka ditipu, dikatakan bahwa pekerjaan di tanah Deli itu amat senang, berteduh tidak kena panas, memang tidak kena panas di dalam rimba karet. Lampunya tidak lampu minyak tanah, melainkan listerik, memang listerik lampu di pondok panjang itu.
Yang agak senang hidupnya ialah kuli-kuli yang agak cantik, senang menurut ukuran mereka. Kalau agak licin keningnya, dia boleh dipungut oleh tuan besar menjadi nyai. Dari sanalah asal nyai-nyai Deli yang telah masyhur di dalam riwayat itu. Setengahnya pula, mana yang merdu suaranya dan telah ada pula kepandaiannya menari di tanah Jawa, asal saja tidak terganggu pekerjaannya berkuli di siang hari, dia boleh jadi perempuan ronggeng. Dan kalau sekiranya dia cantik dan berpenghasilannya besar, sedang tuan besar tidak sudi kepadanya, bolehlah dia menjadi isteri mandur besar entah isterinya yang ke tiga atau yang ke tujuh.
Kalau seorang kuli senang kepada kuli yang lain, dan dia hendak hidup berdua, bolehlah dia minta saja sepotong surat kepada mandur besar . Apabila mandur besar telah memberi surat, sahlah namanya pergaulan mereka. Kelak kalau telah beranak-anak, barulah pergi mensahkan pergaulan itu ke kota kepada tuan Qadhi.
Pedagang-pedagang kecil senang sekali berdagang ke dalam kebun itu apabila tanggal satu gajian besar dan tanggal 15 gajian kecil dan waktu menerima pinjaman. Bagi mereka hari yang dua itulah hari mencari hidup, dan pada hari yang lain bolehlah mereka tinggal saja dirumah, tak usah berjaja jauh-jauh sebab tidakkan laku. Sejak tanggal 10 14, dan sejak tanggal 17 29 mereka bekerja menjahit celana pendek, kebaya pendek, baju dan anak baju yang akan dijajakan pula. Kuli-kuli lebih suka membeli kain yang telah dijahit itu daripada menjahit sendiri. Dan kain-kain itu tak usah banyak yang terlalu halus, karena yang halushalus itu hanyalah pakaian nyai-nyai dan para isteri mandur besar . Sehabis gajian dan berapa yang laku, mereka ke Medan, membeli dagangan yang baru pula. Dengan demikian hiduplah pedagang kecil dari pedagang menengah, pedagang menengah mengambil dari toko, dan tokopun lantaran penjualan itu dapat pula memesan barang baru. Jadi sumber toko itu adalah dari pada orang-orang kecil yang terbenam di dalam kebun-kebun the, pala dan kelapa sawit, yang memakan mie hanya sekali sebulan itu.
Suara Deli yang demikianlah yang gemuruh kedengaran kemana-mana ke sekeliling pulau Sumatera. Itulah yang membawa kaki orang Tapanuli dan orang Minangkabau datang ke Deli sejak tanah Deli terbuka. Deli itulah yang menyeru orang Amerika mencari dollar, orang kontrak mencari sepiring mie sekali sebulan, orang dusun mencari dan mengumpulkan dari setali ke setali. Itulah kelak yang akan dibawanya pulang ke kampuang, penebus sawahnya yang tergadai atau penambah kerbaunya.
Di antara pedagang-pedagang yang banyak di dalam kebun itu, adalah seorang anak muda dari Minangkabau, namanya si Leman. Dia tinggal tiada jauh dari kebun itu. Tanggal satu dia tiba disana, tanggal lima belaspun demikian pula.
Meskipun ketika dia meninggalkan kampungnya dahulu telah diberi ingat benarbenar oleh orang tua-tua supaya hati-hati di tanah Deli, supaya ingat bahwasanya laut sakti dan rantau batuah, meskipun perniagaannya terlalu kecil dan langganannya belum banyak; meskipun dagangannya belum begitu laku, semuanya itu tidak menghalangi dorongan darah mudanya. Hatinya amat tertarik datang kekebun itu, bukan tertarik oleh berdagang, karena lebih banyak orang lain yang berdagang daripadanya, lebih banyak barang kawannya yang laku daripada barangnya.
Yang menarik hatinya ke kebun ialah seorang perempuan yang cantik, masih muda. Dia isteri piaraan dari mandur besar . Barang emasnya banyak, ringgit paun bersusun didadanya, bergelang kaki pula selain gelang tangan, berkalung ringgit. Rupanya kuli itu tertarik kepada si Leman, sehingga apabila Leman berjualan boleh dikatakan bahwa dia yang dahulu sekali datang membeli, dan Leman sendiri pun amat sungguh hatinya mengembangkan tikarnya, berseri saja mukanya meladeni pembeli, karena ada obat hatinya, yaitu perempuan yang cantik pilihan itu. Heran hatinya, di antara kuli-kuli yang begitu banyak, di antara orangorang yang sebetulnya tidak dapat direkan, tedapat juga seorang pilihan yang dapat tempat menyangkutkan hati.
Kuli-kuli yang lain tidak ada yang berani mengganggu perempuan muda itu, maklumlah piaraan mandur besar . Hidup mereka bisa celaka, bahwa nyawapun bisa terlepas dari badan, kalau isteri mandur besar yang diganggu. Tetapi anak muda itu telah lupa daratan, dia lupa bahwa dia orang luar, orang pereman, dia lupa kalau langkahnya terdorong kepada kuli itu, bukan dia saja akan tercela atau diusir dari kebun itu, teman-teman sekampungnya yang sama-sama berdagang disanapun akan diusur pula.
02. Pertemuan Sedang kuli-kuli itu berkerumunan dikeliling perempuan ronggeng dan bunyi dadu terhempas di dalam tutup tempurung di atas pinggang porselin, terdengar diantara ada dengan baik, di tengah malam, dan penjual-penjual kain, makanan dan obatobatan itu mulai kendor suaranya, karena pembeli sudah mulai lengang, Leman sedang asyik berbicara dengan diam-diam bersama kuli kontrak perempuan yang di idam-idamkannya itu.
Apa yang akan Abang bicarakan, katakanlah sekarang, hari sudah larut malam, kalau telat kembali kerumah marah Kang mandur kepadaku .
Sekarang belum dapat kita bicara panjang Poniem, saya hanya hendak bertanya : Sempatkah engkau tanggal 18, lepas bekerja sore datang ke kedai, karena ada yang saya bicarakan dengan engkau"
Boleh nanti saya datang, dimanakah Abang tunggu "
Di sudut ke tanah jalan lapang
Baik bang, sekarang saya pulang dahulu& & .
Sehabis pembicaraan itu mulailah Leman menyimpan dagangannya, dan bersama dengan teman-temannya yang lain, yang tadinya tidak memperhatikan bisik desus kedua orang muda itu, diapun pulang. Mereka pulang harus bersama-sama, karena biasanya ada juga kuli-kuli yang kalah bertaruh, yang berani menyamun pedagangpedagang itu ketika mereka akan kembali ke rumahnya.
Pada tanggal yang ditentukan itu, kelihatan kedua anak muda itu duduk berdua berhadap-hadapan disudut tanah lapang kecil, terpisah dari jalan yang biasa dilalui oleh manusia. Mereka kelihatan asyik sekali.
Begini Bang , kata perempuan itu meneruskan pembicaraannya : Sesungguhnya tidaklah saya sangka bahwa saya akan terperosok ke dalam dunia kuli-kuli ini. Ibu bapakku orang baik-baik di suatu desa di Ponorogo. Pada suatu ketika datanglah kerumah kami seorang anak muda mengatakan hendak meminta saya menjadi isterinya, diberinya ibu bapak saya uang. Maklumlah hidup didesa. Karena keras bujukannya, sayapun diserahkan orang tua kepadanya, karena katanya akan dibawanya merantau ke tanah Deli. Bukan main besar hati ibu bapa saya melepas saya merantau sejauh itu, nama Deli sudah amat masyhur di desa kami.
Rupaya setelah sampai di Tanjung Priok barulah saya tahu bahwa suami saya itu bukanlah seorang baik-baik. Setelah saya dimasukkan ke dalam gudang, ketika akan diangkut dengan kapal kemari, suami saya itu tidak kelihatan lagi.
Tidaklah rupanya dia bekerja menjadi kuli di dalam kebun ini. Maka semenjak meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok, terlepaslah saya dari segala penjagaan, macam-macamlah saya dari ancaman hidup saya, selalu saya di dalam bahaya, banyak kuli-kuli yang hendak mempermainkan saya. Pernah sekali saya bersuami, seorang kuli bernama Warjo yang menipu saya, demi setelah bertemu olehnya perempuan yang lebih cantik, sayapun dibuangnya. Ada orang yang mengajak saya jadi ronggeng, ada yang mengajak saya jadi babu. Itulah sebabnya saya sudi saja dipungut menjadi isteri piaraan mandur besar ini.
Jadi engkau tidak dinikahinya
Belum, saya belum dinikahinya
Jadi bagaimanakah pertimbangan Poniem, tinggal di luar nikah dengan seorang laki-laki yang umurnya lebih tua daripada engkau"
Benar Abang, saya bergaul dengan dia di luar nikah, tetapi hidup saya aman sentausa dengan dia. Pakaian, makan minum saya cukup diberinya, sehingga nasib saya tidak serupa dengan kuli-kuli yang lain. Saya tidak diganggu orang lagi. Menurut timbangan saya, meskipun saya dipelihara di luar nikah, lebih baik saya hidup dengan dia daripada menjadi nyai, karena dia masih bangsa saya juga. Lagi pula tidak ada kesalahannya kepada saya, jadi tidak ada pula sebab-sebab buat saya meninggalkan dia .
Tidakkah engkau berniat hendak kawin sah saja dengan laki-laki lain "
Abang, telah banyak laki-laki muda yang menanyakan itu kepada saya. Kerani muda di kebun Bunutpun telah menanyakan demikian pula, tetapi saya belum suka .
Kenapa engkau berpendirian begitu Poniem "
Perkawinan adalah suatu yang paling suci. Kami kuli-kuli kontrak amat ingin hendak kawin, tetapi malang bagi kami, nasib kami telah dijadikan begini oleh Gusti Allah ! Berapa kali orang mengajak saya kawin saja, tetapi saya telah tahu dia bukan mengawini diri saya, tetapi mengawini barang saya. Saya takut kawin Bang, karena sudah banyak kawin itu bagi kami menjadi pintu kecelakaan dan sudah pernah saya derita. Banyak kuli dan juga nyai-nyai tuan-tuan besar yang dikawini oleh orang luar, padahal orang luar hendak menarik barang emasnya. Setelah barangnya habis, kuli itupun dibuangkannya. Abang, kemana saya akan pergi kalau nasib saya demikian " Tentu saya tidak akan dapat hidup beruntung lagi, saya terpaksa& & ah, saya terpaksa menjadi perempuan lacur& & Sebab kalau saya tidak bersalah demikian, tetntu kang mandur besar tidak bisa sudi menerima saya di rumahnya lagi& ..
LAMA JUGA Leman memandang wajah perempuan itu, payah dia memikirkan,benarkah di dalam kebun-kebun tempat berkumpul kontrak-kontrak itu terdapat perempuan yang semacam ini fahamnya dan seluas itu pemandangannya kepada hidupnya di hari nanti. Dia termenung dan Poniempun termenung pula.
Poniem& .! Bang & . Percayakah engkau bahwa tidak tidak semua laki-laki yang berpendirian demikian "
Boleh jadi . Percayakah engkau bahwa di antara laki-laki penipu yang banyak itu, akan ada juga seorang dua yang berhati jujur "
Seperti pertanyaan itu pulalah pertanyaan kan Warjo, janda saya ketika dia akan mengambil saya jadi isteri, sebelum saya diambil oleh mandur besar .
Poniem& .! Abang & .! Kalua saya yang memintamu jadi isteriku, kalau saya ajak engkau keluar dari kebun ini, karena kontrakmu hanya tinggal sebulan lagi; kalau saya suruh engkau meninggalkan mandur besar, lalu kita lari ketempat lain di tanah Deli ini, kita kawin dengan baik ; akan engkau tolak jugakah "
Poniem melihat mata Leman dengan tenang-tenang, kembali dia pula yang seperti tidak percaya. Akan maukah seorang toke orang Padang, yang selama ini memandang kuli-kuli kontrak itu dengan pandang kehinaan, yang merasa bangga bahwa dia orang Padang sejati, akan sudi beristerikan dia " Perkataan itu tidak diJawabnya, melainkan dia melihat kepada Leman tenang-tenang .
Mengapa tidak engkau Jawab pertanyaanku "
Bersendaguraukah Abang atau berkata dengan sebenarnya "
Saya bercakap tidak bermain-main Poniem .
Ah& Abang& . Jawab Poniem dengan tersenyum : Perkataan Abang itu mencelakakan saya, sebab sukar hati saya akan percaya. Masakan Abang seorang preman, orang luar yang dapat mencari perempuan yang lebih suci bersih, yang lebih suci bersih, yang lebih bisa dipercaya, yang terang asal usulnya, masakan Abang akan mau kepada saya, seorang kuli kontrak "
Poniem, kau jangan berkata begitu !
Patut saya katakan begitu, karena Abang berbicara main-main !
Tidak Poniem, barang dicelakakan Allah untungku kalau saya berbicara mainmain .
Tidakkah Abang akan tercela kelak oleh bangsa Abang sendiri, karena saya tahu, banyak diantara mereka yang membawa isterinya merantau kemari, Oh ! Perempuan Padang itu bersih-bersih saya lihat, semuanya serupa haji, rambutnya tiada pernah terbuka, kainnya bersih-bersih. Tidakkah akan mereka tertawakan Abang, menhambil kuli kontrak kebun " Dan tidakkah Abang sendiri akan malu melihat saya tercampur di kalangan mereka "
Kau jangan terlalu menghina diri Poniem, semua makhluk bernyawa di dunia ini, sama pada sisi Allah !
Bagaimana Abang begitu lekas mempercayai saya, dan terburu-buru mengajak saya kawin, padahal belum Abang kenal betul perangai dan kelakuan saya "
Itu ada ilham Tuhan, Poniem ! berkali-kali saya datang ke kebun, banyak kulikuli kontrak yang saya lawan bersenda gurau, bahkan ada nyai tuan kebun sendiri. Dalam diri mu rupanya terdapat darah budiman, meskipun dimana engkau tinggal !
Poniem termenung mendengar pujaan itu !
Bagaimana Poniem " tanyanya mendesak.
Berilah saya berfikir dahulu tiga hari pula, tanggal dua puluh dua sore, kita bertemu pula disini & .
Merekapun bercerai-berailah.
Tanggal dua puluh dua sore& & . Mereka telah bertemu kembali.
Bagaimana Poniem, sudahkah engkau fikirkan "
Sudah Bang , Jawabnya, sedang dimukanya kelihatan wajah yang membanyangkan keteguhan hati dan kepahlawanan.
Jadi engkau kabulkan permintaanku "
Begini Bang , katanya setelah menarik nafas yang agak panjang; Kawin adalah suatu jalan paling suci ; sejahat-jahat dan semalang nasib seorang kuli perempuan kebun, masih ingin dia satu kali selama hidupnya dapat juga hendaknya dia kawin dengan kesaksian tuan Qadhi. Perempuan-perempuan lacur yang tinggal di dalam hotel sendiripun banyak yang ingin hendak kawin, Cuma orang yang akan mengawininya yang tidak ada atau tidak mau. Nyai-nyai yang dipelihara tuan besarpun ingin kawin. Maka keinginan nyai-nyai itulah yang diketahui oleh pemuda-pemuda yang hidup hanya dengan menipu. Nyai-nyai itu mereka tipu sehingga mau kawin dengan mereka, padahal yang mau dikawininya bukan dirinya, tetapi barang emasnya. Nanti barang emas itu telah habis, anak muda itu tidak datang lagi. Nyai itupun melaratlah hidupnya, akan kembali kepada tuannya, sudah tidak dapat lagi. Pergaulan ramai dan sopan tidak pula menerimanya, sehingga dia terjun ke dalam dunia pelacuran yang dia sendiri memang amat takut. Jadi bagi golongan kami ini, kawin yang suci itu belum tetntu akan menjadi bahagia, barangkali membawa celaka. Saya lebih suka tinggal bersahabat saja, tinggal berkenalan, kita berhubungan tetapi tak usah kita nikah !.
Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin, saya berjanji sepenuh bumu dan langit akan memeliharamu akan membelamu. Tidaklah saya berharap harta bendamu, melainkan mengharap dirimu. Sungguh Poniem, saya bukan seorang penipu !
Saya akan derita segala hinaan dan cacian, buat kau Poniem ! Biar kaum kerabat saya membusukkan saya, saya akan hidup dengan engkau dan di dalam hidup dengan engkau itu, saya tidak akan mengemis, Poniem, kau& .kau tidak boleh bercerai dengan saya lagi .
Saya mau kawin dengan Abang, kawin hanya pekara mudah,kita pergi kepada tuan Qadhi, lalu kita dinikahkan, kita pulang kerumah berdua lalu kita hidup. Tetapi Bang, saya tidak berkaum kerabat di sini, saya sebatang kara, saya melarat dan hidup saya senantiasa terancam bahaya. Saya memang mau kawin dengan Abang, tatpi bukan karena percintaan, bukan karena hawa nafsu, tetapi hendak meminta perlindungan bagi diri saya yang lemah. Bila kami perempuan Jawa, harta benda, lahir bathin dunia akhirat kami serahkan. Celakalah laki-laki yang menyianyiakan penyerahan itu !
Demi Allah saya akan melindungi engkau Poniem ! Dan biarlah Allah akan memberikan hukuman yang setimpal kepada saya kalau saya mungkir .
Jangan bersumpah seberat itu Abang, melainkan mohonkan lah kepada Gusti Allah moga-moga pergaulan kita beruntung
Jadi kau kabulkan permintaanku "
Poniem mengangguk. Hampir Leman melompat dari tempat duduknya lantaran kegirangan, lupa dia bahwa Poniem belum lagi jadi isterinya. Kalau tidaklah karena malu kepada orang yang lalu lintas di seberang tanah lapang itu, maulah rasanya dia merangkul perempuan muda itu ke dalam pelukannya.
03. Kawin Betul juga apa yang di katakannya kepada Leman , bahwa perkawinan adalah suatu tujuan yang suci dari segenap manusia laki-laki dan perempuan. Tiga kali kita menyebrangi hidup. Apa bila ketiga kalinya telah terseberangi dengan selamat. Bahagialah kita. Pertama hari kelahiran,hari suci. Ke dua hari perkawinan, hari bakti. Ke tiga hari kematian, hari yang sejati.
Tetapi dimanakah jalan kehidupan dan dimanakah nafsu manusia " Terutama di tanah : Poenale Sanctei yang sebahagian besar dari manusia bukan di pandang manusia lagi, tetapi dipandang sebagai alat perkakas, sebagai cangkul dan linggis yang mereka pegang di tangan mereka sendiri "
Beratus ratus perempuan muda yang datang ke kebun, karena tipuan bahwa perkerjaan di kebun itu amat enteng. Tetapi apabila telah sampai ke dalam kebun, mereka menangis berurai air mata. Menangis buat lamanya sehari dua hari, sepekan dua pekan, menangisi kehormatan yang hilang. Lepas dari itu biasala mereka dalam dunia yang demikian ganas. Mana yang cantik, maka kecantikkan itulah yang menjadi bahaya bagi mereka, terposok ke dalam lumpur kejahatan lakilaki. Sehingga bertahu-tahun, bahkan sampai tua, tidaklah akan lepas dari bahaya itu. kalau dia cantik boleh jadi isteri centeng atau mandur besar, boleh jadi babu tuan besar dan boleh pula jadi nyainya. Kelak kalau kelihatan oleh anak-anak muda luaran yang kehidupannya hanya dari pada menipu nyai-nyai dan kuli-kuli kontrak perempuan yang cantik-cantik, dia dibujuk dan dicumbu, diajak kawin secara Islam . Maksudnya tiada lain hanyalah hendak merampas barangnya dengan jalan yang kejam. Kelak apabila barang itu telah pindah ke dalam tangan mereka, perempuan yang malang itupun terbuanglah, menjadi sampah masyarakat : kalau baru, pindahlah dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan kalau sudah agak luntur, terpaksalah masuk kedalam hotel-hotel kepunyaan orang Tionghoa atau orang Jepang. Di sanalah dia mesti mencari makan dengan menjual diri, menyeka air mata karena sensara, setelah diseka, ditunjukkan pula senyuman ketika menerima tetamu sehingga bibir jadi penat. Kalau jatuh sakit, dibuang oleh tauke hotel itu keluar. Dan kalau kelat telah tua, meninggal dunia, bertengkar ulama-ulama dengan pendeta dimana mayitnya akan di kuburkan ; dikuburkan Islamkah, padahal dia mati fasiq, atau di kuburkan Kristen, padahal dia bukan orang Kristen. Sungguh tidak boleh cepat-cepat masyarakat menjatuh hukum di dalam pekara yang demikian. Dosa tidak boleh ditimpakan kepada mereka yang jadi korban itu saja. Karena ini adalah suatu penyakit masyarakat yang lebih patut diratapi daripada dikutuki.
Semua ini terbayang, didengar kabar beritanya oleh Poniem. Meskipun belum lama dia di tanah Deli, pahit getir Deli sudah diketahuinya. Sebab itu takutlah dia akan nikah dengan Leman, takut dia akan terlantar sebagaimana perempuan-perempuan lain telah terlantarkan. Kalau hal itu di ingatnya, dia lebih suka jadi gundik yang ke tujuh dari Kang mandur besar, sebab hidupnya lebih aman.
Dia mula-mula telah mengambil keputusan hendak menolak saja permintaan Leman itu. Leman akan disuruhnya saja menganjurkan langkah surut, dan dia akan tetap dengan Kang mandur.
Tetapi heran, mengapa sejak dia bercakap-cakap dengan Leman itu matanya tidak hendak tidur, hanya gelisah saja " Leman mengucapkan pembicaraan dengan sedikit gemetar. Bujuk rayu Leman terdengar kembali dalam telinganya : Poniem, lebih baik kita kawin lari saja. Poniem, sukakah engkau bersuami saya "
Pertimbangan yang ditempuhnya amat hebat, peperangan diantara pertimbangan dan perasaan. Pertimbangan mengatakan jangan, perasaan mengatakan terimalah ! Tetapi setelah ditelungkup ditelentangkan, pertimbangan itulah yang lekat di otaknya. Dengan pertimbangan itu dia hendak menemui Leman tanggal 22.
Permintaan Leman akan ditolaknyasaja dengan baik, mereka hanya akan tinggal bersaudara. Tetapi setelah bertemu dengan Leman, setelah melihat wajahnya, entah kekuatan apa yang mengalahkan pertimbangannya, dia sendiripun tidak tahu. Dari rumah telah putus benar di dalam hatinya bahwa permintaan Leman akan di tolaknya, tetapi setelah Leman menyampaikan permintaan itu, telah dikabulkannya saja.
Terjadilah apa yang akan terjadi, suara hatiku sendiri mengatakan, bahwa aku mesti menjadi isteri Leman, demikian pikir Poniem.
Demikianlah korban yang selalu ditempuh oleh kaum wanita yang lemah itu.
Datanglah pemberitahuan dari tuan besar kebun, bahwa kuli-kuli yang lama yang telah habis kontraknya, boleh pula menekan kontrak baru. Orang yang ditunggutunggu itu telah datang. Pada penekenan kontrak baru itu, uang persekot bisa diterima lebih banyak dari biasanya, yang pemain bisa bermain di tikar judi, yang baru kawin bisa membeli kasur dan bantal, atau kereta angin yang akan dikendarai ke pasar kalau hari prei. Dan kuli-kuli yang masih teguh memegang adat Jawa, pada hari itu mengadakan selamatan di pondoknya. Meskipun demikian kesusahan yang mereka tanggung, namun waktu-waktu yang tentukan, waktu kelahiran anak, waktu berkawin, waktu sembuh dari sakit, dan lain-lain, waktu yang telah terdapat dalam buku-buku primbon Jawa Kuno, mereka masih teguh menjalankan upacara selamatan itu.
Adat orang Jawa yang suka selamatan itu telah pindah pula kepada Kerani- Kerani orang Padang dan orang Tapanuli yang tinggal di perkebunan, menjadi adat pula kepada tandil-tandil Tionghoa yang bekerja diperkebunan tembakau. Kadangkadang mandur yang sayangi diberi pula sedikit persen oleh tuan besar supaya dapat melangsungkan selamatan itu.
Pada waktu itu mandur besar yang menjadi suami Poniem mengadakan selamatan pula dirumahnya. Mandur-mandur dari kebun-kebun lain banyak yang datang di undang. Ronggeng dengan gamelan yang merdu bermain di halaman. Apabila susu macan telah bermain dikepala, maka kuli-kuli itu tidak malu-malu lagi tampil kemuka, ngibing , yaitu bersahut-sahutan pantun dengan perempuan tandak itu, dengan sehelai selendang di tangannya.
Tetapi heran yang semalam itu muka mandur besar muram saja, dia kelihatan kesal. Kerap kali dia marah-marah saja terhadap kuli laki-laki dan perempuan yang sedang kerja di dapur dan yang sedang nyembah jongkok kepada den ayu isteri mandur besar yang paling tua, isteri yang sah. Yang sangat mendatang kesal kepada hatinya ialah bahwa sejak tadi pagi Poniem tidak ada di rumah lagi. Dia tidak datang menyambung kontrak dan tidak mengatakan pula bahwa tidak akan disambungnya lagi, melainkan dari pagi dia hilang saja. Disuruhnya dua orang kuli mencari berkeliling, sampai-sampai ke Siantar, dan tadi sore kuli-kuli itu telah pulang kembali. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak bertemu dengan Poniem. Ketika hal ini dibicarakan kepada mandur-mandur besar yang menjadi tetamunya itu, wajh mereka masing-masing tidaklah begitu kesal. Seorang hanya berkata ; Tentu dia sudah mabur sama gendaknya, barangkali orang Padang pula, karena orang Padang itu suka sekali mengecek kuli-kuli kebun yang cantik-cantik sehingga dapat ditokohnya barang-barangnya kelak.[1]
Mandur besar tidak lagi berkeberatan, dan tidak lagi kesal, karena sebagai orang laki-laki maka orang perempuan berhak pula ikut kepada siapa yang lebih disukainya. Orang laki-laki ada kesempatan menggantinya dengan orang lain. Cuma yang sangat mengesalkannya bahwa ialah Poniem lari dengan barangbarangnya sekali. Padahal barang itu dibelikan oleh mandur ialah ganti menyimpan kemenangan main judi. Biasanya kalau orang menang main, isteri dibelikan barang banyak-banyak, ganti menyimpan kemenangan itu. Kelak kalau kalah pula, mudahlah manggali barang barang itu dari badannya& & .
Memang Poniem telah lari. Harta emasnya yang banyak itu dibawanya bersamasama, tidak sebuah jua yang di tinggalkannya, dia telah pergi mendaptkan Leman yang telah lama menunggu di Siantar. Dari Siantar mereka meneruskan perjalanan sepagi itu juga dengan diam-diam, menuju Medan. Di Medan mereka akan kawin, dan di Medan pula akan ditentukan kelak arah mana mereka akan pergi.
Banyak pula kawan-kawan Leman yang memberi pandangan kepadanya, bahwa perbuatan itu salah benar, salah pada pemandangan orang di kampung dan merusakkan kawan-kawan yang masih tinggal dikebun itu, sebab boleh jadi mandur besar melepaskan dendamnya kepada mereka dengan mengusir mereka.
Apalagi dia masih muda, dia masih dapat kawin lagi dikampungnya dengan perempuan yang patut-patut. Tetapi semua nasehat itu belum ada yang masuk kedalam hatinya. Sedang muda dunia dicapai, kalau sudah tua apagunanya Demikian agaknya pikir Leman.
Bagindo Kayo seorang yang lebih tua dalam perantauan itu mengatakan : Saya takut kalau-kalau engkau menyesal kelak, Leman !
Apa sebab saya menyesal mamak "
Sebab perempuan itu bukan orang negeri kita !
Bukankah dia orang Islam juga " tanya Leman.
Benar, tetapi karena kau perdapat dia dengan mudah, saya takut kalau-kalau engkau lepaskan pula dia dengan mudah .
Tidak mamak, beristeri kali ini saya insyaf betul. Perempuan itu setia tampaknya, dan dia akan pegang teguh, saya telah berjanji .
Saya belum dapat memastikan betul, apakah dia akan setia, apa tidak. Kalau dia setia saya bersyukur, saya do akan moga-moga pergaulanmu dengan dia beruntung hendaknya. Tetapi bagaimana kelak kalau engkau sendiri yang tidak setia " Artinya engkau sia-siakan kesetiaan orang kepadamu "
Do akan sajalah mamak, mudah-mudahan tidak .
Tetapi apakah engkau akan tahan dikatakan orang : Si Leman melarikan kuli kontrak "
Saya bukan lari atau melarikan dia, mamak. Saya membelanya, mengeluarkannya dari lembah kehinaan, karena dia selama ini hanya sebagai gundik ! Ya, tetapi dia merasa nikmat dalam kehinaannya ! Apakah engkau sanggup menjaga kenikmatannya di dalam kemuliaannya "
Apakah maksud mamak "
Apakah engkau nikahi dia, lalu engkau jaga dan engkau pertahankan kemuliaan itu, sehingga dia benar-benar menjadi orang baik "
Itulah yang akan saya coba mamak !
O.., jadi rupanya masih hendak mencoba-coba ! Saya Cuma memberi ingat. Karena siapapun perempuan, bagaimanapun hinanya, buruk dan baiknya adalah kepandaian laki-laki memegang, lain tidak. Kalau sekiranya engkau pandai mengasuh engkau akan beroleh isteri yang setia, walaupun dia bukan orang awak . Tetapi kalau hatimu balik belahan, engkau akan dikhianatinya. Berlain pendapat saya dengan kawan-kawan yang lain. Buat saya beristerilah dan berguraulah dengan setia, pergilah kemanapun yang baik buat mu dibelakangan hari, jangan sampai serupa saudara-saudara kita yang lain, yangtelah pernah pula beristeri orang yang bukan orang sekampungnya, maksudnya bukan benar-benar mengambil jadi isteri, hanyalah melepas nafsu muda. Akhirnya orang-orang yang demikian menyesal juga .
Itulah nasehat kawan yang lebih tua, yang telah lama memakan garam kehidupan di tanah Deli, nasehat bukan menghina bakal isterinya, tetapi menunjukkan jalan yang akan ditempuhnya. Entahlah termakan olehnya nasehat itu entah tidak, entah memang sebenarnya niatnya hendak insaf dan sadar, hendak mencari teman hidup atau hendak melepaskan nafsu muda saja, pada waktu itu belumlah dapat ditentukan.
Mereka telah berangkat ke Medan pada hari itu juga, dan terus kerumah tuan Qadhi. Mereka telah dinikahkan dengan sah, secara Islam.
Di luar rumah tempat mengakadkan ijab dan kabul itu telah menanti pergaulan dan kehidupan, yang akan ditempuh oleh ke dua sejoli itu, akan mereka rasai pahit dan getirnya.
[1] Mabur = lari, gendak=kecintaan mengecek=membujuk, ditokohnya=ditipunya. Semua adalah perkataan-perkataan kasar yang terdapat di dalam perkebunanperkebunan, tetapi telah popular pula di dalam kata-kata Deli 04. Hakikat Rumah Tangga
Telah beberapa bulan berlalu masa perkawinan. Bulan madu telah tinggal menjadi bekas yang akan tertulis di dalam riwayat kedua suami istri itu selama-lamanya. Sekarang mereka harus menempuh hidup.
Jika mula-mula rumah tangga itu berdiri, belum kelihatan kesulitan yang akan ditempuh. Tetapi setelah berlama-lama, kelihatannya; mulanya samar-samar dan kemudian bertambah terang juga, bahwa pergaulan mereka dalam rumah tangga belum begitu cocok. Kalau kelihatan manis yang sudah-sudah, barulah manis darah muda dan hati mulai naik, belum lagi manis sesudah menempuh kepahitan, yang selalu menyebabkan sebuah rumah tangga laksana surg di dalam hidup ini.
Yang menyebabkan rumah tangga itu belum juga teguh tegaknya ialah karena berlainan pertimbangan tentang hidup suami istri diantara orang Jawa dengan orang Minangkabau.
Menurut adat orang Minang didalam negeri sendiri, yang memegang rumah tangga ialah si isteri. Suaminya hanya sumanda , artinya orang lain yang datang ke rumah itu lantaran dijemput menurut adat. Anak-anak yang lahir dari dari pergaulan itu, tidaklah masuk ke dalam suku ayahnya tetapi masuk suku ibu. Meskipun bagaimana lama pergaulan dan ke manapun mereka pergi merantau, namun isteri itu tidaklah jatuh ke dalam kuasa suami sepenuhnya. Kekuasaan itu tetap dalam tangan mamaknya juga. Sehingga kalau sekiranya si isteri itu melarat dirantau bersama suaminya, ada hak bagi mamaknya menjemput perempuan itu dan membawanya pulang ke kampung, biarpun suaminya tinggal juga di rantau.
Tetapi kalau isteri itu di bawah merantau, si suami merasa bahwa isteri nya Cuma menumpang saja, dan si isteri pun merasa bahwa dia hanya menurutkan orang lain.karena harta benda suami itu menurut pandangan mereka, bukanlah kepunyaan rumah tangga mereka, tetapi dibawah kuasa kaum kerabat suaminya juga.Sebab itu perempuan-perempuan yang dibawah merantau itu kebanyakan hanyalah lantaran mengharapkan laba dan keuntungan yang kelak diberi laki-laki. Kalau mereka bercerai, perempuan itu tidak berhak mendapat bahagian dari harta pencarian sisuami, sebab harta pencarian itu bukanlah kepunyaan dan jerih payah mereka berdua. Si isteri hanya sebagai tukang masak dan mengasuh anak. Biasanya suami dan orang-orang gajiannya membayar makan kepada perempuan itu. Kalau dia pandai menyimpan, dapatlah dia membeli kain baju atau menambah emasnya. Dan kalau dia bersembayan (bermadu), maka tiap-tiap habis gilirian masing-masing dalam setahun, merekapun diantarkan pulang. Waktu itu segala barang-barang yang ada dalam rumah bukanlah kepunyaan suami, tetapi kepunyaan istri. Barang itu akan diangkatnya, sehingga senduk patahpun tidak akan ditinggalkannya. Dan kalau tiba pula giliran kepada istri yang seorang lagi, sebab mereka tidak akan merasa bahwa suaminya itu kongsi hidupnya, tetapi orang lain yang akan diperasnya kalau masih ada kekuatannya.
Nyatalah perbedaan pendapat diantara orang Minangkabau dengan orang Jawa didalam pandangan hidup ini. Pandangan orang sama, suami dan istri itu adalah berkongsi hidup, sama-sama mencencang dan melatih, sama-sama berusaha.
Segala hak milik adalah kepunyaan mereka berdua, sampai-sampai kepada rumah tangga. Sehingga kalau mereka bercerai, hak milik itu akan dibagi dua. Apabila seorang perempuan telah bersuami, tergantungan lahir dan bathin adalah suaminya. Dia tidak akan memandang perbedaan hak di dalam rumah tangga, si suami menjadi pemimpin besar dan si istri menjadi pengemudi didalam rumah.
Lantaran terpengaruh oleh adat terbiasa di dalam negerinya, maka Leman pun berniagalah, tetapi tidak dibawanya istri serta didalam urusan itu. Istrinya tidak dibawanya berembuk, laba dan rugi tak usah istrinya tahu, istrinya hanya harus menerima yang ada saja. Buruk baiknya akan ditanggungkannya seorang. Padahala karena dia tidak mempunyai modal, apalagi ongkos sesudah kawin jauh lebih besar daripada ongkos sebelum kawin, maka perniagaannya yang kecil kian lama kian mundur, sehingga hanya tinggal bingkai-bingkainya lagi, ialah kain-kain dan barang-barang yang tidak akan laku. Dia tidak mau menyatakan hal itu kepada istrinya, dia tidak mau hati istrinya susah lantaran itu. Sebaliknya karena perbuatan itu, si istri merasa hiba hati, sebab rupanya suaminya masih memandang dia orang lain, bukan istri sejati, tetapi istri yang hanya perlengkapan hidup dan untuk memagar supaya jangan jatuh kelembah kesesatan saja. Kadang-kadang dia merasa sakwasangka, boleh jadi dia masih dipandang orang lain, sebab hal-hal yang sulitsulit itu tidak disampaikan kepadanya. Kerjanya hanya bertanak, mencuci kain dan menyapu rumah. Pagi-pagi suaminya telah bangun dan pergi berdangang, sore atau tengah hari dia pulang. Kalau dia sedang duduk seorang dirinya di dalam rumah sepeninggal suaminya itu, kerap kali dia menangis, memikirkan kesucian dirinya.
Oleh karena kemunduran perdagangannya, Leman kerap kali pula mengeluh, menarik nafas sebagai orang yang terselat garam dalam giginya, sehingga Poniem menyangka kalau-kalau suaminya telah menyesal beristrikan dia. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau rumah tangga yang mula-mulanya permai itu kian lama kian muram cahayanya. Poniem tak dapat menahan hatinya lagi !.
Pada suatu malam, sedang suaminya pergi berziarah kerumah seorang temannya, dengan diam-diam dibukanya bungkusan dagangan suaminya itu, rupanya sudah kurus betul, itulah rupanya yang selalu menyebabkan kesusahan yang selalu terbayang dimuka suaminya yang di cintainya itu. Ditutupnya kembali bungkusan itu baik-baik, disediakannya makanan untuk suaminya dan ditunggunya dia pulang dengan sabar.
Tidak berapa lama kemudian, suaminyapun pulanglah. Merekapun makan bersama-sama. Meskipun sedang makan itu Leman tersenyum-senyum juga, jelas kelihatan bahwa senyuman itu dibuat-buatnya, bukan senyuman dari hati, pikirannya kelihatan tertumbuk, terbayang di mukanya; kalau hati duka di bawa gelak, tak obahnya seperti panas mengandung hujan .
Sehabis makan dia duduk pula bermenung. Waktu itulah masa sebaik-baiknya dipandang Poniem untuk memulai pembicaraannya.
Mengapa abang susah saja " mengapa abang bersembunyi juga kepadaku " tanyanya dengan tiba-tiba.
Tidak Poniem, tidak ada yang ku susahkan, bagaimana abang akan susah padahal engkau ada disampingku !
Abang susah, aku tahu. Selama ini abang bersembunyi-sembunyi saja, abang berdua hati terhadap kepadaku .
Tidak benar persangkaanmu itu Poniem, hati abang tulus kepadamu luar dalam, dahulu dan sekarang, dan selamanya tidak akan berobah, entah kalau engkau sendiri yang berobah .
Abang masih kelihatan merahasiakan sesuatu kepada ku, ada sesuatu hal yang menimpa diri abang, tetapi abang sembunyikan. Lebih baik abang nyatakan kepadaku, supaya dapat kita bermufakat bagaimana baiknya. Karena kalau kesusahan abang itu bertambah berat juga, setelah diakhir baru abang baru tahu, tentu sesal kita tidak akan berkeputusan, padahal agaknya masih dapat kita cari jalan yang lebih baik& & .
Meskipun sebagaian sebab itu telah diketahuinya, tetapi Poniem berbuat sebagai tidak tahu, supaya kepercayaan suaminya jangan hilang.
Terangkanlah abang, apakah abang susahkan.." katanya lagi. Karena terdesak oleh istrinya yang dicintainya itu, dia tidak dapat bersembunyi lagi.
Begini Poniem. Modal kita amat kurang, pekerjaan payah, padahal labanya tidak ada. Ke manapun abang pergi, kurang sekali jual beli. Apalagi jenis barang yang di jual tidak selengkap pada orang lain, maka kitapun tidak dapat memulangkan pokok. Abang coba mengambil barang amanat dari lain saudagar, karena akan membeli sendiri ketoko yang besar di Medan, kita belum sanggup, maka barang yang diambil dibawah tangan itupun amat tinggi harganya. Ketika ditawar orang barang-barang kita kerap kali barang itu belum bisa dilepaskan karena baru mengenai pokoknya waktu di ambil dengan amanat, padahal orang yang berkedai disebelah kita, jika menjual sebanyak ditawar orang kepada kita tadi, sudah dapat mengambil laba. Kalau diperturutkan berlarut-larut, kesudahannya maulah badaman[1] dan tali saja yang pulang. Itulah yang selalu menyebabkan abang termenung .
Mengapa tidak sedari dahulu abang terangkan sebab-sebab itu kepadaku" .
Abang takut nanti engkau akan menderita pula lantaran kesusahan itu .
Bukankah itu kesusahan kita bersama"
Tidak Poniem, itu Cuma kesusahan seorang laki-laki, orang perempuan tidak boleh memikul susah pula .
Itu tidak lurus abang, kesusahan ini mestilah kita pikul berdua. Bukankah dahulu, sebelum abang mengambil aku menjadi istri abang, abang hanya menyusahkan perut seorang, menyusahkan kain baju seorang, sehingga penjual berkecil-kecil telah mencukupi. Sekarang kita telah berdua, abang menghabiskan kekuatan sendiri untuk pikulan berdua, itu tidak adil ! Leman melihat istrinya tenangtenang.
Adat kami Poniem, menurut adat kami orang perempuan harus tahu beres saja. Orang perempuan hanya menerima yang bersih, dia tidak perlu menghiraukan kesusahan suaminya, yang perlu baginya hanya menanakkan nasi supaya suaminya jangan lapar, menyediakan teh, dan mencucikan kain bajunya. Kerja laki-laki mencarikan buat dia, membuatkan rumah, mencarikan tambahan sawah ladangnya. Kalau pekerjaan itu hasil dia boleh pulang dengan bangga, kalau tidak, dia akan pulang juga dan suaminya akan terus berusaha, dia akan pulang oleh karena di jemput oleh mamaknya .
Kalau begitu tentu hati abang masih berparo, abang masih ingat penghidupan cara dikampung abang sendiri. Ibarat orang memberi belumlah abang memberikan kesemuanya, tetapi masih setengah-setengah. Sekarang abang beristri orang lain, dan orang lain itupun telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada abang. Tidak ada tempatku menumpangkan diri lagi melainkan abanglah; ibu bapakku, kaum kerabatku, tidak ada lagi. Maka menurut pikiran saya yang bodoh dunggu ini, penghidupan yang kita cari, hendaklah untuk berdua. Barang-banrang kepunyaan kita, harta benda kepunyaan berdua. Kita kerjakan masing-masing menurut kekuatan kita, dan hasilnya kita makan berdua, kita sisakan berdua .
Leman termenung mendengarkan. Dan Poniem lalu menyambung bicaranya pula :
Lantaskan angan abang meneruskan perniagaan itu jika kita tambah modalnya"
Lantas benar . Jawab Leman dengan muka muram karena modal itulah yang tak ada.
Mendengar itu muka Poniem kelihatan berseri. Dengan langkah yang lambat Dia masuk kekamarnya dibukanya peti dan dikeluarkannya beberapa buah peniti kawat dalam. Leman melihat saja dengan tercengang. Setelah itu dibukanya sebuah demi sebuah peniti ringgitnya yang ada didadanya, sehingga tanggallah dari dadanya satu persatu yang digantikannya dengan peniti-peniti kawat itu. Dibukanya pula kalung ringgitnya yang berantai emas yang berat. Kemudian itu dibukanya pula gelang kakinya. Sehingga yang tinggal hanya sepasang subangnya saja lagi. Semuanya itu diletakkannya di atas meja, dan dia pun berkata :
Abang& & ! Perniagaan kita harus diperbesar segala barang-barang ini kita jual kembali kepada saudagar emas, kita jadikan uang. Dengan barang ini kita berniaga, kita perbaiki perdagangan kita. Jangan abang pandang juga aku sebagai memandang istri dari kampuang abang sendiri, yang hidupnya senang dan sawah ladangnya banyak, yang cukup kaum kerabatnya. Mari kita hidup& & berdua& .. tumpahkan kepercayaanmu kepada ku, kepercayaan yang tiada berkulit dan berisi, kepercayaan yang tulus, sebagai kepercayaanku pula terhadap abang. Pakailah barang ini, perniagakanlah, dia adalah hak milikmu, sebagai diriku sendiripun hak milikmu juga .
Poniem& & . . ujar Leman. Sedang air matanyapun tidak tertahan-tahan lagi. Poniem, dengan apa jasamu abang balas.."
Janganlah berkata semacam itu, berniagalah terus& & .
Sejak waktu itu, berubahlah keadaan. Hati yang masih ragu-ragu menempuh hidup, sekarang sudah nyakin. Kepercayaan yang tadinya setengah-setengah dari kedua belah pihak, sekarang sudah bulat dan tidak ada sak ragunya lagi. Medan perjuanganpun terbukalah, tidak ada lagi lurah yang dalam, bukit yang tinggi. Sebab kehidupan itu adalah laksana bahtera jua, si suami adalah nachkoda, si istri juragan, dengan berdualah selamat pelayaran itu.
Mataharipun terbitlah dari Timur, pancawarna megah membawa nikmat, angin sepoi-sepoi basah, udara pagi yang lembanyung meliputi alam. Malaikat yang bertahta diatas awan berarak, laksana tersenyum melihat makhluk keluar dari rumahnya masing-masing, mencari tutup badannya, mencari isi perut, mencari peruntungannya dibawah kolong langit yang luas terbentang ini.
Diantara beribu makhluk yang percaya akan kekayaan Tuhan, memang bumi membuahkan padi dan tanah menghasilkan emas, yang tidak putus asa, yang percaya bahwa selama nyawa dikandung badan, rezeki telah tersedia, adalah terdapat kedua suami istri itu, keluar dengan hati yang gembira, percaya akan pertolongan Tuhan, dan yakin perhubungan yang ada dalam sanubari mereka sendiri, yaitu cinta suami istri yang sejati..!
Majulah kemuka, tempuhlah lautan baharullahyang luas itu, beranikan hati menghadapi gelombang yang bergulung-gulung. Karena dengan bermain ombak dan membiasakan menempuh gelora itulah makanya penyakit mabuk laut akan hilang. Pada tiap-tiap bertemu dengan suatu kesusahan dan suatu halangan di dalam bahtera rumah tangga, itu adalah ujian; bila sampai ke sebaliknya tertegak pulalah sebuah tiang yang tengguh dan sendi yang kuat, untuk membina rumah kecintaan itu. Dimanakah terletaknya keberuntungan kalau bukan didalam hati ?""
Bolehkah keberuntungan itu di namakan kepada uang berbilang dan emas berkarung-karung " bukan, bukan dari sana asalnya mulanya, sebab banyak orang dilingkungi oleh kebahagian dunia, tetapi hatinya senantiasa kesal.
05. Keberuntungan Adapun sebab-sebab yang menimbulkan rasa beruntug di hati, ialah rasa percaya mempercayai di dalam rumah tangga, di anatara suami dengan istrinya, Leman dan Poniem. Perbedaan bangsa berjauhan pulau, di batasi oleh selat Sunda yang dalam, semua itu tidak ada sedikit juga pengaruhnya kepada cinta sejati, cinta keberuntungan yang telah tertanam di dalam hati kedua belah pihaknya.
Dari sebulan ke sebulan, dari setahun ke setahun, bertambah bersinarlah hidup mereka, baik kekayaan lahir atau kekayaan bathin.
Kedainya yang tadinya hanya kecil saja, sekarang telah besar, sudah banyak saudagar besar di Medan yang suka melepaskan barang kepadanya, dan sudah banyak pula langganan yang datamg membeli. Lain dari itu, banyak pula anak semang yang berkerja siang malam sebagai peyambung tanggan. Poniem telah duduk menghadapi kotak uang. Leman menyelnggarakan pembeli. Bila hari telah malam dan kedai di tutup, merea duduk berdua berhadap hadapan dengan muka yang penuh riang gembira. Kadang-kadang karena teringgat akan pertemuan mereka yang mula-mula, dan kadang-kadang pula teringgat akan keadaan mereka yang tidak disangka sangka sekarang ini.
Mandur besar di kebun dekat Siantar dahulu kabarnya telah kembali ke tanah Jawa.
Sekali-sekali waktu pekerjaan ringgan, di tinggalkan nya kedai kepada anak-anak semangnya mereka pun pergilah ziarah ke tempat pertemuan yang mula-mula itu. Kalau bertemu bekas kenalan lama, ada yang masih tetap menjadi kuli dan ada pula yg telah menjadi orang pereman, tidak lupa mereka memberikan sedikit persenan. Pendeknya sudah jauh berbeda keadaan mereka dari pada yang dahulu, hanya di dalam beberapa tahun saja.
Nama Leman telah terdenggar ke kampungnya, bahwa dia telah kaya sejak beristri orang Jawa. Dan istrinya sangat setia kepadanya pun tersebut juga dikampung. Keadaan itu telah menarik hati yang lain-lain buat datang ke perantauan yang baru itu, karena tak obahnya anak dagang itu merupakan unggas pipit terbang berbondong, hinggap di pohon yanag sedang lebat bunganya. Kelak bila bunga itu telah gugur ke bumi, burung-burung itu pun akan hinggaplah kepada pohon-pohon yang lain pula, yang masih segar bunganya.
Kaum kerabat Leman datanglah ke perantauan, seoarang demi seorang, yang satu mendawakan bahwa Leman mamaknya, yang seorang mengatakan bahwa Leman adalah saudara sepersukuan, yang lain mengatakan bertali darah. Padahal selama ini Leman tak tau, entah banyak familinya entah tidak. Dan sama sekali itu tak seorang juga yang di tolak. Meskipun kadang-kadang timbul juga kesal Leman, tetapi karena permintaan isterinya, mereka dibiarkan tinggal dengan dia. Karena Poniem merasa bahagia mendapat banyak keluarga. Kalau telah pandai mereka memegang perniagaan, diberi pulalah modal dan suruh tegak sendiri. Lantaran itu bertambahlah masyur nama Poniem sampai ke kampung, sampai menjadi buah bibir. Ada orang berkata : bukan main baik hatinya perempuan Jawa itu, pamili kita yang datang berlindung kepadanya jarang sekali yang terlantar atau pulang dengan tangan hampa .
Tetapi apabila telah lama pujian itu, ada pula yang mengeluh: Sayang dia bukan orang awak .
Pada suatu hari datang pula ke toko mereka seorang anak muda Jawa, bekas kuli kontrak pada sebuah perkebunan. Sebagaimana dengan keadaan kuli-kuli yang lain, datangnya ke Delipun karena tertipu pula. Dia di bujuk dengan bermacammacam mulut manis. Telah di cobanya bekerja selama tiga tahun tidaklah sanggup badannya menderita lagi. Itulah sebabnya ketika akan di terima kuli-kuli yang hendak menyambung kontraknya, dia telah keluar dari kebun itu dengan sembunyi dan tidak hendak menyambung lagi.
Dia berjalan di kaki lima kedai-kedai orang dengan pakaian yang telah berbau, ikat kepalanya terjuntai ke keningnya, cahaya matanya amat muram. Tiap-tiap kedai orang yang di masukinya dia melamar pekerjaan, jadi tukang cuci piring pun cukuplah, asal dia di beri makan. Tetepi tidak ada orang yang sudi menerima. Setelah lama berjalan dan hampir putus asa, sampailah dia ke muka kedai Leman.
Masuklah mau beli apa" tegur Leman kepada kuli yang malang itu.
Saya tidak membeli barang, saya hanya seorang melarat !
Engkau dari mana " tanya Leman sambil menoleh pada istrinya menyuruh menegur orang itu dalam bahasanya.
Poniempun datanglah kemuka, lalu turut menanyai pula :
Sampean dari mana " Saya seorang bekas kuli yang telah habis kontrak. Saya tidak tahan bekerja dikebun lagi, tidak saya sangka akan seberat itu penanggungan saya. Sekarang saya mencari pekerjaan, saya hendak mencari makan. Den Ayu ! Kasihanilah saya !
Pekerjaan apa yang hendak engkau kerjakan " Tanya Poniem dengan wajah yang penuh mengandung rasa hiba kasihan.
Jadi tukang cuci piringpun cukuplah Den Ayu, supaya perut saya jangan sampai kosong .
Maka melihatlah Poniem kepada suaminya tenang-tenang dan Lemanpun membalas pula memandang mata istrinya.
Entah apa yang jadi sebabnya, entah karena melihat bayangan ketulusan yang terlukis dimuka kuli itu atau entah karena melihat badangnya yang telah lemah karena kurang makan, jatuh sajalah rasa rahim dan kasihan lihati keduanya.
Pandaikah menimba air, membuka pintu kedai pagi-pagi dan menutupnya bila telah malam "
Pandai engkau, akan saya coba engku; bahwa yang lebih dari itupun akan saya kerjakan, asal engkau perintahkan .
Sekarang engkau boleh tinggal disini ! tetapi berapakah gaji mu "
Soal gaji, saya menurut saja dan tidak digajipun saya terima. Karena telah dapat saja saya bekerja disini, sudah sangat besarlah pertolongan engku terhadap diri saya .
Ya, bekerjalah disini, tinggallah dengan kami, bersungguh-sungguhlah, tolonglah mbak ayu mu bekerja, baik di muka atau di belakang. Kalau engkau setia, saya tidak akan lupa membalas jasamu dengan setimpal . Ujar Leman pula, yang mukanya kelihatan berseri-seri karena telah dapat menolong orang lain, dan memperlihatkan kepada istrinya, bukanlah orang-orang yang senegeri dia saja yang akan ditolongnya, orang-orang yang seasal dengan istrinya sendiripun tidak dilupakannya.
Nama kuli itu Suyono. Sangat insyafnya akan nasibnya, tahu dia bahwa dia orang menumpang dirumah itu. Sekali-kali tidak pernah dia membantah perintah. Sikapnya ramah tamah terhadap pembeli, apalagi terhadap kuli yang sebangsanya. Sehingga didalam masa beberapa bulan saja dia tidak lagi menjadi tukang cuci piring, atau membuka dan menutupkan pintu kedai, tetapi telah turut pula berdagang.
Sejak itu bertambah-tambahlah kemajuan perniagaan Leman dan Poniem daripada yang selama ini, langganan dan kenalan bertambah banyak. Meskipun telah ada seorang anak semang yang setia dan boleh dipercayai, tidaklah lekas Leman menyenang-nyenangkan diri, usahanya lebih giat daripada biasanya. Sudah banyak pula dia melepas orang lain pergi berdagang dengan mengendarai sepeda ke perkebun-kebunan yang agak jauh. Tiap-tiap bulan tua, dia sendiri yang pergi ke Medan membeli barang-barang baru, tuan-tuan toko telah percaya untuk memberikan barang-barang yang laku untuk di jualkan, walaupun dengan bayaran yang tidak kontan. Saudagar-saudagar yang berada sebelah menyebelah kedainya merasa tercengang, ada pula yang iri hati melihat kemajuan yang telah dicapainya. Apalagi setelah mereka lihat yang berniaga itu seorang-orang biasa, seorang Padang yang agaknya dahulu yang hanya seorang tukang menjajakan kain kasur sehelai dua helai, bersama dengan istrinya bekas kuli kontrak, dibantu oleh seorang bekas kuli kontrak pula. Biasanya kalau bintang akan naik walaupun bagaimana tebalnya awan tidak akan dapat menghalangi cahayanya.
Cuma satu perkara saja yang kian lama kian menambah kedudukan kedua hati suami istri itu. Sudah lebih dari empat tahun lamanya mereka bergaul, belum juga beroleh anak.
Poniem ingin benar hendak mempunyai anak, keinginan Lemanpun tidak pula kurang dari itu. Kemana-mana saja mereka telah pergi untuk berobat. Seorang dukun tua yang telah termasyur di Sicanggang, dekat Langkat telah mereka datangi, segala ramuan obat telah diberikan oleh dukun itu, tidak juga ada hasilnya. Kedokter yang pandai mereka telah datang pula, anak belum juga dapat.
Oleh karena itu tidaklah heran jika Poniem penyayang benar terhadap anak-anak. Anak Tauke Tionghoa disebelah rumahnya kerab kali di larikannya didalam kedainya, di belikannya makanan, dan anak-anak biasanya memanggilkannya bibi. Kalau datang kuli-kuli kontrak mengendong anak dan berbelanja di tokonya, tidak lupa dia memberikan uang atau lebih-lebih pengguntingan untuk bekal baju anak itu.
Dan itu pulalah sekarang yang menghambarkan pergaulan. Itulah pula yang kerab kali menjadi angan-angan Poniem, kalau hati suaminya kelak akan renggang daripadanya, tidak ada anak yang akan mengikat. Leman sendiri kasihan pula melihat istrinya yang amat penyayang terhadap kanak-kanak itu. Dia kerap pula berpikir, meskipun perniagaan akan lebih maju, kedai akan bertambah semarak, buat siapakah kelak segenap kepercayaandan segenap pencaharian. Padahal dikampungnya sendiri, saudara yang kandung atau keluarga dekat tak ada lagi.
Kalau sekarang dia dijunjung-junjung dipuji-puji setinggi langit, bukanlah karena yang memuji itu memang bertali darah dengan dia, hanyalah semata-mata karena uangnya. Itu pulallah sekarang yang menjadi pangkal keluahan.
Tetapi jika suami istri itu telah merasa duka cita karena sudah beberapa lama bergaul tidak juga beroleh anak, selain hanya dengan kaum kerabat yang ada dikampung. Mereka merasa syukur mendengar berita bahwa Leman tidak juga beranak dengan istrinya orang Jawa itu. Sebab kalau mereka telah beranak kelak, akan sukar memutuskan pernikahan itu. Tetapi kalau tetap tidak ada anak, mudahlah membuang perempuan itu dan mengantinya dengan orang kampung sendiri, sehingga kekayaan tidak mengalir ketangan orang lain !.
Sekarang bertemu pulalah kesulitan dan gelombang yang lain. Karena sudah demikian mestinya hidup itu, habis kesulitan yang satu akan menimpa pula kesulitan yang lain. Kita hanya beristirahat buat sementara, guna mengumpulka kekuatan untuk menempuh perjuangan yang baru dan mengatasinya. Sebab itulah maka tak usah kita menangis diwaktu mendaki, sebab dibalik puncak perhentian pendakian itu telah menunggu daerah yang menurun. Hanya satu yang akan kita jaga disana, yaitu kuatkan kaki, supaya jangan tergelincir. Dan tak usah kita tertawa diwaktu menurun, karena kelak kita akan menempuh pendakian pula, yang biasanya lebih tinggi dan menggoyahkan lutut daripada pendakian yang dahulu.
Dan barulah kelak diakhir sekali, akan berhenti pendakian dan penurunan itu, di satu sawang luas terbentang, bernama maut.
Di sana akan bertemu alam datar, tak berpendakian, tak berpenurunan lagi.
06. Pulang UDAH lama Leman merantau, sudah bertahun hari yang habis. Dahulu ketika pertama kali membentang tikar, ketika akan mengajak bekerja mencari penghidupan, belumlah olehnya teringat untuk pulang. Bagaimana akan pulang, padahal hidup masih serba kurang. Pada ketika itu orang kampong sendiripun tidak berapa ingat akan dia. Tetapi sekarang, penghidupan naik, sejak membuka kedai, maka tiap-tiap orang yang baru kembali dari kampong membawa pesan juga, meminta supaya Leman pulang, agak sebentarpun cukuplah. Karena seruan kampong halaman, seruan pancuran tempat mandi lebih keras rasanya, maka terbayang-bayanglah dimatanya negeri yang telah lama ditinggalkan itu, teringat masa badan lagi kecil.
Sudah lama hal itu terpendam di dalam hati kecilnya. Maka pada suatu hari dikabarkannyalah kepada istrinya tentang niat hendak pulang itu. Dan sudah kepingin hendak bertemu dengan kaum kerabat, sudah terbayang-bayang dimatanya halaman rumah famili.
Mendengar itu Poniem menegurkan kepala, sehabis suaminya bercakap baru dia menengadah, seraya berkata : kalau Abang seingin itu benar hendak pulang, tidakkah teringat dihati Abang hendak membawa saya "
Akan sukakah engkau melihat kampung halaman dan dusun kami yang sunyi, Poniem "
Bukan sunyi atau ramai kampung yang penting bagiku, Abang , jawab Poniem.
Yang penting bagiku ialah hendak mengenal kaum famili pula, hendak memperhubungkan kasih sayang dengan mereka sekalian. Yang saya kenal selama ini hanyalah pihak laki-laki, kemenakan saudara kita yang dating dari kampung. Adapun yang perempuan, yang sama-sama tinggal dikampung belum lagi ku ketahui.
Sudah sekian lama kita bergaul, bukankah sudah patut saya berziarah dan berkenalan dengan mereka "
Saya takut, kalau-kalau ongkos terlalu besar, jawab Leman pula dengan sungguh-sungguh, karena dia maklum sudah, bagaimana beratnya ongkos kalau pulang bersama-sama.
Beratnya ongkos tidak perlu kita ingat. Di dalam menghubungkan kasih sayang, menemui famili dan kaum kerabat tidaklah boleh kita menghitung ongkos. Sekian lamanya kita bekerja siang dan malam, tidak bertuhur kain mengumpulkan uang, sudah patut sekali-sekali kita ambil sebagaian kecil untuk melunasi hutang kita, yaitu hutang yang tiada dapat dilunasi dengan harta.
Mendengar jawab istrinya itu, Leman merasa menyesal, mengapa tidak dari dia timbul ajakan pulang itu. Alangkah kurang penghargaannya terhadap istrinya dan alangkah jujur hati istrinya terhadap padanya dan kepada kaum kerabatnya.
Maka ditentukanlah hari akan berangkat, habis gajian tiga puluh. Setelah lepas gajian, berapa uang yang didapat telah ditahan, tidak dibelikan kepada barang baru lagi. Kepada induk semang di Medan telah dikatakan terus terang bahwa pada pangkal bulan yang sekali ini mereka tidak akan setor. Induk semangpun tiada merasa keberatan, lantaran bagusnya perhubungan selama ini. Poniem sejak waktu itu telah bekerja keras menyediakan buah tangan dan tanda mata yang akan diberikan kepada famili di kampung, sehelai baju untuk uncu, sehelai sarung untuk kakak, selendang untuk adik dan beberapa persalinan pakaian untuk yang kecilkecil. Leman tercengang dan merasa kagum melihat perbuatan istrinya.
Pada hari yang telah ditentukan, yaitu tanggal tiga menurut hitungan bulan Masehi, berangkatlah meraka pulang. Dua hari dua malam lamanya dijalan, melalui Tarutung dan Sibolga. Kedai diserahkan penjaganya kepada Suyono. Piutang yang kecil-kecil disuruh pungutkan kepadanya.
Ketika kedengaran bunyi deru oto yang berhenti dihalaman maka gadis-gadis dan perempuan-perempuan muda yang sedang masak di dapur atau sedang menjaga padi yang sedang terjemur dihalaman, supaya jangan dimakan ayam, demikian juga perempuan-perempuan tua yang sedang menumbuk di lesung, berlari-larilah semuanya ke jalan raya. Orang laki-laki yang sedang pergi ke surau hendak sembahyang, tertegun langkahnya dan tercengang melihat oto yang berhenti itu, melihat dagang baru pulang yang sedang duduk didalamnya. Peti bersusun dibelakang oto itu, muatan yang lain sarat pula.
Baru saja oto berhenti, turunlah Leman. Lagaknya lagak Deli betul-betul, memakai baju teluk belanga, sama corak bajunya dengan celana, bersamping kain sarung halus, berpeci beludu tinggi dan berselop capal.
Kumisnya di potong pendek, ketika ia tersenyum kelihatanlah giginya yang berpalut emas.
Perempuan-perempuan kaum kerabatnya itupun datanglah tergopoh-gopoh sedekat oto berhenti, sambil serentak keluar dari mulut masing-masing mereka. Abang Leman
Leman sendiripun menolehlah kedalam oto, sambil menunjuk. Kakak kalian
Oh, ini kah kakak kami.." inikah mbak Ayu Poniem " Oh, mengapa kakak diam saja dari tadi " marilah turun, marilah kita naik kerumah, disinilah kampung buruk awak, kata seorang perempuan muda yang sangat bijak mulutnya, lalu disambutnya tangan Poniem di bawahnya turun dari oto dan naik kerumah.
Bertambah lama halaman itu bertambah ramai. Perempuan-perempuan tua datang mendekati Leman, menciumi sekujur badannya, ada yang menangis. Sudah lama kampung engkau tinggalkan, masih hidup saya engku dapati, telah besar badan kau kiranya .
Leman tersenyum-senyum simpul saja, dia merasa amat bangga, ada rupanya dia berfamili, ada rupanya dia berkaum kerabat. Poniem telah dibimbing oleh perempuan-perempuan muda itu naik kerumah. Mereka tercengang-cengang dan kagum melihat baju sutranya, sarung Jawa halusnya, peniti paun yang berderet dibadannya, gelang kakinya, yang semuanya sudah seperti dahulu, karena sudah dibeli gantinya. Mereka tercengang dan kagum melihat perempuan yang telah beruntung mencuri hati saudara mereka, sehingga sudah bertahun-tahun lupa kampung dan halaman.
Lalu Leman menolong sopir itu membongkari barang. Tetapi sebelum dia bekerja, sudah datang saja anak-anak muda, familinya juga, menyuruhnya saja naik kerumah, biarkan mereka yang mengurus barang-barang itu. Dengan senyum di bayarnya ongkos oto, dipersilahkannya sopir itu naik kerumah dahulu, sopir itu menolaknya, karena demikian adat. Diapun naik, dan perempuan-perempuan pun telah banyak yang duduk mengelilingi Poniem dan menunjukkan muka yang suci, hati yang jernih. Yang muda-muda yang pandai berbahasa Melayu mencoba-coba berkata-kata dalam bahasa Melayu, karena sudah pernah juga merantau ke Deli. Tetapi perempuan-perempuan yang agak tua hanya dapat berbicara dengan memakai bahasa yang di pakai di kampung; Lai selamat-selamat sajo di jalan" Tanya salah seorang dari mereka kepada Poniem !
Lai, jawab Poniem dengan senyumnya. Perempuan-perempuan muda tertawalah dengan riuhnya, karena Lai yang di ucapkannya itu masih kaku. Tetapi mereka sudah merasa senang, walaupun bergaul baru sepuluh menit, karena ramah tamah dan baik budi Poniem itu. Dan perempuan tua itupun menjadi tertawaan yang muda-muda.
Seorang perempuan tua bertanya pula. Si Rapiah Lai ba suo di Labung"
Pertanyaan inipun menimbulkan tertawa anak-anak muda pula, sebab dia menanyakan cucunya yang merantau ke Lebong (Bengkulu), padahal Poniem dari Deli.
Bagi orang kampung, asal saja sudah merantau lepas dari Bukittinggi, tidaklah mereka tahu lagi apakah oto yang membawa anak cucunya untuk berangkat menuju Lubuk Sikaping akan ke Deli, atau menuju Padang akan berlayar ke Bengkulu.
Bukan main riuh rendahnya hari sehari itu, sampai semalam malaman. Poniem sangat merasa beruntung dan bertembah hormatnya terhadap suaminya, sebab diketahuinya bahwa suaminya itu tidaklah orang terbuang, melainkan rimbun rampak dalam kaumnya, ada beradik berkakak, meskipun ibunya yang kandung sudah tak ada lagi. Leman sendiri, yang tadinya menyangka kalau-kalau istrinya akan terkunci saja mulutnya bergaul dengan perempuan-perempuan kampung, sekarang sudah dapat memperhatikan, rupanya dia dapat duduk ketengah ketepi dan dapat membawakan diri dimana-mana. Dalam sebentar waktu saja, seluruh kampung itu telah memuji kebaikan perangai dan keelokan pergaulan Poniem. Di tepian tempat mandipun telah tersebbut pula, telah menjadi buah mulut dalam kalangan perempuan-perempuan muda, bahwa istri Leman adalah seorang yang baik budi.
Memang amat baik budinyadan pandai bergaul, tahu dia seluk beluk adat kita, ujar seorang perempuan muda. !
Sudah lama dia bergaul dengan orang awak, tentu tahu dia rasambesi orang awak , jawab seorang perempuan tua yang sedang menyaukkan periannya.
Orang kita sendiri tidaklah akan serendah hati itu. Biasanya orang kita apabila sudah dibawa oleh suaminya merantau, lalu pulang kekampuang, subangnya bertahta intan, dia telah sombong. Bertegur sapa dengan kita dia merasa keberatan, kita disangkanya sarap dan kotoran saja. Tetapi mbak Ayu Poniem itu bukan begitu, harta bendanya seakan-akan tidak diacuhkannya, mulutnya manis, tegur sapanya terpuji.
Cuma satu saja salahnya, ujar perempuan tua itu, yang periannya sudah hampir penuh.
Apa " tanya perempuan muda itu.
Dia bukan orang kita, ujar perempuan tua itu.
Iya, itu sajalah salahnya, itu saja yang rasa keberatan. Meskipun budinya baik, kelakuannya terpuji, sayang dia tidak orang kita. Bagaimanapun kekayaan yang didapat Leman, tentu setinggi-tinggi melambung akan kembali ketanah jua, kemana kekayaan yang sebanyak itu akan dibawa.
Seorang perempuan lain yang sedang menggosok-gosok punggungnya dengan sabun pencuci kain menjawab pula.
Tetapi kan dia tidak beranak. Sebab itu tidaklah berapa susah.
Itulah yang mereka fikirkan, betul Poniem baik budi, perangainya disetujui orang kampung, pergaulannya tiada cacatnya, Cuma sayang dia bukan orang Awak . Dan mereka merasa syukur juga, sebab Leman tidak beranak dengan dia.
Itulah perasaan umum di dalam kampung, mereka puji Poniem dan mereka sanjung, tidak ada perangainya yang patut dicela, tetapi mereka belum puas, dia tidak orang awak .
Sedianya akan lama mereka akan tingal di kampung, mencapai sebulan atau dua bulan. Tetapi lima belas hari, mereka telah merasa bosan, telah merasa sebagai tertijak di bara panas, baik Leman apalagi Poniem. Apakah sebabnya "
Mereka dua laki istri, sudah lebih setengah bulan tinggal di kampung, tetapi tidak leluasa didalam pergaulan. Rumah kerabat Leman, tidak di diami oleh kerabatkerabatnya yang perempuan, mereka hidup dengan suami masing-masing di dalam bilik masing-masing. Rumah-rumah di Minangkabau tidak tersedia untuk saudara laki-laki yang hendak membawa istrinya tinggal disana. Dimana Poniem hendak diletakkannya ".
Kalau Poniem orang Minangkabau, tentu dia naik ke atas rumahnya sendiri. Sekarang Poniem bukan orang Minangkabau, kaum kerabat tepatnya tidak ada, tentu dia dibawa kerumah kaum kerabat Leman. Padahal rumah itu tlah terbagi untuk saudara-saudara dan kemenakan-kemenakan yang perempuan dengan suaminya masing-masing. Tidak adat dan bukan lembaga, seorang laki-laki membawa istrinya kerumah saudara perempuannya.
Dahulu, ketika akan pulang kampung tidaklah terfikir olehnya hal ini, sebab hatinya gembira hendak pulang saja. Tetapi sekarang, kian lama kian rumit dan susah. Hal ini terasa olehnya dan oleh istrinya sendiripun kelihatan terasa pula. Hatinya sudah mulai kesal saja, tetapi sukar sekali mereka akan bertemu. Sebelum cukup dua puluh hari, sedang perempuan-perempuan lain pergi mandi ke pancuran, Poneim telah menghampiri suaminya. Bilakah kita akan kembali ke Medan " Leman menjawab Abang pun sudah merasa lebih baik kita segera kembali ke Medan. Maka tentukanlah hari untuk berangkat.
Pada suatu malam sebelum meraka berangkat, terlambat benar Leman pulang dari surau, biasanya pukul sembilan dia sudah pulang, sekarang sudah lewat. Saudarasaudaranya yang perempuan menanyakannya kepada anak-anak yang telah kembali dari surau, kenapa Leman terlambat, mereka menjawab bahwa engku Sutan Panduko mengajaknya berbicara berdua saja, sangat lama mereka berbicara. Pukul sebelas malam barulah dia pulang. Tidak ada yang tahu apakah isi pembicaraan mereka itu. Esok paginya dia pun berangkat kembali ke Medan. Ramai pula perempuan-perempuan muda yang mengantarkannya ke oto, lebihlebih yang telah menjadi sahabat Poniem. Sedih juga hati Poniem akan meninggalkan sahabat-sahabat itu, sayang dia tidak dapat tinggal lama di kampung. Orang-orang yang mengantarkan itu ada yang memberi ampiang, kue bika, kalamai Payakumbuh dan lain-lain makanan cara Minangkabau.
Leman, sejak dia disambut beramai-ramai, dan dilepas beramai-ramai pula, terasalah olehnya kembali bagaimana eratnya pertalian famili. Meskipun bagaimana dia terpisah selama ini, jauh terbuang kemanapun dia, walau bagaimana senangnya, hidup dirantau, namun dia tetap anak Minangkabau.
07. Angin Berkisar ANGAT banyak perobahan fikirannya sejak balik dari kampung. Banyak hal-hal yang selama ini tidak diperhatikannya, sekarang telah menarik fikirannya. Pertama ialah perhubungan famili yang rapat itu, sebab anak minangkabau tidak dapat mengeluarkan dirinya dari lingkungan kerabat. suku tidak dapat dialih, malu tidak dapat dibagi , demikian tersebut dalam pepatah adat.
Oleh sebab itu, walaupun dimana dia beristri dan walaupun siapa istrinya itu, walau bangsa apa, setinggi-tinggi melambung akan jatuh ketanah jua . Sekali dalam setahun sekurangnya perlulah pulang ke kampung, memperkuat tali kasih sayang dengan famili. Yang paling teringat olehnya ialah kesulitan perhubungan dengan istrinya sekarang. Dahulu hal itu belum teringat, tetapi sekarang telah menjadi fikiran yang tak dapat di hindarkan dari dalam kepalanya lagi. Yaitu kalau memang dia akan pulang sekali setahun bagaimanakah istrinya, dibawanyakah atau tidak. Kalau dibawa, kemana si istri itu akan ditumpangkan, dimana akan ditinggalkan. Kalau dibawa kerumah famili sendiri, adalah itu satu cela besar, karena bilik untuk saudara laki-laki dengan istrinya tidak ada dalam rumah di Minangkabau. Akan dibelikan tanah dan diperbuatkan rumah tidak ada orang yang akan sudi menjual harta tuanya. Yang dapat membeli tanah hanyalah dikota, sebagai contoh di Padang Panjang, Bukittinggi dan Padang. Dikampung tidak ada tanah yang dapat dibeli, semuanya kepunyaan suku. Akan ditegakkan rumah untuk istri di dalam tanah kepunyaan persukuan sendiri, meski diminta dahulu kesepakatan kaum kerabat selengkapnya, ninik mamak dan tungganai, ditentukan kedudukkan rumah itu, dipinjamkan atau pemberiankah. Kalau istri itu meninggal, rumah itu mesti kembali kepada suku. Itu lah sikap kalau pergaulan itu kekal. Tetapi kalau tidak kekal, perempuan itu boleh keluar dari rumah itu dengan sebuah bungkusan kecil. Ada pun rumah itu sendiri dan segala yang berhubungan dengan dia tidak lah menjadi hak milik perempuan itu.
Sebuah lagi yang paling penting ialah kedudukkan di dalam adat seorang anak muda walaupun kaya raya melimpah-limpah uangnya, penuuh pundi-pundinya, padat kantongnya dan berpintu-pintu kedainya dirantau orang, namun sekali dalam selama hidupnya haruslah ia membayar hutang kepada negeri dan kampung halamannya. Hutang itu bukan emas bertahil dan uang berbilang, tetapi hutang malu. Namun sekurang-kurangnya sekali selama hidup, hendaknya dia kawin di kampungnya sendiri. Setelah ada istrinya dikampung, walaupun dia akan kawin pula sekali lagi, dua atau sepuluh kali lagi di negeri orang, tidak lah dia akan tercela, sebab dia telah sanggup mendirikan adat dan lembaga, sudah memakai gelar pusaka yang telah tersedia didalam persukuannnya yang diterima dari nenek, di turunkan dari mamak kepada kemenakan.
Sekarang adat itu belum dapat di dirikan, dia masih tetap si Leman, belum berhak memakai gelar sutan Sulaiman, sebab belum kawin di kampung. Kalau dia hanya tetap beristri orang lain saja, kalau sekiranya dapat anak, dimanakah nenek anak itu, siapa mamaknya, apa sukunya. Tentu saja anak itu tidak dapat memakai gelar, sebab dia tidak bersuku. Dia hanya dapat meminjam gelar dari famili ayahnya hinggap menumpu, terbang mencerkam .
Apa lagi ketika tinggal di kampung itu dia banyak sekali mendapat nasehat yang penting-penting dari kaum kerabatnya yang tua-tua, bahwa seudah sepatutnya benar dia kawin seorang lagi dikampung, bukankah dia bukan sembarang orang, harta pun telah ada pula !
Pada suatu malam dia bertandang kerumah kerabatnya yang dekat, disana perempuan-perempuan telah berkumpul membisikinya, bahwa mereka amat malu, sebab tidak ada menantu mereka di kampung. Kalau Leman merantau, tidak ada tempat menyambungkan basa-basi di kampung, karena mertua Leman tak ada. Padahal menantu itu adalah kemegahan yang paling tinggi di kampung. Terutama bila hari baik bulan baik, misalnya dibulan hari raya, dibulan haji dan di bulan maulud. Biasanya perempuan-perepuan muda membawa juadah berbagai ragam kerumah mertuanya. Cuma mereka saja yang tidak menerima juadah itu, karena menantu sendiri tidak dikampung dan tidak pulang orang kampung sendiri.
Lantaran bagusnya bujukan mereka, tergengganglah pintu hati yang tadinya terkunci erat. Leman bertanya : Bagaimana nasib istri saya yang sekarang, kalau saya beristri seorang lagi "
Itu pekara gampang, perkara mudah, jawab mereka. dia jangan di ceraikan. Perempuan sebagus itu, seelok itu perangainya, mesti dipegang terus. Asal saja dia sabar. Tetapi kalau dia tidak sabar, tentu pulang timbangan kepada dirinya sendiri. Karena orang laki-laki tidak boleh diperintah oleh orang perempuan. Perlu di ceraikan, tentu di ceraikan .
Menceraikan itu lah saya yang takut, jawab Leman sambil mengeluh menarik nafas panjang.
Kami pun tidak mau kalau engkau bercerai dengan dia, karena budi bahasanya dengan kami sangat elok. Tetapi ada pula yang harus difikirkan. Kalau kita beristri orang yang bukan orang kampung kita, adalah amat sulit, kesulitannya di hari tua . Jawab perempuan-perempuan itu pula. Dan kalau engkau bawa dia ke kampung di hari tua mu, dimana dia kau tinggalkan dan kemana dia akan engkau bawa. Engkau buatkan dia rumah, tidak ada tanah buat dia. Tanah kita sempit, sawah kita telah banyak di jadikan perumahan, karena tak cukup tanah. Lagi pula menurut pesan orang tua-tua, apabila dimasukkan orang suku lain ke dalam pekarangan tanah kita, dia akan kekal dan persukuan kita sendiri akan punah. Kalau engkau turutkan kemana dia, baik pulang kenegerinya atau sama-sama tinggal di rantau tentulah engkau hilang larat buat selama-lamanya, terpisah dari kami. Ini benarlah yang kami rusuhkan .
Ternyata benar bagaimana sulit keadaan yang di hadapi Leman ketika mendengarkan perkataan itu. Seorang perempuan yang separo umur melihat bagaimana kesulitan yang di fikirkan oleh Leman itu. Dia berkata :
Kesulitan yang kau rasai itu hanyalah sebelum ditempuh. Kalau sudah ditempuh sudah mudah. Malah kalau sekali beristri muda, engkau akan ingin beristri sekali lagi, sekali lagi. Sehingga engkau berulang-ulang jadi orang muda .
Saya takut Poniem tidak akan sabar. Rasa-rasa saya lihat bagaimana dia menguraikan air mata kelak .
Itu sudah kebiasaan kami orang perempuan, sebab meskipun segala orang perempuan di dunia ini menangis dan meratap, namun mereka tidak akan dapat memaksa orang laki-laki, karena beristri lebih seorang itu kelak aturan agama kita dan adat kita .
Leman masih menekur, tetapi muram mukanya sudah berkurang. Gerak-gerik dan perobahan muka Leman dapat juga di baca oleh perempuan-perempuan itu.
Merantau Ke Deli Karya Hamka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau suka , kata seorang perempuan yang agak muda sambil tersenyum;
Seorang janda muda setahun, yang baru meminta taklik dan mengantarkan chuluk kepada suaminya yang dahulu, sekarang ada. Kalau kita yang melanjur-lanjurkan mulut, tentu akan mau ibu bapak dan mamaknya menerima .
Mengapa yang janda muda , kata yang lebih muda dengan wajah sebagai orang kecewa. Padahal yang gadis gedang ada tiga orang. Si Nursiam anak Sutan Bagindo, belum juga bertunangan sampai sekarang, si Rohani kemenakan datuk Panduko baru saja keluar dari sekolah mengaji di Padang Panjang, belum pula bertunangan; si Mariatun putus pula tunangannya, karena berjanji akan kawin di Hari Raya, yang perempuan meminta tangguh, sehingga tunangannya mencari gadis lain. Pendeknya, kalau engkau suka Leman, bukan ayam yang mencari padi tetapi padi lah yang mengejar ayam .
Demikian saja percakapan mereka semalam itu. Semalam sebelum dia berangkat, ketika dia pergi sembahyang magrib ke surau, Sutan Panduko mengajaknya berbicara empat mata saja. Maksud Sutan Panduko rupanya tidak berlain dengan maksud perempuan-perempuan yang berbicara dengan dia semalam. Sutan Panduko membawa pesan dari mamak si Mariatun, yaitu anak perempuan yang putus pertunangannya itu, karena tunangannya telah mencari gadis yang lain. Dia hanya sebagai orang perantara saja, kalau Leman suka. Kalau engkau suka, kata Sutan Panduko, tidaklah akan susah, sebab mamak si Mariatun itu orang berada, dia akan diperbuatkan rumah, sawahnya cukup, apalagi bukan orang sembarangan pula. Rupanya tidak kalah dari perempuan-perempuan lain. Sutan Panduko memperlihatkan potret anak perempuan itu, yang mulai saja dilihat oleh Leman, hatinya sudah bergerak.
Semua hal itulah yang menimbulkan keraguan Leman ketika dia akan berangkat. Apalagi, kalau dia sudi, maka perembukkan itu biarlah di sempurnakan di belakang, setelah dia berangkat. Pada malam pertemuan itu kelihatan benar bagaimana keraguan Leman hendak menempuh hal itu. Akan di katakan mau, kasihan kepada Poniem, akan di katakan tidak, kecantikan Mariatun telah terbayang-bayang dimukanya. Tersenyum-senyum simpul dia ketika Sutan Panduko memuji-muji gadis itu, bahwa gadis itu akan padan dengan dia, bagaimana apabila mereka berjalan beriring-iringan, sekupu atau sederajat, sekampung sehalaman sama-sama muda pula.
Setelah nyata bahwa jeratnya mengena, barulah Sutan Panduko bertanya Bagaimana Leman "
Biarlah saya fikir-fikir dulu .
Apabila dia menjawab Saya berfikir-fikir dulu , alamat hatinya telah kena. Karena kalau dia enggan, pada waktu itu juga dia sudah dapat menjawab terus terang. Memang timbangan fikiran selalu dikalahkan oleh darah muda.
Tapi saya harap fikir yang memberi harapan, jawab Sutan Panduko pula dengan jinaknya.
Bagaimana saya dapat memberi kepastian dengan segera, padahal saya akan berangkat " tanya pula dengan keraguan dan mulai agak menyesal karena mulutnya telah terdorong memberi harapan.
Itu kan pekara mudah, jawab Sutan Panduko.
Negeri Medan kan tidak sejauh dahulu lagi, ambil kertas, kirimkan surat. Dalam pada itu, kami orang di rumah menyempurnakan rembukkan ini sampai sematangmatangnya.
Ke esokkan harinya pagi-pagi ketika oto akan berangkat itu, dari jauh kelihatan Sutan Panduko tegak meyisi ditepi jalan. Tidak berapa jauh dari padanya berdiri seorang perempuan agak tua berdekatan dengan seorang anak gadis cantik, sehat dan bersih, badannya tegap semampai, matanya besar dan hitam, alisnya seraut jauh, berdiri melihat orang akan berangkat. Sutan Panduko menunggu bila Leman akan melihat kepadanya. Ketika Leman melihat kepadanya, mulutnya di ulurkannya kemuka dan matanya di sendengkannya kepada anak gadis yang berdiri tidak jauh daripadanya itu. Dia memberi isyarat kepada Leman, bahwa itulah Mariatun, Leman melihat kesana, pandang bertemu pandang, dada berdebar dan dia gugup, gadis itu tertekur dan tak kuat memandang mata Leman.
Itulah yang meragukan hati Leman. Dia memang sayang kepada Poniem. Tetapi ia, wajah Mariatun telah terbayang-bayang di ruang matanya. Muda-mudahan sekali. Lagi pula, bukan dia tidak sayang kepada Poniem. Iya, lagi pula, wahai, alangkah beruntungnya beristri muda seorang lagi istri perawan pula, padahal dia belum pernah beristri perawan. Bukan itu, bukan memikirkan pekara perawan, yang lebih penting ialah supaya beroleh anak, sebab belum pernah beranak. Dan alangkah senangnya jika Mariatun itu di suruh memakai pakaian yang bagus-bagus, di beri slop tinggi tumit, dibelikan gelang dan subang. Dan bukan itu dia orang kampung sendiri. Wahai, kulitnya putih, kuning, tumitnya merah ditinjakkannya, jauh lebih cantik dari Poniem, bulat penuh mukanya, meskipun Poniem cantik juga, sayang telah agak tua, mukanya telah agak keriput. Kasihan Poniem, sudah hampir lima tahun bergaul tetapi kalau jadi saya kawin dengan Mariatun, Poniem tidak akan saya ceraikan, jasanya kepada saya telah banyak. Tetapi kalau dia mencoba hendak membantah, hendak menghukum saya, itu lain pekara Ia di buang, habis perkara .
Perasaan-perasaan demikianlah yang selalu berpegang dalam hatinya sejak dia kembali dari kampung, hingga Poniem sendiri merasa heran melihat perobahan tabiat suaminya. Perempuan yang malang itu menyangka bahwa dia masih berhak, mendapat kemenangan, dia masih menyangka bahwa kedudukkannya masih baik dan kukuh, dia tidak tahu bahwa dari kiri kanan orang sedang mengatur kepungan hendak menjatuhkan kedaulatannya. Kesetiaannya kepada suaminya sejak kembali dari kampung, boleh dikatakan berlebih daripada yang sudah-sudah, dia bertambah setia, nasi terhidang pada waktunya, sambal enak dan mukanya manis. Sekarang berkudung, sebab dilihatnya di negeri Leman orang perempuan semuanya memakai tutup kepala, sembahyangnya sudah lebih taat& . & & .
Kasihan& & & & & !
Dalam mengalami peperangan yang hebat dalam hatinya itu, di antara akan menduakan istri dan akan tetap beristri satu, akan berhubungan dengan kampung kembali atau diputuskan buat selama-lamanya, lalu membeli tanah saja di perantauan, sedang dalam keraguan yang demikian, datanglah sepucuk surat dari kampung.
Isi surat itu rupanya meminta keterangan dari dirinya sendiri, sukakah dia melangsungkan perkawinan itu apa tidak. Karena rupanya sepeninggalannya, rembukkan itu telah dilangsungkan antara familinya dengan Sutan Panduko. Orang telah bekerja keras di belakang. Di dalam surat itu dia di desak, sebab mereka merasa malu sebelum putus dengan yang dahulu, sebelum ada hubungan yang baru, jatuh belum bersambut . Kalau sekiranya Leman mau, maka dia tiada perlu pulang, sebab memang amat berat ongkos pulang. Cukup kalau perempuan itu diantarkan saja orang ke rantau, ke Deli. Dengan jalan demikian tentu ongkosongkos perkawinan akan dapat diringankan. Tetapi kalau Leman bertangguh, tentu anak perempuan itu lepas ketangan orang lain. Bukan saja famili yang dikampung yang merasa malu kalau hal itu terjadi, melainkan Leman sendiri yang akan rugi. Karena keadaan Mariatun bertemu ruas dengan buku. Apalagi mamak-mamaknya, kaum kerabat, yang jauh dan yang dekat, sudah tersebut juga orang-orang yang baik basa. Pendeknya& & ..pendeknya, tidak ada yang kurang !
Setelah selesai membaca suratitu, terbang pulalah kembali di ruang matanya wajah gadis cantik yang berdiri di dekat oto ketika dia akan berangkat itu. Badan penuh, dada bidang, tinggi semampai, kalau itu dikenangnya, dia lupa akan pekerjaannya, lupa akan perniagaannya. Dia hanya rintang mengantang asap, memandang langit, memikir-mikirkan keberuntungan di zaman yang akan datang. Kalau dia tengah berfikir itu, perniagaan sudah di serahkannya saja kepada anak semangnya yang setia itu, Suyono. Akan hilang akan menungnya apabila di kejutkan oleh Poneim bahwa nasi telah terhidang. Dan sedang dia makan itu, walaupun ditegur bagaimana, jawabannya hanya satu-satu saja, sebab fikirannya kepada yang lain& & & & .. kepada yang jauh& & & Pendeknya, sejak kembali dari kampung dan di datangi pula oleh sepucuk surat itu dia gelisah saja, tidurnya tidak senang lagi, dan tidurnya usik. Sehingga sudah pernah Poniem cemas, kalau-kalau suaminya di timpa sakit.
Sakitkah Abang " tanya Poniem pada suatu sore.
Memang kurang sehat , jawab Leman. Poniem lalu mengambil uang sen sebuah, di kerok nya lemusir suaminya, diambilnya limau kapas, di belah duanya, kedua belahnya di lumarinya dengan minyak cap macan, di gosokkannya ke kening Leman. Kelihatan pada wajahnya bagaimana cintanya terhadap suaminya. Tetapi Leman kian lama kian bingung saja.
Pada suatu malam, kira-kira sudah pukul dua belas, Poniem telah tidur dengan nyenyaknya, tetapi Leman masih membalik kekiri membalik kekanan, kadangkadang dia menghadap saja ke atap sambil berfikir. Rupanya peperangan fikirannya pada malam itu sangat hebatnya. Dia lihatnya istrinya tenang-tenang, maka timbullah iba kasihannya memikirkan perempuan yang tiada berpelindung itu, dia tengah tidur nyenyak, dengan penuh kepercayaanng akan keselamatan dirinya. Sesaat kemudian dia memandang pula ke atas, maka lupalah dia kepada perempuan yang tidur disampingnya itu, terbayang pula kembali keindahan hidup yang akan datang, duduk bersanding dengan perempuan yang lebih cantik, lebih celita. Tiba-tiba dengan diam-diam, dia bangkit dari tempat tidurnya, dia pergi kemeja tulis dan dibesarkannya lampu. Di ambilnya pulpen dari sakunya, dia ambilnya kertas dan dimulianya membuat sepucuk surat. Asik sekali dia menulis. Setelah kira-kira lima belas menit lamanya menulis, terbangunlah istrinya sebentar.
Sayang perempuan itu tak tahu tulis baca. Dia bertanya : Apakah yang Abang buat tengah malam ini " masih mencatat jual beli jugakah "
Iya, jawabnya : Pekerjaan siang hari tadi terbengkalai .
Lebih baik lekas tidur, sempurnakan saja pekerjaan itu besok, ujar Poniem pula.
Ah, Cuma tinggal sedikit, jawab Leman pula dengan senangnya.
Poniem diam tidak menjawab lagi, dia telah kembali kepada tidurnya yang nyenyak.
Isi surat itu tidak lain ialah membalas dan mengabulkan permintaan orang di kampung. Dengan menulis surat itulah menurut fikirannya baru akan terobat detak detik jantung yang telah berhari berpekan itu yang menyebab dia tidak mau tidur. Setelah selesai dibuatnyalah addres di amplopnya lalu di simpan baik-baik masuk sakunya. Dia pun tidurlah kembali.
Ke esokkan harinya pagi-pagi dengan tergesa-gesa di antarkannya lah surat itu ke Pos. aneh sekali, kerap kali benar dia menoleh kebelakang. Dia merasa was-was. Merasa menyesal memasukkan surat itu kedalam Bis Surat. Teringat dia kembali bagaimana sulitnya hal yang akan ditempuhnya. Bagaimanakah nanti kalau jadi perempuan itu dibawa orang kepadanya, jika jadi perempuan itu datang ke Deli.
Bagaimanakah kelak caranya dia menyampaikan hal itu kepada istrinya yang tua ". Kalau Poniem keras kepala, pelawan, tentu hal itu mudah saja. Tetapi tidak, Poniem akur, patuh, tak penyanggah, menurut saja apa kemauannya. Bagaimankah kelak dia menyusun perkataan untuk perempuan yang malang itu " Yang kedua, dimanakah kelak istri yang muda itu akan di tempatkannya " Akan disewakan rumah lainkah " Siapa yang akan ditempatkan dirumah itu " Istri tuakah atau yang muda " Akan di serumahkan kah " Tidak kah akan berkelahi jika serumah "
Ah, kata hatinya, untuk menghapus segala was-was yang timbul itu. Dimana tumbuh, diwaktu itulah di siangi habis pekara !
Sehari surat itu di kirimkan, adalah waktu pergi ke Medan untuk membeli barangbarang baru dan membayar hutang-hutang lama kepada toko tempatnya berhutang. Orang-orang gajian telah disuruhnya pergi berjaja. Suyono tinggal di kedai, karena dia lah yang dipercaya memegang tas. Poniem bekerja sebagaimana bisa. Dia sendiri terus berangkat ke Medan. Tiba-tiba bertemulah dia dengan sahabat lamanya Bagindo Kayo.
Dia terkejut : Hai, mak Bagindo Kayo, sudah amat lama kita tidak bertemu, dimana mamak berniaga selama ini "
Saya baru saja kembali ke Deli, sudah lebih lima tahun tanah Deli saya tinggalkan, saya coba berniaga ke Lampung, karena kata orang di sana lebih bagus menunggu musim Lada. Tetapi akhirnya Deli, tidaklah dapat dilupakan selama hidup, sekali terminum air sungai Deli tak terlupakan lagi selama hidup , ujar Bagindo Kayo pula dengan tenang sambil tersenyum.
Dan engkau dimana sekarang " tidakkah kembali ketempat yang lama " Apa kabar tentang istrimu itu& .. Poniem, masihkah engkau dengan dia "
Masih, sampai sekarang saya masih dengan dia , jawab Leman, tetapi mukanya agak muram.
Sudah beranak " tanya Bagindo kayo sambil menentang mata Leman.
Ada-ada saja tanya mamak, sambil menepuk punggung Bagindo Kayo sambil tersenyum.
He& " Itu perlu juga saya tanyakan, bukan " bukankah anak itu buah hati pengarang jantung, pateri berumah tangga "
Nantilah saya jawab, marilah kita pergi minum kopi dahulu ke kedai itu, jawab Leman.
Mereka pun pergilah ke kedai kopi. Banyaklah obrolan tentang hal yang duludulu, tentang perniagaan, zaman sekarang, kabar kampung dan lain-lain, yang di perkatakan sambil minum. Air apabila sudah terlalu penuh, melimpahlah dia, maka demikianlah pula perasaan Leman. Dengan sangat girang dan muka berseriseri dimulainyalah mengatakan perasaan hatinya.
Tadi mamak bertanya, apakah saya telah beranak dengan Poniem, belum lagi saya jawab. Syukur juga hal itu mamak tanyakan. Sebetulnya sudah lebih lima tahun bergaul hingga sekarang, Poniem belum juga beranak .
Sebab itu " tanya Bagindo Kayo sebagai membaca perkataan yang masih tersimpan dalam hati, belum lagi keluar ke mulut, tetapi dia sudah seperti tahu.
Baru-baru ini kami sudah pulang bersama-sama menemui famili. Orang kampung semuanya tidak ada yang tidak menyetujui perkawinan saya dengan Poniem, meskipun dia bukan orang kampung kita. Cuma itu saja yang mendukakan hati mereka, yaitu karena Poniem tiada beranak .
Sebab itu orang kampung tidak saja merasa berduka, tetapi merasa tidak senang hati bukan " tanya Bagindo Kayo. Dan engkau akan di suruh beristri seorang lagi "
Dimana mamak tahu, tanya Leman keheranan.
Iya, saya sudah tahu, sudah memang begitu mestinya. Mereka susah kalau engkau tidak ber istri seorang lagi di kampung .
Memang, apa yang mamak katakan itu benar. Saya sudah di desak orang supaya kawin seorang lagi, orang kampung kita sendiri .
Mau kah engkau tanya Bagindo Kayo.
Bagaimana pertimbangan mamak "
Dalam perkawinan tidaklah boleh memintak pertimbangan dengan orang lain. Kalau tidak setuju dengan bunyi suara hati kecil kita, tentu tidak juga akan kita turutkan. Hanya suara hati kita juga yang akan kita turuti .
Tidak, kalau sekiranya mamak tidak setuju dengan alasan yang cukup, tentu saya tidak akan melangsungkan, kata Leman.
Saya tak percaya mulut mu, Leman ! dahulu ketika engkau akan membawa Poniem pergi nikah saya beri nasehat supaya jangan engkau langsungkan, tetapi engkau langsungkan juga. Sekarang, kalau saya nyatakan fikiran saya, tidak juga akan engkau ikut, saya percaya !
Apa fikiran mamak " tanya Leman.
Pendirian saya yang sejati, saya tidak akur engkau kawin lagi. Walau tidak ber anak, walaupun yang akan menjadi istrimu itu orang kampung kita. Sebab kalau engkau telah beristri dengan orang kampung kita, tentu saja yang lebih muda, lebih cantik, perawan bukan " tanya Bagindo Kayo.
Iya, perawan ! jawab Leman sambil menghirup kopinya tersenyum.
Perawan dan sekampung pula lagi. Saya percaya, Poniem akan engkau buangkan, akan engkau campakkan. Ada-ada saja nanti alasan mu untuk membuangkan perempuan itu .
Tidak mamak, masakkan dia akan saya buangkan ! padahal jasanya terlalu banyak terhadap saya. Bukankah dia yang mengeluarkan saya dari lembah kemiskinan " Bukankah karena pertolongannya maka saya bisa jadi begini, sehingga sudah dapat membantu kekampung "
Itu hanya bicara mu sekarang, Leman. Yakni ketika fikiran mu masih tenang. Engkau hanya seorang manusia, umur mu masih muda pula. Bagaimana fikiran mu akan tenang kelak kalau di hadapan mu berdiri dua orang perempuan, yang seorang kulitnya masih halus dan kuning, rupanya cantik, sekampung sehalaman, sedang yang seorang lagi sudah agak tua, sudah lama engkau pakai, tak beranak, tak berkaum berfamili, dan orang lain pula .
Saya sayang dan hiba kepadanya, mamak !
Itu Cuma kata mu sekarang , jawab Bagindo Kayo pula. Leman termenung mendengarnya.
Kalau engkau jadi beristri seorang lagi leman, percayalah perkataan ku, engkau akan menyesal kelak. Karena engkau bangsa orang yang tak tahan hati, engkau belum tahu tipu daya perempuan. Salah satu dari dua jalan akan engkau tempuh. Pertama, selama hidup engkau pegang kedua perempuan itu, tetapi hatimu menyesal. Sebabnya ialah yang tua engkau kasihani, tetapi yang muda engkau sayangi. Antara kasihan dan sayang jauh bedanya. Yang ke Dua, engkau ceraikan salah satu karena tak tertanggung. Saya jamin dari sekarang, bahwa yang akan engkau ceraikan itu adalah yang tua, Poniem. Sebab engkau menceraikan dia, barulah terlepas dari beban yang berat .
Di hirupnya pula kopinya sehirup, di patahkannya kue bolu dan dia pun meneruskan bicaranya pula :
Tentu Poniem yang akan kau ceraikan, sulit menceraikan yang muda .
Tetapi bukan saja saya kasihan kepada Poniem, saya pun cinta kepadanya .
Engkau bohong ! jawab Bagindo Kayo.
Kalau memang engkau cinta kepada perempuan yang melarat itu yang hanya engkau ibarat se utas tali tempatnya bergantung, hanya engkau ayah ibunya, engkau hanya familinya, tentu dia tidak akan engkau duakan dengan yang lain, tentu hatinya tidak akan engkau tikam .
Tetapi bagaimana dengan famili " tentu kita tidak dapat bercerai dengan famili . Tanya Leman pula.
Ah, jawab mu hanya menginginkan tempat jatuh saja Leman. Sekarang orang merasa berfamili dengan engkau, yakni setelah engkau berada, beruang. Dahulu orang tidak ingat engkau. Dahulu famili mu hanya Poniem sendiri saja, engkau jatuh dia yang menyambut, engkau karam dia yang menyelami .
Sungguh mamak, saya cinta terhadap Poniem .
Kalau engkau cinta terhadap perempuan itu, tentu tidak engkau duai dengan yang lain, bukankah tadi sudah saya tanyakan " Kalau engkau cinta kepada Poniem, engkau beranikan hatimu, engkau beli tanah di rantau, engkau perbuat rumah. Kalau engkau mati dahulu daripadanya, maka harta itu bulat ke tangannya, karena saudara mu yang kandung tidak ada lagi. Dan kalau dia mati dahulu, harta itu pula ke tangan mu, boleh engkau bawa pulang ke kampung, berikan sanak saudara yang akan mengatakan engkau mamaknya, atau kemenakannya, karena engkau sudah berharta .
Jadi bagaimana dengan kehendak famili itu " tanya Leman.
Famili hanya berkehendak saja, yang akan mengemudikan rumah tangga mu bukan mereka, tetapi engkau sendiri. Engkau akan kembali hidup di rantau, jauh dari pelupuk mata mereka. Mereka hanya pandai meluncurkan engkau kedalam lembah kesusahan. Kalau ada harta mu kirimkan pulang, belikan sawah, lekatkan kerumah, semuanya untuk mereka, umur mu habiskan di rantau, setelah tua pulanglah supaya dilekatkan dengan orang di surau buruk. Sudah begitu adat, sudah begitu lembaga, apalagi ! Mestinya engkau sudah terlepas dari mereka kehidupan mu di hari tua lantaran beristrikan Poniem, sekarang engkau hendak mencari penyakit mu sendiri. Hati mu kalau engkau beristri seorang lagi tidak akan tetap lagi, bertambah soal yang akan engkau fikirkan sebuah lagi, yaitu menjaga perhubungan istri mu di dalam rumah. Tetapi bukan macam mu ini orang yang akan teguh yang menghadapi itu. Letak kanlah teguh, syukurlah kalau teguh, tetapi sesal tak hilang dari hatimu. Itu lah sebabnya maka dahulu saya halangi engkau beristrikan Poniem, saya kalangkan leher, karena saya tahu akibat yang akan engkau hadapi sekarang .
Sumpah Palapa 11 Wiro Sableng 050 Mayat Hidup Gunung Klabat Harimau Mendekam Naga Sembunyi 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama