Ceritasilat Novel Online

Misteri Mayat Darah 1

Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Mayat Darah Bagian 1


. 155. Misteri Mayat Darah Bag. 1, 2 dan 3
4. Januar 2015 um 07:47
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Misteri Mayat Darah
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? "Ha ha ha...! Hi hi hi...!"
Malam Jum'at Kliwon. Di dalam Hutan Cagak Kemuning yang luas dan senantiasa diselimuti kesunyian, terdengar suara tawa berkepanjangan. Suara tawa itu terkadang melengking tinggi menyakitkan gendang telinga. Namun, tiba-tiba tawa itu berubah pelan, mirip rintihan seseorang yang sedang menangis.
Tidak seorang pun yang tahu, apa yang sedang terjadi di hutan angker ini. Yang jelas, di sebuah dataran rendah berbatu licin terlihat sebuah pemandangan yang sangat mengerikan.
Melalui cahaya obor, samar-samar terlihat so-sok berbaju biru berdiri tegak di atas sebongkah batu sebesar kerbau. Dia bukan hantu gentayangan atau setan penunggu hutan ini. Sebab, kedua kakinya yang terbungkus pakaian ringkas menginjak batu.
Wajah orang ini tampak mengerikan. Banyak bekas guratan, sehingga tampak rusak. Bibir atasnya terbelah. Sedangkan bibir bawahnya nyaris copot, seperti tidak menempel pada daging. Bila melihat matanya yang tanggal sebelah, orang pasti bergidik. Matanya yang sebelah itu tidak mempunyai kulit pelindung sama sekali. Sedangkan biji matanya melotot, seperti akan loncat dari dalam rongganya. Matanya yang mengerikan berwarna kuning kemerah-merahan dan tampak berkilat-kilat, terus memandang pada sebuah pendupaan yang menebarkan bau bangkai. Di sebelah pendupaan terdapat sebuah kendi besar dari tanah liat.
Sosok berpakaian serba biru tiba-tiba menye-ringai. Matanya berpaling ke arah lain, tempat deretan sosok-sosok lain berbaju warna-warni yang entah hidup entah mati. Mereka terbaring di atas balok-balok kayu yang dijejer sedemikian rupa. Bagian bawah kepala mereka dilapisi daun-daun kering.
Sosok itu memandang sosok-sosok yang bergeletakan lebih lama. Kini mata yang cuma tinggal sebelah itu melotot menyeramkan dan berbinar-binar. Sekali lagi, seringai mengerikan menghias di bibirnya yang menggelambir.
"Ha ha ha...! Sekian tahun aku terpaksa mengasingkan diri di tempat ini. Ternyata, penantian dan usahaku tidak sia-sia. Kini aku memiliki anggota baru yang dapat dipercaya. Semua orang persilatan cepat atau lambat akan bertekuk lutut di bawah perintahku. Dan manusia yang bernama Danu Tirta, segera dapat merasakan kalau hidup ini tidak ubahnya seperti di neraka...!"
Terdengar suara erangan marah bercampur kebencian dari mulut laki laki berbaju biru tersebut. Tubuhnya yang tinggi semampai tiba-tiba saja berkelebat mendekati sosok-sosok yang seakan sedang tertidur lelap.
Satu persatu, sosok mengerikan ini meneliti mereka yang tengah terbaring. Bibirnya yang nyaris tidak berbentuk kembali menyeringai.
"Delapan tahun aku menunggu. Delapan tahun dendam kesumat ini membeku. Sekarang, sudah tiba waktunya bagi Setan Perenggut Nyawa membuat kejutan bagi orang-orang rimba persilatan!" ujar laki laki itu dengan sebelah mata berbinar aneh.
Dengan langkah tegap, laki-laki berjuluk Setan Perenggut Nyawa kembali menghampiri kendi besar dari tanah. Lalu diambilnya sebuah batok kelapa berwarna hitam legam. Mulut laki-laki ini tampak berkomat kamit sebentar membacakan mantra-mantra yang tidak begitu jelas. Sekejap tubuhnya bergetar. Semakin lama, getaran tubuhnya semakin keras. Keringat mengalir deras membasahi wajahnya yang rusak. Setelah itu tanpa terduga, angin berhembus dari segala penjuru arah menuju dataran rendah tempat Setan Perenggut Nyawa berdiri tegak sambil memegangi batok kelapa.
"Ha ha ha...!"
Di tengah-tengah hembusan angin yang sangat kencang, kembali terdengar suara tawa serak menyeramkan yang disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Sehingga, tanah di sekitarnya kontan bergetar hebat. Bahkan sosok-sosok yang terbaring juga tampak bergetar. Namun anehnya, mereka seperti tidak terpengaruh sama sekali.
Angin terus berhembus. Bahkan suara petir mulai terdengar. Cahaya kilat menerangi wajah-wajah membeku yang terbaring dalam diam. Suara tawa Setan Perenggut Nyawa tiba-tiba saja lenyap.
"Para hantu penguasa kegelapan! Para setan penggoda manusia. Kabulkan apa yang menjadi kehendakku! Sekarang.... Sekarang juga...!" desis Setan Perenggut Nyawa dengan suara serak.
Batok kelapa di tangan Setan Perenggut Nyawa bergetar sesaat. Dan tiba-tiba saja dari atas pohon melesat seleret cahaya biru terang benderang menyambar batok kelapa di tangannya
Splash! "Aaakh!"
Terdengar suara pekik tertahan. Tersirat rasa keterkejutan di mata Setan Perenggut Nyawa. Tapi keterkejutannya hanya berlangsung beberapa saat saja. Tidak lama, wajahnya yang rusak tampak merah berseri-seri.
Batok kelapa di tangan laki-laki berwajah buruk ini tidak lagi berwarna hitam, tapi telah menjadi merah semerah darah. Dengan tangan gemetaran kendi di tangan kanan segera dituang isinya. Ternyata, isi kendi itu adalah darah manusia.
Setelah penuh terisi darah, batok kelapa di tangan diguncang-guncangkan sebentar. Kemudian Setan Perenggut Nyawa berjalan menghampiri sosok-sosok tubuh yang terbaring diam di atas balok-balok kayu.
Setan Perenggut Nyawa lalu menyiramkan darah yang ada dalam batok kelapa ke sekujur tubuh laki-laki dan perempuan yang berada di dekatnya. Dan kini, bibirnya tampak bergetar. Mulutnya mendesis-desis, seperbti suara seekor ular buas.
"Ha ha ha...! Sekarang kalian telah menjadi para pembantuku yang paling setia. Bangkit...! Bangkitlah dari tidur panjang dan mimpi buruk! Bangkitlah atas nama penghuni kegelapan!"
Suara Setan Perenggut Nyawa terus terdengar, mendesis-desis tidak ada henti. Secara aneh, seiring bertambah kencangnya angin berhembus, satu demi satu orang-orang yang disiram dengan darah tadi bangkit berdiri.
Tidak ada kata-kata yang terucap. Wajah wajah pucat yang seakan tidak berdarah, tampak dingin. Tatapan mata mereka mengarah tajam pada laki-laki berbaju serba biru yang berdiri tegak di depan.
Bukan main gembiranya Setan Perenggut Nyawa melihat apa yang terjadi di depannya. Delapan tahun dia meredam dendam. Delapan tahun pula kitab 'Iblis Pembangkit' dipelajarinya. Dan ternyata apa yang dilakukannya memang tidak sia-sia.
"Dengarlah apa yang ingin kusampaikan pada kalian, wahai para pengikutku! Malam ini adalah malam yang paling bersejarah dalam hidupku, dan hidup kalin semua."
Laki-laki berwajah buruk menyeramkan inimengawali ucapannya. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perasaan lega.
"Aku adalah majikan kalian semua di sini. Kalian hidup dan berbangkit kembali dari tidur yang panjang, adalah karena kehendak para setan. Semua yang ada disini hanya boleh patuh kepadaku. Aku Setan Perenggut Nyawa, merupakan orang yang paling berhak atas segala-galanya. Mulai malam ini, kalian mempunyai tugas yang sangat mulia...!"
Tanpa melanjutkan ucapannya, Setan Perenggut Nyawa mendekati orang-orang di depannya. Laki-laki berwajah angker ini sempat mencium bau bunga kenanga ketika mendekatkan hidungnya ke bagian telinga laki-laki dan perempuan itu. Sejenak kemudian, mulai dibisikkannya sesuatu kepada mereka.
Sementara orang-orang berwajah dingin terse-but tampak mengangguk-angguk. Mata yang se-mula redup, kini tampak bergerak-gerak liar.
"Bagus, kalau kalian semua sudah mengerti!
Malam ini juga kalian sudah dapat melakukan tugas yang sangat mulia!" tegas Setan Perenggut Nyawa.
Lima orang laki-laki dan dua perempuan sama-sama menganggukkan kepala. Mereka berbalik arah dan terus berjalan menuju kegelapan malam.
Angin kencang berhenti berhembus. Sesekali tampak cahaya kilat membelah angkasa. Hujan turun rintik-rintik seperti menangisi bumi. Di kejauhan sana terdengar lolongan serigala hutan mendayu-dayu, mendirikan bulu roma. Laki-laki berwajah angker ini tampak menyeringai. Nyala obor semakin melemah, kemudian padam Sehingga, membuat suasana sekeliling lembah berubah menjadi gelap gulita.
? *** ? Pagi-pagi sekali, penduduk Desa Sindang Sari sudah memenuhi sepanjang jalan yang akan dilalui Desa Adipati Blambangan yang merupakan penguasa di wilayah ini. Memang, Desa Sindang Sari masuk dalam Kadipaten Blambangan. Begitu semarak acara penyambutan ini. Umbul-umbul berwarna-warni telah dipasang di sepanjang jalan. Tak lama menunggu, sebuah iring-iringan kereta kuda memasuki jalan utama desa ini. Di dalam kereta yang ditarik bga ekor kuda berbulu putih, duduk seorang laki-laki bertampang gagah. Bajunya serba ungu, memakai ikat kepala sebagaimana layaknya orang-orang rimba persilatan. Dialah Adipati Blambangan yang bernama Danu Tirta.
Duduk di sebelah sang adipati adalah seorang wanita berkebaya. Usianya sekitar tiga puluh tahun, berwajah cantik. Istri Adipati Blambangan ini, bernama Dewi Seroja.
Sepintas lalu, sepasang suami isrti ini tampaknya memang merupakan pasangan yang pas. Hanya sangat disayangkan, sebelas tahun mereka menikah sampai saat itu belum juga dikaruniai seorang anak pun.
Sementara di belakang kereta kuda itu, tampak mengawal tiga orang penunggang kuda berbaju merah menyala. Sedangkan di bagian pinggang, terselip golok berukuran besar. Mereka ini sebenarnya orang-orang rimba persilatan yang dikenal sebagai, Tiga Pendekar Golok Bayangan. Kehadiran mereka di sini tak lepas dari jabatan sebagai pembantu utama adipati. Di samping, mereka juga kerabat dekat adipati itu sendiri.
Di belakang tiga penunggang kuda ini, tampak mengiringi belasan prajurit pengawal, bersenjata tombak dan pedang di pinggang.
Saat iring-iringan Adipati Danu Tirta melewati orang-orang yang berderet di tepi jalan pekik sorak pun terdengar membahana. Orang-orang di sisi-sisi jalan melambai-lambaikan tangan penuh sukacita. Semua mengelu-elukan adipati yang bijaksana ini.
Danu Tirta dan Dewi Seroja membalas lambai-lambaian tangan mereka tidak kalah hangatnya.
Dalam suasana kemeriahan itu, dua sosok tampak tengah memasuki sebuah kedai makan. Kedua anak muda berbaju kembang-kembang ini berwajah dingin. Tatapan mata mereka redup seakan tidak memiliki gairah hidup sama sekali. Dan mereka langsung saja mengambil tempat, tepat di pinggir pintu masuk. Seorang laki-laki setengah baya yang ternyata pemilik kedai, langsung mendatangi.
"Maaf, Kisanak dan Nisanak! Kedai sudah hampir tutup. Persediaan makanan telah habis," jelas laki-laki setengah baya sambil memperhatikan dua tamunya yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang wanita dengan kening berkerut.
Kedua anak muda yang duduk berdampingan itu saling pandang, lalu menatap ke arah si pemilik kedai.
"Sisa makanan apa pun yang kau sediakan, kami akan menerimanya dengan senang hati!" kata gadis berbaju kembang-kembang dengan sikap acuh tak acuh.
'Tapi...!"
"Sediakan apa yang kami minta! Jangan ba-nyak mulut, Pak Tua" Apa kau tuli"!" bentak pemuda di sebelah gadis itu. Suaranya keras menggeledek, membuat pemilik kedai ini tersentak kaget.
Dengan badan gemetar, laki-laki setengah baya ini segera berlalu untuk menyediakan apa yang dipesan kedua anak muda itu
Tidak lama kemudian pemilik warung datang kembali, membawakan makanan sisa. Semula, laki-laki setengah baya ini menduga akan di-damprat. Tapi, ternyata tidak.
Pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang ini langsung menyantap hidangan. Hanya dalam waktu sekejap hidangan telah ludes tidak bersisa.
"Tambah lagi, Pak Tua!" pinta pemuda ini, dengan sikap acuh.
Laki-laki setengah baya itu tercekat. Hidangan yang disajikannya sesungguhnya cukup untuk di santap empat orang. Tapi, sungguh aneh! Gadis dan pemuda berbaju kembang-kembang ini sanggup menghabiskannya. Bahkan minta tambah lagi!
"Persediaan sudah habis Kisanak," tegas laki-laki setengah baya pemilik kedai yang dikenal sebagai Ki Rungkut.
Pemuda dan gadis itu saling berpandang kembali. Raut wajah mereka jelas tampak berubah ubah.
"Hm...!" gumam gadis berbaju kembang-kembang tidak jelas.
"Aku tidak mau tahu makanan di kedai yang bau busuk ini sudah habis atau masih numpuk. Kuminta, sediakan apa yang kami minta!" dengus pemuda itu menggeram marah.
"Apa yang mau kami hidangkan, bila makanan di kedai Ini sudah tidak bersisa sedikit pun?" sahut Ki Rungkut seperti bertanya sendiri lalu berjalan ke ambang pintu.
Laki-laki ini kemudian memberi isyarat pada beberapa orang pemuda yang kebetulan memang sedang berbicang-bincang di sudut kedai.
Mengetahui arti isyarat Ki Rungkut, tiga orang pemuda langsung menghampiri. Namun baru saja mereka tiba di depan kedua anak muda ini....
"Jika ingin mencari selamat, jangan campuri urusan orang lain!"
Sambil tertawa mengikik, gadis di sebelah pemuda itu menggumam. Suaranya yang hampir tak terdengar, dikeluarkan tanpa menoleh sedikit pun.
"Siapa kalian" Dan, mengapa kalian, membuat onar di sini!" dengus salah seorang dari ketiga pemuda itu, marah.
Namun tanpa bicara apa-apa, gadis berbaju kembang-kembang langsung menggerakkan tangannya ke bagian perut pemuda yang menegur-nya. Gerakannya cepat bukan main. Dan"
Bret! "Aaa...!"
Tahu tahu saja pemuda itu berteriak kesakitan. Tubuhnya mengejang dengan mata melotot. Dari bagian perutnya menyembur darah. Di lain kesempatan tubuh pemuda malang itu jatuh ke lantai. Mati.
Ki Rungkut dan dua pemuda lainnya tampak terkesiap melihat kawannya dalam keadaan mengenaskan sedemikian rupa.
"Brata...!"
Dengan suara serak, Ki Rungkut dan dua pemuda itu menyebut nama pemuda yang barusan tewas menyedihkan.
Mereka langsung melihat tangan berlumuran darah milik gadis itu. Tampak di telapak tangan kanan gadis itu terdapat serpihan kulit bercampur daging perut. Mereka segera sadar kalau gadis ini telah membetot lambung Brata.
Kedua pemuda teman Brata ini marah bukan main melihat kekejian gadis itu. Maka seketika itu pula mereka mencabut belati dari pinggang masing-masing. Dengan senjata terhunus di tangan, diserangnya pemuda dan gadis yang masih tetap duduk di tempatnya.
Wut! "Uts!"
Dengan gerakan indah, kedua anak muda yang tengah duduk itu memiringkan tubuhnya, menghindari terjangan pisau. Selanjutnya tanpa menoleh, tangan kiri mereka menghantam ke belakang.
Wus! "Aaa...!"
Kedua pemuda yang berbaju putih itu kontan terpelanting menabrak meja di belakang, begitu dua sambaran tangan telak menghantam tubuh mereka.
Ki Rungkut kontan tercekat. Wajahnya berubah pucat seperti mayat ketika melihat dua pemuda yang dikenalnya tewas secara menyedihkan dengan perut koyak. Laki-laki tua ini terdiam di tempatnya tanpa dapat berkata apa-apa. Terlebih-lebih, setelah melihat mayat pemuda di depannya dalam keadaan perut terkoyak berlumuran darah.
Sementara itu pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang ini hanya menyeringai kejam. Mereka bangkit berdiri. Sedangkan di pintu kedai telah didatangi orang-orang yang sempat mendengar jeritan dua pemuda tadi.
"Minggir kalian semua!" teriak sebuah suara.
Ketika mereka menoleh ke arah pintu, di sana telah berdiri tiga orang laki-laki berbaju merah dan berwajah angker penuh wibawa. Melihat siapa yang datang, Ki Rungkut tergopoh-gopoh datang menghampir. Namun...
"Manusia tidak tahu diri! Mampus...!"
Langkah Ki Rungkut seakan tertahan ketika terdengar bentakan keras dari belakangnya, disertai menderunya angin kencang menebarkan angin dingin menusuk tulang.
Angin kencang laksana topan ini menderu, dan langsung menghamtam punggung Ki Rungkut.
Splash...! "Aaa...!"
Ki Rungkut kontan tersungkur ke depan, dan tewas seketika dengan tubuh hangus!
Sementara, kedua anak muda tadi terus mengumbar pukulan jarak jauhnya. Akibatnya, kembali meluruk angin dingin ke arah orang-orang yang berkumpul dekat pintu.
"Awas...!"
Tiga laki laki berbaju merah yang baru datang berteriak memperingati. Dan seketika itu pula mereka langsung melompat ke samping kiri mencari selamat.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Kembali terdengar teriakan mengerikan. Orang-orang di depan kedai rupanya terhantam angin pukulan yang dilepaskan pemuda berbaju kembang-kembang.
Tiga laki-laki berbaju merah yang ternyata adalah Tiga Pendekar Golok Terbang tampak ter-kesiap kaget. Mata mereka terbelalak lebar, seakan tidak percaya dengan apa yang terlihat. Tadi, ketiga pendekar pengiring Adipati Danu Tirta ini memang sempat mendengar teriakan. Dan atas persetujuan adipati, mereka langsung mendatangi kedai milik Ki Rungkut itu.
? *** ? 2 ? "Manusia-manusia keji!" bentak laki-laki ber-cambang lebat ini, salah seorang dari Tiga Pende-kar Golok Terbang yang paling tua. Namanya, Wi-sesa.
Sementara itu gadis dan pemuda baju kembang-kembang ini hanya tersenyum. Wajah mereka yang dingin menyimpan maut, tampak tegak menantang.
"Kalian manusia baju merah! Menyingkir dari hadapan kami kalau bdak ingin menerima nasib yang sama!" perintah gadis berbaju kembang-kembang, seperti meremehkan. Kedua anak muda ini sudah berdiri, dan hendak melangkah. Tapi....
"Setelah membunuh orang-orang tidak ber-dosa di wilayah kekuasaan Adipati Blambangan, kalian kira dapat pergi dari tempat ini begitu saja"!" dengus Wisesa, menghalangi langkah kedua orang asing ini.
"Kalau kami mau pergi, tidak seorang pun yang dapat menghalangi! Tidak peduli adipati ataupun raja sekalipun!"
"Witara, dan kau Permana! Kurung mereka!" teriak Wisesa memberi perintah pada dua adikseperguruannya
Tanpa diperintah dua kali, Witara dan Permana segera mengepung pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang. Tapi sungguh mengherankan, kedua anak muda ini tampak tenang-tenang saja. Sedikit pun mereka tidak memperlihatkan sikap gentar.
"Majulah kalau kalian benar-benar ingin ko-nyol!" dengus gadis di sebelah pemuda baju kem-bang-kembang.
"Kurang ajar!" maki Wisesa.
"Hiyaaa...!"
Belum sempat Wisesa melakukan serangan, Witara sudah menerjang ke depan. Menyadari la-wannya sangat berbahaya, langsung dilepaskannya pukulan 'Tinju Geledek', yang selama ini memang tidak pernah diragukan kehebatannya. Maka seketika seleret sinar warna merah, kuning, dan hitam menderu dahsyat menghantam pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang.
Kedua muda-mudi ini hanya menggumam tidak jelas. Namun laksana kilat, sambil berkelit ke kanan dan kiri, mereka jentikkan jemari tangan.
Wus! Saat itu juga seleret sinar hitam pekat disertai gelombang angin dingin melesat dari ujung jemari kedua muda mudi ini, melabrak pukulan menebar hawa panas yang dilepaskan Witara.
"Gila! Ups...!"
Glar! Satu ledakan keras menggelegar terdengar, membuat orang-orang yang ikut menyaksikan adu kedigdayaan itu berlari cerai berai menyelamatkan diri. Bahkan bangunan kedai ini sampai terguncang keras. Perabotan-perabotan di dalamnya hancur berantakan.
Sementara itu tubuh Witara tergetar. Dadanya terasa sesak dan sangat sulit bernapas. Sementara kedua orang asing itu hanya terhuyung-huyung sambil memegangi dada.
Melihat kenyataan ini, Wisesa dan Permana segera menyerbu. Tubuh mereka berkelebat laksana bayang-bayang saja.
Sret! "Hiya! Hiyaaa...!"
Golok besar di tangan dua dari Tiga Pendekar Tolok Terbang menderu deru menimbulkan angin kencang bersiuran. Itulah jurus 'Golok Pengusir Iblis', salah satu jurus terhebat yang dimiliki Tiga Pendekar Golok Terbang.
Sebaliknya, kedua anak muda itu mempergunakan jurus-jurus tangan kosong yang tidak kalah hebatnya. Dan mereka terus menghindari sebap datangnya serangan yang sangat mematikan. Terkadang dengan gerakan sangat ringan dan gesit mereka melancarkan serangan balasan mempergunakan jemari tangan terpentang yang berwarna hitam, mengandung racun keji.
Semakin lama, pertempuran semakin meng-hebat. Ketika Wirata ikut bergabung membantu saudara seperguruannya, maka hanya dalam waktu singkat pemuda dan gadis baju kembang-kembang itu sudah tidak dapat lagi melepaskan pukulan pukulan mautnya.
"Cecar! Bunuh...!" teriak Wisesa seperti orang kesetanan.
Golok di tangan Tiga Pendekar Golok Terbang menderu-deru laksana terbang. Bayangan merah dan bayangan putih tampak terus berkelebat, me-nyambar, menyodok, atau menebas ke batang le-her dua orang asing ini.
Pemuda dan gadis baju kembang-kembang terpaksa hanya berkelit menghindar. Namun pada satu kesempatan mereka melepaskan tendangan menggeledek ke arah Wisesa dan Permana.
Kedua laki-laki berumur empat puluh tahun ini terpaksa menarik balik serangannya. Lalu sambil melompat ke depan, mereka menebaskan golok ke bagian kaki kedua lawannya masing-masing.
"Hiyaaa...!"
Pemuda yang mendapat serangan golok Wisesa sama sekali tidak menduga akan mendapat serangan balik begitu rupa. Cepat bagai kilat, kakinya ditarik dengan gugup. Tapi gerakannya kalah cepat.
Cres! Aneh! Ketika kaki pemuda baju kembang-kembang itu putus terbabat senjata Wisesa, sama sekali tidak terdengar jerit kesakitan. Sambil menyeringai pemuda itu bertarung dengan terpincang-pincang.
Sedangkan gadis yang sedang menghadapi serangan gencar Witara, tampak berteriak marah. Bahkan dia hendak melepaskan pukulan 'Racun Perenggut Nyawa'. Tapi sebelum tangannya sem-pat bergerak, golok di tangan Witara berkelebat menyambar.
Wus! Cres! "Hugkh...!
Terdengar keluhan pendek, saat tangan kanan gadis baju kembang-kembang ini jatuh ke lantai.
"Heh"!"
Witara dan dua saudara seperguruannya tampak memekik kaget. Bagaimana tidak. Darah yang mengalir dari luka di pangkal lengan gadis itu bu-kannya berwarna merah, tapi berwarna hitam pe-kat. Bahkan menebarkan bau busuk seperti bangkai.
"Hap...!"
Kini gadis dan pemuda baju kembang-kembang yang dalam keadaan terluka ini menerjang ke arah Tiga Pendekar Golok Terbang. Namun serangan-serangan yang dilakukan tak segencar tadi.
"Bunuh manusia setan ini!" kembali Wisesa memberi perintah.
Golok besar Wisesa berkelebat ke arah gadis berbaju kembang-kembang. Bersamaan dengan itu, dari arah lain menderu pula senjata yang sama membabat punggung dan dada pemuda asing ini.
Gerakan Witara dan Permana cepat bukan main. Sehingga, pemuda baju kembang-kembang sudah tidak punya kesempatan menghindar. Dan dia hanya mampu menangkis dengan tangannya. Akibatnya...
Cres! "Aaa...!"
Pemuda baju kembang-kembang melolong be-gitu tangannya buntung terbabat golok Wisesa. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, dadanya telah robek disambar golok Permana. Cairan yang hitam berbau busuk mengucur membasahi bajunya. Lalu tubuhnya jatuh terduduk, dan ambruk tidak berkutik lagi.
Bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan gadis baju kembang-kembang yang ambruk ter-kapar. Tubuhnya nyaris terpotong-potong. Dia berkelojotan sebelum dijemput ajal. Matanya melotot, seperti mau melompat keluar. Tidak lama, terdiam untuk selama-lamanya.
"Hei... lihat...!" desis Wisesa, saat melihat perubahan yang terjadi pada mayat di depannya.
Kedua mayat itu ternyata hanya dalam waktu sangat singkat telah berubah menyusut dan membusuk. Lalu, tercium bau busuk yang demikian menusuk. Seketika meremang bulu kuduk Tiga Pendekar Golok Terbang, melihat kenyataan yang tidak pernah diduga sama sekali!
"Mayat hidup! Jadi kita telah bertarung mela-wan mayat hidup?" sentak Permana dengan mulut ternganga lebar.
"Kita harus melaporlan kejadian yang sangat aneh ini pada adipati...!" ujar Wisesa.
"Mari!" timpal Witara.
Dengan tergesa-gesa, mereka meninggalkan kedai yang porak-poranda. Dan hanya dalam waktu singkat, kejadian menggemparkan itu tersebar ke mana-mana.
? *** ? Seekor kuda berbulu hitam berlari cepat laksana kilat ke arah utara. Di atas punggungnya terlihat seorang pemuda gagah berompi putih. Sesekali terdengar teriakannya sambil menggebah kuda tunggangannya. Pemuda menyandang pedang bergagang kepala burung di punggung itu tidak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan kuda tunggangannya yang berbulu hitam sudah pasti Dewa Bayu. Melihat arah yang ditempuh, tampak Pendekar Rajawali Sakti memang sedang menuju Kadipaten Blambangan.
Menurut kabar yang didengar, suasana Kadipaten Blambangan yang biasanya aman tenteram, sekarang memang sedang dalam keadaan kisruh. Bahkan boleh dibilang terancam oleh terjadinya pembunuhan di mana-mana.
Sudah sangat banyak korban yang berjatuhan. Bahkan Rangga pun sempat mendengar kalau ke-luarga dekat Adipati Danu Tirta juga tidak luput menjadi sasaran. Kenyataan ini membuatnya jadi penasaran mengingat, dia sendiri kenal baik Adipati Blambangan.
Hanya saja, sampai saat ini tidak jelas, siapa pembunuh terselubung teka-teki itu. Yang jelas menurut kabar, sejak kejadian di Desa Sindang Sari, di mana Tiga Pendekar Golok Terbang yang menjadi pengiring adipati, telah berhasil menangkap sekaligus membunuh dua orang pembuat onar. Dan ternyata, kedua orang itu berupa mayat hidup! Mungkinkah ada mayat-mayat hidup lain yang hendak membalas dendam"
"Aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan sepak terjang mayat-mayat hidup yang membunuhi orang tak berdosa itu," kata Rangga dalam hati". Eeeh..., apakah yang terjadi di depan sana?"
Pendekar Rajawali Sakti melihat burung-bu-rung gagak dalam jumlah besar tampak terbang rendah menyambar-nyambar ke arah benda-benda berwarna hitam yang terdapat di bawahnya.
Merasa heran, Rangga langsung menggebah Dewa Bayu lebih cepat lagi. Kuda itu pun melesat laksana kilat. Tak heran kalau dalam waktu singkat, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tempat yang dicurigai.
"Hooop...!" Rangga berseru keras sambil me-narik tali kekangnya. Maka kuda yang ditungganginya berhenti tiba-tiba.
Tapi mata pemuda berwajah tampan berompi putih ini langsung terpentang lebar, ketika melihat benda hitam yang dilihatnya dari kejauhan tadi ternyata mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan hangus seperti terbakar.
"Aneh! Tidak ada kebakaran! Apa yang terjadi dengan orang-orang ini?" desis Rangga heran.
Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat dari punggung kudanya. Langsung dihampirinya mayat-mayat itu. Sejenak ditelitinya keadaan mayat yang bergeletakan. Tapi, dia tidak menemukan tanda-tanda mencurigakan. Memang di sekitar mayat seperti pernah terjadi pertempuran. Mungkin waktu telah berlalu dua atau tiga hari. Tapi, sungguh aneh"! Mengapa mayat-mayat itu demikian rusaknya"
"Mereka tewas karena racun yang sangat keji. Dan rasanya, pukulan beracun seperti ini belum pernah kutemui dalam waktu-waktu sebelumnya," kata Rangga bergumam sendiri.
Sejenak Pendekar Rajawali Sakti memperha-tikan suasana sekelilingnya. Matahari senja hanya meninggalkan semburat merah saja. Tentu sebentar lagi hari akan berubah gelap. Sedangkan letak Kadipaten Blambangan masih jauh lagi. Karena tidak menemukan apa-apa di situ, Rangga memutuskan untuk melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
Kini Pendekar Rajawali Sakti mendekati Dewa Bayu. Diusap-usapnya tengkuk binatang itu sebentar. Di lain saat, Rangga telah berada di atas punggung kudanya. Dewa Bayu digebah perlahan, menuju utara.
Belum lagi jauh Rangga menggebah kudanya, terdengar teriakan-teriakan perempuan meminta tolong. Saat itu kegelapan mulai menyelimuti alam sekitarnya.
Dengan tergesa-gesa, pemuda ini menghentikan kudanya. Setelah memperhatikan suasana sekelilingnya namun tidak juga melihat tanda-tanda mencurigakan, Rangga segera mengerahkan aji 'Tatar Netra', yang digabung dengan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dengan demikian Rangga dapat melihat dan mendengar pada jarak yang cukup jauh dan tersembunyi.
Mata Pendekar Rajawali Sakti bergerak liarmencari-cari. Sampai akhirnya, di sebuah kerim-bunan semak belukar matanya melihat seorang laki-laki sedang berusaha memperkosa seorang gadis yang nyaris telanjang.
Bibir Rangga langsung mengatup rapat. Kudanya segera dipacu ke arah tempat kejadian yang menjijikkan itu. Semakin dekat dirinya dengan tempat kejadian, semakin bertambah jelas teriakan minta tolong.
"He he he...! Walaupun kau menjerit setinggi langit, tidak seorang pun yang dapat mendengar jeritanmu! Tidak ada manusia di sekitar tempat ini, kecuali kita berdua!" dengus laki-laki bertampang angker itu sambil menjatuhkan ciuman bertubi-tubi ke bagian dada perempuan yang tampak semakin tidak berdaya ini! "Sekarang, sudah tiba saatnya bagi kita bersenang-senang!"
Tampaknya, sekejap lagi gadis malang itu segera akan kehilangan segala-galanya. Namun tiba-tiba saja berkelebat sosok bayangan putih menyambar punggung laki-laki bertampang angker ini.
Duk! "Hugkh...!"
Laki-laki itu menjerit kesakitan ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Tu-buhnya kontan terjengkang. Sementara, gadis yang merasa terbebas dari laki-laki yang bermaksud menodainya itu segera bangkit berdiri. Setelah membenahi pakaiannya yang awut-awutan, segera dia menghambur dan memeluk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Menepilah, Nisanak...!" ujar Rangga sambil melepaskan pelukan gadis itu.
"Kurang ajar! Siapa kau"!" bentak laki-laki berbaju kembang-kembang ini dengan wajah beri-ngas.
Rangga tersenyum. Tatapan matanya yang ta-jam menusuk, jelas-jelas menyimpan kejijikan terhadap laki-laki bercambang dan berkumis tebal yang berdiri bertolak pinggang di depannya.
"Aku Rangga! Selamanya, aku tidak suka melihat tindakan menjijikkan di depan mataku!" sahut Rangga dingin berwibawa.
"Bangsat! Kau jangan mencoba-coba mencam-puri urusan Gagak Merah jika tidak ingin mencari mati! Menyingkir! Dan, kembalikan gadis itu jika ingin selamat!" perintah laki-laki yang mengaku bernama Gagak Merah berapi-api.
Rangga hanya tersenyum. Kepalanya lantas berpaling pada gadis yang berdiri ketakutan di be-lakangnya. Ketika mata mereka saling bertemu, Rangga merasa hatinya jadi tidak enak. Seperti ada sesuatu yang terasa, namun Rangga tidak tahu apa penyebabnya.
"Bagaimana, Nisanak" Apakah kau mau dengan laki-laki muka monyet yang hampir memperkosamu?" tanya Rangga.
"Cih! Siapa sudi!" dengus gadis itu seraya memalingkan mukanya ke arah lain.
Rangga kembali berpaling pada laki-laki di depannya
"Nah! Apakah kau dengar kalau dia tidak mau bersamamu?" ejek Rangga, sinis.
"Hm. Semua ini gara-gara kelancanganmu! Kau harus menyerahkan nyawa, karena telah mencampuri urusanku!" teriak Gagak Merah.
Tanpa memberi kesempatan lagi, Gagak Merah langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Satu serangan yang begitu cepat datangnya menderu menghantam dada dan bagian perut.
Sambil membentak keras pemuda berompi putih ini melesat ke udara. Begitu tubuhnya melesat turun ke bawah, Pendekar Rajawali Sakti telah mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa'. Kaki kanannya menendang bagian kepala.
Gagak Merah tercekat. Sama sekali tidak diduga dalam keadaan meluncur turun, pemuda itu sempat melepaskan tendangan dahsyat sedemikian rupa. Untuk menyelamatkan kepalanya dari kehancuran, terpaksa tangannya ditarik pulang. Dan dia langsung menjatuhkan diri sambil terus bergulingan menghindari serangan pemuda berompi putih ini.
"Bangsat terkutuk!" maki Gagak Merah.
Laki-laki berwajah angker ini bangkit berdiri.
Tatapan matanya yang redup seakan tidak bergairah memandang tajam pada Rangga. Dan orang yang dipandang hanya mendengus.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja Gagak Merah merentangkan kedua tangannya di depan dada. Selanjutnya de-ngan jurus-jurus tidak menentu, dia menggebrak Rangga. Tubuh laki-laki bertampang angker ini melompat ke depan, melepaskan satu tendangan ganas.
Rangga sempat terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat serangan lawan yang tidak teratur dan cepat bukan main. Celakanya lagi, serangan-serangan gencar yang menebarkan angin dingin itu selalu terarah pada bagian bagian tubuh yang mematikan.
Di satu kesempatan, Gagak Merah berusaha mencengkeram bagian lambung Rangga. Sedang-kan tangan kiri mengincar bagian mata.
Serangan kilat yang dilakukan dalam waktu bersamaan ini, memang sangat sulit dihindari. Maka demi menyelamatkan diri, dengan penuh keyakinan Rangga menghantamkan tinju kanannya. Sedangkan kaki kanan menderu ke arah bagian selangkangan.
Buk! Des! Plak! "Hup!"
Rangga menggeram keras. Tangan kanannya yang membentur jemari tangan Gagak Merah te-rasa dingin dan bergetar. Bahkan jalan darahnya terasa sempat tersendat. Untung saja tubuhnya tak sampai terhuyung-huyung, karena dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti sudah dapat memperbaiki keseimbangannya.
"Hebat!" puji Gagak Merah.
Laki-laki ini tampaknya dalam keadaan biasa-biasa saja. Seakan dia tidak merasakan akibat apa-apa dari pertemuan tenaga dalam tadi. Bahkan sekarang telah melancarkan serangan ganas kembali.
Rangga cepat melompat mundur tiga langkah. Kaki kanannya digeser ke samping satu langkah. Selanjutnya sambil berteriak nyaring, dikerahkan-nya jurus 'Seribu Rajawali'
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti sekarang berkelebat cepat bagai tiupan angin topan. Bahkan tubuhnya seakan berubah menjadi banyak ketika mengitari lawannya.
Hanya dalam waktu singkat, Gagak Merah merasa seperti kebingungan. Setiap tendangan maupun pukulan beruntun yang dilepaskannya selalu mengenai bayangan semu dari Pendekar Rajawali Sakti.
Maka, semakin bertambah murkalah laki-laki bertampang dingin ini. Bahkan kini tenaga dalam-nya mulai dikerahkan untuk melepaskan pukulan andalan 'Bayangan Perenggut Nyawa'.
Begitu Gagak Merah mengalirkan tenaga da-lamnya ke bagian telapak tangan, hanya dalam waktu sekejap kedua telapak tangannya yang ter-pentang telah berubah hitam pekat seperti arang. Kemudian tercium bau busuk bercampur amis darah yang sangat menusuk.
Rangga segera menyadari kalau laki-laki di depannya hendak melepaskan pukulan yang sangat keji. Maka tanpa menunggu lagi, Pendekar Rajawali Sakti juga bersiap-siap melepaskan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sambil membuat gerakan bagai kepakan sayap rajawali. Rangga mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangannya.
? *** ? 3 ? Hanya dalam waktu yang sangat singkat kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti telah berubah memerah laksana bara.
Gagak Merah terkesiap. Mulutnya menggu-mam tidak jelas. Sementara di belakang Rangga terdengar seruan kaget gadis yang ditolongnya.
Gagak Merah kini sudah menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan 'Bayangan Pereng-gut Nyawa' ke arah Rangga. Seketika seleret warna hitam pekat menimbulkan hawa dingin membeku kan bergulung-gulung.
Kening Rangga berkerut tajam saat merasakan betapa dinginnya angin pukulan yang menderu ke arahnya. Maka tanpa membuang waktu lagi, kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Wus! Saat itu juga meluruk sinar merah berhawa panas menghabuskan, menyongsong pukulan yang dilepaskan Gagak Merah. Dan....
Glar! "Aaa...!"
Dua kali ledakan berturut-turut terasa meng-guncang tempat di sekitar pertempuran yang disertai jerit kematian. Tampak dua sosok tubuh ter-hempas. Yang satu memakai baju kembang-kembang. Sedangkan yang satunya lagi tidak lain dari pemuda berompi putih.
Pohon-pohon di sekitar tempat ini yang terkena sambaran pukulan dahsyat bertumbangan. Daun-daun berguguran. Rangga merasa dadanya seperti pecah. Kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut. Dengan pandangan nanar, Pendekar Rajawali Sakti berusaha bangkit berdiri. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk mengusir kunang kunang yang seakan bermain di depan matanya. Ketika melihat ke depan, lawannya yang mengaku berjuluk Gagak Merah telah dalam keadaan hangus. Mati.
Namun belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega, dari arah samping kiri terdengar suara angin menderu. Rangga terperangah. Cepat kepalanya berpaling ke arah datangnya suara mencurigakan tadi. Ternyata satu jotosan hendak menghantam wajahnya. Tak sempat lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menghindar. Dan....
Buk! "Akh...!"


Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Mayat Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga kontan jatuh terguling-guling begitu satu pukulan telak mendarat di wajahnya. Darah mengucur dari sela-sela bibirnya. Wajah pemuda itu tampak bengkak membiru.
"Hi hi hi...! Mampuslah kau, Pemuda Tolol!"
Terdengar suara perempuan mengikik.
Sementara dengan tubuh terhuyung-huyung, Rangga bangkit berdiri. Dan saat menoleh ke arah penyerangnya, Pendekar Rajawali Sakti kontan terkejut.
"Kau...!"
"Hi hi hi...! Memang akulah orangnya, Kisanak. Melihat pukulan yang kau lepaskan tadi, rasanya dugaanku tidak salah pasti kaulah orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" dengus gadis berbaju kembang-kembang yang tadi telah ditolong Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapakah kau yang sebenarnya?" tanya Rangga, dingin. Tangannya telah terkepal menahan kemarahan.
"Hm. Apa perlunya menanyakan aku! Coba????? perhatikan bajuku, Pendekar Rajawali Sakti! Apa-?? kah kau tidak dapat melihat kesamaan antara aku dengan orang yang kau bunuh?" dengus gadis itu tersenyum mengejek.
Mata Rangga membulat lebar. Di bawah cahaya bulan purnama, dengan jelas terlihat baju kembang-kembang yang dipakai gadis ini.
"Jadi, kau sebenarnya kawan manusia bangsat itu?" Rangga menggeram marah.
"Memang," sahut gadis itu, enteng.
"Kau dengan sengaja menjebakku! Mengapa?" sentak Rangga. semakin jengkel.
"Kami hanya menjalankan tugas dan orang yang sangat kami hormati. Dan kau tidak layak bertanya!" kata gadis ini keras, hingga membuat wajah Rangga semakin memerah.
"Perempuan biadab!" desis Rangga.
Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mulai curiga pada gadis berbaju kembang-kembang ini. Jika ada yang menyuruh gadis di depannya, pastilah orang itu adalah tokoh sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Hal itu terbukti, Gagak Merah yang telah menjadi mayat, hanya dalam waktu singkat telah menjadi bangkai busuk. Tidak ada orang mati berubah membusuk dalam waktu singkat. Paling tidak, kabar yang diterima Rangga terbukti. Jadi, Gagak Merah dan gadis ini adalah mayat hidup!
"Yeaaah...!"
Belum sempat tuntas apa yang dipikirkan Rangga, gadis berbaju kembang-kembang ini membentak keras, kembali melancarkan serangan.
"Uts...!"
Rangga berkelit dengan melompat ke kanan, menghindari satu pukulan maut yang dilepaskan gadis itu.
Sring! Rangga tidak ingin membuang-buang waktu lagi, langsung Pedang Pusaka Rajawali Sakti dica-but dari warangkanya. Saat itu juga cahaya biru berkilau memendar. Dan laksana kilat, senjata maut Pendekar Rajawali Sakti dikibaskan ke arah gadis itu, yang saat ini tengah mendesaknya.
"Yeaaah...!"
"Iiih...!"
Gadis baju kembang-kembang yang hanya mengandalkan tangan kosong ini terpaksa menarik balik serangannya. Dan pada saat yang sama, Pedang Pusaka Rajawali Sakti menyodok perut. Gerakan Pendekar Rajawali Sakti tampak cepat bukan main. Terpaksa gadis itu bersalto ke belakang menyelamatkan diri.
Rangga terus memburu. Namun, langkahnya langsung tertahan begitu melihat lawannya mele-paskan satu pukulan jarak jauh. Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya. Maka dalam waktu singkat, tubuh pemuda itu telah terbungkus sinar biru berkilauan dari pedangnya. Sementara, pukulan jarak jauh dari gadis itu terus meluruk, menghantam sinar biru yang melindungi Rangga.
Des! "Heh"!"
Pukulan 'Bayang Perenggut Nyawa' yang dilepaskan gadis baju kembang-kembang ini rupanya tidak sanggup menembus perisai yang dibuat Pendekar Rajawali Sakti.
Belum hilang keterkejutan gadis ini, Rangga telah berteriak nyaring dengan tubuh meluruk keras ke arahnya. Pedang di tangannya berkelebat menyambar, hingga membuat mata perih.
"Hiyaaa...!"
"Heh..."!"
Gadis baju kembang-kembang terkejut setengah mati, melihat tidak ada kesempatan untuk berkelit atau menyelamatkan diri. Dan...
Cras! "Aaa...!"
Diiringi satu jeritan melengking tinggi, gadis berbaju kembang-kembang mengejang kaku begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti menyambar perutnya. Begitu tubuhnya ambruk, gadis itu menggelepar-gelepar sesaat. Lalu diam, tak berkutik lagi.
Trek! "Hm," gumam Rangga tidak jelas.
Untuk yang kedua kalinya, Pendekar Rajawali Sakti kembali menyaksikan satu keanehan yang sungguh-sungguh membuatnya heran. Dari luka di perut gadis baju kembang-kembang itu mengeluarkan cairan berwarna hitam. Bukan merah seperti darah. Kemudian tubuh itu membusuk cepat dan tampak menyusut, menimbulkan kerut merut di sana-sini. Bau busuk bangkai menebar, menyengat hidung.
Rangga merasa perutnya mual hendak muntah. Tanpa menunggu lebih lama, Pendekar Rajawali Sakti memutar langkahnya, menghampiri kuda tunggangannya yang sedang merumput di bawah sebatang pohon rindang. Kemudian dia melompat naik ke punggung Dewa Bayu.
"Mari, Dewa Bayu! Kita tinggalkan tempat ini secepatnya!"
Rangga menggebah Dewa Bayu. Dalam kegelapan malam kuda berbulu hitam pekat itu berlari cepat menuju Kadipaten Blambangan.
? *** ? Kediaman Adipati Danu Tirta yang memang besar dan mewah, pada malam hari selalu dijaga ketat oleh para pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Terlebih-lebih setelah beberapa anggota keluarganya tewas terbunuh di tangan orang-orang yang tidak dikenal.
Adipati Danu Tirta memang sengaja melipat-gandakan penjagaan. Selain bertujuan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diingini, juga demi keselamatan seluruh keluarganya.
Malam ini beberapa pengawal kadipaten sedang duduk duduk di balik tembok tinggi, di bela-kang pintu utama istana kadipaten. Dan tiba-tiba, mereka mendengar derap langkah kuda mendekat.
"Siaga semuanya!" perintah pengawal utama.
Laki-laki berbadan tegap itu bangkit dari tempatnya. Melalui sebuah lubang, dia mengintip keluar. Pada saat yang sama, seorang pemuda berompi putih tampak menghentikan kuda tunggangannya, tepat di depan pintu utama yang dalam keadaan tertutup rapat.
"Hm. Dugaanku ternyata tidak meleset! Paman Adipati sekarang benar-benar meningkatkan penjagaan! Bagaimana aku harus menghubungi pengawal" Tidak seorang pun terlihat dari sini!" gumam pemuda itu pelan.
"Siapa di luar?" tanya laki-laki yang berpangkat pengawal kepala, setelah mendengar gumaman pemuda itu.
"Pengawal! Tolong bukakan pintu!"
Pengawal itu menjadi jengkel, karena perta-nyaannya tidak dijawab.
"Pintu ini tertutup untuk orang luar yang tidak dikenal. Terkecuali, mau menyebutkan nama atau gelar, dan tujuan datang kemari malam-malam begini!" sahut pengawal itu.
"Aku Rangga! Paman Danu Tirta adalah saha-bat baikku! Aku ingin bertemu, dan membicarakan persoalan yang sangat penting dengannya!" sahut pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau begitu, tunggu dulu di situ. Aku akan memberitahu adipati, apakah betau kenal, denganmu atau tidak!"
"Diamput!" maki Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mendengar langkahpengawal menjauh. Tidak lama Rangga menunggu. Sebentar saja, telinganya mendengar langkah kaki mendekati pintu.
"Kau beruntung! Ternyata adipati memang mengenalmu!" kata pengawal kepala tadi, setelah tiba di dekat pintu.
Pintu Gerbang terbuka. Tampak seorang laki-laki berbaju pengawal muncul di ambang pintu. Dengan tergesa-gesa Rangga menggebah kudanya. Ke arah sebuah pohon. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari atas punggung kudanya. Setelah menambatkan kudanya di bawah pohon rindang ini, Rangga berbalik. Dan persis di depan pintu pemuda itu melihat seorang laki-laki berbaju putih berkumis tipis tengah menunggunya dengan sikap tidak sabar.
"Maaf, Paman! Aku datang agak terlambat!" ucap Rangga seraya menjura dalam-dalam.
Adipati Danu Tirta tersenyum ramah. Namun di mata Rangga, senyum itu terasa dipaksakan. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti melihat wajah adipati ini tampak menyimpan gundah.
"Masuklah, Rangga! Sudah lama aku menunggu kedatanganmu!" ujar laki-laki setengah baya ini, mempersilakan.
Dengan diikuti Pendekar Rajawali Sakti, Adipati Danu Tirta melangkah menuju ruangan tamu. Suasana di dalam ruangan ini cukup sunyi. Sementara di luar sana, beberapa orang pengawal tampak hilir mudik melakukan tugasnya.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Rangga! Mim-pi-mimpi itulah yang mempertemukan kita! Hingga akhirnya, malam ini kita dapat bertemu muka secara langsung," kata Adipati Blambangan ini.
"Memang benar Aku pun merasa demikian. Oh ya, Paman. Bagaimana keadaan di Blambangan ini!" tanya Rangga, berusaha mengusir keheningan suasana.
"Aku pribadi dalam keadaan sehat-sehat saja. Tapi beberapa minggu terakhir ini, ada beberapa persoalan yang sangat merisaukan. Semua ini menyangkut keselamatan penduduk Kadipaten Blambangan, orang-orang persilatan, dan juga keselamatan keluargaku sendiri!" jelas Adipati Danu Tirta, pelan suaranya.
Rangga sendiri dapat memaklumi, betapa berat bagi Adipati Danu Tirta menghadapi cobaan yang dialami. Dan Rangga sendiri setelah berhadapan langsung, bertekad membantu dengan sepenuh hati.
"Paman! Tolong katakan padaku, apakah Paman tahu ciri-ciri pembunuh itu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti langsung pada pokok persoalan.
Laki-laki berbaju putih yang duduk di depan Rangga tampak menarik napas dalam-dalam. Tatapan matanya memandang lurus ke arah Rangga.
"Melihat secara langsung, aku belum pernah! Tapi melihat ciri-ciri korban yang dalam keadaan hangus, dugaanku pembunuh itu merupakan orang yang sama."
"Apakah orang itu memakai baju kembang-kembang?" tanya Rangga.
Adipati Danu Tirta tampak terkesiap. Matanya yang agak kecil, terbelalak lebar.
"Baju kembang-kembang?" desis Adipati Blambangan ini dengan mulut ternganga.
"Betul," sahut Rangga pendek.
"Apakah kau sendiri pernah melihatnya?" de-sak Adipati Danu Tirta, ingin tahu.
Rangga menggeleng. Melihat pembunuh itu belum pernah. Dan mungkin aku memang tidak pernah berjumpa. Hanya saja ketika menuju ke sini, aku melihat mayat-mayat bergelimpangan. Tubuh mereka dalam ke adaan hangus seperti yang Paman katakan. Tidak jauh dari tempat itu pula, aku bentrok dengan seorang laki-laki dan wanita berbaju kembang-kembang! Mereka tampaknya memang sengaja menjebakku," jelas Rangga.
"Menjebak bagaimana?"
"Semula aku melihat seorang wanita seperti akan diperkosa oleh laki-laki berbaju kembang-kembang. Tapi..., ketika aku berhasil membunuh si pemerkosa, tiba-tiba wanita itu menyerangku ..!"
"Hm, aneh! Sungguh aneh sekali!" desis Adipati Danu Tirta.
"Dunia ini memang dipenuhi berbagai ke-anehan, Paman. Tapi lebih aneh lagi, ketika aku berhasil merobohkan mereka. Darah yang keluar dari luka-luka di tubuh mereka, berwarna hitam. Bukan merah seperti pada umumnya. Selain itu, tercium bau bangkai busuk!"
Adipati Danu Tirta semakin tercengang-ce-ngang. Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang sama dengan kejadian yang dilihatnya di kedai beberapa hari lalu. Bagaimana mungkin semuanya bisa sama"
"Bagaimana pendapat Paman tentang ini?" tanya Rangga setelah terdiam lama.
"Sama, Rangga! Sama...!" kata Adipati Danu Tirta.
Rangga terheran-heran.
"Apa yang sama?" tanya Rangga.
"Tiga Pendekar Golok Terbang juga pernah bentrok dengan seorang pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang. Ketika tewas, dari luka-luka di tubuh kedua anak muda itu mengalir darah hitam. Tubuh mereka juga menyusut seperti bangkai," jelas laki-laki setengah baya ini.
Rangga terdiam. Kali ini dia benar-benar tidak dapat menyembunyikan keheranannya. Dan apa yang didengarnya selama ini terbukti. Mengapapembunuh itu selalu memakai baju yang sama dan berpasang-pasangan" Mungkinkah mereka diutus seseorang untuk menyebar keonaran. Ataukah semua ini hanya tipuan saja" Rangga merasa sekarang sedang menghadapi sebuah persoalan sangat rumit.
"Apakah yang kau pikirkan. Rangga?"
'Eeeh" Tidak! Aku mulai dapat menduga, mungkin orang-orang itu hanya utusan seseorang untuk menyebar darah di mana-mana. Oh, ya... Apakah Paman punya musuh?"
Adipati Danu Tirta terdiam. Keningnya mengerut dalam.
"Kukira aku tidak punya musuh seorang pun. Kalaupun ada, itu dulu. Tapi semua itu adalah kesalahannya sendiri. Sekarang, dia sudah mati.
"Siapakah musuh Paman itu?" desak Rangga.
"Masih saudara seperguruanku! Namanya, Nyi Kajar Asih! Dia seorang gadis cantik, tapi sakti mandraguna. Dia tewas di tanganku karena telah membunuh guru," jelas adipati ini.
"Apakah Paman yakin tentang kematiannya?" tanya Rangga, ingin memastikan.
"Tentu saja aku meyakininya. Karena dia tewas di tanganku sendiri"! Mengapa kau menanyakannya, Rangga?" tanya Adipati Danu Tirta tidak mengerti.
Rangga tersenyum.
"Menurut pesan yang disampaikan padaku, kabarnya lebih banyak keluarga dekat Paman yang terbunuh! Secara pasti, aku belum dapat menyimpulkan. Hanya keyakinanku rasanya tidak mungkin keluarga Paman diusik, jika memang tidak ada persoalan-persoalan tertentu."
"Kurasa bukan begitu masalahnya, Rangga!" tukas Adipati Danu Tirta. "Aku merasa hubunganku dengan orang lain sangat baik. Jadi, mustahil mereka membenciku!"
"Memang sangat sulit untuk menentukan, siapa orangnya yang berdiri di balik semua peristiwa ini. Tapi aku berjanji untuk membantu Paman semampuku!?? tegas Rangga meyakinkan.
Wajah Adipati Danu Tirta berubah berseri-seri. Bagaimanapun hatinya merasa yakin dengan ke-mampuan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebelumnya, aku mengucapkan terima kasih terhadap niat baikmu, Rangga!" ucap Adipati Danu Tirta.
"Tidak usah berlebih-lebihan, Paman. Aku belum berbuat sesuatu sahut Rangga, mendesah.
Suasana di dalam ruangan ini kemudian berubah hening. Adipati Danu Tirta meminta Pendekar Rajawali Sakti agar mau menginap di rumahnya.
? *** ? Melewati sisa-sisa malam di salah satu ruangan kamar yang disediakan Adipati Blambangan, Rangga benar-benar tidak dapat memejamkan matanya. Hatinya sendiri merasa bingung, bagaimana mungkin orang yang telah mati dapat dibangkitkan kembali" Siapa yang dapat melakukannya" Jika orang itu adalah manusia sesat yang memiliki ilmu hitam, paling tidak memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam membuat keresahan dengan sepak terjangnya.
"Aku harus melakukan sesuatu! Aku merasa, Adipati Danu Tirta sengaja menyembunyikan satu rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain," kata Rangga dalam hati. "Untuk mencari dalang dari semua peristiwa yang terjadi, paling tidak aku harus menemukan sumbernya. Namun..., di mana aku harus mencarinya"'
Rangga menjadi ragu-ragu. Seingatku, di Kadipaten Blambangan tidak ada tempat-tempat tersembunyi yang mungkin dijadikan pusat kegiatan seseorang untuk melakukan tindak kejahatan. Apa pun yang ada dalam benak si pembunuh, yang jelas mungkin saja mengincar sesuatu yang sangat penting. Atau bahkan, mereka memang mengincar nyawa Adipati Blambangan. Rangga makin tidak mengerti. Disertai hembusan napas dalam-dalam, Pendekar Rajawali Sakti berusaha memejamkan matanya.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 155. Misteri Mayat Darah Bag. 4, 5 dan 6
4. Januar 2015 um 07:50
4 ? Sendang Sari seperti desa mati, setelah peris-tiwa-peristiwa pembunuhan terjadi. Setiap malam, bahkan sejak sore, rumah-rumah penduduk sudah tertutup rapat. Banyak para penduduk lebih memilih diam berada di dalam rumah, daripada berkeliaran. Ronda di daerah itu semakin ditingkatkan. Di setiap sudut jalan utama, tampak orang-orang berjaga dengan sikap waspada. Hampir sepanjang malam, penduduk diliputi keresahan dan ketegangan. Bagaimana tidak" Setiap saat pembunuh itu dapat datang dan pergi seperti setan.
Di tengah-tengah kesunyian di depan rumah mertua Adipati Danu Tirta yang bernama Ki Loka-pala beberapa pengawal sengaja ditempatkan di situ. Sedikit pun mereka tidak lengah dari tugasnya. Terlebih-lebih mengingat sakit laki-laki berusia enam puluhan ini yang kian hari bertambah parah.
Istri Ki Lokapala sendiri hampir tidak pernah beringsut meninggalkan tempat tidur suaminya. Tidak jarang bila penyakit suaminya kambuh, Nyai Lokapala menangis sesenggukan. Anehnya tidak seorang tabib pun yang didatangkan, dapat menyembuhkannya.
Malam ini panas badan Ki Lokapala meninggj. Berulang kali laki-laki tua ini mengigau. Bahkan berteriak-teriak. Hingga membuat sang istri menjadi bingung dan membuat resah para pengawal kadipaten yang bertugas di situ.
Dalam suasana serba gelap di halaman rumah Ki Lokapala, tidak seorang pun yang tahu kalau di bagian belakang tampak sosok tubuh berkelebat dari satu arah, mendekati bangunan ini.
Gerakan orang itu tampak ringan, tanpa me-nimbulkan suara sedikit pun. Pertanda kalau orang itu memiliki ilmu meringakan tubuh yang sangat sempurna.
Sementara di kejauhan, lolongan anjing terdengar mendayu-dayu mendirikan bulu roma. Sosok bertubuh ramping dengan dada membusung ini terus bergerak mendekati pintu dapur yang terkunci. Dengan satu keahlian yang dimilikinya, tanpa menimbulkan suara mencurigakan, pintu itu berhasil dibukanya. Karena bagian dalam keadaan terang benderang, maka tampak jelas wajah seorang perempuan berwajah cantik. Tapi, anehnya wajah itu tampak pucat. Bibirnya membiru, seakan tidak berdarah. Tatapan matanya liar, tanpa gairah hidup sama sekali.
Sebentar kemudian, wanita itu telah memasuki ruangan tengah. Matanya berputar-putar liar, meneliti suasana di sekitarnya. Setelah merasa yakin kalau tidak ada seorang pun yang melihat kehadirannya wanita ini mendekati pintu kamar lainnya. Di situ, telinganya mendengar suara orang merintih-rintih.
Dengan hati-hati wanita ini mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. Di dalam kamar, dia melihat seorang laki-laki tua berambut dan ber-jenggot serba putih tengah terbaring lemah tanpa berdaya. Tubuhnya kurus kering terbungkus kulit keriput. Dialah Ki Lokapala, mertua Adipati Danu Tirta.
"Siapakah kau, Nisanak...!" desis Nyai Lokapala, yang bernama asli Suntini kaget, melihat ke hadiran gadis berbaju kembang-kembang yang tidak dikenal sama sekali.
Gadis itu tersenyum. Tapi yang tampak hanya sebuah seringai kejam menggidikkan. Sehingga, membuat Nyai Suntini beringsut mundur, bersikap melindungi suaminya.
"Pergi! Sebelum aku memanggil para pengawal yang berjaga-jaga di luar sana!" desis Nyai Suntini mengancam.
"Tidak perlu bersikap kasar padaku Nyai! Apakah kau sudah tidak kenal padaku lagi?" kata gadis berbaju kembang-kembang dengan suara serak. Sementara kakinya mendekati pembaringan Ki Lokapala.
"Kau... siapa...?" tanya Nyai Suntini, begitu melihat senyum gadis ini yang terkuak lebar.
"Aku Dewi Sembadra, adik kandung Kakang Danu Tirta. Masa' kau tidak kenal adik menantumu sendiri?" kata gadis berbaju kembang-kembang yang mengaku sebagai adik kandung Adipati Danu Tirta.
Nyai Suntini tampak terlonjak kaget. Pung-gungnya seperti disengat kala berbisa. Matanya melotot, seperti mau melompat dari dalam rong-ganya.
"Kau"! Bukankah Dewi Sembadra telah me-ninggal dan telah dikuburkan delapan tahun yang lalu?" desis Nyai Suntini, seakan tidak percaya.
Wanita bernama Dewi Sembadra tersenyum lagi. Sungguh manis senyumnya. Namun semua itu tidak mampu menghapus kebekuan wajahnya yang dingin menyeramkan!
"Benar, Nyai! Semua ini memang kuakui. Tapi, ketahuilah. Sebenarnya aku sendiri tidak pernah mati. Aku bangkit dari kubur, karena malu diriku sudah dinyatakan mati. Maka, akhirnya aku pergi mengembara dan berguru dengan seorang tabib sakti. Kini, aku menjadi seorang tabib yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang tidak per-nah tersembuhkan orang lain. Jika kau tidak ke-beratan, aku pasti mampu menyembuhkan penyakit Ki Lokapala!
Nyai Suntini tampak ragu. Hatinya merasa yakin dengan penjelasan Dewi Sembadra. Terlebih-lebih setelah ingat peristiwa delapan tahun yang lalu. Kala itu, Dewi Sembadra menderita penyakit aneh yang tidak tersembuhkan. Dua bulan setelah penyakitnya tidak dapat disembuhkan, dia di nyatakan meninggal. Kini, bagaimana mungkin gadis itu dapat hidup kembali" Apakah mungkin Adipati Danu Tirta menantunya salah melihat" Keragu-raguan yang menyelimuti hati Nyai Suntini membuat kepalanya menggeleng-geleng.
Namun karena gadis yang mengaku sebagai Dewi Sembadra ini terus-menerus mendesak dan membujuknya, ditambah lagi pengaruh aneh yang terpancar dari tatapan mata, maka tanpa disadari Nyai Suntini menyetujuinya juga.
"Lihatlah baik-baik, Nyai"!" kata Dewi Sembadra setengah memerintah.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Nyai Sunbni menuruti perintah gadis berbaju kembang-kembang ini. Pada saat itu jemari tangan Dewi Sembadra mulai mengurut-urut bagian bagian tertentu, sampai akhirnya ke pangkal leher Ki Lokapala.
"Aaa...!"
Ki Lokapala tiba-tiba saja menjerit setinggi langit. Tubuhnya berubah membiru seketika dan tampak mengejang kaku. Matanya melotot dengan mulut ternganga lebar. Dari setiap pori-porinya, menetes darah berwarna merah kehitam-kehitaman. Tubuh Ki Lokapala menggelepar sejenak, lalu diam untuk selama-lamanya.
Nyai Suntini kaget bukan main. Wanita ini menjerit sekeras-kerasnya melihat kematian suaminya. Sebentar dipeluknya jenazah suami tercinta yang sudah berubah biru ini. Namun sebentar kemudian, dia sudah berpaling ke arah gadis baju kembang-kembang.
Sementara pengawal yang berada di depan, begitu mendengar suara jeritan tadi, langsung menghambur ke dalam kamar mertua sang adipati. Dan ketika melihat ada gadis asing di situ, mereka langsung mengurung Dewi Sembadra.
"Kau benar-benar betina iblis! Pengawal! Bu-nuh manusia keparat ini...!" teriak Nyai Suntini.
Belasan pengawal yang berada di ruangan ini langsung menerjang ke arah gadis berbaju kem-bang-kembang. Sementara, Nyai Suntini yang memiliki kepandaian silat cukup lumayan, segera mencabut pedang pendek yang tergantung di din-ding kamar suaminya. Namun demikian, dia belum menerjunkan diri dalam mengeroyok gadis itu.
Sret! Sret! Bet! Slap! "Yeaaah...!"
Dengan pedang terhunus, mereka menyabet-kan pedang ke arah sepuluh jalan darah di tubuh gadis itu. Serangan ini tidak dapat dianggap enteng, karena dilakukan dalam waktu bersamaan. Namun anehnya, Dewi Sembadra malah tertawa mengikik seram. Lalu dengan satu liukan indah, lima tusukan pedang berhasil dihindarinya. Bahkan tiba-tiba saja telapak tangannya yang terkembang mengibas cepat. Lalu"
Plak! Des! "Hugkh...!"
Dua pengawal terhuyung-huyung. Tangan mereka terasa bergetar hebat. Bahkan telapak tangan terasa dingin, seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum.
? *** ? Nyai Suntini kaget bukan main melihat kenyataan ini. Sama sekali tidak diduga gadis yang mengaku Dewi Sembadra ini memiliki kepandaian tinggi. Padahal, dulu dia dikenal sebagai gadis lemah. Bahkan serangan-serangan gencar yang dilakukan para pengawal tidak berhasil melukai tubuhnya. Dan Nyai Suntini tahu betul, menantunya telah menempatkan pengawal-pengawal berkepandaian lumayan.
"Bunuh! Jangan biarkan manusia iblis ini lolos'' teriak Nyai Suntini memberi semangat pada para pengawal.
"Hm.... Kalian hanya manusia-manusia tidak berguna yang akan mati konyol di tanganku! dengus gadis berbaju kembang-kembang geram.
Tangan Dewi Sembadra kemudian berputar sedemikian rupa. Seketika dari telapak tangannya, melesat sinar hitam bergulung-gulung, menebarkan hawa dingin membekukan darah, sekaligus menebarkan bau wangi bunga kenanga.
Para pengawal yang terus melancarkan serangan-serangan ganasnya tampak terkesiap. Pedang di tangan mereka sama sekali tidak dapat menembus sinar hitam yang mengurung tubuh Dewi Sembadra.
"Heaaah...!" teriak pengawal yang berada di barisan paling depan sambil menyodokkan pedang ke bagian perut Dewi Sembadra.
Namun sungguh aneh pedang itu seakan tertahan dan sulit digerakkan. Di lain kejap, tangan Dewi Sembadra yang telah berubah menghitam menghantam ke depan.
Wus! Glar! "Aaa...!"
Terdengar suara jerit kematian saat itu juga. Beberapa pengawal yang terkena pukulan jarak jauh gadis itu langsung terpelanting roboh. Tubuh mereka melejang-lejang, kemudian diam membe-ku dalam keadaan hangus seperti terbakar.
Semakin bertambah kaget sajalah semua mata yang melihat kejadian ini. Beberapa orang pe-ngawal, meskipun telah berubah ciut nyalinya, langsung memperhebat serangan. Bahkan Nyai Suntini yang sejak tadi mengawasi pertempuran, sekarang sudah ikut ambil bagian menggempur Dewi Sembadra yang ternyata memang memiliki ilmu pukulan dahsyat dan sangat mematikan.
"Perempuan biadab! Makanlah senjataku Ini..! Hiyaaa...!"
Disertai teriakan lantang, Nyai Sunbni mengibaskan pedangnya ke bagian dada Dewi Sembadra.
Cepat bagai kilat gadis itu menggeser langkah nya ke belakang. Lalu dengan cepat, dia menarik tubuhnya dari hujaman mata pedang ditangan Nyai Suntini.
Melihat serangannya luput, Nyai Suntini menggerutukkan rahangnya. Dia menjadi kalap bukan main. Bagaimanapun jurus pedang yang dimainkannya, merupakan jurus ampuh. Dan jika Dewi Sembadra dapat menghindari, tentu tidak dapat dianggap enteng.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Nyai Suntini membangun serangan kembali. Tubuhnya berkelebat cepat. Pedang di tangannya bergerak membabat, menusuk, bahkan menderu ke bagian kepala gadis ini. Tidak dapat disangkal lagi. Itulah jurus 'Camar Menepis Buih' yang dikeluarkan Nyai Suntini. Sebuah jurus paling tinggi yang pernah dimilikinya.
Dalam beberapa jurus, Dewi Sembadra tampak terdesak. Terlebih-lebih ketika sisa-sisa pengawal ikut mencecarnya dari jurusan lain. Bahkan kini dua mata pedang di tangan pengawal menyambar pinggang dan punggung Dewi Sembadra.
Bet! Slap! Gadis baju kembang-kembang ini menjatuhkan diri, dan terus berguling-gulingan menghindari serangan yang sangat ganas. Tapi dari arah samping, tendangan Nyai Suntini menghantam bahunya.
Buk! "Hugkh"!"
Dewi Sembada memekik kaget, begitu tubuhnya terhantam tendangan. Anehnya, akibat tendangan itu seperti tidak dirasakannya. Nyai Suntini menjadi sangat marah. Pedangnya langsung dihujamkan ke dada.
Pada saat yang sangat gawat itu, untung Dewi Sembadra segera melepaskan pukulan 'Bayangan Perenggut Nyawa' yang sangat dahsyat.
Wus! Empat leret sinar hitam pekat yang menebarkan bau busuk langsung menerjang ke arah pengawal dan Nyai Suntini. Mertua perempuan Adipati Blambangan ini, karena berada begitu dekat dengan lawannya, sudah tidak sempat lagi me-nyelamatkan diri. Satu-satunya yang dapat dilakukan adalah memutar pedang pendek di tangannya untuk melindungi diri. Seketika itu pula sinar putih tampak bergulung-gulung mengurung dirinya.
Kini sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Dewi Sembadra langsung menghantam sinar putih keperakan dari pedang pendek yang melindungi tubuh Nyai Suntini.
Glar! Glar! Empat kali ledakan berturut-turut terdengar menggelegar, mengguncangkan rumah yang cukup besar ini. Bahkan ledakan dahsyat tadi diwarnai suara jerit orang-orang yang meregang ajal.
Tubuh Nyai Suntini tampak terlempar menghantam tembok. Kepalanya pecah seketika. Demikian juga pengawal-pengawal yang berada di belakangnya ini. Mereka tewas dengan tubuh berubah menghitam, setelah sinar hitam tadi terus meluncur ke arah mereka.
Dengan sikap angker, Dewi Sembadra memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. Senyum sinis tampak menghiasi wajahnya yang dingin. Ketika tubuhnya diputar dan bermaksud meninggalkan tempat itu, telinganya mendengar rintihan seseorang.
Hanya sekali melompat saja, sampailah gadis ini di depan seorang pengawal yang sempat lolos dari pukulan mautnya. Pengawal ini berusaha bangkit berdiri. Namun, gadis berbaju kembang-kembang ini menginjak punggungnya. Sehingga, membuat pengawal itu jatuh menelungkup kembali.
"Ampun! Aku masih ingin hidup...!" rintih si pengawal yang sudah berubah lumer nyalinya, melihat kehebatan gadis itu.
"Aku adalah utusan pencabut nyawa. Jadi bagaimana mungkin kau dapat kuampuni"!" dengus Dewi Sembadra.
"Aku mohon, jangan...!"
"Hm. Begitu" Sekarang, berdirilah. Permin-taanmu mungkin dapat kupertimbangkan. Asal kau dapat menjalankan apa yang kuperintahkan padamu," ujar Dewi Sembadra lagi.
"Ap.., apa...?" tanya pengawal ini, bergegas berdiri.
Gadis berbaju kembang-kembang itu kemudian mengeluarkan sebuah benda terbuat dari kulit beruang.
"Kau serahkan pesanku ini pada Adipati Blambangan! Katakan semua apa yang terjadi terhadap mertuanya di sini!" perintah Dewi Sembadra.
"Baik.... Aku akan menyerahkannya," tandas pengawal dengan suara bergetar ketakutan.
Gadis itu segera menyerahkan kulit binatang ditangannya pada laki-laki itu. Kemudian diceng-keramnya leher pengawal ini hingga mengeluarkan darah.
"Akh...! Apa yang kau lakukan...?" teriak pengawal bertubuh kurus itu. Rasa sakit seperti tersengat binatang berbisa mulai terasa menjalari sekujur tubuhnya.
Dewi Sembadra tertawa lebar. Matanya memandang sinis pada pengawal malang ini.
"Kalau kau dapat menyampaikan wasiat itu pada Adipati Blambangan, kemungkinan besar kau akan selamat. Tapi jika kau tidak dapat menyampaikannya, mungkin sebelum sampai di Kadipaten Blambangan nyawamu sudah melayang terbang ke neraka...!"
"Kkk..., kau jangan ragu. Aku pasti akan me-nyampaikannya. Tapi..., kumohon bebaskan aku dari kematian," ratap laki laki kurus itu.
"Jangan banyak mulut, Manusia Tolol! Lekas kerjakan perintahku...!" bentak Dewi Sembadra lantang.
"Baik, aku segera berangkat. Tapi, kuminta padamu untuk mem...!"
Pengawal ini menghentikan ucapannya. Tubuhnya yang sudah panas dingin ini bergetar keras, kerika menyadari gadis berbaju kembang-kembang tadi sudah lenyap dari hadapannya.
Setelah memutar langkah, laki-laki itu berlari-an mendapatkan seekor kuda tunggangannya yang terdapat di samping rumah Ki Lokapala.
? *** ? Seekor kuda yang ditunggangi sosok berpa-kaian prajurit telah memasuki halaman tempat kediaman Adipati Danu Tirta. Keadaan tubuhnya kian memburuk. Sekujur tubuhnya mulai berubah membiru. Sementara itu, panas badannya semakin meninggi. Ketika prajurit itu melompat turun dari punggung kudanya, tubuhnya tampak terhuyung-huyung. Beberapa pengawal lain yang melihat kehadirannya segera datang menghampiri.
"Hei?" Ada apa denganmu, Ludra" Mana ka-wan-kawan yang lain?" tanya pengawal kepala terheran-heran. Dan dia lebih tercengang lagi setelah melihat keadaan tubuh kawannya yang telah berubah membiru.
Pengawal bernama Ludra ini sama sekali tidak menjawab. Atau mungkin, dia memang sudah tidak kuasa lagi untuk menjawab pertanyaan. Dengan terhuyung-huyung, Ludra menaiki anak tangga batu dan langsung menuju ruangan lain, tempat adipati sedang berbincang-bincang dengan Rangga dan Tiga Pendekar Golok Terbang di ruangan tamu.
Pintu didorongnya dengan keras. Adipati Danu Tirta terkejut melihat kelancangan pengawal ini. Dia hampir saja membentak marah. Namun apa yang hampir disemburkannya terpaksa ditelan kembali begitu melihat keadaan pengawal yang telah berubah seperti mayat hidup.
"Yang mulia... Telah terjadi pembunuhan di Desa Sendang Sari. Hamba tidak dapat men...!"
Bruk! Pengawal ini tidak sanggup lagi meneruskan ucapannya. Tubuhnya terjengkang roboh. Nyawa-nya lepas seketika itu juga.
"Ludra apa yang telah terjadi?" tanya Adipati Danu Tirta, langsung tergesa-gesa segera datang menghampiri.
Sementara Rangga yang lebih awal sampai di depan Ludra, langsung melakukan pemeriksaan. Tampaknya memang tidak ada lagi yang dapat mereka perbuat, karena ternyata jiwa Ludra sudah tidak dapat diselamatkan lagi.
"Dia terserang racun yang sangat hebat, Paman! Racun itu telah merusak pembuluh darahnya dan juga menghancurkan jantung. Bagaimana mungkin laki-laki ini dapat bertahan hingga sampai ke tempat ini?" gumam Rangga tidak mengerti.
? *** ? 5 ? Semua orang yang berada di dalam ruangan rumah Adipati Blambangan tampak saling terdiam. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sementara Rangga yang merasa curiga, segera memeriksa sekujur tubuh prajurit yang bernama Ludra itu, yang telah menjadi mayat.
"Paman, aku yakin dia ingin menyampaikan sesuatu," ujar Rangga sambil berpaling pada Adi-pati Danu Tirta.
"Apa maksudnya?" tanya laki-laki berbaju pu-tih ini. Keningnya tampak berkerut dalam.
"Lihat ini!"
Rangga menunjukkan selembar kulit beruang yang ditemukannya pada salah satu saku Ludra. Langsung diserahkannya lembaran kulit itu pada adipati.
Adipati Danu Tirta segera membukanya. Ter-nyata, di dalam lembaran kulit beruang ini terdapat sebuah pesan. Laki-laki berbaju putih ini dengan cepat segera membacanya.
? Adipati Danu Tirta!
Mungkin kau telah melupakan peristiwa be-lasan tahun yang lalu. Apa yang pernah kau lakukan padaku, sekarang sudah tiba waktunya untuk membayar berikut bunga-bunganya sekalian. Jika kau punya pengawal, maka aku juga sekarang telah memiliki belasan orang-orang kepercayaan. Salah satu di antaranya adalah Dewi Sembadra.... Tunggulah. Danu Tirta! Waktu kematianmu semakin dekat lagi.
Pendekar Binal 5 Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah Malaikat Bukit Pasir 1

Cari Blog Ini