Ceritasilat Novel Online

Misteri Mayat Darah 2

Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Mayat Darah Bagian 2


Setan Perenggut Nyawa.
? Adipati Danu Turta jelas-jelas tidak dapat me-nyembunyikan rasa terkejutnya. Bibirnya tampak bergetar. Namun tidak sepatah kata pun yang ke-luar dari mulutnya. Wajahnya berubah pucat pasi. Kenyataan ini membuat semua orang yang ada di sekelilingnya jadi semakin bertanya-tanya dalam hati.
Tiba-tiba, Danu Tirta menyerahkan kulit beruang pada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti dengan cepat segera membacanya.
"Paman jelas-jelas mempunyai seorang musuh!" kata Rangga setelah selesai membaca tulisan yang tertera di atas kulit beruang, suaranya agak ditekan. "Mengapa Paman kemarin tidak berterus terang padaku?"
Adipati Danu Tirta mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat.? Rahangnya tampak menggembung, pertanda hawa amarah telah menguasai jiwanya. Silih berganti dipandangnya Pendekar Rajawali Sakti dan Tiga Pendekar Golok Terbang.
"Aku tidak tahu, siapa orang ini, Rangga! Belasan tahun sebelum sekarang ini, aku memang punya musuh. Tapi sebagaimana pernah kukata-kan, dua musuh besarku itu telah tewas di ujung pedangku!" tegas Danu Tirta, tidak ingin berla-rut-larut.
"Satu hal yang cukup mengherankan, sepengetahuan kami Dewi Sembadra telah meninggal setelah menderita penyakit aneh beberapa tahun yang lalu. Jadi, bagaimana mungkin Dewi Sembadra dapat digunakan untuk melawan kadipaten?" timpal Wisesa.
"Apakah mungkin orang yang sudah mati dapat bangkit kembali?" desis Witara, dengan pe-rasaan kecut.
Kening Adipati Danu Tirta mengerut dalam. Sekarang, seakan segala-galanya berubah menjadi jelas. Bukankah delapan tahun yang lalu banyak mayat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan diculik oleh seseorang" Di antaranya, adalah jenazah Dewi Sembadra.
Delapan tahun yang lalu, memang banyak mayat yang baru dikuburkan hilang secara aneh. Tidak peduli, apakah mayat itu berasal dari kalangan bangsawan, tokoh-tokoh persilatan, maupun rakyat jelata. Kuburan mereka terbongkar sedemikian rupa. Jenazah di dalamnya menghilang tanpa meninggalkan jejak atau petunjuk. Banyak anggota keluarga yang merasa kehilangan Jenazah saudaranya melakukan pencarian. Bahkan Adipati Danu Tirta mengerahkan belasan anak buahnya untuk mencari mayat adik kandungnya Dewi Sembadra yang meninggal karena penyakit aneh. Namun usaha pencarian itu hanya sia-sia saja. Tak satu jenazah pun yang berhasil ditemukan.
Tampaknya, penculik mayat memang tidak pandang bulu. Asalkan, yang meninggal itu telah dewasa. Tidak peduli laki-laki atau perempuan. Penculik tetap mengambilnya dari liang kubur. Tidak seorang pun yang tahu, untuk apa mayat-mayat itu. Semuanya tetap menjadi teka-teki sampai sekarang ini.
"Rangga. Apakah kau menemukan jawaban dari semua teka-teki ini?" tanya Adipati Danu Tirta.
Rangga menggeleng.
"Kalau kesimpulanku benar, mungkin orang-orang kepercayaan yang dimaksudkan tokoh itu adalah mayat-mayat yang pernah hilang dari kubur mereka. Termasuk, jenazah adik kandungku Dewi Sembadra...!"
"Maksud Paman, orang itu memiliki semacam ilmu iblis yang dapat membangkitkan orang yang sudah mati dalam waktu sekian tahun lamanya ...?" desis Rangga, terkejut.
"Bisa jadi begitu. Aku masih ingat ketika menghadapi pemuda dan gadis baju kembangkembang beberapa minggu yang lalu. Ketika mereka berhasil dilukai, darahnya berwarna hitam. Dan saat mereka roboh oleh pukulan kami, tubuh mereka dengan cepat berubah membusuk, seperti telah tewas selama beberapa hari," timpal Permana.
Rangga sendiri segera teringat pada kejadian yang pernah dialaminya. Apa yang dikatakan Per-mana, sama dengan apa yang pernah terjadi di depan matanya.
"Kalau begitu, jumlah mereka cukup banyak juga!" kata Rangga kemudian sambil menghembuskan napas dalam-dalam". Tapi aku yakin, jika kita dapat meringkus orang yang mengendalikan mayat-mayat hidup itu, mungkin persoalan lain dapat diatasi."
"Aku sependapat denganmu, Rangga!" dukung Adipati Blambangan. "Sekarang aku ingin mengutus Tiga Pendekar Golok Terbang untuk segera ke Desa Sendang Sari agar melihat apa yang terjadi. Sedangkan pada kau Rangga. Aku mohon bantuanmu untuk segera menyelidik ke Hutan Cagak Kemuning!"
"Mengapa harus ke Cagak Kemuning, Paman?" tanya Rangga.
"Karena menurutku, hanya tempat itulah yang cukup baik dijadikan tempat persembunyian oleh-orang yang menghendaki nyawaku," jelas Adipati Danu Tirta.
"Baiklah kalau begitu. Aku berangkat sekarang juga!" Rangga mohon diri.
? *** ? Sejak mendekati Hutan Cagak Kemuning, Dewa Bayu terus meringkik keras. Kuda berbulu hitam mengkilat ini tampak gelisah seperti ada sesuatu yang dirisaukan. Rangga mengelus-elus leher Dewa Bayu.
"Tenang, Dewa Bayu. Tidak perlu cemas. Aku senantiasa berada di sampingmu," gumam Rangga, pelan.
Pemuda ini merayapi tempat-tempat yang di-anggap mencurigakan dengan sudut mata. Hutan Cagak Kemuning begitu hijau dan indah, namun terasa begitu menyeramkan.
Dewa Bayu kembali memperdengarkan ring-kikan gelisah. Rangga sempat terheran-heran. Kini dirasakan kalau bulu kudanya meremang berdiri. Nalurinya mengatakan, ada beberapa pasang mata terus mengawasi gerak-geriknya.
Sambil bersikap penuh waspada terhadap se-gala kemungkinan yang mungkin bakal terjadi, Pendekar Rajawali Sakti membelokkan kudanya ke sebelah kanan, ke arah semak-semak dan pohon-pohon berdaun rindang.
Pada saat itulah Pendekar Rajawali Sakti mendengar suara berdesir dari atas pohon-pohon yang terdapat di kanan dirinya. Bahkan mendadak saja, beberapa buah benda berwarna hitam melesat melebihi kecepatan anak panah ke arah Rangga. Namun laksana kilat, pemuda berompi putih ini segera mendorongkan kedua tangannya ke arah empat penjuru.
Seketika itu pula angin kencang melesat dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak bergulung-gulung, menyapu benda hitam yang ternyata berupa batu-batu kecil dengan ujung sangat tajam melebihi anak panah.
"Jika seseorang telah begitu berani memasuki daerah orang lain, maka tidak ada pilihan baginya terkecuali mati!"
Tiba-tiba terdengar suara ancaman seseorang yang disertai dengan suara tawa berkepanjangan.
Rangga terkesiap. Matanya langsung merayapi ke arah suara tadi berasal. Kemudian dari atas pohon-pohon besar di sekelilingnya, tampak melesat beberapa sosok tubuh ke arahnya. Setelah menjejakkan kakinya di atas permukaan tanah, lima orang laki-laki berbaju kembang-kembang langsung mengurung Rangga.
Kening pemuda berompi putih ini makin ber-kerut dalam melihat kehadiran lima laki-laki berbaju kembang-kembang. Tidak salah lagi. Sudah dapat diduga, bahwa orang-orang yang mengepungnya adalah mayat-mayat hidup yang telah dibangkitkan, oleh seorang tokoh yang menginginkan jiwa Adipati Danu Tirta!
"Lebih baik kau menyerah, Pendekar Rajawali Sakti!" desis salah seorang.
Rangga tersentak kaget. Bagaimana mungkin orang-orang ini dapat mengenalinya"
"Kalian meminta aku menyerah?" ejek Rangga tersenyum. Wajahnya yang tampan berubah dingin." Jika kalian mau menunjukkan padaku, siapa orang yang telah membangkitkan kalian, mungkin aku akan mempertimbangkan keinginan kalian."
"Manusia sombong! Bunuh dia!" teriak laki-laki berbadan tinggi tegap berwajah pucat.
Serentak empat orang mayat hidup langsung menyerang Rangga dari empat penjuru. Sungguh-pun dalam setiap tindakan mereka sama sekali tidak pernah mempergunakan senjata. Terkecuali, pukulan yang sangat dahsyat. Namun serangan tangan kosong mereka juga tidak dapat dianggap enteng. Angin pukulan yang sempat menyambar wajah Rangga terasa dingin menusuk tulang.
"Heaaah...! Hup!"
Rangga berteriak melengking tinggi. Tubuhnya melesat ke udara dengan kecepatan laksana kilat. Di lain saat, Pendekar Rajawali Sakti telah meluncur lagi ke bawah mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kakinya mengibas-ngibas, langsung menderu ke bagian kepala mayat-mayat hidup itu. Dan mayat hidup sempat melihat datangnya serangan balik ini. Sedangkan dua lainnya tidak sempat menyelamatkan kepalanya dari serangan Rangga. Dan"
"Hiyaaa...!"
Diegkh...! PrakK! "Aaa...!"
Dua laki-laki itu menjerit keras ketika kaki Rangga yang terisi tenaga dalam menghantam re-muk kepala mereka. Tiga lainnya tersentak. Sama sekali tidak diduga kalau pemuda itu mempunyai kepandaian yang sangat tangguh. Sambil mengge-ram marah, ketiga laki-laki ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi di atas kepala.
Hanya dalam waktu singkat, kedua tangan mereka telah berubah menghitam. Sadar kalau lawan-lawannya sedang bersiap-siap melepaskan pukulan maut, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau bersikap ayal-ayalan lagi. Maka begitu menjejak tanah, Rangga bersiap-siap melepaskan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Hanya dalam waktu singkat, telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti telah berubah merah laksana bara.
"Heaaah...!"
Wus! Begitu Pendekar Rajawali Sakti menghentak-kan tangannya, seleret sinar merah menghanguskan melesat laksana kilat ke arah sinar hitam yang dilepaskan mayat-mayat hidup itu. Angin kencang menderu tidak ubahnya seperti badai topan prahara. Pohon-pohon di sekeliling mereka bergetar hebat. Dan"
Glar! Glar! "Wuagkh...!"
Terjadi ledakan dahsyat berturut-turut. Tiga mayat hidup kontan terpelanting ke arah berla-wanan.
Sementara Rangga sendiri tampak terhuyung-huyung. Sungguhpun mampu merobohkan lawan-lawannya yang rata-rata memiliki tenaga dalam beberapa tingkat di bawahnya, namun Pendekar Rajawali Sakti sendiri sempat menderita luka dalam.
Pendekar Rajawali Sakti langsung duduk ber-sila. Matanya terpejam, tubuhnya tampak mengu-curkan keringat dingin. Dengan cepat, segera di-kerahkannya hawa murni ke bagian dadanya. Tidak sampai sepemakan sirih, Pendekar Rajawali Sakti telah membuka matanya kembali. Wajahnya yang pucat, kini telah berubah kemerah-merahan kembali.
"Hm. Tokoh aneh itu ternyata memang sengaja membangkitkan mayat-mayat hidup ini untuk menguras tenagaku! Benar-benar gila!" desis Rangga, sambil menggeleng-geleng.
Pemuda berompi putih ini segera bangkit berdiri. Segera dihampirinya Dewa Bayu untuk meneruskan perjalanannya kembali merambah Hutan Cagak Kemuning.
*** Tiga Pendekar Golok Terbang yang mendapat tugas melihat keadaan mertua Adipati Danu Turta di Desa Sedang Sari, telah memasuki daerah yang dituju. Hanya ada beberapa hal yang membuat ke tiga laki-laki berbaju merah ini jadi terheran-heran. Pertama, adalah mengenai penduduk di sekitarnya yang tampak memadati halaman rumah Ki Lokapala. Selain itu, mereka juga melihat deretan mayat-mayat yang telah siap dikebumikan.
"Celaka! Kita semua terlambat sampai di sini!" desis Permana.
Dengan tergesa-gesa, mereka melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Kepala Desa Sindang Sari yang bernama Ki Dara, tampak menghampiri.
"Apa yang terjadi di sini. Paman?" tanya Wisesa tidak sabar.
"Maafkan kami semua, Raden. Kami tidak mampu melindungi Ki Lokapala dan Nyai Suntini...!"
"Katakan, apa yang terjadi dengan mereka!" sentak Witara tampak gugup.
"Seseorang yang mengaku sebagai Dewi Sembadra, telah membunuh mertua kanjeng adipati."
"Eeeh...!" desis Tiga Pendekar Golok Terbang.
Tiga Pendekar Golok Terbang saling berpan-dangan. Lalu mereka kontan teringat tentang pesan yang ditulis di atas kulit beruang. Kalau begini kenyataannya, sudah jelas pesan itu memang tidak dapat dianggap main-main.
Wisesa melirik ke arah kerumunan orang-orang di sekitarnya. Dengan langkah tersendat, didekatinya kerumunan itu.
"Mengapa begini banyak orang-orang yang tewas?" tanya Wisesa, setelah melihat deretan jenazah yang telah terbungkus kain.
"Mereka adalah para pengawal yang ditempat-kan di sini, Raden!" jelas Ki Dara.
"Orang-orang itu benar-benar telah melak-sanakan tugasnya dengan baik. Sayang, kita datang tertambat!" ujar Permana kagum. "Ki Dara! Sebaiknya, kau perintahkan orang-orang di sini untuk menguburkan jenazah Ki Lokapala dan istri berikut para pengawal!"
"Segera kami lakukan, Raden...!" jawab Ki Dara.
Sebentar kemudian, laki-laki tua itu sudah memerintahkan penduduk yang tampak berkumpul di situ untuk mengusung para jenazah ke tempat peristirahatan yang terakhir. Iring-iringan jenazah segera diberangkatkan menuju pekuburan terdekat.
Sekarang, tinggallah Tiga Pendekar Golok Terbang berada di rumah Ki Lokapala. Mereka duduk-duduk di teras depan, dan tampak saling diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Angin senja bertiup perlahan, membawa kekalutan dari seluruh peristiwa yang tidak pernah terpecahkan.
"Bagaimana" Apakah kita harus kembali ke kadipaten untuk melaporkan semua yang terjadi di sini pada adipati?" tanya Permana, memecah keheningan.
"Rasanya percuma saja kita ke sana. Ki Lokapala sudah tewas bersama istrinya. Sedangkan pembunuh masih tetap berkeliaran bebas," timpal Witara. "Sebaiknya, begini saja. Aku dan Permana menunggu di sini sampai tengah malam nanti. Sedangkan Kakang Wisesa, sekarang juga kalau bisa kembali ke kadipaten melapor pada adipati!"
"Aku tidak setuju! Aku yang tertua di antara kalian berdua. Jadi mana tega aku meninggalkan kalian di sini," bantah Wisesa kurang sependapat. "Sebaiknya, Permana saja yang berangkat ke kadipaten! Biarkan aku dan kau menunggu di sini."
"Tapi...!"
"Sudah tidak usah tapi-tapian lagi, Permana. Lekas berangkat sekarang sebelum hari gelap!" kata Witara tegas.
Permana memang tidak ingin membantah pe-rintah kedua saudara seperguruannya. Setelah berpamitan pada Wisesa dan Witara, Permana meninggalkan tempat itu.
Udara senja semakin bertambah dingin. Suasana di sekeliling rumah besar itu terasa begitu sunyi mencekam. Namun kesunyian itu tidak berlangsung lama. Anjing milik almarhum Ki Lokapala di belakang rumah menyalak keras.
"Kau dengar suara itu?" tanya Witara, meman-dang tajam pada Wisesa yang berdiri bersandar pada dinding tidak jauh di belakangnya.
"Hanya suara anjing biasa," sahut Wisesa.
"Tapi aku merasa seperti ada sesuatu di bela-kang sana! Lihat! Bulu kudukku meremang berdiri!" desis Witara, langsung bangkit berdiri. Matanya memandang lurus ke belakang. Namun, dia tidak melihat sesuatu apa pun mencurigakan di belakang sana.
"Ada apa?" tanya Wisesa.
Lama kelamaan, rupanya orang tertua dari Tiga Pendekar Golok Terbang menjadi curiga juga. Sekarang, bahkan dia keluar menuju halaman samping. Di situ tepat di bawah pohon mangga, langkakinya terhenti dengan tiba-tiba. Wisesa mengendus-endus dan berusaha mempertajam penciumannya.
Dengan jelas, Wisesa mencium bau harum bunga kenanga. Tidak jauh di belakangnya, Witara menyusul. Sama seperti kakak seperguruannya, laki-laki berkumis tipis ini juga mulai mengendus-endus tidak ubahnya seperti seekor kucing yang mencium bau harum makanan.
"Ada yang tidak beres di belakang sana, Witara!" gumam Wisesa. Suaranya nyaris tidak terdengar.
"Ya" Dan, anjing di belakang sana mengapa tiba-tiba saja terdiam?" timpal Witara. Matanya jelalatan menyapu pandang ke tempat tempat yang dianggapnya mencurigakan.
"Mari kita ke sana" desah Wisesa merasa tidak enak.
Witara mengangguk. Dengan hati-hati, kedua saudara seperguruan ini menuju ke belakang. Setelah melewati sudut rumah, mereka tampak tercekat. Tidak jauh di depan sana, tampak seekor anjing besar berbulu coklat terkapar mati dengan lidah terjulur dan mata melotot.
"Coba kita lihat!" bisik Witara di telinga saudara seperguruannya.
"Jangan! Barangkali semua itu hanya jebakan saja!" sergah Wisesa ragu-ragu.
"Tapi, kita perlu tahu apa yang membuat anjing itu mati! Aku yakin, seseorang pasti membunuhnya!"
"Memang! Justru itu kita harus berhati-hati," tegas Wisesa mengingatkan.
Tanpa sadar, Wisesa meraba pinggangnya yang terdapat golok besar menggelantung.
? *** ? 6 ? Witara dan Wisesa terus mengawasi suasana sekelilingnya dengan sikap waspada. Tepat di de-pan anjing yang terkapar mati, mereka berhenti.
"Lihat! Mata anjing ini berubah menghitam seperti hangus!" seru Wisesa.
"Astaga! Binatang ini dibunuh dengan racun yang sangat keji!" Witara menimpali." Aku yakin, pembunuhnya pasti masih berkeliaran di sekitar sini."
"Periksa rumah itu!" Wisesa memberi aba-aba. Dengan langkah sangat hati-hati, Witara meng-hampiri pintu dapur yang tampak tidak terkunci.????? Namun belum sempat tiba di situ, pintu itu terbuka lebar. Angin sedingin es seketika menderu.
"Awas, Witara...!"
Nyaris angin dingin itu melabrak tubuh Witara jika Wisesa tidak memperingatkan.
Wus! "Ikh...! Gila!"
Witara cepat bersalto beberapa kali menjauhi pintu. Kemudian kakinya berdiri tegak dengan napas mendengus tidak teratur.
"Bangsat pembunuh yang bersembunyi di da-lam! Harap keluar, tunjukkan diri!" bentak Wisesa marah.
Sesaat suasana di sekeliling berubah hening mencekam. Dari bagian dalam tidak terdengar ja-waban apa-apa.
"Manusia tengik yang ada di dalam. Cepat tun-jukan diri jika ingin selamat!" Wisesa mengulangi perintahnya.
Justru pada waktu bersamaan, seleret sinar hitam kembali melesat ke luar melabrak Wisesa. Laki-laki ini tidak tinggal diam. Segera dilepaskannya pukulan tangan kosong.
Seketika itu pula angin kencang disertai hawa panas luar biasa meluruk deras ke arah sinar hitam tadi.
Glar! Saat itu juga, terdengar suara benturan meng-geledek. Pintu dapur bobol, hancur porak-poranda. Tubuh Wisesa terhuyung-huyung, namun cepat memperbaiki keseimbangannya.
"Keparat!" geram laki-laki berbaju merah ini dalam hati.
Dari dalam rumah terdengar suara tawa mengikik panjang. Jelas, pemilik suaranya adalah seorang perempuan. Witara menduga-duga. Ternyata, dugaannya beralasan. Tidak lama, sosok tubuh dengan gerakan sangat indah sekali tampak melesat keluar dan menjejakkan kakinya tiga batang tombak di depan Wisesa dan Witara.
"Dewi Sembadra...!" seru kedua orang ini begitu mengenali siapa gadis berbaju kembang-kembang di depan mereka.
"Hi hi hi...! Kalian mengapa bengong begitu" Aku memang Dewi Sembadra!" kata gadis berbaju kembang-kembang mengakui.
"Bagaimana mungkin..." Dewi Sembadra te-lah meninggal delapan tahun yang lalu. Mustahil dapat hidup kembali...!" desis Witara, tidak per-caya.
"Hik hik hik...! Memang segalanya sulit diper-caya. Tapi, berkat pengorbanan darah dan kesak-tian orang yang kami junjung tinggi, terbukti kalian semua dapat melihatku kembali, bukan?" Dewi Sembadra tertawa mengejek.
"Jadi kaulah orangnya yang telah membunuh Ki Lokapala dan istrinya, berikut para pengawal kadipaten itu?" tanya Wisesa tidak sabar.
Gadis cantik di depan dua dari Tiga Pendekar Golok Terbang menyeringai lebar. Wajahnya yang pucat pasi tampak berubah mengerikan. Demikian juga tatapan matanya yang seakan tidak memiliki gairah hidup sekali. Mata itu sekarang tampak berbinar-binar, mengandung sinar aneh menyimpan kekejaman.
"Memang patut kuakui, aku yang bertanggung jawab dalam urusan kematian mereka!" dengusDewi Sembadra.
"Mengapa kau membunuhnya"!" bentak Witara.
"Membunuh siapa pun, memang merupakan tugas yang diberikan padaku. Bahkan aku juga sebentar lagi akan membunuh dua ekor tikus jelek yang sengaja menunggu datangnya kematian!"
Wisesa dan Witara saling berpandangan. Siapa pun orangnya yang dimaksudkan oleh gadis ini, tidak lain diri mereka sendiri.
"Coba katakan padaku, siapa orang yang me-nyuruhmu?" tanya Wisesa lebih jauh.
"Hi hi hi. Nanti kalau telah berada di neraka, kalian pasti segera tahu siapa orang yang menyu-ruhku. Maka itu, bersiap-siaplah untuk mati! Hiyaaa...!"
Dewi Sembadra tiba-tiba saja berteriak nyaring. Tubuhnya berkelebat cepat, sambil mengirimkan satu jotosan berisi tenaga dalam tinggi.
"Heiiit...!"
Dengan gerakan indah, Wisesa dan Witara langsung berkelit ke samping sebanyak dua lang-kah. Lalu dengan jurus 'Membelah Mega Menggu-lung Topan', mereka mengadakan serangan balik yang tidak kalah gencarnya.
"Bagus! Kalian telah berani melawan adik kandung majikan sendiri. Kalian pasti akan menjadi manusia yang merugi!" dengus gadis berbaju kembang kembang ini. Lalu tubuhnya berputar. Kemudian tangan dan kakinya menghantam deras perut dan tenggorokan lawannya.
"Manusia ini hanyalah rongsokan yang dimanfaafkan iblis! Lebih baik kita cincang dia seka-rang juga!" kata Witara melalui ilmu menyusup suara.
Rupanya Dewi Sembadra mampu juga mende-ngarnya. Sehingga sambil mendengus marah, se-rangannya semakin diperhebat.
Setiap jurus yang dilancarkan Dewi Sembadra mengandung racun yang sangat ganas. Bahkan jemari tangannya yang terkembang dan berkuku runcing menyambar-nyambar ke bagian-bagian tubuh Wisesa dan Witara.
"Hm," gumam Witara tidak jelas.
Sementara itu serangan-serangan yang dila-kukan Dewi Sembadra semakin cepat. Bahkan berkali-kali nyaris melukai lawan-lawannya.
"Heaaa...!"
Witara melompat mundur. Diberinya isyarat pada kakek seperguruannya. Lalu...
Sret! Sret! Bet! Kini sebilah golok besar tajam berkilat telah berada di dalam genggaman tangan Wisesa dan Witara. Sedangkan Dewi Sembadra hanya menye-ringai lebar.
"Bagus! Kalian telah mengeluarkan senjata! Hiyaaa...!" dengus gadis berbaju kembang-kem-bang ini.
Dewi Sembadra kemudian memutar tangannya sedemikian rupa. Putaran tangannya semakin lama semakin cepat bukan main. Sehingga, menimbulkan gelombang angin besar yang sangat dingin.
Witara terkesiap. Dari hembusan angin akibat putaran tangan lawannya saja, sudah bisa dipas-tikan kalau wanita itu sekarang telah bersiap-siap melepaskan pukulan beracunnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Wisesa, Witara langsung menerjang. Pertempuran jarak dekat terjadi! Golok besar di tangan dua dari Tiga Pendekar Golok Terbang berkelebat menyambar, sehingga menimbulkan deru angin disertai berkelebatnya sinar putih berkilauan. Golok itu membabat ke berbagai jalan kematian. Gerakan mereka cepat bukan main, sehingga membuat Dewi Sembadra tampak terdesak dan terus menerus bergerak mundur.
Bahkan dari arah belakang, serangan Witara juga tidak kalah gencar dan berbahayanya.
Sementara gadis yang telah meninggal delapan tahun yang lalu ini akhirnya terpaksa melompat ke udara. Namun sayang, golok besar di tangan Wisesa telah bergerak memotong terlebih dahulu. Sehingga dengan gugup dia berusaha menangkisnya.
"Heaaa...!"
Wut! Cras! "Aaakh...!"
Dewi Sembadra menjerit tertahan. Tangan ki-rinya yang dipergunakan untuk menangkis, terbabat putus oleh golok besar di tangan Wisesa. Dan puntungan tangan itu jatuh persis di depan kaki Dewi Sembadra. Darah langsung mengucur dari luka yang cukup mengerikan ini. Tapi, sungguh aneh. Warna darah yang mengucur dari luka itu juga berwarna hitam pekat.
"Bangsat rendah! Kalian segera merasakan betapa pedihnya pembalasanku!" teriak Dewi Sem-badra.
Seakan tidak menghiraukan luka yang diderita. Dan seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan dirinya, gadis berbaju kembang-kembang ini tiba-tiba saja menyilangkan tangan kanan ke depan dada. Wajahnya yang pucat tampak mengelam. Sementara, telapak tangannya telah berubah hitam. Malah perlahan-lahan bertambah hitam menggidikkan. Tangan yang telah teraliri tenaga dalam ini tampak mengepulkan uap hitam berbau menusuk.
Wisesa dan Witara tersentak kaget. Sadarlah mereka kalau lawan yang dihadapi sekarang telah mengerahkan pukulan 'Bayangan Perenggut Nya-wa'.
Sadar betapa berbahayanya pukulan tersebut, tanpa membuang waktu lagi kedua laki-laki ini memutar goloknya yang di tangan kiri. Sedangkan tangan kanan melepaskan pukulan 'Badai Gurun'.
"Hiyaaa!"
Wisesa dan Witara melompat tinggi. Tangan kanan mereka dihentakkan ke depan, bersamaan waktunya dengan datangnya sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Dewi Sembadra. Sinar hitam datang menggebu-gebu. Udara di sekeliling mereka berubah panas dan dingin. Lalu"
Blar! Terjadi benturan keras menggelegar saat dua pukulan sakti dan berisi tenaga dalam tinggi ber-temu di udara.
"Hugkh...!"
"Akh!"
Wisesa dan Witara jatuh terguling-guling sambil menutupi dada dan wajahnya yang seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum. Sedangkan Dewi Sembadra sendiri jatuh terduduk, dengan kaki menekuk. Darah meleleh dari sela-sela bibir Wisesa. Sedang dari hidung Witara juga tampak darah mengucur deras. Namun, laki-laki ini cepat bangkit berdiri setelah mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita.
"Dia ternyata menderita luka seperti kita, Ka-kang!" bisik Witara setelah melihat lawannya berusaha bangkit dan tempatnya.
"Jika bisa terluka dalam, tentu tubuhnya tidak kebal terhadap senjata. Kita telah memutus tangannya. Sekarang, hanya tinggal membereskannya saja!" timpal Wisesa.
'Tapi...!"
"Jangan ragu-ragu! Dia hanya berada dalam pengaruh iblis. Sedangkan tubuhnya hanya jasad Dewi Sembadra yang telah mati!" tegas Wisesa yang seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan adik seperguruannya.
Akhirnya, tanpa berpikir panjang lagi dua saudara seperguruan ini langsung menyerang kembali mengandalkan jurus 'Membalik Bukit Memupus Siluman'. Inilah salah satu jurus yang terhebat yang dimiliki Tiga Pendekar Golok Terbang. Senjata di tangan mereka berkelebat lenyap, seakan-akan telah berubah menjadi banyak. Sinar golok berkelebat mendengung-dengung.
"Ihhh...!"
Dewi Sembadra yang sudah terluka tampak terkejut bukan main. Laksana kilat, dia melompat ke belakang menghindari tebasan golok sejauh tiga batang tombak. Tampaknya dia juga tidak mau kalah. Sambil menggeram marah, dikerahkannya jurus 'Tameng Para Iblis'.
Tubuh Dewi Sembadra berkelebat menghindar. Di satu kesempatan dia melancarkan serangan balik ke arah Wisesa. Tendangan kakinya menderu deras, terarah pada bagian selangkangan Wisesa. Tapi sebelum serangan dahsyat itu mencapai sasarannya dan arah samping kiri golok di tangan Witara menebas.
Wus! Dewi Sembadra yang tidak menyangka datang-nya serangan lain, berusaha menarik balik kakinya. Tapi, terlambat. Karena...
Cras! "Hugkh...!"
Dewi Sembadra memekik kaget begitu kakinya terbabat putus oleh golok Witara. Tubuhnya mengejang. Darah menyembur dari kakinya yang putus. Dan belum sempat wanita itu berbuat apa-apa dari arah samping terlihat Wisesa juga menusukkan golok di tangan ke bagian perutnya.
"Heaaa...!"
Dengan terpincang-pincang Dewi Sembadra masih berusaha berkelit. Serangan Wisesa luput. Namun tanpa mengenal rasa putus asa, laki-laki ini berbalik. Golok di tangannya menyambar deras ke bagian dada Dewi Sembadra.
Cres! "Aaa...!"
Dewi Sembadra melolong panjang. Tubuhnyakontan terbanting keras. Darah berwarna hitam menyembur dari bagian luka di dadanya yang nyaris terputus menjadi dua bagian. Tubuhnya menggelepar sesaat, lalu terdiam mati.
Wisesa dan Witara terus memperhatikan keadaan lawannya ini. Lalu mereka tiba-tiba saja berseru kaget. Tanpa sadar mereka sempat mundur beberapa langkah. Bagaimana tidak" Wajah yang cantik mulus ini secara perlahan tampak berubah keriput seperti nenek renta berusia sembilan puluh tahun. Sekujur kulit tubuhnya juga mengendor, lalu membusuk cepat. Kemudian, tercium bau busuk yang begitu menusuk. Mayat Dewi Sembadra meleleh bagai mayat yang telah kehilangan nyawa lebih dari empat puluh hari.
"Benar-benar ilmu iblis!" desis Witara sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kalau tidak melihat sendiri apa yang terjadi di depannya, mungkin laki-laki berbaju merah ini tak akan percaya.
"Rupanya delapan tahun yang lalu, seorang tokoh telah menculik mayat-mayat dari dalam ku-bur, semata-mata hanya untuk dijadikan pesuruh setelah dibangkitkan dengan ilmu sesat," gumam Wisesa.
"Dunia ini memang dipenuhi berbagai ke-anehan, Kakang! Tapi alangkah baiknya kalau kita tnggalkan tempat ini secepatnya! Adipati Danu Tirta tampaknya membutuhkan pengawalan ketat!"
"Ayolah! Entah mengapa aku sendiri sekarang malah mengkhawatirkan keselamatan adipati," sahut Wisesa.
? *** ? Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti mene-ruskan perjalanannya sampai ke tengah-tengah Hutan Cagak Kemuning. Tapi anehnya, sampai se jauh itu tidak ditemui hambatan yang berarti lagi. Hingga akhirnya, sampailah Rangga di dataran yang agak tinggi. Di sini, Dewa Bayu kembali memperdengarkan ringkikan resah. Rangga meningkatkan kewaspadaannya. Matanya yang tajam menjelajahi sekitarnya. Sampai kemudian Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah dataran rendah. Keningnya tampak berkerut dalam ketika melihat satu keanehan di sana.
"Apa itu" Kulihat seperti peti mati. Tapi, mengapa jumlahnya begitu banyak?" kata Rangga, membatin.
Pendekar Rajawali Sakti akhirnya memutuskan untuk memeriksa suasana di dataran rendah yang mirip lembah kecil itu. Perlahan-lahan kuda dipacu.
"Diamlah di sini, Dewa Bayu! Aku ingin memeriksa peti-peti mati di depan sana!" ujar Rangga, lalu melompat turun.
Setelah mengelus-elus tengkuk Dewa Bayu, Rangga menghampiri peti-peti mati itu. Mulai di-telitinya keadaan peti mati yang agaknya sudah cukup tua. Dengan penasaran, Pendekar Rajawali Sakti membuka salah satu peti. Dan ternyata, se-luruhnya dalam keadaan kosong.
"Mungkin di sinilah orang itu membangkitkan mayat-mayat yang diculiknya delapan tahun lalu Eee" Ada kendi besar di sana!" desah Rangga.
Segera Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kendi berwarna hitam yang berada lima tombak di depannya.
"Hm... Bukan main busuknya bau kendi ini. Jelas..., jelas sekali sisa-sisa cairan di dalam kendi ini berubah darah yang sudah tidak terpakai. Sekarang, aku baru mengerti kalau sebenarnya mayat-mayat itu dibangkitkan kembali dengan bantuan darah ini," kata Rangga dalam hati. Tapi, mengapa aku tidak melihat ada orang di sini" Ataukah, orang itu telah meninggalkan Hutan Cagak Kemuning dan menyerbu ke Kadipaten Blambangan?"
Pendekar Rajawali Sakti tampak ragu-ragu. Dan belum juga keraguannya lenyap tiba-tiba saja satu hantaman keras menderu ke arah tulang rusuk kirinya.
Rangga tersentak kaget. Kehadiran orang yang menyerangnya benar-benar tidak menimbulkan suara sama sekali. Dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki pembokongnya.
"Heaaa...!"
Secepat kilat Rangga berkelit menghindar. Namun sebuah serangan lain sempat menyerempet tangannya.
Buk "Hugkh!"
Rangga mengeluh pendek. Tubuhnya sempat bergetar terhantam jotosan tadi. Dengan terhuyung-huyung, tubuhnya berbalik dan langsung menghadang ke arah sosok yang baru saja menyerangnya cara gelap.
Ketika Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke samping kiri, di sana telah berdiri seorang laki-laki tua berbaju hitam. Jenggot dan kumisnya serba putih. Laki-laki ini memegang sebatang toya pendek berwarna hitam. Pada setiap ujungnya, tampak sebuah lubang kecil.
"Siapa Kisanak" Mengapa menyerangku?" tanya Rangga, bersikap waspada.
Laki-laki berbaju hitam dan bertampang dingin ini tersenyum rawan. Wajahnya yang pucat tidak berdarah, berubah kelam dan menyimpan hawa membunuh yang menyala-nyala.
"Aku berjuluk Toya Maut. Dan mengapa aku menyerangmu" Kau jangan banyak tanya!" ben-tak kakek berambut putih ini, sambil bertolak pinggang.
"Hm, begitu?" desis Rangga. Matanya memandang tajam pada laki-laki di depannya.
'Tentu saja. Kau memasuki lembah ini tanpa sepengetahuan majikan kami...!"
"Majikan?" potong Rangga. "Siapa majikan-mu?" desak Rangga, menyelidik.
"Kau tidak pantas mengetahui majikan kami! Yang boleh kau ketahui, kau telah memasuki daerah larangan. Tidak ada jalan lain bagimu, kecuali mati!" sahut kakek ini, ketus.
Rangga tersenyum.
"Hm.... Sekarang aku sudah tahu, bahwa sebenarnya kau juga merupakan anak buah manusia setan itu. Siapa pun yang menjadi anak buahnya, yang jelas tetap merupakan mayat hidup yang dirasuki kekuatan iblis! Kau adalah bangkai, Kisanak. Bangkai yang menjadi alat manusia yang mempunyai dendam membara!" sentak Rangga, sehingga membuat kakek berwajah angker ini jadi terkejut juga menggeram penuh kemarahan.
"Keparat! Heaaa...!" keras dan tajam bentakan kakek ini.
Tiba-tiba saja tubuh Toya Maut melenting ke udara. Setelah bersalto beberapa kali di atas kepala Rangga, toya hitam di tangannya dipukulkan ke bagian kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wut! "Iblis"!" desis Rangga.
Slap! Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menggeser langkahnya sambil menarik tubuhnya hingga condong ke belakang.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 155. Misteri Mayat Darah Bag. 7 dan 8 (Selesai)
4. Januar 2015 um 07:52
7 ? Pukulan toya kakek baju hitam yang terkenal berjuluk Toya Maut ini luput. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah lebih dulu melenting ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Kemudian tubuhnya meluruk deras ke arah si Toya Maut ini. Kedua kakinya bergerak cepat dan lincah sekali. mengarah pada bagian kepala.
"Heaaa ..!"
"Gila...! Heps!"
Kakek berbaju hitam terkejut setengah mati. Cepat bagai kilat toya pendek di tangannya dikibaskan.


Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Mayat Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak dapat disangkal lagi. Saat ini Rangga memang tengah mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Bukan main dahsyat serangan Rangga ini. Serangan toya lawannya berhasil dielakkan dengan cara menarik sedikit bagian kakinya.
Toya Maut terburu-buru membanting tubuhnya ke sebelah kiri. Kemudian terus berguling-gulingan beberapa kali. Serangan Pendekar Rajawali Sakti luput dari sasaran. Bunyi keras terdengar saat kaki Rangga membentur tanah, tempat di mana tadi Toya Maut berdiri. Debu dan pasir memenuhi udara sekitarnya.
"Keparat! Hampir saja!" desis si Toya Maut.
Tapi Pendekar Rajawali Sake sudah tidak menghiraukan lagi ucapan laki-laki itu. Dengan ce-pat, dia melompat lagi sambil melepaskan dua pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hap!"
Toya Maut yang baru saja bangkit berdiri, buru-buru melentingkan tubuhnya ke samping kiri. Serangan Pendekar Rajawali Sakti luput. Namun baru saja kedua kakinya menjejak di atas tanah, Rangga sudah kembali melakukan serangan dahsyat!"
Dengan segenap kemampuan yang dimiliki, Toya Maut memutar toya pendek berwarna hitam di tangannya. Angin kencang menderu deru, melesat keluar dari setiap ujung toya. Udara di seke-lilingnya berubah dingin bukan kepalang. Terpaksa, kali ini Rangga harus berjumpalitan menghindari serangan dahsyat itu. Gerakan menghindar yang dilakukannya dalam menghadapi serangan balik lawannya, memang sungguh cepat luar biasa.
Beberapa kali Rangga berusaha membendung gelombang serangan Toya Maut. Tapi sampai sejauh itu, dia masih belum mampu mematahkan pertahanan laki-laki tua itu.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Tiba-tiba saja Rangga melompat mundur seja-uh dua batang tombak, serangannya segera dihentikan. Begitu juga Toya Maut. Sementara itu tatapan mata Rangga memandang tajam pada kakek berbaju hitam yang berdiri tegak mengawasi tidak jauh di depannya.
"Dengan siapa kau bekerja, Kisanak?"
"Apakah itu sangat perlu bagimu?" kakek bertampang angker balik bertanya.
"Hm," gumam Rangga tidak jelas.
"Baik. Karena kau sebentar lagi akan mati, tidak salah jika aku menjawab pertanyaanmu!" kakek berbaju hitam menyeringai. "Aku bekerja untuk Setan Perenggut Nyawa. Sudah jelaskah bagimu"!"
"Masih belum cukup! Masih ada lagi satu pertanyaan buatmu!" sergah Rangga.
"Apa itu?" tanya Toya Maut sambil menyilang kan toya pendeknya ke depan dada.
"Ke mana perginya Setan Perenggut Nyawa?"
"Ha ha ha! Saat ini mungkin majikanku itu telah mencabik-cabik tubuh Adipati Danu Tirta, musuh besarnya!"
Rangga terkejut bukan main mendengar penjelasan si Toya Maut. Sekarang baru disadari kalau keselamatan adipati dalam keadaan terancam. Berarti, kedatangannya ke Hutan Cagak Kemuning benar-benar telah terlambat.
Sekarang, tidak ada pilihan lain bagi Rangga, kecuali merobohkan lawannya secepatnya. Tanpa bicara lagi, tiba-tiba tubuh Pendekar Rajawali Sakti tampak melesat ke depan.
"Heaaa..!"
"Uts!"
"Hm... Rupanya kau benar benar ingin mati secepatnya, Anak Muda!" dengus Toya Maut, langsung menyambut serangan gencar ini.
Hanya dalam waktu singkat, pertempuran berubah seru kembali. Terlebih-lebih bila mengingat, masing-masing ingin merobohkan secepat mungkin.
"Hup!"
"Uts! Setan!" maki Rangga sambil menepis toya si kakek yang hampir saja menghantam wajahnya.
Tak! "Hugkh..!"
Sekujur tubuh Rangga bergetar keras begitu menangkis toya. Tangannya terasa sakit seperti remuk. Namun tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Sekejap kemudian, telapak tangan pemuda berompi putih ini telah berubah merah membara. Bahkan udara di sekelilingnya telah berubah panas luar biasa.
Laki-laki tua berwajah angker di depan Pendekar Rajawali Sakti tampak terkesiap. Langsung diselipkannya toya pendeknya di bagian punggungnya. Di lain saat, tenaga dalamnya telah dikerahkan ke bagian telapak tangan.
Melihat tangan Toya Maut berubah menghitam, Rangga segera meningkatkan kewaspadaan.
"Heaaa!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan kedua tangannya ke arah kakek berbaju hitam ini. Seketika itu pula, seleret sinar berwarna merah menyala meluruk, menderu hingga menimbulkan gelombang angin panas bergulung-gulung.
Pada waktu bersamaan, sinar hitam berhawa dingin membekukan dan menebarkan bau busuk menusuk hidung menderu menyongsong pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Glar! "Huagkh...!"
Pendekar Rajawali Sakti dan Toya Maut sa-ma-sama terjungkal ke belakang. Tanah tempat berpijak kontan bergetar laksana dilanda gempa. Di tengah-tengah ledakan dahsyat itu, terdengar pula jerit kesakitan seseorang. Pohon-pohon bertumbangan. Daun-daun berguguran dilanda angin pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti secepatnya bangkit berdiri. Tampak, Toya Maut yang semula jatuh sudah berdiri terhuyung-huyung, berusaha mem-perbaiki keseimbangan.
Tanpa menunggu lebih lama, Rangga langsung menyerang kembali. Untuk yang kedua kalinya, dilepaskannya 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiya! Heaaa...!"
Wus! Saat itu pula dua leret sinar melesat cepat laksana kilat. Segelombang angin kencang menebar hawa panas seperti di neraka. langsung melanda si Toya Maut. Padahal, kakek berbaju hitam ini belum sempat berbuat sesuatu.
Wut! "Ihhh...!"
Toya Maut memutar toya pendek di tangannya. Sinar hitam yang memancar dari toya bergulung-gulung membentuk sebuah perisai yang sangat kuat. Dan"
Glar! "Aaa. .!"
Usaha kakek yang sebenarnya mayat hidup ini tampaknya hanya sia-sia saja. Karena, 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilepaskan Rangga mengandung tenaga dalam berlipat ganda! Toya Maut menjerit keras merobek langit. Tubuhnya tanpa tertahan lagi jatuh terpelanting, dan langsung menghantam pohon besar yang terdapat di belakangnya.
Prak! Kepala Toya Maut kontan remuk. Otaknya yang berbau busuk hancur berantakan, dan meleleh keluar dari hidung dan telinganya bersama cairan hitam seperti darah.
"Hhh...!"
Rangga menghembuskan napasnya dalam-da-lam. Tiba-tiba benaknya teringat Adipati Danu Tirta. Dengan tergesa-gesa dihampirinya Dewa Bayu yang tengah merumput di atas bukit kecil tidak jauh di depan sana.
"Mudah-mudahan aku tidak terlambat datang ke Kadipaten Blambangan!" kata Rangga dalam hati.
? *** ? Tiga Pendekar Golok Terbang dengan Adipati Danu Tirta tampak terlibat pembicaraan seputar Dewi Sembadra yang sempat membunuh mertua sang adipati.
Walau bagaimanapun, Adipati Danu Tirta se-akan tidak percaya mendengar penjelasan orang-orang yang telah membantunya selama ini. Dewi Sembadra delapan tahun yang lalu, telah meninggal dan dikuburkan secara layak di pemakaman keluarga. Dan kemudian, diketahui mayat adik kandungnya itu hilang dari liang lahat diculik oleh seseorang, bersamaan waktunya dengan menghilangnya mayat-mayat keluarga orang Iain.
Sekarang ini, Dewi Sembadra muncul kembali dan melakukan serangkaian tindak keresahan di mana-mana atas perintah seseorang. Siapa pun orangnya yang berdiri di balik semua peristiwa pembunuhan ini, yang jelas pasti sangat sakti dan memiliki ilmu iblis yang kuat.
"Aku telah hampir kehilangan segala-galanya! Bahkan adik kandungku sendiri yang sudah mati menjadi lawan, sekaligus pembunuh keluarga istriku..!" ujar Adipati Danu Tirta sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
"Dewi Sembadra bukan musuh. Dia telah di-peralat untuk merongrong kewibawaan Kakang," kata Wisesa menanggapi.
"Benar! Tidak ada orang yang sudah mati dapat melakukan sesuatu," timpal Witara.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Adipati Danu Tirta. Wajahnya tampak muram, pertanda sedang mengalami guncangan hebat dalam hati.
"Mungkin lebih baik kita menunggu kabar dari Pendekar Rajawali Sakti untuk memutuskan usaha selanjutnya," usul Permana.
Suasana di dalam ruangan yang cukup besar itu berubah hening. Masing-masing tenggelam dalam pikiran. Walau bagaimanapun, dalam keadaan seperti ini sangat sulit bagi mereka untuk menentukan pilihan. Terlebih-lebih, bila mengingat kalau saat ini yang menjadi incaran si tokoh berselubung teka-teki ini adalah Adipati Danu Tirta sendiri.
"Apakah ada yang punya pendapat lain?" tanya Adipati Danu Tirta, seraya mengangkat wajahnya. Matanya menatap Tiga Pendekar Golok Terbang satu demi satu.
"Tidak ada pilihan terbaik bagi kita semua. terkecuali menunggu kedatangan Rangga. Atau bahkan, kalau mungkin menantikan kedatangan biang pembunuh itu," kata Wisesa.
"Hm," gumam Adipati Danu Tirta sambil mengangguk-angguk.
Memang kalau dipikir, benar juga ucapan Wisesa. Mereka lebih baik bertahan menunggu segala kemungkinan. Tapi, bagaimana pula dengan kese-lamatan Pendekar Rajawali Sakti" Jika sampai terjadi apa-apa dengannya, bukankah semua itu adalah kesalahan adipati sendiri" Dialah yang telah meminta bantuan Rangga untuk mencari tempat persembunyian Setan Perenggut Nyawa!
"Apa yang Kakang Adipati pikirkan?" tanya Permana, memecah keheningan.
"Eee...! Tidak ada...!" sahut Adipati Danu Tirta, gugup.
"Kalau ada apa-apa, sebaiknya Kakang ber-terus terang pada kami. Karena bagaimanapun, kami telah menganggap Kakang tidak ubahnya seperti saudara sendiri!" ucap Witara.
"Sungguh tidak ada apa-apa," Adipati Danu Tirta bersikeras.
"Baiklah kalau tidak ada apa-apa. Kami ingin mohon diri untuk istirahat sementara waktu," ujar Wisesa diikuti anggukan kepala saudara seperguruan lainnya.
"Silakan. Namun sebelum itu, beritahu semua pengawal yang berjaga-jaga di depan sana untuk selalu bersikap waspada!"
"Perintah kami laksanakan!" sahut Witara.
Baru saja Tiga Pendekar Golok Terbang ber-maksud meninggalkan ruangan.
Brak! Terdengar benturan keras pada pintu depan. Benturan yang disertai suara berderak dan hancurnya pintu, disusul berkelebatnya sosok tubuh berpakaian pengawal. Sosok itu tampak menggelepar, lalu terdiam dengan tubuh tampak remuk.
Semua orang yang berada dalam ruangan tampak terkesiap. Mereka sama-sama memandang ke arah daun pintu yang telah hancur berkeping-keping.
"Apa yang terjadi"!" sentak Adipati Danu Tirta, seraya berlari ke depan melalui pintu yang hancur berantakan.
Tiga Pendekar Golok Terbang ikut menyusul tergesa-gesa. Dan ketika sampai di teras depan, mereka memandang ke halaman. Ternyata seluruh pengawal yang ada di sana, bergelimpangan roboh dengan badan hangus seperti terbakar.
"Gila! Siapa yang telah melakukannya"!" desis Adipati Danu Tirta, jelas-jelas tidak mampu me-nyembunyikan rasa terkejutnya.
Tiga Pendekar Golok Terbang juga tidak mampu menguasai diri. Mereka benar-benar sangat heran. Bagi mereka, jika seseorang mampu membunuh para pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi tanpa menimbulkan suara sedikit pun, berarti orang itu benar-benar memiliki kepandaian sulit diukur. Tapi, siapa orangnya" Tidak ada orang lain di tempat itu, terkecuali mereka berempat.
"Pembunuh pengecut! Cepat tunjukkan diri!" teriak Adipati Danu Tirta. Suaranya yang bercampur amarah terdengar menggelegar, hingga membuat tiang-tiang teras bergetar.
Sepi mencekam. Tidak ada sahutan apa-apa. Adipati Danu Tirta kemudian memerintahkan Tiga Pendekar Golok Terbang untuk melakukan pemeriksaan. Namun belum sempat orang-orang ini beranjak dari tempatnya berdiri, dari atas rumah tampak melayang sosok tubuh perempuan berbaju biru.
Bruk! "Hah...!"
Jantung Tiga Pendekar Golok Terbang seperti terasa copot. Demikian pula Adipati Danu Tirta.
Mata mereka melotot seakan hendak keluar dari dalam rongga. Mulut mereka ternganga, ketika mengenali perempuan yang tergeletak tiga tombak di depan ini sudah tidak bergerak lagi.
"Seroja! Istriku...!" pekik Adipati Danu Tirta, langsung menghambur mendapatkan jenazah istrinya yang telentang di tanah dengan sekujur tubuh berubah hitam.
"Oh...! Mengapa begini buruk nasibmu. Din-da!" teriak Adipati Danu Tirta tersedu-sedu dan sambil memeluki jenazah istrinya.
Sementara itu Tiga Pendekar Golok Terbang yang juga tampak marah melihat kematian istri sang adipati, mulai meneliti tempat di sekitarnya.
"Keparat! Sungguh manusia iblis yang begini tega membunuh istriku yang tidak berdosa!" maki Adipab Danu Tirta, melengking tinggi. "Sekalipun iblis dari neraka, tunjukkan diri jika memang berani bertanggung jawab dalam pembunuhan ini!"
"Ha ha ha...! Danu Tirta! Aku bukan iblis! Aku adalah Setan Perenggut Nyawa yang sengaja da-tang kemari, untuk menagih hutang nyawa berikut bunganya!"
Terdengar sebuah suara menyahuti. Suara itu melengking tinggi mendayu-dayu, menyakitkan gendang-gendang telinga dan menusuk-nusuk jalan darah.
Adipati Danu Tirta terkesiap. Lalu secepatnya kepalanya berpaling ke arah datangnya suara tadi. Kini dengan jelas Adipati Danu Tirta dan Tiga Pendekar Golok Terbang melihat seorang laki-laki berbadan ramping berdiri tegak di atas atap rumah.
Laki-laki ini berbaju serba hitam. Wajahnya tampak rusak di sana sini. Matanya hanya sebelah, dan seperti akan keluar dari dalam rongganya. Sementara bibirnya yang rusak tidak berbentuk, hampir copot dari dagunya.
Baik Adipati Danu Tirta maupun Tiga Pendekar Golok Terbang bergidik. Bahkan cepat-cepat memalingkan wajah ke arah lain.
Sementara Adipati Danu Tirta yang menyim-pan kemarahan besar terhadap orang yang berdiri di atas rumah itu segera memandang kembali.
"Manusia keparat! Wajahmu seperti iblis. Sia-pakah kau sebenarnya"!" bentak Adipati Danu Tirta.
Bukannya marah mendengar kata-kata kasar Adipati Danu Tirta, sebaliknya laki-laki bertampang rusak ini malah tertawa terbahak-bahak.
? *** ? 8 ? Ketika suara tawa yang menyeramkan lenyap dihembus angin, kini mata Setan Perenggut Nyawa yang tinggal sebelah itu memandang tajam penuh dendam ke arah Adipati Danu Tirta.
"Masih kenalkah kau dengan aku, Danu Tirta?" bentak laki-laki berjubah hitam ini kasar.
Tiga Pendekar Golok Terbang tentu saja menjadi marah, karena laki-laki bermata satu bertam-pang rusak ini dengan berani menyebut begitu saja nama sang adipati.
"Manusia hina! Kuharap mulutmu bisa sopan bicara dengan Kakang Adipati!" teriak Wisesa.
Laki-laki bertampang rusak tiba-tiba kembali tertawa. Sungguh aneh. Suara tawanya tidak seperti tawa laki-laki, sebagaimana pertama tadi. Tapi, sekarang telah berubah seperti tawa perempuan.
"Eee... siapakah kau..."!" tanya Adipati Danu Tirta, bergetar.
"Hi hi hi...! Sebelas tahun yang lalu, kau hampir membuat aku mati, Danu Tirta! Masih ingatkah kau dengan gadis yang bernama Kunti Arimbi?" kata orang berbadan langsing.
Sekejap kemudian, Setan Perenggut Nyawa telah menanggalkan penyamarannya. Dan, tam-paklah jelas di balik rambut yang acak-acakan terdapat rambut asli yang panjang tergerai. Ketika topeng wajahnya ditanggalkan, maka wajah yang mengerikan itu serta merta lenyap. Kini, berganti wajah seorang perempuan dengan luka memanjang di pipi. Wajahnya memang masih tampak cantik. Hanya sayang, memang memiliki sebelah mata. Sedangkan mata yang lain tampak lowong, membentuk sebuah lubang menganga yang terus menerus meneteskan darah.
Kemarahan Adipati Danu Tirta serta merta lenyap, berganti dengan rasa terkejut bukan kepalang. Wajahnya yang sempat berubah memerah, sekarang telah berubah pucat seperti kertas.
Kunti Arimbi baginya bukan nama asing dalam hidupnya. Perempuan yang masih berdiri di atas atap rumah ini adalah adik seperguruannya sendiri, yang memiliki watak ugal-ugalan dan mau menang sendiri. Segala tindakannya cenderung menjurus kesesatan. Wataknya kejam, dan bahkan selalu bertindak sewenang-wenang.
Dulu Kunti Arimbi melarikan diri dari gurunya, setelah mencuri kitab 'Pembangkit Mayat'. Dan apa yang dilakukan perempuan itu tentu saja membuat guru mereka marah. Adipati Danu Tirta, sebagai pemuda dan murid yang selalu patuh pada gurunya, segera mendapat tugas untuk mencari Kunti Arimbi yang telah melarikan kitab. Ketika mereka bertemu, ternyata Kunti Arimbi bersikeras tidak mau mengembalikan kitab 'Pembangkit Mayat' yang telah dilarikannya. Bahkan gadis itu mempengaruhi Adipati Danu Tirta dan mengajaknya bermesum dengan segala bujuk rayu.
Karena usaha yang dilakukan tidak membawa hasil, tidak ada jalan lain bagi Kunti Arimbi kecuali bertarung dengan kakak seperguruannya sampai titik darah terakhir.
Pertarungan seru yang menentukan hidup atau mati dari salah satu saudara seperguruan itu, berlangsung sangat seru. Tapi, ternyata Adipati Danu Tirta lebih unggul dalam berbagai hal. Kunti Arimbi dapat dirobohkan. Bahkan selain dapat melukai pipi, Adipati Danu Tirta yang menganggap saat itu Kunti Arimbi tewas, segera mencongkel mata perempuan itu.
Kejadian sebelas tahun yang lalu itu memang tidak dapat dilupakan begitu saja, walaupun sekarang ini Adipati Danu Tirta telah menjadi Adipati Blambangan.
"Danu Tirta manusia laknat! Kukira dalam sikap diammu, kau mengingat semua peristiwa yang pernah kau lakukan terhadap diriku!" teriak Kunti Arimbi.
"Hm, tentu saja aku mengingatnya. Kukira kau telah mati...!"
"Memang semua orang mengira aku telah mati, Danu Tirta! Tapi rupanya, nyawaku begitu alot dan tidak mau meninggalkan ragaku yang rusak!" potong Kunti Arimbi, berapi-api.
"Lalu, apa yang kau inginkan dariku setelah melakukan penculikan mayat-mayat itu dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa...?" tanya Adipati Danu Tirta, yang sudah dapat menguasai dirinya kembali.
Kunti Arimbi yang selama ini dikenal berjuluk Setan Perenggut Nyawa tertawa lagi. Sungguh me-nyeramkan tawanya. Bahkan tidak lama setelah itu, tubuhnya tampak melesat turun dari atas atap rumah.
Begitu Setan Perenggut Nyawa menjejakkan kedua kakinya di atas permukaan tanah, secara serentak Tiga Pendekar Golok Terbang langsung mengurung!
"Hm... Kalian monyet-monyet berbaju merah! Lebih baik jangan campuri urusan pribadi kami, jika tidak ingin mencari penyakit!" bentak Kunti Arimbi, meludah ke tanah.
"Bangsat! Manusia setan. Bagaimanapun, kami tidak akan membiarkan kau bertindak seenak perutmu. Terlebih lebih, setelah mengetahui siapa kau yang sebenarnya!" geram Witara.
Rupanya laki-laki ini menyadari kalau wanita bermuka cacat yang terkurung itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Untuk itu, Witara telah bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan.
"Hm... Tampaknya aku harus mengirim ma-nusia-manusia usil seperti kalian ke neraka!" dengus Kunti Arimbi.
Laksana kilat Setan Perenggut Nyawa menjen-rikkan jemari tangannya yang lentik ke arah Tiga Pendekar Golok Terbang.
Adipati Danu Tirta terkesiap melihat serangan mendadak Kunti Arimbi ke arah tiga orang pem-bantu utamanya. Namun hingga sejauh itu, dia masih tetap punya keyakinan kalau Tiga Pendekar Golok Terbang mampu mengatasi.
Seleret sinar hitam tampak melesat dari ujung-ujung jemari tangan Kunti Arimbi. Melihat serangan ini Tiga Pendekar Golok Terbang secara bersamaan segera mengibaskan kedua tangan, menyongsong sinar hitam yang melesat dan ujung jemari tangan Setan Perenggut Nyawa.
Wus! Glar! Terjadi ledakan menggelegar berturut-turut. Debu dan pasir mengepul dan membubung tinggi ke udara. Wisesa, Witara, dan Permana tampak terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya. Sedangkan di pihak Setan Perenggut Nyawa hanya bergetar saja.
"Hi hi hi ! Ternyata kalian memiliki kepandai-an juga! Kerahkanlah seluruh apa yang dimiliki!
Hiyaaa...!"
Diawali teriakan melengking tinggi, Kunti Arimbi langsung melompat ke depan. Tangan-tangannya yang terkembang membentuk cakar dan berkuku runcing berkelebat menyambar-nyambar ke bagian tertentu tubuh Tiga Pendekar Golok Terbang.
Tiga laki-laki satu seperguruan itu tampak terdesak. Mereka berusaha mati-matian memben-dung serangan yang datang menggebu-gebu dan menimbulkan angin dingin bersiuran.
"Kerahkan jurus 'Walet Menyambar Buih'!" teriak Wisesa, memberi aba-aba.
Bet! Sret! Slap! Dalam waktu sekedipan mata saja, Tiga Pendekar Golok Terbang telah mencabut golok besar dari warangka dan langsung menderu dahsyat menyerang ke segala penjuru kematian Kunti Arimbi.
"Keparat!" maki perempuan bermata satu ini, terpaksa menarik balik serangannya. Seketika jurusnya dirubah menjadi jurus 'Menerjang Karang Menghempas Badai'.
"Heaaa...!"
Kunti Arimbi melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Kemudian, tubuhnya tampak berputar cepat. Semakin lama, semakin cepat. Bahkan bercampur angin menderu-deru. Baju merah Tiga Pendekar Golok Terbang berkibar-kibar. Kulit tubuh mereka terasa perih seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum!
Sungguhpun Wisesa, Witara, dan Permana telah memutar golok besar untuk mengusir pengaruh hawa dingin, namun masih tampak kewalahan juga.
Tiba-tiba dalam waktu bersamaan, mereka mengeluarkan bentakan nyaring.
"Hiyaaa...!"
"Hup!' Tiga Pendekar Golok Terbang sama-sama melompat melesat ke arah yang tampak terus berputar-putar seperti gasing mendekati Setan Perenggut Nyawa. Sementara tangan dan kakinya tidak henti-hentinya melepaskan serangan dahsyat.
Pada saat itulah Tiga Pendekar Golok Terbang menetakkan golok di tangan ke bagian kepala wanita itu.
"Ups...! Keparat...!" maki Kunti Arimbi. Terpaksa kepalanya merunduk serendah mungkin sambil menjotos perut Witara.
Buk! "Hugkh!"
Witara terhempas ke belakang.
Sementara itu, Kunti Arimbi langsung bergu-ling-gulingan untuk menyelamatkan diri dari ba-cokan golok di tangan Wisesa dan Permana.
Witara bangkit berdiri secepatnya, walaupun perutnya terasa seperti hancur. Dengan segenap kegeramannya, laki-laki berbaju merah ini me-ngibaskan goloknya.
Namun, serangannya luput, karena Kunti Arimbi yang ternyata memiliki segudang pengalaman dalam bertarung sudah bangkit berdiri. Bahkan sekarang tubuhnya telah melesat ke udara. Tubuhnya berputar beberapa kali, sekaligus menyapu dada Wisesa dan Witara dengan kakinya.
Namun Witara yang sempat merasakan keli-cikan wanita ini segera menghindar dengan menarik tubuhnya hingga agak condong ke belakang. Wisesa tampaknya terlambat menghindari serangan balik ini. Maka golok di tangannya dikibaskan. Sayang, gerakannya kalah cepat. Sehingga dengan telak tendangan kaki Setan Perenggut Nyawa menghantam dada.
Duk! "Akh...!"
Wisesa menjerit sekeras-kerasnya. Tubuhnya kontan terhempas ke tanah. Dua tulang rusuknya patah. Dari hidung dan sudut-sudut bibirnya meleleh darah segar.
Sedangkan Kunti Arimbi tertawa panjang. Melihat hal ini Witara dan Permana tampak marah sekali. Maka dengan ganas dan beringas, mereka melipatgandakan serangan. Tubuh mereka berkelebat lenyap disertai bentakan-bentakan keras. Sedangkan golok di tangan mereka berkelebat, menyambar dan menimbulkan suara angin menebar udara panas.
"Hm," gumam Kunti Arimbi tidak jelas.
Wisesa walaupun telah menderita luka dalam segera bangkit kembali.
Sekarang Kunti Arimbi mendapat keroyokan Tiga Pendekar Golok Terbang. Dan tampaknya, dia memang harus mengakui kalau ketiga lawannya memang tidak dapat dianggap enteng. Sehingga dalam suasana sedemikian rupa, dia memutuskan untuk melepaskan pukulan 'Bayangan Perenggut Sukma'. Inilah satu pukulan andalan yang telah merenggut banyak korban!
"Hup!"
Kunti Arimbi melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Tubuh perempuan ini tampak bergetar keras. Sementara dari ujung ujung jemarinya tampak mengepul kabut tipis berwarna hitam, menyebar bau busuk menusuk.
Semua lawan-lawannya segera sadar kalau wanita itu telah bersiap-siap melepaskan pukulan yang sangat mematikan. Sehingga tanpa menunggu lagi, Tiga Pendekar Golok Terbang langsung menerjang ke depan. Golok besar di tangan mereka disodokkan ke bagian lambung Kunti Arimbi.
Bet! Slap! "Kurang ajar!" maki Kunti Arimbi. Mulutnya menyeringai, ketika dadanya tergores ujung golok di tangan Witara.
Tanpa mempedulikan luka yang diderita, perempuan ini langsung melepaskan pukulan ke tiga panjuru arah. Maka seketika tiga sinar hitam melesat bagaikan kilat.
Tiga Pendekar Golok Terbang selain melepaskan pukulan balasan, juga memutar golok besar di tangan masing-masing membentuk perisai diri. Dan saat itu pula tiga leret sinar kuning datang menggebu, menyongsong pukulan 'Bayangan Perenggut Sukma' yang melesat dari telapak tangan Setan Perenggut Nyawa.
? *** ? Glar! "Wuagkh...!"
Di tengah-tengah dentuman keras membahana terdengar pekik kesakitan susul menyusul. Tiga Pendekar Golok Terbang terpelanting. Sebagian tubuh mereka berubah hangus. Bahkan golok di tangan mereka tampak meleleh.
Sementara itu, Kunti Arimbi juga menderita luka dalam. Walaupun tidak begitu parah, namun membuat wajahnya berubah pucat. Kini, secepatnya Setan Perenggut Nyawa mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang di deritanya.
Sementara itu, Wisesa, Witara, dan Permana sudah tidak mampu lagi bangkit dari tempatnya. Ketika Adipati Danu Tirta memeriksa, ternyata tiga pembantu utama sang adipati yang sangat dipercaya ini telah menemui ajal.
"Percuma kau membangkitkan mereka, Danu Tirta! Karena kau memang tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk membangkitkan orang yang sudah mati! Sekarang, giliranmu untuk menerima kematian dariku!" desis Kunti Arimbi, dengan sinar mata berapi-api.
Perlahan Adipati Danu Tirta berdiri. Matanya memandang tajam pada bekas adik seperguruan-nya yang telah telanjur menempuh jalan sesat. Tanpa berkata apa-apa, pedangnya dicabut dari warangka.
Sret! Bet! Pedang di tangan Adipati Danu Tirta langsung ditudingkan ke wajah Kunti Arimbi. Sesungguhnya, sekarang adipati itu telah sadar sepenuhnya, bahwa kepandaian Kunti Arimbi jauh lebih pesat. Bahkan mungkin berada jauh di atasnya. Terlebih-lebih, wanita berjuluk Setan Perenggut Nyawa telah menguasai pukulan 'Bayangan Perenggut Sukma'. Tidak heran jika Adipati Danu Tirta mempergunakan senjatanya untuk menghadapi lawannya.
"Majulah, Danu Tirta Keparat! Serang aku, sebelum kau benar-benar kukirim ke neraka!" de-ngus Kunti Arimbi, mencemooh.
"Hm.... Aku tidak akan penasaran jika harus mati di tanganmu. Tapi aku selalu yakin, kejahatan akan selalu berakhir!" tandas Adipati Danu Tirta.
Tiba-tiba laki-laki itu menggeser kaki kanan sejauh dua langkah. Pedang di tangannya menderu, hingga berubah menjadi banyak. Inilah jurus pedang 'Di Balik Hujan Menyongsong Petir'
Kunti Arimbi tentu saja sudah tahu, sampai di mana kehebatan yang terkandung dalam jurus pedang yang dimainkan bekas kakak seperguruannya. Karena, dia sendiri pernah hampir celaka di tangan Adipati Danu Tirta.
Tanpa merasa canggung-canggung lagi, Setan Perenggut Nyawa juga segera mencabut sebilah pedang tipis berwarna hitam dengan gagang berbentuk tengkorak manusia.
Pedang di tangan wanita itu berkelebat menyambar, menimbulkan angin menyesakkan dada. Adipati Danu Tirta terkesiap. Dia sadar, pedang di tangan wanita itu mengandung racun keji. Untuk itu, pedangnya segera diputar sambil melancarkan serangan-serangan gencar ke bagian-bagian tertentu di tubuh Setan Perenggut Nyawa.
Semakin lama, serangan-serangan yang dilan-carkan Adipati Danu Tirta semakin hebat dan menggebu-gebu. Namun Kunti Arimbi sambil ter-tawa cekikikan terus bergerak mundur.
Namun di lain kesempatan Setan Perenggut Nyawa cepat balas melakukan serangan gencar yang tidak pernah terduga oleh Adipati Danu Tirta. Tampaknya, Kunti Arimbi sekarang ini benar-benar ingin menunjukkan kesaktian yang dimilikinya. Terbukti dia tidak memberi kesempatan lagi pada laki-laki itu untuk bertindak lebih leluasa. Setiap serangan yang dilancarkan Adipati Danu Tirta, dapat dipatahkan Kunti Arimbi dengan mudah.
"Heaaa...!"
Bet! Slap! Dengan gigih Adipati Danu Tirta membangun serangan kembali. Kaki kanannya melepaskan tendangan keras, ke bagian perut Setan Perenggut Nyawa. Sementara, pedangnya menusuk ke bagian dada.
Kunti Arimbi cepat mengibaskan pedangnya dengan gerakan sangat aneh, memapak pedang Adipati Danu Tirta, sambil melompat ke kanan. Kemudian dengan satu putaran tubuh yang cepat, pedangnya berbalik, mengincar lengan Adipati Danu Tirta ini.
Cras! "Hugkh...!"
Adipati Danu Tirta mengeluh. Pedang di ta-ngannya terlepas begitu bagian bahunya tertusuk pedang berwarna hitam di tangan Kunti Arimbi. Kini dari lukanya mengeluarkan darah. Bahkan sekitar luka langsung berubah membiru.
Adipati Danu Tirta terhuyung-huyung. Pan-dangan matanya mengabur. Melihat keadaan la-wannya yang tidak berdaya Kunti Arimbi langsung menyerbu ke depan sambil menusukkan senjata ke bagian lambung Adipati Danu Tirta.
Agaknya, Adipati Danu Tirta segera menemui ajal di tangan bekas adik seperguruannya. Tapi pada saat-saat yang sangat gawat, mendadak melesat seleret sinar merah menderu ke arah Kunti Arimbi. Perempuan ini kontan tersentak kaget. Tapi dengan gerakan cepat, dia segera menjatuhkan diri menghindari serangan gelap yang dapat mengancam jiwanya.
Glar! Sinar merah yang melesat dari satu arah itu menghantam tempat kosong, sehingga menimbul-kan sebuah lubang yang sangat besar. Begitu bangkit berdiri, Kunti Arimbi terkesiap. Matanya sudah memandang ke arah datangnya pukulan yang nyaris mencelakai dirinya tadi.
Kini terlihat seorang pemuda berompi putih sedang berusaha menyembuhkan, sekaligus menghilangkan racun yang mengeram dalam luka Adipati Danu Tirta.
"Bertahanlah, Paman! Manusia telengas itu memang pantas mati!" desis pemuda berompi putih yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.
"Manusia keparat!" bentak Kunti Arimbi. "Siapa kau, begitu berani sekali mencampuri urusan orang lain"!"
Rangga bangkit berdiri. Matanya memandang tajam pada Kunti Arimbi alias Setan Perenggut Nyawa.
"Rupanya, kaulah orangnya yang telah menga-tur segala rencana keji itu" Perlu kau ketahui, sudah sangat lama aku mencari-carimu!" desis Rangga.
"Bangsat! Kau akan menyesal seumur hidup-mu! Heaaa...!"
Tubuh Kunti Arimbi langsung melesat ke depan. Tangannya mencakar wajah Rangga. Sedangkan tangan kiri memutar pedang di tangan dengan gerakan sangat cepat membingungkan.
"Hiyaaa...!"
Tapi tiba-tiba saja Rangga berteriak keras. Kedua tangannya yang telah berubah merah membara menghentak ke arah Setan Perenggut Nyawa. Tidak aneh lagi. Itulah 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Kunti Arimbi yang pertama kali nyaris terpental oleh pukulan yang dilepaskan Rangga, segera menyadari bahwa apa yang dihadapinya benar-benar sangat berbahaya.
Tanpa menunggu lagi, Setan Perenggut Nyawa segera melepaskan pukulan 'Bayangan Perenggut Nyawa' yang telah menewaskan Tiga Pendekar Golok Terbang.
Namun pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Maka seketika itu juga seleret sinar merah panas luar biasa melesat deras, seakan melindas pukulan yang dilepaskan Kunti Arimbi. Dan"
Glar! Glar...! "Hugkh...!"
Dentuman-dentuman sangat keras terasa menghancurkan gendang telinga. Pendekar Rajawali Sakti terguling-guling. Dadanya terasa sesak dan berdenyut-denyut.
Sementara di pihak Kunti Arimbi dari bagian bibir tampak menyembur darah kental. Sekarang sadarlah Setan Perenggut Nyawa bahwa pemuda yang dihadapinya benar-benar memiliki kesaktian luar biasa.
Setelah mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita, Kunti Arimbi segera memutar pedang hitam di tangannya. Dan dengan jurus 'Tarian Para Iblis', Kunti Arimbi menerjang kembali. Pedangnya yang berwarna hitam berkelebat menusuk lambung pemuda berompi putih ini.
"Ufs!"
Rangga berkelit menghindar, lalu melompat ke belakang. Dan Pendekar Rajawali Sakti melihat betapa derasnya serangan wanita itu, Pendekar Rajawali Sakti cepat mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka.
Sring! Bet! Sinar biru berkilauan langsung memancar dari pedang di tangan Rangga, menyilaukan mata Kunti Arimbi. Wanita itu terkesiap. Matanya yang hanya sebelah melotot.
"Kau..., Pendekar Rajawali Sakti?" desis pe-rempuan itu dengan tubuh bergetar dan wajah berubah pucat.
"Yeaaah...!"
Slap! Tanpa menghiraukan ucapan Kunti Arimbi, Rangga menggerakkan pedangnya memperguna-kan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Hanya sekejap mata, Rangga telah menyambar deras dengan satu kibasan pedang.
Kunti Arimbi terkesiap. Dengan mata nyalang, dia berusaha memapak kibasan itu dengan gerakan pedang hitam di tangannya. Namun, gerakannya seperti tertahan oleh sinar pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sungguhpun tenaga dalamnya telah dikerahkan untuk menembus, namun tetap saja tidak mampu berbuat banyak.
Pada saat itu juga Pedang Pusaka Rajawali Sakti berkelebat menyambar pedang hitamnya.
Trak! "Eeeh...!"
Setan Perenggut Nyawa semakin bertambah kaget saja, melihat pedang pusakanya terbabat putus menjadi dua.
Sementara melihat wanita itu dalam keadaan lengah, Rangga kembali menghantamkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti di tangannya. Gerakannya cepat laksana kilat. Sehingga tidak mungkin lagi dapat dihindari Setan Perenggut Nyawa. Dan...
Cras! "Aaa...!"
Begitu ambruk di tanah, Kunti Arimbi menjerit panjang begitu lehernya tersambar pedang di ta-ngan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya menge-jang, kepalanya menggelinding. Darah mengucur deras dari pangkal lehernya yang terputus. Kunti Arimbi tewas seketika itu juga.
Rangga menarik napas lega. Setelah menya-rungkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka, Pendekar Rajawali Sakti segera meno-long Adipati Danu Tirta yang terluka.
"Ufh.... Syukurlah kau cepat datang, Rangga! Jika tidak, mungkin nyawaku sudah tidak tertolong lagi!" kata Adipati Danu Tirta, penuh rasa terima kasih.
"Sudahlah, Paman! Semua itu berkat perto-longan Yang Maha Esa," sahut Rangga.


Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Mayat Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hati-hati sekali, tanpa menghiraukan mayat-mayat yang bergelimpangan, Rangga membawa Adipati Blambangan itu memasuki ruangan depan istananya.
? SELESAI ? Scan by Clickers
Edited by Lovely Peace
Pdf by Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Maut Di Lembah Sampit 2 Jaka Sembung 1 Bajing Ireng Maling Budiman Persekutuan Pedang Sakti 1

Cari Blog Ini