Ceritasilat Novel Online

Negeri Para Bedebah 2

Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye Bagian 2


Aku ikut tertawa. Terima kasih sudah datang dan mendengarkan. Maggie yang akan mengurus tagihan restoran. Selamat siang. Aku melangkah cepat meninggalkan ruangan privat restoran.
*** Aku menuju kantor setelah pertemuan dengan editor dan wartawan media massa.
Maggie dengan wajah kesal menunjuk tumpukan dokumen di Kau sudah sortir yang penting atau tidak, bukan" Belum sempat, Maggie menjawab ringan. Bukankah kau sendiri yang bilang, bahkan jika ada sopir taksi yang mengigau tentang Bank Semesta enam tahun terakhir, catat, kumpulkan.
Aku memasang wajah setengah tidak percaya. Bukan itu maksudku, Mag. Kau tidak akan membiarkan waktuku terbuang percuma dengan membaca dokumen tidak penting, kan" Astaga, sudah berapa lama kau jadi stafku" Kalimatku tadi pagi itu tidak seharfiah maksudnya.
Maggie menyengir. Kenapa kau malah tertawa" Aku melotot.
Tentu saja sudah aku sortir, Thom. Maggie tertawa menyebal"kan, menatap wajah marahku. Senang saja melampiaskan bangun pagiku di hari libur ke orang lain.
Aku hampir menimpuk Maggie dengan salah satu binder kertas.
Laporan paling akhir Bank Semesta dari staf Ram ada dalam tumpukan. Working paper audit sedang di-print, sebagian sudah ada fotokopinya. Aku masih menunggu beberapa dokumen penting lain. Nah, yang itu, kau tidak akan percaya, Thom, itu dokumen tentang pengambilalihan Bank Semesta oleh Om Liem enam tahun lalu. Kau pasti akan tertarik membacanya. Jangan tanya bagaimana aku memperolehnya.
Kau benar-benar staf yang hebat, Maggie. Aku menyeringai menatapnya. Sayangnya aku tidak punya adik laki-laki, boleh jadi sudah kujodohkan.
Urus saja perjodohanmu, Thom. Maggie melambaikan Aku tertawa. Aku tidak akan lama di kantor. Berapa lama lagi dokumen yang kau print siap"
Setengah jam. Baik, aku akan mempelajari dokumen ini di ruanganku sambil menunggu. Dan ada beberapa lagi yang harus kaukerja"kan. Maggie meraih bolpoin dan kertas, bersiap mencatat. Kirimkan empat tiket konser minggu depan untuk Shambazy. Siapa nama artis yang mau konser itu" Anak-anak remaja Shambazy pasti suka. Kau juga kirimkan surat rekomendasi untuk wartawan televisi yang ikut pertemuan tadi, kalau tidak salah dia mendaftar short course. Tidak akan ada sekolah bisnis yang menolak rekomendasiku. Juga untuk salah satu pengamat ekonomi, kauberikan undangan forum ekonomi internasional di Bangkok bulan depan. Sampaikan bahwa dia jauh lebih layak dibanding Thomas, kita akan membayar biaya perjalanannya. Juga kauhubungi kampus tempat pengamat ekonomi lainnya bekerja, kita akan menawarkan sponsor riset. Sudah kaucatat" Dan kau cari tahu hadiah apa yang tepat untuk wartawan dan editor lain.
Siap, Bos. Maggie mengangguk.
Aku sudah mengangkat tumpukan dokumen, melangkah menuju ruanganku.
Kalian tahu bagaimana cara terbaik menanamkan sebuah ide di kepala orang lain" Lakukan dengan cara berkelas.
KU baru saja membuka dokumen yang memuat daftar deposan terbesar Bank Semesta, melingkari begitu banyak data menarik saat telepon di meja kerjaku berbunyi.
Ada yang ingin menemuimu, Thomas. Itu suara Maggie. Siapa" Aku tertegun sejenak. Ini hari Sabtu. Aku tidak pernah bilang ke siapa pun aku masuk kantor hari ini meski ada banyak penghuni gedung yang lembur di hari Sabtu. Mana aku tahu. Dia tidak bilang, Maggie menjawab ketus. Bilang aku sibuk. Suruh dia datang kembali minggu depan, atau tahun depan. Aku mencoba bergurau, sepertinya tugas menumpuk yang kuberikan pagi ini pada Maggie membuat mood buruknya kambuh.
Itu dia, Thom. Percuma. Orangnya sudah menuju ruanganmu. Tadi aku berusaha mencegahnya, dia malah melotot galak. Nenek lampir. Ternyata bukan tugasku yang membuat Maggie kesal.
Pintu ruanganku diketuk. Aku meletakkan gagang telepon. Apakah hari ini orang mulai lupa sopan santun bertamu" Baru semalam, Ram dan sopirnya merangsek ke kamar hotel, membangunkanku dini hari buta. Sekarang ada lagi tamu yang... gumamanku lenyap. Tamu itu bahkan sudah mendorong pintu ruangan.
Kau bisa saja membohongi wartawan dan editor lain, Thom. Tetapi tidak padaku. Gadis itu sudah memasuki ruangan, langkah kakinya sigap, menatapku tajam.
Julia" Aku menepuk dahi. Apa yang sedang kaulakukan di kantorku"
Mereka boleh saja bodoh, tidak tahu siapa kau sebenarnya. Tetapi aku tidak, aku sekarang tahu siapa dirimu. Julia ber"henti persis di ujung meja, menyibak rambut panjangnya, ekspresif melemparkan satu bundel dokumen. Seluruh resume tentang dirimu hanya menulis Thomas, orangtua meninggal sejak kecil, tidak diketahui siapa nama mereka. Thomas dibesar"kan di sekolah berasrama sejak usia sepuluh tahun. Sisanya gelap. Thomas murid paling cemerlang yang dimiliki sekolah, aktif dalam banyak kegiatan, menunjukkan minat yang besar terhadap ekonomi, politik, dan psikologi manusia. Melanjutkan ke universitas ternama, tapi tidak ada yang tahu riwayat keluarganya, Thomas yang bla-bla-bla.
Aku masih menatap Julia, setengah bingung kenapa dia ke kantorku.
Lantas, bagaimana kalau kau kupanggil dengan Tommi , hah" Julia bersedekap, tersenyum sinis. Apakah panggilan itu bisa menjelaskan banyak hal" Tommi, cucu laki-laki satu-satunya keluarga Liem-Edward. Tommi, keponakan langsung Om Liem.
itu, juga dalam daftar pemegang saham Bank Semesta, tapi jelas kau adalah related party, kesaksian, pendapat profesio"nal, dan sebagainya, menjadi sampah bila itu datang dari pihak ter"afiliasi. Tidakkah kau diajari soal itu di sekolah bisnis, Tommi"
Aku menelan ludah, menatap wajah cantik Julia yang seperti habis memenangkan undian berhadiah sebuah kapal pesiar. Dari mana kau tahu"
Anggap saja wartawan dengan predikat terbaik ini sejak turun dari pesawat besar itu telah mengerjakan PR-nya dengan baik, Tommi. Memasukkan namamu di mesin pencari internet, percuma, tidak ada sejarah hidupmu. Membongkar seluruh berita-berita lama di pusat dokumentasi kami juga sia-sia. Catatan masa kecilmu seolah biasa-biasa saja, sama dengan ribuan lulusan terbaik sekolah bisnis lainnya. Tapi aku bisa memperolehnya. Belum pernah aku seantusias ini mengobrak-abrik informasi yang ada, termasuk mengancam pembantu di rumah Om Liem misalnya.
Aku mengusap dahi, terdiam sejenak, mulai mengerti situasinya, lantas tertawa kecil. Astaga, Julia. Aku baru tahu bahwa sejak dari pesawat itu kau begitu menyukaiku.
Wajah jemawa Julia terlipat. Maksudmu"
Lihatlah, hanya orang yang begitu menyukaiku yang amat penasaran dengan masa laluku, bukan" Jangan-jangan kau menyukaiku sejak pandangan pertama. Kabar buruk bagimu, aku tidak pernah percaya cinta pada pandangan pertama. Tutup mulutmu, Tommi. Julia melotot, berseru kesal. Aku tertawa lagi. Aku benar, kau semakin cantik jika sedang marah.
tapi sedetik dia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan diri, lantas bergaya menarik kursi, duduk di depanku.
Edisi breaking news kami terbit besok siang, Thomas. Dia me"natap"ku datar, seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, melupa"kan marahnya barusan. Deadline tulisan wawancara itu sore ini. Tetapi aku bisa saja meminta pemimpin redaksi menunggu naskah"ku hingga detik terakhir sebelum naik cetak tengah malam nanti. Bahkan naskah liputanku tidak perlu masuk ke tangan editor. Bahkan aku bisa meminta perubahan headline dan cover depan. Tidak ada lagi hasil wawancara denganmu di pesawat, wajah tampanmu di cover depan. Tidak ada lagi berita tentang krisis dunia, melainkan digantikan dengan liputan yang lebih panas dan aktual.
Julia diam sejenak, masih menatapku.
Aku tidak akan main-main lagi, Thom. Kau tahu, sebelum menemuimu di restoran tadi pagi, aku sudah mencari tahu di mana Om Liem. Dia raib. Pihak polisi menolak menjelaskan, mungkin karena mereka malu. Mereka sedang berusaha matimatian memperbaiki kerusakan sebelum masyarakat luas tahu, berusaha sekuat tenaga menutup-nutupi sebelum hari Senin peng"umuman tentang penutupan Bank Semesta dilakukan. Tetapi dari salah satu petugas yang kusumpal dengan uang, aku tahu mereka mengepung rumah Om Liem semalam. Taipan tua itu, pamanmu, kabur seperti orang yang permisi menumpang ke toilet. Kau ada di sana tadi malam, bahkan boleh jadi kaulah yang membantu Om Liem kabur. Ini serius, Thom. Aku wartawan profesional, aku tidak sakit hati kau mengolok-olokku di pesawat itu. Tapi jika kau tidak mau bicara terus terang apa berisi wajah Om Liem, buronan dan liputan tentang bobroknya Bank Semesta.
Wartawan dan editor lain mungkin mengunyah mentahmentah ceramahmu tadi pagi, tapi aku sama sekali tidak tertarik. Pendapatmu boleh jadi benar, dampak sistemis bisa jadi bukan ilusi, dan bahaya besar sedang mengancam institusi keuangan, bahkan ekonomi nasional, tapi kau tidak dalam posisi pihak inde"penden yang berhak memberikan pendapat. Kau berkepenting"an. Jadi sekali lagi, Thom, bicara terus terang padaku, atau media kami akan lebih sibuk membahas tentang bobroknya Bank Semesta, dengan kesimpulan tutup saja segera bank itu, tangkap secepatnya Om Liem di mana pun dia berada, termasuk orang yang membantunya lari tadi malam.
Julia bahkan tidak menarik napas untuk menuntaskan kalimat ancamannya.
Aku (yang) menghela napas pendek. Sebagai pemain yang baik dalam setiap permainan, aku tahu persis situasiku terdesak. Julia menunggu, dan mata hitamnya tidak berkedip sekali pun. Suara dering telepon di meja kerjaku memecahkan senyap. Ada apa lagi, Mag"
Situasi darurat, Thom. Sekuriti lobi baru saja meneleponku, bilang ada beberapa polisi berpakaian sipil menanyakan lantai dan ruangan kerjamu. Mereka sudah naik lift.
Polisi" Aku langsung melempar gagang telepon, bergegas menumpuk dokumen yang sedang kubaca, memasukkannya dalam boks kecil yang sudah disiapkan Maggie.
Apa yang terjadi" Julia berdiri, sedikit bingung. Mereka ternyata cukup tangguh. Aku tidak menjawab per-Selain alamat rumah yang jarang kutinggali kantor adalah cara terbaik menemukanku. Tanganku cekatan mengangkat boks dokumen.
Apa yang terjadi, Thom" Julia berseru sebal karena merasa didiamkan.
Aku harus lari, Julia. Hanya itu jawabanku, lalu bergegas ke luar ruangan.
Maggie menyerahkan dokumen tersisa, menumpuknya di atas boks.
Kau harus bilang ke mereka, aku tidak masuk kantor hari ini, tidak tahu-menahu, tidak mengerti.
Maggie mengangguk, wajahnya tegang.
Jika mereka terus mendesak, kau telepon pengacara kantor, minta ditemani dalam interogasi.
Maggie mengangguk, wajahnya berubah pucat.
Tetap berhubungan denganku, Mag. Kau punya nomor telepon genggamku yang tidak diketahui orang lain. Aku akan terus meminta bantuan darimu. Paham"
Maggie mengangguk, berpegangan pada partisi ruangan, berusaha menenangkan diri. Situasinya dengan cepat berubah menegangkan.
Aku tidak sempat memperhatikan wajah pucat Maggie. Aku segera melangkah keluar dari kantor, berlari-lari kecil di sepanjang lorong menuju lift.
Thom, apa yang terjadi" Julia kesal menyusul, berusaha menahan lariku.
Aku hendak menyuruhnya menyingkir, tapi teriakanku tersumbat, segera balik kanan, dengan cepat menyelinap masuk dari lift, melangkah di lorong. Mereka pasti bergegas menuju kantorku.
Ada yang bisa saya bantu, Pak" Resepsionis kantor tempatku menyelinap bertanya kepadaku, tersenyum.
Aku tidak mendengarkan, menatap empat polisi yang melintas di depanku, hanya dibatasi dinding kaca transparan. Sekali saja mereka menoleh, mereka akan melihatku yang sedang berdiri membawa boks dokumen.
Mau bertemu dengan siapa, Pak"
Aku sudah meninggalkan resepsionis yang sekarang menatapku bingung. Aku kembali ke lorong gedung menuju lift. Tidak bisa. Dua polisi berpakaian sipil menjaga pintu lift. Mereka sepertinya belajar banyak dari kejadian tadi malam, tidak meninggalkan celah untukku kabur. Juga di tangga darurat, dua polisi menjaga pintunya. Aku mendesah pelan, kembali menyelinap ke kantor orang, bersembunyi sebentar.
Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak" resepsionis kembali bertanya.
Apa yang sebenarnya terjadi, Thom" Julia juga terus bertanya.
Aku menatap wajah ingin tahu Julia. Kau mau tahu banyak hal, Julia"
Gadis itu balas menatapku, bingung, tapi dia mengangguk. Kau bantu aku keluar dari gedung ini, maka akan kuceritakan semuanya padamu. Eksklusif. Kau bahkan bisa mendapatkan promosi dari cerita ini.
Julia berhitung dengan situasi. Semuanya" Ya, semuanya.
Ayolah, Julia. Aku boleh jadi tipikal orang yang tidak kausukai, menyebalkan. Tapi aku selalu memegang janjiku. Kau akan mendengar semuanya. Terserah kau mau menulis apa setelah itu, dunia ini jelas tidak hitam-putih! aku berseru jengkel.
Julia mengangguk. Berpikir cepat, lantas melangkah keluar. Mau bertemu dengan siapa, Pak" Sepertinya resepsionis kantor tempatku menyelinap terlalu banyak menerima pelatihan keramahtamahan, lagi-lagi dia bertanya dengan wajah penuh senyum. Tidak merasa aneh melihat kami yang keluar-masuk kantornya sejak tadi.
Sebelum si resepsionis sempat bertanya lagi, mendadak suara alarm meraung kencang, membuat senyumnya terlipat. Kencang sekali. Membahana di langit-langit setiap lantai gedung. Aku mendongak, bertanya-tanya.
Julia kembali masuk, tersenyum jahat. Aku baru saja memukul alarm kebakaran gedung, Thom.
Aku menelan ludah. Ruangan depan kantor tempatku menyelinap dalam hitungan detik sudah dipenuhi orang-orang yang berlari keluar, berebut termasuk resepsionis amat ramah itu. Hilang sudah senyum manisnya, dia justru berteriak paling panik. Kebakaran! Kebakaran!
Bergegas, Thom. Kita bisa kabur dari polisi dalam situasi seperti ini. Julia sudah mengambil sebagian dokumen dalam boks, berlari dalam keramaian menuju tangga darurat. Genius. Aku akhirnya mengembuskan napas, mengangguk. Sepertinya aku telah menemukan teman setara dalam pelarian ***
Meski hari Sabtu, tetap banyak karyawan yang masuk kantor di gedung 24 lantai itu. Lobi, parkiran, lorong, tangga darurat, segera dipenuhi orang-orang. Dalam situasi seperti ini, tidak mudah mengenali wajah. Aku melewati dua polisi berpakaian sipil yang bingung melihat gelombang orang berlarian. Mereka terpaksa menyingkir. Di lobi ada beberapa polisi lainnya yang berjaga, celingukan, memeriksa, tapi mereka tidak bisa melakukan apa pun selain justru mengikuti komando evakuasi dari petugas sekuriti gedung.
Julia memimpin jalan aku mendengus dalam hati untuk dua hal. Satu, untuk jelas-jelas aku lebih tahu arah jalan dan tempat parkir mobilku dibanding dia, karena ini gedung perkantoranku. Dua, untuk sial, saat berdesak-desakan turun tadi, dengan boks penuh dokumen aku terjerembap. Kakiku terkilir. Tidak serius, tapi cukup menghambat kecepatan, membuatku terpincangpincang menerobos kerumunan.
Mana mobilmu" Julia berseru, meningkahi keributan orang yang menonton, orang-orang yang sibuk mendongak, bertanyatanya di lantai berapa kebakaran terjadi. Suara raungan alarm terdengar hingga jalan, ditingkahi suara sirene mobil pemadam kebakaran milik kompleks perkantoran.
Aku menunjuk area parkiran, meraih kunci di saku, sambil satu tangan mengepit boks. Mengeluh, dengan tumit kaki yang masih terasa ngilu, aku tidak bisa mengemudi.
Kau bisa mengemudi" aku berseru bertanya. Tentu saja bisa, Julia menjawab kasar, tersinggung.
Wajah marahnya segera terlipat, dia mematung sejenak. Aku sudah melemparkan kunci.
Julia bergumam, entahlah, menyeka pelipis, lantas membuka pintu mobil. Aku melemparkan boks sembarangan, dokumennya berserakan. Aku segera masuk lalu mengempaskan punggung di jok berlapis kulit asli.
Lima belas detik berlalu, kami sudah meninggalkan keributan halaman gedung. Mobilku berpapasan dengan mobil pemadam kebakaran lain dengan sirene meraung, baru datang dari gardu pemadam terdekat.
Aku melepas sepatu, meluruskan kaki, berusaha memberikan napas ke tumitku yang terkilir. Julia menekan pedal gas lebih dalam, meski dia sedikit gugup dengan interior mobil, termasuk sedikit pucat dengan betapa bertenaganya mobil yang dia kemudikan mobil seperti terbanting saat digas. Tapi gadis di sebelahku itu cepat menyesuaikan diri.
Aku belum bisa menghela napas lega. Setelah keributan pulih, petugas tahu alarm itu palsu, Maggie tidak akan bisa menahan lama polisi.
Telepon genggamku berdering. Kau di mana, Thom" Suara Ram.
Aku sedang kabur, di mana lagi" aku balas berteriak. Ram tertawa prihatin. Maaf, Thom. Aku persis di parkiran gedung kantormu, hendak memastikan apakah dokumen Bank Semesta yang kukirim sudah diterima stafmu. Astaga, ramai sekali di sini. Kupikir ada kejadian apa. Om Liem ber"sama"mu, Thom"
Om Liem di rumah peristirahatan Opa, Waduk Jatiluhur.
Ram bergumam sesuatu, syukurlah, atau thank God, aku tidak mendengar jelas kalimatnya.
Kau sudah terima dokumennya" Sudah, Ram.
Sudah kaubaca" Astaga, kau dengar, Ram, sekarang bukan waktunya bercakap-cakap. Hubungi aku kalau ada kabar penting saja. Aku segera mematikan telepon genggam, menghela napas panjang, kupikir tadi telepon dari siapa lagi atau kejutan baru lagi. Ini hebat, Thom! Julia berseru dari belakang kemudi. Aku menoleh.
Gadis itu seperti lupa bahwa dia baru saja mengancamku di ruang kerjaku, atau baru saja lari dari polisi yang hendak menangkapku. Sekarang wajahnya antusias, tangannya kokoh memegang kemudi.
Mobil ini ada asuransinya, kan" Julia balas menoleh, menyengir. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak ngebut, Thom. Kalau sampai menabrak sesuatu, aku tidak bisa mengganti"nya.
Aku balas menyengir. Mobil melesat menyalip tiga kendaraan sekaligus di jalan protokol Jakarta. Julia tidak bohong, dia pandai mengemudi.
Sayangnya mobil hebatmu ini tidak ada GPS-nya, Thom. Apa susahnya kau membeli sistem navigasi yang hebat, jadi kita bisa tahu jalan mana saja yang harus ditempuh, tahu jalan mana saja yang macet. Apa gunanya mobil sehebat ini kalau kau tidak bisa ngebut"
GPS" aku bertanya, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang salah Iya, GPS, Thom. Global positioning system, sistem navigasi sekali"gus alat tracking. Kau sepertinya bukan anak muda yang suka gadget, Thom.
Aku mengutuk Julia dalam hati, tentu saja aku tahu apa itu GPS. Pertanyaanku retoris, karena aku sedang mengingat kekeliru"an apa yang telah kulakukan selama kabur semalam.
Ada dua jenisnya, Thom. GPS untuk navigasi atau tracking. Hari ini, jangankan mobil mahal, truk untuk operasional tambang, truk peti kemas, mobil boks kurir, bus, ambulans, bahkan taksi, semua dilengkapi GPS. Setidaknya GPS tracking untuk mengetahui posisi mereka di mana, demi efisiensi dan alasan keamanan armada. Julia terus men"jelaskan, menganggap seringai burukku tanda tidak mengerti.
Aku benar-benar mematung.
Ke mana tujuan kita, Thom" Julia bertanya, antusias menyalip lagi deretan mobil. Dia bahkan berani mengambil marka jalan sebelah kiri, membuat pejalan kaki berteriak mengacungkan tinju.
Astaga, aku sungguh telah melakukan kesalahan besar. Apa kata Julia barusan" Ambulans" Aku tahu GPS tracking. Benda kecil berbentuk chip itu dibenamkan di jendela, pintu, atau bagian tertentu mobil, lantas memancarkan sinyal secara kontinu untuk memberitahukan posisi mobil. Satelit menangkap data itu, sehingga pemilik mobil bisa dengan cepat membaca di mana saja armada kendaraan yang mereka miliki berkeliaran di jalan. Aku menepuk dahi. Rumah sakit yang mengirimkan ambulans untuk Om Liem tadi malam pastilah memiliki mekanisme ini. Ambulans.
Tol, masuk pintu tol keluar kota, aku mendesis. Suaraku bergetar oleh kecemasan.
Sekali saja polisi mendatangi rumah sakit, sekali saja mereka meminta data posisi ambulans milik mereka yang dilarikan semalam, dengan segera mereka tahu posisi Om Liem. Ngebut, Julia! aku menyuruh.
Kau serius" Julia tertawa.
Aku lebih dari serius, Julia! Ngebut sebisamu, jangan pedulikan banyak hal. Mobil ini dilindungi asuransi berkali-kali lipat nilainya.
Julia mengangguk mantap, rahangnya mengeras. Dia menekan pedal gas lebih dalam. Seperti peluru yang ditembakkan, mobil yang dikemudikan Julia melesat menaiki fly over, langsung menuju pintu tol.
ULIA membanting setir ke kiri, menginjak rem sekuat yang dia bisa. Mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi segera terbanting, berdecit panjang, membuat ngilu kuping. Roda mobil membuat bekas panjang di jalur darurat tol, hingga akhirnya berhenti sebelum terlempar ke luar jalan. Beberapa mobil di belakang yang kaget dengan aksi Julia menekan klakson panjang, mengumpat dari balik jendela.
Kau gila! Apa yang kaulakukan" aku ikut mengumpat. Kau yang gila, Thom! Julia balas berseru, napasnya tersengal.
Kami baru saja belasan kilometer meninggalkan Jakarta. Masih enam puluh kilometer lagi sebelum Waduk Jatiluhur. Sejak dari pintu tol, Julia terus mendesakku, bertanya ke mana persisnya tujuan kami. Sementara aku berusaha menelepon Maggie, me"mastikan dia baik-baik saja atau tidak. Kesal karena Julia terus bertanya, aku menjawab apa adanya.
Liem. Dengan napas tersengal, Julia turun dari mobil, membanting pintu, berjalan ke rerumputan pinggir tol.
Astaga, Julia, kau pikir kita akan ke mana, hah" Pergi ke restoran, lobi hotel, mencari tempat yang cozy untuk wawancara" Kau tadi menanyakan apa yang terjadi. Lantas aku menjawab agar kau mendengarkan baik-baik. Begitu kan, hah" Aku ikut turun, melangkah pincang mendekatinya.
Tol luar kota ramai. Satu-dua mobil lewat tidak terlalu memedulikan kami. Hanya mogok biasa demikian sudut mata penumpang melintas menyimpulkan. Satu-dua malah bergumam, mobil keren-keren ternyata mogok juga.
Aku tidak mau mengantarmu. Julia menggeleng. Kau harus mengantarku! aku berteriak kesal, menunjuk kakiku yang masih pincang.
Ini berlebihan. Aku tidak mau terlibat melarikan buronan kelas kakap.
Kau sudah terlibat, Julia, persis saat kau penuh dengan rasa penasaran mengaduk-aduk masa laluku. Dan jelas kau sudah menyetir mobil sejauh ini. Kau sudah terlibat. Lagi pula, bukankah kau sudah bisa menduga sejak awal, aku yang melarikan Om Liem semalam" Mau atau terpaksa, dengan memecahkan alarm kebakaran gedung, kau sudah memutuskan terlibat.
Julia membungkuk, mendengus, masih berusaha me"ngendalikan diri.
Ayolah, Julia. Ini tidak buruk. Hei, bukankah wartawan perang bertaruh dengan risiko tertembak saat menyiarkan langsung dari lapangan" Nah, anggap saja kau juga punya risiko disangka memaksa, kau di bawah ancaman. Sebagai gantinya, aku akan menceritakan semuanya. Kau akan tahu banyak hal. Julia berdiri, menarik napas panjang.
Satu mobil yang melintas melambat, menekan klakson. Aku melambaikan tangan, mengacungkan jempol, semua oke, tidak perlu dibantu. Mobil itu melaju lagi. Sekarang hampir pukul dua belas, meski matahari terik membakar ubun-ubun, bukit hijau menghampar sejauh mata memandang membuat sejuk suasana. Rerumputan pinggir jalan tol terpangkas rapi, aromanya menyegarkan.
Aku tidak mau terlibat, Thom. Julia menggeleng. Astaga, kau harus mengantarku. Aku tidak bisa mengemudi dengan kaki pincang.
Julia menggeleng untuk kesekian kali.
Baiklah, jika ini yang ingin kauketahui. Aku tidak akan menutupinya. Aku meremas rambut, setengah sebal menatapnya. Om Liem melanggar banyak regulasi, itu benar. Dia ambisius, memanfaatkan banyak koneksi untuk memuluskan bisnisnya, dan begitu banyak kejahatan lainnya, itu benar. Dia jelas bedebah. Tapi aku baru semalam menyadari ada yang keliru dengan rencana penutupan Bank Semesta. Ada bedebah yang lebih jahat lagi di luar sana. Om Liem sudah berjanji akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak akan mengunyah satu perak pun uang mereka. Tapi aku butuh waktu untuk meng"hukum orang-orang di balik semua ini. Beri aku waktu dua hari. Aku punya rencana, kami tidak akan tertangkap. Kau hanya perlu bersabar, membantuku, maka dua hari berlalu, kau akan mendengar seluruh cerita, penjelasan. Bahkan boleh jadi kau bisa Percayalah. Setidaknya percayalah pada Thomas, janji seorang petarung.
Aku memegang lengan Julia.
Nah, kau bersedia mengantarku segera ke Waduk Jatiluhur" Waktu kita terbatas, aku khawatir mereka lebih dulu tiba, dan semuanya jadi berantakan.
Julia masih menatapku ragu-ragu bahkan antusiasme mengemudi mobil balap barusan hilang hanya karena kalimat pendek"ku menjawab pertanyaannya. Kita ke tempat persembunyi"an Om Liem.
Aku menghela napas. Baiklah, akan kuceritakan kau sepotong kejadian masa lalu. Kaudengarkan baik-baik. Setelah ini, terserah kau mau membantuku atau tidak. Tapi jika kau memutuskan mem"bantu, ini terakhir kali aku bercerita hingga hari Senin. Setelah ini, jangan banyak bertanya lagi. Kau paham, Julia"
Gadis itu tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Hanya bersiap mendengarkan.
*** Dua puluh tahun lebih, di masa silam.
BRAK! Suara keributan di halaman rumah terdengar.
Kapan, Koh" Kapan" Sudah enam bulan! Terdengar teriakan marah.
Iya, kapan" Kalau begini terus, kami lebih baik mengambil semua uang kami. Seruan-seruan lain menimpali, tidak kalah galak.
teriakan marah. Mereka memukul-mukul meja-kursi, mulai tidak ter"kendali.
Aku takut-takut melangkah ke depan. Opa mengikuti di belakangku. Di halaman rumah, cepat sekali, ternyata sudah ada puluhan orang berkumpul. Dua kali lebih banyak dibanding setengah jam lalu.
Bapak-Bapak, Liem saat ini ada di pelabuhan. Dia sebentar lagi akan membawa kabar baik. Bunga uang arisan Bapak-Bapak akan segera kami bayarkan. Juga buat yang ingin sekalian mengambil pokoknya. Akan kami bayarkan semuanya, Papa berusaha meningkahi seruan marah.
Kami ingin kepastian sekarang, Koh. Bukan janji-janji lagi. Sekarang!
Iya! Muak kami mendengar janji-janji.
Aku menelan ludah, mengintip dari balik tirai jendela. Enam bulan lalu, setelah hampir dua tahun bisnis keluarga kami melesat cepat, untuk pertama kalinya, sepulang dari gudang, wajah Om Liem terlipat. Dari samar-samar percakapannya dengan Papa dan Opa, aku tahu, salah satu kapal kami tertahan di pelabuhan. Petugas bea cukai menuduh muatan itu ilegal, dan hendak menyitanya. Om Liem berhari-hari meng?"urusnya, bilang dia mengeluarkan uang besar sekali untuk me"loloskan muatan.
Padahal semua dokumen sudah lengkap. Om Liem mengusap peluh di dahi.
Kau mungkin melupakan beberapa pejabat" Opa bertanya pelan, mendongak menatap langit-langit.
Tidak, semua pihak sudah mendapatkan bagiannya. Tidak Mama dan Tante Liem datang meng"hidangkan ginseng hangat, menghela napas prihatin.
Dan hanya soal waktu, berbagai masalah datang beruntun. Kapal-kapal itu entah apa pasal, mendadak rusak di perjalanan, pengiriman tertunda berbulan-bulan; ditemukan barang selundupan (kali ini petugas bea cukai meminta uang sogok yang besar sekali), pencurian kargo di pelabuhan (petugas kejaksaan justru menuduh kami yang mengada-ada), hingga puncaknya, salah satu kapal kebanggaan keluarga tenggelam (menurut kapten kapal, kejadiannya cepat sekali, kapal tiba-tiba sudah miring).
Tidak terbilang kerugian. Belum lagi uang yang dihabiskan untuk menyumpal petugas, jaksa penuntut terkait kasus-kasus baru yang muncul susul-menyusul. Sengketa lahan gudang (entah kenapa tiba-tiba ada akta tanah kembar), penjelasan atas sekarung benda haram (ganja) di gudang kami. Semua kejadian sial itu membuat bisnis keluarga tersumbat. Maka hanya soal waktu, pembayaran bunga dan bonus untuk peserta arisan tersendat, kerugian menggerogoti modal. Enam bulan berlalu, anggota arisan mulai tidak sabaran, menuntut uang mereka dikembalikan.
Bapak-Bapak, salah satu kapal kami akan segera merapat di pelabuhan. Liem sedang mengurusnya. Jika barang-barang itu tiba, kami bisa segera mendapatkan uang. Harap bersabar. Bersabar sampai kapan, Koh"
Setidaknya sampai siang ini. Kami mohon pengertiannya. Kenapa Kokoh tidak menjual gudang-gudang atau rumah ini saja untuk membayar uang kami" Seseorang berseru, segera ditimpali teriakan setuju yang lain.
Papa menggeleng, wajahnya terlihat tegang. Orang-orang yang semakin terlihat bengis. Bukan hanya anggota arisan yang datang, kabar kesulitan membayar bunga arisan membuat orangorang lain berkumpul ingin tahu. Juga terlihat sekelompok wajah-wajah garang, aku mengenalinya, mereka preman. Mereka ribut menurunkan papan nama Arisan Keluarga Edward-Liem . Berteriak-teriak memanasi situasi.
Apa pula urusan mereka" Bukankah beberapa hari lalu Papa juga bilang, Sebenarnya hanya segelintir dari anggota arisan yang memaksa uang mereka dikembalikan. Yang lain masih bisa bersabar, percaya kita bisa mengatasi masa-masa sulit ini.
Aku menghela napas lega. Lima belas menit kemudian datang dua truk polisi. Mereka bersenjata lengkap. Sigap loncat dari truk. Langsung memblokade depan rumah. Aku tahu komandan pasukannya, Letnan Satu Wusdi. Dia sering diundang dalam acara pesta-pesta Papa.
Selamat pagi, Koh, letnan polisi muda itu menyapa Papa. Aku tahu siapa dia, sering diundang dalam acara pesta-pesta Papa. Dia datang ditemani salah satu pejabat muda kejaksaan kota kami. Aku juga kenal, namanya Tunga, juga kolega dekat Papa dan Om Liem.
Situasinya sepertinya memburuk, Koh" Tunga ter"senyum. Papa mengangguk, mengembuskan napas panjang. Kau tidak perlu cemas. Opa mengelus rambutku. Setidaknya dengan ada petugas, massa tidak akan bertindak nekat. Om Liem akan segera membawa kabar baik.
Aku mengangguk. Kau tidak jadi mengantar botol susu" Opa mengingatkan. Aku menepuk jidat, segera berlari kecil ke belakang. Mama sepeda. Hati-hati. Dan entah kenapa Mama sempat mencium dahiku. Tersenyum lembut. Aku menyengir, segera mengayuh, menerobos kerumunan yang meski semakin keras berteriak, tidak berani melewati barikade petugas.
Sementara di rumah, aku tidak tahu Papa sedang melakukan negosiasi dengan petugas.
Aku cemas mereka tidak bisa bersabar lagi. Papa mengusap dahi.
Tenang saja, Koh. Anak buahku akan menjaga seluruh rumah, Wusdi menenangkan.
Semua bisa diatur, Koh. Tunga manggut-manggut. Papa dan Opa tersenyum kecut. Belakangan ini mereka benarbenar meng"andal"kan dua orang ini untuk mengurus banyak hal. Meski semua justru semakin berlarut-larut dan rumit.
Aku lihat di antara kerumunan lebih banyak yang bukan anggota arisan, Papa mengeluh.
Mereka sepertinya bahkan membawa senjata tajam, Opa ikut mengeluh.
Wusdi tertawa kecil. Jangan cemas. Paling juga mereka hanya tertarik melihat keramaian.
Tunga ikut tertawa kecil. Biasalah. Kokoh harusnya tahu sekali, urusan seperti ini selalu mengundang perhatian.
Sementara itu aku terus mengayuh sepeda, melintasi gang, jauh meninggalkan rumah. Mengantar susu. Aku tidak tahu saat itu dering telepon terdengar di rumah.
Papa sedikit tersentak. Itu pasti kabar baik dari Liem. Semua kepala menoleh, Papa meraih telepon genggam, semua kepala menunggu.
Gagang telepon jatuh. Mama mendekat. Apa yang terjadi"
Ka& kapal itu sudah merapat, Papa terbata-bata. Bukankah itu kabar baik" Tante Liem bertanya. Papa menggeleng. Kapal itu merapat dengan seluruh muatan terbakar.
Mama berseru pelan, meraih pegangan di dinding. Wusdi bergumam pelan dengan wajah penuh simpati. Situasi ini rumit sekali, Koh. Sungguh rumit... Sekali saja massa di luar tahu kabar buruk ini, mereka bisa mengamuk.
Opa terdiam. Mengusap kepalanya yang setengah botak. Tunga ikut berkomentar, Kami ikut menyesal mendengar kabar ini, Koh. Tapi sidang pengadilan tentang barang selundupan dan ganja akan segera dilakukan siang ini. Dengan kabar buruk ini, akan banyak pihak yang berebut menjatuhkan keluarga kalian. Ada banyak petugas yang harus disumpal mulutnya. Celakanya, kalian pasti tidak punya uang lagi. Opa semakin terdiam.
Bakar! Terdengar teriakan dari luar. Bakar! Yang lain menimpali.
Apa yang harus kami lakukan" Papa memegang lutut Wusdi.
Wusdi dan Tunga terdiam sejenak, menyeringai. Wusdi bergumam lagi, Anak buahku bisa saja menahan massa. Membubarkan mereka, tapi massa di luar perlu jaminan bahwa uang mereka akan dibayarkan.
Tunga ikut bergumam, Kami bisa saja menarik seluruh tuntutan, tuduhan. Tapi semua itu butuh biaya.
tidak diganggu. Akan aku tebus. Papa mulai panik, massa di luar mulai merangsek ke dalam.
Wusdi dan Tunga menyeringai, saling lirik sebentar. Baiklah, apakah Kokoh bisa menyerahkan seluruh sertifikat rumah dan tanah" Dengan menunjukkan itu pada massa di luar, menjanjikan mereka akan dibayar dengan menjual harta keluarga kalian, mereka mungkin bisa dibubarkan, Wusdi berkata arif.
Juga surat-menyurat perusahaan, gudang-gudang, kapal. Biarkan kami yang pegang, dengan itu akan terlihat iktikad baik keluarga kalian menyelesaikan masalah. Aku bisa membujuk jaksa kepala untuk membatalkan tuntutan. Menghilangkan bukti-bukti, Tunga ikut berkata bijak.
Papa dan Opa saling tatap sejenak. Mama sambil terisak berusaha bangkit dari jatuhnya.
Lima menit, semua berkas itu sudah masuk ke dalam tas-tas Wusdi dan Tunga.
Sekarang biarkan kami mengurus mereka. Wusdi berdiri, menyalami Papa.
Tunga tersenyum mantap. Kalian tidak perlu ke mana-mana. Semua masalah sudah selesai.
Mereka melangkah ke halaman rumah. Teriakan-teriakan marah terdengar dari pintu yang setengah terbuka. Sudah hampir dua ratus massa memenuhi halaman.
Aku sungguh sudah jauh sekali dari rumah. Mulai menurunkan satu per satu botol susu pesanan tetangga. Menyapa mereka sambil berlari-lari kecil.
Lapor, Komandan, apa perlu kami memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan massa" Salah satu sersan men- Tidak perlu. Perintahkan seluruh anak buahmu kembali ke markas, Wusdi menjawab santai.
Dahi sersan polisi itu terlipat, tidak mengerti. Bukankah kita seharusnya justru meminta tambahan petugas, Komandan"
Tidak perlu, Sersan. Jangankan membayar uang arisan, keluarga ini bahkan tidak bisa membayar seperak pun upahmu berjaga-jaga siang ini di rumah mereka. Kapal mereka terbakar di pelabuhan. Tunga menepuk bahu sersan polisi itu. Sersan polisi itu terdiam. Tidak mengerti.
Wusdi dan Tunga santai menaiki mobil, perlahan membelah massa yang beringas. Wusdi menurunkan kaca, memberikan kode ke gerombolan preman. Tunga di sebelahnya tertawa menepuk-nepuk tas penuh berkas berharga.
PRANG! Aku mengerem sepeda sekuat tenaga, seekor kucing melintas di gang.
Hari itu umurku sepuluh tahun.
Hari itu Papa dan Mama terpanggang nyala api. Rumah besar kami dibakar massa. Opa dan Tante Liem, dibantu tetangga yang berbaik hati berhasil melarikan diri. Om Liem yang kembali dari pelabuhan dua hari kemudian hanya termangu melihat puingpuing. Aku yang pulang dari mengantarkan botol susu menangis berteriak-teriak melihat asap mengepul dari kejauhan. Beberapa tetangga mencegahku pulang ke rumah. Masih banyak gerombolan tidak dikenal yang menunggui rumah.
Hari itu keluarga kami kehilangan semuanya. ***
Kau tahu, Julia. Sejak hari itu aku membenci Om Liem. Dialah penyebab semuanya. Omong kosong arisan berantai keluarga Edward-Liem. Aku tidak mau terlibat dengan per"usahaan"nya, tidak mau dekat-dekat dengannya. Aku pergi dari rumah. Tinggal di sekolah berasrama, dengan makanan dijatah, kamar tidur sempit. Aku membencinya dua puluh tahun lebih. Bahkan satu hari lalu aku tetap tidak peduli padanya. Aku tahu skandal Bank Semesta, penyidikan oleh bank sentral, polisi, dan kejaksaan. Hancur lebur semua konglomerasi yang dia miliki, aku tidak peduli. Masuk penjara ribuan tahun, aku tidak peduli.
Tetapi tadi malam, saat orang kepercayaan Om Liem menjemputku di hotel, pukul dua dini hari, di dalam mobil Ram menyebutkan nama petinggi kepolisian dan pejabat kejaksaan yang menyidik kasus Bank Semesta. Aku mengenali nama itu. Nama kedua bedebah itu. Kau pernah bertanya padaku, apakah aku anak muda yang pintar, kaya, punya kekuasaan dengan kepribadian ganda" Penuh paradoks" Kau keliru, Julia. Aku adalah anak muda yang dibakar dendam masa lalu. Jiwaku utuh. Seperti berlian yang tidak bisa dipecahkan. Aku selalu menunggu kesempatan ini.
Apakah hidup ini adil" Papa-Mama mati terbakar. Dua bedebah itu menjadi orang penting di negeri ini. Satu menjadi bintang tiga kepolisian, hanya soal waktu dia jadi kepala polisi. Satunya lagi jaksa paling penting dan berpengaruh di korpsnya, hanya soal waktu menjadi jaksa agung. Aku kembali, Julia. Sejak tadi malam aku memutuskan kembali ke keluarga ini. Aku akan membalaskan setiap butir debu jasad Papa-Mama. Beri aku rencana. Aku bukan lagi anak kecil enam tahun yang berlari-lari meng"antar susu. Akulah bedebah paling besar dalam cerita ini. Jadi, apakah kau mau membantuku atau tidak, terserah kau.
Jalanan tol lengang. Julia menatapku lamat-lamat, tidak menjawab.
Aku menghela napas pelan, dengan kaki pincang, melangkah perlahan, kembali ke mobil. Di kejauhan seorang anak terlihat menggembalakan beberapa ekor kambing di lereng bukit menghijau. Suara kambing mengembik terdengar samar di antara lesatan mobil-mobil melintasi jalan tol. Dengan tumit yang masih ngilu, aku akan memaksakan diri mengemudi. Tetapi ternyata Julia belari kecil meraih lenganku. Aku menoleh.
Aku akan membantumu, Thom. Gadis itu mengangguk mantap.
ETELAH penjelasan sepotong masa laluku pada Julia, dan dia akhirnya bersedia kembali mengemudi, kami melangkah menuju mobil.
Sialnya, tinggal empat langkah lagi dari pintu mobil, tiba-tiba tanpa kami sadari mobil patroli tol merapat. Petugas di dalamnya menekan klakson, lampu di atas kap mobil patroli menyala kerlap-kerlip. Mereka kemudian parkir persis di belakang mobilku, lantas turun sambil merapikan seragam dan pistol di pinggang.
Selamat siang. Dua orang petugas mendekat.
Aku menelan ludah. Sedikit terperanjat dengan kedatangan mereka. Berusaha berpikir cepat bagaimana segera kabur sebelum mereka bertanya-tanya.
Mobil kalian mogok" Salah satu petugas lebih dulu bertanya.
Ini situasi biasa yang rumit. Biasa, karena lazim ada mobil mengarang mobilku mogok, ada kerusakan, tapi semakin lama kami tertahan, semakin panjang dialog dan cerita, mereka jadi punya kesempatan bertanya hal lain dan urusan menjadi rumit. Mereka akan meminta identitas, surat izin mengemudi, bahkan mulai mengarang-ngarang kesalahan. Lebih sial lagi kalau mereka jadi tahu aku buronan polisi sejak tadi malam.
Mobil kalian bermasalah" Rusak" Petugas bertanya sekali lagi, tinggal dua langkah. Yang satu malah mengambil inisiatif melongok-longok memeriksa mobil.
Aku mendesah, terus berpikir mencari alasan. Kami harus segera kabur.
Dasar lelaki tidak berguna! Julia sudah berteriak lebih dulu sebelum aku memutuskan mengambil langkah apa pun.
Berapa kali kau ketahuan selingkuh, hah" Berapa kali, Pengkhianat" Julia berteriak sambil mendorong dadaku, wajahnya marah.
Eh" Aku bingung sejenak, berusaha menyeimbangkan diri hampir saja terjatuh.
Kalau begini terus, aku minta cerai saja, cerai! Julia sudah pura-pura hendak menangis.
Aku menggaruk kepala, dengan cepat mengerti apa yang sedang dilakukan Julia.
Dua petugas patroli saling pandang, menelan ludah, urung bertanya lebih lanjut.
Aku tidak tahan lagi. Tidak tahan! Julia berteriak seperti wanita sedang emosi tinggi.
Kau keliru, Sayang. Aku sudah berubah, lihatlah. Astaga, ikuti mentah-mentah skenario Julia, mulai berakting macam dua pasangan yang sedang bertengkar, berusaha membujuknya agar tenang.
Kau penipu! Sekali penipu tetap penipu! Sungguh, Sayang. Aku sudah banyak berubah. Kau lelaki pendusta, Fernando! Julia berteriak parau, dan PLAK! Gadis itu telak menampar pipiku.
Dua petugas patroli bahkan berseru tertahan, sedikit kaget. Salah tingkah harus melakukan apa.
Aku akan pergi jauh. Jangan ikuti aku. Julia sudah membuka pintu mobil, masuk.
Tunggu, Esmeralda! Aku terpincang, berusaha menyusul. Tentu saja Julia akan menungguku meski mobil sudah menderum dinyalakan.
Tunggu! Aku masuk ke dalam mobil, menutup pintu. Sedetik, mobil melesat bagai peluru meninggalkan dua petugas patroli yang hanya bisa terpana.
Menggaruk kepala, saling tatap bingung, dua petugas patroli itu akhirnya mengangkat bahu, menghela napas panjang. Bergumam satu sama lain, ternyata mobil keren ini menepi karena penum"pang"nya, suami-istri bernama Fernando dan Esmeralda sedang bertengkar, tidak ada yang serius. Mereka tidak berselera me"ngejar, kembali masuk ke dalam mobil patroli, melaju seperti biasa.
*** Kau seharusnya tidak menamparku sekencang itu. Aku meringis, meraba pipi sebelah kiri yang masih terasa pedas. Seumur-umur aku belum pernah ditampar wanita.
Aku harus sungguh-sungguh, Thom. Biar mereka tidak curiga. Julia menoleh sebentar, tertawa, lantas kembali konsentrasi penuh. Mobil melesat cepat menuju Waduk Jatiluhur.
Kakimu masih sakit" Julia bertanya, mobil sudah keluar dari pintu tol, memasuki jalanan menuju Waduk Jatiluhur. Setelah sepanjang pagi cerah, sejak sepuluh menit lalu mendung menggelayut malas di langit. Orang-orang berlari kecil, bergegas menyelesaikan urusan sebelum telanjur hujan deras.
Sudah lumayan. Aku meluruskan kaki, melirik pergelangan tangan, hampir pukul dua belas siang. Aku sudah menyelesaikan membaca beberapa bundel dokumen, menandai begitu banyak hal menarik.
Dengan kecepatan tinggi, hanya butuh setengah jam menuju rumah peristirahatan Opa dari tempat kami berhenti di jalur darurat tol.
Tadi Julia menyuruhku menelepon rumah peristirahatan Opa untuk memberitahukan kabar ini. Saran baik yang sia-sia, Opa menolak memasang telepon di rumahnya. Orang tua ini tidak mau diganggu siapa pun, demikian Opa menjawab kalem. Dia juga tidak terbiasa menggunakan telepon genggam. Aku pernah membelikannya telepon genggam paling mutakhir agar dia lebih mudah dihubungi. Tapi esok harinya Opa tega menggunakannya untuk mengganjal salah satu kaki kursi santainya. Nah, dia lebih bermanfaat sekarang, Tommi. Opa terkekeh, duduk menatap cahaya matahari senja menerpa waduk, melambaikan tangan. Aku hanya bisa mendengus kesal, itu telepon mahal.
sempat membawa telepon genggamnya semalam. Aku tidak bisa memberikan peringatan ke rumah itu agar mereka segera menyingkir. Dengan semua kemungkinan terbuka, aku memutuskan meng"habiskan waktu tiga puluh menit untuk mempelajari dokumen yang diberikan Maggie. Ini jelas lebih berguna dibanding ber"gumam resah menyuruh Julia lebih cepat lagi. Sama halnya ketika kalian terjebak macet, daripada memaki, resah, sebal, yang jelas-jelas tidak akan membuat kemacetan jadi terurai, maka lebih baik membaca sesuatu atau tidur.
Belok kiri atau lurus" Julia bertanya. Kami hampir tiba.
Terus, hingga habis jalan raya, aku menjawab pendek, melempar dokumen.
Mobil yang dikemudikan Julia melambat.
Aku menghela napas lega. Tidak ada keramaian di depan gerbang pagar. Juga tidak ada mobil-mobil atau polisi yang mengepung di halaman rumah. Lengang. Gerimis semakin deras. Langsung ke halaman belakang, aku menyuruh Julia terus. Satu menit, mobil terparkir rapi, aku dan Julia turun, berlarilari kecil menuju teras belakang.
Tidak ada siapa-siapa di ruangan dapur. Kosong. Bahkan pembantu yang biasanya menyiapkan makanan untuk Opa tidak terlihat.
Aku memandang sekitar. Ini lengang yang ganjil. Opa juga tidak ada di ruangan besar tempat dia berlatih musik. Aku menyeka rambut yang basah. Pada saat hujan seperti ini boleh jadi Opa sedang tidur. Om Liem boleh jadi juga beristirahat setelah dua puluh jam terakhir tidak tidur.
Langkah kakiku melintasi ruangan tengah terhenti. Juga langkah Julia.
Kami berdua sempurna mematung.
Enam polisi dengan rompi antipeluru, bersenjata lengkap, muncul bagai hantu dari balik lemari, sofa, pot besar, bahkan kerai jendela. Wajah mereka tertutup topeng. Mata menatap tajam, berkilat.
Dua polisi dengan cepat meringkusku, aku terbanting duduk. Mereka menelikung tanganku, memasangkan borgol. Dua polisi lain juga memegang tengkuk Julia, cepat menguasai situasi sebelum kami sempat bereaksi apa pun bahkan sekadar mendengus.
Lututku terasa sakit menghantam lantai, aku mengeluh sambil mengutuk dalam hati. Bodoh. Seharusnya aku segera kabur sejak menginjak dapur belakang. Rumah ini terlalu sepi. Ada sesuatu yang telah terjadi. Benar-benar bodoh. Tentu saja mereka sengaja menyembunyikan mobil patroli, kendaraan polisi atau apa pun di halaman. Jika aku melihatnya, aku pasti berputar arah. Setelah tahu lokasi ambulans dari GPS tracking rumah sakit, mereka pasti sengaja mengirim pasukan taktis kecil yang tidak menarik perhatian untuk menangkap Om Liem, lantas menunggu"ku kembali.
Jalan! Salah satu polisi kasar menyuruhku berdiri. Julia hendak protes, tapi moncong senjata terarah ke wajahnya. Membuatnya bungkam.
Aku menelan ludah. Ini berlebihan. Kami bukan teroris, kami juga bukan kriminal seperti pembunuh, psikopat, atau kejahatan besar lainnya. Tidak bisakah mereka mengirim pasukan yang Bergegas! Polisi di belakangku justru menyodokkan moncong senjatanya.
Aku menahan sakit, meringis.
Mereka menggelandang kami masuk ke salah satu kamar. Di sana sudah ada Opa dan Om Liem. Nasibnya sama, diborgol. Duduk di kursi rotan.
Lapor, Bos, semua sasaran telah tertangkap. Samar-samar aku mendengar percakapan di belakang.
Kita bergerak sekarang"
Tahan dulu. X2 sedang dalam perjalanan. Dia sendiri yang akan membawa sasaran, langsung kembali menuju markas, konferensi pers sedang disiapkan.
Aku menelan ludah, menatap wajah Om Liem yang datar, tertunduk. Opa terlihat tenang, bahkan tersenyum kepadaku. Julia terus protes ke polisi yang mendorong-dorongnya, tapi dia tidak bisa berteriak, apalagi menampar polisi macam menampar Fernando sebelumnya. Julia berkumur-kumur, bilang dia punya hak membela diri. Sial, polisi justru tambah kasar men"dorongnya.
Satu polisi meletakkan dua kursi rotan. Menyuruh kami duduk. Aku menurut.
Semua area sudah diamankan, Bos. Delapan yang lain disekap di kamar depan, sepertinya mereka bukan sasaran utama, hanya pekerja biasa. Polisi yang menyergap kami terlihat bicara dengan seseorang yang masuk ke kamar. Mungkin dia komandan pasukan spesialis ini, berpakaian sipil, rompi antipeluru, kacamata hitam besar, dan topeng serbu.
Bagus. Kalian terus berjaga di kamar. Pastikan tidak ada buahnya, melangkah mendekati empat kursi rotan yang dibariskan di tengah kamar.
Aku mendongak, berusaha mencari tahu.
Orang itu justru berhenti persis saat kami saling tatap. Aku tidak mengenalinya, kacamata hitam dan topeng serbu membuat wajahnya tidak terlihat.
Lengang sejenak. Orang itu tetap berdiri, diam, lima langkah dariku.
Kalian berjaga di luar kamar! orang itu berseru pada anak buahnya.
Enam polisi menoleh, bingung. Bukankah mereka tadi disuruh berjaga di sini"
Bergegas! Ini perintah! orang itu membentak. Enam polisi bersenjata lengkap, tanpa menunggu, langsung bergerak ke pintu. Meninggalkan empat kursi rotan dengan empat pesakitan di atasnya.


Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lengang sejenak, hujan turun semakin deras. Komandan polisi itu menatapku, menghela napas panjang. Aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi"
Ini benar-benar kejutan, Thom. Suara galak orang di depanku berubah datar. Dia melepas kacamata hitam dan topengnya. Aku sama sekali tidak tahu kalau ternyata harus menangkapmu, Thomas.
Aku berseru setengah tidak percaya, Rudi!
Ini sungguh kejutan atau boleh jadi lelucon. Rudi merapikan rambutnya, wajahnya juga terlihat setengah tidak percaya. Astaga, kenapa kau ada di sini, Thom" Bukankah kau hanya konsultan keuangan yang baik" Seorang gentleman yang bermedia massa, dianggap anak muda yang berhasil. Semua teman di klub bertarung bilang, kau anggota yang baik, petarung yang hebat, dengan kehidupan yang lurus. Kenapa aku di siang ini, di tengah hujan deras, harus menangkapmu, Thomas" Me"nangkap salah satu petarung terbaik klub. Menangkap teman terbaikku selama ini.
Kau harus melepaskanku! aku berseru. Kau harus segera melepaskan aku, Rudi! Aku bergegas menurunkan intonasi suara, meski hujan deras membuat percakapan samar, boleh jadi enam anak buah Rudi di luar kamar mendengar. Rudi diam sejenak, menatapku lamat-lamat.
Dia, Rudi perlahan menunjuk Om Liem, siapanya kau" Kerabat"
Aku mengangguk cepat. Kau yang membantunya kabur semalam" Kabur begitu saja, seperti anak kecil yang main petak umpet. Membuat puluhan polisi dan perwira terancam dimutasi ke daerah terpencil. Rudi bertanya.
Aku mengangguk lagi. Astaga, Sobat. Rudi separuh hendak tertawa, separuh hendak menepuk pelipisnya. Urusan ini benar-benar celaka. Kau tahu, aku bahkan ditelepon langsung oleh X2 untuk mem"bereskan masalah ini. Bilang pasukan komando khususku harus bergerak cepat, tanpa ampun, dan diotorisasi sah menggunakan apa saja un"tuk menangkap kalian. Ternyata aku menangkapmu, Thomas.
Kau harus melepaskanku, Rudi! aku berseru agak kencang, memotong kalimat Rudi. Waktu kami terbatas. Jika percakapan salah satu anak buah Rudi tadi benar, hanya hitungan menit X2 kode X2, X adalah simbol markas besar, dan 2 adalah penunjuk hierarki yang ada.
Rudi mendekatiku, jaraknya tinggal dua langkah. Kau keliru menangkap orang, Rudi. Bukan aku penjahatnya. Aku mendesak.
Tentu saja semua ini keliru, Thomas. Belasan tahun aku menjadi perwira di kepolisian, aku tahu banyak hal keliru yang dibiarkan terjadi. Rudi bergumam resah, dia menggeleng. Astaga, kau tahu briefing lewat telepon yang diberikan padaku saat menuju tempat ini" Kalian bersenjata berat, licik, dan mematikan. Sepertinya mereka lebih menyuruh kami menembak kalian di tempat dibandingkan menangkap hidup-hidup.
Hentikan basa-basinya, Rudi! Kau harus melepaskan kami segera, atau tidak ada waktu lagi! Untuk kedua kalinya aku memotong kalimat.
Ini tidak mudah, Thom. Rudi mengusap wajahnya. Kau bisa mengarang kejadian apa pun, Rudi! Tentu saja aku bisa. Tapi dengan X2 menuju kemari, ini tidak mudah. Aku bisa membahayakan seluruh karierku demi dirimu.
Aku menatap wajah Rudi. Tatapanku terus mendesaknya. Rudi menyisir rambutnya dengan jemari. Kau benar-benar sialan, Thomas. Semalam kau memukulku jatuh di lingkaran merah, membuatku ditertawakan anggota klub, siang ini kau merengek padaku untuk meloloskanmu. Kalau saja kau bukan teman baikku, petarung penuh respek, sejak tadi aku justru hendak meninju wajah sialanmu ini. Beri aku waktu untuk berpikir.
Biarkan aku berpikir, Thom. Aku menggeleng, tidak ada waktu lagi.
Kau bisa diam dulu tidak, Thom! Entah kenapa, tiba-tiba Rudi berteriak kencang yang pastilah kali ini didengar anak buah"nya di luar. Salah satu dari mereka mendorong pintu kamar.
Dan dalam hitungan sepersekian detik, Rudi sudah meninju wajahku. Telak. Aku terjengkang, kursi rotanku terpelanting, tubuh?"ku berdebam jatuh. Demi melihat itu, Julia berteriak kencang lupa bahwa tadi dia juga menamparku di jalur darurat tol.
Om Liem ikut berseru panik. Opa menghela napas. Diam, Bedebah! Kau tidak boleh melawan petugas. Jangan pernah sekali-kali! Rudi sudah berteriak kalap, jongkok, kasar menarik badanku hingga berdiri.
Darah segar mengalir dari hidungku. Aku tersengal untuk dua hal: Satu, kaget karena tiba-tiba ada bogem mentah menghajarku. Dua, karena hidungku sakit sekali.
Enam anak buah Rudi masuk ke kamar, berbisik satu sama lain, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Hujan semakin deras, cahaya kilat membuat terang semesta, guntur menggelegar enam detik kemudian.
Kauikuti semua permainannya, Thom. Dan kita lihat, apakah aku bisa meloloskanmu dari sini atau tidak, Rudi berbisik di tengah suara guntur, tangannya masih menjambak rambutku.
Aku bergumam setengah putus asa. Permainan apa" Rudi jelas tidak sedang berusaha membantuku lolos. Dia sedang membalas"kan pertarungan tinju kami semalam.
ku berdiri dengan kaki goyah. Belum sempat memasang kuda-kuda, Rudi sudah meninju perutku. Aku melenguh tertahan, kembali terbanting duduk.
Kau pikir kau siapa berani-beraninya melawan, hah" Jagoan" Rudi membentakku.
Belum puas dia, badanku yang bertumpukan lutut ditarik lagi. Setengah berdiri, tinju Rudi kembali menghantam perutku. Kali ini aku terkapar di lantai.
Hujan semakin menggila di luar.
Julia berteriak-teriak menyuruh berhenti. Om Liem juga berseru, memohon. Opa menelan ludah. Enam polisi lain justru menyemangati Rudi, mengepalkan tinju. Habisi dia, Bos! Hajar terus, Bos! Seperti sedang menonton gulat di layar kaca.
Tetapi dua tinju terakhir Rudi tipu-tipu. Itu tidak sungguhan. Kami petarung sejati, mudah saja berpura-pura. Beda halnya dengan petarung bohong-bohongan di layar kaca, mereka pasti kesulitan disuruh berkelahi sungguhan. Untuk lebih meyakin"kan lagi, Rudi menyambar kursi rotan yang terpelanting, lantas dengan wajah merah, berseru kalap, menghantamkannya ke punggungku. Kursi rotan patah dua.
Julia menjerit, menutup mata. Om Liem kehabisan kata. Opa tertunduk.
Salah satu polisi sebaliknya, berseru antusias, Dahsyat, Bos!
Petir menyambar di luar. Lengang sejenak sebelum gelegar guntur panjang. Rudi merapikan rambut, melemparkan sisa kursi rotan, menatap tubuhku yang tergeletak di lantai, lantas berteriak pada dua anak buahnya. Buat dia siuman kembali! Bersihkan darah di hidungnya. X2 tidak pantas melihat sasaran kita seperti ini. Buat dia lebih rapi.
Tawa senang penonton dilipat, dua polisi bergegas mendekat, meletakkan senjata, membalik badanku yang terkulai, mengambil kunci, membuka borgol tanganku. Inilah permainan yang Rudi maksudkan. Kursi rotan tadi jelas tidak sempurna menghantam punggungku, ujungnya yang lebih dulu mengenai lantai. Itu trik biasa di dunia gulat layar kaca. Seolah-olah kena telak, tapi tidak. Seolah-olah kursinya penyok, nyatanya tipu. Lantas pegulat"nya akan pura-pura terkapar.
Aku jelas tidak pingsan. Aku bergerak cepat setelah borgolku lepas. Tanganku meraih senjata di lantai, dan hanya dalam hitungan sepersekian detik aku me"mukulkannya ke dagu salah satu polisi yang jongkok hendak membersihkan darah di wajahku. Polisi itu terkapar sungguhan, satu giginya lepas. Temannya yang terkesiap tidak sempat bereaksi. Aku lebih dulu meraih kerah bajunya, menariknya mundur, Jatuhkan senjata kalian! Jatuhkan! aku berseru serak. Atau aku pecahkan kepala teman kalian ini!
Empat polisi lain mematung. Gerakan tangan mereka yang siap menembakku tertahan. Menoleh pada Rudi, meminta pendapat komandan.
Aku tidak main-main, Bedebah! Aku serius! aku berseru galak. Tanganku menarik kerah seragam polisi yang kusandera kuat-kuat. Dia tercekik, tersengal satu-dua.
Rudi (seolah) menghela napas tegang, berhitung dengan situasi, lantas melambaikan tangan kepada empat anak buahnya. Jatuhkan senjata kalian.
Mereka menurut, perlahan meletakkan senjata di lantai. Kau, kemari! Ya, kau! aku meneriaki salah satu polisi yang berdiri hati-hati, menatap penuh perhitungan. Lepaskan borgol mereka! Aku menunjuk Opa, Om Liem, dan Julia.
Alangkah bebalnya kau. Aku melotot marah, senjataku teracung ke depan, menarik pelatuk.
Tiga tembakan menghantam dada polisi yang kusuruh. Dia memakai rompi antipeluru, tembakanku tidak akan melukainya. Tapi dengan jarak hanya tiga meter, tubuhnya tidak ayal terpental ke dinding, langsung pingsan.
Lepaskan borgol mereka, atau kali ini aku akan menembak kepala kalian yang tidak terlindung kevlar. Aku menatap tiga polisi yang tersisa dengan tatapan dingin.
Salah satu dari mereka menelan ludah sejenak, lantas buruburu mengeluarkan kunci borgol, mendekati Opa, Om Liem, dan terakhir Julia.
Nah, sekarang pakaikan borgol itu ke kalian sendiri! aku Bukan di dua tangan, bodoh! aku membentak. Kaupasangkan kaki dengan tangan.
Polisi itu bingung, meski akhirnya menurut.
Dua menit berlalu, tiga polisi yang tersisa terborgol sempurna dengan posisi aneh, duduk menjeplak, kaki kanan menyatu dengan tangan kiri, atau sebaliknya. Aku mendorong polisi yang kusandera, memukulkan popor senjata ke kepalanya ini balasan karena dia menyodokkan senjata ke lambungku. Polisi itu tersungkur.
Petir menyambar untuk kesekian kali. Guntur menggelegar. Kau ikut kami! Berjalan di depan. Aku menodongkan senjata pada Rudi. Segera! aku meneriakinya.
Rudi patah-patah dengan kedua tangan terangkat melangkah menuju pintu. Opa dibantu Julia bergegas mengikutiku. Om Liem yang masih tidak mengerti apa yang terjadi ikut melangkah.
Di bawah tembakan jutaan bulir air hujan, rombongan kami menuju dermaga belakang, di sana tertambat satu speedboat. Aku menyuruh yang lain segera naik, Opa menghidupkan mesin speed"boat.
Terima kasih, Sobat. Aku menoleh pada Rudi, melemparkan senjata ke permukaan waduk.
Kau berutang besar padaku, Thom. Rudi mengusap wajahnya. Hujan deras membungkus kami.
Aku akan membayarnya lunas dua hari lagi, lengkap dengan seluruh bunganya. Kau pegang janjiku, janji seorang petarung. Aku menyeka ujung bibir yang terasa asin. Air hujan membuat sisa darah di hidung mengalir.
Astaga, Sobat" Aku pasti tidak akan memberitahumu. Aku tertawa. Kau jelas berada di pihak lawan.
Rudi mengangguk, menyengir.
Dan sebelum cengirannya hilang, tanganku sudah bergerak cepat, telak meninju dagunya. Tubuh besar Rudi seketika tersungkur di lantai dermaga. Mulutnya berdarah. KO.
Kau butuh alasan, bukan" Nah, bilang pada X2, kau sudah berusaha menangkapku, mengejar habis-habisan, tapi sasaran yang kaukejar memang licik, berbahaya, dan mematikan. Dia pasti paham saat me"nemukanmu semaput di dermaga. Sama pa"ham"nya saat me"nemukan tiga polisi terkapar di kamar, tiga lainnya diborgol seperti posisi pertunjukan sirkus. Aku sudah loncat ke atas speedboat. Mengambil alih kemudi dari Opa, lantas menekan pedal gas dalam-dalam. Speedboat melesat membelah waduk yang dibungkus hujan deras.
Kilat menyambar membuat akar serabut di langit. Guntur menggelegar.
*** Dia siapa" Om Liem bertanya. Badannya sekarang terbungkus pakaian dan handuk kering, meski masih menggigil kedingin"an.
Jangan banyak tanya dulu. Habiskan cokelat panasmu. Aku mendengus.
Om Liem menghela napas, mengangguk.
Perkenalkan, saya Julia, Om. Julia memperlakukan Om Liem lebih baik, menjulurkan tangan.
Kau apanya dia" Om Liem bertanya pada Julia, kemudian Teman, Om. Saya wartawan yang pernah mewawancarai Thomas.
Kau jangan sampai suka padanya. Opa menimbrung percakapan, tertawa kecil, mengusap rambut berubannya yang setengah basah.
Wajah Julia penuh tanya. Karena sekali kau membuat kesalahan besar padanya, sepanjang hidup nasibmu sama seperti omnya. Tidak pernah dipanggil nama lagi. Benci sekali Tommi pada omnya.
Aku melotot, menyuruh ketiga orang itu bergegas. Ini bukan saat yang tepat mengobrol ringan.
Ada sekitar lima belas menit speedboat yang kukemudikan me"nerobos waduk di tengah hujan deras. Tidak sulit, aku sudah belajar mengemudi speedboat sejak umur enam belas. Melewati keramba ikan penduduk, perahu nelayan yang hujan-hujanan, aku akhirnya merapat di dermaga salah satu resor itu sebenarnya resor milik Opa. Pegawainya tanpa banyak bertanya apa yang telah terjadi bergegas menyiapkan handuk kering, pakaian ganti, dan minuman panas.
Pukul dua siang, hujan deras masih membungkus waduk. Entah apa yang terjadi di rumah peristirahatan Opa. Boleh jadi X2 dan pasukannya yang siap menjemput kami sedang marah besar. Rencana konferensi pers menghadirkan buronan besar gagal total. Aku tidak peduli, aku sedang gemas menunggu Opa dan Om Liem memulihkan diri. Waktuku terbatas, tinggal 42 jam sebelum pukul 08.00 hari Senin.
Kita harus segera bergerak! aku berseru tidak sabaran. Bukankah kau tadi menyuruhku menghabiskan gelas cokelat Dibungkus saja kalau kau mau, aku menjawab ketus. Kita tidak bisa lama-lama, lima belas menit lagi seluruh jalanan keluar dari Waduk Jatiluhur akan diblokade polisi. Mereka akan memeriksa setiap mobil. Mereka sedang marah. Mereka akan melakukan apa pun untuk menangkap kita.
Julia mengangguk, memanggil petugas resor, meminta disiapkan mobil.
Aku bertepuk tangan. Bergegas, Opa!
Opa menghela napas panjang. Orang tua ini mungkin lebih baik tinggal di sini, Tommi.
Aku menggeleng. Tidak. Opa harus ikut ke mana pun aku pergi. Mereka tidak peduli lagi siapa yang terlibat, siapa yang tidak terlibat. Jangan-jangan mereka sekarang sedang mencari pasal yang bisa menuntut sepuluh tahun pembantu rumah Opa karena membantu menyembunyikan buronan misalnya. Petugas resor kembali dengan kunci mobil.
Aku beranjak keluar, diikuti Julia yang membantu Opa berjalan, dan Om Liem, yang astaga, menuruti perintahku, santai menghabiskan cokelat panasnya.
Ini mobilnya" Langkah cepatku terhenti persis di lobi depan resor.
Petugas resor takut-takut mengangguk.
Hanya ini yang tersedia, Pak. Mobil lain sedang menjemput tamu di Jakarta dan Bandung.
Bagaimana mungkin kami kabur dengan mobil ini" Aku menepuk dahi, setengah tidak percaya.
Tidak ada mobil lain, Pak. Kecuali Bapak mau menunggu setengah jam lagi.
nya. Sepanjang pagi aku mengebut memakai mobil balap, sekarang aku harus berhenti di pit stop resor, berganti dengan mobil boks laundry milik resor. Lengkap dengan tulisan besar di dinding luarnya: SuperClean. Membersihkan apa saja!
Aku mendengus kesal, menyuruh petugas resor minggir dari hadapanku.
ONEY laundering, pencucian uang, tidak ada bedanya dengan pencucian baju atau celana. Persis seperti bisnis laundry pakaian yang mobilnya sedang kami naiki.
Seharfiah itu saja definisinya.
Dalam dunia keuangan modern, tidak semua pencipta sistem dan pembuat kebijakan adalah penjahat. Beberapa dari mereka bahkan memiliki konsen yang luar biasa atas haram dan halalnya selembar uang terlepas dari fakta boleh jadi yang bersangkutan seorang ateis. Dalam definisi mereka, uang yang baik adalah uang yang didapatkan dari proses transaksi keuangan lazim, layak, masuk akal, dan disepakati banyak komunitas sebagai transaksi bersih. Uang yang kotor sebaliknya adalah uang yang diper"oleh dari transaksi keuangan tidak lazim, tidak layak, dan disepakati banyak komunitas sebagai transaksi kotor.
Ada banyak sekali aktivitas ekonomi yang masuk dalam daftar transaksi kotor. Mulai dari yang terlihat (dalam film-film), seperjudian ilegal, penyelundupan, pencurian, pembajakan, perdagang"an ilegal, hingga yang tidak kasatmata, seperti uang suap, uang korupsi, dan uang tips yang haram.
Para pembuat sistem dan kebijakan keuangan modern telah membuat regulasi yang jelas: uang haram tidak boleh mengotori uang halal. Bukan semata-mata karena mereka patuh terhadap logika kitab suci, atau taat terhadap sepuluh perintah Tuhan, tetapi lebih karena campur aduk uang haram dan halal jelas merusak keseimbangan. Masuknya uang haram dalam perekonomian yang sah membuat regulator kesulitan memprediksi uang beredar, kesulitan membaca layar penunjuk ekonomi negara.
Karena itulah seluruh negara memiliki Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Amerika, misalnya, setiap transaksi di atas 10.000 dolar yang melibatkan perbankan dan institusi keuangan apa pun harus melaporkan muasal uang yang terlibat. Mereka juga meneguhkan prinsip KYC, know your customer. Kalian menabung ke bank di atas 10.000 dolar, maka ada kolom dalam slip setoran yang harus diisi, dari mana uang yang ditabungkan berasal juga di Indonesia, dengan batasan 100 juta ke atas.
Lantas apakah urusannya selesai" Tidak. Upaya pencucian uang terus saja terjadi. Satu pintu ditutup, mereka mencari cara lainnya. Pencucian uang sudah berubah menjadi bisnis tersendiri. Ada banyak institusi keuangan yang menciptakan berbagai pro"duk keuangan pintar, bahkan ada beberapa negara yang sengaja tutup mata dengan sumber uang kalian. Cayman Islands misalnya.
Sesuai undang-undang federal, Amerika mewajibkan setiap warga negaranya yang hendak ke luar negeri dan membawa uang tunai di atas 10.000 dolar melapor pada otoritas bandara. Maka ratusan orang sebagai turis bayaran yang pergi berlibur ke Cayman Islands. Mereka menanggung tiket, akomodasi, lantas memberikan segepok uang 9.999 untuk dibawa pergi. Lolos dari loket imigrasi, tiba di Cayman, uang-uang itu melenggang masuk ke perbankan sana. Dari perbankan Cayman, maka dengan mudah uang itu bergabung dengan siklus uang halal seluruh dunia. Ini cara paling manual. Dan jelas cara ini menciptakan lapangan pekerjaan aneh. Siapa yang tidak mau bekerja sebagai turis bayaran " Berkali-kali, berlibur sambil bekerja organisasi mafia malah akan lebih menyukai jika kalian pergi bersama pasangan berwisata ke Cayman.
Trik ini memang lambat, tapi jauh lebih aman dibandingkan dengan menumpuk jutaan dolar di bagasi jet pribadi, kemudian dibawa langsung. Ada banyak otoritas yang memperhatikan lalulintas udara, mereka bisa dengan mudah mencegat jet pribadi dengan sepasang F-16 misalnya, menyuruh mendarat bahkan sebelum meninggalkan wilayah udara Amerika.
Kenapa tidak memilih menabung di bank lokal dengan nominal di bawah 10.000 dolar berkali-kali" Bukankah tidak wajib melapor" Sialnya, hampir di semua negara yang mera"tifikasi Undang-Undang Anti Pencucian Uang pasti punya lembaga khusus untuk menganalisis jutaan transaksi perbankan. Transaksi berulang-ulang, meski kecil, memancing alert dari software ter"canggih anti money laundering yang mereka miliki. Jauh lebih aman memindahkan uang secara fisik, bukan melewati per"bankan. Kecuali jika kalian memiliki jaringan tinggi di perbankan (atau malah memiliki bank itu sendiri) yang bisa membuat kamuflase atas setiap transaksi keuangan jauh lebih Ada banyak. Tentu saja banyak. Tetapi aku tidak ingat detail satu per satu. Om Liem menghela napas, setelah diam sejenak. Dia menatap lamat-lamat Julia yang sejak tadi terus bertanya. Kami tidak bisa menolak uang-uang haram itu masuk ke Bank Semesta.
Bukankah pengendali utama Bank Semesta ada di tangan Om Liem" Julia sudah bertanya lagi.
Tentu saja di tanganku. Tetapi bagi kami, bankir, sepanjang uang itu masuk ke kami, jumlahnya juga banyak, urusan lain bisa dilupakan. Menerima uang mereka, entah itu dalam deposito, layanan private banking, pembelian sekuritas, dan sebagainya, itu juga memberikan garansi keamanan bisnis bagi Bank Semesta, termasuk juga perlindungan pada grup bisnis. Om Liem menatap keluar, hujan membungkus jalan tol.
Lima belas menit berlalu sejak kami meninggalkan Waduk Jatiluhur. Opa sejak tadi memilih tidur-tiduran. Dia duduk di depan, di sebelahku yang memegang kemudi, sementara Julia dan Om Liem duduk sembarang di belakang, di antara tumpukan pakaian kotor. Aku mengebut di jalan tol, di tengah hujan deras. Sekali-dua berpapasan dengan mobil polisi yang melesat cepat.
Garansi keamanan bisnis" Bisa lebih detail, Om" Om Liem mengusap rambutnya yang masih basah, mengangguk. Uang kotor dari pembalakan hutan misalnya. Kau tidak bisa membayangkan, ke mana saja triliunan uang dari penebang"an hutan di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, bahkan Papua dicuci bersih dalam sistem keuangan kita. Jumlahnya tidak ter"bayangkan, karena bahkan uang suapnya untuk perwira tinggi polisi, pejabat setidaknya memiliki belasan rekening milik mereka. Lumrah saja, itu barter, mereka melindungi Bank Semesta dan grup bisnis kami dalam setiap kasus. Kami melindungi kerahasia"an data dan transaksi keuangan mereka dari intipan banyak orang.
Itu di luar money laundering yang tidak kasatmata. Kau tahu, dari seribu triliun anggaran negara, menurut ekonom senior, hampir dua puluh persen dikorup dan disalahgunakan. Siapa yang menampung uang itu" Perbankan nasional! Uang suap, sogok, pelicin, bahkan uang pajak yang tidak masuk ke kas negara, puluhan triliun nilainya. Ke mana uang itu berlabuh" Perbankan nasional! Kebanyakan orang hanya melihat money laundering dari kegiatan mafia, kejahatan bersenjata. Padahal di luar itu banyak sekali kasusnya. Kami membuka rekening untuk petugas korup, pejabat negara jahat, membuat rekening giro perusahaan fiktif, semua yang mungkin dilakukan. Aku tidak tahu detailnya, kepala cabang dan pemimpin Bank Semesta yang lebih tahu. Om Liem menghela napas lagi, diam sejenak, membuat bagian belakang mobil boks laundry senyap. Ini lucu sekali, bukan" Om Liem tertawa suram. Lucu" Julia bertanya heran.
Lucu, bukan" Konvensi perbankan internasional selalu mengingatkan tentang know your customer. Bankir jelas-jelas amat know customer mereka. Tahu persis uang-uang itu dari mana berasal.
Astaga, Julia, tidak bisakah kau berhenti mewawancarai dia" Ini bukan kesempatan eksklusif wawancara dengan buronan kelas kakap. Ada urusan lain yang perlu dicemaskan. Kita masih lari dari polisi, kapan saja mereka bisa muncul. Aku menoleh, Julia mengangkat bahu. Aku tidak sedang mewawancarai Om Liem, Thom. Kami sedang mengobrol santai di antara tumpukan seprai, gantungan baju, piama, jas, dan hei, siapa pula yang mau mencuci boneka panda sebesar ini. Julia menyeringai kecil menunjuk pojok mobil.
Bicara santai apanya" Kalian jelas bisa mencari topik lain untuk bicara santai. Aku bergumam, menekan klakson, menyalip dua truk kontainer.
Topik apa lagi, Thom" Ini sudah topik yang pas, membicarakan money laundering di dalam mobil boks laundry. Julia tertawa.
Aku mendengus, tidak berselera memperpanjang percakapan. Kulirik pergelangan tangan, hampir pukul tiga sore, waktuku banyak terbuang sia-sia. Kami harus segera menuju tempat persembunyian baru yang aman. Mobil boks laundry melesat cepat memasuki tol dalam kota.
OBIL boks laundry merapat ke salah satu dermaga modern dekat pelabuhan tua Jakarta, Sunda Kelapa. Gerimis membungkus kota. Bulir hujan sejauh mata memandang bagai kristal di muramnya senja. Julia berbaik hati turun lebih dulu, memberikan payung untuk Opa. Belasan kapal pesiar mewah ukuran kecil mengangguk-angguk perlahan bersama gerakan permukaan laut. Tiang-tiangnya terlihat gagah. Kami berempat berjalan beriringan menuju ujung dermaga, tempat kapal terbesar ditambatkan.
Dermaga sepi, di pos jaga gerbang depan tadi hanya ada dua petugas yang menguap, mengenaliku, tidak memeriksa mobil boks, hanya melambaikan tangan padaku. Meski akhir pekan, ini bukan jadwal berlayar yang baik. Ombak di perairan utara Jakarta relatif besar. Kapal-kapal pesiar tertambat bisu, tidak ada bedanya dengan vila atau rumah peristirahatan yang kosong. Setelah me"mikirkan berbagai alternatif sepanjang perjalanan dari Waduk Jati-Setelah berjalan lima puluh meter, kami tiba di kapal pesiar dengan panjang dua puluh meter, berwana putih, gagah sekali dengan dinding geladak depan bertuliskan Pasifik. Aku membantu Opa menaiki tangga kapal, Julia di belakang Om Liem. Kami melintasi palka tengah, menuju bagian buritan, langsung menemukan seseorang yang sedang asyik memasak sesuatu di dapur kapal.
Sore, Kadek, aku menyapa.
Eh, sore, Pak Thom. Kejutan, kenapa tidak bilang lebih dulu pada saya" Pemuda berusia tiga puluhan, yang bekerja di kapal merangkap lima jabatan sekaligus: kapten, awak kapal, juru masak, tukang bersih-bersih, sekaligus penjaga kapal, menyapaku tertawa, sedikit terkejut.
Darurat, Kadek. Aku baru setengah jam lalu memutuskan ke sini.
Untung saja saya tidak sedang melepas sauh, Pak Thom. Kadek menggosokkan tangannya ke celemek, menyalamiku.
Opa juga kemari" Kadek menyeringai riang, menilik rombongan. Kebetulan sekali. Saya sedang masak sup kaki sapi, Opa. Hujan terus dari siang, bosan saya. Mengantuk. Jadilah masak saja.
Opa sudah terkekeh, beranjak mendekat.
Kadek adalah peselancar tangguh, autodidak sejak kecil dari menonton turis. Dia juga pandai mengemudikan speedboat, jago me"masak, dan telaten. Aku menemukannya saat menjadi konsultan salah satu hotel bintang lima di Nusa Dua, Bali. Kami lantas berteman baik. Aku menawarkannya pekerjaan yang tidak mung"kin dia tolak. Mengurus kapal pesiar milik Opa.
mengelilingi dunia dengan kapal itu, boleh. Sepanjang setiap kali Opa atau aku memerlukannya, Pasifik sudah merapat rapi di dermaga. Sudah hampir tiga tahun Kadek mengurus kapal itu, kadang ber"minggu-minggu tertambat di dermaga, kadang berbulan-bulan melepas sauh. Dia pernah sendirian membawanya ke Bangkok, ikut pertandingan selancar. Kadek juga pernah mem"bawa Pasifik mengikuti race Australia-Maluku, juga race memutari Amerika hingga New York.
Saya belum merapikan kamar-kamar, Pak Thom. Semua masih berantakan. Harusnya Pak Thom kasih kadar dulu ke saya. Bagaimana, saya izin sejenak, boleh"
Tidak perlu, Kadek. Kau akan segera melepas sauh. Aku hanya sebentar saja di sini. Aku menggeleng sekaligus melirik jam di pergelangan tangan.
Sebentar saja" Pak Thom tidak ikut berlayar" Tidak. Opa dan Om Liem yang akan ikut. Kau tidak perlu berlayar jauh-jauh, hanya mengitari Kepulauan Seribu. Aktifkan telepon genggam satelitmu. Aku setiap saat akan menghubungimu jika terjadi sesuatu. Hindari bertemu dengan patroli laut yang ada, minimalkan kontak dengan siapa pun, tetap mengapung di laut. Aku mulai memberikan instruksi.
Kadek mengangguk, tangannya kembali mengaduk panci sup. Aroma sup hangat menyebar ke seluruh dapur kapal. Inilah yang aku suka darinya sejak dulu. Dia tidak banyak tanya. Pengalamannya sebagai peselancar, guide, pengajar kursus mengemudi speedboat, juru masak kafe, tukang suruh-suruh, dan pekerjaan serabutan lainnya di Nusa Dua Bali, membuat Kadek paham, setiap orang punya urusan masing-masing. Urus saja bagian Logistikmu cukup"
Cukup, Pak Thom. Untuk seminggu ke depan juga ada. Paling saya butuh mengisi tong air penuh-penuh. Apa saya harus menambah logistik lagi untuk perjalanan jauh, Pak Thom"
Tidak perlu. Kau hanya perlu mengapung di Kepulauan Seribu hingga Senin pagi. Itu lebih dari cukup. Aku menoleh. Kita segera berangkat, Julia.
Eh" Julia yang sedang asyik ikut mengerumuni panci sup Kadek menoleh.
Ayolah, Tommi, setidaknya kau menghabis"kan semangkuk sup kaki sapi yang lezat ini dulu. Sudah lama kita tidak makan bersama. Opa tersenyum. Sepanjang hari kau juga pasti belum makan.
Aku menggeleng. Ini bukan acara pesiar seperti biasanya. Bergegas, Julia. Ada banyak yang harus kita kerjakan. Julia mengangguk.
Segera lepas sauh, tinggalkan dermaga. Jaga mereka berdua dengan hidupmu, Kadek, aku berkata pelan pada Kadek yang mengantar hingga tangga kapal.
Kadek mengangguk. Tidak ada yang boleh membawa mereka pergi dari kapal ini kecuali aku. Siapa pun itu. Peduli setan jika ada pasukan katak angkatan laut yang mengepung kapal. Kau bahkan boleh menggunakan Kalashnikova di kamarku dalam situasi darurat. Mengerti"
Kadek kali ini menelan ludah, lantas ragu-ragu meng"angguk. Aku dan Julia sudah berjalan cepat di pelataran dermaga, Setidaknya hingga besok pagi, aku bisa menitipkan Opa dan Om Liem ke tangan Kadek.
*** Mobil boks laundry meninggalkan Pelabuhan Sunda Kelapa, menuju jantung kota.
Halo, Maggie. Halo, Thom. Kau baik-baik saja" Suara Maggie terdengar kencang, bahkan sebelum kalimatku hilang di ujung speaker telepon genggam.
Aku baik, Mag. Tidak ada yang perlu kaucemaskan. Oh, syukurlah. Suara gadis itu terdengar amat lega. Dari tadi aku hendak meneleponmu, tapi urung, khawatir kau tidak dalam situasi baik mengangkat telepon, jangan-jangan kau masih dikejar polisi. Jangan-jangan kau malah sedang di sel polisi. Kau baik, Mag" aku memotong.
Aku juga baik, Thom. Beberapa petugas sialan itu sempat berjaga di kantor selama satu jam, menginterogasi, bertanya banyak hal, tapi mereka akhirnya pergi, bosan melihat wajah begoku, menganggapku hanya sekretaris tidak berguna, tidak tahu banyak hal.
Aku tertawa sambil menginjak rem mendengar gurauan Maggie. Jalanan kota tidak terlalu ramai, tapi gerimis membuat pengendara sepeda motor kadang tidak terlihat. Mereka benarbenar keliru kalau begitu. Kau sekarang ada di mana"
Di mana lagi, Thom" Maggie berseru ketus. Aku di kantor sampai kau mengizinkanku pulang.
Sudahlah basa-basinya, Thom. Semua kesibukan, tegang, panik ini tidak sebanding lagi dengan dua tiket berlibur yang kaujanjikan. Aku akan menuntut lebih.
Aku mengangguk meski tentu saja Maggie tidak bisa melihat"nya. Update, Mag. Apa pun yang sudah kauperoleh empat jam terakhir.
Lampu merah, salah satu perempatan besar kota Jakarta terlihat basah. Motor. Mobil. Ojek payung berlari-lari me"nyambut penumpang yang turun dari bus. Pedagang asongan. Detik hitung mundur berapa lama lagi lampu merah, terlihat dari balik kaca mobil box laundry.
Kau sudah membaca koran sore, Thom" Pasti belum. Mereka meletakkan berita kemungkinan Bank Semesta ditutup di halam"an depan. Sebentar, satu, dua, ya, tiga koran sore melakukannya. Krisis dunia, bla-bla-bla, kondisi terakhir perekonomian nasional, bla-blabla, kemungkinan rush, panik bagi nasabah perbankan, bla-bla-bla, sepertinya wartawan dan editor senior yang kita undang melakukan pekerjaannya dengan baik. Aku yakin, besok pagi seluruh surat kabar besar juga akan meletakkan berita ini di headline.
Aku mengangguk lagi, masih mengamati detik countdown lampu merah.
Dua situs berita online juga mulai dipenuhi soal ini, Thom. Mereka meletakkannya di baris paling atas, membuat topik diskusi terkait. Sebentar, jumlah hit, sebentar, yup, masih di nomor belasan sebagai topik paling sering dilihat. Tetapi cepat sekali kenaikan hitnya. Aku pikir besok siang, atau malah besok pagi sudah masuk sepuluh besar berita online yang paling sering diakses. Jangan lupa, ini masih libur, jadi tidak banyak yang Aku mengangguk, masih lima belas detik lagi lampu hijau. Kau sudah membaca dokumen pengambilalihan Bank Semesta oleh Om Liem"
Belum selesai, aku menjawab pendek.
Ada update menarik, Thom. Aku menemukan sesuatu yang akan membuatmu terkejut. Salah satu penasihat keuangan saat proses itu dilakukan adalah Erik.
Mobil di belakangku menekan klakson. Lampu hijau menyala.
Erik" Aku berseru, untuk dua hal. Satu, untuk nama Erik. Dua, untuk betapa tidak sabarnya mobil di belakangku. Aku bergegas melepas rem tangan.
Benar, Erik teman dekatmu. Ada nama lain yang mungkin menarik buatmu. Salah satu pejabat level menengah bank sentral juga ikut terlibat dalam proses pengambilalihan itu. Mereka menyulap begitu banyak data. Bank itu seharusnya ditutup sejak enam tahun lalu.
Aku sudah tidak mendengarkan penjelasan Maggie lebih lanjut. Ini fakta kecil yang menarik. Nama Erik dan nama pejabat bank sentral itu, aku mengenalnya. Aku bergegas menutup pembicaraan, menyuruh Maggie terus mencari tahu apa yang bisa dia lakukan.
Ya, ya, ya, aku ini memang kacung paling begomu, Thomas. Aku akan menginap di kantor sajalah malam ini. Maggie berkeluh kesah, tapi aku sudah menutup telepon, membanting setir, mobil berbalik arah seratus delapan puluh derajat, lebih banyak lagi klakson mobil yang marah karena kaget. Aku balas mereka melihat mobil laundry yang terburu-buru mengantar cucian"
Kita mau ke mana" Julia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan bertanya.
Kita berpisah, Julia. Aku menoleh selintas. Berpisah"
Ya, waktu kita terbatas, kita harus bergerak simultan secara terpisah agar bisa melakukan banyak hal. Kau terpaksa sendirian mengurus janji pertemuan dengan menteri itu. Gunakan seluruh akses yang dimiliki review mingguan.
Julia menepuk dahi. Aku tahu itu tidak mudah, tapi editor senior kalian teman dekat sejak kuliah dengannya. Usahakan pertemuan ini terjadi paling telat besok siang, Julia. Bilang ke staf, ajudan, atau ke beliau langsung, ada isu penting sekali yang hendak dibicarakan review mingguan kalian. Isu yang menyangkut banyak uang milik perusahaan negara. Aku akan mengurus sesuatu yang lebih penting sekarang.
Kau mau ke mana, Thom"
Nanti aku beritahu lewat telepon. Aku harus bergegas. Kau berhenti di mana" Halte depan" Aku tidak bisa mengantar ke kantormu.
Di mana sajalah. Julia terlihat sebal. Aku naik taksi saja. Mobil boks laundry merapat sembarangan.
Aku berjanji akan segera meneleponmu, Julia. Pastikan pertemuan besok dengan menteri terjadi.
Julia mengangguk. Aku sudah menekan pedal gas. Saatnya aku merekayasa se-OBIL boks laundry merapat ke salah satu apartemen elite Jakarta.
Aku sibuk, Thom. Tidak ada waktu. Suara Erik justru terdengar santai.
Omong kosong. Selama ini aku selalu punya waktu untukmu, Erik. Bahkan dalam situasi mendesak sekalipun. Aku berlari kecil melintasi lobi apartemen.
Astaga, Thom. Tapi tidak sekarang. Ini hari Sabtu. Libur. Aku sudah hampir sembilan minggu tidak pernah menikmati weekend, bersantai menghabiskan waktu di apartemenku.
Itu bagus. Jadikan saja genap sepuluh minggu kau terpaksa tidak bisa bersantai. Aku memencet angka 7 tombol lift.
Baik, baik. Suara Erik terdengar kesal. Aku bisa menemuimu, tapi setengah jam saja, nanti malam pukul delapan, terserah kau di mana tempatnya.
Soal setengah jam, itu bukan masalah, Sobat. Lebih dari Erik, kita harus bertemu sekarang. Pintu lift terbuka, aku melintasi lorong lantai.
Sekarang" Memangnya kau ada di mana"
Lima detik lagi aku menekan bel apartemenmu. Nah... Aku sudah memukul kasar bel di sebelah pintu jati berukiran itu. Eh" Kalimat Erik terputus oleh suara bel.
Aku memasukkan telepon genggam ke dalam saku. Wajah Erik muncul di balik pintu beberapa detik kemudian. Dia mengenakan kaus, berkeringat. Kau gila, Thom. Ada apa sebenarnya"
Aku melangkah masuk, mengabaikan tampang keberatannya. Erik sedang latihan squash. Dia sengaja menyulap ruang depan dan ruang tengah apartemen luas dan mewahnya menjadi lapangan squash kecil. Aku dan beberapa teman dekat beberapa kali pernah berlatih bersama. Apartemennya sepi, hanya suara televisi layar lebar terdengar berisik.
Kau bermain sendirian" aku bertanya, melihat sekitar, meraih raket squash yang tergeletak.
Erik mengangkat bahu. Semua orang sibuk, Thom. Bekerja seperti besok mau kiamat, jadi tidak ada yang mau kuajak latihan. Termasuk kau, tega sekali kau memotong Sabtu santaiku.
Aku melemparkan raket squash ke lantai, meraih remote televisi di atas meja kecil, menaikkan volume, ada liputan breaking news dari salah satu stasiun terkemuka. Pembawa acarasibuk melaporkan situasi terakhir di bursa saham Amerika tadi malam. Indeks Dow Jones jebol nyaris 500 poin. Itu artinya kapitalisasi saham di sana menguap 4 persen dalam sehari, setara dengan ribuan triliun rupiah, angka yang setara dengan sedang terjadi di Amerika. Beberapa bank dan institusi keuangan dilaporkan dalam kesulitan besar, menyusul Citibank, Lehman Brothers. Otoritas bank sentral, pejabat senior, bahkan pengamat ekonomi peraih nobel memberikan komentar. Wajah-wajah bergegas, wajah-wajah lelah. Siapa lagi yang akan tumbang"
Pembawa acara berpindah ke berita berikutnya, Bank Semesta, bla-bla-bla, sumber terpercaya terakhir menyebutkan Bank Semesta akan ditutup, bla-bla-bla, risiko dampak sistemis di depan mata, bla-bla-bla, apakah krisis dunia akan tiba di Indonesia. Aku menekan tombol mute televisi. Bisu.
Kencangkan lagi volumenya, Thom. Erik justru tertarik. Dia melangkah mendekat, mendongak ke layar televisi yang tergantung di dinding lapangan squash-nya.
Tidak penting, Sobat. Aku menyeringai.
Kencangkan, Thom. Ini penting setelah begitu banyak kabar sampah tentang kondisi terakhir dunia luar. Erik berusaha meraih remote dari tanganku.
Aku menepis tangannya, menatap lamat-lamat Erik dengan tatapan dingin.
Eh, ada apa" Erik menelan ludah.
Kenapa kau begitu tertarik dengan Bank Semesta, Sobat" Atau jangan-jangan kau salah satu di antara begitu banyak orang yang berharap bank itu ditutup saja.
Eh, aku" Erik mengangkat bahu, tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba sinis.
Ya, kau salah satunya. Misalnya agar rekomendasi keliru yang sengaja kauberikan enam tahun lalu musnah bersama hilangnya nama Bank Semesta, hah" Tidak ada lagi yang bisa membukti-Erik diam, sepertinya baru menyadari apa tujuanku datang ke apartemennya.
Apa maksudmu, Thomas" Erik menyelidik.
Aku tertawa. Kau hanya punya waktu setengah jam, bukan" Baik. Aku sudah memakainya empat menit, berarti tinggal dua puluh enam menit. Kita akan bicara sambil berdiri seperti ini, atau kau akan berbaik-hati menyuruhku duduk"
Erik bergumam samar, menyeka peluh di leher, mengangguk, menunjuk kursi.
Aku mengarahkan remote ke arah televisi, sekejap menekan tombol off.
Apartemen luas Erik lengang seketika. ***
Aku tidak mau melakukannya. Erik menggeleng.
Lima belas menit berlalu setelah aku menjelaskan situasi dan me"nyebutkan permintaan.
Kau akan melakukannya. Aku berkata tegas, melempar bundel kertas yang diberikan Maggie tadi siang, Atau aku akan menyebarkan dokumen ini ke seluruh wartawan yang kukenal.
Erik menyambar kertas di atas meja, membaca selintas halaman depan, lantas merobeknya.
Aku tertawa. Percuma, Sobat, aku masih punya master filenya di kantor. Kau mau kugandakan jadi berapa" Lima belas lembar" Lima ratus"
Erik mendengus marah. Aku tidak tahu apa-apa, Thom! Omong kosong, Erik! aku membentaknya. Kau penasihat Bank Semesta. Temanmu yang di bank sentral itu bertugas menutup-nutupi semua data, mengamini rekomendasi yang kaubuat, sehingga petinggi bank sentral dengan mudah menyetujui proses akuisisi sekaligus merger empat bank kecil. Kalian pasangan yang hebat. Dua penjahat. Bank Semesta seharusnya sudah tinggal nama di papan nisan enam tahun lalu. Kalianlah yang berbusa menjualnya ke Om Liem.
Erik tersengal, tapi dia tidak bisa berkomentar lagi. Santai saja, Sobat. Aku juga sering melakukan rekayasa laporan, mempermanis angka, memperindah tampilan. Semua penasihat keuangan macam kita terbiasa dengan window dressing, mani"pulasi. Bedanya, kau keliru telah memilih klien Bank Semesta. Aku related party bank malang ini. Aku berada di pihak yang dirugikan atas opinimu. Nah, sekarang aku akan ber"usaha mati-matian menjadikan laporan enam tahun lalu ini sebagai amunisi menghabisi kalian jika kau tidak mau membantu"ku. Apa yang sebenarnya kauinginkan, Thom" Erik mendesis. Mudah saja, Sobat. Aku tersenyum tipis. Seperti yang tadi aku bilang. Temanmu di bank sentral itu sudah menjadi pejabat penting di sana. Mereka bilang, dia salah satu bintang dalam hierarki karier bank sentral. Dia mengepalai dan bertanggung jawab atas semua data, angka, dan informasi seluruh pengawasan perban"kan. Kita semua tahu, Erik, jika dia bilang A, jangankan deputi, bahkan gubernur bank sentral juga akan bilang A. Mana sempat deputi gubernur bank sentral mengolah data sendiri" Mereka tidak lebih hanya orang-orang berkuasa yang duduk di kursi nyaman. Mereka menerima semua data yang diletakkan di atas meja, tidak sempat melakukan verifikasi bahkan konfir- Dalam beberapa jam ke depan, eskalasi kasus Bank Semesta akan bertambah besar. Ketika seluruh media ribut mencemaskan dampak sistemis, isu rush, kepanikan, hanya soal waktu komite stabilitas sistem keuangan akan mengundang pihak berkepentingan rapat membahas Bank Semesta. Untuk menghadiri rapat itu, petinggi bank sentral akan membutuhkan data terakhir tentang Bank Semesta, angka-angka, informasi, perhitungan, semuanya.
Nah, kauhubungi teman baikmu di bank sentral itu, minta agar dia melakukan hal yang sama enam tahun lalu, mempermanis laporan tentang Bank Semesta. Misalnya mempermanis angka talangan yang harus diberikan jika pemerintah memutuskan melakukan bail out. Boleh jadi angka sebenarnya tujuh triliun, tapi temanmu bisa membuatnya hanya dua triliun. Tujuh boleh jadi membuat komite segera menggeleng, resisten. Tapi, dengan angka dua, mereka akan manggut-manggut. Angka itu harus segera ada dalam laporan, ada di kepala petinggi bank sentral, dan disebutkan dalam rapat komite. Menjadi basis keputusan pertama mereka.
Kau gila, Thom. Dalam situasi seperti ini, mereka pasti akan melakukan verifikasi dan konfirmasi berkali-kali. Mereka tidak bodoh.
Aku lebih dari tahu soal itu, Erik. Kaulakukan saja skenarionya. Sekali rapat komite terjadi, temanmu di bank sentral itu boleh-boleh saja mengubahnya lagi, bilang bahwa angka sebelumnya tidak update, cut-off keliru. Tapi, sekali rapat komite telah di"langsung"kan, sekali mereka terdesak harus segera mengambil keputusan, dan aku sudah menyelipkan kepentingan Dalam dunia ini, kita telah mengambil keputusan bahkan sebelum keputusan itu terjadi. Kita hanya butuh argumen yang cocok.
Erik mengusap wajahnya. Apa sebenarnya yang sedang kaurencanakan, Thom" Menyelamatkan Bank Semesta.
Kau tidak bisa memengaruhi begitu banyak orang penting, Thom. Astaga, apakah kau berpikir bisa memengaruhi menteri keuangan, gubernur bank sentral, bahkan presiden sekalipun"
Aku tertawa pelan, meraih sesuatu di atas meja. Kita lihat saja nanti, Sobat. Sekarang kau urus saja yang kusuruh. Jika temanmu itu sama becusnya seperti enam tahun lalu, aku sudah memegang satu bidak, bank sentral. Dua bidak lain sedang kuurus. Nah, bergegaslah. Waktuku terbatas. Hubungi temanmu di bank sentral itu. Ajak dia segera bertemu, mulai mempermanis banyak hal, atau aku segera mengirimkan dokumen yang kau"robek tadi ke semua redaksi koran. Jika itu terjadi, kariermu dan karier temanmu itu tamat, bahkan sebelum Bank Semesta selesai dilikuidasi.
Erik menghela napas, menatapku lamat-lamat. Kenapa kau melakukan ini padaku, Thom"
Aku sudah berdiri. Kau tidak mendengarkanku dengan baik. Aku related party Bank Semesta. Namaku boleh jadi tidak tercantum di mana-mana, tapi aku orang pertama yang akan menyelamatkan bank itu. Selamat tinggal, aku harus segera mengurus hal lain. Jangan matikan telepon genggammu, aku akan meneleponmu kapan saja. Maaf membuatmu tidak bisa bersantai di akhir pekan untuk kesepuluh kalinya. Dan satu lagi, Erik bergumam kasar melihat kunci mobilnya yang kupegang. Wajah merahnya menggelembung, tetapi dia tidak berkomentar. Aku sudah melangkah menuju pintu apartemen. ***
Aku berganti kendaraan. Mobil Erik jauh lebih pantas dibanding mobil boks laundry.
Aku segera menghubungi telepon genggam Julia. Julia, halo, kau di mana" Suaramu tidak terdengar! aku berseru sambil menekan klakson. Gerimis sudah raib di jalanan, bergantikan merah langit, sebentar lagi malam datang. Aku di konferensi pers, Thom.
Julia, bukankah kau seharusnya sedang mencari cara bertemu...
Aku sedang ikut konferensi pers, Thom. Kau bisa telepon aku setengah jam lagi.
Apa perlunya kau ikut konferensi" Kau tidak sedang meliput berita lebih penting, kitalah yang membuat berita. Kau seharusnya sedang menelepon kontak yang ada, meminta skedul...
Aku justru persis di depan menteri, Thom. Dia sedang bicara, semua wartawan berebut mengambil posisi paling depan. Suara Julia terdengar kesal. Setengah jam lalu ada rilis penting ke seluruh media massa, aku tidak jadi ke kantor, langsung berbelok arah, ada konferensi pers mendadak dari ketua komite stabilitas sistem keuangan. Dia memberikan tanggapan awal atas masalah Bank Semesta yang eskalasi masalahnya naik tajam sehari terakhir. Kalau beruntung, setelah konferensi pers, aku bisa mebersabar" Aku akan melakukan tugasku dengan baik. Suara sebal Julia masih terdengar dua-tiga kalimat lagi sebelum dia memutus percakapan.
Besok, Thom. Kita pasti bertemu langsung dengannya, tapi sebelum itu terjadi, biarkan aku mengurusnya. Setidaknya mencatat apa yang sedang dia omongkan. Mungkin itu berguna bagimu.
Persis satu detik Julia menutup pembicaraan, telepon genggamku berbunyi lagi.
Kau di mana, Thom" Itu suara khas Ram.
Kabur, kau pikir aku di mana lagi" aku menjawab pendek, bergumam. Dalam situasi seperti ini Ram masih saja suka berbasa-basi.
Ram tertawa prihatin. Tentu saja kau sedang kabur. Maksudku, kau persisnya lagi di mana"
Di balik setir. Mengemudi di jalanan macet Jakarta. Aku menatap datar ke luar jendela, untuk kesekian kali mobilku terhenti di perempatan. Hari Sabtu, tetap saja jalanan kota padat.
Om Liem bersamamu" Eh, maksudku, aku baru saja mendengar kabar bahwa petugas polisi menyergap rumah peristirahatan di Waduk Jatiluhur. Aku dengar kalian berhasil kabur lagi. Om Liem baik-baik saja" Ram segera memperbaiki pertanyaan sebelum aku kembali menjawab menyebalkan.
Secara fisik dia baik-baik saja, jika itu maksud pertanyaanmu. Tetapi secara psikis mana aku tahu. Untuk orang setua itu, boleh dibilang keajaiban kecil dia tidak terlihat stres, sakit kepala, atau bahkan jantungan dengan semua masalah. Tidak. Dia bersembunyi di tempat aman. Di mana"
Astaga" Kenapa kau ingin tahu sekali" Aku menekan klakson, menyuruh minggir angkutan umum yang berhenti sembarangan.
Bukankah kau sendiri yang menyuruhku memberikan informasi ke Om Liem soal kabar terakhir Tante" Lagi pula, hingga Bank Semesta pailit, Om Liem adalah pemimpin seluruh grup bisnis. Ada banyak update perusahaan yang harus dia tahu. Dokumen-dokumen yang harus dia tanda tangani. Surat-surat dan korespondensi dua hari terakhir yang belum sempat dia baca. Aku bertanggung jawab memastikan itu semua berjalan baik. Ram terdengar sedikit tersinggung.
Bagaimana kabar Tante" Aku memotong kalimat protesnya.
Tante Liem baik. Barusan saja dokter mengizinkannya pulang. Tante Liem bisa dirawat di rumah.
Nah, biar aku saja yang menyampaikan kabar baik ini pada Om Liem. Juga urusan pekerjaan, kau suruh salah satu staf perusahaan menitipkan dokumen, surat, apa pun ke Maggie, nanti Maggie yang akan mengirimkanya padaku, itu pun jika urusan itu tidak bisa menunggu hingga hari Senin. Situasi berubah, Ram. Aku memutuskan, satu-satunya akses kepada Om Liem adalah aku. Dia sedang bersembunyi di salah satu rumah miliknya. Tidak boleh ada yang tahu.
Ram terdengar menggerutu sebelum menutup telepon. Aku menyeringai, kembali menatap jalanan yang macet. Aku tahu Ram orang kepercayaan Om Liem belasan tahun terakhir. Dia bahkan ikut keluarga Om Liem sejak kecil, didilatih langsung oleh Om Liem. Tetapi saat ini, satu-satunya orang yang kupercaya adalah diriku sendiri. Bahkan aku tidak memercayai Om Liem dalam situasi ini satu-dua kalimat dan tingkah bodoh bisa membuat seseorang (termasuk Om Liem atau Ram) tanpa disengaja telah mengkhianati sesuatu, jadi bukan sekadar soal dapat dipercaya atau tidak lagi. Telepon genggamku kembali berbunyi. Ada berita penting, Thom.
Umur panjang, baru saja kusebut, kau sudah meneleponku, Maggie. Aku tertawa kecil, sedetik mengingat hal bodoh yang pernah kami lakukan saat masih menjadi mahasiswa sekolah bisnis. Baru saja kusebut nama Maggie pada Ram, dia meneleponku.
Ini sudah menjadi tradisi panjang yang tidak bisa ditelusuri muasalnya. Setiap kali kita habis menyebut nama seseorang, dan tiba-tiba dia muncul, orang-orang tua kita selalu mencontohkan berseru, Umur panjang. Kami dulu suka jail membahas hal-hal seperti ini di tengah pening mengerjakan tugas dari profesor yang bertumpuk. Apa coba hubungannya umur panjang dengan tiba-tiba dia muncul"
Terima kasih doanya, Thom. Tetapi aku harap tidak menghabiskan umur panjangku dengan bekerja di tempatmu. Maggie tidak tertawa, dia fokus. Berita penting, Thom. Silakan, aku menjawab takzim.
Gubernur bank sentral dan kepala lembaga penjaminan simpanan malam ini pukul tujuh akan menumpang pesawat keluar kota. Mereka ada jadwal mengisi kuliah umum bersama di salah satu kampus terkemuka besok pagi-pagi, dan segera kelas eksekutif agar bisa bersebelahan kursi dengan mereka pada malam ini atau besok paginya"
Aku sungguh tertawa untuk sesuatu yang lebih penting sekarang. Ini update paling brilian yang disampaikan Maggie dua belas jam terakhir. Maggie stafku yang paling cerdas. Dia berpikir sama sistematisnya denganku. Bisa di"pahami, Thom. Maggie hampir empat tahun menjadi stafmu. Mengikuti ritme, cara, waktu kerja, bahkan pola berpikirmu. Dia berkembang menjadi staf paling mutakhir dan resourcesfull karena kau, Thom. Itu komentar Theo, teman dekatku sejak suka bicara omong kosong tentang panjang umur di sekolah bisnis. Aku tidak tahu apakah Theo serius. Yang aku tahu, Maggie salah satu amunisi terbaikku.
Skedul yang mana, Thom" Malam ini atau besok pagi" Aku masih punya pekerjaan lain selain mengurus tiketmu. Suara ketus Maggie kembali terdengar.
Segera, Mag, yang malam ini. Kaupastikan ke petugas city check-in agar aku persis duduk di sebelah mereka. Kauemailkan e-tiketnya. Aku segera menuju bandara sekarang. Aku mengangguk, memutus pembicaraan, melempar telepon genggam sem"barangan, lantas tangan kiriku mengganti persneling, membanting setir, dan menekan klakson panjang. Mobil yang kukemudikan berputar tajam. Membuat pak ogah pengatur lalu lintas gadungan yang sering mangkal di perempatan, U-turn, atau bagian jalan apa saja yang sering macet terbirit-birit takut kena tabrak.
Hampir pukul enam sore. Warna merah jingga di langit mulai pudar, bergantikan gelap. Waktuku tinggal 36 jam, 15 menit Mobilku melesat cepat menaiki ramp jalan, menuju pintu tol bandara. Ini kesempatan hebat, mana boleh ditunda hingga besok. Jika berhasil, sekali dayung aku bisa memengaruhi dua peserta rapat komite stabilitas sistem keuangan sekaligus.
KU masih sempat meminta Maggie mencari data terakhir seluruh aset yang tercatat atas nama Om Liem secara pribadi maupun grup bisnis di luar negeri sebelum melintasi garbarata pesawat. Apa pun, deposito, tabungan, saham, properti, kapal, kepemilikan klub olahraga, aset bergerak maupun tidak bergerak. Cari semua data, Cina, Hongkong, Swiss, Inggris, di mana saja Om Liem pernah melakukan investasi. Itu pasti berguna. Maggie bilang dia bisa segera mengusahakannya. Aku mengangguk takzim, memasukkan telepon genggam ke saku jas. Jas" Tentu saja.
Sebelumnya aku juga sempat mampir ke salah satu butik di ruang tunggu keberangkatan domestik, membeli satu setel pakaian yang baik, berganti di ruang pas. Sejak tadi malam aku belum berganti pakaian, urusan ini bahkan membuatku belum tidur, belum makan, juga belum mandi. Penjaga butik bingung saat melihatku keluar dari ruang pas dengan pakaian rapi, Kau belum pernah melihat pembeli yang langsung memakai baju yang dibelinya" aku berkomentar santai, mengeluarkan kartu kredit.
Eh, bukan itu. Maaf. Gadis itu salah tingkah. Temannya menyikut lengan, menyuruhnya bergegas menyelesai"kan transaksi.
Aku juga sempat mampir ke toko buku di sebelah butik itu, mencomot sembarang buku paling mutakhir tentang perbankan, beberapa majalah mingguan ekonomi terkemuka dunia, ditambah surat kabar sore berbahasa Inggris. Hingga akhirnya final call penerbangan ke Yogyakarta terdengar di langit-langit bandara. Tampilanku sudah lebih dari cukup meyakinkan. Aku berjalan santai menuju gate enam, menyerahkan boarding pass, lantas melintasi garbarata yang dipenuhi penumpang.
Pramugari tersenyum menyapa, Seat nomor berapa" Aku membalas senyumnya, sambil menyebut nomor kursi. Silakan, Pak Thomas. Sudah standar baku kelas eksekutif, pramugari menghafal seluruh nama calon penumpang yang lima menit lalu diberikan petugas ground handling.
Maggie benar, dua pejabat tinggi negara itu sudah duduk di kursi masing-masing. Aku persis di seberang mereka, terpisah lorong kecil. Kelas eksekutif yang hanya menyediakan dua belas kursi terisi separuh. Aku duduk dengan rileks, memasang safety belt, lantas membuka koran sore, mulai pura-pura membaca headline besar tentang Bank Semesta.
Dua pejabat di sebelahku membicarakan sesuatu, tertawa terkendali nostalgia kampus lama mereka sepertinya, tempat mereka besok mengisi kuliah umum. Pesawat mulai memasuki siap take off. Aku tetap serius membaca koran sore, tidak peduli gerung pesawat yang terbang, lepas landas.
Peraturan pertama: Jika kalian ingin menarik perhatian seseorang (apalagi dua orang) dengan level yang sudah terlalu tinggi dibanding kalian, lakukanlah dengan cara ekstrem.
Lima menit, lampu safety belt sudah dipadamkan, pesawat sudah stabil di ketinggian, pramugari yang selalu tersenyum sudah mengeluarkan troli makanan menu spesial kelas eksekutif.
Bedebah! aku berseru, memukul koran sore berbahasa Inggris di tanganku.
Pramugari bahkan hampir saja menumpahkan kopi dari tekonya. Penumpang kabin eksekutif menoleh. Dan karena dua petinggi lembaga keuangan itu persis di seberang lorongku, mereka orang pertama yang melongok padaku.
Maaf, astaga, saya sungguh tidak bermaksud demikian. Aku mengangguk penuh penyesalan pada pramugari, menoleh ke sebelah, menatap mereka sambil menggeleng pelan.
Maaf, saya sedang membaca berita. Lihat, astaga, apa yang mereka tulis di koran ini" Bank Semesta harus diselamatkan" Omong kosong. Tidak perlu pakar keuangan untuk tahu betapa bobroknya bank ini. Pemiliknya penjahat, maling besar. Enak saja mereka mengambil uang milik rakyat untuk menalangi, mengganti uang orang-orang kaya yang boleh jadi membayar pajak saja tidak pernah.
Aku menghela napas, tampak benar-benar menyesal telah memaki di depan orang-orang berpendidikan.
Peraturan kedua: Dalam situasi frontal, percakapan terbuka, dengan mengambil sisi terbalik. Untuk sebuah kasus netral, yang boleh jadi orang tertentu sudah memiliki pendapat dan keberpihak"an, ketika dia masuk dalam pembicaraan di mana salah satu pihak terlalu kasar, terlalu menyerang, terlalu naif dan penuh kemarahan, orang yang telah memiliki pendapat dengan cepat bisa jadi mengambil posisi berseberangan tanpa dia sadari dengan alasan mulai dari tidak mau kalah, ingin terlihat bijak, hingga alasan lainnya.
Sesungguhnya kita semua bereaksi sama dalam setiap percakapan, perdebatan, tidak peduli kalian pejabat tinggi negara, eksekutif perusahaan besar, atau sekadar sopir angkutan umum yang mangkal di perempatan atau pengangguran di kedai kopi.
Dua petinggi lembaga keuangan itu masih menoleh padaku, menyelidik sejenak. Ini detik yang krusial. Mereka bisa saja sekejap tidak tertarik membahasnya. Urung, berpikir cermat, buat apa menanggapi makian rekan satu pesawat, ada banyak yang harus dipikirkan, urus saja masalah sendiri peduli amat dengan tampilannya yang meyakinkan, buku keuangan bestseller, majalah terkemuka yang berserak di pangkuan.
Aku harus segera bertindak sebelum dua orang di sebelahku ini kembali sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri.
Ini benar-benar kacau-balau. Seharusnya pemerintah lebih tegas, seharusnya bank sentral sejak enam tahun lalu sudah menutup bank ini. Apa saja kerja mereka selama ini" Lihatlah, ribuan nasabah produk hibrid investasi-tabungan bank ini terzalimi, uang mereka sekarang hilang tidak ada yang mengganti. Andaikata sejak dulu sudah ditutup. Aku mengusap wajah, Nah, dengan kalimatku barusan, aku jelas sudah memecahkan bisul percakapan.
Inilah peraturan ketiga, peraturan paling penting: Dalam sebuah skenario infiltrasi ide, jangan pernah peduli dengan latar belakang lawan bicara kalian. Konsep egaliter menemukan tempat sebenar-benarnya. Bahkan termasuk ketika kalian wawancara pekerjaan misalnya. Sekali kalian merasa sebagai orang yang mencari pekerjaan , sementara mereka yang menyeleksi adalah orang yang memegang leher masa depan kalian , tidak akan pernah ada dialog yang sejajar, pantas, dan mengesankan.
Aku sudah memulai percakapan itu dengan pembukaan gambit menteri dalam pertandingan catur. Maka hanya soal waktu, percakapan seru selama satu jam itu bergulir.


Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja ini bukan semata-mata salah otoritas pengawas. Dalam sistem paling baik sekalipun, ketika ada individu yang memang sudah jahat dari awal, dia bisa mengakali banyak hal. Usaha preventif, peringatan dini, peraturan-peraturan pencegahan, audit berkala, itu semua menjadi sia-sia. Bahkan sebenarnya kita sudah punya peraturan yang melarang kriminal menjadi direksi dan pemilik bank. Kita selalu melakukan fit and proper test. Petinggi bank sentral berusaha menjelaskan dengan arif meluruskan kalimat kasarku lima menit lalu.
Aku mengangguk mengamini.
Situasi sekarang rumit, Thomas. Kau boleh jadi benar, kita sudah seharusnya menutup Bank Semesta enam tahun lalu, ketika perekonomian global tanpa riak, eskalasi masalah Bank Semesta juga masih kecil. Sekarang orang-orang bicara tentang dampak sistemis. Bahaya kartu domino roboh. Dalam situasi bank jatuh, menyeret bank-bank lain, kami bertanggung jawab penuh atas situasi itu. Nah, ketika situasi terburuk masih mungkin terjadi, lebih bijak mengambil situasi buruk yang paling kecil risikonya. Lima belas menit berlalu, mereka sudah tahu nama"ku demi sopan santun pembicaraan, tadi aku memperkenal"kan diri.
Tetapi pemiliknya perampok besar, Pak. Bank Semesta, ibarat rumah, adalah rumah perampok besar. Di mana letak rasa keadilannya" Aku pura-pura masih tidak terima. Tiga puluh menit pembicaraan, gelas kopi kedua dari pramugari terhidang.
Pejabat bank sentral tersenyum, menggeleng. Kau keliru, Thomas. Aku paham apa yang kaumaksud. Anak muda sepertimu terkadang terlalu emosional. Boleh jadi bank itu rumah perampok, tapi ketika dia terbakar di tengah angin kencang, musim kemarau krisis dunia, kalau kita biarkan sendiri, apinya akan menjalar ke rumah-rumah lain, bahayanya akan lebih besar lagi. Jadi pilihan terbaiknya boleh jadi memadamkan api rumah itu dulu. Urusan menangkap rampok, mengambil harta yang pernah dia rampok, tentu saja harus dilakukan sesuai koridor hukum yang ada.
Aku menghela napas, masih hendak membantah. Jangan lupakan satu fakta kecil, Thomas, kepala lembaga penjamin simpanan ikut menambahkan dan otomatis dia pasti dalam posisi yang sama dengan pejabat bank sentral, kalaupun pemerintah memutuskan memberikan talangan, dana itu diambil dari premi yang dikeluarkan seluruh bank untuk tabungan, deposito, dan rekening lainnya milik nasabah. Jadi itu bukan uang rakyat, itu persis seperti premi yang dibayar pemilik kendaraan.
bahkan hilang, itu diambil dari kumpulan uang premi yang ada. Bukan uang rakyat, Thomas.
Empat puluh lima menit berlalu, sebentar lagi pesawat mendarat, hanya soal waktu tanda safety belt kembali menyala. Dua petinggi lembaga keuangan itu sempurna sudah menguasai pembicaraan, berhasil memberikan pemahaman yang baik kepadaku tentang wisdom dan berhentilah kasar menilai. Kebijakan bukanlah ilmu pasti, sepintar apa pun kau.
Kita tidak tahu. Belum. Pejabat bank sentral menggeleng takzim. Boleh jadi besok siang, boleh jadi besok malam, ketua komite stabilitas sistem keuangan akan mengundang seluruh pihak. Komitelah yang paling berwenang memutuskan apakah Bank Semesta akan di-bail out atau tidak. Situasinya bergerak cepat sekali. Dua hari lalu kita masih merahasiakan banyak hal. Hari ini seluruh media massa seperti sudah tahu rilis terbaru dari kami. Oh iya, rasa-rasanya aku pernah bertemu denganmu, Thomas"
Aku ikut tertawa. Mungkin kita pernah satu pesawat, Pak. Bapak waktu itu juga pernah melihat anak muda yang mengeluarkan makian.
Mereka berdua tertawa. Lampu safety belt menyala. Pesawat yang kami tumpangi siap mendarat. Satu-dua kalimat basa-basi menutup percakapan. Terima kasih banyak atas pembicaraan yang hebat ini, Pak. Saya jadi memahami banyak hal. Aku mengangguk. Mereka tersenyum.
Di lorong garbarata turun dari pesawat, gubernur bank sentral sempat menepuk bahuku. Aku tidak mungkin salah. Aku perperbankan Jenewa, bukan" Kau bedebah, eh, maksudku anak muda yang berkelas, Thomas. Esok lusa, siapa tahu jika kau tertarik menjadi pejabat publik, kau bisa menjadi pejabat yang lebih baik, berani, dan taktis dibanding kami. Ini antara kau dan aku saja. Dulu waktu masih sibuk mengajar di kampus, kami selalu memanggil mahasiswa paling pintar dengan sebutan bedebah. Kalimat makianmu tadi mengingatkanku banyak hal.
Nah, inilah peraturan kelima, terkadang kita butuh keberuntungan. Aku tidak menduga kata bedebah itulah kunci terbaik percakapan kami. Aku bergegas menggeleng. Tidaklah, Pak. Saya harus belajar banyak mengendalikan emosi bahkan se"belum memikirkan kemungkinan itu.
Mereka berdua hilang di lobi bandara yang ramai. Aku bergegas kembali menuju loket penjualan tiket. Satu tiket penerbangan ke Jakarta malam ini. Kelas eksekutifnya penuh.
Saya harus kembali ke Jakarta segera. Apa saja, tiket bergelantungan, bahkan tiket duduk di toiletnya juga tidak masalah. Gadis yang menjaga loket tertegun sejenak.
Saya hanya bergurau. Kau bergegaslah. AGGIE meneleponku sebelum aku naik pesawat penerbangan kembali ke Jakarta. Dia baru saja mengirim e-mail daftar aset milik Om Liem dan grup perusahaan di luar negeri. Aku mendownload dan membuka file penting itu lewat aplikasi telepon genggam sambil menunggu jadwal boarding.
Teringat sesuatu, aku menjeda proses aplikasi spreadsheet, memutuskan menelepon Ram.
Kau ada di mana, Thom" Ram bertanya.
Aku memakinya dalam hati. Sepanjang hari, entah dia yang menelepon atau aku, dia selalu saja bertanya hal yang sama. Terlalu pencemas, terlalu selalu ingin tahu, terlalu ingin semua terkendali.
Aku di luar kota. Berhentilah bertanya aku di mana. Semua baik-baik saja, Ram.
Luar kota" Apa yang kaulakukan di sana, Thom" Bukankah kau baru dua jam lalu masih mengemudi di jalanan macet Aku tiba-tiba kangen gudeg, Ram. Hanya makan malam, sekarang segera kembali. Aku menyengir, menatap sekitar, ruang tunggu terlihat ramai. Penerbangan terakhir ke Jakarta selalu saja ramai.
Eh" Lupakan, Ram. Kau bisa membantuku" Ada hal penting yang harus kuurus. Aku segera fokus pada kenapa aku teringat untuk meneleponnya.
Tentu, Thom. Apa saja yang kauminta akan kulakukan. Baik. Kau bisa suruh salah satu stafmu, dia pasti punya daftar seratus pemilik rekening terbesar di Bank Semesta, rekening individu, bukan perusahaan. Suruh dia menelepon seluruh daftar itu, minta segera berkumpul di salah satu hotel. Kau bisa sewakan ruang pertemuan privat.
Eh, untuk apa, Thom"
Laksanakan saja, Ram. Jangan banyak tanya, aku menyergah. Minta seluruh pemilik rekening itu berkumpul pukul sebelas malam ini, tiga jam lagi.
Astaga, bagaimana mungkin aku melakukannya" Memangnya kau tidak bisa menyuruh stafmu lembur sekarang" Ini darurat, aku memotong. Bahkan Maggie sejak tadi pagi terus berada di posisinya mendukungku. Aku awalnya hendak menyuruh Maggie, tapi dia pasti sedang sibuk mengerja"kan urusan lain. Ada banyak staf Bank Semesta yang bisa disuruh.
Dewi Kelelawar 1 The Chronicles Of Narnia 2 Sang Singa Sang Penyihir Dan Lemari The Lion The Witch And The Wardrob Istana Pulau Es 15

Cari Blog Ini